1
MODEL PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MUSLIM DI PESANTREN (Studi Etnografis pada Pondok Pesantren di Kota Purwokerto)
Laporan Penelitian
Oleh : Dr. Muskinul Fuad, M. Ag NIP.197412262000031001
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO 2015 LEMBAR PENGESAHAN
2
•
Judul Penelitian
: “Model Pengembangan Kepribadian Muslim di Pesantren
(Studi Etnografis Pada
Pondok
Pesantren Di Kota Purwokerto)” • Jenis Penelitian
: Individual
• Bidang Ilmu
: Bimbingan dan Konseling Islam
• Nama Peneliti
: Dr. Muskinul Fuad, M. Ag
• Jangka Waktu Penelitian
: 4 Bulan
• Sumber Dana
: DIPA IAIN Purwokerto Tahun 2015
Purwokerto, 10 Oktober 2015
a.n Ketua LPPM IAIN Purwokerto Sekretaris
Drs. Amat Nuri, M. Pd.I M.AgNIP.196307071992031007
Peneliti
Dr. Muskinul Fuad, NIP. 197412262000031001
KATA PENGANTAR
3
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah Swt. atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini. Penelitian ini merupakan bentuk upaya pencarian penulis atas berbagai model pengembangan kepribadian muslim yang selama ini menjadi konsen akademik penulis. Ketika diberi kesempatan untuk melakukan studi lanjut di Universitas Pendidikan Indonesia, penulis merasakan adanya kekosongan spiritual pada teori-teori pengembangan kepribadian yang dikemukakan oleh para psikolog. Saat membaca beberapa kajian tentang psikologi lintas budaya dan psikologi pribumi, penulis semakin terdorong untuk mengkaji masalah ini secara lebih intensif. Akhir kata, penelitian ini tentu saja masih memiliki banyak kekurangan, sehingga penulis berdo’a semoga ada orang lain yang akan memperbaikinya. Semoga karya ilmiah yang sederhana ini dapat menjadi amal ibadah bagi penulis dan bagi semua orang yang telah ikut terlibat di dalamnya, baik langsung maupun tidak langsung.
Purwokerto, 10 Oktober 2015 Penulis
DAFTAR ISI
4
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………1 LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………........... 2 KATA PENGANTAR………………………………………………………………. 3 DAFTAR ISI………………………………………………………………………… 4 BAB I. PENDAHULUAN……………………..….……………………………….. 5 A. Latar Belakang Masalah…..………………..….….………………….…………... 5 B. Rumusan Masalah ………………………………….…………………………….. 10 C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian.………………………………………………. 12 D. Review Penelitian Terkait………………………………………………………... 13 E. Sistematika Laporan………………………………………………………………. 18 BAB II. PESANTREN DAN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN……………..19 A. Pesantren…………………………………………………………....……………. 19 B. Pengembangan Kepribadian……………………………………………………...29 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………..46 A. Pendekatan Penelitian…………………………………………………………….46 B. Subyek Penelitian…………………………………………………………….…...48 C. Proses dan Teknik Pengumpulan Data.………….........……………………………..49 D. Analisis Data………………………………………………………………………50 E. Keabsahan Data dan Hasil Penelitian..................................................................... 51 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN....................................... ..54 A. Profil Pesantren……………………..…..……………………………………........... 54 B. Nilai-nilai Pesantren sebagai Landasan Pengembangan Kepribadian..…………….77 C. Proses Pengembangan Kepribadian Muslim di Pesantren……………….…............89 D. Analisis Model Pengembangan Kepribadian Muslim di Pesantren…………………..97 BAB V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI.….……………………………..101 A. Kesimpulan………………………………………………………………………101 B. Rekomendasi…………………………………………………………………….. 201 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
5
A. Latar Belakang Masalah Meski telah mencapai usia 70 tahun kemerdekaan dan 17 tahun reformasi, bangsa Indonesia belum juga beranjak jauh dari berbagai problem berat yang harus dilaluinya. Beberapa problem tersebut meliputi praktek korupsi, konflik; baik yang terjadi antar etnis, agama, politisi, remaja, pelajar, maupun antar warga kampung, meningkatnya kriminalitas, terorisme, narkoba, mafia hukum, dan sebagainya. Kondisi domestik ini pada dasarnya tidak terlepas dari krisis dunia saat ini. Media masa di seluruh dunia hampir setiap hari di hiasi dengan laporan soal krisis keuangan global, ancaman terorisme, kekerasan, HIV/AIDS, peredaran narkoba, peperangan yang tak berujung, dan sebagainya. 1 Krisis multidimensi (ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dan moral), baik yang melanda negeri ini khususnya atau dunia pada umumnya, pada dasarnya berakar dari krisis identitas yang bersumber dari tidak jelasnya jatidiri bangsa. Kondisi global ini mengisyaratkan bahwa cara berpikir dan pandangan hidup manusia modern dewasa ini
perlu dibenahi. Kepribadian manusia modern perlu
dievaluasi dan diperbaiki, agar terbebas dari krisis kemanusiaan global. Karena ilmu pengetahuan modern an sichtelah terbukti gagal membenahi kepribadian manusia, terutama sisi moral dan ruhaninya, maka satu-satunya harapan yang tersisa adalah pada ajaran-ajaran agama, termasuk Islam di dalamnya. Dalam bahasa yang berbeda, 1
Muskinul Fuad (2015). Pengembangan Kepribadian Muslim melalui Halaqah: Model bimbingan Kelompok dalam manhaj Tarbiyah, Purwokerto: STAIN Press, hal.1
6
Bunyamin E. Mays pernah menegaskan bahwa kita memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi
yang lebih banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang
berpenyakit. Bukan pengetahuan
yang kita butuhkan, karena kita sudah punya
pengetahuan. Kemanusiaan kita sedang membutuhkan sesuatu yang spiritual. 2 Secara normatif, Utsman Najati menegaskan bahwa Islam datang ke dunia ini untuk memberi petunjuk kepada umat manusia, mengarahkan, membimbing, dan membebaskan mereka dari kebodohan, kesesatan, dan tradisi yang buruk, menuju akhlak yang terpuji. Islam telah membawa perubahan yang sangat besar dalam jiwa manusia; dalam hal akidah, pemikiran, tradisi, perilaku, dan akhlak. Islam juga telah berhasil mengubah persepsi seseorang terhadap dirinya sendiri, memberinya makna baru dalam kehidupan, dan memberi informasi tentang misi kehidupan yang sebenarnya bagi manusia. Islam mengubah pemikiran yang keliru dan kebiasaan yang buruk. Islam mengajarkan cara pandang baru dalam kehidupan, prosedur berpikir yang baru, dan pandangan yang sama sekali baru terhadap diri, manusia, dan alam semesta. Islam mengajarkan perilaku, etika, dan cara berinteraksi sosial yang baru. Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan berbagai cara untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan, dua hal yang menjadi tolok ukur kesehatan mental. 3
2
Jalaluddin Rakhmat (2003). Islam Aktual. Bandung: Mizan, hal. 172
3
M. Utsman Najati (2008). The Ultimate Psychology: Psikologi Sempurna Ala Nabi SAW. Bandung: Pustaka Hidayah. hal. 421
7
Dilihat dari pemeluknya, umat muslim di seluruh dunia saat ini kurang lebih berjumlah 1,2 milyar atau hampir seperempat dari total penduduk dunia. Komunitas muslim yang besar ini, dengan segenap ajaran moral yang dimilikinya, berpotensi untuk berperan dalam menciptakan dunia yang lebih baik. Sebuah dunia yang dihuni oleh manusia yang memiliki kepribadian, moralitas, dan kemampuan untuk menebarkan kedamaian, sebagaimana misi Islam ke dunia. 4 Lembaga Pendidikan Islam, termasuk pesantren di dalamnya, ditantang untuk dapat mengejawantahkan misi suci Islam tersebut dalam praktek pendidikannya. Pesantren diharapkan dapat menjadi pionir dalam gerakan moral membangun karakter bangsa, yang diawali dari upaya pengembangan pribadi para santrinya. Untuk itu, pesantren harus merujuk kembali kepada khazanah dan tradisi Islam yang kaya dengan prinsip-prinsip
dan pola pengembangan akhlak mulia. Para Kyai dan santri di
pesantren perlu menengok kembali pemikiran dan praktek pendidikan karakter yang telah dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Al-Ghazali, Ibnu Maskawih, Az-Zarnuji, dan sebagainya. Tuntutan terhadap pesantren tersebut sesungguhnya memiliki alasan yang sangat kuat, mengingat terdapatnya segala potensi yang ada di lembaga pendidikan khas Indonesia ini. Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan yang memiliki karakteristik dan dinamikanya sendiri,apabila dibandingkan dengan lembaga 4
Abdul Lateef Abdullah (2009). Toward a Concept of Islamic Personality. [Online]. Tersedia: http://www.crescentlife.com/articles/islamic%20psych/conceptofislamicpersonality.ht m [2 Januari 2015]
8
pendidikan formal seperti sekolah. 5 Salah satu yang tampak adalah apa yang ada pada kehidupan santrinya. Para santri hidup dan tinggal terpisah dengan orangtua, bertempat di asrama (pondokan), berinteraksi dengan teman-teman, para ustadz, dan pengasuh (kyai), selama 24 jam, dalam sebuah komunitas bernama pesantren. Aktivitas keseharian santri dapat dikatakan lebih bervariasi, kompleks, dan dinamis, dibandingkan dengan seorang siswa di sekolah. Aktivitas itu secara umum meliputi kegiatan belajar agama (mengaji) seperti sorogan, bandungan, halaqah, atau musyafahah,dan kegiatan pribadi seperti mandi, mencuci, tidur, makan, dan olahraga, serta berbagai aktivitas ibadah seperti zikir, shalat berjamaah, puasa sunnah, dan tadarrus. Di dalam pesantren yang membuka lembaga pendidikan formal (sekolah), aktivitas santrinya akan bertambah dengan kegiatan belajar di sekolah secara klasikal. 6 Dilihat dari teori kepribadian, dinamika kehidupan pesantren tersebut akan membawa konsekuensi yang lebih kompleks bagi kehidupan para santrinya. Pada satu sisi, hal ini akan potensial menimbulkan berbagai permasalahan psikologis bagi santri. Akan tetapi, pada sisi yang lain, dinamika tersebut akan menjadi sarana yang efektif bagi pengembangan kepribadian para santri.Santri adalah individu yang ditempa 5
Hasil bacaan penulis terhadap disertasi Mastuhu (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS 6
Muskinul Fuad dan Alif Budiono (2012). “Pola Kelekatan di Kalangan Santri Usia Remaja Awal: Studi Kasus di Pondok Pesantren Anwarussholihin Pamujan Teluk, Banyumas” dalam Jurnal Personifikasi Vol 3, Nomor 2, November 2012
9
dengan berbagai pola kehidupan pesantren yang menekankan pada kemandirian, moralitas, kesederhanaan, dan kesabaran. Dilihat dari output-nya, pesantren telah berhasil pula dalam melahirkan sosoksosok pribadi yang diakui perannya dalam skala nasional, misalnya Gus Dur, Hasyim Muzadi, Said Aqil Siradj, Din Syamsuddin, Musthofa Bisri, Nurkholis Madjid, Hidayat Nur Wahid, Emha Ainun Najib, Sholahuddin Wahid, dan lainnya. Para alumi pesantren ini tidak dapat dipungkiri merupakan tokoh yang telah mewarnai perjalanan bangsa ini dengan kontribusinya di bidang masing-masing, baik dalam pemikiran kebangsaan, keislaman, dan sastra, maupun dalam hal kepemimpinan organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga pendidikan, dan politik nasional. Ketokohan mereka tentu saja tidak dapat dipisahkan dari model pengembangan kepribadian yang ada di dunia pesantren. Sebagaialumni pesantren, penulis saat ini sedang merasakan kerinduan akan hadirnya kembali pola atau model pengembangan kepribadian muslim yang tampaknya mulai diabaikan oleh dunia pesantren sendiri. Untuk itu, melalui penelitian di beberapa pesantren yang ada di kota Purwokerto, penulis tertarik untuk mengungkap kembali model pengembangan kepribadian muslim yang ada di dunia pesantren.Hanya saja, sebelum sampai pada rumusan model pengembangan kepribadian yang ada di pesantren, penulis merasa perlu untuk menggali nilai-nilai yang mendasari praktek pengembangan kepribadian yang dimiliki oleh pesantren dan bagaimana prosesnya di lapangan. Dengan penelitian ini, penulis berharap dapat merekonstruksi kembali pola atau model pengembangan kepribadian yang ada dalam tradisi pesantren.
10
B. Rumusan Masalah Penelitian ini difokuskan pada pembahasan tentang model pengembangan kepribadian muslim yang dikembangkan berdasarkan pengamatan yang mendalam terhadap apa yang dipraktekkan oleh komunitas pesantren di Purwokerto dalam rangka mengembangkan kepribadian muslim para santrinya. Model, sebagaimana dijelaskan oleh Rakhmat, dapat diartikan sebagai gambaran yang dirancang untuk mewakili kenyataan. Model dapat pula didefinisikan sebagai tiruan gejala yang akan diteliti, yang menggambarkan hubungan di antara variabel, sifat, atau komponen dari gejala tersebut.
7
Model membantu peneliti untuk berpikir sistematis, logis, dapat mengambil proses atau gejala yang kompleks, yang terlalu besar untuk untuk dianalisis atau dimanipulasi, dan menyederhanakannya menjadi serangkaian variabel yang berarti. Berdasarkan karakteristik dan fungsinya, model yang dimaksud dalam konteks penelitian dengan paradigma kualitatif ini adalah model yang bersifat grounded, yaitu disusun berdasarkan dari data atau gejala yang ada di lapangan (existing model), dan bersifat hipotetik. Artinya, sebuah model yang dimaksudkan sebagai sebuah proposisi yang berfungsi untuk membuat peneliti peka terhadap fenomena yang diteliti, untuk
7
Jalaluddin Rakhmat (2001). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Rosda, hal. 59-
60
11
dicari kemungkinannya, dan tidak dimaksudkan untuk dites secara eksplanatif, sebagaimana biasa terjadi dalam paradigma kuantitatif. 8 Dengan kata lain, model yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah model yang bersifat deskriptif, karena hanya memerikan atau menggambarkan situasi, bukan eksplanatif yang bersifat meramalkan atau menyarankan sesuatu. 9Dilihat dari tujuannya, penelitian ini tidak akan bermuara pada pengujian efektivitas model, melainkan hanya berhenti pada perumusan terhadap
model pengembangan
pengembanga kepribadian muslim secara hipotetik. Model ini lebih bersifat konseptual daripada teknis-operasional. Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan identifikasi, deskripsi, dan kategorisasi terhadap model pengembangan kepribadian muslim yang dipraktekkan oleh komunitas pesantren, peneliti menyajikan tiga permasalahan utama yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu: 1. Nilai-nilai
pesantren
apa
sajakah
yang
melandasi
pengembangan
kepribadian santri? 2. Bagaimana proses pengembangan kepribadian santri yang selama ini dipraktekkan dalam pesantren? 3. Bagaimana rumusan model pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren? 8
A. Chaedar Alwasilah (2009). Pokoknya Kualitatif v: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. hal.13 9
Rakhmat, Metode Penelitian…….hal.61
12
C. Tujuan dan Urgensi Penelitian Berdasarkan pada fokus dan pertanyaan penelitian di atas, maka penelitian ini sesungguhnya
bertujuan
untuk
menemukan
rumusan
model
pengembangan
kepribadian muslim di pesantren. Namun demikian, untuk memahami posisi dan arti penting pengembangan kepribadian muslim dan nilai-nilai yang selama ini yakini oleh pesantren, penulis terlebih dahulu akan mengungkapkan pandangan hidup yang melandasi
praktek
pengembangan
kepribadian
muslim
di
pesantren
dan
menggambarkan pelaksanaannya di lapangan, dan kemudian menganalisisnya dalam konteks teori pengembangan kepribadian. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam upaya pengembangan konsep pengembangan kepribadian yang digali dan dikembangkan dari praktek pengembangan kepribadian yang ada di pesantren.Artinya, penelitian ini merupakan sebuah strategi pengembangan kajian pengembangan kepribadian muslim, yaitu dengan cara mempelajari model pengembangan kepribadian yang telah ada atau dipraktekkan oleh masyarakat muslim, baik secara individual maupun kelompok. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi panduan bagi para pendidikyang tertarik untuk mempraktekkan model pengembangan kepribadian muslim ala pesantren, baik dalam lingkungan pendidikan formal maupun non formal. Penulis memandang penting untuk memberikan alternatif model pengembangan kepribadian yang dibangun dari cara pandang dan tradisi keagamaan (baca: keislaman), di luar model-model pengembangan kepribadian yang telah mapan sebelumya.
13
D. Review Penelitian Terkait Kajiantentang dunia pesantren sesungguhnya telah banyak dilakukan. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Dhofier, dengan judul Tradisi
Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. 10Penelitian ini membahas tradisi pesantren dengan fokus utama pada peranan kyai dalam memelihara dan mengembangkan paham Islam tradisional di Jawa, yakni sebuah paham yang masih terikat kuat dengan pikiran-pikiran para “ulama ” ahli fiqih (hukum Islam), hadis, tafsir, tauhid (teologi Islam) dan tasawuf. Dalam kajian ini, penulis menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan pesantren dan Islam tradisional di Jawa yang dalam periode Indonesia modern sekarang ini tetap menunjukkan vitalitasnya sebagai kekuatan sosial, cultural, dan keagamaan, yang turut membentuk bangunan kebudayaan Indonesia modern. Dhofiermengemukakan pula bahwa pada umumnya studi tentang Islam di Jawa selama ini menitikberatkan analisisnya dari segi pendekatan intelektual dan teologis, sehingga seringkali memberikan kesimpulan yang meleset. Oleh karena itu, dalam penelitian iniDhofier menggunakan pendekatan sosiologis yang bersifat historis dan etnografis untuk memahami Islam di Jawa. Pendekatan ini dipandang akan mengurangi kecenderungan penarikan kesimpulan yang terlalu cepat sebagaimana dilakukan banyak peneliti sebelumnya. 11
10
Lihat Zamakhsyari Dhofier (1994). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. 11
Ibid
14
Penelitian penting lain tentang pesantren dilakukan oleh Mastuhu dengan judul Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Dalam mengkaji pesantren, Masuthu bertolak pada masalah bahwa pembangunan nasional memerlukan adanya tata pikir yang berwawasan luas, rasional, hubungan antar manusia yang modern, dan tidak tergantung pada otoritas perorangan, tetapi pada otoritas sistem yang telah disepakati bersama. Namun, dalam realitasnya, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim terkesan masih memiliki pola pikir yang berwawasan sempit, irasional dan pola hubungan yang tradisional, sehingga terjadi kesenjangan antara tata pikir lama yang berada di kalangan masyarakat luas dan ata pikir baru yang dituntut oleh masyarakat modern. 12 Demikian pula dengan pesantren yang telah menjadi rujukan moral masyarakat. Pesantren seringkali dinilai kurang berorientasi pada pendidikan keduniawian, atau terlalu mementingkan orientasi kehidupan ukhrawi. Pesantren dinilai sebagai lembaga pendidikan yang lebih mendidik santrinya untuk menjadi orang saleh yang idealis, dan moralis. Oleh karena itu, menurut Mastuhu, masalah dasar dan makro yang menjadi tanggung jawab sistem pendidikan nasional dan pesantren adalah bagaimana mengubah dan mengembangkan tata pikir dan perilaku bangsa sesuai dengan tantangan pembangunan nasional dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 13 Perberbedaan penelitian Dhofier dengan peneltian Mastuhu dapat dilihat dari lokus dan fokus penelitiannya. Pertama, lokus penelitian Dhofieradalah Pesantren Tebuireng di Jombang dan Pesantren Tegalsari di Salatiga, sedangkan penelitian 12
Mastuhu, Dinamika….., hal.
