P E R E NC ANAAN PEMBANGUNAN MAJALAH TRIWULAN • EDISI 02/TAHUN XV/2009 • ISSN 0854-3709
MEDIA INFORMASI, PROFESI, DAN KOMUNIKASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
Model New Keynesian Small Macroeconomic
Untuk Kebijakan Moneter di Indonesia Quo Vadis Desentralisasi Fiskal? Democracy and Economic Growth Development and Its Impact to Environment
Daftar Isi 2 Multilateralizing the Current Spaghetti Bowl of PTAs Widyana Perdhani
39 Lessons from the Past: Political Feasibility of Village Infrastructure Project Agus Manshur
8 Pekerjaan Ramah Lingkungan: Lingkungan Hidup, Perubahan Iklim, dan Kesempatan Kerja Johny Juanda
44 Pelayanan Kesehatan Masyarakat di Pulau-Pulau Kecil Ikhwanuddin Mawardi
16 Democracy and Economic Growth: a Review of the Literature Yunes Herawati
51 Pembentukan Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta Eko Wiji Purwanto
19 Efisiensi dan Efektifitas Subsidi Public Service Obligation Oktorika
56 In Defense of Globalization (Book Review) M. Agung Widodo
23 Model New Keynesian Small Macroeconomic untuk Kebijakan Moneter di Indonesia
62 Kesejahteraan Nelayan dan Ketahanan Nasional Aso Setiarso
Sanjoyo
31 Long-Run Trend in Indonesia’s Terms of Trade: Findings from the Experience of Japan
68 Development and Its Impact to Environment: World System Approach Mohammad Rifki Akbari
Firmansyah
36 Quo Vadis Desentralisasi Fiskal? Muhyiddin
P E RE NC AN A A N PEMBANGUNAN MAJALAH TRIWULAN • EDISI 02/TAHUN XV/2009 • ISSN 0854-3709 MEDIA INFORMASI, PROFESI, DAN KOMUNIKASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN
75 Mentalitas Birokrasi Dalam Pelayanan Publik Endah Setyowati
Penanggungjawab Sekretaris Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Sekretaris Utama Bappenas Pemimpin Umum Dida Heryadi Salya Pemimpin Redaksi Herry Darwanto Dewan Redaksi Hanan Nugroho, Randy R. Wrihatnolo, Tatang Muttaqin, Jarot Indarto, Teguh Sambodo, Muhyiddin Desain Grafis Tony Priyanto, Ismet Mohammad Suhud, Sarono Santoso Sekretariat Yunhri Trima Vibian, Budi Cahyono, Myda Susanti, Sovi Dasril, Muhammad Fahmy Fadly, Slamet, Nasan Layout Diponegoro Santoso
Alamat Redaksi Jalan Taman Suropati No. 2 Gedung Sayap Timur Lantai 3 Jakarta Pusat Telp. (021) 3905650 ext. 267 Telp./Fax. (021) 3161762 email
[email protected] website http://www.bappenas.go.id Nomor STT 1685/SK/Ditjen PPG/STT/1991 Nomor ISSN 0853-3709
Pengantar B
elum lama ini negara kita mengalami bencana alam yang bertubi-tubi. Sementara upaya rekonstruksi pascabencana belum dimulai di Jawa Barat, telah terjadi gempa bumi yang lebih besar di Sumatera Barat. Bencana alam telah meminta banyak korban jiwa dan harta benda, karena kerusakan langsung dan tidak langsung. Kerusakan dialami oleh banyak pihak: perorangan, rumah tangga, dunia usaha, dan pemerintah. Kerusakan langsung yang banyak diliput media massa membuat kita merasa lemah berhadapan dengan dahsyatnya bencana alam. Namun kerugian tidak langsung tidak kalah besarnya, yaitu kerugian produksi pada masa depan yang dialami dunia usaha, biaya-biaya yang lebih tinggi yang dialami masyarakat, dan berkurangnya pajak dan penerimaan lain dari pemerintah pusat dan daerah. Untuk mengetahui bagaimana beratnya dampak bencana alam, maka fakta-fakta berikut dapat menjadi perhatian (ECLAC, 2003). Badai Mitch di Honduras (1998) menyebabkan kerusakan sebesar 79% dari PDB tahun sebelumnya, banjir di Venezuela (1999) menyebabkan kerusakan sebesar lebih dari 160% PDB Propinsi Vargas; dan gempa bumi di Kota Meksiko (1985) menyebabkan kerusakan sebesar 4% dari PDB nasional. Tsunami di Aceh dan Nias (2004) mungkin menimbulkan kerusakan yang sama atau lebih besar di dua daerah itu. Gempa bumi yang menyerang El Salvador tanggal 13 Januari dan 13 Februari tahun 2001 mengungkapkan banyak informasi lain yang menarik. Jumlah kerusakan diperkirakan mencapai USD 1,6 milyar. Dari jumlah ini, 58% merupakan kerusakan langsung, dan 42% berupa kerugian tidak langsung. Sebagian besar kerusakan langsung terjadi pada sektor prasarana dan sarana (64% dari total kerusakan), kemudian meningkatnya biaya-biaya dan berkurangnya pendapatan berbagai jasa-jasa umum (31%), dan kerugian dalam kegiatan produksi (5%). Total kerusakan akibat gempa bumi itu setara dengan 12% dari PDB El Salvador, dan 40% lebih dari ekspor nasional tahun sebelumnya (2000). Kerusakan pada asset fisik sekitar 42% dari nilai pembentukan modal tetap bruto tahunan, menimbulkan kesulitan bagaimana mencegah penurunan PDB pada tahun-tahun berikutnya. Kerusakan asset menyebabkan rekonstruksi berlangsung selama empat tahun berturut-turut, sekalipun seluruh kapasitas industri konstruksi sudah dikerahkan, dan penduduk harus mengalami penurunan kondisi kehidupan yang signifikan selama periode itu. Dampak
1
dari kerusakan akibat bencana alam itu diderita terutama oleh UKM dan masyarakat berpenghasilan rendah. Besarnya kerusakan dialami paling parah di daerah San Vicente (57%), kemudian La Paz (31%), Cuscatlan (22%) dan Usulután (19%). Jadi selama tidak lebih dari dua menit itu, gempa bumi telah menyebabkan kerugian besar perkonomian daerah-daerah ini. Kerusakan pada perumahan dan pemukiman, terutama di kota-kota kecil dan pedesaan menambah kekurangan rumah yang masih besar di daerah-daerah yang mengalaminya. Kerusakan pada prasarana transportasi menyebabkan bertambahnya waktu angkutan barang dan penumpang, yang berdampak pada biaya hidup yang lebih tinggi. Biaya-biaya yang tak terduga yang dialami oleh pemerintah daerah dan pusat di sana mengakibatkan defisit keuangan pemerintah bertambah. Kerugian produksi ekspor hanya 3% dari nilai ekspor tahun sebelumnya, namun karena dibuat oleh UKM, maka kerugian tersebut dirasakan oleh cukup banyak keluarga. Pasar domestik juga terganggu karena sebagian produk konsumsi lokal harus diekspor untuk menggantikan produksi yang menurun dan untuk mensubstitusi barang impor. Wisatawan asing juga membatalkan kunjungan karena khawatir bencana alam tersebut menyebabkan ketidaknyamanan di seluruh wilayah negara itu. Dampak ikutan lain adalah investor asing menjadi kurang tertarik menanamkan modalnya di sana. Akhirnya, strategi penanggulangan kemiskinan di negara itu harus dimodifikasi karena rekonstruksi pascabencana memerlukan perhatian yang lebih besar, yang berdampak pada menurunnya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Demikianlah apa yang terjadi di suatu negara yang mengalami bencana alam. Pelajaran apa yang dapat ditarik? Setiap daerah rawan bahaya alam (natural hazard) perlu sedini mungkin melakukan upaya pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Program-program pembangunan perlu mempertimbangkan aspek kebencanaan agar hasil-hasil pembangunan yang sudah susah payah diwujudkan selama bertahun-tahun tidak hancur oleh bencana alam selama satu-dua menit. RPJMN 2010-2014 yang sedang dirumuskan saat ini diharapkan sudah mengakomodasi kebutuhan untuk mengantisipasi bencana di negara yang rawan bahaya alam ini. Selamat membaca.
Edisi 02/Tahun XV/2009
MULTILATERALIZING THE CURRENT SPAGHETTI BOWL OF PTAs WIDYANA PERDHANI
Introduction
proponent of the GATT/WTO and multilateral trade regime. Some basic arguments why PTAs hold back multilateralism are presented here. First, PTAs have violated most-favoured nation (MFN) principle by discriminating countries, and thus, this is inconsistent with the WTO rules. Bhagwati emphasizes that non-discriminatory was at the heart of the GATT that merged into the WTO in 1995 and the MFN clause guarantees ‘every GATT member faced the lowest tariffs that any other member enjoyed’ (2005). Secondly, PTAs have, nevertheless, created a systemic problem for the WTO by creating ‘spaghetti bowl’, a term phrased by Bhagwati in explaining the complexity of PTAs. He asserts PTAs as fool’s ways of doing trade since they damage
This article tries to explain the principal difficulties in multilateralizing the current spaghetti bowl of PTAs (Preferential Trade Agreements). There are debates evolving around this issue, advocating that PTAs can hamper or support trade liberalization at the global level (Ravenhill 2008, p. 206). On one side, it is argued that PTAs are stumbling blocs and they are discriminating and undermining the efforts done by the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) and the World Trading System (WTO) in reaching multilateralism. This side of the argument is supported by Jagdish Bhagwati, a strong
2
Perencanaan Pembangunan
Justification for PTAs
efficient resources allocation (2006).
Bhagwati’s argument is challenged by a question posed by Gary Hufbauer (2007), ‘what’s wrong with PTAs?’. PTAs are actually seen as building blocs in paving the way towards multilateralism. They could help lower trade barriers – even as low as zero, doing it faster and even further into areas such as investment and services that the GATT and the WTO have not been able to do. PTAs could negotiate issues that are not possible to be discussed in multilateral level, such as investment, government procurement, and competition policy. By initiating it within PTAs level, chances are bigger that it would also be included in the WTO negotiations. Hufbauer also argues that the case for flourishing PTAs is related to the stalemate in the WTO negotiations, such as the Doha Round. PTAs may not be the best option, but they are the fastest ways if countries want to liberalize their trade and it is better than to wait for years for the multilateral negotiation rounds to be solved (2007).
According to liberal economists multilateralism provided by the GATT and WTO is the best way to achieve trade liberalization since it serves important political purposes in reducing barriers to trade, both national and regional. However, having to negotiate difficult issues in multilateral levels is proven to be easier said than done, and thus, liberalists then resort to the ‘second-best’ option: PTAs (Cohn 2000, pp. 238-240; Gilpin 2001, p. 219). Therefore, if some countries are unwilling to open themselves for liberalization while others wish to do so, then trade liberalization through regional arrangements could be more beneficial to the world rather than the status quo (WTO 2003).
Contrary to the abovementioned arguments, Richard Baldwin argues that it is time to move on. Despite the merits of regionalism versus multilateralism are useful and will continue, PTAs (and regionalism) are here to stay; and that the tangle of regionalism, multilateralism, and unilateralism is the poor way of organizing world trade. Drawing from the domino effect of PTAs and the juggernaut effect of multilateralism, Baldwin (2004) argues that the interaction between the two suggests how eventually world trade would multilateralize. The domino effect is political and it starts with the non-member countries requesting to be member of a PTA because other countries start it. The excluded parties become included, for example, the repeated domino effects in Europe (the European Union/ EU) and East Asia. With juggernaut effect, it is argued that ‘liberalization begets liberalization’ (Baldwin 2004, p. 7).
neweurasia.net
Another economic consideration for governments to seek discriminatory liberalization as shown by the WTO report is that they may be able to reap gains from trade in product areas where they cannot compete internationally (2003). In other words, PTAs could serve the purpose of shutting out third-party competition from more efficient suppliers. This is exemplified by PTAs between the EU with African, Caribbean, and Pacific (ACP) countries in sugar market where EU prefers sugar coming from ACP countries over other sugar producers, albeit they are more productive (Levantis, Jotzo & Tulpulé 2005). Other reasons for countries to enter PTAs are (but not limited to): the lack of interests in some countries to pursue multilateral liberalization in some areas that are better negotiated at regional level such as investment, competition policy, environment and labour standards; and governments may regard multilateral option as too time-consuming, whilst transaction costs will be lower with fewer participants in negotiations (WTO 2003).
In contrast, the juggernaut effect starts with the opening of a reciprocal trade talk, here prompted by GATT, realigning the political economy forces of participating nations and making their exporters into anti-protectionism and eventually, reciprocal trade talks change things until trade barriers, especially tariffs, vanish (Baldwin 2004). Moreover, aside from the abovementioned phenomena, Baldwin also draws attention to the fact that the WTO has weaknesses in dealing with PTAs and it needs to do something about it, or risks a serious erosion of its significance in world trade (2006). This article attempts to answer the main question and argues that PTAs as the second-best option has undermined the WTO’s efforts in achieving multilateralism in trade agreements. Yet, considering the current situation of the world trade system, there are also difficulties in the efforts to multilateralize them.
3
Nevertheless, political reasons such as regional confidence building, security agenda, and satisfying domestic political constituencies, are often stronger than economic reasons for countries to enter PTAs as argued and showed by Edisi 02/Tahun XV/2009
Ravenhill (2008). For example, the formation of EU was first intended to reduce tension between France and Germany in coal and steel resources; Association of South East Asian Nations (ASEAN) was to promote economic integration as well as avoid conflict in the region; and the expanding of North American Free Trade Areas (NAFTA) to other western hemisphere nations was based on the US security agenda (Ravenhill 2008, pp. 178-180). As a result, countries are entering preferential agreements, and they lead to what is called the ‘spaghetti bowl’, a term phrased by Jagdish Bhagwati in explaining the messy maze of PTAs. In using the term ‘PTAs’ Bhagwati (2004) argues that this term is more accurate than ‘regionalism’ or ‘bilateral agreements’ because by definition, PTAs include all types of trade agreements that exclude other countries.
granting the same treatment to all others WTO Members; and Article V of General Agreement on Trade in Services (GATS) that permits trade liberalization in services among regional partners, serve as foundations for the establishment of PTAs (Irish 2008, p. 96; Ravenhill 2008, p. 173). Unfortunately, the restrictive qualifications built into them – transparency, commitment to deep intra-region trade liberalization, and neutrality vis-à-vis non-parties’ trade – are often ignored (Bhagwati 2008, p. 20; Fiorentino et al. 207, p. 27). Not only that, Fiorentino et al. show that the PTAs have their own level of complexity with many countries have extended their preferential agreements into areas which have not been negotiated multilaterally, and that they have become innovative and not geographically confined in choosing their trading partners, exemplified by ASEAN which is now negotiating with India and considering an FTA with the EU (2007). Thus, this condition could further dampen the multilateralizing process simply because the WTO has not delved into the not-yet-negotiated areas.
However, PTAs are already proliferated at the speed of light and there are difficulties to undo them. Historically PTAs have been expanding rapidly. Between 1950s and 1960s the number of PTAs notified to the GATT was very small, resulting in total less than ten agreements at the end of the 1960s (Dieter 2008, p. 4). Nowadays, until December 2008, there are 421 PTAs which have been notified to the WTO. Of these, 324 were notified under Article XXIV of the GATT 1947 or GATT 1994; 29 under the Enabling Cause; and 68 under Article V GATS. At the same time, 230 agreements were in force. In the end, we could arrive to a number more than 400 PTAs that would be implemented by 2010, if all PTAs are taken into account: those are in force, but have not been notified; those signed but not yet in force; those currently being negotiated; and those in the proposal stage (WTO 2009).
Another argument related to the unproductive role of the WTO in surveillance area of PTAs as examined by Fiorentino et al. (2007). This role is given to the Committee on Regional Trade Agreements (CRTA). CRTA was established in 1996 to ‘verify the compliance of notified PTAs with the relevant WTO provisions and, among others, to consider the systemic implications of such agreements and regional initiatives for the multilateral trading system (MTS) and the relationship between them’ (Dieter 2008, p. 10; Fiorentino et al. 2007, p. 27). Yet, up until the beginning of the Doha Round in 2001, CRTA had not delivered further progress in its task.
The main issue now discussed is that PTAs have become too large and difficult to manage, and thus, this condition poses a threat to multilateralism. As a consequence, it is resolved that PTAs should be multilateralized so as to return to the GATT/WTO’s main intention: global trade liberalization. Yet, the process of multilateralizing PTAs could be hampered by several difficulties presented below.
The second main argument why it is difficult to multilateralize PTAs is the various levels of safeguarding used as protection in PTAs against external third parties and the implementation of numerous rules of origins (ROOs) will certainly cause a degree of trade diversion. These differing standards will increase the cost as well as the intricacy of international trade. Safeguard principle is an essential part of most trade liberalization agreements; and although they are temporary, safeguard actions may be used by governments as permanent trade barriers under certain circumstances (Cohn 2000, p. 212).
Principal difficulties in multilateralizing PTAs The first principal difficulty stems from inside the WTO. It is argued that the growing number of overlapping PTAs, both bilateral and regional, risks undermining the transparency of trading rules and thus, poses a threat to one of the fundamental principles of the WTO: the gradual erosion of MFN principle (Lewis 2008, p. 24). However, there is paradox here, as shown by Fiorentino et al., that the MFN principle of trade relations itself has supported the overlapping PTAs to flourish (2007, p. 13). Within the WTO rules, Article XXIV of GATT that provides legal basis for the formation of free trade agreements (FTAs) and customs unions (CUs) in trading goods; the Enabling Cause which allows members to grant differential and more favourable treatment to developing countries without
4
At the beginning, the provision of safeguards as one of the GATT’s basic norms was based on the operational plan framed by the GATT that ‘restrictive measures on trade would be converted to tariff protection, and then tariffs would be reduced through multilateral negotiations’ (Winham 2008, p. 146). These measurements are exemplified by antidumping, countervailing duties, balance of payments, infant industries, emergency protection, special safeguards and general waivers (Hoekman & Kostecki 2001, pp. 303-304). Winham points out such ‘safeguard actions are taken for development purposes, trade measures taken to correct payments deficits, Perencanaan Pembangunan
export controls, and deviations from MFN procedures for developing countries’ (2008, p. 151). Thus, according to empirical data provided by Hoekman and Kostecki the use of safeguards has expanded substantially on both developed and developing countries, and as a result, has seriously undermined the liberalizing dynamic of the WTO and limit the usefulness of the WTO to governments that seek protection form protectionist lobbies (2001, pp. 306 & 314).
affect the internal dynamics of trade liberalization in political economy sense, especially where PTAs exclude ‘difficult sectors’ from coverage. This is probably due to lack of specific relevant WTO rules on what are the dos and don’ts, giving PTAs member momentous freedom in designing their own agreements. For example, agriculture has always been one of sensitive sectors excluded by PTAs because of two reasons: ‘in the first place because certain issues such as domestic support in agriculture cannot be dealt vis-à-vis a selective number of preferential partners and, second, because domestic lobbies resistant to the multilateral liberalization of such sectors will do so at the bilateral level’ (Fiorentino et al. 2007, p. 26).
Another related problem that could hinder multilateralism efforts is the application of numerous rules of origin (ROOs) and differing standards which will make international trade more complex and costly. Bhagwati (2008, p. 66) questions, ‘who is whose?’ and in the globalizing chain of production this question portrays the complexity of goods production. A Sony notebook in general may have its software designed in the US, keyboard made in India, and the whole notebook is assembled in China. Not to mention, hundreds of its smaller parts could be produced in 15 or more countries around the world. This is where ROOs come into significance. ‘PTAs cut tariffs on goods originating in those nations that have signed the agreement, and therefore, they need ROOs to determine which goods benefit from the tariffs cut’ (Augier et al. 2005, p. 568).
The abovementioned arguments are contrasting to Hufbauer’s perspective mentioned at the beginning of this article, that PTAs could address difficult issues by negotiating it at regional level and eventually bring them to multilateral table. What actually happens is multilateral negotiations cannot resolve agriculture issues and PTAs choose to ignore these sensitive issues. As a result, developed countries (or ‘the quad’, referring to the US, EU, Canada, and Japan) keep their levels of protection on agriculture products high, leaving developing countries to pay the price. This example shows that ‘the dynamo of liberalization did not work in agriculture’ (Baldwin 2004) and questions the WTO’s ability in managing the increasingly multifaceted system of trade governance.
Previously, due to their complexity, uninteresting appearance, and the assertion that they do not matter much, ROOs have long been ignored. However, these are proven to be wrong since the empirical work by Augier et al. demonstrates that ROOs are important barriers to both trade and multilateralism efforts, stating that ‘the greater the incompatibilities and rigidities built into the rules of origin, the more those criss-crossing noodles serve to fragment and distort world trade, and the more likely it is that preferential trading arrangements may make multilateral liberalization more difficult to achieve’ (2005, p. 570). Examples of the sophistication of ROOs are the agreement between the EU and Barcelona that covers ROOs for thousands of products and NAFTA’s ROOs annex which has almost 200 pages (Augier et al. 2005, p. 571). Another point is provided by Ravenhill, arguing that ROOs are tools for protectionists and their application leads to trade diversion instead of trade creation (2008, p. 194). The third principal argument is that PTAs may negatively
5
Another issue within this argument is the lack of support from business community for the WTO’s multilateralism efforts. Regarding this point Bhagwati (1999) asserts that there are two reasons why the support from business community – represented by, among others, exporters and importers – could affect multilateralism. First, from economic point of view, if they can have a ’great deal of trade’ from PTAs, why go to multilateral arena and spend more costs? For example, if Canada could make a deal with the US on a fairer operation of the unfair trade mechanisms, why trouble to negotiate at the multilateral level where the powerful American manufacturing lobbies seek instead to weaken the WTO rules? The second reason is one may get better protectionist, trade-diversionary deals for oneself in a PTA than in the non-discriminatory world of the WTO, e.g. the Mexico’s textile interests should benefit in the Edisi 02/Tahun XV/2009
This is particularly worrying at this point in time, given the need to push the current WTO negotiations to a successful outcome. Not only that, in pursuing trade liberalization, developing countries, despite their number is over developed countries, often become takers and not shapers, of regulatory frameworks and institutions despite the recent emerging strong developing countries as players represented by India and Brazil (Draper 2007, p. 3). Top this with the lack of willingness of member countries to commit to multilateralism due to the deadlock in the multilateral negotiations (Dieter 2008, p. 9), and as a result, the difficulties of multilateralizing PTAs are apparent. Conclusion The issues of PTAs versus multilateralism are difficult because it is a tricky area. Krugman (1999) points out that within the context of PTAs that the complexities of the second best were first discovered and the real issue cannot be viewed as narrowly economic. Yet, departing from the three key debates on PTAs as stumbling blocs or building blocs and the argument that PTAs are here to stay, whether we like it or not, this article tries to address the principal difficulties in multilateralizing them.
sinomania.blogspot.com
NAFTA relative to ACP countries or other external possible competitors in the US market, weakening the incentive to push for reform at multilateral level (Bhagwati 1999, p. 23). Moreover, the US as one of the avid regionalists now has had many PTAs delving into trade-unrelated issues such as environmental and labour, and even go well beyond Trade in Intellectual Property Rights (TRIPSs) protection required in the WTO (Bhagwati 2008, p. 95; Lewis 208, p. 24-25), making it even more difficult for the WTO to achieve consensus on these issues. With PTAs negotiated with different requirements by the US over the past 20 years, there is a lot of diversity, making the collapsing the PTAs into one unified format difficult.
The debates over stumbling blocs versus building blocs are useful, but a bigger problem that needs to be answered is how to multilateralize this spaghetti bowl. On one hand, the world needs a strong MTS since it is seen as the most effective means of expanding trade for the benefit of all, but on the other hand, the proliferation of PTAs have also become such a powerful force due to the fact it is driven by many political factors that outweigh economic arguments.
The final principal reason why PTAs are difficult to multilateralize lies in the fact that PTAs have diverted attention and resources away from multilateral negotiations. The WTO consists of negotiations and there is a high demand to its member countries to bring together like-minded members to discuss common-concerned issues. The frequency of meetings is large and growing, and countries with small delegations are forced to monitor, let alone direct, the activities of organization. Indeed, as Winham argues, many of the less developed countries (LDCs) not only do not have representations in Geneva, but also are not equipped with adequate capacity to pursue their own interests (2008, p. 162). Not only that, since almost all the WTO members are also members of several PTAs, it becomes difficult to pursue both the WTO and their own PTAs’ goals, especially if resources are scarce. If countries are negotiating PTAs, they are not going to be able to devote sufficient capacity to WTO negotiations. This argument also supported by Fiorentino et al. (2007, p. 2) pointing out that PTAs have become the centrepiece of their commercial policy, shifting of resources from objectives of multilateral trade to the pursuit of PTAs’ goals.
Thus, regarding the abovementioned reality, we need to look further, not just asking how PTAs may evolve into something different, in this context, into multilateralism, but also what can the WTO do to promote a more inclusive and coherent trading system free from economic distortions rather than just being a passive observer over these six decades (Baldwin & Low 2009). From the arguments presented above, the WTO, despite its achievements has also played roles in the proliferation of PTAs. PTAs are not going anywhere and they are not likely to diminish. Therefore, it becomes the task of the WTO to be able to accommodate not only the strong desires of its powerful members, but also be able to address different economic levels of its large members since it could lead to conflict among members, making it difficult to generate effective bargain.
6
If we ask a question: is it necessary to multilateralize PTAs? Provided with difficulties mentioned above, perhaps not, based on two reasons: first, in overall, the costs of implementation, and not the potential benefits, are usually the drivers of reversing the second-best policy; and second, a loosening-up of ROOs through harmonizing Perencanaan Pembangunan
and expanding rules of cumulation exemplified by the EU’s Pan-European Cumulation System (PECS) could be a good alternative way in reducing the negative welfare effect as the impact of overlapping ROOs (Menon 2007, pp. 40-42; Augier et al. 2005, p. 568; Baldwin 2006). More importantly, these roles should be taken up by the WTO, starting by addressing its institutional weaknesses, for example by strengthening its rules and regulations; reinforcing the roles of CRTA; and above all, finishing its multilateral trade negotiations and making it work for all of its member, especially the LDCs. •
Widyana Perdhani is a Staff of Bureau of Public Relations and Administration of the Chief Executive, Bappenas
References Augier, P, Gasiorek, M & Lai Tong C 2005, ‘The impact of rules of origin on trade flows’, Economic Policy, vol. 43, pp. 568-624. Baldwin, RE 1995, ‘A domino theory of regionalism’ in RE Baldwin, P Haaparanta & J Kiander (eds.), Expanding membership of the European Union, Centre for Economic Policy, Cambridge University Press, pp. 2548. __________ 2004, Stepping stones or building blocs? Regional and multilateral integration, Graduate Institute of International Studies, Geneva. __________ 2006, ‘Multilateralising regionalism: spaghetti bowl as building blocs on the path to the global free trade’, The World Economy, pp. 1451-1518. __________ & Low, P (eds.) 2009, Multilateralising regionalism, Cambridge University Press, excerpt from Introduction, pp. 1-10. Bhagwati, J 2008, Termites in the trading system: how preferential agreements undermine free trade, Oxford University Press, New York. _________ 1999, ‘Regionalism and multilateralism: an overview’, in J Bhagwati, P Krishna & A Panagariya 1999, Trading blocs: alternative approaches to analyzing preferential trade agreements, pp. 3-32, The MIT Press, Cambridge. Cohn, TH 2000, Global political economy: theory and practice, Addison Wesley Longman, Inc., New York. Dieter, H 2008, ‘The multilateral trading system and preferential trade agreements: can their negative effects be minimised?, GARNET Working Paper no. 54, German 7
Institute for International and Security Affairs, Berlin Draper, P 2007, ‘Multilateralizing regionalism: implications for Africa’, in Business in Africa, 15 November 2007. Fiorentino, RV, Verdeja, L & Toqueboeuf, C 2007, ‘The changing landscape of regional trade agreements: 2006 update’, Discussion Paper no. 12, Regional Trade Agreements Section, Trade Policies Review Division, World Trade Organization. Gilpin, R 2001, Global political economy, Princeton University Press, New Jersey. Hoekman, BM & Kostecki, MM 2001, The political economy of the world trading system: the WTO and beyond, 2nd ed, Oxford University Press, 2001. Hufbauer, GC 2007, 'Are RTAs stepping stones or obstacles to the trading system?' the WTO Forum, 13 September 2007. Irish, M 2008, ‘Regional trade, the WTO and the NAFTA model’, in R Buckley, V Io Lo & L Boulle (eds) 2008, Challenges to multilateral trade: the impact of bilateral, preferential and regional agreements, Wolters Kluwer, Austin, Texas, pp. 87-114. Krugman, P 1999, ‘Regionalism versus multilateralism: analytical notes’, in J Bhagwati, P Krishna & A Panagariya (eds.) 1999, Trading blocs: alternative approaches to analyzing preferential trade agreements, MIT Press, Cambridge, pp. 381-403. Levantis, T, Jotzo, F & Tulpulé, V 2005, ’Sweetening the transition in EU sugar preferences: the case of Fiji, The World Economy, vol. 28, no. 6, pp. 893-915. Lewis, MK 2008, ‘The prisoners’ dilemma and FTAs: Applying game theory to trade liberalization and strategy’, in R Buckley, V Io Lo & L Boulle (eds) 2008, Challenges to multilateral trade: the impact of bilateral, preferential and regional agreements, Wolters Kluwer, Austin, Texas, pp. 21-39. Menon, J 2007, ‘Bilateral agreement’, Journal Compilation of Asian-Pacific Economic Literature, Crawford School of Economic and Government, Blackwell Publishing, pp. 29-47. Ravenhill, J 2008, ‘Regionalism’, in in J Ravenhill (ed), Global political economy, 2nd edn, Oxford University Press, pp. 172-207. Winham, G 2008, ‘The evolution of the global trade regime‘, in J Ravenhill (ed), Global political economy, 2nd edn, Oxford University Press, pp. 137-171. World Trade Organization 2003, ‘Regional trade agreements’, World Trade Report 2003, pp. 46-66. WTO, see the World Trade Organization. World Trade Organization 2009, Regional trade agreements, viewed 27 April 2009,
Edisi 02/Tahun XV/2009
PEKERJAAN RAMAH LINGKUNGAN: LINGKUNGAN HIDUP, PERUBAHAN IKLIM DAN KESEMPATAN KERJA JOHNY JUANDA
I.
PENDAHULUAN
Pemanasan global merupakan isu global yang hangat dibicarakan beberapa tahun terakhir ini. Pemanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan jumlah emisi gas rumah kaca di atmosfer. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) - PBB menyimpulkan bahwa, “sebagian besar peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia (melalui efek rumah kaca)”. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun terakhir. Pemanasan global ini membawa dampak kerusakan lingkungan dan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sedangkan, di belahan bumi lain akan mengalami musim kering yang berkepanjangan. Banjir, erosi dan musim kering yang berkepanjangan membawa dampak terhadap kehidupan manusia, antara lain banyak penduduk kehilangan rumah karena banjir yang melanda permukimannya, banyak penduduk yang kelaparan karena musim kering yang berkepanjangan yang pada akhirnya meningkatnya jumlah kemiskinan.
Pemanasan global dan perubahan iklim terjadi akibat aktivitas manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta kegiatan yang menyebabkan peningkatan emisi dan konsentrasi gas ke dalam atmospir yang dilakukan rumah kaca.
arkun.devia
ntart.com
Efek rumah kaca menyebabkan terjadinya akumulasi panas (atau energi) di atmosfer bumi. Dengan adanya akumulasi yang berlebihan tersebut, iklim global melakukan penyesuaian. Penyesuaian yang dimaksud salah satunya peningkatan temperatur bumi, yang kemudian disebut pemanasan global dan berubahnya iklim regional—pola curah hujan, penguapan, pembentukan awam - atau perubahan iklim. 8
Perencanaan Pembangunan
Makalah ini difokuskan kepada pekerjaan yang dapat menjamin pekerja dan keluarganya hidup dengan layak dan mendapat jaminan sosial yang memadai, yang sekaligus merupakan upaya untuk memperbaiki lingkungan hidup dalam rangka mengahadapi perubahan iklim.
dunia kekurangan makanan pada tahun 2009, dan diperkirakan sekitar 660 juta orang pada tahun 2080. Selain itu, lingkungan hidup yang rusak menyebabkan penduduk akan mencari lingkungan hidup yang lebih baik. Sekitar 50 juta orang penduduk dunia mengungsi untuk mencari lingkungan yang lebih baik dan diperkirakan sekitar 2 juta orang per tahun mengalami kematian premature akibat pencemaran udara.
II. Perubahan Iklim
Bencana yang ditimbulkan oleh pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim ini juga membawa dampak yang sangat buruk terhadap kegiatan ekonomi dan sosial penduduk dunia. Kegiatan ekonomi memburuk yang pada akhirnya diikuti dengan banyaknya jumlah pengangguran. Jumlah pengangguran secara global diperkirakan sekitar 190 juta orang dan pencari kerja usia muda sekitar lebih 500 juta pada 10 tahun berikutnya. Selain itu, pemerintah di beberapa negara berkembang dan negara miskin tidak mampu untuk memberikan jaminan sosial bagi penduduknya dan unit ekonomi dalam melaksanakan kegiatan ekonominya tidak mampu membayar dengan layak para pekerjanya. Diperkirakan sekitar 5,3 miliar orang penduduk dunia tidak ada jaminan sosial, 1,6 miliar orang tanpa akses ke sumber energi dan 1 miliar menempati di daerah kumuh.
Pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim yang terjadi di dunia mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (Christensen, John – Director UNEP Risoe Centre). Temperatur global yang lebih panas telah menyebabkan perubahan besar pada sistem alami bumi. Temperatur yang lebih panas menyebabkan musim semi yang datang lebih awal, musim kemarau yang bertambah panjang, musim hujan bertambah pendek, pencairan salju dan es di berbagai tempat di dunia, naiknya permukaan laut global, dan peningkatan debit air sungai. Perubahan iklim ini akan membawa dampak yang sangat buruk bagi penduduk dunia. Penduduk yang kekurangan air yang disebabkan karena musim kemarau yang berkepanjangan diperkirakan 1,8 miliar orang tahun 2025. Musim kemarau yang berkepanjangan ini menyebabkan produksi lahan pangan turun drastis dan beberapa daerah mengalami gagal panen. Sekitar 180 juta orang penduduk
Perubahan iklim di bumi semakin kelihatan dampaknya se-
www.city.kawasaki.jp
9
Edisi 02/Tahun XV/2009
III. Upaya Menghadapi Perubahan iklim Salah satu akibat dari pemanasan bumi adalah iklim dunia menjadi tak beraturan. Musin hujan makin pendek dan kemudian membuat musim kemarau bertambah lama. Akibatnya pasokan air juga makin menipis. Tak cuma pasokan air di permukaan, bahkan pasokan air di bawah tanah pun menjadi berkurang. Upaya yang dilakukan menghadapi perubahan iklim adalah melalui mitigasi dan adaptasi.
www.kabarindonesia.com
perti yang terlihat dari suhu di bumi telah memanas dalam kurun 100 tahun terakhir ini (Christensen, John – Director UNEP Risoe Centre). Tingkat pemanasan rata-rata global naik sekitar 0.70oC selama abad ke-20, di mana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan. Selama abad ke-21, emisi gas rumah kaca yang kontinu di atas tingkat kecepatannya saat ini akan menyebabkan pemanasan berlanjut dan memicu perubahan-perubahan lain pada sistem iklim global yang dampaknya lebih besar daripada yang diamati pada abad ke-20. Temperatur global yang lebih panas telah menyebabkan perubahan besar pada sistem alami bumi. Untuk dua dekade ke depan diperkirakan tingkat pemanasan sebesar 0.2oC per dekade dengan skenario tidak ada pengurangan emisi gas rumah kaca. Apabila selama satu abad ke depan tingkat pemanasan 0,2oC per dekade adalah tetap, maka dalam satu abad ke depan tingkat pemanasan adalah sekitar 2oC. (perubahan ilklim bertahap dalam jangka panjang). Pemanasan global ini menyebabkan es di kutub utara mencair dan akhirnya permukaan es di kutub utara makin tipis dan permukaan laut naik. Kenaikan permukaan laut akan membawa dampak luas bagi manusia, terutama bagi penduduk yang tinggal di dataran rendah, di daerah pantai yang padat penduduk di banyak Negara. Negara-negara miskin akan dilanda kekeringan dan banjir. Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penebangan liar. Hasil penelitian Departemen Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa kenaikan permukaan air laut di Pulau Seribu adalah sekitar 17 mm pertahun. Apabila kenaikan tersebut adalah tetap setiap tahunnya, maka dalam jangka waktu 50 tahun maka Pulau Seribu akan tenggelam (Alex Retraubun).
Mitigasi merupakan usaha mengurangi sebab pemanasan global dari sumbernya agar laju pemanasan itu melambat. Mitigasi bisa berupa kegiatan memelihara lingkungan seperti pengelolaan sampah, mengendarai kendaran yang tidak memakai bahan bakar seperti naik sepeda, mengurangi penggunaan plastik atau bahan yang tidak bia didaur ulang, menggunakan AC yang non CFC, hemat energi dan lain sebagainya. Selanjutnya, pada saat bersamaan menyiapkan diri untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada. Sehingga akan dapat ditemukan suatu titik temu yang dapat menjamin kelangsungan hidup manusia. Adaptasi merupakan usaha untuk menyesuaikan diri dan hidup dengan berbagai perubahan akibat perubahan iklim, baik yang telah terjadi maupun mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi. Adaptasi adalah upaya yang sangat penting, sama pentingnya dengan usaha mitigasi. Kegiatan adaptasi antara lain, seperti penataan lansekap lingkungan, reboisasi, menjaga daerah resapan, daur ulang, rehabilitasi terumbu karang yang rusak, penanaman kembali mangrove untuk mengurangi dampak dari naiknya air laut dan mengurangi kemiskinan. Dari segi kebijakan dalam rangka kegiatan mitigasi dan adaptasi sebaiknya diarahkan kepada pencarian sumber energi alternatif, seperti solar energi, desain rumah hemat energi, kendaraan listrik dan hemat energi, teknologi bendungan untuk daerah yang berpesisir. IV. Pembangunan Berkelanjutan Dampak yang sangat besar akibat pemanasan global yang diikuti dengan perubahan iklim adalah banyak penduduk yang menjadi korban akibat timbulnya bencana, antara lain banyak penduduk yang kekurangan pangan, jumlah pengangguran dan kemiskinan makin meningkat. Oleh karena itu, untuk menolonga penduduk yang kekuarangan pangan, dan untuk memperkecil jumlah pengangguran dan kemiskinan perlu dicari pola pembangunan yang sekaligus dapat memperbaiki lingkungan hidup.
