MODEL PENGELOLAAN AIRBUMI UNTUK IRIGASI DENGAN OPERASI POMPA TUNGGAL DAN GANDA: Kasus Sub DAS Data, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
SUHARDI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul : “Model Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi dengan Operasi Pompa Tunggal dan Ganda: Kasus Sub DAS Data, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan” adalah benar merupakan karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.
Bogor,
Juli 2008
SUHARDI NRP: A 262030061
ii
ABSTRACT SUHARDI. 2008. Groundwater Management Model for Irrigation Using Single and Multiple Pump Operations: A Case for Data Sub-watershed, District of Wajo, South Sulawesi Province. Under the Supervision of HIDAYAT PAWITAN, BUDI INDRA SETIAWAN and ROH SANTOSO BUDI WASPODO. One of the causes of decreasing rice production is due to the increase in land conversion rate either at the land high productivity particularly in having limitation land like rain-fed paddy fields. The paddy fields in the District of Wajo, one of the rice production centers in the eastern part of Indonesia, are mostly rain-fed. To increase the productivity of the rain-fed paddy fields, the utilization of groundwater as the source of irrigation water is one of the methods applied by farmers. However, this method can cause environmental damage and costly. Optimal management of the groundwater is a method that can be used to prevent the problem. Some optimization models have been developed but none has taken any consideration the aspects of environment and economy simultaneously. The objectives of this research were: 1) to know the characteristics of aquifer and the groundwater potential; 2) to develop models for estimating the groundwater head spatially through the operations of single and multiple pumps; 3) to conduct simulation for obtaining profitable condition in order to be sustainable; and 4) to conduct model simulation in order to determine the optimal discharge rate based on the aquifer bearing capacity for fulfilling crop water requirement at minimum feasible land area. The characteristics of the aquifer was identified by means of interpretation of lithologic map, infiltration with flownet, whereas the groundwater potential with Darcy formula. The minimum feasible land area was determined based on the regression line between the minimum feasible land area and duration of irrigation per season. Recovery test was conducted by continuously pumping until steady sate condition was reached, and then stopped, followed by the measurement of groundwater head change. The optimization model was made on: 1) objective functions for maximizing total discharge; and 2) constraint function representing the groundwater flow at steady state condition, crop water requirement and minimum head. Research results indicated that the aquifer was of sandy layer, at a depth of 3 m from the soil surface with a thickness of about 15 m. The aquifer hydraulic conductivity was 16.13 m/d, specific yield 0f 0.32 and porosity of 0.46. The infiltration source was from the western side of the watershed and flowing eastward with a potential of 14,517 m3/d or 168.02 l/s. The validation test indicated that the groundwater flow model was valid with a coefficient of determination (R2) of 0.85. The relation between the minimum feasible land area and the duration of irrigation per season was in the form of exponential function (y = 0,0192 x 0,7242), where y = minimum area and x = duration of irrigation; while, for two cropping season per year is y=0,0074 x 0,8408. Based on recovery test, the groundwater could recover in less than 5 d with a decrease in groundwater head up to 5.00 m from the initial groundwater head. The optimization model indicated that the highest optimal discharge was 1,268.33 m3/d for irrigating 27.58 ha and the lowest was 279.54 m3/d for irrigating 6.08 ha with the assumption that the crop water requirement was 4.60 mm/d. The optimal distance between wells that is 479.18 m or one well for irrigating 22.96 ha with pumping rate equal to 1,056.01 m3/d. Key words: Model, Groundwater Management, Irrigation, Single and Multiple Pump
iii
RINGKASAN SUHARDI. 2008. Model Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi dengan Operasi Pompa Tunggal dan Ganda: Kasus Sub DAS Data, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN, BUDI INDRA SETIAWAN dan ROH SANTOSO BUDI WASPODO. Salah
satu
penyebab
penurunan
produksi
beras
nasional
adalah
meningkatnya laju konversi lahan, baik pada lahan produktifitasnya tinggi terlebih pada lahan yang memiliki pembatas seperti sawah tadah hujan. Kabupaten Wajo yang merupakan sentra produksi beras di Indonesia Bagian Timur sebagian besar sawah yang ada berupa tanah hujan yaitu sekitar 76,36% dari 86.142 ha. Untuk meningkatkan produktivitas sawah tadah hujan, salah satu cara yang banyak dilakukan oleh petani adalah menggunakan airbumi sebagai sumber air irigasi. Penggunaan airbumi untuk irigasi banyak dilakukan karena potensi airbumi yang cukup besar yaitu sekitar 379 juta m3/thn dan berada pada akifer bebas dan dangkal, sehingga pengambilan dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pompa. Namun penggunaan airbumi dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan membutuhkan biaya yang mahal sehingga dapat mengakibatkabn kerugian dalam usahatani. Untuk mencegah hal ini dapat dilakukan dengan cara mengelola airbumi secara optimal. Beberapa model optimisasi yang telah dikembangkan, namun belum
mempertimbangkan aspek lingkungan dan ekonomi secara
bersama-sama. Penelitian ini bertujuan: 1) Mengetahui karakteristik akifer dan potensi airbumi, 2) Memperoleh model yang dapat digunakan untuk mengestimasi muka airbumi secara spasial melalui operasi pompa tunggal dan ganda, 3) Menentukan luas minimum layak agar usahatani irigasi airbumi menguntungkan melalui simulasi, dan 4) Mengetahui besarnya debit optimal dalam kegiatan irigasi airbumi berdasarkan daya dukung akifer dan kebutuhan air tanaman sehingga usahatani berkelanjutan. Penentuan karakteristik akifer melalui interpretasi peta litologi, sumber resapan dengan flownet, sedangkan potensi airbumi dengan persamaan Darcy. Estimasi muka airbumi dilakukan dengan model aliran airbumi yang merupakan kombinasi
hukum Darcy’s dengan hukum konservasi massa fluida dengan
iv
asumsi: 1) akifer seragam (aliran homogeneus), 2) aliran isotropik, 3) aliran airbumi hanya terjadi secara horizontal (asumsi Dupuit), dan 4) Aliran dalam kondisi tidak tunak (unsteady state). Usahatani dengan irigasi airbumi dinyatakan layak jika selisih antara pendapatan dengan total biaya produksi > 30% dari biaya pokok produksi. Luas minimum layak ditentukan berdasarkan pada persamaan garis hubungan antara luas minimum layak terhadap lama pengairan per musim. Uji kekambuhan dengan melakukan pemompaan secara terus menerus hingga kondisi tunak, kemudian dihentikan, selanjutnya perubahan muka airbumi diukur setiap
saat.
Model
optimisasi
disusun
atas:
1)
fungsi
tujuan
yaitu
memaksimumkan total debit, dan 2) fungsi konstran yaitu aliran airbumi dalam kondisi tunak, kebutuhan air tanaman, luas minimum layak dan head minimum. Jarak antar sumur ditentukan berdasarkan debit optimal, dengan melakukan simulasi untuk menentukan persamaan garis hubungan antara jarak antar sumur dengan debit optimal dan persamaan garis hubungan antara jarak antar sumur dengan debit besarnya debit yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman untuk luasan tertentu. Kedua persamaan garis tersebut disamakan. Hasil menelitian menunjukkan bahwa akifer berupa pasiran, berada pada kedalaman 3 meter dari permukaan tanah dengan ketebalan sekitar 15 m. Konduktivitas hidraulik akifer adalah 16,13 m/hari, hasil spesifik 0,32 dan porositas 0,46. Sumber resapan berasal dari sisi barat DAS mengalir ke arah timur dengan potensi 14.517 m3/hari atau 168,02 lt/dt. Uji kesahihan menunjukkan bahwa model aliran airbumi dinyatakan sahih dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,85, sehingga karaktertistik akifer berupa konduktivitas hidraulik dan hasil spesifik yang diperoleh adalah benar dan model dapat digunakan pada tempat lain atau digunakan untuk memprediksi kondisi optimal. Hubungan antara luas minimum layak dengan lama pengairan per musim berupa persamaan fungsi pangkat, di mana untuk satu musim tanam per tahun, koefisien pangkat yaitu y=0,0192x0,7242, di mana y adalah luas minimum layak dan x adalah lama irigasi, dan untuk dua musim tanam pertahun y=0,0074x0,8408. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama masa pengairan dan semakin kurang masa tanam per tahun maka luas minimum layak semakin besar. Berdasarkan uji kambuh, airbumi dapat kambuh dalam waktu kurang dari lima hari dengan penurunan muka airbumi
v
hingga 5 meter dari muka airbumi awal. Model optimisasi menunjukkan bahwa debit optimal terbesar adalah 1.268,33 m3/hari untuk mengairi 27,58 ha dan terkecil 279,54 m3/hari untuk mengairi 6,08 ha dengan asumsi kebutuhan air tanaman 4,60 mm/hari. Sedangkan untuk sumur tunggal, debit optimal yang dapat diperoleh adalah 1.268,33 m3/hari dapat mengairi 27,58 ha. Jarak antar sumur yang optimal yaitu 479,30 m atau untuk satu sumur mengairi sawah seluas 22,97 ha dengan debit pompa sebesar 1.056,39 m3/hari. Kata kunci: Model Pengelolaan Airbumi, Irigasi, Sumur Tunggal dan Ganda.
vi
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
vii
MODEL PENGELOLAAN AIRBUMI UNTUK IRIGASI DENGAN OPERASI POMPA TUNGGAL DAN GANDA: Kasus Sub DAS Data, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan
SUHARDI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc.
Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, M.Sc. Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc.
ix
Judul Penelitian
: Model Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi dengan Operasi Pompa Tunggal dan Ganda: Kasus Sub DAS Data, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan
Nama Mahasiswa
: Suhardi
Nomor Pokok
: A262030061
Disetujui: Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. Ketua
Prof.Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, M.T Anggota Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi Pengelolaan DAS,
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc.
Tanggal Ujian: 30 Juni 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA Alhamdulillahi Rabbil ’Alamin Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufiq dan hidayahNya sehingga disertasi ini dapat terselesaikan. Disertasi ini berjudul “Model Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi dengan Operasi Pompa Tunggal dan Ganda: Kasus Sub DAS Data, Kab. Wajo, Sulawesi Selatan”, sebagai salah satu syarat untuk penyelesaian studi Program Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc., Ketua Komisi Pembimbing, atas arahan dan sarannya sejak penyusunan proposal, penelitian dan dalam penyelesaian tulisan ini
2.
Prof.Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr., Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan dan sarannya selama penyusunan proposal, penelitian dan dalam penyelesaian tulisan ini
3.
Dr.Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, M.T., Anggota Komisi Pembimbing, atas arahan dan sarannya selama penyusunan proposal, penelitian dan dalam penyelesaian tulisan ini
4.
Prof. Dr. Ir. Naik Sinukaban, M.Sc., Ketua Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, beserta staf yang telah memberikan bantuan dan kemudahan selama penulis mengikuti kegiatan akademik
5.
Bapak/Ibu dosen/staf pengajar pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, atas ilmu dan teladan yang diberikan selama penulis mengikuti pendidikan
6.
Dr. H. Abd. Rauf Patong, Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi, dan Ir. Andi Sederhana, Ketua STIP Prima Sengkang yang telah memberikan izin dan kesempatan mengikuti pendidikan di PPs-IPB
7.
Pimpinan proyek BPPS Ditjen Dikti Depdiknas yang telah memberikan beasiswa program pascasarjana
8.
Pimpinan Yayasan Dana Sejahtera Mandiri atas bantuannya berupa dana penulisan Disertasi.
9.
Pemda Kabupaten Wajo yang telah memberikan bantuan berupa ijin melakukan penelitian dan dana penelitian
xi
10.
Mas Rudi yang banyak membantu saya dalam pembuatan program komputer dan teman-teman diskusi di Laboratorium Sumber Daya Air
11.
Pak Udin dan Mbak Winta, atas bantuannya selama penulis mengikuti kegiatan akademik
12.
Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih dan hormat yang mendalam kepada ayahanda
Durusi dan Ibunda Andi Buddi, saudara-
saudaraku (Arifuddin, Syamsuddin, dan Saharuddin), dan kepada segenap keluargaku yang selalu mendoakan dan mendukung setiap langkahku untuk menjadi orang yang berguna 13.
Secara khusus pula penulis menghaturkan terimakasih yang mendalam kepada istri tercinta Fajriyati Mas’ud, serta kepada kedua ananda tersayang Mutiara Khairunnisa dan Muhammad Khadafi, atas cinta, doa, dan kesabarannya selama penulis menempuh pendidikan
14.
Teman-teman mahasiswa PPs PS DAS angkatan 2002, 2003, 2004, dan lainnya yang senantiasa bersama dalam suka dan duka, serta senantiasa memberikan bantuan dan semangat kepada penulis selama menempuh pendidikan
15.
Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan, dan untuk penyelesaian tulisan ini Penulis
dan
sekali lagi mengucapkan
menghaturkan
terimakasih
Alhamdulillahi Rabbil ’Alamin, kepada
Komisi
Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr., dan Dr. Ir. Roh Santoso Budi Waspodo, M.T., berkat petunjuk dan bimbingannya sehingga melalui penelitian ini penulis turut serta sebagai pemakalah pada International Symposium and Workshop on Current Problem In Groundwater Management and Related Water Resources Issues di Bali dan makalah kami masuk duabelas besar terbaik. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan karya tulis ini kepada para pembaca dengan harapan dapat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan. Terimakasih. Bogor,
Juli 2008
Suhardi
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bengo, Kab. Bone, Sulawesi Selatan pada tanggal 10 Agustus 1971 sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Durusi dan Andi Buddi. Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Bone, kemudian pendidikan S-1 ditempuh pada Jurusan Teknologi Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar dan lulus tahun 1995. Pada tahun ajaran 1996/1997 penulis mendapat beasiswa URGE DIKTI untuk menempuh pendidikan jenjang S-2 pada program
studi Mekanisasi Pertanian (Teknik Pertanian) pada Program
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2003 penulis diterima pada program Doktor Pascasarjana IPB Bogor pada Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Pernah bekerja sebagai staf PT. Perkebunan Nusantara XIV, staf pengajar pada STIP Prima Sengkang dan sekarang sebagai staf pengajar pada Fakultas Petanian Universitas Hasanuddin. Menikah dengan Fajriyati Mas’ud, S.TP, M.Si. pada tahun 2000, dan dikaruniai dua putra/putri Mutiara Khairunnisa dan Muhammad Khadafi.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
..................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xix
GLOSARIUM
xx
.......................................................................................
I. PENDAHULUAN 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5.
........................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................... Tujuan Penelitian ...................................................................... Kerangka Pikir ........................................................................ Manfaat Penelitian ................................................................... Kebaruan Penelitian ................................................................
1 6 7 10 11
II. TINJAUAN PUSTAKA
...............................................................
12
2.1. Perihal Airbumi ..................................................................... 2.2. Simpanan Air Bawah Permukaan sebagai Airbumi .................. 2.3. Aliran Air Bawah Permukaan ................................................ 2.4. Faktor-faktor Kendali Persamaan Aliran Airbumi ................. 2.5. Estimasi Resapan Airbumi ....................................................... 2.6. Metode Beda Hingga ............................................................ 2.7. Model Airbumi, Uji Kalibrasi dan Kesahihan ....................... 2.8. Model Optimasi dengan Solver ............................................... 2.9. Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi ....................................... 2.10. Hubungan Irigasi dan Produksi .............................................. 2.11. Kebijakan Pemerintah Tentang Produksi Gabah ....................... 2.12. Analisa Finansial dan Kelayakan Usahatani ..........................
12 13 17 19 23 24 25 26 27 30 31 33
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.
.....................................................
35
Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... Bahan dan Alat ....................................................................... Kebutuhan Data ..................................................................... Prosedur Pelaksanaan Penelitian ............................................. Analisa Data .............................................................................
35 35 36 36 37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
....................................................
4.1. Identifikasi dan Deskripsi Sistem Akifer Daerah Penelitian
39
....
39
4.1.1. Latar Belakang .......................................................... 4.1.2. Tujuan Penelitian ........................................................ 4.1.3. Metode Penelitian .......................................................... 4.1.4. Hasil dan Pembahasan ................................................. 4.1.5. Kesimpulan ................................................................ 4.1.6. Saran ............................................................................
39 39 39 42 51 52
4.2. Model Aliran Airbumi 4.2.1. Latar Belakang
........................................................
52
..........................................................
52
xiv
4.2.2. Tujuan Penelitian ........................................................ 4.2.3. Metode Penelitian .......................................................... 4.2.4. Hasil dan Pembahasan ................................................. 4.2.5. Kesimpulan ................................................................ 4.3. Analisis Finansial Usahatani Irigasi Airbumi
52 52 54 64
......................
65
4.3.1. Latar Belakang .......................................................... 4.3.2. Tujuan Penelitian ........................................................ 4.3.3. Metode Penelitian .......................................................... 4.3.4. Hasil dan Pembahasan ................................................. 4.3.5. Kesimpulan ................................................................ 4.3.6. Saran ..........................................................................
65 65 65 70 75 75
4.4. Optimasi Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi Sawah Tadah Hujan
76
4.4.1. Latar Belakang .......................................................... 4.4.2. Tujuan Penelitian ........................................................ 4.4.3. Metode Penelitian .......................................................... 4.4.4. Hasil dan Pembahasan ................................................. 4.4.5. Kesimpulan ................................................................ 4.4.6. Saran .........................................................................
76 76 76 79 91 91
4.5. Pembahasan Umum
...........................................................
92
.......................................................
97
5.1. Kesimpulan .......................................................................... 5.2. Saran .....................................................................................
97 98
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
100
LAMPIRAN
106
V. KESIMPULAN DAN SARAN
.........................................................................................
xv
DAFTAR TABEL Halaman 1
Beberapa model optimasi penggunaan airbumi dan tanaman
. ...........
10
2.
Pengaruh jumlah air yang diberikan terhadap hasil dan efisiensi penggunaan air ..................................................................................
30
3.
Hasil tanaman padi irigasi dari berbagai sumber air
........................
31
4.
Konduktivitas hidraulik tiap pengamatan
.......................................
48
5.
Perhitungan transmisivitas tiap pengamatan
....................................
48
6.
Perubahan biaya tetap akibat luas pengairan dan jumlah musim tanam .
70
7.
Total biaya mesin per jam per tahun untuk satu dan dua musim tanam .
71
8.
Biaya air irigasi per hektar
............................................................
72
9.
Pendapatan setiap 1 dan 2 musim tanam pada luasan 3, 5 dan 7 ha ...
73
10. Persamaan garis biaya dan pendapatan
...........................................
74
11. Luas minimum layak untuk satu dan dua musim tanam per tahun ...
74
12. Kebutuhan air irigasi untuk masa tanam awal
................................
83
..............................
84
.................................
86
15. Debit dan luasan yang dapat diairi setiap sumur berdasarkan hasil optimisasi ................................................................................
87
16
89
13. Kebutuhan air irigasi untuk masa tanam tengah 14. Kebutuhan air irigasi untuk masa tanam akhir
Biaya dan Pendapatan Usahatani untuk Luasan 22,97 ha
..............
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Skema kerangka pikir ........................................................................
8
2.
Skema analisis aliran airbumi yang digunakan untuk irigasi dengan metode beda hingga .............................................................................
9
3.
Penampang melintang skema akifer bebas dan tertekan
...................
13
4.
Diagram penurunan persamaan kontinyuitas untuk aliran airbumi .....
20
5.
Hubungan antara hasil spesifik, retensi spesifik dan ukuran partikel ...
23
6.
Konsep pembangunan irigasi berkelanjutan dalam cakupan pembangunan berkelanjutan ...........................................................
28
7.
Curah hujan Kab. Wajo, Stasiun Sengkang, tahun 2001-2006
.........
33
8.
Peta lokasi penelitian
....................................................................
35
9.
Diagram alir pelaksanaan penelitian
................................................
10. Diagram alir program perhitungan debit pengambilan optimal
37
..........
38
11. Skema variabel persamaan konduktivitas hidraulik dan transmisivitas .
41
12. Model akifer daerah penelitian
46
........................................................
13. Profil muka airbumi saat pemompaan
..............................................
47
14. Hubungan antara hasil spesifik, retensi spesifik dan porositas .............
49
15. Jejaring aliran airbumi dalam sistem DAS
.......................................
50
......................................................................
51
16. Gradien aliran airbumi
17. Kondisi batas lokasi penelitian
.......................................................
58
18. Muka airbumi pengukuran dan model untuk setiap hari pengamatan pada sumur 4 (SM4) ........................................................................
59
19. Hubungan antara penurunan muka airbumi model dengan pengukuran .....................................................................................
60
20. Hasil simulasi model untuk hari ke-50
61
.............................................
21. Kontur muka airbumi berdasarkan simulasi untuk hari ke-50
..........
61
22. Profil melintang titik koordinat (65,45) dan (67,45) untuk hari ke-50 .
62
23. Tiga dimensi titik koordinat (65,45) dan (67,45) untuk hari ke-50 .....
63
24. Kontur titik kordinat (65,45) dan (67,45) untuk hari ke-50
..............
63
25. Hubungan antara debit dengan penurunan muka airbumi
.............
64
...............................
71
27. Grafik luas minimum layak untuk setiap jam operasi pompa/mesin ...
74
28. Uji kekambuhan setelah pemompaan untuk sumur 4 ..........................
80
26. Biaya tetap untuk satu dan dua musim tanam
xvii
29. Uji kekambuhan setelah pemompaan untuk sumur 3 30. Hidrograph hujan pada daerah penelitian
........................
81
....................................
82
31. Kebutuhan air tanaman pagi untuk masa tanam awal
...................
82
.................
84
.....................
85
34. Profil muka airbumi pada kondisi debit optimal untuk sumur tunggal ..
87
35. Profil muka airbumi pada kondisi debit optimal untuk sumur ganda ...
88
36. Hubungan antara jarak antar sumur dengan debit yang dibutuhkan dan debit optimal .............................................................................
89
37. Hasil uji jari-jari pengaruh dan uji kambuh pada kondisi optimal
90
32. Kebutuhan air tanaman pagi untuk masa tanam tengah 33. Kebutuhan air tanaman pagi untuk masa tanam akhir
......
xviii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Peta geologi Kabupaten Wajo ............................................................
106
2.
Peta sebaran airbumi Kabupaten Wajo
..............................................
107
3.
Penampang melintang potongan A-B berdasarkan peta litologi ..........
108
4.
Penampang melintang potongan C-D berdasarkan peta litologi ..........
109
5.
Konstruksi sumur uji dan sumur pantau
110
6.
Respon kesalahan model untuk setiap pengukuran
...........................
111
7.
Kebutuhan biaya irigasi untuk setiap 720, 1080 dan 1440 jam/musim untuk satu dan dua musim tanam per tahun ......................................
112
............................................
8.
Total biaya pokok produksi usahatani padi sawah menggunakan irigasi airbumi ......................................................................................... 113
9.
Grafik kecenderungan biaya dan pendapatan setiap jam operasi per musim untuk satu dan dua musim tanam ....................................... 114
xix
GLOSARIUM Istilah
Arti
Airbumi
adalah air yang berada antara pori tanah atau celah batuan pada kondisi jenuh. Istilah lain: air tanah.
Akifer
adalah formasi geologi atau lapisan batuan yang bersifat permeabel yang mempunyai kemampuan untuk menyimpan dan mengalirkan air dalam jumlah yang berarti.
Akifer bebas
adalah akifer yang bagian atasnya tidak ditutupi oleh lapisan impermeabel. Istilah lain: phreatic aquifer, akifer dangkal
Aliran tunak
adalah aliran yang sifatnya tidak berubah akibat perubahan waktu. Istilah lain: aliran mantap. Lawan arti: aliran tak tunak.
Beda hingga
adalah salah satu bentuk penyelesaian numerik, dengan membagi sistem ke dalam beberapa grid atau dikenal dengan finite difference.
Cekungan airbumi
adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas hidrogeologis, tempat semua kejadian hidrogeologis seperti proses resapan/pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan airbumi berlangsung.
Degradasi
adalah penurunan kualitas sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Hasil spesifik
adalah volume air yang dilepaskan dari simpanan dalam sebuah akifer bebas per satuan luas horisontal akifer dengan satuan penurunan muka airbumi.
Irigasi
adalah mengalirkan air dari sumbernya agar dapat digunakan untuk memenuhi keperluan pertanian.
Jejaring aliran
adalah suatu gambaran arah aliran yang merupakan perpotongan secara tegak lurus antara isopotensial head dengan arah aliran.
Konduktivitas hidraulik
adalah suatu koefisien yang merupakan perbandingan antara laju aliran (fluks) dan gradien energi yang disebabkan oleh aliran itu sendiri.
Konversi lahan
adalah perubahan fungsi lahan, misalnya dari pertanian (sawah) ke penggunaan lain seperti industri, bagunan.
Muka airbumi
adalah permukaan bagian atas dari zone jenuh pada tekanan atmosfer.
Overlay
adalah tumpang susun dua atau lebih data spasial yang memiliki koordinat yang sama.
xx
Permeabilitas
adalah kemampuan meloloskan fluida di bawah kondisi satu satuan gradien hidropotensial.
Permukaan pizometrik
adalah suatu permukaan imajiner yang berimpit dengan tekanan air dalam akifer.
Peta litologi
adalah peta yang menggambarkan struktur batuan, posisi dan ketebalan bahan penyusun bumi.
Porositas
adalah kapasitas penyimpanan atau cadangan air dalam suatu batuan yang merupakan rasio volume pori terhadap volume total akifer
Resapan
adalah proses masuknya air ke dalam tanah sebagai airtanah. Istilah lain: imbuhan.
Retensi spesifik
adalah perbandingan antara volume air yang tertahan setelah jenuh terhadap volume media berpori.
Solver
adalah perangkat tambahan (add Ins) Microsoft Excel yang dapat digunakan untuk perhitungan nilai optimal.
Sumur Pantau
adalah sumur yang digunakan untuk memantau perubahan tinggi muka airbumi saat pemompaan berlangsung
Sumur Uji
adalah sumur yang digunakan untuk pengujian potensi sistem akifer
Transmisivitas
adalah kemampuan sebuah akifer untuk melewatkan air pada ketebalan tertentu.
xxi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan suatu zat kehidupan yang sangat dibutuhkan manusia. Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air dan hampir sebagian besar aktivitas manusia sehari-hari berhubungan dengan air. Ketersediaan air tawar di bumi relatif konstan, tetapi rentang waktu dan ruang ketersediaannya cenderung tidak menentu baik karena pengaruh perubahan iklim global maupun karena faktor lokal lainnya. Di lain pihak telah terjadi peningkatan jumlah kebutuhan akan air sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk dan peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat. Selain itu kualitas air di berbagai tempat khususnya pada musim kemarau semakin memburuk sehingga tidak memenuhi persyaratan baku mutu air untuk kebutuhan tertentu dan ketika itu air menjadi langka dan diperebutkan oleh banyak pihak. Dalam kondisi demikian, airbumi (groundwater) selalu menjadi alternatif untuk pemenuhan kebutuhan akan air. Hal ini dimungkinkan karena pergerakan airbumi yang jauh lebih lambat daripada air permukaan sehingga keberadaan airbumi di dalam tanah lebih lama dibandingkan dengan air permukaan. Di samping itu, pemanfaatan airbumi lebih leluasa daripada air permukaan. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor pendorong besarnya pemanfaatan airbumi baik oleh industri dan atau permukiman bahkan telah berkembang penggunaannya untuk irigasi. Airbumi yang keberadaannya di wilayah jenuh di bawah permukaan tanah mendominasi jumlah air tawar yang mungkin dapat dimanfaatkan. Secara global, dari keseluruhan air tawar yang berada dipermukaan bumi, sekitar 25% terdiri atas airbumi dan 75% lainnya berupa es dan salju dan hanya sekitar 0,638% berada pada danau, sungai, atmosfer dan lainnya (Black, 1996). Tampak bahwa peranan airbumi adalah penting dan dapat dijumpai hampir di semua tempat di bumi seperti di bawah gurun pasir yang paling kering sekalipun, demikian juga di bawah tanah yang membeku karena tertutup lapisan salju atau es. Menurut KMNLH (1997), wilayah Republik Indonesia memiliki potensi airbumi yang cukup besar yaitu 4,7 x 109 m3/thn yang tersebar di 224 cekungan airbumi (groundwater basin). Sementara hasil identifikasi cekungan airbumi di
2 wilayah Sulawesi II menunjukkan adanya 49 cekungan airbumi (CAB) yang menempati wilayah seluas 23.202 km2 atau 23% dari total wilayah Sulawesi II merupakan akifer utama. Kuantitas airbumi bebas (unconfined) di seluruh cekungan di wilayah Sulawesi II terhitung sekitar 13 ribu juta m3/tahun, sedangkan airbumi tertekan (confined) mencapai sekitar 68,5 juta m3/tahun. Dari jumlah cekungan di wilayah tersebut, 13 cekungan di antaranya berada lintas kabupaten/kota yaitu CAB Pinrang, CAB Wasopote, CAB Lelewawo, CAB Maholona,
CAB Muna, CAB Lambale, CAB Lebo, CAB Pangkajene, CAB
Pompanua, CAB Maros, CAB Ujungpandang, CAB Bantaeng, dan CAB Gowa. Cekungan Pompanua (Siwa-Pompanua) merupakan cekungan yang berada antara Kabupaten Bone dan Kabupaten Wajo dengan luas cekungan 939 km2 dengan debit 379 juta m3/thn (Burhanul, 2004). Airbumi merupakan sumber air bersih yang paling banyak dieksploitasi di seluruh dunia, tak terkecuali Pulau Sulawesi, seperti di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Kusumayudha, 2003). Bahkan pada beberapa Negara, pemanfaatan airbumi sebagai sumber air telah melebihi dari sumber air lainnya seperti di Switzerland’s, lebih dari 80% kebutuhan air penduduk berasal dari airbumi (Hartmann dan Michel, 1992 dalam Beyerle et al., 1999). Sementara di Cuba, sekitar 70% kebutuhan air disupplai dari airbumi (Ortega et al., 2000). Penggunaan airbumi di kabupaten Wajo sangat berkembang terlihat dari banyaknya jumlah sumur yaitu sekitar 2.037 titik ditambah dengan 16 sumur artesis. Sumur tersebut terdiri atas sumur airbumi dangkal sebanyak 1.694 titik, sumur airbumi dalam 321 titik dan sumur bor sebanyak 22 titik (BPS KAB. WAJO, 2003). Sementara dalam rekomendasi untuk pengembangan sumber air bersih, airbumi merupakan salah satu sumber air yang direkomendasikan untuk pengembangan pemanfaatan (BAPPEDA KAB. WAJO, 2003). Mengingat betapa pentingnya airbumi saat ini, di mana pemanfaatannya semakin berkembang baik dari segi jumlah maupun jenis penggunaan, maka dalam pengambilannya perlu memperhatikan aspek keseimbangan lingkungan agar keberlanjutan. Namun kadang pengambilan airbumi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keseimbangan hidrologi yang baik. Hal ini disebabkan karena pemanfaatannya secara bebas dengan biaya murah menggunakan pompa, baik
3 oleh masyarakat maupun pelaku ekonomi dengan tanpa tindakan secara efisien dan efektif, sehingga seringkali menimbulkan dampak negatif yang serius terhadap kelangsungan dan kualitas sumber daya airbumi. Dampak negatif pemanfaatan airbumi (yang berlebihan) dapat dibedakan menjadi dampak yang bersifat kualitatif (kualitas airbumi) dan kuantitatif (pasokan airbumi). Dampak buruk akibat pengelolaan airbumi yang tidak tepat telah terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, penggunaan airbumi di DKI Jakarta tercatat sebesar 31 juta m3 pada tahun 1990 dan meningkat menjadi 33,8 juta m3 pada tahun 1994, sementara di cekungan Bandung, pemakaian airbumi tercatat meningkat dari 46,8 juta m3 menjadi 61 juta m3 pada periode yang sama. Dampak negatif pengambilan airbumi di DKI Jakarta dan Bandung terhadap lingkungan airbumi berupa penurunan muka airbumi, dan khusus di DKI Jakarta terjadi penurunan permukaan tanah (land subsidence), banjir genangan dan intrusi air laut (Siagian, 2003). Pengisian airbumi yang begitu rumit dan dipengaruhi oleh beberapa faktor serta memerlukan waktu yang cukup lama, sementara pemanfaatannya semakin berkembang, maka selayaknya dalam pengelolaannya harus diikuti dengan tindakan konservasi. Pengetahuan menyeluruh tentang sistem penampungan air (water storage) dan gerakan airbumi dianggap penting untuk suatu pemahaman yang lebih baik tentang proses dan mekanisme siklus hidrologi. Air permukaan (aliran air sungai, air danau/waduk dan genangan air permukaan lainnya) dan airbumi pada dasarnya mempunyai keterkaitan yang erat serta keduanya mengalami proses pertukaran yang terus menerus. Pada prinsipnya, sistem pengelolaan airbumi adalah pengambilan airbumi yang selalu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan karakteristik akifer. Pengelolaan airbumi diperlukan informasi tentang potensi airbumi yang ada pada suatu wilayah, sehingga dalam pengambilannya masih dalam batas wajar di mana antara pengambilan dan pengisian airbumi (resapan) dalam keseimbangan. Menurut Kusumayudha (2003), jika menginginkan pemanfaatan airbumi secara berkelanjutan dari suatu mandala hidrogeologi, maka sistem ini harus dikelola dengan benar.
