MODEL PENGENDALIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BARU BERKELANJUTAN STUDI KASUS PENGEMBANGAN KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI
SYAMSUL HADI P-062040214
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan. Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Februari 2012
Syamsul Hadi P-062040214
ABSTRAK Syamsul Hadi. 2012. Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD). Di bawah bimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua dan Surjono Hadi Sutjahjo dan Setiahadi sebagai anggota. Pembangunan kota baru diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pengembangan wilayah, namun pada kenyataannya seringkali menimbulkan masalah baru, sehingga menjadi tidak berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan, dengan studi kasus di Kota Baru Bumi Serpong Damai. Pada penelitian menganalisis kualitas air dan kualitas udara dan selanjutnya dibandingkan dengan baku mutu, menganalisis keberlanjutan BSD dengan menggunakan MDS, mencari parameter kunci dengan analisa prospektif dan membuat model pengendalian lingkungan dengan model dinamik serta mencari prioritas kebijakannya. Penelitian memperlihatkan lingkungan perairan di kawasan Kota Baru BSD tercemar limbah organik yang mudah urai (BOD) dan yang sulit urai (COD), sedangkan atmosfirnya tercemar gas beracun CO, serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Hasil analisis keberlanjutan memperlihatkan bahwa Kota Baru BSD masuk pada kategori kurang berkelanjutan (46,75), hanya dimensi infrastruktur dan teknologi (52,20), dimensi ekonomi (53,17) dan dimensi hukum dan kelembagaan (59,95) yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi (42,22) dan dimensi sosial-budaya (26,49) statusnya tidak berkelanjutan. Hasil analisis prosfektif memperlihatkan bahwa di Kota Baru BSD terdapat 22 faktor pengungkit yang harus diperhatikan agar BSD menjadi berkelanjutan. Model pengendalian lingkungan yang dibangun agar dalam pembangunan kota baru dapat dikendalikan lingkungannya dan berkelanjutan harus memperhatikan limbah cair, kualitas udara, keberadaan IPAL, keberadaan kawasan bisnis, perumahan dan pertokoan, harus memperhatikan budaya lokal dan penegakan hukum serta harus memperhatikan efektifitas dan efisiensi sarana jalan dan pengadaan transportasi umum. Strategi kebijakan pengembangan kota baru hendaknya dapat menumbuhkan pembangunan IPAL hingga 7%, kewajiban penggunaan katalisator pada kendaraan bermotor, pembatasan umur kendaraan, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, memperbaiki jalan rusak hingga 30%, peningkatan pajak kendaraan pribadi, pengendalian pertumbuhan penduduk dan pembangunan pemukiman terpadu sehat. Prioritas kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan adalah mengadakan teknologi produksi bersih, membangun IPAL, jaringan jalan dan transportasi yang efektif dan efisien,berikut kendaraan umumnya, peduli terhadap budaya local, dan membentuk kelembagaan. Kata kunci: kota baru, kualitas, air, udara, IPAL, model, strategi, prioritas, kebijakan
ABSTRACT
Syamsul Hadi. 2012. A Model For Environment Control Of Sustainable New Town Development. (Case Study: New Town Development Of Bumi Serpong Damai. Under the direction of Bambang Pramudya, Surjono Hadi Sutjahjo and Setiahadi. Development of new town is expected to solve such problems as migration reduction to large cities, regional economic development, etc., but the reality does not correspond to the objectives. Environment is one of impacts that are not examined carefully when new town was planned and developed. The objective of the study is to formulate a model of environmental control over of new town development, in order to achieve its sustainability objective. A case study of the research was conducted in a new town Bumi Serpong Damai (BSD) in Banten Province, Indonesia. The study has analyzed the quality of air and water and then comparing both with a standardized environment quality, has analyzed sustainability of BSD using multidimensional scaling (MDS) tools, has formulated key parameters using Prospective tools, has developed an environment control model using system dynamics tools, and then has formulated prioritized policies. The study has revealed that water and land around BSD area is contaminated with organic waste such as BOD and COD, while the atmosphere contains toxic gas such as CO, SOx, NOx, ozon (O3) and TSP. Using the MDS tools for sustainability analysis, it has been revealed that BSD city is categorized as less sustainable (46,75), less than 50 points. In both aspects as ecology (42,22) and social culture (26,49) BSD city is categorized not sustainable. Only in such aspects as infrastructure and technology (52,20), economy (53,17) and law and institutions (59,95) are closed to be categorized sustainable. The Prospective tools has identified 22 leverage factors be considered for BSD city to achieve its sustainability, 5 of which have been identified as key parameters, including (1) air pollution, (2) availability of sewerage system facilities, (3) transportation facilities, (4) environment institution, and (5) road infrastructure. The system dynamics and the forum group discussion have formulated a model of environmental control over new town development consisting of sub models for environment, social, and economy. Among four alternative scenarios formulated, the realistic one to be implemented is the third scenario, consisting of such actions as 5% annual increase on development of sewerage system facilities, gas emission control for vehicles, restriction on vehicle age, improvement of road infrastructure capacity, 20% increase on upgrading of deteriorated road, extension of road infrastructure, population control, and policies on urbanization. Recommended policies to achieve its sustainability include the use of clean production technology, sewerage system facilities, road network development, adequate public transportation, admiration toward indigenous local culture, and development of appropriate institutions. Key words: new town, quality of water and air, sewerage system facilities, model, strategy, and policies.
RINGKASAN Syamsul Hadi. 2012. Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan Studi Kasus Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD). Di bawah bimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua dan Surjono Hadi Sutjahjo dan Setiahadi sebagai anggota. Meningkatnya kepadatan penduduk telah mendorong terjadinya urbanisasi, sehingga seringkali mengakibatkan terjadinya urban sprawl. Akibat adanya urban sprawl ini seringkali muncul berbagai permasalahan, diantaranya menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan prasarana dan sarana dasar, terjadinya kesenjangan, munculnya berbagai masalah sosial, merebaknya masalah kriminalitas, tingginya tingkat pengganguran, dsb. Kondisi tersebut mendorong dibangunnya kota baru di kota satelit, namun juga seringkali tidak terlalu merubah keadaan. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan. Pada penelitian ini dilakukan analisis kualitas lingkungan, analisis keberlanjutan, analisis prospektif, merancang model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan dan merumuskan strategi dan alternative kebijakan kota baru berkelanjutan. Penelitian dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dengan mengambil data primer dan data sekunder. Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data kualitas udara dan kualitas air, selain itu juga melakukan wawancara dengan stakeholder yang diambil secara purposive. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis. Data kualitas udara dan kualitas air dianalisis secara deskriptif. Pada analisis keberlanjutan dilakukan dengan menggunakan MDS, sedangkan untuk mendapatkan parameter kunci dilakukan analisis prospektif dan pembuatan model dibuat dalam bentuk model dinamik, dan selanjutnya hasil analisis tersebut di atas, dibuat prioritas kebijakannya. BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan, sedangkan parameter lainnya yakni Nitrat-NO3-N, Total Fosfat (PO4-P), Kadmium-Cd, Deterjen, Timah Hitam- Pb, Air Raksa (Hg), Arsen-As dan Fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan. Kondisi atmosfir di kawasan BSD tercemar gas beracun CO, selain itu juga tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Hasil analisis Rap-KOBA di Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa BSD termasuk dalam status kurang berkelanjutan dengan nilai indeks keberlanjutan gabungannya sebesar 46,75. Adapun nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,17 % dengan status cukup berkelanjutan, dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan. Hasil analisis prospektif mendapatkan parameter kunci (faktor pengungkit ) untuk dimensi ekologi adalah ketersediaan air bersih, manajemen banjir/bencana, permasalahan transportasi, pencemaran udara/emisi dan ketersediaan pengolah limbah cair. Pada dimensi ekonomi parameter kuncinya adalah keberadaan kawasan bisnis, tingkat pengangguran,
keberadaan kawasan industri dan keberadaan pertokoan kawasan. Pada dimensi Sosial-budaya parameter kuncinya adalah pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, keragaman budaya dalam masyarakat dan konflik dengan masyarakat lokal. Pada dimensi infrastruktur dan teknologi parameter kuncinya adalah ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Pada dimensi hukum dan kelembagaan parameter kuncinya adalah kompetensi pengelola kawasan kota baru, egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, konsistensi penegakan hukum, tersedianya organisasi pengelola lingkungan, intensitas pelanggaran hukum dan sinkronisasi peraturan dengan pusat. Parameter kunci tersebut harus segera diperbaiki, sehingga dapat meningkatkan kapasitasnya yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan menekan sekecil mungkin parameter yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai indeks keberlanjutan kawasan Kota Baru BSD. Alternatif kebijakan yang diambil dilakukan secara bertahap, misalnya tahun 2012 dilakukan pembuatan IPAL (3%), penggunaan katalisator, uji emisi gas buang kendaraan secara periodik dan konsisten, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan (menambah panjang dan membuat jalan alternatif dan memperbaiki jalan rusak 10%, serta memantapkan program keluarga berencana. Pada tahun berikutnya upaya tersebut ditingkatkan kembali misalnya pembuatan IPAL menjadi 5%, penggunaan katalisator diketatkan (pada setiap kendaraan), uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten, pembatasan umur kendaraan pribadi, kapasitas insfrastrutur jalan ditingkatkan lagi, dengan menambah panjang, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan dan tingkat perbaikan jalan rusak dinaikkan menjadi 20%, KB digalakan dan dibuat kebijakan daerah tentang urbanisasi. Pada tahun berikutnya pembuatan IPAL dinaikan 7%, semua kendaraan harus sudah menggunakan katalisator uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten, pembatasan umur kendaraan pribadi lebih diketatkan dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan lebih ditangkatkan, perbaikan jalan rusak bertambah 30%, diadakan kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi, program KB semakin dimantapkan, kebijakan daerah tentang urbanisasi lebih diimplementasikan, dan dibuat kebijakan tambahan untuk pembangunan pemukiman terpadu sehat. Namun demikian alternatif skenario kebijakan yang disarankan untuk diimplementasikan adalah alternatif ke-3, yakni Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari lingkungan berupa pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan serta uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten. Khusus untuk ekonomi dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Aspek sosialnya berupa pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
MODEL PENGENDALIAN LINGKUNGAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BARU BERKELANJUTAN STUDI KASUS PENGEMBANGAN KOTA BARU BUMI SERPONG DAMAI
SYAMSUL HADI P-062040214
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Penguji luar komisi Ujian Tertutup
1. Prof. Dr. Ir. Asep Sape’i 2. Dr. Ir. Widiatmaka
Ujian Terbuka
1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto 2. Dr. Ir. Hazaddin T. Sitepu
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas semua berkat yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulisan disertasi ini dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya, M.Eng. sebagai ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS., dan Dr. Ir. Setia Hadi, MS. sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah berkenan membimbing, mengarahkan, serta memberikan masukan, serta memberikan dorongan moril mulai dari perencanaan, pelaksanaan penelitian hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada pimpinan dan staf pengembang Kota Baru Bumi Serpong Damai, Pemerintah Kota Tangerang Selatan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Banten atas bantua.n informasi dan data yang telah diberikan dalam pelaksanaan penelitian. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada para responden telah banyak memberikan masukan selama penulis melakukan penelitian di lapangan. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. M. Yanuar dan Dr. Etty Riani yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga saat ujian prakualifikasi; Dr Widiatmaka dan Prof Dr Asep Syafei yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga pada ujian tertutup; Dr. Hazaddin TS dan Dr. Yanuar yang banyak memberikan masukan-masukan yang berharga pada ujian terbuka serta Dr. Etty Riani yang walaupun tidak menjadi penguji tapi telah berkenan mengoreksi draft disertasi. Kepada Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Ketua PS-PSL juga dihaturkan terimakasih yang tidak terhingga, karena penulis telah diijinkan kuliah di Program S3 PSL IPB.
Kepada teman-teman S3 PSL-IPB angkatan IV dan teman-teman di Kantor
Kementerian Pekerjaan Umum yang telah banyak membantu dan menyumbangkan berbagai pemikiran juga dihaturkan terima kasih yang tidak terhingga. Kepada isteriku Renita Zein serta anak-anakku Farrel Hadi dan Sindu Hadi yang dengan sabar selalu memberikan dorongan dan semangat, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini juga diucapkan terimakasih. Akhirnya, “tiada gading yang tak retak “, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun, sangat diharapkan. Semoga disertasi ini dapat bermanfaat. Jakarta, Februari 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada tanggal 28 September 1955, sebagai anak pertama dari lima bersaudara, anak dari pasangan bapak Atfali dan ibu Kunasi. Penulis telah menikah dengan Renita Zein pada tahun 1988, dan dikaruniai dua orang putra yaitu Farrel Hadi dan Sindu Hadi. Selesai dari Sekolah Menengah Atas di Tulungagung, penulis kemudian menempuh pendidikan Sarjana strata satu yang ditempuh di Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Bandung dan lulus pada tahun 1983. Gelar Master of Regional Planning diperoleh penulis pada tahun 1994 setelah menyelesaikan pendidikan pascasarjana pada Department of City and Regional Planning, Cornell University, di New York, United States of America. Pada tahun 2004 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mulai bekerja di Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1985. Selama bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum, penulis telah mendapat kesempatan mengikuti berbagai jenjang pendidikan formal maupun pendidikan kedinasan, didalam negeri maupun di luar negeri, termasuk mengikuti berbagai kegiatan seminar dan workshop. Bidang keahlian yang penulis pelajari selama bekerja di Kementerian Pekerjaan Umum adalah bidang perencanaan kota dan regional, pengembangan ekonomi local, arsitektur, pengembangan kawasan perdesaan, peremajaan kota dan revitalisasi kawasan kota, penanganan kawasan kumuh perkotaan. Sebagai pegawai pemerintah, penulis banyak belajar dalam penyiapan peraturan dan perundangan, standar dan pedoman, serta pendalaman fungsi-fungsi pemerintah dalam pelaksanaan bidang tersebut di atas.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ………………………………………………………….. DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
vi vii
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................ 1.1 Latar Belakang..................................................................... 1.2 Perumusan Masalah………………………………………… 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………................... 1.4 Kerangka Pemikiran……………………………………… 1.5 Kebaruan Penelitian............................................................
1 1 5 7 8 9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………... 2.1 Permukiman……………...................................................... 2.2 Kota Baru…………………………………………………… 2.2.1 Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru…………… 2.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan………………… 2.3 Kebijakan Pengembangan Perkotaan……………………..... 2.4 Perkembangan Penduduk Perkotaan……………………….. 2.5 Kebijakan…………………………………………………… 2.6 Analisis dan Proses Kebijakan……………………………... 2.7 Pelestarian dan Degradasi Lingkungan …...……………….. 2.8 Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang………….. 2.9 Pencemaran………………………………………………… 2.10 Pembangunan Berkelanjutan……………………………….. 2.11 Model Dinamik…………...……………………………....... 2.12 Rapid Appraisal Analysis …..……………………………... 2.13 Analisis Prospektif……… …..……………………………...
11 11 12 14 16 17 18 22 24 27 28 30 33 35 37 39
BAB III
METODE PENELITIAN………………………………………… 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ……………………………... 3.2 Rancangan Penelitian………………………………………. 3.3 Teknik pengumpulan Data…………………………………. 3.4 Metode Pengambilan Sampel………………………………. 3.5 Teknik Analisis Data……………………………………….. a. Analisis Keberlanjutan………………………………….. b. Analisis Prospektif……………………………………… 3.6 Perancangan Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan……………………. 3.7 Pemodelan Sistem…………………………………………. a. Analisis Kebutuhan…………………………………….. b. Formulasi Masalah……………………………………... c. Identifikasi Sistem……………………………………… d. Pembuatan Model.……………………………………… e. Simulasi Model…...…………………………………….. f. Verifikasi dan Validasi Model…...……………………..
41 41 41 41 41 42 42 45
iv
49 50 50 52 52 53 53 53
BAB IV
KONDISI UMUM ……...………………………………………… 4.1 Master Plan BSD ………….. ……………………………... 4.2 Potensi Ekonomi……………………………………………. 4.3 Permukiman ………………………………………………... 4.4 Sosial Budaya ………………………………………………
55 56 59 60 62
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………… 5.1 Kualitas Lingkingan BSD………………………………… 5.2. Analisis Keberlanjutan……………………………………… 5.2.1. Dimensi Ekologi ………………….………................ 5.2.2. Dimensi Ekonomi…………………………………… 5.2.3. Dimensi Sosial dan Budaya……………………….… 5.2.4. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi……………..… 5.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan…………………. 5.2.6. Multidimensi………………………………………… 5.2.7. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan ……………...… 5.3. Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD…….……. 5.3.1. Submodel Lingkungan……………………….…….… 5.3.2. Submodel Ekonomi……………………………..…… 5.3.3. Submodel Sosial………………………………...…… 5.3.4. Validitas Model ……………………………...……… 5.3.5. Skenario……………………………………………… 5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kota Baru BSD ………
63 63 65 66 70 74 78 84 87 93 105 106 118 127 132 139 155
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………
159
DAFTAR PUSTAKA….....................................................................................
161
LAMPIRAN…....................................................................................................
169
v
DAFTAR TABEL Tabel 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Halaman
Konsep kota baru ................................................................................. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 19922001...................................................................................................... Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 ha) di Wilayah Jabotabekjur ......................................................................................... Kualitas air Sungai Ciliwung ............................................................... Jenis informasi pada setiap jenis kebijakan ......................................... Jenis dan sumber data yang diperlukan pada penelitian ...................... Rincian jumlah responden penelitian................................................... Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan........................................... Rencana penggunaan lahan dalam pembangunan KB – BSD ............. Kualitas udara di BSD ......................................................................... Kualitas air di BSD .............................................................................. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis RAP-KOBA ............................................................................ Hasil analisis RAP-KOBA untuk nilai stress dan koefisien determinan (R2) .................................................................................... Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%................. Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ............................................................................................. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air ............... Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara ..................... Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa ................ Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain........................................................................................................ Submodel sosial ...................................................................................
vi
15 21 21 22 26 43 44 48 58 64 64 91 91 92 94 136 136 137 137 138
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26.
Halaman
Kerangka permasalahan penelitian .................................................... Kerangka pemikiran penelitian.......................................................... Perkembangan penduduk perkotaan .................................................. Variasi analisis kebijakan (Parsons, 2005) ........................................ Analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (Dunn, 1998) .................................................................................................. Dimensi pembangunan berkelanjutan (Khanna et al., 1999) ............ Tahapan penelitian............................................................................. Proses aplikasi MDS.......................................................................... Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem ................................................................................................. Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ............................................................................ Diagram INPUT-OUTPUT model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ................................... Lokasi BSD sebagai hinterland Provinsi DKI Jakarta....................... Master plan BSD................................................................................ Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD..................... Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) .................. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD................... Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) ................................................................................................ Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota Baru BSD ................................................................................................... Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) ................................................................................................ Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi Kota Baru BSD........................................................................................... Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS)........................................................................... Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kota Baru BSD........................................................................................... Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS). ................................................................................... Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota Baru BSD ................................................................................................... Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan Kota Baru BSD........................................................................................... Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan kawasan Kota Baru BSD ................................................................... vii
7 10 19 24 28 35 44 46 48 50 54 55 57 66 67 71 72 75 76 79 80 85 86 89 90 103
27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
Diagram lingkar sebab-akibat pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan .............................................. Diagram stockflow model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan .............................................. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan .............................................. Diagram stockflow submodel lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan...................................................................... Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter BOD, COD, NO3 dan PO4 ................................ Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter BOD.................................................................. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter COD.................................................................. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter NO3 .................................................................. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter PO4 .................................................................... Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter NOx, COx dan SOx ............................... Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter NOx ..................................................... Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter COx ...................................................... Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter SOx....................................................... Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunan kota baru berkelanjutan...................................................................... Diagram stockflow submodel ekonomi dalam pembangunan kota baru berkelanjutan...................................................................... Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (Jutaan rupiah)................................................................................................ Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatan transportasi dan komunikasi (Jutaan rupiah) ..................................... Simulasi sub-model ekonomi berdasarkan PDRB perdagangan hotel dan restoran (Jutaan rupiah)...................................................... Simulasi sub-model ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa (Jutaan rupiah) ................................................................................... Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank, persewaan dan jasa perusahaan (Jutaan rupiah) ................................ Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektor ekonomi lain (jutaan rupiah).............................................................. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan (km) ............................................................................. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur (persentase kerusakan jalan) ..............................................................
viii
106 107 108 109 110 110 112 113 114 115 115 116 117 118 119 120 121 121 122 122 123 124 126
50.
Simulasi submodel ekonomi berdasarkan persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan .................................................................................. 126 51. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat.................................................................... 127 52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan...................................................................... 128 53. Diagram stockflow submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ............................................................................. 128 54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan penduduk usia kerja (15-65), jumlah rumah serta penduduk commuter ........................................................................................... 130 55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk ................. 130 56. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja (15-65) ............................................................................................... 131 57. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah ....................... 131 58. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang commuter ........................................................................................... 132 59. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4................ 141 60. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4................ 142 61. Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 ................. 142 62. Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4.................. 143 63. Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ...................................... 144 64. Emisi NOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ...................................... 144 65. Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 ....................................... 145 66. Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dan komunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4 ..................................................... 146 67. Sub model ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel dan restoran skenario 1, 2, 3 dan 4 ........................................................... 146 68. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4........... 147 69. Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasa perusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4 .................................................... 147 70. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4................................................................................................... 148 71. Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 .......................................... 148 72. Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4......................... 149 73. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 ....................... 149 74. Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4 ........................... 150 75. Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4 ....................... 150 76. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario 1, 2, 3 dan 4 ......................................................................... 151 77. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah, skenario 1, 2, 3 dan 4........................................................................................ 152 78. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter, skenario 1, 2, 3 dan 4.......................................................... 152 10. Grafik fluktuasi debit di depan satu rumah .....................................................3 11. Grafikfluktuasi pengukuran debit outlet .........................................................3
ix
12
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2 3 4 5
Halaman
Parameter kualitas air yang dianalisa, bakumutu yang ditetapkan dan metoda yang digunakan................................................................. Formula matematika (stockflow diagram) ........................................... Hasil simulasi model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan ................................................ Skenario model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan................................................................................ Hasil simulasi dari setiap skenario model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan....................................
x
171 172 176 179 181
xi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan penduduk merupakan fenomena yang menjadi potensi sekaligus permasalahan dalam pembangunan berkelanjutan. Hal tersebut terkait dengan kebutuhan ruang untuk penduduk yang terus menerus bertambah setiap tahunnya (George, 2006). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terutama bagi pertumbuhan wilayah dan kota. Kota dengan kepadatan tinggi akan membawa banyak masalah terutama berkaitan dengan permasalahan keberlanjutan kawasan perkotaan (Ng, 2010). Hal yang sama juga terjadi pada kota-kota yang sudah mencapai titik jenuh, perlu adanya sebuah solusi yang relevan sehingga permasalahan penduduk tidak semakin meluas ke sektor lainnya. Hal lain yang akan terjadi dari tingginya tingkat hunian akibat pertumbuhan penduduk di wilayah kota adalah tumbuhnya wilayah terbangun secara sporadis (urban sprawl) di pinggiran kota dan di tempat lain, sehingga pertumbuhan kota menjadi tak terkendali (primacy) dan tidak efisien (Soule, 2006; Squires, 2002; Bruegmann, 2006). Tingginya tingkat hunian di wilayah perkotaan juga bukan hanya menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan pertumbuhan kota-desa dan kota besar-kota kecil, namun juga dapat menimbulkan ketimpangan kawasan, yang berakibat pada terjadinya polarisasi ekonomi. Terjadinya ketimpangan kawasan juga mengakibatkan terjadinya perubahan fisik wilayah perkotaan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang cukup tinggi1. Salah satu bentuk pembangunan kawasan perkotaan yang diperkirakan akan merefleksikan visi pengembangan perkotaan adalah pembangunan dan pengembangan kota baru.
Hal ini sesuai dengan definisi yang dibuat oleh Golany (1976) yang
mengatakan bahwa kota baru adalah kota yang sama sekali baru, direncanakan dan dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru yang di dalamnya terkandung unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai prasarana dan sarana 1
Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 494/PRT/M/2005 telah menetapkan Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNPK) yang salah satu kebijakannya adalah memantapkan peran dan fungsi kota dalam pembangunan nasional. Salah satu strategi yang dilakukan adalah menyiapkan dan mengembangkan panduan bagi daerah untuk melakukan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan (sustainable cities).
1
2 pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi, serta prasarana penggerakan dan sarana perhubungan. Konsep kota baru dirancang untuk dapat menunjang aktivitas pada kota yang menjadi pusat kegiatan dengan tujuan utama mengatasi masalah kependudukan (Simmonds dan Hack, 2000). Beberapa kota baru yang dapat diambil contoh dari best practice negara-negara yang sedang menjalankan konsep yang sama yaitu Kota Baru Putra Jaya dan Cyberjaya di Malaysia yang dikonsep untuk memecah konsentrasi permukiman di Kuala Lumpur yang sudah terlalu padat dan Cyberjaya yang dikonsep khusus sebagai kota baru yang fokus utamanya diperuntukkan sebagai kota industri. Kota baru telah dikembangkan dan dibangun di beberapa kabupaten/kota yang ada di Indonesia, diantaranya di Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan sebagainya. Dalam pembangunan kota baru, idealnya termasuk pada kategori sebagai berikut, yakni (i) kota yang lengkap, yang ditentukan, direncanakan dan dibangun di suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk, (ii) kota yang dibangun lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi permukiman atau kota kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu pengembangan dan mengurangi kota induk, (iii) kota yang mandiri, mampu memenuhi pelayanan kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya (self contained new town), (iv) lingkungan permukiman skala besar untuk mengatasi kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya masih bergantung pada kota induknya (dependent town), sehingga dapat disamakan dengan kota satelit dari kota utama/kota inti. Pada kenyataannya, kota baru yang ada di Indonesia tidak sepenuhnya mengikuti kategori tersebut di atas. Bahkan bukan hanya itu, pada pembangunan kota baru juga kerap terjadi penyimpangan mulai dari tahap perencanaan, tahap implementasi, dan kebijakan pengembangannya. Selain itu juga seringkali terjadi ketidak-sesuaian pada aspek regulasi, misalnya terkait dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) kabupaten/kota maupun RTRW provinsi beserta rencana rincinya. Dalam prakteknya, pembangunan kota baru di suatu wilayah kabupaten/kota induk sangat ditentukan oleh perusahaan pengembang yang memperoleh ijin prinsip untuk pembebasan tanah. Lokasi kota baru yang akan dikembangkan tergantung kepada lokasi tanah yang
3 berhasil dibebaskan pengembang, yang tidak harus sama dengan rencana lokasi semula yang tercantum dalam dokumen ijin prinsip. Hal lain yang juga sering terjadi adalah masih minimnya peran pemerintah pusat serta belum diimplementasikannya kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah. Pada prakteknya, pemerintah pusat tidak terlibat dalam proses pembangunan kota baru di Indonesia.
Penentuan lokasi suatu rencana kota baru, misalnya, selayaknya
mempertimbangkan lokasi relatif dari kota-kota yang sudah ada, karena kota-kota tersebut membentuk suatu jaringan kota-kota dalam suatu sistem yang mendukung jaringan kegiatan sosial ekonomi, distribusi barang dan jasa, serta kegiatan sosial budaya penduduk. Sebagai suatu sistem kota, dan mencakup beberapa ukuran kota dengan fungsi masing-masing yang saling tergantung, keberadaan kota-kota tersebut terletak pada suatu wilayah yang cukup luas, yang melebihi batas-batas wilayah provinsi untuk ukuran di Indonesia atau bahkan antar pulau.
Dengan demikian,
minimnya keterlibatan pemerintah pusat dalam proses pengembangan kota-kota baru di Indonesia, akan dibayar mahal oleh masyarakat di kawasan kota baru maupun kawasan di sekitarnya.
Permasalahan lingkungan, misalnya berupa bencana banjir yang
frekuensinya makin sering, pencemaran udara dan pencemaran air, penurunan muka air tanah dan intrusi air laut, adalah beberapa permasalahan lingkungan yang akan dihadapi. Permasalahannya adalah bahwa bencana lingkungan tersebut akan terjadi dalam suatu kurun waktu yang cukup panjang, yang memungkinkan para pengambil keputusan tidak segera menyadarinya. Model-model kota baru yang ada di Indonesia, diantaranya terdapat di Batam (Batam Centre), Jakarta (Bumi Serpong Damai), dan Semarang (Bukit Semarang Baru). Dari berbagai kota baru yang sudah terbangun dan menurut pengamatan telah dikembangkan dengan relatif baik dan menarik untuk dikaji adalah kota baru Bumi Serpong Damai (BSD) yang berlokasi di Provinsi Banten. BSD terletak sekitar 30 km (18,6 mil) ke arah barat daya Jakarta dan telah diresmikan pada 16 Januari 1989. Pembangunan BSD belum seluruhnya selesai, dari luas kawasan yang direncanakan 6.000 Ha, baru 25%-nya yang telah dibangun untuk perumahan, perdagangan, fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum).
Dari
600.000 jiwa orang yang direncanakan bertempat tinggal di BSD, saat ini baru dihuni oleh 80.000 jiwa. Dari rencana pembangunan rumah sebanyak 140.000 unit, hingga
4 tahun 2004 baru sebanyak 14.338 unit rumah dengan berbagai tipe yang telah dibangun. Pembangunan Kota Baru BSD ini direncanakan akan selesai pada tahun 2020 dari target semula tahun 2014 (Arifin dan Dillon, 2005). Pembangunan kota baru pada umumnya dan Kota Baru BSD pada khususnya, mempunyai tujuan utama untuk membangun ekonomi nasional melalui pengembangan ekonomi lokal. Pembangunan ini juga telah memberi kontribusi dari sisi pertumbuhan ekonomi nasional dan pertumbuhan penduduk. Namun dilain pihak, aspek lingkungan (ekologi) belum mendapat perhatian yang lebih serius. Hal ini terlihat dari menurunnya daya dukung lingkungan yang terjadi di wilayah perkotaan, terjadinya musibah banjir dengan frekuensi yang lebih sering, terjadinya konflik sosial baik secara vertikal maupun horizontal, dan permasalahan-permasalahan lainnya.
Untuk itu maka
pembangunan kota baru di masa yang akan datang, tidak boleh hanya memperhatikan aspek ekonomi, namun juga harus memperhatikan aspek ekologi dan aspek sosialbudaya, sehingga kota baru yang dibangun akan menjadi kota baru yang berkelanjutan. Dalam rangka menciptakan kota baru yang berkelanjutan, sebenarnya pemerintah sudah membuat komitmen terhadap kesepakatan internasional Millenium Development Goals (MDG) 2015, Habitat, serta Protocol Kyoto.
Namun demikian, implementasi
kebijakan tersebut sangat sulit dilakukan. Selain itu juga disinyalir ada indikasi salah memaknai dalam mengartikan lingkungan pada pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, mengingat lingkungan lebih diartikan dalam arti sempit. Oleh karena itu, maka pembangunan berkelanjutan hingga saat ini masih merupakan slogan yang sudah dikenal namun maknanya masih belum dimengerti secara baik dan benar. Kondisi yang sama juga terjadi pada pembangunan dan pengembangan kota-kota baru yang justru tidak fokus pada permasalahan
yang sedang dihadapi,
yaitu
permasalahan
kependudukan dan keterbatasan lahan untuk permukiman. Kota-kota baru yang sedang berkembang ini justru malah menimbulkan permasalahan-permasalahan baru, terutama terkait dengan masalah lingkungan, masalah banjir, permasalahan penyediaan infrastruktur, pencemaran air dan udara, dsb. Namun yang paling mengkhawatirkan dari pembangunan kota baru adalah timbulnya pencemaran air dan udara. Ada berbagai kemungkinan sulitnya mengimplementasikan kebijakan yang ada dan sulitnya mencegah terjadinya pencemaran air dan udara akibat dari pembangunan kota baru, diantaranya adalah kebijakan tersebut dibuat dengan tanpa melihat kondisi
5 eksisting di lapangan, dan dibuat dengan tanpa melibatkan masyarakat dan stakeholders yang berkepentingan, serta kebijakan yang dibuat tidak bersifat terpadu (lintas sektoral) dan belum bersifat holistik. Atas dasar itu, maka dalam rangka menciptakan kota baru yang ramah lingkungan dan berkelanjutan serta dalam rangka mencegah terjadinya pencemaran air dan udara serta kerusakan lingkungan akibat dibangunnya kota baru, maka perlu dicari alternatif kebijakan yang paling ideal untuk kota baru dan parameter kunci apa yang ada pada pengelolaan kota baru. Perlu dirumuskan model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru yang berkelanjutan, sehingga pembangunan kota baru akan bermanfaat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, dengan melibatkan pendapat dan keinginan masyarakat serta pendapat dan keinginan para stakeholders (lintas departemen terkait) sehingga lebih mudah diimplementasikan. 1.2. Perumusan Masalah Menurut Golany (1976), yang dimaksud dengan kota baru adalah suatu kota yang direncanakan, didirikan dan kemudian dikembangkan secara lengkap di atas suatu wilayah yang sama sekali baru setelah ada kota atau kota-kota lainnya yang telah tumbuh dan berkembang terlebih dahulu. Idealnya, kota baru merupakan permukiman yang dibangun di atas lahan dalam skala besar, sehingga memungkinkan untuk menunjang kebutuhan berbagai jenis dan harga tempat tinggal serta kegiatan kerja bagi masyarakat di dalam lingkungan kota itu sendiri. Salah satu contoh kota baru yang hingga saat ini diharapkan akan mendekati definisi tersebut di atas adalah Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD). Permasalahan dari pembangunan kota-kota baru adalah relatif belum adanya konsep yang jelas dan terintegrasi antara kebutuhan perumahan, pengaturan aktivitas dan fungsi kawasan, serta keseimbangan alam dan adanya kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat terbangunnya kota baru. Sesuai prinsip kota berkelanjutan yang dikemukakan Fauzi (2004), bahwa keberlanjutan memuat tiga hal yang harus seimbang yaitu antara ekonomi, lingkungan, dan sosial. Begitu`pula menurut Munasinghe (1993), pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi dan pertumbuhan. Tujuan ekologi terkait dengan masalah konservasi sumberdaya alam. Tujuan sosial terkait dengan masalah pengurangan kemiskinan dan pemerataan. Dengan
6 demikian, tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi dan tujuan sosial. Dalam hal ini ada indikasi bahwa terdapat sebuah benang merah yang relatif masih terputus karena pembangunan kota-kota baru justru melanggar beberapa hal yang terkait dengan keseimbangan alam dan lingkungan serta mengakibatkan terjadinya pencemaran, adanya ketidak jelasan fungsi kawasan yang ada pada kota baru tersebut serta orientasi yang masih lebih menekankan pada profit, dan masih belum menekankan pada prinsip keberlanjutan kota baru tersebut. Sesuai dengan tujuan pembangunan ideal, maka pembangunan kota baru mandiri, diharapkan mampu menyelesaikan permasalahan pengembangan wilayah, mampu menampung kelebihan penduduk, menahan arus migrasi yang mengarah ke Jakarta, dan diharapkan mampu meningkatkan taraf ekonomi kawasan. Namun demikian sejalan dengan pembangunan kota baru mandiri ini seperti yang terjadi di Kota Baru BSD, muncul berbagai permasalahan, diantaranya muncul berbagai dampak negatif terhadap lingkungan yang akan merugikan, baik ditinjau dari skala lokal, regional maupun skala nasional.
Selain itu juga muncul kesenjangan sosial antara penghuni BSD dan
masyarakat sekitarnya, muncul berbagai konflik baik konflik horizontal maupun konflik yang vertikal, serta muncul berbagai permasalahan lainnya seperti adanya bencana banjir di lokasi sekitar, terjadi pencemaran air dan udara serta berbagai kerusakan lingkungan lainnya. Untuk lebih jelasnya kerangka permasalahan penelitian tersebut disajikan pada Gambar 1.
Dengan demikian, berdasarkan informasi dan uraian
sebelumnya, maka muncul pertanyaan penelitian pada pembangunan kota baru mandiri antara lain adalah: 1. Bagaimana kondisi lingkungan di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya berdasarkan kondisi (kualitas) air dan udara di kota baru? 2. Bagaimana status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD? 3. Faktor apa yang perlu diperhatikan dalam pengendalian lingkungan di Kota Baru BSD secara berkelanjutan? 4. Bagaimana model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD yang berkelanjutan? 5. Apa strategi kebijakan kota baru yang berkelanjutan?
7
Ketidakjelasan Konsep Kota Baru Secara Aktifitas dengan Fungsi Kawasan
Ketidaksinkronan Kebijakan Rencana Pembangunan Kota Baru dan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Kota
Kota Baru Masih Berorientasi Profit Belum Memikirkan Keberlanjutan Lingkungan dan Alam
Kota baru yang tidak memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan sumber daya alam (keberlanjutan dari sisi ekologi dan sosial)
Kerusakan lingkungan dan kerentanan terhadap bencana banjir dan kekeringan
Pencemaran air dan udara
Terganggunya aktivitas ekonomi masyarakat
Gambar 1. Kerangka permasalahan penelitian 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan, sehingga dari sini akan dapat ditemukan benang merah antara kebutuhan lahan permukiman, pengaturan aktivitas dan fungsi kawasan, serta keseimbangan lingkungan dan alam. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut secara spesifik, maka tujuan khusus penelitian ini mencakup: 1. Mengkaji kualitas lingkungan di kawasan kota baru dan sekitarnya dengan menganalisis kualitas lingkungan di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya 2. Melakukan analisis terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD 3. Melakukan analisis terhadap faktor yang perlu diperhatikan dalam pengendalian lingkungan di Kota Baru BSD agar berkelanjutan 4. Merancang model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD berkelanjutan 5. Merumuskan prioritas kebijakan Kota Baru BSD berkelanjutan
8 Manfaat dari penelitian ini adalah: •
Bagi ilmu pengetahuan, penelitian ini akan menambah pengetahuan bagi ilmu lingkungan terutama dalam penerapan aplikasi cara berfikir sistem, dalam merumuskan pengendalian lingkungan pada pembangunan kota baru berkelanjutan dan pada penerapan metode simulasi dinamika sistem untuk analisis kebijakan, sehingga akan memperkaya metodologi ilmu lingkungan sekaligus akan menjadi salah satu alternatif pilihan model strategi kebijakan pembangunan kota baru mandiri yang berkelanjutan.
•
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam menyusun kebijakan rencana pembangunan dan pengelolaan kotabaru yang berkelanjutan.
•
Bagi pengembang, penelitian ini bermanfaat untuk memahami strategi dan prospek pengembangan usaha, sehingga terbangun kemitraan (partnership) dengan berbagai pihak terkait, atas dasar prinsip saling menguntungkan.
•
Bagi penduduk setempat dan sekitarnya, penelitian ini bermanfaat untuk membantu memahami proses perencanaan pembangunan wilayah kota baru, sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pengelolaannya, terutama dalam mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran.
1.4. Kerangka Pemikiran Meningkatnya jumlah penduduk dan ketidak mampuan sektor pertanian dalam menyediakan lapangan pekerjaan di perdesaan, telah mendorong masyarakat desa melakukan urbanisasi, sehingga pertumbuhan penduduk di wilayah perkotaan meningkat dan telah mengakibatkan tingginya kebutuhan akan lahan hunian dan merupakan faktor-faktor penggerak utama terjadinya perkembangan wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali yang disebut dengan urban sprawl (tumbuhnya wilayah terbangun secara sporadis di pinggiran kota dan di tempat lain). Adapun penyebab terjadinya urban sprawl diantaranya adalah karena lambatnya langkah-langkah antisipatif perencanaan dan masih terbatasnya kemampuan pemerintah dalam menyediakan pelayanan prasarana dan sarana, masih belum ketatnya pemerintah dalam melakukan pengendalian tata ruang dan tata guna lahan, khususnya untuk mendukung fungsi optimum pelayanan kepada masyarakat perkotaan. Akibat adanya urban sprawl
9 ini seringkali muncul berbagai permasalahan, diantaranya menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan prasarana dan sarana dasar, serta munculnya berbagai permasalahan sosial ekonomi perkotaan seperti terjadinya kesenjangan, munculnya berbagai masalah sosial, merebaknya masalah kriminalitas, tingginya tingkat pengangguran, dan sebagainya. Sebenarnya telah dilakukan penelitian pada kota baru mandiri BSD, namun penelitian tersebut masih bersifat parsial, yakni lebih terfokus pada aspek sosial saja, aspek ekonomi saja, serta penelitian pada aspek teknis saja; sedangkan penelitian yang bersifat holistik yang menggabungkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi yang dikemas menjadi Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan masih belum dilakukan. Oleh karena itu, dalam rangka menjawab permasalahan tersebut di atas maka diperlukan kebijakan yang bersifat holistik (berdasarkan penglihatan secara menyeluruh) dengan melibatkan berbagai departemen (lintas sektoral), masyarakat dan semua stakeholders, serta para pakar yang terkait di dalamnya. Selain itu juga diperlukan adanya skenario yang optimal dalam memprediksi semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi di masa yang akan datang serta pengelolaannya, sehingga akan meminimalkan terjadinya kerusakan lingkungan. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. 1.5. Kebaruan Penelitian Kebaruan (novelty) penelitian ini dapat dilihat dari aspek pendekatan (research approach) yang digunakan.