Selanjutnya, meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (peristiwa ekstrim). Bencana-bencana alam yang lebih sering dan dahsyat seperti gempa bumi, banjir, angin topan, badai dan kekeringan akan terus terjadi..
10
Salah satu pola pembangunan yang memperhatikan lingkungan hidup, antara lain adalah pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang berprinsip ”memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Usaha perbaikan lingkungan dan sekaligus menangani pengangguran dan kemiskinan adalah Perencanaan Pembangunan
melalui Pembangunan Berkelanjutan, antara lain didalamnya termasuk “Green Jobs”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial (ITC-ILO).
gurangi dampak lingkungan dari perusahaan dan sektor ekonomi, sampai pada tingkat yang berkelanjutan, melalui pengurangan konsumsi energi, bahan mentah dan air melalui strategi efisiensi tinggi, menurunkan emisi gas rumah kaca, memperkecil atau menghindari semua bentuk limbah dan pencemaran alam. Dengan demikian, penciptaan pekerjaan layak sebagai akibat dari kebijakan lingkungan hidup dan perlu ditekankan bahwa pekerjaan yang ramah lingkungan juga harus merupakan pekerjaan yang layak.
Social Bearable
Environment
Pekerjaan ramah lingkungan merupakan jenis pekerjaan baru yang dapat mempengaruhi pasar kerja. Pekerjaan ramah lingkungan tentunya merupakan tambahan lapangan pekerjaan. Selain itu, pembangunan yang tidak ramah lingkungan, terutama pembangunan yang menggunakan bahan bakar yang akan mencemari lingkungan dengan sendirinya akan dihentikan dan sebagai gantinya dilaksanakan pembangnuan yang ramah lingkungan. Dengan demikian terjadi penggantian pekerjaan secara tidak langsung, yaitu pekerjaan yang ada pada pembangunan tidak ramah lingkungan, tergantikan ke pekerjaan yang ada pada pembangunan yang ramah lingkungan. Selanjutnya, pekerjaan ramah lingkungan mampu menawarkan gaji dan pendapatan yang cukup, kondisi kerja yang aman, dan perlindungan sosial yang layak, sehingga bisa menjadi subtitusi beberapa pekerjaan yang belum dapat memberikan gaji dan pendapatan yang cukup. Dengan melakukan reposisi produknya menjadi produk yang ramah lingkungan, maka beberapa pekerjaan dapat ditransformasikan menjadi pekerjaan yang ramah lingkungan.
Equitable
Sustainable Viable
Economic
Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Ketiga hal tersebut saling terkait dan merupakan pilar pendorong bagi pembangunan berkelanjutan. (ITC ILO)
Deklarasi Universal Keberagaman Budaya (UNESCO, 2001) lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa ”...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam”. Dengan demikian ”pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual”. dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan.
Beberapa pekerjaan yang ramah lingkungan dan juga merupakan pekerjaan yang layak yang sedang dilaksanakan di beberapa negara, antara lain pekerjaan yang menggunakan energi yang dapat diperbaharui dapat menyerap tenaga kerja 2,3 juta orang pekerja; di negara China terdapat 1.000 unit pabrik menggunakan energi matahari dapat menyerap 600 ribu orang pekerja; di Amerika Serikat kegiatan ekonomi yang bergerak dalam indusrti lingkungan telah menyerap 5,3 juta orang pekerja; di Brazil telah dikembangan industri daur ulang terhadap produk yang ramah lingkungan dan telah menyerap 500 ribu orang pekerja.
Pembangunan sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual para pelaku pembangunan tercerminkan antara lain dari perolehan pendapatan yang layak dari hasil pembangunan tersebut, terutama pendapatan yang layak bagi para pekerjanya dengan lingkungan hidupnya yang sehat. Dengan demikian, pembangunan tersebut akan dapat menciptakan kesempatan kerja baru yang berupa pekerjaan yang ramah lingkungan. Pekerjaan yang ramah lingkungan tidak hanya memperbaiki lingkungan tetapi juga memperbaiki kesejahteraan para pelaku pembangunan, terutama para pekerjanya.
Pengertian pekerjaan ramah lingkungan menurut ILO adalah pekerjaan yang didasarkan pada keberlanjutan lingkungan yang dapat menawarkan gaji dan pendapatan yang cukup, kondisi kerja yang aman, perlindungan sosial yang layak, dan menghormati hak-hak pekerja dan keluarganya (pekerjaan yang layak). Pekerjaan ramah lingkungan men-
11
Di Indonesia jenis pekerjaan yang memperdulikan lingkungan cukup banyak, seperti reboisasi, rehabilitasi terumbu karang, penanaman kembali mangrove. Selain itu, beberapa kegiatan yang memperdulikan lingkungan yang dilaksanakan sejak awal dan secara tradisionil juga cukup banyak, seperti perkebunan kopi Gayo di Nangro Aceh Darussalam. Tetapi jenis pekerjaan yang memperdulikan lingkungan dan sekaligus memberi gaji dan pendapatan yang cukup, kondisi kerja yang aman, perlindungan sosial yang layak, dan menghormati hak-hak para pekerjanya masih sangat sedikit. Sebagian besar pembayaran gaji/upah para pekerja di Indonesia masih didasarkan kepada upah mininum propinsi/kabupaten/kota. Walaupun menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 88 menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan Edisi 02/Tahun XV/2009
produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pada kenyataannya upah minimum yang diterima oleh pekerja hanya cukup untuk dapat hidup sekedarnya, dan banyak pekerja yang masih mendapat gaji/upah di bawah upah minimum yang ditetapkan. Bahkan menurut hasil penelitian Dwi Putro Widodo dari Universitas Al-Azhar Jakarta menyebutkan bahwa sebagian besar pekerja/buruh di perusahaan perkebunan, baik swasta maupun milik pemerintah yang dikenal sebagai pekerja/buruh harian lepas memperoleh upah di bawah Upah Minimum Kabupaten, tidak mendapat biaya perawatan apabila mengalami kecelakaan kerja, tidak mendapat pesangon, tidak diikutkan Jamsostek, bahkan hak-hak buruh perempuan seperti cuti haid dan hamil pun ditiadakan tanpa ada pertanyaan. Buruh lepas dilihat hanya sebagai salah satu faktor produksi\ seperti tanah, mesin, dan modal.
ganiknya telah bebas dari pestisida dan residu zat kimia lainnya (Uji lab sucofindo). Total luas lahan pertanian padi organic di kab Sragen adalah 3.256,77 HA dengan total kapasitas produksi 19.439,78 ton (data tahun 2006). Sistem pertanian organik tidak lepas dari penggunaan pupuk organik dan pestisida organik. Untuk mendukung sistem pertanian organik, Kabupaten Sragen turut memacu produktifitas pupuk dan pestisida organik. Saat ini di Sragen terdapat 194 produsen pupuk organik dengan total kapasitas produksi 2.226,7 ton serta 20 produsen pestisida organik. PT. Perkebunan Nusantara IV Pabatu – Sumatera Utara telah membangun Pembangkit Listrik yang bahan bakarnya dari Tandan Buah Kosong Kelapa Sawit (ampas kelapa sawit) dengan kapasitas 4 MW. Walaupun belum ada penelitian mengenai gas buang yang dihasilkan dari pembakaran tandan buah kosong kelapa sawit, tetapi dapat dipastikan gas buangnya akan lebih aman bila dibandingkan dengan memakai bahan bakar batu bara.
Dalam tulisan ini yang akan dibahas adalah pekerjaan yang ramah lingkungan yang ada di sektor pertanian. Sebagai contoh kegiatan usaha yang ramah lingkungan di Sektor Pertanian adalah pertanian organik. Laporan United Nations Food and Agriculture Organisation (FAO) 2002 menyebutkan bahwa pertanian organik menyebabkan ekosistem mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim dan berpotensi mengurangi gas rumah kaca pertanian. Pertanian organik juga lebih efisien dari pada pertanian konvensional per skala hektar berkaitan dengan konsumsi energi fosil ataupun pupuk buatan dan pestisida. Tujuan pertanian organik adalah untuk mengoptimalkan kesehatan dan prodiktivitas komunitas interdependen dari kehidupan di tanah, tumbuhan, hewan dan manusia. Keunggulan teknologi pertanian organik adalah meminimalkan atau bahkan menghilangkan sama sekali residu-residu pestisida dan zat kimia berbahaya lainnya.
Produk-produk yang dihasilkan oleh teknologi pertanian organik dijual kemasyarakat konsumen dengan harga yang lebih tinggi dari produk pertanian konvensional, tetapi biaya produksinya lebih rendah karena tidak perlu membeli pupuk dan pestisida kimia yang mahal. Pada dasarnya metode penanaman pertanian organik dengan pertanian konvensional adalah sama. Yang membedakannya adalah pemberian input pertanian yang tidak memakai pupuk dan obat-obatan kimia pada pertanian organik. Oleh karena itu, para pengusaha pertanian organik tidak mempunyai alasan bisnis yang jelas untuk memberikan gaji/upah kepada pekerja/buruh dengan gaji/upah yang lebih tinggi dari pekerja/buruh pertanian konvensional lainnya.
Beberapa Pertanian Organik yang sedang berkembang di Indonesia Perkebunan Kopi Organik Gayo di Aceh Tengah – NAD. Menurut data tahun 2000, luas areal tanaman kopi di Kabupaten Aceh Tengah adalah 73.781 hektar dengan produksi 28.357 ton tiap tahun. Kopi yang sering disebut Gayo mountain organic coffee ini tak sengaja dibudidayakan secara organik. Ternyata warga sejak dahulu tak biasa memberi pupuk kimia pada tanaman kopi, dengan alasan bahwa ongkos produksi yang dikeluarkan lebih mahal bila menggunakan pupuk kimia. Kopi unggulan Gayo ini umumnya dikumpulkan oleh para eksportir kopi kemudian dijual ke luar negeri, antara lain Amerika, Belanda, dan Jepang, termasuk ke gerai kopi kenamaan ”Starbuck”. Di propinsi Sumatera Barat telah ditetapkan beberapa daerah untuk pengembangan pertanian organik untuk tanaman sayuran dan hortikultura, antara lain Kabupaten Agam, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah datar, Kabupaten 50 Koto, Kabupaten Pasaman, Kota Padang Panjang, Kota Payakumbuh, dan Kota Padang. Keadaan tahun 2007 luas pangan organik di Sumaetra Barat adalah seluas 77,81 hektar (Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumatera Barat). Pertanian organik dengan komoditi beras organik telah dikembangkan di Kabupaten Sragen. Produksi beras or-
Dengan demikian usaha pertanian organik tersebut belum
tokorganik.wordpress.com
12
Perencanaan Pembangunan
dapat memberikan gaji yang layak, jaminan sosial dan kesehatan untuk pekerja dan keluarganya. Kenyataannya bahwa gaji yang dibayarkan kepada para pekerjanya masih didasarkan kepada Umah Minimum Regional. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pertanian organik yang sedang dikembangkan di Indonesia merupakan pekerjaan yang ramah lingkungan tetapi masih belum merupakan pekerjaan yang layak (Green Jobs, tapi belum Decent Work). Lain halnya dengan pertanian organik kopi gayo di Kabupaten Aceh Tengah, sebagian besar usaha pertanian kopi gayo dimiliki oleh petani sendiri, sehingga pertanian organik kopi kayo merupakan usaha yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan kopi konvensional lainnya. V.
ORGAN
Mengubah pertanian konvensional yang berjalan menjadi pertanian organik bisa saja dilakukan dengan teknologi yang sudah ada, tetapi memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya yang tidak sedikit. Menurut Peneliti dari Departemen Pertanian bahwa minimal 7 X musim tanam untuk merubah tanaman padi yang ada menjadi padi organik dan selama itu tidak boleh menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia. Tetapi bila tidak ada dilakukan perubahan, berapa lama misalnya lahan sawah dapat bertahan produktivitasnya bila terus menerus dalam waktu yang lama diberi pupuk kimia. Pada suatu waktu lahan sawah tersebut tidak dapat ditanami oleh tanaman pangan atau tanaman lainnya lagi.
IC
Alternatif ini sulit dilaksanakan, tetapi bukan tidak mungkin untuk dilaksanakan secara bertahap dengan komitmen yang tinggi dari pembuat kebijakan yang terkait. 5.2. Membangun Pertanian Organik di Areal Baru
Mengembangkan Pekerjaan Ramah Lingkungan
Dalam pengembangan pekerjaan ramah lingkungan di sektor pertanian terdapat dua alternatif:
Pertanian organik hanya dapat dilaksanakan pada kondisi sumberdaya lahan yang tingkat kesuburan tanahnya tinggi, lahan yang belum pernah atau sudah lama tidak dimasuki unsur kimia, curah hujannya cukup serta daya dukung lingkungannya tinggi (Deptan). Untuk mencari lahan yang belum tersentuh oleh input kimia di Indonesia adalah sangat mudah. Lahan tersebut bisa di dapat lahan bekas pembalakan liar terhadap hutan-hutan dan lahan terlantar. Lahan-lahan tersebut merupakan potensi yang luar biasa bila digunakan untuk mengembangkan pertanian organik. Menurut RPJMN 2004-2009, laju deforestasi periode 19851997 adalah 1,6 juta hektar per tahun, jadi selama periode tersebut terdapat sekitar 20,6 juta hektar. Periode 19972001 adalah 2,1 juta hektar per tahun, jadi selama periode tersebut terdapat sekitar 10,5 juta hektar. Jadi selama periode 1985 – 2001 terdapat sekitar 31,1 juta hektar lahan tidak produktif (gundul).
Pembangunan pertanian yang telah berjalan selama ini, baik tanaman pangan maupun tanaman tahunan dilakukan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Penggunakan pupuk dan pestisida kimia sudah merupakan kebiasaan petani di Indonesia yang sulit dihilangkan, seperti misalnya petani padi yang tidak percaya terhadap sawah yang dikelolanya bila belum menggunakan pupuk urea. Penggunaan input kimia dilakukan sejak awal penanaman, yaitu mulai dari pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Berdasarkan data BPS 2005/2006, luas lahan pertanian sekitar 59,7 juta ha yang terdiri lahan perkebunan seluas 19,6 juta ha, tegalan seluas 10,6 juta ha, lahan kayu-kayuan 9,4 juta ha, lahan sawah seluas 7,7 juta ha, dan lahan terlantar 12,4 juta ha.
Selain potensi lahan yang tersedia, terdapat potensi dari limbah perkebunan kelapa sawit yang berupa Tandan Buah
Salah satu sektor yang dipilih untuk mengembangkan pekerjaan ramah lingkungan adalah sektor pertanian yang langsung berhubungan dengan sumber daya alam. Pekerjaan ramah lingkungan di sektor pertanian adalah pertanian organik yang dapat memberikan gaji dan pendapatan yang cukup, kondisi kerja yang aman, perlindungan sosial yang layak, dan menghormati hak-hak pekerja dan keluarganya (pekerjaan yang layak). Beberapa komoditas prospektif yang dapat dikembangkan dengan sistem pertanian organik di Indonesia antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, tanaman rempah dan obat, serta peternakan. 5.1. Mengubah Pertanian Konvensional Menjadi Pertanian Organik
Selain itu, lahan pertanian terlantar adalah lahan pertanian yang tidak diusahakan disebabkan oleh faktor pembatas daya dukung lahan dan kelengkapan / kondisi insfrastruktur pertanian. Total luas lahan terlantar pada tahun 2005/2006 adalah sekitar 12.4 juta hektar Penanganan lahan terlantar dapat dilakukan melalui kegiatan pengembangan optimasi lahan. Optimasi Lahan Pertanian adalah usaha meningkatkan pemanfaatan sumber daya lahan menjadi lahan usahatani yang lebih produktif. melalui perbaikan aspek teknis bentang lahan, perbaikan fisik dan kimiawi tanah serta fasilitasi penanganan faktor pembatas lainnya dalam menunjang peningkatan areal tanam / intensitas pertanaman (Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian).
13
Edisi 02/Tahun XV/2009
Tabel 1. Luas Lahan Terlantar di Indonesia Tahun 2005/2006
Kosong Kelapa Sawit. Jumlah produksi nasional CPO pada tahun 2007 (Departemen Pertanian) : 17,66 juta ton. Dengan asumsi rendemen tandan buah sawit adalah 10 % maka tandan buah kosong Kelapa Sawit: 176,6 juta ton. Jumlah tandan buah kosong tersebut dapat dijadikan substitusi bahan bakar batubara untuk pembangkit listrik , seperti yang telah dikembangkan oleh PT. Perkebunan Nusantara IV Pabatu, Sumatera Utara.
No.
5.3. Peluang Pasar Pertanian Organik
Pulau
1
Sumatera
2
Jawa
3
Bali dan Nusa Tenggara
4
Kalimantan
5
Sulawesi
6
Maluku dan Papua
Total
Di dalam negeri, produk organik belum populer di kalangan masyarakat dan konsumen terdiri dari golongan ekonomi menengah ke atas. Harga produk organik lebih mahal daripada harga produk pertanian biasa, namun sebenarnya memiliki manfaat tinggi bagi kesehatan. Sebab, produk organik tidak menggunakan pestisida dan pupuk kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Walaupun produk organik hanya terbatas kepada masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas, tetapi jumlah produsen pertanian organik yang ada di Indonesia masih sangat sedikit dan baru bisa melayani sekitar 15 persen dari jumlah konsumen potensial, terutama konsumen beras organik (Suyatmo, direktur PB Padi Mulya). Dengan demikian peluang pasar di dalam negeri masih terbuka luas untuk pengembangan pertanian organik.
Luas Lahan Ha
%
3.039.390
24,5
53.330
0,4
913.785
7,4
7.424.375
59,8
987.176
7,9
td
12.418.056
100
Catatan: td = tidak ada data Sumber: Direktorat Pengelolaan Lahan, Departemen Pertanian, 2008
ningkat dengan amat pesatnya (Dinas Pertanian Pangan dan Hortikultura – Sumatera Barat). Tahun 1998 total penjualan pangan organik dunia US $ 13 milyar, meningkat dua kalinya menjadi US $ 26 milyar pada tahun 2001 dan pada tahun 2010 diperkirakan US $ 100 milyar. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, volume produk pertanian organik mencapai 5-7% dari total produk pertanian yang diperdagangkan di pasar internasional. Sebagian besar disuplai oleh negara-negara maju seperti Australia, Amerika dan Eropa. Di Asia, pasar produk pertanian organik lebih banyak didominasi oleh negara-negara timur jauh seperti Jepang, Taiwan dan Korea. Indonesia memiliki potensi yang cukup besar untuk bersaing di pasar internasional walaupun secara bertahap. Hal
Di Luar Negeri, selama sepuluh tahun terakhir ini, perkembangan produk pangan organik diseluruh dunia me-
internationalagprograms.dasnr.okstate.edu
14
Perencanaan Pembangunan
DAFTAR PUSTAKA
ini karena berbagai keunggulan komparatif antara lain : 1) masih banyak sumberdaya lahan yang dapat dibuka untuk mengembangkan sistem pertanian organik, 2) teknologi untuk mendukung pertanian organik sudah cukup tersedia seperti pembuatan kompos, tanam tanpa olah tanah, pestisida hayati dan lain-lain.
An introduction to ADAPTATION to climate change. ITC Turin, 9 February 2009. Climate Change Science and Politics. John Christensen, Director United Nations Environment Programme (UNEP) Risoe Centre Climate Change Mitigation and Carbon Markets. John Christensen, Director United Nations Environment Programme (UNEP) Risoe Centre Employers And Businesses: Global, Green And Good (Decent). Dr Janet L Asherson IOE. From ‘our common future’ to green growth and green jobs. ITC Turin, 9 February 2009. Impacts on economy, development and labor markets. ITC Turin, 9 February 2009. Key economic sectors for mitigation: opportunities and risks for decent work. ITC Turin, 9 February 2009. Program Optimasi Lahan Terlantar. Direktorat Pengelolaan Lahan – Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air. Jakarta, 2008. Widodo, Dwi Putro, 2009, Mewarisi dan Melanjutkan Perkebunan kolonial. Studi mengenai kondisi perkebunan paska kolonial di Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Sumberwadung-Jember.
Berdasarkan peluang pasar, terutama pasar luar negeri (ekspor) pertanian organik akan mampu secara financial memberikan gaji yang layak, jaminan sosial dan kesehatan untuk pekerja dan keluarganya. Hal ini dapat diwujudkan apabila ada komitmen dari para pengusaha untuk mendistribusikan sebagian pendapatannya kepada pekerja, serta insentif dari pemerintah terhadap produsen yang menghasilkan produk yang ramah lingkungan. VI. KESIMPULAN DAN SARAN Pekerjaan ramah lingkungan (green jobs) merupakan upaya untuk mengahadapi perubahan iklim yaitu melalui mitigasi dan adaptasi yang mempunyai implikasi yang luas untuk pembangunan ekonomi dan sosial, pola produksi dan konsumsi, pendapatan dan mengurangi kemiskinan. Implikasi tersebut pada akhirnya menciptakan kesempatan Kerja. Dengan demikian, upaya perbaikan lingkungan dilakukan sekaligus dengan upaya pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Pekerjaan ramah lingkungan yang ada di Indonesia masih terbatas pada pekerjaan yang memperhatikan lingkungan dan belum memperhatikan para pekerjanya, terutama pada kesejahteraan para pekerja dan keluarganya. Untuk itu perlu komitmen yang kuat dari pembuat kebijakan dalam mendorong para pengusaha untuk memperlakukan para pekerja/buruhnya dengan baik. Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk memberikan insentif kepada produsen yang menghasilkan produk yang ramah lingkungan (organik). Untuk melaksanakan dan menerapkan Green Jobs di Indonesia, disarankan agar dilakukan Kegiatan Analisa Green Jobs per Sektor, khususnya Sektor Pertanian dan Industri, sehinga dapat diketahui, antara lain: keseimbangan pasar kerja, masa peralihan, dampak regionalnya bagaimana, keterampilan dan kelahlian yang dibutuhkan, dan peraturan yang mendukung, terutama pemberian insentif kepada para pelaku pekerjaan ramah lingkungan. • Johny Juanda adalah Perencana Madya pada Direktorat Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja, Bappenas
15
Edisi 02/Tahun XV/2009
DEMOCRACY AND ECONOMIC GROWTH: A REVIEW OF THE LITERATURE YUNES HERAWATI
I.
Preface
The debate also exists on the channels through which democracy affects economic growth and the existence of channels on the reverse relationship of the two variables.
This research reviews 22 studies on the interrelationship between democracy and economic growth and identifies the channels through which democracy affects economic growth. This paper explores the three schools of thought regarding the interrelationship between democracy and economic growth, namely direct relationship, indirect relationship through some channels, and no systematic relationship. We found that the interrelationship between democracy and economic growth is far from simple.
This research study intends to review the existing literature on the interrelationship between democracy and economic growth and to identify the channels through which democracy affects economic growth. This paper explores the three schools of thought regarding the interrelationship between democracy and economic growth (Sirowy and Inkless, 1990; Helliwell, 1994; and Feng, 1997), which consists of arguments that democracy has a direct relationship with economic growth which can be positive or negative, democracy has an indirect relationship with economic growth through some channels, and no systematic relationship exists between democracy and economic growth.
In current years, the relationship between democracy and economic growth has been given considerable attention. However, there is still debate among analysts whether the relationship is close with contradictory hypotheses and findings. Some scholars claim that democracy promotes or hinders economic development, and economic growth improves or reduces democracy, while others argue that democracy and growth are unrelated (Baum and Lake, 2003).
II. Direct Relationship between Democracy and Economic Growth There are two contradictory arguments on the direct relationship between democracy and economic growth. ‘Compatibility’ perspective claims that democracy has a positive effect on economic growth. Some researchers argue that in less developed countries (LDCs) democratic regimes are appropriate to promote sustained and equitable economic growth (Sirowy and Inkeles, 1990; Feng, 1997). Their arguments are based on the logic that democratic processes, which involve the existence and exercise of fundamental civil liberties and political rights, create social circumstances which are more conducive to enhance the economic development. Hence, Feng (2004) claims that democratic governments are more favorable to good economic performance than other political arrangements in both developed and less-developed countries.
16
The second argument related with the direct effect of democracy on economic growth comes from the ‘conflict’ perspective, which argues that economic growth is hindered by Perencanaan Pembangunan
the democratization of the polity (De Haan and Siermann, 1995). Sirowy and Inkless (1990), who introduced this argument, offer three hypotheses explaining why democracy hinders economic growth: (1) ‘dysfunctional consequences’ of ‘premature’ democracy which delays economic growth; (2) democratic governments are inefficient to implement the important policies in high growth, and (3) democracy is unable to expand the involvement of the government in the development process in the present world-historical context.
jobs for citizens and as a result increase their income. Furthermore, if the income of citizens increases, it tends to increase any kind of demands including the demand to improve the rights for political participation and civil liberties, and, eventually, it will improve the application of democratic processes in the society (Pourgerami 1988, Gupta, Madhavan and Blee 1998). IV. No Systematic Relationship between Democracy and Economic Growth.
A negative effect of democracy on economic growth is a consequence of the reality that in democratic developing countries, the people’s needs tend to increase and this leads to high levels of government expenditure. Thus, it crowds out private investment and reduces the surplus available for investment and, thus, slows down economic growth (Huntington, 1968). Tavares and Wacziarg (2001) support the idea that democracy pushes the government to increase its expenditure for maintaining the democracy and also to reduce the rate of physical capital accumulation. It also appears in the findings of Helliwell (1994) that the effect of democracy on growth is negative because countries which start with lower levels of per capita income tend to have rapid economic growth, but the growth becomes slower after the income level reaches the level of rich countries. The slowdown of growth could be because they apply democratic forms of government during the development process.
The last school of thought is the so called ‘skeptical’ perspective, which claims that there is no systematic relationship between democracy and growth. Feng (1997) found that the proponents of this school of thought assume that a democratic system alone is not of a great importance to give effect on economic growth, because the most important factor is institutional structure (two parties versus multi parties) and government development strategies (import substitution versus export promotion). In addition, Amartya Sen (1999) also claims that democracy facilitates the rise of free people, especially entrepreneurs and corporate managers, who using their strategic and organizational choice build a country economic performance. However, if this condition is not achieved, it is not appropriate to relate democracy to economic growth. This school also indicates that different political systems are able to adopt the same economic policy; thus the effect of political system on economic growth is insignificant (Feng, 1997).
III. Indirect Relationship between Democracy and Economic Growth
Based on statistical regressions, Helliwell (1994), Nelson and Singh (1998), Heo and Tan (2001) and Polterovich and Popov (2007) found evidence that democracy does not have any statistical impact on economic growth in some countries such as Argentina, Brazil, Tahiti, Honduras, Pakistan, Panama, Peru and Sri Lanka. There are no statistically significant influences in some countries in Africa as well (Kisangani, 2006).
Democracy and economic growth also have a strong indirect relationship through some channels (Tavares and Wacziarg, 2001). The channels through which democracy has an impact on economic growth are human capital (life expectancy and secondary education), political instability, and quality of governance, government size, income inequality, trade openness, physical capital accumulation, and investment. On the other hand, the channels through which economic growth affect democracy on a reverse relationship are education and investment.
V.
On the other hand, based on the reverse causality relationship in which economic growth has an indirect relationship with democracy, some researchers have found that there are two channels in the relationship, which are education and investment. A high level of economic growth provides people the opportunity to achieve a higher level of education. Hence, a higher education level of people encourages them to increase their awareness to get their political rights and civil liberties and, thus, it will improve the degree of democracy (Pourgerami, 1988). Finally, investment is also an important channel through which economic growth influences democracy. Empirical studies found that economic growth tends to have positive impacts on investment and, thus, it will provide more
17
Conclusion
This study reviews 22 studies, which, were published in the period from 1988 to 2007. There are three schools of thought related with the interrelationship between democracy and economic growth, namely, direct relationship which consists of the ’compatibility’ and ‘conflict’ perspectives, indirect relationship through some channels and no systematic relationship which is so called ‘skeptical’ perspective. A causal relationship also can be from democracy to economic growth or the reverse from economic growth to democracy. Edisi 02/Tahun XV/2009
It seems that democracy is likely to have a positive direct effect on economic growth and a significant effect also exists indirectly through various channels. These channels are human capital formation in terms of life expectancy and secondary education, investment, political stability, and income inequality, which have a strong impact on the relationship between democracy and economic growth. In addition, democracy is also associated with government expenditure, quality of governance, trade openness and physical accumulation, when affect economic growth. The relationship between democracy and economic growth may be different across countries and region. Overall, this reviewed study concludes that the interrelationship between democracy and economic growth is far from simple. • Yunes Herawati is a Staff of Directorate Politics and Communication, Bappenas
REFERENCES Baum, Matthew A and Lake, David A. 2003. “The Political Economy and Growth: Democracy and Human Capital”, American Journal of Political Science, 47(2003): 333-347. Barro, Robert J. 1996. “Democracy and Growth”, Journal of Economic Growth, 1(1996): 1-27 Barro, Robert J. 1999. “Determinant of Democracy”, Journal of Political Economy, 107(1999): S158-183. Batiz, Francisco L Rivera. 2002. “Democracy, Governance and Economic Growth: Theory and Evidence, Review of Development Economics, 6(2): 225-247. De Haan, Jakob and Siermann, Clemens L.J. 1995. “New Evidence on the Relationship between Democracy and Economic Growth”, Public Choice, 86(1995): 175-198. Feng, Yi. 1997. “Democracy, Political Stability and Economic Growth”, British Journal of Political Science, 27(3): 391-418. Feng, Yi. 2004. “Democracy, Governance and Economic Performance: Theory and Evidence”, Journal of Economic Literature, 42(4): 1120-1121. Gupta, Dipak K., Madhavan, MC and Blee, Andrew. 1998. “Democracy, Economic Growth and Political Instability: An Integrated Perspective”, Journal of Socio-Economics, 27(5): 587-611. Helliwell, John F. 1994. “Empirical Linkages between Democracy and Economic Growth”, British Journal of Political Science, 42(2): 225-248. Heo, Uk and Tan, Alexander C. 2001. “Democracy and Economic Growth: A Causal Analysis”, Comparative Politics, 33(4): 463-473. Hayami, Yujiro and Godo, Yoshihisa. 2005. Development Economics: from the Poverty to the Wealth of Nations. Oxford and New York: Oxford University Press. 18
Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven, Conn.: Yale University Press. Huntington, S.P., “The Third Wave”, University of Oklahoma Press, Norman, OK, 1991. Kisangani, Emizet F. 2006. “Economic Growth and Democracy in Africa: Revisiting the Feldstein-Horioka Puzzle, Canadian Journal of Political Science, 39(4): 855-881. Krieckhaus, Jonathan. 2006. “Democracy and Economic Growth: How Regional Context Influences Regime Effect”, British Journal of Political Science, 36(2006): 317-340. Leblang, David A. 1997. “Political Democracy and Economic Growth: Pooled Cross-Sectional and Time-Series Evidence”, British Journal of Political Science, 27(3): 453-466. Mesquita, Bruce Bueno de; Morrow, James D; Siverson, Randolph and Smith, Alastair. 2001. “Politcal Competition and Economic Growth”, Journal of Democracy, 12(2001): 58-72 Minier, Jenny A. 1998. “Democracy and Growth: Alternative Approaches”, Journal of Economic Growth, 3(1998): 241-266. Muller, Edward N. 1995. “Economic Determinants of Democracy”, American Sociological Review, 60(6): 966-982. Nelson, Michael A and Singh, Ram D. 1998. “Democracy, Economic Freedom, Fiscal Policy and Growth in LDCs: A Fresh Look”, Economic Development and Cultural Change. Chicago: The University of Chicago. 1998: 677-696. North, Douglas. 1990. Institution, Institutional Change, and Economic Performance. Cambridge: Cambrigde University Press. Perroti, Roberto. 1996. “Growth, Income Distribution and Democracy: What the Data Say”, Journal of Economic Growth, 1(1996): 149-187. Polterovich, Victor and Popov, Vladimir. 2007. “Democratization, Quality of Institution and Economic Growth”, New Economic Growth, Tiger Working Paper, 102(2007). Pourgerami, Abbas. 1998. “The Political Economy of Development: Across-National Causality Test of Development-Democracy-Growth Hypothesis”, Public Choice, 58(1988): 123-141. Przeworski, Adam and Limongi, Fernando. 1993. “Political Regimes and Economic Growth”, The Journal of Economic Perspectives, 7(3): 51-69. Pumpler, Thomas and Martin, Christian W, 2003. “Democracy, Government spending and Economic Growth: A Political-Economic Explanation of the Barro-effect”, Public Choice, 117(2003): 27-50 Sirowy, Larry and Inkeles, Alex. 1990. ”The Effect of Democracy on Economic Growth and Inequality: A Review”, Studies in Comparative International Development, 25 (1990): 126-57 Tang, Sam Hak Kan and Yung, Linda Chor Wing. 2005. ”Does Rapid Economic Growth Enhance Democratization? Time Series Evidence fro High Performing Asian economies“, The University of Western Australia Discussion Paper, 05-20(2005). Tavares, Jose and Wacziarg, Romain. 2001. “How democracy affects growth”, European Economic Review, 45(2001): 1341-1378. Perencanaan Pembangunan
EFISIENSI DAN EFEKTIFITAS SUBSIDI PUBLIC SERVICE OBLIGATION OKTORIKA
Pendahuluan
watir dengan ketidakjelasan penyaluran dan ketidakjelasan tugas dan tanggungjawab antara pemberi tugas dan penerima tugas sehingga apabila terjadi sesuatu hal yang berbeda kepentingan, bukan tidak mungkin direksi dapat dikategorikan melakukan tindak pidana korupsi.
Public Service Obligation (PSO) dan subsidi memiliki arti penting dalam perekonomian nasional. Dana dari APBN digunakan untuk membiayai kegiatan PSO dan penyaluran subsidi. Pelaksanaan kedua instrumen ini menjadi strategis karena dapat digunakan sebagai alat pemerataan pendapatan, di samping sebagai alat untuk memacu pertumbuhan ekonomi, khususnya pertumbuhan dunia usaha, yang pada gilirannya juga berarti menciptakan stabilitas ekonomi dan sosial. Dalam implementasinya beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sejak lama telah melaksanakan PSO dan menerima subsidi dalam memenuhi kebutuhan dasar, antara lain PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Pos Indonesia, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni), dan PT Televisi Republik Indonesia (TVRI). Namun demikian, sistem dan prosedur pengelolaan PSO dan Subsidi masih belum memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Fungsi dari PSO dan subsidi tentunya baru akan dapat diwujudkan apabila lembaga pelaksana atau operator berada dalam keadaan sehat. Untuk memelihara keseimbangan kedua kepentingan ini, yaitu tercapainya sasaran PSO dan subsidi di satu pihak dan kesinambungan usaha BUMN di lain pihak, maka UU Nomor 19 tahun 2003 tentang BUMN telah menegaskan bahwa “Pemerintah dapat memberi penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN”.
BUMN PSO sebenarnya menjalankan kewajiban negara terutama dalam bidang pelayanan ke masyarakat atau bagaimana pelayanan umum yang dijalankan BUMN PSO akan berpengaruh terhadap kinerja Pemerintah. Permasalahan yang seringkali timbul adalah terkait dengan penggantian dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan yang mereka lakukan, yang seharusnya sudah menjadi kewajiban negara, tetapi menjadi beban BUMN, serta sejauh mana kinerja penyaluran PSO masih belum ada indikatornya yang jelas, hal ini mengakibatkan pemerintah sulit untuk mengontrol efektivitas penyaluran subsidi yang dikucurkan melalui PSO, selain itu direksi PSO sendiri menjadi kha-
Penyusunan Desain dan Instrument Dalam rangka mengumpulkan informasi yang efektif terhadap pelaksanaan implementasi PSO, dilakukan desain dan strategi pelaksanaan berupa : 1. Wawancara dengan wakil dari Kementerian BUMN, dengan wakil BUMN dan para Pakar yang terkait sebagai wakil dari penerima subsidi sehingga dapat diperoleh kelengkapan data melalui proses tanya jawab 2. Menterjemahkan tujuan kajian dalam desain kegiatan kajian untuk menyusun inti permasalahan yang akan ditanyakan kepada pelaksana PSO untuk menilai beberapa hal antara lain:
a. Aspek Legal, yang mencakup payung hukum pelaksanaan subsidi kepada PSO di Indonesia. b. Aspek Pemberdayaan, yang mencakup berapa banyak masyarakat yang dapat dijangkau sebagai penerima subsidi dari Pemerintah.
3. Cross check/pengecekan silang kebenaran data dan informasi kepada pihak-pihak lain yang terkait dengan cara memberikan pertanyaan yang sama.
Instrumen yang digunakan dalam melakukan kajian adalah, wawancara secara individual dan kelompok dalam bentuk focus group discussion (FGD) dengan para pihak terkait dan anggota masyarakat yang merasakan langsung manfaat subsidi. 19
Edisi 02/Tahun XV/2009
Pengumpulan Data Primer
3. Permasalahan yang ketiga adalah pemanfaatan dana PSO sering salah sasaran. Contohnya adalah PT KAI yang mendapat dana PSO untuk pengoperasian KA ekonomi telah menggunakan dana tersebut untuk mensubsidi KA kelas yang lebih tinggi. Untuk menghindari hal tersebut, perlu ada mekanisme yang baik terhadap pelaksanaan penggunaan dana PSO.
Pengumpulan data dilakukan melalui diskusi langsung via telepon kepada staf dan pejabat di Kementerian BUMN, staf dan pejabat Kementrian Perhubungan, staf dan pejabat pada BUMN penerima subsidi. Di samping itu dilakukan diskusi rutin terbatas dengan para konsultan yang menangani langsung kajian Public Service Obligation (PSO) serta dengan nara sumber yang terkait dengan bidangnya.
Hasil Kajian Pelaksanaan Aspek Legal 1. Banyaknya keluhan dari BUMN PSO yang menyatakan bahwa kewajiban PSO justru menambah beban perusahaan, hal ini terjadi diakibatkan belum jelasnya payung hukum atas implementasi PSO di Indonesia sehingga dalam implementasinya sulit dilakukan dan dikontrol secara transparan.