Karena setiap mandala hidrogeologi mempunyai karakteristik
berbeda-beda, maka pengelolaannya juga tidak mungkin sama. Dengan demikian
4 setiap mandala hidrogeologi perlu dikaji untuk mengetahui karakteristiknya masing-masing. Perhatian lebih khusus kaitannya dengan pengelolaan airbumi untuk irigasi ditujukan pada persoalan besar bangsa Indonesia ke depan yaitu ketersediaan pangan, pertanian on farm belum menguntungkan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk semakin banyak, sementara konversi lahan terus berlangsung. Berdasarkan data BPS, konversi lahan sawah ke penggunaan lain dari tahun 1999 – 2003 seluas 563.150 ha1). Pengalihan lahan sulit dicegah selama hasil tanaman padi tidak memberi keuntungan yang memadai bagi petani. Pengalihan lahan sangat mungkin terjadi pada lahan yang kurang efektif seperti sawah tadah hujan dan sawah pasang surut. Jika konversi lahan terus berlangsung, maka hal ini menjadi dilema karena akan mengancam ketahanan pangan nasional. Di satu sisi, kebutuhan pangan nasional terus meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk2). Dengan demikian, maka sangat wajar jika pemerintah pada tahun 2007 memprogramkan peningkatan produksi dari 54,66 juta ton GKG (2006) menjadi 58,18 juta ton, guna menambah produksi 2 juta ton beras3). Produktivitas lahan merupakan suatu program yang sangat mendesak, terlebih akhir-akhir ini harga beras dunia semakin meningkat, sehingga pemenuhan kebutuhan pangan nasional sulit diharapkan import. Menurut Rahim (2008), bahwa harga beras dunia menyentuh 700 Dollar AS per ton. Untuk meningkatkan produktivitas lahan dan menahan laju konversi lahan, pemerintah Kabupaten Wajo melalui dinas pertanian melakukan program pompanisasi menggunakan beberapa sumber air seperti air sungai, danau dan airbumi. Pelaksanaan program pompanisasi dilatarbelakangi mengingat Kab. Wajo sebagian besar sawah yang ada didominasi oleh sawah tadah hujan. Menurut DISTAN KAB. WAJO (2004), bahwa luas lahan sawah di Kab. Wajo sebesar 86.142 ha yang terdiri atas sawah irigasi teknis seluas 9.012 ha atau 10,46%, irigasi sederhana/pompanisasi seluas 11.350 ha atau 13,18% dan tadah hujan seluas 65.780 ha atau 76,36%. Program pompanisasi telah berhasil 1
Konservasi Lahan Melaju. Kompas, Rabu 4 April 2007: 18 kol 4-7 Kontroversi Impor Beras. Investor Daily, 2 Mar 2007: 4 kol 3-7) 3 Pemerintah Akan rekrut 40.000 Penyuluh Pertanian Kompas, Jum’at, 9 Feb 07: 22 kol.6-7 2
5 meningkatkan produktivitas lahan seperti yang terjadi pada tahun 2003 di mana sebagian sawah tadah hujan dapat ditanami sebanyak dua kali setahun. Salah satu strategi yang dilakukan dalam peningkatan produktivitas adalah penggunaan airbumi dangkal sebagai sumber air irigasi terutama pada dataran rendah yang memiliki potensi airbumi besar. Program peningkatan produktivitas diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Menurut Adam (2008), bahwa tingkat produktivitas padi di Indonesia relatif tinggi yaitu sebanyak 4,69 ton per hektare pada 2007 dan cenderung terus meningkat. Selanjutnya Alimpeso (2008), mengatakan bahwa diperkirakan Indonesia mengalami surplus 2 juta ton setara beras pada tahun 2008 dan Indonesia kembali swasembada beras. Swasembada dapat dicapai karena produktivitas lahan cukup Indonesia tinggi, yaitu 4.611 kg/ha pada 2006, dan jika dibandingkan dengan negara lain seperti Thailand (3.249 kg/ha) dan Filipina (3.684 kg/ha) tidak kalah dan hanya terlampaui oleh Vietnam yang mencapai 4.890 kg/ha. Tingkat produktivitas yang tinggi tersebut dapat dicapai meskipun rata-rata kepemilikian lahan petani hanya sekitar 0,5 hingga 1 hektar masing-masing petani. Dampak penggunaan airbumi sebagai sumber irigasi selain dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, juga memiliki resiko timbulnya kerugian akibat penggunaan yang tidak tepat. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan tanaman terutama dalam hal penentuan awal masa tanam. Kesalahan penentuan awal masa tanam akan mengakibatkan pelaksanaan irigasi berlangsung lama sehingga membutuhkan biaya yang besar yang akan mngakibatkan kerugian. Hal ini dipengaruhi oleh besar dan distribusi curah hujan. Berdasarkan data curah hujan, pada daerah penelitian memiliki distribusi curah hujan yang singkat serta tidak merata sepanjang tahun. Pada kondisi demikian, tanah tidak dapat menyediakan lengas tanah yang efektif untuk tanaman sepanjang pertumbuhan. Oleh karena itu, diperlukan irigasi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan air tanaman. Di samping itu, penggunaan airbumi sebagai sumber irigasi memiliki keterbatasan seperti debit maksimal yang dapat diambil serta jarak antar sumur. Debit maksimal harus diperhatikan kaitannya dengan luasan maksimal yang dapat diairi oleh sebuah sumur. Jika luas yang diairi lebih besar dari kapasitas maka
6 tanaman akan mengalami defisit air sehingga produktivitas lahan menurun dan pada akhirnya keuntungan tidak optimal. Demikian halnya dengan jarak antara sumur, sangat penting kaitannya dengan keberlangsungan usahatani dengan pompanisasi menggunakan airbumi. Jika jarak antar sumur terlalu dekat, maka saling pengaruh antar sumur sangat besar sehingga sebuah sumur tidak dapat mencapai debit maksimal. Di samping itu, kerusakan lingkungan berupa pemampatan akifer dapat terjadi. Akifer yang mampat tidak dapat menyediakan air yang maksimal, sehingga produktivitas sumur akan menurun. Akibatnya yaitu penggunaan airbumi untuk irigasi selanjutnya tidak dapat memberikan keuntungan karena luasan yang dapat diairi sudah pasti menyusut. Berdasarkan kenyataan di lapangan, penggunaan airbumi untuk irigasi di Kabupaten
Wajo
belum
mempertimbangkan
hal-hal
tersebut,
sehingga
penggunaan airbumi tidak optimal dan berpeluang terjadinya kerusakan lingkungan dan usahatani yang tidak menguntungkan. Dengan dasar tersebut, maka dilakukan penelitian model dua dimensi aliran airbumi dengan operasi pompa tunggal dan ganda. Model ini dipilih sebagai suatu cara untuk mempelajari karakteristik airbumi, karena di samping biaya yang relatif murah, pelaksanaannya mudah dan memiliki tingkat akurasi yang tinggi. Dengan demikian, maka pemanfaatan airbumi untuk irigasi sesuai dengan karakteristik akifer dan kebutuhan tanaman sehingga usahatani menguntungkan dan lingkungan tidak mengalami degradasi sehingga usahatani berkelanjutan. 1.2. Tujuan Penelitian Berdasarkan pada latar belakang, maka penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: 1.
Mengetahui karakteristik akifer dan potensi airbumi pada daerah penelitian.
2.
Memperoleh suatu model yang dapat digunakan untuk mengestimasi muka airbumi secara spasial melalui operasi pompa tunggal dan ganda.
3.
Menentukan luas minimum layak agar usahatani irigasi airbumi dapat menguntungkan melalui simulasi model.
4.
Menentukan besarnya debit optimal dalam kegiatan irigasi airbumi berdasarkan daya dukung akifer dan kebutuhan air tanaman sehingga usahatani dapat berkelanjutan.
7 1.3. Kerangka Pikir Di antara beberapa jenis penggunaan air, irigasi merupakan jenis penggunaan air yang paling besar. Sehingga dalam usaha budidaya pertanian, sumber air merupakan pertimbangan utama, terutama budidaya tanaman padi. Beberapa sumber air untuk tanaman diantaranya air hujan, air permukaan dan airbumi. Kabupaten Wajo sebagai salah satu sentra produksi beras di Indonesia Timur sebagian besar sawah berupa tadah hujan, sebagian petani memanfaatkan airbumi sebagai sumber air irigasi. Hal ini disebabkan karena sumber air permukaan untuk irigasi sulit diperoleh dan curah hujan tidak dapat memenuhi kebutuhan air tanamn akibat distribusi hujan yang tidak merata. Penggunaan airbumi untuk irigasi di Kabupaten Wajo cukup berkembang, terlihat dengan banyaknya sumur pengambilan untuk irigasi. Hal ini dimungkinkan karena potensi airbumi cukup besar dan tinggi muka airbumi yang dangkal, sehingga pengambilannya cukup mudah, yaitu hanya dengan pompa yang digerakkan oleh motor diesel. Hal ini diusahakan oleh petani secara perorangan. Namun dalam pengoperasiannya memerlukan biaya yang tinggi. Di samping itu, kemungkinan terjadinya kerusakan lingkungan akibat pengambilan yang berlebih dapat terjadi, mengingat sistem pengambilan yang belum mempetimbangkan karakteristik akifer dan kapasitas resapan serta aspek kelayakan berdasarkan tinjauan ekonomi. Atas dasar tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan kerangka pikir seperti pada Gambar 1. Mengingat peranan airbumi dalam siklus hidrologi cukup penting, maka dalam pengkajian pengelolaan airbumi untuk irigasi dilakukan pendekatan hidrologi dengan akifer sebagai suatu sistem. Air yang diperoleh melalui pemompaan akan mengurangi volume air dalam akifer, di samping pengurangan akibat air kapiler dan rembesan (discharge) ke tempat lain dan dalam waktu bersamaan pengisian airbumi terus berlangsung. Sumber pengisian airbumi seperti perkolasi dari sawah atau resapan dari tempat lain. Secara skematis, siklus air dalam sistem ini seperti pada Gambar 2. Karakteristik akifer, volume air dalam akifer dan sumber air resapan sulit diprediksi secara langsung, maka dilakukan prediksi melalui model matematika. Model tersebut disusun berdasarkan kondisi fisik sistem dengan deskripsi sistem
8 berdasarkan pada data sekunder. Beberapa model optimasi penggunaan airbumi yang telah dikembangkan disajikan pada Tabel 1. Model yang sudah ada belum mempertimbangkan aspek biaya dan keuntungan penggunaan airbumi untuk irigasi maupun karakteristik hadraulik akifer secara terpadu.
Menuju Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi dengan Pompa yang berkelanjutan
Penggunaan Airbumi semakin meningkat : Jumlahnya besar Pengambilan lebih leluasa dan mudah Ketersediaan lebih lama Kualitas lebih baik Penggunaan Airbumi untuk Irigasi : Ø Biaya relatif tinggi Ø Sistem pengambilan belum efisien. Ø Ketersediaan airbumi sulit diprediksi
-
Dampak penggunaan airbumi : v Penurunan muka airbumi v Penurunan permukaan tanah v intrusi air laut
Menyusun Model Pengelolaan Airbumi untuk irigasi yang: Dapat menjelaskan karakteristik akifer Penggunaan airbumi efisien dan efektif Tidak terjadi kerusakan lingkungan Pendapatan petani meningkat
Penggunaan Airbumi untuk Irigasi yang Berkelanjutan
Gambar 1 Skema kerangka pikir. Berikut adalah skema untuk menganalisis aliran airbumi yang digunakan untuk irigasi menggunakan pompa dengan metode beda hingga (finite difference).
9 Evapotranspirasi
Sawah
Perpindahan air Akifer
Pompa ke lahan sawah
Legenda: Sumur
Hujan
Air kapiler
Perkolasi dari sawah
Resapan dari tempat lain
Resapan dari air permukaan Debit ke air permukaan Akifer dangkal
Gambar 2 Skema analisis aliran airbumi yang digunakan untuk irigasi dengan metode beda hingga.
10 Tabel 1 Beberapa model optimasi penggunaan airbumi dan tanaman No Model optimasi
Airbumi Gorelick (1983) X Willis dan Liu 1984) X Kinzelbach (1986) X Heckele (1988) X Mays dan Tung X (1986) 6 Finney et al. (1992) X 7 Herlina et al. X (1997) 8 Nishikawa (1998) X Tanaman 9 IRRI (1990) X 10 Waspodo (1993) X 11 Ardani (1997) X 12 Waspodo et al. X (2001) Sumber : Waspodo, 2001 13 Yang dikembangkan X 1 2 3 4 5
Keterangan :
X Q h A C U T R Sy r f he p hj e sr
Parameter A C U T R Sy r f
he p
hj e
sr
X X X X
-
-
-
X X X X
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
X -
X -
-
-
-
-
-
-
X -
-
-
X X X -
-
-
-
-
-
-
X -
-
-
X -
X -
-
-
-
-
-
-
X -
-
-
X X X -
-
-
-
-
-
-
-
-
X X X -
Q h
= = = = = = = = = = = = = = = = =
-
X X -
-
X X -
-
X X X
-
X -
-
X X X X X X X X X X X X X X X -
X X X -
X X X X X -
X X X X X X X X X X X X X X
parameter yang digunakan parameter yang tidak digunakan debit sumur bor (lt/dt) tinggi muka airbumi (m) luas lahan (ha) biaya (harga) airbumi (Rp/m3) keuntungan (Rp/ha) transmisivitas (m2/dt) resapan (m3/thn) hasil spesifik jari-jari pengaruh sumur (m) keperluan air tanaman padi (m) curah hujan efektif (mm/hari) kebutuhan air untuk pengolahan tanah (mm/hari) curah hujan (mm/hari) efisiensi total sumber resapan.
1.4. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang diharapkan antara lain: 1.
Menyediakan model yang dapat digunakan dalam pengelolaan airbumi.
11 2.
Menjadi dasar dalam penentuan luas minimum yang harus diairi oleh suatu sumur sehingga usahatani menguntungkan.
3.
Menunjang program pemerintah dalam peningkatan produksi beras nasional.
1.5. Kebaruan Penelitian Beberapa model optimasi pengelolaan airbumi untuk irigasi yang sudah dikembangkan seperti (IRRI, 1990; Waspodo, 1993; dan Ardani, 1997 dalam Waspodo, 2001) namun model tersebut tidak mempertimbangkan karakteristik akifer. Dan oleh Waspodo (2001), model optimasi yang dikembangkan mempertimbangkan karateristik akifer, namun aspek biaya tidak diperhitungkan. Dengan demikian, model yang telah dikembangkan peneliti sebelumnya belum terdapat pendekatan model dengan mempertimbangkan aspek karakteristik akifer dan aspek ekonomi secara bersamaan, sedangkan keberlanjutan dapat dicapai jika pemanfaatan
airbumi secara
optimal
dengan mempertimbangkan aspek
lingkungan dan kebutuhan irigasi bagi tanaman serta aspek ekonomi. Aspek ekonomi ditinjau dengan menggunakan suatu persamaan yang belum pernah digunakan oleh peneliti sebelumnya yaitu persamaan untuk menentukan luas minimum layak agar usahatani dengan irigasi airbumi menggunakan pompa dinyatakan layak. Persamaan yang dimaksud adalah (YB − YC ) ≥ 0 . Ditemukan suatu hubungan antara luas minimum layak dengan lamanya jam operasi pompa per musim, yaitu berupa hubungan fungsi pangkat. Dimana hubungan tersebut belum pernah ada peneliti yang mengungkapkannya. Memberikan informasi terbaru tentang karakteristik akifer
daerah
penelitian. Disamping itu, peneliti juga mempublikasikan suatu metode irigasi airbumi dengan airbumi bebas yang dapat menguntungkan, sehingga dapat ditiru pada daerah lain.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perihal Airbumi (Groundwater) Airbumi adalah air yang berada dalam tanah pada zona jenuh dibawah zona aerasi (vadose water) dengan tekanan lebih besar dari tekanan atmosfir (Dingman, 2002). Hidrologi airbumi adalah ilmu yang mempelajari kejadian, penyebaran dan pergerakan air bawah permukaan tanah (Todd, 1995). Sedangkan model airbumi dapat dibedakan atas dua yaitu model aliran airbumi yang membahas tentang distribusi muka airbumi airbumi dan model pengangkutan zat terlarur (transport solute) yang membahas tentang konsentrasi larutan sebagai dampak dari pergerakan zat terlarut oleh aliran airbumi, penyebaran dan reaksi kimia (Anderson dan Woessner, 1992). Pengisian airbumi (recharge) dapat terjadi baik secara vertikal maupun horizontal (seepage) dari badan air permukaan, (Dingman, 2002). Pengisian airbumi melalui proses perkolasi dari zona tidak jenuh masuk ke zona jenuh (akifer). Permukaan air jenuh disebut muka airbumi (water table atau phreatic surface), (Wilson, 1993). Menurut Irianto (2007) bahwa airbumi dangkal adalah airbumi yang berada kurang dari 30 m dari pemukaan tanah. Sedangkan airbumi dalam adalah airbumi yang berada sekitar 100 m atau lebih dari permukaan tanah (Kartasapoetra et al. 1994). Airbumi mengalir pada suatu media berpori (porous) yang dipengaruhi oleh energi yang berasal dari energi yang tinggi ke energi yang rendah. Tiga jenis energi yang mempengaruhi aliran airbumi yaitu energi elevasi (elevation energy), energi tekanan (pressure energy) dan energi kecepatan (velocity energy), (Anderson dan Elliot, 1995). Keberadaan sumber airbumi yang potensial, dikontrol oleh sebuah atau sekumpulan
lingkungan
yang
“setting”
geologinya
kondusif.
Kondisi
hidrogeologis spesifik disebut mandala hidrogeologi merupakan sekumpulan sistem akifer (Kusumayudha, 2003). Akifer adalah formasi geologi yang dapat menyimpan dan meneruskan jumlah air yang cukup besar, jika sebaliknya disebut akuiklude (Lee, 1980).
13 Sedangkan klasifikasi akifer airbumi dapat dibagi atas dua (Dingman, 2002) yaitu akifer bebas (unconfined aquifer) dan akifer tertekan (confined aquifer). Aliran pada aquifer bebas dicirikan dengan batas atas aliran airbumi (muka airbumi) adalah permukaan air pada tekanan atmosfir, p=0 dan total head sama dengan elevasi tertinggi dari datum, resapan terjadi dari perkolasi secara vertikal hingga muka airbumi, dan perubahan elevasi muka airbumi diakibatkan oleh bervariasinya akifer yang dilalui oleh aliran dan dapat dianalogkan dengan aliran air permukaan pada sungai. Aliran pada akifer tertekan dicirikan oleh akifer jenuh yang dibatasi oleh formasi dengan konduktivitas hidraulik yang kecil (yang disebut lapisan tekan atau akuiklude) pada bagian atas dan bawah akifer tersebut, muka airbumi dapat naik hingga melebihi batas atas akifer, resapan terjadi sebagai hasil infiltrasi dari bagian atas akifer dan mengalir masuk akifer secara tidak tertekan dan permukaannya sebagai muka airbumi, aliran air tidak berubah oleh waktu dan analog dengan aliran dalam pipa.
Gambar 3 Penampang melintang skema akifer bebas dan tertekan (Todd, 1995) 2.2. Simpanan Air Bawah Permukaan sebagai Airbumi Volume air yang diambil atau dilepaskan dari suatu simpanan dengan perubahan tinggi air dinyatakan dalam hasil spesifik (specific yield) untuk akifer
14 bebas dan simpanan spesifik atau koefisien simpanan untuk akifer tertekan. Parameter dasar penomena airbumi adalah porositas (Gupta, 1989). a. Porositas Dalam elemen tanah, dibagi dalam tiga fase yaitu udara, air dan padatan. Porositas didefisikan sebagai rasio volume pori terhadap volume total yang dirumuskan (Hillel, 1980): η=
Vv Vt
…………………
(1)
Rasio pori (void ratio) adalah rasio volume pori terhadap volume padatan yang dirumuskan: e=
Vv Vs
…………………
(2)
Hubungan antara porositas dengan void rasio dituliskan:
e=
η 1−η
…………………
(3)
Kerapatan jenis kering tanah adalah massa padatan tanah per satuan volume tanah, dan kerapatan partikel tanah adalah massa padatan tanah per satuan volume padatan tanah. Untuk massa yang sama padatan tanah dirumuskan: ρd ≈
1 Vt
dan
ρs ≈
1 Vs
…………
(4)
Hubungan antara porositas terhadap kerapatan dapat dituliskan: η = 1−
ρd ρs
………….
(5)
Porositas menunjukkan ukuran kapasitas akan air dari suatu formasi. Namun tidak hanya porositas yang dipertimbangkan dalam mengambil dan memindahkan air tetapi juga ukuran pori dan luas, hubungannya dengan kemungkinan terbuka dan tertutupnya pori. Sebagai contoh, liat mempunyai pori yang banyak tetapi merupakan akifer yang memiliki pori berukuran medium yang sedikit. b. Retensi Spesifik (Specific Retention) Retensi spesifik adalah perbandingan antara volume air yang tertahan setelah jenuh terhadap volume media berpori. Air yang tertahan didalam pori dipengaruhi oleh dua gaya yaitu adhesi (gaya antara pori tanah dan molekul air)
15 dan kohesi (gaya antara molekul air), di mana lebih besar dari perbedaan tekanan antara tekanan udara dan tekanan air. Perbedaan tekanan air dan tekanan udara disebut tekanan kapiler (Pc). Volume air yang ditahan lebih oleh gaya gravitasi dibandingkan dengan volume total batuan (tanah) yang ditentukan oleh retensi spesifik. Retensi spesifik juga dikenal sebagai kapasitas lapang atau kapasitas pengikatan air. Hal ini digunakan untuk mengukur kapasitas retensi air pada suatu media porous. Retensi spesifik tergantung pada karakteristik pori dan faktor tekanan permukaan seperti suhu, viskositas, dan komposisi mineral air, dsb. c. Hasil Spesifik (Specific Yield) Hasil spesifik adalah volume air yang dilepaskan dari simpanan dalam sebuah akifer bebas per satuan luas horisontal akifer dengan satuan penurunan muka airbumi. Sama dengan koefisien simpanan untuk akifer tertekan, meskipun pada akifer tertekan tidak dapat dikeluarkan memalui drainase tetapi sebagai hasil tekanan akifer dan perubahan kerapatan air. Hasil spesifik dihitung dengan persamaan : Sy =
1 dv A dh
……………..
(6)
di mana, Sy = hasil spesifik, A = luas formasi tanah, dv = volume air yang dikeluarkan, dan dh = perubahan muka air Dalam suatu tanah, jumlah hasil spesifik merupakan selisih antara porositas dengan retensi spesifik, yang dirumuskan: S y = η − Sr
………………
(7)
di mana, Sy = hasil spesifik dan S r = retensi spesifik. Muka airbumi suatu akifer, jumlahnya diperoleh dari akifer dan perubahan kerapatan air. Koefisien simpanan untuk muka airbumi suatu akifer adalah total hasil spesifik dan sifat fraksi. Koefisien simpanan umumnya digunakan dalam hubungannya dengan akifer tertekan. d. Koefisien Simpanan atau Simpanan spesifik Koefisien simpanan adalah volume air yang dapat masuk dalam suatu simpanan oleh akifer tertekan per satuan luas akifer persatuan penurunan atau kenaikan tekanan head. Sering juga disebut storasivitas (storativity). Definisi ini sama dengan hasil spesifik untuk akifer bebas. Akifer tertekan selalu jenuh setiap
16 saat, pelepasan air tidak dapat dilakukan dengan melalui drainase seperti pada akifer bebas. Dalam akifer tertekan, pengeluaran atau penambahan air diperoleh dengan perubahan tekanan pori. Dalam kondisi kesetimbangan, gaya berat formasi akifer dan beban lainnya dari puncak sebanding dengan butir tanah (skeleton) dan air di dalam pori akifer. Hasil pemadatan butiran akifer dan pengembangan air disebut elastisitas. Proses pengisian kembali ke dalam suatu ruang disebut resapan (recharge). Gambaran di atas termasuk lebar akifer yang mana tidak mungkin konstan untuk sebuah akifer. Suatu bentuk lain yang dikenal sebagai simpanan spesifik yang tidak memasukkan b (b=1) di dalam persamaan di atas. Simpanan spesifik sifatnya konstan pada suatu akifer dan ia merupakan parameter dasar. Simpanan spesifik adalah volume air yang dikeluarkan dari simpanan persatuan penurunan head tekanan dengan satuan volume akifer, atau:
Ss =
S b
…………………
(8)
di mana, Ss = Simpanan spesifik. Air yang terinfiltrasi ke dalam tanah dapat mengalir secara cepat sebagai aliran antara (interflow), berperkolasi ke lapisan batuan di bawahnya dan tampungan airbumi, atau disimpan sementara waktu sebagai lengas tanah. Lengas tanah memainkan fungsi yang vital dalam melarutkan unsur-unsur hara dan menyokong kehidupan tanaman, akan tetapi secara hidrologi lengas tanah merupakan suatu reservoir penyimpanan yang naik turun secara cepat, di mana air diserap oleh akar-akar tanaman untuk transpirasi. Air bawah permukaan (airbumi) terdapat pada celah-celah kerak bumi atau zona pecahan batuan. Udara dan air terdapat pada rongga-rongga segmen bagian atas, zona aerasi, yang mencakup tanah dan lapisan batuan di bawahnya yang merupakan air tersuspensi (vadose). Airbumi terdapat pada zona kejenuhan, yang bagian atasnya disebut muka airbumi (water table) (Lee, 1986). Sebenarnya semua airbumi adalah presipitasi yang telah berinfiltrasi ke dalam tanah dan berperkolasi melalui zona aerasi. Airbumi tersebut dapat disimpan baik dalam ruang-ruang antar butir pada batuan yang padat, pada ruangruang yang lebih besar di antara pasir dan kerikil yang tidak terkonsolidasi,
17 maupun pada ruang-ruang yang besar pada pecahan batuan dan saluran-saluran resapan. Formasi geologi yang dapat menyimpan dan meneruskan jumlah air yang cukup besar disebut akifer, jika sebaliknya disebut akuiklude. Airbumi dikatakan bebas jika batas atasnya adalah permukaan airbumi yang mendukung pinggiran kapiler (pada tekanan atmosfir), tertekan (confined) atau artesian jika dilapisi suatu akuiklude dan menggantung suatu akifer yang dilapisi oleh akuiklude yang tidak kontinyu di atas suatu kawasan yang sangat luas namun terletak di atas tubuh airbumi utama (perched aquifer). Airbumi merupakan komponen simpanan daerah tangkapan yang terbesar, namun secara hidrologi besaran mutlaknya kurang penting dibandingkan immobilitas nisbinya. Gerakan airbumi berfluktuasi lambat sehubungan dengan presipitasi dan masukan (inflow) perkolasi, dan dengan keluaran (outflow) perembesan yang menyebabkan adanya mata air dan aliran dasar dalam sungai, akibatnya cadangan airbumi mengurangi pengaruh-pengaruh ekstrim presipitasi, menyimpan kelebihan-kelebihan periodik yang dilepaskan secara berangsurangsur selama periode-periode kekeringan (Lee, 1986). 2.3. Aliran Air Bawah Permukaan (Airbumi) Di samping simpanan air bawah permukaan, suatu akifer juga akan mengalirkan air dari energi yang tinggi ke energi yang lebih rendah. Perbedaan energi bervariasi terhadap tempat yang disebabkan oleh proses yang secara kontinyu yaitu infiltrasi dan pengeluaran air di bawah tanah. Parameter dasar yang berhubungan dengan pergerakan air melalui media berpori diantaranya koefisien permeabilitas atau konduktivitas hidraulik (Gupta, 1989) dengan penjelasan sebagai berikut: a. Konduktivitas Hidraulik Konduktivitas hidraulik merupakan suatu koefisien yang merupakan perbandingan antara laju aliran dan gradien energi yang disebabkan oleh aliran itu sendiri. Hal ini dipengaruhi oleh sifat media berpori dan cairan yang mengalir melalui media berpori tersebut. Sifat fluida berpengaruh terhadap viskositas dan berat spesifik. Sifat media yang berpengaruh seperti porositas, distribusi ukuran butiran/partikel tanah dan bentuk partikel tanah itu sendiri. Hal ini dihubungkan dengan efektivitas media berpori sebagai media transmisi/pengaliran yang dikenal
18 dengan istilah permeabilitas intrinsik (spesifik). Jika sifat fluida dikombinasikan dengan permeabilitas intrinsiknya maka disebut koefisien permeabilitas atau konduktivitas hidraulik yang dirumuskan (Viessman et al., 1977):
K =k
γ µ
di mana: K k γ µ
………………………………………………..
