MODEL PENENTUAN KOMPONEN KERUGIAN NON FISIK DALAM PENGADAAN TANAH PEMBANGUNAN JALAN
Model of Determining Non Pecuniary Losses for Land Acquisition in The Road Development Henniko Okada1 dan Arvian Zanuardi2 1 Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur Email :
[email protected]
2 Peneliti Balai Litbang Sosial Ekonomi Lingkungan Bidang Jalan dan Jembatan
Jl. Gayung Kebonsari no.50 Surabaya, Jawa Timur Email :
[email protected]
Tanggal diterima: 21 Desember 2014 ; Tanggal disetujui: 19 Maret 2015 ABSTRACT Some road developments in Indonesia are hampered by the difficulty of land acquisition due to rejection from affected communities. The condition is usually caused by the compensation which excludes non pecuniary losses. This study attempts to define the components of non pecuniary losses on the land acquisition of road development as mentioned in new regulation (UU Nomor 2 Tahun 2012). Selective coding method is used to identify the losses, and modelling to develop the basis appropriate compensation based on the case studies of other land acquisition cases. The study locus are Jalan Lintas Selatan Jawa ruas Pacitan-Hadiwarno, Surabaya-Mojokerto-Kertosono highway, and Medan-KualanamuBukit Tinggi highway. The result identifies 48 (forty eight) components of non pecuniary losses that is divided into 4 (four) categories : transaction and administrative costs, moving expenses, loss of location changes, and loss of assets changes. The use of non pecuniary losses component is varied to land use, both agricultural and non-agricultural. This model is expected to improve the quality of planning and its implications to accelerate the process of land acquisition in road development. Keywords: non pecuniary losses, land acquisition, road development, model
ABSTRAK Pembangunan infrastruktur di Indonesia terhambat oleh sulitnya pengadaan tanah. Penolakan masyarakat biasanya disebabkan nilai ganti kerugian yang ditetapkan belum memenuhi kerugian yang bersifat non fisik. Kajian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi komponen kerugian non fisik pada proses pengadaan tanah pembangunan jalan sebagaimana tercantum dalam peraturan pengadaan tanah yang baru (UU Nomor 2 Tahun 2012). Metode yang digunakan adalah selective coding untuk menemukenali item-item kerugian, dan modelling dengan menyusun acuan penentuan yang paling sesuai berdasarkan hasil studi-studi kasus pengadaan tanah. Lokasi studi kasus meliputi Jalan Lintas Selatan Jawa ruas Pacitan-Hadiwarno, tol Surabaya-Mojokerto-Kertosono, serta tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi. Hasil kajian mendapatkan 48 (empat puluh delapan) komponen kerugian non fisik, yang dibagi menjadi 4 (empat) kategori yaitu biaya transaksi dan administrasi, biaya pindah, kerugian perubahan lokasi, dan kerugian perubahan aset. Penggunaan komponen kerugian non fisik tersebut bervariasi disesuaikan dengan peruntukan lahan, baik pertanian maupun non pertanian. Dihasilkannya model ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan implikasinya pada percepatan proses pengadaan tanah pembangunan jalan. Kata kunci : kerugian non fisik, pengadaan tanah, pembangunan jalan, model
1
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79
PENDAHULUAN Infrastruktur menjadi kunci pokok kemajuan suatu kawasan dan menjadi satu unsur penting dalam akselerasi pertumbuhan ekonominya. Tersedianya infrastruktur yang memadai dapat mempercepat distribusi barang dan jasa antar wilayah, sehingga memberikan dukungan dalam memacu laju pertumbuhan ekonomi regional suatu kawasan.
Pembangunan infrastruktur jalan di Indonesia khususnya penyediaan jalan bebas hambatan (tol), masih bergerak sangat lambat. Di Indonesia, masalah utama pengadaan jalan tol adalah terkait pembebasan tanah. Proses pembebasan tanah membutuhkan waktu yang panjang mengakibatkan keterlambatan jadwal dan mempengaruhi rencana investasi bagi para investor. Implementasi UU No. 2 Tahun 2012 masih belum teruji efektivitasnya (Wirahadikusumah 2013). Tanah merupakan modal dasar pembangunan. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di segala bidang kehidupan baik untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta selalu membutuhkan tanah sebagai wadah untuk diletakkan dalam pembangunan itu (Purnayudha 2010). Pada mulanya, kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan dengan menggunakan tanah negara, namun karena terbatasnya tanah negara, maka kemudian mulai ada kebijakan untuk menggunakan tanah masyarakat yang telah dilekati dengan sesuatu hak atas tanah (Tawas 2013).
Berdasarkan kajian Balai Litbang Sosekling Jalan (2011), permasalahan paling umum dalam pengadaan tanah ditengarai oleh penolakan masyarakat terhadap besaran nilai ganti kerugian. Nilai yang ditetapkan oleh pemerintah atau tim appraisal sering kali dianggap tidak dapat membayar kerugian-kerugian yang diderita oleh masyarakat. Banyak kerugian yang berkaitan dengan biaya sosial (social cost) dirasakan belum terakomodir saat proses penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah.
Secara rasional seseorang akan melepaskan haknya jika kompensasi ganti kerugian yang diterima dianggap layak, tetapi seringkali dalam upaya pembebasan tanah, masyarakat merasa tidak puas dengan ganti rugi yang ditetapkan, bahkan istilah “ganti kerugian“ dipersepsikan bahwa sudah pasti orang yang melepaskan hak atas tanahnya mengalami atau menderita kerugian. Walaupun tidak dapat dipungkiri ada kalanya ganti kerugian atau kompensasi yang diminta masyarakat dianggap terlalu tinggi (Sugiarto 2010).
