MODEL BUDAYA PEMBELAJARAN ORGANISASI YANG KOMPREHENSIF Wilfridus B. Elu, M.Si., Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono
engertian, Tingkatan, dan Dimensi Budaya Pembelajaran Secara umum, budaya pembelajaran organisasi merujuk pada pandangan
hidup
kolektif
dalam
organisasi
atau
programming yang berkembang dalam suatu
collective
mental
organisasi pembelajar
(learning organization) atau suatu komunitas pembelajar. Menurut Ryan (Chawla
&
merupakan
Renesch, tempat
1995:
dimana
290),
komunitas-komunitas
relasi-relasi
selalu
dibina
pembelajar
dengan
baik;
keterbukaan dan keragaman (diversity) dihargai; rasa ingin tahu menjadi supremasi; eksperimentasi menjadi kebiasaan; dan terdapat ketekunan dalam menemukan jawaban atas permasalahan-permasalahan. Dalam organisasi semacam ini, orang-orang senantiasa berkomunikasi secara jujur dan terbuka; saling menghormati dan menghargai; memberikan penilaian tetapi juga mencari umpan balik; tertantang untuk selalu mengenakan cara pandang baru; mengajak pada pendekatan sistem yang menyeluruh; dan bebas menampakkan diri sendiri apa adanya, tanpa topeng. Menurut Marquardt & Reynolds (1994:31), budaya pembelajaran organisasi adalah budaya yang menghargai pembelajaran, mendorong dan memberi kompensasi atas pengambilan resiko, dan budaya dimana semua bertanggung jawab atas pembelajaran sendiri maupun pembelajaran dari pihak-pihak lain. Lebih jauh, Lundberg (1996:500) mendeskripsikan budaya organisasi yang menghargai pembelajaran sebagai berikut. “…What if an organizational culture valued learning? It seems likely that the organization’s cultural assumptions about change would tend to see change as inevitable, perhaps necessary, natural, and feasible. Its values would have change as desirable. Its strategic beliefs would encourage the surfacing and examination of the future, organization environment relations, stakeholder interests, and all
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
aspects of internal managing. Its manifest components, that is, its stories, norms, rituals, and so forth, would reflect and support continuous surfacing and examining. A culture that valued learning would have learns how to learn, that is the organization and its members would have learned that surfacing and examining leads to learning.” Budaya organisasi itu sendiri menurut Schein (1985; 1992:12) diartikan sebagai: “… a pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to perceive, think, and feel in relation to those problems”. Rumusan yang sama dikemukakan oleh Denison (1990:2), yaitu “… the underlying values, beliefs, and principles that serve as foundation for an organization’s management system as well as the set of management practices and behaviors that both exemplify and reinforce those basic principles.” Dengan kata lain, budaya organisasi merujuk pada pandangan hidup (the way of life) dalam suatu organisasi. (Hatch, 1997:204). Budaya organisasi dibentuk dan dipertahankan secara sengaja sebagai pegangan karena terbukti atau diyakini dapat memelihara identitas organisasi
dan
keberhasilan organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan. Hofstede (2001:391) menekankan budaya organisasi sebagai “the collective programming of the mind” yang membedakan organisasiorganisasi. Sebagai collective level of mental programming, budaya organisasi dibedakan dari individual level of mental programming maupun universal level of mental programming (Hofstede, 2001:2-3). Penekanan
atas
peran
budaya
organisasi
sebagai
wahana
mempersatukan (mengkoordinasikan) orang-orang dalam organisasi melalui kesamaan paradigma dan praktek organisasional dikemukakan juga oleh Caren Siehl & Joanne Martin (Hatch, 1997) sebagai berikut: “… Organizational culture can be thought of as the glue that holds an organization together through a sharing of patterns of meaning. The culture focuses on the values, beliefs, and expectations that members come to share”.
218
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa budaya pembelajaran organisasi berkaitan dengan pandangan hidup dalam organisasi berupa asumsi-asumsi dasar atau keyakinan-keyakinan, nilai-nilai atau sikap-sikap, dan simbol-simbol atau artefak-artefak —mencakup juga sistem-sistem
dan
praktek-praktek
manajerial—
yang
menghargai
pembelajaran dan perubahan. Asumsi-asumsi dasar, nilai-nilai, dan artefakartefak ini sangat diperlukan untuk menjamin integrasi organisasi kedalam dan kapabilitas organisasi dalam berinteraksi dengan lingkungan eksternal. Perspektif budaya organisasi dan perspektif iklim organisasi (organizational
environment
atau
organizational
climate)
sebenarnya
menunjuk pada substansi yang sama. Akan tetapi, terdapat perbedaan metodologi (dan epistemologi). Perspektif iklim organisasi memfokuskan diri pada upaya memahami ciri-ciri dari keadaan atau latar (settings) organisasi yang spesifik dengan memperhatikan dimensi-dimensi dan prinsip-prinsip universal. Sedangkan perspektif budaya mencoba menjangkau substansi yang sama melalui penelusuran
terhadap pemahaman-pemahaman
anggota organisasi terhadap keyakinan dasar organisasi, nilai-nilai, dan artefak-artefaknya. Konsep iklim organisasi populer pada dekade 1960-an hingga 1970an dan digunakan secara bergantian dengan budaya organisasi. Evolusi perspektif iklim organisasi mengikuti berbagai pola, tetapi tetap berakar pada studi-studi tentang iklim-iklim sosial (Lewin, 1951; Lewin et al., 1939) dan observasi kualitatif atas setting alamiah dari organisasi (Barker, 1965; Likert, 1961). Kajian-kajian dalam studi organisasi tentang iklim organisasi memusat pada
pandangan Tagiuri & Litwin (1968) dan Litwin & Stringer (1968).
Dikutip oleh Denison (1990c), Tagiuri & Litwin mendefinisikan iklim organisasi sebagai “kualitas lingkungan organisasi secara keseluruhan yang relatif tahan lama yang (a) dialami oleh anggota-anggota organisasi, (b) mempengaruhi perilaku mereka, dan (c) dapat dideskripsikan dalam bentuk nilai-nilai mengenai kumpulan karakteristik (atau atribut-atribut) khusus dari lingkungan”.
