MODEL JEJARING PENGUATAN MODAL SOSIAL MASYARAKAT ETNIS TIONGHOA-JAWA MELALUI KONSTRUKTIF- PRODUKTIF MENUJU INTEGRASI BANGSA 1)
Juli Astutik 2)Rinikso Kartono 3)Su’adah Dosen Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang E-mail : 1)
[email protected] 2)
[email protected] 3)
[email protected] Abstrak Penelitian ini didasari oleh pemikiran bahwa masyarakat Indonesia dengan latar belakang suku, agama dan ras yang berbeda tentunya memiliki karakteristik yang berbeda pula dalam bersikap dan berperilaku, dimana perbedaan tersebut berpotensi untuk menimbulkan terjadinya konflik secara baik secara manifes maupun laten. Dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik tersebut dibutuhkan adanya penguatan modal sosial yang berbasis konstruktif – produktif.. Penguatan modal sosial merupakan unsur terpenting dalam pembangunan nasional, khususnya yang menyangkut permasalahan integrasi bangsa. Modal sosial dengan unsur-unsurnya yaitu kepercayaan (trust), nilai (value) dan jaringan (networks), dan didalamnya yang menjadi kolaborasi (koordinasi dan kooperasi) sosial dalam upaya mengantisipasi terjadinya konflik melalui keikutsertaan secara bersama-sama dari berbagai elemen masyarakat tidak memandang usia, jenis kelamin, suku, ras dan agama, yang merupakan fondasi dasar sebagai modal untuk keberlangsungan hidup dan kehidupan masyarakat mencapai tujuan bersama. Penelitian ini merupakan penelitian multi years (3 tahun). Tujuan penelitian tahun pertama ini adalah : (1) mendiskripsikan faktor-faktor yang mendukung bauran Etnis Tionghoa-Jawa. (2) Bentuk Modal Sosial bauran masyarakat etnis Tionghoa Jawa, dan 3) Model jejaring penguatan modal sosial masyarakat etnis Tionghoa – melalui konstruktif- produktif menuju integrasi bangsa. Penelitian tahun pertama ini dilakukan di Kota Malang, dengan pendekatan penelitian kualitattif. Subyek penelitiannya ditetapkan secara purporsive. Metode pengumpulan data dilakukan dengan observasi, interview dan Focus Group Discussion (FGD). Adapun tehnik analisa data secara kualitatif dengan model interactive. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa : A). Faktor yang mendukung bauran etnis Tionghoa-Jawa adalah : 1) kebudayaan, 2) struktural, 3) perkawinan, 4) identifikasi, 5) sikap, 6) perilaku dan 7) civic, sedangkan B). bentukbentuk modal sosial bauran etnis Tionghoa-Jawa adalah : 1). Kedekatan-Kepercayaan , 2) Toleransi, 3). Kepedulian sosial, dan 4). Kebersamaan, melalui : bahasa, budaya, pendidikan dan identitas. C). penguatan modal sosial bauran etnis Tionghoa-Jawa melalui konstruktiff-produktif menuju integrasi bangsa dilakukan dengan : 1) Menumbuhkan dan meningkatkan Kepercayaan, 2) Penenaman Nilai/Norma bersama sebagai bagian dari warga masyarakat Kota Malang dan 3) membentuk jejaring kerjasama antaraberbagai elemen masyarakat dalam satu forum bernama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). yang dalam perkembangannya forum tersebut menjadi model jejaring penguatan modal sosial masyarakat etnis Tionghoa-Jawa melalui konstruktiff-produktif menuju integrasi bangsa. Forum ini bukan hanya sebagai media komunikasi antar umat beragama, namun juga sebagai media komunikasi dan interaksi antar etnis dalam hal ini etnisTionghoa (non muslim) dan Jawa (muslim) di Kota Malang. Kata kunci : Model Jejaring, Penguatan Modal Sosial, Konstruktif - Produktif , Integrasi Bangsa PENDAHULUAN Bangsa Indonesia terdiri dari beranekaragam suku bangsa dengan bermacammacam adat istiadat dan kebudayaan. Dengan adanya perbedaan ras inilah, maka dikenal adanya 654
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
golongan masyarakat pendatang ataupun keturunan asing (non- pribumi) dan masyarakat pribumi. Keanekaragaman ini tidak hanya pada adat istiadat, kebiasaan dan kebudayaan saja melainkan juga terdapat keanekaragaman ras/suku bangsa. Keanekaragaman tersebut diwarnai dengan kuantitas masyarakat yang bersifat heterogen yang hidup tersebar di seluruh penjuru tanah air. Kondisi ini secara positif sangatlah menguntungkan Bangsa Indonesia karena akan menambah khasanah kekayaan bangsa terhadap corak dan variasi dari sudut pandang antropologis, maupun sosiologis, namun disisi lain terdapat dampak negative yang tidak dapat dihindari, yaitu munulnya rasipalisme (mengagungkan ras-nya) yang sering memicu terjadinya konflik (Herlina Astari,2011:229). Minnery (dalam Herlina Astari, 2011:231) mengemukakan bahwa konflik sebagai interaksi antara 2 orang atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana keduanya menyadari perbedaan tersebut, hal ini berarti satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau berusaha menyingkirkan pihak lainnya, Untuk itulah dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa perlu dilakukan “pembauran” disegala bidang kehidupan. Berdasarkan hal tersebut diatas, terlihat adanya dua masalah pokok dalam hubungan antara etnis Tionghoa dengan etnis lain. Pertama, meskipun etnis Tionghoa telah mendapatkan pengakuan secara resmi dari Negara dan dilindungi hal-haknya dari diskriminasi, namun pada tataran empirik, sentimen dan stereotip kepada etnik Tionghoa tidaklah hilang. Kondisi ini dikhawatirkan menyimpan potensi konflik, yang ibarat gunung es setiap saat dapat meledak. Kedua, kondisi saat ini juga memberikan peluang tentang penguatan modal sosial bagi terbentuknya hubungan masyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Beberapa komunitas Tionghoa di Surabaya dan Malang menunjukkan bahwa konflik antar etnis Tionghoa dan etnis Jawa tidak terjadi. Ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat tersebut memiliki modal sosial yang cukup untuk membentuk sebuah masyarakat yang harmonis. Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini sangat berguna untuk membangun kohesi sosial di Indonesia, khususnya etnis Jawa dan Etnis Tionghoa. Untuk jangka panjang penelitian ini diharapkan dapat menyelesaikan persoalan diharmoni sosial, seperti konflik baik manifest maupun laten, seperti yang terjadi di Solo, kota yang pertama kali muncul peristiwa rasial anti Cina. Puncaknya pada Tragedi Mei 1998, dimana konflik antara etnis Jawa dan Tionghoa terus terjadi dan berulang yang disertai dengan amukan masa dan tindakan anarkis seperti: pembakaran, penjarahan, kekerasan dan pemerkosaaan terhadap perempuan Tionghoa, pengrusakan, pelemparan bom oleh masa yang membabi buta menghancurkan Kota Solo. Berbagai bangunan yang dianggap “berbau Tionghoa” dirusak, dibakar dan dijarah. Maka apabila persoalan pergesekan sosial ini dapat diatasi, maka kerukunan dan harmoni sosial bangsa dapat terjaga. Adapaun luaran yang ditargetkan dari penelitian ini adalah menghasilkan temuan tentang : 1). Faktor yang mendukung bauran masyarakat etnis Tionghoa-Jawa, 2) bentuk-bentuk modal sosial bauran etnis Tionghoa-Jawa dan 3). Model jejaring penguatan modal sosial bauran etnis Tionghoa-Jawa melalui konstruktiff-produktif menuju integrasi bangsa Penelitian ini merupakan tindaklanjut dari penelitian sebelumnya tentang penguatan modal sosial masyarakat bauran etnis Tionghoa-Jawa berbasis partisipasi holistik dalam rangka mengantisipasi terjadinya konflik di Kota Malang. TINJAUAN PUSTAKA A. Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, demi mencapai tujuan bersama dalam berbagai kelompok. Secara umum terdapat 3 (tiga) unsur utama modal sosial yaitu : 1) kepercayaan (Trust), 2) Nilai (Value), dan 3) Jejaring (Networking) yang dapat mendorong seseorang untuk bekerjasama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas maupun tindakan bersama yang produktif. Fukuyama (2002) menyebutkan trust sebagai harapan terhadap keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif yang muncul dari dalam komunitas yang berdasarkan pada nilain/norma yang dianut bersama anggota 55 komunitas tersebut. Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