13
Ibid
15
Mastuhu dilakukan terhadap enam pesantren di Jawa Timur, yakni Pesantren GulukGuluk Sumenep, Pesantren Sukorejo Situbondo, Pesantren Blok Agung Banyuwangi, Pesantren Tebu Ireng Jombang, Pesantren Paciran Lamongan, dan Pesantren Gontor Ponorogo. Kedua, penelitian Dhofiermemfokuskan diri pada tradisi pesantren dan peran kyai dalam memelihara dan mengembangkan paham Islam tradisional di Jawa, sedangkan Mastuhu membahas tentang dinamika sistem pendidikan pesantren dengan fokus utamanya pada nilai-nilai dan unsur-unsur sistem pendidikan pesantren.
14
Kajian pesantren yang relatif berbeda dari dua kajian di atas adalah penelitian Bashori, yang berjudul Problem Psikologis Kaum Santri: Risiko Insekuritas Kelekatan. Dalam penelitian ini, Bashori mendeskripsikan sebuah problem psikologis yang biasanya dialami oleh santri usia anak, yaitu problem kelekatan.
Bashori
menyimpulkan bahwa figur orangtua, di mana seorang anak (santri) melekatkan dirinya kepada mereka, ternyata tidak dapat digantikan oleh figur ustadz, pengasuh, dan teman di pesantren. Santri yang mengalami problem kelekatan akan berakibat pada menurunnya prestasi belajar dan buruknya kepribadian. Lebih jauh, penelitian Bashori menolak tesis bahwa kesatuan komunitas dalam sistem asrama di pesantren akan
14
Lihat Yusuf Hasyim (2008).Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam Dr. Mastuhu TentangDinamika Sistem Pendidikan Pesantren.[Online]. Tersedia:https://gurubangsaku.wordpress.com/2008/10/28/dinamika-sistempendidikan-pesantren
16
menumbuhkan solidaritas dan suasana kekeluargaan antara santri dengan ustadz dan kyai. 15 Dilihat dari hubungan personal yang berlangsung antara seorang kyai dan para santrinya, terdapat sebuah penelitian menarik yang dilakukan oleh Suparjo dengan judul Komunikasi Interpersonal Kyai-Santri: Keberlangsungan Tradisi Pesantren di Era Modern. Berdasarkan penelitian lapangan di Pondok Pesantren yang ada di wilayah
Mranggen
dan
Demak,
penulis
menyimpulkan
bahwa
komunikasi
interpersonal yang terjadi antara kyai dan santri merupakan sebuah komunikasi etikpedagogis. Di dalamnya terdapat mekanisme dominasi (komunikasi pedagogis) yang tetap diterima, karena dibungkus dengan nilai-nilai etik yang berkembang dalam tradisi pesantren. Nilai-nilai etik yang mendasari komunikasi tersebut merupakan nilai etik religius yang didasarkan pada landasan normatif, yaitu al-Qur’an dan Hadits, yang digambarkan dalam kitab kuningdan tradisi hidup di kalangan pesantren, yang berkembang secara dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat. 16 Dilihat dari bagaimana strategi pesantren dalam menjaga eksistensinya di tengah arus modernisasi dan globalisasi, penelitian Ronald A. Lukens-Bull menarik untuk dilihat kontribusinya dalam megkaji bagaimana upaya masyarakat pesantren yang disebut sebagai umat muslim tradisiona Jawa-Indonesia
dalam menghadapi
dampak globalisasi dengan cara membuat strategi pendidikan dan menemukan kembali 15
KhoiruddinBashori (2003). Problem Psikologis Kaum Santri: Resiko Insekuritas Kelekatan. Yogyakarta: FKBA, hal. 8 16
Suparjo (2014). Komunikasi Interpersonal Kyai-Santri: Keberlangsungan Tradisi Pesantren di Era Modern. Purwokerto: STAIN Press, hal. 277
17
tradisinya. Bull berasumsi bahwa perubahan kurikulum pesantren menjadi strategi penting (kata kunci) yang dilakukan pesantren dalam menghadapi globalisasi.Dengan mengubah krikulum pesantren, para pemimpin keagamaan di Jawa (kiyai) berupaya mempersiapkan (mencetak) santri yang akan menjadi generasi pemimpin dan bagian masyarakat Indonesia di masa mendatang. Tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang modern, terbuka, menjunjung tinggi keindonesiaan, dan islami. Dalam proses ini, nilai-nilai tradisional dan kemodernan dikembangkan secara bersama-sama dalam masyarakat pesantren. 17 Dibandingkan denganlima penelitian di atas dan beberapa kajian lain seputar pesantren, maka penelitian ini sesungguhnya memiliki lokus dan fokus yang berbeda. Dilihat dari lokusnya, penelitian ini tidak dilakukan di pesantren-pesantren besar yang ada di daerah seperti Jawa Timur, tetapi dilakukan di pesantren-pesantren yang berada di Kota Purwokerto yang berada di wilayah
Kabupaten Banyumas Jawa Tengah
Selatan, yang selama ini relatif kurang dikaji oleh para peneliti. Dilihat dari fokusnya, penelitian ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan kajian pesantren yang telah ada, karena lebih menitikberatkan pada pengembangan kepribadian yang lebih menggunakan tinjauan PsikologiLintas Budaya, khususnya seputar konsep-konsep pengembangan kepribadian.
17
Ronald A. Lukens-Bull (1998). Teaching Morality: Javanese Islamic Education in Globalizing Era. Disertasi di Arizona University Southeast Asia, hal. 1
18
E. Sistematika Laporan Secara tentatif, hasil penelitian akan ditulis dengan rancangan sistematika berikut ini: 1. Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusanmasalah, tujuan dan urgensi penelitian, review penelitian terkait, dan sistematika laporan. 2. Kerangka Teori, yang meliputi pesantren dan pengembangan kepribadian. 3. Metodologi penelitian, yang meliputi: pendekatan penelitian, subyek, proses dan teknik pengumpulan data, keabsahan data, dan analisis data. 4. Hasil Penelitian dan pembahasan, yang meliputi: karakteristik kepribadian santri, proses pengembangan kepribadian santri di pesantren, dan rumusan model pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren? 5. Kesimpulan dan Rekomendasi.
19
BAB. II PESANTREN DAN PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN MUSLIM
A. Pesantren 1. Karakteristik Pesantren Pesantren atau Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional yang para siswanya (disebut santri) tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kiai dan memiliki asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga memiliki masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. 18Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana terbuat dari bambu. Di samping itu, kata pondok mungkin berasal dari Bahasa Arab Funduq yang berarti asrama atau hotel. Di PulauJawa, umumnya digunakan istilah pondok, pesantren, atau pondok pesantren, sedang di Aceh dikenal dengan istilah dayah, rangkang, atau menuasah, sedangkan di Minangkabau disebut surau. 19 Pesantren dapat dipahami pula sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di 18
Masalah tembok keliling dalam pesantren bukan merupakan hal yang pokok, karena terdapat pula banyak bangunan pesantren yang tidak memiliki tembok keliling, dengan alasan agar dapat menyatu dengan masyarakat sekitar. Lihat Dhofier, Tradisi Pesantren……, hal.18. 19
Nurcholis Madjid (1997), Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina,), hal. 5
20
mana seorang kiyai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut.
20
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kyai di suatu tempat, kemudian datanglah para santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada jaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kyai saat itu belum memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kyai.Semakin banyak jumlah santri, semakin bertambah pula gubug yang didirikan. Para santri selanjutnya mempopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut, sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, seperti halnya terjadi pada pondok-pondok yang timbul pada zamanWalisongo. 21 Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kyai. 22 Istilah pondok pesantren 20
Sudjono Prasodjo, Profil Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982), hal. 6.
21
Rochidin Wahab (2004). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta, hal. 153-154. Lihat pula pada https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren 22
Dhofier, Tradisi……, Hal. 49
21
dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan pada jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan, sehingga memudahkan bagi komunikasi antara Kyai dan santri dan antara satu santri dengan santri yang lainnya. Menurut Zamakhsari Dhofir, di pesantren terdapat sikap timbal balik antara Kyai dan santri di mana para santri menganggap Kyai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap Kyai sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. 23 Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi Kyai dan ustaz untuk membimbing dan mengawasi anak didik atau santrinya. Segala sesuatu yang terjadidi kalangan santri dapat dimonitor langsung oleh Kyai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri, dan menyelesaikan masalah yang dihadapi para santri. Keadaan pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan keadaan pondok pada masa kolonial sebagai bangunan yang terdiri dari sebuah gedung berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh
23
Ibid
22
sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya. 24 Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar dan didiami bersama. Terdapat pula pondok yang agaknya sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orangorang terpaksa harus membungkuk, jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab”. 25 Dewasa ini keberadaan pondok pesantren telah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya. Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis kelamin dengan peraturan yang ketat. 2. Unsur Pesantren a. Masjid
24
Imron Arifin dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
25
Dhofir, Ibid.
23
Masjid merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pesantren dan merupakan tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khutbah dan salat Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik (Kitab Kuning). Kedudukan masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi dari universalitas sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain, kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba yang didirikan di Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap terpancar dalam sistem pesantren. Lembaga-lembaga pesantren di Jawa umumnya terus memelihara tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya. Di Jawa biasanya seorang Kyai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah Kyainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah pesantren. Selanjutnya Kyai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen yang sangat penting dari pesantren. 26 b. Kitab Kuning Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon 26
Ibid, hal. 50
24
ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan paham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih. Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (Kyai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (syntax) dan Sharaf (morfologi), (2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (teologi), (7) Tasawuf dan Etika, (8) Cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah”.
27
Kitab-
kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para Kyai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan Kyai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan Kyai merupakan personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan Kyai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik. 28Hasyim Munif menyatakan
27
Ibid
28
https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
25
bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah (AlHadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti.Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di antaranya dapat menjadi Kyai. 29 c. Santri Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya, para santri tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.Santri adalah murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu santri Mukim dan Santri Kalong. Santri Mukim adalah santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren, sementara Santri Kalong adalah para santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang. Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan 29
Ibid
26
mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. 30 d. Kyai Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. 31 Kata Kyai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kyai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kyai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kyai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.Kyai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan
pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kyai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan 30
Ibid,hal. 51
31
Manfred Ziemekdalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
27
masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dalam beberapa hal, kepemimpinan kyai dalam pesantren akan ditentukan olehlatar belakang kepribadian kyai, yaitu meliputi pola pikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin.32 Hal ini menggambarkan begitu besarnya peran Kyai dalam menentukan keberhasilan pesantren yang diasuhnya. 3. Model pesantren Seiring perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan tehadap pentingnya pendidikan umum, bentuk pesantren saat ini tidak tunggal lagi, tetapi mengalami diversifikasi. Dewasa ini setidaknya terdapat dua model pesantren, yaitu: a. Pesantren salaf Pesantren yangini umumnya hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja, sehingga sering disebut dengan istilah pesantren salaf (tradisional). Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salaf adalah para santri biasa bekerja untuk kyai mereka, misalnya dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lainnya. Sebagai balasannya, mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian besar pesantren salaf menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam.Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu 32
M. Habib Chirzin dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
28
formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustaz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an. 33 b. Pesantren Modern Pesantren model ini mengajarkan pendidikan agama dan umum, di mana persentasenya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya). Meskipun sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern, pesantren ini umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Di dalam pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah.Pesantren campuran untuk tingkatan (usia)SMPkadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkatan SMA disebut dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak.Ada pula jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di pesantren tersebut. 34 4. Modernisasi Pesantren
Dalam perkembangannya, pesantren terus mengalami dinamika seiring dengan gaung modernisasi dan pembaharuan umat Islam yang terjadi di Indonesia. 33
Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
34
Ibid
29
Hal ini, menurutKarel A. Steenbrink, disebabkan oleh beberapa faktor yang selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk melakukan perubahan Islam di Indonesia, yaitu meliptimunculnya wancana penolakan taqlid dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai isu sentral yang mulai terjadi sejak tahun 1900. Sejak saat itu, perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan reformis dengan kalangan ortodoks (konservatif), mulai mengemuka sebagai wacana publik.Hal ini semakin diperkuat pula oleh derasnya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme Belanda.Selain itu, terdapat pula kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi Islam mereka yang berkonsentrasi dalam aspek sosial ekonomi.Itulah hal yang yang mendorongumat Muslim untuk memperbarui sistem Pendidikan Islam, termasuk masyarakat pesantren. 35 B. Pengembangan Kepribadian 1. KonsepKepribadian Konsep kepribadian biasanya berbicara seputar pengertian kepribadian, unsur dan struktur kepribadian, perkembangan kepribadian, tipe-tipe kepribadian, faktor-faktor
yang
mempengaruhi
kepribadian,
dan
pola
pengembangan
kepribadian. Sebagaimana beragamnya model pengembangan pribadi, konsep tentang kepribadian manusia pun tidak tunggal, tergantung dengan paradigma dan epistemologi yang mendasarinya. Konsep-konsep ini ada yang bercorak psikodinamik, behavioristik, humanistik, dan lainnya. Salah seorang tokoh yang sering dirujuk pendapatnya tentang teori kepribadian adalah Gustave Jung. 35
Karel A. Steenbrink dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
30
Menurut Jung, kepribadian atau psikhe adalah segenap pikiran, perasaan, dan perilaku, sadar dan tak sadar. 36 Kepribadian inilah yang membimbing manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Keseluruhan kepribadian terdiri dari sejumlah sistem yang berbeda namun saling berinteraksi dan mempengaruhi. Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan
dalam
istilah
sifat
yang
bisa
diukur
yang
ditunjukkan
oleh
seseorang. 37Disamping itu, kepribadian sering diartikan sebagai ciri-ciri yang menonjol pada diri individu, seperti kepada orang yang pemalu dikenakan atribut “berkepribadian pemalu”. Kepada orang supel diberikan atribut “berkepribadian supel” dan kepada orang yang plin-plan, pengecut, dan semacamnya diberikan atribut “tidak memiliki kepribadian”. Gordon Allport menyatakan bahwa kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami perubahan. 38 Para ahli tampaknya masih sangat beragam dalam memberikan rumusan tentang kepribadian. Dalam suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan oleh Gordon W. Allport menemukan hampir 50 definisi tentang kepribadian yang berbeda-beda. Berangkat dari studi yang dilakukannya, akhirnya dia menemukan satu rumusan tentang kepribadian yang 36
Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2008). Teori Kepribadian. Bandung: Rosda. Hal. 74 37
Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat. Hal.126-127 38
Ringkasan tentang Kepribadian dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kepribadian
31
dianggap lebih lengkap. Menurut pendapat dia bahwa kepribadian adalah organisasi dinamis dalam diri individu sebagai sistem psiko-fisik yang menentukan caranya yang unik dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. 39 Kata kunci dari pengertian kepribadian adalah penyesuaian diri. Scheneider mengartikan penyesuaian diri sebagai “suatu proses respons individu baik yang bersifat behavioral maupun mental dalam upaya mengatasikebutuhan-kebutuhan
dari
dalam
diri,
ketegangan
emosional, frustrasi dan konflik, serta memelihara keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan tersebut dengan tuntutan (norma) lingkungan. 40 Sedangkan yang dimaksud dengan unik bahwa kualitas perilaku itu khas sehingga dapat dibedakan antara individu satu dengan individu lainnya. Keunikannya itu didukung oleh keadaan struktur psiko-fisiknya, misalnya konstitusi dan kondisi fisik, tampang, hormon, segi kognitif dan afektifnya yang saling berhubungan dan berpengaruh, sehingga menentukan kualitas tindakan atau perilaku individu yang bersangkutan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Untuk menjelaskan tentang kepribadian individu, terdapat beberapa teori kepribadian yang sudah banyak dikenal, diantaranya: teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud, teori Analitik dari Carl Gustav Jung, teori Sosial Psikologis dari Adler, Fromm, Horney dan Sullivan, teori Personologi dari Murray, teori Medan dari Kurt Lewin, teori Psikologi Individual dari Allport, teori Stimulus-Respons dariThrondike, Hull, Watson, teori The Self dari Carl Rogers dan sebagainya.
39
Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kepribadian
40
Lihat Ringkasan tentang Kepribadian dalam https://id.wikipedia.org/wiki/kepribadian
32
Sementara itu, Abin Syamsuddin mengemukakan tentang aspek-aspek kepribadian, yang di dalamnya mencakup: a). Karakter, yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku, konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat, b). Temperamen, yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya mereaksi terhadap rangsanganrangsangan yang datang dari lingkungan, c). Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau ambivalen, d). Stabilitas emosi, yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap rangsangan dari lingkungan, seperti mudah tidaknya tersinggung, marah, sedih, atau putus asa, e). Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi, f). Sosiabilitas, yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan interpersonal. Seperti : sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan berkomunikasi dengan orang lain. 41.
2. Kepribadian Muslim Para psikolog muslim berpendapat bahwa objek kajian Psikologi Kepribadian selama ini baru menyentuh level dimensi psikofisik manusia, sedangkan dimensi ruhani lebih banyak
dikaji oleh para agamawan. Untuk
kepentingan kajian terhadap kepribadian manusia, kedua dimensi pada dasarnya ini hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Kepribadian manusia harusnya dipahami melalui totalitas komponen keberadaan manusia, yaitu fisik (body), psikis atau mental (mind), dan ruh (soul). Artinya, kepribadian adalah
41
Ibid
33
keterpaduan antara dimensi raga-jiwa (psikofisik) dan dimensi ruhani (spiritual) dalam diri manusia. 42 Dalam konteks ajaran Islam, konsep tentang kepribadian manusia dibangun dengan merujuk pada sumber-sumber Al-Qur’an, Al-Hadits, dan pemikiran para ulama (intelektual muslim). Al Qur’an , sebagai “buku bimbingan” yang dibuat Allah SWT untuk manusia, banyak menggambarkan proses penciptaan manusia, asal kejadian manusia. 43
manusia, dan menunjukkan arti penting fitrah (watak dasar)
Kajian kepribadian dalam Islam lebih menekankan pada
karakter
(moral) atau hal-hal yang berkaitan dengan penilaian baik dan buruk (akhlak), karena kehadiran Nabi Muhammad SAW di muka bumi ini adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak manusia. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa kepribadian muslim adalah seperangkat kompetensi yang harus dicapai oleh setiap muslim, meliputi aspek akidah, ibadah, dan akhlak, yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan dipraktekkan oleh Nabi. Oleh karena itu, dalam dakwahnya, Nabi selalu menekankan
pentingnya pengembangan karakter (moral) dalam seluruh aspek kehidupan melalui perilaku sehari-hari. Melalui apa yang dicontohkan oleh Nabi, para sahabat dan pengikutnya dapat mempelajari secara lebih jauh lebih jauh apa yang boleh (perintah) dan apa yang tidak boleh (larangan) dilakukan dalam kehidupan seharihari. Inilah landasan utama pengembangan kepribadian dalam Islam.
42
Abdullah, Toward a Concept of Islamic…..,hal. 1
43
Abdul Aziz Fall (2009). Islamic Approach to Personality Assesment. Kualalumpur: IIUM. hal. 2
34
Berbicara tentang model kepribadian tidak terlepas dari pertanyaan tentang “model manusia seperti apakah yang akan dikembangkan?”. Menurut Anis Matta, model manusia adalah bangunan kepribadian utuh yang meliputi visi, misi, jalan hidup, dan nilai-nilai yang seharusnya membentuk paradigma, mentalitas, dan karakter seseorang yang meyakini kebenarannya. 44 Bangunan ini tidak dapat dilepaskan dari makna Islam itu sendiri, yaitu ketundukan dan penyerahan diri yang total kepada Allah SWT untuk diatur sesuai dengan kehendak-Nya, sementara Allah sendiri telah menetapkan asal-usul manusia, visi dan misi, jalan hidup, dan nilai-nilai yang membentuk keyakinan, perilaku, dan pola hubungan sosialnya. Artinya, sesungguhnya Allah telah menetapkan “bagaimana seorang Muslim itu seharusnya?”, atau “Muslim itu harus seperti apa?”. Keseluruhan kehendak Allah tentang “bagaimana seharusnya seorang Muslim itu menjadi” inilah yang kemudian disebut dengan Model Manusia Muslim atau Model Kepribadian Muslim, yang tentu saja selalu bersifat ideal. Namun demikian, model kepribadian ini tidak mengabaikan fakta bahwa setiap manusia memiliki keunikan-keunikan yang membedakannya dengan manusia yang lain. Jika model manusia muslim berbicara tentang bagaimana ia seharusnya (idealitas), maka keunikan individual manusia muslim berbicara tentang manusia muslim sebagaimana ia adanya, yaitu realitas kepribadiannya.