2
Pengadaan tanah pembangunan jalan cenderung melibatkan banyak masyarakat terdampak, terlebih bila melewati wilayah perkotaan yang padat penduduk. Ini berakibat pada kompleksnya proses inventarisasi komponen dan penilaian ganti kerugian. Tanah yang dibebaskan pun jarang sekali berupa tanah kosong dan non produktif yang ganti kerugiannya cukup dibayar seharga luasan tanah saja. Oleh karena itu dalam peneilitan ini dilakukan identifikasi yang lebih mendalam terkait komponen kerugian fisik (properti fisik berupa tanah, bangunan, tanaman, ataupun sarana prasarana) dan kerugian lainnya yang bersifat non fisik (kerugian sosial yang umumnya tidak berwujud atau tidak ada nilai pasarnya). Pertanyaan dalam penelitian ini meliputi :
1) Apa saja komponen yang layak diperhitungkan dalam kompensasi kerugian non fisik ?
2) Bagaimana penentuan kompensasi kerugian non fisik tersebut dikaitkan dengan karakteristik lahan dan masyarakat terdampak ? Hasilnya dimaksudkan untuk menyusun acuan penentuan komponen kerugian non fisik pada proses pengadaan tanah pembangunan jalan. Kajian ini dipandang perlu karena peraturan pengadaan tanah yang baru (Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012) telah menyebutkan kerugian non fisik sebagai salah satu komponen ganti kerugian namun belum terapat rincian yang jelas tentang bentukbentuk kerugian non fisik tersebut. Diharapkan hasil kajian ini dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan implikasinya guna percepatan proses pengadaan tanah pembangunan jalan, khususnya dalam upaya perlindungan sosial dan pemukiman kembali (social safeguard and resettlement) masyarakat terdampak. Hal tersebut sesuai dengan prinsip pengadaan tanah untuk memberikan jaminan ganti kerugian yang layak dan adil bagi pihak yang berhak. KAJIAN PUSTAKA
Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Tanah memegang peranan yang penting sebagai lahan untuk merealisasikan pembangunan dalam hal ini adalah pembangunan fisik. Seperti diketahui, tanah tidak dapat dipisahkan dengan manusia karena tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia. Tanah merupakan tempat pemukiman, tempat melakukan kegiatan manusia, bahkan sesudah matipun masih memerlukan tanah (Werdoyo 2014).
Tanah bagi masyarakat Indonesia memiliki makna dan posisi yang strategis, lebih dari
Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Henniko Okada dan Arvian Zanuardi sekedar aspek fisiknya. Tanah yang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan mahal bagi setiap manusia, dikarenakan tanah bagi kehidupan manusia mengandung makna multidimensional. Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan apabila diolah dengan baik. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan ditengah-tengah masyarakat. Ketiga, tanah adalah sebagai modal budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral bagi kelompok-kelompok tertentu masyarakat yang beranggapan bahwa akhir hayat setiap orang akan kembali ke tanah (Hamongan 2013). Oleh karena itu proses penilaian ganti kerugian pengadaan tanah juga seharusnya mempertimbangkan berbagai kerugian dari aspek yang multidimensional tersebut. Namun demikian, dari sekian banyak bidang yang menyangkut tanah, bidang ekonomi nampak mendominasi aktivitas manusia atas tanah. Tingginya kenaikan harga tanah sangat dipengaruhi oleh fungsi lahan atau jenis penggunaan lahan bersangkutan. Kegiatan perdagangan/jasa sebagai kegiatan yang memiliki nilai ekonomi tinggi cenderung memacu kenaikan harga tanah yang tinggi pula (Wibowo dan Barus 2010).
Aspek ekonomi juga menjadi penting karena beberapa kasus menunjukkan resistensi masyarakat menjadi lebih kuat ketika tanah yang akan dibebaskan menjadi sumber penghidupan mereka. Dalam pemberian ganti kerugian pengadaan tanah, pemerintah perlu lebih memberikan pertimbangan lain terkait hak atas tanah yang dipunyai oleh warga masyarakat sebagai tempat untuk menjalankan usaha pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari (Oprasi 2009) Negara dapat bertindak sebagai pemilik tanah yang dipergunakan bagi kepentingan umum, dengan dua alasan. Pertama, adanya hubungan hukum yang khusus antara negara dan tanahtanah yang masuk kategori res pulicae in publico usu yang merupakan penyimpangan dari res publicae in patrimonio (benda-benda yang menjadi kekayaan masyarakat umum). Kedua, kekuasaan hukum yang dijalankan negara terhadap tanah yang dipergunakan oleh umum, mempunyai isi yang sama dengan kekuasaan hukum yang dilakukan negara terhadap tanah-tanah lain yang digunakan secara tidak terbatas (Rahmawati 2013). Apabila pengalihan hak milik tanah oleh negara dilakukan dengan sistem pengadaan tanah, maka masyarakat perlu diberikan kompensasi/ganti rugi. Ganti rugi adalah upaya untuk mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan
yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum (Patty 2012).
Saniah (2010) menyebutkan bahwa dengan asas keadilan, kepada masyarakat yang terkena pembebasan tanah atau pengadaan tanah diberikan ganti rugi yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonominya, minimal setara dengan keadaan semula, dengan memperhitungkan kerugian terhadap faktor fisik maupun non fisik (Saniah 2010). Kerugian fisik mungkin bisa dihitung dan dinilai dengan materi, penebusannya pun dalam bentuk pemberian ganti kerugian mungkin bisa diatasi. Pemulihan penderitaan non fisik tidak cukup dengan hanya memberikannya kepuasan material, tetapi harus pula dibarengi dengan kepuasan immaterial (Tampi 2014). Dupond (2008) menyatakan bahwa kerugian non fisik (non pecuniary losses) jauh lebih sulit untuk ditentukan, dibuktikan dan diukur. Tidak ada harga pasar yang obyektif, oleh karena itu, kerugian non fisik hanya bisa diperkirakan secara subyektif. Tercantum dalam The Asian Development Bank’s Summary of the Handbook on Resettlement: A Guide to Good Practice (1998, dalam FAO 2008) menyatakan bahwa terdapat beberapa kerugian atas Costumary Right yang mungkin membutuhkan kompensasi seperti dijelaskan pada Tabel 1.