655
Modal sosial (social capital) merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas. Modal sosial menjadi khasanah perdebatan yang menarik bagi ahli-ahli sosial dan pembangunan khususnya awal tahun 1990-an. Teori tentang modal sosial ini pada awalnya dikembangkan oleh seorang sosiolog Perancis bernama Pierre Bourdieu, dan oleh seorang sosiolog Amerika Serikat bernama James Coleman. Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal uang, modal sosial, dan modal budaya, dan akan lebih efektif digunakan jika diantara ketiganya ada interaksi sosial atau hubungan sosial. Modal sosial dapat digunakan untuk segala kepentingan, namun tanpa ada sumber daya fisik dan pengetahuan budaya yang dimiliki, maka akan sulit bagi individu-individu untuk membangun sebuah hubungan sosial. Hubungan sosial hanya akan kuat jika ketiga unsur diatas eksis (Hasbullah, 2004:9). Menurut Robert Lawang, modal sosial menunjuk pada semua kekuatan kekuatan sosial komunitas yang dikontruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan modal-modal lainnya (Lawang, 2004:24). Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu dapat bekerjasama untuk memperoleh hal-hal yang tercapai sebelumnya serta meminimalisasikan kesulitan yang besar. Modal sosial menentukan bagaimana orang dapat bekerja sama dengan mudah. B. Unsur-Unsur Modal Sosial Blakeley dan Suggate, dalam Suharto (2007) menyatakan bahwa unsur - unsur modal sosial adalah: (1) Kepercayaan, tumbuhnya sikap saling percaya antar individu dan antar institusi dalam masyarakat; (2) Kohesivitas, adanya hubungan yang erat dan padu dalam membangun solidaritas masyarakat; (3) Altruisme, paham yang mendahulukan kepentingan orang lain ; (4) Perasaan tidak egois dan tidak individualistik yang mengutamakan kepentingan umum dan orang lain di atas kepentingan sendiri; (5) Gotong - royong, sikap empati dan perilaku yang mau menolong orang lain dan bahu-membahu dalam melakukan berbagai upaya untuk kepentingan bersama; dan (6) Jaringan, dan kolaborasi sosial, membangun hubungan dan kerjasama antar individu dan antar institusi baik di dalam komunitas sendiri/ kelompok maupun di luar komunitas/kelompok dalam berbagai kegiatan yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Hasbullah (2006) mengetengahkan enam unsur pokok dalam modal sosial berdasarkan berbagai pengertian modal sosial yang telah ada, yaitu: (1). Participation in a network Kemampuan sekelompok orang untuk melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial, melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan dilakukan atas dasar prinsip kesukarelaaan (voluntary), kesamaan (equality), kebebasan (freedom), dan ke-adab-an (civility). Kemampuan anggota kelompok atau anggota masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok. (2).Reciprocity Kecenderungan saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran terjadi dalam suatu kombinasi jangka panjang dan jangka pendek dengan nuansa altruism tanpa mengharapkan imbalan. Pada masyarakat dan kelompokkelompok sosial yang terbentuk yang memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan suatu masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. 656
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
(3). Trust Suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Paling tidak, yang lain tidak akan bertindak merugikan diri dan kelompoknya (Putnam, 1993). Tindakan kolektif yang didasari saling percaya akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan dimensi terutama dalam konteks kemajuan bersama. Hal ini memungkinkan masyarakat untuk bersatu dan memberikan kontribusi peningkatan modal sosial. (4). Social norms Sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Aturan-aturan ini biasanya ter-institusionalisasi, tidak tertulis tapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial sehingga ada sangsi sosial yang diberikan jika melanggar. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu karena merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi perkembangan masyarakat. Oleh karenanya norma social disebut sebagai salah satu modal sosial. (5). Values Sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh anggota kelompok masyarakat. Nilai merupakan hal yang penting dalam kebudaya - an, biasanya ia tumbuh dan berkembang dalam mendominasi kehidupan kelompok masyarakat tertentu serta mempengaruhi aturan-aturan bertindak dan berperilaku masyarakat yang pada akhirnya membentuk pola cultural. (6). Proactive action Keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan anggota kelompok dalam suatu kegiatan masyarakat. Anggota kelompok melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya hubungan hubungan sosial dan menguntung - kan kelompok. Perilaku inisiatif dalam mencari informasi berbagai pengalaman, memperkaya ide, pengetahuan, dan beragam bentuk inisiatif lainnya baik oleh individu mapun kelompok, merupakan wujud modal sosial yang berguna dalam membangun masyarakat. C. Parameter dan Indikator Modal Sosial Modal sosial menunjuk pada jaringan, norma dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat, namun demikian modal sosial berbeda dengan modal finansial. Hal ini dikarenakan modal sosial bersifat komulatif dan bertambah dengan sendirinya (self reinforcing) (Putnam,1993). Terdapat 3 parameter modal sosial, yaitu : Kepercayaan (trust) Nilai(Value) dan jaringan (networks). 1. Kepercayaan Kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan nilai yang dianut bersama (Fukuyama,1995). Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik, dimana adanya modal sosial yang baik ditandai dengan adanya lembaga sosial yang kokoh, dan melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam,1995).
57 Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
657
2. Nilai Sosial Norma terdiri dari pemahaman, nilai, harapan dan tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh sekelompok orang. Norma dapat bersumber dari agama, panduan moral maupun standar sekuler seperti halnya kode etik profesional. Norma tersebut menjadi standart yang akan berperan untuk mengatur dan mengontrol perilaku masyarakat. Norma dapat merupakan pra-kondisi maupun produk dari kepercayaan sosial. Nilai merupakan suatu ide yang turun temurun dianggap benar dan penting oleh sekelompok masyarakat. Nilai selalu berperan penting dalam kehidupan bermesyarakat, nilai akan membedakan mana yang benar dan salah, apa yang baik dan buruk. 3. Jaringan Masyarakat pada dasarnya bersifat dinamis selalu berhubungan dengan masyarakat lainnya melalui interaksi dan berbagai macam hubungan, yang terjalin secara sukarela, saling berdampingan, kesamaan, kebebasan serta keadaban. Jaringan biasanya terjalin dengan diwarnai oleh satu tipologi dengan karakteristik kelompok. Kelompok biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan, pengalaman serta kesamaan kepercayaan. Ide sentral dari modal sosial adalah bahwa jaringan-jaringan sosial merupakan suatu aset yang bernilai (Field, 2005:16) jaringan- jaringan menyediakan suatu basis bagi kohesi sosial karena menyanggupkan orang untuk bekerjasama satu sama lain dan bukan hanya dengan orang yang mereka kenal secara langsung agar saling menguntungkan. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan sosial yang kokoh. Jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama para anggotanya serta manfaat dari partisipasinya itu (Putnam, 1995). D. Integrasi Sosial Integrasi berasal dari bahasa inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur- unsur yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Ini menunjukkan bahwa integrasi adalah suatu keadaan dimana kelompok- kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan kebudayaan mereka masingmasing. Integrasi memiliki 2 pengertian, yaitu : (1) Pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem sosial tertentu; (2) Membuat suatu keseluruhan dan menyatukan unsur-unsur tertentu. Integrasi terbagi dalam dua sisi, di sisi makro adalah fungsional struktural dan teori konflik, sedangkan di sisi mikro adalah teori interaksionisme simbolik, teori etnometodologi, teori pertukaran, dan teori rasional. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan pendekatan kualitatif, jenis deskriptif, dengan lokasi Penelitian di Jawa Timur, Tahun pertama dilakukan di Kota Malang, dan tahun ke 2 akan dilakukan di Kota Sidoarjo dan Surabaya. Ditetapkannya lokasi penelitian di kota-kota tersebut dengan pertimbangan bahwa : 1) jumlah penduduk etnis Tionghoa relative tinggi dibandingkan dengan kota lain di Jawa Timur, 2) Merupakan kota yang identik dengan kota industri dan kota pariwisata, sehingga model penguatan modal sosial bagi masyarakat Jawa – Tionghoa melalui konstruktive-produktive akan terjadi, dan 3) Tidak pernah terjadi konflik yang menimbulkan pergolakan yang ekstrim berkaitan dengan interaksi dua etnis di kota-kota tersebut. Adapun subyek dalam penelitian ini adalah tokoh masyarakat, pimpinan daerah, mahasiswa dari Etnis Jawa-Tionghoa di Kota Malang. Adapun tehnik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, indepth interview dan Focus Group Discussion (FGD). Dalam penelitian kualitataif, pengumpulan data tidak dipandu oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada saat penelitian di lapangan (Sugiyono, 2011:3). Penelitian ini berusaha mengungkap makna dibalik peristiwa/fenomena. Teknik analisa data dilakukan dengan model interactive, dengan tahapannya: 1) Reduksi data, 2) Display data dan 3) Conclution drawing, (miles dan Huberman 658
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
dalam Sugiyono,2006:46). Karena model analisa datanya menggunakan model inteaksi, maka tidak menutup kemungkinan peneliti akan melakukan pengulangan dalam penggalian data. Dalam arti jika informasi/data yang didapatkan belum mencukupi, maka peneliti akan melakukan pengumpulan data kembali untuk kemudian dianalisia sesuai dengan tahap analisa selanjutnya HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Masyarakat Kota Malang Masyarakat Kota Malang cenderung akomodatif dan terbuka serta menghargai perbedaan. Masyarakat Kota Malang lebih dikenal tidak suka basa basi, jika tidak senang mereka akan mengungkapkannya. Masyarakat Malang termasuk dalam kategori masyarakat yang sportif, berani karena benar, tegas, pantang menyerah, mudah memaafkan terhadap siapa saja yang telah mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa (ngoko), namun lebih halus dibandingkan dengan bahasa Jawa ngoko yang dipergunakan oleh masyarakat Surabaya. Dalam pergaulan dikenal adanya bahasa gaul anak Malang (AREMA), yaitu bahasa walik-an Ngalam. Sesuai dengan Visi, Misi Kota Malang dibawah komando Wali Kota Malang H.Anton (Wali Kota terpilih dari Etnis Tionghoa yang diusung oleh Partai Kesatuan Bangsa (PKB), adalah “Menjadikan Kota Malang sebagai Kota Bermartabat”. Istilah Martabat menunjuk pada harga diri kemanusiaan, yang memiliki arti kemuliaan. Sehingga, dengan visi ‘Menjadikan Kota Malang sebagai Kota BERMARTABAT’ diharapkan dapat terwujud suatu kondisi kemuliaan bagi Kota Malang dan seluruh masyarakatnya. Hal ini adalah penerjemahan langsung dari konsep Islam mengenai baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (negeri yang makmur yang diridhoi oleh Allah SWT). Selain itu, visi BERMARTABAT dapat menjadi akronim dari beberapa prioritas pembangunan yang menunjuk pada kondisi-kondisi yang hendak diwujudkan sepanjang periode 2013-2018, yakni: Bersih, Makmur, Adil, toleransi dalam beragama (Religious- tolerant), Terkemuka, Aman, Berbudaya, Asri, dan Terdidik. Religious-tolerant, Terwujudnya masyarakat yang religius dan toleran adalah kondisi yang harus terwujudkan sepanjang 2013-2018. Dalam masyarakat yang religius dan toleran, semua warga masyarakat mengamalkan ajaran agama masing-masing ke dalam bentuk cara berpikir, bersikap, dan berbuat. Apapun bentuk perbedaan di kalangan masyarakat dihargai dan dijadikan sebagai faktor pendukung pembangunan daerah. Sehingga, dengan pemahaman religius yang toleran, tidak akan ada konflik dan pertikaian antar masyarakat yang berlandaskan perbedaan SARA di Kota Malang. B. Faktor Pendukung Bauran Etnis Tinghoa – Jawa di Kota Malang. Secara general faktor pendukung bauran etnis Jawa-Tionghoa dapat didiskripsi berdasarkan kerangka 7 bentuk asimilasi yang dikemukakan oleh Milton Gorgon (dalam paulus Haryono,2006:110), meliputi : 1. Kebudayaan Kebudayaan memiliki arti penting bagi masyarakat atapun kelompok etnis, karena kebudayaan mencirikan karakteristik secara specific atau merupakan jati diri masyarakat itu sendiri atau dengan kata lain kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, sehingga dapat dikatakn bahwa kebudayaan merupakan jiwa dari masyarakat. Bauran kebudayaan termasuk di dalamnya aktivitas/kegiatan social antara etnis Jawa Tionghoa dapat dilihat pada aktivitas pelestarian seni Jawa (Gamelan dan pementasan Wayang kulit) di Klenteng Eng An Kiong. Bapak Rudi (sekretaris umum pengurus Klentang) mengemukakan bahwa : “Klenteng Eng An Kiong memiliki program kegiatan yang banyak, dimana dalam implementasinya 59 Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
659
bukan hanya melibatkan etnis Tinghoa semata, namun juga melibatkan pemuda dan masyarakat sekitar yang mau membantu, seperti kebudayaan “Barongasai” itu yang memainkannya adalah pemuda-pemuda dari Jawa. Di bidang budaya pun kami memiliki program pelestarian budaya, yakni setiap hari selasa selalu ada kursus Gamelan, dan hari kamis tarian tradisional jawa yang gurunya adalah orang cina dan persertanya anak-anak jawa”. Klenteng Eng An Kiong juga memiliki tradisi rutin setiap tahun, seperti yang disampaikan oleh Bunsu Anton Triyono (Humas Yayasan Klenteng Eng An Kiong), sebagai berikut : “Setiap tahun di sini (Klenteng) diadakan kegiatan King Hoo Ping (sedekah bumi), dimana kegiatan ini merupakan acara untuk mendoakan para sahabat serta mendoakan agar arwah yang telah terputus keturunannya tetap menerima iman dan berkah. Menurutnya bentuk sedekah bumi tahun ini diwujudkan dengan pembagian sembako sebanyak 11.500 paket dengan sasaran saudara-saudara yang membutuhkan yang berada di sekitar Klenteng. Selanjutnya beliau menjelaskan bahwa sedekah bumi ini merupakan ritual yang dilakukan secara turun temurun oleh para leluhur kami , hingga sekarangpun itu tetap menjadi kewajiban kami sebagai umat Kong Hu Chu, Tao dan Budha Mahayan, namun dalam perkembangannya sekarang ini batasan itu telah dihapuskan dan sudah tidak terikat pada agama tertentu. Oleh karena itu kita sekarang memberikan sembako kepada siapa saja yang memang membutuhkan tanpa memandang suku, ras, agama dan golongan”. Berdasarkan hasil observasi menunjukkan bahwa begitu antuasiaanya masyarakat Kota Malang untuk mendapatkan sembako, bahkan sejak jam 06.00 warga masyarakat sudah banyak berdatangan ke Klenteng tersebut. Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari berbagai aktivitas masyarakat kedua etnis sudah tidak ada lagi batas-batas dengan jelas, bahkan antar keduanya menunjukkan keterkaitan, saling berhubungan satu sama lain. Selain peringatan sedekah bumi, terdapat aktivitas Klenteng Eng An Kiong yang dilakukan secara rutin di bulan Puasa. seperti yang disampaikan oleh Bpk Rudi, sebagai berikut : “Setiap bulan Puasa tiba, mulai puasa hari pertama sampai dengan terakhir, kita juga ikut berpartisipasi dengan memberikan makanan ta’jil gratis bagi pengendara yang melewati di depan Klenteng tersebut selama sebulan penuh, kami senang melakukannya, kami melakukan semuanya itu dengan hati yang tulus”. Aktivitas tersebut sebenarnya bukan merupakan kewajiban utama, namun semua itu dilakukan sebagai bentuk saling menghormati dan menghargai aktivitas keagamaan di luar agama yang dianut oleh etnis Tionghoa. Ada niatan etika baik untuk membaurkan diri menjadi bagaian dari mayoritas masyarakat yang ada. 2. Struktural Struktur atau posisi seseorang sangat menentukan dalam keberlkangsungan proses interkasi sosial. Paulus Hardjo (2006:124) mengemukakan bahwa salah satu indikasi telah berlangsungnya proses asimilasi yang baik adalah ditemuinya orang-orang dari etnis minoritas berkarya dalam bidang aktivitas yang didominasi oleh kelompok mayoritas begitu pula sebaliknya. Pada etnis Tionghoa harga diri yang tinggi bertitik tolak dari ligkup keluarga sebagai jantung kebudayaannya. Bapak R.Candra mengemukakan bahwa : “Pada etnis Tionghoa lazimnya naka-anak mereka itu melanjutkan mengurus perusahaan keluarga, seperti saya sekarang ini sudah tidak boleh anak saya untuk mengurusi pabrik lagi, bapak R. Candra memiliki pabrik plastic terbesar di Jawa Timur. Dan perusahaan ini sekarang dijalankan oleh anak saya. Sebenarya anak-anak lebih mandiri dan dengan ilmunya bisa mempredeksi sekaligus memplening kemungkinan yang akan dilakukan dalam menghadapi persaingan global.Dan ternyata betul, dia bisa melakukan perubahan besar-besaran pada perusahaan dengan prinsip ekonomi dan penerapan tehnologi modern. Ada teman saya yang perusahaannya di Indonesia, tetapi dia mengendalikannya cukup dengan menekan tombol dengan posisi dia ada di luar negeri, itu kan sudah canggih betul. Dan hasil keuntungannya jauh lebih besar , rasional dan sangat menguntungkan” 660
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
Diakui sepenuhnya bahwa hampir seluruh etnis Tionghoa di Indonesia yang bekerja di luar perusahaan keluarga, mereka pada umumnya bekerja di sektor per-bankan atau perusahaan swasta yang notabene hampir semua pekerja dari etnis yang sama (Tionghoa) dan lebih menguntungkan secara ekonomis. Keterlibatan etnis Tionghoa dalam politik bukan menjadi suatu yang aneh, mengingat tokoh nasional dari etnis ini pada masa pemerintahan presiden Megawati Sukarni Putri sudah ada yaitu Lie Kwian Gie. Begitu juga partisipasi politk etnis Tionghoa di Kota Malang telah berhasil memposisikan etnis Tionghoa ini menjadi orang nomor 1 yaitu Bapak H. Moh Anton (etnis Tionghoa) sebagai Walikota Malang terpilih perione 2014-2019. Secara ideal asimilasi structural seharusnya tidak menjadi masalah. Namun realita mengatakan lain, masalah yang muncul dalam bauran structural adalah masih banyaknya masyarakat Jawa yang membutuhkan lapangan kerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), apalagi masih banyak PNS saat ini yang masih berstatus honorer. Etnis Tionghoa yang masuk dalam dunis kerja sebagai PNS jelas akan menimbulkan kecemburuan sosial (Paulus Hardjo,2006:130). Etnis Tioghoa dianggap mampu bekerja di bidang swasta. Berkaitan dengan bauran structural tersebut tidak menutup kemungkinan etnis Tionghoa tersebut berpartisipasi sepenuhnya mengabdikan dirinya dalam struktur pemerintahan paling bawah,seperti sebagai ketua RT. Seperti yang diamanahkan kepada Bapak Soni (etnis Tionghoa, keturunan) yang mengabdikan dirinya menjadi ketua RT. Ini membuktikan bahwa keterlibatan tnis Tionghoa dalam structural di tingkat RT tersebut menunjukkan bahwa bauran dalam struktur sudah dilakukan dan terjadi . Keterlibatan etnis Tionghoa dalam kegiatan di tingkat RT sudah mendapatkan pengakuan dan kepercayaandari warga setempat. 3. Perkawinan Didik (dalam Paulus,2006:135) mengemukakan bahwa perkawinan adalah hal yang sakral sehingga perkawinan antar etnis yang berbeda tidak merupakan masalah sepanjang didasari oleh rasa cinta kasih yang tulus. Keluarga yang tumbuh dari hasil perkawinan tersebut diharapkan dapat menghasilkan asimilasi positif antar etnis. Harus diakui bahwa asimilasi melalui perkawinan masih banyak menghadapi kendala karena masih ada perbedaan tata nilai serta kecenderungan pandangan apriori dari keluarga dan masyarakat dari kedua belah pihak. Etnis Tionghoa memandang bahwa marganya tinggi, bila pihak laki-laki beretnis Cina tidak masalah, tetapi kalau pihak perempuannya etnis Tionghoa maka keluarga besar pihak perempuan khawatir kalau anak perempuan itu akan ditinggal menikah lagi dengan orang lain. Hal ini didasari oleh adanya anggapan dari etnis Tionghoa bahwa masyarakat Jawa khususnya yang beragama Islam, umat laki-laki bias menikah lebih dari satu kali, bahkan bisa sampai empat isteri. Secara cultural pihak laki-laki beretnis Jawa sedangkan perempuannya beretnis Tionghoa ada mitos bahwa keluarga tersebut “tidak bisa jalan”, sebab terdapat perbedaan pandangan peradaban. Dalam perkawianan, perempuan Tionghoa seringkali merasa “lebih” dari suaminya, sehingga menimbulkan hubungan yang tidak harmonis. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa bauran perkawinan antara etnis Jawa (laki-laki dan etnis Tionghoa (perempuan) di Kota Malang telah terjadi dan keluarga ini telah menikah selama 31 tahun. Perkawinan campuran (amalgamasi) antar kedua etnis Jawa dan Tionghoa tersebut memang didasari oleh rasa cinta kasih yang tulus yang dalam dari keduanya, seperti yang disampaikan oleh pasangan Ibu Syu Yen (Tionghoa) dan Bapak Kariaji (Jawa). Wawancara dengan Ibu Syu Yen, sbb : “Awal menikah saya tinggal bersama keluarga besar suami, mereka sangat well come, sangat menghargai saya bahkan saya diperlakukan seperti anak sendiri, nah semua yang saya alami saya sampaikan pada keluarga besar saya, lambat laun keluarga saya mulai terbuka, dan dapat menerima suami saya apa adanya. Bahagia sekali rasanya saat itu saya bisa menyatukan dua keluarga yang sangat berbeda latar belakang sosial budayanya. Di awal perkawinan saya beradaptasi penuh dengan kebiasaan suami dan keluarganya seperti saat puasa, saya menyiapkan hidangan untuk berbuka dan saur bersama, saya juga ikut, tapi saya tetap memeluk agama saya, begitu juga saat Hari Raya Idul Fitri saya berbaur dalam keluarga besar suami ikut merayakan bersama, menyiapkan segala keperluan untuk merayakan hari tersebut, yang biasanya diikuti 61 Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
661