44
Anis Matta(2010). Delapan Mata Air Kecemerlangan. Jakarta: Tarbawi Press, hal. 4-
5
35
Setiap muslim pada dasarnya memiliki misi hidup yaitu membentuk kepribadian muslim (syakhshiyyatul muslim) pada diriya, baik secara mandiri maupun bersama-sama dengan orang lain, tempat ia tinggal. Secara garis besar, misi hidup ini dapat
diturunkan menjadi
dua aspek kapasitas pribadi,yaitu
internal dan eksternal. Dua level kapasitas pribadi ini sesungguhnya merupakan karakteristik yang menggambarkan kesempurnaan pribadi dan kesempurnaan sosial. Dua dimensi ini merupakan implementasi dari pemahaman yang utuh terhadap nilai-nilai yang ada dalam Q.S. Al-Ashr, yaitu iman, amal shalih, dakwah, dan sabar. Dua aspek kapasitas ini sesungguhnya merupakan bentuk penerjemahan atau penyederhanaan terhadap 10 kompetensi kepribadian yang dikonsepkan oleh Hasan al Banna, yaitu: saliimul ‘aqidah(berakidah lurus dan bersih); shahiihul ‘ibadah (beribadah dengan benar); matiinul khuluq (berakhlak secara tangguh dan kokoh); qdiirun ‘alal kasbi (mampu bekerja dan mandiri secara ekonomi); mutsaqqaful fikri (berwawasan luas); qawiyyul jismi (berbadan sehat dan kuat); mujaahidun linafsihi (memiliki semangat juang, kesungguhan, dan etos kerja yang tinggi); munazh-zhamun fii syu’uunihi (tertata dan terorganisir segala urusannya); hariishun ‘alaa waqtihi (efektif dan cermat dalam mengatur waktu); dan naafi’un lighairihi (bermanfaat buat orang lain). Dalam bahasa yang berbeda, setiap muslim diharapkan dapat memiliki empat kapasitas, yaitu: menjadi da’iyangproduktif, beramal secara berjama’ah, pelopor perubahan, dan memiliki ketokohan sosial. 45
45
Hasan al-Banna dalam Muskinul Fuad, Pengembangan Kepribadian Muslim …,
hal.257
36
Misi hidup di atas pada dasarnya mengisyaratkan bahwa setelah seorang muslim memiliki berbagai karaktersitik yang menggambarkan
sosok seorang
pribadi muslim (syakhshiyyatul muslim), maka ia harus berupaya untuk memiliki karakteristik yang menggambarkan sosok seorang da’i (syakhshiyatud da’iyyah). Dengan dua bekal ini, seorang muslim pada akhirnya akan mampu tampil sebagai pemimpin atau orang yang memiliki ketokohan sosial yang siap melakukan kerjakerja sosial di tengah-tengah masyarakat. Itulah sosok pribadi muslim yang ideal, paripurna, dan sejati. 46 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian a. Faktor keturunan Menurut
para
ahli,
keturunan
merujuk
pada
faktor genetika seorang
individu.Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisiotot dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap, entah sepenuhnya atau secara substansial, dipengaruhi oleh siapa orang tua dari individu tersebut, yaitu komposisi bawaan biologis dan psikologis dari individu. 47Terdapat tiga dasar penelitian yang berbeda yang memberikan
sejumlah
kredibilitas
terhadapargumen
bahwa
faktorketurunan memiliki peran penting dalam menentukan kepribadian
46
Ibid, hal. 258
47
Arvey, R. D. "Genetics, Twin, and Organizational Behavior," Research in Organizational behavior, vol. 16, Greenwich CT: JAI Press, 1994, hal 65-66.
37
seseorang.Dasar pertama berfokus pada penyokonggenetis dari perilaku dan temperamen anak-anak. Dasar kedua berfokus pada anak-anak kembar yang dipisahkan sejak lahir.Dasar ketiga meneliti konsistensi kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat terhadap pengaruh dari faktor keturunan. Bukti menunjukkan bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif dapat
dikaitkan
dengan
karakteristik
genetis
bawaan. Temuan
ini
mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.Para peneliti telah mempelajari lebih dari 100 pasangan kembar identik yang dipisahkan sejak lahir dan dibesarkan secara terpisah.Ternyata peneliti menemukan kesamaan untuk hampir setiap ciri perilaku, ini menandakan bahwa bagian variasi yang signifikan di antara anak-anak kembar ternyata terkait dengan
faktor
genetis. Penelitian
bahwa lingkungan pengasuhan
tidak
ini begitu
juga
memberi
memengaruhi
kesan
perkembangan
kepribadian atau dengan kata lain, kepribadian dari seorang kembar identik yang dibesarkan di keluarga yang berbeda ternyata lebih mirip dengan pasangan kembarnya dibandingkan kepribadian seorang kembar identik dengan saudarasaudara kandungnya yang dibesarkan bersama-sama. 48
48
Buss, A. H. "Personality as a Traits," American Psychologist, November 1989, hal. 13781388. Lihat Ringkasan tentang Kepribadian dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Kepribadian
38
b. Faktor Lingkungan Faktor
lain
yang
memberi
pengaruh
cukup
besar
terhadappembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorangtumbuh dan dibesarkan. Faktor ini meliputi norma dalam keluarga, teman,kelompok sosial, dan pengalaman lain yangdialami setiap individu. 49 Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam membentuk kepribadian seseorang. Sebagai contoh, budaya membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki
sedikit
pengaruh
pada kultur yang
lain. Misalnya,
orang-
orang Amerika Utara memiliki semangat ketekunan, keberhasilan, kompetisi, kebebasan, dan etika kerja Protestan yang terus tertanam dalam diri mereka melalui buku, sistemsekolah,
keluarga,
dan teman,
sehingga
orang-orang
tersebut cenderung ambisius dan agresif bila dibandingkan dengan individu yang dibesarkan dalam budaya yang menekankan hidup bersama individu lain, kerja sama, serta memprioritaskan keluarga daripada pekerjaan dan karier. 4. Model Pengembangan Kepribadian Pengembangan pribadi adalah usaha terencana untuk meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang bermanfaat bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik dan terwujudnya citra diri yang diidam-idamkan. Upaya 49
McCrae, R. R. Reinterpreting the Myers-Briggs Type Indicator from the Perspective of the Five Factor Models of Personality, Journal of Personality, Ney York: Wiley, Maret 1989, hal. 17-40
39
ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia, sebagai the self determining being, memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang paling baik untuk dirinya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. 50 Menurut Abdul Mujib, penggunaan istilah “pengembangan” awalnya dibedakan
dengan
istilah
“penyembuhan”
atau
“terapi”,
karena
istilah
pengembangan dimaksudkan untuk sasaran individu yang sehat, sedangkan istilah penyembuhan (terapi) digunakan untuk individu yang sakit. Akan tetapi, kedua istilah ini kemudian cenderung mengalami penyatuan makna, sehingga kerap dipertukarkan atau digunakan untuk maksud yang sama, baik ditujukan kepada individu yang sehat maupun individu yang sakit. Kata terapi atau psikoterapi pada akhirnya telah melampaui asal-usul medisnya dan tidak lagi merupakan suatu metode perawatan atau penyembuhan orang sakit saja. Istilah ini, selain digunakan untuk fungsi kuratif (penyembuhan), juga digunakan untuk fungsi preventif (pencegahan), developmental dan konstruktif (pengembangan dan pemeliharaan pribadi yang sehat). 51
Dalam dunia psikologi atau bimbingan dan konseling dewasa ini telah dikenal bermacam-macam pelatihan dan model pengembangan pribadi (personal growth). Pengembangan pribadi adalah upaya terencana dalam meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, dan sikap, yang mencerminkan kedewasaan pribadi untuk meraih kondisi yang lebih baik dalam mewujudkan citra diri yang 50
H.D. Bastaman (2007).Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih HidupBermakna.Jakarta: Rajawali Pers. Hal.150 51
Abdul Mujib (2005). Kepribiadian Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 387-388
40
diidam-idamkan. Usaha ini dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia, sebagai the self determining being, memiliki kemampuan untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya dalam rangka mengubah kondisi dirinya agar menjadi lebih baik sebagaimana diisyaratkan dalam Al-Qur’an. 52 Beragamnya model
atau
pendekatan
pengembangan
pribadi
yang
dikemukakan para ahli tentu tidak dapat dipisahkan dari filsafat (cara pandang) yang mendasarinya, yaitu berkenaan dengan masalah kepribadian itu sendiri. Para psikolog telah mengembangkan berbagai pendekatan, metode, dan pelatihan yang bercorak psikologis untuk pengembangan pribadi, baik berupa model pelatihan sendirian (solo training) maupun pelatihan dalam kelompok (group training). Solo training awalnya berasal dari praktek keagamaan yang telah lama ada seperti meditasi, retreat, dan tafakur, tetapi kemudian dikembangkan dan dimodifikasi secara psikologis dengan memanfaatkan metode perenungan atau introspeksi diri. Model ini tidak banyak melibatkan orang lain dalam pelaksanaannya, karena lebih berorientasi pada proses pemahaman, penyadaran, dan pengenalan diri secara mandiri. Sebaliknya, pelatihan dalam kelompok dilakukan bersama orang lain melalui komunikasi antarpribadi dan proses dinamika kelompok. Dalam kegiatan ini, suasana atau iklim kelompok diupayakan sedemikian rupa agar pengungkapan diri dan umpan balik dapat berkembang secara bebas dan nyaman. Dengan langkah ini, para peserta pelatihan (konseli) diharapkan dapat memperolah gambaran yang
52
Q.S. Ar-Ra’du: 11, Lihat Bastaman (1995). Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 150
41
lebih luas dan mendalam tentang dirinya serta dapat meningkatkan hubungan yang lebih akrab dengan orang lain. Dalam model ini dikenal beberapa contoh pelatihan pengembangan pribadi seperti T-Group, Encounter Group, Sensitivity Training, dan Logoanalysis. 53 Dalam perspektif Islam, metode peningkatan diri dan penyempurnaan pribadi muslim, berdasarkan konsep yang diajukan oleh Al-Ghazali, harus diawali dengan kesediaan menaati syariat dan norma-norma lingkungan eksternal, kemudian secara sadar mengaktualisasikan potensi-potensi internal dengan jalan membiasakan diri dengan melakukan berbagai amal kebajikan sekaligus menghindari perbuatan keji, baru kemudian sampai pada tingkatan yang tertinggi, yaitu latihan-latihan yang lebih bersifat sufistik-spiritual-transendental. Dalam tahapan-tahapan penyempurnaan kepribadian ini, Al-Ghazali menekankan perlunya kesadaran dan tanggungjawab pribadi serta upaya berkesinambungan untuk melaksanakannya. Al Ghazali juga lebih menganjurkan sikap moderat dan perilaku yang wajar (tawassuth) dalam kehidupan sehari-hari, daripada sikap dan perilaku yang ekstrim. Dalam Islam, keserasian dan keseimbangan (tawazun) merupakan tolok ukur
akhlak yang baik. Contohnya, sikap terlalu hemat adalah sebuah
kekikiran, sedangkan sikap terlalu dermawan adalah pemborosan. Keduanya adalah sikap yang tidak terpuji. Lebih jauh dari itu, seseorang
yang telah meraih
ketinggian ruhani sebagai hasil dari latihan-latihan spiritual, oleh Al Ghazali tetap
53
Bastaman, Logoterapi…., hal. 151
42
dianjurkan untuk hidup secara wajar dan berkiprah dalam masyarakat dengan karya-karya yang bermanfaat, dengan didasari niat yang baik dan tulus.
54
Namun demikian, pembentukan akhlak (kepribadian) muslim yang berhasil membutuhkan sebuah pelatihan atau bimbingan secara terus menerus serta pemantauan (supervisi) yang ajeg. 55 Sebuah bimbingan tidak akan menghasilkan pengaruh pada orang yang dibimbingnya, jika seorang pembimbing tidak dipercaya oleh orang yang dibimbingnya. Orang yang memiliki karakter atau moral yang buruk tidak akan dapat meninggalkan kesan yang baik terhadap lingkungannya. Bimbingan atau pelatihan yang terbaik hanya dapat diharapkan dari seoarng pembimbing atau pelatih yang berkarakter, karena dengan kekuatan moralnya ia dapat memunculkan rasa kekaguman pada diri anggotanya. Para anggota (yang terbimbing) akan menaruh hormat dan akan dengan sukarela mengikuti apa yang telah diteladankan dan tahapan-tahapan (langkah-langkah) yang ditunjukkan oleh pemimpinnya, sebagaimana kasus Nabi dan umatnya. 56 Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa salah satu prinsip penting yang sangat ditekankan dalam pengembangankepribadian Islam (muslim)
adalah
keteladanan. 57 Prinsip ini mensyaratkan adanya kualitas pribadi yang harus dimiliki 54
Ibid, hal. 85
55
Al-Ghazali dalam Abdullah, Toward a Concept……, hal.5
56
Yaaqob, S. (2000). Towards Islamic psychology. [Online]. Tersedia: http://www.crescentlife.com/articles/toward_islamic_psychology.htm,diakses pada 30 Agustus 2014]. 57
Q.S Al-Ahzab: 21
43
oleh seorang pembimbing. Dengan komptensi pribadi sang pembimbing (konselor) yang memadai, maka proses bimbingan dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Pengembangan kepribadian dalam Islam dapat ditempuh dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan konten (materi) dan pendekatan rentang kehidupan. Pendekatan konten meliputi serangkaian metode dan materi dalam pengembangan kepribadian yang secara hirarkis dilakukan oleh individu, dari jenjang terendah sampai ke yang paling tinggi, tanpa mengenal batasan usia, untuk mencapai kualitas tertinggi. Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa untuk melakukan pengembangan diri ke arah yang lebih baik, setiap individu dapat menggunakan materi dan metode apa saja. Sedangkan pendekatan rentang kehidupan meliputi serangkaian perilaku yang dikaitkan dengan tugas-tugas perkembangan menurut rentang usia. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa dalam setiap rentang kehidupan, setiap individu memiliki tugas perkembangan yang harus diperankan menurut jenjang usia.
58
Terkait dengan model pengembangan kepribadian, Crumbaugh, yang kemudian dimodifikasi oleh Bastaman, mengemukakan sebuah pendekatan yang dikenal denganLogoanalisis. Pendekatan ini mencakup aspek-aspek berikut ini: 59
58
Abdul Mujib (2005). Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 388 59
Lihat Bastaman (1995). Integrasi Psikologi…….hal. 126, Lihat pula Bastaman (2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menenmukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 154-155
44
a. Pemahaman Diri. Artinya mengenali secara obyektif berbagai kekuatan dan kelemahan diri, baik yang potensial maupun yang telah teraktualisasi, mengembangkan atau meningkatkan hal-hal yang positif serta mengurangi atau menghambat hal-hal yang negatif. b. Bertindak Positif. Artinya berupaya menerapkan dan melaksanakan hal-hal yang baik dan bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. c. Pengakraban Hubungan. Artinya meningkatkan hubungan baik dengan pribadi-pribadi tertentu, misalnya anggota keluarga, teman, dan rekan kerja, sehingga tercipta suasana saling percaya, saling membutuhkan , dan saling membantu. d. Pendalaman Tri Nilai. Merujuk pada upaya untuk memahami dan memenuhi tiga macam nilai yang merupakan sumber makna hidup, yaitu: • Nilai-nilai kreatif (berkaitan dengan kerja, karya, dan berprestasi) • Nilai-nilai
penghayatan
(kebenaran,
keindahan,
kasih
sayang,
keimanan, dan sebagainya) • Nilai-nilai bersikap, artinya menerima dan mengambil sikap yang tepat terhadap derita yang tidak dapat dihindari lagi (pandai mengambil hikmah di balik musibah). e. Ibadah. Artinya berusaha melaksanakan apa yang diperrintahkan Tuhan dan mencegah diri dari apa yang dilarang-Nya. Ibadah yang khusyuk sering mendatangkan
perasaan
tenteram,
mantap,
dan
tabah,
dan
bisa
45
menimbulkan perasaan mendapatkan bimbingan dan petunjuk-Nya dalam menghadapi musibah (divine guidance). Dengan melihat konsep yang dikemukakan oleh Crumbaugh di atas, dalam pengamatan penulis, pesantren sejatinya memiliki aspek-aspek pengembangan kepribadian yang sangat menarik untuk diungkap. Aspek-aspek ini tampaknya belum banyak dilakukan oleh para pakar keislaman di Indonesia. Artinya, kajian seputar
pesantren
dengan
pendekatan
psikologis-kultural
dilakukan.Hal inilah yang menjadi karakteristik penelitian ini. .
belum
banyak
46
BAB. III METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dalam bentuk etnografi, yaitu sebuah pendekatan untuk mengembangkan pemahaman terhadap aktivitas atau perilaku sehari-hari dari sekelompok orang dalam seting tertentu. Paradigma yang digunakan adalah post-positivistik, yaitu cara pandang penelitian yang bersifat interpretif, konstruktif, dan berlangsung dalam seting alamiah (natural setting). Dengan cara pandang ini peneliti berkeyakinan bahwa teori tidak memiliki fungsi eksplanasi atau prediksi, melainkan memberi tafsir atau membuat pemahaman langsung secara teralami (lived experience), bukan melalui generalisasi yang abstrak. 60 Penelitian ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa pengembangan kepribadian adalah sebuah budaya yang telah dimiliki dan dipraktekkan oleh pesantren. Sebagai sebuah budaya, ia tidak saja berkaitan dengan pengetahuan yang dapat dibahasakan (propositional knowledge), tetapi juga menyangkut pengetahuan yang tidak dapat dibahasakan (tacit knowledge). Pengetahuan model ini tidak dapat diperoleh dengan pendekatan rasionalistik-ilmiah, karena pendekatan ini hanya menjelaskan pengetahuan proposisional saja (Alwasilah, 2009: 103). Pemahaman terhadap aspek-aspek pengembangan kepribadian muslim di pesantren tidak akan
60
Alwasilah, Pokoknya…..,hal. 45
47
lengkap tanpa mengetahui konstruksi emik dan pengalaman para responden yang ada didalamnya. Hal ini meniscayakan adanya pendekatan kualitatif-naturalistik yang mensyaratkan peneliti dapat berinteraksi langsung dengan kehidupan mereka tanpa jarak. Metode etnografi dipilih karena dipandang tepat untuk dapat digunakan dalam melakukan deskripsi dan interpretasi terhadap sebuah komunitas (sistem) sosial atau budaya. Dalam konteks penelitian ini peneliti berasumsi bahwa pesantren adalah komunitas yang memiliki sistem sosial dan budaya. Metode etnografi memungkinkan penulis untuk dapat mendeskripsikan representasi diri yang diasumsikan oleh sebuah komunitas, yang dalam konteks penelitian ini adalah komunitas pesantren sebagai lokusnya. 61Peneliti berupaya untuk mempelajari pola-pola perilaku, tradisi, dan pandangan hidup yang dapat diamati dari komunitas ini. 62Pola-pola ini berkaitan dengan model pengembangan kepribadian yang dipraktekkan dalam komunitas ini beserta cara pandang yang mendasarinya. Dilihat dari jenisnya, etnografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cenderung mengarah pada field ethnography (etnografi lapangan), karena peneliti mempelajari dan menyelami sebuah kelompok dalam kehidupan sehari-hari mereka secara langsung dalam seting alamiah. Dengan meminjam apa yang telah diteorikan olehSpradley, 63langkah yang penulis lakukan
61
IanParker (2005). Psikologi Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Hal.54
62
John W. Creswell (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, California: Sage Publication, Inc. hal. 58 63
J. P. Spradley (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.Hal.
34
48
adalah dengan cara memperhatikan makna tindakan dari kejadian yang ada dalam pesantrenyang ingin penulis pahami melalui nilai-nilai (budaya)yang mereka miliki. Dalam melakukan kerja lapangan, penulis membuat kesimpulan tentang budaya pesantrendari tiga sumber, yaitu dari apa yang mereka katakan, dari cara mereka bertindak, dan dari dokumen yang mereka gunakan. B. Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di tiga pondok pesantren yang ada di Kota Purwokerto, yaitu Pondok Pesantren An-Najah, Pondok Pesantren Darussalam, dan Pondok Pesantren ath-Thohiriyah. Subyek dalam penelitian ini adalah warga pesantren yang ada di ketiga pesantren tersebut sebagai informan. Mereka adalah para kyai (pengasuh), ustadz, dan santri. Untuk dapat masuk dalam komunitas pesantren secara mudah, peneliti menempuh strategi snowball (bola salju). Pertama kali, penulis akan mendatangi seorang informan kunci yang merupakan pengasuh (kyai) di tiga pesantren tersebut dan melakukan wawancara mendalam dengan mereka. Dari informan kunci inilah, penulis berharap dapat memperoleh referensi tentang informaninforman lain yang dipandang layak dan dapat memberikan data yang penulis butuhkan. Dari informan ini pula penulis kemudian berupaya mendapatkan informasi penting berkenaan dengan berbagai referensi atau kitab yang selama ini dijadikan bahan rujukan oleh komunitas pesantren dalam menjalankan aktivitas pengembangan kepribadian.