Kerugian non fisik sebenarnya bukan konsep baru di Indonesia. Terdapat beberapa kajian lain tentang pengadaan tanah di Indonesia yang secara tersirat telah menyebutkan komponen kerugian non fisik yang perlu dikompensasikan antara lain : •
•
Tim penilai/penaksir harus memiliki kemampuan menghitung kerugian non fisik yang diderita pemegang hak atas tanah seperti kehilangan keakraban dan nilai sejarah atau nostalgia tempat lama, kehilangan pekerjaan, kegamangan di masa depan (Baso 2012). Hal ini mensiratkan kerugian atas nilai sosial budaya terkait tanah atau bangunan yang umumnya dimiliki tanah-tanah adat atau masyarakat yang sarat budaya.
Perlu dipikirkan untuk memberikan ganti rugi misalnya yang berupa bantuan ongkos kepindahan ke lokasi baru, biaya pemasangan instalasi listrik, air bersih di tempat yang baru kepada bekas pemegang hak atas tanah, karena hal ini dapat membantu mengurangi beban pengeluaran masyarakat yang tanahnya sudah diambil untuk pembangunan demi kepentingan umum tersebut (Saniah 2010). Ini berarti kompensasi terhadap biaya administrasi, relokasi dan transaksional
3
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79
Tabel 1. Daftar Kerugian yang Membutuhkan Kompensasi Menurut ADB Losses Of Customary Rights That May Require Compensation (The Asian Development Bank’s Summary of the Handbook on Resettlement: A Guide to Good Practice) - agricultural land; - house plot (owned or occupied); - business premises (owned or occupied); - access to forest land; - traditional use rights; - community or pasture land; - access to fishponds and fishing places; - house or living quarters; - other physical structures; - structures used in commercial/industrial activity; - displacement from rented or occupied commercial premises; - income from standing crops;
- income from rent or sharecropping; - income from wage earnings; - income from affected business; - income from tree or perennial crops; - income from forest products; - income from fishponds and fishing places; - income from grazing land; - subsistence from any of these sources; - schools, community centres, markets, health centres; - shrines, religious sites, places of worship and sacred grounds; - cemeteries and other burial sites; - access to food, medicines and natural resources
Sumber : FAO, 2008
•
•
•
•
4
lain atas pengalihan hak tanah perlu juga dipertimbangkan.
Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan ganti kerugian di samping Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang terakhir adalah : lokasi tanah; status penguasaan tanah; status hak atas tanah; kelengkapan sarana dan prasarana; keadaan penggunaan tanahnya (terpeliharan/tidak); kerugian sebagai akibat dipecahnya hak atas tanah seseorang; biaya pindah tempat/ pekerjaan; kerugian terhadap turunnya penghasilan si pemegang hak (Sumardjono 1994 dalam Paranata dan Irawan 2010).
Adanya ganti rugi atas tanah berarti terdapat penghormatan atas hak-haknya, baik itu hak atas tanah, ataupun hak ekonomi sosial sehingga tingkat kehidupan sosial ekonomi bekas pemegang hak atas tanah tidak mengalami kemerosotan akibat terkena pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum (Sangalang 2012). Ganti rugi harus meliputi akibat langsung dari pencabutan hak, kerugian dari sisa yang tidak dicabut haknya, kerugian karena tidak dapat menggunakan benda tersebut atau kehilangan penghasilan, serta kerugian karena harus mencari tempat usaha lain (Parlindungan 2008 dalam Sutanto 2013).
Pengaturan pemukiman kembali tidak hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena proyek pelepasan hak dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tetapi harus diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat kembali pulih di tempat yang baru atau setidak-tidaknya masyarakat tidak akan menjadi lebih miskin
•
dari sebelumnya. Tempat permukiman yang baru harus ditata sesuai dengan Rencana Tata Ruang Daerah atau Kota dengan diikuti oleh proyek konsolidasi tanah perkotaan atau perdesaan (Kalo 2004).
Kerugian yang dapat dimintakan penggantian itu, tidak hanya berupa biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (konsten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang akan didapat seandainya si berhutang tidak lalai (Subekti 1985 dalam Prabandari 2007). Kompensasi yang dijelaskan di sini adalah dalam bentuk bunga untuk masa tunggu.
Pengembangan Model dengan Selective Coding
Untuk dapat mengembangkan hasil kajian menjadi sebuah alat bantu dalam penentuan komponen kerugian non fisik, maka dirumuskan sebuah bentuk model. Menurut Achmad (2012, dalam Cayaraya 2013) model adalah representasi dari suatu objek, benda, atau ide-ide dalam bentuk yang disederhanakan dari kondisi atau fenomena alam. Model berisi informasi-informasi tentang suatu fenomena yang dibuat dengan tujuan untuk mempelajari fenomena sistem yang sebenarnya. Model dapat merupakan tiruan dari suatu benda, sistem atau kejadian yang sesungguhnya yang hanya berisi informasi-informasi yang dianggap penting untuk ditelaah. Model berisi komponen kerugian non fisik yang dihasilkan dengan pendekatan selective coding. Selective coding adalah proses mengintegrasikan dan menyaring kategori inti, secara sistematis menghubungkannya ke kategori lain, memvalidasi persamaan dan hubungan, serta menyelesaikan kategori dengan memberikan perbaikan atau
Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Henniko Okada dan Arvian Zanuardi pengembangan. Konsep dan hubungan yang dikembangkan melalui proses coding membantu mengarahkan proses pengumpulan data dan analisis (Strauss dan Corbin 2009 dalam Kolb 2012).
METODE PENELITIAN
Penelitian perumusan indikator dan model penentuan ganti kerugian non fisik dalam pengadaan tanah ini dapat digambarkan dalam gambar 1.