Identifikasi Permasalahan Kendala-kendala yang seringkali dikeluhkan oleh BUMNBUMN yang mendapat penugasan PSO antara lain sebagai berikut :
2. Pemanfaatan dana PSO yang sering salah sasaran juga dikarenakan belum transparannya aturan-aturan teknis yang terkait dengan implementasi subsidi di Indonesia.
1. Kebanyakan BUMN penerima penugasan PSO mengeluhkan bahwa untuk menjalankan PSO justru menambah beban perusahaan. Hal ini karena besarnya subsidi PSO yang diberikan oleh Pemerintah tergantung kepada kemampuan keuangan Negara, di sisi lain penerima PSO besarnya masih belum terukur dengan jelas.
3. Belum terukurnya penerima PSO juga diantaranya disebabkan adanya kesulitan untuk menentukan kriteria dan mekanisme pelaksanaan subsidi yang diberikan.
2. Kebanyakan BUMN penerima PSO mengeluhkan bahwa arus kas perusahaan menjadi terganggu karena pihak pemerintah harus melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum melakukan pembayaran/penggantian biaya atas tugas pelayanan umum yang telah dilakukan oleh BUMN. Sehingga pencaiarannya baru dapat dilakukan setelah kewajiban PSO dilaksanakan oleh penerima tugas PSO.
Hasil Kajian Pelaksanaan Aspek Pemberdayaan 1. Secara ekonomi, keputusan menerapkan PSO dalam kebijakan pemerintah, tak lepas dari fungsi pemerintah untuk melakukan : (a) Stabilisasi makro ekonomi, (b) Redistribusi pendapatan, dan (c) Alokasi sumber daya.
www.northeastern.edu
20
Perencanaan Pembangunan
a. Adanya ketidakpastian pembayaran PSO kepada PT KAI, hal ini perlu dibenahi dengan cara melakukan negosiasi ulang mengenai pola pembayaran penugasan PSO oleh departemen terkait seperti Dephup, Depkeu, Kementerian BUMN dan PT KAI), serta melakukan standarisasi pelayanan PSO minimal yang harus diberikan oleh BUMN penerima PSO. Standarisasi perlu dilakukan karena pengguna kelas ekonomi yang mendapatkan subsidi juga sebagai konsumen yang perlu dilindungi haknya.
b. Pengguna jasa kereta api tidak terlalu keberatan jika harga naik selama fasilitas (standar pelayanan) meningkat, dengan demikian subsidi dapat lebih efektif untuk membantu masyarakat yang kurang mampu dengan cara penerapan sistem voucher, bagi masyarakat yang memiliki voucher cukup membayar dengan harga subsidi, sedangkan yang tidak memiliki voucher membayar dengan harga standar yang berlaku.
c. Perhitungan subsidi yang dilakukan oleh KAI sebagai PSO berbeda dengan perhitungan subsidi yang dilakukan Departemen perhubungan, Dephub hanya melakukan perhitungan subsidi terhadap jumlah kapasitas duduk bukan terhadap kapasitas angkut, padahal dalam pelaksanaan jumlah penunmpang selalu dalam batas maksimal kapasitas angkut, terhadap hal ini perlu dilakukan penyesuaian perhitungan yang tidak saling membebani sehingga subsidi dapat benar-benar dirasakan bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
www.probonoconference.ca
Dengan adanya PSO, masyarakat miskin memperoleh kesempatan untuk turut “menikmati” kekayaan nasional (dalam hal ini APBN) dan menjadi lebih baik secara ekonomi. Dengan dilaksanakan PSO berarti pemerintah mengalokasikan sebagian dana APBN khusus untuk masyarakat miskin.
2. Bagi masyarakat, kompensasi PSO akan sangat berguna karena dapat (a) mengurangi kemiskinan melalui penyediaan akses pelayanan infrastuktur kepada masyarakat miskin, (b) menyediakan akses terhadap kebutuhan dasar bagi seluruh masyarakat, (c) memberikan stimulus bagi pembangunan ekonomi dan pengembangan wilayah, dan (d) memberikan dampak positif atas investasi barang-barang publik oleh pemerintah terhadap masyarakat.
5. Kriteria dan mekanisme yang belum dirinci secara detil disinyalir mengakibatkan implementasi subsidi PSO selalu dikeluhkan oleh BUMN sebagai operator, selain itu ukuran keberhasilan dari BUMN tersebut menjadi kabur, sehingga pemerintah kesulitan menilai kinerja BUMN penerima PSO sebagai perusahaan perseroan dengan BUMN penerima PSO yang menjalankan kewajiban memberikan subsidi kepada masyarakat.
3. Maksud utama PSO dilakukan oleh BUMN adalah untuk menyediakan pelayanan umum yang layak dan terjangkau bagi kelompok masyarakat yang kurang mampu terutama di sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak serta menjamin badan usaha yang ditugasi tidak menanggung biaya akibat penyelenggaraan pelayanan umum. Sebagai contoh kompensasi PSO pada PT Kereta Api merupakan upaya pemerintah dalam mengakomodasi kebutuhan transportasi masyarakat miskin. Hal ini menunjukkan bahwa kompensasi PSO ditujukan untuk memperlancar masyarakat kecil dalam mengakses moda transportasi.
6. Mekanisme penyaluran PSO harus jelas tercermin dalam kontrak kerja antara Regulator dan Operator, apakah dengan menggunakan sistem pelelangan atau penugasan langsung. Selain itu penyaluran dana kompensasi PSO juga harus tertulis secara jelas dalam kontrak, berapa kali penyaluran, besaran dana, dan waktu penyaluran dana kompensasi.
7. Sistem monitoring, evaluasi dan pelaporan dari BUMN penerima PSO juga perlu lebih ditingkatkan baik laporan internal maupun laporan eksternal, selain itu instrumen monitoring dan evaluasi harus jelas agar mudah untuk diukur dan ditindaklanjuti baik oleh pihak regulator maupun lembaga teknis lainnya.
4. Berdasarkan FGD yang dilakukan antara PT KAI, Meneg BUMN, pelanggan dan Tim Kajian terkait dengan beban PSO terhadap APBN, dapat diidentifikasikan beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk perbaikan pola pemberian subsidi ke depan antara lain :
21
Edisi 02/Tahun XV/2009
Rekomendasi dan Tindak Lanjut
dalam bentuk barang dan jasa, atau yang ketersediaannya menjadi tanggung jawab kementerian/lembaga yang bersangkutan. Pengajuan tersebut dilakukan bersamaan dengan pengajuan kegiatan kementerian/lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian, kegiatan atau pengajuan subsidi, termasuk PSO secara lebih terperinci diuraikan pada kegiatan prioritas, atau dalam kegiatan kementerian/lembaga.
Atas dasar kendala tersebut diatas, perlu kiranya langkahlangkah perbaikan agar tujuan pelaksanaan PSO yang mulia yaitu untuk membantu rakyat miskin dapat tercapai secara efisien dan efektif. Demikian juga dari sisi keuangan negara tidak membebani APBN. Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan antara lain :
1. Perlunya disediakan payung hukum yang mengatur batasan-batasan kegiatan apa saja yang dapat diajukan sebagai PSO. Berdasarkan kebijakan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), PSO yang perlu ditampung dalam APBN adalah penyediaan pelayanan oleh BUMN tertentu kepada masyarakat dengan harga di bawah harga pasar, seperti subsidi untuk kereta api kelas ekonomi, subsidi pos, subsidi untuk Pelni, dan sejenisnya. Untuk ke depannya perlu diperjelas lagi agar tidak semua kegiatan BUMN yang melayani masyarakat dimintakan PSO ke Pemerintah. Hal ini tidak lain untuk mengurangi beban APBN yang semakin berat.
6. Dalam pelaksanaannya perlu dibuat suatu kontrak yang menyebutkan antara lain layanan yang perlu disediakan oleh BUMN yang mendapat penugasan. Hal ini untuk menjamin bahwa dengan adanya PSO tersebut, terdapat perubahan pelayanan terhadap masyarakat dan perubahan struktural. Kontrak tersebut perlu dievaluasi, dan apabila dalam kenyataannya BUMN yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kontrak tersebut, maka subsidi/ bantuan dalam rangka PSO-nya tidak akan dibayar.
7. Di dalam pasal 66 UU no.19/2003 tentang BUMN terdapat lima indikator PSO yaitu PSO tepat waktu, tepat sasaran, tepat kuantitas, tepat kualitas dan tepat harga. Sebagai alternatif Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pencapaian indikator tersebut diatas, Pemerintah dapat melakukan proses lelang penyelenggaraan kewajiban pelayanan umum (Public Service Obligation/ PSO) di sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dianggap tidak maksimal dalam memberikan layanan kepada publik
2. Perlu adanya aturan yang jelas mengenai dasar-dasar penilaian PSO yang diajukan oleh BUMN maupun Kementerian Teknis terkait. Berdasarkan RKP, pengajuan subsidi harus disertai dengan alasan dan dasar perhitungan yang jelas mengenai besarnya subsidi yang diajukan. Namun demikian, dasar perhitungannya masih kurang detil, karena masing- masing PSO berbeda dalam menghitung komponen biaya pokok produksi. Apabila dasar perhitungan tersebut tidak diatur secara jelas, menyebabkan adanya kemungkinan BUMN/Kementerian Lembaga akan meningkatkan BPP dalam rangka memperoleh kompensasi PSO yang lebih besar.
Atas dasar hal tersebut diatas diperlukan adanya penyempurnaan strategi dan kebijakan program PSO yang dijalankan sesuai standard operating procedure (SOP) serta standar efisiensi dan efektifitas implementasi, sehingga ke depan efisiensi dan efektifitas PSO dapat terukur dengan jelas. •
3. Perlu adanya kerangka aturan mengenai besaran dana yang dapat diterima oleh suatu BUMN karena sebenarnya BUMN sudah mendapatkan Penyertaan Modal Negara (PMN) seharusnya dapat menyalurkan sebagian dari hasil PMN tersebut ke PSO, Atau BUMN yang memiliki laba wajib menyalurkan sebagian labanya untuk PSO, Dengan demikian, beban APBN akan menjadi semakin berkurang.
Oktorika adalah Perencana Muda pada Direktorat Keuangan Negara, Bappenas
4. Perlu adanya pengaturan tentang instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan menetapkan besaran PSO tersebut. Selama ini, kebijakan besaran, bentuk, dan jenis PSO ditetapkan oleh Pemerintah (Departemen Keuangan, Departemen Teknis/regulator, dan Kementerian Negara BUMN) dengan DPR. Namun tidak jelas apa kewenangan dan tanggung jawab masing-masing instansi terkait tersebut. Selain itu, juga belum ada proses pengajuan PSO secara jelas. Dengan demikian, dimungkinkan BUMN/Kementerian Lembaga tersebut akan mengajukan PSO langsung ke DPR untuk mempersingkat waktu. Apabila hal ini dilakukan, maka mekanisme APBN yang selama ini berlaku menjadi terganggu.
5. Mekanisme pengajuan subsidi sebaiknya datang dari Kementerian/Lembaga yang terkait erat dengan komoditi
DAFTAR PUSTAKA Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 Undang-undang Republik Indonesia nomor 17 tahun 2003, tentang Keuangan Negara Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2003, tentang Badan Usaha Milik Negara Undang-undang Republik Indonesia nomor 2004, tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Undang-undang No. 13 Tahun 1992, tentang Perkereta Apian Nota Keuangan APBN 1990 -2008 Evaluasi Kebijakan Pelayanan Umum (PSO) Tahun 2007, Dengan PSO menjebatani Kesenjangan Insfrastuktur 22
Perencanaan Pembangunan
MODEL NEW KEYNESIAN SMALL MACROECONOMIC UNTUK KEBIJAKAN MONETER DI INDONESIA1 SANJOYO SARWOHADI
I.
Latar belakang
hutang pemerintah dalam negeri sangat besar dengan adanya rekapitalisasi perbankan yang dibiayai oleh pemerintah. Sejak itu, hutang dalam negeri pemerintah merupakan alternatif untuk pembiayaan defisit fiskal. Dalam hal ini, penulis telah mengembangkan model NKSM dengan mempertimbangkan defisit fiskal yang dibiayai oleh hutang pemerintah.
Perkembangan perekonomian Indonesia sejak Orde Baru telah menunjukkan pentingnya pengelolaan moneter baik untuk stabilisasi inflasi akibat adanya ekspansi fiskal, maupun ekspansi moneter akibat deregulasi dan liberalisasi perekonomian serta stabilisasi finansial pada saat adanya krisis moneter. Dalam model New Keynesian Small Macroeconomic (NKSM) menawarkan kerangka teoritis dan analisis untuk kebijakan moneter yang dapat menjelaskan transmisi moneter melalui suku bunga yang dapat mempengaruhi inflasi dan output. Model NKSM dikembangkan dengan teori makroekonomi berbasis microfoundation (setelah adanya Lucas Critique) serta aspek rational expectation.
Kecenderungan fenomena staggered nominal price (sebagian perusahaan melakukan optimalisasi harga dan sebagian perusahaan lain harga tetap) terjadi di Indonesia. Hasil survei Bank Indonesia pada 220 perusahaan di sektor manufaktur di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan adanya rigiditas harga dan upah (Solikin dan Sugema, 2004).
Berdasarkan sejarah perekonomian Indonesia dalam beberapa periode, inflasi menunjukkan adanya persistensi sehingga mengakibatkan pembentukan ekspektasi pelaku ekonomi. Perilaku forward-looking agen ekonomi sangat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan. Berkaitan dengan analisa kebijakan, model NKSM mengandung aspek forward-backward looking sehingga dapat menangkap perilaku ekonomi agen tersebut.
Situasi tersebut sesuai dengan karakteristik model NKSM, yaitu berbasis microfoundation, asumsi sticky price, Taylor rule untuk penentuan suku bunga nominal dan stabilisasi harga (inflation targetting), open economy, serta free floating. Sedangkan situasi defisit fiskal yang dibiayai oleh surat utang negara makin meningkat dapat menimbulkan kendala bagi kebijakan moneter, maka dalam penelitian ini model NKSM dikembangkan dengan memperhatikan rasio hutang pemerintah terhadap GDP.
Pengalaman perekonomian Indonesia menunjukkan adanya perubahan rezim nilai tukar dari fixed, managed floting dan pada akhirnya menggunakan free floating. Demikian pula, perubahan kebijakan moneter khususnya pada operational target dari monetary aggregate (pengendalian uang beredar/ primer) beralih kepada inflation targeting framework (melalui pengendalian suku bunga) untuk stabilisasi harga. Karakteristik model NKSM sesuai dengan perubahan kebijakan moneter tersebut. Di sisi lain, keterbatasan kemampuan fiskal sebagai stimulan dalam perekomian telah terjadi pada saat peroleh minyak mengalami penuruan akibat penurunan harga minyak. Sehigga pada tahun 1980-an dilakukan deregulasi dan liberalisasi perekonomian untuk meningkatkan peran swasta. Selanjutnya, sejak krisis finansial tahun 1997/98,
Apakah model NKSM mampu menjelaskan fluktuasi perekonomian Indonesia? Model New Keynesian Small Macroeconomics (NKSM) ini merupakan model struktural untuk menganalisis proses aktivitas ekonomi serta keterkaitan antara variabel makroekonomi. Selanjutnya, pertanyaan yang timbul dalam membangunan model NKSM adalah sebagai berikut.
23
a. Apakah model NKSM dapat menjelaskan fluktuasi perekonomian Indonesia khususnya transmisi kebijakan moneter interest rate dan transmisi nilai tukar kepada Edisi 02/Tahun XV/2009
inflasi dan output?
Model NKSM
b. Apakah dalam model NKSM dapat menjelaskan pengaruh debt to GDP ratio (rasio hutang pemerintah terhadap GDP) terhadap suku bunga?
Spesifiksi model NKSM untuk ekonomi terbuka sama dengan model dalam perekonomian tertutup, namun dengan memperhatikan pengaruh nilai tukar dan asumsi kondisi covered interest rate parity. Sebagaimana model standar New Keynesian ekonomi tertutup dengan tiga persamaan (IS, Phillips curve dan Taylor rule), maka untuk perekonomian terbuka, exchange rate akan mempengaruhi ketiga persamaan tersebut. Model NKSM untuk ekonomi terbuka juga mengasumsikan sticky price dengan staggered price adjustment, mengandung aspek business cycle tradition dengan model dynamic stochastic general equilibrium (DSGE) dan rational expectation. Model ini juga adalah general equilibrium karena persamaan IS dan Phillips curve dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip mikroekonomi general equilibrium. Stokastik di sini mengandung arti bahwa random shock dapat mempengaruhi setiap endogenous variable dan memungkinkan untuk mengukur uncertainty berdasarkan baseline forecasts. Dalam model ini juga memasukan aspek rational expectation sebab ekspektasi bergantung pada model forecast itu sendiri sehingga sesuai dengan ekspektasi economic agent. Model ini juga akan memperkenalkan pendekatan hybrid linear rational expectation yang mengandung perilaku backward dan forward looking dari agen ekonomi.
c. Bila terjadi external shock (foreign interest rate dan output), bagaimana respon suku bunga untuk pencapaian stabilisasi harga atau target inflasi yang akan datang?
Bilamana exchange rate pass-through terjadi depresiasi, bagaimana dampaknya dan bagaimana respon suku bunga? Untuk menjelaskan pertanyaan penelitian pertama akan melakukan estimasi dan menguji hipotesis parameter model NKSM serta melakukan bootstraping. Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan penelitian kedua akan membuat baseline forecasting out-sample sehingga diketahui respon suku bunga dari eksternal shock. Simulasi skenario 1 dan simulasi skenario 2 dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitan tentang pengaruh debt to GDP ratio terhadap suku bunga serta dampak perubahan exchange rate terhadap suku bunga. II. Landasan Teoritis
Model NKSM ini merupakan model struktural karena masing-masing persamaan mempunyai arti secara ekonomi. Intervensi kebijakan moneter untuk merespon adanya shock dapat mengacu pada parameter model ini dan pengaruhnya dapat dianalisis melalui hasil dari output model tersebut. Secara ringkas, model NKSM ini terdiri dari 4 persamaan, yaitu:
Landasan teoritis diawali dengan referensi dari penelitianpenelitian model New Keynesian untuk perekonomian tertutup2 dan dapat disimpulkan bahwa pertama, model tersebut terdiri dari tiga persamaan “IS” (aggregate demand yang berasal dari memaksimalkan ekspektasi intertemporal utility rumah tangga dengan intertemporal budget constraint) dan Phillips curve (aggregate supply yang berasal dari memaksimalkan expected discounted profit dengan asumsi staggered price) serta monetary policy rule (Taylor Rule) melalui instrumen nominal interest rate. Kedua, model standar tersebut kadangkala tidak signifikan yang sebabkan oleh faktor omission variabel, korelasi serial, serta unobserve variabel, sehingga model standar New Keynesian perlu dimodifikasi lebih lanjut untuk mengatasi persoalan tersebut. Ketiga, model tersebut dapat menjelaskan transmisi kebijakan moneter dengan instrumen nominal interest rate untuk melakukan stabilisasi adanya fluktuasi dalam harga dan output. Keempat, model tersebut belum memperhatikan pengaruh perubahan exchange rate karena mengasumsikan perekonomian tertutup.
a. Aggregate demand atau IS curve merupakan hubungan level of GDP dengan expected future dan past GDP, real interest rate, dan real exchange rate.
ygapt = βldΕt (ygapt+1) + βlag ygapt−1 − βRRgap (Rt − Εt [πt+1] − RRt*) − βbgap [bt(RRt+1) − bt-1(RRt)] + βzgap (Ζt − Ζt*) + Ԑty
b. Price-setting atau Phillips curve merupakan hubungan inflasi dengan past dan future expected inflasi, output gap, dan exchange rate. πt = απld Et (πt+1) + (1 − απld) πt−1 + αygapygapt + αz [Zt − Zt−1] + Ԑtπ
c. Setting policy interest rate merupakan fungsi dari output gap dan expected inflasi
Untuk perekonomian terbuka, kebijakan moneter perlu memperhatikan dampak exchange rate terhadap inflasi dan aktivitas riil. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan menggunakan model New Keynesian open economy untuk melihat pengaruh fluktuasi exchange rate terhadap fluktuasi harga dan output. Di samping itu, model ini dikembangkan dengan memasukan aspek kebijakan fiskal, khususnya rasio hutang pemerintah terhadap GDP.
RSt= γRSlagRSt−1 + (1 − γRSlag) * (RRt* + πt + γπ[πt+1−π*t+1] + γygapygapt) + ԐtRS
d. Uncovered interest parity condition exchange rate dan backwark-looking expectation Zt = δzZt+1 + (1−δz)Zt−1 − δgap [RRt − RRtUS − ρt] + Ԑtz
24
Perencanaan Pembangunan
kebijakan moneter ini diasumsikan bahwa otoritas fiskal dalam kondisi balance budget.
di mana: ygapt
= output gap
Rt
= nominal interest rate
yt
yt * πt
RRt* bt Zt
= potential output
Pendapat Woodford tersebut diformulasikan dalam suatu persamaan oleh Mitra (2007) hubungan antara rasio pengeluaran pemerintah terhadap output dengan debt to GDP rasio dengan budget constrain pemerintah. Government rule tersebut dinyatakan bahwa rasio pengeluaran pemerintah terhadap GDP harus diturunkan apabila real interest rate lebih besar dari output growth.
= inflasi
= ekuilibrium real interest rate = debt to GDP ratio = REER
Z
* t
RSt π
* t+1
RRt RRt
US
ρ
Oleh karena itu, penulis mencoba untuk melakukan penyesuaian Model NKSM untuk kondisi kebijakan fiskal melakukan budget defisit dengan pembiayaan obligasi negara.
= actual output
= REER pada tahun dasar 2000=100 = short run nominal interest rate
Persamaan tersebut disubtitusikan pada persamaan aggregate demand untuk menghilangkan asumsi pengeluaran pemerintah dalam kondisi steady state. Dengan demikian dari persamaan aggregate demand dapat diperoleh hubungan yang lebih sederhana, yaitu kenaikan debt to GDP ratio akan berdampak penurunan output gap (karena crowding out) dengan asumsi suku bunga riil tetap. Namun apabila suku bunga riil mengalami penurunan maka kenaikan debt to GDP ratio akan dimungkinkan menaikan output gap secara temporary.
= target inflasi yang akan datang = real interest rate (Indonesia) = real interest rate (US) = risk premium
Monetary policy rules sebagaimana yang diperkenalkan oleh Taylor (1993) berkaitan dengan pergerakan target nominal interest rate untuk merespon adanya perubahan dalam ekspektasi inflasi dan output gap. Model Taylor tersebut telah digunakan di negara-negara industri, khususnya Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Swedia, Australia, dan Selandia Baru. Di negara-negara tersebut, otoritas moneter independen dengan otoritas fiskal.
III. Metoda Penelitian Langkah-langkah penelitan yang dilakukan adalah pertama, pengumpulan data historis, yaitu mencakup 17 variabel, data kuartalan dari tahun 2000q1 s.d 2008q3. Kedua, melakukan estimasi dengan system equation regression dan metode estimasi Generalized Method of Moments (GMM). Metode GMM mempunyai keunggulan dibandingkan metode 3SLS ialah estimator GMM sudah mempertimbangkan heteroscedasticity dan autocorrelation. Berbeda dengan estimator FIML yang mengasumsikan error berdistribusi normal, maka estimator GMM tidak perlu mengsumsikan distribusi tertentu (Greene, 2003). Ketiga, melakukan Bootstraping dengan menggunakan rolling regression untuk mengatasi small sample sehingga dapat diyakinkan bahwa hasil koefisien estimasi adalah robust. Keempat, melakukan simulasi berbagai skenario apabila ada ekternal shock.
Otoritas moneter sangat memperhatikan besarnya hutang pemerintah. Dalam laporan tahunan 1993, Gubernur Bank Central of Canada meminta pada pemerintah untuk menurunkan rasio hutang pemerintah terhadap GDP dalam rangka mengurangi tekanan suku bunga dan nilai tukar sebagai respon tingginya hutang pemerintah Canada lebih besar 50% dari GDP (Miskin, 1999). Demikian pula kondisi Indonesia dengan tingginya hutang pemerintah yang melonjak sangat tinggi setelah krisis moneter pada tahun 1997 dengan adanya obligasi rekapitalisasi perbankan. Rasio hutang pemerintah terhadap GDP pada tahun 2000 adalah sebesar 88% dan upaya terus dilakukan untuk menurunkan angka tersebut sehingga pertumbuhan rasio hutang tersebut lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2006 rasio hutang pemerintah telah turun menjadi 39%.
Woodford (2001) berpendapat bahwa government bond (pembiayaan untuk budget deficit) tidak akan meningkat secara explosive dengan syarat bahwa real interest rate menurun ketika inflasi meningkat. Hal ini berlawanan prinsip Taylor (1992) untuk stabilisasi inflasi yang mengharuskan peningkatan real interest rate untuk merespon peningkatan inflasi. Prinsip Taylor Rule yang digunakan dalam standar model New Keynesian macroeconomic untuk
IV. Estimasi Model NKSM Hasil estimasi, pengujian hipotesis dan boostrapping seluruh koefisien model NKSM adalah sangat signifikan dan rabust. Hal tersebut menunjukan bahwa model NKSM valid untuk Indonesia. Secara garis besar hasil-hasil tersebut adalah sebagai berikut: Aggregate Demand
25
Hasil estimasi, pengujian dan bootstrapping persamaan Edisi 02/Tahun XV/2009
aggregate demand sangat signifikan dan robust (Tabel 1). Ini berarti bahwa kebijakan Bank Sentral untuk stabilisasi harga melalui suku bunga nominal secara langsung akan mempengaruhi aggregate demand. Penurunan suku bunga nominal akan meningkatkan permintaan konsumsi masyarakat dan selanjutnya akan meningkatkan output gap. Kebijakan Fiskal dengan menurunkan debt to GDP ratio berdampak pada peningkatan ouput gap dengan asumsi suku bunga riil tetap. Di sisi lain, dominasi perilaku forward looking perusahaan dalam menentukan kuantitas produksi akan melihat informasi yang ada baik kebijakan Bank Sentral, Fiskal, maupun perubahan real effective exchange rate.
Faktor lain yang mempengaruhi inflasi adalah REER. Hal ini berarti nilai tukar rupiah yang cenderung overvalued (dihargai terlalu mahal/ terlalu kuat) akan menurunkan inflasi dan sebaliknya nilai tukar yang cenderung undervalued (dihargai terlalu murah/ terlalu lemah) akan berakibat pada kenaikan inflasi. Monetary Rule (Taylor Rule).
Hasil estimasi dan pengujian persamaan monetary rule menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa bank sentral berhati-hati dalam menentukan suku bunga dan perilaku bank sentral perilaku bank sentral makin forward looking dari tahun ke tahun yang ditunjukkan menurunnya koe-
Tabel 1: Koefisien Estimasi dan Probabilitas Aggregate Demand
ygapt = βldΕt (ygapt+1) + βlag ygapt−1 − βRRgap (Rt − Εt [πt+1] − RRt*)
fisien backward looking (γRSlag) sebesar 0,71 pada tahun 2005; 0,50 pada tahun 2006; 0,26 pada tahun 20073. Di samping itu, secara empiris bank sentral dalam menentukan interest rate memperhatikan bobot lebih pada expectation inflation gap dari pada output gap.
− βbgap [bt(RRt+1) − bt-1(RRt)] − βzgap (Ζt − Ζt*) Koefisien
Probabilitas
βld
0,761529
0,0000
− βRRgap
-0,15417
0,0000
-0,00491
0,0000
− βzgap
-0,01037
0,0000
− βbgap
Tabel 3: Koefisien Estimasi dan Probabilitas Monetary Rule
RSt = γRSlag RSt−1 + (1 − γRSlag) * (RRt* + πt + γπ [πt+1 − π*t+1] + γygapygapt)
Aggregate Supply (New Keynesian Phillips Curve). Hasil pengujian hipotesis aggregate supply atau New Keynesian Phillips curve adalah signifikan berbeda dengan nol (Tabel 2) dan disimpulkan bahwa fenomena Kurva Phillips eksis dalam perekonomian Indonesia dan menunjukkan perubahan harga bersifat sticky/ staggered. Kondisi ini mengindikasikan bahwa perubahan permintaan tidak segera direspon dengan kenaikan harga oleh pengusaha. Dengan demikian, kebijakan Bank Sentral dengan penurunan suku bunga nominal akan meningkatkan real output melalui peningkatan konsumsi masyarakat. Peningkatan permintaan konsumsi masyarakat akan direspon oleh pengusaha dengan meningkatkan produksi dan bukan dengan kenaikan harga karena harga bersifat sticky. Di samping itu, perusahaan juga memungkinkan untuk meningkatkan produksi atau ekspansi karena adanya penurunan suku bunga nominal dari Bank Sentral.
Koefisien
Probabilitas
γRSlag
0,674576
0,0000
γπ
0,276807
0,0001
γygap
0,266302
0,0000
Real Effective Exchange Rate. Hasil estimasi persamaan exchange rate menunjukkan bahwa Agen ekonomi mempunyai perilaku lebih forward
looking untuk REER yang ditunjukkan pada bahwa nilai δz adalah 0,75. Demikian pula, nilai REER dipengaruhi oleh real interest rate-Indonesia (RRt), real interest rate-USA (RRtUS) dan forward premium (ρt).
Tabel 4: Koefisien Estimasi dan Probabilitas REER
Tabel 2: Koefisien Estimasi dan Probabilitas Aggregate Supply
Zt = δzZt+1 + (1−δz)Zt−1 + δgap [RRt − RRtUS − ρt] + Ԑtz
πt = απld Et (πt+1) + (1 − απld) πt−1 + αygapygapt − αz [Zt − Zt−1]
Koefisien
Probabilitas
γRSlag
0,674576
0,0000
0,0000
γπ
0,276807
0,0001
0,0000
γygap
0,266302
0,0000
Koefisien
Probabilitas
απld
0,611285
0,0000
αygap
0.418726
− αz
-0,39193
26
Perencanaan Pembangunan
Persen (Deviasi) 6
Persen
5
16
4
14
3
12
2
10
1
8
0
6
-1
4
-2
2
-3
0 2009Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
2009Q1
Upper Bound (90% Confidence Interval) Forecasting Output Gap (Baseline) Lower Bound (90% Confidence Interval)
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
Upper Bound (90% Confidence Interval) Forecasting Inflasi (Baseline) Lower Bound (90% Confidence Interval)
Gambar 1. Output Gap
Gambar 2: Inflasi
Persen
Poin-Indek 124
13 120
12 11
116
10 9
112
8 7
108
6 5
104 2009Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
2009Q1
Upper Bound (90% Confidence Interval) Forecasting Nominal Interest rate (Baseline) Lower Bound (90% Confidence Interval)
2010Q3
2011Q1
Gambar 4: REER
Forecasting Model NKSM
tal ke empat diperkirakan sebesar 6 persen, namun, pada tahun 2010 kuartal 4 akan meningkat kembali menjadi 7 persen seiring dengan kenaikan output gap (Gambar 2).
Untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang bila terjadi eksternal shock yaitu penurunan output gap US (penurunan ekonomi US) akan dibuat baseline forecasting selama tiga tahun ke depan.
Nominal interest rate juga mengalami penurunan sebagai reaksi dari penurunan output gap dan penurunan inflasi di sekitar 7,25 persen pada tahun 2009 kuartal 4. Seiring dengan peningkatan output gap dan inflasi pada tahun 2010 dan 2011, maka reaksi nominal interest rate juga mengalami kenaikan di sekitar 8 persen pada tahun 2011 kuartal 2 (Gambar 3).
Baseline Forecasting Output gap pada tahun 2009 akan mengalami penurunan dari sekitar 3 persen diatas potensial output menjadi di sekitar potensial output. Hal ini disebabkan oleh penurunan pertumbuhan ekonomi USA menjadi 0,7 persen pada tahun 2009. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi USA meningkat menjadi 4,5 persen (2010) dan 5,5 persen (2011), maka output gap Indonesia pada tahun tersebut mengalami peningkatan secara perlahan-lahan di atas potensial output (Gambar 1).
Inflasi juga mengalami penurunan pada tahun 2009 kuar-
2010Q1
Upper Bound (90% Confidence Interval) Forecasting REER (Baseline) Lower Bound (90% Confidence Interval)
Gambar 3: Nominal Interest Rate
V.
2009Q3
REER cenderung turun (terdepresiasi) sampai dengan tahun 2009 kuartal 1 akibat dari penurunan real interest rate (Indonesia) dan negatif real interest rate (USA), namun, selanjutnya, REER diperkiraan akan meningkat (terapresiasi) sampai dengan tahun 2010 kuartal 1 seiring dengan peningkatan real interest rate (Indonesia). 27
Edisi 02/Tahun XV/2009
Respon Suku Bunga terhadap debt to GDP ratio shock
jangka menengah (setelah 1 tahun) dibandingkan dengan baseline dikarenakan terjadinya Crowding Out.
Untuk menjawab pertanyaan penelitian bagaimana pengaruh debt to GDP ratio terhadap suku bunga dilakukan simulasi skenario 1. Dalam skenario 1 diasumsikan ada-nya kenaikan 3 persen per tahun Debt to GDP ratio (Variabel Eksogen) dari tahun 2008:Q4 sampai dengan 2011:Q2.
Selanjutnya, penurunan output gap akan ditransmisikan pada penurunan inflasi. Inflasi (skenario 1) lebih rendah dari baseline (Gambar 6). Kemudian, dengan adanya output gap (skenario 1) dan inflasi (skenario 1) lebih rendah dari baseline, maka reaksi nominal interest rate (skenario 1) akan lebih rendah dari baseline (Gambar 7). Pada skenario 1, inflasi dan interest rate lebih rendah dari baseline akan mempengaruhi real effective exchange rate (skenario 1) yang lebih tinggi dari baseline (Gambar 8).
Kenaikan 3 persen debt to GDP ratio berdampak pada output gap (skenario 1) yang lebih besar dari baseline (tanpa kenaikan debt to GDP ratio) pada jangka pendek (1 tahun). Pada tahun selanjutnya (jangka menengah), output gap (skenario 1) akan lebih rendah dari output gap baseline. (Gambar 5). Penurunan Output gap (skenario 1) pada Persen (deviasi) 3.2
Persen 10
2.8 9
2.4 2.0
8
1.6 1.2
7
0.8 0.4
6
0.0 -0.4
5 2009Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
2009Q1
Forecasting Output Gap (Baseline) Forecasting Output Gap (Scenario 1)
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
Forecasting Inflasi (Baseline) Forecasting Inflasi (Scenario 1)
Gambar 5. Skenario Output Gap
Gambar 6: Skenario Inflasi
Persen 12
Poin-Indeks 117
11 116 10 115
9 8
114 7 6
113 2009Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
2009Q1
Forecasting Nominal Interest Rate (Baseline) Forecasting Nominal Interest Rate (Scenario 1)
2009Q3
2010Q1
2010Q3
Forecasting REER (Baseline) Forecasting REER (Scenario 1)
Gambar 7: Skenario Interest Rate
Gambar 8: Penurunan REER
28
Perencanaan Pembangunan
2011Q1
Dampak REER shock
dari baseline akan meningkatkan output gap sekitar 0,3 persen dari baseline (Gambar 10).
Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan penelitian tentang bagaimana dampak terdepresiasinya exchange rate terhadap output gap, inflasi dan nominal interest rate dilakukan simulasi adanya REER shock dan akan dilihat dampak penurunan shock pada REER (lower bound) satu standard deviasi atau sekitar 10 point (dari 117 menjadi 107) terhadap output gap, inflasi dan nominal interest rate.
Kenaikan Inflasi. Hubungan REER terhadap inflasi juga negative. Penurunan REER (depresiasi) ditransmisikan secara langsung pada peningkatan inflasi (Upper Bound). Penurunan REER sebesar 10 poin dari baseline akan meningkatkan inflasi sekitar 2,5 persen dari baseline (Gambar 11).
Kenaikan Nominal Interest Rate. Dampak penurunan REER terhadap nominal interest rate ditransmisikan secara tidak langsung (melalui output gap dan inflasi). Interest rate akan mengalami peningkatan sebagai reaksi dari peningkatan output gap dan inflasi tehadap baseline. Dengan demikian, penurunan REER sebesar 10 poin dari baseline akan meningkatkan nominal interest rate 0,25 persen atau 25 basis poin dari baseline (Gambar 12).
Diasumsikan random error shock bersifat autoregressive, AR(1), εtz = ρεzt−1+ εt , di mana ρ=0.54 (stasioner), εt berdistribusi Normal (rata-rata=0 dan standard deviasi= 4,595) serta simulasi shock (10.000 kali) (Gambar 9).
Kenaikan Output Gap. Hubungan REER dengan output gap adalah negatif sehingga penurunan REER (depresiasi)atau makin kompetitif akan berdampak pada peningkatan output gap (Upper Bound). Penurunan REER sebesar 10 point
Persen (deviasi) 3.5
Poin-Indeks 117
3.0 2.5
116
2.0 1.5
115
1.0 0.5
114
0.0 -0.5 2009Q1
113 2009Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
Upper Bound one standard deviation Forecasting Output Gap - Baseline Lower Bound one standard deviation
Upper Bound one standard deviation Forecasting REER - Baseline Lower Bound one standard deviation
Gambar 10: Upper & Lower Bound Output Gap
Gambar 9: REER Shock
Persen 11
Persen 11
10
10 9
9
8 8
7 6
7
5 4
6
3
5 2009Q1
2 2009Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
2009Q3
2010Q1
2010Q3
2011Q1
Upper Bound one standard deviation Forecasting Nominal Interest Rate - Baseline Lower Bound one standard deviation
Upper Bound one standard deviation Forecasting Inflasi - Baseline Lower Bound one standard deviation
Gambar 12: Upper & Lower Bound Nominal Interest Rate
Gambar 11: Upper & Lower Bound Inflasi
29
Edisi 02/Tahun XV/2009
Kontribusi Penelitian
Catatan
Kontribusi penelitian ialah bahwa penelitian ini mencoba untuk mengembangkan model New Keynesian Small Macroeconomic untuk kebijakan moneter di Indonesia dalam rangka merespon defisit fiskal yang dibiayai oleh hutang pemerintah.