49
C. Proses dan Teknik Pengumpulan Data Secara garis besar data-data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui tiga teknik di bawah ini: 1. Observasi-partisipatif, yaitu pengamatan sistematis dan terencana yang dimaksudkan untuk memperoleh data yang dibutuhkan secara valid dengan cara terlibat langsung dalam kehidupan subyek yang diteliti. Alwasilah meringkas proses ini dengan tiga kata yaitu saksikan, catat, dan maknai. Teknik ini dilakukan peneliti dengan mengikuti setiap aktivitas pengembangan kepribadian yang dilakukan dalam pesantren selama 24 jam, baik dalam durasi harian, pekanan, bulanan, maupun tahunan. Aktivitas ini meliputi kegiatan individual, kelompok, dan masal (kelompok besar). 64 2. Wawancara mendalam. Hal dilakukan terhadap para kyai, ustadz, dan santri, untuk menggali informasi seputar nilai-nilai, prinsip, konsep atau pandangan hidup yang diyakini dan senantiasa dijalankan dalam pesantren. Wawancara mendalam juga dimaksudkan untuk menggali motivasi, aspirasi, dan pemaknaan para responden terhadap pengalaman-pengalaman mereka selama mengikuti aktivitas di pesantren. 3. Studi dokumentasi, yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen yang berisi tentang poko-pokok pikiranatau nilai-nilai yang dimiliki pesantren.
64
Alwasilah, Pokoknya Kualitatif…, hal. 210
50
Oleh karena itu, paradigma yang digunakan dalam penelitian ini bukan semata-mata bersifat das-sein (senyatanya), artinya hanya menggunakan data yang benar-benar terjadi atau dapat dilihat dan dibuktikan di lapangan, tetapi juga bersifat das-sollen (seharusnya), yaitu mencakup hal-hal yang mungkin belum terjadi, dilihat, dan dibuktikan sepenuhnya di lapangan. Sepanjang hal-hal yang bersifat ideal ini mendapatkan afirmasi dari subyek atau dijadikan sebagai kerangka berfikir dan cara pandangpesantren, maka hal itu dapat dianggap valid sebagai data lapangan. D. Analisis Data Analisis yang dilakukan peneliti bersifat induktif, deskriptif, dan kualitatif. Prosesnya dilakukan baik sebelum di lapangan, selama di lapangan, ataupun setelah di lapangan.Sebelum terjun ke lapangan secara langsung, peneliti melakukan analisis terhadap data hasil studi pendahuluan yang penulis dapatkan melalui wawancara awal terhadap beberapa informan yang dipandang mengetahui secara global tentang pandangan-pandangan dan tradisi pesantren. Data dari hasil studi pendahuluan ini dan ditambah dengan data sekunder yang penulis dapatkan dari penelitian sejenis, kemudian digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Selama di lapangan, penulis melakukan model analisis yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Reduksi data dilakukan mengingat bahwa jumlah data yang akan diperoleh di lapangan pasti sangat berlimpah, sehingga perlu dicatat secara teliti dan rinci. Melakukan reduksi data berarti merangkum, memilih dan memfokuskan hal-hal yang pokok dan penting,
51
mencari tema dan polanya, serta membuang hal-hal yang tidak diperlukan. Setelah dilakukan reduksi, data kemudian disajikan dalam bentuk tabel, peta pikiran, atau peta konsep. Langkah selanjutnya yang penulis lakukan adalah penarikan kesimpulan atau verifikasi. Akan tetapi, penarikan sebuah kesimpulan dalam penelitian ini sesungguhnya dibangun secara bertahap, yaitu dari kesimpulan awal, pertengahan, dan baru kemudian sampai pada kesimpulan akhir. Kesimpulan awal adalah kesimpulan yang dibangun pada proses pengumpulan data pada tahapa awal, yang bersifat sementara, dan akan berubah jika tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat pada tahap pengumpulan data berikutnya. Kesimpulan pertengahan dan akhir adalah kesimpulan yang ditarik pada tahap berikutnya atau tahap akhir dari proses pengumpulan data, yang dipandang lebih kredibel karena telah mendapatkan buktibukti yang kuat di lapangan. Kesimpulan akhir dapat memiliki kesamaan, berubah, atau berbeda sama sekali dengan
kesimpulan awal, tergantung dari tingkat
keterdukungan data yang ada selama di lapangan. 65 E. Keabsahan Data Secara internal, pengujian keabsahan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara triangulasi, perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan,member check, analisis kasus negatif, menggunakan data pendukung, dan ditambah dengan hasil diskusi dengan teman sejawat. 66 Dengan triangulasi, penulis berusaha selalu 65
Sugiono(2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Hal. 337 66
Ibid., hal. 368
52
membandingkan dan melakukan pengecekan antara data yang diperoleh melalui wawancara, observasi, dan kajian terhadap beberapa dokumen (kitab) yang dirujuk oleh para informan kunci atau responden. Dengan teknik ini pula, penulis berupaya menggali data dari beberapa sumber data, baik itu dari para kyai, ustadz, dan santri. Untuk melakukan perpanjangan pengamatan, penulis selalu bolak-balik ke lapangan, untuk melakukan observasi dan wawancara berkali-kali, baik dengan satu narasumber atau seting yang sama maupun yang berbeda.Selanjutnya, peneliti berupaya meningkatkan ketekunan dengan cara melakukan pengamatan secara lebih cermat, terus-menerus, dan berkesinambungan. Dengan cara ini, peneliti dapat memperoleh data yang relatif pasti dan dapat merekam berbagai peristiwa di lapangan secara sistematis. Upaya lain yang dilakukan oleh penulis dalam rangka memperoleh data yang valid dan absah adalah dengan melakukan member check, yaitu pengecekan data yang diperoleh kepada informan atau sumber data. Dengan langkah ini, penulis dapat mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang telah diberikan atau disepakati oleh informan. Selain langkah-langkah di atas, dalam rangka mendapatkan data penelitian yang valid, penulis akan berusaha untuk selalu memperhatikan kasus (temuan data) yang tidak sesuai, bertentangan, atau berbeda dengan data yang telah ditemukan sebelumnya. Di samping itu, peneliti juga selalu melengkapi data-data peneilitian dengan bukti rekaman, trankrip, catatan lapangan, dan foto-foto yang diperoleh di lapangan. Sebagai upaya terakhir, penulis kemudian berencana untuk melakukan diskusi dengan beberapa orang teman sejawat penulis baik secara langsung maupun
53
secara tidak langsung untuk mendiskusikan berbagai temuan, analisis, dan kesimpulan yang ada dalam penelitian ini. Secara eksternal, agar hasil penelitian ini memiliki keabsahan untuk dapat diterapkan atau digunakan dalam konteks dan situasi sosial lain (transferability), di luar komunitas pesantren, maka peneliti melakukan diskusi dan meminta masukan terhadap dua orang pakar kajian pesantren. Hasil diskusi dan masukan dari kedua orang akademisi ini kemudian peneliti gunakan untuk memperbaiki dan melengkapi hasil penelitian, terutama terhadap rancangan muslim di pesantren yang bersifat hipotetik.
model pengembangan kepribadian
54
BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Pesantren Berdasarkan hasil wawancara dan dokumentasi, berikut ini disajikan profil singkat tiga pesantren yang menjadi lokus penelitian ini, yaitu Pondok Pesantren An Najah, Pondok Pesantren Ath-Thohiriyah, dan Pondok Pesantren Darussalam. 1. Pondok Pesantren an Najah 67 a. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren an Najah, yang beralamatkan di Jl. Moh Besar Kutasari Purwokerto ini biasa disebut dengan Pesma (Pesantren Mahasiswa) An Najah. Berdirinya pesantren ini disiapkan secara spiritual saat pengasuh, yaitu Dr. KH. Muhammad Roqib, M.Ag. dan isterinya, Hj. Nortri Y. Muthmainnah, menunaikan ibadah haji pada tahun 1430 H (2009 M), bersilaturrahim ke kyai-kyai sepuh, dan kemudian mendapatkan restu darimereka. Berbekal pengalaman mengelola pesantren mahasiswa di Krapyak Yogyakarta selama 11 tahun, pria yang dipanggil abah oleh santrinya ini berkeinginan untuk mendirikan pesantren mahasiswa di Purwokerto. 67
Diolah dari berbagai sumber, yaitu: http://p2m.stainpurwokerto.ac.id/ponpes/detail/8,http://satelitnews.co/berita-sekilas-annajah.html#ixzz3kYPOblIF, http://roqibstain.blogspot.com/, http://mohroqib.blogspot.com/, dan www.pesmaannajah.org
55
Pesma An Najah awalnya berbekal santri kalong sejumlah 20 orang yang tergabung dalam Forum Kajian Islam Kontekstual yang diselenggarakan pengasuh setiap bulan. Pendirian Pesma mendapatkan ijin dari Kementerian Agama pada tanggal 4 Maret 2010 nomor: KD.11.02/5/KPP.00.7/377/2010 dan Nomor Statistik 51.2.33.02.20.005. Selanjutnya, pengasuh mendirikan Yayasan Pesantren Mahasiswa An Najah, Akta Notaris Hj. Imarotun Noor Hayati, SH. No. 06 tanggal 5 Januari 2013 dan No. 81 tanggal 26 Juni 2013, yang disahkan dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI nomor AHU-4796.AHA.01.04.Tahun 2013 pada tanggal 27 Agustus 2013. Program awal Pesma An Najah adalah Kajian Islam Intensif Ramadlan (KIIR) tahun 1431 H selama 10 hari yang dikuti 22 santri. KIIR saat itu diampu oleh 3 ustadz rutin dan 10 penceramah dari para pakar untuk diskusi setelah Dluha. Pada bulan Ramadlan 1432 H KIIR diadakan 14 hari dengan 3 ustadz dan 14 penceramah dari para pakar untuk diskusi. Selain KIIR, diselenggarakan pula Kajian Agama Islam Intensif Liburan pada setiap liburan bulan Juli-Agustus. Dua kajian ini rutin dilaksanakan Pesma setiap tahun. Program kajian Madrasah Diniyah Pesma semester gasal pertama kali dimulai pada bulan September 2010. b. Visi, Misi, dan Tujuan Berdasarkan dokumen yang penulis dapatkan, Pesantren an Najah memiliki visi yang akan mengarahkan lembaga ini dalam menjalankan pendidikan dan pengembangan kepribadian para santrinya, yaitu “Sebagai lembaga pendidikan yang unggul yang mengembangkan subyek didik sebagai individu dan anggota sosial yang
56
relegius, cerdas, inklusif, dan humanis”. Selanjutnya visi ini diturunkan ke dalam berbagai misi yang merupakan mandat kelembagaan, sebagai berikut: 1) Membekali santri untuk berprilaku profetik yaitu jujur, amanah, komunikatif, dan cerdas; 2) Mentradisikan berfikir dan bersikap rasional, ilmiah, dan gemar meneliti; dan 3) Melatih life skill untuk memperkuat peran sebagai hamba Allah dan pemakmur bumi. Ketigamisi di atas kemudian diimplementasikan dalam sebuah rumusan tujuan kelembagaan, sebagai berikut: 1) Mempersiapkandan mengantarkan santri agar memiliki kepribadian profetik yang sehat dan mandiri berdasarkan nilai Islam, inklusif, dan kasih sayang terhadap sesama (ramahmatan lil’alamin), 2) Membinasantri yang menghayati ajaran Islam, berjiwa nasional yang mempunyai jiwa cinta kasih, perhatian terhadap orang yang menderita, toleransi, dan guyup rukun dalam kebhinekaan, dan 3) Merintis key person untuk umat dan birokrat masa depan.” c. Model Pendidikan dan Kurikulum 1)
Landasan Filosofis. Secara filosofis, model pendidikan dan kurikulum yang dikembangkan di Pesma an Najah didasarkan pada beberapa nilaiatau prinsip berikut ini:
57
• Niat dan orientasi “nyantri” adalah untuk mendekatkan hubungan antara manusia dengan Allah dan sesama makhluk. Pendekatan kepada Allah disertai dengan tauhid, tiada Tuhan kecuali Allah. Tauhid ini menjadi ruh bagi aktifitas makhluk Muslim. Penerapan metode apa pun diterima asal memperkuat keimanan dan pengabdian kepada Allah.
Keimanan dan
ketakwaan yang meningkat secara vertikal tersebut berkonsekwensi secara horizontal sehingga peserta didik menjadi lebih harmonis dengan sesama manusia dan sesama makhluk di dunia ini. Bermanfaat bagi yang lain. • Keterpaduan (integrative, tauhid). Artinya, ada kesatuan antara iman-ilmuamal, iman-islam-ihsan, dzikir-fikr (hati dan pikir), dhahir-batin (jiwa-raga), dunia-akhirat, dulu-sekarang-akan datang. Integratif dan interkoneksitas ini merupakan artikulasi dari ketauhidan tersebut. • Bertumpu pada kebenaran. Materi yang disampaikan itu benar, disampaikan dengan cara yang benar, dan dengan dasar niat yang benar. Mencari kebenaran dan jalan lurus (ihdina as shirath al-mustaqim), harus terus dilakukan selama manusia masih menghembuskan nafas. • Kejujuran (sidq dan amanah). Berbagai metode yang dipakai harus memegang teguh kejujuran (akademik). Kebohongan dan dusta (kidzb) dalam bentuk apapun dilarang. Jika realitas (politik) bertentangan dengan hasil penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka pendidik (peneliti) tetap harus menyampaikan kebenaran tersebut meskipun terasa pahit (qul al-haqqa walau kana murran), katakan kebenaran meski terasa pahit.
58
• Keteladanan pendidik atau kyai. Ada kesatuan antara ilmu dan amal. Kyai atau Pendidik yang mengajar dituntut menjadi contoh tauladan bagi peserta didik atau santrinya. Tidak diperkenankan ada pernyataan “saya hanya mengajar”. Pengajar shalat, ia harus juga melaksanakan shalat. Ada dispensasi (rukhshah) jika pendidik berhalangan secara syar’i semisal ia mengajar tentang haji sementara ia belum memiliki biaya untuk naik haji sehingga belum mampu haji. • Pendidikan berbasis pada nilai (akhlak). Metode pendidikan yang diterapkan di Pesma an Najah berdasarkan pada al-akhlaq al-karimah, budi utama. Misalnya, dalam kegiatan belajar-mengajar, ustadz dan apara santrinya harus dapat menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan. Artinya, tidak berkhalwat atau berdua-duaan (di ruang tertutup atau di hutan belantara) yang mengakibatkan fitnah. Metode pendidikan pesma sarat nilai, tidak bebas nilai semisal proses pembelajaran harus memperhatikan waktu shalat (wajib). • Sesuai dengan usia dan kemampuan akal santri (biqadri uqulihim). Memberikan pelajaran terhadap peserta didik atau santri yang mampu merangsang pemikiran mereka serta memperteguh keimanan dan daya kreatif-terampilnya. • Sesuai dengan kebutuhan peserta didik (student center), bukan untuk memenuhi keinginan pendidik apalagi untuk proyek semata. • Mengambil pelajaran pada setiap kasus atau kejadian (ibrah) yang menyenangkan ataupun yang menyedihkan.