(9)
= konduktivitas hidraulik = permeabilitas intrinsik = berat spesifik fluida = viskositas dinamik fluida
Hubungan aliran dan gradien energi, diketahui melalui hukum Darcy’s di mana konduktivitas hidraulik dianggap sebagai konstanta pembanding yang didefinisikan sebagai: q = K.i
…………………
(10)
q i
………………..
(11)
atau K=
di mana: q i ∆h
= aliran spesifik atau aliran persatuan luas penampang aliran = gradien hidraulik = ∆h/l = perubahan muka airbumi setiap panjang l
Suatu medium dikatakan memiliki konduktivitas hidraulik 1 (satuan panjang per satuan waktu) jika ia mengalirkan satu unit aliran melalui suatu unit luas penampang suatu gradien hidraulik per satuan perubahan head melalui unit panjang aliran. Nilai konduktivitas hidraulik dapat ditentukan dengan rumus empiris dari pengukuran laboratorium dan dari uji lapangan. b. Transmisivitas Transmisivitas menentukan kemampuan sebuah akifer untuk melewatkan air pada ketebalan tertentu. Pada suatu akifer tertentu dengan ketebalan seragam dapat dituliskan:
T = Kb di mana: T K b
……………….. = transmisivitas = konduktivitas hidraulik rata-rata = tebal akifer
(12)
19 Ketika konduktivitas hidraulik merupakan fungsi kontinyu terhadap kedalaman, maka dapat dituliskan:
K=
1 b Kzdz b ∫0
………………
(13)
Ketika medium berlapis, dua kondisi yang mungkin yaitu arah aliran adalah paralel terhadap lapisan atau normal. Ketika arah aliran paralel terhadap lapisan, nilai konduktivitas hidraulik rata-rata dapat dituliskan :
K=
1 (K1b1 + K 2 b2 + K 3b3 + ... + K n bn ) b
…………….
(14)
Untuk aliran yang tegak lurus terhadap lapisan, konduktivitas aliran ratarata dapat dituliskan :
K=
b b1 / K 1 + b2 / K 2 + b3 / K 3 + ... + bn / K n
……………
(15)
2.4. Faktor-faktor Kendali Persamaan Aliran Airbumi Penulisan persamaan pengatur aliran airbumi dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor kendali aliran airbumi. Secara umum, aliran airbumi menggunakan persamaan aliran dalam tanah berdasarkan hukum Darcy’s (Todd, 1995) dan dikombinasikan dengan hukum konservasi massa fluida (persamaan kontinyuitas) (Dingman, 2002). a. Hukum Darcy’s:
qx ≡
∂h Q = − K hx dx Ax
...........................................................
(16)
Untuk arah y, analog dengan arah x. Persamaan aliran tersebut, jika dituliskan dalam bentuk transmisivitas untuk akifer yang tidak tertekan akan menjadi (Mays dan Tung, 1992): q=−
T ∂h h ∂l
........................................... ………………………….
(17)
di mana: T = transmisivitas, h = tebal akifer. b. Persamaan kontinyuitas Jumlah air yang masuk dikurangi dengan jumlah air yang keluar dalam waktu tertentu pada suatu sistem sama dengan besarnya tampungan.
M in − M out = ∆M
.................................................................
(18)
20 di mana Min adalah massa air yang masuk dalam volume, Mout adalah massa air yang keluar volume dan M adalah perubahan massa simpanan. Persamaan aliran airbumi dapat diturunkan berdasarkan persamaan konservasi dengan memandang kontrol volume berbentuk segi empat (dx, dy dan dz) dalam interval waktu dt. Aliran yang masuk dapat berasal dari segala arah, dan vektor aliran paralel dengan vektor pada sisi volume Vx, Vy dan Vz. Massa air yang masuk dengan memasukkan komponen volume yang melalui sisi 1, 2 dan 3 (Gambar 4) yang dirumuskan: M in = ρ .V x .dy.dz.dt + ρ .V y .dx.dz.dt + ρ.V z .dx.dy.dt
.......................
(19)
di mana = kerapatan massa air.
Gambar 4 Diagram penurunan persamaan kontinyuitas untuk aliran airbumi. Sedangkan air yang keluar dapat dirumuskan: ∂ (ρ .V y ) ∂ (ρ .V x ) dy .dx.dz.dt + dx.dy.dz.dt + ρ .V y + M out = ρ .V x + ∂x ∂y ∂( ρ.V z ) ρ .V z + ∂z dz .dx.dy.dt
..
(20)
Koefisien simpanan (S) pada suatu akifer dapat didefinisikan: S=
Volume air (masuk / keluar) simpanan [L3 ] Luas permukaan akuifer [L2 ].(penamba han / penguranga n) dalam head [L]
21 Sehingga perubahan massa dapat dirumuskan:
∆M = ρ .S .
∂h .dx.dy.dz.dt ∂t
.........................................................
(21)
di mana S = simpanan spesifik. Dengan mensubtitusi persamaan (19)-(21) ke dalam persamaan (18) dengan asumsi kerapatan massa konstan, dan menyederhanakan dalam bentuk tiga dimensi untuk interval waktu dt, maka persamaan aliran airbumi menjadi: −
∂V x ∂V y ∂V z ∂h − = −S − ∂t ∂y ∂z ∂x
.....................................................
(22)
Jika air akan ditambahkan ke dalam kontrol volume oleh resapan atau pengurangan akibat pemompaan atau evaporasi, maka persamaan (22) menjadi: −
∂V x ∂V y ∂V z ∂h − − ± R = −S ∂x ∂t ∂y ∂z
.............................................
(23)
Di mana R adalah volume air yang ditambahkan (R > 0) atau pengurangan (R < 0) per satuan volume akifer dan waktu [T-1]. Berdasarkan asumsi Dupuit bahwa pada semua titik dalam sisi x dan y total muka airbumi untuk arah z adalah konstan, sehingga Vz = 0. Dengan demikian, maka tinjauan hanya dua dimensi yaitu dalam arah x dan y, sehingga persamaan (23) menjadi: ∂V x ∂V y ∂h = S. ± R + ∂t ∂y ∂x
................................................................
(24)
Koefisien simpanan (S) atau hasil spesifik (S y) untuk akifer bebas merupakan volume air yang dapat diambil dari simpanan per satuan luas akifer per satuan penurunan muka airbumi (Wang dan Anderson, 1982):
S =
− Vw ∆x∆y∆h
............................................................................
Laju penurunan simpanan adalah
(25)
Vw t dan dapat dituliskan menjadi
-S x y h t) sementara volume yang keluar atau masuk adalah R(x,y x y. Dengan demikian persamaan (24) dapat dituliskan menjadi:
∂q y ∂q x ∂h ∆x(h.∆y ) + ∆y (h∆x ) = − S (∆x∆y ) ± R( x, y, t )∆x∆y ∂t ∂x ∂y
.......
(26)
22 Dengan mensubtitusi persamaan Darcy’s untuk qx dan qy dan dibagi dengan -
y, maka persamaan (26) menjadi:
∂ 2h ∂ 2h ∂h T 2 + 2 = S ± R ( x, y , t ) ∂t ∂y ∂x
............................................
(27)
Persamaan (27) menunjukkan bahwa aliran airbumi dipengaruhi oleh: 1. Gradien hidraulik (dh/dx dan dh/dy), 2. Sifat akifer (transmisivitas dan storativitas), 3. Resapan (recharge), 4. Keluaran/pengambilan (discharge), Transmisivitas akan berubah akibat perubahan muka airbumi pada akifer bebas. Atas dasar tersebut, maka transmisivitas disubtitusi dengan menggunakan konduktivitas yang merupakan sifat fisik dari akifer yang tidak berubah akibat perubahnan muka airbumi. Demikian halnya dengan penggunaan storativitas hanya diperuntukkan pada akifer tertekan, maka untuk akifer bebas digunakan hasil spesifik (Bear dan Verruijt, 1987). Hubungan antara konduktivtas dan transmisivitas yang merupakan fungsi dari muka airbumi dirumuskan sebagai berikut:
T = K .h
....................................................................................
(28)
Sedangkan hasil spesifik dapat ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan antara hasil spesifik, retensi spesifik dan ukuran partikel yang ditentukan dengan pendekatan yang berdasarkan pada nilai konduktivitas. Grafik hubungan teresbut seperti pada Gambar 5. Dengan mensubtitusi transmisivitas dengan konduktivitas dan storativitas dengan hasil spesifik, maka persamaan (27) menjadi: ∂2h ∂2h ∂h K .h 2 + 2 = S y ± R ( x, y , t ) ∂t ∂y ∂x
………………………….
(29)
Debit pengambilan dengan pompa pada setiap titik dalam grid beda hingga dihitung dengan persamaan (Elhassan et al., 2003):
W = Pump * pp / ∆x∆y
............................................................
(30)
di mana W adalah jumlah air yang dipompa per satuan luas akifer (m/dt), Pump adalah jumlah air yang dipompa per satuan luas sawah (m/dt) dan pp adalah luas sawah yang diairi tiap sumur dalam grid beda hingga (m2).
23
Gambar 5 Hubungan antara hasil spesifik, retensi spesifik dan ukuran partikel (Bear dan Verruijt, 1987). 2.5. Estimasi Resapan Airbumi Mempelajari peluang pemanfaatan airbumi, kita harus mengetahui seberapa besar potensi suatu akifer. Potensi tersebut dapat diprediksi berdasarkan resapan secara spasial, yang dapat digunakan untuk menduga sumber resapan dan karakteristik akifer. Beberapa metode mengestimasi laju resapan airbumi pada suatu akifer (De Silva, 2004) yaitu: (a) metode lysimeter, (b) model ketersediaan airbumi, (c) metode fluktuasi muka airbumi, (d) metode kesetimbangan airbumi pada suatu daerah tangkapan, (e) pemodelan numerik pada zona tidak jenuh dan jenuh, (f) metode Darcy, (g) metode profil tritium dan (h) metode profil cloride. Mengestimasi resapan airbumi dengan menggunakan isotop oksigen dan Cl diperoleh suatu kesan (Jones dan Banner, 2003) bahwa: 1) ketidak pastiannya kecil, 2) keuntungannya yaitu memberikan pengetahuan distribusi resapan secara spasial dan waktu pada akifer 3) pengaruh penurunan permukaan airbumi kecil dan 4) membutuhkan pengukuran langsung di lapangan yang lebih sedikit
24 dibandingkan dengan estimasi resapan berdasarkan pengukuran secara langsung terhadap parameter hidrologi. Oleh Vandenbohede dan Lebbe (2003) dengan uji pompa, hasil yang diperoleh juga baik terutama dalam penentuan parameter hidraulik seperti simpanan spesifik,
konduktivitas hidraulik horizontal dan
vertikal. Dan oleh De Silva (2004) ditambahkan bahwa estimasi resapan secara spasial adalah sangat penting jika estimasi dilakukan dengan pengumpulan data secara akurat mengenai muka airbumi. Dengan menggunakan model dua dimensi, maka syarat secara spasial tentang muka airbumi dapat dipenuhi. 2.6. Metode Beda Hingga Solusi numerik untuk persamaan non linier biasanya menggunakan salah satu di antara dua metode yaitu beda hingga (finite difference) atau elemen hingga (finite element). Perbedakan mendasar penggunaan kedua metode adalah ruang/diskrit skema numerik yang didasarkan pada sifat bahan/kondisi fisik dan juga batas flus obyek yang diamati. Pada diskrit yang sama, beda hingga menunjukkan suatu kesalahan yang signifikan dibandingkan dengan finite elemen (Simpson dan Clemen, 2003). Untuk mengatasi kelemahan metode beda hingga tersebut, maka dalam penggunaanya dilakukan diskritisasi yang lebih halus sehingga penyimpangan akibat diskritisasi dapat diperbaiki. Menurut Munadi (1995), bahwa persamaan parsial yang diselesaikan dengan metode beda hingga atau elemen hingga sangat cocok menggunakan algoritma Thomas, di mana persamaan parsial tersebut diselesaikan menjadi persamaan linier simultan yang berbentuk matriks tridiaonal. Persamaan matriks tridiagonal secara umum dapat dituliskan:
a11 a 21 AX=B atau 0 0
a12
0
a 22 a 32
a 2,3 a 3, 3
0
a n, n−1
0 x1 b1 0 x 2 b2 = a n−1,n M M a n,n xn bn
.........................
(31)
Untuk mencegah penyimpangan akibat sejumlah angka nol yang tidak berguna dari setiap a dalam matriks, maka dilakukan pengubahan notasi untuk koefisen-koefisien matrik. Modifikasi dimaksudkan agar memori komputer yang dibutuhkan lebih sedikit (Chapra dan Canale, 1991). Hasil modifikasi koefisien dari matriks tridiagonal sebagai berikut:
25 b1 a 2
c1 b2 O
c2 O a n−1
O bn −1 an
x1 b1 x b 2 2 M = M c n−1 x n −1 bn−1 bn xn bn
...................................
(32)
Matriks berukuran sangat besar dan banyak elemen berharga nol, maka metode Gauss-Seidel sangat cocok. Metode ini beroperasi dengan cara iterasi. Untuk itu, perlu diberikan harga awal dari nilai-nilai yang akan dicari di samping nilai toleransi kesalahan yang diperbolehkan. Toleransi berfungsi sebagai pengontrol presisi dan menghentikan iterasi. Proses iterasi dengan menggunakan merode Gauss-Seidel akan konvergen lebih cepat bila nilai awal mendekati nilai sebenarnya dalam batas toleransi kesalahan yang diberikan (Munadi, 1995). 2.7. Model Airbumi, Uji Kalibrasi dan Kesahihan Menurut Mulyono (1991), model adalah abtraksi atau penyederhanaan realitas sistem yang kompleks di mana hanya komponen-komponen yang relevan atau faktor-faktor yang dominan dari masalah yang dianalisa diikutsertakan. Model matematika adalah model yang menggunakan seperangkat simbol dan atau persamaan matematik untuk menunjukkan komponen-komponen dan hubungan antara komponen dari sistem nyata. Menurut Bear dan Verruijt (1987), secara garis besar pemodelan masalah pendugaan
airbumi kaitannya
dengan
pengelolaan
sumber daya
dapat
dikelompokan atas dua bagian. Pertama adalah kuantitas atau masalah keseimbangan airbumi yang bertujuan untuk memprediksi perubahan permukaan air sebagai respon atas penurunan airbumi dan resapan buatan. Dan kedua adalah masalah yang berhubungan dengan kualitas atau masalah polusi yang bertujuan untuk memprediksi perubahan kualitas air. Kalibrasi bertujuan untuk meminimalkan kesalahan. Ada tiga metode yang umum digunakan dalam menjelaskan rata-rata perbedaan antara hasil simulasi dengan pengukuran (Anderson dan Woessner, 1992) yaitu: a. Mean Error (ME) Mean Error adalah rata-rata perbedaan antara muka airbumi pengukuran dengan muka airbumi simulasi yang dirumuskan sebagai:
26 n
ME = 1 / n ∑ (hm − hs )i
......................................................
(33)
i =1
di mana: n = banyaknya data, h m = muka airbumi pengukuran dan hs = muka airbumi simulasi
b. Mean Absolute Error (MAE) Mean Absolute Error adalah rata-rata nilai absolut selisih antara pengukuran dengan simulasi yang dirumuskan sebagai: n
MAE = 1 / n∑ (hm − hs )i
........................................................
(34)
i =1
c. Root Mean Square (RMS) . Root Mean Square (RMS) kesalahan atau standar deviasi yaitu rata-rata pangkat dua antara pengukuran dan simulasi. RMS dihitung dengan persamaan: 2 RMS = 1 / n ∑ (h ukur − h sim )i
1/ 2
...............................................
(35)
Uji kesahihan atau keabsahan adalah salah satu kriteria penilaian keobyektifan dari suatu pekerjaan ilmiah. Dalam pemodelan, nilai obyektifitas ditunjukkan dengan sejauhmana model dapat menirukan fakta (Muhammadi et al., 2001). 2.8. Model Optimasi dengan Solver Optimasi menggantikan proses trial-and-error dalam mengubah suatu disain dan mensimulasi kembali dengan menggunakan masing-masing perubahan disain yang baru. Dengan demikian, model optimasi secara otomatis mengubah parameter-parameter disain. Prosedur optimasi diungkapkan secara matematik yang menguraikan sistem dan tanggapannya terhadap input sistem untuk berbagai parameter disain. Ungkapan matematika tersebut merupakan batasan-batasan di dalam optimasi model. Sebagai tambahan, batasan-batasan digunakan untuk menggambarkan batas-batas variabel-variabel disain dan capaian dievaluasi melalui
satu
fungsi tujuan,
yang
bisa
berupa
memaksimumkan
atau
meminimalkan (Mays dan Tung, 1992). Menurut Arifin (2005), Solver merupakan salah satu fasilitas tambahan (Add-ins) yang digunakan untuk memecahkan persoalan yang cenderung rumit.
27 Selanjutnya Arifin dan Fauzi (2007), solver dapat digunakan untuk melakukan berbagai skenario optimasi atas suatu masalah. Solver dapat menangani masalah yang melibatkan banyak sel variabel dan membantu mencari kombinasi variabel untuk meminimalkan dan memaksimalkan nilai suatu sel target. Solver memungkinkan untuk mendefinisikan sendiri suatu batasan atau kendala yang harus dipenuhi agar pemecahan masalah dianggap benar. Menurut Yulianto dan Sutapa (2005), sebelum memasuki Solver, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendefinisikan dan memilih variabel keputusan, kendala dan fungsi tujuan dari suatu masalah. Setelah langkah pertama, yang harus dilakukan adalah memasukkan data fungsi tujuan, kendala dan variabel keputusan dalam Excel. Selanjutnya Yulianto
dan Sutapa (2005), mendefinisikan variabel
keputusan, fungsi tujuan dan kendala sebagai berikut: 1) Variabel keputusan adalah variabel yang menggambarkan keputusan yang akan dibuat. 2) Fungsi tujuan adalah fungsi dari harapan atau kriteria yang ingin dicapai, yang selanjutnya akan dimaksimalkan atau diminimalkan. 3) Kendala atau batasan adalah kondisi atau syarat yang membatasi nilai-nilai dari variabel keputusan yang mungkin. 2.9. Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi Irigasi berarti mengalirkan air dari sumbernya agar dapat digunakan untuk memenuhi keperluan pertanian. Dengan demikian tujuan irigasi adalah mengalirkan air untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman dengan cara membagi-bagikan di antara sawah secara teratur dan kemudian membuang kelebihannya setelah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kebutuhan air irigasi merupakan jumlah air yang dibutuhkan sebagai tambahan terhadap hujan agar dapat memenuhi kebutuhan tanaman yang sedang tumbuh (Hansen et al., 1979). Menurut Kalsim (2002), dalam perancangan irigasi, keperluan air sering dinyatakan dengan aliran khayal (Imaginary flow) yang secara kontinyu (24 jam per hari) masuk dan keluar dalam 1 ha lahan. Satuan yang digunakan dinyatakan dalam 1 lt/(dt.ha) = 8,64 mm/hari. Pengaliran air irigasi dapat dilakukan dari beberapa sumber, salah-satu di antaranya adalah airbumi.
28 Baik airbumi bebas maupun airbumi tertekan umumnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber air pengairan, terutama di daerah-daerah dataran dan daerah berteras, karena lapisan-lapisan yang mengandung air terbentuk secara teratur, demikian pula distribusinya dan pengisian airnya kembali. Pemanfaatan airbumi, terutama untuk pemenuhan kebutuhan air bagi keberhasilan usaha budidaya tanaman perlu didahului dengan penyidikan-penyidikan agar di kemudian hari tidak terjadi hal-hal yang merugikan dan dapat berlangsung secara berkelanjutan (Kartasapoetra et al., 1994). Menurut Pusposutardjo (2001), bahwa konsep pengembangan irigasi berkelanjutan dapat dijelaskan dengan mengadopsi rumusan pembangunan berkelanjutan seperti pada Gambar 6. Konsep pembanguan berkelanjutan tersebut dikenal
sebagai
konsep
Burger.
Konsep
Burger
dalam
pembangunan
berkelanjutan menganut asas-asas : (1) efisensi (2) kecukupan (3) konsistensi keserasian dari elemen-elemen pembangunan dan (4) kewaspadaan.
Keberlanjutan ekologi biosfer : - Keberlanjutan Sumber daya - Keberlanjutan lingkungan
Bentuk dari pembangunan masyarakat : - Keberlanjutan cultural - Keberlanjutan social - Keberlanjutan politis - Keberlanjutan institusi Pengembangan Irigasi Berkelanjutan
Modus dari produksi sebagai pembangunan ekonomi : - Keberlanjutan ekonomis - Keberlanjutan fisik.
Gambar 6 Konsep pembangunan irigasi pembangunan berkelanjutan.
berkelanjutan
dalam
cakupan
Menurut Kartasapoetra et al. (1994), bahwa dalam rangka memenuhi kebetuhan air irigasi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dibudidayakan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu dilakukan
29 penyelidikan tentang kondisi sumber airbumi. Penyelidikan dilakukan terhadap banyaknya airbumi yang dapat dipompa ke luar dan kapasitas pemulihan kembali permukaan airbumi pada kedalaman semula setelah pemompaan dihentikan. Komponen penyelidikan pada umumnya dilakukan terhadap : 1)
Banyak/besarnya airbumi yang keluar dari akifer,
2)
Bayaknya airbumi yang keluar dengan memperhatikan uji penurunan permukaan airbumi secara bertahap (step drawdown), agar perencanaan tentang banyaknya pemompaan air dapat ditentukan secara seimbang, sebab kenyataannya apabila banyaknya pemompaan menjadi lebih besar dari nilai tertentu, kapasitas spesifik akan berkurang secara drastis dan pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan suatu akifer. Selanjutnya Kartasapoetra et al. (1994), menjelaskan bahwa untuk
mencegah mengeringnya sumber airbumi, tindakan yang perlu dilakukan adalah : 1) Pemompaan airbumi dalam usaha mencukupi kebutuhan air hendaknya dilakukan
secara
seimbang
antara
banyaknya
pemompaan
dengan
pengisiannya kembali, 2) Pada lapisan dangkal yang diketahui sirkulasi airbuminya rendah, maka besarnya pemompaan hendaknya dibatasi, 3) Pada lapisan yang dangkal dengan kemampuan pengisian kembali yang besar dan kecepatan sirkulasi airbuminya tinggi pemompaan memang dapat dilakukan secara besar, namun demikian pemompaan airbumi tersebut hendaknya dilakukan sampai batas maksimal tertentu (debit optimal) saja, demi pengawetan airbumi di daerah itu. Kondisi suatu lapisan pengandung airbumi atau lapisan yang jenuh dengan airbumi (akifer) ditentukan oleh struktur geologi dan bentuk topografi, dengan demikian maka tahap dasar dalam rangka penyelidikan airbumi harus meliputi (Kartasapoetra et al., 1994): 1) Penyelidikan awal terhadap topografi dan geologi di tempat di mana airbumi itu sangat diperlukan bagi pengairan; 2) pendugaan fisik dan pemboran uji adalah untuk menduga, apakah di tempat/daerah itu memang terdapat sumber airbumi;
30 3) pengukuran airbumi dan pengujian akifer yaitu untuk memperkiran apakah sumber airbumi tadi potensial jika dimanfaatkan bagi pengairan. Selain kemampuan sumber airbumi, kebutuhan air irigasi bagi tanaman perlu diketahui agar terjadi keseimbangan sehingga keberlanjutan irigasi dapat tercapai. Di samping itu, keberlanjutan perlu dukungan ekonomi yang merupakan faktor produksi tanaman. Dengan demikian, diperlukan pengetahuan tentang kedua hal tersebut hubungannya dengan irigasi. 2.10. Hubungan irigasi dan produksi Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa hasil tanaman baik jika diberi air irigasi yang tepat jumlah dan frekuensinya, karena tidak terganggu cekaman air, dan tidak pula terjadi kelebihan air di daerah perakaran yang menyebabkan aerasi terganggu. Menurut Doorenbos et al. (1977), bahwa kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan irigasi adalah efisiensi penggunaan air oleh tanaman yang didefinisikan sebagai berat kering hasil per satuan air yang digunakan oleh tanaman. Hal ini sering diartikan sebagai rasio transpirasi (TR), karena sebagian besar air yang digunakan oleh tanaman adalah untuk proses transpirasi. Pengaruh jumlah air yang diberikan terhadap hasil dan efisiensi penggunaan air dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Pengaruh jumlah air yang diberikan terhadap hasil dan efisiensi penggunaan air No Perlakuan Lengas Total air yang Hasil berat Hasil 3 tersedia digunakan (m /ha) kering (kw/ha) (kg/m3) 1 1968 40 1760 11.1 0.6 2 1968 50 1900 12.1 0.6 3 1968 70 1970 14.5 0.7 4 1969 20 1060 21.0 2.0 5 1969 30 1190 21.8 1.8 6 1969 50 1270 22.7 1.8 Sumber : FAO Irrigation and Drainage Paper No. 13, 1971. Pada Tabel 2 terlihat bahwa percobaan pada tahun 1968, makin tinggi nilai lengas tersedia pada tanah, hasil berat kering/hektar makin tinggi, tetapi efisiensi pemakaian air oleh tanaman makin rendah, dan efisiensi pemakaian air lebih tinggi pada keadaan lengas tersedia dalam tanah cukup rendah. Sementara penggunaan air irigasi menggunakan airbumi memiliki efek yang positif terhadap produktivitas lahan. Hal ini ditunjukkan dalam hasil penelitian
31 yang di lakukan oleh Adji (2006). Dalam penelitian tersebut, dilakukan perbandingan produktivitas lahan dengan penggunaan beberapa sumber air untuk irigasi dengan hasil seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil tanaman padi irigasi dari berbagai sumber air Suber air irigasi
Air Sumur Dalam Air Irigasi Saring Air Sungai Cikijing Sumber : Adji, 2006.