Tulisan ini merupakan ringkasan disertasi “Pengembangan dan Estimasi Model New Keynesian Small Macroeconomic untuk Kebijakan Moneter di Indonesia”, 2009, Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ucapan terima kasih disampaikan kepada: Tim Promotor: Prof.Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Ph.D, Sugiharso Safuan, Ph.D, Hartadi A. Sarwono, Ph.D serta Tim Penguji : Prof. Nachrowi Dj. Nachrowi, Ph.D., B. Raksaka Mahi, Ph.D., Dr. Lana Soelistianingsih, Rino Effendi, Ph.D., Has Tampubolon, Ph.D. yang telah membimbing dan mengkoreksi dalam penyelesaian disertasi. 2 Clarida, Gali, Gertler (1999); Clarida, Gali, Gertler (2000); Goodhart dan Hofmann (2005); Cho dan Moreno (2005); dan Bekaert, Cho dan Moreno (2005) 3 General Equilibrium Model of Bank Indonesia (GEMBI) tahun 2005, tahun 2006, dan tahun 2007, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia. 1
Dari sisi akademis, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pada permodelan di bidang ekonomi moneter khususnya untuk kebijakan moneter berkaitan dengan defisit fiskal yang dibiayai oleh hutang pemerintah. Di samping itu, penelitian ini juga melakukan kajian tentang perkembangan pemikiran Classical dan Keynesian dari Neoclassical Synthesis sampai dengan adanya konvergensi antara New Keynesian dan New Classical sebagai kontribusi untuk landasan penelitian lebih lanjut di bidang ekonomi makro dan moneter.
Dari aspek metodologi, penyusunan model NKSM ini merupakan penelitian yang pertama di Indonesia dengan mengunakan teknik parameterisasi dengan ekonometrika untuk model NKSM, teknik estimasi dengan small sample mengunakan Bootstraping serta menggunakan teknik calibration untuk simulasi adanya external shock.
DAFTAR REFERENSI Cho, Seonghoon and Moreno, Antonio. (2005). A SmallSample Study of the New-Keynesian Macro Model. Working Paper, No 03/05, Universidad de Navarra, Spain. Clarida, R., J. Gali and M. Gertler. (1999). The Science of Monetary Policy: A New Keynesian Perpective. Jounal of Economic Literatur, vol. 37, pp 1661-1707 Clarida, R., J. Gali and M. Gertler. (2000). Monetary Policy Rules and Macroeconomic Stability: Evidence and Some Theory. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 115, No. 1, pp. 147-180. Goodhart, Charles and Hofmann, Boris. (2005). The Phillips Curve, the IS Curve and Monetary Transmission: Evidence for the US and the Euro Area. CESifo Economic Studies, Vol 2005; 51; 4 pg. 757 Greene, William, H. (2003). Econometric Analysis. 5th Edition, Prentice Hall. Mitra, Srobona. (2007). Is the Quantity of Government Debt a Constraint for Monetary Policy?. IMF Working Paper, IMF. Solikin. (2003). Kurva Phillips dan Perubahan Struktural di Indonesia: Keberadaan, Pola Pembentukan Ekspektasi, dan Linieritas. Bank Indonesia. Taylor, J.B., (1993). Discretion versus Policy Rules in Practice. Carnegie-Rochester Conference Series on Public Policy Woodford, M. (2003). Optimal Monetary Policy Inertia. Review of Economic Studies, 70.
Dari sisi perumusan kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran yang penting untuk kebijakan moneter dalam berkaitan dengan adanya defisit fiskal yang dibiayai oleh surat utang negara. Keterbatasan dan Penelitaan Lanjutan
Dalam penyusunan suatu permodelan sudah barang tentu mempunyai keterbatas; Pertama, model hanya digunakan untuk forecasting dalam jangka pendek (kuartalan) dan jangka menengah (2-3 tahun). Kedua, pendekatan estimasi untuk nilai ekuilibrium misalnya output gap dan real interest rate dengan Hodrick-Precote filtering sangat sensitif dalam estimasi model dengan menggunakan ekonometrika.
Dari segi teoritis model NKSM, masih perlu dikembangkan berkaitan dengan formulasi ekuilibrium output, interest rate dan inflasi. Sebagaimana komentar salah satu ekonom New Classical, Lucas (2007) bahwa model tersebut perlu diformulasikan pengukuran potensial output, ekuilibrium interest rate dan inflasi yang terintegrasi. Di samping itu, salah satu ekonom New Keynesian, Mankiw dan Reis (2007) juga menawarkan perbaikan untuk persamaan New Keynesian Phillips curve dengan model sticky information. • Sandjoyo Sarwohadi adalah Staf Perencana pada Direktorat Aparatur Negara, Bappenas 30
Perencanaan Pembangunan
LONG-RUN TREND IN INDONESIA’S TERMS OF TRADE: Findings from the Experience of Japan FIRMANSYAH
1.
Introduction
sia’s and Japan’s terms of trade.
In 1990s related to the international trade condition, developing countries were highly dependent on developed countries both for their export market and for their import, as trade among developing countries accounted for only a quarter of their total export and import, whereas developed countries had already changed in reverse condition.
Hypothesis 2: The export by manufactured commodity has dominant effect on Indonesia’s and Japan’s terms of trade. 2.
Indonesia’s export and import were highly dependent on the developed countries and the structures of its export were highly dependent on primary commodity. Comparing with Japan as one of developed countries, it is seen that the structure of Japan’s export is highly dependent on manufactured commodity and its import was not dependent on the developed countries.
Based on research question and purpose of this study, The multiple regression equations in this research (Indonesia and Japan) can be written as follows: TOT = α + β1EPC + β2EMC + β3IDC + ε Where: TOT α β1… β3 EPC EMC groups IDC ε
In the simplest case, a country’s terms of trade are measured by comparing an index of the price of its export goods (Px) to an index of the prices index of its import goods (Pm). This ratio, Px/Pm, as known as the net barter terms of trade (TOT), can be detected in such period and gives point of view of the purchasing power of the country’s exports in terms of its imports.
= Terms of Trade = intercept = regression coefficient of EPC, EMC, IDC. = exports value by primary commodity groups = exports value by manufactured commodity = import value from the developed countries = residual
We have already got equation TOT=α + β1EPC + β2EMC + β3IDC + ε above as a model in this research for Indonesia and Japan.
This paper research will examine if Indonesia’s and Japan’s terms of trade will be influenced by export of primary commodity, manufactured commodity and its import dependent on developed countries in period 1985-2006. In other words, their terms of trade will be deteriorated or improved based on these variables in that period. This research also will examine important aspects of Indonesia’s terms of trade using 22 years of annual data form 1984 up to 2006 and findings from the experience of Japan. The hypothesis in this study are:
Hypothesis 1: There are significant influences between variables: export by primary, export by manufactured commodity, and import from developed countries on Indone-
Multiple Regression Equation
3.
31
Previous Study
Michael Bleany and David Greenaway (1993) have evaluated the statistical evidence on the ratio of the prices of primary commodities to those of manufactures using data 1990 calculated by Grilli and Young, which they have updated to 1991. They found that there were a statistically significant long-run downward trend in the ratio of the Edisi 02/Tahun XV/2009
prices of primary products to the prices of manufactures product, but this trend is slow, more than 0.5% p.a. for nonfuel primary commodities and certainly less than 1.0% p.a. Moreover only a part of any decline in the relative price of primary commodities passes through to the terms of trade of developing countries.1
trend appears to be the results of Australia exporting commodities with faster price growth.
Primary commodities have long constituted the majority of Australia’s exports and in the majority of Australia’s imports have been manufactures, in average the contribution of exports primary commodities reach 73 per cent by value over the past century. While there has been a diversification away from primary commodity exports, they still account for over half of goods exports. As a result there should be negative trend in Australia’s terms of trade.3
Others studies conclude that International evidence indicates that higher terms of trade levels and lower terms of trade volatility contribute to enhanced growth outcomes, especially for commodity-export and developing countries (Arthur Grimes, 2006). He found that the rise in New Zealand’s commodity terms of trade since the early 1990s is due largely to real price rises in key agricultural commodity exports, especially meat and dairy. Diversification out of these commodities over prior decades has had the effect of reducing the terms of trade relative to what would have occurred in the early 1970s. However, diversification of exports out of wool (which has had poorly performing prices) has had a positive effect on the terms of trade level. Overall, diversification of the export mix has had the effect of reducing volatility in the overall terms of trade. Reduced volatility in individual commodity prices has also had some impact in reducing terms of trade volatility, but this latter effect is relatively small.2
They concluded that Australia’s terms of trade declined by less than the decline in the ratio of world primary commodities prices to world manufactures prices affected by two factors. First, the primary commodities that Australia has traditionally exported experienced faster price growth than a broader basket of primary commodities. Second; the export base diversified toward primary commodities that experienced relatively faster price growth. Surprisingly, the growth in manufactures exports had little role in improving the negative trend. Manufactures export prices have risen more slowly than those of primary commodities, at least over the past 30 years.
The Prebisch-Singer hypothesis indicates that the prices of primary exports of the poor countries were declining as the results of trade, while prices of the manufactured products of the industrialized countries were increasing; developing countries were suffering from worsening living standards and also becoming stuck in a pattern of producing and exporting primary products, which would keep them poor. Prebisch concluded from his research that the developing countries’ terms of trade were falling. This means that there should be a negative trend in Indonesia’s terms of
Gillitzer and Kearns (2005) have already found that there were important aspects of Australia’s terms of trade using 135 years of annual data up to 2004. Since Australia predominantly exports primary commodities and imports manufactures, the Prebisch-Singer hypothesis suggests that there should be a negative trend in the terms of trade. In case of Australia, the trend is no more than -0.1 per cent per annum, less than the trend decline in world primary prices relative to manufactured goods prices. The weaker
Table 1. The Result Summary of Multiple Linear Regression Analysis (Indonesia and Japan)
No
Indepdt Variable
Regression Coefficient (βi) IND
JPN
IND
JPN
IND
JPN
IND
JPN
1 2 3 4
EPC EMC IDC Constant
-2.274 3.494 -2.091 111.595
-.054 .002 .000 92.235
-0.512 0.714 -0.475
-.595 .422 -.148
0.021 0.000 0.034 0.000
0.006 0.064 0.532 0.000
Rejected Rejected Rejected
Rejected Accepted Accepted
R = 0.751 ----0.655 (J) R2= 0.564 ----0.429 (J) Adj.R2= 0.491---0.334 (J) Fstatistic= 7.746 ---4.506 (J) P (Sig.)= 0.002 –0.016 (J) DW= 1.226 –1.659 (J)
Probability. (Sig.)
r Partial
The Multiple Regression Equation:
The Ho Decision
TOT = α + β1PC + β2MPC + β3IDC + ε TOT = 111.595 -2.274EPC+3.494EMC-2.091IDC+ ε (Indonesia) TOT = 92.397-0.054EPC+0.002EMC+0.000IDC+ ε (Japan) The model is not exist
Note: EPC = Export by Primary Commodity EMC = Export by Non Primary Commodity (Manufactured) IDC = Import from Developed Countries
32
Perencanaan Pembangunan
trade and a positive trend in Japan’s terms of trade.
F= 0.002. This indicates that there are simultaneous significant influences between independent variable such as Export by primary commodity, Export by Manufactured commodity and Import from developed countries on dependent variable (Terms of Trade—TOT). Furthermore, we can see that Coefficient of Determination (R2)= 0.564, which suggests that 56 percent of the movement in the Terms of Trade (TOT) variable is explained by movement of Export by primary commodity, Export by Manufactured commodity and Import from developed countries. In another word, there are 44 percent are explained by another independent variable, which are excluded in this research.
Another view comes from classical economists such as Ricardo and John Stuart Mill who were convinced that the long-run trend in the ratio of primary prices to manufactures should be upwards--the terms of trade was increased in the nineteenth century. But in the twentieth century that the long-run trend in the ratio of primary prices to manufactures should be downwards--the terms of trade was decreased. 4.
Research Result and Discussion
The partial significant influence for each of independent variable can be seen that Export by primary commodity (EPC) β1=-2.274, P.Sig.= 0.021; Export by non primary commodity (EMC) β2= 3.494, P.Sig.= 0.000 and Import from developed countries (IDC) β3= -2.091, P.Sig.= 0.034. Consequently, the decision of Ho is rejected or H1 is accepted, this means that each independent variable influences on TOT.
The research results and findings showed that there are significant influences between variables: export by primary commodity, export by manufactured commodity, and import from developed countries on Indonesia’s terms of trade. Furthermore, the positive dominant significant influence on Indonesia’s terms of trade comes from export by non-primary commodity (manufactured commodity) and the negative influence comes from export by primary commodity as well as import from developed countries. The findings from the experience of Japan as one of the developed countries indicate that is insignificant influence of independent variable on Japan’s terms of trade (dependent variable). In another word, we cannot use this model regression to predict Japan’s terms of trade based on independent variable above.
Through this multiple regression analysis, we can see that the dominant influence independent variable on terms of trade (TOT) is Export by manufactured commodity (EMC) for which coefficient correlation of 0.714.
If Table 1 is shown in the form of a figure, it will be seen very clearly that there are significant influences between independent variable such as Export by primary commodity, Export by non primary commodity and Import from developed countries to dependent variable (Terms of Trade - TOT) in Indonesia as follows:
See table 1 (in Indonesia’s model). It can be seen that correlation coefficient (R) = 0.751, F statistic = 7.746 and Sig.
R2 = 0.564; Sig. F= 0.002 Export by Primary Commodity (EPC)
β1=-2.274; Sig=0.021
Hypothesis 1 Hypothesis 2 Export by Manufactured Commodity (EMC)
Import from the Developed Countries (IDC)
Indonesia’s Terms of Trade (TOT)
β2=3.494; Sig=0.000
β3=-2.091; Sig=0.034
33
Edisi 02/Tahun XV/2009
balakatineung.wordpress.com
Related to Japan’s model, it can be seen that there are insignificant influences between independent variable such as Export by primary commodity, Export by manufactured commodity and Import from developed countries to dependent variable (Terms of Trade—TOT). 5.
termination of correlation is very low value and there are several independent variables that are insignificant into the model. It means that Japan’s terms of trade have not been influenced at all by these independent variables.
Conclusion and Recommendation
5.2. Recommendation
5.1. Conclusion
According to the conclusions above, I suggest the following recommendations:
Based on the results of multiple regression analysis, which hae already been conducted in this research, I can make some conclusions as the answer of the statement of problems, objectives and hypotheses as follows:
1. There is a need for the transformation/structure changes in Indonesia’s export commodity from predominantly export by primary commodity to export by manufactured commodity in order to improve Indonesia’s terms of trade in the future. These result findings are more important compared to Japan’s experience in which they export commodities predominantly that comes from manufactured commodities, which improve their terms of trade in that period.
1. The research results and findings show that there are substantial significant influences between variables: export by primary commodity, export by manufactured commodity, and import from developed countries on Indonesia’s terms of trade. The positive dominant effect on Indonesia’s terms of trade comes from export by manufactured commodity and the negative influence comes from export by primary commodity as well as import from developed countries. 2. Compared to Japan, as one of the developed country, it is seen that there are insignificant influence of independent variable on Japan’s terms of trade (dependent variable). In other words, we cannot use this model regression to predict Japan’s terms of trade based on independent variable above. It can be seen that the de-
34
2. It needs special attention concerning with Indonesia’s international trade activities that import from developed countries will decrease Indonesia’s terms of trade. It can be seen from Japan’s experiences that their international trade activities depend on not only from developed countries but also from developing countries in the same contribution. Related to these matters, we should conduct and expand international trade activities with other developing countries rather than several particular developed countries through, Perencanaan Pembangunan
Gillitzer, Christian and Jonathan Kearns, 2005. “Long-Term Patterns in Australia’s Terms of Trade”. Economic Research Departement Reserve Bank of Australia. Japan's Statistics Bureau Lynn, R., Stuart. 2003. “Economic Development: Theory and Practice for a Divided World”. Pearson Education, Inc., Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. McNabb, E., David. 2002. “Research Methods in Public Administration and Nonprofit Management: Quantitative and Qualitative Approaches”. M. E. Sharpe, Inc. Monthly Statistical Bulletin, Economic Indicators. Various Issues. BPS-Statistics Indonesia Research and Statistics Department, Bank of Japan. Reyes, E., Giovanni. July 2001 ”Four Main Theories of Development: Modernization, Dependency, World-System, and Globalization”. University of Pittsburgh, Graduate School of Public and International Affairs-GSPIA-. Singer, W., Hans. 1998. “Growth, Development and Trade: Selected Essays of Hans W. Singer”. Edward Elgar Publishing Limited, UK. Spiegel, R., Murray. 1992. “Schaum’s Outline of Theory and Problems of Statistics”. Second Edition in SI Units, Metric Editions. McGraw-Hill International (UK) Limited. Salvatore, Dominick and Derrick Reagle. 2002. “Theory and Problems of Statistics and Econometrics”. The McGraw-Hill companies, Inc. Todaro P, Michael and Smith C, Stephen. 2006. “Economic Development”. Pearson Education Limited, England.
for instance, strengthening the regional trade activity among them.
3. For the future research, I should examine if the structural change has brought many benefits to Indonesia as they hoped (findings from the experience of Japan), because relative prices within manufactured goods have also diverged in which the prices of the basic manufactured goods exported by developing countries fell relative to the advanced products exported by developed countries. Besides that, I have to verify if Indonesia’s terms of trade behavior have an important impact on its GDP growth outcomes, as each of higher terms of trade levels and lower terms of trade volatility have been estimated internationally to contribute to enhance their growth outcomes. •
Firmansyah is a Staff of Directorate of Administrative Reform Development Funding, Bappenas Notes Bleaney, Michael; Greenway, David. 1993. “Long-Run Trends in the Relative Price of Primary Commodities and in the Terms of Trade of Developing Countries” in Journal of Oxford Economic Papers 45 (1993), 349-363. 2 Grimes, Arthur. 2006. “A smooth ride: Terms of trade, volatility and GDP growth”. Journal of Asian Economics 17, 583-600. 3 Gillitzer, Christian and Jonathan Kearns, 2005. “Long-Term Patterns in Australia’s Terms of Trade”. Economic Research Departement Reserve Bank of Australia. 1
BIBLIOGRAPHY Bleaney, Michael; Greenway, David. 1993. “Long-Run Trends in the Relative Price of Primary Commodities and in the Terms of Trade of Developing Countries” in Journal of Oxford Economic Papers 45 (1993), 349-363. David Pollock., et all. (2001) “Raul Prebisch on ECLAC’s achievements and deficiencies: an unpublished interview”. Cepal Review 75. Ellsworth, P.T., Clark, J., Leith. 1990. “The International Economy”. Sixth Edition, New York, Macmillan Publishing Company. (152 – 153). Grimes, Arthur. 2006. “A smooth ride: Terms of trade, volatility and GDP growth”. Journal of Asian Economics 17, 583-600. 35
Edisi 02/Tahun XV/2009
QUO VADIS DESENTRALISASI FISKAL? MUHYIDDIN
Tahun 2001 adalah tahun keramat bagi perjalanan desentralisasi fiskal di Indonesia karena pada tahun itulah diterapkan untuk pertama kali Undang-Undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keungan antara Pusat dan Daerah sekaligus sebagai komplemen pelaksanaan otonomi daerah yang melekat pada Undang-Undang nomor 22 tahun 1999. Belum lama diterapkan, kedua undang-undang tersebut direvisi pada pada tahun 2004 melalui UU nomor 32 dan 33 tahun 2004 dengan judul dan obyek yang sama. Revisi tahun 2004 pada dasarnya adalah upaya pemberian wewenang atas struktur pemerintahan provinsi terhadap pemerintahan kabupaten/kota sebagai bagian dari wilayah provinsi. Desentralisasi fiskal sendiri adalah pendelegasian otoritas fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah lokal/ daerah. Desentralisasi fiskal merupakan bagian dari paket reformasi dalam rangka peningkatan efisiensi pelayanan publik, melalui kompetisi antar pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi1. Desentralisasi fiskal juga merupakan upaya mendekatkan permasalahan di daerah dengan pemerintahan terdekat dalam mengatasinya yang disertai wewenang fiskal. Untuk kasus Indonesia, walaupun masih terbatas pada wewenang pengeluaran (spending side) dalam bentuk unconditional grant atau block grant (dana trans-
fer yang peruntukannya diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah), hal ini merupakan terobosan besar mengingat selama beberapa dekade sebelumnya pemerintah daerah adalah hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat melalui mekanisme conditional grant (dana transfer yang peruntukannya sudah ditentukan). Desentralisasi fiskal idealnya akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena pemerintah daerah mempunyai posisi yang lebih baik dan tepat dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat lokal (Oates, 1993). Efisiensi ini juga akan mendorong mobilitas penduduk dari daerah yang pelayanan publiknya buruk kepada daerah yang bagus (Tiebout, 1956). Daerah juga akan mendapatkan insentif untuk berkompetisi dengan daerah yang lain dengan melakukan pelayanan publik yang lebih efisien agar dapat meningkatkan kesejahteraan2.
36
Perencanaan Pembangunan
Oates (1999) menjelaskan bahwa desentralisasi fiskal diterapkan dengan mengasumsikan bahwa pemerintah pusat cenderung menyeragamkan penyediaan pelayanan publik pada seluruh daerah. Padahal, perbedaan daerah memungkinkan adanya perbedaan pilihan (preference) terhadap barang dan jasa publik. Desentralisasi membolehkan pemerintah daerah menawarkan barang dan jasa publik yang lebih khusus terhadap pilihan masyarakat
daerah tersebut. Jadi, desentralisasi memungkinkan adanya efisiensi daripada hal itu dilakukan oleh pemerintah pusat dalam menyediakan barang dan jasa publik untuk daerah.
dalam kasus Kota Surabaya, membuat pemerintah daerah sibuk dalam menggali potensi penerimaan yang tidak diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah berlomba-lomba mengambil pungutan-pungutan yang justru makin membuat iklim investasi di daerah tersebut menurun.
Untuk pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sendiri lebih menitikberatkan pengeluaran daripada pendapatan. Desentralisasi pengeluaran mendelegasikan lebih banyak kekuasaan dan otoritas dibandingkan desentralisasi pendapatan. Untuk membiayai pengeluaran, sebagaimana diutarakan di atas, pemerintah daerah mempunyai sumber dana utama yaitu transfer dari pemerintah pusat yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan dana bagi hasil. Kedua sumber dana ini peruntukannya sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Daerah. Satu lagi tranfer dari pusat yang peruntukannya sudah tertentu adalah Dana Alokasi Khusus (DAK), dimana sumber dana ini adalah salah satu mekanisme bagi pemerintah pusat untuk melakukan intervensi. DAU adalah block grant untuk membiayai otoritas yang dipindahkan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sedangkan dana bagi hasil adalah pembagian penerimaan antara pemerintah pusat dan daerah atas sumber daya alam dan penerimaan daerah dari pajak yang dikutip oleh pemerintah pusat.
Kedua, perekonomian di daerah-daerah yang selama ini tidak terlalu diperhatikan pemerintah pusat menampakkan kecenderungan statis, kecuali daerah-daerah yang mempunyai sumber daya alam melimpah. Penelitian yang dilakukan oleh Waluyo (2007) menunjukkan bahwa daerah-daerah yang kaya sumber daya alam mempunyai dana yang dapat menjadi akselerator perekonomian di daerah. Sebaliknya, daerah-daerah yang tidak punya sumber daya alam, anggaran yang mereka kelola tidak mempunyai ruang gerak yang besar dalam mengakselerasi perekonomian. Contohnya adalah Kalimantan Timur dan Riau, kedua daerah ini perokonomiannya tumbuh mantap seiring dengan besarnya APBD yang mereka kelola dari dana bagi hasil sumber daya alam. Ketiga, kesenjangan pendapatan antar daerah (Waluyo, 2007; Nugrahanto dan Muhyiddin, 2008) cenderung meningkat. Kesenjangan ini merupakan akibat dari kesenjangan sumber daya alam. Disini peran transfer dari pemerintah pusat dalam mengalokasikan DAU yang belum mendapatkan formula yang pas bagi daerah-daerah yang ‘miskin’ sumber daya alam. Pemerintah pada daerah-daerah tersebut pada akhirnya hanya terjebak untuk mengalokasikan belanja rutin daerah yang cukup besar dan hanya menyisakan sedikit belanja pembangunan. Padahal belanja pembangunan inilah yang akan menjadi akselerator perekonomian, terutama melalui pembangunan infrastruktur daerah.
Sebelum penerapan desentralisasi fiskal tahun 2001 yang berdasarkan UU 25/1999, seluruh pemerintah daerah bergantung sepenuhnya kepada pemerintah pusat mengenai aktifitas pembangunan maupun pelayanan publik. Kebijakan alokasi ini cenderung membuat konsentrasi alokasi pada daerah Pulau Jawa dan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Hal ini tidak mengejutkan jika selama sentralisasi terjadi ketimpangan yang cukup besar antara Pulau Jawa dan non Jawa serta KBI dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Untuk beberapa sektor pembangunan, bahkan lebih ekstrim lagi memusat di Jakarta.
Ada dua alasan mengapa desentralisasi fiskal di Indonesia cenderung meningkatkan ketimpangan regional.
Dengan latar belakang tersebut, diterapkannya desentralisasi fiskal didisain dengan alasan utama untuk mengurangi ketimpangan regional. Desentralisasi fiskal diharapkan agar berkontribusi dalam reformasi ekonomi terutama dalam menurunkan disparitas antara Jakarta dengan provinsi lainnya.
Pertama, desentralisasi fiskal di Indonesia menekankan lebih besar kepada pengeluaran yang sebagian besar berasal dari transfer pemerintah pusat. Desentralisasi yang lebih riil idealnya mengikutkan desentralisasi pendapatan dengan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada pemerintah daerah dalam menciptakan sumber-sumber pendapatan mereka sendiri.
Lalu sejauh mana pelaksanaan desentralisasi fiskal yang sudah menginjak usia 8 tahun sejak diterapkan tahun 2001 lalu dapat menjadi jembatan dalam meningkatkan perekonomian daerah sekaligus ketimpangan pendapatan antar daerah di Indonesia? Pertanyaan tersebut perlu dijawab dengan penelitian-penelitian yang akurat.
Kedua, sebagian besar pemerintah daerah mempunyai ketergantungan yang cukup besar terhadap transfer pemerintah pusat, terutama dana alokasi umum (DAU). Ketergantungan ini akan menurunkan insentif terhadap pemerintah daerah dalam meningkatkan sumber pendapatan maupun pendapatan asli daerah.
Beberapa penelitian empirik tentang pelaksanaan desentralisasi fiskal meninggalkan beberapa catatan yang penting untuk ditindaklanjuti dalam rangka mengoptimalkan kinerja kebijakan ini.
Pertama, pemerintah daerah yang tidak mempunyai penerimaan yang besar dari dana bagi hasil sangat tergantung akan adanya tranfer DAU dari pemerintah pusat. Kecenderungan ini, sebagaimana ditulis oleh Landiyanto (2005)
37
Ketiga, adalah mengenai kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola desentralisasi fiskal. Memang belum ada penelitian empirik yang membuktikan bahwa dampak positif desentralisasi fiskal belum dapat dirasakan masyarakat di daerah adalah karena rendahnya kapasitas sumber daya manusia daerah, tetapi perlu diupayakan terobosan yang Edisi 02/Tahun XV/2009
Notes
tepat dalam mengatasi masalah ini. Nada skeptis masyarakat yang menyatakan bahwa desentralisasi fiskal diikuti dengan masif desentralisasi korupsi adalah ungkapan yang perlu disikapi dengan positif
Hamid Davoodi dan Heng-fu Zou (1998 : 244). Carlos G. Canaleta, Pedro P. Arzoz, Manuel R. Garate dan Roberto E. Orayen (2002, page 5).
1 2
Beberapa hal yang perli ditindaklanjuti dari temuan-temuan empirik tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, pemerintah pusat perlu memikirkan disain desentralisasi fiskal pada sisi penerimaan (revenue side). Disain penerimaan yang selama ini diterapkan adalah pemerintah pusat mengambil hampir seluruh potensi pajak daerah, dan hanya mendistribusikan lewat mekanisme transfer yang relatif menyeragamkan seluruh daerah. Dengan mendesentralisasikan sebagian penerimaan kepada daerah, maka daerah akan menghindari dalam melakukan pungutan-pungutan ‘siluman’ yang sebenarnya sangat merugikan iklim investasi daerah tersebut. Disain ini akan sangat membantu daerah-daerah yang mengandalkan sektor jasa, terutama daerah perkotaan yang sangat minim sumber daya alam.
Daftar Pustaka Canaleta, Carlos G, Pedro P. Arzoz, Manuel R. Garate and Roberto E. Orayen (2002), Decentralization and Regional Economic Disparities, Departamento de Economía, Campus de Arrosadia, Universidad Pública de Navarra, Pamplona, Spain. Davoodi, Hamid and Heng-fu Zou (1998), Fiscal Decentralization and Economic Growth: A Cross–Country Study, Journal of Urban Economics 43-2 pp 244– 257. Erlangga, E. Agustino, 2005, Kinerja Keuangan dan Strategi Pembangunan Kota di Era Otonomi Daerah: Studi Kasus Surabaya, CURES Working Paper nomor 05/01. Luthfi, Ahmad, 2005, Pemanfaatan Kebijakan Desentralisasi Fiskal oleh Pemda untuk Menarik Pajak dan Retribusi Daerah, Makalah Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Nugrahanto, AS., dan Muhyiddin, 2008, Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Regional di Indonesia, Majalah Perencanaan Pembangunan nomor 01/ XIV/2008. Oates, Wallace E. (1999), An Essay on Fiscal Federalism, Journal of Economic Literature Vol 37 No 3 pp1120– 1149. Prud’homme, Remy (1995), The Dangers of Decentralization, The World Bank Research Observer Vol 10 No 2, Washington. Tiebout, Charles M., (1956), A Pure Theory of Local Expenditures, The Journal of Political Economy Vol 64 No 5 pp 416–424. Waluyo, Joko, 2007, Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan di Indonesia, makalah Parallel Session di Wisma Makara UI 12 Desember 2007.
Kedua, mekanisme transfer ke daerah, dalam hal ini DAU, yang hanya memperhitungkan faktor-faktor umum seperti jumlah penduduk sehingga cenderung menyeragamkan kebutuhan semua daerah perlu ditinjau kembali. Mekanisme ini akan terus memperlebar jurang ketimpangan antara daerah yang kaya dan miskin serta tetap memusat di Jawa. Pemerintah pusat dapat menerapkan pengurangan transfer untuk daerah yang kaya dan mengalihkan transfer tersebut ke daerah yang miskin. Ketiga, pengelolaan fiskal daerah yang lebih mencerminkan good governance perlu direvitalisasi. Selama ini inefisiensi anggaran daerah belum menjadi perhatian yang serius, dan fenomena desentralisasi korupsi cenderung diabaikan. Jika pemerintah pusat mulai menerapkan pengeluaran anggaran secara at cost, hal ini perlu juga diterapkan di daerah.
Desentralisasi memang sudah berjalan di Indonesia, namun jika kebijakan itu tidak dikawal dengan baik maka yang terjadi justru kemerosotan di daerah. Kebijakan ini memerlukan komplemen-komplemen kebijakan sebagaimana rekomendasi di atas yang dapat mengoptimalkan pencapaian tujuan dari desentralisasi fiskal. Kalau tidak, desentralisasi fiskal tidak akan memberikan dampak positif sebagaimana tujuan kebijakan ini disusun. •
Muhyiddin adalah Fungsional Perencana Muda pada Direktorat Perencanaan dan Pengembangan Pendanaan Pembangunan, Bappenas. Email: [email protected]
38
Perencanaan Pembangunan
LESSONS FROM THE PAST: POLITICAL FEASIBILITY OF VILLAGE INFRASTRUCTURE PROJECT AGUS MANSHUR
Setting the Scenario
Reviewing the Literature
One of the rural poverty problems in Indonesia is availability of the adequate basic infrastructure especially in the bakcward villages, such as road, bridge, and water supply and sanitation facilities. Economically, the poor condition of road and bridge lead to inaccessibility of rural poor people to the broader market in order to get an appropriate selling price for their commodities. Also, the poor condition of water supply and sanitation facilities lead to a low degree of community health which it tend to be an obstacle for their productivity.
Both in theoretical and practical context, there are acknowledgements that infrastructure development in rural areas has a significant contribution to alleviate rural poverty. Within a better and appropriate infrastructure provision, the rural poor should be better off and will get an opportunity to improve their situation especially their future livelihoods. In the light of economics, Renkow and Hallstrom elaborate both the potential impacts of infrastructure investment and general equilibrium effects in the context of rural poverty alleviation. Renkow and Hallstrom argue that infrastructure investment has several impacts to rural households such as first, “boosting net returns to agricultural production by lowering the transaction costs of market exchange”; second, “increasing agricultural productivity by increasing the availability (and lowering the cost) of input such as fertilizers and chemical”, third, “facilitating spatial integration of product and factor markets, both in the agricultural and non-agricultural sectors”.
Facing these circumstances, Village Infrastructure Project (VIP) was created as an effort in order to improve the existing condition of rural poor people. Also, VIP aimed to reduce the problem of the backwardness in rural areas. Within several project components of VIP, government tried to resolved rural poverty problems especially in Java region. This is because the concentration of poverty in Indonesia is in the Java region in terms of the number of rural poor people.
In terms of community participation and poverty alleviation linkages, it is necessary taking Korten’s observation into account. This is because, VIP was created as part of poverty alleviation program based on centralized planning. Related to community participation in the development program that is created by using centralized or service delivery approaches, Korten observes that there are several limitations to benefiting especially to rural and urban poor that have contributed to the recent interest in participation. These limitations including their limited reach, their inability to sustain necessary local level action, their limited adaptability to local circumstances, and their creation of dependency.
VIP itself was financed by the World Bank and divided into two phases. The first phase was implemented during the fiscal years of 1995/1996 and 1996/1997, and it was targeted to Java region. The second phase implemented during the fiscal years of 1997/1998, 1998/1999 and 1999/2000, and it was targeted to Java, Bali, and Sumatera regions. There are several problems raised from the implementation of VIP. First, problems about the program scenario of VIP in terms of achieving its objective. Second, problem about the contribution of VIP in terms of poverty alleviation program. Third, problem about community participation and capacity building of village community institution during the implementation of VIP. Fourth, problem about the interactions among the stakeholders during the implementation of VIP. The paper aims to analize those problems in order to assess the feasibility and the success of VIP using political and administrative assessment.
39
In terms of poverty alleviation, there is a paradigm shift on international donor agencies to emphasize capacity building and placing it as the key factor of poverty alleviation in developing countries rather than merely providing development aid. In the words of Bie “through building capacity, local organizations can design, manage, and sustain their Edisi 02/Tahun XV/2009
own development – a vital process given the current declining level of aid budgets. Only a continued process of capacity building will individuals and organizations be able to compete and prospect in today’s global economy and society”.
Strong Motivation
Lastly, the role of policy analisis in policy formulation is very strategic. One of the policy analisis methods is political feasibility. Meltsner argue that political feasibility “lead to the mapping of the politics of policy alternatives”. From this point of view, Meltsner suggests the identification of several categories, such as actors, motivation, beliefs, resources, sites, and exchange. Another author like Dror proposes the different variables of political feasibility. Dror suggests the following variables: the main actors, inputs into the policy arena, actor interaction, and critical mass.
In contrast, parliaments have no clear motivation even after political reform. This is because, during Soeharto’s regime they have no adequate capability (and access) to examine the whole government policy. After political reform, they are quite busy on political bargaining with new government and also they spent too much time for managing internal affairs of their own party facing new election. That’s why, poverty alleviation is merely accentuated and framed as “formality” of political discourse in the parliament. The other factor is that poverty is not interesting agenda in terms of discretion and bargaining for “rent seeking”.
In terms of policy, central government has strongest motivation compares to provincial and district government. This is because, central government has “a clear mission” for creating the national policy of poverty allevation. After successful in order to reach high stable economic growth during long term development period, central government still faces the serious problem of poverty, so that there is still need a special effort for accelerating poverty alleviation. Thus, VIP – as part of national poverty alleviation program – is very strategic for achieving objectives in terms of resolving poverty problem in rural areas especially backward villages. After political reform especially during decentralization era, district government has strong motivation in this project. This is because, they facing the lack of development fund especially for alleviating poverty in rural areas.
It is necessary to take an interactive model of implementation into consideration in order to understand the implementation of VIP. This is because, VIP as a policy still needs to be more tested in the field during the implementation stage, especially to understand about response and reaction from the stakeholders whether they support or oppose to this project. In the words of Thomas and Grindle “implementation is part of a process in which a new policy is particularly vulnerable. The effects of the change become more visible as implementation process, and there are likely to be more challenges to the original conception of the reform”.
Assessing the Project
True Believers
Limited Actors
Based on belief criteria, central government argues that one of poverty alleviation problems in rural areas espe-
Based on actor criteria, it can be concluded that government tried to limit the actors of VIP. Several strategic actors like NGOs and scientist not fully involved in the whole process of VIP. During the authoritarian Soeharto’s regime, central government percieved that village community institution (LKMD) as NGOs so that the involvement of “regular” NGOs seemed to rejected by government. This is because normally NGOs at that time were always criticized every government project. Thus, government tried to “isolate” VIP from the intervention of NGOs in order to ensure “the smooth implementation process”. This is relates to Botes and van Rensburg’s observation that still there is a plague in terms of selective participation by government. After political reform, government tried to involve NGOs but still only on creating independent monitoring study. Similarly, government also isolated this project from the intervention of scientists with the similar reason. 40
Perencanaan Pembangunan
people and spending on project management including administrative assistance and facilitation. Meanwhile, provincial and district government have an adequate financial resource from their annual budget spending. This resource allocated for financing coordination team activities in order to facilitate the whole process of VIP. Because of the availability of these adequate budgets, governments are able to create another resource such as coordination team and technical support from the professionals. These resources are very important for maintaning VIP on the right track.
Subsequently, the other resource comes from parliaments. After political reform, there is increasing both legitimacy and expectation of parliaments in order to control, monitor, evaluate and examine the government policy including VIP. This leads to increasing political resource among parliament members. Within this resource local politicians at district level should be effective to enforce “check and balance” mechanism over the project, so that the whole process of VIP will be more transparent, accountable and sustain.
cially backward villages is the lack of basic infrastructure. Following this assumption, central government believes that infrastructure provision for poor people in backward villages should be improving their living condition. Then, this outcome should be contributes to poverty alleviation. Within this belief, central government created VIP as part of the whole scheme for alleviating poverty in backward villages.