dengan acara halal bi halal yang dihadiri oleh hampir semua keluarga besar dari suami dan keluarga besar saya yang beretnis Tionghoa juga ikut mengucapkan Selamat hari RayaIdul Fitri, Nah pada saat perayaan Hari Raya Imlek, gantian suami dan keluarga besarnya mengucapkan pada saya dan keluarga besar saya. Kami saling menghormati, saling menghargai. Begitu juga saya tanamkan nilai-nilai kebersamaan tersebut terhadp dua anak-anak saya yang akan melanjutkan nantinya”. Fenomena bauran perkawinan hasil peneliti di Kota Malang ini tidak dapat dijadikan acuan untuk mengeneralisasikan bahwa bauran perkawinan kedua etnis Jawa-Tionghoa akan terjadi dengan baik-baik saja, tetapi paling tidak dapat menunjukkan data bahwa bauran perkawinan dapat dilakukan dan terjadi sepanjang kedua insan tersebut benar-benar tulus, dan mau menerima kekurangan dan kelebihan pasangannya. 4. Identifikasi Secara nasional asimilasi identitas tersebut ditunjukkan oleh beberapa etnis Tionghoa yang bekerja keras untuk kepentingan dan mengharumkan nama Bangsa dan Negara Indonesia sperti yang populer adalah tokoh di bidang hukum, yaitu : Yap Thiam Hien, di bidng seni ada Teguh karya, Teguh Srimulat dan Tan Tjeng Bok. Di bidang olah raga ada Susi Susanti, Rudy Hartono, Liem Swi King, Alan Budi Kusuma, di bidang Ekonomi ada LiemSiong Lie, Ciputra, Sudono Salim, dll, dimana asimilasi identitas etnis Tionnghoa tersebut ditunjukkan dengan berbagai aktivitas yang termanifestasi dalam rasa kebangsaan. Identitas berkaitan dengan cirri-ciri secara specific, baik fisik, kepribadian (yang dilatarbelakangi oleh sosial budaya), kepercayaan, agama, nilai, norma diatara kedua etnis tersebut (Jawa-Tionghoa). Dalam bauran memang tidak harus menghilangkan secara total kedua kebudayaan masing-masing, namun dibutuhkan toleransi, perhatian dan kepercayaan dari masingmasing untuk dapat berinteraksi sosial diantar etnis tersebut dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada rasa sungkan, takut dan lain sebagainya. Bapak Nicholas. R.Chandra, mengemukakan bahwa : Diakui sepenuhnya bahwa pada Masyarakat etnis Jawa-Etnis Tionghoa, masing-masing memiliki budaya, identitas yang kuat yang menjadi ciri khasnya. Tanpa menghilangkan identitas masing-masing, sebagai masyarakat Kota Malang kita hidup dalam suasana kebersamaan yang itu semua mencirikan identitas Kota Malang – Arema. Sehingga tidak ada lagi skat diantara kami saat bergaul dengan masyarakat Kota Malang. Karena disaat kami etnis Tonghoa berinteraksi sesama etnis kita munculkan identitas etnis kita, namun jika sudah dalam forum komunitas masyarakat, maka kita ya harusnya menjadi bagian dari masyarakat Kota Malang yang berarti kita harus bisa menempatkan diri diman dan dalam suasana seperi apa”, namun didasari sepenuhnya pada etnis Tionghoa yang sudah tua dan mereka itu dilahirkan di negeri Cina tidak mudah untuk merubahnya. Pola pikir yang telah terbentuk selama pemerintahan Orde Baru semakin memperkuat identitas etnis Tionghoa itu sendiri”. Kesadaran diri dan kerendahan hati serta keterbukaan untuk saling membutuhkan dan dibutuhkan menjadi prioritas bauran identifikasi tersebut.Keterbukaan dari kedua etnis akan mengesampingkan identitas masing-masing dalam berinteraksi sosial sehari-hari. Karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan dan dibutuhkan satu sama lainnya. 5. Sikap Prasangka merupakan sikap kecurigaan terhadap etnis lain. Biasanya prasangka bersifat negative, sebagai missal etnis Tionghoa dikatakan memiliki kehidupan ekonomi dengan menghalalkan segala macam cara. Sebaliknya, etnis Tionghoa beranggapan orang Jawa enggan bekerja keras tetapi menginginkan pendapatan yang besar. Prasangka ini terjadi karena terdapat perbedaan pandangan dalam memahami suatu materi dan pekerjaan. Orang Tionghoa cenderung berpola pikir fungsionalisme, sehingga berbagai macam cara ditempuh untuk mencapai tujuan. Cara beribadat agama Konfusius pun oleh sebagaian orang dianggap Wawancara dengan tokoh pendidikan etnis Tionghoa Nicholas Rudi Chandra, 662
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
mengemukakan bahwa : “Sekarang ini sudah tidak usah lagi bicara bauran, karena pada dasarnya kami sudah berbaur sejak dulu, dengan berbagai aktifitas yang kami lakukan selama ini, kami juga peduli untuk berupaya meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) generasi muda Kota Malang, seperti : kami mendirikan Universitas “Ma Chung” yang berlokasi di Tidar, merupakan Perguruan Tinggi yang didirikan oleh Yayasan Bina Harapan Sejahtera, dimana para pendirinya semuanya dari ethis Tionghoa , namun civitas akademikanya bukan hanya dari etnis Tionghoa saja, namun dari berbagai etnis dan dari penjuru nusantara. Lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa, hal ini menunjukkan bahwa Universitas Ma Chung memang bukan diperuntukkan bagi etnis Tionghoa semata, namun Yayasan Bina Harapan Sejahteran bertujuan untuk memberikan kontribusi nyata dalam membangun Sumber Daya Manusia yang berkualitas melalui penyediaan sara dan prasarana Pendidikan yang berkualitas dan berstandar Internasional”. Pernyataan Tokoh Pendidikan dari etnis Tionghoa tersebut diperkuat lagi dengan pendapat mahasiswa Jennifer dalam Focus Group Discussion /FGD (Etnis Tionghoa) yang mengemukakan bahwa : “Universitas Ma Chung bukan diperuntukkan bagi mahasiswa etnis Tionghoa saja, namun semua siapapun yang mau menempuh pendidikan disini tidak masalah, tentunya dengan malalui persyaratan yang telah ditentukan, seperti pendaftaran, seleksi ujian masuk. Bahkan jika calon mahasiswa tersebut nilai raportnya bagus dan hasil seleksi ujiannya bagus, maka akan mendapatkan beasiswa, banyak teman-teman yang muslim dan juga mendapatkan beasiswa” Agus Salim (2006:73) mengemukakan bahwa dalam konsep pendidikan “global” sebenarnya merujuk pada lingkungan sekolah secara total, termasuk sikap guru, kurikulum, strategi pengajaran dan materi, termasuk siswa sebagai perserta didik, juga tidak dibatasi dari etnis tertentu. Masalah asimilasi tidak sekedar menyangkut masalah status social ekonomi ataupun tingkat pendidikan seseorang, namun yang lebih penting adalah masalah kesadaran akan kesamaan. Namun demikian pendidikan sebagai proses pembentukan kesadaran perlu mendapatkan perhatian secara cukup. Untuk menumbuhkan interaksi yang harmonis, prasangka dari kedua belah pihak harus dihilangkan. Sebab prasangka tertentu berakibat seorang dari etnis lain dan dipandang dengan cara-cara tertentu yang berbeda-beda sehingga terjadi hubungan yang tidak sehat. 6. Perilaku Prasangka dan diskriminasi merupakan dua kata yang berkaitan. Biasanya bila terdapat prasangka (stereotype) dan kemudian terdapat suatu kepentingan kepentingan tertentu akan berlanjut dengan sikap diskriminasi, Untuk bisa diterima dan memunculkan kepercayaan pada etnis lain dibutuhkan sarana yaitu penguasaan bahasa, bahkan jika perlu penguasaan bahasa gaul Kota Malang, seperti bahasa walik-an, sehingga kedengarannya akrab sekali. Perilaku orang Tionghoa cenderung bersifat eksklusive, mereka mau bergaul hanya dengan sesama etnisnya saja dan cenderung menempatkan posisi di atas dibanding dengan etnis Jawa . Orang Cina yang kondisi ekonominya tidak tinggi biasa mengurus sendiri hal-hal yang bersifat administrative. Dengan demikian perlu dibedakan orang ingin mengurus sendiri proses administrati secara normal dan orang yang mengurus proses administrasi secara khusus, tanpa memandang etnis seseorang. Tetapi dalam hal pengurusan administrasi yang memiliki ladang basah, seperti pengurusan paspor, sekalipun keinginan untuk mengurus sendiri ada, prosesnya akan menjadi lambat, bahkan terhenti. Hal ini menunjukkan kesan terdapat diskriminasi terhadap etnis Cina. Petugas-petugas administrasi di ladang basah biasanya peka, apakah seseorang itu etnis CIna atau bukan, bila ditengarai orang itu etnis Cina atau asing, akan muncul diskriminasi. Dalam era reformasi seharusnya hal-hal semacam ini tidak perlu terjadi
63
7. Civic Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
663