Ruang lingkup kajian ini adalah merumuskan sebuah model untuk penentuan komponen kerugian non fisik dalam pengadaan tanah bagi pembangunan jalan. Kajian dilakukan pada Februari-November tahun 2012, dengan lokasi studi kasus antara lain Jalan Lintas Selatan Jawa ruas Pacitan-Hadiwarno, Jalan Tol Surabaya-Mojokerto-Kertosono, dan Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi. Kriteria pemilihan lokasi adalah wilayah pembangunan jalan yang masih dalam proses pengadaan tanah. Ini dimaksudkan agar mendapatkan data-data yang akurat sesuai dengan konteks pengumpulan data berupa kerugian non fisik pengadaan tanah pembangunan jalan.
Pendekatan dan Metode Pengkajian dimulai dari pembahasan mengenai munculnya komponen kerugian non fisik dalam peraturan perundangan sebagai salah satu item yang diperhitungkan dalam penilaian ganti kerugian dalam pengadaan tanah. Kemudian dilakukan pendekatan modeling yang meliputi identifikasi dan konstruksi model. Model digunakan sebagai acuan penentuan komponen-komponen kerugian non fisik yang muncul pada proses pengadaan tanah pembangunan jalan, berdasarkan kriteria peruntukan lahan. Validasi data dalam kajian ini dilakukan dengan pendekatan expert opinion melalui workshop. Pengumpulan & Analisis Data
Pengumpulan data dilakukan baik dengan cara primer maupun sekunder. Beberapa metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur dan teoritis, studi kasus, observasi langsung, dan wawancara. Wawancara dilakukan terhadap 2 (dua) kriteria informan, yakni informan dari masyarakat penerima ganti rugi serta informan ahli (expert) yang berkaitan dengan pengadaan tanah. Informan ahli terdiri dari perwakilan Subdit Tujuan
Isu Aktual Existing Masalah : Pembangunan infrastruktur terkendala pembebasan tanah. Penyebab : Nilai ganti rugi dianggap belum memenuhi kerugian non fisik.
input : Data kerugian dalam pengadaan tanah (hasil survai, wawancara, studi kasus, literatur)
UU No.2 tahun 2012 Memuat kerugian lain yang dapat dinilai (termasuk kerugian non fisik)
RISET Pertanyaan: Apa saja indikator kerugian non fisik?
kategorisasi (metode Selective Coding)
Ideal : Jaminan Ganti Kerugian yang layak dan adil bagi pihak yang berhak, sesuai UU. Manfaat : Percepatan proses pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur
outcome: Peningkatan kualitas perencanaan dan implikasi Ganti Kerugian
validasi (expert opinion)
modeling (matrik penentuan)
output : Daftar panjang kerugian non fisik & Matrik penentuan berdasar peruntukan lahan
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pikir Sumber : Penulis
5
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79
Pengadaan Tanah (Bina Marga), Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Keuangan, Masyarakat Profesi Penilai, dan akademisi.
Analisis konten digunakan untuk mengulas keberadaan kompensasi kerugian non fisik dalam perkembangan peraturan perundangan pengadaan tanah di Indonesia. Analisis data untuk merumuskan komponen kerugian non fisik menggunakan teknik kategorisasi dengan koding aksial (selective coding), yakni pelacakan hubungan diantara elemen-elemen data yang terkodekan (melalui pengujian adanya persamaan dan perbedaan dalam tata hubungan, diantara kategori atau sub kategori, dan diantara kategori dan propertisnya). Hasil kemudian dilakukan triangulasi dengan kegiatan diskusi teknik (workshop) yang menghadirkan peserta dari instansi-instansi terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Diskusi ini dilakukan untuk menggali masukan dan koreksi (validasi) terhadap konsep penentuan kerugian non fisik yang dihasilkan. Dari hasil pengkategorisasian dan validasi, dibuat sebuah model matriks sebagai acuan penentuan kerugian non fisik berdasarkan kriteria peruntukan lahan. Kriteria peruntukan lahan tersebut dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni sektor pertanian dan sektor non pertanian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kerugian Non Fisik dalam Perundangan Pengadaan Tanah
Peraturan
Tanah menjadi modal dasar dari proses penyelenggaraan pembangunan infrastruktur. Guna memastikan pembangunan infrastruktur bagi kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan baik, pemerintah terus mengupayakan berbagai peraturan hukum yang dapat mendukung terselenggaranya proses pengadaan tanah.
Hukum Agraria Indonesia menyebutkan terdapat dua bentuk pelaksanaan pengadaan tanah, yakni dengan cara pelepasan/penyerahan hak atas tanah, dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Perbedaan kedua bentuk pengadaan tanah ini adalah pada proses pelaksanaanya. Pencabutan hak atas tanah cenderung dilakukan dengan paksaan, sedangkan pembebasan tanah dilakukan atas dasar asas musyawarah. Sejarah peraturan pengadaan tanah sudah dimulai sejak tahun 1961 dengan berlakunya Undang-undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak atas Tanah dan Bendabenda yang Ada di Atasnya. Ketentuan mengenai pemberian ganti rugi juga telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di negara kita. UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Perpres No 36 Tahun 2005 Jo Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan, maka prinsip pengadaan tanah adalah mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya, dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah
UU 20/1961 Kepres 55/1993
UU 02/2012 Perpres 36/2005
Perpres 65/2006 Pendekatan pembebasan menjadi prioritas baku, dan terdapat mekanisme banding atas penetapan ganti kerugian.
Alternatif antara pembebasan dengan pencabutan hak atas tanah Sumber : Analisis
6
Perpres 71/2012
Mekanisme penitipan Ganti Kerugian di Pengadilan Negeri, dan penambahan komponen kerugian non fisik dalam pengadaan tanah
Gambar 2. Kilas Penyempurnaan Peraturan Pengadaan Tanah
Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Henniko Okada dan Arvian Zanuardi untuk dapat memperoleh tanah serta perlindungan maupun kepastian hukum.