219
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Akan tetapi, perbedaan disiplin utama yang dirujuk--iklim organisasi merujuk pada psikologi sosial, sedangkan budaya organisasi pada antropologi—menimbulkan perbedaan metode-metode kajian di antara keduanya. Iklim organisasi juga lebih memperhatikan motivasi dan perilaku individu, sedangkan budaya organisasi menaruh perhatian utama pada level organisasi secara keseluruhan. Lagi pula, iklim organisasi bernuansa evaluatif —iklim yang sehat vs iklim tidak sehat— dan sering tumpang tindih dengan kepuasan, sedangkan budaya organisasi menerima perbedaan di antara organisasi-organisasi tanpa berpretensi menunjukkan budaya yang secara obyektif lebih baik. Lebih dari itu, iklim organisasi ada kalanya hanya menyangkut aspek tertentu, misalnya iklim komunikasi, atau hanyalah satu bagian dari budaya organisasi. (Hofstede, 2001:392). Perspektif budaya organisasi memusatkan perhatian terhadap nilainilai dasar, keyakinan-keyakinan, dan asumsi-asumsi yang hidup dalam organisasi, pola-pola perilaku yang berasal dari shared meanings, dan simbol-simbol yang mengekspresikan hubungan-hubungan antara asumsiasumsi, nilai-nilai dan perilaku dari anggota-anggota orgnisasi (Denison, 1990:27).
Kajian
teoretis
untuk
membangun
budaya
pembelajaran
komprehensif lebih cenderung pada perspektif budaya pembelajaran organisasi. Hal ini dilakukan untuk memahami bagaimana anggota-anggota organisasi mengenakan asumsi-asumsi, nilai-nilai, dan simbol-simbol yang mendukung
pembelajaran
terhadap
sistem
sosial
dimana
mereka
dari
Schein,
budaya
bergabung. Merujuk
pembagian
lapisan
budaya
pembelajaran organisasi dapat juga dipahami pada tiga tingkatan, yaitu (1) lapisan paling dalam berupa asumsi-asumsi dasar (beliefs); (2) nilai-nilai, sikap-sikap atau norma-norma; dan (3) artefak-artefak atau simbol-simbol pada lapisan paling luar. (Lihat, Bagan 1). Lapisan paling bawah mendasari dan menopang lapisan kedua dan ketiga. Nilai-nilai organisasi biasanya konsisten dengan dan mencerminkan beliefs organisasi. Demikian halnya, artefak-artefak atau simbol-simbol
220
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
organisasi konsisten dan merefleksikan nilai-nilai organisasi. Pengaruh sebaliknya pun dapat terjadi, yaitu adanya pengaruh dari lapisan paling luar terhadap
nilai-nilai.
Selanjutnya,
nilai-nilai
mempengaruhi
keyakinan-
keyakinan. Akan tetapi, hal yang terakhir ini hanya terjadi jika nilai-nilai benar-benar baru teruji. Keyakinan baru yang terbentuk kemudian diterima sebagai “kebenaran” dan menjadi pembimbing perilaku tanpa keraguan.
Artifacts
Visible organizational structures and processes
Espoused Values
Strategies, goals, philosophies (espoused justifications)
Basic Underlying Assumptions
Unconscious, taken-for-granted beliefs, thoughts, feelings.
Bagan 1: Tiga Tingkatan Budaya (Pembelajaran) Organisasi
Denison (1990:32-33) mengemukakan bahwa asumsi-asumsi dasar adalah “tacit beliefs” dari anggota-anggota organisasi mengenai diri mereka dan orang-orang lain, hubungan-hubungan mereka dengan orang-orang lain, dan sifat dasar (nature) organisasi dimana mereka hidup. Asumsi merupakan tiang penyokong yang tak disadari terhadap nilai-nilai, perspektif, dan artefak dari organisasi. Asumsi merupakan aksioma implisit dan abstrak yang mempengaruhi sistem budaya yang lebih eksplisit. Sedangkan nilai adalah dasar penilaian yang digunakan anggota-anggota organisasi dalam menilai situasi, tindakan, obyek atau orang-orang. Nilai mencerminkan sasaransasaran riil, cita-cita, standar, “dosa-dosa” organisasi dan menunjukkan preferensi organisasi di dalam memecahkan permasalahan.
221
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Artefak adalah lapisan budaya yang paling luar, aspek budaya organisasi yang sifatnya tangible. Aspek ini dapat berbentuk verbal, perilaku, atau artefak fisik (Denison, 1990:32-33, Hatch, 1997:216). Manifestasi verbal termasuk cerita-cerita, bahasa, pahlawan, penjahat, metafor, dan mitosmitos. Manifestasi perilaku meliputi upacara-upacara, pola-pola komunikasi, tradisi atau kebiasaan-kebiasaan, dan ganjaran atau hukuman. Sedangkan manifestai fisik mencakup logo perusahaan, bangunan, pakaian atau penampilan orang, obyek material dan tata letak fisik. Artefak yang sama dapat dimaknai secara berbeda-beda. Dengan begitu, budaya organisasi memiliki dua sisi bertentangan sekaligus: kebersamaan dan keterpisahan (keragaman) pemaknaan. Pada umumnya, pihak manajemen dalam organisasi lebih mudah mengendalikan sisi fisik dan desain dari artefakartefak ketimbang sisi pemaknaan dari budaya organisasi. Analisis untuk menemukan hubungan yang konsisten antara ketiga lapisan budaya (pembelajaran) organisasi merupakan hal yang penting dalam memahami hakikat budaya (pembelajaran) organisasi. Hal ini memerlukan kehati-hatian. Artefak yang sama dapat dimaknai atau berasal dari nilai serta keyakinan yang berbeda. Sebaliknya, keyakinan dan nilai yang sama bisa diwujudkan melalui simbol yang berbeda. Tidak begitu mudah bagi setiap orang untuk memahami nilai dan asumsi dasar dari suatu organisasi hanya dari memahami artefak-artefaknya secara sepintas saja. Suatu budaya yang konsisten antara ketiga lapisannya, secara teoritis memiliki daya pengaruh yang lebih tinggi terhadap praktek-praktek organisasi, membangun,
tanpa
mempersoalkan
menciptakan),
menghancurkan).