Changing Sites
In terms of program scenario, central government through Bappenas argues that the best way to develop basic infrastructure in backward villages is combining “top-down approach” and “bottom-up approach”. This assumption calls for creating hierarchical organization through coordination team at all levels and also requires involving directly poor people especially in the implementation process. The other assumption is that there is still need of capacity building both for poor people and government officials during the implementation of VIP. This assumption calls for the involvement of professionals such as consultants and professional staffs. Within facilitation and management by the professionals, Bappenas believes that at least the implementation process of VIP should be effectively achieving the objectives and at the same time should be efficiently organized.
Initially, VIP is one of development projects from central government in order to accelerate poverty alleviation initiatives. Consequently, this project was created using centralization approach. Central government through national coordination team composed policy guideline, project manual and technical tools kit for implementing VIP. Still, central government replicated coordination team at provincial and district levels. In terms of financial resources, central government through Bappenas had negotiated specific loans package with the World Bank and then allocating additional fund from domestic budget for financing VIP. In terms of technical assistance, Bappenas also deployed a lot of professionals for facilitating and assisting the whole actors of VIP. Within “the rule of the game”, “hierarchical structure”, “abundant budget” and “professionals availability” from central government, it can be concluded that the main decision making of VIP to be taken at central level. In short, the locus of policy formulation during the Soeharto’s regime is at central level. This condition in line with Korten’s observation that normally there is obstacle within the agency in terms of locus of decision making. Thus, government tends to isolate “policy formulation process” only at central level.
Abundant Resource
Because of their strong motivation for alleviating poverty, governments have a lot of resources for organizing and managing VIP. Central government as initiator of VIP has an adequate financial resources both from domestic government budget and the World Bank loans. This resource allocated both for direct allocation of infrastructure provision to poor
41
During the five years implementation of VIP there are a lot of improvements relates to encouraging local and commuEdisi 02/Tahun XV/2009
nity levels directly involved not merely in the implementation phase bul also in planning, monitoring and evaluation. After political reform and decentralization era, there are a lot of changes on project scenario. In this period, central government has devolved some responsibilities to district government and village community. These including presurvey for project preparation, targeting of beneficiary villages, local monitoring and evaluation mechanism. From this point of view, the locus of policy formulation now is not only at central level but also at local level. Regarding to the decentralization era this tendency leads to shifting the locus of decision making process from central to local level. These challenges for reviewing the whole scenario of VIP within encouraging decentralization approach by local level not solely as devolution from central level.
variables show that VIP was organized properly by governments and supported adequately by donor agency and also assisted and facilitated effectively by the professionals. On the other hand, the beneficiaries of VIP such as community institution and poor people not only accepting this project but also directly involved and benefited by the whole process of VIP. It is interesting to underline that there is no significant intervention from parliaments even after political reform. Recently, the proportional involvement of parliaments and the other element of civil society is a challenge for rural infrastructure project like VIP.
From the implementation of VIP, there are several lessons learned can be derived as follows: a) well-defined, well-designed, well-organized and well-financed proverty alleviation project is the key success of rural infrastructure project; b) adaptive scenario of rural infrastructure project in order to absorb the changing situations is the key factor of project sustainability; c) more involving civil society elements such as NGOs and scientist are precondition for enhancing wider transparency and accountability of rural infrastructrure project; d) more involving women and incorporating their role in the whole process of rural infrastructure project is the precondition for reducing gender bias.
Exchange: Consensus and Conflict
In terms of exchange, it is important to identify the possible areas of policy consensus and conflict regarding the implementation of VIP. Before political reform and decentralization era, policy consensus and conflict mainly occurs at central level where the main decision making to be taken. In the early phase of VIP especially in terms of policy formulation there are a lot of consensus among government institutions through national coordination team. Bappenas takes a lead for formulating the concept of VIP and coordinating several ministries towards creating national coordination team of VIP. During this process, there is a lot of conflict of interest especially with Ministry of Public Work. This is because, previously Ministry of Public Work perceived that infrastructure project as sectoral project so that it is necessary taking technical matter into consideration as focus of this project. Meanwhile, Bappenas argues that beside technical judgement there is also necessary taking empowerment of local actors into consideration. Subsequently, Bappenas also convincing Ministry of Public Work that VIP is beyond infrastructure project as usual. Rather, VIP as part of strategic project on poverty alleviation program. That’s why, it needs new and comprehensive approaches for formulating this project.
Like an aphorism “there is no perfect thing in the world” VIP still has several weaknesses especially in terms of changing situations and new environments. Again, like an Chinese aphorism “let start to light a candle rather than condemn the darkness” it is better to provide the future directions of VIP rather than to condemn VIP itself. This is because, it is important to acknowledge that VIP was created under an authoritarian regime and centralized planning approach, and then step by step there are a lot of improvements on project scenario in order to satisfy both internal and external needs. From this point of view, the author will suggest recomendation especially on creating new project scenario for rural infrastructure project like VIP. Based on new scenario, the role of provincial government is providing regional framework for supporting the further development of district level itself and also enabling interconnection among districts into wider regional development scheme. Provincial government plays its role as facilitator and mediator among district governments in terms of resolving the problem of interdistrict development (see picture 1). •
After political reform and decentralization era, there is increasing potential conflict at district level within the increasing role and bargaining power of parliaments. Within involving them into district coordination team there is a significant consensus to streamline the whole process of VIP at district level. Again, the role of consultants and district coordination team is very strategic to convince parliament members so that they are fully supporting this project. If this effor failed, maybe we must agree with Korten’s observation that within the society there is obstacle namely politics.
Agus Manshur is a staff Directorate of Urban and Rural Areas of National Development Planning Agency (Bappenas)
Putting the Whole Story Together
Based on political assessment, it can be concluded that VIP proved to be relatively feasible. This is because the overall
42
Perencanaan Pembangunan
Central Government
Provincial Government
Stable and Prudential Macro Economic Policy
National Framework of Rural Infrastucture Program
Regional Framework of Rural Infrastucture Program
Supportive Regional Economic Policy
Enabling Environment
Input for Project Formulation
Input for Project Formulation
Enabling Environment
District Government
Programing, Budgeting and Administration
Participatory Poverty Assessment
Project Implementation by Village Community
Village Community Needs
Output
Outcome
Project Formulation
Impact
Picture 1. New Project Scenario
Developing Countries. Harvard Institute for International Development, Harvard University. Korten, Frances F. 1983. “Community Participation: A Management Perspective on Obstacles and Options”. Bureaucracy and the Poor: Closing the Gap edited by D.C. Korten and F.B. Alonso. West Hartford, Connecticut: Kumarian Press. Meltsner, Arnold J. 1972. “Political Feasibility and Policy Analysis”. Public Administration Review. No. 6. November/December. Renkow, Mitch and Daniel G. Hallstrom. 2002. Infrastructure Investment, Transactions Costs, and Rural Poverty Alleviation. In http://www.ag-econ.ncsu.edu Thomas, J.W. and Merilee S. Grindle. 1990. “After the Decision: Implementing Policy Reforms in Developing Countries”. World Development. Vol. 18, No. 8.
Bibliography Bie, Stein W. 2001. “Foreword”. Douglas Horton (ed). Learning about Capacity Development through Evaluation: Perspectives and Observations from a Collaborative Network of National and International Organizations and Donor Agencies. The Hague: International Science for National Agricultural Research. Botes, Lucius and Dingie van Rensburg. 2000. “Community Participation in Development: Nine Plagues and Twelve Commandements”. Community Development Journal. Vol. 35. Oxford University Press. Dror, Yehezkel. 1971. “Prediction of Political Feasibility”. Ventures in Policy Sciences. New York: American Elsevier Publishing Company. Hilderbrand, Mary E. And Merilee S. Grindle. 1997. “Building Sustainable Capacity in the Public Sector: What Can Be Done?”. Merilee S. Grindle (ed). Getting Good Government: Capacity Building in the Public Sectors of 43
Edisi 02/Tahun XV/2009
PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT DI PULAU-PULAU KECIL IKHWANUDDIN MAWARDI
I. pendahuluan Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, yang terdiri dari 17.504 pulau dan garis pantai sepanjang 81.290 km serta wilayah laut teritorial seluas 5,1 juta km2 (63 % dari total wilayah teritorial Indonesia), ditambah dengan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km persegi, sesungguhnya Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam pesisir dan lautan yang sangat besar dan beraneka-ragam. Dari sekian banyak pulau-pulau tersebut, sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil yang jumlahnya lebih dari 10.000, dimana ± 5000 pulau diantaranya merupakan pulau kecil berpenghuni. 44
Perencanaan Pembangunan
accepted), secara ekologis tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmentally friendly), serta dikembangkan sesuai dengan karakteristik dan fungsi yang dimilikinya.
Salah satu aspek pengelolaan pulau-pulau kecil yang memperoleh prioritas penanganan oleh pemerintah adalah permasalahan kesehatan, baik kesehatan masyarakat maupun kesehatan lingkungan. Hal ini merupakan persoalan yang sangat mendasar karena terkait erat dengan kualitas sumber daya manusia sebagai penggerak utama roda pembangunan di pulau-pulau kecil. Pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau kecil akan sulit untuk dilaksanakan jika masyarakat yang tinggal di dalamnya tidak sejahtera secara fisik, mental maupun sosial.
Terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan suatu pulau kecil: yaitu (1) batasan fisik (luas pulau); (2) batasan ekologis (proporsi species endemik dan terisolasi), dan (3) keunikan budaya.
Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional mengacu kepada Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 67/2002, yaitu pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping kriteria utama tersebut, terdapat beberapa karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, antara lain secara ekologis terpisah dan terpencil dari habitat pulau induknya (mainland island) serta memiliki batas fisik yang jelas; mempunyai sejumlah
Jika mengacu kepada definisi WHO, definisi ”sehat” adalah a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmit (WHO, 1946). Selanjutnya, merujuk kepada Visi Indonesia Sehat Tahun 2010, keberhasilan pembangunan kesehatan ditandai oleh lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa. Perilaku masyarakat yang yang diharapkan adalah yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Kemudian kemampuan masyarakat yang diharapkan pada masa depan adalah yang mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu tanpa adanya hambatan, baik yang bersifat ekonomi, maupun non ekonomi (Departemen Kesehatan, 2003).
Dari definisi dan visi diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan kesehatan masyarakat di pulau-pulau kecil meliputi spektrum yang sangat luas serta kompleks sehingga penanganannya memerlukan tanggung jawab bersama dari seluruh pihak. Definisi diatas juga menyiratkan bahwa pembangunan pulau-pulau kecil di bidang kesehatan masyarakat tidak terlepas dari pembangunan di bidang-bidang lainnya secara terpadu, seperti ekonomi, sosial budaya, lingkungan, infrastruktur, maupun kelembagaan dimana satu sama lainnya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kebijakan dan Strategi Nasional (Jaktranas) Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil merupakan suatu landasan yang terpadu dalam berbagai aspek yang berfungsi sebagai pedoman nasional dalam pengelolaan dan pengembangan pulau-pulau kecil. Jakstranas ditujukan bagi para stakeholders dalam pengelolaan pulau-pulau kecil (pemerintah, masyarakat, dan swasta/dunia usaha) untuk kepentingan penyusunan rencana strategis, rencana tata ruang dan zona, rencana pengelolaan, rencana aksi dan rencana bisnis.
Adanya pedoman ini sangat penting agar pengelolaan pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia dapat memenuhi prinsip-prinsip pengembangan wilayah yang berkeadilan, yaitu efisien dan optimal secara ekonomi (economically sound), berkeadilan dan dapat diterima secara sosial-budaya (socio-culturally just and
www.kabarindonesia.com
45
Edisi 02/Tahun XV/2009
Permasalahan yang dihadapi
besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) yang relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut; serta memiliki kondisi ekonomi dan budaya masyarakat yang khas dibandingkan dengan pulau induknya.
Pengelolaan pulau-pulau kecil masih menghadapi berbagai permasalahan yang perlu ditangani secara komprehensif oleh pemerintah, antara lain :
(1) Terjadinya pencemaran di sekitar perairan pulau-pulau kecil akibat meningkatnya pembuangan limbah padat dan cair yang berimplikasi buruk terhadap kesehatan masyarakat;
Pulau kecil memiliki karakteristik biofisik yang menonjol, yaitu: (1) tangkapan air yang terbatas dan cadangan air tawar yang terbatas; (2) peka dan rentan terhadap berbagai tekanan eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, (3) mempunyai sejumlah besar jenis-jenis (organisme) endemik dan keanekara-gaman yang tipikal dan bernilai tinggi. II.
(2) Belum terkoordinasinya bank data (database) pulaupulau kecil yang berisi nama, luas, potensi, karakteristik, kondisi masyarakat, peluang usaha, permasalahan dan lain lain;
(3) Sebagian besar pulau-pulau kecil merupakan kawasan tertinggal yang tidak berpenghuni, atau merupakan wilayah jarang penduduk dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah ;
Potensi dan Nilai Strategis Pulau-Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil pada umumnya memiliki potensi sumberdaya alam daratan yang terbatas, tetapi sebaliknya memiliki potensi sumberdaya kelautan yang cukup besar. Potensi perikanan di pulau-pulau kecil yang sangat besar didukung oleh adanya ekosistem sumberdaya hayati seperti terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Selain itu terdapat sumber daya non hayati berupa berbagai jenis logam dan mineral. Namun demikian perlu diakui hingga saat ini pengelolaannya belum dilakukan secara optimal karena masih menghadapi berbagai kendala dan permasalahan.
(4) Terbatasnya sarana dan prasarana perhubungan laut yang dapat menghubungkan dengan pulau induk (mainland) dan antara pulau-pulau kecil; (5) Beberapa pulau kecil telah menjadi sengketa antar propinsi dan kabupaten/kota;
(6) Belum jelasnya kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan antara Pemerintah dan Pemerintah Propinsi/ Kabupaten/ Kota ;
Karena potensinya yang sangat besar dan posisi sebagian kecil pulau-pulau di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil memiliki nilai strategis baik dari sisi ekonomi, pertahanan dan keamanan, maupun ekologi. Nilai strategis yang dimiliki pulau-pulau kecil antara lain :
(7) Sebagian pulau-pulau kecil terluar yang memiliki fungsi strategis karena berkaitan dengan batas antar negara terancam hilang karena penambangan pasir yang tak terkendali; (8) Pulau-pulau kecil berpotensi menjadi tempat kegiatan yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional;
1. Dari segi ekonomi, pulau-pulau kecil memiliki peluang yang sangat besar bagi pengembangan resource based industry. Di samping itu, pulau-pulau kecil juga dapat dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai pendukung pertumbuhan wilayah.
(9) Masih terbatasnya sistem pemantauan, patroli dan pengawasan (Monitoring, Controling dan Surveillance/ MCS) di pulau-pulau kecil.
2. Dari segi pertahanan dan keamanan, pulau-pulau kecil terutama di perbatasan memiliki arti penting sebagai pintu gerbang keluar masuknya aliran barang dan orang. Selain itu terdapat 92 buah pulau kecil di wilayah perbatasan dengan negara tetangga sebagai halaman depan wilayah NKRI untuk menjaga keutuihan wilayah negara.
III. Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau kecil Visi pengelolaan pulau-pulau kecil adalah “Terwujudnya Pemanfaatan dan Pelestarian Pulau-pulau Kecil bagi Kesejahteraan, Keamanan Masyarakat dan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”. Untuk mewujudkan visi tersebut, maka misi yang perlu dilakukan adalah
3. Dari segi ekologi, ekosistem pesisir dan laut pulau-pulau kecil berfungsi sebagai pengatur iklim global, siklus hidrologi dan bio-geokimia, penyerap limbah, sumber plasma nutfah, sumber energi alternatif, dan sistem penunjang kehidupan lainnya.
(1) Mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, keamanan nasional dan ketahanan bangsa terutama di wilayah pulau-pulau kecil perbatasan antar negara;
46
(2) Meningkatkan kesejahteraan dan peran serta Perencanaan Pembangunan
nustaffsite.gunadarma.ac.id/blog/raziq_hasan
masyarakat setempat dan dunia usaha untuk mengurangi disparitas sosial ekonomi dan persebaran penduduk antar pulau;
pada pulau-pulau kecil prioritas;
(3) Terselesaikannya penetapan status dan pengukuran ulang Titik Dasar (TD) pada pulau-pulau kecil tertentu di wilayah perbatasan;
(3) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayah pulaupulau kecil melalui pemberdayaan masyarakat dan berkembangnya investasi swasta yang dibarengi dengan upaya pelestarian dan perlindungan lingkungan;
(4) Meningkatnya peranserta dan akses masyarakat dan swasta/dunia usaha dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.
(4) Meningkatkan nilai tambah dan dampak ganda (multiplier effect) dari setiap proses pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil terutama dalam menghadapi era perdagangan bebas dengan akulturasi budaya dan penguasaan teknologi;
Sedangkan sasaran jangka panjang dalam pengelolaan pulau-pulau kecil meliputi:
(1) Terselesaikannya penamaan pulau-pulau kecil (toponimi pulau);
(5) Meningkatkan kapasitas kelembagaan dan Sumber Daya Manusia (SDM) di pusat dan daerah dalam rangka pengelolaan pulau-pulau kecil;
(2) Terlaksananya pengelolaan pulau-pulau kecil secara terpadu dan berbasis daya dukung lingkungan ;
(6) Mempertahankan fungsi konservasi pada pulau-pulau kecil yang memiliki karakteristik unik (unique);
(3) Terwujudnya status dan kepastian batas wilayah administratif dan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan antar negara;
(7) Menyediakan perangkat hukum yang memadai bagi upaya pengelolaan pulau-pulau kecil disertai upaya penegakannya.
(4) Tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa memiliki di kalangan masyarakat terutama di pulau-pulau kecil perbatasan antarnegara terhadap eksistensi NKRI;
Sasaran dari Jakstranas Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil meliputi sasaran jangka pendek yang diharapkan dapat dicapai pada akhir tahun 2005 serta sasaran jangka panjang yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2010.
(5) Meningkatnya pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat pulau-pulau kecil; (6) Terwujudnya peningkatan kualitas SDM, teknologi dan iklim investasi dalam pengelolaan pulau-pulau kecil;
Sasaran jangka pendek dalam pengelolaan pulau-pulau kecil meliputi:
(7) Terwujudnya penataan dan pentaatan hukum serta aturan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil.
(1) Terciptanya koordinasi program dan kegiatan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil prioritas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
(2) Tersusunnya profil, data base dan rencana pengelolaan
47
Untuk mengatasi permasalahan di atas, serta dengan mempertimbangkan peran ekonomis dan fungsi ekologis serta potensi sumberdaya pulau-pulau kecil, maka diperlukan keEdisi 02/Tahun XV/2009
bijakan yang tepat dan meliputi seluruh aspek, antara lain :
kecil yaitu: (1) kawasan pengembangan ekonomi; (2) kawasan perbatasan; (3) kawasan rawan bencana; dan (4) kawasan konservasi.
(1) Meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil di perbatasan untuk menjaga integritas NKRI;
(2) Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil secara terpadu, optimal dan lestari untuk kesejahteraan masyarakat berbasis pelestarian dan perlindungan lingkungan;
1.
Pengembangan potensi ekonomi pulau-pulau kecil diarahkan pada pengembangan keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dari sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dimiliki oleh pulau tersebut.
(3) Meningkatkan pengembangan ekonomi wilayah berbasiskan pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan kemampuan SDM, teknologi dan iklim investasi yang kondusif; (4) Meningkatkan sinkronisasi peraturan perundangan dan penegakan hukum.
Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di kawasan ini adalah di bidang pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, kepariwisataan, industri dan perdagangan, perhubungan dan telekomunikasi, serta energi dan sumberdaya mineral.
Mengacu pada kebijakan yang telah ditetapkan, maka strategi umum yang dilakukan dalam pengelolaan pulaupulau kecil adalah :
Strategi dalam pengelolaan kawasan pengembangan ekonomi meliputi :
(1) Mewujudkan keterpaduan dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam dan kelembagaan;
(1) Pengembangan potensi pertanian, peternakan dan perikanan ; (2) Pengelolaan potensi kehutanan berwawasan lingkungan; (3) Pengelolaan potensi pariwisata; (4) Pengembangan industri dan perdagangan; (5) Perhubungan dan telekomunikasi; (6) Pengelolaan energi dan sumberdaya mineral (ESDM).
(2) Melaksanakan penataan dan penguatan kelembagaan Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta/dunia usaha; (3) Melakukan penyusunan basis data (database) dan penataan ruang (laut, pesisir dan pulau-pulau kecil);
2.
(4) Melakukan pengembangan dan penataan sarana dan prasarana dengan memperhatikan daya dukung lingkungan;
Strategi Khusus sebagai Kawasan Perbatasan
Pengelolaan pulau-pulau kecil di kawasan perbatasan terutama pulau-pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dilakukan dalam rangka menjaga keutuhan NKRI, menjaga pertahanan dan keamanan negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan mengembangkan peluang usaha melalui kerjasama bilateral dan mengurangi disparitas pengelolaan antar wilayah. Pulau-pulau kecil di kawasan ini rawan terhadap ancaman ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya.
(5) Menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil berbasis masyarakat dan sumberdaya lokal dengan memperhatikan hukum adat/ kearifan lokal;
(6) Melaksanakan pembinaan wilayah dan peningkatan kualitas SDM untuk kepentingan pertahanan negara secara terpadu dan terus menerus;
(7) Meningkatkan partisipasi dan akses masyarakat terhadap informasi, modal, pemasaran dan teknologi;
Strategi dalam pengelolaan kawasan perbatasan meliputi:
(8) Mewujudkan peluang dan iklim usaha yang kondusif bagi investasi;
(1) Meningkatkan pengawasan dan pengamanan pulaupulau kecil secara berkelanjutan; (2) Meningkatkan kerjasama bilateral di bidang pengelolaan sumberdaya alam (SDA); (3) Mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat lokal.
(9) Melaksanakan inventarisasi, kajian, pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi; (10) Menyediakan perangkat hukum yang memadai dan melakukan penegakan hukum dengan memperhatikan hukum adat dan hak ulayat;
Selanjutnya, sebagai penjabaran dari kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil pada beberapa kawasan tertentu maka dilaksanakan strategi khusus yang bervariasi berdasarkan pada tipologi, pembentukan dan pengelolaan pulau-pulau
Strategi Khusus sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi
3.
48
Strategi khusus sebagai Kawasan Rawan Bencana
Secara alami pulau-pulau kecil yang berada di tengah lautan atau samudera rentan terhadap bencana alam, seperti badai, tsunami, dan gunung meletus, sehingga diperlukan Perencanaan Pembangunan
pembinaan, pengawasan dan penanggulangan.
Derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor, antara lain faktor pelayanan kesehatan, perilaku masyarakat, lingkungan, dan faktor keturunan. Faktor pelayanan kesehatan, lingkungan dan perilaku merupakan faktor yang seringkali sangat mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat di pulau-pulau kecil.
Strategi di bidang penanganan kawasan rawan bencana alam meliputi :
(1) Identifikasi potensi bencana pada pulau-pulau kecil; (2) Peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap bencana; (3) Kesiapan kondisi tanggap darurat; (4) Pemanfaatan teknologi peringatan dini dan mitigasi bencana; (5) Meningkatkan upaya rehabilitasi ekosistem. 4.
Dari segi pelayanan kesehatan, upaya yang dilakukan oleh pemerintah saat ini perlu diakui belum terselenggara secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan baik yang bersifat peningkatan (promotif) maupun pencegahan (preventif). Saat ini di seluruh wilayah Indonesia terdapat 1.215 rumah sakit, 7.237 puskesmas, 21.267 puskesmas pembantu, dan 6.392 puskesmas keliling. Namun jumlah sarana dan prasarana kesehatan yang ada tersebut masih belum memadai jika dibandingkan dengan jumlah penduduk secara keseluruhan. Selain itu pemerataan dan keterjangkauan masyarakat terhadap sarana dan prasarana yang ada masih sulit dicapai.
Strategi khusus sebagai Kawasan Konservasi
Kawasan konservasi terdiri dari Kawasan Suaka Alam (KSA) yang terdiri dari Cagar Alam dan Suaka Margasatwa, dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang terdiri dari Taman Nasional dan Taman Wisata Alam sesuai dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pulau-pulau kecil termasuk wilayah yang belum mampu dijangkau sepenuhnya oleh pelayanan kesehatan. Pulaupulau kecil yang seagaian besar karakteristik wilayahnya sebagian besar merupakan wilayah tertinggal dan terisolir, serta merupakan daerah yang rawan bencana tidak memiliki fasilitas pelayanan kesehatan paripurna seperti halnya di wilayah lain. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
Strategi di bidang pengelolaan kawasan konservasi meliputi :
(1) Identifikasi dan reidentifikasi potensi keanekaragaman hayati sebagai kawasan konservasi; (2) Memantapkan kawasan konservasi melalui regulasi;
(1) Kebijakan pemerintah dimasa lalu belum memprioritaskan pembangunan di pulau-pulau kecil;
(3) Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya dalam pengelolaan kawasan konservasi;
(2) Tidak efisiennya penyediaan sarana dan prasarana kesehatan di pulau-pulau kecil karena jumlah penduduk yang sedikit dan terpencar, sehingga membutuhkan biaya yang besar;
(4) Mengembangkan pengelolaan kolaboratif bersama pemangku kepentingan, sesuai kewenangan masingmasing;
(3) Kondisi geografis pulau-pulau kecil yang sulit dijangkau dari wilayah disekitarnya menyebabkan logistik medis sulit disalurkan secara kontinu.
(5) Meningkatkan upaya pengawasan dan penegakan hukum.
Dari segi perilaku masyarakat, masyarakat di pulau kecil
IV. pentingnya Peningkatan Pelayanan Kesehatan Di Pulau-Pulau Kecil Kesehatan merupakan hak dasar dan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas Sumber Daya Manusia masyarakat di pulau-pulau kecil. Selain itu, di masa yang akan datang masyarakat akan menghadapi tantangan yang semakin berat di berbagai bidang. Oleh karena itu peningkatan derajat kesehatan masyarakat hingga taraf yang optimal merupakan hal yang sangat penting dan mendesak untuk dilakukan agar masyarakat di pulau-pulau kecil mampu berdiri sejajar dengan masyarakat di berbagai wilayah lainnya, Hal ini sejalan dengan UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dimana pada pasal 3 menyebutkan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.
www.polnep.ac.id
49
Edisi 02/Tahun XV/2009
setempat difungsikan seagai feeder, pusat penyaluran pasien, follow up, dan informasi. Secara konseptual program ini memenuhi syarat sebagai pelayanan kesehatan yang paripurna di pulau-pulau kecil. Namun untuk implementasinya secara teknis, program ini memerlukan evaluasi lebih lanjut, terutama mengenai biaya yang harus dikeluarkan.
belum menerapkan perilaku dan pola hidup sehat. Limbah yang dihasilkan dari aktivitas masyarakat, pertambangan, industri, nelayan yang dibuang ke laut tanpa pengolahan leih lanjut akan menjadi penyebab utama timbulnya berbagai penyakit.
Dari segi kesehatan lingkungan, permukiman penduduk di pulau-pulau kecil pada umumnya belum memiliki sanitasi lingkungan yang baik, belum dilengkapi sarana dan prasarana sosial dasar (air bersih, jamban, dan sebagainya). Selain itu wilayah pulau-pulau kecil dan perairan disekitarnya seringkali dijadikan sebagai lokasi pertambangan berskala besar yang dalam beberapa kasus memiliki dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat setempat.
V. penutup Pengelolaan pulau-pulau kecil membutuhkan kebijakan yang komprehensif, integral dan tepat, sesuai dengan keberadaannya sebagai kawasan yang memiliki permasalahan, potensi dan karakteristik yang khas. Kebijakan tersebut tentunya harus didukung dengan pemahaman yang utuh terhadap konsepsi kebijakan, program, strategi yang sinergis, koordinasi yang efektif dan sistem informasi yang terpadu dari berbagai pihak/pelaku program pengelolaan pulau-pulau kecil.
Upaya peningkatan kesehatan di pulau-pulau kecil memerlukan sinergitas antara ketiga faktor-faktor tersebut, karena jika salah satu faktor sudah dilakukan maksimal namun faktor lainnya belum berkembang dengan baik maka peningkatan derajat kesehatan masyarakat sulit untuk tercapai. Oleh karena itu pembangunan kesehatan di pulaupulau kecil harus dilakukan secara proaktif dalam rangka memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatan masyarakat, dalam rangka peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia Produktivitas masyarakat.
Untuk merespon persoalan dan kebutuhan tersebut, diperlukan upaya peningkatan kapasitas (capacity building) berbagai pihak yang terkait dengan program pengelolaan pulau-pulau kecil.
Melihat berbagai permasalahan tersebut, maka peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat di pulau-pulau kecil dapat dilakukan melalui beberapa upaya antara lain :
(1) Peningkatan sarana dan prasarana transportasi di dalam/menuju pulau-pulau kecil.
Jakstranas pengelolaan pulau-pulau kecil diharapkan dapat lebih mengarahkan dan mengoptimalkan pembangunan dan pengelolaan pulau-pulau kecil untuk tujuan pertahanan keamanan, pengembangan ekonomi dan konservasi lingkungan. •
(3) Peningkatan kesadaran masyarakat terhadap terhadap kesehatan individu, keluarga, dan lingkungan di sekitarnya.
Ikhwanuddin Mawardi adalah Staf Ahli Menneg PPN/Bappenas Bidang Regional dan SDA
(2) Peningkatan sarana dan prasarana sosial dasar di pulau-pulau kecil.
(4) Pemerataan sarana dan prasarana kesehatan yang terjangkau di Pulau-Pulau Kecil.
Daftar Pustaka
(5) Inovasi layanan kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan yang lebih efisien bagi masyarakat di pulau-pulau kecil, misalnya pelayanan kesehatan keliling.
Salah satu inovasi program layanan kesehatan yang diusulkan beberapa waktu lalu oleh Departemen kesehatan untuk memecahkan permasalahan kesehatan di Pulau-Pulau Kecil adalah melalui penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan berupa Kapal Rumah Sakit Terapung yang fasilitas-fasilitasnya setara dengan Rumah Sakit Kelas B. Fasilitas ini bersifat multifungsi untuk melayani kesehatan masyarakat di pulau-pulau kecil sekaligus untuk melakukan monitoring kesehatan serta evakuasi dan penanggulangan bencana. Adanya fasilitas ini melibatkan pula fasilitas-fasilitas kesehatan di darat yang telah ada, dimana fasilitas kesehatan
50
Departemen Kesehatan RI, Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kab/Kota Sehat, 2003 Ditjen Pemberdayaan Pulau Pulau Kecil DKP dan Kelompok Kerja Strategi Pengembangan Pulau-Pulau Kecil Bappenas, Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil, 2003. Idris, Fachmi. Semangat Kebangkitan Nasional adalah Semangat Dokter Indonesia Membangun Kehormatan dan Ketahanan Bangsa (Upaya Merevitalisasi Peran Dokter Indonesia sebagai Sosok ProfesionalCendekia), Orasi Ilmiah Hari Ulang Tahun Ikatan Dokter Indonesia ke-59, 24 Oktober 2007. Perencanaan Pembangunan
PEMBENTUKAN PUSAT KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA EKO WIJI PURWANTO
I.
LATAR BELAKANG
kan kebutuhan investasi infrastruktur pada periode 20042009 sebesar US$65 milyar. Pemerintah hanya mampu menyediakan sebesar US$25 milyar (38%); US$14 milyar (22%) diharapkan didanai perbankan dan lembaga jasa keuangan nasional; US$10 milyar (15%) berasal dari donor multilateral dan bilateral; sementara sisanya sebesar U$16 milyar (25%) diharapkan diperoleh dari investor swasta, asing dan domestik.3
Dalam periode awal 1990-an total investasi dari pemerintah dan swasta di sektor infrastruktur berkisar 5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dampak dari krisis keuangan di Asia pada tahun 1997 menyebabkan berkurangnya pengeluaran pemerintah, termasuk di dalamnya belanja infrastruktur. Sementara pada tahun 1998, investasi sektor swasta pada bidang infrastruktur berkurang drastis.1
ratesm
edia.c
om
Pemerintah memperkira-
thesoc
Pada saat bersamaan, Pemerintah Indonesia menyadari beban resiko yang ditanggung oleh sektor publik dalam pembangunan infrastruktur dan berinisiatif mengurangi beban tersebut. Hal ini berdampak pada rendahnya kinerja penyediaan infrastruktur nasional. Saat ini dengan total investasi infrastruktur hanya 2 persen dari PDB, hampir 50 juta orang (atau lebih dari 20 persen penduduk) tidak memiliki akses terhadap air bersih, 90 juta orang belum menikmati listrik, dan sekitar 200 juta orang tidak memiliki saluran telepon tetap atau fasilitas pengolahan limbah.2
Pemerintah melakukan reformasi kebijakan, peraturan, struktural, dan kelembagaan untuk memperbaiki iklim investasi yang kurang memadai. Pada Bulan Januari 2005 dalam Indonesia Infrastructure Summit, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmennya untuk mendorong partipasi swasta dalam kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) di bidang infrastruktur dan mengumumkan 91 proyek infrastruktur potensial yang dapat dikerjasamakan dengan investor swasta. Pasca pelaksanaan Infrastructure Summit, Pemerintah mulai menyiapkan aturan yang mendorong penguatan kerangka regulasi dan kelembagaan terkait dengan partisipasi swasta dalam KPS infrastruktur. Perpres No. 67/2005 diter-
51
Edisi 02/Tahun XV/2009
bitkan sebagai salah satu bentuk komitmen tersebut, selain itu Pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk merevisi beberapa kebijakan dan peraturan perundangan agar lebih menarik partisipasi swasta.
gunan tersebut tidak saja membutuhkan peran pemerintah tetapi juga partisipasi masyarakat (swasta). Keterbatasan pendanaan pemerintah dalam mendukung investasi bidang infrastruktur mendorong adanya kebutuhan untuk mengelola potensi partisipasi swasta secara lebih serius.
Seiring dengan membaiknya perekonomian nasional Pemerintah mulai melakukan reformasi untuk mengakomodasi kebutuhan investor. Pada bulan Februari 2006 Pemerintah meluncurkan Paket Kebijakan Infrastruktur yang menegaskan agenda reformasi jangka pendek dalam berbagai sektor infrastruktur. Dalam Indonesia Infrastructure Conference and Exhibition Bulan November 2006 (IICE 2006), komitmen Pemerintah untuk mempercepat penyediaan infrastruktur disertai dengan reformasi sektor infrastruktur terkait ditegaskan kembali melalui hadirnya kebijakan kerangka hukum, regulasi dan kelembagaan untuk KPS. Pemerintah juga menyadari pentingnya keberhasilan implementasi KPS, melalui proses tender dan pembiayaan terhadap proyek KPS yang telah disiapkan, untuk menunjukkan bahwa iklim investasi yang ada telah memadai bagi para investor dan selaras dengan standar internasional. Untuk itu Pemerintah melalui Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) telah memilih 10 proyek infrastruktur sebagai proyek model.
Selayaknya potensi partisipasi swasta dalam setiap sektor pembangunan dapat dikembangkan sebagai sumberdaya untuk mengimplementasikan rencana pembangunan yang telah disusun Pemerintah. Namun saat ini ditengah keterbatasan Pemerintah dan kondisi infrastruktur nasional yang buruk maka Pemerintah fokus pada pengembangan KPS dalam bidang infrastruktur. Sejalan dengan proses pengembangan KPS bidang infrastruktur maka pengembangan KPS di sektor/bidang yang lain juga perlu didukung, sebagai upaya menjalankan amanat UU 25/2004 bahwa sistem perencanaan pembangunan nasional bertujuan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat (Bab. II, Pasal 2 Ayat 4).
Penyusunan PPP book yang berisi daftar Proyek Pemerintah yang siap untuk dikerjasamakan dengan pihak swasta adalah salah satu upaya Pemerintah untuk menarik dukungan pihak swasta dalam pembangunan infrastruktur nasional. Untuk mendukung optimalisasi partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur, rencana penyiapan proyek pemerintah yang dikerjasamakan oleh swasta harus terintegrasi dengan rencana pembangunan yang telah disiapkan pemerintah, baik dalam jangka panjang maupun jangka menengah untuk kemudian dapat diimplementasikan dalam rencana kerja kementerian/lembaga dan satuan kerja perangkat daerah.
Pemerintah juga telah meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi 2008-2009 dalam Inpres 5/2008 di Bulan Mei 2008 sebagai kelanjutan dari berbagai kebijakan sebelumnya (Inpres 3/2006 dan Inpres 6/2007). Paket kebijakan tersebut berupaya untuk mengatasi permasalahan yang menghambat investasi di sektor infrastruktur, termasuk persoalan yang terkait dengan partisipasi sektor swasta. Elemen penting dari paket kebijakan tersebut adalah kerangka kerja bagi KPS, termasuk di dalamnya mekanisme penyiapan proyek, proses tender yang transparan dan akuntabel, alokasi resiko antara investor dan Pemerintah serta transaksi KPS yang spesifik. Dalam rangka menciptakan mekanisme penyiapan proyek yang lebih terintegrasi dan transparan, Inpres 5/2008 juga mengamanatkan agar PPP Book dapat disusun dan diterbitkan.