Pada kenyataannya konflik dalam pengadaan tanah masih belum dapat diatasi dengan berlakunya Perpres No 65 Tahun 2006. Meskipun penilaian ganti kerugian sudah lebih mendalam diinventarisir, dimana tanah dan benda-benda kepemilikan lain yang bernilai juga akan diganti-rugi, namun masih banyak masyarakat yang enggan melepaskan tanahnya. Hal ini dikaitkan dengan kerugiankerugian sosial yang mereka derita, yang belum diakomodir dalam penilaian ganti kerugian.
Oleh karena itu, dalam upaya mempercepat dan memperjelas kepastian waktu proses pengadaan tanah yang belum dapat dicapai dengan penerapan Perpres No. 36 Th. 2005 jo Perpres No. 65 Th. 2006, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 yang berisi tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Bisa dikatakan peraturan terbaru ini memiliki kelebihan untuk mendukung kepentingan kedua belah pihak dalam pengadaan tanah, yakni masyarakat dan pemerintah. Bagi pemerintah, terdapat kepastian perolehan tanah dimana terdapat mekanisme penitipan ganti kerugian di pengadilan negeri dan instansi yang memerlukan tanah dapat melakukan eksekusi tanah. Hal ini tertuang pada Pasal 43 yang berbunyi: “Pada saat pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan pelepasan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) huruf a telah dilaksanakan atau pemberian ganti kerugian sudah dititipkan di pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan atau hak atas tanah dari pihak yang berhak menjadi hapus dan alat bukti haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara”.
Namun demikian, bukan berarti negara melakukan pemaksaan dan ketidakadilan pada proses pengadaan tanah ini. Karena di sisi lain, masyarakat terdampak jauh lebih diperhatikan dengan adanya kompensasi kerugian yang bersifat non-fisik. Masyarakat akan menerima penggantian bukan hanya sekedar aset-aset yang berwujud saja, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang menjadi dampak dari hilangnya aset mereka itu. Salah satu asas pengadaan tanah berdasarkan undang-undang baru adalah “keadilan” yang berarti memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik. Lebih baik perlu dimaknai bahwa kehidupan setelah proses pengadaan tanah harus lebih dari sekedar setara dari keadaan semula.
Pada peraturan baru tersebut (pasal 33), penilaian ganti kerugian dilakukan bidang per bidang tanah meliputi : a. tanah;
b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c. bangunan; d. tanaman;
e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai.
Kerugian lain yang dapat dinilai (huruf f) inilah yang mewadahi kerugian-kerugian sosial yang bersifat non-fisik. Dalam penjelasan peraturan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kerugian lain yang dapat dinilai” adalah kerugian non fisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, biaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa. Oleh karena itulah, dapat dikatakan bahwa peraturan perundangan baru mengenai pengadaan tanah ini akan memberikan kepastian perolehan tanah untuk pembangunan, dan sekaligus memberikan kompensasi yang adil bagi masyarakat. Perbedaan pengaturan pengadaan tanah dijelaskan sekilas pada gambar 2. Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah
Tingkat resistensi masyarakat akan pengadaan tanah adalah sebanding dengan besarnya peranan tanah dalam kehidupan mereka. Banyak kasus sengketa pengadaan tanah menunjukkan bahwa masyarakat sampai berani rela mati membela hak kepemilikan tanahnya. Keberanian ini akan muncul ketika tanah menjadi satu-satunya sumber penghidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adanya resistensi masyarakat seharusnya menjadi sebuah kewajaran mengingat tanah memiliki peranan penting dalam kehidupan, sebagai tempat bermukim, beraktivitas dan bermasyarakat. Namun demikian, dari berbagai sudut pandang peran tanah yang multidimensional, sisi ekonomi cenderung menguat dan mendominasi. Harga tanah yang semakin tinggi di wilayah perkotaan, menjadikan masyarakat berpikir lebih rasional dan mempertimbangkan aspek untung-rugi.
Terlebih apabila pengadaan tanah mengakibatkan banyak penderitaan yang bersifat non fisik yang harus dialami oleh masyarakat. Hal ini akan memicu peningkatan harga atas tanah jauh dari sekedar harga fisiknya. Pemulihan kerugian yang bersifat non fisik memang perlu dibarengi dengan kepuasan yang bersifat immaterial dan harganya tentu tidak
7
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79
mudah dipenuhi dengan ukuran material (uang).
Tersebut dalam peraturan pengadaan tanah yang baru bahwa kerugian non fisik menjadi salah satu komponen yang dipertimbangkan dalam penilaian ganti kerugian. Ini menjadi bukti nyata perhatian pemerintah dalam memberikan keadilan kepada masyarakat yang terkena pengadaan tanah. Memang sebagian besar dari kerugian non fisik tidak mudah untuk disetarakan dengan nilai uang karena tidak pernah ada harga pasarnya (non marketable). Selain itu, saat ini penentuan nilainya masih cenderung dilakukan secara subyektif.
Berdasarkan beberapa studi kasus pengadaan tanah, terlihat bahwa variasi kerugian non fisik dalam proses pengadaan tanah cenderung serupa pada bidang tanah yang status kepemilikan, fungsi lahan dan kondisi lingkungannya sama. Dengan memperhatikan karakteristik tanah dan pemiliknya, sebenarnya sudah dapat diperkirakan komponen kerugian non fisik yang perlu dikompensasikan. Dengan cara ini, maka penentuan komponen kerugian non fisik dapat direncanakan dengan baik dan lebih obyektif.