Pendekatan sistem dinamik untuk merancang model
interaksi di antara berbagai variabel dalam subsistem ekologi, ekonomi dan sosial di wilayah kotabaru dalam rangka melakukan pengendalian terhadap terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran, dan akan menghasilkan formulasi strategi kebijakan pengelolaan kotabaru mandiri yang terintegrasi dalam suatu sistem perkotaan di sekitarnya, dan berkelanjutan yang applicable sesuai kebutuhan stakeholders dan masyarakat di masa yang akan datang. Oleh karena itu maka hasil penelitian ini dapat membantu mengidentifikasi berbagai permasalahan yang akan menjadi bahan pertimbangan untuk mencari solusi agar suatu kota baru dapat berkelanjutan.
10
Pertumbuhan penduduk Angka pertumbuhan ekonomi yang tak sebanding dengan pertumbuhan penduduk
Angka pengangguran yang cukup tinggi di daerah pedesaan Meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran dan gangguan kamtibmas
Meningkatnya migrasi penduduk menuju kota Kepadatan lalulintas, meningkatnya kemacetan penurunan kualitas lingkungan
Over urbanisasi Terbatasnya pelayanan kebutuhan masyarakat kota
Aglomerasi aktivitas
Kebutuhan rumah, sarana prasarana, daya dukung lingkungan yang meningkat cukup tinggi
Maraknya bangunan liar dan menurunnya sanitasi lingkungan
Ketimpangan kawasan
Penurunan kesejahteraan
Pembangunan kota baru Permen PU No. 494/PRT/M/2005
Kota baru Bumi Serpong Damai (BSD)
Kota baru Bumi Serpong Damai yang mandiri dan berkelanjutan
Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
Kajian kondisi eksisting kota baru BSD
Potret kondisi eksisting dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial
Rancangan model pengendalian lingkungan variabel dalam subsistem ekologi, ekonomi&sosial
Analisis model dinamis
Kualitas air dan kualitas udara
Konsep pengendalian lingkungan kota baru
Analisis sosial Simulasi model dinamis Analisis kondisi ekonomi
Analisis kondisi ekologi
Analisis kondisi transportasi
Tidak valid Uji validasi dan sensitifitas model Skenario pengendalian lingkungan kota baru Valid
Analisis keberlanjutan Alternatif pengendalian lingkungan Analisis prospektif
Strategi kebijakan pembangunan kota baru yang berkelanjutan
Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Permukiman Menurut Undang-undang Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomor 1 Tahun 2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan dan perikehidupan dan penghidupan. Adapun yang dimaksud dengan tempat tinggal di sini adalah tempat tinggal untuk seseorang atau satu keluarga yang terdiri dari rumah dan pekarangannya, dengan demikian maka salah satu komponen permukiman adalah perumahan. Perumahan dan permukiman merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang, sehingga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya dan nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan bentuk manifestasi jati diri. Pada hubungan ekologis antara manusia dan permukimannya, kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan permukiman tempat tinggalnya. Pengembangan pembangunan perumahan dan permukiman juga diyakini mampu mendorong kegiatan industri yang berkaitan dengan bidang perumahan dan permukiman, sehingga penyelenggaraan perumahan dan permukiman sangat berpotensi dalam menggerakkan roda ekonomi dan upaya penciptaan lapangan kerja produktif. Bagi kebanyakan masyarakat golongan menengah ke bawah, rumah juga merupakan barang modal (capital goods), karena dengan asset rumah dapat dilakukan kegiatan ekonomi yang mendukung kehidupan dan penghidupannya. Oleh karena itu, maka permasalahan perumahan dan permukiman tidak dapat dipandang sebagai permasalahan fungsional dan fisik semata, tetapi lebih kompleks lagi sebagai persoalan yang berkaitan dengan semua dimensi kehidupan di dalam masyarakat. Sebenarnya upaya untuk merangkum pandangan-pandangan di atas telah dirumuskan secara konseptual dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang menyatakan bahwa perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
12 2.2. Kota Baru Perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang kegiatan utamanya bukan di sektor pertanian dengan susunan fungsi-fungsi kawasan permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Hal ini sesuai dengan pendapat Richardson (1977) yang mengatakan bahwa kota merupakan wilayah administratif yang ditetapkan oleh pemerintah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana lalulintas dan transportasi, dan kegiatan perekonomian utamanya adalah kegiatan perekonomian non pertanian. Menurut Gallion (1986) kota adalah wilayah geografis tertentu yang merupakan tempat terkonsentrasinya manusia, dan manusia-manusia tersebut melakukan berbagai kegiatan ekonomi. Berdasarkan definisi tersebut, maka perkotaan bisa dikatakan sebagai suatu ekosistem yang terbentuk oleh kegiatan manusia. Ekosistem kota sangat tergantung pada ekosistem lain dalam hal pemenuhan kebutuhan materi dan energi. Menurut azas lingkungan yang dikemukakan oleh Soeriaatmadja (1977) ekosistem yang kuat (mantap) akan mengeksploitasi ekosistem yang lebih lemah (tidak mantap). Oleh karena itu maka jika tidak ada aturan dan kebijakan yang baik, maka akan terjadi eksploitasi berbagai sumberdaya alam dari ekosistem pedesaan oleh ekosistem kota. Perkembangan wilayah perkotaan dan tingginya tingkat urbanisasi ke wilayah perkotaan menyebabkan meningkatnya kepadatan penduduk serta tingginya kebutuhan lahan hunian. Tingginya lahan hunian ini menjadi faktor penggerak utama terjadinya perkembangan wilayah pinggiran kota yang tidak terkendali, yaitu urban sprawl. Urban sprawl ini terjadi karena lambatnya langkah antisipatif perencanaan dan terbatasnya kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan prasarana dan sarana serta dalam pengendalian tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mendukung fungsi optimum pelayanan kepada masyarakat perkotaan. Terjadinya urban sprawl ini memunculkan berbagai permasalahan seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup dan kualitas hunian, tidak tertatanya fisik kota, terbatasnya kapasitas penyediaan pelayanan prasarana dan sarana dasar, munculnya masalah-masalah sosial ekonomi perkotaan seperti kesenjangan sosial, kriminalitas dan pengangguran.
13 Dalam beberapa waktu belakangan ini di dalam kota atau di sekitar kota, atau malah di lokasi hinterland perkotaan sering terbentuk kota baru baik yang sebelumnya memang sudah direncanakan, maupun yang tumbuh dengan sendirinya.
Visi
pengembangan perkotaan ini juga terlihat dari definisi kota baru yaitu kota yang sama sekali baru direncanakan dan dikembangkan dan dibangun pada suatu wilayah baru yang di dalamnya terkandung unsur-unsur tempat tinggal yang lengkap dengan berbagai prasarana dan sarana pelayanannya, tempat berkarya, tempat rekreasi serta prasarana penggerak dan sarana perhubungan (Golany, 1976).
Definisi tersebut, memberi
beberapa pengertian kota baru, yaitu (i) Kota yang lengkap, yang ditentukan, direncanakan dan dibangun di suatu wilayah yang belum terdapat konsentrasi penduduk, (ii) Kota yang dibangun lengkap dalam rangka meningkatkan kemampuan dan fungsi permukiman atau kota kecil yang telah ada di sekitar kota besar utama untuk membantu pengembangan dan mengurangi kota induk, (iii) Kota yang mandiri, mampu memenuhi pelayanan kebutuhan serta kegiatan usahanya sendiri atau sebagian besar penduduknya (self-contained new town), (iv) Lingkungan permukiman skala besar yang dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan perumahan di suatu kota besar secara fungsional umumnya masih bergantung pada kota induknya (dependent town). Kota baru ini dapat disamakan dengan “kota satelit” dari kota utama/kota inti. Menurut Urban Land Institute (ULI) kota baru merupakan suatu proyek pembangunan lahan yang luasnya mampu menyediakan unsur-unsur lengkap yang mencakup perumahan, perdagangan, industri, yang secara keseluruhan dapat memberikan kesempatan hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut. Pada kota baru terdapat spektrum jenis dan harga rumah lengkap, ruang terbuka bagi kegiatan pasif dan aktif yang permanen dan ruang terbuka yang melindungi kawasan tempat tinggal dan dampak kegiatan industri, pengendalian, dan estetika yang kuat. Oleh karena itu maka untuk keperluan pembangunan awal, diperlukan biaya dan investasi yang cukup besar (Sudjarto, 1993). Menurut Advisory Commission on Intergovernmental Relation (Sudjarto, 1993), kota baru adalah: •
Kota yang memungkinkan untuk menunjang berbagai jenis rumah tinggal dan kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi penduduk di dalam lingkungan itu sendiri.
14 •
Daerahnya dikelilingi jalur hijau yang menghubungkan secara langsung dari wilayah pertanian di sekitarnya juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi jumlah penduduk dan luas wilayahnya.
•
Dengan mempertimbangkan kendala dan limitasi yang ada dapat menentukan suatu proporsi yang peruntukan lahannya sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan, fasilitas, dan utilitas umum, serta ruang terbuka pada proses perencanaannya. Tujuan pembangunan kotabaru antara lain adalah untuk menampung kelebihan
jumlah penduduk yang tinggal di suatu kota induk yang sudah berkembang dan untuk menahan terjadinya perpindahan penduduk dari kota-kota sekitar kota induk yang telah berkembang. Tujuan lainnya adalah untuk mengembangkan wilayah sekitar kota induk, karena pembangunan kota baru merupakan bagian dari sistem perkotaan yang ditujukan untuk memantapkan fungsi kota serta keterkaitannya secara fungsional dan spasial agar dapat berfungsi optimal dalam penyediaan fasilitas sosial dan ekonomi, penyediaan kebutuhan perumahan dan fasilitas sosial ekonomi. 2.2.1. Beberapa Konsep dan Jenis Kota Baru Pada dasarnya berdasarkan masanya ada empat jenis kota baru yakni kota baru masa pra revolusi industri, kota baru masa revolusi industri, kota baru pasca revolusi industri dan kota baru masa kini. Ke-empat jenis kota baru ini mempunyai konsep pengembangan yang berbeda antara satu dengan lainnya, begitupun dengan tujuan pembentukan kota baru tersebut. Untuk lebih jelasnya jenis kota baru, konsep pengembangan dan tujuan pembentukan kota baru tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Menurut Soegijoko dan Tjahjati (1997), berdasarkan permasalahan kebutuhan dan perkembanganya, maka kota baru modern yang dikembangkan pada umumnya ada tiga jenis antara lain:
Kota baru yang dikembangkan sebagai suatu upaya penyelesaian masalah perkotaan dan internal yang berupa program rehabilitasi, peningkatan kualitas lingkungan, atau peremajaan bagian kota berskala besar yang sudah tumbuh dan berkembang.
Kedua suatu pembangunan skala besar dari suatu kota kecil sehingga memiliki kelengkapan setara kota.
Ketiga pembangunan secara desentralisasi melalui pengembangan permukiman baru setara kota baik yang khusus menyediakan perumahan yang umumnya berada di
15 wilayah pinggiran kota maupun pada lokasi yang berjarak dekat dengan kota induk atau suatu permukiman baru yang mandiri pada suatu wilayah yang sama sekali baru dibuka. Tabel 1. Konsep kota baru Masa Pengembangan Kota Baru Kota Baru masa Pra revolusi Industri
Konsep Perkembangan Kota Baru Invasi
Migrasi
Penguasaan
Kolonial
Eksploitasi Sumber daya alam Kota Baru masa revolusi Industri
Perkembangan teknologi Industrialisasi besarbesaran Urbanisasi
Tujuan Pembentukan Kota Baru Prestise kekuasaan pemerintahan Pertahanan tanah jajahn Kolonisasi Eksploitasi SDA Migrasi Industrialisasi Urbanisasi Kapitalisme Eksploitasi SDA dan Manusia
Ekonomi Kapitalistik Peningkatan Produktivitas Eksploitasi SDA dan Manusia Kota Baru pasca revolusi Industri
Industrialisasi dan urbanisasi Degradasi Kualitas kehidupan di Kota Industri Mengembalikan Kehidupan yang layak dan manusiawi
Kota Baru masa kini
Urbanisasi dan indutrialisasi Perkembangan metropolis dan wilayah metropolitan Degradasi kualitas kehidupan kota besar Perkembangan kota secara sporadis dan kontinu
Menghambat arus urbanisasi dan memperbaiki kualitas kehidupan Sumber: Sudjarto, 1993a;1993b.
Meningkatkan kualitas kehidupan yang manusiawi dengan landasan: Pembatsan kepadatan penduduk Pembentukan lingkungan yang layak dan mandiri Keserasian lingkungan sosisal dan lingkungan fisik Pengendalian penggunaan Keseimbangan kota desa Pemerataan pembangunan Menghambat urbanisasi Pemecahan masalah kebutuhan permukiman Pembangunan kota yang berwawasan lingkungan
16 Selanjutnya secara fungsional Soegijoko dan Tjahjati (1997) membagi berdasarkan ketiga jenis kotabaru dalam dua kategori berikut ini: 1. Kotabaru Penunjang, yakni kota baru yang tidak mempunyai kekuatan ekonominya sendiri, sehingga:
secara ekonomis dan fisik tergantung pada kota induknya.
kotabaru sebagai tempat tinggal, kommuter ke induk
pelayanan dari kota induk
jarak dengan kota induk 20 - 40 km
kota yang masuk kota baru penunjang adalah kota baru satelit, kotabaru dalam kota dan kawasan permukiman skala besar di kota induk
2. Kotabaru Mandiri, yakni kota baru yang secara ekonomis dan fisik memiliki kemandirian, sehingga merupakan kota baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan berkembang secara mandiri
berperan sebagai pusat pengembangan di suatu wilayah
penduduk bermukim dan mencari kehidupan di kotabaru
penduduk bukan “kommuter”
jarak dari kota induk ≥ 40 - 60 km
Kota yang termasuk ke dalam kota baru mandiri adalah kotabaru umum, kotabaru industri, kotabaru perusahaan (pertambangan, perkebunan), kota baru pusat pemerintahan dan kota baru instalasi khusus (militer, riset, universitas), 2.2.2 Konsep Kota Baru Berkelanjutan Konsep berkelanjutan merupakan konsep yang sederhana namun kompleks, sehingga pengertian keberlanjutan pun sangat multi-dimensi dan multi-interpretasi. Karena adanya multi-dimensi dan multi-interpretasi ini para ahli sepakat untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa “pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004). Selain definisi operasional di atas, Fauzi (2004) melihat bahwa konsep kota berkelanjutan dapat diidentikan dengan konsep keberlanjutan itu sendiri sehingga diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, yaitu:
17 1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidak seimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri 2. Keberlanjutan lingkungan, sistem yang berkelanjutan secara lingkungan harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi 3. Keberlanjutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik. Menurut Munasinghe (1993), pembangunan kota berkelanjutan mempunyai tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi, tujuan ekologi, dan tujuan sosial. Tujuan ekonomi terkait dengan masalah efisiensi dan pertumbuhan. masalah konservasi sumberdaya alam.
Tujuan ekologi terkait dengan
Tujuan sosial terkait dengan masalah
pengurangan kemiskinan dan pemerataan. Oleh karena itu, maka tujuan pembangunan berkelanjutan pada dasarnya terletak pada adanya harmonisasi antara tujuan ekonomi, tujuan ekologi, dan tujuan sosial. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka setidaknya pembangunan kota baru harus mengikuti peraturan dan tatanan yang berlaku, sehingga kaidah pembangunan kota berkelanjutan dapat dipenuhi untuk memperoleh model kebijakan dalam mewujudkan kota mandiri berkelanjutan. 2.3. Kebijakan Pengembangan Perkotaan Saat
ini
pembangunan
perkotaan
diupayakan
untuk
ditingkatkan
dan
diselenggarakan secara berencana dan terpadu dengan memperhatikan rencana tata ruang, pertumbuhan penduduk, lingkungan permukiman, lingkungan kerja, serta kegiatan ekonomi dan sosial lainnya, agar terwujud pengelolaan perkotaan yang efisien, dan tercipta lingkungan yang sehat, aman, dan nyaman. Sejalan dengan terjadinya pembangunan kota dan dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk yang ada di dalamnya, maka pembangunan perumahan dan permukiman di lokasi perkotaan pun
18 lebih ditingkatkan dan diperluas hingga dapat makin merata dan menjangkau masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun demikian pembangunan permukiman
tersebut, tetap memperhatikan rencana tata ruang dan keterkaitan serta keterpaduannya dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Kaitan dengan terjadinya pembangunan kota secara pesat ini, maka air, tanah dan lahan yang mempunyai nilai ekonomi dan fungsi sosial, pemanfaatannya perlu diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat melalui berbagai penggunaan, terutama untuk kepentingan permukiman, pertanian, kehutanan, industri, pertambangan, dan kelistrikan serta prasarana pembangunan lainnya. 2.4. Perkembangan Penduduk Perkotaan Hingga saat ini kota masih merupakan tempat tujuan untuk memperjuangkan harapan, oleh karena itu maka pertumbuhan penduduk di perkotaan lebih pesat dibanding di pedesaan. Hal ini dapat terjadi karena adanya: a. Pertumbuhan penduduk alamiah, yang berasal dari selisih antara jumlah penduduk yang dilahirkan dengan jumlah penduduk yang meninggal dunia. b. Migrasi penduduk yang merupakan selisih jumlah penduduk yang masuk ke suatu kota dengan jumlah penduduk yang pergi meninggalkan kota. c. Reklasifikasi status kawasan yakni perbedaan dalam definisi perkotaan antara satu sensus dengan sensus lain, selain itu juga terjadi karena adanya perluasan batas wilayah kawasan perkotaan atau berubahnya status kawasan dari pedesaan menjadi perkotaan. Diantara ketiga hal yang penyebab pertumbuhan penduduk perkotaan, yang pengaruhnya paling kecil adalah pertumbuhan penduduk secara alami; sedangkan faktor yang paling dominan dalam pertumbuhan penduduk perkotaan adalah migrasi dan reklasifiksi status kawasan. Hal ini terjadi karena ada faktor pendorong dan faktor penarik yang menyebabkan masyarakat melakukan migrasi menuju perkotaan. Adapun yang dimaksud dengan faktor pendorong di sini adalah kekuatan dari luar perkotaan (kekuatan eksternal), sedangkan faktor penarik adalah kekuatan yang berasal dari dalam perkotaan itu sendiri (kekuatan internal).
Ada berbagai kekuatan eksternal yang
mempengaruhi perkembangan perkotaan, salah satu diantaranya adalah urbanisasi berupa migrasi penduduk perdesaan ke kawasan perkotaan akibat sektor pertanian tidak
19 mampu lagi menyediakan lapangan kerja. Faktor eksternal ini diperkuat oleh faktor internal berupa ketersediaan infrastruktur yang relatif lengkap dan ketersediaan moda angkutan yang relatif mudah dan murah, yang mengakibatkan konsentrasi kegiatan ekonomi di perkotaan semakin besar; sehingga semakin memperkuat dalam menarik penduduk pedesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Hal ini tentu saja akan semakin memicu terjadinya reklasifikasi kawasan dalam bentuk perluasan wilayah kota dan munculnya kawasan perkotaan baru. Untuk lebih jelasnya perkembangan penduduk perkotaan dapat dilihat pada Gambar 3.
300 250 200
Jumlah Penduduk Kota (Juta)
150 100 50
Tahun
0
1980
1990
2000
2010
2015
Penduduk Kota
32.85
54.06
85
117.5
150
Penduduk Nasional
147.09
182.1
207.32
228.66
250
Gambar 3. Perkembangan penduduk perkotaan Sumber: Hasil Sensus Penduduk 1980-2010 (Badan Pusat Statistik)
Perkembangan kawasan perkotaan pada umumnya akan terjadi apabila di wilayah perkotaan dan wilayah sekitarnya terjadi perubahan penggunaan lahan. Contoh untuk hal ini adalah wilayah Jabodetabek pada kurun waktu 1992-2001, dalam hal ini pada kurun waktu tersebut terjadi penurunan luasan lahan hutan dan pertanian kurang-lebih 19% (Djakapermana, 2004). Terjadinya penurunan luasan lahan hutan dan pertanian tersebut diduga karena adanya alih fungsi dari kawasan hutan dan pertanian menjadi lahan yang kurang dapat menyerap air dan mengakibatkan meluasnya lahan terbuka dan kawasan permukiman yang luasnya mecapai 13,70%. Kondisi ini pada akhirnya akan memperbesar terjadinya run off yang dapat mengakibatkan sering terjadinya banjir. Adapun sisa lahan yang tidak digunakan untuk permukiman (sebesar 4,99%) merupakan
20 lahan bervegetasi campuran dan lahan lainnya, yang diduga akan memperbesar terjadinya run off . Meningkatnya penggunaan lahan permukiman berkaitan dengan perkembangan perkotaan, telah melahirkan banyak perumahan baru, baik berskala kecil maupun berskala besar (Hidayat, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa pembangunan permukiman skala besar (>500 ha) mulai terjadi pada tahun 1990-an, yang tidak lain merupakan era mulai dibangunnya kota-kota baru oleh pengembang swasta. Dibangunnya beberapa kawasan perumahan di wilayah perkotaan, mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, karena lahan tersebut dijadikan
kawasan
perumahan, sebagai contoh perubahan yang terjadi di wilayah Jabodetabekjur yang dapat dilihat pada Tabel 2. Adapun lokasi perumahan, luasnya serta pengembang yang membangunnya di lokasi tersebut dan kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di Wilayah Jabotabekjur dapat dilihat pada Tabel 3. Aktivitas penduduk perkotaan (rumah tangga, industri, transportasi, perdagangan dan lain-lain) menghasilkan berbagai macam limbah. Namun padatnya penduduk yang ada diperkotaan mengakibatkan melimpahnya sampah dan limbah cair yang ada di perkotaan (The Study on Urban Drainage and Waste Water Disposal Project In The City of Jakarta, 1990) sebagai contoh, sampah rumah tangga di DKI Jakarta mencapai 70% dari seluruh sampah yang dihasilkan dan jumlahnya tidak kurang dari dari 12.000m3 (Sutjahjo et al., 2005). Melimpahnya sampah ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah materi (berupa limbah/sampah) yang perlu diproses dengan kemampuan decomposer dalam memprosesnya. Akibatnya maka proses dekomposisi tidak dapat berlangsung sempurna, sehingga dari bahan organik akan dihasilkan berbagai gas beracun dan berbagai bahan yang akan mencemari lingkungan (Martin et al., 1985). Limbah itu sebagian masuk ke badan air dan terjadi akumulasi bahan pencemar. Kemampuan alam untuk memurnikan air sangat terbatas dan membutuhkan waktu yang sangat lama (Riani et al., 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa perkembangan perkotaan yang pesat, menyebabkan kemampuan badan air untuk memurnikan limbah menjadi semakin rendah, akibatnya terjadi pencemaran berat di beberapa badan air yang melewati daerah perkotaan.
21 Tabel 2. Perubahan penggunaan lahan di Wilayah Jabodetabek tahun 1992-2001 No. 1 2 3
Jenis penggunaan Lahan Lahan terbuka Lahan pertanian Lahan bervegetasi campuran Hutan Permukiman Lahan lainnya Jumlah
4 5 6
Tahun 1992 (Ha) (%)
Tahun 2001 (Ha) (%)
Perubahan (%)
142.718,90 104.186,40
19,94 14,55
169.276,80 104.108,90
23,65 14,54
+ 3,71 - 0,01
179.614,70
24,67
183.534,80
25,64
+ 0,97
197.792,00 68.169,24 26.351,64 715.832,90
27,63 9,52 3,68 100,00
64.084,14 139.684,10 55.144,35 715.832,90
8,95 19,51 7,70 100,00
- 18,68 + 9,99 + 4,02
Sumber: Djakapermana,2004
Tabel 3. Beberapa kawasan permukiman skala besar (>500 Ha) di Wilayah Jabotabekjur No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama Lipo Cikarang* Cikarang Baru* Kota Legenda (Bekasi 2000)* Harapan Indah* Bukit Jonggol Asri* Citra Indah* Kota Taman Metropolitan* Kota Wisata* Bukit Sentul* Rancamaya* Kota Cileungsi* Resort Danau Lido* Taruma Resort* Talaga Kahuripan* Maharani Citra Pertiwi * Kotabaru Tigaraksa * Puri Jaya * Citra Raya * Lippo Karawaci* Gading serpong * Bintaro Jaya * Bumi Serpong Damai* Pantai Indah Kapuk* Bukit Harmoni Kota Bunga Green Apple Village Mutiara Depok Depok Asri
Keterangan : **= tidak ada data. Sumber : * Hidayat (2005)
Luas (Ha) 5000 2000 2000 800 30000 1000 600 1000 2000 550 2000 1700 1100 750 1679 3000 7145 3000 2000 1500 2321 6000 800 ** ** ** ** **
Lokasi Kab. Bekasi Kab. Bekasi Kab & Kodya Bekasi Kab. Bekasi Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab.Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Bogor Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang Kab. Tangerang DKI Jakarta Cianjur Cianjur Cianjur Depok Depok
22 Besarnya beban pencemaran pada air dapat dicermati dari kualitasnya. Kualitas air dibagi menjadi empat kelas, yaitu: a. Kelas I dapat digunakan sebagai bahan baku air minum; b. Kelas II dapat digunakan untuk prasarana dan sarana rekreasi air dan perikanan; c. Kelas III dapat digunakan untuk pertanian dan budidaya ikan air tawar; d. Kelas IV untuk mengairi pertamanan. Berdasarkan pembagian segmennya, kualitas badan air, dalam hal ini sungai menjadi beberapa kelas. Sebagai contoh klasifikasi di Sungai Ciliwung berkisar dari kelas II hingga kelas IV. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4 (Kompas, 18 November 2005). Tabel 4. Kualitas air Sungai Ciliwung Segmen 1 2 3 4. 5.
Lokasi Cisarua kabupaten Bogor Kota Bogor Cibinong Kabupaten Bogor Kota Depok DKI Jakarta
Kualitas air Kelas II Kelas IV Kelas III Kelas IV Tidak masuk pada kelas manapun
Sumber : KLH (Kompas 18 November 2005)
Tabel 4 memperlihatkan bahwa kualitas air di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dan Depok buruk (kulitas IV), dan hanya layak untuk dipakai mengairi pertamanan, atau tidak layak untuk bahan baku air minum. Bahkan di DKI Jakarta kualitas air Sungai Ciliwung sangat buruk, sehingga tidak layak untuk pertamanan sekalipun.
Kualitas air Sungai Ciliwung yang buruk di wilayah perkotaan diduga
berkaitan dengan besarnya limbah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Berdasarkan data dari Urban and Regional Development Institute (URDI), di wilayah Bodetabek, sampah yang dapat dikelola hanya 20 -30 % dari total volume produksi sampah per hari, sisanya dibuang ke sungai, selokan atau kanal (URDI, 2000 dalam Djakapermana, 2004). 2.5. Kebijakan Kebijakan (policy) adalah suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu, yang dikaitkan dengan pertanyaan yang harus dijawab dan juga harus dihubungkan dengan institusi atau lembaga yang diamati atau dipelajari. Kebijakan merupakan keputusan
23 tetap yang dicirikan konsistensi dan pengulangan perilaku dalam rangka memecahkan persoalan dan mematuhi keputusan yang telah ditetapkan (Jones, 1984).
Dengan
demikian, kebijakan bersifat dinamis, sebagai akibat adanya konsistensi dan pengulangan perilaku untuk memecahkan masalah umum. Menurut Davis et al. (1993) kebijakan tidak berdiri sendiri (single decision) tetapi merupakan bagian dari proses antar hubungan. Kebijakan merupakan salah satu alat pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran. Oleh karena itu maka pembuatan kebijakan harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan tepat. Karena pembuatan kebijakan yang dilakukan dengan sekedarnya akan menghasilkan kebijakan yang tidak tepat. Menurut Caiden (1971) kesulitan membuat kebijakan yang tepat disebabkan oleh sulitnya mendapatkan informasi yang cukup, sehingga sulit disimpulkan. Selain itu juga dapat disebabkan oleh adanya berbagai macam kepentingan pada setiap sektor dan instansi, adanya umpan balik keputusan bersifat sporadis, dan pembuat kebijakan tidak terlalu faham dengan perumusan kebijakan.
Oleh karena itu untuk terciptanya
kebijakan yang tepat (appropriateness), pemerintah harus bekerja secara seksama mulai dari membuat rancangan atau rencana kebijakan, formulasi rencana kebijakan, pelaksanaan di lapangan, dan proses evaluasi sebagai umpan balik terhadap proses rancangan kebijakan. Dalam proses kebijakan itu sendiri diberikan seperangkat metode, strategi dan teknik dalam penyusunan kebijakan dengan melibatkan semua pihak terkait. Agar tercapai keinginan, tujuan dan sasaran. Kebijakan dapat berbentuk negatif seperti larangan atau berbentuk positif seperti pengarahan untuk melaksanakan atau menganjurkan. Menurut Rees (1990), pelaksanaan kebijakan formal sangat tergantung pada bagaimana kebijakan itu diinterpretasikan, diimplementasikan dan diberlakukannya keputusan tersebut kepada masyarakat. Dalam implementasinya supaya kebijakan yang dibuat tampak sangat dinamis, maka penyusunan kebijakan sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh wewenang yang diberikan oleh badan eksekutif, bagaimana karakteristik badan eksekutif, metode apa yang digunakan untuk menggunakan sumberdaya alam dan peraturan apa yang digunakan untuk memanfaatkan sumberdaya alam tersebut. Prinsip-prinsip pembuatan kebijakan yang ideal harus mengikuti tahapan (Rees, 1990). Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan juga seringkali tampak irasional, karena kebijakan yang diterima suatu masyarakat belum tentu dapat diterima oleh masyarakat
24 yang lain. Oleh karena itu kebijakan perlu diformulasikan sedemikian rupa sesuai dengan fungsinya sebagai pengarah, penyelia dan sekaligus sebagai kontrol kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pelaku kebijakan. Menurut Abidin (2002) pemilihan kebijakan yang baik dan tepat akan terjadi apabila memenuhi kriteria: 1. Efektifitas (efectiveness), mengukur apakah pemilihan sasaran dapat menghasilkan tujuan akhir yang diinginkan. Oleh karena itu maka strategi kebijakan yang dipilih idealnya dilihat dari kapasitasnya dalam memenuhi tujuan dalam rangka memecahkan masalah yang ada di masyarakat. 2. Efisiensi (economic rationality), mengukur besarnya pengorbanan atau ongkos yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan atau efektifitas tertentu; 3. Cukup (adequacy), mengukur pencapaian hasil yang diharapkan dengan sumberdaya yang ada; 4. Adil (equity), mengukur hubungan dengan penyebaran atau pembagian hasil dan ongkos atau pengorbanan diantara berbagai pihak dalam masyarakat; 5. Terjawab (responsiveness), dapat memenuhi kebutuhan atau dapat menjawab permasalahan tertentu dalam masyarakat; 6. Tepat (appropriateness), merupakan kombinasi dari kriteria yang disebutkan sebelumnya. 2.6. Analisis dan Proses Kebijakan Analisis mengandung tujuan dan relasi yang berbeda dengan proses kebijakan. Jenis analisis kebijakan terdiri dari rangkaian aktivitas pada spektrum pengetahuan dalam proses kebijakan, pengetahuan untuk proses kebijakan dan pengetahuan tentang proses kebijakan. Parsons (2005) secara definitif menetapkan variasi ini di sepanjang sebuah kontinum seperti disajikan dalam Gambar 4. Analisis Kebijakan
1
2
Analisis Determinasi Kebijakan
Analisis Isi Kebijakan
Analisis untuk Kebijakan
3 Monitoring dan Evaluasi Kebijakan
4 Informasi untuk Kebijakan
Gambar 4. Variasi analisis kebijakan Sumber: Parsons, 2005
5 Advokasi Kebijakan
25 Gambar 4 di atas menerangkan bahwa dalam analisis kebijakan mencakup determinasi kebijakan dan isi kebijakan. Determinasi kebijakan ini adalah analisis yang berkaitan dengan cara pembuatan kebijakan, mengapa, kapan dan untuk siapa kebijakan tersebut dibuat. Adapun isi kebijakan adalah analisis yang mencakup deskripsi tentang kebijakan tertentu dan bagaimana kebijakan tersebut berkembang dalam hubungannya dengan kebijakan sebelumnya. Analisis isi kebijakan ini bisa juga didasari oleh informasi yang disediakan oleh kerangka nilai teoritis yang mencoba memberikan kritik terhadap kebijakan. Monitoring dan evaluasi kebijakan adalah analisis yang bertujuan untuk mengkaji bagaimana kinerja kebijakan dengan mempertimbangkan tujuan kebijakan, dan apa dampak kebijakan terhadap suatu persoalan tertentu.
Variasi
terakhir dari kontinum di atas adalah analisis untuk kebijakan yang mencakup advokasi kebijakan berupa riset dan argumen yang dimaksudkan untuk mempengaruhi agenda kebijakan di dalam dan atau di luar pemerintahan. Informasi untuk kebijakan adalah analisis yang bertujuan untuk memberi informasi bagi aktivitas pembuatan kebijakan, sehingga bisa berbentuk anjuran atau riset eksternal/internal yang terperinci tentang aspek kualitatif dan judgemental dari suatu kebijakan. Menurut Quade (1976) analisis kebijakan terkait erat dengan penggunaan beragam teknik untuk rneningkatkan atau merasionalkan proses pembuatan kebijakan misalnya, mengekspresikan pandangan bahwa tujuan utama analisis ini adalah untuk membantu pembuat keputusan dalam membuat pilihan yang lebih baik ketimbang yang dibuat pihak lain. Dengan demikian maka analisis ini berhubungan dengan manipulasi efektif dunia nyata. Ada tiga tahap yang harus dilalui oleh analisis ini yakni pertama, penemuan, yaitu usaha untuk menemukan alternatif yang memuaskan dan terbaik di antara alternatif-alternatif yang tersedia; kedua penerimaan, yakni mengupayakan agar temuan itu bisa diterima dan dimasukkan ke dalam kebijakan atau keputusan; ketiga implementasi, yakni menerapkan keputusan kebijakan tanpa ada perubahan terlalu banyak, namun dapat membuat alternatif tersebut menjadi tidak memuaskan. Pada dasarnya ada tiga jenis analisis kebijakan yaitu analisis kebijakan yang bersifat prospektif yang menganalisis tentang kebijakan yang berlangsung sebelum aksi kebijakan.
Analisis
ini
meliputi
tahap-tahap
identifikasi
masalah,
prakiraan, identifikasi alternatif-alternatif strategis kebijakan, pilihan dan rekomendasi kebijakan. Kedua, analisis kebijakan restrospektif yaitu analisis yang dilakukan sesudah
26 aksi kebijakan. Analisis ini digunakan untuk menilai sesudah dilakukan aksi kebijakan atau menilai proses pelaksanaan dan hasilnya, contoh dari analisis ini adalah monitoring dan evaluasi.
Jenis analisis ketiga, adalah integrasi dan analisis prospektif dan
restrospektif.
Analisis ini dapat dilakukan baik sebelum aksi kebijakan maupun
sesudah dilakukan aksi kebijakan (Dunn, 1998). Menurut Abidin (2002) agar pada setiap tahap analisis memberikan hasil yang relevan, maka identifikasi masalah idealnya harus dapat menghasilkan informasi tentang rumusan masalah, prakiraan memberikan gambaran masa depan yang masuk akal, dan masa depan yang dikehendaki. Identifikasi alternatif memberikan informasi tentang strategi pemecahan masalah. rekomendasi
Pilihan strategis akan menghasilkan informasi
untuk dimanfaatkan oleh yang berwenang, sehingga pada akhirnya
menghasilkan aksi kebijakan. Monitoring akan menghasilkan informasi tentang proses pelaksanaan dalam hubungan dengan kinerja pada setiap waktu, sedangkan evaluasi kebijakan akan memberi informasi tentang dampak secara keseluruhan akibat diterapkannya suatu kebijakan. Selanjutnya dikatakan bahwa dari ketiga analisis kebijakan di atas, jenis informasi dan bentuk kebijakan pada setiap jenis kebijakan dapat dibeda-bedakan. Untuk lebih jelasnya perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Menurut Dunn (1998) metoda analisis kebijakan menyediakan informasi yang berguna untuk menjawab lima pertanyaan. Adapun pertanyaan tersebut adalah apa hakekat permasalahannya, kebijakan apa yang pernah ada atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya dan seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah, alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab, dan hasil apa yang dapat diharapkan. Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut akan membuahkan informasi tentang masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan dan kinerja kebijakan. Tabel 5. Jenis informasi pada setiap jenis kebijakan No.
Jenis kebijakan
Jenis informasi
1.
Prospektif
Prediksi
Evaluasi
Preskripsi
-
2.
Retropspektif
Deskripsi
Evaluasi
-
-
3.
Integratif
Deskripsi
Prediksi
Evaluasi
Preskripsi
Sumber : KLH (Kompas 18 November 2005)
27 Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Perumusan masalah (definisi) menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan. Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu. Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu permasalahan.
Pemantauan (deskripsi)
menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan. Evaluasi akan menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan atau pengentasan masalah. Kelima prosedur analisis tersebut disajikan pada Gambar 5. 2.7. Pelestarian dan Degradasi Lingkungan Menurut Undang-undang No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Daya dukung
lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan mahluk hidup, dan daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan kedalamnya. Daya tampung lingkungan juga disebut daya lenting yaitu kemampuan suatu sistem untuk pulih setelah terkena gangguan (Sumarwoto, 1989).
Semakin tinggi daya
tampungnya, maka semakin besar pula daya dukungnya. Daya dukung dinyatakan dalam jumlah maksimum mahluk yang dapat didukung dalam suatu lingkungan atau daerah tertentu tanpa adanya degradasi sumber daya alam yang dapat menurunkan populasi maksimumnya di masa datang (Odum, 2004). Degradasi sumber daya alam dapat terjadi secara alami maupun oleh kegiatan manusia. Pencemaran oleh sampah dan air limbah domestik maupun industri berhubungan dengan pengelolaan lahan perkotaan dan industri yang tidak memadai (Barrow, 1991).
28
Kinerja Kebijakan
Evaluasi
Peramalan
Perumusan masalah
Hasil Kebijakan
Perumusan masalah
Masalah Kebijakan
Perumusan masalah
Masa Depan Kebijakan
Perumusan masalah
Pemantauan
Rekomendasi
Aksi Kebijakan
Gambar 5. Analisis kebijakan yang berorientasi pada ada masalah Sumber: Dunn, 1998
2.8. Pengelolaan gelolaan Sumberdaya Lahan dan Tata Ruang Terjadinya pertambahan ertambahan jumlah penduduk disertai dengan perkembangan kota dan desa menyebabkan penggunaan lahan menjadi bersaing. Bahkan llahan pertanian yang subur, akan mendapat ancaman dan tekanan yang lebih besar karena akan digunakan untuk perluasan luasan fasilitas f atau sarana dalam memenuhi ke kebutuhan umum seperti perumahan, jalan raya, pasar dan lapangan terbang (Sitorus, 2004). Untuk itu maka perencanaan pengembangan sumberdaya lahan (land ( and resource development planning)) merupakan hal penting dalam dalam pemanfaatan sumberdaya lahan berkelanjutan. Perencanaan erencanaan penggunaan lahan adalah merencanakan penggunaan lahan lingkungan hidup manusia mulai dari skala kecil sampai skala besar. Tujuannya agar penggunaan sumberdaya lahan dapat dilakukan secara intensif dan efisien secara berkesinambungan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soil Conservation Society ciety of America (1982) bahwa perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan (status), potensi dan pembatas-pembatas pembatas dari suatu daerah aerah tertentu dan sumberdayanya, yang berinteraksi dengan penduduk setempat atau dengan orang yang menaruh perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan kebutuhan mereka, keinginan dan aspirasinya untuk masa yang akan datang.