Mengambil pelajaran ini
59
dimulai dengan berfikir positif dan menerima perjalan hidup dengan sedang tidak berlebihan dalam mensikapinya. • Proporsional dalam memberikan janji (reward, wa’d, targhib) yang menggembirakan dan ancaman (punishmant, wa’id, tarhib) untuk mendidik kedisiplinan. Proporsional karena harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi peserta didik atau santri. Pembiasaan terhadap hal-hal yang terpuji membutuhkan kedisiplinan dan kedisiplinan akan berjalan jika ada hukuman (punishment), sedang yang berprestasi diberikan hadiah (reward) agar selalu mengulang kebaikan dan prestasi itu sekaligus menjadi tradisi dalam hidupnya. Penciptaan tradisi posistif juga bisa dikembangkan dengan permainan yang menggembirakan, menyenangkan, dan jauh dari kekerasan. 2)
Aktivitas Pokok. Secara akademik, kegiata pembelajaran yang ada di pesantren ini meliputi: • Pembelajaran Al-Quran, terdiri dari kompetensi membaca, menulis, tahsin, dan seni tilawah Al-Qur’an. • Kajian Kitab Kuning tentang Aqidah, Ushul/Fiqh, Akhlak-Tasawuf, Tafsir, dan Hadits • Pengembangan Bahasa Arab,Inggris, Indonesia, dan Jawa. • Praktikum Ibadah yang meliputi Thaharah, Shalat, Perawatan Jenazah, Pengelolaan Zakat, dan Manasik Haji, dan ditambah dengan Kewirausahaan
3)
Aktivitas Penunjang. Selain kegiatan akademik di atas, di Pesma an Najah terdapat berbagai aktivitas, yang dilaksanakan secara rutin baik mingguan,
60
bulanan, ataupun tahunan, untuk mengembangkan bakat dan minat santri, yaitu meliputi: • Pondok Pena, yaitu komunitas untuk santri yang memiliki minat dan bakat menulis untu berlatih kepenulisan, baik karya fiksi maupun nonfiksi (ilmiah) untuk buku, majalah, dan koran. Dari pondok pena ini kemudian terlahir kegiatan Lomba Karya Tulis yang digelar setiap dua tahun. • Penerbitan Pesma an Najah Press. Pesantren ini memiliki perhatian yang besar terhadap aktivitas kepenulisan, di antaranya dengan pelatihan menulis dan menerbitkan buku melalui Pesma An Najah Press. Di antara buku-buku yang telah diterbitkan di antaranya: Nadlom Cinta, karya Dimas Indianto S. (Salah seorang Santri Pesma An Najah), Pilarisme, buku antologi puisi dari beberapa santri An Najah, Sepucuk Surat untuk Tuhan, kumpulan cerpen pemenang dan nominasi lomba nasional “Pesantren Menulis” yang dilaksanakan oleh Pesma An Najah Purwokerto pada tahun 2012, Membumikan Pluralisme, karya Dr. H. Moh. Roqib, M.Ag., Pengasuh Pesma An Najah, Mushaf Rindu, kumpulan puisi karya santri-santri An Najah, dan Al-Qawaidul Fiqhiyah, karya H. Husnul Haq, LC. MA., Direktur Madrasah Diniyah An Najah. • Rihlah Ilmiah (Studi Banding dan Wisata Religius), i. • Majalah dinding tiap komplek, • Khithabah (latihan pidato/ retorika) • Dzibaiyah/ pembacaan shalawat kepada Nabi Saw.,
61
• Kesenian dan Olah Raga sepertiseni tilawatil Qur’an, Hadroh (seni shalawat) , Khitobah, Khot/Kaligrafi, sepak bola, futsal, dan lain-lain. • Tata boga, tata busana, elektronik, dan yang lain], • Kepramukaan, • Pentas seni Banyumasan, • Seminar, Bahtsul Masa’il, Studium General, Diklat, dan Pengajian Umum. • Bimbingan belajar agama dan umum untuk siswa & masyarakat melalui Biro Privat Pesma An Najah. d. Pengasuh , Ustadz, dan Santri Pengasuh utama Pesma An Najah adalah Dr. KH. Muhammad Roqib, M.Ag. Ia adalah alumni Pesantren Hidayatul Ummah Lamongan, Langitan Tuban, Tebuireng Jombang, Lirboyo Kediri, Denanyar Jombang, dan Krapyak Yogyakarta. Saat di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang ini ia mendapatkan pengalaman berharga sebagai Ketua Lembaga Bahasa dan mengajar di Madrasah Diniyah Pesantren Denanyar saat ada ustadz Madin yang berhalangan. Secara formal ia alumni S-1 Pendidikan Bahasa Arab IAIN Suka Yogyakarta, S-2 Pendidikan Islam di IAIN yang sama dan S-3 di UIN Yogyakarta. Ia Penulis 16 buku antara lain: Prophetic Education, Pendidikan Perempuan, Harmoni dalam Budaya Jawa. Selain itu ia juga aktif di Organisasi antara lain sebagai Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama kab. Banyumas, Wakil Rois Syuriyah PCNU Banyumas, A’wan Syuriyah PWNU Jawa Tengah, dan Ketua Majlis SDM MUI Banyumas. Ia pernah menjabat Direktur Program Pascasarjana (S-2) STAIN Purwokerto sekaligus dosen di IAIIG
62
Cilacap, Pascasarjana IAINU Kebumen, dan Pascasarjana UNSIQ Wonosobo. Sedangkan ibu pengasuh, Hj. Nortri Yuniati Muthmainnah, adalah alumni Pesantren Krapyak dan Fakultas. Ushuluddin IAIN Yogyakarta. Dalam menjalankan aktivitas pendidikan di pesantren ini, pengasuh dibantu oleh Dewan Asatidz. Mereka adalah H. Husnul Haq, Lc. MA, Direktur Madrasah Diniyah (Madin) Pesma. Ia adalah alumni pesantren Denanyar Jombang, kemudian melanjutkan kuliah S-1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan S-2 di Universitas Kebangsaan Malaysia. Ia juga salah satu dosen di IAIN Purwokerto. Di samping itu, terdapat ustadz-ustadz lain yang saat ini berjumlah 28 orang, dengan rincian ustadz yang bergelar Doktor (S-3) sebanyak 8 orang, kandidat doktor ada 2 orang, satu orang sarjana (S-1), satu orang lulusan diploma, dan sisanyaterdapat 18 orang yang bergelar magister (S-2). Dilihat dari para santrinya, saat ini pesantren an Najah memiliki sekitar 250 orang santri, baik putra maupun putri. Mereka adalah para mahasiswa dari berbagai kampus yang ada di kota Purwokerto, meliputi IAIN Purwokerto, Unsoed, Unwiku, UMP, dan AMIKOM. e. Fasilitas Pesantren. Saat ini Pesma an Najah memiliki berbagai fasilitas berupa sebuah masjid yang digunakan bersama dengan masyarakat, komplek asrama santri berjumlah 7 buah gedung, beberapa ruang kelas dan diskusi, perpustakaan, website pesantren (www.pesmaannajah.org.), free hotspot arena, arena olah raga, koperasi, dapur di setiap komplek, dan tempat parkir.
63
f. Keunikan Pesma an Najah Setiap pesantren biasanya memiliki karakteristik (keunikan) tersendiri jika dibandingkan dengam pesantren lainnya. Begitu pula dengan Pesma an Najah. Keunikan pesantren ini adalah sebagai berikut: 1) Sesuai namanya, pesantren ini khusus diperuntukkan bagi santri (mahasiswa) yang sedang studi di Perguruan Tinggi, umum dan dan agama. 2) Ustadz-ustadzahnya bergelar Doktor (S-3) dan Magister (S-2) serta alumni pesantren, 3) Pesantren Kepenulisan yaitu santri dilatih menulis karya ilmiah didampingi oleh penulis ahli untuk itu pesantren ini disebut pesantren kepenulisan. 4) Sistem Asistensi dan Kelompok, santri senior magang sebagai asisten ustadz. 5) Kompleks pesantren yang menyatu dengan masyarakat atu tidak dibatasi dengan tembok keliling. 6) Pesantren Praktikum. Artinya, santri dididik dengan teori sekaligus praktik karena semua materi dipraktikkan dan medianya terus dilengkapi. 7) Pesantren penerbitan yaitu melalui Pesma An Najah Press yang telah menerbitkan lima buku, 8) Acara tahunan pesantren adalah pesantren menulis yang melingkupi: lomba menulis tingkat nasional, penerbitan buku hasil lomba, loba dan pentas seni Banyumasan.
64
9) Lain-lain. Di pesantren ini para santri diperbolehkan membawa laptop untuk kepentingan belajar dan juga membawa HP
untuk komunikasi yang
bermanfaat. Tentunya penggunaan dua alat ini diikuti denga berbagai batasan. g. Rencana Pengembangan Sebagai sebuah pesantren yang sedang tumbuh dan berkembang, Pesma an Najah saat ini memiliki beberapa program pengembangan yang sedang, mulai, dan akan dilakukan sebagai berikut: 1)
Pengadaan tanah untuk masjid yang cukup untuk mendirikan masjid yang representatif untuk beribadah dan pusat pendidikan.
2)
Pembangunan komplek Multazam yang masih semi permanen sehingga santri dapat tingga lebih nyaman dan aman.
3)
Pengembangan koperasi pesantren untuk memenuhi kebutuhan santri dan masyarakat serta tempat pelatihan kewirausahaan santri.
4)
Pembelian tanah untuk kampus terpadu mulai dari ruang kelas dan komplek santri putra yang representatif, bersih, dan kondusif dengan tempat parkir kendaraan yang memadai untuk motor santri yang aman.
5)
Pembelian tanah dan pembangunan ruang pertemuan [hall] untuk menerima rombongan tamu, seminar, pelatihan, dan ruang kelas besar yang kondusif dengan tempat parkir yang memadai dan aman.
6)
Pengadaan meja kursi, almari, serta sound system untuk ruang pertemuan dan kelas.
65
7)
Pengadaan gedung perpustakaan dan praktikum yang mencakup laboratorium peribadatan mulai dari thararah, shalat, puasa, zakat, dan haji sampai pada laboratorium pembelajaran, ekonomi Islam, perbengkelan, pertanian, dan tataboga-tata busana.
8)
Pengadaan gedung olah raga dan seni untuk mengembangkan bakat minat santri. Gedung ini juga diharapkan dapat mmenuhi kebutuhan masyarakat sekitar pesantren yang saat ini hanya mengandalkan lapangan sepak bola.
9)
Pengembangan sarana pendidikan formal seperti MI, MTs, dan MA yang rencana kami dirikan untuk melengkapi pesantren mahasiswa.
10) Pembangunan Pesantren Pertanian Taman Lestari di Windujaya Kedung Banteng. 2. Pondok Pesantren Ath-Thohiriyah 68 a. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah yang berada di Kampung Parakanonje, Desa Karangsalam Kecamatan Kedung Banteng Kabupaten Banyumas ini merupakan sosok pesantren yang telah mengalami sejarah panjang. Jika ditelusuri, asal mula berdirinya Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah merupakan perkembangan dari sebuah kelompok pengajian yang dirintis oleh KH. Muhammad Sami’un pada tahun 1960-an.Semasa hidupnya, syiar agama di kampung tersebut cukup semarak. 68Diolah
dari berbagai sumber online, terutama dari http://www.thohiriyyah.com/2011/09/388.html
66
Ia termasuk sosok yang disegani, karena cukup mumpuni dalam hal ilmu agama serta kedudukannya sebagai mursyid tarekat Syadziliyah, sehingga tidak hanya masyarakat sekitar yang berguru kepada beliau, tetapi banyak pendatang dari kota lain, misalnya dari Jatilawang dan Wangon. Selain itu, ia dapat berkomunikasi dengan Belanda semasa penjajahan dulu. Hal ini karena pada masa mudanya ia pernah ikut bekerja pada pemerintah Hindia Belanda.
Kiai yang pernah nyantri di Pesantren Tremas Pacitan selama 12 tahun ini adalah sosok yang dikenal masyarakat luas memiliki kearifan, kharisma, dan pola hidup sederhana. Meski demikian ia tegas dalam prinsip. Ia meninggal dunia tahun 1973 /23 Ramadhan 1392. Sepeninggal KH. Muhammad Sami’un, syiar keagamaan tersebut
terasa
surut,
karena
saat
itu
tidak
ada
penerus
yang
bisa
menggantikannya.Dalam rangka untuk menyelamatkan kiprah perjuangan beliau maka pada tahun 1989, bangkitlah kelompok studi yang dikelola oleh remaja Islam Parakanonje. Kelompok studi tersebut mempelajari Al-Quran, Fasholatan, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Seiring dengan berkembangnya zaman, kelompok studi ini mendapat angin segar dari masyarakat sehingga dalam waktu yang singkat muridnya mencapai 350 anak. Karena tidak mempunyai tempat yang menetap, akhirnya atas saran KH. Muhammad Thoha Al-Hafidz kegiatan belajar mengajar di pusatkan di Masjid An-Ni’mah Parakanonje.
Pada
perkembangan
berikutnya,
kegiatan
belajar
mengajar
terus
berkembang dengan menambah pelajaran keagamaan. Beberapa tahun setelah
67
kepulangan KH. Muhammad Thoha Al-Hafidz dari Makkah, mulailah berdatangan santri yang belajar kepada beliau. Melihat kondisi kelompok studi yang semakin berkembang dan bertambahnya santri mukim yang belajar, serta dukungan masyarakat dan pihak-pihak lain dengan didasari niat suci untuk melestarikan perjuangan KH. Muhammad Sami’un dalam mensyiarkan agama Islam, maka diresmikanlah Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah. Peletakan batu pertama dilakukan Oleh Hj. Shofiyah Umar (Solo) pada tanggal 12 Desember 1992. Sampai sekarang pesantren ini diasuh oleh KH. Muhammad Thoha Al Hafidz beserta para kiai, dan ustadz lainnya.
b. Visi, Misi, dan Tujuan pesantren Pesantren ini memiliki visi yang dirumuskan sebagai berikut: “Terwujudnya masyarakat religius Indonesia yang beradab, berkeadilan, saling menghormati, dan bermartabat sesuai dengan ajaran Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Untuk mewujudkan cita-cita mulia ini, pesantren ini memiliki misi sebagai berikut:
1)
Menghantarkan para santri menjadi manusia yang shaleh dan shalehah.
2)
Menumbuhkembangkan kecakapan warga pesantren dalam mengamalkan syariat agama Islam.
3)
Menyiapkan kader muslim yang berkualitas di bidangfaqahah (kedalaman ilmu agama), ‘adalah (kematangan kepribadian), dan kafa’ah (kecakapan operatif) bagi prakarsa pengembangan masyarakat.
68
4)
Menanamkan sikap dan kemampuan santri agar memiliki kesalehan individual maupun sosial
Dari misi di atas, pesantren ini kemudian merumuskan tujuannya, yaitu: menjadikan insan yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakidah Islamiyah menurut paham Ala Ahli Sunnahwal Jama’ah dan menjadikan warga negara dan masyarakat dunia yang baik, kreatif, cerdas, dan berilmu.
c. Kurikulum Pendidikan Pesantren inimenekankan pendidikannya pada pemaduan khazanah ilmu keislaman As-Salafu Al-Shalihala Ahli Sunnah wal Jamaah dan ilmu yang berkembang saat ini (modern) dalam konteks kehidupan pesantren dan masyarakat. Ranah penddidikannya meliputi program Tahfidz Al-Qur’an; yaitu meliputi Juz ‘Amma Bil Ghaib, 30 Juz Bil Ghaib, dan 30 Juz Bin Nadhar, Madrasah Diniyyah (klasikal),Pengajian
Kitab
(bandongan)
dan
BTA
(Baca
Tulis
Al-
Qur’an).Kurikulum yang diajarkan bersifat aplikatif atau diamalakan dalam kehdupan santri sehari-hari.
Secara garis besar, kegiatan belajar di pesantren ini dapat dilihat dari jadual berikut ini:
1) Jadual Harian No
1.
Aktifitas Shalat Subuh
Waktu
04.30-05.00
69
2.
Mengaji Kitab Tafsir Jalalain dan Takhasus BTA
05.00-06.15
3.
Tahfidzul Qur’an dan Kitab
16.00-18.00
4.
Shalat Maghrib
18.00-18.30
5.
Mengaji Al-Qur’an/Takhasus BTA
18.30-19.30
6.
Shalat Isya
19.30-20-00
7.
Madrasah Diniyyah dan Tahfidzul Qur’an
20.00-22.00
8.
Istirahat
22.00-04.00
2) Mingguan No
Aktifitas
Waktu
Hari
Keterangan
1.
Tahsin Al-Qur’an
05-00-06.00
Ahad
Santri Putri
2.
Muhafadzah/Tikraran
05-00-06.00
Jum’at
Santri Putri
3.
Pengajian Kitab
08.00-09.30
Ahad
Santri Putra/Putri
4.
Semaan Bil Ghaib
05-00-06.00
Jum’at
Santri Putri
5.
Tahsin Al-Qur’an
18.30-19.30
Selasa
Santri Putra
6.
Muhafadzah/Tikraran
05-00-06.00
Ahad
Santri Putra
7.
Semaan Bil ghaib
05-00-06.00
Ahad
Santri Putra
d. Pengasuh, Ustadz, dan Santri Perkembangan pesantren ini tidak lepas dari sosok pengasuhnya, yaitu KH Muhammad Thoha Alawy Al Hafidz. Pria yang akrab dipanggil “abuyya” oleh para santrinya ini lahir di Desa Rejosari, Kecamatan Karangawen, Kabupaten Demak,
70
Jawa Tengah pada tahun 1953.Bapak dari 10 anak dan kakek dari tiga cucu ini mengaku tidah pernah membayangkan akan menjadi pengasuh pondok pesantren saat masih kecil. KH Muhammad Thoha mengaku tidak pernah lepas dari Pendidikan Islam. Setelah bersekolah di SR Karangawen, dia langsung memasuki Madrasah Diniyah dan melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah di Desa Rejosari Kecamatan Karangawen.Namun saat melanjutkan Aliyah di Mranggen, Demak, ia tidak sempat selesai dan memutuskan untuk mondok di beberapa pesantren. Beberapa pesantren dari Semarang, Kudus,sampai Kediri ia tinggali. Keputusannya untuk merantau dari satu pesantren ke pesantren lain, membuatnya semakin terbawa untuk mempelajari Alquran lebih dalam. Sampai akhirnya di tahun 1978, ia berkesempatan untuk mengenyam pendidikan non-formal ke tanah suci. Di sana ia belajar mendalami Alquran dalam pendidikan non-formal selama empat tahun.Ilmunya tentang Islam pun semakin terasah, ketika 1982 memutuskan kembali ke Mekah untuk melanjutkan pembelajaran tersebut. Ia pulang ke Indonesia untuk menikahi istrinya di Banyumas. Selang dua bulan kemudian ia putuskan kembali ke Makkah bersama istri.Sekembalinya menimba ilmu dari Mekah, ia mulai merintis pengajian Alquran. Dimulai dari anak usia dini, ia mulai mengajarkan al-Qur’an di Masjid. Setelah itu, makin banyak orang yang belajar ke tempatnya di Desa Karangsalam Kidul. Awalnya,para santrinya datangmengaji
saat Ramadhan
saja.Namun, tanpa diduga santri yang ingin memperdalam ilmu di tempatnya semakin banyak dan akhirnya memutuskan untuk mendirikan Pondok Pesantren Ath-Thohiriyyah di Desa Karangsalam Kidul. Pada tahun 1992 dibangunlah gedung
71
untuk Madrasah Diniyah sebanyak tiga lokal, dan akhirnya hingga saat ini sudah ada beberapa pondokan (asrama) untuk menampung sekitar 150 santri. Dalam kamus kehidupannya, KH Muhammad Thoha mengaku percaya akan adanya proses kehidupan. Dia mengibaratkan, semua yang didapat berawal dari paling kecil lamakelamaan menjadi bukit. Ia percaya, ilmu itu datang berangsur-angsur, mulai dari yang kecil-kecil kemudian menjadi banyak. Meski memiliki ilmu agama yang mumpuni, ia tetap berusaha untuk membagikan ilmunya kepada anak didiknya. Ia selalu berprinsip bahwa sebagai muslim ia harus bisa selalu menularkan ilmu yang bermanfaat kepada orang lain.
Dalam mendidik para santrinya, pengasuh (abuya) didampingi oleh dua orang pengasuh lain yaitu Kyai Imam Mujahid dan Hj. Tasdiqoh (isteri abuya). Untuk proses pembelajarannya, pesantren ini memiliki para ustadz sebagai berikut: K. Sholeh Mufti, K. Rachmat, K. M. Sa’dullah, K. Amin Qusyairi,A. Ma, Ustadz Dr. Ridwan, M. Ag, Ustadz Dr. H. Muhammad Suraji, M. Ag, Ustadz Mufid Ardiansyah, S. HI, Ustadz Nur Halim, M. Pd I, Ustadz Munawir M.Si, Ustadz Ari Ristianto, S. Pd I, Ustadz Ithourrahman, Ustadz Shohibul Hiday, Ustadzah Hj. Rifqoh, S. HI, Al Hafidzah, Ustadzah Wiwin Nafisah Al Hafidzah, dan Ustadzah Nor Aini Al Hafidzah.
Dilihat dari santrinya, pesantren ini dapat dikatakan memiliki keunikan tersendiri, karena datangdari berbagai daerah di Indonesia, misalnya dari Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sebagian besar diantara mereka saat ini sedang mengeyam
72
pendidikan di Perguruan Tinggi. Mereka banyak yang datang ke pesantren ini karena tahu dari kiprah para alumninya. Saat ini terdapat kurang lebih 150 orang santri putra dan putrid yang belajar di pesantren ini. Umumnya, mereka adalah para mahasiswa di berbagai perguruan tinggi di Purwokerto, tetapi ada pula di antara mereka yang masih duduk di bangku SLTA.