Hasil studi literatur, studi kasus, wawancara dan observasi lapangan telah menemukenali banyak sekali komponen kerugian non fisik. Komponen tersebut meliputi biaya-biaya aktual (kerugian yang pasti melekat akibat pengalihan hak tanah) dan biaya-biaya tambahan sebagai dampak dari perpindahan lokasi. Namun berdasarkan atas proses triangulasi bersama expert, belum semua item kerugian non fisik yang ditemukan dapat diperhitungkan dalam pengadaan tanah karena beberapa komponen kerugian cenderung bersifat sentimentil. Beberapa kerugian yang bersifat religious dan magis dalam ADB Handbook of Resettlement, seperti traditional use right, shrines, religious sites, places of worship and sacred grounds; cemeteries and other burial sites tampaknya belum dapat dimasukkan dalam kriteria komponen kerugian non fisik. Namun para ahli tidak memungkiri bahwa sebenarnya dapat diberikan penghargaan atas nilainilai yang bersifat religious-magis tersebut. Akan tetapi perlu digunakan pendekatan yang khusus dalam proses penilaiannya, karena tentu saja nilainilai tersbut tidak akan dapat ditemukan di pasar (non marketable) dan akan bervariasi bagi setiap individu (bersifat subyektif). Berdasarkan atas proses validasi data dengan expert opinion (dalam workshop), akhirnya disepakati terdapat daftar panjang kerugian non fisik yang dapat dinilai dengan pendekatan praktis. Komponen kerugian non fisik yang berhasil
8
terinventarisasi dan terkategorisasikan sesuai dengan kesamaan karakteristiknya sebanyak 48 (empat puluh delapan) dapat dilihat pada Tabel 2. Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik
Undang-undang pengadaan tanah yang baru (UU 02/2012) telah mengisyaratkan bahwa kegiatan penilaian ganti kerugian harus dilakukan per bidang tanah. Penilaian per bidang ini dilakukan karena terdapat banyak variasi yang akan muncul dalam komponen kerugian non-fisik apabila dikaitkan dengan karakteristik lahan, properti ataupun pemiliknya.
Berdasarkan atas beberapa data hasil pelaksanaan penilaian ganti kerugian pengadaan tanah yang telah dilakukan di lokasi studi kasus dan sekaligus dengan divalidasi pendapat ahli, maka dirumuskanlah model acuan penentuan komponen kerugian non fisik yang dikaitkan dengan kriteria peruntukan lahan. (Tabel 3) Model acuan penentuan kerugian non fisik tersebut dibuat dalam bentuk matriks untuk memudahkan pengguna dalam membaca dan memahami. Matriks terdiri dari aksis horisontal berupa komponen kerugian dan aksis vertikal adalah peruntukan lahan yang akan dibebaskan. Indikator penentuan komponen ganti kerugian = Item tidak diperhitungkan dalam kerugian
= Item bisa ada/tidak diperhitungkan dalam kerugian tergantung kondisi pihak yang berhak
= Item harus diperhitungkan dalam kerugian
ditampilkan dalam 3 (tiga) kriteria sebagai berikut:
Penentuan kriteria penentuan komponen ganti kerugian disusun berdasarkan atas studi kasus di lapangan yang sesuai dengan konteks karakteristik peruntukan lahan yang sedang dicari. Sebagai contoh sebuah kasus dengan target pembebasan adalah sebuah perkebunan, maka item kerugian non fisik yang masuk kategori harus diperhitungkan diantaranya kerugian kehilangan potensi produksi, kompensasi masa tunggu, biaya mencari lahan baru, dan biaya pemulihan pendapatan. Kerugian yang bersifat tentatif diantaranya kerugian sisa tanah dan nilai atas properti sisa. Sedangkan kerugian non fisik lainnya bisa tidak diperhitungkan bagi peruntukan lahan sebagai perkebunan (lihat lampiran). Untuk kriteria lainnya dapat dilihat pada matriks penentuan komponen kerugian non fisik berdasarkan peruntukan lahan yang terlampir pada tulisan ini.
Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Henniko Okada dan Arvian Zanuardi Tabel 2. Daftar Panjang Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Komponen kerugian non fisik
No. 1
Biaya Ijin Mendirikan Bangungan (IMB) dan administrasi lainnya
2
Biaya pengurusan dokumen administrasi kependudukan (KTP/Kartu Keluarga) pada lokasi baru
3
Biaya pengurusan perubahan dokumen-dokumen (STNK, BPKB)
4
Biaya pendaftaran ulang jaringan listrik
5
Biaya pendaftaran ulang jaringan telepon
6
Biaya pendaftaran ulang jaringan air bersih
7
Kompensasi masa tunggu (bunga)
8
Kerugian akibat inflasi nilai mata uang pada masa tunggu
9
Biaya kehilangan potensi hasil produksi (pertanian/perkebunan/peternakan/tambak)
10
Biaya kontrak/sewa sementara
11
Biaya tanggungan hidup selama menganggur
12
Biaya pencarian pekerjaan baru
13
Biaya pelatihan/re-trainning untuk mata pencaharian baru
14
Biaya permodalan usaha yang baru
15
Biaya periklanan apabila memulai usaha yang baru
16
Biaya marketing lokasi baru untuk untuk usaha yang sama dengan sebelumnya
17
Biaya pemindahan barang-barang (mobilisasi dan transport)
18
Biaya mencari lahan baru
19
Biaya mencari rumah/kontrakan baru
20
Kerugian akibat semakin jauh jarak tempuh dengan lokasi beraktivitas (transport)
21
Kerugian akibat kehilangan lokasi potensial untuk usaha/pekerjaan
22
Kerugian akibat kehilangan lokasi strategis terkait pengembangan kawasan
23
Kerugian akibat perubahan lokasi tempat tinggal (dulu di perumahan elit sekarang belum tentu bisa)
24
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke pasar tradisional
25
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke mall/pusat perdagangan
26
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke terminal
27
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke sekolah favorit
28
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor polisi
29
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke puskesmas/rumah sakit
30
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor pos
31
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor pemadam kebakaran
32
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke pusat kebugaran
33
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor kepala desa/kelurahan
34
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor kecamatan
35
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke taman/lahan hijau
36
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke fasilitas peribadatan
37
Kerugian dari ketidaknyamanan (pikiran & energi) yang terbebani akibat masalah perubahan penghidupan
Axial Coding Sub
Biaya Transaksi dan Administrasi di lokasi baru
Main
Biaya Transaksi dan Administrasi
Kerugian Masa Tunggu
Biaya Pemulihan Pendapatan
Biaya Pindah
Biaya transport
Penambahan angaran transportasi
Kerugian Perubahan Lokasi
9
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79
Axial Coding
Komponen kerugian non fisik
No.