Adapun fungsi ungsi utama pe perencanaan
penggunaan lahan adalah untuk memberikan pengarahan dalam proses pengambilan keputusan tentang penggunaan lahan, lahan sehingga sumberdaya lahan dan lingkungan
29 ditempatkan pada penggunaan yang paling menguntungkan bagi manusia, sekaligus mengkonservasinya untuk penggunaan di masa yang akan datang (Sitorus, 2004). Menurut Sitorus (2004) dalam operasionalnya perencanaan penggunaan lahan bertujuan untuk (1) mencegah penggunaan lahan yang salah tempat dalam mengupayakan terciptanya penggunaan lahan yang optimal, (2) mencegah adanya salah urus
yang
menyebabkan
lahan
rusak,
sehingga
penggunaan
lahan
tidak
berkesinambungan, (3) mencegah adanya tuna kendali dalam mengupayakan penggunaan lahan yang senantiasa diserasikan oleh adanya kendali, (4) menyediakan lahan untuk keperluan pembangunan yang terus meningkat, dan (5) memanfaatkan lahan sebesar-besarnya untuk kemakmuran manusia. Menurut Sitorus (2004) pengelolaan diartikan sebagai upaya sadar dan terpadu untuk mencapai suatu tujuan yang disepakati bersama. Dalam konteks lingkungan, pengelolaan lingkungan dapat diartikan sebagai upaya terpadu untuk mengembangkan strategi untuk menghadapi, menghindari dan menyelesaikan penurunan kualitas lingkungan dan untuk mengorganisasikan program-program pelestarian lingkungan dan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas lahan tersebut secara berkelanjutan. Pada dasarnya terdapat dua fungsi dalam pengelolaan sumberdaya lahan secara garis besar, yaitu (1) tujuan fisik yang dinyatakan atau diukur dalam satuansatuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain dan dinyatakan dalam satuansatuan volume atau berat dari hasil yang diperoleh, dan (2) tujuan ekonomis, yakni diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum. Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur, yang dalam sistem pengelolaan lahan harus dilihat sebagai suatu deretan unsur yang satu sama lain saling mengisi, yaitu: (1) Perencanaan penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, (2) Tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3)
Menyiapkan tanah dalam
keadaan olah yang baik, (4) Menggunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, dan (5) Menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi pertumbuhan tanaman. Lal dan Pierce (1991) menyatakan bahwa manajemen sumberdaya lahan di masa depan harus mampu: (1) mempertahankan dan memperbaiki kualitas sumberdaya lahan,
30 (2) memberikan kontribusi positif terhadap perbaikan kualitas sumberdaya lahan, air dan udara, serta (3) menyediakan kebutuhan makanan dan serat secara ekonomis dan sosial. Lebih lanjut dikatakan bahwa prinsip manajemen di masa depan adalah mengelola lahan dalam ruang (space) dan waktu (time). Dalam kerangka ini diusulkan tiga prinsip manajemen spesifik yaitu: (1) berusaha tani dengan soilscape (tanah dan landscape), (2) mengelola zona di lapangan, dan (3) mengelola periode bera/tidak ditanami (non crop). Masalah yang sering terkait dengan tata ruang adalah ketidaktaatan azas (inconsistencies) antara rencana tata ruang wilayah (RTRW) dengan apa yang terjadi dalam pelaksanaannya. Sesungguhnya RTRW dimaksudkan sebagai alat koordinasi pembangunan sektor, artinya pembangunan sektor-sektor harus
mengacu kepada
RTRW. Menurut Djakapermana (2004) penataan ruang mencakup proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang dibedakan atas hirarki rencana yang meliputi rencana tata ruang wilayah (RTRW) Nasional, provinsi, kabupaten dan kota. Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan. Pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW. Penataan ruang bertujuan agar pemanfaatan ruang menjadi berwawasan lingkungan, pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budidaya dapat terlaksana, dan pemanfaatan ruang yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang ini juga dilakukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya. 2.9. Pencemaran Semakin meningkatnya kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula tingkat pencemaran (Fardiaz, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa pencemaran akan terjadi baik di perairan, udara maupun tanah. Pada pencemaran perairan seperti pada sungai, secara alamiah, sungai dapat tercemar pada daerah permukaan saja. Pada sungai yang besar dengan arus air yang deras, sejumlah bahan pencemar akan mengalami pengenceran sehingga tingkat pencemaran menjadi sangat rendah, namun pada sungai yang arusnya lemah dan pergantian airnya tidak banyak, seringkali mengalami
31 pencemaran yang berat sehingga air mengandung bahan pencemar yang cukup tinggi. Selain itu arus yang lemah juga mengakibatkan terjadinya penurunan kadar oksigen terlarut. Menurut Odum (1971) pencemaran adalah perubahan sifat-sifat fisik, kimia maupun biologi yang tidak dikehendaki yang dapat terjadi baik pada udara, tanah maupun air. Menurut Sutamihardja (1982) berdasarkan sumbernya bahan pencemar atau zat pencemar terbagi menjadi dua, yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal dari kegiatan manusia. Ada berbagai parameter yang merupakan penanda bahwa suatu perairan telah tercemar.
Namun demikian indikator pencemaran air yang umum dilihat dapat
diketahui melalui: perubahan suhu, pH, warna, bau dan rasa air, timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut, jumlah padatan, nilai BOD, COD, mikroorganisme, kandungan minyak, logam berat dan meningkatnya radioaktivitas air lingkungan (Manahan, 2002). Bahan buangan (limbah) dikelompokkan sebagai berikut: limbah padat, limbah organik, limbah anorganik, limbah olahan bahan makanan, limbah cairan berminyak, limbah zat kimia, dan limbah berupa panas. Pada dasarnya perairan tidak memiliki batas-batas yang jelas, sehingga pencemaran air dapat berakibat sangat luas (Sutamihardja 1982). Selanjutnya dikatakan bahwa terjadinya pencemaran (perubahan-perubahan) tersebut sebagian besar berasal dari aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, baik di darat maupun di pesisir. Keadaan demikian juga dipengaruhi pula oleh adanya pergerakan massa air, angin dan arus yang terjadi di perairan atau di perairan laut terjadi di sepanjang pantai. Aktivitas manusia merupakan sumber terbesar dari pencemaran, karena itu pengendaliannya harus dilakukan dengan mengendalikan aktivitas manusia itu sendiri, di samping pengendalian sumber-sumber pencemar yang berasal dari aktivitas alam seperti banjir, tanah longsor dan lain-lain.
Beberapa sumber pencemar dapat pula
berasal dari aktivitas alam (terjadi secara alami) seperti letusan gunung berapi dan angin ribut. Khusus untuk terjadinya pencemaran alami, sangat sulit untuk menghindarinya. Pada umumnya pencemaran di negara berkembang seperti halnya Indonesia paling banyak beasal dari kegiatan industri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ElFadel et al. (2001) yang memperlihatkan bahwa industri-industri di negara berkembang seperti Lebanon menghasilkan limbah padat sebanyak 346.730 ton/tahun, limbah cair
32 sebanyak 20.169.600 m3/tahun, dan limbah B3 sebanyak 3000 - 15000 ton/tahun. Meskipun pertumbuhan sektor industri di Lebanon memberi kontribusi secara signifikan terhadap perkembangan sosial- ekonomi negara tersebut (17% dari produk domestik kasar), tetapi tanpa adanya rencana pengelolaan lingkungan yang komprehensif, maka keberlanjutan perkembangan industri tidak dapat mencapai millenium yang akan datang. Antisipasi ekspansi industri diperkirakan akan meningkatkan dampak negatif lingkungan yang berkaitan dengan aktivitas industri akibat peningkatan volume limbah serta penanganan dan pembuangan limbah yang tidak tepat. Dampak-dampak negatif ini kemudian diperparah dengan kurangnya kerangka institusi, minimnya hukum lingkungan, dan kurangnya pemberdayaan peraturan tentang pengelolaan limbah industri. Pertumbuhan populasi yang pesat, serta perkembangan teknologi dan industri yang cepat mengakibatkan sejumlah besar masalah dan degradasi lingkungan, oleh karenanya diperlukan perhatian yang sangat serius terhadap kerusakan lingkungan tersebut. Menurut Najm et al. (2002) adanya perhatian yang terus meningkat terhadap lingkungan serta pemulihan materi dan energi secara berangsur-angsur telah relatif dapat mengubah orientasi pengelolaan dan perencanaan limbah padat.
Selanjutnya
Najm et al. (2002) memperkenalkan model pengelolaan limbah padat hemat biaya yang berkelanjutan dengan memperhitungkan laju penambahan limbah padat, komposisi, pengoleksian, perlakuan, pembuangan serta dampak lingkungan potensil dari berbagai teknik pengelolaan limbah padat. Khusus untuk limbah cair juga harus diperhatikan secara seksama, untuk itu Al Yaqout (2003) memberikan solusi bagi pembuangan limbah cair industri di Kuwait yang memiliki iklim kering dengan membuat kolam evaporasi.
Namun demikian menurut Muthukumaran1and Ambujam (2003)
pengumpulan dan penanganan limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang sedang berkembang seperti India. Mengingat limbah cair perkotaan merupakan masalah kritis pada negara yang sedang berkembang, maka Nhapi (2004) menyarankan bahwa untuk mengontrol muatan pencemaran dan untuk menghilangkan kontaminan yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun (khususnya pengurangan aliran nutrien ke dalam danau) di Danau Chivero, India, diperlukan pendekatan strategi tiga tahapan untuk pengelolaan air limbah. Tahapan pendekatan ini meliputi: 1) pencegahan/penurunan pencemaran pada
33 sumber, 2) treatment air penggunaan ulang, dan 3) pembuangan dengan stimulasi kapasitas purifikasi alami dari badan air penerima limbah. Ketiga tahapan ini harus dilakukan secara berurutan.
Lebih lanjut Nhapi (2004) menjelaskan bahwa
pendekatannya difokuskan kepada pengolahan air limbah dan penggunaan ulang air danau secara desentralisasi dan sentralisasi. Aggregasi dari pilihan-pilihan tahapan ini menghasilkan solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Selain itu, hasil pengolahan tertier aliran buangan yang dibuang ke dalam Danau Chivero dapat juga mengurangi masa retensi hidraulik sampai kurang dari lima tahun, sehingga meningkatkan pencucian nutrien. Oleh karena itu Nhapi (2004) menyimpulkan bahwa masalah kualitas dan kuantitas air Danau Chivero dapat dikurangi secara signifikan melalui peningkatan pengelolaan air limbah yang dipadukan dengan pengendalian sumber pencemaran baik yang bersifat point sources maupun non-point sources. 2.10. Pembangunan Berkelanjutan Konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini dengan tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan mencakup upaya memaksimumkan net benefit dari pembangunan ekonomi yang berhubungan dengan pemeliharaan jasa dan kualitas sumberdaya alam setiap waktu. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi tidak hanya mencakup peningkatan pendapatan per kapita riil, tetapi juga mencakup elemen-elemen lain dalam kesejahteraan sosial (Pearce dan Turner, 1990). Hal ini sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang dikemukakan oleh Serageldin (1994) yakni pembangunan yang memungkinkan generasi sekarang dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesempatan generasi yang akan datang untuk meningkatkan kesejahteraannya. Oleh karena itu maka konsep pembangunan berkelanjutan adalah mengintegrasikan tiga aspek kehidupan (ekonomi, sosial dan ekologi) dalam satu hubungan yang sinergis, sehingga makna keberlanjutan dalam konsep tersebut juga didefinisikan sebagai keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan. Pada beberapa dekade terakhir, konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable development) semakin sering digunakan oleh banyak negara di dunia untuk mengimplementasikan kebijakan pembangunan baik pada level nasional maupun
34 internasional. Keberlanjutan (sustainability) saat ini telah menjadi elemen inti (core element) bagi banyak kebijakan pemerintah negara-negara di dunia dan lembagalembaga strategis lainnya. Menurut Khanna et al. (1999) pembangunan keberlanjutan berimplikasi pada keseimbangan dinamik antara fungsi maintenance (sustainability) dan transformasi (development) dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Menurut Cornelissen et al. (2001) sustainability memiliki implikasi pada dinamika pembangunan yang sedang berlangsung dan dikendalikan oleh ekspektasi tentang berbagai kemungkinan di masa yang akan datang. Untuk memulai dan memantau pelaksanaan pembangunan berkelanjutan diperlukan kerangka kerja terstandardisasi (standardized framework) yang terbagi dalam empat tahap, yaitu: 1. Mendeskripsikan permasalahan sesuai dengan konteksnya; 2. Mendeterminasi permasalahan dengan context-dependent pada dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial; 3. Menterjemahkan permasalahan ke dalam indikator keberlanjutan yang terukur; 4. Menilai kontribusi indikator-indikator tersebut pada pembangunan berkelanjutan secara menyeluruh. Menurut Khanna et al. (1999) perencanaan pembangunan berkelanjutan perlu mempertimbangkan secara mendalam adanya trade-off antara level produksi-konsumsi dengan kapasitas asimilasi ekosistem. Sesuai dengan konsep daya dukung (carrying capacity), peningkatan kualitas hidup hanya bisa dilakukan apabila pola dan level produksi-konsumsi memiliki kompatibilitas dengan kapasitas lingkungan biofisik dan sosial. Melalui proses perencanaan berbasis daya-dukung (carrying capacity-based planning process) kondisi ini bisa dicapai dengan mengintegrasikan ekspektasi sosial dan kapabilitas ekologi ke dalam proses pembangunan.
Dalam perencanaan
pembangunan berkelanjutan, Khanna et al. (1999) menambahkan bahwa ekonomi dipandang sebagai sebuah subsistem dari sebuah ekosistem regional. Tidak mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak terbatas. Dalam perspektif makroekonomi, hal ini berarti bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi harus selalu berada di dalam batas daya dukung wilayah dan berada pada trade-off antara jumlah penduduk dan penggunaan sumberdaya per kapita di dalam wilayah yang bersangkutan. Untuk lebih jelasnya, dimensi pembangunan berkelanjutan dapat dilihat pada Gambar 6.
35
Economic: Sustainable Growth Efficiency
Social: Social Equity Social cohession Participation Empowerment
Ecological: Ecosystem Integrity Natural Resources Biodiversity Carrying capacity
Gambar 6. Dimensi pembangunan berkelanjutan Sumber: Khanna et al., 1999
Gambar 6 memperlihatkan bahwa dimensi pembangunan yang berkelanjutan meliputi aspek ekonomi (pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisien), aspek sosial (keadilan, keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat) dan aspek ekologi (keutuhan ekosistem, ekosistem, sumberdaya alam, daya dukung lingkungan, keanekaragaman hayati).
Oleh sebab itu maka keberhasilan dan kemajuan
pembangunan harus diukur dari kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan. 2.11. Model Dinamik Menurut Anderson dan Johnson (1997) sistem adalah kumpulan dari komponen komponenkomponen yang saling berinteraksi, interrelasi, atau interdependensi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komponen sebuah sistem dapat berupa objek fisik yang dapat disentuh dengan indra ind (misalnya berbagai spare parts yang menyusun sebuah mobil). Komponen sebuah sistem dapat juga bersifat intangible seperti aliran informasi, kebijakan perusahaan, interaksi interpersonal, bahkan apa yang menjadi state of minds dalam diri seseorang seperti: feeling, values, dan beliefs.
Anderson dan
Johnson (1997) mengatakan bahwa sistem memiliki ciri khas yaitu tujuannya spesifik; bagian-bagian bagian penyusunnya lengkap, utuh, dan tersusun secara spesifik; mampu memelihara stabilitas diri melalui fluktuasi dan pengaturan; dan memi memiliki mekanisme umpan balik (feedback mechanism).
36 System dynamics digunakan untuk mencari penjelasan tentang berbagai permasalahan jangka panjang yang terjadi secara berulang-ulang di dalam struktur internal. Mekanisme umpan balik merupakan konsep inti yang digunakan dalam system dynamics untuk memahami struktur sistem.
Diasumsikan bahwa keputusan secara
sosial atau individual dibuat berdasarkan informasi tentang keadaan sistem atau lingkungan di sekitar pengambil keputusan berada.
Model-model sistem dinamik
dibentuk oleh banyak lingkar simpal kausal (causal loop diagram) yang saling berhubungan satu sama lain. Diagram simpal kausal pada dasarnya merupakan representasi grafik dari pemahaman tentang struktur yang sistemik.
Diagram ini sangat penting karena
memberi panduan tentang bagaimana sistem itu dibangun dan bagaimana sistem itu berperilaku (Kim dan Anderson, 1998). Diagram ini pada dasarnya menggambarkan sistem tertutup. Sebagian besar variabel berhubungan melalui mekanisme umpan balik dan berupa variabel indigenous.
Apabila ada beberapa faktor yang dipercaya
mempengaruhi sistem dari luar tanpa dipengaruhi oleh dirinya sendiri, faktor tersebut dipertimbangkan sebagai variabel exogenous di dalam model. Diagram simpal kausal memainkan peranan penting dalam studi tentang system dynamics.
Selama
pengembangan model, diagram simpal kausal dapat dijadikan sebagai preliminary sketches dari hipotesis kausal yang dibangun. Selain itu diagram simpal kausal juga dapat dianggap sebagai simplifikasi model (Goodman, 1980). Diagram simpal kausal dan diagram alir (flow diagram) sangat penting untuk memahami struktur sistem sebelum mengembangkannya ke dalam persamaan sistem. Diagram alir tersusun dari elemen rate, level, dan auxiliary yang diorganisasikan dalam sebuah network. Level adalah akumulasi atau persediaan (stok) material atau informasi. Elemen-elemen sistem yang menunjukkan keputusan, tindakan, atau perubahan di dalam suatu level disebut rate. Rate adalah aliran material atau informasi ke atau dari level. Simpal kausal dibedakan menjadi dua macam; yaitu simpal positif (reinforcing feedback loop) dan simpal negatif (balancing feedback loop). Simpal positif cenderung untuk memperkuat gangguan dan menghasilkan pertumbuhan atau peluruhan eksponensial. Simpal negatif cenderung meniadakan gangguan dan membawa sistem pada keadaan kesetimbangan atau mencapai tujuan. Kombinasi dari kedua jenis simpal
37 kausal tersebut sering terjadi dan memungkinkan pengguna system dynamics merumuskan sejumlah generalisasi atau teorema yang berguna sehubungan dengan struktur sistem pada kecenderungan perilaku dinamik. 2.12. Rapid Apraissal Analysis Analisis
keberlanjutan
pengelolaan
suatu
kawasan
atau
keberlanjutan
pembangunan wilayah secara multidisipliner dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan pendekatan multidimensional scaling (MDS) dengan analisis rapid apraissal analysis yang dikenal dengan istilah Rapfish. Dalam MDS ini pada umumnya dilihat keberlanjutan dari beberapa dimensi yang menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi ini akan memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan. Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang spesifik. Dasar dari penentuan status ini pada akhirnya akan menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan pengelolaan suatu kawasan. Penggunaan teknik MDS mempunyai berbagai keunggulan diantaranya adalah sederhana, mudah dinilai, cepat serta biaya yang diperlukan relatif murah (Pitcher, 1999).
Selain itu, teknik ini dapat menjelaskan hubungan dari berbagai aspek
keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel. Pada pendekatan MDS, data yang diperoleh pada umumnya dianalisis dengan menggunakan software pendukung MDS yang dimodifikasi dari software Rapfish (rapid assesment techniques for fisheries) Rapid apraissal (RAP) sebenarnya merupakan teknik yang digunakan untuk mengevaluasi
keberlanjutan
sumberdaya
perikanan
secara
multidisiplin
yang
dikembangkan oleh University of British Columbia, Canada (Pitcher, 1999 serta Fauzi dan Anna, 2005).
Saat ini RAP dimodifikasi untuk mengevaluasi keberlanjutan
berbagai pembangunan yang saat ini dilakukan, karena pada dasarnya RAP merupakan teknik yang bersifat multidisiplin dan dengan sedikit modifikasi dapat digunakan untuk mengevaluasi comparative sustainability dari sejumlah atribut/indikator yang mudah untuk dibuat skor-nya.
Oleh karena itu maka aplikasi dari RAP ini juga dapat
38 digunakan untuk melihat keberlanjutan dari pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya.
Adapun yang dimaksud dengan atribut/indikator di sini adalah
variabel atau komponen ekosistem serta variabel dan komponen pengelolaan yang digunakan untuk menyimpulkan status kriteria. Penggunaan analisis RAP ini bisa mencakup berbagai aspek seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, hukum, kelembagaan, dan sebagainya, sehingga dari sini akan diperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi saat tersebut. Sebagai contoh kaitannya dengan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya, hasil analisis RAPnya
akan
memperoleh
gambaran
situasi
pembangunan
kota
baru
beserta
infrastrukturnya yang ada saat ini sekaligus akan dapat dibuat kebijakannya yang tepat dalam rangka menciptakan pembangunan kota baru beserta infrastrukturnya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
Hasil analisis keberlanjutan ini dapat
dilanjutkan dengan analisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor, sehingga dari sini akan dapat ditentukan urutan prioritas kebijakannya, dan selanjutnya dari faktorfaktor
dominannya
akan
dibangun
model
pembangunan
kota
baru
beserta
infrastrukturnya yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Menurut Kavanagh (2001) serta Fauzi dan Anna (2005) ada lima tahapan yang harus dilalui dalam prosedur RAP indeks keberlanjutan sumberdaya, yakni: 1. Menganalisis data yang diteliti, baik data statistik maupun data yang berasal dari studi literatur maupun data yang berasal dari hasil pengamatan di lapang (kondisi eksisting) 2. Membuat skoring yang mengacu pada literatur yang sudah ada, untuk keperluan ini biasanya menggunakan excel) 3. Melakukan analisis multi dimentional scalling (MDS) dengan menggunakan software SPSS, sehingga dari sini akan dapat ditentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL algoritma 4. Melakukan rotasi, sehingga akan dapat ditentukan posisi sumberdayanya pada ordinasi bad dan good.
Untuk keperluan ini biasanya digunakan excell dan
visual basic 5. Melakukan analisis sensitifitas (analisis leverage) dan analisis montecarlo sehingga dapat memperhitungkan aspek ketidak pastiannya.
39 2.13. Analisis Prospektif Analisis prospektif adalah analisis yang digunakan untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan.
Hasil dari analisis prospektif ini akan
diperoleh informasi mengenai faktor kunci yang berperan dalam sistem berdasarkan kebutuhan stakeholders yang terlibat dalam sistem tersebut. Untuk keperluan analisis prospektif ini akan ditentukan faktor kunci dan tujuan strategis. Pada penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya didasarkan pada pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai stakeholders yang terkait dengan sistem yang akan dikaji dengan cara melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview) di wilayah studi melalui bantuan kuesioner (Trayer, 2000). Menurut Bourgeois dan Jesus (2004) tahapan analisis prospektif ada tiga yaitu: (1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang dikaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Analisis prospektif juga akan menentukan faktor kunci keberlanjutan pengelolaan suatu sistem. Pada tahap penentuan faktor kunci ini seluruh faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor pengungkit yang sudah didapat dari hasil analisis MDS. Pada analisis prospektif ini, digunakan data-data yang berasal dari pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dengan pengelolaan sistem tersebut. Adapun cara yang dilakukan pada pengumpulan data tersebut adalah wawancara mendalam dengan bantuan kuesioner dan melalui diskusi.
Pada analisis prospektif ini akan dilihat
pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor serta akan melihat pengaruh timbal baliknya yang digambarkan dengan menggunakan matriks yang memperlihatkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor pada empat kuadran utama.
40
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Baru Bumi Serpong Damai, Provinsi Banten, serta di wilayah sekitarnya. Penelitian dilakukan pada bulan Mei – September 2011. 3.2. Rancangan Penelitian Penelitian ini melibatkan banyak stakeholder untuk berbagai kepentingan dan merupakan penelitian yang cukup kompleks.
Oleh karenanya maka penelitian ini
memerlukan pendekatan secara holistik, sehingga dari sini akan dapat memecahkan masalah, tidak secara parsial, namun akan memecahkan masalah secara lebih tuntas. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei dengan pendekatan sistem. Adapun alasan pemilihan tersebut disebabkan pendekatan sistem merupakan salah satu metode yang dapat menyelesaikan permasalahan dengan kompleksitas yang cukup tinggi, sehingga dapat memenuhi tujuan yang telah ditetapkan. 3.3. Teknik Pengumpulan Data Pada penelitian ini akan dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung dari lokasi penelitian melalui pengamatan, diskusi serta wawancara langsung dengan para pakar dan stakeholder. Data sekunder diperoleh dengan cara menelusuri berbagai sumber seperti hasil penelitian dan berbagai dokumen dari instansi terkait. Adapun jenis dan sumber data yang dikumpulkan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6. 3.4. Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan pada penelitian ini dalam rangka menggali informasi dan pengetahuan (akuisisi pendapat pakar), ditentukan/dipilih secara sengaja (purposive sampling) diambil berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada kebutuhan penelitian.
Adapun yang dimaksud dengan pakar di
sini adalah pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli dalam model pengelolaan kota baru mandiri. Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan pakar untuk dijadikan sebagai responden menggunakan kriteria, sebagai berikut: 1. Keberadaan responden dan kesediaanya untuk dijadikan responden.
42 2. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada bidang yang diteliti. 3. Memiliki latar belakang pendidikan tinggi di bidang yang dikaji dan atau telah memiliki pengalaman dalam bidangnya minimal 2 tahun. Adapun stakeholders yang diwawancara di sini adalah penghuni perumahan BSD, developer/pengembang BSD, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang, Dinas PU Kabupaten Tanggerang, perwakilan/asosiasi pengusaha, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan pengelolaan lingkungan, dan (5) tokoh masyarakat sekitar.
Untuk lebih jelasnya Jenis dan sumber data yang
diperlukan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 6, dan responden keseluruhan disajikan pada Tabel 7. 3.5. Teknik Analisis Data Pada penelitian ini dilakukan berbagai analisis yakni analisis deskriptif untuk melihat kondisi lingkungan eksisting, analisis keberlanjutan, analisis prospektif dan permodelan. Untuk lebih jelasnya tahapan penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6. a Analisis Keberlanjutan Pada penelitian ini akan dilakukan analisis terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD. Analisis terhadap status keberlanjutan kawasan dilakukan dengan mengkaji kondisi lima dimensi pengelolaan lingkungan yakni dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Hasil analisis ini diperoleh faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD untuk setiap dimensi. Faktor ini penting untuk diperhatikan dalam rangka mencapai pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD yang berkelanjutan. Keberlanjutan kawasan kota baru akan dianalisis melalui pendekatan multidimensional scaling (MDS) dengan analisis Rapfish. MDS adalah teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui keberlanjutan pembangunan wilayah secara multidisipliner. Dimensi dalam MDS menyangkut berbagai aspek. Setiap dimensi memiliki atribut atau indikator yang terkait dengan keberlanjutan pembangunan kawasan.
43 Tabel 6. Jenis dan sumber data yang diperlukan pada penelitian Data
Indikator
Luas kota baru
Luas kawasan Kota Baru terbangun
Kualitas udara
Konsentrasi ambien polusi udara pada kawasan kotabaru BSD dan Jakarta (CO2, NOx, SOx) Persentase luas kws. Permukiman dr. luas total BSD Persentase luas kws. Terbangun dari luas total BSD Persentase luas kws.Lindung dr. luas total BSD Persentase limbah domestik dan industri yang mendapat treatment. Konsentrasi limbah B3 (logam berat Hg, Cd, Pb, As, Cr) dan phenol) dalam air Persentase kawasan banjir dari seluruh lahan daratan BSD Frekuensi banjir yang terjadi di BSD Persentase sampah BSD terangkut ke TPA BOD, COD, amoniak, nitrit, nitrat, posfat, detergen,H2S dan coliform Jumlah air tanah dan air permukaan yang dikonsumsi per tahun. Jumlah penduduk yang tinggal Pertumbuhan penduduk per tahun di BSD Kepadatan penduduk per hektar
Kws. permukiman Kws. terbangun Kawasan lindung Pengelolaan limbah Pencemaran air Banjir Persampahan Kualitas dan kuantitas air bersih Jumlah penduduk Pertumbuhan penduduk Kepadatan penduduk Pendapatan per KK Mata pencaharian Pendidikan Factor pengungkit Keberlanjutan kota baru Parameter kunci keberlanjutan kota baru Kebutuhan sistem Tujuan sistem
Besar pendapatan per kapita Jenis mata pencaharian penduduk Tingkat pendidikan penduduk Terumuskannya faktor pengungkit pada aspek sosial, ekonomi, ekologi, teknologi, hokum dan kelembagaan Terumuskannya parameter kunci keberlanjutan pada aspek sosial, ekonomi, ekologi, teknologi, hokum dan kelembagaan Kebutuhan dari setiap stakeholder terkait permasalahan pengendalian pencemaran Pengkajian masalah dimulai dari analisis kebutuhan hingga dapat sistem operasional yang efektif
Unit ha ppm
Sumber PT. BSD Pengukuran/pengambilan sample di lapang&analisis di lab
%
PT. BSD
%
PT. BSD
ha
Bappeda
ton
PT. BSD Bapedalda
ppm
Bapedalda
% Kali/th
PT. BSD Bappeda Bappeda
%
PT. BSD
ppm
Observasi BPS BPS BPS BPS
%
BPS BPS BPS
satuan
Wawancara mendalam (Expert/Pakar)
satuan
Wawancara mendalam dengan Expert/Pakar Expert/Pakar Expert/Pakar
Identifikasi faktor strategis sistem.
Pernyataan kebutuhan dari masalah yang akan diselesaikan untuk mencukupi kebutuhan
Expert/Pakar
Perumusan skenario sistem.
Terumuskannya skenario-skenario pengendalian kerusakan lingkungan
Expert/Pakar
Penentuan prioritas
Terumuskannya prioritas utama dalam pengendalian kerusakan lingkungan
Expert/Pakar
44 Tabel 7. Rincian jumlah responden penelitian No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Teknik Pengambilan Sampel
Responden Pakar Kepala LH Kab.Tangerang Kepala Dinas PU Pengembang BSD Akademisi LSM peduli lingkungan rusunawa Asosiasi perumahan Penghuni BSD Tokoh masyarakat sekitar Jumlah
Pembangunan Kota Baru BSD
Purposive Purposive Purposive Purposive purposive purposive purposive purposive
1 orang 1 orang 1 orang 2 orang 1 orang 1 orang 2 orang 2 orang 11 orang
Analisis status kualitas lingkungan
Penentuan Kualitas Lingkungan (kondisi eksisting)
Status Keberlanjutan MDS
Kuesioner Wawancara
Faktor Pengungkit
Model Pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru
Jumlah
Faktor Kunci Analisis Prospektif
FGD Prioritas Kebijakan dan Strategi Implementasi
Gambar 7. Tahapan penelitian
Indikator Keberlanjutan Wawancara& Pustaka
45 Berdasarkan indikator tersebut dilakukan analisis status masing-masing dimensi pengelolaan lingkungan apakah mendukung atau tidak terhadap keberlanjutan sumberdaya dalam suatu wilayah tertentu untuk jenis kegiatan yang spesifik. Dasar dari penentuan status ini menjadi barometer dalam penentuan kebijakan yang harus dilakukan guna terjaminnya keberlanjutan kota baru.
Teknik MDS ini akan
menjelaskan hubungan dari berbagai aspek keberlanjutan, dan juga mendefenisikan pembangunan kawasan yang fleksibel. Data yang diperoleh dari penelitian ini selanjutnya akan dianalisis dengan software Rapfish (rapid assesment techniques for fisheries) yang dikembangkan oleh Fisheries Center University of British Columbia, Kanada. Pada analisis MDS ini, data yang diperoleh diberi skor sesuai dengan status sumberdaya tersebut dengan skala 0 sampai 100%.
Ordinasi MDS dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi, sosial,
kelembagaan, dan teknologi. Adapun tatacara melakukannya disajikan pada Gambar 7. b Analisis Prospektif Analisis prospektif digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berpengaruh pada pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD yang berkelanjutan saat ini. Faktor-faktor kunci hasil analisis tersebut kembali dianalisis tingkat pengaruh dan kebergantungannya, yang selanjutnya dijadikan sebagai variabel untuk membangun model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD yang berkelanjutan. Model yang dibangun mengacu pada variabel yang kuantitatif dan kualitatif.
Analisis prospektif
ini akan memberikan kombinasi faktor-faktor
dominan dan didefinisikan kemungkinan keadaannya di masa depan dan dirumuskan berbagai masukan pada pengembangan model pengendalian lingkungan dalam pembangunan Kota Baru BSD yang berkelanjutan. Selain itu juga untuk merumuskan skenario yang mungkin terjadi dalam pengembangan model. Skenario disusun dengan melibatkan stakeholder terkait. Teknik perumusan skenario menggunakan pendekatan prospektif dan focus group discussion (FGD). Pada penelitian ini keberlanjutan dinilai dari lima dimensi. Setiap dimensi tersebut dilengkapi dengan atribut yang digunakan untuk menilai kondisi di masa lalu dan saat ini. Penentuan skor setiap atribut dilakukan dengan berbagai teknik yaitu: untuk atribut yang datanya tersedia dalam bentuk numerik, maka menggunakan data
46 dokumentasi. Atribut yang datanya berupa persepsi atau pandangan maka dilakukan wawancara terhadap responden yang mengetahui dengan tepat kondisi atribut tersebut.
MULAI
Review Atribut (meliputi berbagai kategori dan skoring kriteria)
Identifikasi dan Pendefinisian Keberlanjutan (kriteria yang konsisten)
Skoring Kawasan (konstruksi angka referensi untuk good, bad & anchor)
Multidimensional Scaling Ordination (untuk setiap atribut)
Simulasi Monte Carlo (analisis ketidakpastian)
Leveraging Factor (Analisis anomali)
Analisis Keberlanjutan (Asses sustainability)
Gambar 8. Proses aplikasi MDS Output dari hasil analisis ini adalah berupa status keberlanjutan untuk ke-lima dimensi dalam bentuk skor dengan skala 0 – 100. Adapun kategori keberlanjutannya menggunakan skor yang diadopsi dari Kavanagh (2001), yakni jika didapat skor 0-24,99 menunjukan bahwa dimensi tersebut buruk, skor 25-49,99 menunjukkan kurang berkelanjutan; jika didapat skor 50 – 74,99 menunjukkan cukup berkelanjutan; dan jika skor 75-100 menunjukkan bahwa dimensi tersebut berkelanjutan atau baik.
47 Pada penelitian ini juga akan didapatkan faktor pengungkit (leverage factors) yakni faktor-faktor strategis yang harus diperhatikan dalam pengembangan kota baru di masa mendatang. Faktor pengungkit selanjutnya dilihat kembali faktor mana yang merupakan faktor sensitifnya atau faktor mana yang dapat mengintervensi hal-hal yang akan membuat pengembangan kota baru menjadi berkelanjutan. Dalam rangka mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengembangan kota baru berbasis budidaya kota baru, digunakan analisis "Monte Carlo", sehingga dari sini akan diketahui hal-hal sebagai berikut (Kanvanagh, 2001, serta Fauzi dan Anna, 2002): 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemanaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda; 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi); 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data). Analisis prospektif ditujukan untuk mendapatkan informasi mengenai faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Analisis ini juga dapat mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang, sesuai kebutuhan para pelaku (stakeholders) yang terlibat dan akan diperoleh melalui bantuan kuesioner dan wawancara langsung di wilayah studi. Adapun faktor kunci yang didapat akan digunakan untuk mendeskripsikan kemungkinan masa depan bagi pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Pada analisis ini akan dihimpun pendapat pakar dan stakeholder yang terlibat dalam pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Adapun tahapan yang dilakukan pada analisis prospektif (Bourgeois dan Jesus, 2004) adalah sebagai berikut: (1) Mengidentifikasi faktor kunci penentu untuk masa depan dari sistem yang dikaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi semua faktor penting dengan menggunakan kriteria faktor variabel, menganalisis pengaruh dan kebergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks dan menggambarkan pengaruh dan kebergantungan dari masing-masing faktor ke dalam empat kuadran
48 utama; (2) Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Tabel 8. Matriks pengaruh langsung antar faktor dalam sistem pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan Dari A
B
C
D
E
F
G
Terhadap A B C D E F G Sumber: Godet et al. (1999). Keterangan: A - I = Faktor penting dalam sistem
Pengaruh MDS
Ketergantungan
Gambar 9. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem Pada tahap tersebut dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat terjadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Adapun untuk melihat pengaruh langsung antar faktor dalam sistem,
49 pada tahap pertama digunakan matriks seperti yang terlihat pada Tabel 8. Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor di dalam sistem disajikan pada Gambar 9. Berdasarkan hasil analisis tersebut selanjutnya akan dibuat skenario pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. Selanjutnya setelah didapat faktor kunci dirumuskan prioritas kebijakan pengendalian kerusakan lingkungan yang berkelanjutan. 3.6.
Perancangan Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan Perancangan model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kotabaru
berkelanjutan dilakukan berdasarkan hasil faktor-faktor penting yang harus dikelola dari hasil studi yang telah dilakukan berdasarkan kajian deskriptif, keberlanjutan, dan prospektif. Selain itu juga dilakukan berdasarkan hubungan sebab akibat yang akan terjadi dari faktor-faktor yang terpilih. Hubungan sebab akibat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu hubungan positif dan hubungan negatif. Hubungan positif adalah hubungan yang makin besar nilai faktor penyebabnya akan makin besar pula nilai faktor akibat, sedangkan hubungan negatif adalah hubungan yang semakin besar nilai faktor penyebab akan makin kecil nilai dari faktor akibat. Dampak atau akibat dari suatu sebab dapat mempengaruhi balik sebab tersebut, sehingga terdapat hubungan sebab akibat yang memiliki arah berlawanan dengan hubungan sebab akibat yang lain. Dalam hal ini terbentuk suatu umpan balik tertutup, yang sering kali disebut sebagai loop. Loop adalah suatu akibat yang dibalikkan ke penyebabnya, sehingga terbentuk apa yang dinamakan umpan balik atau feed back loop (Aminullah et al., 2001). Umpan balik dapat dibedakan atas dua macam yaitu umpan balik positif dan umpan balik negatif.
Suatu umpan balik disebut positif bila perkalian tanda dari
hubungan sebab akibat yang membentuknya adalah positif, sedangkan bila hasilnya negatif maka umpan balik tersebut disebut umpan balik negatif. Umpan balik dapat terjadi secara alamiah atau terjadi karena adanya kebijakan yang diterapkan pada sistemnya. Suatu umpan balik menyatakan mekanisme perubahan nilai faktor secara otomatis. Umpan balik positif memberikan penguatan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan tersebut makin lama makin besar. Sebaliknya umpan balik negatif memberikan pelemahan terhadap perubahan yang terjadi, sehingga nilai perubahan
50 tersebut makinn lama makin kecil dan akhirnya hilang. Untuk lebih jelasnya model umum penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Model pengendalian endalian lingkungan dalam pembangunan pembangun kota baru berkelanjutan 3.7. Pemodelan Sistem Pemodelan sistem dilakukan melalui pendekatan sistem, yakni yak pendekatan yang menggunakan ciri-ciri ciri sistem sebagai titik tolak analisisnya. analisisnya. Pada pen pendekatan sistem dilakukan (1) analisis kebutuhan antar pelaku, (2) formulasi permasalahan, (3) identifikasi sistem, (4) permodelan permodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi model serta (5) implementasi model. Adapun tahapan-tahapan tahapan yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan dilakukan untuk mengetahui gambaran awal terhadap perilaku sistem yang akan terjadi dan dilakukan pada semua pelaku yang terlibat dalam sistem tersebut, antara lain :
51 1. Masyarakat di lokasi penelitian Terjaganya kondisi kesehatan masyarakat Pencemaran lingkungan akibat terbangunnya kota baru menjadi minimal Biaya hidup menjadi lebih terjangkau Tersedianya sarana dan prasarana 2. Pemerintah Memberikan perlindungan kepada masyarakat dan lingkungan. Pelayanan dan penyediaan sarana dan prasarana dapat terpenuhi Pencemaran air akibat limbah perkotaan menurun Pencemaran udara akibat transportasi dan industri menurun Peran serta masyarakat dan swasta meningkat Pengaturan pengolahan limbah teratasi Tidak ada masalah sampah Sampah dapat di daur ulang/produksi bersih (bernilai ekonomis) Terjadi peningkatan PDB dan PDRB 3. Akademisi Membuat alternatif/teknologi pengendalian pencemaran limbah, emisi dan sampah yang efektif, efisien dan ramah lingkungan. Membuat alternatif model pengelolaan lingkungan yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan Membuat alternatif teknologi pemanfaatan kembali limbah yang ekonomis 4. Lingkungan Hidup Ditaatinya RTRW Lingkungan tidak rusak sehingga aman bagi semua mahluk hidup. Kondisi air, lahan dan udara yang tidak tercemari sehingga mampu mempertahankan keseimbangan ekologisnya 5. Pengembang Tarif pengelolaan lingkungan berdasarkan biaya operasional Produktifitas kegiatan tetap berlangsung Iklim investasi sehat dan kompetitif Sumberdaya manusia yang handal dan bertanggung jawab Disiplin memelihara instalasi pengolah limbah dan sampah 6. LSM Lingkungan tidak rusak dan aman bagi semua makhluk hidup. Kondisi air, lahan dan udara yang tidak tercemari sehingga mampu mempertahankan keseimbangan ekologisnya Tetap tingginya porsi RTH
52
Pengelolaan lingkungan lebih diutamakan dari pada kepentingan ekonomi dan sosial
b. Formulasi Masalah Pada pendekatan sistem, pertama-tama dilakukan identifikasi permasalahan awal secara mendasar, sehingga ke depannya diharapkan akan diperoleh alternatif penyelesaian masalah sesuai dengan tingkat permasalahan yang diangkat.