Dalam
atau
arahnya, negatif
terminologi
positif
(mendukung,
(menghambat,
Argyris,
bapak
merusak,
pembelajaran
organisasi, dalam hal ini terdapat konsistensi antara theories-in-use dan espoused theories. Budaya pembelajaran dapat juga dipahami dari dimensi-dimensinya. Model budaya pembelajaran organisasi yang dikembangkan di sini mengacu
222
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
pada pendekatan Denison. Menurut Denison (1990:1), pengembangan budaya organisasi pada umumnya menggunakan dua dimensi sebagai titik rujukan. Pertama, fokus utama pengembangan budaya (berfokus terhadap pengembangan dinamika internal organisasi atau terhadap dinamika lingkungan eksternal organisasi). Kedua, pandangan mengenai perubahan (menekankan perubahan dan fleksibilitas, atau stabilitas dan keteraturan). Dengan demikian, terdapat empat dimensi budaya organisasi, yaitu keterlibatan
(involvement),
konsistensi
(consistency),
kemampuan
beradaptasi (adaptability), dan misi (mission). (Lihat, Bagan 2).
External Focus
Internal Focus
Adaptability
Mission
Involvement
Consistency
Change and flexibility
Stability and direction
Bagan 2: Dimensi-dimensi Budaya (Pembelajaran) Organisasi
Menurut Denison (1990), siklus penyesuaian dengan perubahan lingkungan dikembangkan melalui konsensus-konsensus tentang misi dan strategi, sasaran, sarana pencapaian tujuan, pengukuran, dan tindakan korektif yang diterima bersama. Sedangkan proses integrasi internal ditempuh dengan (1) menyamakan bahasa dan kategorisasi; (2) menetapkan batasan dan kriteria kelompok atau keanggotaan; (3) distribusi kekuasaan dan status untuk mengelola perasaan agresi; (4) mengembangkan normanorma tentang intimasi, persahabatan dan cinta dalam rangka mengelola perasaan-perasaan afeksi dan cinta; (5) menetapkan dan mengalokasikan
223
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
rewards and punishments; dan (6) memberikan penjelasan atas hal-hal takterjelaskan dan melampaui pengendalian organisasi melalui ideologi organisasi,
agar
memudahkan pemaknaan anggota dalam memperoleh
rasa aman dan kepastian. Dimensi-dimensi di atas menunjukkan bahwa budaya organisasi berkepentingan dengan upaya menjaga eksistensi dan keberhasilan organisasi dengan menyeimbangkan tuntutan akan penyesuaian yang cocok dengan lingkungan eksternal yang sekaligus didukung oleh dan dalam rangka memelihara integrasi internal organisasi. Prinsip keseimbangan juga dianut dalam mengelola kebutuhan akan perubahan di satu sisi, dan keteraturan atau prediktabilitas di sisi lain. Organisasi yang gagal cenderung terlampau menekankan salah satu dan mengabaikan yang lainnya. Misalnya saja, organisasi terlalu mempertahankan aturan-aturan sehingga mengalami status
quo
dan
otoritarianisme,
dan
gagal
melakukan
perubahan.
Sebaliknya, organisasi yang terlalu menekankan perubahan dan kebebasan (demokrasi) tanpa memberi perhatian semestinya atas tatanan-tatanan — minimal bagi integrasi internal-- dapat menjerumukan diri dalam situasi anarkis atau anomali. Kegagalan juga dapat terjadi ketika organisasi terlalu berfokus pada keadaan internal, sehingga lalai atau tidak memadai dalam mempertahankan eksistensinya pada orbitnya. Kecenderungan lainnya, perusahaan terlalu berfokus pada kepentingan eksternal tanpa dukungan koherensi atau integrasi internal. Dalam situasi terakhir ini, perusahaan tidak cukup memiliki energi kolektif dan terpadu yang dibutuhkan dalam menyambut perubahan-perubahan dan melayaninya secara unggul. Jadi, model ini memberikan wawasan tentang pentingnya pengembangan budaya (pembelajaran) organisasi yang terpadu, selaras, seimbang, dan memadai. Mengacu tingkatan budaya organisasi dari Schein dan dimensi budaya organisasi dari Denison, maka dapat dikemukakan bahwa budaya pembelajaran organisasi, secara teoritis, paling efektif dalam mendukung efektivitas dan kinerja organisasi, jika keempat dimensinya dikembangkan secara seimbang, memadai, dan holistik sebagai suatu bauran (mixture),
224
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
mulai dari asumsi dasar organisasi hingga artefak. Dengan kata lain, pengembangan budaya pembelajaran dilakukan dengan memberikan perhatian terhadap keseimbangan dan keselarasan kepentingan fokus internal versus fokus eksternal, dan keseimbangan antara kepentingan stabilitas versus fleksibilitas, yang selaras juga di antara ketiga level budaya pembelajaran organisasi. Model Budaya Pembelajaran Komperehensif Model komperhensif dari budaya pembelajaran organisasi yang diajukan di sini mengaitkan tingkatan pembelajaran, budaya organisasi, perilaku organisasi mengenai perubahan, dan dimensi-dimensi budaya pembelajaran
organisasi.
Setiap
dimensi
budaya
pembelajaran
dikembangkan hingga mencapai tataran treble loop learning, menjangkau asumsi-asumsi dasar atau beliefs organisasi dalam suatu keselarasan di antara tiga lapisan budaya organisasi, serta mengandaikan pengembangan perilaku memadai dari organisasi. Keseluruhan budaya pembelajaran merupakan suatu bauran (mixture) yang memadai bagi setiap organisasi, meskipun dapat ditemukan adanya suatu kisaran yang dihuni secara umum oleh himpunan (cluster) organisasi dalam lingkungan, habitat, atau tingkat kemajuan yang relatif sama. Keterkaitan
antara
tingkatan
pembelajaran
dengan
budaya
organisasi dan perilaku organisasi terutama bersumber pada model dari Borzsony
dan
Hunter
(1996).