Dalam perspektif tersebut dibutuhkan adanya sebuah unit kerja yang dapat menjalankan fungsi sebagai berikut: 1. pengembangan kebijakan KPS, termasuk didalamnya pengembangan metode, prosedur implementasi, kontrak dan standar pengadaan;
2. evaluasi dan koordinasi implementasi proyek KPS yang meliputi koordinasi dengan simpul KPS dan instansi pemberi kontrak, evaluasi kesiapan proyek, prioritasisasi proyek, kaji-ulang evaluasi yang dilakukan simpul KPS, kaji-ulang permohonan dukungan pemerintah, dan koordinasi dengan unit pengelola resiko Departemen Keuangan terkait dengan kesiapan dukungan pemerintah;
II. PERMASALAHAN Implementasi reformasi kebijakan infrastruktur menghadapi permasalahan lemahnya koordinasi antarkementerian teknis terkait dan adanya kompetisi dan konflik kepentingan dari para pemangku kepentingan. Lebih spesifik lagi adalah adanya faktor birokrasi dan ekonomi-politik yang menghambat restrukturisasi kelembagaan infrastruktur dan liberalisasi sektor. Hal tersebut menyebabkan implementasi Pemerintah dalam KPS sesuai kerangka legal dan regulasi terhambat. Dalam UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas menyusun rencana pembangunan nasional jangka panjang, jangka menengah dan rencana kerja pemerintah. Implementasi rencana pemban-
3. pengembangan kelembagaan KPS melalui pengembangan kapasitas, pendidikan dan pelatihan, untuk mendukung pengembangan simpul KPS; pengembangan database proyek KPS dan diseminasi informasi KPS;
4. operasionalisasi mekanisme dan fasilitasi pembiayaan dukungan teknis bagi simpul KPS dan instansi pemberi kontrak. 52
Perencanaan Pembangunan
III. PEMBENTUKAN PUSAT KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA BIDANG INFRASTRUKTUR Berdasarkan penelaahan terhadap berbagai regulasi yang ada saat ini, perlunya peran pusat kerjasama pemerintah dan swasta bidang infrastruktur tersebut telah diidentifikasi dalam peraturan perundangan sebagai berikut:
1. Peraturan-peraturan yang mengatur tentang dasar pembentukan Unit Pusat KPS:
a) Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI);
unigov.net
b) Mengevaluasi dan mengkoordinasikan pelaksanaan proyek-proyek KPS, termasuk:
b) Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor Per-01/ M-Ekon/05/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur;
i. Koordinasi dengan Simpul KPS serta Instansi Pemberi Kontrak
ii. Evaluasi kesiapan proyek
iii. Penentuan prioritas proyek
c) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor PER-03/M.Ekon/06/2006 tentang Prosedur dan Kriteria Penyusunan Daftar Prioritas Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha;
iv. Memeriksa ulang evaluasi yang dilakukan oleh Simpul KPS v. Evaluasi permintaan Dukungan Pemerintah Kontinjen
vi. Persiapan kertas kerja (briefing notes) untuk Sekretaris KKPPI untuk menanggapi permintaan Dukungan Pemerintah Kontinjen
d) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor PER-04/M.Ekon/06/2006 tentang Tata Cara Evaluasi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang membutuhkan Dukungan Pemerintah.
vii. Berkoordinasi dengan Unit Manajemen Risiko, Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan (Pusat Pengkajian Resiko Fiskal (PPRF)) yang terkait dengan Dukungan Pemerintah Kontinjen
2. Peraturan yang merumuskan kerangka kerja KPS untuk penyediaan infrastruktur di Indonesia:
c) Mengembangkan kelembagaan KPS melalui peningkatan kemampuan (capacity building), pendidikan, pelatihan dan bantuan teknis terhadap Simpul KPS dan Instansi Pemberi Kontrak, pengembangan database proyek KPS, serta penyebarluasan informasi KPS
a) Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur ; b) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/ PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur.
d) Pengoperasian mekanisme dan fasilitas untuk membiayai bantuan teknis kepada Simpul KPS serta Instansi Pemberi Kontrak
e) Evaluasi kelayakan proposal proyek KPS yang mensyaratkan Dukungan Pemerintah Kontinjen serta rekomendasi kepada KKPPI berdasarkan hasil evaluasi yang dimaksud
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, wewenang dan fungsi Unit Pusat KPS dirumuskan sebagai berikut: a) Mengembangkan kebijakan nasional mengenai KPS, termasuk metode, prosedur serta manual pelaksanaan proyek-proyek KPS, serta standar kontrak dan dokumen pengadaan;
f) Penyiapan Daftar Prioritas Proyek KPS 53
Edisi 02/Tahun XV/2009
IV. PEMBENTUKAN PUSAT KPS BIDANG INFRASTRUKTUR
V.
WEWENANG DAN FUNGSI UNIT PUSAT KPS
Dalam kaitannya dengan telaahan pada bagian sebelumnya, Unit Pusat KPS akan memiliki lima fungsi utama:
Sejauh ini berbagai negara telah mengakomodasi kebijakan pengembangan kerjasama pemerintah dan swasta melalui pembentukan institusi yang mendukung implementasi kebijakan tersebut. Pertimbangan hasil kajian hukum yang mendefinisikan fungsi dan wewenang Unit Pusat KPS serta hasil dari studi komparasi,4 maka Unit Pusat KPS sebaiknya ditempatkan di suatu organisasi dengan sifat-sifat sebagai berikut:
1. Perumusan kebijakan dari segi pengembangan KPS dan perencanaan program KPS, termasuk perumusan Daftar Prioritas Proyek Kerjasama. 2. Evaluasi proposal proyek dari Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah dari segi kelayakan harus dicakup dalam Daftar Prioritas Proyek-proyek Kerjasama, dan kelayakan untuk Dukungan Pemerintah Kontinjen
• Merupakan bagian atau menjadi organisasi dengan wewenang penyusunan kebijakan lintas sektor. Unit Pusat KPS harus diberikan wewenang untuk memformulasikan dan mengusulkan kebijakan KPS, meskipun wewenang untuk menerbitkan kebijakan itu sendiri terletak pada institusi induk yang memiliki wewenang penyusunan kebijakan. Semua unit KPS yang dikaji mendukung formulasi kebijakan KPS meskipun kebijakan itu sendiri diterbitkan oleh otoritas pemerintah yang lain.
3. Penyiapan panduan baku, perangkat, mekanisme dan saran kepada Simpul KPS selama penyiapan, pengadaan dan implementasi proyek 4. Sosialisasi, peningkatan kemampuan (capacity building)dan penyebarluasan KPS 5. Manajemen pendanaan bantuan teknis kepada Simpul KPS
• Memiliki pengalaman dan kemampuan teknis untuk bekerjasama dan melakukan koordinasi lintas sektor. Peran koordinasi serta keahlian teknis akan merupakan komponen kunci bagi Unit KPS karena mungkin akan terlibat pada lebih dari satu sektor dan/atau instansi pemerintah pada saat pengembangan suatu proyek KPS. Contoh: proyek panas bumi Jawa Barat melibatkan empat institusi, yakni PLN, Pemda Jabar, Direktorat Jenderal Pengembangan Listrik dan Energi, Direktorat Jenderal Sumberdaya Mineral, Batubara dan Panas Bumi, serta keahlian teknis di bidang usaha listrik dan teknologi panas bumi.
Secara operasional, Unit Pusat KPS akan menyelenggarakan aktivitas sebagai berikut: • Memperlakukan Instansi Pemberi Kontrak (Contracting Agency) sebagai klien. Instansi Pemberi Kontrak di sini adalah departemen terkait atau pemerintah daerah (Pemda) yang akan menandatangani perjanjian kerjasama dengan badan usaha (mitra swasta) untuk proyek KPS tertentu.
• Memiliki akses terhadap proses formulasi rencana pembangunan nasional jangka-menengah, yang akan menjadi basis perumusan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan APBN. Unit Pusat KPS perlu membuat Daftar Prioritas Proyek Kerjasama. Pasal 7 Permenko 3/2006 menyatakan bahwa salah satu kriteria pada saat evaluasi kelayakan proyek-proyek kerjasama adalah kesesuaian dengan rencana pembangunan jangka-menengah (RPJM). Unit Pusat KPS harus diberikan wewenang atau berada dalam organisasi yang memiliki wewenang untuk mengakses atau mengelola proses perumusan RPJM.
• Bekerjasama dengan Pusat Pengelolaan Resiko Fiskal (PPRF) selaku Unit Manajemen Risiko dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Departemen Keuangan untuk mencapai nilai proyek yang paling maksimal (greater throughput). Unit Pusat KPS akan membantu departemen terkait atau Pemda dalam menyusun proposal proyek yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh PPRF.
• Memberikan masukan teknis kepada KKPPI dalam melakukan kajian atas proposal proyek dan daftar prioritas proyek-proyek KPS. Unit Pusat KPS juga akan mengkaji proyek-proyek yang diusulkan untuk dicakup dalam daftar prioritas serta untuk mengevaluasi permohonan untuk Dukungan Pemerintah Kontinjen berdasarkan PMK 38/2006.
• Harus memiliki pengalaman dan kemampuan untuk mengelola bantuan teknis dari berbagai institusi pemberi pinjaman.
Pertimbangan-pertimbangan ini memberikan pandangan bahwa Unit Pusat KPS sebaiknya berada di Bappenas. Selain itu, peraturan yang ada, yakni Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2005 menyatakan bahwa anggaran KKPPI (di mana Unit Pusat KPS terkait ke sana) berasal dari anggaran Bappenas dari APBN.
VI. KESIMPULAN Pembentukan Pusat KPS bukanlah persoalan yang sederhana. Dibutuhkan kehati-hatian dalam pembentukannya 54
Perencanaan Pembangunan
DAFTAR PUSTAKA
agar tidak membuat kelembagaan dalam KPS Infrastruktur semakin rumit. Langkah yang telah dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini Bappenas, adalah mencoba mentransplantasikan fungsi yang dirumuskan mengenai Pusat KPS pada unit kerja yang memiliki tugas pokok dan fungsi yang paling mendekati, sebelum akhirnya ditetapkan pembentukannya. Kajian terakhir yang dilakukan dengan bantuan konsultan manajemen adalah penempatan fungsi Pusat KPS pada Direktorat Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta Bappenas.5
Bappenas, 2008, Laporan Akhir Desain Organisasi Unit Pusat KPS, Bantuan Teknis Pembentukan Unit Pusat Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Unit Pusat KPS) beserta Jaringannya, Pinjaman IBRD No. 4696-IND. Dikun, Suyono (ed), 2003, Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2005-2009. -------, Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI). -------, Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor Per-01/ M-Ekon/05/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur. -------, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor PER-03/M.Ekon/06/2006 tentang Prosedur dan Kriteria Penyusunan Daftar Prioritas Proyek Infrastruktur Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha. -------, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor PER-04/M.Ekon/06/2006 tentang Tata Cara Evaluasi Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur yang membutuhkan Dukungan Pemerintah. -------, Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. -------, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/ PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur. Kessides, Ioannis N., 2004, Reforming Infrastructure Privatization, Regulation, and Competition, A World Bank Policy Research Report, A copublication of the World Bank and Oxford University Press World Bank, 2004, Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action, A copublication of the World Bank East-Asia Infrastructure Department and Indonesia Country Program Draft RPJM 2010-2014 terkait dengan KPS Infrastruktur.
Tantangan utama dalam fungsionalisasi Pusat KPS pada Direktorat PKPS Bappenas adalah keterbatasan sumberdaya yang memadai untuk mengimplementasikan fungsi tersebut. Sementara di saat yang bersamaan kebutuhan akan adanya lembaga yang mengawal implementasi kebijakan KPS adalah sangat krusial. Fakta menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir implementasi kebijakan belum berjalan sebagaimana mestinya. Seyogyanya fungsionalisasi Pusat KPS yang nantinya akan ditindaklanjuti dengan pembentukan Pusat KPS dapat mempercepat implementasi kebijakan Pusat KPS dan berperan sebagai katalisator dalam percepatan transaksi proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan dengan pihak swasta. •
Eko Wiji Purwanto adalah Perencana Muda Direktorat Pengembangan Kerjasama Pemerintah Swasta, Bappenas
Notes Dikun, Suyono (ed), 2003, Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis, Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2 World Bank, 2004, Averting an Infrastructure Crisis: A Framework for Policy and Action, A copublication of the World Bank East-Asia Infrastructure Department and Indonesia Country Program. 3 Dalam periode lima tahun kedepan (2010-2014) indikatif kebutuhan investasi infrastruktur berdasarkan sasaran yang diharapkan setara dengan Rp. 1.429 trilyun. Sementara kapasitas APBN diperkirakan sekitar Rp. 451 trilyun, potensi KPS yang dapat diwujudkan hanya sebesar Rp. 365 trilyun (draft RPJM 20010-2014). 4 Studi komparasi dilakukan melalui desk-study terhadap kelembagaan Public Private Partnership (Kerjasama Pemerintah dan Swasta/ KPS) yang ada di tiga negara yaitu Korea Selatan (PIMAC), Afrika Selatan (South Africa PPP Unit), dan Inggris (Partnership UK). 5 Fungsionalisasi Pusat KPS di Bappenas telah dilakukan bersamaan dengan Peluncuran Buku KPS (PPP Book) pada tanggal 25 Maret 2009 di Bappenas. 1
55
Edisi 02/Tahun XV/2009
IN DEFENSE OF GLOBALIZATION Author: Jagdish Bhagwati, 2007. Oxford University Press, 330 pp.
M. AGUNG WIDODO
There are many books discussing globalization and its impacts on human’s life, but only few have both strong theoretical and empirical grounds on broad range of issues. In Defense of Globalization is among the latter. This book is written by a leading scholar in trade theory, Jagdish Bhagwati, and is aimed at addressing the hot issue whether globalization needs a human face. In his book, the author focuses the discussion on economic globalization and the answer is no. Globalization, he claims, does have human face.
development are also scrutinized.
In discussing the correlation between trade and poverty, Bhagwati uses ‘two-step argument’, that trade increases growth and growth reduces poverty incidence. However, he does not stop at this point at which many studies have provided econometric proofs. Instead he goes further by claiming that different types of growth have produced different rate of poverty reduction. In this case, he stresses that trade policy matters. He shows that developing countries adopting outward-oriented strategy, which manifested in export-led growth, has managed to perform better than their counterparts which stressing more on import substitution or inward-looking strategy. He compares the stagnant growth rates of India which remained autarky during 1960-1980 and the outstanding performance of four ‘Little Asian Tigers’ which shifted toward export oriented strategy for the same period. How this difference can be explained? He suggests that by engaging in trade, outward-oriented countries have benefited from specialization, economies of scale, and competition. Furthermore, outward orientation provides a good disciplining incentive for a country to manage its macroeconomic stability. He challenges the alternative view that macroeconomic stability itself would lead to greater exports. To support his argument, he points out India and Soviet-block countries which relatively enjoyed macroeconomic stability but failed to move away from autarkic strategy. He also argues that inward-looking strategy discourages foreign direct investments (FDI) and even if they exist, trade restriction would make them less efficient and productive since these kind of FDIs will focus mainly on exploiting distorted domestic market rather than producing goods for world market.
The book consists of five parts elaborated into more detailed nineteen chapters. In the first part, Bhagwati addresses anti globalization views by initially distinguishing critics from ‘hard-core protesters’ and those whose critics are still within the discourse. For the first groups, he admits, little can be done to convince them the benefit of globalization since their objection deeply-rooted from anticapitalist, anti-globalization, and anti-corporation paradigms. He observes that these groups share misleading opinion that globalization is just the extension of capitalism, and therefore leads to new imperialism and international exploitation. The author aims his book to the latter group encompassing academia, students, policy makers, and non government organization, who have concerns on adverse impacts of increasingly global integration. Departing from potential benefit of trade, he claims that globalization is not only economically but also socially benign. Despite he admits that potential benefits of globalization have not been fully realized, the point he wants to raise is the benefits far outweigh the costs, and appropriate policies are available to make it more beneficial.
The second part of the book elaborates Bhagwati’s main proposition that globalization has human face. In this part, the author shows how both developing and developed countries have benefited from globalization which largely in the form of gains from international trade and foreign direct investment. With these two sources of benefit, he then assesses the effect of globalization on poverty, child labour, women condition, democracy, local culture, wages and labour standard, and environment. In addition, the roles of multinational corporations on host countries’ economic
56
So, why choices in trade policy give different effect to the poor? He finds that import substitution strategy, which was favored by many development planners in developing countries in the mid 20th century, tended to choose capital intensive and heavy industries such as steel and machinery. On the other hand, outward-oriented strategy relied on light industries which explore abundant labor intensively. The beginning of 21st century has witnessed clear implicaPerencanaan Pembangunan
tion: while the former investment excluded the low-skilled labor which constitute ‘the bulk of the poor’, the latter provided greater and greater opportunity for the poor to participate in expanding labor-intensive industries as the products became exportable. Thus, he concludes, exportled growth has helped the poor more since it has greater elasticity of demand for unskilled labor.
often subject to crime and violent on the way to and from working place, the author suggests such concerns should be directed to local governments who are responsible in providing public goods – in this case security and protection – not to corporations which has opened more employment opportunity for women. However, he also reminds three critical areas need to be addressed to protect women wellbeing: women working abroad as domestic servant, the growth of prostitution accompanied growing tourisms, and women trafficking from crises-ridden countries.
To support his claim that globalization is beneficial for children condition, Bhagwati uses similar two-step argument that trade leads to income growth and higher income reduces child labor. He believes that poor families are as willing to provide the best for their children as wealthier families. As family’s income increases with trade, parents are more likely to send their children to school. The evidence is found by Eric Edmonds and Nina Pavcnik in Vietnam where families that enjoyed a 30 per cent increase in commodity (rice) price as a result of trade liberalization substituted their extra income for earnings from their children. As a result, the number of child labor declined and school enrollment increased.
In terms of the effect of globalization on women condition, Bhagwati challenges common believe that globalization is harmful. Citing a Nobel laureate Garry Becker that lower wages received by women workers has nothing to do with productivity but is largely due to prejudice; Bhagwati claims the existence of FDIs which do not share the same prejudice will erode this gender gap since their only concern is competitiveness. With time, he believes competition in the domestic market will force firms to focus more on increasing productivity. On criticism raised by women organizations and feminist groups that woman workers often face bad working condition in Export Processing Zones (EPZ), Bhagwati suggests that the more appropriate judgement should be made by comparing them to their counterparts outside EPZ. The fact that woman workers are
57
The common fear that trade with poor countries depresses wages and labor standards in developed countries is also a hot issue Bhagwati strongly confronts. He claims that even though this fear seems understandable, it lacks evidence, and indeed the opposite phenomena prevail. To support his arguments, he identifies three reasons. First, demand for unskilled labor would have declined further due to technical change. In other words, trade with developing countries in labor-intensive goods lessens the adverse effects of labor-saving technological progress. Secondly, he suggests that net export of laborintensive products from developing to advanced countries grows slowly because of dynamic comparative advantage. In other words, in terms of export products characteristic, developing countries move up the ladder starting from labor intensive toward more capital intensive goods. Once a country moved up to more capital-intensive industries, it left room available for new labor-intensive exporters, and at the same time it became a labor-intensive importer. So, he claims, the fear that developed market will be so saturated by ebookstore.s ony.com a bulk of similar products from poor countries that prices and wages will fall is lacking empirical and theoretical supports. Moreover, he observes the opposite phenomena, ‘race to the top’, along with greater awareness on moral standard in developed countries’ consumers. Some corporations such as Body Shop and Ben & Jerry deliberately Edisi 02/Tahun XV/2009
build their reputation by aligning their production process with their consumers’ moral preferences.
ness on their own culture through acculturation confirms Bhagwati’s belief. UNESCO estimates the share of developing countries in music, visual arts, photography, and other media had increased from 12 to 30 per cent in two decades by 1998.
On the view that globalization and environmental objectives are conflicting interests, Bhagwati analyses that such opinion stems from the nature of both sides: while economists think market as being in place and regulations distort them, environmentalists think markets are absence (when it comes to environmental problems) and therefore should be created. He observes that distrust resulted from this conflict leads to a common fallacy that free trade is harmful in the absence of environmental policy. He argues the opposite is true. Quoting the report by General Agreement on Trade and Tariff (GATT) Secretariat, he emphasizes that even though ideal environmental policies are not in place, free trade improves economic welfare as well as environmental quality. However, he supports environmentalists’ aspiration that growth rates must be adjusted to take into account environmental degradation. For that reason, he recommends the first best policy to ensure greater net welfare is to promote appropriate environmental policy coupled with efforts to exploit gains from trade.
Bhagwati also challenges criticisms on exploitation practices by FDIs on local workers. Such criticisms usually depart from the huge gap between wages received by workers in poor countries and selling prices in metropolitan’s outlets such as New York. The author claims that this is a misleading judgment because it ignores inventory, distributional, and advertising costs which is very expensive in rich countries. So, he again establishes the true comparison between workers’ income received from multinational corporations and that from alternatives occupations. Often, he finds, multinational firms pay premium wages, a level up to 10 per cent higher than average domestic on-going wages. He asserts that bad effects of FDI may arise as a result of bad policy embraced by host countries. Even if they exist, he believes that the good effects of FDIs outweigh the downsides. He points out spillover effects of FDI when domestic firms learn and adopt productivity-enhancing techniques and better management practices. Managers and production workers who previously worked in multinational firms are likely to adopt and adapt their knowledge and skills in their new domestic firms when they get better salaries. The author also identifies technological transfer when multinational firms deal with domestic counterparts for material inputs or other services. Supported with evidences, he concludes that the host countries will enjoy higher level of productivity from all of these processes.
When it comes to a difficult question whether globalization enhances or diminishes democracy, Bhagwati identifies two conflicting forces of globalization on democracy. On the one hand, engaging in global interdependency restrains the exercise of nation’s sovereignity and domestic freedom. Any action by a nation will have consequences on other countries and following feedbacks will be likely. On the other hand, he argues that globalization can promote democratization in transition economies directly and indirectly. By direct effect, thanks to greater market access, farmers can bypass the dominant classes and loosen ‘traditional hegemony’. Furthermore, the use of computer helps producers to access global market directly, which reduces their dependency on middlemen. He believes this situation nurtures independent actors with greater self-confidence. He also cites popular proposition raised by Seymour Martin Lipset (1959) that economic growth produces a middle class with strong demand for democratization. So, in indirect effect of globalization, the author uses the similar two-step argument. The author puts China to support his argument for the second step, where economic development and political reform take place in sequential orders. On the contrary, he observes the opposite order in Rusia when political freedom (glasnost) is embraced before economic reform (perestroika). The outcomes are quite different; while China enjoys remarkable growth, Russia remains struggling to recover. On the common concern that globalization kills local cultures, Bhagwati shows the evidences are otherwise: globalization enriches culture. He observes, what actually haunts many people in many countries is Americanization in the form of wide-spreading McDonald, Coca-cola, and Hollywood films across the world. In this case, he views culture as a dynamic process. The fact that in many countries, the presence of these giant often strengthen local aware-
58
While globalization seems to benefit mankind in many fields, the author warns the potential risks stemmed from short term financial flows in the absence of strong domestic institutions. This is the main topic he elaborates in the third part. He suggests that unlike in trade, the pace of global financial integration should be reduced unless appropriate domestic and global institutions that govern it are in place. In his opinion, Asia’s financial crisis in the 1997/1998 was a product of ‘hasty and imprudent financial liberalization’ under external pressures rather than caused by weak fundamental macroeconomic in host countries. He refers external pressure to his previous work as ‘Wall Street – Treassury Complex’, a small elite group who occupied US Treasury, Wall Street, World Bank, and IMF who energetically pursued their shared idea on freer capital market worldwide. Short term capital flows, he observes, triggered domestic panic led to self-fulfilling financial crisis. He explains, when information is imperfect, people behave by referring to others. People think that others do so because of better knowledge on something they do not know. He asserts this self-fulfilling theory is better able in explaining Asian crises than two alternative explanations which are built on the grounds of diminishing return in capital and bad governance. Some economists, he observes, came up with theory that most Asian countries experienced capital-driven rather than technological-drivPerencanaan Pembangunan
en growth; while other raised issues on crony capitalism. On both arguments, Bhagwati shows the fact that debt to equity ratios in crisis-stricken countries were twice as big as in developed countries and indeed crony capitalism had delivered Asian miracle. On the other hand, countries adopting capital control such as India and China, and later followed by Malaysia, had managed to escape from deep financial crisis. He suggests that if domestic financial institutions have not been developed, government intervention is needed in managing and selecting productive capital inflows.
Institute of Technology (MIT) combined with his first hand experiences during his professional career as economic adviser for Director-General of General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), United Nations (UN) and World Trade Organization (WTO) have encouraged him to stand firmly in favor of globalization. In addition, his involvement in civil society movement such as Human Right Watch has provided him with a unique ability in assessing the impact of globalization from many different views. That is why in many parts of the book, he seems to share the same interests with private firms’ motive in pursuing efficiency and productivity, while in the other parts he is also emphatically aware the adverse effect of global integration experienced by Asian countries and domestic workers. He himself represents the picture of globalization. He was born and grew in India, considered as poor country at that time, then pursued post graduate educations in England and US, and have been teaching in leading universities in the world.
The other dimension in which globalization poses a great deal of problem is international migration where he observes a mismatch between supply and demand in international labor market. Migration from poor to rich countries has different implication from that in the opposite direction. Developing countries as pool of workforce prefer to supply unskilled labors, while advanced economies require skilled workers. He warns migration of skilled labor could lead to brain-drain problem in developing countries. He identifies that better economic condition abroad, inequality among nations, and increased affordability in travel cost either due to better income or lower legal migration costs have become push factors for international migration. On the other hand, demographic transition toward aging population and expanding information-telecommunication industries in developed countries serve as pull factors. He believes this pattern will increase rather than decrease, and proper regulations are required to control illegal migration. Drawing from his observation and experience in the field of trade and global integration, in the fourth part of the book Bhagwati proposes ‘trinity policies’ to improve globalization benefits. First, policies to accelerate the pace of globalization, particularly in sectors he discussed in the second part. This includes strengthening the linkage between trade treaties and the greater role of non government organization in the implementation of standards on social agenda. The author identifies trade sanction and restriction to market access for offending products as possible instruments. Secondly, policies to cope with the downsides of globalization which mainly in the form of designing appropriate safeguards for adjustment assistance, dispute settlement, handling price and output volatility in agricultural sector, economic insecurity and domestic institutional supports. In addition, policies for managing transitions should be conducted in optimal speed instead of maximal speed to provide enough time for adjustment toward greater global integration. Dual Track Journey: Theories And Empirics Through out the book, the author guides us in the journey in a wide range of issues while looking at both theories underlying recent phenomena in global economic integration and relevant evidences. Bhagwati’s long academic career as highly respected trade theorist in Massachusetts
59
This book seems to be a culmination of Bhagwati’s reflection on globalization (Hettiarchchi 2006). Based on his own experiences and previous researches, and supported by empirical results from other researches, he tries to convince that globalization by its nature has more benefits than its costs. Even if the costs exist, he believes that appropriate policies are available to cope with. As he states in his book, his argument may not enough to convince everyone, since he is fully aware that some group such as hard-core protesters already build their own judgment a priori. To understand it, it might be useful to identify five different views on globalization (Jenkins 2008). Firstly, the view that globalization is good, embraced by World Bank economists. This view argues that the world needs more globalization, not less. Second argument, in which Bhagwati belongs to, argues that globalization is good but it could be even better. This view recognizes some downsides of globalization in the form of short term financial flows and the costs of transition. Third view is represented by critical scholars such as Stiglitz who claims that globalization has failed to deliver its potential benefit because the way it has been governed (Stiglitz 2006). The main concern of this group is the rule of the game, and global institutions need to be corrected from bias toward rich countries. The next view argues that globalization is inherently a ‘polarizing process’, by which rich countries have benefitted disproportionately greater than poor countries did. The likely outcome, this view predicts, is increasing global inequality. The last view is shared by anti globalization group, arguing that globalization is only the project of a small, greedy corporate elite. This view rejects globalization on the ground that it threaten sustainability and humanity. Bhagwati seems to address his book mainly for the first three groups, but with the different emphasis. While on the first view, he reminds the importance for global institutions to understand the risks of short term capital flow and slow down its pace in promoting financial liberalization, he challenges the other groups to enforce globalization process, particularly in international trade. For the fourth group he may expect some will be convinced and some will resist even stronger Edisi 02/Tahun XV/2009
(because Bhagwati’s belief on market forces).
Bhagwati seems to give more emphasis on government’s roles in financial market. He stresses that developing countries need to strengthen their domestic financial institutions before exposing their market to global capital flows. In doing so, Bhagwati also recommends gradual policies and welcome necessary government control on short term capital flows. However, his claim that Asian crisis was solely caused by sudden financial outflows need to be evaluated carefully. Athukorala and Warr (2002) identify that in the case of 1997/1998 Asian crisis, there were two elements in play: vulnerability and trigger. Vulnerability of an economy is determined by reserve adequacy, financial sector fragility, and real exchange rates. They finds that even though reserves in most Asian countries were considered high by world standard, there was a declining trend leading to the crisis. The ratio of reserve to stock of volatile capital had fallen in both Korea and Thailand. At the same time, they also find that non performing credit ratio increased and real exchange rate being appreciated. This suggests that in addition to the short term financial flows, which were the trigger, Asian countries also experienced deteriorating macroeconomic fundament which lead to greater vulnerability.
Despite Bhagwati’s arguments are convincing on the net benefit of globalization, particularly the gains delivered by international trade and foreign direct investment, some scholars raises questions on the ability of developing countries to reap the benefits, manage the transition and bear the costs of it. At least there are three interesting issues need to be discussed from the book: the relationship between trade and growth and their causal link, the role of government, and foreign private investments. Trade and Growth Albeit many economists have long believed that there is a relationship between trade and growth, the question remained on the direction whether trade increases growth or the other way around. Frankel and Romer (1999 ) suggests that the use of geographic characteristic as instrumental variable helps addressing endogeneity problem in assessing the role of trade on economic growth. They find that one percentage increase in the share of trade to GDP rises income by one half per cent. However, Rodrik (2007) questions the proposition that trade openness produces higher economic growth. He argues that there is no systematic relationship between average level of tariff and non tariff barrier and economic growth rate. He claims that finding suggesting open economies grew faster than closed economies, such as a study by Sachs and Warner (1995) suffers from the problem of misattributation of either macroeconomic phenomena or geographic determinants to trade policy. Furthermore, he claims that trade reform in China actually happened ten years after high growth period started. Indeed, he adds, trade restriction in this country remained considered high by international standard until mid 1990s.
On the goods market, Bhagwati believes that trade will be beneficial for government in managing their macroeconomic and industrial policies. This argument is built on the ground that exporting countries require to maintain their macroeconomic stability and to improve domestic investment climate. He also believes on dynamic comparative advantage. However, Rodrik suggests alternative direction that government role is important in developing countries to guide industrial sectors development (2007). Citing Imbs and Wacziarg (2003), Rodrik claims that as countries become richer the level of industrial concentration decline. In other word, diversification occurs with development. This pattern goes on until income level achieves a relatively high level comparable to Irlandia’s, and from this point specialization will start to increase. So, this inverted U pattern (between sectoral concentration and level of income) against standard theory following the principle of comparative advantage. Rodrik concludes that the driver of economic development is not comparative advantage and specialization, instead the ability to master a variety of activities. The fact that some countries are better able to diversify their products than other implies the important role of government.
Does this mean Baghwati’s proposition that trade produce growth is questionable? Weak effect of trade on growth will in turn discredit his claim that globalization is beneficial on poverty reduction, women emancipation, children condition, and environmental quality. While Frankel and Romer (1999) confirms his proposition, Rodrik’s claim (2007) seems to oppose it. However one should look at different criteria used in these researches to define trade liberalization. Frankel and Romer use the same criteria as Bhagwati does in defining countries participation in global trade, the rise in the share of export and import in GDP. On the other hand, Rodrik use the level of tariff as a measure of copuntries’ engagement in global trade. So, there is nothing to contradict between Bhagwati’s and Rodrik’s claim, instead the latter confirm Bhagwati’s argument on the role of government in developing countries before opening their market to global integration. Role of Government 60
Why this diversification is a likely government-driven rather than a natural process? Rodrik believes that market forces can not reveal the profitability of activities that do not exist. Therefore he argues such government interventions are justified in developing countries to provide enough incentives for private sectors. The main roles of government are providing information and coordination externalities. To support his argument he shows countries with similar endowment come up with different specialization, such as Bangladesh with t-shirt, Pakistan with soccer ball, India with IT industries, Columbia with cut flower, and Chile with salmon. He believes that it is unlikely producers Perencanaan Pembangunan
in these countries have incentives to invest in the respective industries unless information on profitability are made available. On the other hand, it is also impossible to rely on individual efforts to build expensive fixed-costs even though the industry seems promising in the large scale.
monopoly by domestic producer may evaporate, but this may be displaced by multinational monopoly. It seems that this is an empirical matter. In conclusion, Bhagwati’s book provide useful discussion on the old question but never easy to answer. In many cases, Bhagwati’s answers are very confincing. However the readers may need to look at his previous studies and relevant sources to better understand his firm stands on global integration. Those who want to understand coherent arguments and comprehensive pictures on the benefit of current global integration are strongly recommended to read this book, unless they belong to the last view of five groups. •
Government intervention is also justified on the ground that labor mobility and full employment assumptions are actually long run equilibriums, while in the short run (day to day life) they are sticky or sluggish phenomena. Many of Bhagwati’s claims which built on two-step arguments believe that trade increases growth. Theories on trade have proven it, and studies such as Frankel and Romer’s have verified it. However governments in developing countries often have to deal with short-term adverse effects of trade openness. Trade openness benefits all participating economies when they exploit their comparative advantages. Comparative advantage dictates specialization. With specialization, there is a sectoral shift in each country, creating not only gainers but also losers in labor market. Gainers are those in surviving industries and those who successfully enter expanding industries. Losers are those who left unemployed once industries in which they work shrank because of comparative disadvantage. This fraction of labor force may need time to adjust and master new skills so they can participate in emerging industries. Therefore, government intervention in facilitating this transition (labor movement) is important if developing countries want to realize the gains from trade. Bhagwati’s arguments seems to ignore this problem.
M. Agung Widodo is a Staff of Directorate of Regional Development, Bappenas. References Athukorala, P and Warr PG 2002, ‘Vulnerability to a Financial Crisis: Lessons from the Asian Experience’, World Economy, 55(1), 33-57. Bhagwati, J 2007, In defense of globalization, Oxford University Press, New York. Bhagwati, J and Srinivasan, TN 2001, ‘Outward-orientation and development: are revisionists right?’ In D. Lal and RH Snape (eds), Trade, development and political economy: essay in honour of Anne O. Krueger, Palgrave Frankel, JA and Romer, D, 1999‚ ‘Does trade causes growth?’ American Economic Review, 89(3), 379-99 Hettiarchchi, W 2006, ‘Review Article: In defence of globalization’, South Asia Economic Journal, 7(1), 117-29. Jenkins, R 2008, ‘Book Reviews: The globalization debate’, Journal of Development Studies, 44(1), 153-63. Rodrik, D 1992, ‘Limits to trade policy reforms in developing countries’, Journal of Economic Perspectives, 6(1), 87-105. _____, D 2007, One economics many recipes: globalization, institutions, and economic growth, Princeton University Press, Princeton. Stiglitz, J 2006, Making globalization work: the next step to global justice, Penguin Books, London.
Role of Foreign Direct Investment While Bhagwati’s claim that developing countries have benefited from the presence of foreign direct investment, appropriate policies are required to address their potential disadvantages. Thirlwall identifies some potential risks that may hinder poor countries to reap the optimal gain from globalization. Multinational corporations may manipulate and encourage mass consumption pattern, particularly in urban areas which may not appropriate to the stage of the development. He warns that serious implication may occur, in the form of reduced private saving and deteriorated balance of payments. Moreover, Thirlwall suggests that with their power and influence, multinational corporations can threaten national sovereignty and control over economic policy. They can also create monopolistic domestic market.
Bhagwati seems to be aware of these risks. While he does not discuss the first criticism, he claims that free trade indeed helps an economy to prevent monopoly. In this case he stresses the advantage of outward orientation compared to import substitution strategy (Bhagwati and Srinivasan, 2001). This is because export oriented strategy will provide greater market size and encourage producers to compete in the world market. However, the question remains,
61
Edisi 02/Tahun XV/2009
KESEJAHTERAAN NELAYAN DAN KETAHANAN NASIONAL ASO SETIARSO
www.digitaldome.org
I.
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara maritim yang sangat luas wilayahnya dan merupakan Negara Kepulauan terbesar di dunia (The Biggest Archipelagic State in The World) yang memiliki 17.504 pulau dengan panjang pantai tropical lebih kurang 95.000 KM dan terpanjang di dunia. Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang luar biasa, baik di daratan maupun di lautan, yang apabila dikelola dengan baik dan profesional akan memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Pengelolaan sumber kekayaan alam Indonesia hendaknya mengacu kepada Amanat Konstitusi UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 mengamatkan bahwa tugas negara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Pasal 33 juga memerintahkan kepada negara untuk “cabang-cabang produksi yang menyangkut hidup hajat orang banyak harus dikuasai oleh negara” (Ayat 2) dan Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dugunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Ayat 3).
62
Perencanaan Pembangunan
Selama pemerintahan reformasi hingga sekarang ini, amanat konstitusi tersebut belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Semua cabang-cabang produksi dan kekayaan alam kita sama sekali tidak dikuasai negara, tetapi dikuasai oleh orang-orang asing dan individuindividu yang hanya mencari keuntungan dan tidak peduli terhadap penderitaan rakyat. Pertambangan minyak, gas bumi dan aneka tambang sebagian besar dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Hutan kita digunduli oleh perusahaan-perusahaan asing dan perusahaan nasional yang berkolaborasi dengan asing. Perkebunan kelapa sawit sebagai konversi hutan dikuasai Malaysia. Aset-aset strategis negara dijual kepada perusahaan asing, seperti Indosat, beberapa bank swasta nasional dan lain-lain. Sepertinya pemerintah tidak memiliki keberanian, sepertinya pemerintah lemah dan tidak berdaya dalam menghadapi kaum kapitalis dan neo kolonialis yang mengeruk harta kekayaan kita.
tusi UUD 1945, yaitu perlindungan terhadap nelayan dan wilayah habitatnya, memajukan kesejahteraannya dengan memberikan kemudahan, keringanan dan akses terhadap permodalan, proteksi dan subsidi serta memberikan pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis serta mempermudah memperoleh perumahan murah bagi nelayan dan keluarganya.
Nelayan yang sehat, berpendidikan dan sejahtera dapat menangkal setiap ancaman dari manapun datangnya yang pada akhirnya akan memperkokoh ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2.
Kondisi sektor kelautan masih sangat menyedihkan. Transportasi laut yang mengangkut barang-barang komoditi dari dan ke Indonesia yang sangat besar volumenya masih dikuasai oleh perusahaan pelayaran asing. Dari total biaya angkutan laut sebesar lebih kurang 15 Milyar USD per Tahun, 95% dikuasai oleh perusahaan asing (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, 2009). Pengaturan azas cabotage yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak dapat berjalan sesuai apa yang diharapkan. Perusahaan-perusahaan nasional yang bergerak dalam bidang industri jasa maritim tidak memperoleh dukungan perbankan nasional. Perbankan nasional memberikan pinjaman yang sangat mencekik dengan bunga yang tinggi, sehingga perusahaan industri jasa maritim tidak dapat bersaing di pasar global.