Adapun
permasalahan dasar tersebut, secara sistematis diuraikan sebagai berikut : 1. Meningkatnya jumlah (kebutuhan) perumahan 2. Menurunnya ruang terbuka hijau 3. Tidak ditaatinya RTRW yang sudah disahkan 4. Masih minimnya instalasi pengolah air limbah dan penggunaan alat untuk menurunkan emisi 5. Masih minimnya kinerja instalasi pengolah limbah yang sudah dibangun 6. Tingginya biaya operasional IPAL dan TPA sampah 7. Masih adanya keterbatasan pendanaan untuk membiayai kinerja instalasi pengolah limbah domestik yang sudah dibangun 8. Relatif rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan lingkungan 9. Meningkatnya jumlah bahan pencemar yang berasal dari berbagai kegiatan di kawasan kotabaru 10. Menurunkan kualitas lingkungan dan daya dukung lingkungan 11. Perencanaan yang bersifat sektoral yang berakibat pada rendahnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor yang kurang sinergi 12. Adanya ketidak sesuaian regulasi dari pemerintah mengenai tingkat pencemaran di perairan dan atmosfir 13. Belum teratasinya masalah pencemaran. c. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem adalah rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan. Hasil identifikasi sistem dinyatakan dalam diagram input-output atau diagram lingkar sebab-akibat. Menurut Manecth dan Park (1977) secara garis besar ada enam kelompok variabel yang akan mempengaruhi kinerja sistem yang digambarkan dalam bentuk diagram inputoutput yakni:
53
Variabel output yang dikehendaki yang ditentukan berdasarkan analisis kebutuhan
Variabel output yang tidak dikehendaki
Variabel input yang terkontrol
Variabel input yang tidak terkontrol
Variabel input lingkungan
Variabel umpan balik sistem
Diagram input-output penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11. d. Pembuatan Model Disain model pengendalian lingkungan dalam pembangunan
kotabaru
berkelanjutan dibangun berdasarkan hasil identifikasi sistem. Setelah modelnya dibuat, selanjutnya dilakukan simulasi, verifikasi dan validasi model. e. Simulasi Model Model yang sudah dibuat selanjutnya dibuat simulasinya, yakni untuk melihat pola kecenderungan perilaku model. Hasil simulasi ini selanjutnya akan dianalisis dan ditelusuri faktor-faktor penyebab terjadinya pola dan kecenderungan tersebut. Hasil simulasi ini selanjutnya dijadikan dasar dalam merumuskan kebijakan yang diperlukan dalam perbaikan kinerja sistem. f. Verifikasi dan Validasi Model Model yang valid adalah model yang struktur dasarnya dapat menggambarkan perilaku, dan polanya dapat menggambarkan perilaku sistem nyata dan dapat mewakili data yang dikumpulkan dengan cukup akurat. Validasi model juga dibatasi oleh mental model dari penyusun model. Validasi ini perlu dilakukan agar dapat memenuhi kaidah keilmuan pada model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan.
54
Input Lingkungan Kebijakan Pemerintah terkait kota baru RTRW Kebijakan pemerintah terkait pencemaran
Output yang di inginkan Input Tak Terkontrol
Jumlah penduduk Pemukiman penduduk Migrasi penduduk Laju pertumbuhan penduduk Jaringan dan debit air Jenis dan konsentrasi limbah domestic, industri dan rumah sakit Penerimaan masyarakat iklim
Teratasinya masalah pencemaran lingkungan Meningkatnya daya dukung Lingkungan Meningkatnya kualitas lingkungan Efisien dan efektif-nya pengolahan limbah Perbaikan sistem pengolah limbah Meningkatnya RTH Meningkatnya kesadara penduduk terhadap lingkungan Ditaatinya RTRW
Model Pengendalian Lingkungan dalam Pembangunan Kota Baru Berkelanjutan
Input Terkontrol
Output yang Tidak di inginkan
Teknologi proses dan peralatan pengendalian limbah Tata ruang kawasan perumahan Tata pemanfaatan air Volume air limbah Pengolahan limbah Jumlah kendaraan Tahun pembuatan kendaraan Emisi transportasi Emisi industri Tarif retribusi Lapangan pekerjaan Sosial dan ekonomi penduduk Pergerakan penduduk Sarana&prasaranan pendidikan dan perkotaan
Tingkat pencemaran limbah domestic dan industri yang tinggi (lingkungan terganggu) Kasus pencemaran meningkat RTH menurun Menurunnya daya dukung lingkungan Tidak taatnya masyarakat terhadap kebijakan
Manajemen Pengelolaan Kota Baru
Gambar 11.
Diagram INPUT-OUTPUT model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
BAB IV. KONDISI UMUM Kota Baru BSD terletak di Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Kota Tangerang Selatan ini terletak tepat di sebelah barat Jakarta dan berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Provinsi DKI Jakarta di sebelah timur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di sebelah selatan, serta Kabupaten Serang di sebelah timur. Kota Tangerang Selatan pada umumnya merupakan dataran rendah (Gambar 12)
Gambar 12. Lokasi BSD sebagai hinterland Provinsi DKI Jakarta Sumber: Software Map of Jakarta (2004)
Kota Baru BSD terletak kurang lebih 20 km dari Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Negara (DKI Jakarta) atau tepatnya terletak di sebelah barat daya DKI Jakarta. Lahan pengembangan BSD disiapkan seluas kurang lebih 6000 ha dan dari awal pembangunannya direncanakan akan dihuni sebanyak kurang lebih 530.000 penduduk dalam waktu 20-25 tahun. Kota Baru BSD pada dasarnya merupakan hinterland DKI Jakarta, sehingga BSD diperuntukkan bagi kurang
56
lebih 40% penglaju dari DKI Jakarta dan sekitarnya.
Konsep awal
pengembangan Kota Baru BSD ini berorientasi pada penyediaan unit hunian yang representatif sebagai cikal bakal perkembangan kota tersebut. Adapun visi dari PT. Bumi Serpong Damai dalam melakukan pembangunan tersebut adalah mewujudkan kota mandiri (new city development), sedangkan misinya antara lain mencakup: (1). melaksanakan pembangunan nyata; (2). investasi berkesinambungan; (3). Tanggung jawab dan komitmen terhadap nasabah dan; (4). kontribusi terhadap pengembangan wilayah 4.1. Master Plan BSD Kota Baru Bumi Serpong Damai merupakan salah satu kota baru atau kota terencana yang direncanakan sebagai kota mandiri di Indonesia.
BSD
terletak di Serpong, Kota Tangerang Selatan. BSD diresmikan pada tanggal 16 Januari1984. Perencana BSD adalah Pasific Consultant International, Japan City Planning Inc., Nihon Architect Engineer and Consultant Inc., dan Doxiadis; sedangkan pengembangnya adalah Kelompok Sinar Mas.
Kota Baru BSD
didirikan pada tanggal 16 Januari 1984 oleh pemegang saham dalam bentuk perseroan, dalam bentuk pengembang
properti. BSD mendapatkan SK ijin
lokasi seluas 5.950 hektar dan usaha pembebasan lahan bagi proyek BSD. Pemegang saham pendiri BSD adalah PT.Serasi Niaga Sakti, PT. Anangga Pertiwi Megah, PT. Nirmala Indah Sakti, PT. Supra Veritas, PT. Bhinneka Karya Pratama, PT. Simas Tunggal Centre, PT. Apra Citra Universal, PT. Aneka Karya Amarta, PT. Metropolitan Transcities Indonesia, dan PT. Pembangunan Jaya (Gambar 13). Master plan Kota Baru BSD dibuat pada tahun 1985, pembuatan master plan ini membutuhkan waktu hingga lima tahun mengingat proyek tersebut besar dan diduga akan menimbulkan dampak yang besar dan penting. Oleh karena itu maka ijin yang dikeluarkan oleh Pemda Kabupaten Tangerang pada tahun 1987 memerlukan ijin dan persetujuan dari pemerintah pusat. Selanjutnya pada tahun 1989 Pemda Kabupaten Tangerang memberi ijin, sehingga perseroan dapat melaksanakan konstruksi, oleh karena itu maka pada awal tahun 1989 dilakukan peresmian, sesuai dengan RUTRK Serpong 1996.
57
Gambar 13. Master plan BSD Sumber: Peta Rupa Bumi Indonesia, 2000; Masterplan BSD (www.bsd.com).
Pada perkembangan selanjutnya BSD berpartisipasi aktif pada daerah sekitarnya, khususnya dalam mekukan pemeliharaan berbagai infrastruktur seperti jalan, listrik, telepon dan lainnya, dengan tetap mengacu kepada Permendagri No.1 tahun 1987 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan kepada Pemerintah Daerah. Berdasarkan master plan BSD tersebut, BSD yang merupakan kota mandiri, menggabungkan komunitas permukiman dan Central Business District (CBD). Selain itu juga menggabungkannya dengan kawasan industri yang mampu menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas. Pembangunan Kota Baru BSD dilakukan dalam tiga tahap, yaitu:
Tahap pertama (persiapan) dimulai tahun 1989 sudah dilakukan pembangunan, pada saat itu juga sudah dipasarkan unit hunian dan area komersial yang mudah dicapai dari daerah hunian (sub-pusat kota) dengan dukungan akses jalan tol ke Jakarta. Tujuan pembangunan akses jalan tol tersebut adalah untuk membangun ekonomi dasar yang terpusat di sub
58
pusat kota sebagai model pembangunan kota baru, pembangunan tersebut seluruhnya dilakukan di sisi timur Sungai Cisadane.
Tahap kedua dilakukan percepatan jalannya pembangunan area komersial, pengoperasian industri di Taman Tekno BSD dan penambahan jumlah populasi BSD dalam kurun waktu 10 tahun (2004-2014).
Tahap ketiga atau pemantapan,yang melakukan pembangunan area CBD dan unit hunian 2.135 hektar, karena pada tahap tersebut aktivitas ekonomi di Kota Baru BSD lebih mantap karena pembangunan CBD dan Taman Tekno BSD telah selesai. Tahap pemantapan ini dimulai tahun 2009 dan diperkirakan akan selesai pada tahun 2019. Perencanaan pengembangan lahan dalam tahapan pembangunan Kota
Baru BSD dapat dilihat pada Tabel 9 Tabel 9. Rencana penggunaan lahan dalam pembangunan KB-BSD Penggunaan Kawasan hunian Kawasan komersial
Lokasi
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Jumlah (ha) 4.646 436
1.050 150
1.461 141
2.135 145
-
223 75
225 75
448 150
Kawasan industri 100 Jumlah 1.300 Sumber: Divisi Perencanaan BSD (2006)
100 2.000
70 2.650
270 5.950
Sub pusat kota CBD Taman Kota CBD
Pada saat ini, Kota Baru BSD dikembangkan dengan prioritas pada sektor pelayanan berupa penyediaan fasilitas sosial dan umum berskala besar (regional).
Hal ini untuk mengantisipasi pengembangan BSD sebagai cikal
bakal pengembangan permukiman di Kabupaten Tangerang yang tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan wilayah yang lebih luas dan kompleks yaitu Kawasan Metropolitan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Pengembangan Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD), merupakan salah satu dari empat program prioritas pembangunan kota baru pada pelaksanaan Repelita V, sedang tiga kota baru lainnya yang dikembangkan pada masa tersebut adalah Kota Baru Bekasi, Kota Baru Driyorejo, dan Kota Baru
59
Cibinong. Namun kondisinya saat ini BSD relatif lebih berkembang dibanding kota baru lainnya. Inisiatif pembangunan BSD dilakukan oleh sektor swasta, oleh karena itu maka pihak pemerintah hanya membimbing dalam hal administratif dan penyiapan rencana. Oleh karena itu dalam proses pelaksanaan programnya hanya dilakukan oleh pihak swasta yang membangun BSD tersebut. Sebenarnya kondisi tersebut dirasakan kurang tepat, mengingat pemerintah sebagai regulator seharusnya punya peran dalam pelaksanaan program-program yang dilakukan oleh BSD, terutama keterlibatannya dalam proses pelaksanaan pelayanan umum. 4.2. Potensi Ekonomi BSD dapat dikatakan sebagai pelopor pembangunan kota mandiri di Jabodetabek yang telah menyelesaikan pembangunan tahap pertama dan tahap kedua bagi perumahan, komersial, dan industri. Hingga saat ini penduduk BSD ada yang bekerja pada kegiatan di sekitar BSD dan selebihnya yang telah bekerja di Kota Jakarta dan sekitarnya. Kota Serpong sendiri saat ini telah menjadi sumbu atau jantung utama wilayah Tangerang, dalam hal ini Jalan Raya Serpong telah menjadi jalan kelas provinsi yang menghubungkan Wilayah Tangerang dengan Wilayah Bogor dan dukungan bisa diakses dari jalan Tol Merak-Jakarta (dengan jalur SerpongTomang) dan jalan Tol BSD-Pondok Indah, bahkan saat ini telah dibuka Tol JORR (Jakarta Outer Ring Road). Mudahnya akses ke arah Serpong dan BSD ini, telah membantu BSD untuk menjadi salah satu bagian wilayah di Kota Tangerang Selatan (awalnya Kabupaten Tangerang, namun dipecah dari Kabupaten Tangerang pada tahun 2009) yang menjadi kawasan bisnis yang berkembang cukup pesat dan cukup banyak diincar investor serta pengembang.
Oleh karena itu maka kawasan
bisnis yang terdapat di BSD berkembang cukup pesat yang ditandai dengan semakin banyak bermunculannya ruko (rumah-toko), restoran dan kawasan niaga di sepanjang Jalan Raya Serpong dan di kawasan BSD sendiri, diantaranya Plaza Niaga, Serpong Plaza, Sutera Niaga, WTC Matahari Serpong, Giant (Grup Hero), Depo Bangunan yang diproyeksikan menjadi pusat grosir dan ritel terbesar di Tangerang dan Kawasan Niaga Golden Road di Kawasan BSD, yaitu:
60
ruko dengan gaya arsitektur mediterania yang berlokasi di depan kawasan German Center di Sektor VII BSD. BSD sendiri selain meluncurkan kawasan Niaga Golden Road, juga sudah memiliki Sentra Niaga di Sektor I, VI, dan VII, yang selalu habis terjual. Selain itu juga terdapat lokasi pergudangan seperti Taman Teknos; pusat onderdil mobil BSD Autoparts, dsb. Kehadiran WTC Matahari di tepi Jalan Raya Serpong serta ratusan ruko, rumah makan dan pusat bisnis lainnya di sepanjang jalan tersebut membuat kawasan tersebut menjadi kawasan yang ramai dan roda kehidupan boleh dikatakan berdenyut hingga 24 jam. Oleh karena itu maka tidak heran jika banyak yang berpendapat bahwa Jalan Raya Serpong di masa mendatang akan menjadi Jalan Fatmawati kedua, karena di sepanjang jalan tersebut dipenuhi dengan ruko dan kawasan niaga yang hampir selalu ramai dikunjungi pembeli. Oleh karena itu, maka dengan adanya dukungan lokasi bisnis yang berada pada tempat strategis dan pengunjung yang semakin ramai, maka nilai investasi ruko dan bisnis lainnya cenderung terus meningkat setiap tahun. Potensi ekonomi kota tersebut sudah pasti akan mendukung pemasukan PAD bagi Kota Tangerang Selatan dan Provinsi Banten, saat ini dan di masa yang akan datang. 4.3. Permukiman Pada awal pengembangannya, pembangunan Kota Baru BSD merupakan alih fungsi lahan dari bekas perkebunan karet, sehingga untuk keperluan pembangunannya telah dibebaskan lahan sebanyak kurang lebih 1.300 ha. Status lahan yang dibangun menjadi Kota Baru BSD ini sebagian besar milik Pemda, yang awalnya merupakan lahan kosong yang tidak produktif dengan tingkat hunian 10 orang per hektar. Lokasi BSD meliputi tiga kecamatan yaitu Kecamatan Serpong, Legok dan Pagedangan. Sesuai dengan konsepnya sebagai Kota Mandiri yang heterogen, BSD menawarkan berbagai produk untuk berbagai permintaan pasar, yakni selain menawarkan untuk industri dan bisnis (niaga), BSD juga menawarkan perumahan baik skala kecil, skala menengah maupun skala kecil. Pada awal pembangunban kota baru ini telah direncanakan melakukan pembangunan secara kontinyu, dan perencanaan selama kurun waktu 30 tahun akan dibangun 13.900 unit hunian yang terdiri dari 60% rumah murah, 30%
61
rumah kelas menengah, dan 10% rumah mewah. Namun pada saat penulis melakukan survay ke lapangan dilihat dari kondisi rumah yang ada ada indikasi melenceng dari rencana semula. Dalam hal ini rumah yang terbangun pada umumnya merupakan rumah menengah dan mewah, sehingga ada indikasi bahwa perbandingan 60% rumah murah, 30% rumah kelas menengah, dan 10% rumah mewah seolah-olah menjadi terbalik, yakni rumah murahnya mendekati 25%, sedangkan rumah kelas menengah dan rumah mewahnya apabila digabung cenderung mendekati 75%. Adapun tahapan pembangunan perumahan di BSD seperti diuraikan di bawah ini:
Tahap I (Persiapan) seluas 1.300 ha (tahun 1998-1999): dibangun perumahan di Sektor I dekat transit Shutle Bus dan Kolam Renang BSD. Perumahan Tahap I terdiri dari rumah-rumah bertipe kecil dengan luas area sampai 70 m2 yang cocok untuk masyarakat berpenghasilan menengah, lengkap dengan sekolah, pasar dan toko-toko, taman dan sarana olah raga seperti lapangan basket. Rumah pada kategori ini berjumlah 8.961 unit.
Tahap II (Percepatan pertumbuhan) luas pembangunan 2.000 ha (19962006): perumahan yang dibangun pada tahap II ditujukan untuk menarik pembeli dari kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas dengan luas 70-250 m2 dan rumah-rumah yang dibangun umumnya adalah rumah bertingkat. Hal ini juga terlihat dari produk-produk perumahan yang bernuansa kebarat-baratan seperti The Green, Vermont Parkland, Virginia Lagoon, De Latinos. Pada tahap II juga dibangun pusat perbelanjaan.
Tahap III (Penggabungan) luas pembangunan mencapai 2.700 ha (20032013): pada pembangunan tahap III ini dibangun rumah-rumah mewah yang luas bangunannya diatas 250 m2 dan umumnya merupakan bangunan bertingkat. Kondisi perumahan yang ada di BSD pada umumnya merupakan
kawasan yang tertata rapih dan relatif sudah memperhatikan aspek lingkungan cukup baik. Dalam hal ini permukiman tersebut bukan hanya tertata dengan
62
baik, namun juga terlihat asri, karena ditumbuhi oleh beragam pepohonan (tanaman keras) yang umumnya cukup banyak di sepanjang jalan. Selain itu hampir sebagian besar rumah juga memiliki lahan pekarangan yang umumnya juga terbuka hijau dan cukup asri. Selain adanya lahan pekarangan di lokasi perumahan juga pada umumnya dilengkapi dengan ruang terbuka hijau yang diperkirakan memenuhi ketentuan pemerintah, yakni diperkirakan lahan permukiman tersebut yang digunakan untuk kawasan permukiman mendekati 30%. Di BSD juga terdapat cukup banyak fasilitas yang mendukung aktifitas warga yang tinggal di dalamnya. Fasilitas yang ada di lokasi tersebut antara lain adalah sarana pendidikan dari terutama mulai dari tingkat pra sekolah, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Selain itu juga terdapat fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan serta fasilitas tempat bermain yang masuk ke dalam kategori baik dan memadai. Selain itu juga terdapat akses jalan dan fasilitas yang memudahkan untuk dicapai dari dan ke Kota Jakarta, yakni terdapat Jalan Tol Kebun Jeruk Serpong, Jalan Tol Pondok Indah Serpong, Jalan Tol JORR, stasiun kereta api, fasilitas feeder busway, dsb. 4.4. Sosial budaya Penduduk Kota Baru BSD pada umumnya adalah penduduk pendatang (dari luar Kota Tangerang Selatan) atau pada umumnya adalah masyarakat perantau.
Namun demikian mereka telah berinteraksi dalam kelompok
permukiman dengan sistem cluster dalam sistem RT/RW. Proses sosialisasi antar penghuni diduga terjadi di ruang terbuka di lingkungan kawasan permukiman dan di kawasan perdagangan dan jasa kota (CBD). Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang penduduk yang ada di sekitar BSD, terungkap bahwa penduduk di sekitar BSD pada umumnya cukup banyak membantu warga BSD, bahkan beberapa diantaranya ikut mewarnai kehidupan kota termasuk pada sektor transportasi lokal (ojek atau supir angkot) dan beberapa sektor informal (warung tegal atau warung klontong, dsb) yang ditata atau dialokasikan pada lahan tertentu secara terencana.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan penduduk menimbulkan berbagai implikasi yang bersifat multidimensi dan multisektor, seperti mengakibatkan pesatnya pertumbuhan wilayah perkotaan yang pada akhirnya berakibat pada peningkatan kebutuhan perumahan. Namun di lain pihak, peruntukan lahan untuk perumahan di wilayah perkotaan tidak mengalami penambahan, namun malah cenderung semakin berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya aglomerasi, dan pada akhirnya akan berdampak pada timbulnya kawasan permukiman baru dan kota baru. Kondisi ini terjadi di kota-kota besar seperti DKI Jakarta.
Oleh karena itu di sekitar DKI Jakarta bermunculan
permukiman baru dan kota baru. Permukiman baru muncul di berbagai lokasi dengan jumlah yang cukup banyak, sedangkan kota baru yang ada di sekitar DKI Jakarta ada dua yakni Kota Baru Bumi Serpong Damai (BSD) dan Kota Baru Cibinong. Namun demikian dilihat dari morfologinya Kota Baru BSD mempunyai berbagai keunikan dan kelebihan dibanding Kota Baru Cibinong, sehingga Kota Baru BSD menarik untuk dikaji lebih jauh. Adapun salah satu cara untuk memotret kota baru ini dapat dilakukan dengan melihat kualitas lingkungannya yang dilihat dari kualitas air dan kualitas udara, melihat keberlanjutannya serta membuat model pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD. 5.1. Kualitas Lingkungan BSD Pertumbuhan penduduk di perkotaan yang tinggi berakibat pada meningkatnya kebutuhan akan rumah dan kebutuhan untuk hidup layak serta pada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Akibatnya, kegiatan di dalam kota dan
pinggiran kota besar (kota satelit) menimbulkan berbagai implikasi negatif yang mendorong pada terjadinya penurunan kualitas lingkungan seperti terjadinya polusi udara dan air. Adapun kualitas udara dan kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel 10 dan 11. Kondisi atmosfir di Kawasan Kota Baru BSD tercemar gas beracun CO, serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat udara merupakan kebutuhan semua mahluk hidup, termasuk di dalamnya manusia, adanya bahan pencemar tersebut akan mengakibatkan kondisi kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya yang melakukan pernafasan akan terganggu kesehatannya.
Disamping hal tersebut tingginya SOx, NOx dan CO juga akan
64
mengakibatkan terjadinya hujan asam yang dapat mengakibatkan berbagai masalah muncul seperti terjadinya kerusakan bangunan, kerusakan ekosistem daratan dan kerusakan ekosistem perairan. Tabel 10. Kualitas udara di BSD Parameter kualitas udara (µg/m3)
Lokasi
SO2 NO2 Permukiman 23.45 1.12 Pertokoan 32.14 2.11 Industri 26.4 1.43 Baku mutu* 900 400 Keterangan: * = PP No.41 Thn. 1999
O3 20.4 22.1 21.5 235
CO 295 317 309 30.000
TSP 25 30 25 230
Pb <1 <1 <1 2
Tabel 11. Kualitas air di BSD No 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Parameter Fisika suhu Kimia pH *) BOD5 COD + NitratNO3-N Total Fosfat (PO4-P) KadmiumCd Deterjen Timah Hitam- Pb Air Raksa (Hg) Arsen-As Fenol
Satuan
Perumahan luar
o
Lokasi Perumahan Pertokoan BSD
Industri
BM II*
C
26
26
27
28
dev. 3
mg/l mg/l
6.0 5.13 20.68
6.5 4.94 92.26
6.5 5.22 93.84
6.5 11.71 98.58
6-9 3 25
mg/l
0.076
0.170
0.111
1.903
10
mg/l
0.034
0.090
0.052
0.140
0.2
mg/l
<0,001
<0,001
<0,001
<0,001
0.01
mg/l
0.010
0.008
0.007
0.009
mg/l
<0,005
<0,005
<0,005
<0,005
0.2 0.03
mg/l
0.0005
0.0005
0.0006
0.0006
0.002
mg/l mg/l
0.0003 0.0009
0.0003 0.0009
0.0004 <0,0001
0.0004 0.0009
1 0.001
BM II*= Baku Mutu Air kelas II
Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lampiran 1) memperlihatkan bahwa BOD dan COD baik yang berada di perumahan, pertokoan dan
65
industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan. Sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-NO3-N, total fosfat (PO4-P), kadmium (Cd), deterjen, timah hitam (Pb), air raksa (Hg), arsen (As) dan fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan (Lampiran 1). 5.2. Analisis Keberlanjutan Keberlanjutan pembangunan di kota baru ini merupakan hal yang menarik untuk dikaji, mengingat keberlanjutan kota baru dapat berpengaruh pada berbagai hal seperti pada peningkatan pembangunan fisik dan ekonomi. Walau dampak dari pembangunan ekonomi tersebut pada akhirnya akan semakin menarik para migran yang ingin mencari penghidupan yang lebih layak di perkotaan. Selain hal tersebut pembangunan fisik juga dapat berdampak negatif pada berbagai hal, terutama yang ada kaitannya dengan lingkungan.
Bahkan tidak hanya itu akibat pembangunan fisik,
malah dapat terbentuk lokasi-lokasi yang mungkin malah menjadi rawan terjadinya bencana, dapat mengganggu kestabilan lingkungan seperti menimbulkan masalah banjir, dsb. Analisis keberlanjutan Kota Baru BSD ini dilakukan berdasarkan modifikasi dari metode Rapfish yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan. Hasil analisis keberlanjutan Kota Baru BSD dinyatakan dalam indeks keberlanjutan Kota Baru BSD (ikb-KOBA). Adapun hasil dari analisis yang dinyatakan sebagai indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan pada Kota Baru BSD berdasarkan kondisi eksisting. Nilai tersebut ditentukan dari pendapat pakar, dengan kisaran nilai antara 0 – 100 %. Kriteria tidak berkelanjutan atau buruk, jika nilai indeks terletak antara 0 – 24,99 %. Kriteria kurang berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara 25 – 49,99 %. Kriteria cukup berkelanjutan apabila nilai indeksnya terletak antara 50 – 74,99 %. Kriteria berkelanjutan atau baik, jika nilai indeksnya 75 – 100 % (Kavanagh, 2001). Pada analisis keberlanjutan ini, yang dianalisis adalah dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan.
Pada analisis
keberlanjutan Kota Baru BSD, sifatnya multidimensi, karena menggabungkan seluruh atribut yang ada pada enam dimensi penentuan indeks keberlanjutan yaitu dimensi
66
ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan. 5.2.1. Dimensi Ekologi Hasil analisis keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Gambar 14 terlihat bahwa nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah 42,22 % (dengan skala sustainabilitas 0 – 100, dan nilai indeks < 50). Hal ini memperlihatkan bahwa berdasarkan kriteria Kavanagh (2001), maka status keberlanjutan untuk dimensi ekologi di Kota Baru BSD termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan.
RAPPERUMTES Ordination 60
Up
40
20
-20
Bad 0 0
Good 20
-20
40
60
80
100
120
42,22 %
-40
-60
Down Status Permukiman
Gambar 14. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi Kota Baru BSD Gambar 14 memperlihatkan bahwa walaupun Kota Baru BSD masuk ke dalam kota baru yang relatif hijau dan relatif asri, namun aspek lingkungan masih harus mendapat perhatian yang lebih serius, sehingga harus dicari upaya-upaya agar dimensi ekologi menjadi berkelanjutan.
Adapun peran masing-masing aspek pada atribut
ekologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage yang bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif dalam memberikan kontribusi terhadap keberlanjutan dimensi ekologinya, hasil analisis leverage ini dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan wawancara terhadap pakar, agar nilai indeks ini di masa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan, perlu perbaikanperbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks
67
dimensi ekologi. Atribut-atribut yang diperkirakan dapat memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekologi di Kota Baru BSD ada lima dari sebelas atribut. Adapun ke sebelas atribut tersebut adalah: (1) keadaan perumahan, (2) ketersediaan instalasi pengolah limbah cair, (3) ketersediaan TPS sampah, (4) kondisi drainase, (5) ketersediaan RTH, (6) ketersediaan air bersih, (7) kondisi jalan Kota Baru BSD,
(8) pencemaran udara/emisi, (9) penggunaan lahan BSD, (10) manajemen
banjir/bencana dan (11) permasalahan transportasi. Untuk lebih jelasnya atribut-atribut dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 15. Leverage of Attributes 0.78
Keadaan perumahan
3.01
Ketersediaan instalasi pengolah limbah cair Ketersediaan TPS Sampah
0.39 1.55
Kondisi drainase Attribute
Ketersediaan RTH
0.99
Ketersediaan air bersih
4.94
Kondisi jalan Kota baru BSD
2.17
Pencemaran udara/emisi
3.21
Psnggnaan lahan BSD
1.47
Managemen Banjir/bencana
3.55
Permasalahan transportasi
3.36 0
1
2
3
4
5
6
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 15. Peran masing-masing atribut dimensi ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) Pada Gambar 15 terlihat adanya atribut-atribut sensitif yang dapat memberikan pengaruh besar terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi ekologi (hasil analisis laverage). Berdasarkan hasil analisis laverage tersebut diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yaitu (1) ketersediaan air bersih, (2) manajemen banjir/bencana, (3) permasalahan transportasi, (4) pencemaran udara/emisi, dan (5) ketersediaan pengolah limbah cair. Hasil analisis laverage dapat dilihat pada Gambar 16. Ketersediaan air bersih di Kota Baru BSD merupakan hal yang harus diutamakan, mengingat di kota baru terjadi alih fungsi lahan yang cukup drastis, dalam
68
hal ini lahan yang tadinya terbuka, menjadi kawasan terbangun sehingga memungkinkan terjadinya run off air pada saat hujan, sehingga air yang masuk ke dalam tanah, untuk menjadi air tanah menjadi minimal, oleh karena itu maka air tanah yang umumnya relatif bersih akan menjadi masalah dilokasi ini. Selain air tanah, di Kota Baru BSD juga terdapat air sungai, namun kondisi air sungai dan air drainase di lokasi penelitian juga kurang menggembirakan mengingat di lokasi ini apabila dilihat dari bau dan warnanya, memberikan indikasi sudah tercemar berat, sehingga ketersediaan air bersih menjadi masalah di kota baru. Di lain pihak, kebutuhan air di Kota Baru akan cenderung semakin meningkat sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, sehingga kelangkaan air bersih akan semakin meningkat. Oleh karena itu maka sumberdaya air harus dikelola, dipelihara, dimanfaatkan, dilindungi dan dijaga kelestariannya, untuk melakukan hal tersebut, agar semuanya dapat terlaksana dengan baik, maka hal yang lebih ideal adalah dengan cara memberikan peran kepada masyarakat dalam setiap tahapan pengelolaan sumberdaya air. Atribut sensitif ke dua adalah harus memperhatikan manajemen banjir/bencana. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat dari hasil survay terlihat bahwa wilayah di sekitar Kota Baru BSD relatif pemanfaatan ruangnya masih belum terkendali dengan baik, sehingga kondisi ini memungkinkan terjadinya bencana, seperti bencana banjir, sehingga apabila pengelolaan dan pemanfaatan ruang tidak terkendali akan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan tersebut, yang pada akhirnya akan berdampak ke Kota Baru BSD. Oleh karena itu maka kesesuaian lahan di kota baru yang diperuntukan untuk berbagai kepentingan harus benar-benar memperhatikan dan mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah, seperti yang tercantum pada Undang-undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pada pasal 29 ayat(1) dijelaskan bahwa: ”Ruang terbuka hijau terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat” dan selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa: ”Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota”. Pada ayat (3) disebutkan bahwa ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 % dari luas wilayah kota. Atribut sensitif ketiga adalah permasalahan transportasi.
Permasalahan
transportasi tersebut nampak jelas terutama pada saat pagi hingga menjelang malam,
69
yakni di beberapa lokasi terjadi antrian kendaraan yang cukup panjang.
Walau
kendaraan-kendaraan berat sudah dialihkan ke pinggir kota, masalah transportasi di Kota Baru BSD ternyata masih menjadi masalah yang masih harus dipecahkan dengan baik, mengingat selain akan terjadi kemacetan, juga akan mengakibatkan terjadinya pencemaran dan terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2. Terjadinya pembakaran bahan bakar fosil (BBF) yang aktif pada kegiatan transportasi ini pada akhirnya akan menyumbang terjadinya pemanasan global, yang pada akhirnya berujung pada terjadinya perubahan iklim global, sehingga menimbulkan berbagai bencana. Selain menyumbang GRK, dari pembakaran BBF transportasi ini juga akan dihasilkan logam berat terutama timbal atau Pb (Volesky, 2000). Di lain pihak adanya pencemaran juga dapat berimplikasi terhadap berkurangnya pendapatan sebagai akibat adanya masalah kesehatan, sehingga akan dikeluarkan biaya ekstra untuk menanggulanginya (Syahril et al. 2002).
Berdasarkan hal tersebut, maka dengan
meningkatnya transportasi, bukan saja akan meningkatkan pembakaran BBF, namun logam berat Pb yang berasal dari pembakaran BBF tersebut juga akan memberikan dampak yang buruk bagi kesehatan masyarakat. Atribut sensitif keempat adalah pencemaran udara/emisi.
Terjadinya
pencemaran atau emisi GRK di Kota Baru harus menjadi perhatian yang serius, mengingat di wilayah ini transportasi belum dapat dikelola secara baik, apalagi jika di lokasi tersebut terjadi kemacetan, sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya peningkatan GRK terutama NOx, SOx dan CO2. Selain adanya pencemaran yang berasal dari Kota Baru, pencemaran udara ini juga ditambah dengan bahan pencemar dan emisi dari lokasi lain, terutama dari jaringan jalan yang berada di pinggiran Kota Baru BSD, mengingat kendaraan dari kota baru di alihkan ke pinggir kota, namun mengingat udara bersifat dinamis, maka udara yang berasal dari pinggiran kota tersebut, dengan adanya angin, pada akhirnya akan masuk ke dalam wilayah Kota Baru BSD. Atribut sensitif kelima adalah ketersediaan pengolah limbah cair. Limbah cair pada dasarnya dapat dihasilkan dari berbagai kegiatan seperti dari pertokoan, industri, perhotelan, rumah sakit, permukiman, dsb. Namun sayangnya walaupun Kota Baru BSD adalah hunian hijau, namun limbah domestik yang ada di lokasi kajian mengindikasikan tidak pernah dilakukan pengelolaan, sehingga limbah cair domestik
70
akan masuk ke dalam sungai tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Kondisi yang sama juga terjadi pada limbah lain seperti limbah industri dan limbah perkotaan, limbah rumah sakit, dsb yang hampir semuanya langsung masuk ke dalam badan air tanpa mengalami pengolahan terlebih dahulu. Oleh karena itu maka ketersediaan instalasi pengolah limbah cair (IPAL) harus mendapat perhatian yang sangat serius. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kemungkinan terjadinya kerentanan dan kerawanan ekologis di lokasi penelitian yang merupakan lokasi yang relatif asri menjadi tidak terhindarkan dalam pengembangan kawasan Kota Baru BSD.
Oleh
karena itu, maka perlu dilakukan penataan daerah, baik di dalam kota baru itu sendiri, maupun di wilayah sekitar kawasan Kota Baru BSD secara terpadu, sesuai fungsi lahan. 5.2.2. Dimensi Ekonomi Berdasarkan
hasil
analisis
keberlanjutan
terhadap
dimensi
ekonomi
memperlihatkan bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 53,17 (Gambar 16). Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi ini lebih besar dibanding nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi.
Selain itu besarnya nilai indeks
keberlanjutan ekonomi lebih besar dari 50. Hal ini mengandung arti bahwa dimensi ekonomi pada pengelolaan kawasan Kota Baru BSD masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 2001).
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pengelolaan
kawasan Kota Baru BSD lebih memberikan manfaat secara ekonomi dibanding aspek ekologi. Indeks keberlanjutan pada dimensi ekonomi cukup berkelanjutan, namun demikian pada dimensi ekonomi juga masih terdapat berbagai kelemahan yang masih perlu diperbaiki, sehingga menjadi sangat berlanjut.
Adapun perbaikan-perbaikan
tersebut, idealnya harus dilakukan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi ekonomi, sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status sangat berkelanjutan. Adapun atribut-atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari delapan atribut, yaitu: (1) peluang usaha, (2) kelayakan lingkungan usaha, (3) kemampuan daya beli masyarakat, (4) tingkat pengangguran, (5) kawasan industri, (6) tingkat pendapatan, (7) keberadaan pertokoan, dan (8) keberdaaan kawasan bisnis.
71
60 UP 40
20
53.17
0
BAD 0
GOOD 20
40
60
80
100
120
-20
-40 DOWN -60
Gambar 16. Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi Kota Baru BSD Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-atribut keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas, namun demikian atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Dalam rangka melihat atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indek keberlanjutan ekonomi, dilakukan analisis laverage. Hasil analisis laverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi yaitu (1) keberadaan kawasan bisnis, (2) tingkat pengangguran, (3) keberadaan kawasan industri, dan (4) keberadaan pertokoan kawasan. Hasil analisis laverage dapat dilihat seperti Gambar 17. Atribut sensitif pertama adalah keberadaan kawasan bisnis. Pada kota baru, selain adanya zonasi perumahan masyarakat identik, juga harus terdapat kawasan bisnis, mengingat dengan tersedianya kawasan bisnis, maka di perumahan tersebut juga identik dengan relatif dapat terpenuhinya tuntutan-tuntutan dari penghuni perumahan tersebut untuk berusaha dan untuk mencari nafkah ke lokasi yang tidak terlalu jauh. Keberadaan kawasan bisnis yang strategis akan memudahkan masyarakat untuk mendapat barangbarang kebutuhannya, untuk menjual barang-barang yang diproduksinya atau untuk bertransaksi di berbagai bidang. Selain hal tersebut dengan adanya kawasan bisnis yang
72
berkembang di kota baru ini berarti ada tempat usaha yang baik, mudah ditemukan dan dijangkau, sehingga akan menarik baik bagi konsumen perumahan kota baru itu sendiri maupun untuk penghuni yang mata pencahariannya atau yang hobbinya berbisnis. Keberadaan kawasan bisnis di area kota baru yang relatif dekat dengan kawasan permukiman tentunya akan memberikan keuntungan bagi masyarakat setempat, namun juga keberadaan kawasan bisnis tersebut juga harus memperhatikan aspek lingkungan sekitar, sehingga kawasan kota baru tetap berkelanjutan walau dalam kondisi apapun.
Leverage of Attributes Peluang usaha
0.44 0.66
Kelayakan lingk usaha 0.48
Kemampuan daya beli masy Attribute
1.81
Tingkat pengangguran 1.19
Pertokoan kawasan 0.31
Tingkat pendapatan
1.48
Keberadaan industri Kawasan bisnis
2.57 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 17. Peran masing-masing atribut dimensi ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) Atribut sensitif ke dua adalah tingkat pengangguran. Walaupun Kota Baru BSD adalah kota baru yang sudah modern dengan kondisi keberlanjutan yang masuk pada kategori cukup, namun ternyata juga tidak pernah terlepas dari masalah pengangguran. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat setempat diketahui bahwa pada umumnya masyarakat yang ada di lokasi tersebut mempunyai pekerjaan tetap, namun demikian diantara masyarakat tersebut terutama yang berada di sekitar perumahan terencana cukup banyak yang tidak mempunyai pekerjaan tetap (pengangguran), sehingga dapat mengganggu ketentraman. Berdasarkan wawancara juga terungkap bahwa penganggur yang paling banyak terutama berasal dari masyarakat pendatang yang datang ke kota baru untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu maka terjadinya urbanisasi dari desa ke
73
kota merupakan salah satu aspek yang perlu diwaspadai mengingat urbanisasi seringkali meningkatkan jumlah penganggur, di lain pihak meningkatnya jumlah penganggur ini seringkali berdampak pada ketidak kondusifan di dalam kawasan. Hingga saat ini pengangguran masih menjadi masalah besar di berbagai lokasi, bahkan di kota besar sekalipun, oleh karena itu maka harus dicari jalan keluar yang tepat, mengingat pengangguran dapat menjadi persoalan yang berakibat pada terganggunya stabilitas sosial, politik dan ekonomi. Oleh karenanya apabila masalah pengangguran tidak dapat terpecahkan, maka suatu saat akan sangat membahayakan kelangsungan
pemerintahan
suatu
negara,
mengingat
pengangguran
akan
mengakibatkan timbulnya kerawanan sosial. Atribut sensitif ke tiga adalah keberadaan kawasan industri. Pada dasarnya Kota Baru BSD merupakan kota baru mandiri, dalam arti masalah ekonomi dan sosial, berupaya untuk dipecahkan sendiri, termasuk di dalamnya masalah pengangguran. Dalam rangka menunjang Kota Baru BSD menjadi wilayah yang mandiri, maka selain harus terdapat kawasan bisnis. Hal yang juga sangat perlu ada adalah terdapatnya kawasan industri, mengingat kawasan industri merupakan kawasan yang dapat menggairahkan kondisi ekonomi kawasan, dapat meningkatkan PAD, dan PDRB serta akan membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu maka kawasan industri mutlak harus ada di kota baru. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Miranti (2007) yang mengatakan bahwa industri ini merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja cukup besar. Pada 2006, industri ini memberikan kontribusi sebesar 11,7 % terhadap total ekspor nasional, 20,2 % terhadap surplus perdagangan nasional, dan 3,8 % terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) nasional. Selain hal tersebut di atas, keberadaan kawasan industri juga perlu mendapat perhatian yang cukup serius, mengingat di lokasi ini akan terjadi aktifitas antropogenik yang begitu tinggi, termasuk di dalamnya pembakaran BBF, pembuangan sampah dan pembuangan limbah cair. Hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup serius karena menurut Abou et al. (2002) pada limbah industri ditemukan limbah B3 dengan jumlah umumnya lebih tinggi dibanding kegiatan lain. Namun demikan limbah B3 dari industri pada lokasi yang terkonsentrasi di kawasan industri (point source) seperti yang terjadi di Kota Baru BSD, relatif lebih mudah untuk dilakukan pengawasan dan penanganannya karena dapat dibuat IPAL komunal (Allenby, 1999).