Jumlah malai/ rumpun 23 - 52 16 – 27 9 – 11
Kisaran berat gabah kering per malai (gram) 2,05 – 2,26 1,70 – 1,84 1,52 – 1,59
Kisaran berat gabah kering/pot (gram) 50,89 – 59,12 16,17 – 18,48 6,03 – 7,08
2.11. Kebijakan Pemerintah tentang Produksi Gabah Beras merupakan komoditas pangan yang sangat penting peranannya dalam kehidupan Bangsa Indonesia karena berkaitan dengan ekonomi makro, inflasi, ketahanan pangan, pengangguran dan kemiskinan. Atas dasar tersebut, maka pemerintah berupaya agar ketersediaan pangan selalu terjamin. Menurut Menteri Pertanian dalam Anonim (2007), bahwa pemerintah menargetkan produksi padi pada tahun 2007 naik dari 54,66 juta ton GKG (2006) menjadi 58,18 juta ton, guna menambah produksi 2 juta ton beras 4. Menurut Presiden R.I. dalam Anonim (2007), bahwa tahun 2007 sasaran pemerintah minimum menambah produksi beras 2 juta ton dari tahun 2006, sehingga produksi menjadi sekitar 36 juta ton. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah melakukan beberapa langkah seperti upaya peningkatan produktivitas, perluasan areal tanam, pengamanan produksi, pemberdayaan kelembagaan pertanian dan dukungan pembiayaan usahatani5. Program peningkatan produksi dilakukan guna menekan gejolak kenaikan harga akibat ketidakseimbangan antara penyediaan dan permintaan. Harga beras yang rendah selalu diupayakan karena6 (Timmer, 1999 dalam Suroso, 2007): (i) hanya sekitar 20-25% petani akan lebih sejahtera jika harga beras tinggi, (ii) harga beras tinggi akan menghambat proses diversifikasi usahatani yang seharusnya terjadi (iii) harga beras tinggi akan menyebabkan tenaga kerja menuntut upah yang lebih tinggi, yang akan menyebabkan turunnya investasi, 4
Pemerintah Akan rekrut 40.000 Penyuluh Pertanian. Kompas, Jum’at, 9 Feb 07, hal 22 kol.6-7 BPS: Produksi Padi 2007 Turun . Investor Daily, Jum’at 2 Mar 2007. Hal 9 kol 3-7 6 Kontroversi Impor Beras. Investor Daily, Jum’at 2 Mar 2007. Hal. 4 Kol 3-7 5
32 baik domestik maupun asing dan (iv) pemerintah mempunyai kekhawatiran yang berlebihan tentang kecendrungan kenaikan harga beras sebagai pemicu potensi inflasi. Alasannya bahwa komoditas beras memiliki bobot yang relatif besar dalam perhitungan Indeks Harga Konsumen (IHK) dibandingkan dengan komoditas lainnya. Upaya Pemerintah Kabupaten Wajo untuk meningkatkan produksi dilakukan melalui peningkatan potensi areal tanam padi, terutama pada sawah tadah hujan dari satu kali setahun menjadi dua kali setahun dengan menggalakkan pompanisasi yang memanfaatkan air sungai, danau di samping itu dengan pemanfaatan airbumi. Penggunaan pompanisasi lebih ditekankan karena jenis sawah didominasi sawah tadah hujan yaitu seluas 65.780 ha atau 76,36%, disusul dengan irigasi sederhanya/pompanisasi seluas 11.350 ha atau 13,18% dan sisanya berupa sawah irigasi teknis hanya seluas 9.012 ha atau 10,46% dari luas keseluruhan sawah yaitu 86.142 ha (DISTAN KAB. WAJO, 2004). Pada sawah tadah hujan, pompanisasi banyak dilakukan dengan memanfaatkan airbumi khususnya pada wilayah yang memiliki potensi airbumi besar. Hal ini dilakukan mengingat distribusi curah hujan Kab. Wajo sangat singkat dan tidak merata sepanjang tahun sehingga tanah tidak dapat menyediakan kadar air yang efektif untuk tanaman sepanjang pertumbuhannya, meskipun curah hujan tahunan relatif besar. Adapun grafik pola curah hujan Kab. Wajo 6 (enam) tahun terakhir seperti pada Gambar 7. Program
Pemerintah
Kab.
Wajo
tersebut
telah
menunjukkan
keberhasilannya seperti pada tahun 2003, Kab. Wajo mengalami surplus beras sebayak 191.987.759 kg. Kelebihan produksi tersebut digunakan untuk mensuplai kebutuhan propinsi lainnya dan diantarpulaukan. Surplus terjadi karena ketersediaan pangan mencapai
253.658.400 kg beras sementara penggunaan
untuk konsumsi penduduk per kapita pada tahun 2003 diasumsikan sebesar 136,94 kg dengan jumlah penduduk kabupaten Wajo pada tahun 2003 sebanyak 365.041 jiwa, maka beras yang dikonsumsi sebanyak 49.988.714 kg. Kebutuhan beras untuk pakan 0,45% atau sebanyak 1.141.463 kg dan industri 0,06% atau sebanyak 152.195 kg (DISTAN KAB. WAJO, 2004).
33
450
Hujan bulanan (mm) .
400 350 300 250 200 150 100 50
Ja nu a Fe ri br ua ri M ar et A pr il M ei Ju ni Ju A li g Se ustu s pt em b O er kt o N ber ov em D ber es em be r
0
Gambar 7 Curah hujan Kab. Wajo, stasiun Sengkang tahun 2001-2006 (Sumber: PSDA Sul-Sel, 2001-2005 dan Dinas Pengairan, Kab. Wajo, 2006). 2.12. Analisis Finansial dan Kelayakan Usahatani Analisa finansial diperuntukkan untuk menilai kelayakan usahatani. Di samping itu, hasil analisa finansial dapat digunakan sebagai indikator kemungkinan keberlanjutan sistem irigasi menggunakan airbumi. Dalam analisis finansial, ada dua variabel yang digunakan yaitu pendapatan dan biaya. Komponen biaya terdiri atas biaya tetap dan biaya tidak tetap. Menurut Prawirokusumo (1990), biaya tetap dalam pengertian jangka pendek (short run) yaitu biaya yang tidak berubah walaupun jumlah produksi berubah atau tidak terpengaruh oleh besar kecilnya produksi. Pengertian lain daripada biaya tetap dikemukakan oleh Thuesen dan Fabrycky (1993) bahwa biaya tetap yaitu kelompok biaya dalam suatu aktivitas yang relatif konstan selama dalam kegiatan tersebut berlangsung. Menurut Irwanto (1982), bahwa biaya tetap terdiri atas (1) biaya penyusutan alat dan mesin pertanian, (2) biaya bunga modal dan asuransi, (3) biaya pajak alat/mesin pertanian, (4) biaya garasi/gudang, (5) biaya dana sosial, dan lain-lain. Biaya tidak tetap atau biaya operasi bervariasi menurut pemakaian alat dan bahan pertanian. Biaya ini sangat bervariasi menurut jam pemakaian suatu alat,
34 banyaknya penggunaan bahan yang tergantung pada volume pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, maka komponen biaya tidak tetap bervariasi berdasarkan jenis kegiatan. Pada kegiatan usahatani yang menggunakan airbumi sebagai sumber irigasi dengan pemompaan, maka biaya tidak tetap terdiri atas: biaya bahan bakar, biaya pelumas dan biaya operasional dan perbaikan (O & M). Menurut Kadariah (1988), bahwa dalam analisa proyek, beberapa kriteria yang sering digunakan untuk menentukan diterima tidaknya suatu proyek. Keseluruhan kriteria, baik manfaat (benefit) maupun biaya dinyatakan dalam nilai sekarang. Kriteria yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Gross Benefit/Cost Ratio Dalam gross B/C ratio,
biaya kotor (gross cost) adalah biaya modal
(capital cost) atau biaya investasi permulaan, dan biaya operasi dan pemeliharaan (O & M), sedangkan pendapatan kotor (gross benefit) adalah nilai total produksi, dan kalau ada nilai sisa (salvage) produksi dari investasi. Gross B/C ratio dirumuskan sebagai:
Gross B/C ratio =
P.V. dari gross benefit P.V. dari gross cost
.................................
(36)
b. Net Benefit/Cost Ratio Dalam net B/C ratio untuk tiap tahun dihitung selisih antara pendapatan kotor dan biaya kotor. Biaya kotor biasanya lebih besar daripada pendapatan kotor untuk tahun-tahun pertama, sehingga pendapatan bersih adalah negatif, namun untuk tahun berikutnya bisa terjadi sebaliknya. Net B/C ratio adalah perbandingan antara nilai sekarang (present value) dari pendapatan yang positif dengan yang negatif (atau biaya bersih), yang dirumuskan: Net B/C ratio =
∑ P.V. net B positif ∑ P.V. net B negatif
=
net B net C
............................
(37)
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Agustus 2006 yang berlokasi di Sub DAS Data, Desa Wajoriaja, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dengan luasan sekitar 760,67 ha. Secara geografis terletak antara 404’30”- 407’20” LS dan 12002’30”-12006’46” BT (Gambar 8).
Peta Indonesia Peta Lokasi Penelitian Peta Sulawesi Selatan
Kab. Wajo
Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 3.2. Bahan dan Alat Dalam penelitian ini digunakan peralatan sebagai berikut: 1.
Alat ukur jarak (meteran)
2.
Waterpas dan kompas
3.
Alat ukur kedalaman muka airbumi (dirakit dengan menggunakan multimeter yang diberi meteran sepanjang kabel di mana pada ujung kabel tidak saling berhubungan)
4.
Alat ukur debit (alat penampung dan stopwatch)
5.
Seperangkat unit komputer dilengkapi dengan perangkat lunak (software) Microsoft Office, Visual Delphi 5, Surfer 8, Autodesk Map 6, Arc/Info 3.5.1, ArcView 3.3, WMS 7.0, Global Mapper 6.
3.3. Kebutuhan Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: 1)
Tinggi muka airbumi (h),
36 2)
Jarak antara antara sumur pengamatan (∆x, ∆y),
3)
Selang waktu pengamatan (∆t),
4)
Debit pengambilan airbumi (R),
5)
Laju evapotranspirasi (Etp),
6)
Konduktivitas (K),
7)
Transmisivitas (T),
8)
Hasil spesifik (Sy),
9)
Storativitas (S),
10) Data geolistrik dalam bentuk peta litologi, 11) Peta kontur muka airbumi, 12) Peta kontur permukaan tanah (SRTM), 13) Data Biaya dan Produksi. 3.4. Prosedur Pelaksanaan Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap dengan diagram alir pelaksanaan seperti pada Gambar 9. 1) Tahap Persiapan, berupa survai pendahuluan dengan membatasi lokasi penelitian dan menentukan beberapa sumur pengamatan, baik sumur uji maupun sumur pantau. 2) Tahap Pengumpulan Data, merupakan tahap pengukuran parameter yang dibutuhkan, meliputi: 1) Pengukuran jarak antara sumur pengamatan, baik secara horizontal maupun secara vertikal. 2) Menentukan penggal waktu pengamatan, 3) Pengukuran tinggi muka airbumi (head) setiap titik untuk setiap penggal waktu tertentu, 4) Pengukuran debit yang dipompa untuk setiap titik pada waktu tertentu. 5) Pengumpulan data biaya dan produktivitas lahan.
37
Mulai Survei Pendahuluan Penentuan Titik / Sumur Pengamatan
Penyusunan Model Matematika
Pemompaan Sumur Uji
Solusi Model Secara Numerik Simulasi Model
Tinggi Muka Airbumi Ukur
Tinggi Muka Airbumi Simulasi Uji Validasi Model
Tidak
Model Valid? Ya Aplikasi Model
Selesai Gambar 9 Diagram alir pelaksanaan penelitian. 3.5. Analisis Data Analisis data dilakukan berdasarkan model yang telah dibangun untuk menghitung tinggi muka airbumi selama pengamatan dilakukan, sehingga waktu dan volume air yang diperbolehkan diambil dapat ditentukan berdasarkan
38 kebutuhan air tanaman dan daya dukung akifer untuk mensuplai air dari daerah resapan. Diagram alir program perhitungan debit pengambilan optimal tersaji pada Gambar 10.
Mulai Baca data : 1.Head awal (h) 2.Debit (Q) 3.Penggal waktu (∆t) 4.Penggal jarak (∆x,∆y) Tentukan : 1. Konduktivitas hidraulik 2. Transmisivitas 3. Hasil spesifik Hitung : 1.Tentukan head minimum (hi,j) 2.Tentukan luas minimum layak (Ai,j) 3.Hitung debit pengambilan optimal(Qj,j)
Tidak
Kontrol kesamaan model Ya
Selesai Gambar 10 Diagram alir program perhitungan debit pengambilan optimal.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Identifikasi dan Deskripsi Daerah Kajian 4.1.1. Latar Belakang Dalam rangka keberlanjutan irigasi airbumi, maka salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah keseimbangan antara pengambilan airbumi dengan pengisian oleh daerah resapan. Pengisian daerah resapan ditentukan oleh kondisi daerah resapan serta karakteristik akifer. Karakteristik akifer tersebut menentukan kemampuan pengisian serta pelepasan airbumi. Oleh karena itu, penggunaan airbumi untuk irigasi diperlukan pengetahuan tentang karakteristik akifer agar kebutuhan air untuk tanaman selalu dapat terpenuhi sehingga usahatani irigasi airbumi dapat berkelanjutan. Karena setiap mandala airbumi memiliki karakteristik yang berbeda, maka perlu dilakukan pengkajian karakteristik akifer spesifik suatu lokasi. Karakteristik akifer yang perlu diketahui antara lain adalah transmisivitas, konduktivitas hidraulik, hasil spesifik (specific yield), ketebalan akifer dan posisi akifer dari permukaan tanah. Karakteristik akifer tersebut menentukan kemampuan akifer dalam hal pengisian dan pelepasan serta potensi airbumi. Di samping karakteristik akifer, daerah resapan sebagai sumber pengisian akifer perlu diketahui sehingga kebijakan untuk mempertahankan daerah resapan dapat dibuat secara terencana dan terarah. Hal ini sangat penting karena daerah resapan sebagai sumber suplai tampungan airbumi sangat menentukan keberlanjutan penggunaan airbumi untuk irigasi. 4.1.2. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gambaran umum daerah kajian 2. Mengetahui karakteristik akifer diantaranya adalah posisi, ketebalan, jenis, hasil spesifik dan konduktivitas hidraulik akifer. 3. Mengetahui daerah resapan sebagai sumber pengisian airbumi.dan potensi airbumi. 4.1.3. Metode Penelitian a. Gambaran umum daerah kajian
40 Gambaran umum daerah kajian diperoleh berdasarkan kajian pustaka dari beberapa instansi atau lembaga yang berkaitan dengan data-data yang dibutuhkan seperti data posisi daerah penelitian, ketinggian tempat (elevasi), kemiringan lereng, jenis tanah, klimatologi, geologi dan hidrogeologi. b. Penentuan ketebalan dan posisi akifer Karakteristik akifer berupa ketebalan, jenis dan posisi akifer ditentukan dengan cara menginterpretasi data litologi. Karena data uji geolistrik pada sekitar daerah penelitian sudah ada yang dilakukan oleh Proyek Pengelolaan Air Tanah (P2AT), maka interpretasi dilakukan dengan menginterpolasi data yang ada. Hasil interpretasi merupakan dasar dalam pemodelan akifer daerah penelitian. c. Penentuan konduktivitas hidraulik, jenis dan hasil spesifik akifer. Dari model akifer, dibuat sketsa untuk menentukan variabel dalam perhitungan pendugaan konduktivitas hidraulik seperti muka airbumi awal (ho), muka airbumi pada sumur pantau 1 dan 2 (h1 dan h2), dan penurunan muka airbumi (drawdown) pada sumur pantau 1 dan 2 (s1 dan s2). Secara umum sketsa penentuan variabel dalam menganalisis konduktivitas hidraulik pada akifer bebas seperti pada Gambar 11. Konduktivitas hidraulik dan hasil spesifik ditentukan dengan melakukan uji pemompaan dengan cara: a. Pemompaan dilakukan secara terus menerus hingga mencapai kondisi tunak (steady state). b. Pencacatan data penurunan muka airbumi dilakukan dengan frekuensi pada awal pemompaan lebih tinggi dan pada kondisi tunak pengambilan data dilakukan dengan selang waktu satu hari. Pengambilan data berupa debit dan penurunan muka airbumi pada sumur uji dan sumur pantau. Nilai konduktivitas hidraulik dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (Todd, 1995):
K=
r Q ln 2 2 r1 π h − h1
(
2 2
)
................................................................
di mana: K = Konduktivitas hidraulik (m/hari) Q = Debit (m3/hari) h 1 = Tinggi muka air sumur pantau 1 dari lapisan kedap (m)
(38)
41 h 2 = Tinggi muka air sumur pantau 2 dari lapisan kedap (m) r1 = Jarak antara sumur uji dengan sumur pantau 1 (m) r2 = Jarak antara sumur uji dengan sumur pantau 2 (m) Nilai-nilai variabel persamaan 38 ditentukan berdasarkan pada Gambar 11 berikut:
Gambar 11 Skema variabel persamaan konduktivitas hidraulik dan transmisivitas. Nilai konduktivitas hidraulik yang diperoleh dari beberapa kali pengamatan dioptimasi untuk mendapatkan konduktivitas hidraulik yang dapat mewakili nilai konduktivitas hidraulik sesungguhnya dari akifer. Optimasi dilakukan dengan menggunakan Solver dengan fungsi tujuan yaitu meminimalkan total perbedaan antara konduktivitas hidraulik. Demikian halnya dengan transmisivitas, akan dioptimasi dengan Solver. Sedangkan transmisivitas untuk setiap pengamatan dihitung dengan persamaan: T = K .h0 =
Q s 2π s1 − 1 2h0 2
s − s2 − 2 2h0 2
ln
r2 r1
...........................
(39)
42 di mana: T ho s1 s2
= Transmisivitas (m2/hari) = Tinggi muka air awal dari lapisan kedap (m) = Penurunan muka airbumi pada sumur pantau 1 (m) = Penurunan muka airbumi pada sumur pantau 2 (m)
d. Penentuan sumber resapan dan potensi airbumi Sumber resapan diketahui berdasarkan jejaring aliran (flownet). Jejaring aliran dibuat dengan melakukan interpretasi terhadap peta kontur muka airbumi. Peta kontur muka airbumi ditumpangsusunkan dengan peta kontur permukaan tanah dengan menggunakan perangkat lunak Surfer 8. Perangkat lunak Surfer 8 juga digunakan untuk menentukan sumber resapan airbumi melalui vektor yang digambarkan dalam bentuk jejaring aliran. Potensi airbumi dihitung dengan menggunakan persamaan Darcy’s.
Q = K .i. A di mana: Q K i A
= = = =
.............................................................................
(40)
Debit airbumi (m3/hari) Konduktivitas hidraulik (m/hari) Gradien hidraulik Luas penampang aliran (m2).
4.1.4. Hasil dan Pembahasan a. Gambaran Umum Lokasi 1. Letak Geografis Kabupaten Wajo Kabupaten Wajo terletak pada koordinat antara 3o39’ – 4 o16’ LS dan 119o53’ – 120o27’ BT. Kabupaten Wajo memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 atau 4,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, dan berada pada ketinggian 0 hingga 500 m di atas permukaan laut. Lahan berbukit terbentang dari selatan ke utara. Daratan rendah terletak di bagian timur, selatan, tengah dan barat. Danau Tempe terletak di bagian barat sedangkan pesisir pantai membentang di sebelah timur menghadap Teluk Bone sepanjang 103 km garis pantai. Dalam konteks regional, Kabupaten Wajo berbatasan dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Bone di sebelah selatan, dan di sebelah utara dengan Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap, di sebelah Timur dengan Teluk Bone dan di sebelah barat dengan Kabupaten Soppeng dan Kabupaten Sidrap.
43 2. Ketinggian (Elevasi) Ketinggian wilayah Kabupaten Wajo didominasi antara 0-100 m dpl yaitu 209.876,98 ha atau 84,13% terhadap luas Kabupaten Wajo. Khusus Kecamatan Tanasitolo, ketinggian didominasi antara 25 hingga 100 m dpl (10.414, 03 ha atau 68, 46%), 7 hingga 25 m dpl (2.598,88 ha atau 17,08%), rawa (1.506,75 ha atau 9,90%), danau (349,61 ha atau 2,30%) dan terakhir 100 hingga 500 m dpl (343,06 ha atau 2,26%) (BAPPEDA KAB. WAJO, 2003). Lokasi penelitian berada pada ketinggian antara 7-15 m dpl. 3. Kemiringan lereng Kelas kemiringan lereng antara 0 – 2% merupakan wilayah terluas untuk masing-masing kecamatan di Kabupaten Wajo jika dibandingkan dengan kemiringan lereng lainnya. Khusus Kecamatan Tanasitolo di mana penelitian dilakukan, distribusi kelas kemiringan lereng adalah sebagai berikut 0 – 2% (8.242,47 ha atau 54,18%), 2 – 15% (4.466,21 ha atau 29,36%), 15-40% (617,55 ha atau 4,06%), Danau (349,61 ha atau 2,30%) dan Rawa (1.536,50 ha atau 10,10%) (BAPPEDA KAB. WAJO, 2003). Lokasi penelitian merupakan wilayah yang landai dengan kemiringan antara 2-15%. 4. Jenis tanah Informasi tentang jenis tanah sangat penting dalam hal penentuan jenis pemanfaatannya. Menurut BAPPEDA KAB. WAJO (2003) bahwa jenis tanah di Kab. Wajo terdiri dari Alluvial kekelabuan 29.451,58 ha (11,81%), alluvial hidromorf 4.734,91 ha (1,90%), alluvial hidromorf (daerah kering) 11.515,48 ha (4,62%), alluvial kelabu tua 43.318,42 ha (17,36%), glei humus 10.565,37 ha (4,23%), grumosol kelabu 4.131,74 ha (1,66%) dan podsolid merah kuning 30.490,84 ha (12,22%). Lokasi penelitian memiliki jenis tanah berupa Kompleks Podsolid Coklat Kekelabuan dan Regosol. 5. Klimatologi Iklim sebagai suatu unsur lingkungan yang dapat memberikan informasi mengenai potensi suatu daerah, diantaranya bermanfaat untuk mendukung pengelolaan suatu kawasan kaitannya dengan kebutuhan air seperti pertumbuhan suatu tanaman. Berdasarkan klasifikasi Oldeman, lokasi penelitian termasuk dalam zone iklim E2 yang dicirikan oleh jumlah bulan basah kurang dari 3 bulan dan jumlah bulan kering 2 – 3 bulan (BAPPEDA KAB. WAJO, 2003).
44 6. Geologi Berdasarkan peta geologi Kab. Wajo, lokasi penelitian terdiri dari alluvial dan batuan tufa berupa batupasir berbutir halus sampai kasar yang terdiri dari sebagian batuan beku dan sebagian mengandung banyak kuarsa. Alluvium terdiri atas material lepas berukuran lempung, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah batuan yang dihasilkan oleh aktifitas sungai. Sedangkan batuan tufa berpasir dicirikan oleh kelulusan air 1-10-2 cm/dt (lulus air) dan 10-2 – 10-5 cm/dt (sedang lulus air), nilai tersebut berlaku untuk batupasir berukuran halus hingga sedang. Sebagian berupa batuan alluvium yang merupakan material lepas berukuran lempung, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah batuan yang dihasilkan oleh aktifitas sungai. Pada sepanjang hamparan danau Tempe, danau Labuaja, dataran banjir sungai Walanae pada umumnya berukuran lempung hingga pasir. (Lampiran 1). 7. Hidrogeologi Formasi Walanae yang menutupi daerah kajian terdiri atas material-material setengah padu dengan ukuran butir sedang sampai halus. Secara umum batuan jenis ini dapat bertindak sebagai akifer terutama pada material yang berbutir sedang, dengan aliran melalui celahan dan rekahan, maupun ruang antar butir (DTLGKP, 2003). Segi bentang alam, wilayah kajian merupakan daerah dataran yang secara fisiografi regional merupakan bagian kaki dari pegunungan yang ada di sebelah utara dan baratnya, diharapkan sebagai daerah tangkapan bagi pengisian airbumi Di samping itu, danau Tempe yang ada disisi barat pegunungan memungkinkan juga sebagai sumber resapan, karena secara topografi memiliki ketinggian yang relatif sama. Di sebelah selatan dan timur, merupakan daerah aliran sungai Walanae dan Lamasi. Dengan demikian ditinjau dari segi pengisian airbumi, daerah kajian dan sekitarnya yang merupakan daerah dataran adalah daerah pelepasan airbumi (discharge area) yang berasal dari daerah tadah atau daerah imbuh (recharge area) yang berelevasi lebih tinggi yang ada di sebelah utara dan baratnya serta aliran sungai pada sisi lain. Terlebih mengingat daerah ini memiliki rata-rata jumlah curah hujan bulanan cukup tinggi yakni antara 118 mm/bulan.
- 132
45 Akan halnya Formasi Walanae yang menutupi daerah kajian, secara hidrogeologi formasi ini masih memungkinkan dapat bertindak sebagai akifer yang cukup baik terutama pada litologi pasir atau pada rekahan-rekahan akibat struktur yang berkembang. Karena batuan ini berumur tua dan telah bersifat padu (consolidated rock) akibat mengalami beberapa fase tektonika (Mio-Plio dan PlioPlisto) sehingga terjadi struktur-struktur perlipatan yang cukup kuat, keterdapatan airbumi pada formasi ini masih mungkin dapat diharapkan dalam jumlah yang alluvial kecil khususnya pada material pasiran terutama pada daerah-daerah rekahan serta zona-zona sesar, di mana sesar merupakan fase akhir dari suatu proses perlipatan. Airbumi dalam zona ini dapat diharapkan dalam jumlah sangat terbatas, dengan aliran melalui rekahan dan celahan. Dari data sekunder beberapa pengeboran airbumi yang menembus Formasi Walanae dengan kedalaman mencapai 150 m menghasilkan debit air dari 0 hingga 2 l/det sedangkan kualitas airnya umumnya mempunyai harga DHL yang cukup tinggi antara 1800 – 2500 mikromosh. Menurut Dinas Pengairan Provinsi Sulawesi Selatan dalam Revisi RTRW Kab. Wajo (BAPPEDA KAB. WAJO, 2003) bahwa ketersediaan air baku berupa airbumi untuk lokasi penelitian yang merupakan wilayah dataran endapan alluvial dan endapan hasil gunung api formasi camba, wilayah airbumi sekitar 25 - 150 m dengan 1 – 3 lapisan akifer. Adapun peta sebaran airbumi pada Lampiran 2. b. Karakteristik akifer Karakteristik akifer terdiri atas ketebalan akifer, konduktivitas hidraulik, transmisivitas, hasil spesifik, retensi spesifik
dan storativitas. Ketebalan dan
posisi akifer diduga dengan melakukan interpretasi peta litologi. Berdasarkan hasil interpretasi litologi yang didasarkan pada tahanan jenis dan korelasi dengan data geologi, hidrogeologi, dan penampang litologi pada beberapa sumur bor terdekat maka sebaran lateral dan vertikal dari satuan hidrogeologi diketahui dari penampang geolistrik sebagai berikut: 1. Penarikan penampang berarah Utara barat laut – Selatan menenggara, litologi akifer dijumpai pada kedalaman antara 10 - 30 m dari permukaan tanah setempat berupa lempung pasiran dengan ketebalan ± 20 m (Lampiran 3).
46 2. Penarikan penampang berarah Barat barat laut – Timur menenggara, litologi akifer dijumpai berupa pasiran dengan kedalaman antara 40 - 75 m di bawah muka tanah setempat dengan ketebalan antara 10 - 15 m (Lampiran 4). Pengkajian suatu sistem akifer tidak mengharuskan semua karakteristik akifer harus diketahui, tergantung pada jenis akifer yang dikaji. Posisi akifer dan lapisan akifer harus diketahui agar ketebalan akifer dapat diketahui. Berdasarkan hasil interpretasi data litologi pada beberapa titik di sekitar daerah penelitian (Lampiran 3 dan 4) diperoleh bahwa posisi akifer berada sekitar 3 meter dari permukaan tanah atau 8 m dpl hingga -7 m dpl atau ketebalan sekitar 15 m dengan jenis akifer berupa pasiran.
Gambar 12 Model akifer daerah penelitian. Pada Gambar 12 terlihat bahwa akifer pada daerah penelitian merupakan akifer bebas di mana pada lapisan atas akifer merupakan lapisan permeabel. Posisi akifer yang sangat dangkal diukur dari permukaan tanah menunjukkan bahwa airbumi adalah airbumi dangkal yang dicirikan oleh tingkat kedalaman air bumi kurang dari jarak tempuh aliran air bumi (Asdak, 2002) atau permukaan airbumi berada kurang dari 30 m dari pemukaan tanah (Irianto, 2007). Airbumi dangkal dapat diambil dengan cara yang sangat mudah, seperti dengan pembuatan sumur gali, hingga cara yang lebih kompleks yaitu dengan sumur bor. Pengambilan airbumi dengan sumur bor banyak diterapkan terutama untuk pengambilan dalam jumlah yang besar seperti untuk penggunaan irigasi.
47 Mengingat jenis akifer adalah bebas, maka karakteristik akifer yang perlu diketahui adalah konduktivitas hidraulik dan hasil spesifik. Kedua karakteristik tersebut diketahui dengan melakukan uji pemompaan yang menggambarkan hubungan antara debit pengambilan dan penurunan muka air bumi yang terpantau pada sumur uji dan sumur pantau. Pada penelitian ini, sumur pantau terdiri atas dua buah, dengan jarak masing-masing 57,10 m dan 149,10 m dari sumur uji. Secara umum, hubungan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13, sedangkan kondstruksi sumur dapat dilihat pada Lampiran 5. Gambar 13 menunjukkan bahwa permukaan airbumi mendekati horizontal, sehingga gradient aliran dapat dianggap = 0, dengan demikian asumsi Dupuit berlaku dalam analisis prilaku aliran airbumi.
Gambar 13 Profil muka airbumi saat pemompaan. Berdasarkan Gambar 13, maka s1 = 0,64 m atau h1 =14,01 m, s2 = 0,54 m atau h2 =14,11 m, r1=57,10 m dan r2=149,10 m. Dengan demikian, maka konduktivitas hidraulik dapat diketahui dengan mensubtitusi nilai tersebut beserta dengan data debit pemompaan Q = 145,15 m3/hari ke dalam persamaan (38). Nilai konduktivitas hidraulik seperti pada Tabel 4. Konduktivitas hidraulik dioptimasi untuk mendapatkan konduktivitas hidraulik yang dapat mewakili konduktivitas hidraulik sesungguhnya dari akifer. Optimasi dilakukan dengan menggunakan solver dan diperoleh konduktivitas hidraulik optimal sebesar 16,13 m/hari.