Sub
38
Biaya pendaftaran sekolah baru
39
Biaya pembelian seragam sekolah baru
40
Biaya pembelian buku bahan ajar baru
41
Kerugian pendapatan sewa bangunan sebagai kantor/bank
42
Biaya pembatalan asuransi properti lama dan pengurusan asuransi properti baru apabila ada
43
Biaya pengalihan kontrak yang masih berlaku atas tanah yang dibebaskan
44
Kerugian pendapatan sewa tanah dari penggunaan lahan sebagai lokasi tower telekomunikasi
45
Kerugian pendapatan sewa tanah dari penggunaan lahan sebagai lokasi pemasangan papan reklame
46
Kerugian pendapatan sewa bangunan sebagai tempat kost
47
Kerugian sisa tanah
48
Nilai atas properti sisa
Main
Kehilangan usaha atau pekerjaan
Nilai Sisa
Kerugian Perubahan Aset
Sumber : Analisis
Tabel 3. Kategori Peruntukan Lahan dalam Matriks Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik SEKTOR NON PERTANIAN
Rumah tinggal Rumah sewa/kost/kontrakan Usaha warung/toko Home industri Pabrik Perkantoran
SEKTOR PERTANIAN
Sawah Ladang Perkebunan Peternakan Tambak/perikanan Tanah kosong disewakan Tanah kosong terlantar
Sumber: www.google.com
KESIMPULAN Pembaruan peraturan perundangan pengadaan tanah (Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012) telah memberikan penghargaan terhadap kerugian non fisik, yang disebutkan sebagai “kerugian lain yang dapat dinilai”. Berdasarkan analisis dan validasi expert opinion, terdapat 48 (empat puluh delapan) komponen kerugian non fisik yang dapat muncul dan diperhitungkan dalam proses pengadaan tanah. Kerugian tersebut terkategorisasikan menjadi biaya transaksi dan administrasi, biaya pindah, kerugian perubahan lokasi, dan kerugian perubahan aset. Kerugian tersebut dapat ditentukan kompensasi nilai uangnya dengan pendekatan praktis. Meskipun demikian tidak dipungkiri terdapat kerugian lain yang bersifat non-marketable (di luar hasil kajian) yang dapat juga dipertimbangkan.
10
Penentuan kriteria kerugian non fisik tersebut dilakukan dengan mengacu pada matriks yang telah disusun berdasarkan karakteristik peruntukan lahan, yang dibedakan menjadi sektor pertanian dan sektor non pertanian. Digunakannya model ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan implikasinya guna percepatan proses pengadaan tanah pembangunan jalan, khususnya dalam upaya perlindungan sosial dan pemukiman kembali (social safeguard and resettlement). Merujuk pada hasil kajian, disarankan adanya pengembangan model penentuan kerugian non fisik pengadaan tanah pembangunan jalan ini menjadi lebih operasional dan terukur. Misalnya saja dengan indikator komponen kerugian yang sudah muncul
Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Henniko Okada dan Arvian Zanuardi dalam satuan biaya atau persentase yang dapat diperhitungkan dalam nilai mata uang rupiah.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Litbang Sosekling Jatan. 2011. Laporan Akhir Penelitian Perhitungan Pemberian Ganti Rugi Kegiatan Pembebasan Lahan Berdasarkan Valuasi Ekonomi. (tidak dipublikasikan). Baso, Alimuddin. 2012. Perspektif Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur. Buletin Pengawasan 9 (1) Maret 2012. Jakarta : Itjen ESDM. Cayaraya, Sarliaji. 2013. Model Layanan Perpustakaan Sekolah Luar Biasa. Tesis untuk gelar Magister Pendidikan Kebutuhan Khusus. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia. Dupond, Alain. 2008. Non-Pecuniary Loss in Commercial Contracts. Minor Dissertation on Department of Private Law. Tamboerskloof : University of Cape Town. FAO (Food and Agricultural Organization of The United Nations) Land Tenure Studies. 2009. Compulsary Acquisition of Land and Compensation. Rome : Electronic Publishing Policy and Support Branch Communication Division. Hamongan, Alusianto. 2013. Evaluasi Penanganan Konflik atas Tanah Ulayat di Provinsi Sumatera Utara. UDA e-Jurnal XXIII Agustus 2013. Sumatera Utara : Universitas Darma Agung. Kalo, Syarifuddin. 2004. Reformasi Peraturan dan Kebijakan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum. Sumatera Utara : Publikasi Digital Universitas Sumatera Utara (USU Digital Library). Kolb, Sharon M. 2012. Grounded Theory and the Constant Comparative Method : Valid Research Strategies for Educators. Journal of Emerging Trends in Educational Research and Policy Studies (JETERAPS) 3 (1) : 83-86. Whitewater : University of Wisconsin USA. Oprasi, Agus. 2009. Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian terhadap Hak Atas Tanah yang Terkena Proyek Pembangunan Water Front City di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro. Paranata, A. dan Irawan B. 2010. Analisis Penetapan Nilai Ganti Kerugian Properti Korban Luapan Lumpur Lapindo. Jurnal Ekonomi dan Kebijakan 3 (2) September 2010. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Patty, Dian C. 2012. Pengaturan Mengenai Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah. Skripsi untuk