Bauran civic antara etnis Jawa – etnis Tionghoa secara umum sampai saat ini masih menghadapi benturan nilai yang itu semua berdampak pada motif perilaku. Etnis Cina dalam berperilaku biasanya meimiliki motif ekonomi, sedangkan etnis Jawa dalam berperilaku biasanya mempunyai motif sosial. Perbedaan ini karena mereka memiliki latar belakang yang berbeda. Perbedaan tersebut sama-sama menekankan pada masalah otoritas, dimana pada kebudayaan Tionghoa otoritas berbicara di sekitar keluarga dengan kendali pada orang tua, sedangkan pada etnis Jawa otoritas berbicara dalam kehidupan kemasyarakatan dengan kendali pada sentra-sentra kekuasaan dalam hirarki kemasyarakatan. Untuk mengurangi benturan nilai dan sistem kekuasaan tersebut dapat dilakukandengan melalui peran serta etnis Tionghoa dalam struktur kemasyarakatan, seprti keterlibatannya sebagai Ketua Rt, Ketua RW, aktif dalam egiatan PKK atau Dasawisma. Didik (dalam Paulus,2006:153) mengemukakan bahwa : “Kalau orang Jawa dan Tionghoa bergaul secara individu tidak ada masalah, tetapi kalau sudah dalam kelompok dengan kelompok akan muncul masalah. Karena menurutnya kalau orang bergaul secara mengelompok ada perasaan superiotiras terhadap orang lain/etnis lain . C. Bentuk-Bentuk Modal Sosial Bauran Etnis Tinghoa - Jawa Modal sosial (social capital) merupakan unsur terpenting dalam pembangunan nasional khususnya berkaitan dengan integrasi bangsa. Sutomo (2009:231) mengemukakan bahwa “dengan adanya modal sosial dibalik berbagai perbedaan sejalan dengan semakin kompleksnya masyarakat dalam kehidupan masyarakat masih mungkin dibangun dan dirasakan adanya sesuatu yang dianggap sebagai kepentingan bersama. Hal ini akan mendorong tindakan bersama baik untuk hal-hal yang berdampak langsung pada peningkatan taraf hidup maupun tindakan bersama untuk membangun berbagai prasarana dan fasilitas umum”. Bentuk-bentuk modal sosial masyarakat bauran etnis Tionghoa-Jawa dapat didiskripsikan sbb : 1. Kedekatan Disadari sepenuhnya bahwa kedekatan yang terjadi antara dua orang akan menimbulkan rasa saling memahami satu dengan yang lainnya. Pemahaman itu bukan hanya sekedar memahami perbedaan secara fisik semata malainkan pemahaman secara keseluruhan tentang sifat dan karakteristiknya, bahkan kepribadiannya sekaligus. Begitu juga dengan etnis yang ada dalam amsyarakat, ke dua etnis atau lebih dalam masyarakat dekat, maka masing-masing etnis tersebut akan dapat memahami karekteristik yang lainnya. Hasil FGD yang disampaikan Dr. Rinekso K, mengemukakan bahwa : “Kedekatan seseorang dengan orang lain merupakan kunci terjalinnya relasi yang harmois. Konflik antar etnis (dalam hal ini etnis Tionghoa dan Jawa) akan dapat teratasi jika kedua belah fihak sama-sama saling melakukan pendekatan. Artinya kedekatan keduanya akan menimbulkan perasaan saling memahami kebiasaan,ciri khas, karakteristik satu dengan yang lannya” (FGD, tanggal 27 Juli 2016). Pernyataan tersebut diperkuat dengan pernyataan Bapak Agus Endra,SE,MM (Direktur Aster sekaligus pengusha Muda Kota Malang), yang mengemukakan bahwa : “ Secara simbolik di UMM ini sudah dekat dengan kami. Dengan dibangunnya masjid khas Tiongkok hampir sama persis dengan masjid “Tjeng Hoo.Saya baru tau ada masjid dengan bangunan gaya Tiongkok di UMM , saya seperti tidak percaya, karena dalam pandangan kami jelas basic disini adalah muslim apalagi Muhammadiyah. Ternyata sebagian bangunan RS dan kantinnya juga berarsitektur Tiongkok. Temen-temen harus tau dan diajak kesini, ini menunjukkan bahwa kampus ini well come dengan siapapun dan kalangan manapun khususnya kami. Kami merasa dekat. Nah kedekatan ini yang harus dipupuk untuk memnclkan rasa percaya dari semua orang Malang. Kami merasa diapresiasi di sini”
664
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
Konsep modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu dapat bekerjasama untuk memperoleh hal-hal yang tercapai sebelumnya serta meminimalisasikan kesulitan yang besar. Modal sosial menentukan bagaimana orang dapat bekerja sama dengan mudah. 2. Toleransi Toleransi merupakan wujud penghormatan dari seseorang terhadap orang lain yang berbeda dengan dirinya, baik perbedaan secara fisik, ideologi, suku, ras maupun agama. Toleransi dilakukan dengan tujuan untuk menekan rasa egoisme masing-maing dan menghargai perbedaan yang ada untuk mencapai keseimbangan (equilibrium) bersama secara kolektif. Toleransi juga nampak pada aktivitas yang dilakukan di Klenteng Eng An Kiong pada moment tertentu seperti peringatan Hari Jadi Kota Malang tanggal 1 April selalu diadakan pementasan wayang kulit semalam suntuk yang melibatkan semua lapisan masyarakat dan terbuka untuk umum. Toleransi antar etnis juga bisa dilihat dari lokasi bangunan tempat peribadatan umat Islam masjid besar “Jamik” Kota Malang yang berdiri bersebelahan dengan Gereja yang lokasinya di tengah kota tepatnya disebelah barat alun-alun Kota Malang. Sejak bangunan maasjid dan gereja berdiri di tengah-tengah Kota Malang tersebut belum pernah terjadi keributan yang disebabkan oleh perbedaan etis ke duanya. Masing-masing memang menjalankan kewajibannya sendiri. Saat hari Jum’at dan peringatan hari besar Islam seperti sholat Idul Fitri, Idul Adha yang pelaksanaannya juga sampai ke halaman gereja dilakukan dengan tertib dan aman, begitu juga jika sedang diadakan kegiatan oleh gereja. Toleransi juga dapat dilihat dengan adanya klenteng Eng An Kiong di Kota Malang, dimana kegiatan yang dilakukan oleh klenteng bukan semata-mata sebagai tempat peribadatan etnis Tionghoa, namun juga dipergunakan dengan berbagai aktivitas, seperti dalam upaya peningkatan ekonomi masyarakat sekitar di basement klenteng sebelah utara dipergunakan untuk area berdagang bagi masyarakat sekitar semacam kantin yang menyiapkan makanan berbagai menu baik bagi para pwngunjung klenteng maupun masyaakat umum, juga sebagai tempat pendidikan bahasa mandarin, dimana pesertanya dari berbagai kalangan masyarakat, banyak juga yang muslim. Sebagai tempat pendidikan dan pelestarian musik tradisional gamelan 3. Peduli (Care) Rasa peduli lazim ditunjukkan oleh seseorang terhadap orang lain dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi sikap kepeduliannya tersebut. Sikap peduli itu ditunjukkan dengan melibatkan diri dalam berbagai aktivitas yang biasanya dilakukan orang lain tersebut. Rasa dan sikap peduli sesama manusia ini lazimnya didasari oleh rasa kemanusiaan yang tinggi dari ajaran agama yang mengedepankan untuk berbuat kebaikan terhadap sesama manusia di muka bumi ini, yang dalam agama Islan disebut dengan Habblum Min Nannas (hubungan manusia dengan sesama manusia). Bentuk-bentuk modal sosial bauran etnis Tionghoa-Jawa dapat dilihat dari berbagai aktivitas individu maupun kelembagaan yang secara rutin dari tahun ke tahun melakukan aktivitas yang tidak seharusnya dilakukan, namun karena tuntutan dari ajaran agama dan rasa kepedulian sosial maka aktivitas tersebut tetap dilakukan. Seperti : Upacara sedekah bumi dengan memberikan sumbangan berupa sembako kepada masyarakat sekitar, pemberian takjil gratis saat bulan puasa, 4. Kebersamaan (Togetherness) Kebersamaan yang dimaksudkan disini adalah kebersamaan dari dua etnis yang berbeda baik secara fisik, ideologi, ras dan agama, namun bersama-sama menjalankan aktivitas yang sama sesuai dengan kemampuan masing-masing sebagai bagian dari warga masyarakat Kota Malang. Kebersamaan dapat terjalin tentunya sangat dipengaruhi oelh faktor kepercayaan. Kebersamaan kedua etnis tersebut dapat didiskripsikan melalui aktivitas : perayaan ulang tahun Kota Malang, Budaya Malangan yang memadukan kesenian Tionghoa dan Jawa, Pendidikan Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
65 665
Bahasa Mandarin di Klenteng yang pesertanya baik dari etnis Tionnghoa maupun Jawa, Mendirikan Perguruan Tinggi Ma Chung sebagai bentuk kepedulian dan tanggung jawab bersama dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia.