48 Tabel 4 Konduktivitas hidraulik tiap pengamatan Waktu (jam) 1 2 4 24 48 72 96 120 144 168 192
r1 h2 (m) (m) 14,52 57,10 14,49 57,10 14,42 57,10 14,38 57,10 14,37 57,10 14,33 57,10 14,30 57,10 14,28 57,10 14,26 57,10 14,11 57,10 14,22 57,10 Rata-rata
h1 (m) 14,43 14,40 14,33 14,29 14,28 14,25 14,22 14,20 14,17 14,01 14,12
r2 (m) 149,10 149,10 149,10 149,10 149,10 149,10 149,10 149,10 149,10 149,10 149,10
Q (m3/hr) 136,51 136,51 136,51 136,51 134,78 133,06 132,19 131,33 135,65 145,15 128,74
Konduktivitas hidraulik (m/hr) 16,02 16,05 16,13 16,17 15,98 17,79 17,71 17,62 16,21 15,78 13,89 16,30
Sedangkan nilai transmisivitas untuk setiap pengamatan disajikan pada Tabel 5 berikut: Tabel 5 Perhitungan transmisivitas tiap pengamatan Waktu (jam) 1 2 4 24 48 72 96 120 144 168 192
h1 (m) 14,43 14,40 14,33 14,29 14,28 14,25 14,22 14,20 14,17 14,01 14,12
s1 h2 (m) (m) 14,52 0,22 14,49 0,25 14,42 0,32 14,38 0,36 14,37 0,37 14,33 0,40 14,30 0,43 14,28 0,45 14,26 0,48 14,11 0,64 14,22 0,53 Rata-rata
s2 (m) 0,13 0,16 0,23 0,27 0,28 0,32 0,35 0,37 0,39 0,54 0,43
Q (m3/hr) 136,51 136,51 136,51 136,51 134,78 133,06 132,19 131,33 135,65 145,15 128,74
Transmisivitas (m2/hr) 234,56 235,03 236,15 236,80 233,96 260,45 259,29 257,95 237,23 230,93 203,26 238,69
Berdasarkan hasil optimasi, diperoleh transmisivitas optimal sebesar 236,15 2
m /hari. Dari Tabel 5 terlihat bahwa transmisivitas berubah akibat perubahan head, sehingga transmisivitas untuk akifer bebas disubtitusi dengan konduktivitas hidraulik. Hubungan antara transmisivitas dan konduktivitas hidraulik ditunjukkan oleh persamaan (28).
49 Sedangkan storativitas untuk akifer bebas (akifer yang dipengaruhi oleh tekanan atmosfer, akifer phreatic atau akifer dangkal) diseratakan dengan hasil spesifik yang merupakan volume air yang dapat dilepaskan dari simpanan dalam sebuah akifer bebas per satuan luas horizontal akifer per satuan penurunan muka airbumi. Hasil spesifik ditentukan dengan menggunakan grafik hubungan antara ukuran partikel media berpori terhadap hasil spesifik, retensi spesifik dan porositas pada Gambar 5. Dengan diketahuinya nilai konduktivitas hidraulik sebesar 16,13 m/hari, maka akifer termasuk jenis pasiran (Todd, 1995). Jenis akifer tersebut sesuai dengan jenis akifer pada peta litologi dari P2AT. Berdasarkan pengklasifikasian ukuran partikel dalam USDA (Hillel, 1980), ukuran partikel pasiran sekitar 0,12 mm. Nilai ukuran partikel tersebut, diplot kedalam Gambar 5, sehingga diperoleh hasil spesifik sebesar 32% dan retensi spesifik 15% serta porositas 46% seperti pada Gambar 14 berikut:
Gambar 14 Hubungan antara hasil spesifik, retensi spesifik dan porositas (Bear dan Verruijt, 1987).
50 c. Sumber Resapan dan Potensi Airbumi Sumber resapan penting hubungannya dengan kegiatan memprediksi besarnya potensi airbumi. Berdasarkan pada data kontur muka airbumi yang ditumpangsusunkan (overlay) dengan kontur permukaan tanah, maka jejaring aliran (flownet) dapat digambarkan dengan menggunakan Surfer 8. Jejaring aliran airbumi pada daerah kajian disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Jejaring aliran airbumi dalam sistem DAS (Sumber: P2AT Sul-Sel, 2006 dan data primer, 2006) Berdasarkan pada Gambar 15, maka diduga bahwa sumber resapan berasal dari sisi barat DAS ke arah timur. Potensi airbumi dapat diduga bilamana diketahui gradien hidraulik dan luas penampang akifer. Gradien hidraulik merupakan selisih antara muka airbumi tertinggi dengan muka airbumi terendah dibagi dengan jarak antara kedua titik. Berdasarkan pada jejaring aliran, muka airbumi tertinggi pada lokasi penelitian adalah 32 m dan terendah adalah 8 m dpl dan jarak antara kedua titik tersebut rata-rata 4.000 m (Gambar 16).
51 Luas penampang aliran diduga melalui interpretasi peta litologi. Berdasarkan hasil interpretasi peta litologi, diperoleh bahwa tebal akifer adalah 15 meter. Lebar penampang aliran diperoleh berdasarkan pada peta jejaring aliran yang menunjukkan bahwa airbumi mengalir dari Barat ke Timur sehingga lebar aliran sama dengan panjang DAS yaitu 10.000 m, sedangkan panjang aliran sama dengan lebar DAS yaitu 4.000 m, karena DAS berhulu di Utara dan hilirnya pada sisi Selatan. Berdasarkan pada tebal dan lebar aliran tersebut, maka luas penampang aliran diperoleh sebesar 150.000 m2. Dengan demikian, maka gradien hidraulik adalah 24/4000 = 0,006. Berdasarkan persamaan Darcy’s, maka debit airbumi dalam DAS dapat dihitung dengan persamaan:
Q = K .i. A Q = 16,13 x (24/4.000) x (15 x 10.000) Q = 14.517 m3/hari
168,02 l/dt.
Y=24 m X=4000 m 100 m dpl Permukaan tanah
32 m dpl 15 m dpl Muka airbumi
8 m dpl
4000 m
Gambar 16 Gradien aliran airbumi 4.1.5. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat kami simpulkan bahwa: 1. Karakteristik akifer pada daerah penelitian berupa konduktivitas hidraulik sebesar 16,13 m/hari, hasil spesifik sebesar 0,32 dan akifer berupa pasiran 2. Berdasarkan jejaring aliran, sumber resapan berasal dari sisi Barat DAS mengalir ke arah timur.
52 3. Potensi airbumi pada daerah penelitian sebesar 14.517 m3/hari
168,02 lt/dt.
4.1.6. Saran Agar deskripsi akifer lebih detail pada suatu daerah kajian maka disarankan untuk melakukan uji geolistrik secara detail. 4.2. Model Aliran Airbumi 4.2.1. Latar Belakang Penggunaan airbumi untuk irigasi semakin banyak dilakukan mengingat banyak wilayah yang tidak tersedia irigasi permukaan sementara wilayah tersebut memiliki potensi airbumi yang cukup besar. Disamping itu, teknologi yang menunjang irigasi airbumi sudah tersedia dan dapat diterapkan oleh petani dengan biaya investasi yang terjangkau. Untuk menunjang kegiatan tersebut agar dapat berkelanjutan, maka potensi airbumi harus cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman dan tersedia selama dibutuhkan. Untuk itu, maka seharusnya potensi airbumi pada suatu wilayah yang akan dikembangkan irigasi airbumi perlu diketahui. Berbeda dengan air permukaan, keberadaan airbumi sulit diprediksi secara langsung, baik dari segi keberadaan maupun potensinya. Untuk itu, maka disusun suatu model yang menggambarkan proses fisik aliran airbumi dan memiliki akurasi yang tinggi. 4.2.2. Tujuan Penelitian 1) Menyusun model matematika yang dapat menggambarkan proses aliran airbumi. 2) Menyusun program komputer untuk mengetahui dinamika airbumi selama pemompaan berlangsung. 4.2.3. Metode Penelitian a. Penyusunan model matematika dan penyelesaian numerik Penyusunan model matematika dan formula numerik didasarkan pada konsep model.
Model aliran airbumi yang dikembangkan berdasarkan pada
persamaan aliran air dalam tanah (hukum Darcy’s) yang dikombinasikan dengan
53 hukum konservasi massa fluida. Pengembangan persamaan aliran dilakukan berdasarkan asumsi berikut: 1) Akifer memiliki struktur yang seragam, sehingga sifat fisik tanah hubungannya dengan aliran dianggap homogen. 2) Sifat aliran untuk arah yang berbeda adalah sama atau aliran isotropik. 3) Selama pemompaan, terjadi pengisian airbumi baik dari lahan sawah maupun dari daerah resapan lainnya. 4) Aliran airbumi hanya terjadi secara horizontal yang berasal dari sungai, danau atau dari daerah resapan di atasnya, sehingga tinjauan hanya dua dimensi yaitu dimensi dalam arah x dan y. 5) Aliran dalam kondisi tidak tunak (unsteady state). b. Penentuan kondisi awal dan kondisi batas sistem Kondisi awal dari sistem akifer dimulai sejak pengoperasian dan ditandai dengan adanya respon terhadap sifat dinamis tertentu yang dapat digunakan untuk mengevaluasi sistem. Batas sistem ditata dan diatur berdasarkan dengan kondisi batas yang sesuai di lapangan dan dapat diketahui nilainya. Penentuan posisi sumur pada grid dalam model dilakukan dengan cara: 1) Pengukuran jarak antar sumur dengan meteran, 2) Penentuan posisi sumur terhadap sumur yang lain dengan menggunakan kompas, 3) Hasil pengukuran jarak dan posisi sumur dilakukan pengecekan dengan Google Earth, 4) Simpan file hasil Google Earth ke dalam format image (JPEG), kemudian posisi sumur dalam koordinat UTM didigitasi dengan Autodesk Map 6. Hasil digitasi diolah dalam Arc/Info 3.5.1 (ESRI, 1997), dan hasil olahan ditampilkan dalam bentuk grid dengan menggunakan
ArcView 3.3 (ESRI,
2002). c. Menyusun program komputer. Program komputer merupakan implementasi model matematika yang sudah disusun dalam bentuk bahasa program komputer. digunakan adalah Visual Delphi 5.
Bahasa program yang
54 d. Uji Kalibrasi dan Kesahihan Model Uji kalibrasi model digunakan metode Root Mean Square (RMS) kesalahan atau standar deviasi yaitu akar rata-rata pangkat dua antara hasil pengukuran dan hasil simulasi. RMS kesalahan dihitung dengan persamaan: 2 RMS = 1 / n ∑ (h ukur − h sim )i
1/ 2
.............................................
(41)
Uji kesahihan model pada penelitian ini dilakukan dengan metode grafik yang membandingkan tinggi muka airbumi hasil pengukuran pengukuran langsung di lapangan dan hasil simulasi model. Selain metode grafik, metode statistika berupa analisa regresi linear juga digunakan untuk uji kesahihan model dengan persamaan: Y = a + b.X
……………………………………
(42)
………………………………
(43)
……………………………………
(44)
di mana,
b=
n.∑ x. y − ∑ x.∑ y
a=
∑ y − b.∑ x
n.∑ x 2 − (∑ x )
2
dan,
n
Sedangkan besarnya nilai korelasi antara tinggi muka airbumi hasil pengukuran dan hasul simulasi model dapat ditentukan dengan rumus (Gaspersz, 1995): r=
(n.∑ x
n.∑ x. y − ∑ x.∑ y 2
)(
− (∑ x ) n.∑ y 2 − (∑ y ) 2
2
)
…………………..
(45)
di mana: n = jumlah data x = data muka airbumi hasil pengukuran y = data muka airbumi hasil simulasi model 4.2.4. Hasil dan Pembahasan a. Model matematika aliran airbumi dan penyelesaian numerik Berdasarkan asumsi yang diambil, maka model aliran air bumi untuk akifer bebas dan dalam kondisi tidak tunak dan isotropik dikembangkan dari persamaan (29) yang dituliskan sebagai berikut:
55
∂ 2h ∂ 2h ∂h K .h 2 + 2 = S y ± R( x, y, t ) .............................................. ∂t ∂y ∂x
(46)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa proses fisik dari aliran airbumi sulit diselesaikan secara analitis. Oleh karena itu, teknik penyelesaiannya dibuat suatu persamaan yang menggunakan metode numerik (Simpson dan Clemen, 2003). Metode numerik memberikan hasil untuk setiap satu langkah penghitungan dan perhitungan akan terus diulang untuk memperluas rentang (range) solusi (Setiawan, 1991). Dengan demikian, metode numerik sangat memungkinkan untuk memprediksi penyebaran air bumi secara dinamis dan spasial. Solusi numerik untuk persamaan tidak linier biasanya menggunakan salah satu di antara dua metode yaitu beda hingga (finite difference) atau elemen hingga (finite element). Perbedaan mendasar penggunaan kedua metode adalah ruang/diskrit skema numerik yang didasarkan pada sifat bahan/kondisi fisik dan juga batas fluks obyek yang diamati. Pada diskrit yang sama, beda hingga menunjukkan suatu kesalahan yang signifikan dibandingkan dengan elemen hingga (Simpson dan Clemen, 2003). Untuk mengatasi kelemahan metode beda hingga tersebut, maka dalam penggunaanya dilakukan diskritisasi yang lebih halus sehingga penyimpangan akibat diskritisasi dapat diperbaiki. Atas dasar tersebut, maka solusi numerik untuk persamaan aliran jenuh diselesaikan dengan metode beda hingga menggunakan pendekatan implisit atau beda maju (forward finite difference) di mana setiap ruang dievaluasi untuk waktu berikutnya (t+1) yang dituliskan dengan persamaan: t +1 t ∂h hi , j − hi , j = ∂t ∆t
.............................................................................
(47)
sedangkan turunan kedua muka airbumi terhadap arah x diselesaikan dengan persamaan: hit++i1, j − 2 hit,+j1 + hit−+11, j hit+1, j − 2hit, j + hit−1, j ∂ 2h ( ) ≅ α α + 1 − ∂x 2 (∆x )2 (∆x )2
..............
(48)
Untuk arah y analog dengan persamaan (48). Di mana 0
1. Jika
= 1, penyelesaian implisit penuh. Jika
eksplisit penuh dan = 1/2 pendekatan Crank-Nicolson. Sehingga penyelesaian persamaan (46) secara implisit dapat dituliskan:
= 0
56 hit++i1, j − 2hit,+j1 + hit−+11, j hit,+j1+1 − 2hit,+j1 + hit,+j1−1 h t +1 − hit, j = S i, j − Rit, j + T 2 2 ∆ t ( ) ( ) ∆ ∆ x y
..
(49)
Persamaan (49) diselesaikan dalam dua langkah dengan durasi tiap langkah adalah t/2, yaitu langkah pertama implisit dalam arah x dan kedua implisit dalam arah y. Dengan menggunakan sebuah nilai antara hi*, j , di mana * = t+1, maka nilai akhir pada langkah pertama (implisit dalam arah x) adalah: S
hi*, j − hi , j ,t ∆t / 2
(
± R = T δ x2 hi*, j + δ y2 hi , j ,t
)
.......................................................... (50a)
Langkah kedua (implisit dalam arah y) adalah: S
hi , j ,t +1 − hi*, j ∆t / 2
(
± R = T δ x2 hi*, j + δ y2 hi , j ,t +1
)
.................................................. (50b)
Jika persamaan (50a) dituliskan dengan lengkap, maka persamaan (50a) menjadi: * 2S hi, j − hi, j ,t T ∆t
R hi*+1, j − 2hi*, j + hi*−1, j hi , j +1,t − 2hi , j ,t + hi , j −1,t ± = ...................... + T ∆x 2 ∆y 2
(51)
Jika x = y, dan a = ∆x 2 / ∆t , maka persamaan (51) menjadi: 2aS * 2aS R hi , j + 2hi*, j − hi*+1, j − hi*−1, j = hi , j +1,t − 2hi , j ,t + hi , j −1,t + hi , j ,t ± ∆x.∆y .. T T T
(52)
atau, R aS aS − hi*−1, j + 2 + 1hi*, j − hi*+1, j = hi , j −1,t + 2 − 1hi , j ,t + hi , j +1,t ± ∆x.∆y T T T
...... (53a)
Dengan cara yang sama, persamaan (50b) dapat dituliskan menjadi: a.S − hi , j −1,t +1 + 2 + 1hi , j ,t +1 − hi , j +1,t +1 = hi*−1, j + 2 a.S − 1hi*, j + hi*+1, j ± R ∆x.∆y .... (53b) T T T
Persamaan (53a) dan (53b) diselesaikan dengan membentuk matriks tridiagonal. Elemen matriks tridiagonal dapat dituliskan: b1 a 2
c1 b2 a3
c2 b3 c3 O O O ai bi O
ci O a N −1
O bN −1 aN
h1 d 1 h d 2 2 h3 d 3 M = M hi d i M M c N −1 hN −1 d N −1 bN hN d N
.............................
(54)
57 dengan demikian persamaan (53a) secara matriks tridiagonal dapat dituliskan sebagai berikut: * h1, j d 1 b −1 h * d − 1 b − 1 2, j 2 h3*, j d 3 − 1 b −1 O O O ................................ M = M * −1 b − 1 d hi , j i O O O M M * − 1 b − 1 h N −1, j d * N −1 − 1 b h N , j d N
(55a)
Dengan menganalogikan antara persamaan (53a), (54) dan (55a), maka: d i = hi , j −1 + f .hi , j + hi , j +1, ai = −1 c i = −1
untuk i = 2, ..., N - 1
d i = hi , j −1 + f .hi , j + hi , j +1 + hi −1, j ai = 0
untuk i= 1
d i = hi , j −1 + f .hi , j + hi , j +1 + hi +1, j untuk i=n. ci = 0
sedangkan persamaan (53b) secara matriks tridiagonal dapat dituliskan sebagai berikut: t +1 hi ,1 d 1 b −1 h t +1 d − 1 b − 1 i,2 2 hit,+31 d 3 −1 b −1 O O O M = t +1 d −1 b −1 hi , j j O O O M t +1 − 1 b − 1 hi , M −1 d t +1 M −1 − 1 b hi , M d M
d j = hi*−1, j + f .hi*, j + hi*+1, j , a j = −1 c j = −1
d j = hi*−1, j + f .hi*, j + hi*+1, j + hi*, j −1 a j = 0,
........................... (55b)
untuk j = 2,3, ..., M - 1 ,
untuk j=1,
58 d j = hi*−1, j + f .hi*, j + hi*+1, j + hi*, j +1 c j = 0,
untuk j=m.
di mana:
a.S + 1 b = 2 T
.......................................................................................
(56)
a .S − 1 f = 2 T
......................................................................................
(57)
...............................................................................
(58)
dan
a = ∆x 2 / ∆t
b. Kondisi batas sistem Berhubung kajian hanya pada akifer bebas, maka batas model adalah batas DAS, sehingga perlu dilakukan deliniasi DAS pada daerah penelitian untuk dijadikan sebagai batas sistem. Deliniasi DAS dilakukan dengan analisa DEM (Digital Elevation Model) menggunakan program TOPAZ (Topography Analyze) dalam perangkat lunak WMS 7.0 (EMS-I, 2004). Hasil deliniasi DAS sebagai batas sistem disajikan pada Gambar 17.
Gambar 17 Kondisi batas lokasi penelitian. Pada kondisi batas di mana batas DAS sebagai batas sistem, maka batas sistem tersebut tidak ada aliran sehingga fluks diset = 0 (dikenal dengan istilah
59 specified flow boundaries atau Neumann condition) (Anderson dan Woessner, 1992). c. Program komputer, Uji kalibrasi dan Simulasi model. Program komputer dibuat dengan menggunakan bahasa Borland Delphi 5. Model matematika aliran airbumi dan penyelesaian numeriknya diterjemahkan ke dalam bahasa program. Adapun masukan (input) program yaitu konduktivitas hidraulik, hasil spesifik, tinggi muka airbumi (head) awal, debit pemompaan, selang waktu pengamatan dan ukuran grid. Keluaran (output) dari model berupa dinamika perubahan tinggi muka airbumi dan profil muka airbumi yang dilihat secara melintang (piezometric head). Dalam program tersebut dimasukkan juga kondisi awal dan kondisi batas dari sistem. Kalibrasi dilakukan bertujuan untuk meminimalkan kesalahan. Metode yang digunakan adalah membandingkan muka airbumi antara hasil pengukuran dan hasil model. Hasil kalibrasi model diperoleh RMS sebesar 0,22 m. Menurut Anderson dan Woessner (1992), besaran kriteria kalibrasi yang dapat diterima tergantung pada perubahan masalah yang dikaji. Jika RMS total dari suatu sistem kecil, maka respon model terhadap kesalahan juga kecil. Agar nilai besaran kriteria kalibrasi tidak bersifat relatif, maka digunakan nilai respon model terhadap kesalahan. Adapun nilai respon model terhadap kesalahan dari beberapa pengukuran perubahan muka airbumi seperti pada Lampiran 6. Pada Gambar 18 disajikan grafik muka airbumi hasil pengukuran dan hasil model untuk setiap hari pengamatan. Hari pengamatan Muka airbumi (dmt)
0
10
20
30
40
50
0 2 4 6 8 10 Pengukuran
Model
Gambar 18 Muka airbumi pengukuran dan model untuk setiap hari pengamatan pada sumur 4 (SM4).
60 Dari Gambar 18 terlihat bahwa pada hari ke-46 terjadi kenaikan muka airbumi secara drastis. Hal ini disebabkan karena pada hari tersebut pemompaan dihentikan, namun kecenderungan antara hasil model dan pengukuran tetap sama. Kecenderungan tersebut ditunjukkan oleh hasil uji keeratan dengan regresi linier untuk menjelaskan hubungan antara muka airbumi hasil pengukuran dengan model seperti pada Gambar 19 dengan R2 = 0,85.
Head model (m).
9,00 8,00
y = 0,9892x
7,00
R = 0,848
2
6,00 5,00 4,00 4,00
5,00
6,00
7,00
8,00
9,00
Head pengukuran (m)
Gambar 19 Hubungan antara penurunan muka airbumi model dengan pengukuran. Hasil perhitungan respon kesalahan menunjukkan bahwa nilai model relatif mendekati nilai pengukuran yang ditunjukkan oleh kesalahan rata-rata lebih kecil dari 5%. Dengan demikian, maka model tersebut dinyatakan sahih, sehingga dapat digunakan untuk pendugaan variabel-variabel yang sulit diukur secara langsung. Keberhasilan model menunjukkan bahwa pengambilan asumsi-asumsi dalam penyusunan model mendekasi sistem yang sebenarnya. Asumsi yang dimaksud termasuk dalam menginterpretasi peta litologi untuk dijadikan dasar dalam pemodelan sistem akifer. Model akifer yang dibuat harus tepat karena berkaitan dengan penentuan karakteristik akifer seperti konduktivitas, ukuran butiran akifer sebagai dasar penentuan hasil spesifik. Hasil eksekusi model secara visual seperti pada Gambar 20 - 24. Pada Gambar 20 terlihat bahwa input model terdiri atas: 1) konduktivitas hidraulik, 2) hasil spesifik, 3) debit pengambilan (bentuk file), dan 4) muka airbumi awal (bentuk file). Sedangkan output model terdiri atas: 1) perubahan
61 muka airbumi model, selanjutnya digunakan untuk uji kesahihan model melalui uji korelasi dengan perubahan muka airbumi hasil pengukuran, 2) posisi muka airbumi dari permukaan tanah untuk setiap sumur, dan 3) posisi pizometrik muka airbumi.
Gambar 20 Hasil simulasi model untuk hari ke-50. Selain itu, output model berupa tinggi muka airbumi secara spasial digunakan untuk menggambarkan kontur muka airbumi dengan menggunakan interpolasi kriging (Anderson dan Woessner, 1992). Adapun kontur muka airbumi untuk seluruh DAS pada hari ke-50 seperti pada Gambar 21.
Gambar 21 Kontur muka airbumi berdasarkan simulasi untuk hari ke-50.
62 Pada Gambar 21 terlihat bahwa pada kondisi sekarang pengaruh antar sumur belum terlihat dengan tegas. Hal ini menunjukkan bahwa volume pengambilan airbumi untuk irigasi secara keseluruhan belum membahayakan. Namun ada beberapa sumur yang saling mempengaruhi karena jaraknya terlalu dekat yaitu kurang dari 150 meter. Sedangkan profil muka airbumi secara tiga dimensi untuk sumur pada koordinat (65;45) dan (67;45) dalam grid model seperti pada Gambar 22 - 24.
Gambar 22 Profil melintang titik koordonat (65;45) dan (67;45) untuk hari ke-50 Pada Gambar 22 dan 23 terlihat bahwa pengaruh antar sumur sudah terjadi bahkan hingga kedalaman 4 meter dari permukaan akifer model. Hal ini dapat mengakibatkan penurunan debit, terutama jika pompa yang digunakan memiliki keterbatan daya isap. Dengan demikian, biaya pemompaan persatuan volume air semakin besar. Di samping itu, jika saling pengaruh berlangsung dalam waktu yang lama, maka berpotensi akan terjadinya kerusakan lingkungan seperti pemampatan akifer yang dapat mengakibatkan penurunan muka tanah (land subsidence). Dampak langsung pemampatan akifer terhadap kegiatan irigasi adalah menurunnya pasokan airbumi sehingga dapat mengakibatkan penurunan produktivitas lahan dan pada akhirnya akan menurunkan pendapatan petani sehingga usahatani irigasi airbumi tidak berkelanjutan.
63
Gambar 23 Tiga dimensi titik koordonat (65;45) dan (67;45) untuk hari ke-50 Gambar 24 adalah kontur muka airbumi untuk sumur pada koordinat (67;45) dan (65;45) dalam grid pada hari ke-50 sebagai berikut:
Gambar 24 Kontur titik koordinat (65;45) dan (67;45) untuk hari ke-50. Secara umum dari Gambar 20 - 24, terlihat bahwa terjadi saling pengaruh antara sumur jika jarak antar sumur hanya 2 grid. Secara khusus pada Gambar 20, menunjukkan bahwa jari-jari pengaruh sumur hingga dua grid. Pada Gambar 24, jari-jari pengaruh hingga 2 grid namun hanya kedalaman kurang dari 5 m. Jarak antar sumur tidak berpengaruh terhadap keberlanjutan lingkungan, namun kondisi optimal suatu sumur dipengaruhi oleh kedalaman muka airbumi untuk debit tertentu dari suatu sumur. Selain untuk memprediksi jari-jari pengaruh, model tersebut dapat juga digunakan untuk memprediksi debit maksimum yang dapat dieksploitasi. Debit
64 maksimum ditentukan berdasarkan pada penurunan muka airbumi hingga dasar akifer. Pada Gambar 25 menunjukkan hubungan antara debit pengambilan dengan drawdown berupa kecenderungan saturation growth-rate.
Gambar 25 Hubungan antara debit dengan penurunan muka airbumi. Berdasarkan data dari Proyek Pengelolaan Air Tanah Sulawesi Selatan bekerja sama dengan PT. Minarta Dutahutama yang telah melakukan pengujian sumur dalam di Manurung dan Lakessi, debit pompa bisa mencapai 8,47 l/dt dengan posisi muka airbumi hingga 33,60 m dari permukaan tanah (P2AT SULSEL, 2006). Penurunan kedalaman muka airbumi dianggap aman jika kekambuhan muka airbumi akan berlangsung dengan cepat. 4.2.5. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Input model terdiri atas: 1) konduktivitas hidraulik; 2) hasil spesifik; 3) debit pengambilan; dan 4) muka airbumi awal (bentuk file), sedangkan output model terdiri atas: 1) perubahan muka airbumi dan 2) pizometrik muka airbumi, 2. Berdasarkan uji kesahihan, model dinyatakan sahih dengan koefisien determinasi sebesar 0,85. Hal ini menunjukkan bahwa model dapat digunakan pada tempat lain, namun terlebih dahulu dilakukan identifikasi karakteristik akifer. Disamping itu, karakteristik akifer yang diperoleh dari hasil penelitian dinyatakan benar.
65
4.3. Analisis Finansial Usahatani Irigasi Airbumi 4.3.1. Latar Belakang Pembangunan irigasi berkelanjutan harus memenuhi tiga pilar dari pembangunan berkelanjutan. Ketiga pilar yang dimaksud adalah keberlanjutan sumber daya atau lingkungan, keberlanjutan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Dibandingkan dengan irigasi air permukaan, irigasi airbumi memerlukan biaya yang relatif besar karena adanya biaya tambahan berupa biaya pengadaan sumur dan pompa serta biaya operasional irigasi airbumi. Dengan demikian, usahatani irigasi airbumi sangat beresiko akan terjadinya kerugian. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan analisa pengujuan efektivitas biaya dalam budidaya padi yang menggunakan irigasi airbumi. 4.3.2. Tujuan Penelitian 1. Menguji kelayakan usahatani irigasi airbumi dengan pompa 2. Melakukan simulasi untuk memperoleh luas minimum yang layak untuk satu sumur agar usahatani menguntungkan. 4.3.3. Metode Penelitian a. Kebutuhan data Dalam analisis ekonomi dibutuhkan beberapa data diantaranya : 1) data pengadaan sumur; 2) data pengadaan unit pompa (mesin dan pompa serta peralatan lainnya); 3) data operasional pompa; 4) data biaya pengolahan tanah, saprodi dan pemeliharaan; dan 5) data produksi. b. Analisis Data 1. Perhitungan biaya Analisis kelayakan usahatani didasarkan pada analisa untung rugi. Suatu usahatani tanaman padi dianggap layak jika keuntungan di atas antara 20 hingga 30 persen dari biaya pokok produksi1 (Anonim, 2007). Komponen biaya dalam analisa usahatani dengan irigasi terdiri atas Biaya Air Irigasi, Biaya Pengolahan Tanah, Biaya Saprodi dan Pemeliharaan.
7
Harga Dasar Lebih Ideal. Kompas, Rabu 28 Maret 2007: hal 18, kol 2-5.
66 1.1. Biaya air irigasi Perhitungan biaya air irigasi dengan airbumi menggunakan pompa setiap hektar digunakan persamaan Diametan 74 (Soejadmiko, 1974 dalam Irwanto, 1982) yaitu : BAI = RxTx
Ix 24 1 x QxJxE C
......................................................