gelar Sarjana Hukum. Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana. Prabandari, Retno. 2007. Jenis-Jenis Perjanjian sebagai Dasar Hukum dalam Pengalihan Hak Guna Bangunan Objek Hak Tanggungan. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro. Purnayudha, Deny Catur. 2010. Permasalahan Hukum Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Lingkar Selatan di Kecamatan Sidomukti Salatiga. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro. Rahmawati, P. M. 2013. Pengaturan Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum oleh Badan Usaha Swasta. Tesis untuk gelar Magister Program Studi Kenotariatan. Denpasar : Universitas Udayana. Sangalang, A. 2012. Kajian terhadap Ganti Rugi atas Tanah dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum guna Mewujudkan Kepastian Hukum, Perlindungan Hukum, dan Keadilan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Tesis untuk gelar Magister Ilmu Hukum. Yogyakarta : Universitas Atmajaya. Saniah. 2010. Analisis Yuridis tentang Problematika Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 36 Tahun 2005 dan Peraturan Presiden RI No. 65 Tahun 2006. Tesis untuk gelar Magister Hukum. Medan : Universitas Sumatera Utara. Sugiarto. 2010. Problematika Hukum dalam Pemberian Ganti Rugi terhadap Pengadaan Tanah bagi Pengembangan Landas Pacu Bandar Udara Achmad Yani Semarang. Tesis untuk gelar Magister Kenotariatan. Semarang : Universitas Diponegoro. Sutanto, Dian N. 2013. Kajian Lembaga Hukum Konsinyasi Ganti Rugi dan Asas Kesepakatan dalam Peraturan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam Mewujudkan Keadilan bagi Pemegang Hak Atas Tanah. Tesis untuk gelar Ilmu Hukum Agraria. Yogyakarta : Universitas Atmajaya. Tawas, Agus Y. 2013. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (Studi Kasus Pelebaran Jalan Martadinata Paal Dua di Kota Manado). Jurnal Hukum Unsrat 1 (6) OktoberDesember/2013. Manado : Universitas Sam Ratulangi. Tampi, Butje. 2014. KUHAP dan Pengaturan Ganti Rugi Pihak Korban dalam Peradilan Pidana. Jurnal II (2) Januari-Maret/2014. Manado : Universitas Sam Ratulangi.
11
Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol. 7 No.1 April 2015, hal 1- 79
Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Werdoyo, Putri D. 2014. Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Pertanian menjadi Perumahan di Pemda Bantul. Skripsi untuk gelar Ilmu Hukum. Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Wibowo, Azis P. dan Lita S. Barus. 2010. Identifikasi Dinamika Harga Lahan di Kawasan Cipadu Kota Tangerang. Jurnal Planesa 1 (1) Mei 2010. Jakarta : Universitas Esa Unggul. Wirahadikusumah, Reini D. 2013. Isu Strategis pada Pengadaan Pengusahaan Jalan Tol dalam Kerjasama Pemerintah dan Swasta. Jurnal Teknik Sipil 20 (3) Desember 2013. Bandung : Institut Teknologi Bandung (ITB).
12
Sumber : Analisis
Kerugian atas perubahan lokasi
Biaya Pindah
Biaya administrasi di lokasi baru
Biaya transaksi
Penambahan angaran transportasi
Biaya transport
Biaya Pemulihan Pendapatan
Kerugian Masa Tunggu
SUB-CATEGORY
MAIN-CATEGORY
Biaya pengurusan perubahan dokumen-dokumen (STNK, BPKB)
3
Biaya pencarian pekerjaan baru
37
36
35
34
33
32
31
30
29
28
27
26
25
24
23
22
21
20
19
18
17
16
15
14
13
Kerugian dari ketidaknyamanan (pikiran & energi) yang terbebani akibat masalah perubahan penghidupan
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke fasilitas peribadatan
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke taman/lahan hijau
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor kecamatan
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor kepala desa/kelurahan
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke pusat kebugaran
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor pemadam kebakaran
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor pos
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke puskesmas/rumah sakit
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke kantor polisi
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke sekolah favorit
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke terminal
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke mall/pusat perdagangan
Kerugian akibat perubahan akses pencapaian ke pasar tradisional
Kerugian akibat perubahan lokasi tempat tinggal (dulu di perumahan elit sekarang belum tentu bisa)
Kerugian akibat kehilangan lokasi strategis terkait pengembangan kawasan
Kerugian akibat kehilangan lokasi potensial untuk usaha/pekerjaan
Kerugian akibat semakin jauh jarak tempuh dengan lokasi beraktifitas (transport)
Biaya mencari rumah/kontrakan baru
Biaya mencari lahan baru
Biaya pemindahan barang-barang (transport)
Biaya marketing lokasi baru untuk untuk usaha yang sama dengan sebelumnya
Biaya periklanan apabila memulai usaha yang baru
Biaya permodalan usaha yang baru
Biaya pelatihan/re-trainning untuk mata pencaharian baru
Biaya tanggungan hidup selama menganggur
12
11
Biaya kontrak/sewa sementara
Biaya kehilangan potensi hasil produksi (pertanian/perkebunan/peternakan/tambak)
Kerugian akibat inflasi nilai mata uang pada masa tunggu
Kompensasi masa tunggu (bunga)
Biaya pendaftaran ulang jaringan air bersih
Biaya pendaftaran ulang jaringan telepon
Biaya pendaftaran ulang jaringan listrik
10
9
8
7
6
5
4
Biaya pengurusan dokumen administrasi kependudukan (KTP/Kartu Keluarga)
Biaya pengurusan Ijin Mendirikan Bangungan (IMB)
1
2
ITEM BIAYA ATAU KERUGIAN YANG DIDERITA PIHAK YANG BERHAK
No.
rumah tinggal**
kost/rumah usaha sewa** warung/toko**
home industri**
NON PERTANIAN*
pabrik**
perkantoran**
Lampiran. Instrumen Penentuan Nilai Idemnity
Sawah**
SEKTOR
Ladang**
Perkebunan**
Tambak/Perikanan Kosong Kosong ** (disewakan)** (terlantar)**
PERTANIAN* Peternakan**
Model Penentuan Komponen Kerugian Non Fisik dalam Pengadaan Tanah Pembangunan Jalan Henniko Okada dan Arvian Zanuardi
13