3. Pondok Pesantren Darussalam
69
a. Sejarah Perkembangan Pondok
Pesantren
Darussalamyang
terletak
di
Desa
Dukuhwaluh
Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas ini dirintis pendiriannya oleh KH. Drs. Chariri Shofa, M. Ag. dan H. Djoko Sudantoko, S.Sos., M.M. (mantan Bupati Banyumas) pada bulan Dzulhijjah 1415 H atau bertepatan dengan bulan Mei 1994 M. Saat itu, di pemondokkan Haji Makkah mereka berdua sepakat untuk menjaga kemabruran hajinya dengan cara mendirikan pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam.Rencana itu terus berlanjut dengan pencarian lokasi dan penyediaan tanah untuk lahan pembangunan seluas 7090 m2 pada tahun 1996. Pada saat
itu,di
tengahpengurusan
sertifikat
tanah
di
BPPN
dan
pendirian
yayasan,bangunan pertama yang didirikan adalah asrama putra lantai pertama dan rumah ta’mir. Pada tahun 1997,akhirnya terbentuklan sebuah yayasan bernama “Darussalam” di bawah Notaris Turman, S.H. dengan personalia Badan Pendiri:H. Djoko Sudantoko, S.Sos., M.M. (Bupati Banyumas), Hj. Indarwati Djoko Sudantoko
69
Diolah dari http://pp-darussalam.blogspot.com/p/profil.html
73
(Istri Bupati), KH. Drs. Chariri Shofa, M.Ag. (Dosen STAIN Purwokerto), H. Prof. M. Tholib, S.E. (Dekan Fak. Ekonomi Unsoed), dan H.A. Yani Nasir, S.H. (Pengusaha). Pada tahun 1998, Djoko Sudantoko, S.Sos. M.M. diangkat menjadi Wagub II Bidang Pembangunan dan Ekonomi Jawa Tengah di Semarang, sehingga berbagai hal yang berkenaan dengan pembangunan pondok pesantren dan semua aktifitas yayasan “Darussalam” diserahkan kepada para pengurus yang berdomisili di Purwokerto, yaitu KH. Drs. Chariri Shofa, M.Ag. yang membidangi aktifitas pesantren dan H. A. Yani Nasir, S.H. yang membidangi pembangunan fisik. Aktifitas kepesantrenan dan pembangunan fisikseanjutnya
berjalan dari
waktu ke waktu secara bersamaan. Sejak bulan Syawal 1419 H/Februari 1998 diadakanlah kegiatan pesantren berupa pengajian rutin selapanan, yaitu setiap Senin Wage malam Selasa Kliwon. Pembangunan fisikpun terus berjalan dan pada tahun 2003 diresmikanlah Masjid Abu Bakar Siddiq. Selanjutnya pada hari Jumat 16 Shafar 1424 H bertepatan dengan tanggal 16 April 2003 M dimulailah jamaah shalat Jumat untuk yang pertama kali. Kemudian pada tanggal 1 Jumadil Awal 1424 H bertepatan dengan 1 Juli 2003 M dibukalah Madrasah Diniyah/TPQ.Sarana dan prasarana yang sudah ada sampai saat ini adalah masjid seluas 18 x 24 m, asrama putra lantai pertama seluas 10 x 40, asrama putri dua lantai, kamar mandi, garasi/tempat parkir kendaraan seluas 6 x 9 m, rumah pengasuh dan dapur umum seluas 8 x 9 m, tempat wudhu, lapangan bola volley dan lapangan badminton.
74
b. Visi dan Misi Pesantren Dilihat dari visinya, pesantren ini ingin mewujudkan kader muslim yang shalih, berakidah yang kuat, konsisten menjalankann syari’at Islam, berakhlak mulia, memiliki kedalaman ilmu dan berwawasan luas, serta memiliki keterampilan yang memadai. Untuk mewujudkan visi tersebut, pesantren ini merumuskan berbagai misi sebagai berikut: 1) Mencetak kader-kader muslim yang shalih dan shalihah, memiliki iman yang kuat dengan menanamkan nilai-nilai Akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. 2) Menyediakan sumber daya manusia yang mendalami syari’at Islam dan konsisten mengamalkannya di tengah-tengah masyarakat. 3) Mewujudkan manusia yang berakhlakul karimah, sehat jasmani dan rohani, yang dapat menjadi teladan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. 4) Mewujudkan insan muslim yang memiliki kedalaman ilmu dan keluasan wawasan, taat mengamalkan, mengembangkan dan menyebarluaskan dalam kehidupannya sehari-hari. 5) Menyiapkan calon pemimpin yang memiliki keterampilan yang memadai seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mengimplementasikan visi misi di atas, pesantren ini kemudian merumuskan berbagai turunan tujuan sebagai berikut: 1)
Mencetak calon pemimpin yang menguasai agama secara komprehensif
75
2)
Mewujudkan manusia yang memahami dan menguasai iptek dengan pembukaan pendidikan formal.
3)
Menyiapkan santri yang menguasai bahasa asing secara reseptif maupun ekspresif terutama bahasa Arab dan Inggri.
4)
Membekali para santri dengan ilmu organisasi dan manajemen dengan kursus dan workshop.
5)
Membekali para santri dengan menguasai ilmu dakwah
6)
Membekali para santri agar mengetahui dan memahami metode diskusi
7)
Menyalurkan bakat dan minat para santri dalam berbagai keterampilan olah raga dan seni dengan berbagai latihan.
c. Model pendidikan dan Kurikulum Secara umum, pendidikan yang diterapkan di Pesantren Darussalam adalah model salafi dalam bentuk klasikal, non klasikal, sorogan, dan bandungan. Pendidikan klasikal dilakukan dengan program pendidikan madrasah diniyah. Secara non klasikal,misalnya terdapat forum munadzarahatau bahts al kutub wa al masa’il al diniyah dan latihan muhadharah (ceramah di depan umum) bagi para santri.Di luar kegiatan yang ditujukan kepada internal santri, pesantren ini memiliki program yang ditujukan kepada eksternal dan internal pesantren berupa pengajin umum harian, mingguan, bulanan, selapanan dan hari-hari besar Islam. Terdapat pula pengajian rutin kelompok tertentu: khusus wanita, remaja, dan dewasa. Dilihat dari kontennya, materi pendidikan dan pengajaran yang ada di pesantren ini meliputi: Al Qur’an, Tajwid dan Ulumul Qur’an,Hadist dan Ulumul
76
Hadist, Fiqh dan Ushul Fiqh, Ilmu Balaghah (Ilmu Bayan, Ma’ani, dan Badi’), Bahasa Arab (Qiro’ah, istima’, kitabah, dan takallum), Ilmu Alat ( Nahwu dan Shorof), Bahasa Inggris, Praktek ibadah, Metode dakwah, Metode diskusi, Berbagai ilmu pengetahuan umum, ditambah dengan materi penunjang berupa ketrampilan dan ketangkasan berupa seni bela diri, seni hadrah, jurnalistik, keterampilan komputer, serta olah raga.
d. Fasilitas Pesantren Saat ini Pesantren Darussalam memiliki berbagai fasilitas sebagai berikut: masjid berukuran 18 x 24 m, asrama putra lantai pertama seluas 10 x 40 m, asrama putri dua lantai seluas 2 x 10 x 40 m, kamar mandi pengasuh dan dewan asatidz 4 buah, kamar mandi putri 18 buah, dan kamar mandi putra 12 buah, garasi/tempat parkir kendaraan seluas 6 x 9 m, rumah pengasuh/ta’mir, dapur umum seluas 8 x 9 m, tempat wudhu, lapangan bola volley, dan badminton.
e. Pengasuh, Dewan Asatidz, dan Santri
Sebagaimana umumnya pesantren, Pesantren Darussalam diasuh oleh sejoli yaitu Drs. KH. Khariri Shofa, M.Ag. dan isterinya, Dra. Hj. Ummi Afifah, M.S.I.Suami-isteri ini adalah dua sosok pengasuh yang memiliki peran dan prestasi yang cukup membanggakan bagi putra-putri dan para santrinya. Drs. KH. Khariri Shofa, M.Ag.adalah dosen Fakultas Syari’ah IAIN Purwokerto, mantan Ketua PCNU Banyumas, Ketua MUI Banyumas, dan mantan Ketua STAIN Purwokerto, sementara Dra. Hj.Ummi Afifah, M.S.I dalah seorang guru di MAN 1 Purwokerto.
77
Pasangansuami-isteri ini adalah Juara Pertama Lomba Keluarga Sakinah Tingkat Nasional pada tahun 2014. Dalam menjalankan aktivitas pembelajaran di pesantren, pengasuh dibantu oleh para ustadz/ustadzah, yaitu: Ustadz H. ImamLabib Hibaurrohman, Lc., Ustadz SugengRiyadi Syamsudien, SE. M.S.I., Ustadz Enjang Burhanuddin, S.Ag, M.A, Ustadz Muhammad Shofiyulloh, S.Pd, M.S.I , Ustadzah Farah Nuril Izza, Lc. M.A., Ustadzah Dewi Laela Hilyatin, SE. M.S.I., Ustadz Tauhid, S. Ag., M.S.I., Ustadzah Naeli Rosyidah, S.S., M. Hum., Ustadz M. Husnul Maab, S. Sos., dan Ustadz Ainul Yaqin, S.H.I. Dilihat dari para santrinya, Pesantren Darussalam saat ini memiliki kurang lebih 200 orang santri putra dan putri. Mereka adalah siswa-siswi SLTA (SMA dan MA) dan para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Purwokerto, misalnya IAIN Purwoketo, Unsoed, UMP, dan sebagainya. Mereka adalah para santri tetap yang mukim (tinggal dan menginap) di Pondok Pesantren Darussalam. Di luar santri mukim ini, terdapat pula para santri kalong dan santri usia anak-anak yang berada di sekitar pesantren. Mereka adalah para santri cilik yang mengaji di Taman Pendidikan al Qur’an yang dikelola oleh para santri. B. Nilai-nilaiPesantren sebagai Landasan Pengembangan Kepribadian Santri Selanjutnya, berdasarkan hasil wawancara dan analisis terhadap profil tiga pesantren di atas, penulis mencoba melakukan pemetaan terhadap nilai-nilai yang menjadi landasan pengembangan kepribadian santri, yang selanjutnya bermuara pada ciri atau karakteristik kepribadian santri. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut:
78
1. Nilai Keilmuan Sebagaimana dinyatakan oleh Suparjo, etos intelektual merupakan identitas kultural dari komunitas pesantren. Hal ini karena seluruh perikehidupan santri di pesantren
merupakan sebuah proses pendidikan atau pencarian ilmu. Hampir
seluruh waktu santri digunakan untuk untuk belajar; yaitu mengaji dan sekolah, dan ibadah mahdhah, bahkan kegiatan mengaji dan sekolah ini diniatkan pula sebagai ibadah. Selebihnya, santri memiliki sedikit waktu luang untuk kegiatan pribadi dan istirahat. Nilai atau etos keilmuan santri ini sungguhnya dipengaruhi oleh sikap, pandangan, dan kehidupan kyai dan para ustadz sehari-hari. Perikehidupan kyai dan ustadz biasanya meliputi aktivitas mengaji, beribadah, dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dilihat dari perannya, Kyai adalah murabbi (pendidik dan pengajar) bagi para santrinya, sedangkan para santri adalah murid yang menjadi ibnu sabil atau pengelana ilmu. 70 Di pesantren an Najah, ath-Thohiriyah, dan Darussalam, etos keilmuan kyai dan santri dapat ditangkap dari padatnya aktivitas pengajian santri, dari sejak bangun tidur sampai menjelang tidur. Sejak bangun tidur, setelah Sholat Subuh, santri sudah harus mengikuti pengajian bandungan (pengajian kitab secara kelompok besar) atau pengajian Al-qur’an secara musyafahah. Selanjutnya, setelah mandi dan sarapan pagi, mereka belajar di bangku pendidikan formal, sesuai sekolah dan kampus masing-masing, sampai siang dan sore hari. Di sore hari, sekembalinya ke pesantren, para santri kembali disibukkan dengan aktivitas
70
Lihat Suparjo, Komunikasi Interpersonal….., hal. 31
79
mengaji di pesantren, baik secara klasikal maupun non klasikal. Dengan demikian, dilihat dari dayly activities yang ada di pesantren, maka dapat dikatakan bahwa 90 % nya adalah aktivitas “ngelmu”. Nilai-nilai keilmuan yang dimiliki santri tampaknya merupakan refleksi dari nilai-nilai keilmuan para kiyai dan ustadznya. Misalnya, Bapak pengasuh pondok pesantren Darussalam adalah alumni pesantren, mubaligh terkenal, Dosen di IAIN Purwokerto, dan saat ini sedang menyelesaikan studi di S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Demikian pula halnya dengan Ibu pengasuh yang seorang hafidzah, bergelar S2, dan seorang guru di MAN 1 Purwoketo. Demikian pula dengan anak-anak dan menantu mereka. Salah seorang putri pengasuh adalah calon dokter lulusan Unsoed Purwokerto, sedangkan yang lain ada yang telah lulus S 2, sedang S 3, dan sebagainya. Setiap hari para santri di pesantren ini tentu saja dapat menyaksikan bagaimana para ustadz yang umumnya adalah para guru dan lulusan S2 selalu bergelut dengan aktivitas mengajar, kuliah, belajar, membaca buku, dan berinteraksi dengan para santri dalam kegiatan belajar-mengajar. Hal ini, tentu saja akan mempengaruhi dan menginspirasi para santri untuk senantiasa menjadi orang yang senang belajar dan mau melanjutkan studi setinggi-tingginya, baik ke jenjang S 2 maupun S 3. Sebagaimana halnya dengan Pesantren Darussalam, Pesantren an Najah adalah sebuah pesantren yang sangat menjunjung tinggi nilai keilmuan, jika mengingat bahwa para santrinya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Purwokerto, terutama IAIN Purwokerto. Dari aktivitas jadual kegiatan di
80
pesantren ini, yang tidak berbeda jauh dengan Pesantren Darussalam, tercermin bahwa aktivitas harian santri tidak jauh dari kuliah dan “ngaji”. Demikian pula dengan pengasuh dan ustadz-ustadznya. Sang pengasuh, yang biasa dipanggil Abah Roqib oleh para santrinya, adalah seorang Dosen di IAIN Puwokerto. Peran sebagai dosen dan kiyai ini tentu saja tidak akan jauh dari aktivitas membaca kitab kuning, buku, seminar, diskusi, menulis makalah, dan sebagainya. 71 Demikian pula halnya dengan para ustadz di pesantren ini yang sebagian besar adalah alumni pesantren dan juga dosen di berbagai perguruan tinggi di Purwokerto. Hal ini tentu saja akan memberikan inspirasi dan motivasi kepada para santri tentang pentingnya ilmu dan upaya mencari ilmu, baik dari bangku formal (kuliah) maupun dari pesantren. Beberapa santri senior atau pengurus pesantren ini terbukti kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pascasarjana (Strata 2). Berbeda halnya dengan dua pesantren sebelumnya, pengasuh pesantren Ath-thohiriyah bukanlah sosok yang dilahirkan dari bangku perguruan tinggi (dengan gelar akademik). Nilai keilmuan yang dimiliki oleh sang pengasuh, Abuya Toha, tercermin dari latar belakang beliau yang merupakan seorang hafidz Qur’an, alumni dari berbagai pesantren di Jawa, dan pernah tinggal di Mekkah untuk memperdalam ilmu al-Qur’an. Meskipun bukan orang “sekolahan”, Abuya selalu memotivasi para santrinya agar dapat menuntut ilmu setingi-tingginya, baik secara formal (kuliah) maupun non-formal, yaitu dengan menuntut ilmu di pesantren lainnya, sebagaimana diakui oleh salah seorang santrinya kepada penulis. Terlebih 71
Seorang santri pesma an Najah mengunkapkan bahwa ia biasa menyaksikan kyainya yang sangat lama dalam membaca buku. Hal ini mendorong ia untuk dapat mengikuti jejaknya.
81
lagi, Abuya juga memiliki 10 orang putra-putri yang juga dikirim pesantren atau belajar ke Mesir. 72 Semangat keilmuan yang dimiliki oleh para pengasuh dan ustadz pesantrean pada dasarnya merupakan nilai yang akan memfasilitasi dan mengantarkan para santri agar dapat menjadi sosok (pribadi) yang cinta ilmu, mengutamakan ilmu, dan terbuka terhadap ilmu. Hal ini dibarengi dengan adanya pentingnya nilai kesabaran, ketabahan, keikhlasan, dan keistiqamahan dalam menuntut ilmu. Hal inilah yang selalu ditanamkan oleh para Kyai da para ustadz di pesantren. Semangat keilmuan ini tidak saja ditekankan dalam hal menuntut ilmu agama (kepesantrenan), tetapi juga ilmu-imu umum, sesuai dengan disiplin keilmuan (jurusan) yang ditekuni oleh para santri di sekolah dan perguruan tinggi. Para pengasuh dan para ustadz dari ketiga pesantren ini ampaknya tidak pernah melakukan diskriminasi (dikotomi) terhadap ilmu agama dan ilmu umum. Meskipun misalnya Abuya Toha sangat menekankan pentingnya kuliah, tetapi beliau tetap memberi batasan agar tidak menomorsatukan aktivitas kuliah dan mengalahkan aktivitas pesantren. Artinya, para kiyai di ketiga pesantren ini mampu mengambil sikap yang sama terhadap ilmu agama maupun ilmu umum secara komplementer, bukan menegasikan salah satu di antara keduanya. Jadi, antara sekolah dan “ngaji” tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya dianggap samasama penting. Hal ini tampaknya memperkuat tesis Lukens-Bull tentang keberhasilan pesantren dalam melakukan penyesuaian diri terhadap nilai-nilai 72
Wawancara dengan Agung, salah seorang santri Ath-thohiriyah, pada tanggal 16 September 2015
82
kemodernan, khususnya terhadap kebutuhan terhadap ilmu pengetahua umum (sains). 73 Nilai keilmuan di pesantren tampak pula dari bervariasinya kitab-kitab kuning yang dikaji oleh civitas akademikanya, mulai dari kitab fiqih seperti fathul qarib, kitab akidah, kitab tafsir, kitab hadits, kitab tasawuf, dan sebagainya. Kajian terhadap beragam kitab klasik yang ditulis oleh para ulama terkemuka ini menunjukkan bahwa santri di pesantren dibiasakan untuk menghargai karya ilmiahkeagamaan dan selalu menjaga ketersambungan dengan orang-orang yang berilmu yang autoritatif di bidang keilmuannya. Terlebih lagi, di pesantren biasanya selalu dikaji sebuah kitab yang membahas aspek-aspek terkait dengan keilmuan yaitukitab ta’limul muta’allim.Kitab ini membahas keutamaan dan kedudukan ilmu, etika mencari ilmu, dan klasifikasi ilmu, Kitab ini dikaji baik dalam bentuk sorogan maupun bandungan.Di pesantren an Najah, orientasi keilmuan (akademik) tidak saja dapat dilihat dari aktivitas para kyai, ustadz, dan santrinya dalam kuliah, “ngaji”, membaca dan mengkaji kitab kuning atau buku, tetapi terlihat pula dalam kegiatan seperti Studi Islam Intensif Libran (SIIL), serta latihan dan lomba kepenulisan. Sebagaimana telah diungkap di atas, pengasuh, ustadz, dan sebagian santri di pesantren ini telah menulis beberapa karya buku, baik ilmiah maupun non ilmiah (sastra).