Klasifikasi
dimensi-dimensi
budaya
pembelajaran terutama mengacu pada Denison (1990). Model komprehensif digambarkan pada Bagan 3. Borzsoni dan Hunter menunjukan adanya hubungan antara budaya, perilaku organisasi, dan tingkatan pembelajaran. Single-loop learning berkaitan dengan lapisan symbol atau artefak organisasi dan perilaku “allowed to learn/ change.” Pembelajaran pada tataran double loop-learning berkenaan dengan sikap (attitudes) atau nilai-nilai (values) dari budaya organisasi dan perilaku organisasi adalah “able to learn/ change.”
225
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Sedangkan triple-loop learning berkenaan dengan lapisan terdalam dari budaya organisasi berupa keyakinan-keyakinan, dan perilaku “willing to learn/ change.”
Secara teoritis, learning organization akan semakin
meningkat kapabilitas kolektifnya, jika budaya pembelajaran dikembangkan hingga pada level yang terdalam, yaitu menyentuh asumsi-asumsi dasar atau beliefs dari organisasi.
Culture: Symbols Attitudes Beliefs
External Internal
Behavior: Allowed to learn/change Able to learn/change Willing to learn/change
Adaptability
Mission
Involvement
consistency
Change and flexibility
Stability and Direction
Learning: Triple-loop learning Double-loop learning Single-loop learning
Bagan 3: Model Budaya Pembelajaran Komperhensif
Jadi, budaya pembelajaran organisasi dapat ditelusur pada empat dimensi, yaitu (1) penekanan akan keterlibatan karyawan individual dalam pembelajaran organisasi dan adanya fleksibilitas (involvement); (2) perhatian akan
konsistensi
dalam
organisasi
dan
penekanan
akan
stabilitas
(consistency); (3) penekanan akan pentingnya lingkungan eksternal sebagai fokus pembelajaran dan penekanan akan perubahan dan fleksibilitas (adaptability); dan (4) penekanan akan keberhasilan organisasi (mission) dan stabilitas atau keteraturan sebagai titik rujukan pembelajaran organisasi.
226
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
Secara teoretis, setiap dimensi mestinya dikembangkan sampai level treble loop learning. Berikut ini uraian lebih rinci dari masing-masing dimensi budaya pembelajaran
organisasi.
Pengembangan
ini
dilakukan
berdasarkan
penelusuran atas berbagai pandangan mengenai budaya pembelajaran yang tersedia pada berbagai kepustakaan. 1. Dimensi Keterlibatan (Involvement) Gagasan pokok dari hipotesis keterlibatan adalah budaya organisasi yang
efektif
menekankan
prinsip-prinsip
keterlibatan
(involvement),
partisipasi, dan keterpaduan dari kepentingan-kepentingan individu dengan kepentingan-kepentingan organisasi (Denison, 1990:5-8; Denison & Mishra, 1995:213-214). Dengan begitu akan tercipta rasa kepemilikan dan tanggung jawab, sehingga komitmen terhadap organisasi akan meningkat. Untuk itu, dibutuhkan lebih sedikit sistem pengendalian (eksplisit) yang ketat, atau terjadi peningkatan kapasitas bertindak secara otonom. Budaya organisasi dengan penekanan akan keterlibatan yang tinggi memandang setiap karyawan sebagai manajer yang bertanggung jawab atas aset-aset perusahaan. Lagi pula, “self-management” ini berarti bahwa setiap pribadi bertanggung jawab untuk mengatur diri sendiri. Pada tatanan sistem, perusahaan menerapkan pelibatan karyawan dalam kepemilikan dan keberhasilan
perusahaan,
misalnya
menerapkan
Employee
Share
Ownership Program (ESOP) dan/ atau “profit sharing.” Penekanan keterlibatan mengandaikan keberhasilan pembelajaran organisasi sebagai resultante dari keterlibatan, partisipasi, dan keterpaduan kepentingan dari individu-individu dengan kepentingan organisasi dalam melakukan atau mendukung pembelajaran diri sendiri dan pembelajaran dari pihak-pihak lain. Dengan demikian, karyawan akan memiliki rasa memiliki dan komitmen terhadap pembelajaran organisasi. Dari segi organisasi, hal ini berarti struktur dan sistem-sistem perlu dirancang untuk memungkinkan “self
227
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
management” dan juga mengaitkan pengupahan, pengakuan, dan promosi dengan pembelajaran. Asumsi-asumsi
dasar
dari
budaya
pembelajaran
ini
berupa
keyakinan mengenai posisi khas masing-masing individu dan kolaborasi dalam proses pembelajaran organisasi. Yaitu, adanya suatu keyakinan dasar yang hidup dalam organisasi bahwa “setiap orang memiliki bakat-bakat yang unik dan berbeda-beda yang dapat disumbangkan bagi organisasi.” (Fearon, 1996:3). Diyakini bahwa pembelajaran adalah suatu proses alamiah, dan kebanyakan orang, sebagai individu, sangat terampil secara alamiah. Kapasitas untuk pembelajaran substantif diyakini telah ada dalam diri kebanyakan orang. Manusia pada dasarnya adalah good leaners secara alamiah, dan kecenderungan serta kapasitas pembelajaran ini dibawa-serta dalam pekerjaan sehari-hari (Wise, 1996:144; Montgomery & Scalia, 1996:445). Bahkan, anggota-anggota organisasi meyakini arti penting dari tanggung jawab individu terhadap pembelajaran. Suatu keyakinan bahwa tanggung jawab atas pembelajaran harus dapat diterima oleh setiap anggota, jika organisasi benar-benar berhasrat menciptakan suatu budaya pembelajaran. (Hoffman & Withers, 1995:468-469; Marquardt & Reynolds, 1994). Asumsi ini sejalan dengan asumsi tentang kapasitas mengelola dirisendiri (Wood,1995) dan kompetensi (Handy,1995). Sikap-sikap atau norma-norma dan nilai-nilai yang menonjol di sini adalah adanya proses internal yang lebih demokratis. Yaitu, inklusi dan partisipasi dipandang sebagai hal yang penting, meskipun membawa konsekuensi berupa inkonsistensi, perselisihan atau konflik (Denison, 1990:110). Learning Organization (LO) yang efektif dipahami sebagai komunitas pembelajaran yang demokratis. Nilai-nilai yang dianut berkaitan dengan penghargaan atau respek terhadap
individu dan nilai-nilai kemanusiaan yang transendental: cinta
kasih, keingintahuan (wonder), belas kasihan (compassion), dan kerendahan hati (Kofman dan Senge, 1995:32-33).