74
Atribut sensitif ke empat adalah keberadaan pertokoan di kawasan kota baru. Di pertokoan banyak transaksi yang terjadi, dan di kawasan pertokoan pula peredaran uang sangat besar, sehingga pertokoan idealnya harus mengikuti pusat permukiman berada, begitu pula dengan kebalikannya. Hal ini terjadi karena masyarakat merupakan faktor penting dalam penentuan keberadaan pertokoan, mengingat keberadaan pertokoan disamping dapat memberi manfaat tapi juga dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat, terutama yang tinggal berdekatan dengan pertokoan pada khususnya. Oleh karena itu penerimaan masyarakat akan keberadaan pertokoan menjadi sangat penting untuk diperhatikan, mengingat bukan tidak mungkin di lokasi tersebut dapat terjadi konflik dengan masyarakat. 5.2.3. Dimensi Sosial dan Budaya Pada penelitian ini didapatkan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 %. Nilai dimensi sosial budaya ini jauh di bawah nilai 50, sehingga termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Selain hal itu nilai dimensi sosial budaya ini juga berada di bawah indeks keberlanjutan dimensi ekologi maupun dimensi ekonomi.
Hal ini memperlihatkan bahwa di kawasan kota baru
terdapat indikasi bahwa adanya kegiatan yang mendekati gaya metropolitan di kota baru mengakibatkan relatif melunturnya aspek sosial budaya, yang terlihat dari tidak terdapat lagi budaya asli wilayah tersebut, sehingga budaya masyarakat setempat sudah luntur dan tidak didapati lagi di kawasan Kota Baru BSD. Selain itu masyarakat di Kota Baru BSD juga relatif lebih bersifat individual, sehingga perlu dilakukan berbagai hal untuk meningkatkan status nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini, terutama dalam hal perbaikan terhadap beberapa atribut yang sensitif yang akan mempengaruhi nilai indeks tersebut secara nyata. Untuk lebih jelasnya nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial dan budaya dapat dilihat pada Gambar 18. Adapun peran masing-masing aspek pada atribut sosial budaya ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 19. Pada Gambar 19 terlihat bahwa atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi sosial-budaya terdiri dari lima atribut, yaitu: (1) kepedulian, dan tanggung jawab masyarakat terhadap sumberdaya, (2) status kesehatan masyarakat, (3) pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (4) keragaman budaya dalam masyarakat dan (5) konflik dengan masyarakat lokal.
75
RAPPERUMTES Ordination 60
Up
40
20
Bad 0 0
26,49 % 26,49 % 20
Good 40
60
80
100
120
-20
-40
-60
Down Status Permukiman
Gambar 18. Indeks keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kota Baru BSD Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh tiga atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya yaitu (1) pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal, (2) keragaman budaya dalam masyarakat, dan (3) konflik dengan masyarakat lokal. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dan terus ditingkatkan dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini meningkat di masa yang akan datang. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya dalam pengembangan permukiman tepi sungai di Jakarta. Hasil analisis laverage dapat dilihat seperti Gambar 19. Pada Gambar 19 terlihat bahwa atribut yang paling sensitif yang harus benarbenar diperhatikan adalah adanya pengaruh keberadaan Kota Baru BSD pada nilai sosial budaya lokal, keragaman budaya dalam masyarakat, dan konflik antara masyarakat yang tinggal di kawasan permukiman Kota Baru BSD dengan masyarakat lokal. Hal ini dapat dimengerti mengingat masyarakat yang tinggal di suatu kawasan perumahan perkotaan, seperti halnya di BSD pada umumnya terdiri dari beragam etnik, adat juga latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu maka keragaman tersebut
76
harus menjadi modal dasar untuk melakukan pembangunan, mengingat apabila keragaman itu tidak dikelola dengan baik, pada umumnya akan memudahkan terjadinya konflik.
Leverage of Attributes Keberadaan BSD pada sosial budaya
3.87
Konflik dengan Masyarakat lokal
3.70
Attribute Keragaman budaya dlm masyarakat
3.72
Status kesehatan masyarakat
1.88
Kepedulian&tg.jawab Pada sumberdaya
2.39 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 19. Peran masing-masing atribut dimensi sosial dan budaya yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS) Dalam rangka menjaga agar tidak terjadi konflik, maka masyarakat yang mempunyai karakter multi-etnis dan multi-agama seperti yang terjadi di Kota Baru BSD harus selalu menggali wawasan kebangsaan, sehingga dapat menghindari adanya berbagai ketegangan dan dapat menghindarkan terjadinya konflik masyarakat. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di kawasan permukiman seharusnya bisa dihindari apabila ada rasa toleransi yang tinggi terhadap perbedaan yang ada. Kondisi tersebut terjadi karena adanya toleransi antara etnis yang satu dengan etnis yang lain tidak pernah hadir dengan sendirinya. Dalam hal ini toleransi baru akan muncul jika dari lubuk hati masing-masing terdapat empati. Adapun yang dimaksud dengan empati di sini adalah hati nurani manusia untuk ikut serta merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain;
seperti turut bergembira pada saat melihat orang lain
bahagia, dan turut berduka apabila orang lain ada yang sedang mendapatkan masalah/musibah/kedukaan atau dengan kata lain empati merupakan rasa kepedulian terhadap sesama. Oleh karena itu maka apabila masing-masing anggota masyarakat
77
memiliki rasa empati terhadap orang lain, maka akan terbangun rasa untuk saling menerima dan menghargai orang lain, sehingga nilai toleransi akan terbangun dengan baik. Pada suatu kawasan permukiman yang terdapat di perkotaan, kemungkinan adanya keranekaragaman etnis sangat tinggi, mengingat masyarakat yang ada di kota baru berasal dari berbagai daerah, dengan adat istiadat dan bahkan mungkin agama yang beranekaragam. Oleh karena itu maka pada kawasan permukiman baru, seperti halnya di Kota Baru BSD, potensi bahaya konflik selalu tinggi.
Adapun konflik yang
mungkin muncul di kawasan kota baru antara lain adalah konflik ketenaga kerjaan, konflik agama, konflik budaya (adat istiadat dan kebiasaan), konflik pertanahan (walau awalnya lebih ke antara pengembang dan masyarakat lokal), konflik atas sumber daya alam, dsb. Satu jenis atau berbagai jenis konflik tersebutpada umumnya akan muncul ke permukaan dalam bentuk konflik antar etnis dan konflik antar agama. Adanya ketidak adilan baik dalam hal aspek sosial, budaya, maupun ekonomi seringkali menjadi lahan subur untuk terjadinya konflik. Oleh karena itu dalam satu kawasan permukiman di kota baru seperti BSD harus selalu dijaga agar masyarakat yang ada di dalamnya merasa diperlakukan adil, dan jangan sampai membiarkan terjadinya kepentingan dari luar yang sengaja memanaskan suasana dalam kawasan permukiman tersebut, sehingga akan meredam terjadinya konflik. Kenyataan yang ada saat ini, baik di kota baru, maupun di seluruh peloksok perkotaan, cenderung terdapat kesenjangan yang diakibatkan oleh kebijakan pembangunan ekonomi yang kurang mendukung. Hal ini terjadi karena adanya perubahan yang sangat cepat, sementara kondisi budaya bangsa belum dapat mengimbangi perubahan yang sangat cepat tersebut.
Hal ini pada akhirnya
mengakibatkan krisis ekonomi merambah ke aspek-aspek lainnya, sehingga krisis ekonomi tersebut akhirnya berkembang menjadi krisis moral, krisis sosial, krisis politik, dan krisis multidimensional yang mengakibatkan terbentuknya konflik sosial, bahkan malah pada akhirnya mengakibatkan terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu maka agar hal tersebut tidak sampai terjadi, maka hal yang harus benar-benar diperhatikan sedini mungkin adalah melakukan pengelolaan terhadap keragaman budaya yang ada pada suatu kawasan permukiman dan kota baru sebaik dan secermat mungkin.
78
Dalam rangka menciptakan terwujudnya masyarakat yang merasa diperlakukan adil dan damai serta terwujudnya masyarakat yang kondusif di kawasan kota baru dengan masyarakat sekitarnya, adalah harus memahami adanya ragam budaya atau multikulturalisme, yakni mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik secara individual maupun secara kebudayaan. Oleh karena itu maka masyarakat harus dipandang sebagai pemilik sebuah kebudayaan, dan kebudayaan sendiri merupakan
modal
dasar
pembangunan,
sehingga
adanya
kebudayaan
yang
beranekaragam menjadi modal pembangunan yang sangat besar untuk memajukan sebuah kota baru, bahkan bangsa dan negara.
Selain hal tersebut pada konteks
keragaman budaya, multikulturalisme jangan diartikan sebagai konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa, mengingat multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Oleh karena itu maka pemahaman multikulturalisme harus mengedepankan kesederajatan dan keadilan dengan
memperhatikan
dan
menekankan
pada
proses
penegakan
hukum,
memungkinkan terbukanya kesempatan untuk bekerja dan berusaha, mengedepankan HAM, mengakui hak budaya komunitas dan golongan minoritas, mengedepankan prinsip-prinsip etika dan moral, namun tetap menekankan pada mutu dan produktivitas. 5.2.4. Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Analisis terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada Kota Baru BSD menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yang cukup tinggi, yakni sebesar 52,20 %.
Nilai tersebut memperlihatkan bahwa
keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi pada pengelolaan Kota Baru BSD masuk pada kategori cukup berkelanjutan (Kavanagh, 2001). Adapun atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari tiga belas atribut, yaitu: (1) ketersediaan sarana dan prasarana penanganan bencana, (2) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (3) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, (4) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah padat, (5) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas perairan, (6) ketersediaan sarana dan prasarana monitoring kualitas udara, (7) ketersediaan sarana dan prasarana fasilitas sosial, (8) penggunaan sarana transportasi, (9) ketersediaan sarana dan prasarana menurunkan emisi GRK, (10) ketersediaan sarana
79
dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, (11) akses masyarakat terhadap utilitas ekonomi, (12) ketersediaan sarana dan prasarana komuter, dan (13) ketersediaan sarana dan prasarana early warning system. RAPPERUMTES Ordination 60
Up
40
20
Bad 0 0
-20
Good 20
-20
40
60
80
100
120
52,20 % 52,20 %
-40
-60
Down Status Permukiman
Gambar 20. Indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi Kota Baru BSD Adapun peran masing-masing aspek pada atribut infrastruktur dan teknologi ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage. Atribut-atribut yang lebih sensitif yang memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi hasil analisis laverage ini diperoleh empat atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi yaitu (1) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, (2) ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, (3) ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan (4) ketersediaan sarana dan prasarana komuter.
Dalam rangka meningkatkan keberlanjutan dimensi infrastruktur dan
teknologi, maka atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi ini meningkat untuk masa yang akan datang, dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang dapat berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi. dapat dilihat seperti Gambar 21.
Hasil analisis laverage tersebut
80
Atribut yang paling penting dari dimensi infrastruktur dan teknologi adalah ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair. Hal ini merupakan satu petunjuk bahwa dalam rangka melestarikan lingkungan Kota Baru BSD sarana pendukung seperti pengolahan limbah domestik cair di suatu kawasan kota baru tidak dapat diabaikan bahkan harus mendapatkan perhatian yang sangat serius, karena hampir setiap aktivitas masyarakat di permukiman akan menghasilkan limbah domestik cair. Selain itu dalam satu kawasan permukiman, jumlah rumah yang ada di dalamnya tidak mungkin jumlahnya sedikit, sehingga limbah domestik yang akan dihasilkan juga jumlahnya akan sangat banyak. Leverage of Attributes 2.46
Sarana monitoring kualitas udarak
0.24
Sarana early warning
3.21
Ketersediaan sarana komuter
Attribute
0.69
Sarana fasilitas sosial
0.52
Sarana penanganan bencana
8.18
Sarana Pengolah limbah domestic cair
4.54
Sarana pengolah limbah industry cair
2.74
Sarana monitoring kualitas air
1.11
Penggunaan sarana transportasi
1.03
Akses terhadap utilitas ekonomi
1.23
Sarana pengolah limbah padat
1.67
Jalan yang efektif&efisien
3.43
Sarana penurun emisi GRK
0
2
4
6
8
10
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 21. Peran masing-masing atribut dimensi infrastruktur dan teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS). Menurut Sitepu (2009) pada limbah domestik ini tidak sekedar hanya terdapat limbah organik mudah urai (BOD), TSS, Minyak dan lemak, namun dapat mengakibatkan tercemarnya lingkungan adalah H2S, orthofosfat, ammonia, nitrit, DO, BOD, COD, phenol dan detergen serta fecal coli. Selanjutnya disarankan agar dalam rangka menghindari terjadinya pencemaran akibat limbah domestik di kawasan perumahan yang dibutuhkan bukan hanya persepsi semata, namun perlu tindakan nyata untuk mewujudkan persepsi tersebut dalam berbagai aksi, seperti aksi melakukan
81
pembangunan IPAL domestik, melakukan pengolahan limbah domestik cair yang efisien dan efektif sehingga dapat menurunkan bahan pencemar dalam limbah cair yang jenisnya semakin beragam. Oleh karena itu maka tersedianya sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair yang memadai di suatu kawasan permukiman atau di kota baru tentunya bukan hanya akan menciptakan suasana yang nyaman bagi penghuninya, namun juga akan dapat menyelamatkan lingkungan dan menjaga kelestarian lingkungan secara makro. Dalam kota baru selain harus tersedia sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, juga perlu disediakan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, mengingat di kota baru selain terdapat permukiman juga terdapat kawasan bisnis, yang di dalamnya terdapat kegiatan industri. Pada kawasan industri hal yang paling sering terjadi adalah sangat sulitnya menghilangkan limbah. Hal ini terjadi karena industri yang ada di kota baru pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya, belum menerapkan konsep produksi bersih, seperti yang diinginkan oleh masyarakat dunia yang tertuang pada Agenda 21 yang menganjurkan dilaksanakannya teknologi bersih, sehingga dapat mengurangi jumlah limbah dan memudahkan pembuangan limbah secara aman (Memahami KTT Bumi, 1992). Limbah industri seringkali banyak disoroti oleh berbagai kalangan, karena limbah industri pada umumnya mengandung berbagai senyawa baik dalam bentuk padat, gas maupun cair yang mengandung senyawa organik dan anorganik yang umumnya termasuk ke dalam limbah yang di dalamnya mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) dengan jumlah yang seringkali melebihi batas yang ditentukan. Kondisi tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya pencemaran, sehingga akan menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan. Industri pada umumnya berpotensi untuk mencemari lingkungan. Oleh karena itu maka salah satu masalah yang perlu mendapat perhatian di kawasan industri yang ada di Kota Baru BSD adalah belum terdapatnya pengolah air buangan (limbah cair industri). Dalam pengolahan air buangan ini, berdasarkan pengamatan di lapang, ada indikasi bahwa perusahaan yang memiliki IPAL di lokasi penelitian relatif hampir tidak ada.
Hal ini disebabkan operasional IPAL dan pemeliharaannya membutuhkan
keterampilan tenaga-tenaga pelaksana dan biaya pengoperasian IPAL tersebut relatif
82
sangat mahal, sehingga menjadi kendala bukan hanya untuk kota baru, namun juga di kawasan industri lainnya yang tersebar di seluruh peloksok tanah air. Kesadaran masyarakat industri dalam melakukan pengelolaan terhadap lingkungan, dalam hal ini terhadap limbah cair yang dihasilkannya juga pada umumnya masih minim. Bahkan tidak hanya itu masih ada beberapa perusahaan (secara umum terjadi di Indonesia) yang beranggapan bahwa program lingkungan dianggap sebagai penghalang oleh perusahaan untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Kondisi ini terjadi karena pengetahuan dan kesadaran para pelaku industri yang relatif minim. Selain hal tersebut, khusus untuk perusahaan yang sudah melakukan program lingkungan, pada umumnya perusahaan tersebut juga sangat tertutup dalam hal informasi kualitas air buangannya.
Oleh karenanya, maka perusahaan-perusahaan
seringkali tidak mau memberikan informasi yang sebenarnya tentang kondisi kualitas limbah cairnya. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan seringkali relatif tidak melaksanakan pengelolaan terhadap lingkungan, atau kalaupun melakukan pengelolaan, maka pengelolaan yang dilakukan relatif tidak optimal, sehingga kualitas limbah cair yang dihasilkannya dan selanjutnya dibuang ke perairan masih relatif jelek. Relatif tidak adanya IPAL di industri-industri Kota Baru BSD diduga karena tingginya biaya investasi dan biaya operasional IPAL. Pada saat ini sebenarnya sudah ada aturan (namun bersifat sukarela) untuk industri-industri yang mengekspor produknya ke berbagainegara. Dalam hal ini apabila industri tersebut melakukan ekspor produknya ke negara-negara Eropa. Negara Eropa umumnya sudah menerapkan agar perusahaan pengekspor ecolabelling sudah menerapkan ecolabelling, sehingga mulai dari input, proses dan out put tidak akan menghasilkan bahan pencemar dan tidak akan merusak lingkungan.
Oleh karena itu, maka berapapun mahalnya instalasi dan
operasionalnya, industri tersebut pada umumnya akan berupaya membangun IPAL dan melaksanakan produksi bersih, sehingga produknya dapat diekspor. Oleh karena itu, maka ada baiknya jika perusahaan-perusahaan yang berlokasi di Kota Baru BSD didorong agar melakukan ekspor ke negara-negara Eropa, sehingga perusahaan tersebut dituntut oleh konsumennya untuk melaksanakan program ecolabelling secara sukarela. Atribut sensitif lain yang harus diperhatikan pada pengelolaan lingkungan di kota baru adalah ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien, dan ketersediaan sarana dan prasarana komuter. Hal ini disebabkan keberadaan sarana
83
transportasi yang memadai dan sistem transportasi dan terutama infrastruktur jalan raya yang efektif dan efisien merupakan salah satu alat terpenting untuk mencapai standar kehidupan yang tinggi, tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan. Oleh karenanya sangat wajar jika pada akhirnya membawa konsekuensi penggunaan teknologi baru yang lebih canggih, seperti interchanges, jalan-jalan layang (fly overs), jalan bebas hambatan (freeways), jalur kereta layang (elevated railways track). Adapun tanda-tanda lalu lintas yang terkoordinasi, dan sebagainya untuk menampung kecepatan yang lebih tinggi dan aliran (jumlah) lalu lintas yang lebih besar, terutama di daerah perkotaan, sehingga efektifitas tersebut tidak terlalu mengakibatkan terjadinya kemacetan lalu lintas dan pencemaran udara dan kebisingan. Dalam rangka menciptakan jaringan jalan yang efektif dan efisien, maka harus dibuat perencanaan tata guna lahan atau perencanaan sistem transportasisedemikian rupa, sehingga dapat mencapai keseimbangan yang efisien antara potensi tata guna lahan dengan kemampuan transportasi. Selain hal tersebut dalam melakukan pengembangan teknologi di bidang transportasi juga hendaknya adalah teknologi prasarana transportasi berupa jaringan jalan, mengingat sistem transportasi yang berkembang semakin cepat menuntut perubahan tata jaringan jalan yang dapat menampung kebutuhan lalu lintas yang berkembang tersebut. Transportasi juga memegang peran strategis untuk berfungsinya suatu metropolitan, yang di dalamnya bukan hanya metropolitan semata sebagai kota induk, namun juga terdapat kota di sekitarnya yang bersifat satelit, yang mandiri atau masih erat terkait dengan kota induknya. Adapun kota tersebut, tidak lain adalah kota baru. Jaringan transportasi penumpang untuk menghubungkan antara kawasan permukiman di kota baru dengan tempat kerja merupakan fungsi yang amat menentukan struktur transportasi antara kota induk dan kota satelitnya. Tingginya peradaban masyarakat kota metropolitan yang didukung oleh tingginya pendapatan, pada umumnya akan mendorong meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi.
Hal ini disebabkan penggunaan kendaraan pribadi merupakan cerminan
peningkatan taraf hidup seseorang, sekaligus memenuhi kebutuhan mobilitas yang tinggi di perkotaan.
Pertumbuhan penggunaan kendaraan pribadi yang disatu sisi
merupakan keberhasilan dari penyediaan sistem jaringan transportasi (jalan) dengan peningkatan kemakmuran dan mobilitas penduduk, disisi lain menimbulkan kerusakan
84
kualitas kehidupan karena terjadinya kemacetan, polusi udara dan polusi suara (Tamin, 2005). Oleh karena itu maka untuk menghindari pemakaian kendaraan pribadi yang berlebihan maka perlu diciptakan kendaraan pengangkut penumpang masal yang aman, nyaman dan cepat. Khusus untuk masyarakat Kota Baru BSD yang umumnya bekerja di kota utama atau di kota satelit lainnya, dalam rangka menjaga efisiensi dan efektitas serta untuk menghindari terjadinya pencemaran maka harustersedia sarana dan prasarana komuter, atau dengan kata lainperlu tersedia kendaraan yang dapat mengangkut penumpang yang jumlahnya banyak dan mobilitasnya tinggi.
Hal ini
sesuai dengan pendapat Dardak (2006) yang mengatakan bahwa diperlukan jaringan transportasi massal (mass transit) yang beragam jenis dan kombinasinya dengan ongkos yang mampu dibayar oleh masyarakat dan tidak terlalu membebani anggaran daerah. Oleh karena itu maka kapasitas sistem jaringan transportasi komuter harus didesain sedemikian rupa untuk dapat menampung bangkitan lalu lintas dari sistem kegiatan sehingga tidak terjadi kemacetan. 5.2.5. Dimensi Hukum dan Kelembagaan Hasil analisis terhadap dimensi hukum dan kelembagaan (Gambar 22) mendapatkan hasil bahwa nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan adalah 59,95 % (Kavanagh, 2001). Hal ini menunjukkan bahwa status keberlanjutan untuk dimensi hukum dan kelembagaan adalah cukup berkelanjutan.
Seperti pada
dimensi lainnya, peran masing-masing aspek pada atribut hukum dan kelembagaan ini dianalisis dengan menggunakan analisis leverage seperti yang terlihat pada Gambar 23. Walaupun dimensi hukum dan kelembagaan sudah cukup berkelanjutan, maka perlu dilakukan lagi upaya agar dimensi hukum dan kelembagaan menjadi sangat berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terhadap nilai indeks dimensi hukum dan kelembagaan sangat perlu dilakukan sehingga nilai indeks ini dimasa yang akan datang dapat terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar didasarkan pada kondisi eksisting wilayah.
85
RAPPERUMTES Ordination
60
Up
40
20
Bad
Good
0 -20
0
20
40
60
80
100
120
59,95 %
-20
-40
Down
-60
Status Permukiman
Gambar 22. Indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kota Baru BSD Atribut
yang
diperkirakan
memberikan
pengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari delapan atribut, yaitu: (1) tersedianya organisasi pengelola lingkungan, (2) keberadaan peraturan perundangundangan tentang pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan di lingkup kawasan kota baru, (3) kompetensi pengelola kawasan kota baru, (4) sinkronisasi peraturan dengan pusat, (5) kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan, (6) intensitas pelanggaran hukum, (7) egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, dan (8) konsistensi penegakan hukum. Dalam rangka melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indek keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan dilakukan analisis laverage. Berdasarkan hasil analisis laverage diperoleh enam atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan yaitu (1) kompetensi pengelola kawasan kota baru, (2) egosektoral dalam pengelolaan lingkungan, (3) konsistensi penegakan hukum, (4) tersedianya organisasi pengelola lingkungan, (5) intensitas pelanggaran hukum, dan (6) sinkronisasi peraturan dengan pusat.
Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks
86
keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan ini meningkat untuk masa yang akan datang. Adapun hasil analisis laverage dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23.
Leverage of Attributes Konsistensi penegakan hukum
4.48
Egosektoral dalam pengelolaan lingkungan
4.68
Kompetensi pengelola kota baru
Attribute
4.82 3.61
Sinkronisasi peraturan dgn pusat Organisasi pengelola lingkungan
4.24
Kelengkapan dokumen pengelolaan lingkungan
1.51
Keberadaan peraturan pengelolaan SDA
1.45
Intensitas pelanggaran hukum
4.02 0
1
2
3
4
5
6
Root mean square Change % in Ordination when Selected Attribute Removed (on Status scale 0 to 100)
Gambar 23. Peran masing-masing atribut dimensi hukum dan kelembagaan yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai root mean square (RMS). Pada dasarnya terdapat berbagai hal yang sangat penting untuk memelihara dan mempertahankan kelestarian lingkungan di kawasan kota baru, baik di kawasan permukimannya maupun di lokasi lain di kota baru.
Adapun hal-hal yang sangat
penting tersebut adalah kompetensi pengelola kawasan kota baru.
Hal ini sangat
penting untuk diperhatikan, mengingat keberhasilan pengelolaan lingkungan akan sangat tergantung pada kompetensi pengelolanya.
Pengelola yang kompeten di
bidangnya pada umumnya akan memahami apa yang harus dilakukan dalam melakukan pengelolaan lingkungan sekaligus akan mengetahui parameter kunci dan trik-trik implementasi pengelolaan lingkungan, sehingga pengelolaan dapat dilakukan dengan baik dan relatif akan berhasil dengan baik. Pada pengelolaan lingkungan, termasuk di kota baru, seringkali egosektoral dalam pengelolaan lingkungan sangat kental terjadi terutama antara dinas-dinas di kabupaten atau kota yang berkepentingan.
Kondisi ini seringkali mengakibatkan
gagalnya pengelolaan lingkungan di satu wilayah. Selain adanya egosektoral, hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah konsistensi penegakan hukum. Ada indikasi bahwa
87
penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik, sehingga kondisi ini mengakibatkan tidak menariknya masyarakat atau perusahaan untuk berpartisipasi melakukan pengelolaan lingkungan. Untuk itu maka hal ini harus menjadi perhatian yang cukup serius bukan hanya di lokasi penelitian namun untuk Indonesia secara keseluruhan. Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan berlanjut dengan baik atau bahkan sangat baik adalah tersedianya organisasi pengelola lingkungan. Adanya kelembagaan ini secara tidak langsung juga akan membangun “wadah” jaringan kerjasama antara stakeholders yang berfungsi sebagai jaringan kerjasama dan koordinasi. Pihak yang membentuk wadah tersebut dapat terdiri dari beberapa unit seperti masyarakat, pengembang, pemerintah dan instansi terkait. Adapun prinsip organisasi tersebut adalah pelibatan stakeholders yang peduli dan berkepentingan terhadap kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, danketerlibatan stakeholder akan lebih bersifat terbuka, berdasarkan kesetaraan dan partisipasi, mekanisme negosiasi yang saling menguntungkan, berkeadilan, keputusan berdasarkan prinsip demokrasi. Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan berlanjut dengan baik adalah masih tingginya intensitas pelanggaran hukum. Hal ini terjadi karena kompetensi pengelola kawasan kota baru, para penegak hukum serta pihak eksekutif dan legislatif yang relatif belum mempunyai kompetensi yang baik dalam melakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan relatif kurang dapat membedakan mana yang betul-betul benar dan mana yang sesungguhnya salah/keliru/kurang pas. Atribut sensitif yang harus diperhatikan agar dimensi hukum dan kelembagaan berlanjut dengan baik adalah sinkronisasi peraturan dengan pusat.
Dalam hal ini
seringkali tata tertib dalam masyarakat dan di kawasan kotabaru dapat saja tidak sinkron, sehingga akan membuat kebingungan masyarakat bawah yang pada akhirnya berujung pada gagalnya pengelolaan lingkungan di kawasan kota baru. 5.2.6. Multidimensi Hasil analisis Rap-KOBA multidimensi pengelolaan lingkungan kota baru yang keberlanjutan dilakukan berdasarkan kondisi eksisting, diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 46,75 % dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan. Nilai
88
ini diperoleh berdasarkan penilaian 45 atribut dari lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial-budaya, dan infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan.
Hasil analisis multidimensi dengan Rap-KOBA mengenai
pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD memperlihatkan bahwa diantara kelima dimensi tersebut, dimensi yang mempunyai indeks keberlanjutan paling tinggi adalah dimensi hukum dan kelembagaan, diikuti dimensi ekonomi dan infrastruktur dan teknologi yang keduanya masuk pada kategori berkelanjutan. Hasil analisis memperlihatkan bahwa dimensi hukum dan kelembagaan, dimensi ekonomi dan infrastruktur serta dimensi teknologi dan ketiga dimensi tersebut masuk pada kategori cukup berkelanjutan. Namun dimensi ekologi masuk pada kategori belum berlanjut, serta dimensi sosial budaya masuk pada kategori buruk Atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis laverage masing-masing dimensi sebanyak 22 atribut. Atribut-atribut ini perlu dilakukan perbaikan ke depan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan lingkungan di Kota Baru BSD. Perbaikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas atribut yang mempunyai dampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dan menekan sekecil mungkin atribut yang berpeluang menimbulkan dampak negatif atau menurunkan nilai indeks keberlanjutan kawasan. Hasil analisis dengan menggunakan Rap-KOBA (MDS) diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi sebesar 42,22 % dengan status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi sebesar 53,17 % dengan status cukup berkelanjutan, dimensi sosial-budaya sebesar 26,49 % dengan status tidak berkelanjutan, dimensi infrastruktur dan teknologi sebesar 52,20 % dengan status cukup berkelanjutan, dan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 59,95 % dengan status cukup berkelanjutan. Atribut-atribut yang dinilai oleh para pakar tersebut didasarkan pada kondisi eksisting wilayah. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-KOBA dapat dilihat pada Gambar 24. Pada konsep pembangunan berkelanjutan harus mengintegrasikan setidaknya aspek ekologi, ekonomi, dan sosial. Konsep ini pada dasarnya telah disepakati secara global sejak diselenggarakannya United Nation Conference on The Human Environment di Stockholm tahun 1972, dengan harapan agar dapat memenuhi kebutuhan generasi
89
sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987).
Selain hal tersebut menurut Komisi Burtland,
pembangunan berkelanjutan bukanlah kondisi yang kaku mengenai keselarasan, tetapi lebih merupakan suatu proses perubahan agar eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi, dan perubahan institusi dibuat konsisten dengan masa depan seperti halnya kebutuhan saat ini.
Kaitan pernyataan tersebut di atas
dengan nilai keberlanjutan pada setiap dimensi pada penelitian ini, bahwa semua nilai indeks keberlanjutan dari setiap dimensi tersebut tidak harus memiliki nilai yang sama besar. RAPPERUMTES Ordination 60
Up
40
20
Bad 0 0
Good 20
40
46,75 % 46,75 %
60
80
100
120
-20
-40
-60
Down Status Permukiman Multidimensi
Gambar 24. Indeks keberlanjutan multidimensi permukiman Kota Baru BSD Hal ini disebabkan kawasan Kota Baru BSD memiliki masalah yang berbedabeda, sehingga prioritas dimensi apa yang lebih dominan untuk menjadi perhatian pun juga akan berbeda. Pada prinsipnya nilai indeks keberlanjutan gabungan dari kelima dimensi yang dilihat di sini masih berada pada kategori kurang berlanjut. Oleh karena itu maka dalam rangka meningkatkan keberlanjutan pada setiap dimensi harus benarbenar memperhatikan atribut-atribut sensitif terutama pada dimensi ekologi dan sosial budaya. Namun demikian pada dimensi lainnya pun tetap harus ditingkatkan status keberlanjutannya, dengan cara memperhatikan atribut-atribut sensitif yang dapat meningkatkan status keberlanjutan dari semua dimensi pada Rap-KOBA tersebut.
90
Ekologi 100
(42,22 %) %) (42,22
80 60 Hukum dan Kelembagaan
(59,95%) %) (59,95
Infrastruktur dan Teknologi
(52,20 (52,20 %) %)
40 20 0
Ekonomi
(53,17 %) (53,17%)
Sosial dan Budaya
(26,49%) %) (26,49
Gambar 25. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan Kota Baru BSD Hasil analisis Monte Carlo menunjukkan bahwa nilai indeks keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD pada taraf kepercayaan 95 %, memperlihatkan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis Rap-KOBA (multidimensional scaling). Hal ini mengandung arti bahwa kesalahan dalam analisis dapat diperkecil baik dalam hal pemberian skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring akibat terjadinya perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo seperti pada Tabel 12. Hasil analisis Rap-KOBA tersebut di atas, juga menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, cukup akurat, sehingga memberikan hasil analisis yang semakin baik dan dapat dipertanggung jawabkan. Hal ini terbukti dari nilai stress yang hanya antara 13 sampai 14 % dan nilai koefisien determinasi (R2) yang diperoleh antara 0,94 dan 0,97. Hal ini sesuai dengan pendapat Fisheries (1999), yang menyatakan bahwa hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari ketetapan yang ada, yakni nilai 0,25 (25 %).
91
Tabel 12. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis Monte Carlo dengan analisis Rap-KOBA Dimensi Keberlanjutan Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya Infrastruktur dan Teknologi Hukum dan Kelembagan Multi-Dimensi
Nilai Indeks Keberlanjutan (%) MDS Monte Carlo 42,22 42,29 43,71 43,24 26,49 27,02 52,20 46,46 59,95 58,23 46,69 45,05
Perbedaan 0,07 0,47 0,53 5,74 1,72 1,64
Nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan dari penelitian ini mendekati nilai 1,0. Berdasarkan kesepakatan terhadap nilai koefisien determinasi bahwa kualitas hasil analisis dikatakan semakin baik jika nilai koefisien determinasi semakin besar (mendekati 1). Hal ini memperlihatkan bahwa kualitas hasil analisis berdasarkan nilai R2-nya semakin baik. Dengan demikian berdasarkan dua parameter (nilai “stress” dan R2) tersebut menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada
analisis
keberlanjutan pengelolaan lingkungan kota baru di kawasan Kota Baru BSD, Kabupaten Tangerang Selatan masuk pada kategori yang relatif baik dalam menerangkan kelima dimensi pembangunan yang dianalisis. Adapun nilai stress dan koefisien determinasi seperti Tabel 13. Tabel 13. Hasil analisis Rap-KOBA untuk nilai stress dan koefisien determinasi (R2) Parameter Stress R2 Iterasi
A 0,14 0,94 3
B 0,13 0,96 3
Dimensi keberlanjutan C D 0,13 0,14 0,97 0,94 3 3
E 0,13 0,97 3
F 0,13 0,94 3
Keterangan : A = Dimensi Ekologi, B = Dimensi Ekonomi, C = Dimensi Sosial-Budaya, D = Dimensi Infrastruktur-Teknologi, E = Dimensi Hukum-Kelembagaan, dan F = Multidimensi
Pada penelitian ini selanjutnya dilakukan pengujian terhadap tingkat kepercayaan nilai indeks multidimensi serta pada setiap dimensi yang digunakan, dengan analisis Monte Carlo. Adapun yang dimaksud dengan analisis Monte Carlo
92
adalah analisis berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number dan didasarkan pada teori statistika, sehingga dari sini akan didapatkan dugaan peluang suatu solusi persamaan atau model matematis (EPA 1997). Pada penelitian ini penggunaan analisis Montecarlo dimaksudkan untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada setiap dimensi yang digunakan pada penelitian ini, terutama untuk melihat pengaruh kesalahan yang disebabkan oleh kesalahan prosedur atau pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang (missing data), dan nilai “stress” yang terlalu tinggi. Adanya analisis Montecarlo ini, harapannya agar hasil akhir analisis keberlanjutan ini dapat mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi (Kanvanagh, 2001 serta Fauzi dan Anna, 2002). Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo (Tabel 14) terlihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ada pada selang kepercayaan 95% dengan hasil antara analisis MDS dengan analisis Monte Carlo yang hampir mirip. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut dapat dikatakan relatif kecil; variasi pemberian skor akibat perbedaan opini juga relatif kecil. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa proses analisis yang dilakukan pada penelitian ini mempunyai ulangan yang cukup dan relatif stabil pada setiap ulangan; serta dapat dikatakan terhindar dari kesalahan pemasukan data dan data yang hilang (Kanvanagh, 2001). Tabel 14. Hasil analisis Monte Carlo pada selang kepercayaan 95%. Status Indeks Multidimensi Ekologi Ekonomi Sosial-Budaya Infrastruktur dan Teknologi Hukum dan Kelembagaan
MDS 36,86 36,14 53,18 40,42
Hasil analisis Monte Carlo 36,43 36,44 52,74 41,38
Perbedaan 0,43 0,30 0,44 0,96
23,17
24,04
0,87
26,07
27.10
1,03
Perbedaan yang relatif kecil ini juga memperlihatkan bahwa hasil analisis keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dengan menggunakan metode
93
MDS memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi (Pitcher, 1999). Oleh karena itu maka hasil analisis ini dapat direkomendasikan untuk dijadikan salah satu alat evaluasi dalam menilai secara cepat (rapid appraisal) keberlanjutan dari sistem pengelolaan lingkungan kota baru di suatu wilayah/daerah. 5.2.7. Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan Pada proses pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD ini, semua atribut sensitive yang merupakan faktor pengungkit ini harus diperhatikan dengan seksama dan harus dilakukan berbagai upaya terhadap hal-hal yang berkaitan dengan faktor pengungkit tersebut, sehingga status keberlanjutan dari setiap dimensi dapat ditingkatkan dan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD menjadi berkelanjutan. Dalam arti dalam melakukan pembangunan kota baru ini secara ekonomi akan sangat menguntungkan, secara ekologi akan membuat lingkungan kawasan kota baru menjadi lestari, namun tetap berkeadilan dan memberikan kemakmuran dan tidak terdapat konflik pada masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Munasinghe (1993) bahwa dalam pembangunan berkelanjutan, paling tidak harus menjabarkan konsep pembangunan berkelanjutan yakni secara ekonomi harus menguntungkan, berkeadilan, namun tidak mengakibatkan rusaknya lingkungan.
Untuk lebih jelasnya faktor
pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dapat dilihat pada Tabel 15. Secara operasional, seluruh faktor pengungkit tersebut memiliki keterkaitan dalam bentuk pengaruh dan ketergantungan antar faktor. Hal ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan kegiatan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD secara berkelanjutan. Namun mengingat cukup banyak faktor pengungkit yang didapat, dan pasti ada yang lebih dominan yang akan menentukan keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, maka pada penelitian ini dilakukan analisis lanjutan dalam rangka menentukan faktor dominan penentu keberlanjutan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD dengan menggunakan analisis prospektif. Untuk selanjutnya faktor dominan yang dihasilkan dari analisis prospektif tersebut digunakan sebagai basis dalam perumusan prioritas kebijakan dalam pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD.
94
Tabel 15
Faktor pengungkit setiap dimensi pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD
Dimensi
Faktor pengungkit
Ekologi
1. 2. 3. 4. 5.
ketersediaan air bersih manajemen banjir/bencana permasalahan transportasi pencemaran udara/emisi ketersediaan pengolah limbah cair
Ekonomi
6. 7. 8. 9.
keberadaan kawasan bisnis tingkat pengangguran keberadaan kawasan industri keberadaan pertokoan kawasan
Sosialbudaya
10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal 11. keragaman budaya dalam masyarakat 12. konflik dengan masyarakat lokal
Infrastruktur dan Teknologi
13. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair 14. ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair 15. ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien 16. ketersediaan sarana dan prasarana komuter
Hukum dan Kelembagaan
17. 18. 19. 20. 21. 22.
kompetensi pengelola kawasan kota baru egosektoral dalam pengelolaan lingkungan konsistensi penegakan hukum tersedianya organisasi pengelola lingkungan intensitas pelanggaran hukum sinkronisasi peraturan dengan pusat
Pada penelitian ini penentuan faktor dominan didasarkan pada faktor pengungkit yang mempunyai pengaruh besar, namun tingkat ketergantungannya rendah.