73
Lukens-Bull (1998). Ibid
83
2. Nilai Kemandiriandan Tanggungjawab Nilai yang menjadi ciri khas pesantren berikutnya adalah orientasi pesantren dalam membentuk santrinya agar dapat menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggungjawab. Hal ini tercermin dalam mekanisme kehidupan pesantren yang membiasakan santri untuk melakukan aktivitas pribadi seperti mencuci baju, mengatur keuangan untuk kebutuhan sehari-hari, dan mengatur waktu. Meskipun saat ini telah banyak bermunculan jasa cuci-seterika (laundry), umumnya pesantren masih menekankan para santri untuk dapat mencuci bajunya sendiri. Hal ini tentu saja membuat santri untuk teriasa hidup mandiri. Nilai tanggungjawab ditanamkan oleh pengasuh melalui pemberian wewenang kepada para santri untuk membuat kepengurusan santri yang bertugas mengatur atau mengelola berbagai aspek terkait dengan keberlangsungan kehidupan santri di pesantren, misalnya terkait dengan kegiatan belajar mengajar, keamanan, kebersihan, pengembangan bakat dan minat santri, olahraga, konsumsi, dan sebagainya. Hal ini ditambah pula dengan adanya aktivitas (acara) insidental di dalam pesantren, baik yang diprogramkan oleh pesantren sendiri maupun berbagai kegiatan oleh pihak luar yang mengambil tempat di pesantren tersebut. Untuk kegiatan yang bersifat insidental dan diprogramkan oleh pesantren sendiri misalnya adalah kegiata akhirussanah, khataman, pengajian umum, seminar, dan sebagainya. Untuk mensukseskan acara ini, pengasuh biasanya mendelegasikan santri untuk membentuk kepanitiaan tertentu, dengan melibatkan seluruh santri untuk berpartisipasi dalam acara ini. Panitia inilah yang akan bertugas dalam
84
menyiapkan jadwal acara, membuat proposal dan anggaran, menghubungi pembicara, mencari dana, penyiapan tempat mengatur perpakiran dan keamanan, kebersihan, pengadaan sound system, dan sebagainya. 74 Pola ini akan memberi kesempatan kepada semua santri untuk dapat berlatih dalam menunaikan tanggung jawab atau tugas. `
Sikap kemandirian dan penuh tanggung jawab merupakan modal pribadi
yang sangat bermanfaat bagi para santri ketika mereka nantinya telah memasuki usia dewasa, yaitu saat hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Sebagai anggota keluarga, mereka akan menjadi seorang suami atau isteri yang akan berpisah dari orangtuanya sekarang, kemudian hidup mandiri, mencari nafkah, dan membesarkan anak-anak mereka. Secara eksternal, mereka juga akan hidup sebagai pribadi yang tidak akan lepas dari tugas menjalankan tanggung jawab (tugas) di tempat kerja dan di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Dengan bekal yang telah didapatkan di pesantren, para alumni di pesantren akan hidup sebagai pribadi yang dewasa, matang, serta tidak menyusahkan orang lain 3. Nilai Kesederhanaan Nilai ini dapat dilihat dari adanya pola hidup sederhana yang dibiasakan di pesantren. Misalnya, dilihat dari asrama (tempat tinggal santri), para santri umumnya harus tinggal cukup berdesakan dalam sebuah bilik kamar. Saat malam tiba, mereka harus tidur dengan alas sederhana dari tikar atau kasur tipis tanpa dipandan fasilitas lain yang biasanya terdapat di hotel atau kos-kosan. Apabila 74
Hal ini diakui oleh salah seorang santri Ath-thohiriyah, yang menyatakan bahwa ia pernah memiliki pengalaman berharga saat ditunjuk menjadi ketua panitia dalam sebuah acara tahunan di pesantrennya.
85
biasanya satu kamar kos-kosan dihuni oleh satu atau dua orang mahasiswa (siswa), maka satu kamar di pesantren dapat dihuni sampai 10 orang santri. Bahkan, bagi pesantren yang model asramanya adalah ruangan sebesar ruangan kelas, maka penghuninya menjadi lebih banyak. 75 Biaya makan di pesantren umumnya juga tidak terlalu mahal, karena pihak pesantren memahami betul latar belakang sebagian besar para santrinya, yang memang bukan dari keluarga berada. Meskipun tidak seperti pesantren jaman dulu, yang sangat kental kebersahajaannya, ketiga pesantren, yaitu an Najah, Aththohiriyah, dan Darussalam, tetap menampakkan nilai-nilai kesederhanaannya. Misalnya, di ketiga pesantren ini terdapat batasan dalam menonton TV, mengakses internet, penggunanaan
hand phone, dan sebagainya. Aturan seperti ini pada
dasarnya merupakan bentuk pengkondisian agar para santri tidak biasa manja dan bernyaman-nyaman ria dengan segala fasilitas atau teknologi. Adanya nilai-nilai kesederhanaan yang dimiliki pesantren mengindikasikan bahwa para santri nantinya diharapkan akan menjadi individu yang hidup sederhana atau tidak bermewah-mewah. Pilihan ini tidak berarti kemudian melarang santri untuk menjadi orang kaya, melainkan sebuah nilai yang menekankan bahwa dalam hidupnya seorang muslim sesungguhnya adalah pribadi yang tidak terlena dengan kekayaan dan harta yang dimilikinya. Dalam khazanah tasawuf dikenal sebuah
75
Dalam sebuah kesempatan wawancara dan observasi di Pesma an Najah, penulis menyaksikan langsung adanya orangtua santri yang mohon kepada pengasuh agar anaknya dapat tinggal di luar pesantren, agar bisa lebih nyaman dan tingggal sendirian dalam satu kamar, karena anaknya tidak biasa tidur di lantai dan tinggal beramai-ramai di kamar. Terdapat pula orangtua yang mau memasukkan anaknya ke pesantren ini, tetapi dengan permintaan kamar yang khusus.
86
sikap hidup yang dianggap negatif, dan harus dijauhi oleh seorang musim, yaitu hubbud dunya (cinta harta). 4. Nilai Sosial dan Kebersamaan Nilai ini dapat dipahami dari bagaimana mekanisme hidup yang ada di di sebuah miniatur kehidupan yang bernama pesantren. Mekanisme kehidupan ini diwarnai dengan nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan, dan kegotongroyongan. Nilai ini dapat ditangkap dari bagaimana ketika para santri menunaikan shalat berjamaah, dzikir bersama, ngantri mandi, tidur bersama, makan bersama, ronda bersama, belajar bersama, kerja bakti bersama, olah raga bersama, dan sebagainya. Peri-kehidupan sosial seperti ini sejatinya akan membentuk muslim yang tumbuh menjadi pribadi yang peduli, mau berbagi, dan tidak egois. Berbeda dengan budaya barat yang cenderung individualistis, pesantren cenderung menekankan budaya komunal atau kebersamaan. 5. Nilai Demokrasi dan Kepemimpinan Nilai ini dapat ditangkap dari mekanisme kehidupan pesantren yang diwarnai oleh struktur pesantren yang mirip dengan sebuah pemerintahan dalam sebuah wilayah. Di pesantren terdapat struktur yang menggambarkan bahwa pengasuh adalah top leader yang menjadi pemimpin tertinggi yang bertugas mengarahkan pesantrennya ke arah visi yang hendak dicapainya. Selanjutnya, para ustadz yang lebih konsen dalam menjalankan tugas mendidik dan mengajar para santrinya, kemudian di bawahnya terdapat pengurus, biasanya terdiri dari Lurah (dijabat oleh santri senior) dan seksi atau departemen yang dijabat oleh santri-santri
87
yang lebih yunior. Mereka bertugas mengatur
segala aktivitas kehidupan dan
kebutuhan santri di pesantren. Para pengurus ini biasanya sering mengadakan rapat atau musyawarah bersama, misalnya dalam menentukan jabatan (memilih orang dalam sebuah kepanitiaan), merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program
(kegiatan).
Kepengurusan
ini
bekerja
dalam
sebuah
periode
kepemimpinan dan bertanggungjawab langsung kepada pengasuh. Menurut pengakuan seorang santri di Ath-thohoriyah, yang pernah mendapatkan amanah sebagai ketua panitia dalam sebuah kegiatan pesantren, ia merasa mendapatkan sebuah pengalaman berharga saat harus mengatur temantemannya, mendelegasikan tugas, dan saat menghadapi berbagai orang dengan berbagai latar belakang. Di lain kesempatan, seorang santri lain harus memimpin diskusi (musyawarah) dalam sebuah kegiatan belajar bersama yang membahas berbagai permasalahn fikih atau kitab tertentu. Dalam forum ini santri tersebut banyak belajar soal membagi waktu, memberi kesempatan kepada audiens, menyimpulkan,
menghargai perbedaan (toleransi), dan sebagainya. Dalam
kesempatan lain, santri bisa saja akan mendapatkan kesempatan untuk menjadi imam shalat, imam tahlil, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman seperti ini tentu saja akan membentuk jiwa kepemimpinan pada diri santri. Hal ini sangat penting bagi pengembangan pribadi santri yang akan sangat bermanfaat ketika nantinya ia setelah keluar dari pesantren harus dapat memimpin keluarga, organsasi, dan masyarakat.
88
6. Nilai Spiritualitas dan Moralitas Dua nilai ini sesungguhya merupakan aspek yang terkait dengan nilai ketuhanan yang melandasi setiap gerak pesantren. Nilai ketuhanan iniah yang menjadi orientasi, titik tolak, sekaligus visi pengembangan pribadi santri. Sebagai contoh, di pesantren terdapat sebuah keyakinan bahwa mencari ilmu(ngaji) adalah sebuah bentuk ibadah dan ilmu adalah berasal dari Allah, sehingga santri harus sering-sering memohon kepada Allah agar dapat diberi kemudahan belajar, diberi kepahaman, dan diberi imu yang bermanfaat, dalam rangka menggapai ridla Allah Swt.Tanpa ruh ini tentu saja psantren hanya tinggal bangunan fisik yang tak akan banyak berarti. Nilai ketuhanan iniah yang kemudian melahirkan buah dalam bentuk perilaku santri yang menjunjung moralitas.Moralitas di sini sangat terkait dengan bagaimana santri menjaga perilaku dirinya agar selalu mengarah kepada hal-hal yang baik; misalnya menjaga shalat lima waktu, mudah membantu orang lain, dan peduli kepada masyarakat, serta menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak diperkenankan oleh syara’, misalnya dalam hal pergaulan dengan lawan jenis, menutup aurat, dan sebagainya. Tidak berlebihan jika kemudian dikatakan bahwa praktek
pendidikan yang ada di pesantren adalah merupakan sebuah bentuk
pendidikan ketuhanan (divine education). Istilah divine education dapat diartikan sebagai pendidikan dan pengajaran yang berlandaskan nilai-nilai spiritual-keagamaan. Prinsip ini dapat dijadikan ruh pendidikan di pesantren. Artinya, segala aktivitas pedidikan dan pengembangan pribadi santri di pesantren sesungguhnya harus berangkat pada keyakinan bahwa
89
dalam mendidik santri, peran seorang pengasuh tidak dapat terlepas dari pertolongan Allah. Nilai semacam ini sesungguhnya telah dimiliki oleh para kyai di pesantren. Segala aktivitas kehidupan pesantren biasanya akan dilandasi dengan do’a, wirid, shalat malam, puasa sunnah, dan sebagainya. Dengan cara semacam ini, pengasuh atau kyai di pesantren biasanya telah memiliki kekuatan ruhiyah untuk dapat membimbing para santrinya, termasuk ketika harus menyelesaikan berbagai permasalahan yang dialami oleh para santrinya. Amalan-amalan tersebut tidak saja dilakukan oleh kyai sebagai pengasuh atau pendidik, tetapi diamalkan pula oleh para santri secara keseluruhan. Kekuatan spiritual semacam inilah yang selama ini tidak diperhatikan oleh para ahli pendidikan dan pengembangan diriyang sekuler. Mereka tidak menyadari bahwa pendidikan dan pengembangan pribadi yang sejati seharusnya merupakan aktifitas memohon pertolongan Allah untuk dapat membimbing para individu dalam berbagai aspeknya.
C. Proses Pengembangan Kepribadian Muslim di Pesantren 1. Proses Pengembangan Kepribadian Santri Melalui Modelling (peneladanan). Peneladanan yang dimaksud di sini adalahproses mencontoh pemikiran, sikap, sifat-sifat, dan perilaku orang-orang yang dikagumi untuk kemudian mengambil-alihnya menjadi sikap, sifat, dan perilaku pribadi. Hal ini terjadi dalam dua ragam peneladanan, yaitu peniruan (imitation) dan identifikasi diri (self identification). Peniruan adalah upaya untuk menampilkan diri dan berlaku seperti penampilan dan perilaku orang yang menjadi idola (dikagumi), sementara identifikasi diri adalah pengambil-alihan nilai-nilai (values) dari tokoh-tokoh yang
90
dikagumi untuk selanjutnya dijadikan nilai-nilai pribadi (personal values) yang berfungsi sebagai pedoman dan arah pengembangan diri. 76 Dalam pesantren, saat memberikan pengajian, kyai atau ustadz biasanya memanfaatkan kisah-kisah inspiratif dan bernuansa keteladanan untuk menguatkan nasihatyang mereka sampaikan dalam forum. Kisah-kisah ini bersumber dari kisah Nabi, sahabat, ulama, atau tokoh-tokoh dalam bidang tertentu, yang dibaca dari buku sirah, internet, majalah, surat kabar, dan pengalaman sehari-hari. Dari bacaan terhadap kisah-kisah ini, kemudian dilakukan sebuah perenungan dan ajakan untuk bersamasama mengambil hikmah yang ada di dalamnya, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Proses identifikasi atau peneladanan yang ada dalam pesantren dapat dilihat pula dalam konteks interaksi atau relasi antara kyai (dan ustadz) dengan para santrinya. Beberapa kualifikasi pribadi yang biasanya dimiliki oleh seorang kyai, yang
meliputi
dimensi
ruhiyah(spiritual),
fikriyah(intelektual),
dan
sulukiyah(perilaku) mengandung isyarat bahwa dalam pesantrenterjadi proses bimbingan dan pembinaan melalui bahasa perbuatan. Artinya,para santrisecaratidak langsung akan mengubah sifat dan perilakunya atau mengembangkan dirinya ke arah yang lebih baik dengan cara melakukan identifikasi diri terhadap kyai sebagai pembimbingnya. Demikian halnya dengan hubungan santri dengan para ustadz yang mengajar di pesantren. Sebagaimana dapat dibaca dalam dalam profil ketiga pesantren, para ustadz di pesantren an Najah, Aththohiriyah, dan Darussalam, adalah para pribadi yang memiliki keahlian di bidang masing-masing, misalnya 76
Bastaman
91
sebagai guru dan dosen. Dalam interaksi antara santri-kyai dan santri-ustadz terdapat sebuah proses identifikasi yang sangat efektif bagi pembentukan pribadi santri. Tidak menutup kemungkinan pula bahwa, dalam aspek-aspek tertentu, antara santri yang satu, biasanya yang lebih senior, dengan santriyang lain akan terjadi proses saling mencontoh (meneladani). 2. Proses Pengembangan Kepribadian Santri Melalui Pembiasaan Diri Pembiasaandiri adalah melakukan suatu perbuatan yang positif atau keterampilan secara terus-menerus secara konsisten dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga perbuatan atau keterampilan tersebut benar-benar dikuasai dan akhirnya menjadi sebuah kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Proses ini biasa disebut dengan conditioning. Proses ini akan menjelma menjadi kebiasaan (habit), kebisaan (ability), dan akhirnya menjadi sifat-sifat pribadi (personal traits) yang terwujud dalam perilaku sehari-hari. 77 Dalam pesantren,kyai, ustadz, dan para santri biasanya mengkondisikan secara bersama-sama untuk memahami arti penting nilai-nilai akhlak mahmudah, menanamkan, saling mengingatkan, dan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari, baik saat bersama maupun sendiri. Beberapa tindakan positif yang dipraktekkan atau dibiasakan di dalam pesantren adalah meliputi shalat berjama’ ah, membaca Al-Qur’an, membaca buku, wiridan, piket kebersihan, dan sebagainya. Pembiasaan tindakan positif yang dilakukan oleh komunitas pesantren ini pada dasarnya merupakan implementasi dari tujuan pengembangan kepribadian muslim yang dalam bahasa dirumuskan sebagai 77
Hasan al Banna
membentuk sosok pribadi muslim yang berakidah lurus,
92
beribadah dengan benar, berakhlak tangguh, mampu bekerja atau mandiri, berwawasan luas, berbadan sehat dan kuat, memiliki etos kerja yang tinggi, tertata urusannya, efektif dengan waktunya, dan bermanfaat bagi orang lain. Aspek pembiasaan
secara
bersama-sama
yang
ditumbuhkan
dalam
pesantren
sesungguhnya juga merupakan upaya komunitas pesantrenuntuk senantiasa menjaga komitmen seorang muslim terhadap Islam itu sendiri. Komitmen ini mencakup bagaimana mereka senantiasa meneguhkan akidah (keyakinan) mereka terhadap Islam, berfikir, beramal, dan berakhlak dengan nilai-nilai islam. Komitmen muslim sejati tidak akan terlalu efektif apabila dilakukan secara sendirisendiri, melainkan diperlukan sebuah upaya bersama-sama atau jama’ah. Pesantren adalah komunitas yang akan memfasilitasi para anggotanya dalam membangun komitmen mereka sebagai muslim. 3. Proses Pengembangan Kepribadian Santri Melalui Pemahaman Yang dimaksud dengan pemahaman diri adalah proses mengenali secara obyektif berbagai kekuatan dan kelemahan diri, baik yang potensial maupun yang telah teraktualisasi, dan kemudian mengembangkan atau meningkatkan hal-hal yang positif serta mengurangi atau menghambat hal-hal yang negatif. Di dalam pesantren,kegiatan evaluasi diri (muhasabahatau monitoring) merupakan hal yang sangat ditekankan, baik terkait dengan masalah pemahaman santriterhadap kondisi dan kompetensi dirinya maupun berkenaan dengan tingkat pemahaman
dan
komitmen mereka terhadap ajaran Islam, mulai dari aspek ibadah harian, seperti shalat wajib, shalat sunnah, puasa, tilawah, hafalan Al-Qur’an, dan sebagainya,
93
sampai kepada persoalan akidah, akhlak, dan seterusnya. Proses ini biasanya terjadi pula ketika kyai dan para ustadz di pesantren melakukan test lisan, bertanya, dan mengamati periaku para santrinya. Hasil supervisi ini biasanya akan disampaikan secara individual kepada seorang santri secara empat mata atau secara umum umum di hadapan para santri saat ada kesempatan pada pertemuan forum besarpesantren. 4. Proses Pengembangan Kepribadian Santri Melalui Bimbingan Individual Proses ini dapat ditangkap dari adanya praktek (tradisi) sowan terhadap kyai yang ada dalam masyarakat pesantren. Di ketiga pesantren yang menjadi lokasi penelitian ini, setiap santri biasanya memiliki keempatan untuk menghadap dan berbicara kepada kyai dalam sebuah kesempatan face to face (empat mata). Kesempatan ini bisa terjadi kerena berangkat dari kemauan seorang santri untuk menghadap (konsultasi) tentang diri dan masalahnya atau karena Sang Kyai sendiri yang memanggil yang bersangkutan untuk menghadap. Dalam kesempatan seperti ini, sang santri biasanya akan menghadap kyai dengan diawali mencium tangan kyai saat jabat tangan, duduk bersimpuh, dan menceritakan segala permasalahan pribadinya (curhat). Selanjutnya, sang kyai akan mendengarkan, bertanya, dan berusaha
memahami
permasalahan
santrinya,
kemudian
menasihati
dan
mendo’akan agar santrinya berhasil (sukses) atau dimudahkan urusannya. Termasuk dalam proses ini adalah saat santri pertama kali datang atau mendaftarkan dirinya ke pesantren. Biasanya, si santri bersama orangtuanya akan terlebih dahulu sowan kyai melakukan ijab-kabul (serah-terima), yaitu dari si
94
orangtua santri yang memberi amanah kepada kyai yang akan menerima amanah sebagai pengasuhnya. Dalam kesempatan ini biasanya santri (dan orangtua) akan mendapatkan pencerahan tentang perikehidupan pesantren dan diakhiri do’a dan harapan agar si santri betah dan sukses belajarnya. 5. Proses
Pengembangan
Kepribadian
Santri
melaluiPengakraban
Hubungan
(Encounter). Pengakraban hubungan, yaitu meningkatkan hubungan baik dengan pribadipribadi tertentu, misalnya anggota keluarga, teman, kelompok pengajian, dan rekan kerja, sehingga tercipta suasana saling percaya, saling membutuhkan, dan saling membantu. Hal inilah yang menjadi karakteristik pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki budaya komunal yang kental. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu aspek yang menjadi kekuatan pesantren adalah diterapkannya nilai-nilai ukhuwah secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, kebersamaan saat makan bersama, tidur bersama, belajar bersama, dan menjalankan tugas dari pesantren dalam kepanitiaan bersama, dan sebagainya. Dengan daya dan kekuatan dari Allah SWT, sistem ini akan mampu menghimpun komunitas pesantren yang tulus, memudahkan hubungan
antar mereka,
mengarahkan mereka kepada teladan dalam hidup, memperkokoh ikatan persatuan mereka, dan mengangkat persaudaraan mereka dari tataran kata-kata dan teori ke tingkat operasional. Apabila ada anggota kelompok yang tertimpa musibah, maka anggota yang lain akan berlomba-lomba untuk meringankan beban saudaranya. Oleh karena itu, setiap santri diharapkan untuk turut menyukseskan sistem ini di
95
lingkungan mereka masing-masing. Dengan cara ini, Allah senantiasa memberikan perlindungan-Nya kepada mereka. Jika mereka mampu menunaikan kewajibankewajiban ini, baik yang bersifat individual, sosial, maupun finansial, maka pilarpilar pesantren ini pasti akan eksis. Akan tetapi, apabila mereka menyianyiakannya, maka sistem ini akan melemah dan akhirnya hancur.