228
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
Keempat nilai transendental di atas memungkinkan berkembang luasnya nilai-nilai lain berupa kebebasan kreativitas (Pollard, 1996:70; Byrd, 1995:478-479); trust
dan perlawanan atas ketakutan, bahkan sebaliknya
mendorong keterbukaan, kesediaan untuk menerima ambiguitas dan perspektif yang berbeda (Vogt, 1995:302-303; Hoffman & Withers, 1995:469). Juga ada nilai egaliter dan sikap positif terhadap resiko atau kesalahan, dimana kesalahan pada tingkat tertentu dibutuhkan bagi kemajuan (Leonard-Barton, 1995; Marquardt & Reynaolds, 1994). Dalam rumusan yang mirip, Handy (1995) mengemukakan penghargaan atas rasa percaya (trust), keingintahuan (curiosity), dan juga forgiveness-celebration. Semuanya ini berangkat dari kesadaran akan pentingnya penghargaan atas upaya-upaya kreatif dari setiap individu dalam memajukan dinamika internal organisasi dan kesediaan untuk memaafkan kesalahan-kesalahan dalam uji coba yang dilaksanakan demi kemajuan individu dan organisasi. Manifestasi perilaku dari dimensi ini, di antaranya berupa nonjudgmental conversations (Vogt, 1995: 302-303); kebebasan mengemukakan pandangan dan mencoba gagasan-gagasan yang tidak konvensional (Wise, 1996:44); sharing atau berbagi bahan bakar mengenai pembelajaran yang efektif, informasi, perasaan-perasaan, kelemahan-kelemahan, kesalahankesalahan dan kreativitas, serta tidak ada hukuman untuk kesalahan dalam pembelajaran (Montgomery & Scalia, 1996:445); pengampunan atas hal-hal yang telah terjadi (forgive the past), merasakan kesempurnaan dari setiap kejadian, terbuka dan menyingkirkan tuduh-menuduh, serta kebebasan bertindak (Pattakos, 1996:174). Selain itu, tersedia sumber daya (waktu dan dana) bagi pembelajaran yang diprakarsai oleh individu dengan sistem pengupahan atau pengakuan dan sistem pengembangan karier (LeonardBarton, 1995). 2. Dimensi Consistency Pandangan konsistensi menekankan budaya yang kuat dari organisasi. Di sini ditekankan adanya sistem-sistem pengendalian implisit,
229
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, dari pada sistem-sistem pengendalian eksternal yang mendasarkan diri pada pedoman-pedoman (rules) dan aturan-aturan (regulations). Dengan kata lain, budaya yang kuat menekankan sistem keyakinan, nilai-nilai, dan simbol yang dipahami secara luas oleh anggota-anggota organisasi, atau rumusan kolektif (collective definition) mengenai perilaku, sistem, dan makna (meanings) secara terpadu yang menuntut kepatuhan individual (individual conformity) ketimbang partisipasi sukarela (Denison & Mishra, 1995:214). Intinya, perspektif ini menekankan konformitas atau agreement dan prediktabilitas. Asumsi dasar dari budaya yang kuat adalah bahwa sistem pengendalian implisit, yang didasarkan pada nilai-nilai yang diinternalisasi, merupakan sarana yang efektif untuk mencapai integrasi atau konsistensi normatif. Hal ini memungkinkan organisasi melakukan tindakan-tindakan terkoordinasi yang dilandasi oleh kesamaan pemahaman di antara anggota organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat bereaksi
terhadap
lingkungan secara cepat dan memadai, serta mampu melindungi sistem nilai yang dianut (Denison, 1990:11; Denison & Mishra, 1995:215). Intinya, dimensi ini menekankan
kemampuan organisasi untuk memperoleh
konsensus dan menghasilkan tindakan-tindakan terkoordinasi. Nilai yang lazim adalah penghargaan akan konsistensi, harmoni, dan konsensus. Tingginya derajat integrasi normatif, shared meanings, dan kerangka acuan yang sama akan meningkatkan kapasitas organisasi untuk kegiatan-kegiatan terkoordinasi dan mendukung proses keputusan yang lebih cepat (Denison, 1990:10). Meskipun begitu, penekanan akan konsistensi secara berlebihan bisa menjadi faktor penghambat bagi perubahan dan adaptasi organisasi (Denison & Mishra, 1995:215). Hoffman dan Withers (1995:474) mengatakan, budaya yang konsisten merupakan kebutuhan bagi pembelajaran dan penciptaan learning organization, seperti berikut: “…a strong, consistent culture grown from shared values provides all of the control necessary for directing learning. True learning organizations will grow from a culture accepts the premise that
230
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
continuous, uncontrolled learning is a necessity for future success. As leaders continue to focus on maintaining the strength of the culture and making sure that it is consistent, the culture will allow associates throughout the organization to learn at the rate of speed necessary to move forward.” Dimensi ini memiliki keyakinan dasar bahwa organisasi adalah suatu komunitas pembelajaran. Nilai-nilai yang dianut meliputi keterpaduan, keterkaitan, dan pengurangan hambatan-hambatan bagi pengembangan pengetahuan (DeChant, 1996:113-114). Montgomery dan Scalia (1996: 445) mengemukakan mengenai adanya persaingan terkendali (controlled competition), dan penekanan akan semangat kolaborasi. Para manajer berperan sebagai fasilitator yang menyediakan sumber daya dan dukungan bagi pembelajaran melalui penciptaan desain dan pemberian motivasi bagi karyawan agar mencapai sasaran yang telah ditetapkan, meskipun mereka bukanlah “ahli” bagi pembelajaran karyawan (Byrd, 1995:482-483). Nilai trust pada dimensi ini didasarkan pada respek satu sama lain dan keyakinan akan kompetensi pihak-pihak lain. Namun, trust ini juga dilandasi oleh hasrat untuk melakukan hal yang benar. Berkembang juga suatu keyakinan bahwa organisasi akan melindungi