(59)
di mana: BAI R T (Ix24)
= = = =
Q J E C
= = = =
Biaya air irigasi (Rp/ha) Total biaya perjam dari pompa dan motor penggerak (Rp/jam) Total jam kerja pompa dan motor penggerak (jam/musim) Total debit air irigasi yang dibutuhkan per jam selama 24 jam, atau (m3/jam) x (24 jam/hari) = (m3/hari) Kapasitas pompa berdasarkan ukuran pompa (m3/jam) Rata-rata jam kerja pompa per hari (jam/hari) Efisiensi Irigasi (%) Kapasitas mengairi (ha/musim)
Total biaya per jam merupakan penjumlahan antara biaya tetap dan biaya tidak tetap. 1.1.1. Biaya tetap (Fixed cost): Komponen biaya tetap sama sekali bersifat tidak tergantung (independent) terhadap pemakaian daripada mesin atau alat. Biaya tetap per jam tidak berubah dengan perubahan jam kerja tiap tahun dari pemakaian mesin atau alat. Biaya tetap selalu dihitung meskipun alat tidak digunakan. Biaya tetap terdiri atas : 1) Biaya penyusutan (Depreciation cost) Penyusutan mesin dan pompa berlangsung dengan tingkat penurunan yang tetap selama umur pemakaian atau dikenal dengan Metode Garis Lurus yang dirumuskan:
D=
P−S N
di mana: D N P S
............................................................................
(60)
= Biaya penyusutan tiap tahun (Rp/thn) = Perkiraan umur ekonomis (thn) = Harga beli (Rp) = Nilai sisa, (% P) (Rp).
2) Biaya bunga modal, pajak dan asuransi (Interest, Tax and Insurance cost) Biaya
bunga
modal,
pajak
dan
asuransi
diperhitungkan
untuk
mengembalikan nilai modal yang ditanam sehingga pada akhir umur peralatan
67 diperoleh suatu nilai uang “present value”nya sama dengan nilai modal yang ditanam. Besarnya bunga modal, pajak dan asuransi dihitung dengan persamaan : I=
i.(P )( . N + 1) 2 .N
....................................................................
(61)
di mana: I = Total bunga modal, pajak dan asuransi (Rp/th) i = Total persen bunga modal, pajak dan asuransi (%) 3) Biaya garasi/gudang (Shelter cost) Sl = 1% xP
.............................................................................
(62)
di mana: Sl = Biaya Garasi/Gudang (Rp/thn) 4) Biaya dana sosial (Social cost) Besarnya biaya sosial ditentukan berdasarkan catatan pengeluaran biaya social selama mesin pompa ada. 1.1.2. Biaya tidak tetap (Variabel cost): Biaya tidak tetap atau biaya operasional bervariasi berdasarkan pemakaian. Biaya tidak tetap mesin pompa terdiri atas: 1) Biaya bahan bakar Mesin pompa yang digunakan adalah mesin diesel, di mana mesin beroperasi secara stationer (tidak berpindah tempat). Besarnya biaya bahan bakar ditentukan dengan persamaan: Pemakaian BBM =
0,16 ltr HP − Jam
..............................................
(63)
2) Biaya perawatan preventif Biaya pemeliharaan preventif untuk mesin pompa terdiri atas: oli mesin, grease/gemuk. 2.a Biaya oli mesin. Mesin penggerak yang digunakan untuk menggerakkan pompa adalah mesin diaesel dengan satu selinder. Besarnya biaya oli mesin ditentukan dengan persamaan:
BiayaOli =
0,8lt HPx100 jam
2.b Biaya grease dan seal pompa 3) Biaya reparasi (perbaikan)
........................................................
(64)
68 Mesin pompa hanya berfungsi sebagai sumber tenaga dan bukan untuk menggerakkan/memindahkan atau mengangkat beban, maka biaya reparasi dihitung dengan persamaan: Biaya Perbaikan =
1,2%(P − S ) 100 jam
............................................
(65)
4) Biaya operator Biaya operator tergantung pada lokasi tempat bekerja. Untuk daerah penelitian biaya operator ditentukan dengan persamaan: BiayaOperator =
20% xproduksi 2
.........................................
BT Biaya Me sin per jam = + [BBM + OP + P + O ] X
di mana: BT X BBM OP P O
= = = = = =
............
(66) (67)
Total biaya tetap (Rp/thn) Jumlah jam kerja per tahun (jam/thn) Biaya BBM (Rp/jam) Biaya oli dan pelumas (Rp/jam) Biaya perbaikan (Rp/jam) Biaya operator (Rp/jam).
1.2. Biaya pengolahan tanah Biaya
pengolahan tanah
ditentukan berdasarkan pada pengalaman
dilapangan. 1.3. Biaya bibit Biaya bibit ditentukan berdasarkan pada banyaknya bibit yang digunakan (kg) untuk setiap hektar dikalikan dengan harga bibit (Rp/kg). 1.4. Biaya saprodi Lain Biaya saprodi terdiri atas biaya pupuk, obat-obatan berupa insektisida dan herbisida. 1.5. Biaya pemeliharaan Biaya pemeliharan diperuntukkan untuk penyiangan, penyemprotan dan kegiatan lain yang berhubungan dengan kegiatan usahatani. Total Biaya Produksi Total biaya produksi dapat dirumuskan sebagai berikut: BP = BAI + BPT + BB + BT + BM
.........................................
(69)
69 di mana: BP BAI BPT BB BT BM
= Biaya produksi (Rp/ha) = Biaya Air Irigasi (Rp/ha) = Biaya Pengolahan Tanah (Rp/ha) = Biaya Bibit (Rp/ha) = Biaya Tanam (Rp/ha) = Biaya Pemeliharaan (Rp/ha)
2. Perhitungan pendapatan Pendapatan dalam rupiah per hektar dihitung dengan persamaan: B=Prod x HGP- BP di mana: B Prod HGP
.................................................................
(69)
= Pendapatan (Rp/ha) = Produktivitas (ton/ha) = Harga gabah panen (Rp/ton)
Penentuan harga gabah didasarkan Inpres No. 3 tahun 2007, tertanggal 31 Maret 2007. Harga gabah terdiri atas GKP Rp. 2000,-/kg di tingkat petani, Harga GKG Rp 2575/kg di penggilingan, dan beras Rp 4000,-/kg di gudang bulog2). 3. Analisis B/C Rasio Selisih antara pendapatan dan biaya merupakan indikator untuk menyatakan bahwa usahatani mengalami keuntungan atau kerugian. Di samping itu, selisih kedua komponen tersebut dapat dijadikan indikator kelayakan usaha tani. Penentuan nilai B/C ratio dirumuskan sebagai berikut:
B/C =
B C
..............................................................................
(70)
Usahatani dinyatakan layak jika B/C ratio > 1. 4. Simulasi Kondisi Optimal Kondisi optimal didapatkan dengan melakukan simulasi atas beberapa skenario berupa luasan, lama pengairan dan jumlah musim tanam per tahun. Dalam simulasi tersebut dilakukan asumsi bahwa semakin lama irigasi dalam suatu musim tanam dapat terjadi peningkatan produktivitas lahan ketersediaan energi sinar matahari yang lebih lama. Hal ini disebabkan karena suatu sumur dapat memenuhi kebutuhan air irigasi secara terus menerus. Simulasi tersebut dilakukan dengan metode grafik menggunakan Microsoft Excel. Dari grafik dapat diperoleh persamaan grafik biaya dan pendapatan untuk setiap kasus. Dari persamaan tersebut, maka dapat diketahui luasan yang layak untuk suatu daerah 2
Cegah kenaikan Harga Pupuk. Kompas, Senin 2 April 2007: hal 1 kol 2-4 dan hal 15 kol 1-4.
70 dengan lama irigasi tertentu baik untuk satu musim tanam maupun dua musim tanam per tahun. Luasan minimum yang layak untuk setiap lama pengairan dan banyaknya musim tanam dihitung dengan persamaan:
(YB − YC ) ≥ 0
..........................................................................
(71)
di mana: YB = Persamaan garis pendapatan YC = Persamaan garis biaya Simulasi kondisi optimal dilakukan dengan skenario berupa luasan terdiri atas 3, 5 dan 7 ha. Sedangkan lama irigasi dibagi atas tiga kelompok berdasarkan pada kondisi yang ada dilapangan yaitu untuk masa tanam awal (720 jam/musim) masa tanam tengah (1.080 jam/musim) dan musim tanam akhir (1.440 jam/musim). Adapun musim tanam terdiri atas satu dan dua musim tanam per tahun. 4.3.4. Hasil dan Pembahasan a. Biaya Usahatani 1. Biaya Tetap Biaya tetap selalu sama, tidak tergantung pada besar kecilnya usaha. Namun, jika diukur berdasarkan per unit luasan, biaya tetap akan menurun dengan bertambahnya luasan peruntukan dari sebuah pompa. Pada Tabel 6 disajikan hasil perhitungan penurunan biaya tetap karena bertambahnya luasan peruntukan untuk satu unit pompa dan secara grafik penurunan biaya tetap akibat semakin luas areal yang diairi memiliki kecenderungan seperti pada Gambar 26. Tabel 6 Perubahan biaya tetap akibat luas pengairan dan musim tanam Luas (ha) 1 2 3 4 5
Biaya Tetap (Rp/thn) Satu musim tanam Dua musim tanam 3.108.800 1.554.400 1.554.400 777.200 1.036.266 518.133 777.200 388.600 621.760 310.880
Gambar 26 menunjukkan bahwa semakin luas usahatani, maka biaya tetap pompa per hektar per tahun akan semakin kecil karena faktor pembagi semakin besar. Atas dasar tersebut, sebaiknya luasan yang diairi oleh sebuah sumur seluas mungkin selama kapasitas pompa dan system akifer masih mendukung. Hal lain
71 yang mempengaruhi biaya tetap per hektar per tahun adalah jumlah musim tanam per tahun. Semakin banyak musim tanam per tahun, maka biaya per hektar per
Biaya Tetap (juta Rp/ha).
tahun akan semakin kecil. 4,00 3,00
y = 3E+06x -1 R2 = 1
2,00 1,00
y = 2E+06x -1 R2 = 1
0,00 0
1
2
3
4
5
6
Luas (ha) Satu musim tanam
Dua musim tanam
Gambar 26 Biaya tetap untuk satu dan dua musim tanam. 2. Biaya Tidak Tetap Biaya tidak tetap per jam dari mesin dan pompa tidak berubah akibat perubahan umur mesin dan pompa. Hal ini disebabkan karena kinerja mesin tidak berubah sepanjang tahun sehingga biaya per jam tidak berubah. Demikian pula dengan luas yang diairi dan jumlah musim tanam tidak berpengaruh terhadap biaya titak tetap per jam. Hal ini disebabkan karena biaya yang dikeluarkan adalah sama untuk seluruh debit yang diinginkan. Besarnya debit pemompaan hanya dipengaruhi oleh kapasitas pompa dan daya dukung akifer, bukan oleh besarnya tenaga mesin. Pada Tabel 7 disajikan biaya mesin per jam untuk satu dan dua musim tanam per tahun. Tabel 7 Total biaya mesin per jam per tahun untuk satu dan dua musim tanam Biaya mesin/jam(Rp/jam) Musim tanam/ B Tetap B.T.Ttp tahun (juta Rp/thn) (Rp/jam) 720 jam/thn 1080 jam/thn 1440 jam/thn 1 3,11 8.606 12.924 11.485 10.765 2 3,11 8.606 10.765 10.046 9.686 3. Biaya Air Irigasi Biaya air irigasi dengan airbumi sebagai sumber irigasi per jam tidak dipengaruhi oleh luas yang diairi melainkan dipengaruhi oleh frekuensi tanam dan
72 jumlah jam operasi pompa per tahun. Hal ini disebabkan karena volume pengambilan hanya dipengaruhi oleh kapasitas pompa dan kemampuan akifer. Adapun biaya air irigasi untuk luas irigasi 3, 5 dan 7 ha dengan frekuensi tanam 1 dan 2 musim tanam per tahun dapat dilihat pada Lampiran 7. Pada Tabel 8 disajikan besarnya biaya air irigasi untuk setiap waktu operasi pompa 720, 1.080 dan 1.440 jam/musim tanam untuk 1 dan 2 musim tanam per tahun dengan luasan 3, 5 dan 7 ha.
Mt
1
2
Ix 24 151,2 259,2 345,6 151,2 259,2 345,6
Tabel 8 Biaya air irigasi per hektar Biaya Air Irigasi (juta Rp/ha) Q J Ef Kap 720 1080 1440 (m3/jam) (jam/hr) (%) (ha/ms) (jam/thn) (jam/thn) (jam/thn) 6,3 24 0,95 3 3,27 4,35 5,44 10,8 24 0,95 5 1,96 2,61 3,26 14,4 24 0,95 7 1,40 1,87 2,33 6,3 24 0,95 3 2,72 3,81 4,89 10,8 24 0,95 5 1,63 2,28 2,94 14,4 24 0,95 7 1,17 1,63 2,10
4. Total biaya pokok produksi Besarnya biaya pokok produksi per hektar ditentukan oleh besarnya biaya budidaya tanaman dan biaya air irigasi. Dengan demikian, maka besarnya biaya pokok produksi per hektar hanya dipengaruhi oleh luas yang diairi dan jumlah musim tanam per tahun. Makin luas lahan yang diairi, maka biaya pokok produksi per hektar makin kecil. Biaya pokok produksi berkurang dengan bertambahnya luas lahan yang diairi disebabkan karena biaya tetap per hektar berkurang. Demikian halnya, semakin tinggi frekuensi tanam per tahun maka biaya pokok produksi per hektar per tahun makin kecil. Faktor yang dominan mempengaruhi biaya pokok produksi adalah jumlah jam operasi pompa per musim. Makin besar jam operasi per musim tanam, maka biaya pokok produksi semakin besar. Adapun hasil perhitungan biaya pokok produksi dapat dilihat pada Lampiran 8. Biaya air irigasi mendominasi daripada total biaya pokok produksi. Dominasi biaya air irigasi dapat hingga lebih dari 50% dari total biaya pokok produksi, hal ini terjadi jika lama pemompaan lebih dari 1.440 jam per musim tanam dengan luas usahatani hanya 3 ha dan hanya satu musim tanam per tahun. Pengurangan dominasi biaya air irigasi dapat dilakukan dengan mengurangi jam operasi pompa per musim tanam. Pengurangan jam operasi pompa sangat sulit
73 dikendalikan, sehingga cara lain yang dapat dilakukan dan mudah dikendalikan adalah dengan menambah luas usahatani dan atau meningkatkan jumlah musim tanam per tahun. b. Pendapatan Usahatani Besarnya pendapatan per hektar ditentukan oleh besarnya produktivitas lahan dan harga gabah serta biaya usahatani. Produktivitas lahan dipengaruhi oleh ketersediaan air untuk pemenuhan kebutuhan tanaman dan lama penyinaran sebagai sumber energi untuk proses fotosintesis. Hal ini ditunjukkan oleh semakin lama irigasi yang mengindikasikan lamanya masa kering atau ketersediaan cahaya matahari yang dibutuhkan dalam proses fotosintesis semakin besar sehingga dengan ketersediaan air dengan irigasi, maka produktivitas lahan semakin besar. Pemberian air irigasi dengan pompa dapat menjamin ketersediaan air untuk tanaman sepanjang masa pertumbuhannya, sehingga dengan cahaya matahari yang melimpah, maka produktivitas lahan semakin meningkat. Tabel 9 menunjukkan bahwa semakin lama irigasi dilakukan untuk setiap musim tanam, maka pendapatan semakin besar. Sedangkan hasil analisis B/C rasio disajikan pada Lampiran 8. Tabel 9 Pendapatan setiap 1 dan 2 musim tanam pada luasan 3, 5 dan 7 ha Musim tanam/tahun 1
2
Luas (ha) 3 5 7 3 5 7
720 jam/musim 16,31 33,71 51,11 35,89 70,70 105,50
Pendapatan (juta Rp) 1080 jam/musim 1440 jam/musim 13,33 10,53 30,93 28,42 48,52 46,32 29,94 24,32 65,13 60,11 100,32 95,91
c. Luas Minimum Layak Luas minimum yang layak, dihitung dengan menggunakan persamaan (90). Dengan melakukan suatu simulasi dengan skenario 1 dan 2 musim tanam per tahun, dengan variasi lama pengairan 740, 1.080 dan 1.440 jam/musim tanam, maka diperoleh suatu model matematika yang merupakan persamaan garis biaya dan pendapatan (Lampiran 9). pada Tabel 10.
Persamaan garis biaya dan pendapatan seperti
74 Tabel 10 Persamaan garis biaya dan pendapatan Musim Lama pengairan tanam (jam/musim) 740 1 1080 1440 740 2 1080 1440
Persamaan garis Biaya Pendapatan YC=0,157x+9,7954 YB=8,7084x-9,7954 YC=0,157x+13,057 YB=8,797x-13,057 YC=0,157x+16,318 YB=8,9479x-16,318 YC=0,314x+16,318 YB=17,403x-16,318 YC=0,314x+22,841 YB=17,594x-22,841 YC=0,314x+29,364 YB=17,896x-29,364
Berdasarkan persamaan biaya dan pendapatan di atas, maka luas minimum layak dapat ditentukan seperti pada Tabel 11 berikut: Tabel 11 Luas minimum layak untuk satu dan dua musim tanam per tahun Luas minimum layak (ha) Satu Musim Tanam Dua Musim Tanam 2,29 1,91 3,02 2,64 3,71 3,34
Jam Kerja per Musim 740 1080 1440
Dari Tabel 16, dapat dibuat kecenderungan luas minimum layak untuk setiap
Luas min. layak (ha) .
jam operasi pompa/musim seperti pada Gambar 27 berikut:
5,00 0,7242
y = 0,0192x
4,00
2
R =1
3,00
0,8408
2,00
y = 0,0074x 2
R = 0,9998
1,00 0,00 600
850
1100 Jam kerja/musim
Satu musim tanam
1350
1600
Dua musim tanam
Gambar 27 Grafik luas minimum layak untuk setiap jam operasi pompa/musim.
75 Perbedaan luas minimum layak disebabkan oleh adanya perbedaan jam kerja setiap musim tanam. Penyebab lain dari perbedaan tersebut adalah karena diasumsikan bahwa semakin lama jam operasi pompa setiap musim tanam maka ketersediaan sinar matahari sebagai sumber energi untuk proses fotosintesa semakin lama sehingga dapat meningkatkan produksi produktivitas lahan. 4.3.5. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1. Ada dua hal yang mempengaruhi biaya tetap/ha/tahun yaitu luasan dan jumlah musim tanam per tahun. 2. Untuk biaya tidak tetap per jam, besarnya tidak dipengaruhi oleh luasan dan umur mesin. Hal ini disebabkan karena besarnya air yang dipompa tidak dipengaruhi oleh luasan yang akan diairi namun dipengaruhi kapasitas pompa dan daya dukung akifer. Sedangkan umur mesin tidak berpengaruh karena diasumsikan bahwa kinerja mesin konstan sepanjang umur ekonomisnya. 3. Biaya air irigasi menggunakan pompa per hektar dipengaruhi oleh jumlah musim tanam per tahun, luas usaha dan jumlah jam operasi pompa per musim. Biaya air irigasi berbanding terbalik terhadap luasan usahatani dan jumlah musim tanam per tahun, namun berbanding lurus terhadap jumlah jam operasi pompa per musim. 4. Persamaan garis penentuan luas layak terhadap lama pengairan per musim untuk satu musim tanam pertahun adalah
y=0,0192x0,7242 dan untuk dua
musim tanam pertahun adalah y=0,0074x0,8408. 4.3.6. Saran Disarankan agar luasan yang diairi oleh sebuah sumur seluas mungkin selama kapasitas pompa mampu memenuhi kebutuhan air tanaman. Karena semakin luas lahan yang diairi maka biaya pengairan per hektar akan semakin kecil.
76 4.4. Optimasi Pengelolaan Airbumi untuk Irigasi Sawah Tadah Hujan 4.4.1. Latar Belakang Keberlanjutan suatu kegiatan investasi/pembangunan dapat dinilai dari tiga pilar yaitu secara sosial budaya dapat diterima, secara ekonomi menguntungkan dan secara lingkungan tidak terjadi degradasi. Kondisi ini juga berlaku dalam penggunaan airbumi untuk irigasi. Oleh karena itu, maka perlu dilakukan suatu simulasi dengan beberapa skenario untuk mengetahui kondisi terbaik dalam kegiatan irigasi airbumi. Agar kegiatan pengelolaan airbumi untuk irigasi dapat menguntungkan, maka perlu dilakukan penghematan mengingat irigasi airbumi membutuhkan biaya yang besar baik saat investasi maupun operasionalnya. Hal ini dapat dicapai dengan menentukan berapa luas yang seharusnya diairi untuk satu sumur. Kegiatan irigasi dapat berlangsung terus menerus dan tetap menguntungkan jika lingkungan sebagai menyedia sumber air tetap berfungsi dengan baik. Untuk itu, maka perlu dilakukan pengujian seberapa besar pengambilan airbumi dapat dilakukan secara terus menerus sehingga kondisi kambuh (recovery) masih dapat dicapai. 4.4.2. Tujuan Penelitian 1) Melakukan uji kambuh untuk mengetahui posisi muka airbumi yang masih dapat kembali ke posisi semula. 2) Menyusun model optimasi pengelolaan airbumi untuk irigasi 3) Melakukan simulasi model untuk mengetahui debit dan luas optimal untuk setiap sumur. 4) Melakukan simulasi untuk menentukan jarak antar sumur. 4.4.3. Metode Penelitian a. Uji kambuh Uji kambuh dilakukan dengan langkah-langkah: 1. Pemompaan dilakukan secara menerus hingga kondisi tunak (steady state) kemudian pemompaan dihentikan. 2. Dilakukan pengukuran kenaikan muka airbumi untuk mengetahui waktu pencapaian kambuh.
77 b. Penyusunan model optimasi Model optimasi disusun sebagai dasar dalam pengelolaan airbumi agar pemanfaatannya efektif dan efisien sehingga menguntungkan dan dapat memelihara kelestarian lingkungan. Model optimasi terdiri atas fungsi tujuan dan fungsi pembatas. Model tersebut diselesaikan dengan menggunakan Solver AddIns pada Microsoft Excel. Sebelum memasuki Solver, langkah pertama yang dilakukan adalah mendefinisikan dan memilih variabel keputusan, kendala dan fungsi tujuan dari suatu masalah. Langkah berikutnya adalah memasukkan data fungsi tujuan, kendala dan variable keputusan dalam Excel (Yulianto dan Sutapa, 2005). Beberapa batas model diantaranya adalah debit minimum dan maksimum, tinggi muka airbumi minimum dan luas cakupan pengairan. Debit maksimum diperoleh dengan cara melakukan pemompaan hingga diperoleh kondisi tunak (steady). Debit pada kondisi tersebut merupakan debit maksimum untuk waktu yang tidak terhingga (sustained yield) sedangkan tinggi muka airbumi pada kondisi tersebut merupakan tinggi muka airbumi minimum bila posisi muka airbumi dapat kembali ke posisi awal. Debit minimum ditentukan berdasarkan pada kebutuhan air tanaman dan luasan yang harus diairi. Besarnya kebutuhan air tanaman ditentukan oleh efek sifat tanaman terhadap penggunaan air kaitannya dengan koefisien tanaman (kc) yang dikalikan dengan ETo yang disebut evapotranspirasi tanaman (ETcrop). Nilai kc dihubungkan dengan evapotranspirasi pada tanaman pada kondisi kandungan air tanah dan hara optimum dan potensi produksi yang maksimum pada lingkungan pertumbuhannya. ETcrop dapat dihitung dengan persamaan: ETcrop = kc.ETo
………………..
(73)
Nilai ETo ditentukan dengan menggunakan perangkat lunak CropWat 4 Windows versi 4.2 yang dikembangkan oleh Clarke et al. (1998). Dalam CropWat 4, ET0 dihitung dengan menggunakan persamaan Penman-Monteith (Allen et al., 1998):
78 0,408∆(Rn − G ) + γ
900 u2 (es − ea ) Thr + 273 ∆ + γ (1 + 0,34u2 )
ET0 =
di mana: ET0 = = = Thr = u2 = es = ea = es-ea Rn = G =
...........................................
(74)
evapotranspirasi acuan (mm/hari) gradien kurva tekanan uap jenuh (kPa/0C) konstanta psikometrik (kPa/0C) Suhu udara harian rata-rata pada ketinggian 2 m (0C) kecepatan angin pada ketinggian 2 m (m/dt) tekanan uap jenuh (kPa) tekanan uap aktual (kPa) = defisit tekanan uap jenuh (kPa) radiasi bersih pada permukaan tanaman (MJ/m2.hari) kerapatan fluks panas tanah (MJ/m2.hari)
Keperluan air irigasi neto pada tingkat usahatani dihitung dengan menggunakan persamaan Doorenbos dan Pruitt (1977): ...................................................... (75) I n = ETcrop − Pe − Ge − Wb di mana: ETcrop = koefisien tanaman (kc) x ET0 (evapotranspirasi tanaman acuan) Pe = hujan efektif Ge = kontribusi airbumi Wb = lengas tanah yang tersedia untuk tanaman Oleh Kalsim (2002), hujan efektif, kontribusi airbumi dan lengas tanah yang tersedia untuk tanaman disebut sebagai air yang tersedia secara alamiah. c. Metode simulasi model 1. Simulasi model dilakukan dengan memenuhi segala pensyaratan model, baik fungsi tujuan maupun fungsi pembatasnya, 2. Pembatas debit minimum untuk sebuah sumur ditentukan berdasarkan pada kebutuhan air tanaman (kolom air) dikalikan dengan luasan yang harus diairi oleh sebuah sumur, 3. Pembatas dari tinggi muka airbumi minimum adalah muka airbumi pada kondisi tunak dan pada saat pemompaan dihentikan muka airbumi dapat kambuh kembali, 4. Dari simulasi model dapat diketahui debit maksimum dari suatu sumur, sehingga luasan yang optimal dari suatu sumur dapat dihitung dengan persamaan: A=
8,64 xQ ETcrop
............................................................................
(76)
79 di mana: A = luas optimal (ha) Q = debit maksimum (m3/hari) ETcrop = kebutuhan air tanaman (mm/hari) 5. Jarak antar sumur ditentukan berdasarkan luasan yang dapat diairi dengan debit maksimal. d. Penentuan jarak antar sumur Penentuan jarak antar sumur dimaksudkan agar setiap sumur dapat memenuhi kebutuhan air tanaman dan jumlah sumur dalam suatu daerah irigasi seminimal mungkin sehingga biaya pengadaan dan operasional unit pompa untuk keseluruhan wilayah minimal. Jarak antar sumur ditentukan berdasarkan pada hasil simulasi yang memberikan debit optimal untuk beberapa jarak antar sumur dan kebutuhan debit untuk memenuhi kebutuhan tanaman seluruh areal setiap jarak antar sumur. Hubungan tersebut digambarkan dalam grafik. Di samping itu, jarak antar sumur dikonversi ke luasan daerah irigasi kemudian dihubungkan dengan kebutuhan air tanaman untuk luasan tersebut, kemudian digambarkan dalam bentuk grafik. Nilai absis berupa jarak pada perpotongan kedua grafik merupakan jarak antar sumur yang optimal. 4.4.4. Hasil dan Pembahasan a. Model optimasi pengelolaan airbumi untuk irigasi Fungsi tujuan model yaitu memaksimalkan debit dengan pembatas terdiri atas: 1) aliran airbumi adalah kondisi tunak dengan debit pengambilan tertentu; 2) muka airbumi hingga ketinggian tertentu (minimum), berdasarkan pada hasil uji kambuh; 3) luasan yang harus diairi; dan 4) debit minimum untuk setiap pompa berdasarkan kebutuhan minimum tanaman. Model disusun dengan asumsi: akifer bebas, homogen, isotrofik, berdimensi dua dan steady state. Secara matematik dapat dituliskan: Fungsi tujuan: Maksimumkan Z = ∑ Q(i, j )
................................................
(77)
.................................................
(78)
i, j
Fungsi pembatas: ∂ 2h ∂ 2h T 2 + 2 = −Q( x, y, t ) ∂y ∂x h min i , j ≤ hi , j ≤ h max i , j
80 h min i , j ≥ h pada kondisi tunak dan dapat kambuh kembali Q min i , j ,t ≤ Qi , j ,t ≤ Q max i , j ,t Qi , j ,t ≥ ETCropi , j ,t + Percsawah + losses
Ai,j
luas minimum layak
di mana: Z h Q Sy A T
= fungsi tujuan = tinggi muka airbumi (m) = debit pengambilan (m3/hari) = koefisien simpanan = luas lahan (m2) = transmisivitas (m2/hari)
b. Penentuan pembatas model 1. Muka airbumi minimum Muka airbumi minimum berdasarkan uji kambuh (recovery) menunjukkan bahwa akifer pada daerah penelitian mendukung untuk pengambilan yang besar. Hal ini ditunjukkan pada grafik kambuh (Gambar 28 dan 29) di mana posisi muka airbumi awal akan segera tercapai kembali.
Waktu (jam) 0
200
400
600
800
1000
Drawdown (m).
0 1 2 3 4
Gambar 28 Uji kambuh setelah pemompaan untuk sumur 4. Pada Gambar 28, kambuh dapat terjadi hanya dalam waktu kurang dari 72 jam, sedangkan penurunan muka airbumi (drawdown) terjadi hingga 3,75 m. Besarnya debit pengambilan pada kejadian tersebut adalah 1,65 lt/dt yang dapat mengairi sekitar 3,10 ha. Sedangkan untuk penurunan muka airbumi hingga 5,5 m disajikan pada Gambar 29. Pada Gambar 29, kambuh terjadi pada jam ke-120
81 setelah pemompaan dihentikan dengan debit pengambilan sekitar 3 lt/dt yang dapat mengairi sekitar 5,64 ha. Waktu (jam)
Drawdown (m).