Indonesia adalah negara yang kaya raya. Di daratan memiliki sumber mineral yang sangat besar seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, nikel, tembaga, timah, batubara, bauksit, mangaan dan lain-lainnya lagi, demikian juga kita memiliki hutan tropis yang apabila dikelola dengan baik dan profesional akan memberikan kekayaan bagi negara, di lautan kita memiliki sumber mineral dan potensi lestari ikan yang sangat besar. Namun apa yang terjadi di Indonesia ini adalah sebuah Paradoks yaitu negara Indonesia adalah negara yang kaya raya, namun rakyatnya miskin. Hal ini harus menjadi perhatian kita semua.
Salah satu komponen bangsa yang kondisinya masih sangat memprihatinkan adalah kaum nelayan. Masyarakat nelayan, sejak republik ini berdiri belum mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Pemerintah Indonesia sejak dulu hingga sekarang masih menganut paradigma pembangunan yang berorientasi kepada daratan (continental paradigm), belum berorientasi kepada pembangunan maritim (maritime paradigm). Padahal Indonesia ditinjau dari aspek geopolitik maupun geostrategic seharusnya memiliki wawasan maritim dan bukan wawasan kontinental. Wawasan nusantara sebagai geopolitik Indonesia yang di dalamnya tersirat wawasan maritim hanya ada di dunia akademis saja dan tidak diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibat dari wawasan kontinental ini, konsep pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia berorientasi ke daratan, sehingga pembangunan kelautan terabaikan. Upaya meningkatkan kesejahteraan nelayan tidak pernah dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi, dimana tiap instansi pemerintah sesuai kewenangan dan tupoksinya melakukan program pemberdayaan nelayan masingmasing, karena setiap program pemerintah nerupakan proyek yang harus diselesaikan masing-masing. Akibatnya semua proyek pemerintah yang menyangkut pemberdayaan nelayan sering tidak tepat guna dan tidak tepat sasaran. Oleh karena itu upaya mensejahterakan nelayan ke depan hendaknya mengacu kepada Amanat Konsti-
KONDISI SEKTOR KELAUTAN
Sumberdaya perikanan kita sangat besar, nelayan kita tidak perlu menebar bibit, tidak perlu memelihara dan tidak perlu memberi pakan, para nelayan hanya tinggal ke laut menangkap ikan, ke pasar dan menjual hasil tangkapannya, tetapi tetap saja miskin. Yang seharusnya dengan kekayaan dan kemudahan yang diberikan Tuhan Yang Maha Pengasih seperti itu, nelayan kita hidupnya makmur, namun kenyataan menunjukan sebaliknya. Hal itu karena pemerintah tidak memberikan akses permodalan dengan bunga ringan kepada para nelayan Indonesia, sehingga mereka tetap menggunakan sampan-sampan kecil yang menghasilkan ikan yang cukup untuk makan sehari-hari dan tidak mampu memberikan kesejahteraan bagi keluarganya. Hendaknya pemerintah dan perbankan memberikan kemudahan-kemudahan memperoleh permodalan dengan bunga rendah, sehingga nelayan dapat membuat kapal-kapal ikan yang lebih besar dan dapat menangkap ikan di perairan laut yang lebih dalam. kalau itu dapat dilakukan, niscaya para nelayan Indonesia akan dapat hasil tangkapannya lebih banyak dan dapat mensejahterakan keluarganya.
63
Seperti dikatakan di atas bahwa sumber kekayaan alam laut kita sangatlah besar terutama ikan yang hidup di kedalaman 1.000 meter ke bawah yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Kita sadar bahwa untuk mengelola potensi itu menjadi komoditi yang memiliki nilai ekonomi tinggi harus memerlukan modal dan teknologi. Tapi kita juga harus faham Edisi 02/Tahun XV/2009
betul saat ini adalah era globalisasi, di mana arus uang dan investasi sudah tidak mengenal batas negara. Uang dan investasi dunia dengan mudah dapat diperoleh apabila kita memiliki proyek-proyek yang menarik dan menguntungkan. Hal itu tergantung pada kita yang memasarkan komoditi unggulan kita di pasar global. Banyak hal dan potensi sumberdaya alam kita yang menarik untuk ditawarkan di pasar internasional.
tingkat pendapatan nelayan bisa dilakukan dengan melihat proporsi produksi ikan dengan jumlah nelayan per hari. Indonesia yang memiliki potensi ikan sebesar 6,26 Ton per tahun , namun produksi nelayan Indonesia per harinya hanya mencapai 5,5 Kg, jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang potensi ikannya tidak sebesar Indonesia. Nelayan Rusia bisa mencapai 140 Kg per nelayan per hari, Jepang memperoleh 70 Kg per nelayan per hari dan Amerika Serikat dapat memperoleh 100 Kg per nelayan per hari (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, 2009). Angka-angka itu menunjukan bahwa nelayan Indonesia belum mampu memanfaatkan sumberdaya ikan yang dimiliki Indonesia untuk kesejahteraan mereka.
Saat ini kondisi nelayan Indonesia sangat memprihatinkan. Mereka masih terjerat oleh kemiskinan, baik kemiskinan kultural maupun struktural. Mereka juga masih terbelenggu oleh kemiskinan ekonomi, kemiskinan informasi, kemiskinan permodalan, kemiskinan pendidikan, kemiskinan kesehatan dan bahkan kemiskinan politik. Apabila kita berbicara tentang nelayan selalu terbayang di benak kita sebuah komunitas masyarakat yang miskin, kumuh, terbelakang, kurang berpendidikan dan tidak sehat.
Pendapatan nelayan dari perikanan tangkap sangat tergantung dari karakteristik masyarakat pesisir yang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Tridoyo Kusumastanto (2009), faktor-faktor itu di antaranya adalah sebagai berikut : Pertama, kehidupan masyarakat nelayan sangat tergantung pada kondisi ekosistem dan lingkungan yang rentan pada kerusakan, khususnya pencemaran dan degradasi kualitas lingkungan, contohnya adalah pembangunan kawasan industri di wilayah pantai mengakibatkan anjloknya produksi penangkapan ikan, tambak udang, bandeng dan garam rakyat. Kedua, persoalan yang mencolok adalah ketergantungan terhadap musim. Pada musim panen mereka sangat sibuk dan memperoleh pendapatan yang besar, namun pada saat musin paceklik mereka menjadi pengangguran atau mencari pekerjaan lain. Secara umum pendapatan nelayan sangat fluktuatif. Kondisi ini tercermin juga dari pola hidup nelayan. Pada musim panen, para nelayan cenderung konsumtif, namun pada musim paceklik mereka sangat kekurangan hingga akhirnya terjerat hutang kepada tengkulak atau rentenir. Ketiga, kelompok nelayan sangat tergantung pada pasar, karena hasil tangkapan mereka harus segera dijual atau akan membusuk bila tidak segera laku. Perubahan harga di pasar sekecil apapun akan sangat mempengaruhi kondisi sosial masyarakat nelayan.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Oktober 2005, paling tidak ada 16,42 juta jiwa penduduk yang tinggal di daerah pesisir dan tersebar di 8.090 desa yang ada di seluruh Nusantara. Dari jumlah itu sekitar 32 persen masih hidup di bawah garis kemiskinan dan sebagian besar di antara mereka adalah nelayan perikanan. Dengan pemerintah menaikan harga solar lebih dari 100 persen pada Oktober 2005 dan menaikan lagi pada tahun 2008, kenaikan angka kemiskinan melonjak drastis dan mencapai lebih dari 60 persen. BPS mencatat pada tahun 2005 ada 35,1 juta jiwa penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Setahun kemudian jumlah itu bertambah menjadi 39,05 juta jiwa, dengan perhitungan penghasilan rata-rata 1 USD per orang per hari. Namun apabila mengunakan standar World Bank dengan standar 2 USD per orang per hari, maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 110 juta jiwa. Rokhmin Dahuri menyatakan bahwa untuk mengetahui
www.amadeuz.org
64
Dalam upaya meningkatkan pendapatan nelayan dengan mengatasi ketiga faktor tersebut tidak ada cara lain kecuali adanya intervensi pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada nelayan serta program-program pemerintah yang langsung dapat dirasakan manfaatnya bagi nelayan Indonesia.
Kemiskinan yang saat ini menjerat dua pertiga nelayan Indonesia, menurut para pakar disebabkan oleh dua faktor utama yaitu faktor kultural dan struktural. Faktor kultural merujuk kepada mentalitas nelayan yang diasumsikan sebagai komunitas masyarakat yang malas, tidak mau berorganisasi, berjiwa konsumtif dan tidak ada kemauan untuk maju. Sedangkan faktor struktural lebih disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan aspek lingkungan. Para nelayan Indonesia menjadi miskin karena sulitnya akses terhadap permodalan yang diberikan oleh pemer-
Perencanaan Pembangunan
intah (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, 2009).
Indonesia yang hidupnya dari laut tetap terpinggirkan. Saat itu urusan kelautan ditangani oleh pejabat pemerintah setingkat Direktorat Jenderal. Terjadinya perubahan kebijakan pemerintah di sektor kelautan ini mulai terlihat ketika K.H. Abdurahman Wahid menjadi Presiden RI. Presiden Abdurahman Wahid membentuk Departemen Eksplorasi Kelautan dan Perikanan. Pada era Presiden Megawati dan Presiden SBY, Departemen ini tetap dipertahankan, namun keberadaannya masih belum dirasakan manfaatnya oleh para nelayan kita.
Son Diamar (2009), menyatakan bahwa tingginya angka kemiskinan masyarakat nelayan memang tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan pemerintah. Yang paling utama adalah paradigma pembangunan nasional Indonesia masih mengacu kepada paradigma daratan, padahal Indonesia adalah negara maritim yang seharusnya paradigma maritim yang harus dikedepankan.
Kemiskinan nelayan sebenarnya bersifat komprehensif, yaitu ada orang miskin karena kemalasan, kurangnya kemauan untuk maju, tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang menyebabkan mereka tidak berkembang. Ada juga diakibatkan oleh kebijakan pemerintah yang tidak kondusif dan tidak berpihak kepada mereka. Selain itu ada juga faktor struktural, yaitu walaupun mereka bekerja keras akan tetapi tidak ada faktor pendukung kegiatan usahanya seperti pelabuhan perikanan, pasar/pelelangan ikan, listrik, air, bahan bakar dan lain-lain, maka mereka tidak akan memperoleh penghasilan yang layak. Pemerintah Indonesia kedepan diharapkan lebih fokus dalam pembangunan sektor kelautan khususnya dalam upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan.
III. KESEJAHTERAAN NELAYAN DAN KETAHANAN NASIONAL Upaya mensejahterakan nelayan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah. Pemerintah masih menganggap bahwa wilayah pesisir Nusantara adalah halaman belakang, dengan pengertian masih belum adanya political will dari pemerintah untuk memperhatikan halaman belakang itu. Bantuan kepada nelayan yang berupa proyek, sangat tergantung siapa kepala proyeknya (PPK) dan siapa sasaran yang diberikannya. Akibatnya banyak program-program pemberdayaan nelayan yang kurang tepat guna dan tidak tepat sasaran. Di samping itu setiap instansi pemerintah mempunyai program sendiri-sendiri dalam memperdayakan nelayan, sehingga terjadi tumpang tindih yang sangat merugikan nelayan itu sendiri.
Program-program lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan hendaknya mengacu kepada UUD 1945, yaitu:
Sektor kelautan di Indonesia belum mendapatkan porsi yang seharusnya. Keadaan itu terjadi sejak kolonial Belanda. Sejak kedatangan VOC ke Indonesia dan menguasai laut Indonesia, kerajaan-kerajaan di Indonesia pada waktu itu diharuskan untuk melaksanakan culture stelsel dengan kewajiban menanam tanaman-tanaman ekonomis yang laku dijual di Eropa seperti karet, kopi, coklat, rempahrempah dan lain sebagainya. Akibat dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda itu, orientasi masyarakat Indonesia beralih dari lautan ke daratan. Bangsa Indonesia yang terkenal sebagai pelaut-pelaut tangguh secara perlahan pudar, seiring dengan memudarnya pandangan maritim pemerintah kerajaan-kerajaan di Nusantara yang pada saat itu dikendalikan oleh Belanda. Demikian juga sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, kebijakan pemerintah belum menunjukan kesadarannya bahwa Indonesia adalah sebuah negara maritim yang besar. Era Presiden Soekarno, pembangunan sektor kelautan tidak mendapat perhatian dan sektor ini hanya ditangani oleh pejabat pemerintah setingkat direktur. Pada akhir pemerinthan Soekarno dibentuk Departemen Perikanan dan Pengelolaan Kekayaan Laut di bawah Menteri Kompartemen Maritim, namun belum sempat berkiprah terjadi Pemberontakan G30S/PKI yang memporakporandakan tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, 2009). Pada era Presiden Soeharto, kebijakan pembangunan nasional menitik beratkan kepada pembangunan sektor daratan ketimbang sektor kelautan, akibatnya nasib masyarakat
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Program-program untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga non pemerintah diarahkan untuk melindungi nelayan dan wilayah penangkapan ikannya. Melindungi nelayan dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan yang memberikan kemudahan dan keringanan bagi
www.dolandolan.co.cc
65
Edisi 02/Tahun XV/2009
nelayan. Nelayan Indonesia harus mendapatkan perlindungan dan proteksi dari pemerintah. Prosedur dan mekanisme perijinan harus dilakukan dengan mudah dan tidak berbelit-belit dan birokratik. Aparat keamanan laut baik dari TNI Angkatan Laut, Polri dan DKP hendaknya memberikan pembinaan kepada kapal-kapal nelayan.
kapal ikan yang terbuat dari besi, hal ini sangat bankable untuk dijadikan agunan.
Ada beberapa kepentingan dan dampak positif apabila pemerintah dan perbankan nasional dapat memberikan kemudahan dan keringanan terhadap akses permodalan dengan bunga rendah. Pertama, apabila kelompokkelompok nelayan yang sebelumnya sebagai buruh nelayan dari para tauke, dengan memperoleh modal untuk memiliki kapal yang lebih besar akan meningkatkan pendapatannya dan lebih mensejahterakan diri dan keluarganya. Kedua, dengan dimilikinya kapal-kapal yang besar oleh nelayan kita, maka mereka dapat beroperasi dan menangkap ikan di ZEEI yang saat ini dipenuhi oleh kapal-kapal asing umumnya yang illegal. Dalam hal ini nelayan-nelayan kita dapat mengusir kapal-kapal asing yang menjarah kekayaan negaranya, nelayan-nelayan kita akan bertindak sebagai garda terdepan penjaga halaman negara. Ketiga, nelayan-nelayan kita yang beroperasi di ZEEI dapat menjadi mata telinga aparat keamanan laut yang dapat melaporkan setiap kehadiran kapal-kapal asing yang mau mencuri kekayaan laut kita. Hal itu merupakan perwujudan sistem pertahanan dan keamanan di laut. Pemberdayaan nelayan seperti itu harus dilakukan oleh pemerintah agar nelayan Indonesia dapat memanfaatkan kekayaan laut di ZEEI. Apabila hal itu tidak dilakukan, sesuai ketentuan-ketentuan dalam Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) yang telah diratifikasi oleh UU Nomor 17 Tahun 1985, apabila sebuah negara pantai tidak mampu memanfaatkan kekayaan lautnya di ZEE, maka negara itu harus memberikan ijin kepada negara lain untuk memanfaatkan kekayaan laut yang ada di dalamnya.
Pengertian illegal fishing hendaknya diartikan kepada kapal-kapal ikan asing yang menjarah dan mencuri ikan kita dari perairan laut kita dan dibawa ke negaranya, bukan nelayan Indonesia yang karena ijinnya sudah habis atau sedang diurus, namun mereka harus tetap melaut untuk menghidupi keluarganya. Mereka mencari ikan di wilayah lautnya sendiri, untuk kepentingan mereka dan rakyat Indonesia sendiri dan dijual di negeri mereka sendiri tidak dibawa kabur ke luar negeri dan uang hasil penangkapannya dibelanjakan di negerinya sendiri. Oleh karena itu aparat keamanan laut seyogyanya bisa bertindak adil dan bijaksana.
Pemerintah berkewajiban melndungi tumpah darah Indonesia, artinya seluruh aparat keamanan laut harus menjaga setiap jengkal wilayah tanah air kita dari pencurian, penjarahan dan perampokan kekayaan kita. Apabila pemerintah dapat mencegah pencurian ikan (illegal fishing) maka potensi kekayaan ikan kita sepenuhnya akan dinikmati oleh bangsa sendiri. Kalau saja pencegahan tersebut berhasil, tidak mustahil kehidupan nelayan kita akan bertambah penghasilannya. Keberadaan nelayan yang tingkat hidup dan kesejahteraannya yang baik akan mudah diberikan penyuluhan dan pelatihan bela negara. Kondisi itu juga akan menimbulkan kemauan dan semangat untuk melindungi wilayahnya sendiri dari setiap ancaman dan gangguan. Secara jangka panjang kondisi ini akan memberikan kontribusi positif dalam upaya peningkatan ketahanan nasional Indonesia.
Kebijakan berikut yang harus diambil adalah memberikan subsidi BBM Solar khusus untuk nelayan. Pemerintah tidak boleh diskriminatif. Petani yang sama-sama miskin banyak diberikan subsidi bahkan ada subsidi pangan untuk melindungi para petani.
2. Memajukan Kesejahteraan Umum
Kebijakan dan program pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan nelayan seyogyanya, sebagai berikut : pertama, berikan kepada nelayan akses permodalan dengan kredit lunak/ringan tanpa agunan. Apabila harus juga menggunakan agunan, maka kapal ikan yang dimilikinya harus dapat dijadikan agunan. Pemerintah dan perbankan nasional tidak berlaku diskriminatif. Para kreditor mobil dan motor di darat dapat diberikan kredit dengan mobil dan motornya sebagai agunan. Oleh karena itu pemerintah harus memberikan kemudahan dan keringanan seperti itu. Padahal kapal ikan yang dimiliki nelayan cukup bankable untuk dijadikan agunan. Secara empirik, kapal-kapal ikan yang terbuat dari kayu dapat bertahan hingga 20 tahun dan jarang kapal-kapal ikan tenggelam di laut, kalaupun ada presentasinya sangat kecil sekali. Demikian juga kapal-
3. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Tugas negara yang lain adalah mecerdaskan kehidupan bangsa yang diwujudkan dengan meningkatkan pendidikan dan kesehatan bagi nelayan dan keluarganya. Konotasi yang berkembang di masyarakat dalam memandang nelayan adalah sebuah komunitas masyarakat yang miskin, tidak sehat, tidak berpendidikan dan terbelakang. Konotasi itulah yang harus diubah oleh seluruh stakeholders kelautan menjadi nelayan yang sehat, berpendidikan, dan sejahtera.
66
Di sentra-sentra nelayan harus dibangun lembaga-lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanak hingga SMU dan bila mungkin ada universitas. Demikian juga puskesmas-puskesmas atau paling tidak klinik keseha-
Perencanaan Pembangunan
tan harus dibangun di sentra-sentra nelayan agar kesehatan nelayan dan keluarganya dapat terjamin.
dan lebih sejahtera.
Nelayan yang sehat, berpendidikan dan sejahtera akan membantu memperkokoh ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kuat, sejahtera dan berwibawa di dunia internasional. •
Demikian juga perumahan nelayan yang pada umumnya kumuh hendaknya mendapat perhatian pemerintah. Selama ini sentra-sentra nelayan menjadi tempat hunian yang sangat kumuh dengan lingkungan yang tidak sehat. Sudah pasti, nelayan yang tidak berpendidikan, miskin dan merasa kurang diperhatikan oleh pemerintah sangat rentan dalam menghadapi pengaruh-pengaruh luar, mereka dapat dengan mudah dijadikan alat untuk kepentingan-kepentingan tertentu.
Aso Setiarso adalah Perencana Madya pada Staf Ahli Menneg PPN Bidang tata Ruang dan Kemaritiman
IV. PENUTUP Indonesia adalah Negara Maritim, bukan Negara Kontinental, yang merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, dengan dua pertiga wilayahnya adalah lautan. Indonesia adalah negara yang kaya sumber daya alam yang apabila dikelola dengan baik dan professional dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Paradoks yang terjadi di Indonesia yaitu “negara kaya namun rakyatnya miskin” harus segera dihapuskan. Sumber kekayaan alam Indonesia harus dikuasai kembali oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat sesuai amanat konstitusi UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA Son Diamar, “Cara baru Membangun Negeri” Menuju Negara Kelautan Terkemuka di Dunia, Cetakan I, Jakarta Mei 2009. …………..., “Rembug Nasional Kelautan” Seminar Nasional Perspektif Kelautan Nusantara, (Merajut Kejayaan Kelautan Untuk Membangun Bangsa), Jakarta Februari 2009. ………….., “Pokok-pokok Pemikiran Pembangunan Maritim” Jakarta 2003 Iskandar, I, H, DKK, Penanaman Wawasan Maritim Di Lingkungan Lembaga Pendidikan/Peserta Didik, Pusat Kurikulum - Badan Litbang Departemen Diknas, Jakarta 2003. …………., Kurikulum Berbasis Kompetensi, “Kebijakan Umum” Pendidikan Dasar dan Menengah, Pusat Kurikulum – Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Diknas, Jakarta 2001 Nining I, Soesilo, “Pokok-pokok Pemikiran Pembangunan Maritim”, Jakarta 2003. ……...…, “Management Strategik di Sektor Publik (Pendekatan Praktis)” Buku Kedua, MPKP FE-UI, Jakarta 2000. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985, Tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut).
Paradigma pembangunan yang masih berorientasi kepada daratan mengakibatkan pembangunan sektor kelautan masih terpinggirkan. Industri jasa pelayaran masih banyak dikuasai perusahaan-perusahaan asing. Industri perkapalan kurang dukungan dari pemerintah dan perbankan swasta nasional untuk lebih kompetitif di pasar global. Nelayan Indonesia sebagai ujung tombak industri perikanan ini masih terpinggirkan. Kesulitan untuk memperoleh akses permodalan, akses informasi, akses kesehatan, akses pendidikan dan perumahan murah sehingga mengakibatkan nelayan Indonesia tidak pernah beranjak dari kemiskinan dan masih terjerat kemiskinan.
Upaya untuk mensejahterakan nelayan hendaknya tetap mengacu kepada Amanat Konstitusi UUD 1945. Pemerintah dan seluruh stakeholders pembangunan kelautan harus melindungi nelayan dan seluruh wilayah perairan Indonesia sebagai daerah penangkapan ikan dan periuk nasi para nelayan Indonesia. Semua kebijakan hendaknya berpihak kepada rakyat khususnya nelayan. Negara juga harus memiliki aparat keamanan laut yang kuat dan berwibawa, khususnya TNI Angkatan Laut yang mampu menjaga setiap jengkal wilayah perairan nasional dari pencurian dan pejarahan kekayaan laut kita.
Untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, hendaknya pemerintah meningkatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi keluarga nelayan. Dengan nelayan yang sehat dan berpendidikan, diharapkan nelayan Indonesia dapat merubah sikap hidupnya menjadi lebih baik, lebih maju
67
Edisi 02/Tahun XV/2009
DEVELOPMENT AND ITS IMPACT TO ENVIRONMENT: WORLD SYSTEM APPROACH MOHAMMAD RIFKI AKBARI
In exploring the interaction between the two very broad areas of environment and development, it is useful to provide some understanding of what these terms actually mean. It is just as important to establish the frame of reference in which the terms are defined, as this will influence subsequent thoughts and actions. Various definitions of development highlighted the keywords or elements which reflect the development process in the countries. In Encyclopaedia Britannica and Fontana Dictionary of Modern Thought, development related with economic which affect the whole dimensions of people’s life, from poor primitive to modern industrial societies, involving qualitative as well as quantitative improvements of life. Moreover, development means a process of self determination of human beings where they can realize their potential and self confidence to the human improvement. This can enhance the representation level of people and as the
empowerlife. These a process and Haggins, 2000).
ment process to improve human’s definitions stated development as as intention as well (Schech and
These aspects of development are all interrelated, however for the purpose of this report, the consideration of development is limited to in terms of economic growth, and adopts a western model in our assumption that the other facets of the development arise from economic growth.
In this way, the ‘traditional’ definition of development, referring to changing existing processes (for example building infrastructure such as roads or cities) is still relevant, it is simply a component of broader economic development.
68
Perencanaan Pembangunan
Relationship between Environmental and Development
Resource allocation, sustainable development and technique choice
The environment is intimately lined with economic development. However the details of just exactly how, and the types of policy responses are still very much debated (Thirlwall, 2003). A simple model of this relationship is shown in Figure 1.0
Goods and services Firms
Households Labour and capital
The economy The environment
In fact, environment becomes part of development through the economic development. Figure 2 shows the connection for 177 nations between GDP per capita and the 2001 Environmental Sustainability Index, measuring 22 environmental dimensions on 67 variables. The best line is displayed and various nations have been marked out. For the developed countries which have higher GDP per capita such as US, Canada, UK, Germany and Japan gain higher level of sustainable environment. On the contrary, for developing countries in Africa such as Tanzania and Ethiopia, obtain lower level of environmental sustainability index because of the minimum economic development in the countries.
Life support
Waste absorption
Amenity
Natural Resources
Figure 1.0. A model of the relationship between economy and environment (Thirwall 2003 p. 402)
Environment is not only related with the economic income but also with the natural resources of the daily life of the community. Developing countries often depend on their natural resources, for example extraction of mineral resources and agriculture with the latter accounting for a relatively large proportion of production in developing countries (Ray, 1998). The environmental vulnerability of the agricultural sector is particularly important. Therefore damage to the environment often considered more important for developing countries rather than developed countries.
It is suggested that in the early stages of economic development, the environmental quality (of a country) sharply decreases, then after some turning point, environmental quality increases with economic development (Mol, 2003). Empiric evidence for this relationship is limited. An Environmental Kuznet’s curve has been hypothesised, which essentially is a variation of the (inverted parabolic) relationship hypothesised by Simon Kuznets between inequal-
90
Canada
Environmental Sustainability Index
80 70
Russia
Germany UK
60
US Japan Italy
50
Israel
Tanzani
40
India
30
Ethiopia
20
China Haiti
Saudi Arabia
10 0
100
1,000
GDP per capita (PPPS)
10,000
Figure 2.0 GDP and Environment Sustainability Index (WEF, 2001)
69
Edisi 02/Tahun XV/2009
100,000
ity and economic development. The curve suggests that at relatively low income levels, environmental pollution (in the form of air emissions) initially increase, then decrease with income. Limited evidence suggests this may hold for some pollutants (such as sulphur dioxide), but the relationship does not hold for other indicators of environmental quality.
there are environmental concerns, but there is no measurement or specification of the environmental quality to be achieved. Weak sustainability emphasises environmental efficiency, such as reducing the environmental impact of each unit of economic activity involving individual parts of economy like firms or sectors. Some commentators have identified that this kind of sustainability does not have a holistic approach to the environment (Gibbs and Healey, 1995). On the other hand, the strong sustainability has indicators of environmental quality to be achieved. This strong version of sustainability does not let economic activities result in a persistent decline of the quality and functions of the environment, even if it may give advantages in some other ways (Gibbs and Healey, 1995).
Sustainable Development – A Brief History Environmental problems have become a significant issue in international development discourse. Since the 1960s, when the environment movement gained prominence in Europe and North America (Adams, 1990), (western) environmentalists argued that the loss of natural habitat and the original way of life is threatened by development projects. Then, in the United Nations Conference on the Human Environment in Stockholm (1972), the concept of sustainable development was popularised. Much of the subsequent literature on this topic is “developed worldcentric” (Adams, 1990), so it is important to note this frame of reference when considering the topic.
Sustainable development has become the standard model for thinking about the environment, development and economy. Whilst sustainable development has been thoroughly articulated at the conceptual level, there is still much discrepancy and inconsistency in how it is applied, and the specific outcomes that are sought. A major problem is just how to compare the welfare of individuals over time (Thirlwall, 2003).
Moreover, the establishment of the issue was acknowledged internationally in 1987. Within the same year, the World Commission on Environment and Development (WCED) published “Our Common Future” agenda which was a set of framework on the concept of sustainable development.
Conflicting Interest in Sustainable Development An analysis of major events on environmental degradation (Rio conference, UNCED) shows that there are three major groups with conflicting interests:
In 1992, the United Nations Conference on Environmental and Development (UNCED) held the largest summit meeting in Rio de Janeiro which was designed to discuss environmental issues and the problems of world poverty. In addition to the conference, the planners of the ‘Rio Declaration on Environment and Development’ achieved Agenda 21 which consisted of 40 sections of environmental and development policies in the world into the twenty-first century.
• Northern countries – how to manage the global resources in favour of developed countries and how to keep South/periphery countries from tapping resources and filling up waste sinks required for their use
• Small elite of Southern countries or Southern leaders – preoccupied with extending boundaries of their economies to follow the path taken by developed countries/ core countries i.e. modernisation
According to the WCED, sustainable development means “development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (quoted in Stokke, 1991). Sustainable development has its focus not only economic and social dimensions but environmental dimension of the development projects. According to Stokke (1991), ecologically sustainable development requires following circumstances; (a) Involves maximizing and optimally distributing the net benefits of economic development; (b) Assure the natural reproduction of capabilities be not drawn down and investment in conserving or improving capabilities be undertaken and sustained so that the environment enhance the natural reproduction; (c) The sustainable development must be carried out in the context of environmental uncertainty. Gibbs and Healey (1995) point out the distinction between ‘weak’ and ‘strong’ forms of sustainability. Past development put a higher priority in economic policy. Although
• Local people who rely on commons – who concentrate on ways which have worked in the past (Hildyard, 1993)
The notion of sustainable development brought the first two groups together and held the third group responsible for the environmental degradation. It also kept the cultural hegemony of North intact as only the countries of North have the capability to find and introduce alternatives for sustainable development (Sachs, 1993). The centrality and inevitability of development in the mainstream environmentalism under the notion of sustainable development allows the Northern and Southern leaders to work for mutual benefits with the help of development aids as negotiating ground.
70
Perencanaan Pembangunan
The Nature of Environmental Problems
Anthropogenic problems are those caused by human’s interaction with the environment. Whilst transformation of the physical environment has been part of development since the inception of human society, there is significant reason to be alarmed at the rate and scale of change. A less alarmist view also exists in the literature (for example Lomborg, 2001) who are more optimistic about the state of the world, however this can be considered the minority view.
In examining the relationship between environmental and development, two types of environmental problems become apparent: those that are naturally caused, and those that are anthropogenic.
Natural problems need to be considered because they have a direct impact on development potential, as well as the rate of development. Much of the developing world located in tropical (low) latitudes in Africa, Asia and Latin America. Therefore it can be argued they have a higher natural vulnerability. For instance, this is in the form of geological and tectonic vulnerability, resulting in earthquakes and/or volcanoes and subsequent environmental problems such as landslides or air pollution. Poor farming conditions may even contribute to the push to migrate to urban areas.
A review of the literature reveals two main anthropogenic ‘problems’ (or fears) that stand out. The first is that economic growth and industrialisation of the developing world will massively increase the amount of negative environmental impact (local and global). A very topical example of a type of impact from this problem or pressure is industrial pollution, particularly from using fossil fuels for energy in China and India. Also falling under this category is ‘green fields’ development, or transforming the existing natural environmental to enable and/or support activity considered important to economic development, for example logging of rainforest, or planting crops for biofuels.
In comparison, the developed world is mainly in the temperate (middle) latitudes with generally favourable climates and fertile soils, and are generally not as vulnerable to environmental conditions Some reports even suggest that global warming could be beneficial to these latitudes, for example Canada (in the form of increased agricultural productivity (Waber, & Hauer, 2003)
The second major problem is population growth, in particular of poor people which, given their short term priority of survival means environmental management and protection is lower priority. This lower priority is exacerbated by political and economic arrangements and conditions in the countries in which they live.
www.earthfinds.com
On a local scale, this may result in deforestation or desertification from poor agricultural practices. It may also include poor urban management as a result of massive ruralurban migration (e.g. Mumbai, Mexico City). This gives rise to another environmental (and social) issue - that of rapid rural-urban migration and the phenomena of urbanisation and urban growth. The push (off the land) and pull (to the city) effects are particularly important issues for developing countries.
On a broader scale, and applicable to both ‘problems’, is the view of that excessive third world debt burden has meant that it has been harder to prioritize on sustainable development. (Kahn, 1995). The criticism is that debt is unfairly imposed on developing countries by global institutions (such as the International Monetary Fund and World Bank). By prioritising debt repayment these institutions have encouraged development activities (such as mining or “industrial agriculture”), placing pressure on governments of developing countries to forgo proper consideration of environmental impacts. Environmental protection would simply make these countries uncompetitive.
71
In relation to these main environmental pressures, two major camps are feature in the literature: the Malthusian (or neo-Malthusian) view and the Copurnicopian view (TylerMiller, 1998). The former considers that the earth has a finite carrying capacity and that the rate and scale of development (especially from population growth) is too much for the earth to sustain. The latter view is more optimistic, Edisi 02/Tahun XV/2009
traction of raw material / renewal of natural resources and waste disposal (Baer, 2008). The theory also allows for the examination of the impact of structural relations between countries on environmental degradation trends in different countries. Unequal power relations between core and periphery countries in the past and even present have a huge impact on how environmental burdens have been distributed around the globe and what alternatives are being considered to reduce /control environmental degradation.
Another important issue to consider in this current distribution is that nations with larger ecological footprints generally experience lower domestic levels of particular forms of environmental degradation within their borders due to externalisation of consumption-based environmental impact through tapping resources in developing countries. A world system approach to the environmental issues might prove helpful in addressing the notion of social justice between the core and periphery countries (Jorgenson & Rice, 2005). World system analysis of the issue might also help to seek / adopt local solutions/ alternatives to the global management approach or a ‘we’ approach proposed and adopted by mainstream environmental organisations following the lead of corporate leaders which aim to have maximum control over untapped natural resources in periphery countries (Sachs, 1993).
yosemitefoothills.com
suggesting that technological advancement and entrepreneurial activity to deal with environmental problems will surface under development pressure. This is coupled with consumer preferences shifting toward environmental protection as living standards increase. The difference in these views is being played out in policy decisions affecting the developing world, but there is no real evidence to suggest that either view is stronger.
Environmental Degradation Trends and World System Position Analysis of some major environmental concerns from a world systems perspective identifies some interesting outcomes. Deforestation: Periphery and semi periphery countries suffer the most intense deforestation because of following reasons:
Environment, Development and World Systems Analysis The relationship between environment and development is particularly useful to examine in this context because it covers human activities in the last 500 years during which capitalism gave rise to over consumption by those at the centre of the modern world system that is discussed as “metabolism rift” by Marx (Wallerstein, 2007). Although the change in land cover use was taking place even before the advent of capitalism and the agricultural activities were facing the constraints posed by the lack of agricultural land, capitalism has a central position in environmental degradation as it is based upon an assumption that the planet has unlimited resources, and allocation of those resources is best determined by consumer preferences. Besides, it committed to maximising profits by reducing the cost at ex-
1) history of exploitation of forest in semi periphery and periphery countries during colonial period,
2) rapid uneven development in peripheries leads to rural encroachment by marginalised groups who do not know sustainable agricultural practices, 3) potential for upward mobility with a focus on industrialisation rather than on environmental protection,
4) even if the forest products are imported from other countries, it leads to deforestation in semi peripheries because of land used for infrastructure development in rapidly urbanising economies of semi periphery countries (Burns, Kick & Davis, 2003) 72
Perencanaan Pembangunan
Goverment
s tudie tific s Scien
Industry associations Market research Legislation
Lobbying
Science
Published research
Environment groups
Products
Invited consultation
Manufacturers
Products
Retailers Sales
Prees releases and actions
Sea
rch
ing
for
new
Consumers Sales
advertising and product offerings
s
Media Agenda setting role
Figure 3. the role of major participants in environmental debate (Source Dowling, G., 1991)
Greenhouse gasses emission: Carbon dioxide (CO2) and methane (CH4) are two of the six major greenhouse gases. The former is a result of fossil fuel use and deforestation while the latter is a product of agriculture, livestock and mining leakages. CO2 is largely produced in core countries whereas CH4 is produced in semi periphery countries.
world’s economic development has been fuelled by taxing the environment, the information from them is not successfully delivered to public. Their findings are published through limited circulation only, thus has not made it easy for public to understand the longer-term environmental consequences of such economic activities.
CO2 production ↑in core → semi core → semi periphery → periphery
Yet, Dowling (1991) argues that it is the environmental groups who have helped translate environmental issues from macro level concerns into specific courses of action for common people to follow. In other words, the groups have become a kind of bridging institution which uses scientific findings as a platform to help substantiate their claims about environmental concerns and make recommendations for remedial action (Dowling, 1991).
CH4 production ↑in semi core → core → semi periphery → periphery
Roberts, Grimes and Manale (2003) have noted that there is a strong correlation between the gross domestic product and production of CO2 and United States is the largest emitter of the greenhouse gas so far.
The media also contribute in the environmental debate with their key role in delivering issues to the public. One fundamental function the media has is to help set the agenda for this debate. “The issue they choose and the way in which these are presented can affect the attitudes and policies of government, manufacturers and consumers” (Dowling, 1991). Industries can also influence policies in which there are mutual interests with government to accelerate economic growth.