dan menghargai
mereka yang mematuhi kepentingan organisasi. Lagi pula, manajemen selalu mengkomunikasikan dan bertindak cepat atas tindakan-tindakan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri (Montgomery dan Scalia, 1996:459). Pada tataran artefak, terdapat sejumlah ciri yang konsisten dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai pembelajaran yang menekankan konsistensi. Hoffman dan Withers (1995:470-471) mengemukakan, kunci bagi konsistensi adalah adanya sharing dari setiap pribadi mengenai tanggung jawab terhadap kesehatan budaya perusahaan. Jika ada trust dan semangat teamwork, maka sharing mengenai kesalahan-kesalahan dapat berlangsung tanpa beban sehingga menyediakan basis bagi keberhasilan
231
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
pihak lain dalam organisasi. Rasa takut membuat kesalahan juga akan berkurang. Semua kondisi ini dibutuhkan bagi pembelajaran dan perubahan. Organisasi mungkin tidak hanya memiliki satu budaya pembelajaran yang sama untuk keseluruhan organisasi. Organisasi mungkin memiliki beberapa
sub-budaya
yang
berbeda,
misalnya
pada
tingkat
divisi,
departemen, wilayah, tugas, bahkan pada level individu. Akan tetapi, di sini terdapat konsistensi yang tinggi di antara subbudaya. Konsistensi juga terjadi di antara sub-budaya dengan budaya pembelajaraan
organisasi yang
“memayungi” secara keseluruhan. (Lundberg, 1996:495). Sebagaimana dikemukakan di atas, jika para manajer terus-menerus memusatkan perhatian pada upaya mempertahankan kuatnya budaya dan menjamin konsistensi budaya pembelajaran, niscaya budaya pembelajaran organisasi akan membuat seluruh lapisan organisasi belajar pada tingkat kecepatan yang dibutuhkan bagi
kemampuan berkelanjutan (Hoffman &
Withers, 1995:474). Satu elemen penting untuk itu
adalah meluasnya
tanggung jawab atas pembelajaran diri sendiri maupun pihak lain sebagaimana dikemukakan oleh Marquardt dan Reynolds (1994). 3. Dimensi Adaptability Konsepsi ini menekankan sistem-sistem nilai dan keyakinan yang mendukung kapasitas organisasi dalam menerima, menginterpretasikan, menterjemahkan signal-signal dari lingkungan ke dalam perubahanperubahan kognitif, perilaku dan struktur internal sehingga meningkatkan kesempatan perusahaan untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang. (Denison:11; Denison & Mishra:215). Jadi, ada tiga aspek di sini. Pertama, kemampuan untuk memahami (perceive) dan menanggapi lingkungan eksternal. Kedua, kemampuan untuk menanggapi para pelanggan internal. Ketiga, kapasitas untuk merestrukturisasi dan melakukan reinstitusionalisasi sejumlah perangkat perilaku dan proses yang memungkinkan adaptasi organisasi (Denison, 1990:12).
232
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Schein (19996: 67) sebagai berikut: “…The organizations that have survived and make important transitions over many decades seems to have always had a cultural core that was fundamentally functional--a commitment to learning and change; a commitment to people and all of the stakeholders in the orgainization, including customers, employees, suppliers, and stockholders; and a commitment to building a healthy, flexible organization in the first place. If such a cultural core does not exist from the beginning, the organization may not survive in the long run, especially as environmental turbulance increases.” Dimensi ini memiliki asumsi dasar bahwa sistem-sistem terbuka merupakan kebutuhan bagi pengembangan pengetahuan dan perubahan organisasi (Byrd, 1995:478, 484-485). Juga diyakini bahwa orang-orang menempatkan diri sebagai bagian dari aliran pemakai/ pemasok dan saling mendukung dalam penciptaan nilai tambah bagi masyarakat dan lingkungan. Ada keyakinan bahwa semua unsur dengan sadar maju bersama-sama dalam memajukan masyarakat (Wood, 1995:415). Secara implisit, asumsi ini mengandaikan asumsi lainnya, yaitu pengakuan akan ketidakmampuan untuk mengetahui dan mengerjakan sendiri berbagai hal (Byrd, 1995:479480). Perubahan cara berpikir dan bertindak kolektif
menjadi penting
dalam kaitan dengan upaya organisasi secara terpadu untuk bertahan hidup, bertumbuh dan berkembang
sejalan dengan dinamika dan gelombang
perubahan dunia bisnis. Wise
(1996:45)
mengemukakan,
premis
utamanya
adalah
penerapan pendekatan-pendekatan yang benar-benar baru dan berbeda dalam mengelola kapital intelektual sebagai basis penciptaan nilai. Yaitu, bagaimana organisasi-organisasi menciptakan kondisi pembelajaran melalui pengelolaan orang-orang yang dapat menghasilkan nilai eksepsional bagi para pemangku kepentingan (stakeholders), seperti pelanggan, pemegang saham, mitra-mitra bisnis, karyawan dan manajemen, masyarakat dan lingkungan hidup.