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0 1 2 3 4 5 6 7
Gambar 29 Uji kambuh setelah pemompaan untuk sumur 3. Karena kambuh dapat dicapai dalam waktu singkat (kurang dari lima hari), besar volume pengambilan dapat dimaksimalkan hingga kondisi optimal. Memaksimalkan debit hingga kondisi optimal dapat meminimalkan biaya, yaitu biaya pengadaan sumur dan operasional mesin karena jumlah sumur yang sedikit dan waktu operasional mesin lebih singkat. Sistem pengambilan airbumi yang ada sekarang adalah pengambilan maksimal karena dibatasi oleh kemampuan alat/mesin pompa sehingga debit optimal belum tercapai, namun kondisi menyebabkan lingkungan tidak akan mengalami degradasi. Masalah kerusakan lingkungan sangat penting karena jika keberlanjutan lingkungan tidak tercapai, maka keberlanjutan ekonomi dipastikan akan mengalami kegagalan. Hal ini diakibatkan oleh sumber pendapatan usahatani budidaya padi dengan irigasi airbumi tidak dapat menunjang lagi akibat sistem akifer tidak menunjang lagi dalam hal pemenuhan kebutuhan air tanaman. 2. Kebutuhan air tanaman Pada daerah dengan distribusi hujan yang tidak merata, meskipun curah hujannya tinggi dengan kondisi iklim yang sesuai dengan pertumbuhan tanaman, tetap diperlukan irigasi buatan, mengingat kadar air tanah tidak dapat dipertahankan dalam interval kadar air efektif oleh curah hujan saja (Sosrodarsono, 1993). Dengan demikian, setiap perbedaan masa tanam akan
82 mengakibatkan perbedaan kebutuhan air irigasi. Mengingat daerah penelitian memiliki distribusi hujan yang tidak merata dan singkat (Gambar 30) maka perbedaan masa tanam sangat menentukan lama irigasi dan debit yang dibutuhkan. Oleh karena itu, perhitungan kebutuhan air tanaman dikelompokkan ke dalam tiga macam masa tanam yaitu masa tanam awal (masa tanam 1 Mei dan panen pada tanggal 19 Agustus 2006), tengah (masa tanam 15 Mei dan penen pada tanggal 2 September 2006) dan akhir (masa tanam 5 Juni dan panen pada tanggal 20 September 2006). Hidrograph hujan Daerah penelitian 90
80
Kedalaman Hujan (mm)
70
60
50
40
30
20
10
24-Sep-06
10-Sep-06
27-Aug-06
30-Jul-06
13-Aug-06
2-Jul-06
16-Jul-06
4-Jun-06
18-Jun-06
7-May-06
21-May-06
9-Apr-06
23-Apr-06
26-Mar-06
12-Mar-06
26-Feb-06
29-Jan-06
12-Feb-06
1-Jan-06
15-Jan-06
0
Tanggal kejadian hujan
Gambar 30 Hidrograph hujan pada daerah penelitian. Di samping distribusi hujan tidak merata, perbedaan kebutuhan air irigasi untuk setiap masa tanam juga dipengaruhi oleh pase pertumbuhan tanaman. Pola kebutuhan air irigasi untuk setiap masa tanam ditentukan dengan menggunakan pendekatan model CropWat seperti pada Gamabr 31-33 berikut:
Gambar 31 Kebutuhan air tanaman padi untuk masa tanam awal.
83 Secara kuantitatif, kebutuhan air irigasi untuk pertumbuhan tanaman dihitung dengan persamaan (Doorenbos dan Pruitt,1977; Kalsim, 2002): I n = ETcrop − AW .
..............................................................
(76)
Dengan demikian, maka kebutuhan air irigasi untuk masa tanam awal disajikan pada Tabel 7. Variabel-variabel yang berpengaruh seperti ET0, curah hujan efektif dihitung dengan menggunakan CropWat 4 for Windows. Sedangkan lama untuk setiap fase pertumbuhan ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan. Fase pertumbuhan diklasifikan menjadi 4 fase yaitu 1) fase awal (awal pertumbuhan hingga anakan) sekitar 25 hari, 2) fase pertumbuhan (akhir fase awal hingga pembungaan) selama 35 hari), 3) fase pembuahan selama 30 hari dan 4) fase pemasakan buah hingga panen selama 20 hari. Adapun nilai Kc didasarkan pada (Doorenbos dan Pruitt, 1977) untuk daerah asia pada musim basah dengan masa tanam Mei dengan mengadaptasi masa tanam Juni-Juli. Berdasarkan hasil perhitungan kebutuhan air irigasi pada Tabel 12 menunjukkan bahwa untuk mengairi sawah seluas 3 ha dibutuhkan debit pemompaan sebesar (4,178/8,64)x 3 = 1,45 lt/dt. Debit pemompaan yang lebih besar atau sama dengan 1,45 lt/dt, maka selayaknya sumur tersebut mengairi 3 ha. Jika satu pompa diperuntukkan mengairi sawah kurang dari 3 ha, maka penggunaan pompa dianggap tidak optimal, karena biaya sewa tetap. Meskipun biaya tidak tetap berkurang karena penggunaan pompa yang berkurang. Tabel 12 Kebutuhan air irigasi untuk masa tanam awal Total Kebutuhan Curah hujan ET0 Irigasi efektif air tanaman (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) 1 1-25 Mei 1,10 3,70 4,070 4,306 -0,24 2 26-31 Mei 1,10 3,70 4,070 4,306 -0,24 3 1-30 Juni 1,15 3,33 3,830 5,017 -1,19 4 1-29 Juli 1,10 3,98 4,378 4,997 -0,62 5 31 Juli 1,00 3,98 3,980 4,997 -1,02 6 1-19 Agustus 1,00 4,21 4,210 0,032 4,18 Keterangan : tanda (-) menunjukan tidak diperlukan irigasi. No Bulan
Kc
Untuk masa tanam 15 Mei 2006 (masa tanam tengah), kebutuhan air irigasi lebih besar dan lebih lama dibandingkan dengan masa tanam awal. Hal ini disebabkan karena akhir fase pembuahan untuk masa tanam tengah terjadi pada
84 bulan Agustus yang memiliki curah hujan yang sedikit. Adapun pola kebutuhan air irigasi untuk masa tanam tengah seperti pada Gambar 32. Sedangkan hasil perhitungan kebutuhan air irigasi untuk masa tanam tengah disajikan pada Tabel 13. Pada Tabel 13 ditunjukkan bahwa kebutuhan air irigasi lebih besar dibandingkan dengan masa tanam awal, baik dari segi debit maupun lama pelaksanaan irigasi. Besar debit yang dibutuhkan untuk mengairi seluas 3 ha adalah (4,599/8,64) x 3 = 1,60 lt/dt.
Gambar 32 Kebutuhan air tanaman padi untuk masa tanam tengah. Tabel 13 Kebutuhan air irigasi untuk masa tanam tengah No
Bulan
Kc
1 2 3 4 5 6 7 8
15-31 Mei 1-9 Juni 10-30 Juni 1-14 Juli 15-31 Juli 1-13 Agustus 14-31 Agustus 1-2 September
1,10 1,10 1,15 1,15 1,10 1,10 1,00 1,00
Total Kebutuhan Curah hujan ET0 Irigasi air tanaman efektif (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) 3,70 4,147 4,306 -0,16 3,33 3,663 5,017 -1,35 3,33 3,830 5,017 -1,19 3,98 4,577 4,997 -0,42 3,98 4,378 4,997 -0,62 4,21 4,631 0,032 4,60 4,21 4,210 0,032 4,18 4,47 4,470 0,000 4,47
Tabel 13 menunjukkan pula bahwa untuk masa tanam tengah dengan debit sekitar 1,45 lt/dt, maksimum luasan yang dapat diari adalah (8,64/4,60)x1,45 = 2,73 ha. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan irigasi untuk masa tanam tengah
85 relatif lebih besar yang diakibatkan karena kebutuhan air irigasi maksimal terjadi pada akhir fase pembuahan maksimum (sekitar 13 hari) hingga panen. Dalam kasus ini, sebaiknya luasan pengairan untuk 1 pompa hanya sekitar 2,50 ha agar produktivitas lahan maksimal. Dengan demikian, pelaksanaan pengairan dapat optimal karena biaya tetap dan biaya tidak tetap tidak terlalu besar, sementara produktivitas lahan maksimal, sehingga produktivitas lahan per ha akan sama dengan masa tanam awal. Sebaliknya, jika diharuskan untuk mengairi 3 ha maka produktivitas lahan akan menurun. Untuk masa tanam 1 Juni 2006 (masa tanam akhir), kebutuhan air irigasi hanya terjadi pada akhir masa pertumbuhan tanaman, berbeda dengan masa tanam awal dan tengah. Namun jumlah air irigasi yang dibutuhkan lebih besar baik dari segi jumlah maupun lama pengairan. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan irigasi terjadi pada awal pembuahan hingga menjelang panen, di mana pada masa tersebut merupakan masa kebutuhan air tanaman paling besar. Adapun pola kebutuhan air irigasi disajikan pada Gambar 33.
Gambar 33 Kebutuhan air tanaman padi untuk masa tanam akhir. Kebutuhan air irigasi untuk masa tanam akhir disajikan pada Tabel 14. Berdasarkan Tabel 14, penentuan luasan maksimum untuk masa tanam akhir sama dengan untuk masa tanam tengah. Hal ini disebabkan karena yang menjadi dasar penentuan luasan adalah pase pertumbuhan maksimum. Perbedaan keduanya adalah untuk masa tanam tengah, kebutuhan air irigasi untuk fase pembuahan
86 hanya terjadi selama sekitar 13 hari, sementara untuk masa tanam akhir berlangsung selama sekitar 30 hari. Tabel 14 Kebutuhan air irigasi untuk masa tanam akhir No
Bulan
Kc
1 2 3 4 5 6 7
1-25 Juni 26-30 Juni 1-30 Juli 31 Juli 1-30 Agustus 31 Agutus 1-19 September
1,10 1,15 1,15 1,10 1,10 1,00 1,00
Kebutuhan Curah hujan Total ET0 air tanaman efektif Irigasi (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) (mm/hari) 3,33 3,663 5,017 -1,35 3,33 3,830 5,017 -1,19 3,98 4,577 4,997 -0,42 3,98 4,378 4,997 -0,62 4,21 4,631 0,032 4,60 4,21 4,210 0,032 4,18 4,47 4,470 0,000 4,47
Berdasarkan pada luasan yang maksimal diairi untuk satu sumur yaitu 2,25 ha, maka debit minimal yang harus dipenuhi untuk satu sumur dengan ETcrop = 4,60 mm/hari yaitu (4,60/8,64)x2,25 = 1,20 lt/dt. Kebutuhan air tanaman yang digunakan sebagai pembatas dalam model optimasi adalah kebutuhan air tertinggi. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada suatu fase selama pertumbuhan tanaman bisa terjadi defisit air yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas lahan. Produktivitas lahan maksimum untuk suatu kondisi dapat dicapai karena ketersediaan air tanaman terjamin oleh adanya irigasi airbumi. c. Hasil simulasi model Hasil pengujian model yang dikondisikan pada muka airbumi minimum sebesar 5 m dari dasar akifer atau penurunan muka airbumi maksimal sebesar 10 m dari muka airbumi awal. Debit yang harus dipenuhi oleh setiap sumur berdasarkan pada kebutuhan air tanaman maksimal pada tiga kondisi masa tanam yaitu 4,60 mm/hari atau setara dengan
0,53 lt/dt/ha atau 45,99 m3/hari/ha.
Sedangkan luasan didasarkan pada jarak antara sumur. Untuk sumur tunggal diperoleh debit optimal sebesar 2.303,73 m3/hari, dapat mengairi sawah seluas 50,09 ha. Sedangkan untuk sumur ganda, digunakan kondisi sebenarnya di lapangan, debit optimal seperti pada Tabel 15. Adapun profil muka airbumi pada kondisi optimal untuk sumur tunggal seperti pada Gambar 34, sedangkan untuk sumur ganda seperti pada Gambar 35.
87
9548000 9547500 9547000 9546500 9546000 9545500 172000
173000
174000
175000
176000
Gambar 34 Profil muka airbumi pada kondisi debit optimal untuk sumur tunggal. Pada sumur ganda terjadi perbedaan debil optimal yang disebabkan karena perbedaan jarak antar sumur. Debit optimal terbesar adalah 1.268,33 m3/hari untuk mengairi 27,58 ha dengan asumsi kebutuhan air irigasi 4,60 mm/hari dan debit terkecil adalah 279,54 m3/hari untuk mengairi 6,08 ha. Debit optimal dapat dicapai dengan menggunakan pompa yang berdaya isap di atas 15 m. Untuk kondisi sekarang, petani yang memanfaatkan airbumi untuk irigasi hanya menggunakan pompa tipe sentrifugal dengan total head 8 m, sehingga debit optimal tidak tercapai. Tabel 15 Debit optimal dan luasan yang dapat diairi setiap sumur No
Sumur
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
SM1 SM2 SM3 SM4 SM5 SM6 SM7 SM8 SM9 SM10 SM11 SM12 SM13 SM14 SM15 SM16
Drawdown (m) 8,64 8,64 9,85 9,31 10,00 8,79 8,66 8,91 8,14 8,16 8,98 8,55 8,37 8,25 6,54 5,62 Jumlah
Transmisivitas (m2/hari) 139,33 139,32 158,91 150,20 161,30 141,75 139,65 143,72 131,32 131,68 144,85 137,90 135,06 133,15 105,54 90,64
Debit optimal (m3/hari) 808,43 463,50 865,97 1.268,33 868,91 601,47 750,94 1.095,87 480,75 342,78 635,97 532,49 279,54 406,02 463,50 808,43 10.672,90
Luas irigasi (Ha) 17,58 10,08 18,83 27,58 18,89 13,08 16,33 23,83 10,45 7,45 13,83 11,58 6,08 8,83 10,08 17,58 232,07
88 Berikut adalah profil muka airbumi pada kondisi optimal untuk sumur ganda: 9548000 9547500 9547000 9546500 9546000 9545500 172000
173000
174000
175000
176000
Gambar 35 Profil muka airbumi pada kondisi debit optimal untuk sumur ganda Dibandingkan dengan sumur tunggal, sumur ganda menghasilkan total debit yang lebih besar, namun secara individu, sumur ganda debitnya jauh lebih kecil. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendapatkan total debit yang lebih besar pada suatu kawasan, maka dibutuhkan jumlah sumur yang lebih banyak. Konsekuensi yang bisa diterima adalah biaya yang lebih besar akibat pengadaan sumur, mesin dan pompa serta operasional pompa. Di samping itu, jumlah sumur yang banyak dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan akibat terjadinya saling pengaruh antar sumur. Solusi dari permasalahan tersebut adalah menentukan jarak antar sumur yang optimal agar jumlah sumur seminimal mungkin sehingga biaya dapat ditekan dan lingkungan tetap baik. Di samping itu, jarak optimal dapat memenuhi kebutuhan air untuk tanaman, sehingga usahatani dapat berkelanjutan. d. Simulasi Penentuan Jarak antar Sumur Berdasarkan grafik pada Gambar 36, jarak antar sumur yang optimal dapat diprediksi. Kondisi optimal memenuhi syarat seperti: luasan yang diairi lebih luas dari luas minimum layak untuk semua kondisi, muka airbumi pada kondisi tunak dan muka airbumi masih dapat kambuh kembali, serta debit yang diperoleh dapat memenuhi kebutuhan air tanaman. Kondisi optimal terjadi jika persamaan kecenderungan hubungan jarak antara sumur dengan debit yang dibutuhkan
89 tanaman dan hubungan jarak antara sumur dengan debit optimal pada kondisi tunak dan muka airbumi pada kondisi tersebut masih dapat kambuh terjadi
2000 2
y = -0,0007x + 1,9978x + 260,38
1500 3
(m /hari)
Debit dibutuhkan/optimal .
perpotongan.
2
R = 0,9955
1000 2
y = 0,0046x - 1E-13x + 2E-11
500
2
R =1 0 200
300
400
500
600
700
Jarak antar sumur (m) Debit dibutuhkan (m3/hari)
Debit Optimal (m3/hari)
Gambar 36 Hubungan antara jarak antar sumur dengan debit yang dibutuhkan dan debit optimal Berdasarkan persamaan garis pada Gambar 36, perpotongan kedua garis yang merupakan kondisi optimal terjadi pada jarak antar sumur sejauh 479,30 m atau untuk satu sumur mengairi sawah seluas 22,97 ha dengan debit sebesar 1.056,39 m3/hari. Pada kondisi tersebut usahatani irigasi airbumi pada daerah penelitian memberikan keuntungan terbesar karena meminimalkan jumlah sumur sehingga biaya pengadaan dan operasional sumur minimal, sedangkan kebutuhan air tanaman tetap dapat terpenuhi dan lingkungan tidak mengalami degradasi. Besarnya biaya dan pendapatan usahatani dengan luasan 22,97 ha disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Biaya dan Pendapatan Usahatani untuk Luasan 22,97 ha Mt/thn 1
2
Biaya/ Pendapatan Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) B/C rasio Biaya (Rp) Pendapatan (Rp) B/C rasio
Jam kerja/musim 720 jam/musim 1080 jam/musim 1440 jam/musim 13.401.729,16 16.663.238,21 19.924.747,26 190.075.592,32 189.009.503,90 189.213.699,52 14,18 11,34 9,50 11.765.518,63 15.027.027,68 18.288.536,74 191.711.802,85 190.645.714,42 190.849.910,05 16,29 12,69 10,44
90 Penerapan jarak antar sumur sebesar 479,30 m diharapkan menjadi suatu solusi terbaik dalam usahatani menggunakan airbumi sebagai sumber air irigasi. Jarak tersebut memberikan keuntungan yang maksimal karena meminimalkan jumlah sumur sehingga biaya pengadaan dan operasional pompa dapat diminimalkan dan tidak menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi tersebut perlu diuji tentang jari-jari pengaruh antar sumur dan uji kambuh sehingga kondisi tersebut benar-benar merupakan kondisi optimal yang dapat menjamin tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Pada Gambar 37 disajikan hasil uji jari-jari pengaruh dan hasil uji kambuh. Hasil uji jari-jari pengaruh menunjukkan bahwa jarak antar sumur pada kondisi optimal lebih besar dari dua kali jari-jari pengaruh akibat pemompaan sehingga antar sumur tidak saling mempengaruhi. Dampak pengaruh antar sumur dapat menjadi pemicu terjadinya konflik antar pengguna airbumi, sehingga mengancam keberlanjutan usahatani dengan airbumi sebagai sumber air irigasi. Di samping itu, dari hasil kambuh menunjukkan bahwa kondisi kambuh terjadi setelah tiga hari pemberhentian pemompaan. Hal ini menunjukkan bahwa akifer tersebut dapat kambuh dengan cepat, sehingga pengambilan dapat dilakukan hingga debit sebesar 1.056,39 m3/hari.
Gambar 37 Hasil uji jari-jari pengaruh dan uji kambuh pada kondisi optimal
91 4.4.5. Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Kebutuhan air tanaman tertinggi pada daerah penelitian adalah sebesar 4,599 mm/hari atau untuk 1 ha dibutuhkan debit sebesar 0,53 lt/dt atau 1.839,60 m3/ha/mt. 2. Besarnya debit optimal setiap sumur yang ada di lapangan berbeda-beda, tergantung pada kerapatan. Semakin rapat jarak antar sumur, maka debit optimal sumur semakin kecil. Debit optimal terbesar 1.268,33 m3/hari untuk mengairi 27,58 ha dan debit terkecil 279,54 m3/hari untuk mengairi 6,08 ha. 3. Jarak antar sumur yang dapat memberikan keuntungan maksimal dan lingkungan tidak mengalami degradasi adalah 479,30 m atau untuk satu sumur mengairi sawah seluas 22,66 ha. Pada luasan tersebut, pendapatan usahatani sebesar Rp 191.711.802,85 dan B/C sebasar 16,29. Kondisi ini dicapai jika dilakukan dua kali masa tanam per tahun dengan lama operasi pompa per musim hanya 720 jam. 4. Uji kambuh menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kambuh kurang dari lima hari. 4.4.6. Saran Berdasarkan hasil penelitian, maka disarankan: 1. Untuk akifer yang memiliki daya kambuh yang cepat, maka sebaiknya pengambilan airbumi sebesar mungkin sesuai dengan debit pada kondisi optimal, agar diperoleh keuntungan yang maksimal. 2. Agar durasi kebutuhan air tanaman yang tidak terpenuhi oleh musim hujan seminimal mungkin sehingga dapat meminimalkan lama pengairan, maka pemilihan waktu tanam harus tepat.
92 4.5. Pembahasan Umum Penggunaan airbumi sebagai sumber air irigasi memiliki dua konsekuensi di mana keduanya merupakan aspek yang menentukan keberlanjutan suatu usaha yaitu aspek lingkungan dan aspek ekonomi, di samping aspek sosial. Konsekuensi yang dimaksud adalah 1) dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan 2) usahatani dapat mengalami kerugian akibat biaya irigasi yang tinggi. Kerusakan lingkungan terjadi bilamana dalam pengambilan airbumi tidak menerapkan system keseimbangan antara potensi air bumi yang ada dalam suatu wilayah dengan besarnya debit pengambilan. Mengingat potensi airbumi sulit diketahui secara pasti, maka potensi tersebut diduga dengan menggunakan pendekatan Darcy’s, di mana variabel yang menentukan seperti karakteristik akifer harus diketahui terlebih dahulu melalui uji pemompaan. Konsekuensi lain berupa timbulnya kerugian dapat dicegah denganh melakukan usahatani dengan luasan yang lebih luas dari luas minimum layak. Luas minimum layak tersebut harus dapat dipenuhi kebutuhan air tanaman dengan satu sumur. Selain karakteristik akifer, potensi airbumi dapat diduga bilamana diketahui gradien hidraulik dan luas penampang akifer. Kedua variabel ini sangat menentukan besarnya potensi airbumi. Luas penampang aliran diduga melalui interpretasi peta litologi, sedangkan gradient hidraulik diperoleh berdasarkan peta kontur muka airbumi melalui proses tumpang susun (overlay) antara peta kontur permukaan tanah dan data posisi muka airbumi pada beberapa titik pengamatan dengan menggunakan perangkat lunak Surfer 8. Berdasarkan interpretasi peta litologi, diperoleh bahwa tebal akifer adalah 15 meter dengan posisi 3 meter dari permukaan tanah. Lebar penampang aliran diperoleh berdasarkan pada peta jejaring aliran yang menunjukkan bahwa airbumi mengalir dari Barat ke Timur sehingga lebar aliran sama dengan panjang DAS yaitu 10.000 m, sedangkan panjang aliran sama dengan lebar DAS yaitu 4.000 m, karena DAS berhulu di Utara dan hilirnya pada sisi Selatan. Selain itu, pada peta jejaring aliran diperoleh tinggi muka airbumi tertinggi adalah sebesar 32 m dan terendah 8 meter dpl, atau selisih keduanya adalah 24 m. Berdasarkan pada tebal dan lebar aliran, maka luas penampang aliran diperoleh sebesar 150.000 m2. Selain lebar akifer, arah aliran dijadikan juga suatu dasar penentuan panjang aliran yaitu sekitar 4.000 m.
93 Gradien hidraulik yang merupakan selisih antara muka airbumi tertinggi dikurang yang terendah kemudian dibagi dengan panjang aliran diperoleh sebesar 0.006. Konduktivitas hidraulik diperoleh bedasarkan pada uji pemompaan dperoleh sebesar 16,13 m/hari yang merupakan konduktivitas hidraulik. Pengambilan nilai optimal didasarkan bahwa konduktivitas hidraulik pada suatu sistem akifer hanya satu. Namun dalam uji pemompaan diperoleh nilai konduktivitas hidraulik yang berubah setiap saat akibat adanya perubahan tinggi muka airbumi. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan optimasi untuk mendapatkan nilai yang merupakan nilai yang dapat mewakili keseluruhan nilai konduktivitas hidraulik yang selalu berubah. Optimasi dilakukan dengan meminimalkan selisih dari keseluruhan nilai konduktivitas menggunakan Solver Add In pada Microsoft Excel. Konduktivitas hidraulik tersebut dijadikan dasar dalam penentuan hasil spesifik dengan terlebih dahulu
menentukan ukuran
partikel.
Hasil
spesifik
ditentukan dengan
menggunakan grafik hubungan antara ukuran partikel dengan hasil spesifik. Nilai karakteristik akifer yang diperoleh perlu diuji keabsahannya. Pengujian keabsahan karakteristik akifer tersebut dilakukan dengan menggunakan model aliran airbumi. Beberapa asumsi yang dilakukan didasarkan pada kondisi senyatanya di lapangan seperti akifer bebas, asumsi Dupuit atau aliran terjadi secara dua dimensi, dan tidak tunak. Model diuji kesahihannya dengan metode korelasi dan penilaian kesahihan berdasarkan nilai koefisien determinasi. Hasil uji kesahihan diperoleh koefisien determinasi sebesar 0,85 yang merupakan hubungan antara tinggi muka airbumi hasil pengukuran dengan hasil model. Hal ini menunjukkan bahwa model sahih dan karakteristik akifer yang diperoleh adalah benar. Atas dasar tersebut, model aliran airbumi dan karakteristik akifer yang diperoleh dapat digunakan untuk memprediksi kondisi optimal atau model dapat digunakan untuk tempat lain namun harus dilakukan pengujian karakteristik akifernya terlebih dahulu. Berdasarkan pada nilai konduktivitas hidraulik, gradien hidraulik dan luas penampang aliran airbumi, dengan pendekatan Darcy’s diperoleh maka potensi airbumi pada Sub DAS Data dapat dihitung yaitu sebesar 14.517 m3/hari 168,02 lt/dt yang dapat mengairi sawah seluas 315,66 ha. Potensi tersebut merupakan batas pengambilan airbumi sepanjang tahun. Potensi airbumi yang
94 besar tersebut merupakan suatu peluang untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber air irigasi, di samping itu posisinya yang dangkal memungkinkan pengambilannya dapat dilakukan dengan sumur bor. Konsekuensi dari penggunaan airbumi sebagai sumber air irigasi adalah biaya yang tinggi akibat pengadaan jaringan irigasi dan operasionalnya sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerugian dalam usahatani. Kerugian dapat dicegah dengan melakukan usahatani dengan luasan yang lebih luas dari luas minimum layak. Luas minimum layak ditentukan berdasarkan pada analisis finansial usahatani menggunakan airbumi sebagai sumber air irigasi.
Biaya
usahatani terdiri atas biaya air irigasi, biaya pengolahan tanah, biaya bibit, biaya tanam, biaya pemeliharaan dan biaya saprodi. Biaya air irigasi dihitung dengan menggunakan analisis ekonomi teknik, mengingat biaya penggunaan airbumi untuk irigasi digunakan jaringan irigasi yang terdiri dari mesin penggerak yaitu motor diesel dan unit pompa. Biaya tersebut dibagi atas biaya tetap dan biaya tidak tetap. Biaya tetap tidak mengalami perubahan sepanjang tahun, namun jika diukur untuk setiap luas dan jumlah musim tanam per tahun, biaya tetap akan menurun dengan bertambahnya luasan usahatani dan jumlah musim tanam per tahun. Dalam analisa ekonomi teknik, nilai modal sebenarnya (net present value) tidak dihitung secara khusus karena dalam perhitungan biaya tetap sudah diperhitungkan biaya bunga modal sehingga biaya yang timbul sama dengan nilai modal yang ditanam (Irwanto, 1982). Total biaya usahatani menggunakan airbumi sebagai sumber air irigasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu luas usahatani, lama operasi mesin dan pompa serta jumlah musim tanam per tahun. Semakin luas usahatani maka total biaya per tahun akan semakin besar akibat bertambahnya biaya tidak tetap seperti biaya pengolahan tanah, biaya bibit, biaya tanam, biaya pemeliharaan dan biaya saprodi. Pengaruh jam operasi mesin dan pompa terhadap total biaya usahatani adalah berbanding lurus yang diakibatkan oleh bertambahnya biaya bahan bakar mesin, biaya pemeliharaan, biaya perawatan dan biaya operator. Demikian halnya untuk jumlah musim tanam per tahun akan meningkatkan total biaya per tahun akibat bertambahnya komponen-komponen biaya tersebut.