Role of Major Participants in Environmental and Sustainable Development Issue Dowling (1991) explains the role of major participants in the environment issue that incorporates government, environment groups, scientists and economists, media, and industries. Each party has its own role and different interests regarding the environment issue. He argues that government and business has believed economic growth as a basic principle of the development of country. This goal of economic growth has been defined in terms of sustainable development like the definition mentioned above which also considers the needs of future generations. While scientists and economists have discovered that much of the
73
There is a need to integrate environmental considerations into development policy making. Therefore, the roles of government are very crucial in this matter. The roles include sanctioning, influencing and manipulating environment-economy interrelationships through the formulation of policies and regulations. Ooi (1995) emphasizes the importance of environmental policy and its enforcement in establishing environment-economy relationships. He takes Edisi 02/Tahun XV/2009
Global Ecology: A New Arena of Political Conflict, edited by Sachs, W., Zed Books, London and New Jersey Jorgenson, A. K., & Rice, J., (2005), Structural Dynamics of International trade and Material Consumption: A Cross-National Study of the Ecological Footprints of Less Developed Countries, Journal of World-Systems Research, xi, I, July, p 57-77 Kahn, J (1995) Third-world debt and tropical deforestation, Ecological Economics, Volume 12, Number 2, February 1995 , pp. 107-123 Lomborg, B., (2001), The Skeptical Environmentalist: Measuring the Real State of the World, NewYork: Cambridge University Press. Mol, A., (2003), Globalisation and Environmental Reform, The Ecological Modernisations of the Global Economy, MIT Press, Massachusetts Ooi, GL., (1995), Environment and the city: sharing Singapore's experience and future challenges, Marshall Cavendish International Ray, D., (1998) Development Economics, Princeton University Press, New Jersey Roberts, T., Grimes, P. E., & Manale, J. L., (2003), Social Roots of Global Environmental Change: A World System Analysis of Carbon Dioxide Emissions, Journal of World-Systems Research, Vol IX, issue 2, pp. 277-315 Sachs, W., (1993), Global Ecology and the Shadow of ‘Development’, in Global Ecology: A New Arena of Political Conflict, edited by Sachs, W., Zed Books, London and New Jersey Schech. S., and Haggis, J., (2000) Culture and Development Oxford: Blackwell 2-16. Stokke, O., (1991), Sustainable Development, Frank Cass, London Thirlwall, P., (2003) Growth and Development (with special reference to developing economies) 7th edition, Plagrave Macmillan, London Tyler-Miller, G., (1998) Living in the Environment, Wadsworth Publishing, California Wallerstein, I, (2007), The Ecology and the Economy: What Is Rational, in Rethinking Environmental History: World System History and Global Environmental Change, edited by Hornborg, A., McNeill, J. R., & Martinez-Alier, J., Alta Mira Press, UK Weber, M. & Hauer, G., (2003), A Regional Analysis of Climate Change Impact on Canadian Agriculture, Canadian Public Policy, University of Toronto Press, Volume 29, issue 2, pp. 163- 179 World Economic Forum, (2001), Environmental Sustainability Index: An Initiative of the Global Leaders of Tomorrow Environment Task Force, Davos
an example of Singapore. According to him, policy has been orientated towards the control of pollution rather than the protection and management of the environment. Thus, nature conservation has been neglected and public participation in setting an environmental agenda has been compromised by the strong role of the state and the emphasis that has been given to the development economic policies. Summary Sustainable development is inherently values based. The trade-off between industrialisation and economic development of the South and (potentially short term) environmental degradation has no objective solution. The frame of reference in which the problems are considered and policies are formed is particularly important. The World System Analysis emphasises upon the need to understand contemporary issues of today’s world with appropriate consideration to the historical continuity of differences between the core and periphery countries. However, it leaves a question mark for us whether it is really possible to have ecological sustainable development or is it just rhetoric to support the development agenda of proponents of modernisation and maintaining the hegemony of core countries. •
Mohammad Rifki Akbari, Directorate Staff of Bilateral Foreign Funding, Bappenas References Adams, W., (1990), Green Development: Environment and Sustainability in the Third World, London: Routledge Baer, H., (2008), Global Warming as a By-Product of the Capitalist Trademill of Production and Consumption – The Need for an Alternative Global System, Australian Journal of Anthropology, 19 (1), p 1-4 Burns, TJ., Kick, EL., Davis, B., (2003), Theorizing and Rethinking Linkages between the Natural Environment and the Modern World, Journal of World-Systems Research, Vol. 9, pp. 357-392 Dowling, G., (1991), Environmentalism and Consumer Tastes, in The Environmental Challenge, edited by Marsh, I., Longman, Melbourne Encyclopaedia Britannica, Economic development http://111.britannica.com/eb/article?eu=108996, accessed October 26, 2008. Hildyard, N., (1993), Foxes in Charge of the Chickens, in
74
Perencanaan Pembangunan
MENTALITAS BIROKRASI DALAM PELAYANAN PUBLIK ENDAH SETYOWATI
ABSTRAK: Salah satu faktor yang menyebabkan buruknya pelayanan publik adalah mentalitas birokrasi. Untuk memperbaiki kondisi ini bisa ditelusuri baik dari perspektif budaya maupun etika. Perspektif budaya menekankan pada perbaikan sikap dan perilaku yang berorientasi kepada peningkatan kinerja, sedangkan dalam perspektif etika dijelaskan perlunya menanamkan nilai-nilai moral yang baik secara terus menerus diseluruh jenjang kepegawaian. Berangkat dari kedua perspektif tersebut dalam pelayanan publik diupayakan adanya perubahan secara mendasar baik mind set maupun culture set penyelenggara negara dari mentalitas yang bersifat mengawasi, mengontrol dan menguasai masyarakat menjadikan birokrasi yang pro kepada good public service serta tata kelola pemerintahan. Keyword: mentalitas birokrasi, public service, perspektif budaya, perspektif etika I. Pendahuluan Pada awalnya, birokrasi dibangun dengan maksud sebagai sarana bagi pemerintah yang berkuasa untuk melaksanakan pelayanan publik sesuai dengan aspirasi masyarakat. Birokrasi adalah suatu tipe organisasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas admistratif yang sangat banyak dengan cara mengkoordinasikan secara sistematis pekerjaan dari banyak orang. Melalui birokrasi berbagai keputusan pemerintah diharapkan dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien melalui aparatur pemerintah. Karena keputusan politik hanya akan bermanfaat bagi warga negara jika pemerintah mempunyai birokrasi yang responsif, bekerja sistematis dan efisien. Namun demikian, setiap mendengar kata birokrasi, persepsi yang muncul bukanlah tentang manfaatnya yang positif bagi kemajuan bangsa dan untuk memenuhi kebutuhan warga negara, tetapi persepsi negatif. Orang lebih banyak mengartikan birokrasi sebagai penyakit birokrasi (”biropatologi”) daripada organisasi rasional yang bermanfaat (”rasionalitas biro”). Dalam konteks hubungan antara negara dengan warga negara, organisasi birokrasi dimaksudkan untuk memberikan pelayanan yang baik sehubungan dengan adanya berbagai pengaturan dalam kehidupan bermasyarakat dimana in-
forumpedulidemokrasi.wordpress.com
75
Edisi 02/Tahun XV/2009
dividu itu hidup. Misalnya, untuk mengetahui keabsahan bahwa seseorang adalah penduduk suatu kota, maka dia diharuskan mencatatkan diri sebagai penduduk. Untuk maksud ini birokrasi memberikan pelayanan pencatatan melalui mekanisme pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK). Dalam proses ini lah muncul berbagai persepsi negatif tentang birokrasi. Hal yang muncul dalam benak orang ketika mendengar kata birokrasi adalah urusan-urusan yang menjengkelkan dan membuatnya stres, yang berhubungan dengan pengisian formulir-formulir yang tidak efisien dan pengurusan izin yang berbelit-belit, aturan-aturan ketat yang tidak boleh dilanggar, waktu yang lama, dan sebagainya. Pendek kata, pelayanan birokrasi sangat buruk. Mengutip Turner dan Hulme, dalam Said (2007) menggambarkan organisasi birokratis itu sebagai organisasi yang lamban, membosankan, rutin, rumit prosedurnya, dan buruk adaptasinya terhadap kebutuhan yang harus mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita akan rasa frustrasi yang terus menerus dirasakan oleh para anggotanya.
konteks birokrasi Indonesia, hubungan seperti ini berlangsung bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun, sehingga menjadi internalized (mendarah daging) dan menjadi kebiasaan dalam pelayanan birokrasi di Indonesia. Pendek kata, ”ada uang ada pelayanan”, dan semua ini merupakan hal yang biasa, dianggap wajar dalam mekanisme organisasi birokrasi. Terjadinya hubungan yang kolutif dan koruptif ini karena telah menjadi kebiasaan dalam pelayanan birokrasi, maka orang kemudian menyebutnya dengan istilah ”membudaya”, suatu istilah yang menunjuk pada sikap dan perilaku yang telah menjadi kebiasaan, dilakukan berulang-ulang sehingga sifatnya sebagai perilaku koruptif dan kolutif tidak lagi nampak. Menurut Kwik (2008) pelayanan apapun oleh birokrasi selalu disertai permintaan pembayaran ekstra di luar biaya resmi. Jika pengguna jasa layanan tidak mau membayar maka dia akan menghadapi kesulitan yang dicari-cari dan dibuat-dibuat. Korupsi dianggap sebagai praktek yang sudah mendarah daging, sehingga kalau tidak ada korupsi kita malah merasa heran. Kwik (2008) menyebutnya sebagai corrupted mind, artinya seorang koruptor tidak lagi mengetahui apakah tindakannya tergolong korupsi atau tidak Inilah yang menjadi salah satu faktor penghambat penting, bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia setelah UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberlakukan.
Bagi mereka yang tidak tahan dengan situasi ini, kemudian mencari jalan pintas. Bentuknya bermacam-macam, mulai dari membangun hubungan personal yang akrab, sampai pada pemberian suap1. Melalui cara seperti ini pelayanan dapat berlangsung relatif cepat, karena aparatur menjadi ”lebih responsif” dalam melayani, dan pengguna jasa memperoleh perlakuan khusus, misalnya tidak perlu antri, tidak perlu mengurus sendiri ke meja berikutnya, dan sebagainya. Hubungan antara aparatur birokrasi dan masyarakat pengguna jasa layanan berubah bentuk dari impersonal menjadi personal, saling membutuhkan dan tergantung satu sama lain (simbiosis). Aparatur membutuhkan uang balas jasa dari masyarakat pengguna jasa, sedangkan pengguna jasa membutuhkan pelayanan yang cepat dari aparatur. Dalam
Seiring dengan pelaksanaan reformasi administrasi yang menyangkut pembenahan birokrasi diupayakan agar terjadi perbaikian kualitas dalam pelayanan publik. Oleh karena itu tulisan ini dimaksudkan untuk menganalisis buruknya pelayanan publik dari aspek mentalitas birokrasi. Selanjutnya digunakan dua perspektif dalam mengaji hal tersebut yaitu perspektif budaya dan perspektif etika sehingga dapat dicari jalan keluar untuk permasalahan rendahnya kualitas pelayanan publik.
76
Perencanaan Pembangunan
II. Persepsi Tentang Birokrasi
bahwa birokrasi itu tidak tertembus olehnya. Birokrasi adalah superordinasi dan masyarakat pengguna jasa hanyalah sub-ordinasi saja.
Persepsi tentang birokrasi pemerintah, oleh Thoha (2007) dilukiskan sebagai kerajaan pejabat (officialdom). Suatu kerajaan yang raja-rajanya adalah para pejabat. Negaranya adalah organisasi birokrasi yang berdaulat atas semua jenis pelayanan apa pun. Rakyatnya adalah para pengguna jasa layanan. Di dalam kerajaan birokrasi ini terdapat tandatanda bahwa seseorang mempunyai yurisdikasi yang jelas dan pasti dalam batas wilayah ofisial yang yurisdiktif. Di dalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi (official duties) yang menjelaskan batas-batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaan-nya. Mereka memperoleh gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya. Selain itu, di dalam kerajaan pejabat tersebut, proses komunikasi didasarkan pada dokumen tertulis (the files).
Selanjutnya, Weber dalam Albrow (2005) menyatakan birokrasi dipersepsikan sebagai organisasi rasional yang dinyatakan sebagai tipe ideal. Weber memandang birokrasi sebagai sebagai suatu mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri-ciri khas seperti : spesialisasi tenaga kerja, peraturan dan prosedur formal yg tertulis, impersonal, hierarkhi diterapkan dengan baik dan pengembangan karir atas dasar jasa yang diberikan. Disisi lain Dimock dalam Albrow (2005) memandang birokrasi sebagai susunan manifestasi kelembagaan yang cenderung ke arah infleksibilitas dan dipersonalisasi sehingga birokrasi dikatakan sebagai inefisiensi organisasi.
Selanjutnya Thoha (2007), menyatakan bahwa pejabat adalah orang yang menduduki jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintah. Kekuasaan pejabat ini amat menentukan, karena segala urusan yang berhubungan dengan jabatan tersebut maka orang yang menduduki jabatan itulah yang menentukan segalanya. Jabatan-jabatan tersebut disusun dalam tatanan hierarki dari atas ke bawah. Jabatan yang berada pada hierarki paling atas mempunyai kekuasaan paling besar daripada jabatan yang berada di bawahnya. Semua jabatan tersebut dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang mencerminkan kekuasaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari simbol-simbol yang digunakan, mulai dari mobil yang dipakai, rumah dinas, para pengawal atau ajudan, sekretaris, sampai pada hal-hal yang kecil seperti pakaian, sepatu, dan bahkan cara berbicara. Di luar hierarki kerajaan pejabat tersebut terdapat rakyat yang lemah atau powerless di hadapan mereka. Karena itu birokrasi disebut kerajaan pejabat yang jauh dari rakyat. Dalam kerajaan pejabat di negara birokratis, terjadi pensakralan terhadap jabatan birokrasi. Segala jenis urusan, mulai dari yang sederhana sampai yang rumit (kompleks), selalu membutuhkan legitimasi birokrasi pemerintah. Rakyat membutuhkan dan memperoleh rizki maupun pelayanan dari aparatur birokrasi. Mulai dari pedagang kaki lima sampai pengusaha kelas kakap, semuanya tidak ada yang luput dari kaki-tangan pejabat birokrasi. Dari yang pribumi, pendatang maupun orang asing pasti berhubung-an dengan pejabat birokrasi pemerintah atau para pelaksananya. Birokrasi kemudian menjadi sosok yang adidaya, adikuasa di hadapan rakyat, dan rakyat mensakralkannya. Para orang tua selalu bercita-cita agar anaknya dapat menjadi pegawai birokrasi, apa pun tingkat dan jenis pekerjaannya, bila perlu dengan menyuap pun dilakukan. Birokrasi menjadi mirip dengan keris atau batu akik yang memiliki kekuatan magis dan dikramatkan. Karena itu, rakyat memiliki posisi lemah di hadapan birokrasi. Oleh karena itu, agar tujuannya tercapai, sedangkan mereka tidak mempunyai kekuatan, maka cara yang terbaik adalah pasrah (surrender). Penyerahan diri seperti ini sekaligus menunjukkan adanya pengakuan
III. Penyakit Birokrasi Munculnya penyakit birokrasi atau biro patologi, sebagaimana dalam uraian di atas, lebih banyak disebabkan oleh perilaku para birokrat, walaupun masyarakat pengguna jasa juga memiliki andil dalam menciptakan situasi tersebut. Beberapa tindakan birokrat yang dipandang telah memunculkan persepsi negatif dilukiskan secara baik oleh Siagian (1996), sebagai berikut: (1) memperlambat proses penyelesaian pemberian izin; (2) mencari-cari alasan, misalnya dengan mengatakan: ”dokumen pendukung kurang lengkap”, ”keterlambatan pengajuan permohonan”, dan sebagainya; (3) alasan kesibukan karena ada pekerjaan lain; (4) sulit dihubungi; (5) senantiasa memperlambat, misalnya dengan menggunakan kata-kata ”sedang diproses”.
Dalam bahasa yang lain, Syafiie (2004), menjelaskan perilaku dari birokrat yang melahirkan penyakit birokrasi, sebagai berikut: (1) budaya feodalistik yang masih terasa; (2) kebiasaan menunggu petunjuk atau pengarahan; (3) loyalitas kepada atasan dan bukan pada tugas organisasi; (4) belum berorientasi pada prestasi; (5) keinginan untuk melayani masih rendah; (6) belum ditopang teknologi secara menyeluruh; (7) budaya ekonomi biaya tinggi; dan (8) jumlah pegawai negeri relatif banyak tetapi kurang berkualitas. IV. Mentalitas Birokrasi dalam Pelayanan Publik
77
Pembahasan tentang pelayanan publik seharusnya tidak hanya diamati dari perspektif tatanan sistem birokrasi yang kurang baik. Artinya, jika kita melakukan análisis atas pelayanan publik, fokus pengamatan tidak hanya pada variabel prosedur, mekanisme kerja, dan aspek lain yang bersifat prosedural, tetapi juga análisis terhadap variabel perilaku dari birokrasi itu sendiri dalam memberikan pelayanan. Dengan kata lain, buruknya pelayanan publik bukanlah disebabkan oleh suatu faktor tunggal tetapi juga Edisi 02/Tahun XV/2009
oleh banyak faktor lain. Salah satu faktor tersebut yang menjadi bahasan dalam tulisan ini adalah masalah mentalitas birokrasi. Persoalan ini berkaitan dengan sikap dan perilaku birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa. Dalam konteks ini, pelayanan publik dilihat dari perspektif budaya dan etika.
Kebiasaan dalam tubuh birokrasi yang cenderung berorientasi ke atas, oleh Kumorotomo (2006), juga dianggap sebagai penyebab terjadinya penyelewengan dan tendensi ke arah korupsi. Seorang pemimpin instansi tidak berani menindak bawahannya sebelum ada perintah atau izin dari pejabat yang lebih tinggi. Pada saat izin diberikan, tindakan disiplin biasanya sudah terlambat karena penyelewengan tersebut sudah menular atau berganti rupa. Orientasi birokrasi ke atas, juga tampak dalam kebiasaan pejabat yang melapor kepada atasan dengan bertandang ke rumahnya, meminta petunjuk, dan menganggap bahwa apa pun yang direncanakan atasan adalah baik bagi bawahan. Kebiasan-kebiasan seperti ini tanpa disadari telah melemahkan disiplin personal, dan menganggap perilaku negatif tersebut sebagai sesuatu yang sudah biasa, dan seharusnya seperti itu.
Perspektif Budaya. Dalam sudut pandang ini, buruknya pelayanan publik disebabkan oleh kebiasaan yang telah mentradisi, yang kemudian menjelma menjadi sikap dan perilaku korup. Sebaliknya pelayanan yang baik, juga disebabkan oleh kebiasaan pelayanan yang telah terbina secara baik dalam tubuh birokrasi. Dalam perspektif ini, terdapat kebiasaan seseorang atau kelompok tertentu, atau bahkan masyarakat yang kemudian menjadi dasar dari budaya korup dalam pelayanan publik. Di zaman kerajaan ada kebiasaan untuk memberi upeti kepada raja, sebagai bentuk ungkapan kesetiaan atau loyalitas. Salah satu strategi politik yang digunakan Raja Mataram untuk mencegah para bupati melepaskan diri dari kekuasaan raja adalah dengan mengharuskan para bupati agar menghadap raja minimal tiga kali dalam setahun, yaitu pada hari besar kerajaan (Garebeg Maulud, Garebeg Syawal, dan Garebeg Besar). Pada saat menghadap raja inilah para bupati mempersembahkan upeti kepada raja sebagai bukti kesetiaan daerahnya (Dwiyanto, et al., 2006).
Kebiasaan melakukan penerimaan pegawai dengan menerima uang suap atau imbalan jasa dalam bentuk lain, juga dipercaya akan menghasilkan pegawai yang korup. Memperoleh promosi jabatan ke tingkat yang lebih tinggi melalui pemberian sogokan juga dapat membentuk budaya korup di lingkungan kerja. Demikian pula penggunaan money politics dalam proses pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) dapat menjadi dasar melakukan korupsi setelah menjabat kelak. Semua bentuk kegiatan tersebut dapat menyuburkan sikap dan perilaku korup di masyarakat. Banyak orang tua mencari orang-orang yang dapat membantu memasukkan anaknya menjadi pegawai di suatu instansi. Tidak sedikit orang yang menjadi korban penipuan dengan cara ini. Pegawai yang diterima atau pegawai yang dipromosikan dan pejabat yang dipilih melalui korupsi akan berupaya untuk mengembalikan ”modal”-nya, yang telah ”diinvestasikan” dalam bentuk uang suap, pada saat dia bekerja atau menduduki jabatan tertentu. Hal seperti ini dipandang sebagai suatu tindakan yang absah saja dilakukannya, tanpa menyadari bahwa hal itu merupakan perbuatan korup.
M.T.Zen (2007), menyatakan bahwa sifat permisif merupakan dasar terbentuknya budaya korup. Sikap seseorang atau masyarakat yang membiarkan orang lain melakukan hal-hal yang tidak baik, maka akan menjadikan hal-hal yang semula “tidak baik” tadi berubah menjadi sesuatu yang dipandang “baik”. Pada masa revolusi, semua yang berbau Belanda, atau bahkan yang berbau Barat dianggap jelek sehingga harus dibuang jauh-jauh. Hal yang terjadi selanjutnya adalah, apa saja yang ditinggalkan Belanda, seperti perilaku rapi, bersih, tepat waktu, taat aturan, menghormati sesama, dan menghormati orang tua atau atasan, dianggap tidak penting lagi. Sebab, semua itu adalah aturan Belanda. Jika seorang bawahan ditegur atasannya karena datang terlambat, dia akan marah dan mengatakan: “kolonial”. Dalam contoh ini, sikap dan perilaku “baik”, malah dianggap “buruk”, hanya karena berasosiasi dengan sesuatu yang tidak disukai sebelumnya.
Menurut Kumorotomo (2006), permasalahan pokok dalam mengendalikan korupsi di suatu negara adalah apabila korupsi telah menjadi bagian dari sejarah masyarakat yang bersangkutan. Di dalam sistem sosial yang masih terpengaruh feodalisme, upeti menjadi sumber utama korupsi yang sangat sulit diubah. Para penguasa feodal, zaman kerajaan, mempunyai hak istimewa untuk menarik pajak tertentu dari penduduk. Pada zaman modern sekarang ini, para pejabat publik, dengan pola tindakan tertentu yang disesuaikan dengan situasi dan kondisinya, berusaha memperoleh berbagai keuntungan dengan memanfaatkan kedudukan dan posisinya. Mereka, pada intinya, berusaha mempertahankan sistem upeti untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Oleh karena itu, mereformasi birokrasi bagi penganut perspektif budaya, adalah mereformasi perilaku birokrasi. Mengubah budaya kerja yang feodalistik menjadi budaya kerja berorientasi kinerja. Mengubah budaya kerja dari “dilayani” menjadi “pelayan” masyarakat, bukan “abdi-dalem” atau “abdi-raja”, tetapi “abdi-masyarakat”. Menurut perspektif budaya, pola pikir feodal yang masih mewarnai perilaku para birokrat di Indonesia mengakibatkan terjadinya konflik loyalitas, harus diubah. Para birokrat harus dapat mengidentifikasikan kedudukannya sendiri sehingga dapat membedakan antara loyalitas kepada keluarga, golongan, partai, dengan loyalitas kepada negara dan bangsa. Prinsip the right man on the right place sebagai ciri birokrasi modern, harus diterapkan dalam setiap proses penerimaan dan promosi pegawai.
78
Budaya birokrasi yang cenderung paternalistik dengan karakteristik hubungan atasan-bawahan yang sangat pribadi, harus diubah menjadi hubungan yang impersonal, dengan mengubah orientasi loyalitas dari “kepada Perencanaan Pembangunan
atasan” menjadi “kepada organisasi”. Orientasi kerja yang semula karena “taat pada atasan” diubah menjadi karena “taat pada tujuan organisasi”. Hal ini bukanlah berarti hubungan manusiawi antara atasan dengan bawahan dan antara sesama rekan sekerja dihilangkan sama sekali, sehingga suasana kerja kehilangan makna kemanusiaannya, tetapi hubungan kerja harus dibangun dalam suatu kebersamaan untuk mencapai tujuan organisasi dan dengan demikian juga sekaligus pencapaian tujuan pribadi. Perasaan hormat terhadap atasan dan juga menghormati sesama rekan sekerja harus tetap ada dan dikembangkan dalam konteks yang lebih profesional. Artinya, yang berlaku adalah aturan organisasi, dan oleh karena itu sikap permisif atas segala bentuk perilaku menyimpang tidak boleh dibiarkan.
dari sistem tersebut tidak dijiwai oleh nilai-nilai integritas, kejujuran, dan harkat kemanusiaan, maka sistem yang baik tersebut tidak akan efektif mencegah perilaku korup. Pelaku dan penyebar korupsi menurut perspektif ini adalah homo venalis, yaitu orang-orang yang berjiwa korup dan lebih sering menggunakan cara-cara korup dalam kehidupannya. Dalam konteks perspektif ini, Kumorotomo (1999) mendefiniskan korupsi sebagai kejahatan yang tidak mengandung kekerasan (non-violence), namun dengan melibatkan unsur-unsur tipu muslihat (guile), ketidakjujuran (deceit) dan menyembunyikan suatu kenyataan (concealment).
Karena faktor penyebab korupsi menurut perspektif ini adalah berpusat pada masalah moral, maka pendekatan yang disarankan dalam reformasi birokrasi adalah sosialisasi nilai-nilai moral kepada para pejabat di seluruh jenjang administrasi publik, terutama yang menyangkut pengendalian diri. Nilai-nilai pengendalian diri ini menyangkut kesadaran bahwa setiap manusia harus terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik bagi orang lain dan masyarakatnya. Pembentukan sikap dasar yang demikian ini sangat penting untuk mewujudkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam hubungan sosial antara manusia pribadi dengan masyarakatnya. Dalam konteks ini, pengendalian diri amat diperlukan, sehingga manusia terhindar dari sikap egois, sikap mementingkan diri sendiri, sikap merendahkan orang lain, dan sebagainya. Sasaran akhir dari sikap hidup yang mampu mengendalikan diri adalah lahirnya individu yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) mampu meletakkan kepentingan pribadinya dalam kerangka kesadaran kewajibannya sebagai makhluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara; dan (2) kewajiban terhadap bangsa dan negara dirasakan lebih utama dibandingkan dengan kepentingan pribadinya.
Para pengkritik teori budaya selalu beranggapan bahwa mengubah budaya itu bukanlah hal yang mudah. Bahkan ada yang menyatakan bahwa untuk suatu perubahan perilaku yang sudah internalized dibutuhkan waktu satu atau bahkan dua generasi. Kesulitannya terletak pada ketiadaan kemauan semua pihak untuk memulai menerapkan nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan, dan profesionalitas dalam melaksanakan pekerjaan. Menurut Kumorotomo (1999), apabila gejala-gejala administratif --- uang semir, salam tempel, uang pelicin, uang rokok, dan berbagai macam istilah lain untuk menunjukkan pungutan liar atas pelayanan publik --- meluas di dalam masyarakat dan membudaya dalam pola-pola kegiatan adminsitrasi publik, maka korupsi menjelma menjadi suatu sistem yang sulit diubah. Sistem uang rokok (bakshish system) berubah menjadi pola umum dan bisa menjalar ke satuan kegiatan administratif lain yang sebelumnya tidak tersentuh korupsi. Jika demikian, maka upaya perubahan akan membutuhkan waktu yang lama dan lebih sulit dilakukan. Budaya paternalitistik dalam pelayanan publik yang menjadi dasar tumbuh suburnya budaya korup, sulit diubah karena posisi tawar pengguna jasa layanan dalam pola peternalisme sangat lemah. Sebagaimana dikatakan Dwiyanto, et.al, (2006), dalam pola paternalisme, masyarakat pengguna jasa tidak dapat berbuat banyak saat berhadapan dengan pelayanan yang tidak memuaskan mereka. Keluhan yang disampaikan kepada aparatur birokrasi seringkali tidak mendapat respon yang positif. Hal ini dikarenakan masyarakat pengguna jasa tidak memahami mekanisme pengaduan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah adanya perasaan takut dari pengguna jasa layanan untuk mengadukan aparatur birokrasi yang meminta imbalan, atau melakukan perbuatan tercela lainnya. Kondisi seperti ini, menurut pengkritik perspektif budaya, kurang diperhatikan oleh penganut perspektif budaya.
Perspektif Etika. Menurut perspektif ini, buruknya pelayanan publik bukan karena faktor ekonomi, tetapi karena mentalitas pelakunya. Korupsi birokratis dalam pelayanan publik bersumber dari unsur manusia atau nilai-nilai moral yang dianut masyarakatnya. Walaupun sistem pemerintahan sudah relatif baik, tetapi jika individu pelaksana
Penganut perspektif ini juga menyarankan agar pembinaan agama di lingkungan kerja terus diintensifkan dengan memperbanyak kegiatan ritual sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Para pemimpin didorong agar memberikan teladan perilaku moral yang baik. Tempattempat ibadah di lingkungan kerja harus tersedia, dengan fasilitas yang lengkap. Di samping itu harus tersedia insentif bagi pegawai yang bekerja dengan rajin dan jujur. Karena, sebagaimana dinyatakan oleh Marzoeki (2008), tinggi rendahnya moral seseorang tidak terlepas dari etika kejujuran. Karena itu tes kepribadian untuk mengetahui kecenderungan perilaku seorang calon pegawai, apakah dia adalah seorang calon yang dapat dipercaya atau tidak, penting untuk dilakukan.
79
Bagi sebagian orang, pendekatan moral dalam upaya reformasi birokrasi dinilai sulit untuk berhasil, bahkan dalam kasus Indonesia dikatakan gagal menjadi pendekatan utama. Mereka menunjuk kasus-kasus korupsi yang terjadi di lingkungan Departemen Agama, yang seharusnya menjadi contoh bagi birokrasi pada lembaga negara yang lainnya. Penyelewengan dana umat yang dikumpulkan Edisi 02/Tahun XV/2009
tetapi upaya yang terus menerus dilakukan untuk menciptakan efisiensi;
(4) reinventing government tidak sinonim dengan perampingan pemerintah, karena perampingan pemerintah belum tentu dapat memaksimumkan kinerja;
(5) reinventing government juga tidak sinonim dengan privatisasi, tetapi lebih mengarah pada persaingan dan program pilihan pelanggan, suatu program yang memungkinkan pelanggan bisa memilih penyedia produk atau jasa yang diinginkan; (6) reinventing government bukanlah sekedar membuat pemerin-tahan jadi lebih efisien, tetapi pemerintahan yang lebih baik; karena adalah percuma kita memiliki institusi pendidikan yang murah tetapi tidak bermutu, atau institusi kepolisian yang murah tetapi tingkat kejahatan tinggi;
www.nakerkesra.org
(7) reinventing government tidak sama dengan manajemen mutu terpadu atau rekayasa ulang proses bisnis, karena kedua hal ini hanyalah alat yang dapat membantu keberhasilan seorang pembaru jika digunakan secara strategis; jika tujuannya adalah transformasi maka perangkat manajemen bisnis tidaklah cukup.
dari kegiatan ibadah haji, adalah salah satu contoh kegagalan dari sebuah lembaga yang seharusnya menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Karena itu para pengkritik menganjurkan agar masalah moral dan etika dijadikan kurikulum tingkat dasar yang diwajibkan bagi siswa sekolah dasar dan menengah, selain pendidikan agama. Dengan demikian masalah korupsi sudah dipahami sejak dini, tidak menununggu seseorang menjadi pegawai atau pejabat.
Setelah mengungkapkan semua konsep yang tidak tergolong ke dalam reinventing government, Osborne dan Plastrik (2000), akhirnya sampai pada definisi reinventing government sebagai transformasi sistem dan organisasi pemerintahan secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatis dalam efektivitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Transformasi ini dicapai dengan mengubah tujuan, sistem insentif, pertanggung-jawaban, struktur kekuasaan, budaya, sistem dan organisasi pemerintahan.
Disamping paparan diatas upaya untuk mengubah persepsi negatif tentang birokrasi yang menjadi masalah dalam pelayanan publik sebenarnya terus dilakukan oleh banyak negara di dunia. Upaya yang paling populer kita kenal dengan istilah Reinventing Government (Pembaruan Pemerintah)2. Namun demikian, terhadap penggunaan istilah ini, Osborne dan Plastrik (2000) mengingatkan bahwa istilah ini digunakan oleh banyak orang dalam intensitas yang tinggi untuk menguraikan begitu banyak agenda sehingga istilah atau konsep tersebut menjadi tidak jelas maknanya. Oleh karena itu mereka mengelompokkan beberapa konsep yang tidak sama atau tidak tergolong dalam makna reinventing government. Konsep dimaksud adalah sebagai berikut:
Reinventing government adalah penggantian sistem birokratis menjadi sistem yang bersifat wirausaha. Pembaruan adalah menciptakan organisasi dan sistem pemerintahan yang terus menerus berinovasi, yang secara kontinyu memperbaiki kualitasnya, tanpa mendapat tekanan dari pihak luar. Pembaruan adalah penciptaan sektor pemerintahan yang mempunyai dorongan dari dalam untuk melakukan perbaikan, atau yang disebut dengan ”sistem pembaruan diri”. Dengan kata lain, reinventing government membuat pemerintah siap untuk menghadapi tantangan yang belum bisa diantisipasi. Tidak hanya memperbaiki efektivitas saat sekarang, pembaruan menciptakan organisasi yang mampu memperbaiki efektivitasnya di masa mendatang pada saat lingkungan mereka berubah. Pembaruan menciptakan organisasi yang mampu menduduki peringkat tertinggi, dengan pelayanan terbaik dalam pelaksanaan tugasnya, karena kemampuannya meletakkan pelayanan pada tempat yang paling mudah dijangkau dan dimanfaatkan oleh pelanggannya.
(1) reinventing government bukanlah perubahan dalam sistem politik, misalnya kampanye reformasi keuangan, reformasi badan legislatif atau parlemen, dan sebagainya;
(2) reinventing government juga bukan berarti reorganisasi, tetapi restrukturisasi organisasi dan sistem pemerintahan dengan mengubah tujuan, insentif, akuntabilitas, distribusi kekuasaan, dan budaya kerja para pegawai; (3) reinventing government bukan sekedar menghilangkan pemborosan, kecurangan, dan penyelewengan,
80
Perencanaan Pembangunan
V. Penutup Kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik selalu manjadi agenda dalam pelaksanaan reformasi administrasi dalam melakukan pembenahan dalam birokrasi mengingat masyarakat belum banyak yang mendapatkan kepuasaaan. Kondisi ini menjadi masalah birokrasi yang utama oleh karenanya perbaikan harus diupayakan dengan analisa yang tepat artinya sistem kerja diperbaiki demikian juga dengan mentalitas birokrasi karena keduanya saling mempengaruhi. Sistem yang buruk dalam birokrasi bisa menyebabkan aparat yang baik bisa bekerja dengan buruk demikian sebaliknya aparat yang buruk bisa menjadi baik karena sistem yang ada dalam birokrasi berjalan dengan baik. Ada dua perspektif yang ditawarkan dalam tulisan ini untuk mengaji masalah mentalitas birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada publik yaitu perspektif budaya dan perspektif etika. Dalam persepktif budaya buruknya pelayanan publik disebabkan karena kebiasaan yang telah mentradisi yang akhirnya menjelma menjadi sikap dan perilaku korup. Tidak mudah untuk merubah sikap dan perilaku yang tidak baik tersebut karena sudah mendarah daging tetapi harus tetap diupayakan agar mentalitas birokrasi lebih baik dalam memberikan pelayanan. Upaya yang dilakukan antara lain mengubah budaya kerja yang feodalistik menjadi budaya kerja yang berorientasi kapada kinerja artinya mengubah budaya dari ”dilayani” menjadi ”melayani” masyarakat. Budaya kerja birokrasi yang cenderung paternalistik harus diubah menjadi hubungan yang impersonal sehingga orientasi kerja kepada organisasi bukan kepada atasan.
Selanjutnya dalam perspektif etika, buruknya pelayanan birokrasi bersumber dari moral dan nilai yang dianut oleh birokrat. Oleh karena itu untuk mrmperbaiki pelayanan publik dari perspektif etika diarahkan kepada sosialisasi nilai-nilai moral ke seluruh jenjang birokrasi terutama dalam hal pengendalian diri agar mereka terpanggil untuk melakukan apa yang baik bagi masyarakat dan mendahulukan kepentingan masyarakat dalam memberikan pelayanan dibandingkan dengan kepentingan pribadi. Yang tidak kalah pentingnya dalam membenahi mentalitas birokrasi dalam perspektif ini adalah membinaan agama dengan beberapa acara ritual sesuai dengan ajaran agama yang dianut, menyediakan sarana beribadah yang layak dan perlunya dipikirkan tentang reward bagi pegawai yang jujur dalam menjalankan pekerjaannya. •
Endah Setyowati, Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya, Malang
Catatan Dikenal dengan banyak sebutan lain, antara lain: sogokan, uang pelicin, biaya administrasi, uang pelayanan, uang jasa, salam tempel, komisi. 2 Sebenarnya banyak konsep lain yang memiliki tujuan sama dalam implementasinya, yaitu mengubah persepsi negatif tentang birokrasi, misalnya: reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi pelayanan publik, dan sebagainya. 1
DAFTAR PUSTAKA Albrow, Martin, 2005. Birokrasi. Terjemahan: M. Rusli dan Totok Daryanto,. Yogyakarta: Tiara Wacana. Dwiyanto, Agus, et al., 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. --------------, 2006. “Strategi Melakukan Reformasi Birokrasi Pemeirntah di Indonesia”, dalam Agus Dwiyanto (ed), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kumorotomo, Wahyudi, 1999. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. ---------------, 2006. ”Pelayanan yang Akuntabel dan Bebas dari Praktik KKN”. Dalam Agus Dwiyanto, et al. (ed.), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Kwik Kian Gie, “Paradoks Semangat Pemberantasan Korupsi”, Jawa Pos, 10 Maret 2008. Makmur, Taufiq ST., 2007. Obat Anti Korupsi. Depok, Banten: Koekoesan. Marzoeki, Djohansjah, 2008. “Koruptor kok Minta Dibilang Bermoral”. Dalam Jawa Pos, 18 Maret 2008, h.4. Osborne, David; dan Ted Gaebler, 1996. Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasi Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid. Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo. Osborne, David; dan Peter Plastrik, 2000. Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha. Edisi Revisi. Diterjemahkan oleh Abdul Rosyid dan Ramelan. Jakarta: Penerbit PPM. Siagian, S.P., 1996. Patologi Birokrasi. Jakarta: Bumi Aksara. Thoha, Miftah, 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. ---------------, 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Zen, M.T., 2007. “Sifat Permisif Dasar Budaya Korup”. Dalam Jawa Pos, 5 Maret 2007, h.4.
privatebrian.wordpress.com
Gunung Bromo, Jawa Timur
Bangsa mandiri adalah bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Oleh karena itu, untuk membangun kemandirian, mutlak harus dibangun kemajuan ekonomi. Kemampuan untuk berdaya saing menjadi kunci untuk mencapai kemajuan sekaligus kemandirian. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain, pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunannya; kemandirian aparatur pemerintah dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya; ketergantungan pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang makin kokoh sehingga ketergantungan kepada sumber dari luar negeri menjadi kecil; dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Apabila karena sumber daya alam tidak lagi memungkinkan, kelemahan itu diimbangi dengan keunggulan lain sehingga tidak membuat ketergantungan dan kerawanan serta mempunyai daya tahan tinggi terhadap perkembangan dan gejolak ekonomi dunia. (RPJPN 2005-2025)