233
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Nilai-nilai
yang
mendukung
pembelajaran
adapatif
adalah
keterbukaan, kesediaan saling mendengarkan (dengan pelanggan eksternal dan internal), informasi
yang tersebar
luas, kemampuan mengikuti
perkembangan-perkembangan mutakhir (Byrd, 1995:485). Nilai-nilai lain berupa
semangat
customer-driven,
menghargai
perubahan
sebagai
kesempatan untuk bertumbuh, serta sikap menerima hal-hal tak diharapkan sebagai kesempatan untuk belajar (Marquardt & Reynolds, 1994). Keyakinan akan ketidakmampuan mengerjakan sendiri berbagai hal mendorong berkembangnya semangat kemitraan (partnership), dan etika bisnis yang menyertainya: integritas yang mutlak, rasa percaya (trust), dan keterbukaan (Byrd, 1995:480-481). Artefak-artefak dari dimensi ini meliputi keterjalinan berbagai unsur lingkungan eksternal dan unsur-unsur dalam organisasi, serta simbol-simbol kemitraan yang saling menguntungkan. Termasuk di dalamnya adalah ketersediaan sarana informasi yang mudah diakses mengenai pelanggan, pemasok, pesaing, unit-unit terkait dalam organisasi. Juga ada kesepakatankesepakatan kerja sama dan saling penyesuaian dengan unsur-unsur di dalam maupun di luar organisasi. 4. Dimensi Mission Pandangan ini menekankan pentingnya misi dan sense of mission, atau suatu pemahaman yang sama dari anggota organisasi mengenai fungsi dan tujuan organisasi (Denison, 1990:13). Manfaat dari misi adalah (1) memberikan purpose and meaning, serta sekumpulan alasan-alasan nonekonomis mengenai pentingnya kegiatan-kegiatan organisasi (Denison, 1990:13;
Denison
&
Mishra,1995:216)
sehingga
perilaku
organisasi
memperoleh basis intrinsik atau basis spiritual (Denison, 1990:13); (2) memberikan kepastian dan pengendalian (clarity and direction),
atau
menentukan jenis-jenis tindakan yang cocok bagi organisasi dan anggotaanggotanya (Denison, 1990:13;
Denison & Mishra: 1995:216). Mengutip
Wake (1979) dan Davis (1987), Denison mengatakan bahwa sense of
234
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
mission ini, antara lain membutuhkan penerapan future perfect thinking, sehingga anggota organisasi berupaya memperbaiki keadaan masa kini menyongsong masa depan yang diimpikan (Denison, 1990:14). Dari
dimensi
ini,
budaya
pembelajaran
berkembang
melalui
penekanan akan sense of mission and direction. Tugas organisasi adalah menetapkan misi dan visi yang mendorong pembelajaran (Handy, 1992). Selanjutnya organisasi menciptakan iklim psikologis yang aman bagi pembelajaran dengan menyediakan kesempatan untuk latihan, memberikan dukungan dan dorongan untuk melakukan pembelajaran, memberikan penghargaan atas usaha pada arah yang tepat, dan menetapkan normanorma yang melegitimasi kesalahan dan eksperimentasi (Schein, 1993). Byrd (1995 :480-482) mengemukakan dua prinsip penting. Pertama, pembelajaran
berkaitan
dengan
keberhasilan
perusahaan.
Kedua,
keberhasilan perusahaan adalah milik bersama (1995:385-386). Asumsi dasar dari prinsip pertama adalah bahwa pembelajaran sangat penting (faktor kritis) bagi keberhasilan perusahaan sebagai suatu entitas.
Nilai-nilai
atau
sikap
yang
mendasarinya
adalah
bahwa
pembelajaran mestinya didorong oleh kebutuhan bisnis dan misi perusahaan dan terkait dengan kepentingan perusahaan dalam mempertahankan posisi terdepan dalam berbagai aspek, seperti penguasaan teknologi, prosesproses bisnis, dan cara-cara pengelolaan terbaru. Tataran artefak budaya pembelajaran ini, antara lain, ditandai oleh penataan pelatihan formal dan situasi yang memungkinkan on the job learning, serta penyediaan informasi bisnis untuk mendukung keberhasilan perusahaan. Pelatihan-pelatihan formal sering difokuskan pada aspek-aspek kritis bagi keberhasilan bisnis sesuai dengan perkembangan mutakhir. Anggota-anggota organisasi biasanya menunjukkan antusiasme untuk berpartisipasi dalam program-program tersebut. Prinsip kedua menunjukkan asumsi dasar bahwa keberhasilan perusahaan
terutama ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam
memanfaatkan sumber daya-sumber daya pengetahuan, dan mitra-mitra
235
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
secara produktif. Dua nilai yang relevan adalah (1) pandangan bahwa setiap karyawan dituntut bertanggung jawab atas keberhasilan perusahaan, dan (2) setiap karyawan yang berkontribusi terhadap keberhasilan perusahaan harus memperoleh penghargaan yang memadai. Tataran artefak dari dimensi kedua, antara lain menunjukkan adanya praktek-praktek pembagian keuntungan (selain bonus dan komisi), stock option awards, atau bentuk-bentuk penghargaan lainnya bagi karyawan yang berkontribusi secara signifikan bagi keberhasilan perusahaan. Pandangan serupa dikemukakan oleh Montgomery dan Scalia (1996:495). Menurut mereka, lingkungan pembelajaran akan efektif jika hubungan-hubungan didasarkan pada sikap saling menghargai, keyakinan akan kompetensi dan keinginan pihak-pihak lain untuk melakukan hal-hal benar,
serta
kepercayaan
akan
organisasi
dalam
melindungi
dan
menghargai orang atau kelompok yang memperjuangkan kepentingan organisasi. Sebaliknya, manajemen cepat mengambil tindakan tegas dan terbuka dalam mengkomunikasikan tindakan-tindakan yang tidak dapat ditolerir, yaitu tindakan menguntungkan diri-sendiri. Agar tidak merusak iklim pembelajaran atau keseluruhan aktivitas pembelajaran, manajemen dapat mengambil tindakan pemisahan secara langsung ketika terdapat kegiatankegiatan yang destruktif dan subversif. Jadi, pembelajaran organisasi dari dimensi ini lebih menekankan kepentingan pencapaian misi, visi, dan sasaran-sasaran organisasi (fokus eskternal), dan juga menekankan keterarahan (direction) serta stabilitas organisasi. Tantangan-Tantangan Pengembangan budaya pembelajaran yang komprehensif memiliki relevansi dengan upaya memajukan pengelolaan organisasi-organisasi bisnis dalam milenium baru. Dari segi paradigma manajemen dan organisasi, pengembangan ini dimaksudkan sebagai kesempatan untuk membebaskan organisasi-organisasi dari birokrasi dan birokratisasi yang mendera orang-
236
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