Intensitas
hubungan (encounter) dalam pesantren dapat dilihat pada nilai saling pengertian (ta’aruf), saling memahami (tafahum), dan tanggung jawab sosial (takaful). Tiga landasan ini ditulis dalam kata-kata yang menunjukkan makna kerja sama, yaitu ta’aruf, tafahum, dan takaful. Ta’aruf mengandung makna ‘saling memperkuat rasa persaudaraan di antara sesama santri. Saling memahami (tafahum) mengandung maksud adanya pemahaman yang benar tentang Islam dan keinginan untuk diatur dengan ajaran-ajarannya dan secara pribadi bertanggungjawab kepada saudaranya. Takaful (tanggung jawab sosial) didefinisikan sebagai esensi rasa persaudaraan, yaitu ditunjukkan dengan saling peduli dan memberi perhatian. 6. Proses Pengembangan Kepribadian Santri melalui Ibadah dan Do’a Pembiasaan ibadahadalah kegiatan menjalin hubungan dengan Allah denga melakukan ibadah-ibadah mahdhah (khusus) seperti shalat, puasa, dzikir, dan ibadah dalam arti umum, yaitu berbuat kebajikan, dengan niat semata-mata karena Allah. Secara sadar maupun tidak, jika hal ini dilakukan secara konsisten, maka akan memunculkan kualitas-kualitas terpuji pada orang yang melakukannya, sebagaimana firman Allah:
96
“Sesungguhnya shalat itu mencegah (manusia) dari perbuatan keji dan mungkar, dan sesungguhnya mengingat kepada Allah itu merupakan (kekuatan) yang paling besar “ (Q.S. Al-Ankabut : 45). Di
dalampesantrenterdapat
mekanisme
pembiasaan
dan
saling
mengevaluasi secara bersama-sama terhadap amalan-amalan ibadah rutin, baik harian, pekanan, ataupun bulanan, misalnya dalam hal: shalat, puasa, hafalan, tilawah, dzikir, do’a, dan sebagainya.Secara periodik, kyai biasanya mengajak para santrinya untuk mengevaluasi amalan ibadah mereka. Secara periodik pula mereka melakukan ibadah secara bersama-sama (jama’ah) misalnya shalat malam, tadarus, shalawat al banrzanji, berdo’a, tahlilan, yasinan, atau puasa sunnah. Dzikir, do’a, dan shalawat yang ditradisikan untuk dibaca secara bersama atau mekanisme saling mendo’akan di antara warga pesantren adalah aspek penting yang selama ini tidak dibahas dalam kajian pengembangan kepribadian sekuler. Inilah yang menjadi kekuatan tersendiri yang harus dikembangkan dalam khazanah bimbingan dan konseling Islam, baik dalam seting individual maupun kelompok. 7. Proses Pengembangan Kepribadian Santri melalui Pendalaman Nilai. Pendalaman nilai dalam komunitas pesantren merujuk pada upaya untuk memahami dan memenuhi nilai-nilai ajaran Islam yang merupakan sumber makna hidup. Secara garis besar, nilai-nilai yang perlu dipahami, dihayati, ditanamkan, dan diaktualisasikan dalam konteks kehidupan pesantren mencakup dua dimensi ajaran Islam, yaitu hablun minallah (hubungan manusia dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan manusia dengan Allah). Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
nilai-nilai
itu
antara
lain
meliputi
keilmuan,
kemandirian,
97
tanggungjawab, kesederhanaan, kebersamaan (persudaraaan), kepemimpinan, dan spiritual. Nilai-nilai inilah yang menjadi keunikan pesantren dalam membentuk kepribadian para santrinya.
D. Analisis Model Pengembangan Kepribadian Muslim di Pesantren
Berdasarkan hasil penggalian nilai-nilai yang menjadi landasan pengembangan kepribadian dan proses pengembangan keribadian santri yang ada di pesantren, penulis selanjutnya mencoba menganalisis dan merumuskan bagaimana sesungguhnya model pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren ditinjau dari teori pengembangan pribadi. Model pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren sesungguhnya dapat dikatakan sebagai sebuah model pengembangan kepribadian yang berorientasi pada nilai-nilai religius yang dipahami dan dipraktekkan oleh komunitas pesantren, misalnya meliputi
semangat keilmuan, kemandirian, tanggungjawab,
kesederhanaan, kebersamaan (persaudaraaan), kepemimpinan, keikhlasan, dan sebagainya. Jika dilihat dari teori pengembangan kepribadian, praktek pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren dapat pula dikategorikan sebagai sebuah model pengembangan kepribadian dengan pendekatan konten dan rentang kehidupan. 78 Artinya, Pengembangan kepribadian yang ditempuh dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan konten (materi) dan pendekatan rentang kehidupan. Pendekatan konten meliputi serangkaian metode dan materi dalam pengembangan kepribadian yang secara hirarkis dilakukan oleh individu, dari jenjang terendah sampai ke yang paling tinggi, tanpa
78
Abdul Mujib, Ibid
98
mengenal batasan usia, untuk mencapai kualitas tertinggi. Asumsi dari pendekatan ini adalah bahwa untuk melakukan pengembangan diri ke arah yang lebih baik, setiap individu dapat menggunakan materi dan metode apa saja. Konten yang dimaksud adalah seluruh materi kitab kuning ynag diajarkan dan dikaji di pesantren. Sedangkan pendekatan rentang kehidupan meliputi serangkaian perilaku yang dikaitkan dengan tugas-tugas perkembangan menurut rentang usia. Asumsi pendekatan ini adalah bahwa dalam setiap rentang kehidupan, setiap individu memiliki tugas perkembangan yang harus diperankan menurut jenjang usia. Hal ini sesuai dengan kondisi santri yang memang sedang pada usia perkembangan, di mana mereka umumnya adalah usia remaja dan dewasa awal. Dilihat dari teori logoanalisis, maka proses pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren mengandung komponen pemahaman, keteladanan, pembiasaan, ibadah, dan pendalaman nilai. Nilai-nilai dan proses pengambangan kepribadian muslim di pesantren ini sesungguhnya adalah sebuah tradisi hidup (living tradition) yang telah lama dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat pesantren, serta diwariskan dari generasi ke genarasi. Proses ini bertumpu pada relasi dan interaksi yang terjadi antara santri-kyai, santri-ustadz santri-santri. Ikatan-ikatan komunal yang terdapat pada komunitas pesantren menjadi mekanisme pengembangan pribadi santri yang akan membekas pada diri santri yang pada gilirannya akan mengantarkan santri menjadi sosok manusia yang diharapkan akan selalu kompatibel dengan perkembanga jaman. Dilihat dari berbagai proses atau metode pengembangan kepribadian santri di atas, penulis menangkap adanya sebuah potensi terbesar yang seharusnya bisa menjadi landasan pengembangan kepribadian di pesantren. Hal itu adalah prinsip otoritas yang dimiliki oleh sang Kyai. Otoritas di sini dimaksudkan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh Kyai terhadap sumber-sumber keislaman,
99
yaitu Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab rujukan, terutama bidang akhlak dan tasawuf, yang ditulis para ulama seperti Al-Ghazali, Ibnu Qayyim, dan lainnya. Jika para pemangku pesantren menyadari bahwa berbagai sumber keislaman tersebut menyimpan berbagai petunjuk etis dan praktis bagi pelaksanaan pengembangan kepribadian pesantren, maka hal ini merupakan modal yang luar biasa besar bagi suksesnya aktifitas pengembangan pribadi santri dalam berbagai aspeknya.
Model pengembangan kepribadian muslim yang telah dipraktekkan dalam komuntas pesantren ini menurut hemat penulis dapat dikatakan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan akan pendekatan pengembangan kepribadian yang sesuai dengan konteks budaya dan agama yang ada di masyarakat. Hal ini kemudian memunculkan wacana perlunya pengembangan pribadi yang disebut dengan indigenous personality development, yaitu sebuah pola pengembangan kepribadian yang berakar pada nilai-nilai, cara pandang, atau tradisi yang ada dalam sebuah komunitas (kelompok masyarakat). Wacana ini tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya wacana indigenous psychology, yaitu upaya membangun psikologi yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti sosial, politik, budaya, sejarah, agama, dan ekologi, yang membuat setiap kelompok budaya atau individu sebagai agen bagi tindakan mereka sendiri. Sejumlah psikolog pribumi menganjurkan studi ilmiah terhadap perilaku dan proses psikologis manusia dalam sebuah konteks yang bermakna secara budaya. Sebagai contoh, para psikolog di China telah melakukan pengembangan model pengembangan kepribadian yang dibangun berdasarkan nilai-nilai yang ada dalam tiga budaya besar yang dipandang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat China, yaitu Confusianisme, Taoisme, dan Budhisme. Dalam konteks masyarakat muslim, seiring dengan pesatnya perkembangan umat muslim di
100
berbagai negara, utamanya di negara Barat, semakin besar pula kesadaran para ahli Psikologi dan Konseling terhadap pengembangan model bimbingan yang dibangun berdasarkan atas pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai atau ajaran Islam, baik yang tercantum dalam sumber tertulis yaitu Al-Qur’an dan Hadits maupun yang diyakini dan dipraktekkan oleh umat muslim.79
.
79
Lihat Muskinu Fuad, Halaqah : Model Bimbingan Kelompok Dalam Manhaj Tarbiyah,
dalam Jurnal Ilmu Dakwah IAIN Semarang, 2013
101
BAB V.KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah disajikan dalam bab IV dapat
disimpulkan
bahwa
model
pengembangan
kepribadia
nmuslimyang
dipraktekkanoleh komunitas pesantren, dilandasioleh beberapa prinsip dan nilainilaireligius yang dipahami dan dipraktekkan oleh komunitas pesantren, misalnya meliputi semangat
keilmuan,
kemandirian,
tanggungjawab,
kesederhanaan,
kebersamaan
(persaudaraaan), kepemimpinan, keikhlasan, dan sebagainya. Dilihat dari teori pengembangan kepribadian, praktek pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren dapat pula dikategorikan sebagai sebuah model pengembangan kepribadian dengan pendekatan konten dan rentang kehidupan. Artinya, Pengembangan kepribadian yang ditempuh dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan konten (materi) dan pendekatan rentang kehidupan. Dilihat dari teori logoanalisis, maka proses pengembangan kepribadian muslim yang ada di pesantren mengandung komponen pemahaman, keteladanan, pembiasaan, ibadah, dan pendalaman nilai. Nilai-nilai dan proses pengambangan kepribadian muslim di pesantren ini sesungguhnya adalah sebuah tradisi hidup (living tradition) yang telah lama dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat pesantren, serta diwariskan dari generasi ke genarasi. Proses ini bertumpu pada relasi dan interaksi yang terjadi antara santri-kyai, santri-ustadz santri-santri. Ikatan-ikatan komunal yang terdapat pada komunitas pesantren menjadi mekanisme pengembangan pribadi santri yang akan membekas pada diri santri yang pada gilirannya akan mengantarkan santri
102
menjadi sosok manusia yang diharapkan akan selalu kompatibel dengan perkembanga jaman. Dilihat dari berbagai proses atau metode pengembangan kepribadian santri di atas, penulis menangkap adanya sebuah potensi terbesar yang seharusnya bisa menjadi landasan pengembangan kepribadian di pesantren. Hal itu adalah prinsip otoritas yang dimiliki oleh sang Kyai. Otoritas di sini dimaksudkan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh Kyai terhadap sumber-sumber keislaman, yaitu Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab rujukan, terutama bidang akhlak dan tasawuf, yang ditulis para ulama seperti Al-Ghazali, Ibnu Qayyim, dan lainnya. Jika para pemangku pesantren menyadari bahwa berbagai sumber keislaman tersebut menyimpan berbagai petunjuk etis dan praktis bagi pelaksanaan pengembangan kepribadian pesantren, maka hal ini merupakan modal yang luar biasa besar bagi suksesnya aktifitas pengembangan pribadi santri dalam berbagai aspeknya.
Model pengembangan kepribadian muslim yang telah dipraktekkan dalam komuntas pesantren ini menurut hemat penulis dapat dikatakan sebagai sebuah jawaban terhadap kebutuhan akan pendekatan pengembangan kepribadian yang sesuai dengan konteks budaya dan agama yang ada di masyarakat. Hal ini kemudian memunculkan wacana perlunya pengembangan pribadi yang disebut dengan indigenous personality development, yaitu sebuah pola pengembangan kepribadian yang berakar pada nilai-nilai, cara pandang, atau tradisi yang ada dalam sebuah komunitas (kelompok masyarakat). Wacana ini tidak dapat dilepaskan dari berkembangnya wacana indigenous psychology, yaitu upaya membangun psikologi yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti sosial, politik, budaya, sejarah, agama, dan ekologi, yang membuat setiap kelompok budaya atau individu sebagai agen bagi tindakan mereka sendiri. Dalam konteks masyarakat muslim,
103
seiring dengan pesatnya perkembangan umat muslim di berbagai negara, utamanya di negara Barat, semakin besar pula kesadaran para ahli Psikologi dan Konseling terhadap pengembangan model bimbingan yang dibangun berdasarkan atas pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai atau ajaran Islam, baik yang tercantum dalam sumber tertulis yaitu Al-Qur’an dan Hadits maupun yang diyakini dan dipraktekkan oleh sebuah komunitas, misalnya pesantren. B. Rekomendasi Untuk sampai pada temuan yang lebih valid, konseptual, dan operasional, hasil penelitian ini sesungguhnya masih memerlukanberbagai penelitian lanjutan yang bersifat eksperimental dan developmental untuk menguji efektivitas model pengembangan kepribadian muslim ala pesantren, jika model ini akan diterapkan dalam konteks yang lebih luas dan beragam,di luar pesantren. Kepada para pemangku pesantren pada umumnya, penulis menyarankan agar sistem pesantren ini dapat dikembangkan lagi secara lebih inklusif agar dapat diterapkan di masyarakat luas. Jadikanlah sistem pesantren ini menjadi miliki semua umat Islam, baik di Indonesia pada khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Bagi para peminat kajian pengembangan kepribadian, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi pengembangan model pengembangan kepribadian Islami, karena digali dari pandangan hidup, tradisi, dan praktek sebagian masyarakat muslim, yaitu pesantren. Model yang telah dirumuskan dalam penelitian masih bersifat garis besar dan konseptual. Untuk itu, jika akan diterapkan dalam pola pengembangan kepribadian secara lebih praktis, sebagaimana layaknya sebuah teori pengembangan kepribadian, maka model ini harus diturunkan ke dalam bentuk yang lebih teknis dan operasional.
104
DAFTAR PUSTAKA Abdul Mujib (2005). Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada Abdullah, Abdul Lateef (2009). Toward a Concept of Islamic Personality. [Online]. Tersedia: http://www.crescentlife.com/articles/islamic%20psych/conceptofislamicpersonality. htm [2 Januari 2009]. Alwasilah, A. Chaedar (2009). Pokoknya Kualitatif v: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya. Arvey, R. D. "Genetics, Twin, and Organizational Behavior," Research in Organizational behavior, vol. 16, Greenwich CT: JAI Press, 1994, hal 65-66.
Bashori, Khoiruddin (2003). Problem Psikologis Kaum Santri: Resiko Insekuritas Kelekatan. Yogyakarta: FKBA Bastaman, H.D. (1995). Integrasi Psikologi dengan Islam, Menuju Psikologi Islami.Yogyakarta: Pustaka Pelajar ---------(2007). Logoterapi: Psikologi untuk Menenmukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Rajawali Pers. Creswell, John W. (1998).Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions, California: Sage Publication, Inc. Dhofier, Zamakhsyari (1994). Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. Cet. Keenam Fuad, Muskinul(2015).Pengembangan Kepribadian Muslim melalui Halaqah: Model bimbingan Kelompok dalam manhaj Tarbiyah, Purwokerto: STAIN Press ----------(2013). Halaqah : Model Bimbingan Kelompok Dalam Manhaj Tarbiyah, dalam Jurnal Ilmu Dakwah Fakultas Dakwah IAIN Semarang Fuad, Muskinul dan Budiono, Alif (2012) “Pola Kelekatan di Kalangan Santri Usia Remaja Awal: Studi Kasus di Pondok Pesantren Anwarussholihin Pamujan Teluk, Banyumas” dalam Jurnal Personifikasi Vol 3, Nomor 2, November 2012 Hasyim, Yusuf (2008).Model Penelitian Kultur Pendidikan Islam Dr. Mastuhu TentangDinamika Sistem Pendidikan Pesantren. [Online]. Tersedia: https://gurubangsaku.wordpress.com/2008/10/28/dinamika-sistem-pendidikanpesantren https://id.wikipedia.org/wiki/Kepribadian https://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren
105
http://pp-darussalam.blogspot.com/p/profil.html http://www.thohiriyyah.com/2011/09/388.html http://p2m.stainpurwokerto.ac.id/ponpes/detail/8, http://satelitnews.co/berita-sekilas-an-najah.html#ixzz3kYPOblIF http://roqibstain.blogspot.com/, http://mohroqib.blogspot.com/
Lukens-Bull, Ronald A. (1998). Teaching Morality: Javanese Islamic Education in Globalizing Era. Disertasi di Arizona University Southeast Asia Madjid, Nurcholis (1997), Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta: Paramadina Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta : INIS, 1994. Matta, Anis (2010). Delapan Mata Air Kecemerlangan. Jakarta: Tarbawi Press McCrae, R. R. Reinterpreting the Myers-Briggs Type Indicator from the Perspective of the Five Factor Models of Personality, Journal of Personality, Ney York: Wiley, Maret 1989
Najati, M. Utsman (2008). The Ultimate Psychology: Psikologi Sempurna Ala Nabi SAW. Bandung: Pustaka Hidayah. Parker, Ian (2005). Psikologi Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit ANDI. Prasodjo,Sudjono (1982).Profil Pesantren, Jakarta: LP3ES Rakhmat, Jalaluddin (2003). Islam Aktual. Bandung: Mizan -------- (2001), Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Rosda Robbins, Stephen P.; Judge, Timothy A. (2008). Perilaku Organisasi Buku 1, Jakarta: Salemba Empat.
Spradley, J. P. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sugiono (2008). Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suparjo (2014). Komunikasi Interpersonal Kyai-Santri: Keberlangsungan Tradisi Pesantren di Era Modern. Purwokerto: STAIN Press Wahab, Rochidin (2004). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Alfabeta www.pesmaannajah.org
Yusuf, Syamsu dan Nurihsan, A. Juntika (2008). Teori Kepribadian. Bandung: Rosda.
106
LAMPIRAN-LAMPIRAN
107
108
109