95 Biaya air irigasi mendominasi daripada total biaya pokok produksi. Dominasi biaya air irigasi dapat hingga lebih dari 50% dari total biaya pokok produksi, hal ini terjadi jika lama pemompaan lebih dari 1440 jam per musim tanam dengan luas usahatani hanya 3 ha dan hanya satu musim tanam per tahun. Pengurangan dominasi biaya air irigasi dapat dilakukan dengan mengurangi jam operasi pompa per musim tanam. Pengurangan jam operasi pompa sangat sulit dikendalikan, sehingga cara lain yang dapat dilakukan dan mudah dikendalikan adalah dengan menambah luas usahatani dan atau meningkatkan jumlah musim tanam per tahun. Pendapatan merupakan total hasil yang diperoleh dikurangi dengan total biaya. Berdasarkan hasil analisis finansial diperoleh bahwa pendapatan akan meningkat dengan bertambahnya luas usahatani, jumlah musim tanam per tahun dan lama operasi pompa per musim tanam. Pengaruh lama operasi pompa per musim tanam terhadap pendapatan terjadi akibat meningkatnya produktivitas lahan. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau ketersediaan energi sinar matahari untuk proses fotosintesis lebih lama. Berdasarkan pada perhitungan penentuan luas minimum layak diperoleh bahwa luas minimum layak terbesar adalah 3,71 ha terjadi jika usahatani dilakukan hanya satu musim tanam per tahun dengan lama operasi mesin dan pompa selama 1440 jam/musim, sedangkan luas minimum layak terkecil terjadi jika dilakukan dua kali musim tanam per tahun dengan lama operasi mesin dan pompa per musim tanam sebesar 740 jam yaitu seluas 1,91 ha. Dalam rangka perancangan irigasi airbumi, yang dijadikan dasar dalam penentuan kondisi optimal adalah luas minimum layak yang terbesar. Penentuan kondisi optimal dilakukan dengan model optimasi menggunakan Solver Add Ins pada Microsoft Excel. Model optimasi terdiri atas fungsi tujuan yaitu memaksimalkan total debit dengan fungsi pembatas berupa persamaan aliran airbumi dua dimensi dalam kondisi tunak, luas minimum layak, debit yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman berdasarkan pada luas minimum layak dan tinggi muka airbumi minimum. Berdasarkan hasil optimasi diperoleh bahwa sumur tunggal memberikan debit optimal yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan debit total untuk sumur
96 ganda, namun debit total yang diperoleh masih lebih kecil dari debit potensi airbumi pada lokasi penelitian. Kondisi sebaliknya terjadi bila ditinjau secara individu sumur, di mana debit sumur tunggal jauh lebih besar dibandingkan dengan sumur ganda. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memperoleh total debit optimal yang maksimal harus menggunakan sumur ganda. Namun penggunaan sumur ganda dapat mengakibatnya terjadinya saling pengaruh antar sumur yang pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan berupa pemampatan akifer sehingga terjadi penurunan muka lahan (land subsidence) akibat pori akifer hanya diisi dengan udara sehingga tidak mampu menahan beban berupa berat lahan itu sendiri terutama bila saling pengaruh terjadi dalam waktu yang lama. Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan cara menentukan jarak antar sumur yang optimal, di mana kebutuhan air tanaman terpenuhi dengan luasan yang yang diairi oleh sebuah sumur lebih luas dari luas minimum layak untuk usahatani menggunakan airbumi sebagai sumber air irigasi. Berdasarkan pada perhitungan jarak optimal dengan pertimbangan kebutuhan air tanaman dan debit optimal yang dapat diperoleh untuk jarak sumur tertentu diperoleh bahwa jarak optimal sebesar 479,30 m. Jarak tersebut menunjukkan bahwa untuk satu sumur diperuntukkan untuk mengairi sawah seluas 22,97 ha, di mana luasan tersebut lebih luas dari luas minimum layak. Debit yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman untuk luasan tersebut adalah sebesar 1.056,39 m3/hari atau 12,23 lt/dt. Pada luasan tersebut, pendapatan usahatani sebesar Rp 191.711.802,85 atau B/C sebasar 16,29. Kondisi ini dicapai jika dilakukan dua kali masa tanam per tahun dengan lama operasi pompa per musim hanya 720 jam.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Akifer pada daerah penelitian berupa pasiran, berada 3 meter dari permukaan tanah dengan ketebalan sekitar 15 m yaitu dari -7 m hingga 8 m dari permukaan laut. Hal ini menunjukkan bahwa akifer termasuk akifer bebas atau akifer dangkal. 2. Berdasarkan uji pemompaan, karakteristik akifer hasil optimasi pada daerah penelitian seperti konduktivitas hidraulik sebesar 16,13 m/hari dan hasil spesifik sebesar 0,32. 3. Berdasarkan data posisi muka airbumi secara spasial, maka sumber resapan diduga berasal dari sisi Barat DAS mengalir ke arah timur yang ditunjukkan oleh peta jejaring aliran (flownet). 4. Dari jejaring aliran maka komponen persamaan Darcy untuk memprediksi potensi airbumi dapat ditentukan, sehingga potensi airbumi pada daerah penelitian diketahui sebesar 14.517 m3/hari
168,02 lt/dt.
5. Input model terdiri atas: 1) konduktivitas hidraulik, 2) hasil spesifik, 3) debit pengambilan, dan 4) muka airbumi awal, sedangkan output model terdiri atas: 1) perubahan muka airbumi dan 2) pizometrik muka airbumi. 6. Berdasarkan uji kesahihan, model dinyatakan sahih dengan koefisien determinasi sebesar 0,85. Hal ini berarti bahwa model aliran airbumi yang diperoleh dapat digunakan pada tempat lain, namun terlebih dahulu dilakukan identifikasi karakteristik akifer. Di samping itu, karakteristik akifer yang diperoleh dari hasil penelitian dinyatakan benar. 7. Ada dua hal yang mempengaruhi biaya tetap per hektar per tahun daripada mesin dan pompa yang digunakan untuk irigasi yaitu luasan dan jumlah musim tanam per tahun. 8. Biaya tidak tetap per jam tidak dipengaruhi oleh luasan dan umur mesin. Hal ini disebabkan karena besarnya air yang dipompa tidak dipengaruhi oleh luasan yang akan diairi namun dipengaruhi kapasitas pompa dan daya dukung akifer. Sedangkan umur mesin tidak berpengaruh karena diasumsikan bahwa kinerja mesin konstan sepanjang umur ekonomisnya.
98 9. Biaya air irigasi menggunakan pompa per hektar dipengaruhi oleh jumlah musim tanam per tahun, luas usaha dan jumlah jam operasi pompa per musim. Biaya air irigasi berbanding terbalik terhadap luasan usahatani dan jumlah musim tanam per tahun, namun berbanding lurus terhadap jumlah jam operasi pompa per musim. 10. Biaya air irigasi dapat mendominasi total biaya pokok produksi hingga lebih dari 50% bila pemompaan berlangsung lebih dari 1.440 jam per musim tanam dengan luas usahatani 3 ha dan 1 musim tanam/tahun. Pengurangan dominasi biaya air irigasi dapat dilakukan dengan mengurangi lama pemompaan, meningkatkan luas usahatani atau jumlah musim tanam per tahun. 11. Persamaan garis penentuan luas minimum layak terhadap lama pengairan per musim untuk satu musim tanam pertahun adalah y=0,0192x0,7242 dan untuk dua musim tanam pertahun adalah y=0,0074x0,8408. 12. Kebutuhan air tanaman tertinggi pada daerah penelitian adalah sebesar 4,60 mm/hari atau untuk 1 ha dibutuhkan debit sebesar 0,53 l/dt. 13. Besarnya debit optimal setiap sumur yang ada di lapangan berbeda-beda, tergantung pada kerapatan. Semakin rapat jarak antar sumur, maka debit optimal sumur semakin kecil. Debit optimal terbesar 1.268,33 m3/hari untuk mengairi 27,58 ha dan debit terkecil 279,54 m3/hari untuk mengairi 6,08 ha. 14. Jarak antar sumur yang dapat memberikan keuntungan maksimal dan lingkungan tidak mengalami degradasi adalah 479,30 m atau untuk satu sumur mengairi sawah seluas 22,66 ha dengan pendapatan usahatani sebesar Rp 191.711.802,85 dan B/C sebasar 16,29. Kondisi ini dicapai jika dilakukan dua kali masa tanam per tahun dengan lama operasi pompa per musim 720 jam. 15. Uji kekambuhan menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi kambuh kurang dari lima hari. 5.2. Saran Agar usahatani dengan irigasi airbumi menggunakan pompa dapat berkelanjutan, maka disarankan: 1. Untuk penelitian selanjutnya, agar deskripsi akifer pada suatu daerah penelitian lebih detail dan akurat terutama posisi akifer maka disarankan untuk dilakukan uji geolistrik secara detail terutama di dalam lokasi penelitian.
99 2. Jarak antar sumur seharusnya disesuaikan dengan karakteristik akifer, agar debit optimal untuk tiap sumur dapat tercapai sehingga usahatani dengan irigasi airbumi berkelanjutan. 3. Untuk akifer yang memiliki daya kambuh yang cepat, maka sebaiknya pengambilan airbumi sebesar mungkin sesuai dengan debit pada kondisi optimal, agar diperoleh keuntungan yang maksimal. 4. Agar durasi kebutuhan air tanaman yang tidak terpenuhi oleh air hujan seminimal mungkin sehingga dapat meminimalkan lama pengairan, maka pemilihan waktu tanam harus tepat. 5. Disarankan untuk dilakukan suatu penelitian tentang pembentukan komisi irigasi airbumi, mengingat penggunaan airbumi sebagai sumber air irigasi membutuhkan biaya yang besar terutama bila durasi pelaksanaan pengairan sangat lama yang diakibatkan oleh kesalahan penentuan masa tanam. Karena kesalahan penentuan masa tanam akan berdampak terhadap semakin lamanya suatu tanaman membutuhkan air irigasi untuk memenuhi kebutuhannya akan air. 6. Mengingat masa tanam sangat menentukan keberhasilan irigasi, maka seharusnya pemerintah dalam hal ini Dinas Pertanian membentuk komisi irigasi airbumi yang dapat menyediakan informasi prakiraan pola curah hujan sebelum memasuki masa tanam. Atas dasar tersebut, komisi irigasi merekomendasikan waktu masa tanam dimulai, agar biaya yang timbul karena irigasi seminimum mungkin karena lama pelaksanaan irigasi singkat sedangkan hasil yang diperoleh maksimum. Di samping itu, masa kebutuhan air tanaman maksimum tidak terjadi pada saat kondisi kering. 7. Disarankan agar untuk penelitian selanjutnya aspek sosial dipertimbangkan sebagai suatu kendala dalam penentuan kondisi optimal, sehingga seluruh aspek yang menentukan keberlanjutan suatu kegiatan pemanfaatan airbumi untuk irigasi terpenuhi. Hal ini sangat penting mengingat airbumi sebagai sumber air irigasi rentan terjadinya konflik akibat adanya saling pengaruh antar sumur.
DAFTAR PUSTAKA Adam, L. 2008. Beras Meroket, Kesejahteraan Petani Mepet. http://www.kompas.com /read /xml/2008 02/18/10425037/beras.meroket.kesejahteraan.petani.mepet [2 Juli 2008]. Adji, S.S. 2006. Rehabilitasi Tanah Sawah Tercemar Natrium dan Logam Berat Melalui Pencucian, Penggunaan Vegetasi, Bahan Organik dan Bakteri [Disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Alimpeso, S. 2008. Harga Beras Dunia Melonjak. http://zakyalhamzah.blogspot. com/2008/03/harga-beras-dunia-melonjak.html. [2 Juli 2008]. Allen, R.D., L.S. Pereira, D. Raes and M. Smith, 1998. Crop Evapotranspiration Guidelines for Computing Crop Water Requirements - FAO Irrigation and Drainage, paper 56. http://www.fao.org/docrep/X0490E/x0490e06.htm [19 Mei 2007]. Anderson, M.P. and W.W. Woessner, 1992. Applied Groundwater Modelling. Simulation of Flow and Advective Transport. San Diego: Academic Press Inc. [Anonim] 2006. Data Klimatologi Kabupaten Wajo, Stasiun Sengkang, belum publikasi. Sengkang: Dinas Pengairan Kab. Wajo. Arifin, J. 2005. Aplikasi Excel dalam Statistik dan Riset Terapan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Arifin, J. dan A. Fauzi, 2007. Mengupas Tuntas Microsoft Office Excell 2007. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. [BAPPEDA KAB. WAJO] Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Wajo, 2003. Laporan Akhir Studi Kelayakan Potensi Hasil Tambang Kabupaten Wajo.. Sengkang: BAPPEDA KAB. WAJO. [BAPPEDA KAB. WAJO] Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Wajo, 2003. Revisi Renacana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Wajo. Fakta dan Analisis. Sengkang: BAPPEDA KAB. WAJO. Bear, J. and A. Verruijt, 1987. Modelling Groundwater Flow and Pollution. Dordrecht: D. Reidel Publ. Co. Beyerle, U., W. Aeschbach-Hertig, M. Hofer, D.M. Imboden, H. Baur and R. Kipfer, 1999. Infiltration of river water to shallow aquifer investigated with 3 3 H/ He, noble gases and CFCs. J Hydrol 220: 169-185.
101 Biswas, A.K. 1996. Water Resources. Environmental Planning, Management, and Development. New York: McGraw-Hill. Black, P.E. 1996. Watershed Hydrology. Edisi ke-2. New York: Ann Arbor Press, Inc. Bock,
R.K. 1998. Linear Equations, Iterative Solutions. http://abbaneo.home.cern.ch/rkb/AN16pp/node155.html [8 Mei 2007].
[BP-PSA Sul-Sel] Bagian Proyek Pengembangan Sumber Air, Sulawesi Selatan, 2001. Publikasi Data Klimatologi Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar: BPPSA Sul-Sel. [BP-PSA Sul-Sel] Bagian Proyek Pengembangan Sumber Air, Sulawesi Selatan, 2002. Publikasi Data Klimatologi Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar: BPPSA Sul-Sel. [BP-PSA Sul-Sel] Bagian Proyek Pengembangan Sumber Air, Sulawesi Selatan, 2003. Publikasi Data Klimatologi Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar: BPPSA Sul-Sel. [BP-PSA Sul-Sel] Bagian Proyek Pengembangan Sumber Air, Sulawesi Selatan, 2004. Publikasi Data Klimatologi Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar: BPPSA Sul-Sel. [BP-PSA Sul-Sel] Bagian Proyek Pengembangan Sumber Air, Sulawesi Selatan, 2005. Publikasi Data Klimatologi Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar: BPPSA Sul-Sel. [BPS KAB. WAJO] Badan Pusat Statistik Kabupaten Wajo, 2004.. Kabupaten Wajo Dalam Angka 2003. Sengkang: BPS KAB. WAJO. Burhanul, A.M., 2004. Cekungan Air Tanah di P. Sulawesi Bagian selatan (Sulawesi II). Direktoral Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan. http://www.dgtl.esdm.go.id/cekungan.html [1 Feb 2006]. Carnahan, B., H.A. Luther and J.O. Wilkes, 1990. Applied Numerical Methods. Malabar, Florida: Rober E. Krieger Publ. Co. Chapra, S.C. and R.P. Canale, 1991. Metode Numerik untuk Teknik, Edisi pertama. S.Sardy, penerjemah; Dwi Sugiarti, editor; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Numerical Method for Engineers. Clarke, D., M. Smith and K.E. Askari, 1998. CropWat for Windows: User Guide. http://72.14.235.104/search?q=cache:V43gd7xyDkUJ:tarwi.lamolina.edu.pe /~jgoicochea/Manuales/CROPWAT4W.pdf+cropwat&hl=id&ct=clnk&cd= 4&gl=id [19 Mei 2007].
102 Cook, P.G., G. Favreau, J.C. Dighton and S. Tickell, 2003. Determining natural groundwater influx to a tropical river using radon, chlorofluorocarbons and ionic environmental tracers. J Hydrol 277: 74-88. Dawson, K.J. and J.D. Istok, 1991. Aquifer Testing. Design and Analisis of Pumping and Slug Tests. Michigan: Lewis Publ., Inc. [DISTAN KAB. WAJO] Dinas Pertanian Kab. Wajo, 2004. Peta Produktivitas dan Rancang Bangun Kawasan Usaha Produktivitas Padi. Bagian proyek Peningkatan Produktifitas Padi dan Pengembangan Agribisnis Jagung Kab. Wajo Tahun Anggaran 2004. Sengkang: DISTAN. KAB. WAJO. De Silva, R.P. 2004. Spatial variability of groundwater recharge-I. Is it really variable? J Spatial Hydrol 4(1): 1-18. Dingman, S.L. 2002. Physical Hydrology. Edisi ke-2. New Jersey: Prentice Hall. Doorenbos, J. and W.O. Pruitt, 1977. Guidelines for Predicting Crop Water requirements. FAO Irrigation and Drainage Paper. Rome: FAO-UN. [DTLGKP] Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, 2003. Penyediaan Prasarana dan Sarana Air bersih di Desa Wicudai, Kecamatan Pemana, Kabupaten Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan. http://www.dgtl.esdm.go.id/airtanah/PPSA-WAJO2003.html. [1 Feb 2006]. Elhassan, A.M., A. Goto, and M. Mitzutani, 2003. Effect of Conjunctive Use of Water for Paddy Field Irrigation on Groundwater Budget in an Alluvial Fan. J Sci Res and Dev :1-12. [EMS-I] Environmental Modeling Systems, Inc., 2004. Watershed Modeling Systems. South Jordan: EMS. [ESRI] Environmental Systems Research Institute, 1997. PC Arc/Info. New York: ESRI. [ESRI] Environmental System Research Institute, Inc., 2002. ArcView GIS 3.3. License from New Delhi: HCL Technologies Ltd. New York: ESRI [FPS-UGM] Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1996. Flow Through Porous Media. Yogyakarta: FPS-UGM. Gupta, R.S. 1989. Hydrology and Hydraulic Systems. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Gaspersz, V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito.
Bandung:
Hansen, V.E., O.W. Israelsen and G.C. Stringham, 1979. Irrigation Principles and Practices. Edisi ke-4. Manila: Chaco Hermanos, Inc.
103 Hillel, D. 1980. Fundamentals of Soil Physics. New York: Academic Press. Irianto, S.G. 2007. Pedoman Teknis Pengembangan Irigasi Airtanah Dangkal. Jakarta: Direktorat Pengelolaan Air, Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, Deptan. Irwanto, A.K. 1982. Ekonomi Enjiniring. Bogor: Jur. Keteknikan Pertanian, Fateta, IPB. Islami, T. dan W.H. Utomo, 1995. Semarang: IKIP Semarang Press.
Hubungan Tanah, Air dan Tanaman.
Jones, I.C. and J.L. Banner, 2003. Estimation recharge threshold in tropical karts island aquifers: Barbados, Puerto Rico and Guam. J Hydrol 278: 131-143. Kadariah, 1988. Evaluasi Proyek, Analisa Ekonomis, Edisi ke-2. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Kalsim, D.K. 2002. Rancangan Irigasi Gravitasi, Drainase dan Infrastruktur, Edisi ke-2. Bogor: Laboratorium Teknik Tanah dan Air, FATETA IPB. Kartasapoetra, A.G., M.M. Sutedjo dan E. Pollean, 1994. Teknologi Pengairan Pertanian (Irigasi), Cetakan ke-2. Jakarta: Bumi Aksara. [KMNLH] Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997. Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional untuk Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: KMNLH. Kusumayudha, S.B. 2003. Mengelola Airtanah, Perlu Model yang Pas http://publik.geopangea.or.id/saribk/artikel.shtml [6 Feb 2006]. Lee, R. 1986. Hidrologi Hutan. S. Subagio, Penerjemah; S. Prawirohatmodjo, Editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pr. Terjemahan dari: Forest Hydrology. Mays, L.W. and Y.K. Tung, 1992. Hydrosystems Engineering and Management. New York: McGraw-Hill, Inc. Muhammadi, E. Aminullah E dan B. Soesilo, 2001. Analisis Sistem Dinamis. Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Mulyono, S. 1991. Operations Research. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Munadi, S. 1995. Perhitungan Matriks dengan Quick Basic, Edisi pertama. Yogyakarta: Andi Offset. Ortega, R.M.V., J.G. Espinosa and R. Spandre, 2000. An alternative method to evaluate aquifer fermeability. J Env Hydrol 8(8):1-8.
104 [P2AT SUL-SEL] Proyek Pengelolaan Air Tanah, Sulawesi Selatan, 2006. Uji Pendahuluan, Lakessi dan Manurung. Makassar: P2AT Sul-Sel, Tidak Dipublikasikan. Prawirokusumo, S. 1990. Ilmu Usahatani, Edisi pertama. Yogyakarta:BPPE. Pusposutardjo, S. 2001. Pembangunan Irigasi, Usaha Tani Berkelanjutan dan Gerakan Hemat Air. Jakarta : Dirjen Dikti, Depdiknas. Pusposutardjo, S dan S. Susanto, 1993. Perspektif dari Pengembangan Manajemen Sumberdaya Air dan Irigasi untuk Pembangunan Pertanian, Kumpulan Karangan. Yogyakarta: Liberty. Rahim, H.I. 2008. Naiknya Harga Beras Dunia Diharapkan Untungkan Petani. http://www.antara.co.id/arc/2008/3/25/naiknya-harga-beras-duniadiharapkan-untungkan-petani/. [2 Juli 2008]. Setiawan, S. 1991. Simulasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Teknik Pemrograman dan Metode Analisis.
Siagian, Y.O.P. 2003. Pengelolaan Airtanah Berkelanjutan. Di dalam: Arief SS, Azdan MD, Bassar E, Editor. Prosiding Seminar Menggagas Pengelolaan Sumberdaya Air Berkelanjutan; Jakarta, 6 Mar 2003. Jakarta: FAOBAPPENAS. hlm 33-38. Simpson, M.J. and T.P. Clemen, 2003. Comparison of finite difference and finite element solutions to the variably saturated flow equation. J Hydrology 270: 49-64. Sosrodarsono, S. dan Takeda, 1993. Hidrologi untuk Pengairan. Jakarta: PT Pradnya Paramita. Thuesen, G.J. and W.J. Fabrycky, 1993. Engineering Economy, Edisi ke-8. New Jersey: Prentice-Hall International, Inc. Todd, D.K. 1995. Groundwater Hydrology. Edisi ke-2. Singapore: John Wiley & Sons. Vandenbohede, A. and L. Lebbe, 2003. Combined interpretation of pumping and tracer test: Theoretical consideration and ilustration with a field test. J Hydrol 277: 134-149. Wang, H.F. and M.P. Anderson, 1982. Introduction to Groundwater Modeling. Finite Difference and Finite Element Methods. San Francisco: W.H. Freeman and Co. Ward, A.D. and W.J. Elliot, 1995. Environmental Hydrology. Boca Raton: CRC Press Inc.
105 Waspodo, R.S.B. 2001. Model Optimasi Pemanfaatan Airtanah pada Lahan Kering untuk Menentukan Keperluan Air bagi Tanaman Padi (Oryza Sativa) di Majalengka, Jawa Barat [disertasi]. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Wilson, E.M. 1993. Engineering Hydrology. London: The Macmillan Press Ltd. Yulianto, H.D. dan L.N. Sutapa, 2005. Riset Operasi dengan Excel. Yogyakarta: ANDI
106
Lampiran 1. Peta geologi Kab. Wajo
107
Lampiran 2. Peta sebaran airbumi Kab. Wajo.
108
Lampiran 3. Penampang melintang potongan A-B berdasarkan peta litologi
Batas lokasi penelitian
109
Lampiran 4. Penampang melintang potongan C-D berdasarkan peta litologi
Batas lokasi penelitian
110 Lampiran 5 Konstruksi sumur uji dan sumur pantau Konstruksi sumur
2m
40 m
PVC Ø 4 Blank
PVC Ø 4” Screen
111 Lampiran 6 Respon kesalahan model untuk setiap pengukuran No. Head pengukuran (m) Head model (m) 1 8,00 8,09 2 8,30 8,07 3 8,20 8,01 4 8,00 7,85 5 8,10 7,81 6 7,50 7,83 7 7,90 8,39 8 7,80 8,34 9 7,40 8,34 10 8,38 8,32 8,50 8,30 11 12 8,50 8,25 8,40 8,23 13 14 7,95 8,19 15 8,47 8,16 8,55 8,16 16 17 8,32 8,07 18 8,41 7,94 8,20 7,96 19 20 4,70 4,80 21 8,13 7,85 22 8,17 7,25 23 7,90 7,74 24 7,70 7,47 8,15 7,54 25 26 7,90 7,32 Rata-rata
Respon kesalahan 0,0113 0,0277 0,0232 0,0188 0,0358 0,0440 0,0620 0,0692 0,1270 0,0072 0,0235 0,0294 0,0202 0,0302 0,0366 0,0456 0,0300 0,0559 0,0293 0,0213 0,0344 0,1126 0,0203 0,0299 0,0748 0,0734 0,0421
112 Lampiran 7 Kebutuhan biaya irigasi untuk setiap 720, 1080 dan 1440 jam/musm untuk satu dan dua musim tanam Musim Biaya/jam (Rp/jam) Q J Ef Kap tanam/ I x 24 720 1080 1440 3 (m /jam) (jam/hari) (%) (ha/msm) tahun (jam/thn) (jam/thn) (jam/thn) 151,2 6,3 24 0,95 3 12.924,54 11.485,28 10.765,65 1 259,2 10,8 24 0,95 5 12.924,54 11.485,28 10.765,65 345,6 14,4 24 0,95 7 12.924,54 11.485,28 10.765,65 151,2 6,3 24 0,95 3 10.765,65 10.046,02 9.686,20 2 259,2 10,8 24 0,95 5 10.765,65 10.046,02 9.686,20 345,6 14,4 24 0,95 7 10.765,65 10.046,02 9.686,20
Biaya Air Irigasi (juta Rp/ha) 720 1080 1440 (jam/thn) (jam/thn) (jam/thn) 3.265.146,39 4.352.316,07 5.439.485,75 1.959.087,83 2.611.389,64 3.263.691,45 1.399.348,45 1.865.278,32 2.331.208,18 2.719.742,88 3.806.912,56 4.894.082,25 1.631.845,73 2.284.147,54 2.936.449,35 1.165.604,09 1.631.533,95 2.097.463,82
113 Lampiran 8 Total biaya pokok produksi usahatani padi sawah menggunakan irigasi airbumi Mt
1
2
Luas Jam kerja/ (ha) musim 720 3 1080 1440 720 5 1080 1440 720 7 1080 1440 720 3 1080 1440 720 5 1080 1440 720 7 1080 1440
BAI (Rp) 3.265.146,39 4.352.316,07 5.439.485,75 1.959.087,83 2.611.389,64 3.263.691,45 1.399.348,45 1.865.278,32 2.331.208,18 2.719.742,88 3.806.912,56 4.894.082,25 1.631.845,73 2.284.147,54 2.936.449,35 1.165.604,09 1.631.533,95 2.097.463,82
BPT (Rp) 1800000 1800000 1800000 3000000 3000000 3000000 4200000 4200000 4200000 3600000 3600000 3600000 6000000 6000000 6000000 8400000 8400000 8400000
BB (Rp) 360000 360000 360000 600000 600000 600000 840000 840000 840000 720000 720000 720000 1200000 1200000 1200000 1680000 1680000 1680000
BT (Rp) 900000 900000 900000 1500000 1500000 1500000 2100000 2100000 2100000 1800000 1800000 1800000 3000000 3000000 3000000 4200000 4200000 4200000
BM (Rp) 1650000 1650000 1650000 2750000 2750000 2750000 3850000 3850000 3850000 3300000 3300000 3300000 5500000 5500000 5500000 7700000 7700000 7700000
BP (Rp) 7.975.146,39 9.062.316,07 10.149.485,75 9.809.087,83 10.461.389,64 11.113.691,45 12.389.348,45 12.855.278,32 13.321.208,18 12.139.742,88 13.226.912,56 14.314.082,25 17.331.845,73 17.984.147,54 18.636.449,35 23.145.604,09 23.611.533,95 24.077.463,82
BAI/BP Pendapatan (%) (Rp) 40,94 16.308.744,32 48,03 13.333.968,48 53,59 10.525.098,26 19,97 33.711.533,30 24,96 30.927.912,94 29,37 28.420.801,94 11,29 51.114.322,29 14,51 48.521.857,39 17,50 46.316.505,62 22,40 35.889.909,69 28,78 29.940.358,01 34,19 24.322.617,57 9,42 70.695.487,66 12,70 65.128.246,93 15,76 60.114.024,93 5,04 105.501.065,62 6,91 100.316.135,84 8,71 95.905.432,30
B/C Rasio 2,04 1,47 1,04 3,44 2,96 2,56 4,13 3,77 3,48 2,96 2,26 1,70 4,08 3,62 3,23 4,56 4,25 3,98
114 Lampiran 9 Grafik kecenderungan biaya dan pendapatan setiap jam operasi per musim untuk satu dan dua musin tanam Jam/ musim (jam)
Dua musim tanam Biaya/Pendapatan (jt Rp).
Satu musim tanam Biaya/Pendapatan (jt Rp).
720
Jumlah musim tanam per tahun
60,00 50,00
y = 8,7014x - 9,7954
40,00
2
R =1
30,00
y = 0,157x + 9,7954
20,00
R2 = 1
10,00 0,00 2
3
4
5
6
7
120 100
y = 17,403x - 16,318 R2 = 1
80 60
y = 0,314x + 16,318
40
2
R =1
20 0
8
2
3
4
Luas (ha)
60,00 50,00 40,00
y = 8,797x - 13,057 R2 = 1
30,00
y = 0,157x + 13,057 R2 = 1
20,00 10,00 0,00 2
3
4
5
6
7
120 100 80 60 40 20 0 3
4
Biaya/Pendapatan (jt Rp).
Biaya/Pendapatan (jt Rp).
1440
10,00 0,00 2
3
4
5 Luas (ha)
Pendapatan (Rp/thn)
5
Pendapatan (Rp/thn)
Biaya (Rp/thn)
y = 0,157x + 16,318 R2 = 1
20,00
Biaya (Rp/thn)
6
7
8
Luas (ha)
y = 8,9479x - 16,318 R2 = 1
30,00
8
y = 0,314x + 22,841 R2 = 1
2
8
50,00 40,00
7
y = 17,594x - 22,841 R2 = 1
Luas (ha) Pendapatan (Rp/thn)
6
Pendapatan (Rp/thn)
Biaya (Rp/thn)
Biaya/Pendapatan (jt Rp).
1080
Biaya/Pendapatan (jt Rp).
Pendapatan (Rp/thn)
5
Luas (ha)
6
Biaya (Rp/thn)
7
8
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Biaya (Rp/thn)
y = 17,896x - 29,364 2
R =1 y = 0,314x + 29,364 2 R =1
2
3
4
5
6
Luas (ha) Pendapatan (Rp/thn)
Biaya (Rp/thn)
7
8