D. Penguatan modal sosial bauran etnis Tionghoa-Jawa berbasis “Partisipasi holistik” dalam mengantisipasi terjadinya konflik di Kota Malang? Secara teori terdapat unsur-unsur dalam analisis tentang modal sosial, yaitu : 1) Kepercayaan, 2) Nilai/Norma, dan 3) Jaringan. Data dan analisis yang berkaitan dengan penguatan modal social akan difokuskan pada unsure tersebut . 1. Kepercayaan Kepercayaan merupakan harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan nilai yang dianut bersama (Fukuyama,1995). Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang baik, dimana adanya modal sosial yang baik ditandai dengan adanya lembaga sosial yang kokoh, dan melahirkan kehidupan sosial yang harmonis (Putnam,1995). Dalam kaitanya dengan bisnis keluarga nampaknya memang bersifat eksklusive mengingat perusahaan/bisnis tersebut didirikan, dibangun oleh keluarga dan diperuntukkan bagi kelangsungan hidup keluarga, sehingga tidak mungkin puncuk pimpian perusahaan tersebut jatuh ke orang lain apalagi etnis Jawa. Begitu juga berkaitan dengan kepercayaan dalam pengembangan usaha dimana telah terjadi kolaborasi (mitra kerja) antara majikan (etnis Tionghoa) dengan Karyawan (etnis Jawa) atau dalam sosiologi dikenal dengan “patron Client” . Hal ini berdasarkan wawancara dengan bapak Rudi Chandra yang mengemuakakn bahwa : “Dewasa ini telah terjadi perubahan yang bagus yang ditunjukkan oleh etnis Tionghoa dalam memberikan kepercayaan terhadap usaha/bisnis yang dijalankan dengan salah satu karyawannya di toko “Momon” yang terletak di Jl. Gatot Subroto Malang. Toko ini menjual peralatan bangunan termasuk besi dengan berbagai type dan ukuran, Nah salah satu karyawannya juga membuka usaha yang sama persis dengan lokasi di daerahnya, karyawan tersebut mengambil barang semua dari majikannya tersebut tanpa modal. Namun diberi kepercayaan untuk mengembangkan sendiri, begitu habis barang baru dibayar sesuai dengan harga sewaktu ambil. Sampai sekarang tetap berjaan dan tidak ada masalah. Dengan prinsip jalan terus walaupun untung sedikit. 2. Nilai/Norma Nilai merupakan suatu ide yang turun temurun dianggap benar dan penting oleh sekelompok masyarakat. Nilai selalu berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat, nilai akan membedakan mana yang benar dan salah, apa yang baik danburuk. Masing-masing etnis memiliki nilai (value) yang dijunjung tinggi dan ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Paulus Haryono (2006:225) mengemukakan bahwa nilai (value) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : 1) nilai budaya dan 2) nilai sosial. Orang Tionghoa memiliki 3 kepercayaan yang menjadi tradisi nenek moyang, yaitu agama Buddha, Taoisme dan Konfusianisme, Tingkat tertinggi yang dapat dicapai manusia adalah kedudukan sebagai orang yang “arif bijaksana” yaitu sesuatu tingkat dimana diri pribadinya sudah “sama” dengan alam semesta (identification of the individual with universe). Nilai sosial yang melekat pada etnis Tionghoa didasari oleh ajaran kofusius yang menanamkan : 1) nilai kerukunan, yang menolak kekerasan dan mendasarkan diri pada saling percaya, menunjukkan nilai yang menjauhkan diri dari konflik, ditambah ajarannya tentang Jen (kebaikan), Chun-tzu (suka melayani/menolong orang lain, berjiwa besar dan ajaran Taoisme yang mengajak untuk memahami orang lain, 2) prinsip hormat, Li dalam konsep konfusius yang 666
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
memiliki arti kesopanan dan menghormati yang didasarkan atas usia dan hubungan kekeluargaan, berdasarkan ajaran Pat Tikyang berisi 8 kewajiban insan manusia meliputi : Berbakti (Hao), Rendah Hati (Tee), satya (Tiong), Susila (Lee), Menjunjung kebenaran, keadilan, kewajiban dan kepantasan (Gie), Suci hati (Lian), Dapat dipercaya (Sien) dan tau malu/mengenal harga diri (Thee). 3) etika kebijakan, mengajarkan bahwa orang arif bijaksana adalah orang yang dapat menjalin hubungan di dalam masyarakat dari sudut moral, 4) Jalan tengah (Chung Yung) yang maknanya tidak boleh berlebihan, 5) Perkawinan seumur hidup. Dengan memahami nilai sosial masyarakat etnis Tionghoa sebenarnya sama dengan nilai sosial pada masyarakat etnis Jawa. Nilai sosial yang berbeda adalah berkaitan dengan penghormatan pada etnis Tionghoa nilai hormat didasarkan pada usia dan hubungan kekeluargaan, sedangkan pada masyarakat Jawa nilai hormat didasarkan pada kedudukan dan posisi seseorang dalam sususnan herarki masyarakatnya. Perbedaan nilai sosial terdapt pula pada pemahaman tentang perkawinan. Pada etnis Tionghoa perkawinan dimaksudkan untuk melanjutkan keluarga, clan dan adat istiadat keluarga, sehingga pemilihan calon pasangan banyak mendapatkan pertimbangan dari pihak keluarga. Sedangkan pada masyarakat Jawa perkawinan dimaksudkan untuk untuk membentuk rumah tangga dan mendapatkan status perkawinan dalam kemasyarakatan, sehingga pemilihan calon pasangan lebih banyak didasarkan pada pertimbangan individu. Adapun hal yang membedakan antara nilai-nilai sosial budaya pada masyarakat Tionghoa dan Jawa adalah tentang etos kerja, nilai hormat dan pemahaman tenang perkawinan. Etos kerja pada etnis Tionghoa ditujukan pada keluarga, sedangkan pada etnis Jawa berorientasi pada upaya untuk memperoleh posisi puncak dalam susunan herarki kemasyarakatan. Nilai hormat orang Tionghoa didasarkan pada usia dan hubungan kekeluargaan, sedangkan pada masyarakat Jawa didasarkan pada derajat kedudukan seseorang dalam susunan herarki kemasyarakatan, begitu juga tentang nilai perkawinan. Apapun perbedaan yang ada dalam nilai sosial budaya ke dua masyarakat tersebut satu hal yang menjadikan keduanya bersatu adalah keterbukaan dan menjunjung tinggi nilai bersama sebagai warga masyarakat Kota Malang, dengan identitas yang melekat merupakan karakteristik/ ciri yang dimiliki oleh setiap warga Kota Malang (Arema). Bapak R.Chandra, mengemukakan bahwa : Diakui sepenuhnya bahwa pada Masyarakat etnis Jawa-Etnis Tionghoa, masing-masing memiliki budaya, identitas yang kuat yang menjadi ciri khasnya. Tanpa menghilangkan identitas masing-masing, sebagai masyarakat Kota Malang kita hidup dalam suasana kebersamaan yang itu semua mencirikan identitas Kota Malang – Arema. Sehingga tidak ada lagi skat diantara kami saat bergaul dengan masyarakat Kota Malang. Karena disaat kami etnis Tonghoa berinteraksi sesama etnis kita munculkan identitas etnis kita, namun jika sudah dalam forum komunitas masyarakat, maka kita ya harusnya menjadi bagian dari masyarakat Kota Malang yang berarti kita harus bisa menempatkan diri dimana dan dalam suasana seperi apa, nilai yang kita harus jalankan dan taati adalah nilai yang mengikat kita sebagai penduduk/warga Kota Malang, sehingga aktivitas kita bukan lagi mencerminkan kesukuan, namun sebagai bagian dari masyarakat Kota Malang baik dalam perilaku sehari-hari. Saya pikir sama nilai yang dianut etnis Jawa dan Tionghoa, seperti menghormati orang yang lebih tua (etika kesopanan dalam berperilaku, nilai kebersamaan dalam keluarga yang harus menjunjung tinggi nama baik keluarga”. 3. Jaringan (Networks) Masyarakat pada dasarnya bersifat dinamis selalu berhubungan dengan masyarakat lainnya melalui interaksi dan berbagai macam hubungan, yang terjalin secara sukarela, saling berdampingan, kesamaan, kebebasan serta keadaban. Jaringan biasanya terjalin dengan diwarnai oleh satu tipologi dengan karakteristik kelompok. Kelompok biasanya terbentuk secara tradisional atas dasar kesamaan garis keturunan, pengalaman serta kesamaan kepercayaan Penguatan modal sosial merupakan unsur terpenting dalam pembangunan nasional, khususnya yang menyangkut permasalahan integrasi bangsa. Modal sosial dengan unsur-unsurnya yaitu adanya jaringan (networks), norma (norms), dan kepercayaan (trust) didalamnya yang menjadi kolaborasi (koordinasi dan kooperasi) sosial dalam kebersamaan yang merupakan fondasi dasar sebagai modal untuk keberlangsungan hidup masyarakat mencapai tujuan bersama. Kebersamaan dalam 67 Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
667
multicultural adalah masyarakat yang menerima integrasi sebagai cara-cara yang umum untuk menghadapi keberagaman budaya. Fenomena tersebut merupakan upaya pemerintah daerah (Pemda) Kota Malang beserta segenap jajarannya dalam menjalankan pemerintahannya sesuai dengan Visi Kota Malang menjadikan Kota Malang “Bermartabat”, dimana salah satu poin terpentingnya adalah Religius-toleran, yaitu semua warga masyarakat mengamalkan ajaran agama masing-masing ke dalam bentuk cara berpikir, bersikap, dan berbuat. Apapun bentuk perbedaan di kalangan masyarakat dihargai dan dijadikan sebagai faktor pendukung pembangunan daerah. Sehingga, dengan pemahaman religius yang toleran, tidak akan ada konflik dan pertikaian antar masyarakat yang berlandaskan perbedaan SARA di Kota Malang. Temuan Model Akhirnya berdasarkan keseluruhan tahap penelitian ini, dapat digambarkan model Penguatan Modal Sosial Masyarakat Etnis Tionghoa-Jawa berbasis Partisipasi Holistik Dalam Mengantisipasi terjadinya Konflik di Kota Malang sebagai berikut :
Gambar 1. Diagram alur proses dan Impak Bauran Jawa - Tionghoa Salah satu fenomena perubahan pasca reformasi adalah hubugan antar etnik jawa dan tionghoa yang semakin inklusif dan produktif. Ini tidak lepas dari perubahan tata nilai dan kebijakan tentang hubungan anak bangsa yang semakin toleran, hubungan yang setara, saling peduli dan mengedepankan kebangsaan. Nilai-nilai itu telah terinternalisasi dan kini tampak mulai mendarah daging yang tampak rukun dan minimnya konflik kedua belah pihak di Indonesia. Bahkan sebaliknya hubungan kedua etnik semakin mesra baik dalam kegiatan sosial maupun dalam kegiatan ekonomi. Internalisasi yang terjadi merupakan kelanjutan dari sosialisasi kembali (resosialisasi) di mana keluarga, komunitas dan pemerintah berusaha mengganti nilai-nilai hubungan dan pandangan antar etnik yang ekslusif, prejudice, etnosentrik, yang sering membahayakan keutuhan bangsa indonesia yang majemuk. Keberhasilan resosialisasi itu ditandai dengan semakin membaurnya hubungan kedua belah pihak. Hal ini karena keberhasilan resosialisasi telah melunturkan etnosentisme, terbentuknya pemahaman baru hubungan etnik jawa-tionghoa yang yang saling 668
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk
menerima, saling menghormati dan saling memberi manfaat, jarak sosial semain dekat dan terjadinya jaringan kerja yang egaliter.
PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah, hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dalam bab ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Faktor yang mendukung bauran masyarakat etnis Tionghoa-Jawa di Kota Malang, meliputi : 1) kebudayaan, 2) struktural, 3) perkawinan, 4) identifikasi, 5) sikap, 6) perilaku dan 7) Civic 2. Bentuk-bentuk modal sosial bauran etnis Tionghoa-Jawa di Kota Malang adalah : 1) Kedekatan, 2) Toleransi, 3) Peduli, 4) Kepercayaan dan 5) kebersamaan 3. Penguatan modal sosial masyarakat etnis Tionghoa-Jawa melalui konstruktif – produktif menuju integrasi bangsa dilakukan dengan : 1) Menumbuhkan dan meningkatkan Kepercayaan, 2) Penenaman Nilai/Norma “bersama” sebagai bagian dari warga masyarakat Kota Malang dan 3) membentuk jejaring kerjasama antaraberbagai elemen masyarakat dalam satu forum bernama Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB). ). yang dalam perkembangannya forum tersebut menjadi model jejaring penguatan modal sosial masyarakat etnis Tionghoa-Jawa melalui konstruktiff-produktif menuju integrasi bangsa. Forum ini bukan hanya sebagai media komunikasi antar umat beragama, namun juga sebagai media komunikasi dan interaksi antar etnis dalam hal ini etnisTionghoa (non muslim) dan Jawa (muslim) di Kota Malang,
B. Saran/Rekomendasi Mengingat betapa pentingnya modal sosial dalam kaitannya dengan upaya menciptakan integrasi bangsa, maka rekomendasi/saran yang diajukan adalah : 1) Menjalin kedekatan untuk menumbuhkembangkan sekaligus meningkatkan “kepercayaan” dari semua lapisan masyarakat kedua etnis dalam berbagai bidang dan kehidupan sehari-hari, (2) Meningkatkan nilai/norma bersama antar kedua etnis, dengan mengutamakan “identitas bersama” sebagai bagian dari masyarakat Kota Malang, (3) Menguatkan model jejaring dengan menjalin kerjasama yang lebih luas lagi antara ke 2 etnis terutama dibidang ekonomi – produktif
DAFTAR PUSTAKA [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8]
Abdul Baqir Zein, 2000, Ethnis Cina dalam Potret Pembauran di Indonesia, Prestasi Insan Indonesia, Jakarta Achmad Habib, 2004, Konflik Antar Etnik di Pedesaan, Pasang Surut Hubungan Cina – Jawa, LKIS, Yogyakarta Adam, Andi Nurlita, (2012) Membincang Kembali Masalah Etnisitas, Nasionalitas, dan Internasi Nasional di Indonesia, ATIKAn, Volum 2 Nomor 2. Agus Salim, 2006, Stratifikasi Etnik Kajian Mikro Sosiologi Interaksi Etnis JawaTionghoa, Tiara Wacana, Yogyakarta. Fukuyama, Francis, 1995, Trust : The Social Virtue and The Creation of Propeity. New York : Free Press Haryanto, Bagus, (2011Hasbullah, Jousairi, 2006. Sosial Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia).Jakarta: MR United Press. Hendry Ar., Eka. (2013) Integrasi Sosial Dalam Masyarakat Multi Etnik, Jurnal Walisosngo, Volume 21 Nomor 1, STAIN Pontianak Herlina Astri, 2011, Penyelesaian Konflik Sosial Melalui Penguatan Kearifan Lokal, ASPIRASI, Jurnal Masalah Sosial Vol.2, No,2, Desember 2011 ISSN 2086-6350
69 Seminar NasionaldanGelarProduk | SENASPRO 2016
669
[9]
[10] [11] [12]
[13] [14] [15]
[16]
[17] [18] [19] [20] [21]
Iwan Santoso, 2012, Per) Estimasi Parameter Integrasi Soal Etnis Tionghoa-Jawa di Yogyakarta dan Surakarta Pengembangan Model Hybrid, Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan Jenifer Cushman dan Wang Gungwu, 1991, Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara, Grafiti, Jakarta. Juli Astutik, 2000, Problematika Pembauran Golongan Ethnis Cina-Jawa Kajian Literature dalamDimensi Sosial Budaya (Penelitian Kajian Literatur) ___________, 2015, Model Bauran Etnis Jawa-Tionghoa Berbasis Partisipasi Holistik dalam Upaya Meminimalisir terjadinya Konflik di Kota Malang, Hasil Penelitian DPPMUMM Lawang Robert M.Z. (2004). Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik Suatu Pengantar. FISIP UI Press Depok Leo Suryadinata, 2002, Negara dan Atnis Tionghoa : Kasus Indonesia, Pustaka, LP3ES, Jakarta Munandar Sulaeman (2005). Resolusi Konflik Model Pemberdayaan Modal Sosial SebagaiAlternatif Pencegahani Konflik Tawuran Antar Warga Desa (Kasus Pada Masyarakat Desa Kabupaten Indramayu Jawa Barat). Dikti Penelitian Hibah Bersaing P3M Jakarta Paulus Haryono, 2006, Menggali Latar Belakang Stereotype dan persoalan Etnis Cina di Jawa, Dari Jaman Kecemasan, Konflik Antar Etnis Hingga KIni, Mutiara Wacana, Semarang. Putnam, Robert.D, “The Prospectus Community : Social Capital ang Public Life, Dalam The American Prospect, No. 3 th1993 Sugiyono, 2006, Memahami Penelitian Kualitatif, Alfabeta. Bandung. Tobroni, 2012, Relasi Kemanusiaan dalam Keberagaman (Mengembangkan Etika Sosial Melalui Pendidikan) Penerbit Karya Putra Dakwah, Bandung Tony Dian Effendi, 2015, The Silk, Sutera, Kumpulan Pengalaman Mahasiswa Indonesia dan Tiongkok, Litera Yogyakarta. Vina Salviana, Nurudin, Deden faturrohman, 2003, Agama Tradisional, Potret Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, LKIS, Yogyakarta.
670
SENASPRO 2016 | Seminar NasionaldanGelarProduk