Hasil
analisis prospektif yang dilakukan pada penelitian ini, diperoleh lima faktor kunci (faktor penentu) keberhasilan pengelolaan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD yaitu
faktor-faktor
yang
mempunyai
pengaruh
yang
besar
dengan
tingkat
ketergantungan yang kecil (Bourgeois dan Jesus, 2004). Adapun faktor-faktor kunci tersebut adalah (1) pencemaran udara/emisi, (2) ketersediaan pengolah limbah cair, (3) ketersediaan sarana dan prasarana komuter, (4) tersedianya organisasi pengelola
95
lingkungan, dan (5) ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien. Untuk lebih jelasnya hasil analisis prospektif ini dapat dilihat pada Gambar 26. Mengingat ke lima faktor tersebut di atas merupakan faktor kunci keberhasilan pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, maka faktor-faktor tersebut perlu sangat diperhatikan dan ditindaklanjuti, seperti pada uraian di bawah ini. Pencemaran Udara/Emisi Kota metropolitan DKI Jakarta dengan kota satelitnya, seperti Kota Baru BSD merupakan kota-kota yang melaksanakan pembangunan ekonomi cukup pesat. Di lain pihak peningkatan pembangunan ekonomi tersebut selalu diikuti dengan meningkatnya kegiatan industri dan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor.
Peningkatan
kedua hal tersebut, umumnya tidak hanya memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, namun juga menyebabkan menurunnya kualitas udara terutama di wilayah perkotaan, termasuk di dalamnya di Kota Baru BSD. Menurunnya kualitas udara wilayah perkotaan dari sektor transportasi dan industri ini, disebabkan tingginya pembakaran bahan bakar fosil (BBF). Bahkan menurut Lvovsky et al. (2000), dari sektor transportasi saja di wilayah kota baru dapat terjadi peningkatan penggunaan BBF hingga 53 persen. Tingginya penggunaan bahan bakar fosil (BBF) tersebut menyebabkan kontribusi sektor transportasi terhadap turunnya kualitas udara di berbagai kota besar di dunia yang rata-rata mencapai 70 persen atau lebih (Tietenberg , 2003). Selain adanya peningkatan transportasi yang signifikan dari kegiatan di kota, di kota metropolitas dan kota satelitnya seringkali untuk mempercepat terjadinya pertumbuhan ekonomi, maka aktivitas industri atau aktivitas ekonomi lainnya juga semakin meningkat. Bahkan bukan hanya itu kawasan perkotaan (dan daerah manapun) pada umumnya selalu berupaya untuk mencari investor yang akan berinvestasi di bidang industri. Namun kenyataannya karena sarana dan prasarana di perkotaan cukup mendukung, maka kegiatan industri dan kegiatan ekonomi lainnya lebih terpusat di kota-kota besar dan kota satelitnya. Di lain pihak dampak dari terkonsentrasinya pembangunan ekonomi dan industri di perkotaan ini adalah tingginya arus urbanisasi. Tingginya urbanisasi di perkotaan juga seringkali tidak diimbangi dengan penyediaan sarana transportasi umum yang memadai menyebabkan meningkatnya penggunaan kendaraan yang berdampak pada meningkatnya kemacetan dan degradasi kualitas udara
96
(Panyacosit, 2000). Oleh karenanya maka kegiatan ekonomi dan industri yang terdapat di wilayah perkotaan dan kota satelitnya seperti Kota Baru BSD seringkali menanggung masalah tingginya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca (GRK). Adapun jenis polutan yang diemisikan oleh kendaraan bermotor dan industri akibar dari pembakaran BBM sangat bergantung pada kondisi mesin industri, kondisi kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakannya. Mesin yang menggunakan bahan bakar bensin sebagian berkontribusi terhadap gas buang Karbon monoksida (CO), Nitrogen oksida (NOx), dan Hidrokarbon (HC) serta logam berat timbal (Pb), sedangkan mesin yang menggunakan bahan bakar solar mengemisikan debu/partikulat dan Sulfur dioksida (SO2) (Volesky, 1990). Dampak terparah dari menurunnya kualitas udara adalah pada kesehatan masyarakat, baik secara sosial maupun ekonomi (Ostro, 1994; Small dan Kazimi, 1995; Lvovsky et al., 2000). Mengingat tingginya pembakaran BBF akibat tingginya kegiatan transportasi dan industri serta telah memberi dampak negatif pada lingkungan dan dampak negatif pada aspek sosial, terutama kesehatan, maka pencemaran udara dari emisi mesin kendaraan bermotor dan industri tersebut harus ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD maupun secara nasional, dengan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk pengendalian pencemaran.
Ketersediaan Pengolah Limbah Cair. Air merupakan sumber kehidupan sehingga tidak akan ada kehidupan yang tidak membutuhkan air. Namun seiring dengan laju pembangunan yang sangat pesat yang menghasilkan limbah cair dan di dalamnya terdapat berbagai bahan pencemar, telah mengakibatkan langkanya sumberdaya air yang kualitasnya baik. Idealnya bahwa walaupun air ada dalam jumlah yang tetap, namun kualitasnya telah menurun, sehingga terjadinya kelangkaan air yang sudah jadi masalah yang cukup serius. Di sisi lain, rendahnya kualitas air ini dapat membawa dampak negatif baik pada biota yang hidup di dalamnya, maupun untuk manusia yang mengkonsumsi biota tersebut. Salah satu penyebab terjadinya penurunan kualitas air tersebut disebabkan oleh adanya limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan antropogenik seperti dari kawasan permukiman, kegiatan perkotaan, industri, rumah sakit, rumah makan yang
97
umumnya tidak melakukan pengolahan terlebih dahulu, namun langsung membuangnya ke badan air seperti ke sungai. Oleh karena itu maka kualitas badan air seperti sungai, situ, kolam dan lain sebagainya di kota-kota besar berada jauh di bawah persyaratan yang diijinkan, yang dapat dilihat secara kasat mata berupa perubahan warna, tingkat kekeruhan air dan dari baunya, serta seringkali setelah dibuktikan di laboratorium, kualitas berbagai parameter kualitas air, menjadi buruk (di luar ambang batas yang sudah ditentukan) yang dikenal dengan istilah pencemaran. Pencemaran air terjadi sebagai akibat adanya dampak negatif karena masuknya zat pencemar ke dalam suatu perairan, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan biota, sumberdaya dan ekosistem peairan serta kesehatan manusia yang hidup di sekitar perairan tersebut (Sutamiharja 1978).
Selanjutnya Sutamiharja (1978) menyatakan
bahwa bahan pencemar atau zat pencemar menurut sumbernya terbagi menjadi dua yaitu yang berasal dari alam dan yang berasal dari kegiatan manusia. Pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan manusia diantaranya adalah pemanfaatan sumberdaya alam pada proses pertambangan, perindustrian dan pertanian. Dalam rangka mengetahui apakah suatu badan air sudah tercemar atau belum dan bagaimana tingkat pencemarannya, perlu diuji sifat-sifat air, dan disesuaikan dengan baku mutu air sesuai dengan kriterianya yang umumnya dilakukan baik secara langsung dilakukan pengukuran di lapangan maupun dengan cara terlebih dahulu dibawa ke laboratorium. Di daerah perkotaan, tercemarnya sumberdaya air ini umumnya terjadi sebagai akibat adanya aktivitas pemenuhan kebutuhan manusia. Hal ini terjadi karena seringkali manusia hanya berorientasi pada proses produksi dan konsumsi saja. Dalam hal ini setelah selesai memproduksi atau mengkonsumsi suatu barang, pada umumnya manusia tidak peduli lagi dengan limbah yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Terjadinya pencemaran badan air di perkotaan ini umumnya terjadi karena manusia seringkali membuang limbahnya secara langsung ke dalam saluran air atau kalaupun mengalami pengolahan, maka pengolahan yang dilakukan umumnya hanya bersifat alakadarnya. Air tercemar ini selanjutnya akan mengalir ke dalam parit, untuk kemudian terbawa masuk ke dalam badan air (sungai maupun danau). Bahkan apabila turun hujan, bahan pencemar ini akan terbawa hingga ke laut. Limbah cair yang dihasilkan dari kegiatan antropogenik yang langsung dibuang ke dalam badan air tersebut seringkali mengakibatkan menjadi sangat tercemarnya
98
badan air baik oleh bahan organik maupun oleh bahan berbahaya dan beracun (B3). Oleh karenanya maka air buangan ini tidak boleh dibuang begitu saja karena akan mengganggu ekosistem air penerimanya. Berdasarkan hal tersebut, maka keberadaan instalasi pengolah air limbah (IPAL) di kawasan kota baru sangat diperlukan keberadaannya dalam rangka mempertahankan atau bahkan memperbaiki kualitas lingkungan ekosistem air penerima limbah cair dari kegiatan kegiatan antropogenik tersebut. Kondisi tersebut di atas terjadi karena kurang terencananya kondisi infrastruktur pembuangan air limbah cair untuk pengolah limbah cair dari industri, domestik, rumah sakit, rumah makan, hotel, dsb. Selain itu jika infrastruktur ada, pada umumnya belum mempertimbangkan kapasitas dan spesifikasi yang sesuai menyebabkan rendahnya kualitas output air limbah di perkotaan. Melihat kondisi tersebut maka perlu dipikirkan kembali suatu sistim penanganan air limbah domestik yang memenuhi baku mutu yang ditentukan, dengan meminimalkan tingkat bahan pencemar hingga berada di bawah ambang maksimal. Penanganan air limbah cair tersebut tidak saja dilakukan dengan memperbaiki teknik penanganan air limbah namun termasuk sistim pengelolaan air secara terpadu yang dikenal dengan waste water treatment plant.
Dengan adanya
pengelolaan secara terpadu tersebut diharapkan kualitas badan air dapat dikembalikan pada ambang normal dan meminimalkan polusi yang timbul. Berdasarkan hal tersebut maka maka pencemaran badan air tersebut harus ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD maupun secara nasional, dengan cara menyediakan pengolah limbah cair, baik limbah cair yang berasal dari kegiatan kawasan permukiman, industri, rumah sakit, perkantoran, perhotelan, pertokoan, rumah makan dan kegiatan ekonomi lainnya. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Komuter Pengembangan jaringan transportasi pada awalnya merupakan usaha untuk memfasilitasi pergerakan dari asal (origin) ke tujuan (destination) yang timbul akibat kegiatan sosial dan ekonomi. Pergerakan transportasi merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang mencoba untuk meningkatkan nilai ekonomis suatu barang. Oleh karena itu kebutuhan sistem transportasi yang efisien dan efektif menjadi dasar dalam
99
melakukan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan dan pengembangan sistem transportasi. Dalam rangka menciptakan sistem transportasi yang efisien dan efektif tersebut, hal yang pertama harus digaris bawahi dan perlu dibuat dengan sebaik mungkin adalah perencanaan transportasi, baik yang menyangkut tata ruang pada zona wilayah maupun pada penyediaan sarana transportasinya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kenworthy dan Laube (2002) yang menyatakan bahwa ada korelasi antara pola tata guna lahan dengan sistem transportasi dan kepadatan penduduk.
Selain itu perencanaan
transportasi juga sangat berkaitan dengan perencanaan atau sistem ekonomi dari suatu wilayah.
Oleh karena itu maka perencanaan, pengembangan dan pembangunan
prasarana dan sarana transportasi merupakan implikasi dari proses pemenuhan kebutuhan manusia dan peningkatan nilai ekonomis dari suatu barang. Adapun salah satu sarana dan prasarana transportasi yang perlu direncanakan dengan baik untuk kota satelit seperti halnya Kota Baru BSD yang merupakan kota satelit pada wilayah metropolitan DKI Jakarta adalah tersedianya sarana dan prasarana untuk angkutan umum yang memuat banyak penumpang dan melayani hampir seluruh lokasi perkotaan yang disebut komuniter (selanjutnya disebut komuter). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian JICA (2001) yang mengatakan bahwa jumlah keseluruhan perjalanan oleh komuter yang terjadi di dalam DKI Jakarta sebanyak 16 juta orang setiap hari dan 25% diantaranya adalah komuniter komuter dari Kota Satelit Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Hal ini juga sangat wajar, mengingat hasil penelitian Luo (2007) di tiga negara kota metropolitan di Asia yang mempunyai income tinggi, memperlihatkan bahwa rata-rata panjang perjalanan yang dilakukan masyarakat di kota metropolitan dari tiga negara yang diteliti untuk Kota Kuala Lumpur-Malaysia 2,7 km, untuk masyarakat Kota Manila-Filipina 4 km, dan panjang perjalanan masyarakat Kota Chengdu-Cina mencapai 9 km. Khusus untuk Kota Metropolitan DKI Jakarta, saat ini telah tersedia moda angkutan umum penumpang komuter berupa BRT Transjakarta. Khusus untuk kota satelit, pada umumnya tidak terjangkau oleh komuter berupa BRT Transjakarta, namun beberapa kota satelit sudah menyediakan feeder untuk Transjakarta tersebut. Mengingat kinerja angkutan umum penumpang harus memenuhi syarat dan mencakup berbagai hal yang meliputi daerah pelayanan dan jangkauan rute, struktur dan ruang rute, rute secara
100
langsung dan mudah, panjang rute, duplikasi rute, headway, frekuensi, standar muatan, dan kecepatan perjalanan (NCHRP, 1980). Mengingat tingginya calon penumpang dari kota satelit dan di kota utama, maka semuanya harus dilayani dengan baik, dengan tetap mengikuti konsep pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini tanpa merusak kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya
(WCED,
1987).
Adapun
konsep
pembangunan
berkelanjutan pada bidang transportasi, harus dapat memberikan kenyamanan bagi warga kota dan lingkungan dengan beberapa kriteria. Kriteria-kriterianya antara lain pengoperasian transportasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas udara, mengurangi pencemaran, mengurangi kebisingan dan mengurangi dampak lalu lintas, meningkatkan keselamatan, mengurangi kecelakaan lalu lintas, dan mengurangi konsumsi energi. Transportasi berkelanjutan dalam arti yang lebih luas merupakan usaha untuk menurunkan tingkat kemacetan, menghemat biaya fasilitas, meningkatkan keselamatan, meningkatkan pergerakan non kendaraan, menggunakan lahan secara efisien, sehingga menghasilkan mobilitas yang tinggi untuk setiap kendaraan (Litman, 2004). Berdasarkan hal tersebut maka masalah transportasi harus ditanggulangi sebaik mungkin baik maupun oleh pemerintah Kota Metropolitan DKI Jakarta, oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Tanggerang Selatan dan pengelola Kota Baru BSD dengan tetap mengikuti konsep pembangunan transportasi yang berkelanjutan, yang salah satu caranya dapat dilakukan dengan menyediakan sarana dan prasarana komuter sebaik mungkin.
Tersedianya Organisasi Pengelola Lingkungan, Pada pengelolaan lingkungan, harus ada yang mengerakan agar dilakukan pengelolaan lingkungan. Hal ini berlaku untuk berbagai lokasi, termasuk di dalamnya untuk Kota Baru BSD. Agar pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan untuk menjamin kelestarian lingkungan, maka di lokasi kota baru harus tersedia organisasi pengelola lingkungan, atau dengan kata lain harus dibentuk kelembagaannya. Dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kelembagaan pengelolaan lingkungan kawasan kota baru yaitu: (1) pengelolaan kegiatan pengelolaan
101
lingkungankawasan memerlukan hubungan antar lembaga yang terintegrasi, (2) pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan partisipasi stakeholder, (3) pengelolaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan memerlukan sumber dana yang memadai, (4) memerlukan media konsultatif antara stakeholder kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, (5) memerlukan kepedulian masyarakat dan institusi masyarakat lokal untuk mengontrol jalannya kelembagaan kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan, (6) memerlukan perangkat hukum yang jelas agar pengelolaan lingkungan berjalan dengan baik, dan (7) memerlukan kolaborasi dengan pemerintah setempat dan pemerintah pusat serta dengan pihak lain, misalnya perguruan tinggi, kalangan industri dan pengelola kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan lainnya. Untuk itu maka dalam rangka mensukseskan kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, maka hal yang harus diperhatikan dan harus segera diadalkan adalah membentuk struktur organisasi kegiatan pengelolaan lingkungan kawasan Kota Baru BSD.
Ketersediaan Sarana dan Prasarana Jalan yang Efektif dan Efisien Pada sistem transportasi hal yang ideal dilakukan adalah menyesuaikan dengan tujuan proyek transportasi, tetapi harus tetap mengacu pada aspek ekologi, sosial dan ekonomi, sehingga sistem transportasi tersebut menjadi berkelanjutan, dan mampu mewujudkan agar orang tidak bergantung pada penggunaan kendaraan pribadi. Oleh karena itu maka keberlanjutan transportasi harus dapat memenuhi beberapa tujuan: 1) dapat meningkatkan kualitas dan aksesibilitas layanan transportasi umum; 2) tersedia lokasi untuk berjalan dan bersepeda yang lebih menarik; 3) dapat mengurangi kebutuhan perjalanan; 4) dapat mengurangi bahkan membuang hambatan psikologi dan mendukung kebijakan publik untuk menggunakan kendaraan alternatif; dan 5) membuat image bahwa transportasi menjadi sebuah komponen penting untuk strategi perencanaan ruang suatu wilayah (Paulley dan Pedler, 2000). Oleh karena itu maka harus ada pelayanan sebaik mungkin pada penumpang. Adapun faktor penting dalam menentukan kualitas pelayanan adalah perceived quality yaitu tingkat kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pengguna, dimana kualitas pelayanan yang dirasakan oleh pengguna dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman layanan sebelumnya (Cronin dan Taylor, 1992).
102
Pada dasarnya menciptakan transportasi berkelanjutan tidaklah mudah, dan tidak hanya sekedar keberadaan jalan padat atau tidak padat. Hal ini sesuai dengan pendapat Cook et al. (2004) yang mengatakan bahwa kriteria evaluasi masyarakat terhadap sistem transportasi berkelanjutan adalah: 1) teknologi baru; 2) sangat cepat; 3) langsung; 4) tidak menunggu; 5) antrian sedikit; 6) dapat memilih perjalanan sendiri; 7) tidak mengalami frustasi; 8) baik bagi lingkungan; 9) tidak berdebat dengan supir; 10) tidak kuatir seorang diri berada di angkutan; 11) mudah dinaiki; 12) tidak ada supir; dan 13) lebih dapat diakses dari pada moda angkutan umum lain.
Hal ini sejalan dengan
pendapat (Jeon dan Amekudzi, 2005) yang mengatakan bahwa sistem transportasi dikatakan berkelanjutan apabila dapat memberikan penyelesaian yang efektif dan efisien kepada pemakainya seperti adil dan aman mengakses pelayanan ekonomi dan sosial
mendasar,
harus
meningkatkan
pembangunan
ekonomi
dan
tidak
membahayakan lingkungan. Menurut Litman (2008) keberlanjutan mobilitas tersebut dapat dicapai dengan cara: 1) meningkatkan aksesibilitas dan memaksimalkan penggunaan ruang; 2) meningkatkan bagian moda transportasi yang bersahabat secara lingkungan misalnya angkutan umum, sepeda, berjalan dan lain-lain; 3) mengurangi kemacetan; 4) meningkatkan keselamatan; 5) mengurangi pencemaran udara, kebisingan dan gangguan pemandangan.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa pada konsep
transportasi berkelanjutan, kegiatan manusia yang berkaitan dengan pergerakan manusia dan barang seharusnya terjadi dengan cara-cara yang berkelanjutan baik secara lingkungan, sosial dan ekonomika.
Berdasarkan hal tersebut maka dalam
rangka membuat transportasi yang berkelanjutan, sehingga dapat mendukung pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD yang baik, maka hal yang harus diperhatikan dan harus segera diadakan adalah menyediakan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien di kawasan Kota Baru BSD dan menuju ke atau dari kota utama dan kota satelit lainnya. Pada penelitian ini, selain terdapat lima parameter kunci seperti diuraikan di atas, pada analisis prospektif juga diperoleh enam buah faktor penghubung yakni faktor yang mempunyai pengaruh yang besar namun juga ketergantungannya juga besar (Bourgeois dan Jesus, 2004). Adapun ke enam faktor penghubung yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD,
103
namun memiliki ketergantungan pada faktor lainnya yang cukup besar. Mengingat ke enam faktor pengungkit tersebut mempunyai pengaruh yang besar, maka jika kita menginginkan keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, ke enam faktor pengungkit tersebut juga harus diperhatikan dengan seksama. Adapun faktor-faktor tersebut adalah keberadaan kawasan bisnis, keberadaan kawasan industri, ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair, ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair, kompetensi pengelola kawasan kota baru dan egosektoral dalam pengelolaan lingkungan (Gambar 26).
4 5 16 15
6 8 1318
20
14 17
10 7 3 12
129
21 11 22
Gambar 26. Pemetaan faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan kawasan Kota Baru BSD
104
Keterangan gambar: 1. 2. 3. 4. 5.
ketersediaan air bersih manajemen banjir/bencana permasalahan transportasi pencemaran udara/emisi ketersediaan pengolah limbah cair
6. 7. 8. 9.
keberadaan kawasan bisnis tingkat pengangguran keberadaan kawasan industri keberadaan pertokoan kawasan
10. pengaruh keberadaan BSD pada nilai sosial budaya lokal 11. keragaman budaya dalam masyarakat 12. konflik dengan masyarakat lokal 13. 14. 15. 16.
ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah domestik cair ketersediaan sarana dan prasarana pengolahan limbah industri cair ketersediaan sarana dan prasarana jalan yang efektif dan efisien ketersediaan sarana dan prasarana komuter
17. 18. 19. 20. 21. 22.
kompetensi pengelola kawasan kota baru egosektoral dalam pengelolaan lingkungan konsistensi penegakan hukum tersedianya organisasi pengelola lingkungan intensitas pelanggaran hukum sinkronisasi peraturan dengan pusat Berdasarkan hasil analisis prospektif tersebut diatas, memperlihatkan bahwa
hasil analisis prospektif pada dasarnya telah sesuai dengan kondisi lapangan di lokasi tersebut, pada saat dilakukan penelitian. Ke lima faktor kunci tersebut harus benarbenar diperhatikan dalam pengembangan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD.
Hal ini diperlukan mengingat kondisi eksisting pengelolaan lingkungan di
kawasan Kota Baru BSD memperlihatkan kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi ekonomi, dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum dan kelembagaan
105
yang memperlihatkan status yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial budaya dan dimensi ekologi masih ada dalam status yang kurang berkelanjutan. Upayaupaya untuk meningkatkan status berkelanjutan kawasan kota baru ini sangat perlu dilakukan mengingat kawasan Kota Baru BSD dalam kondisi seperti ini saja sudah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang ada di dalamnya . 5.3.
Model Pengelolaan Lingkungan Kota Baru BSD Pertumbuhan kota metropolitan dan kota satelitnya seperti kota baru yang cepat
seringkali menimbulkan berbagai implikasi negatif, seperti kurang mampunya infrastruktur perkotaan dalam menampung aktivitas warga, pelayanan publik yang kurang baik akibat dari minimnya SDM yang tersedia, timbulnya masalah sosial seperti pengangguran, kriminalitas dan kemiskinan, dan rendahnya kualitas lingkungan berupa terjadinya polusi udara, tanah dan air, dsb. Adapun salah satu permasalahan rendahnya kualitas lingkungan seringkali berhubungan erat dengan besarnya jumlah penduduk, besarnya kegiatan bisnis seperti industri, pertokoan, dsb serta tingginya kegiatan pembakaran BBF terutama pada kegiatan transportasi dan kegiatan industri. Dalam rangka mensukseskan pengelolaan lingkungan yang baik di kotabaru, maka terlebih dahulu dibuatmodel dinamikpengelolaan lingkungan kota baruyang berkelanjutan, yang nantinya diharapkan akan memberikan arah pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru. Pada pembuatan model ini terlebih dahulu dilakukan identifikasi sistem yakni suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan. Hasil identifikasi sistem dengan menggunakan model diagram input output atau diagram lingkar sebab-akibat. Adapun diagram sebab akibat model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru dapat dilihat pada Gambar 27 sedangkan stockflow diagram-nya dapat dilihat pada Gambar 28. Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru pada penelitian ini dibedakan atas dua submodel yaitu (1) submodel lingkungan, (2) submodel ekonomi dan sub model sosial. Ketiga sub model tersebut merupakan rangakian dari beberapa variabel-variabel yang saling berhubungan dan berinteraksi antara satu elemen dengan elemen lainnya sehingga terbentuk suatu model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru.
106
5.3.1. Submodel lingkungan Submodel lingkungan dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabelvariabel dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruterhadap keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem kemudian disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 27.
Gambar 27.
Diagram lingkar sebab-akibat pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
107
roda dua
roda empat
perbaikan
kerusakan
biaya pekerja
Kapasitas Jalan
kendaraan bermotor
Drainase PDRB Tangsel infrastrukfur
PangsaAngkKom
PangsaPHR
PDRBAngKom
PangsaBankSewa
PDRBPHR
PDRBJasa
PangsaJasa PangsaEkLain
PDRBBankSewa PHR
AngkKom
Jasa
PDRBEkLain
BankSewa
EkLain
penduduk pekerja
kepedulian lingkungan % kesadaran lingkungan % penduduk komuter pendidikan
Populasi Tangsel jumlah rumah
pertumbuhan
IPAL diperlukan
pengurangan
fraksi pertumbuhan
fraksi pengurangan
emisiSOx
KonsPO4perHari KonsNO3perhari bebanPO4 limbah cair
bebanNO3
KonsCODperHari bebanCOD
emisi udara
emisiNOx
KonsBODperhari bebanBOD
emisiCOx
Gambar 28. Diagram stock-flow model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
108
Gambar 29. Diagram sebab-akibat submodel lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa pada sub model lingkungan, tingginya penduduk kota baru menyebabkan tingginya kegiatan antropogenik. Di lain pihak tingginya kegiatan antropogenik mengakibatkan tingginya limbah cair dan tingginya emisi gas, yang mengakibatkan tingginya pencemaran lingkungan.
Tingginya pencemaran lingkungan ini pada akhirnya akan berdampak
terhadap tingginya biaya pengelolaan dan memburuknya kualitas lingkungan. Pencemaran sendiri akan terjadi apabila total bahan pencemar yang masuk ke lingkungan baik yang berasal dari limbah cair maupun yang berasal dari emisi gas tinggi. Tingginya biaya pengelolaan lingkungan akibat adanya pencemaran ini pada akhirnya akan mempengaruhi masyarakat yang ada di dalamnya. Sebagai contoh apabila biaya pengelolaan tersebut ada pada sisi industri, maka biaya pengelolaan tersebut akan dibebankan pada masyarakat, karena biaya tersebut akan dimasukan sebagai ongkos produksi. Di lain pihak terjadinya pencemaran di kota baru juga akan berdampak langsung pada masyarakat misalnya dapat mengganggu terjadinya kesehatan pada masyarakat yang ada di dalam kota baru tersebut. Model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota barukhususnya sub model lingkungan yang selanjutnya digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat pada Gambar 30.
109
Populasi Tangsel
pertumbuhan
pengurangan
fraksi pertumbuhan
fraksi pengurangan
emisiSOx
KonsPO4perHari KonsNO3perhari bebanPO4 limbah cair
bebanNO3
KonsCODperHari
emisiNOx
KonsBODperhari
bebanCOD
Gambar 30.
emisi udara
bebanBOD
emisiCOx
Diagram stock-flow submodel lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
Pada Gambar 30 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model lingkungan di atas, terlihat bahwa pertumbuhan penduduk berdampak pada terjadinya peningkatan bahan pencemar perairan yang dicerminkan oleh terjadinya peningkatan bahan pencemar organik
seperti terjadinya peningkatan BOD, COD, posfat, dan nitrat.
Pertumbuhan penduduk juga berdampak pada terjadinya peningkatan bahan pencemar udara yang dicerminkan dari terjadinya peningkatan emisi gas di udara dan peningkatan konsentrasi COx, NOx dan SOx. Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi lingkungan kaitannya dengan jumlah masyarakat dan kegiatan antropogenik di Kota Baru BSD dibuat simulasinya yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya dan pada kondisi eksisting. Simulasi yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu di dalam model, sehingga data yang bersangkutan dapat disimulasikan. Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap model pengelolaan lingkungan
110
yang berkelanjutan di kota baru antara lain pertumbuhan penduduk, beban pencemaran perairan dankualitas udara. Kondisi (state) faktor-faktor tersebut di masa yang akan datang, disusun pada simulasi yang mungkin terjadi. Adapun Submodel lingkungan mengenai kondisi di masa datang disajikan pada Gambar 31 sampai dengan Gambar 39. 1: bebanCOD 2 1: 2: 3: 4:
2: bebanBOD 2
3: bebanNO3 2
4: bebanPO4 2
60 30 0 1 4 3
1: 2: 3: 4:
1
35 15 0 0
4
4 4 1: 2: 3: 4:
10 0 0 0
1 2 2008.00
Gambar 31.
1
2
3
1
2
3 2
3 2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter BOD, COD, NO3 dan PO4
1: bebanBOD 1:
25
1:
15
1
1 1 1 1:
5 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 32. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter BOD
111
Pada Gambar 31 dan 32 terlihat bahwa bahan pencemar organik mudah urai atau bahan pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi (BOD) yang masuk ke dalam perairan memperlihatkan terjadinya peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada
Lampiran 3 terlihat bahwa beban pencemar organik yang dapat diuraikan secara biologi (BOD) pada tahun 2008 sebesar 6,17 ton per hari, pada saat dilaksanakan penelitian mencapai 9,53 ton/hari, dan pada tahun 2016 berdasarkan hasil simulasi akan menjadi 19,67 ton/hari. Hal ini disebabkan kegiatan apapun pada akhirnya akan menghasilkan limbah berupa limbah padat atau sampah dan limbah cair. Di lain pihak, baik limbah padat maupun limbah cair masih banyak yang membuang ke dalam sungai/badan air/perairan umum. Selain itu setiap orang dan setiap kegiatan juga akan menyumbang bahan organik ke dalam badan air tempat bermuaranya limbah cair baik yang berasal dari kegiatan domestik, kegiatan industri atau kegiatan perkotaan lainnya, sehingga sangat wajar jika jumlah penduduk makin meningkat maka nilai BOD akan semakin meningkat. Kondisi ini juga akan semakin diperparah akibat meningkatnya kemakmuran dan peradaban. Hal ini sesuai dengan pendapat Metcalf dan Eddy (1991) yang mengatakan bahwa semakin meningkat gaya hidup dan semakin makmur, maka sisa bahan organik yang terbuang ke lingkungan juga akan semakin meningkat. Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat bahwa selain adanya peningkatan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologi, bahan organik yang sulit terurai dan hanya dapat diuraikan secara kimia juga (COD) juga akan terjadi peningkatan. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan COD dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 33 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai beban pencemaran COD pada perairan di lokasi penelitian adalah 14,41 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 23,41 ton/hari, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD menjadi 52,08 ton/hari. Terjadinya peningkatan COD ini dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik lainnya di perkotaan terutama pada kegiatan industry, dan pada kegiatan bisnis lainnya yang menggunakan produk bahan organik yang sulit terurai, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula bahan organik sulit terurai sehingga meningkatkan nilai COD (Metcalf dan Eddy, 1991).
112
1: bebanCOD 1:
60
1 1:
35 1
1 1 1:
10 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 33. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter COD Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan bahan organik yang tercermin dari konsentrasi nitrat (NO3) yang terdapat pada perairan. Seperti pada parameter bahan organik lainnya, konsentrasi nitrat juga terjadi peningkatan dari waktu ke waktu. Untuk lebih jelasnya besarnya peningkatan nitrat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada Gambar 34 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai beban pencemaran nitrat pada perairan di lokasi penelitian adalah 0,05 ton/hari, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 0,08 ton/hari, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 beban COD menjadi 0,33 ton/hari.
Terjadinya peningkatan nitrat dari tahun ke tahun juga
disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula nitrat yang terbuang ke dalam perairan.
113
1: bebanNO3 1:
0
1:
0
1
1
1 1:
0
1 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 34. Simulasi sub-model lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter NO3 Hasil pemodelan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga memperlihatkan kandungan posfat yang cenderung semakin meningkat.
Hal ini
ditunjukkan nilai beban pencemaran fosfat pada tahun 2008 sebesar 0,14 ton/hari menjadi 0,22 ton/hari pada tahun 2011 (saat dilakukan penelitian), kemudian peningkatan juga terjadi pada tahun-tahun berikutnya hingga perkiraan tahun 2016 mencapai 0,44 ton/hari.
Kondisi ini sangat membahayakan kehidupan badan air
penerimanya (Martin, 1985) mengingat menurut Odum (1971) kandungan posfor yang tinggi dalam ekosistem akan mengakibatkan terjadinya blooming fitoplankton yang dapat memfiksasi nitrogen secara langsung dari atmosfir. Untuk lebih jelasnya hasil pemodelan dan simulasi beban pencemaran posfat dapat dilihat pada Gambar 35 dan Lampiran 3. Kota Metropolitan DKI Jakarta merupakan ibukota negara yang dikelilingi oleh kota satelit Bogor, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Mengingat DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian maka dinamika di kota utama dan kota satelitnya akan sangat tinggi.
Dalam hal ini akan semakin
meningkatkan perjalanan antar kota yang pada umumnya saling bergantung satu sama lain. Di lain pihak perjalanan ini merupakan aktivitas setiap manusia untuk melakukan berbagai kebutuhan misalnya kegiatan usaha harian seperti kegiatan dasar (basic activity) dan kegiatan jasa (services activity) serta kegiatan sosial, yang merupakan kegiatan berkala (periodic activity). Tingginya dinamika di kota metropolitan dan di
114
kota baru ini akan semakin meningkatkan terjadinya pencemaran udara yang terutama berasal dari sisa pembakaran BBF seperti NOx, SOx dan COx (Gambar 36). Oleh karena itu maka tidak mengherankan jika dari tahun ke tahun terjadi peningkatan bahan pencemar udara seperti tersebut di atas, seiring dengan meningkatnya jumlah manusia dan kegiatan antropogenik yang dilakukannya. 1: bebanPO4 1:
1
1 1:
0 1
1 1 1:
0
2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 35. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter PO4 Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi NOx yang terdapat pada atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi NOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada Gambar 36 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai konsentrasi NOx di atmosfir 53,38 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 81,14 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 konsentrasinya akan meningkat menjadi 163,12 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan NOx di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula NOx di atmosfir.
115
1: emisiSOx 1: 2: 3:
2: emisiCOx
3: emisiNOx
400 8000 250
2 1: 2: 3:
250 5000 150
1 3 2 1
3
2 1 1: 2: 3:
100 2000 50
2 1 2008.00
3
3 2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 36. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter NOx, COx dan SOx
1: emisiNOx 1:
250
1:
150 1 1 1
1:
50
1 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 37. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter NOx
Pada submodel lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi COx yang terdapat pada atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi COx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada Gambar 38 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008
116
nilai konsentrasi COx di atmosfir 2316,96 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 3523,77 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 konsentrasinya akan meningkat menjadi 7087,59 µg/Nm3. Terjadinya peningkatan COx di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan karena semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula COx di atmosfir. 1: emisiCOx 1:
8000
1 1:
5000 1
1 1 1:
2000 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 38. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter COx Pada sub model lingkungan dan pada simulasinya juga terlihat adanya peningkatan pencemaran udara yang tercermin dari konsentrasi SOx yang terdapat pada atmosfir. Adapun peningkatan konsentrasi SOx di atmosfir ini juga dapat dilihat pada Gambar 39 dan pada Lampiran 3. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa pada tahun 2008 nilai konsentrasi SOx di atmosfir 106,58 µg/ Nm3, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 162,09 µg/ Nm3, dan dari hasil simulasi pada tahun 2016 konsentrasinya akan meningkat menjadi 326,03 µg/ Nm3. Terjadinya peningkatan SOx di atmosfir dari tahun ke tahun juga disebabkan oleh semakin banyaknya masyarakat dan kegiatan antropogenik terutama dari kegiatan pembakaran BBF yang dilakukan di kota baru, sehingga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, akan semakin meningkatkan kegiatan antropogenik, maka semakin meningkat pula SOx di atmosfir.
117
1: emisiSOx 1:
400
1:
250
1
1 1 1:
100
1 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 39. Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter SOx Kota besar merupakan kota yang mempunyai anekaragam kegiatan ekonomi yang tercermin dari tingginya kegiatan antropogenik. Tingginya kegiatan antropogenik ini mengakibatkan tingginya motorisasi, bahkan hasil penelitian Jraiw (2003) di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia menunjukkan bahwa laju motorisasi lebih tinggi dari laju peningkatan penduduk. Oleh karena itu maka dapat dimengerti jika kepadatan lalu lintas di kota besar terutama yang ada pada negara sedang berkembang menyebabkan emisi karbon dan menghasilkan bahan pencemar udara yang luar biasa. Oleh karena itu maka sumber pencemaran udara di negara berkembang 81 % -nya berasal dari sektor transportasi. Hal ini juga ditunjukkan oleh terus bertambahnya laju kemacetan di negara berkembang, juga di Kota Baru BSD yang merupakan lokasi penelitian penulis. Oleh karena itu maka sangat wajar jika dari penelitian ini terlihat adanya kenaikan bahan pencemar udara baik dilihat dari parameter NOx, COx maupun SOx. Bahan-bahan pencemar tersebut cenderung akan naik terus pada masa-masa mendatang seperti ditunjukan oleh hasil simulasi penelitian ini. Hal ini sesuai dengan laporan WHO (2000) bahwa di pusat-pusat kota,dari proses pembakaran bahan bakar fosil di dalam mesin kendaraan akan dihasilkan 95% CO, 70% NOx, 60% tembaga dan 50% hidrokarbon (HC). Kondisi ini tentu akan sangat mengganggu lingkungan mengingat bahan-bahan tersebut termasuk ke dalam GRK yang nantinya akan menyumbang terjadinya pemanasan global dan pada akhirnya akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global. Di lain pihak bahan-bahan tersebut juga jika tercuci oleh air hujan akan mengakibatkan terjadinya hujan asam.
118
5.3.2. Submodel Ekonomi Komponen-komponen yang saling berhubungan dalam sub model ekonomi pada model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baruadalah infrastruktur, jumlah perumahan/rumah, jumlah industri, dan aktifitas ekonomi yang akan berpengaruh terhadap komponen pendapatan kota baru.
Adanya kegiatan-kegiatan
tersebut yang pada umumnya merupakan aktifitas ekonomi di kota baru, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Tangerang Selatan. Adapun sub model ekonomi dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di Kota Baru BSD dapat dilihat pada Gambar 40.
Model pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan di kota baru khususnya sub model ekonomi tersebut selanjutnya digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 41.
Gambar 40. Diagram sebab-akibat submodel ekonomi dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
119
roda dua
roda empat
perbaikan
kerusakan
biaya pekerja
Jalan
kendaraan bermotor
Drainase PDRB Tangsel infrastrukfur
PangsaAngkKom
PangsaPHR
PDRBAngKom
PDRBPHR
PangsaBankSewa PDRBJasa
PangsaJasa PDRBBankSewa
AngkKom
PHR
Jasa
PangsaEkLain
PDRBEkLain
BankSewa
EkLain
penduduk pekerja
Gambar 41. Diagram stock-flow submodel ekonomi dalam pembangunan kota baru Berkelanjutan Berdasarkan informasi yang dirilis oleh Pemerintah Daerah Tangerang Selatan (2009), sektor ekonomi yang berkembang di Tangerang Selatan sebenarnya bukan berasal dari kegiatan bisnis yang terdapat di dalamnya seperti dari industri, namun berasal dari sektor ekonomi tersier. Dalam hal ini hampir 60% PDRB di Kabupaten Tangerang Selatan disumbangkan oleh sektor pengangkutan, sektor komunikasi serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Selanjutnya berasal dari sektor jasa (13%) dan sektor bank, persewaan dan jasa perusahaan, dan sisanya adalah sektor ekonomi lain. Adapun keterkaitan antara PDRB yang terdapat di Tangerang Selatan pada umumnya dan di Kota Baru BSD pada umumnya dapat dilihat pada SFD. Pada penelitian ini, untuk mendapat gambaran kondisi ekonomi kaitannya dengan PDRB dan kegiatan yang menyumbang PDRB di Kota Baru BSD dibuat simulasinya yang didasarkan pada data lima tahun sebelumnya. Simulasi yang disusun ke dalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor ke dalam peubah model. Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa terdapat faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap sub model ekonomi pada pengelolaan lingkungan yang
120
berkelanjutan di kota baru. Adapun sub model ekonomi mengenai kondisi di masa datang secara keseluruhan disajikan pada Gambar 42. Pada Gambar 42 dan Lampiran 3 terlihat kurva pertumbuhan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan transportasi dan komunikasi lebih tajam dibandingkan dengan pendapatan dari hasil lainnya. Namun demikian kurva peningkatan pendapatan yang berasal dari perdagangan dan hotel merupakan penyumbang PDRB ke dua, sedang penyumbang PDRB ke tiga adalah dari sektor jasa, diikuti dari kegiatan bank sewa dan terakhir dari kegiatan ekonomi lainnya.
1: PDRBAngKom 1: 2: 3: 4: 5:
2: PDRBPHR
3: PRDBJasa
4: PDRBBankSewa
5: PDRBEkLain
5500000 5000000 3500000 2500000
3 1: 2: 3: 4: 5:
2
3500000 3000000 2000000
3
1500000
2
3
1500000 1000000 500000 500000
5
1
3 1: 2: 3: 4: 5:
4
2
2 4 5
4
4
5
1 5
1
1 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 42. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (jutaan rupiah) Pada Gambar 42 dan 43 terlihat bahwa PDRB yang berasal dari kegiatan transportasi dan kegiatan telekomunikasi di lokasi penelitian. Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari berbagai kegiatan yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan transportasi dan telekomunikasi pada tahun 2008 jumlahnya mencapai Rp. 1.504.093.710.000,-. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan transportasi dan tekomunikasi besarnya mencapai Rp. 2.287.538.520.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan akan mencapai Rp. 4.601.057.050.000,-.
121
1: PDRBAngKom 1:
5500000
1:
3500000
1
1
1 1:
1500000
1 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 43. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB dari kegiatan transportasi dan komunikasi (jutaan rupiah) Penyumbang ke dua terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor hotel dan restoran (Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan hotel dan restoran yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun.
Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan hotel dan restoran pada tahun 2008 jumlahnya mencapai Rp. 1.344.914.560.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan hotel dan restoran besarnya mencapai Rp. 2.045.446.920.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan hotel dan restoran akan melonjak secara tajam mencapai Rp. 4.114.124.370.000,-. Penyumbang ke tiga terbesar PDRB Tangerang Selatan berasal dari sektor jasa (Gambar 44). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 5 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp. 924.479.450.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan jasa besarnya mencapai Rp. 406.017.690.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan jasa mencapai Rp. 2.828.003.790.000,-.
122
1: PDRBPHR 1:
5000000
1:
3000000
1
1 1 1 1:
1000000
2008.00
2010.00
Page 1
2012.00 Y ears
2014.00 0:51
2016.00 27 Okt 2011
Gambar 44. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB perdagangan hotel dan restoran (jutaan rupiah)
1: PDRBJasa 1:
3500000
1:
2000000
1
1 1 1 1:
500000 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 45. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB jasa-jasa (jutaan rupiah) Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor bank, persewaan dan jasa perusahaan (Gambar 46). Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan jasa yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun. Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan jasa pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp. 820.289.460.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan jasa besarnya mencapai Rp. 1.247.557.740.000,- dan dari hasil simulasi PDRB
123
tahun
2016
diperkirakan
bahwa
PDRB
dari
kegiatan
jasa
mencapai
Rp.
2.509.284.220.000,-.
1: PDRBBankSewa 1:
3500000
1:
2000000
1 1 1 1
1:
500000
2008.00
2010.00
Page 1
2012.00 Y ears
2014.00 0:50
2016.00 27 Okt 2011
Gambar 46. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB bank, persewaan dan jasa perusahaan (jutaan rupiah) Penyumbang PDRB Tangerang Selatan lainnya berasal dari sektor ekonomi lainnya (Gambar 47).
Hal ini juga terlihat lebih jelas pada Lampiran 3 yang
memperlihatkan terjadinya peningkatan PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya yang ada di lokasi penelitian dari tahun ke tahun.
Pada Lampiran 3 terlihat bahwa beban
besarnya PDRB yang berasal dari kegiatan ekonomi lainnya pada tahun 2008 jumlahnya relatif rendah yakni Rp. 561.422.350.000. PDRB pada saat dilaksanakan penelitian dari kegiatan ekonomi lainnya besarnya mencapai Rp. 853.853.220.000,- dan dari hasil simulasi PDRB tahun 2016 diperkirakan bahwa PDRB dari kegiatan ekonomi lainnya mencapai Rp. 1.717.403.810.000,-. Pada kota baru, jalan merupakan salah satu infrastruktur terpenting sebagai salah satu faktor daya tarik investasi di suatu daerah. Jalan kota Tangerang Selatan berdasarkan kompilasi data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008) memiliki total panjang 115,81 km dengan 70,36% dari panjang total tersebut dalam kondisi baik, 18,37% dalam kondisi sedang dan 11,28% dalam kondisi rusak. Data ini berbeda dengan data Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang Selatan yang menyatakan bahwa total panjang jalan kota adalah 137,773 km dan diperkirakan 5% rusak ringan, 5% rusak sedang dan 20% rusak berat.
Berdasarkan kewenangannya, di Kota
124
Tangerang Selatan terdapat satu ruas jalan negara dengan panjang 9.160 km, kemudian jalan provinsi sebanyak 12 ruas dengan panjang 48.900 km dan jalan kota sebanyak 1175 ruas dengan panjang 640.929 km. Total panjang jalan di Tangerang Selatan adalah 698.989 km. Salah satu kondisi yang menyebabkan kemacetan adalah kerusakan jalan serta proses perbaikan jalan. Perbaikan jalan yang tidak tuntas juga menjadi penyebab kembali rusaknya jalan di Tangerang Selatan. 1: PDRBEkLain 1:
2500000
1:
1500000 1
1 1 1: Page 1
500000
1 2008.00
2010.00
2012.00 Y ears
2014.00 0:51
2016.00 27 Okt 2011
Gambar 47. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB sektor ekonomi lain (jutaan rupiah) Seperti halnya di kota-kota besar dan pada kota satelit lainnya, di kawasan Tangerang Selatan juga terdapat titik-titik rawan kemacetan. Titik rawan kemacetan utama di Tangerang Selatan terdapat pada 12 titik yang umumnya terdapat pada sekitar persimpangan jalan atau pasar. Stasiun kereta rel listrik (KRL) berjumlah lima buah dan tersebar di tiga kecamatan yaitu Serpong, Ciputat dan Ciputat Timur. Titik rawan kemacetan dan titik lokasi stasiun KRL didapatkan dari Kompilasi Data untuk Penyusunan RTRW Kota Tangerang Selatan (2008). Di lokasi penelitian terdapat tiga buah yaitu Sungai Cisadane, Angke dan Pasanggrahan sepanjang 178 kilometer. Sementara untuk anak sungai sebanyak sembilan buah dengan panjang 38,5 kilometer. Mengingat di Tangerang Selatan sektor transportasi dan telekomunikasi merupakan kegiatan yang menyumbang PDRB paling tinggi, maka pada penelitian ini juga dilihat simulasi pada sub model ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan seperti terlihat pada Gambar 48, serta berdasarkan kerusakan jalan. Berdasarkan infrastruktur
125
dan total panjang jalan terlihat bahwa PDRB akan dibantu meningkat apabila perumbuhan infrastrukturnya meningkat dan jalan yang dibangun semakin banyak. Namun demikian apabila jalannya rusak, maka dapat berakibat pada menurunnya PDRB, karena kerusakan jalan sangat besar pengaruhnya pada kemacetan lalulintas dan lamanya daya tempuh perjalanan. Oleh karena itu maka pada penelitian ini juga dilihat simulasi kerusakan jalan dengan maka persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan seperti yang tercantum pada Gambar 49. Adapun besarnya persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dapat dilihat pada Gambar 50. Seiring dengan waktu dan relatif murahnya kendaraan dan baiknya akses jalan, maka akan terjadi peningkatan jumlah kendaraan baik yang roda dua maupun kendaraan roda empat. Untuk lebih jelasnya simulasi pertumbuhan kendaraan roda dua dan roda empat dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 51 dan Lampiran 3. 1: Jalan 1:
704
1:
702
1
1 1 1 1:
700 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 48. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur, total panjang jalan (km)
126
1: kerusakan jalan 1:
31
1 1
1:
1
30
1
1:
29
2008.00
2010.00
Page 1
2012.00 Y ears
2014.00 23:14
2016.00 31 Okt 2011
Gambar 49. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan infrastruktur (persentase kerusakan jalan)
1: biay a tambahan transport 1:
6
1 1:
1
6
1
1
1:
5 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 50. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan.
127
1: roda empat 1: 2:
2: roda dua
21500 40000
1 2 1: 2:
19500 25000
1
1
2
2
2 1: 2:
17500 10000
1 2008.00
Page 1
2010.00
2012.00 Y ears
2014.00 15:57
2016.00 31 Okt 2011
Gambar 51. Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat Berdasarkan pemodelan yang dibuat, kondisi jalan (panjang total) adalah tetap, sedangkan kerusakan dan perbaikan jalan selalu dilakukan sehingga berpotensi meningkatkan kemacetan jalan yang akan dilintasi oleh pekerja yang sebagian besar komuter, yakni tinggal di kawasan Tangerang Selatan tetapi berkerja di wilayah utama yakni DKI Jakarta. Adanya kemacetan tersebut akan meningkatkan biaya konsumsi bahan bakar yang berakibat pada peningkatan biaya transportasi serta meningkatkan buangan gas (COx, NOx dan SOx) yang sifatnya akan merusak lingkungan. Hal ini akan semakin diperparah oleh tingginya pertumbuhan pembelian kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua, yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan/pembuatan jalan di Tangerang Selatan. Tingkat pertumbuhan sepeda motor adalah yang paling tinggi.
Hal ini merupakan salah satu penyebab tingginya tingkat kecelakaan yang
terutama disebabkan oleh rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara sepeda motor, ditambah lagi dengan rendahnya tingkat kedisiplinan pengendara moda kendaraan lain seperti truk, mobil pribadi, dan angkutan umum. 5.3.3. Submodel Sosial Submodel sosial dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru, merupakan bagian pemodelan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel dalam model pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan di kota baru terhadap keberlanjutan sistem. Pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap sistem tersebut disajikan dalam diagram sebab akibat (causal loop) pada Gambar 52. Pada Gambar 52 terlihat bahwa
128
pertumbuhan penduduk, pendidikan dan penduduk komuter akan mempengaruhi penduduk kota baru, selanjutnya sub model sosial ini digambarkan dalam bentuk stock flow diagram (SFD) (Gambar 53).
Gambar 52. Diagram sebab-akibat submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
infrastrukfur
kepedulian lingkungan % kesadaran lingkungan % penduduk pekerja penduduk komuter pendidikan
Populasi Tangsel jumlah rumah
pertumbuhan fraksi pertumbuhan
IPAL diperlukan
pengurangan fraksi pengurangan
Gambar 53. Diagram stock-flow submodel sosial dalam pembangunan kota baru berkelanjutan
129
Pada Gambar 52 dan 53 terlihat bahwa berdasarkan diagram alir sub model sosial di atas, terlihat bahwa pengurangan dan penambahan populasi berdampak pada pertumbuhan penduduk kota baru.
Penduduk komuter juga akan mempengaruhi
penduduk kota baru, dalam hal ini jika semua fasilitas komuter baik, diduga dapat meningkatkan penduduk kota baru dan sebaliknya. Selain hal itu pendidikan penduduk kota baru juga akan mempengaruhi kesadaran penduduk itu sendiri terhadap kesadaran lingkungan. Dalam hal ini semakin tinggi tingkat pendidikannya, maka kecenderungan kesadaran lingkungannya akan semakin meningkat, sehingga bukan tidak mungkin masyarakat sendiri yang akan meminta kota baru untuk melestarikan lingkungannya secara lebih baik lagi, misalnya dengan cara melakukan pembangunan IPAL untuk limbah cair bagi berbagai kegiatan antropogenik, sehinggapada akhirnyaakan berdampak positif pada penduduk kota baru itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori Kuznet yang mengatakan bahwa semakin meningkat kesejahteraan, semakin tinggi kepeduliannya terhadap lingkungan. Adapun populasi Tangerang Selatan berdasarkan hasil simulasi, penduduk usia kerja, jumlah rumah dan penduduk komuter mulai tahun 2008 hingga tahun 2016 dapat dilihat pada Gambar 54. Pada sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, besarnya peningkatan populasi Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya populasi Tangerang Selatan 918.783 orang, namun pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 1.397.354 dan pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 2.810.578 orang. Pada sub model sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk usia kerja (15-65 tahun), besarnya peningkatan penduduk usia kerja diTangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 55 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya penduduk usia kerja (15-65)Tangerang Selatan 459.392 orang, yakni setengahnya dari jumlah populasi yang ada di Tangerang Selatan. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 698.677 orang dan pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 1.405.289 orang. Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah rumah, besarnya peningkatan jumlah rumah di Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 57 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 jumlah rumah di Tangerang Selatan
130
321.574 rumah. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 489.074 rumah dan pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 983.702 rumah. 1: Populasi Tangsel 1: 2: 3: 4:
2: penduduk pekerja
3: jumlah rumah
4: penduduk commuter
3500000 1450000 1000000 1100000 3
4
2 1: 2: 3: 4:
2000000 950000 650000 700000
1 3 1 1
1: 2: 3: 4:
1
500000 450000 300000 300000
2 2008.00
3
3
4
2
4
2
4
2010.00
Page 1
2012.00 Y ears
2014.00
2016.00 30 Okt 2011
17:52
Gambar 54. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan penduduk usia kerja (15-65), jumlah rumah serta penduduk komuter
1: Populasi Tangsel 1:
3500000
1:
2000000
1
1 1 1 1:
500000 2008.00
Page 1
2010.00
2012.00 Y ears
2014.00 0:53
2016.00 27 Okt 2011
Gambar 55. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk
131
1: penduduk pekerja 1:
1450000
1 1:
950000 1
1
1:
450000
1 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 56. Simulasi submodel sosial berdasarkan penduduk usia kerja (15-65)
1: jumlah rumah 1:
1000000
1
1:
650000 1
1
300000
1:
1 2008.00
2010.00
2012.00
2014.00
2016.00
Gambar 57. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah rumah Pada submodel sosial berdasarkan simulasi jumlah penduduk yang commuter, besarnya peningkatan jumlah penduduk yang komuter di Tangerang Selatan dari tahun ke tahun juga dapat dilihat pada Gambar 58 dan pada Lampiran 3 yakni pada tahun 2008 besarnya jumlah penduduk yang komuter Tangerang Selatan 328.465 orang, yakni jumlahnya mencapai 2/3 dari dari jumlah penduduk usia kerja yang ada di Tangerang Selatan. Pada saat dilakukan penelitian meningkat menjadi 499.554 orang dan pada tahun 2016 diperkirakan menjadi 1.004.782 orang yakni mencapai tiga kali lipat dari tahun 2008.
132
1: penduduk commuter 1:
1100000
1 1:
700000 1
1 1 1:
300000
2008.00
Page 1
2010.00
2012.00 Y ears
2014.00 17:52
2016.00 30 Okt 2011
Gambar 58. Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk yang komuter 5.3.4. Validitas Model Seperti dijelaskan di atas bahwa validasi model dalam sistem dinamik dapat dilakukan atas dua yaitu validasi struktur model dan validasi kinerja model. (1). Validasi Struktur Model Validitas atau keabsahan merupakan kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah yang dalam pemodelan ditunjukkan dari sejauhmana model dapat menirukan fakta. Validasi model ini akan dapat menyimpulkan apakah model dari sistem yang dibangun merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji sehingga dapat menghasilkan kesimpulan yang meyakinkan (Eriyatno, 1999). Dalam pemodelan, hasil simulasi adalah perilaku variabel yang diinteraksikan dengan bantuan komputer. Tampilan perilaku variabel tersebut dapat bersifat terukur yang disusun menjadi data simulasi dan bersifat tidak terukur yang disusun menjadi pola simulasi. Keserupaan dunia model dengan dunia nyata ditunjukkan dari sejauhmana data simulasi dan pola simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Adapun proses melihat keserupaan tersebut dikenal sebagai validasi output atau kinerja model. Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem. Pada saat melakukan perancangan dan justifikasi, pembuat model dituntut untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian. Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami
133
mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model. (2). Validasi Kinerja/Output Model Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1) Absolute Mean Error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual, 2) Absolute Variation Error (AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual. a. Sub Model Lingkungan Pada validasi dari sub model lingkungan, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi untuk lingkungan perairan yang dilihat dari beban pencemaran perairan diwilayah yang dikaji, dengan hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, untuk sub model lingkungan pada perairan memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) untuk beban pencemaran BOD menyimpang 0,167% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0,5%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk beban pencemaran CODmemiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0625% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.125%. Pada sub model lingkungan di perairanuntuk beban pencemaran NO3 memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0526% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.632%. Pada sub model lingkungan di perairan untuk beban pencemaran PO4 memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.462%. Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari beban pencemaran perairan total diwilayah yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0426% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.461%. Adapun validasi kinerja model untuk pencemaran air yang dilihat dari beban pencemarannya dapat dilihat pada Tabel 16 .
134
Hasil uji menunjukkan bahwa keluaran model pengelolaan lingkungan Kota Baru BSD, untuk sub model lingkungan pada pencemaran udara, pencemaran COx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.03% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.07%.
Khusus untuk sub model lingkungan pada
pencemaran udara, pencemaran SOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.02% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.81%. Pada pencemaran udara, pencemaran NOx memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%. Nilai validasi dari sub model lingkungan, dilihat dari pencemaran udara total di wilayah yang dikaji memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 4.25%. Adapun validasi kinerja model untuk pencemaran air yang dilihat dari beban pencemarannya dapat dilihat pada Tabel 17 dan Tabel 18. Pada validasi dari sub model ekonomi, dibagi lagi menjadi dua, yakni validasi untuk ekonomi lingkungan yang dilihat dari PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa di wilayah yang dikaji, dan dilihat berdasarkan PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain, dengan hasil validasi dapat dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20. Khusus untuk sub model ekonomi pada PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasamemiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.01% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.97%.
Adapun nilai total PDRB dari PDRB dari
angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.06% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang 0.76% Pada sub model ekonomi pada PDRB dari bank sewa memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.05% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.50%. Pada sub model ekonomi pada PDRB dari ekonomi lain memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.33%. Adapun nilai total PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.04% dan Absolute Variation Error (AVE)menyimpang 0.07%. Adapun validasi kinerja model untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 19 dan Tabel 20.
135
Pada sub model sosial pada jumlah penduduk memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0149% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.343%. Pada sub model sosial pada usia kerja memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0429% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang sebesar 0.195%. Adapun untuk jumlah rumah memiliki nilai Absolute Mean Error (AME) menyimpang 0.0103% dan Absolute Variation Error (AVE) menyimpang 0.377%. Adapun validasi kinerja model untuk ekonomi dapat dilihat pada Tabel 20.
136 Tabel 16. Validasi submodel lingkungan, beban pencemaran pada air Beban (Ton/hari) Tahun 2008 2009 2010 Mean AME Varian AVE
BOD Aktual Simulasi 5.32 6.17 6.88 7.13 8.76 8.25 6.986666667 7.183333333 0.166666667 2.966933333 1.083733333 0.5
COD Aktual Simulasi 14.36 14.41 15.95 16.95 19.93 19.93 16.74666667 17.09666667 0.0625 8.232233333 7.633733333 0.125
NO3 Aktual Simulasi 0.04 0.05 0.06 0.07 0.09 0.08 0.063333333 0.066666667 0.052631579 0.000633333 0.000233333 0.631578947
Tabel 17. Validasi submodel lingkungan, pencemaran pada udara
Tahun
136
2008 2009 2010 Mean AME Varian AVE
COx Aktual 2021 2594 2980 2787.00 0.03 74498.00 0.07
Udara Ambien (µg/ Nm3) SOx Simulasi Aktual Simulasi 2,316.96 105 106.58 2,664.49 113 122.57 3,064.15 155 140.95 2864.32 134.00 131.76 0.02 79864.06 882.00 168.91 0.81
NOx Aktual 44 67 71 69.00
Simulasi 53.38 61.38 70.57 65.98 0.06
8.00
42.23 4.25
PO4 Aktual Simulasi 0.14 0.14 0.15 0.16 0.18 0.19 0.156666667 0.163333333 0.042553191 0.000433333 0.000633333 0.461538462
137 Tabel 18. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari angkutan umum dan telekomunikasi, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Tahun Angkutan & Komunikasi PHR Jasa Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi 2008 1,508,827.17 1,504,093.71 1,496,249.28 1,344,914.56 908,703.88 924,479.45 2009 1,795,403.91 1,729,707.77 1,586,935.03 1,546,651.74 1,013,260.29 1,063,151.37 2010 1,980,050.97 1,989,163.93 1,786,129.34 1,778,649.50 1,133,417.77 1,222,624.08 Mean 1,887,727.44 1,859,435.85 1,686,532.18 1,662,650.62 1,073,339.03 1,142,887.73 AME 0.01 0.01 0.06 Varian 17047267171.65 33658749480.97 19839186837.07 26911480322.51 7218909460.34 12715772617.37 AVE 0.97 0.36 0.76 Tabel 19. Validasi submodel ekonomi, PDRB dari bank sewa dan ekonomi lain Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Bank Sewa Ekonomi Lain Total Aktual Simulasi Aktual Simulasi Aktual Simulasi 2008 831,165.50 820,289.46 526,917.33 561,422.35 5,275,215.92 5,155,199.53 2009 869,902.65 943,332.88 636,658.83 645,635.70 5,710,165.72 5,928,479.46 2010 1,070,088.81 1,084,832.81 755,009.61 742,481.06 6,568,208.87 6,817,751.38 Mean 969,995.73 1,014,082.85 695,834.22 694,058.38 6,139,187.29 6,373,115.42 AME 0.05 0.00 0.04 Varian 20037249909.87 10011115095.00 7003453533.47 4689511876.76 368119026353.00 395402273850.25 AVE 0.50 0.33 0.07 Tahun
137
138 Tabel 20. Submodel sosial
Tahun
138
2008 2009 2010 Mean AME Varian AVE
Jumlah Aktual Simulasi 918,783 918,783 1,055,215 1,056,600 1,250,780 1,215,091 1,152,997 1,135,846 0.014876014 19,122,844,430 12,559,698,541 0.34320971
Penduduk Usia Kerja Aktual Simulasi 448,816 459,392 500,434 528,300 588,737 607,545 544,586 567,923 0.042852815 3,898,778,891 3,139,885,013 0.194649119
Jumlah Rumah Aktual Simulasi 315,688 321,574 366,548 369,810 436,843 425,282 401,696 397,546 0.010328732 2,470,722,978 1,538,571,392 0.377278875
139
5.3.5. Skenario Berdasarkan hasil analisis tersebut di atas, pada penelitian ini dibuat skenario dan simulasinya. Skenario yang diambil di sini berupa empat alternatif kebijakan yang diikuti dengan pelaksanaan serta pengawasan yang tepat yaitu : 1. Alternatif kebijakan untuk tidak mengadakan perubahan (skenario do nothing) Alternatif ini diambil sebagai pembanding dalam pengambilan alternatif kebijakan lainnya, juga sebagai alternatif kebijakan apabila kebijakan lainnya kenyataannya tidak lebih baik dari yang sudah ada sekarang. Dalam pemilihan alternatif kebijakan ini tidak ada perubahan parameter yang dilakukan 2. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 3%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 20% b. Ekonomi: peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 10%. c. Sosial:
pengendalian
pertumbuhan
penduduk
dengan
pemantapan program keluarga berencana. 3. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten
140
sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 40% b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%. c. Sosial:
pengendalian
pertumbuhan
penduduk
dengan
pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. 4. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 7%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan. Uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 50% b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 30%. Pada kebijakan ini juga Kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi c. Sosial:
pengendalian
pertumbuhan
penduduk
dengan
pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi.
Kebijakan
tambahan untuk pembangunan pemukiman terpadu sehat Adapun hasil simulasi dari setiap skenario tersebut dapat dilihat pada Gambar 59 sampai dengan Gambar 78 dan pada Lampiran 5.
141
Simulasi skenario submodel lingkungan Pada penelitian ini dibuat simulasi dari skenario submodel lingkungan yang terdiri dari kualitas air dan kualitas udara. Kualitas Air Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban COD dapat dilihat pada Gambar 59. Pada Gambar 59 terlihat trend penurunan COD pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan COD yang sangat signifikan.
Gambar 59. Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Beban pencemaran BOD (ton/hari) Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban BOD dapat dilihat pada Gambar 60. Pada Gambar 60 terlihat trend penurunan BOD pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan BOD yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran bahan organik.
142
Gambar 60. Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 Beban pencemaran NO3 (ton/hari) Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban NO3 dapat dilihat pada Gambar 61. Pada Gambar 61 terlihat trend penurunan NO3 pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan NO3 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan kelewat subur, seperti terjadinya blooming plankton
Gambar 61. Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
143
Beban pencemaran PO4 (ton/hari) Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang beban PO4 dapat dilihat pada Gambar 62. Pada Gambar 62 terlihat trend penurunan PO4 pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan PO4 yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran bahan organik yang dapat menyuburkan perairan dan mengurangi adanya faktor pembatas akibat unsur phosphor yang meningkat.
Gambar 62. Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4
Kualitas Udara Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap kualitas udara pada skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi COx (µg/ Nm3) dapat dilihat pada Gambar 63. Pada Gambar 63 terlihat trend penurunan COx pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan COx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
144
Gambar 63. Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 Emisi NOx (µg/ Nm3) Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi NOx (µg/Nm3) dapat dilihat pada Gambar 64. Pada Gambar 64 terlihat trend penurunan COx pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan NOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
Gambar 64. Emisi NOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4
145
Emisi SOx (µg/Nm3) Hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 tentang emisi SOx (µg/Nm3) dapat dilihat pada Gambar 65. Pada Gambar 65 terlihat trend penurunan SOx pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan penurunan SOx yang sangat signifikan, sehingga akan sangat mengurangi pencemaran udara, sekaligus akan menyumbang gas rumah kaca yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan iklim global.
Gambar 65. Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 Simulasi skenario submodel ekonomi Pada penelitian ini juga dilakukan simulasi terhadap sub model ekonomi pada skenario 1, 2, 3 dan 4. Sebagai contoh hasil simulasi skenario 1, 2, 3, dan 4 dapat dilihat pada Gambar 66. Pada Gambar 66 terlihat trend peningkatan PDRB pengangkutan dan komunikasi pada skenario 2, 3 dan 4. Adapun skenario terbaik (optimis) terjadi pada skenario 4 yang menghasilkan PDRB pengangkutan dan komunikasi yang meningkat secara sangat signifikan, sehingga akan sangat membantu meningkatkan PDRB Kota Tangsel. Kondisi yang sama juga terjadi kegiatan ekonomi lainnya seperti yang tersaji pada Gambar 66-70.
146
Gambar 66.
Sub model ekonomi dari kegiatan pengangkutan dan komunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4
Gambar 67. Submodel ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel dan Restoran skenario 1, 2, 3 dan 4
PDRB Jasa : jasa-jasa Di Kota Tangerang Selatan, selain terdapat kegiatan ekonomi seperti tersebut di atas, juga terdapat penelirimaan PDRB yang berasal dari bidang jasa yang hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 nya seperti ditunjukan oleh Gambar 68. Selain itu PDRB juga dapat berasal dari bank, persewaan dan jasa perusahaan
147
(Gambar 69) serta dari kegiatan ekonomi lainnya yang skenarionya dapat dilihat pada Gambar 70.
Gambar 68. Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4
Gambar 69.
Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasa perusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4
148
Gambar 70. Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4 Infrastruktur, total panjang jalan (km) Hasil simulasi skenario 1, 2, 3 dan 4 dalam hal infrastruktur panjang jalan dari tahun 2008 hingga 2016 dapat dilihat pada Gambar 71, sedangkan simulasi kerusakan jalannya dapat dilihat pada Gambar 72.
Gambar 71. Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4
149
Gambar 72. Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 Adapun hasil simulasi persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan dengan skenario 1, 2, 3 dan 4 tersaji pada Gambar 73.
Gambar 73. Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 Hasil simulasi jumlah kendaraan roda dua pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 74. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kenaikan kendaraan roda dua, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
150
Gambar 74. Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4 Hasil simulasi jumlah kendaraan roda empat pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 75. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada kendaraan roda dua, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario. jumlah kendaraan roda empat, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario. Selain itu kenaikan jumlah kendaraan roda empat lebih rendah dibanding roda dua.
Gambar 75. Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4
151
Simulasi skenario submodel sosial Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 76.
Gambar 76. Skenario sub model sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario 1, 2, 3 dan 4 Hasil simulasi terhadap jumlah rumah pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 77. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi lainnya yakni akan terjadi peningkatan jumlah rumah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario. Hasil simulasi terhadap jumlah penduduk komuter pada skenario 1, 2, 3 dan 4 dapat dilihat pada Gambar 78. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa baik pada skenario 1, 2, 3, dan 4 akan terjadi kondisi yang sama dengan pada simulasi lainnya yakni akan terjadi peningkatan jumlah jumlah penduduk komuter seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di Tangerang Selatan, namun dengan kecepatan peningkatan yang berbeda-beda antar skenario.
152
Gambar 77. Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah, skenario 1, 2, 3 dan 4
Gambar 78.
Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter, skenario 1, 2, 3 dan 4
Berdasarkan skenario yang dibangun seperti tersebut di atas, idealnya skenario yang sebaiknya diimplementasikan adalah skenario ke 3 yakni melakukan pembuatan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dengan tingkat pertumbuhan 5%.
Pada dasarnya pertumbuhan instalasi pengolah air limbah
sebanyak 5% didasarkan pada hasil penelitian Sitepu (2009) yang mengatakan bahwa kawasan permukiman umumnya belum mempunyai IPAL dan penelitian Napitupulu (2009) yang mengatakan bahwa setelah ada undang-undang yang mengatur pencemaran, ternyata pertumbuhan IPAL hanya kurang dari 5%.
153
Nilai tingkat pertumbuhan IPAL 5% masih dimungkinkan untuk terjadi, mengingat kesadaran masyarakat dengan semakin baik dengan semakin meningkatnya kesejahteraan.
Hal ini sesuai dengan Teori Kuznet yang
mengatakan bahwa semakin makmur, kesadaran terhadap lingkungan semakin meningkat.
Hal ini sesuai dengan pendapat Iwami (2001); Bartz dan Kelly
(2004); Susandi (2004) yang memperlihatkan bahwa terdapat relasi antara tingkat pencemaran dan pendapatan, yakni membuktikan bahwa pencemaran dan emisi akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan, namun pencemaran dan emisi juga akan menurun pada tingkat pendapatan tertentu yang digambarkan dalam bentuk environmental kuznets curve (EKC). Selanjutnya Bartz dan Kelly (2004) juga mengatakan bahwa meningkatnya pendapatan akan menurunkan tingkat pencemaran, karena pada tingkat pendapatan tertentu marginal abatement cost akan meningkat sehingga kontrol terhadap lingkungan seperti pencemaran dan emisi juga meningkat.
Oleh karena itu maka dengan adanya kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan yang semakin membaik, diduga akan meningkatkan paksaan terhadap kegiatan antropogenik seperti kegiatan industri untuk membangun IPAL juga akan semakin meningkat, dan nilai 5% dirasa cukup wajar. Pada skenario ini Pemda juga idealnya mewajibkan setiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan memakai katalisator, yakni alat yang dipasang pada kendaraan dengan tujuan untuk menurunkan pencemaran dan menurunkan emisi gas buang.
Setelah dilakukan aturan yang mewajibkan penggunaan
katalisator, selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap setiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang apakah mereka sudah menggunakan katalisator atau belum. Berdasarkan hal tersebut, maka Pemda Tangerang Selatan idealnya melakukan pemeriksaan terhadap kendaraan bermotor.
Pemeriksaan terhadap katalisator
kendaraan ini dapat dilakukan bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan. Selain itu Pemda juga hendaknya melakukan uji emisi gas buang kendaraan secara periodik dan konsisten. Apabila hal tersebut dilakukan secara tertib, teratur dan mengikat pada seluruh warga tanpa pandang bulu, maka diharapkan akan dapat menekan emisi gas buang kendaraan lebih dari 40%. Apabila emisi gas buang di Tangerang Selatan dapat diturunkan sebanyak 40%. Hal ini mengandung arti
154
bahwa Pemda Tangerang Selatan telah ikut serta membantu pemerintah pusat dalam mengimplementasikan janji pemerintah untuk menurunkan GRK sebanyak 26%. Pada skenario ke tiga ini selain dilakukan hal tersebut di atas, juga dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan mengenakan pajak pada kendaraan pribadi yang umurnya tua, yakni pajaknya relatif lebih tinggi (progressive taxation). Hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi pencemaran dan mengurangi emisi gas buang, mengingat pada kendaraan yang sudah tua, apalagi jika tidak terurus, umumnya pembakaran bahan bakarnya kurang sempurna, sehingga seringkali dihasilkan bahan pencemaran atmosfir yang cukup tinggi, begitu pula halnya dengan gas rumah kaca yang dihasilkannya. Selain itu dapat dilakukan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Perbaikan jalan 20% ini didasarkan pada hasil studi literature di beberapa kabupaten dan kota sekitar DKI Jakarta yang memperlihatkan bahwa perbaikan jalan yang dilakukan selama ini pada umumnya maksimal 20%. Adanya infrastruktur yang baik akan memperbaiki kualitas lingkungan. Hal ini disebabkan pada kondisi normal kendaraan dapat melaju dengan cepat apabila jalan yang dilalui dalam kondisi mulus, apalagi jika lebar jalan tersebut diperluas dan panjang jalan ditambah, sehingga dari situ akan terdapat jalan alternatif yang akan menjadi pilihan pengemudi kendaraan. Selain hal tersebut di atas, peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan yang memperlancar perjalanan seringkali juga berdampak positif pada terjadinya peningkatkan kegiatan ekonomi. Hal yang tidak kalah pentingnya jika akan mengimplementasikan skenario ke tiga adalah melakukan pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana (KB). Hal ini dilakukan mengingat munculnya berbagai masalah lingkungan, ada indikasi bahwa penyebab utamanya adalah akibat ketidak mampuan pemerintah untuk menurunkan kecepatan
155
pertumbuhan penduduk. Untuk itu, Pemda harus segera mencanangkan kembali program KB, dan membentuk kembali Dinas atau Subdit yang menangani khusus KB dan aktif mensosialisasikan ke seluruh peloksok Kabupaten Tangerang Selatan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah mendorong Pemda dan Pemerintah Pusat untuk
membuat kebijakan daerah tentang urbanisasi, dan
mendorong pemerintah pusat untuk mengadakan berbagai program yang dapat mencegah
terjadinya
urbanisasi
seperti
dengan
menggalakan
program
pengembangan perdesaan, program agropolitan, program minapolitan, program agrowisata, dan sebagainya.
Salah satu contoh program agropolitan atau
minapolitan, merupakan satu program pemerintah untuk membuat pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perdesaan.
Adanya pertumbuhan
ekonomi baru ini pada akhirnya dapat menurunkan tingkat urbanisasi, mengingat masyarakat desa yang umumnya sulit mencari penghidupan di desa dengan adanya pertumbuhan ekonomi di pusat pertumbuhan baru yang ada di desa inti atau di hinterland-nya, akan mendorong masyarakat tersebut untuk berupaya di kampungnya sendiri. 5.4. Prioritas Kebijakan Pengembangan Kota Baru BSD Berdasarkan hasil analisis MDS dan hasil pembuatan model selanjutnya dibuat prioritas kebijakan. Hasil analisis MDS yang dilakukan pada penelitian ini diperoleh 22 buah faktor pengungkit dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, infrastruktur dan teknologi dan hukum kelembagaan. Ke 22 faktor pengungkit tersebut selanjutnya dianalisis lagi dengan menggunakan analisis prospektif, sehingga diperoleh lima buah faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD ditambah dengan enam buah faktor penghubung yang juga mempunyai pengaruh yang besar. Berdasarkan faktor kunci dan faktor penghubung ini digabung dengan hasil pemodelan dengan memperhatikan alternatif skenario kebijakan ke-3, yakni alternatif kebijakan berupa kombinasi dari lingkungan berupa pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisator pada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan serta uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten.
Khusus untuk ekonomi dilakukan
156
pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Aspek sosialnya berupa pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. Maka disusun prioritas kebijakan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, yakni: 1. Dalam rangka meningkatkan produktifitas pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD, keefisienan dan keefektipan proses pengelolaan lingkungan, maka kegiatan pengelolaan lingkungan di kawasan Kota Baru BSD harus mampu mengadakan teknologi produksi bersih yang dapat menurunkan pencemaran udara dan terlepasnya emisi gas buang yang merupakan salah satu penyumbang yang cukup dominan untuk gas rumah kaca, sehingga masalah pencemaran udara dan emisi GRK dapat tertanggulangi dengan baik. 2. Kawasan Kota Baru BSD juga harus membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal untuk masing-masing kegiatan sehingga dapat mengolah limbah cair yang dihasilkan dari proses kegiatan antropogenik dan tidak membuangnya ke lingkungan secara langsung. Adanya pengolahan limbah cair yang dihasilkan dari berbagai kegiatan antropogenik ini relatif akan menjaga kualitas air, sehingga tidak terjadi pencemaran air pada ekosistem air penerimanya 3. Pada pembangunan kawasan kota baru juga harus dicari berbagai upaya agar pencemaran udara dan terlepasnya GRK tidak semakin tinggi. Untuk ini hal yang dapat dilakukan antara lain adalah mengurangi sedapat mungkin penggunaan kendaraan pribadi, dengan menyediakan moda transportasi umum yang dapat menjangkau semua lokasi baik yang ada di pusat kota maupun ke kota satelit lainnya di kawasan metropolitan DKI Jakarta. Selain itu moda transportasi tersebut harus dibuat senyaman mungkin dan dapat berjalan secara cepat sehingga akan menjadi pilihan bagi para pengguna jasa transportasi. Untuk itu maka sarana dan prasarana komuter harus tersedia dengan baik, baik di Kota
157
Baru BSD, kota utama maupun di kota satelit lainnya yang semuanya berhubungan dengan Kota Baru BSD. 4. Selain itu hal yang juga tidak kalah pentingnya untuk menurunkan pencemaran udara dan GRK di Kota Baru BSD dan sekitarnya adalah sosialisasi kepada masyarakat dan seluruh stakeholder untuk selalu berupaya mengurangi pencemaran udara dan emisi GRK, sehingga kesehatan akan terjamin dan berbagai musibah yang mungkin terjadi akibat adanya pencemaran dan terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim global dapat diminimalkan. 5. Dalam kegiatan pengelolaan Kota Baru BSD, harus dibuat standar mutu pelayanan transportasi, baik dalam penyediaan sarana maupun prasarananya, sehingga kegiatan transportasi baik di dalam kota baru, maupun menuju ke kota utama dan ke kota satelit lainnya akan dapat berjalan secara efektif dan efisien, akan terhindar dari terjadinya kemacetan dan akan mengurangi terjadinya pencemaran udara dan terlepasnya GRK. 6. Sosialisasi kepada masyarakat yang ada di kawasan kota baru dan para stakeholder-nya , juga hendaknya mempunyai pemahaman, kepedulian, dan tanggung jawab yang tinggi terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di kawasan Kota Baru BSD dan sekitarnya, sehingga mereka akan cenderung untuk menjaga sumberdaya dan lingkungan yang ada di kawasan kota baru tersebut, 7. Semua pihak (pemerintah, pengusaha, perguruan tinggi dan masyarakat) hendaknya selalu mencari atau menemukan inovasi-inovasi baru teknik pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam dan menjauhkan diri dari sifat egosektoral, sehingga akan didapatkan teknik pengelolaan dan pelestarian lingkungan yang paling efisien dan efektif.
Begitu pula
halnya dalam meningkatkan kondisi ekonomi dan kondisi sosial dengan tanpa mengganggu kelestarian lingkungan. 8. Di kawasan kota baru, khususnya dan di kota metropolitan pada umumnya, hendaknya segera dibuat kelembagaan lengkap dengan organisasi
dan
peraturan
perundang-undangan
serta
melakukan
158
penegakan hukum tentang pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan, terkait dengan kegiatan pengelolaan lingkungan kota baru, sehingga daya dukung lingkungan tidak terlampaui, lingkungan tetap terjaga, serta memunculkan rasa kebersamaan dan keadilan. 9. Di Tanggerang Selatan pada umumnya dan di kawasan Kota Baru BSD pada khususnya, yang umumnya penduduknya adalah penduduk pendatang dari berbagai daerah dan mempunyai budaya yang berbedabeda, hendaknya kebijakan pemerintah menjamin bahwa budaya lokal tetap dilestarikan, misalnya dengan membuat program-program yang melibatkan budaya lokal sebagai bagian dari budaya di kota baru, penyelenggaraan festival budaya lokal, dan sebagainya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan: 1.
Lingkungan perairan di kawasan Kota Baru BSD tercemar limbah organic yang mudah urai (BOD) dan yang sulit urai (COD), sedangkan atmosfirnya tercemar gas beracun CO, serta tercemar oleh SOx, NOx, ozon (O3) dan TSP
2. Nilai indeks keberlanjutan Kota Baru BSD sebesar 46,75 % dan termasuk dalam status kurang berkelanjutan, dan hanya dimensi infrastruktur dan teknologi (52,20), dimensi ekonomi (53,17) dan dimensi hukum dan kelembagaan (59,95) yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi (42,22) dan dimensi sosial-budaya (26,49) statusnya tidak berkelanjutan 3. Terdapat 22 faktor pengungkit pada pengelolaan lingkungan dan pengembangan Kota Baru BSD, agar berkelanjutan 4. Model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan harus memperhatikan limbah cair, kualitas udara, keberadaan IPAL, keberadaan kawasan bisnis, dan penegakan hukum 5. Prioritas kebijakan pengembangan kota baru berkelanjutan adalah mengadakan teknologi produksi bersih, membangun IPAL, jaringan jalan dan transportasi yang efektif dan efisien, memperhatikan budaya lokal yang hampir punah dan membentuk kelembagaan.
Saran: 1. Penelitian perlu dilanjutkan dengan melihat kualitas air dan kualitas udara yang
komprehensif dan melihat eksternalitas dari bahan-bahan pencemar tersebut 2. Strategi kebijakan pengembangan kota baru hendaknya dapat menumbuhkan
pembangunan IPAL hingga 5%, kewajiban penggunaan katalisator pada kendaraan bermotor, yang ada di Kota Tangerang Selatan serta uji emisi gas buang kendaraan dilakukan secara periodik dan konsisten.
Selain itu juga
dilakukan pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas
160
insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%. Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin S.Z. 2002. Kebijakan publik. Penerbit Yayasan Pancur Siwah. Jakarta. Abou N., El-Fadel M., Ayoub M., El-Taha M., Al-Awar F. 2002. An optimisation model for regional integrated solid waste management I. Model formulation. Waste Management & Research, 20(1): 37-45 Al Yaqout A.F. 2003. Assessment and analysis of industrial liquid waste and sludge disposal at unlined landfill sites in arid climate. Waste Management, 23(9): 817-824 Allenby B.R. 1999. Industrial Ecology. Policy Framework and Implementation. Prentice-Hall Inc. New Jersey. USA.Anderson, V. dan Johnson, L. 1997. Systems Thinking Basics: From Concepts to Causal Loops. Pegasus communication. Williston ISBN 1-883823-12-9. Al-Yaqout A.F. 2003. Evaluation of landfill leachate in arid climate-a case study. Environment International, 29 (5) :593-600 Aminullah E. 2001. Studi Kebijakan Melalui Analisis Sistemik. Bahan Analisis Kebijakan. LAN RI. Jakarta. Anderson W., Johnson L. 1997. Systems Thinking Basics: From Concepts to Causal Loops. Pegasus Communication INC. Williston. Amerika Serikat Arifin A., Dillon H.S.S. 2005 dalam Budhy Tjahjati Sugijanto Soegijoko et. al. (2005). Bunga Rampai, Pembangunan Kota Indonesia Dalam Abad 21. Buku 1, Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Yayasan Sugijanto Soegijoko dan Urban and Regional Development Instiute (URDI). Jakarta. Barrow C.J. 1991. Land Degradation, Development and Breakdown of Terrestrial Environments. Cambridge University Press, Cambridge, New York, Port Chester, Melbourne, Sydney. Bartz S, Kelly D.L. 2004. Economic Growth and the Environment: Theory and Facts. Resource and Energy Economics vol. 30. p.115-49. Bourgeois R., Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analisys. Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. UNESCAP-CAPSA. Bogor.Brand,P. dan Thomas,M. J.2005. Urban Environmentalism: Global Change and The Mediation Of Local Conflict. New York: Routlege. Bruegmann R. 2006. Sprawl: a compact history. Chicago: The University of Chicago Press. Caiden G.E. 1971. The Dynamics of Public Administration: Guidelines to Current Transformation in Theory and Practice, New York, Holt, Rinehart and Winston, Inc.,
162 Cook C., Fereday D., Lowson M., Teychenné R. 2004. Passenger response to a PRT system. Proceedings of the Transportation Research Board (TRB) 83rd Annual Meeting. Washington, D.C. 11–15 Jan 2004. Corden, M.C. 1975. Urban Planning Theory. Dowden, Hutchinson & Ross Inc., Pennsylvania, USA Cornelissen A.M.G., van den Bergb J., Koopsa W. J., Grossmanc M., Udoa H. M. J. 2001. Assessment of the Contribution of Sustainability Indicators to Sustainable Development: a Novel Approach Using Fuzzy Set Theory.Elsevier Science B.V. Cronin J.C.Jr., Taylor S.A. 1992. Measuring Service Quality: A Reexamination and Extension. The Journal of Marketing. Vol. 56, No. 3 (Jul., 1992), pp. 55-68 Dardak H., 2006, Ruang Terbuka Hijau, Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota (Green Space as Main Component of City Planning), Directorate General of Spatial Planning Department of Public Works, Jakarta Davis G.J., Warhurst W.J., Weller P. 1993. Public Policy in Australia, Ed ke-2. St. Leonards: Allen and Unwin. de Vreese C.H., Peter J., Semetko H.A. 2000. Framing the euro: Acrossnationalcomparative study of frames in the news. Paper presented at the International CommunicationAssociation, Acapulco, Mexico. Djakapermana R.D. 2004. Degradasi Lahan di Kawasan Jabodetabek dan Implikasinya Terhadap Bahaya Banjir dan Kerusakan Lingkungan, Buletin Tata Ruang , Edisi Khusus Hari Habitat Dunia, Sekretariat Tim Teknis Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN). Dunn W.N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Ng E. 2010. Designing High-Density Cities For Social & Environmental Sustainability. London: Earthscan. El-Fadel M., Zeinati M, El-Jisr K., Jamali D. 2001. Industrial-waste management in developing countries: The case of Lebanon. Journal of environmental, 61(4): 281-300 EPA. 1997. Environmental Protection Act. Amerika Serikat EPA. 2007. Review of the National Ambient Air Quality Standards for Particulate Matter, www.epa.gov/fedrgstr/EPA-AIR, [4 Mei 2007]. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen Jilid I Edisi Kedua. IPB Press. Bogor. Eriyatno. 2003. Ilmu Sistem; Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Jilid I. “Ed ke-3”.IPB Press. Bogor. Fadel M., Zeinati M., Jamali D. 2001 Water resources management in Lebanon: institutional capacity and policy options. Water Policy 3, 425–448.
163
Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB. Bogor. Fauzi A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi, Fauzi A., Anna S. 2002. Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum. Fisheries. 1999. Rapfish Project. http:/fisheries.com/project/rapfish.htm. Diakses pada Tanggal 10 September 2007. Forrester J.W. 1968. The Industrial Dynamics, the MIT Press – John Wiley and Sons, Inc., New York. Galantay E. 1980. I: Definition and Typology, II: Goals, Policies, and Strategies. New Town in National Development. IFHP Working Party, United Kingdom. Gallion A.B. 1986. The Urban Pattern: City Planning and Design. New York: Van Nostrand Reinhold George H. 2006. Progress & Poverty. London: Elibron Classics. Golany G. 1976. New Town Planning: Principles and Practice. John Wiley & Sons, Toronto, Canada. Goodman J.C. 1980. The regulation of medical care: Is the price too high? (Cato public policy research monograph). CATO Institute. Massachusetts. Amerika Serikat Hague M. 1980. III: Instruments for Achieving New Town Development, IV: Means of Planning New Towns, V: Implementation of New Town Development. IFHP Working Party, United Kingdom. Hall R.E., Jones C.I. 1996. "The Productivity of Nations," NBER Working Papers 5812, National Bureau of Economic Research, Inc. Hardjasoemantri. 1991 .Hukum Perlindungan Lingkungan, Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Herrington J. 1984. The Outer City. Harper & Row Publisher, London. Hettne B. 2001. Teori Pembangunan Dan Tiga Dunia. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Hidayat T. 2005. Identifikasi Preferensi Masyarakat dalam Sistem Pengelolaan Persampahan Permukiman(Studi Kasus: Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Undergraduate thesis, Universitas Diponegoro). Hokkanen J., Lahdelma R., Slaminen P. 1999. A Multiple Criteria Decision Model for Analyzing and Choosing Among Different Development Patterns for the Helsinki Cargo Harbour. Socio-Economic Planning Sciences 33, 1-23.
164 Iwami T. 2001. Economic development and environment in Southeast Asia: an introductory note. International Journal of Social Economics. Vol. 28 Iss: 8, pp.605 – 622 Jeon C., Amekudzi A. 2005. Addressing Sustainability in Transportation Systems: Definitions,. Indicators and Metrics. ASCE Journal of Infrastructure Systems, Vol. 11, No. 1, March, 2005, pp. 31-50 JICA (Japan International Coorporation Agency dan National Development Planning Agency). 2001. The Study on Integrated Transportation Master Plan (SITRAMP) for the Jabotabek Phase 1. Final Report. PCI and ALMEC Corporation. Jakarta. Republic of Indonesia.Jones, G.W. 1984. Links Between Urbanization and Sectoral Shift in Employment in Java. Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. XX No. 3. Jones C.O. 1996. Pengantar kebijakan publik (public policy) Istamto R, Penerjemah. Budiman N, editor. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Terjemahan dari : An Introduction o the Study of Public Policy. Jraiw K. 2003. Urban road transport in Asia Developing Countries: safety and efficiency strategy. Transport Research Record.1846: 19-25. Kavanagh P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). University of British Columbia, Fisheries Centre, Vancouver. Kenworthy J., Laube, F. 2002. Travel Demand Management: The potential for enhancing urban rail opportunities & reducing automobile dependence in cities. World Transport Policy & Practice 8(3): 20-36. Khanna P., Babu P.R., George M.S. 1999. Carrying-Capacity as a Basis for Sustainable Development a Case Study of National Capital Region in India. National Environmental Engineering Research Institute, Nehru Marg, Nagpur 440 020, India: Elsevier Ltd. Kim D.H., Anderson V. 1998. Systems archetype basics: from story to structure. Pegasus Communications INC. Williston. Amerika Serikat Kompas, 18 November 2005. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Lal R., Pierce F.J. 1991. Soil Management for Sustainability. Ankeny, Iowa: Soil and Water Conservation Soc. in Coop. with World Assoc. of Soil and Water Conservation and Soil Sci. Soc. of Amer. Litman T.A. 2004. The online TDM Encyclopedia: Mobility Management Information Gateway. Transport Policy. 10(3): 245-249. Litman T.A. 2008. Well Measured Developing Sustainable Transport Indicators. Victoria Transport Policy Institute. [www.vtpi.org]. Luo Y.F., Khan S., Cui Y.L., Feng Y.H., Li Y.L. 2007. Modeling the Water Balance for Aerobic Rice: A System Dynamic Approach. Agricultural Water Management. 74:1860-1866
165
Lvovsky K., Hudges G., Maddison D., Ostro B., Pearce D. 2000. Environmental Cost of Fossil Fuels. Pollution Management Series. The World Bank Environment Department Memahami KTT Bumi, 1992 Manahan S.E. 2002. Environmental Chemistry. Seventh Edition. Lewis Publisher. Inc. NewYork. Manecth T.J., Park G.L. 1977. System Analysis and simulation with application to economic and social system Part I. The third edition. Department of electric engineering and system science. Michigan State Univ. East Lansing. Michigan. Martin D.W. 1985. Biokimia. I. Darmawan (Penerjemah). CV. EGC. Jakarta Memahami KTT Bumi. 1992. Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Rio De Janeiro. Brazil. SKEPHI. Indonesia. Metcalf, Eddy. 1991. Wastewater Engineering. Treatmeant, Disposal and Reuse (Revised) Mc. Graw Hill. New York Munasinghe M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. Washington: The World Bank. Muthukumaran N., Ambujam N.K. 2003. Wastewater Treatment and Management in Urban Areas—A Case Study of Mysore City, Karnataka, India. Journal of Water Resource and Protection. Vol.2 No.8. PP.717-726 Najm M.A., El-Fadel M., Ayoub G. 2002. An optimisation model for regional integrated solid waste management I. Model formulation. Waste Manage Res vol 20: 37–45 Napitupulu A. 2009. Pengembangan Model Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Pada PT (Persero) Kawasan Berikat Nusantara. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor NCHRP (National Cooperative Highway Research Program). 1980. SUMMARY OF PROGRESS THROUGH 1980. NCHRP Summary of Progress. Washington. Amerika Serikat Nhapi I. 2004. Options for wastewater management in Harare, Zimbabwe. PhD thesis. Wageningen University Dissertation. 179 p Odum E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Brooks Cole. Amerika Serikat Odum H.T. 1976. Ecological and General Systems: An Introduction to Systems Ecology. University Press of Colorado. Rev Sub edition. Amerika Serikat Osborn F.J., Whittic A. 1963. The New Towns, The Answer to Megalopolis. Mc. Graw Hill Book Company, London. Ostro B. 1994. Estimating the Health Effects of Air Pollutans: A Method With an Application to Jakarta. Policy Research Working Paper No. 1303. http://wdsbeta.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/IW3 P/IB/1994/05/01/000009265_3970716141007/Rendered/PDF/multi0pa ge.pdf. [1-Jan-11].
166 Panyacosit L. 2000. A Review of Particulate Matter and Health: Focus on Developing Countries. http://www.iiasa.ac.at/Publications/Documents/IR-00-005.pdf, [11-Jan11]. Parson W. 2005. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Prenada Media. Paulley N., Pedler A. 2000. Integration of Transport and Land Use Planning: Final report of the TRANSLAND project, Deliverable 4 of the project TRANSLAND (Integration of Transport and Land Use Planning). Pearce D.W., Turner R.K. 1990. Economics of Natural Resources and The Environment, Hemel Hempstead : Harvester Wheatsheaf. Pemerintah Daerah Tangerang Selatan. 2009. Kabupaten Tangerang Selatan dalam Angka. BPS Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 494/PRT/M/2005. Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP Kota). Pitcher T.J. 1999. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique for Fisheries and Its Application to The Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO UN. Rome. Ratcliffe J. 1977. An Introduction to Town and Country Planning. Hutchinson, London. Rees W. 1990. Sustainable development and the biosphere. Teilhard Studies Number 23. American Teilhard Association for the Study of Man Reismann L. 1970. The Urban Process, Cities in Industrial Societies. New York: The Free Press. Riani E., Sutjahjo S.H., Firmansyah. 2004. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Kerjasama LPPM IPB – Pemprov. DKI Jakarta.. Richardson H.W. 1977. City Size and National Spatial Strategies in Developing Countries. World Bank Staff Working Paper, No. 252, Washington D.C., USA. RTRW Kota Tangerang Selatan. 2008. Kota Tangerang Selatan Saaty T.L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Jakarta: Gramedia. Serageldin I., Steer A. (Ed.). 1994. Making Development Sustainable: From Concepts to Action (Environmentally Sustainable Development Occasional Paper Series, No. 2).Washington, D.C: World Bank. Simmonds R., Hack G. (Ed.). 2000. Global City Regions Their Emerging Forms. New York: Spon Press. Sitepu H.T. 2009. Disain Kebijakan Pengelolaan Permukiman Berkelanjutan yang Berbasis Instalasi Pengolahan Air Limbah Mandiri. Disertasi Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
167
Sitorus S.R.P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan. Edisi Ketiga. Laboratorium Perencanaan Pengembangan Sumberdaya Lahan Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Small K.A., Kazimi C. 1995. On the costs of air pollution from motor vehicles. http://www.socsci.uci.edu/~ksmall/Small-Kazimi.pdf [11-Jan-11]. Soegijoko, Tjahjati B. 1997. Arah Pengembangan Kotabaru Dalam Perpsektif Kebijakan Tata Ruang. Jakarta: Penerbit BPPT Soemarwoto O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung: Djambatan. Soeriaatmaja R.E. 1977. Ilmu Lingkungan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Soil Conservation Society of America (ed). 1982. Resource Conservation Glossary 3rd edn. Ankeny, IA: Soil Conservation Society of America. Soule D.C. (Ed.). 2006. Urban Sprawl: a comprehensive references guide. Westport: Greenwood Press. Squires G.D. (Ed.). 2002. Urban Sprawl: causes, consequences & policy responses. Washington DC: Urban Institute Press. Sudjarto D. 1993a. Perkembangan KotaBaru. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No 9. september. Sudjarto D. 1993b. Kota Baru Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota No 9. september Sugijoko S. 1974. Toward an Urban Development Strategy for Indonesia. UNCRD, Nagoya. Sumaryanto, Friyanto S. 1995. Analisis Kebijaksanaan Konversi Lahan Sawah ke Penggunaan Non Pertanian. Makalah pada Workshop Hasil Penelitian ARMP, 4 April, Cisarua. Bogor. Susandi A. 2004. The impact of international greenhouse gas emissions reduction on Indonesia. Hamburg: Reports on Earth System Science. Jerman Sushil. 1993. System Dynamics for Management Support. Wiley Eastern Limited. New Delhi. Sutamihardja R.T.M. 1978. Inventarisasi dan Evaluasi Kualitas Lingkungan Hidup Pulau Bali. Kantor Menteri negara PPLH. Jakarta. Syahril S., Resosudarmo B.P., Tomo H.S. 2002. Study on the Air Quality in Jakarta, Indonesia. Future Trends, Health Impacts, Economic value and Policy Options,. Tamin R.D., Rachmatunisa A. 2007. Integrated Air Quality Management in Indonesia. Ministry of Environment. Jakarta. Tietenberg T. 2003. Environmental and Natural Resource Economics. Ed-6. Eddison Wesley. Boston.
168 Treyer S.P. 2000. Prospective Analysis on Agricultural Water Use in The Mediterranean. http: www.Engref.fr/rgt/doc-pdf/Treyer-polagwatmetodology proposal. Tunjung W.S. 1988. Aspek-Aspek Perencanaan dan Pembangunan Kota Baru Metropolitan. Tesis, Program Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007. Tentang Penataan Ruang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992. Tentang Perumahan dan Permukiman. Volesky B. 1990. Biosorption of Heavy Metals. Volesky (editor). CRC Press. Inc. Boca Raton, Florida WHO. 2000. The world health report. WHO: 2000 Press Releases World Commission on Environment and Development. 1987. Our Common Future. United Nations World Commission on Environment and Development.Oxford Univ. Press. New York. London. Yeates M. 1980. The North American City. New York: Longman.
LAMPIRAN
170
171
Lampiran 1. Parameter kualitas air yang dianalisa, bakumutu yang ditetapkan dan metoda yang digunakan NO. Parameter
Satuan
Baku Mutu **)
Metoda/Alat
Kelas I
II
III
IV
o
dev. 3
dev. 3
dev. 3
dev. 3
Temperatur Meter
pH Meter
I
FISIKA
1
Suhu *)
II
KIMIA
1
pH *)
-
6-9
6-9
6-9
5-9
2
BOD5
mg/l
2
3
6
12
3
COD +
mg/l
4
Nitrat (NO3-N)
mg/l
5
Total Fosfat
mg/l
6
Kadmium (Cd)
mg/l
7
Deterjen
mg/l
8
Timah Hitam (Pb)
mg/l
9
Air Raksa (Hg)
mg/l
10
Arsen (As)
mg/l
11
Fenol
mg/l
**)
C
APHA, ed. 21, 2005, 5210-B 10 25 50 100 APHA, ed. 21,2005,5220-D 10 10 20 20 APHA, ed. 21, 2005,4500-NO3-E 0.2 0.2 1 5 APHA, ed. 21, 2005 4500-P-E & B 0.01 0.01 0.01 0.01 APHA, ed. 21, 2005, 3110 0.2 0.2 0.2 (-) APHA, ed. 21,2005, 5540-C 0.03 0.03 0.03 1 APHA, ed. 21, 2005, 3110 0.001 0.002 0.002 0.005 APHA, ed.19,1995, 3500-Hg-B 0.05 1 1 1 APHA, ed. 21,2005, 3500-As-B 0.001 0.001 0.001 (-) APHA, ed. 21, 2005,5530-C
: Baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
172
Lampiran 2. Formula matematika (stockflow diagram) Rumus dari masing-masing fraksi diperoleh dari analisis data dengan menggunakan software CurveExpert 1.3.
Submodel Lingkungan Populasi_Tangsel(t) = Populasi_Tangsel(t - dt) + (pertumbuhan) * dt INIT Populasi_Tangsel = 918783 INFLOWS: pertumbuhan = Populasi_Tangsel*fraksi_pertumbuhan UNATTACHED: pengurangan = Populasi_Tangsel*fraksi_pengurangan bebanBOD = limbah_cair*(KonsBODperhari/10000000000) bebanCOD = limbah_cair*(KonsCODperHari/1000000000) bebanNO3 = limbah_cair*(KonsNO3perhari/1000000000) bebanPO4 = limbah_cair*(KonsPO4perHari/10000000000) emisiCOx = 7047.2186+(7.0070411*TIME)+0.0017417749*TIME^2+emisi_udara/(2.3*10^4) emisiNOx = (337.60228+(0.33671982*TIME)+0.000083982683*TIME^2)+emisi_udara/10^6 emisiSOx = 2*(5.1750577+(-10260.716/TIME)+emisi_udara)/10^6 emisi_udara = Populasi_Tangsel*58 fraksi_pengurangan = 4.02/100 fraksi_pertumbuhan = 5.1/100 IPAL_diperlukan = jumlah_rumah/10000 kendaraan_bermotor = penduduk_pekerja*(3.923479+(-1.0260716/TIME) kepedulian_lingkungan_% = SQRT((kesadaran_lingkungan_%)) KonsBODperhari = (-53296.234+7096.4652*LOGN(TIME)) KonsCODperHari = -54184.112+7145.5301*LOGN(TIME) KonsNO3perhari = 95.674974E-71*TIME^(0.01037*TIME) KonsPO4perHari = -416.32265+56.788021*LOGN(TIME) limbah_cair = Populasi_Tangsel*100
173
Submodel Ekonomi Populasi_Tangsel(t) = Populasi_Tangsel(t - dt) + (pertumbuhan) * dt INIT Populasi_Tangsel = 918783 INFLOWS: pertumbuhan = Populasi_Tangsel*fraksi_pertumbuhan UNATTACHED: pengurangan = Populasi_Tangsel*fraksi_pengurangan AngkKom = penduduk_pekerja*0.29 BankSewa = penduduk_pekerja*0.16 biaya_tambahan_transport = sqrt(kerusakan_jalan) Drainase = infrastrukfur+178 EkLain = penduduk_pekerja*0.11 fraksi_pengurangan = 4.02/100 fraksi_pertumbuhan = 5.1/100 infrastrukfur = Populasi_Tangsel*0.15/10^5 Jalan = (698.989+infrastrukfur) Jasa = penduduk_pekerja*0.18 kendaraan_bermotor = penduduk_pekerja*(3.923479+(-1.0260716/TIME) kepedulian_lingkungan_% = SQRT((kesadaran_lingkungan_%)) kerusakan_jalan = (-35079.04+35.065718*TIME+-0.0087554106*TIME^2)-(JalanJalan) PangsaAngkKom = 0.29 PangsaBankSewa = 0.16 PangsaEkLain = 0.11 PangsaJasa = 0.18 PangsaPHR = 0.26 penduduk_commuter = penduduk_pekerja*(71.5/100) penduduk_pekerja = Populasi_Tangsel*0.5 perbaikan_jalan = (-16411.361+16.446121*TIME+-0.004112553*TIME^2)-(JalanJalan) PHR = penduduk_pekerja*0.26 roda_dua = ((logn(TIME)+kendaraan_bermotor*0.025678)/10)*10 roda_empat = (1200+((logn(TIME)+sqrt(kendaraan_bermotor*0.02))/0.18495))*10 PDRBAngKom = (AngkKom*11)+(PangsaAngkKom*AngkKom) PDRBBankSewa = BankSewa*11+BankSewa*PangsaBankSewa PDRBEkLain = EkLain*11+EkLain*PangsaEkLain PDRBJasa = Jasa*11+PangsaJasa*Jasa PDRBPHR = (PHR*11)+(PangsaPHR*PHR)
174
PDRB_Tangsel = PDRBAngKom+PDRBBankSewa+PDRBEkLain+PDRBPHR+PDRBJasa
175
Submodel Sosial Populasi_Tangsel(t) = Populasi_Tangsel(t - dt) + (pertumbuhan) * dt INIT Populasi_Tangsel = 918783 INFLOWS: pertumbuhan = Populasi_Tangsel*fraksi_pertumbuhan UNATTACHED: pengurangan = Populasi_Tangsel*fraksi_pengurangan biaya_tambahan_transport = sqrt(kerusakan_jalan) Drainase = infrastrukfur+178 fraksi_pengurangan = 4.02/100 fraksi_pertumbuhan = 5.1/100 infrastrukfur = Populasi_Tangsel*0.15/10^5 IPAL_diperlukan = jumlah_rumah/10000 Jalan = (698.989+infrastrukfur) jumlah_rumah = Populasi_Tangsel*0.35 kendaraan_bermotor = penduduk_pekerja*(3.923479+(-1.0260716/TIME) kepedulian_lingkungan_% = SQRT((kesadaran_lingkungan_%)) kerusakan_jalan = (-35079.04+35.065718*TIME+-0.0087554106*TIME^2)-(JalanJalan) kesadaran_lingkungan_% = (pendidikan*0.5)/10000 pendidikan = (penduduk_pekerja*0.9) penduduk_commuter = penduduk_pekerja*(71.5/100) penduduk_pekerja = Populasi_Tangsel*0.5 perbaikan_jalan = (-16411.361+16.446121*TIME+-0.004112553*TIME^2)-(JalanJalan) PHR = penduduk_pekerja*0.26 roda_dua = ((logn(TIME)+kendaraan_bermotor*0.025678)/10)*10 roda_empat = (1200+((logn(TIME)+sqrt(kendaraan_bermotor*0.02))/0.18495))*10
176
Lampiran 3. Hasil simulasi model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan Simulasi submodel lingkungan berdasarkan beban pencemaran (ton/hari) parameter BOD, COD, NO3 dan PO4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
BOD 6.17 7.13 8.25 9.53 11.02 12.74 14.72 17.02 19.67
Beban (Ton/hari) COD NO3 14.41 0.05 16.95 0.07 19.93 0.08 23.41 0.1 27.5 0.13 32.28 0.16 37.87 0.21 44.42 0.26 52.08 0.33
PO4 0.14 0.16 0.19 0.22 0.25 0.29 0.33 0.38 0.44
Simulasi submodel lingkungan berdasarkan kualitas udara ambien (µg/Nm3) parameter NOx, COx dan SOx Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Udara Ambien (µg/Nm3) COx SOx NOx 2,316.96 106.58 53.38 2,664.49 122.57 61.38 3,064.15 140.95 70.57 3,523.77 162.09 81.14 4,052.33 186.41 93.3 4,660.19 214.37 107.28 5,359.22 246.52 123.36 6,163.11 283.5 141.85 7,087.59 326.03 163.12
177
Simulasi submodel ekonomi berdasarkan PDRB (Jutaan Rupiah) Tahun
Produk Domestik Regional Bruto (Juta Rupiah) Angkom
PHR
Jasa
BankSewa
EkLain
Total
2008
1,504,093.71
1,344,914.56
924,479.45
820,289.46
561,422.35
5,155,199.53
2009
1,729,707.77
1,546,651.74
1,063,151.37
943,332.88
645,635.70
5,928,479.46
2010
1,989,163.93
1,778,649.50
1,222,624.08
1,084,832.81
742,481.06
6,817,751.38
2011
2,287,538.52
2,045,446.92
1,406,017.69
1,247,557.74
853,853.22
7,840,414.09
2012
2,630,669.30
2,352,263.96
1,616,920.34
1,434,691.40
981,931.20
9,016,476.21
2013
3,025,269.69
2,705,103.56
1,859,458.40
1,649,895.11
1,129,220.88
10,368,947.64
2014
3,479,060.15
3,110,869.09
2,138,377.16
1,897,379.37
1,298,604.02
11,924,289.78
2015
4,000,919.17
3,577,499.45
2,459,133.73
2,181,986.28
1,493,394.62
13,712,933.25
2016
4,601,057.05
4,114,124.37
2,828,003.79
2,509,284.22
1,717,403.81
15,769,873.24
Keterangan sektor Angkom : pengangkutan dan komunikasi PHR : perdagangan hotel dan restoran Jasa : jasa-jasa BankSewa : bank, persewaan dan jasa perusahaan EkLain : sektor ekonomi lain Simulasi submodel ekonomi berdasarkan jumlah kendaraan roda dua dan roda empat Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Kendaraan Roda dua Roda Empat 11.804 17.594 13.573 17.969 15.608 18.371 17.948 18.803 20.639 19.265 23.734 19.761 27.293 20.294 31.386 20.864 36.093 21.476
178
Simulasi submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk dan penduduk usia kerja (15-65 tahun) Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jumlah Penduduk total usia kerja commuter 918,783 459,392 328,465 1,056,600 528,300 377,735 1,215,091 607,545 434,395 1,397,354 698,677 499,554 1,606,957 803,479 574,487 1,848,001 924,000 660,660 2,125,201 1,062,600 759,759 2,443,981 1,221,991 873,723 2,810,578 1,405,289 1,004,782
jumlah rumah 321,574 369,810 425,282 489,074 562,435 646,800 743,820 855,393 983,702
179
Lampiran 4. Skenario model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan Terdapat empat alternatif skenario yang dipergunakan dalam penelitian ini. Hal ini berdasarkan pertimbagan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Skenario ini termasuk 1. Skenario untuk tidak mengadakan perubahan (skenario do nothing). 2. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 3%) dan penggunaan katalisatorpada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan.
Uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 20% b. Ekonomi: peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodic. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 10%. c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana. 3. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 5%) dan penggunaan katalisatorpada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan.
Uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 40% b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodic. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 20%.
180
c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang urbanisasi. 4. Alternatif kebijakan berupa kombinasi dari a. Lingkungan: pembuatan instalasi pengolahan air limbah (tingkat pertumbuhan 7%) dan penggunaan katalisatorpada tiap kendaraan yang ada di Kota Tangerang Selatan.
Uji emisi gas buang kendaraan
dilakukan secara periodik dan konsisten sehingga diharapkan emisi gas buang kendaraan berkurang lebih dari 50% b. Ekonomi: pembatasan umur kendaraan pribadi dan peningkatan kapasitas insfrastrutur jalan, dengan menambah panjang jalan, membuat jalan alternatif atau memperlebar jalan sehingga diperoleh peningkatan kapasitas jaringan jalan secara periodik. Tingkat perbaikan jalan rusak bertambah 30%. Pada kebijakan ini juga Kebijakan peningkatan pajak kendaraan pribadi c. Sosial: pengendalian pertumbuhan penduduk dengan pemantapan program keluarga berencana diiringi dengan pembuatan kebijakan daerah tentang
urbanisasi.
pemukiman terpadu sehat
Kebijakan
tambahan
untuk
pembangunan
181
Lampiran 5. Hasil simulasi dari setiap skenario model pengendalian lingkungan dalam pembangunan kota baru berkelanjutan Beban pencemaran COD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Skenario COD (ton/hari) satu dua tiga 14.41 14.41 14.41 16.95 16.95 16.95 19.93 19.93 19.93 23.41 23.41 23.41 27.5 26.13 24.75 32.28 26.65 24.26 37.87 29.31 24.50 44.42 32.24 24.74 52.08 35.47 24.99
empat 14.41 16.95 19.93 23.41 22.00 21.56 21.13 20.71 20.29
Beban pencemaran BOD (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 6.17 7.13 8.25 9.53 11.02 12.74 14.72 17.02 19.67
Skenario BOD (ton/hari) dua tiga empat 6.17 6.17 6.17 7.13 7.13 7.13 8.25 8.25 8.25 9.53 9.53 9.53 10.47 9.92 8.82 10.68 9.72 8.64 11.75 9.82 8.47 12.92 9.92 8.30 14.21 10.01 8.13
182
Beban pencemaran NO3 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Skenario NO3 (ton/hari) satu dua tiga 0.05 0.05 0.05 0.07 0.07 0.07 0.08 0.08 0.08 0.1 0.1 0.1 0.13 0.12 0.12 0.16 0.13 0.11 0.21 0.14 0.12 0.26 0.15 0.12 0.33 0.17 0.12
empat 0.05 0.07 0.08 0.1 0.10 0.10 0.10 0.10 0.10
Beban pencemaran PO4 (ton/hari) skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 0.14 0.16 0.19 0.22 0.25 0.29 0.33 0.38 0.44
Skenario PO4 (ton/hari) dua tiga empat 0.14 0.14 0.14 0.16 0.16 0.16 0.19 0.19 0.19 0.22 0.22 0.22 0.24 0.23 0.20 0.24 0.22 0.20 0.27 0.22 0.19 0.29 0.22 0.19 0.32 0.23 0.18
Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Skenario COx(µg/Nm3) satu dua tiga empat 2,316.96 2316.96 2316.96 2316.96 2,664.49 2664.49 2664.49 2664.49 3,064.15 3064.15 3064.15 3064.15 3,523.77 3523.77 3523.77 3523.77 4,052.33 3849.71 3647.10 3241.86 4,660.19 3926.71 3574.16 3177.03 5,359.22 4319.38 3609.90 3113.49 6,163.11 4751.32 3646.00 3051.22 7,087.59 5226.45 3682.46 2990.19
183
Emisi COx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Skenario COx (µg/ Nm3) satu dua tiga empat 2,316.96 2316.96 2316.96 2316.96 2,664.49 2664.49 2664.49 2664.49 3,064.15 3064.15 3064.15 3064.15 3,523.77 3523.77 3523.77 3523.77 4,052.33 3849.71 3647.10 3241.86 4,660.19 3926.71 3574.16 3177.03 5,359.22 4319.38 3609.90 3113.49 6,163.11 4751.32 3646.00 3051.22 7,087.59 5226.45 3682.46 2990.19
Emisi SOx (µg/Nm3) skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Skenario SOx(µg/ Nm3) satu dua tiga empat 106.58 106.58 106.58 106.58 122.57 122.57 122.57 122.57 140.95 140.95 140.95 140.95 162.09 162.09 162.09 162.09 186.41 177.09 167.77 149.13 214.37 180.63 164.41 146.15 246.52 198.69 166.06 143.22 283.5 218.56 167.72 140.36 326.03 240.42 169.40 137.55
Submodel ekonomi dari kegiatan pengangkutan dan komunikasi skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 1,504,093.71 1,729,707.77 1,989,163.93 2,287,538.52 2,630,669.30 3,025,269.69 3,479,060.15 4,000,919.17 4,601,057.05
Skenario dua tiga 1,504,093.71 1,504,093.71 1,729,707.77 1,729,707.77 1,989,163.93 1,989,163.93 2,287,538.52 2,287,538.52 2,735,896.07 2,876,899.95 3,146,280.48 3,308,434.93 3,618,222.56 3,804,700.18 4,160,955.94 4,375,405.20 4,785,099.33 5,031,715.99
empat 1,504,093.71 1,729,707.77 1,989,163.93 2,287,538.52 2,975,897.29 3,422,281.88 3,935,624.17 4,525,967.79 5,204,862.97
184
Submodel ekonomi dari kegiatan perdagangan hotel dan restoran skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 1,344,914.56 1,546,651.74 1,778,649.50 2,045,446.92 2,352,263.96 2,705,103.56 3,110,869.09 3,577,499.45 4,114,124.37
Skenario dua tiga 1,344,914.56 1,344,914.56 1,546,651.74 1,546,651.74 1,778,649.50 1,778,649.50 2,045,446.92 2,045,446.92 2,453,411.31 2,575,524.39 2,821,423.01 2,961,853.05 3,244,636.46 3,406,131.01 3,731,331.93 3,917,050.66 4,291,031.72 4,504,608.26
empat 1,344,914.56 1,546,651.74 1,778,649.50 2,045,446.92 2,669,053.46 3,069,411.49 3,529,823.20 4,059,296.68 4,668,191.19
Submodel ekonomi dari kegiatan jasa skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 924,479.45 1,063,151.37 1,222,624.08 1,406,017.69 1,616,920.34 1,859,458.40 2,138,377.16 2,459,133.73 2,828,003.79
Skenario dua tiga 924,479.45 924,479.45 1,063,151.37 1,063,151.37 1,222,624.08 1,222,624.08 1,406,017.69 1,406,017.69 1,697,766.36 1,867,542.99 1,952,431.32 2,147,674.45 2,245,296.02 2,469,825.62 2,582,090.42 2,840,299.46 2,969,403.98 3,266,344.38
empat 924,479.45 1,063,151.37 1,222,624.08 1,406,017.69 2,147,674.44 2,469,825.62 2,840,299.46 3,266,344.38 3,756,296.03
185
Submodel ekonomi dari kegiatan bank, persewaan dan jasa perusahaan skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 820,289.46 943,332.88 1,084,832.81 1,247,557.74 1,434,691.40 1,649,895.11 1,897,379.37 2,181,986.28 2,509,284.22
Skenario dua tiga 820,289.46 820,289.46 943,332.88 943,332.88 1,084,832.81 1,084,832.81 1,247,557.74 1,247,557.74 1,496,383.13 1,570,862.26 1,720,840.60 1,806,491.60 1,978,966.68 2,077,465.34 2,275,811.69 2,389,085.14 2,617,183.44 2,747,447.91
empat 820,289.46 943,332.88 1,084,832.81 1,247,557.74 1,627,907.46 1,872,093.58 2,152,907.61 2,475,843.75 2,847,220.31
Submodel ekonomi dari kegiatan ekonomi lain skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 561,422.35 645,635.70 742,481.06 853,853.22 981,931.20 1,129,220.88 1,298,604.02 1,493,394.62 1,717,403.81
Skenario dua tiga 561,422.35 561,422.35 645,635.70 645,635.70 742,481.06 742,481.06 853,853.22 853,853.22 1,024,154.24 1,075,129.24 1,177,777.38 1,236,398.62 1,354,443.99 1,421,858.42 1,557,610.59 1,635,137.18 1,791,252.17 1,880,407.76
empat 561,422.35 645,635.70 742,481.06 853,853.22 1,114,172.10 1,281,297.91 1,473,492.61 1,694,516.49 1,948,693.96
186
Infrastruktur jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun Skenario satu dua 2008 700.37 700.37 2009 700.71 700.71 2010 701.14 701.14 2011 701.68 701.68 2012 702.35 705.37 2013 703.19 706.21 2014 704.25 707.28 2015 705.56 708.59 2016 707.20 710.24
tiga 700.37 700.71 701.14 701.68 708.67 709.52 710.59 711.91 713.56
empat 700.37 700.71 701.14 701.68 710.78 711.63 712.70 714.03 715.69
Infrastruktur kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu dua 30.55 30.55 30.44 30.44 30.32 30.32 30.18 30.18 30.02 28.73 29.85 28.57 29.65 28.38 29.44 28.17 29.22 27.96
Skenario tiga 30.55 30.44 30.32 30.18 27.41 27.25 27.07 26.88 26.68
empat 30.55 30.44 30.32 30.18 26.65 26.50 26.32 26.13 25.94
Persentase tambahan biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akibat kerusakan jalan skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu dua
Skenario tiga
empat
5.53 5.52 5.51 5.49 5.48 5.46 5.45 5.43 5.41
5.53 5.52 5.51 5.49 5.00 4.98 4.98 4.96 4.94
5.53 5.52 5.51 5.49 4.86 4.85 4.84 4.82 4.80
5.53 5.52 5.51 5.49 5.24 5.23 5.22 5.20 5.18
187
Jumlah kendaraan roda dua, skenario 1, 2, 3 dan 4
Tahun satu 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
dua 11804 13573 15608 17948 20639 23734 27293 31386 36093
Skenario tiga 11804 13573 15608 17948 19813 21361 24564 28247 32484
empat 11804 13573 15608 17948 19743 20933 22107 25423 29235
11804 13573 15608 17948 18845 19788 20777 21816 22907
Jumlah kendaraan roda empat, skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun satu 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
dua 17594 17969 18371 18803 19265 19761 20294 20864 21476
Skenario tiga 17594 17969 18371 18803 19072 19465 19929 20447 20832
empat 17594 17969 18371 18803 18991 19181 19373 19566 19762
17594 17969 18371 18803 18801 18893 19024 19175 19367
188
Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk, skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 918,783 1,056,600 1,215,091 1,397,354 1,606,957 1,848,001 2,125,201 2,443,981 2,810,578
Skenario dua tiga empat 918,783 918,783 918,783 1,056,600 1,056,600 1,056,600 1,215,091 1,215,091 1,215,091 1,397,354 1,397,354 1,397,354 1,537,858 1,467,012 1,426,515 1,768,537 1,687,064 1,640,492 2,033,817 1,940,124 1,886,566 2,338,890 2,231,142 2,169,551 2,689,723 2,565,813 2,494,983
Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah rumah,skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 321,574 369,810 425,282 489,074 562,435 646,800 743,820 855,393 983,702
dua 321,574 369,810 425,282 489,074 538,250 618,988 711,836 818,611 941,403
Skenario tiga 321,574 369,810 425,282 489,074 513,454 590,472 679,043 780,899 898,034
empat 321,574 369,810 425,282 489,074 499,280 574,172 660,298 759,342 873,244
Skenario submodel sosial berdasarkan jumlah penduduk komuter, skenario 1, 2, 3 dan 4 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
satu 328,465 377,735 434,395 499,554 574,487 660,660 759,759 873,723 1,004,782
dua 328,465 377,735 434,395 499,554 549,784 632,252 727,089 836,153 961,576
Skenario tiga 328,465 377,735 434,395 499,554 524,457 603,125 693,594 797,633 917,279
empat 328,465 377,735 434,395 499,554 509,979 586,476 674,447 775,614 891,957