orang dan mempertaruhkan masa depan organisasi-organisasi sendiri, yang berakar pada era klasik, khususnya pada Taylorisme, dan diperhebat pada era modern. Pengembangan budaya pembelajaran diajukan di sini, dalam banyak
hal
mencerminkan
kecenderungan
pos-modernisme
untuk
melakukan dekonstruksi terhadap keyakinan, sikap, sistem organisasi yang berkaitan dengan birokrasi yang dibangun untuk kepentingan efisiensi pada era kapitalisme industrial. Konteks organisasi pada abad 21 ditandai oleh tiga perubahan fundamental yang menuntut pergeseran paradigma manajemen, yaitu (1) kesadaran yang makin tinggi akan penghargaan atas kemanusiaan (hak azasi manusia), kemerdekaan, dan demokrasi sebagai warna dominan milenium ketiga; (2) berkembangnya masyarakat pengetahuan (knowledge society), dan (3) meluasnya ekonomi jasa. Kenyataan-kenyataan ini, baik aktual maupun sebagai visi yang ingin diwujudkan menuntut pergeseran paradigma menuju paradigma organisasi dan manajemen yang lebih menghargai harkat dan martabat manusia serta pelibatan totalitas kapabilitas insani —baik individual tetapi
terutama kolektif— dalam segala proses
penciptaan nilai tambah ekonomis. Kapabilitas insani meliputi kecerdasan intelektual, emosional, spiritual dan adversitas. Pengelolaannya secara memadai semakin diyakini sebagai kunci keberhasilan dari sistem-sistem yang hidup pada berbagai tingkatan: individu, organisasi, masyarakat dan bangsa, bahkan pada tataran sistem dunia (world system) secara keseluruhan. Pengembangan budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif memiliki banyak tantangan. Dalam tulisan ini dikemukakan dua tantangan penting. Yakni, pertama, pengintegrasian budaya pembelajaran dalam keseluruhan sistem, struktur, dan proses organisasi. Kedua, peran kepemimpinan. 1. Pengintegrasian Budaya Pembelajaran
237
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Pengembangan
budaya
pembelajaran
pada
akhirnya
dinilai
kemanfaatannya berdasarkan kinerja atau efektivitas organisasi. Dengan demikian, budaya pembelajaran yang komprehensif perlu ditempatkan dalam kerangka
besar
transformasi
organisasi
dalam
mempertahankan
eksistensinya, berupa penciptaan nilai tambah yang unggul bagi berbagai kelompok pemangku kepentingan. Dalam
pandangan
kalangan
fungsionalis,
diperlukan
suatu
pentautan yang memadai atas budaya pembelajaran organisasi dengan misi, visi, dan hasil-hasil yang ingin dicapai oleh organisasi. Kinerja organisasi ditentukan oleh variabel budaya pembelajaran organisasi, selain variabel struktur organisasi. Untuk menghasilkan kinerja yang unggul, manajemen perusahaan perlu mengembangkan kedua aspek ini secara paralel, simultan, dan saling mendukung. Model pentautan fungsional dapat mempertimbangkan model yang dikembangkan oleh Performance Engineering Group
yang bermarkas di
Santa Barbara, California. (Lihat Bagan 4). Upaya pengintegrasian budaya pembelajaran yang lebih holistik, diarahkan pada penempatan budaya pembelajaran sebagai pusat dan penggerak aspek lain dari organisasi. Ini sejalan dengan paham kulturalis dan humanistik dalam memandang organisasi. Aspek lain dari organisasi adalah perwujudan konsisten dari budaya pembelajaran organisasi. Aspek lain dari organisasi dijiwai oleh keyakinan-keyakinan, asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai organisasi. Sebaliknya, budaya pembelajaran organisasi dipengaruhi oleh aspek-aspek lainnya. Organisasi pembelajar, dalam paham ini, adalah suatu organisasi yang dikonstruksi berdasarkan budaya pembelajarannya. Suatu model pengintegrasian semacam itu dikemukakan oleh Cloke & Goldsmith (2002). (Lihat, Bagan 5). Mengacu pada model 7S dari Tom Peters
(1990),
mereka
mengemukakan
pentingnya
pengakuan
dan
pengembangan nilai-nilai yang melandasi masing-masing unsur dari keenam aspek di lingkaran luar. Nilai-nilai bersama merupakan pusat dari dan
238
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
dipengaruhi oleh unsur-unsur lain dari organisasi. Nilai-nilai tersebut mencerminkan budaya pembelajaran.
Mision/Visio Strategy
Values
Goals
Practices
Tasks
Behaviors
Results
Bagan 4: Model Pentautan Budaya Organisasi Sumber: Performance Engineering Group, California. http:/www.thepegroup.com /align.html
2. Peranan Kepemimpinan Senge (1990) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan kunci, presedens, atau supremasi organisasi pembelajar (LO). Disiplin lainnya,
termasuk
budaya
pembelajaran,
merupakan
tindakan
kepemimpinan. Hal ini menunjukkan tiga implikasi penting, yaitu (1) kepemimpinan merupakan faktor sentral dalam pengembangan budaya pembelajaran;
(2) diperlukan pengembangan kepemimpinan menyeluruh
dalam organisasi untuk mendukung pengembangan budaya pembelajaran; dan (3) pentingnya penghayatan kepemimpinan sebagai jalur cultural dan pengabdian kepada tujuan-tujuan besar dan teleologis dari organisasi.
239
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Pemimpin memiliki tiga peran dalam LO, yaitu sebagai desainer, guru, dan pelayan (steward) (Senge, 1990). Sebagai desainer, pemimpin mengembangkan mengintegrasikannya
misi,
visi,
dengan
nilai-nilai proses,
dari
sistem
organisasi
dan
dan
struktur-struktur
organisasional. Sebagai guru, pemimpin memupuk pembelajaran organisasi dan individu. Sedangkan sebagai pelayan, ia melayani organisasi dan misinya, melayani orang-orang agar bertumbuh dalam pembelajaran, serta menjadi model, contoh, teladan dalam pembelajaran menuju pencapaian kinerja yang benar-benar unggul.
Strategy (Dialogue) Structure (Participation)
Systems (Openness)
Shared Values (Teamwork) Styles (Honesty)
Skills (Delegation)
Staff (Acknowledgement)
Bagan 5: Integrasi Budaya Pembelajaran Dengan Model 7S
Tantangan utama bagi kepemimpinan sebagai stewardship dalam pengembangan budaya pembelajaran berkaitan dengan (1) pergeseran gaya kepemimpinan dari pengendalian dan pengarahan ke pemberdayaan dan
240
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
pemberian
dukungan;
(2)
dukungan
terhadap
pembelajaran
melalui
penyelenggaraan tugas menantang orang-orang agar terus bertumbuh dalam pembelajaran dengan generative coaching; dan (3) pemahaman akan kekuasaan sebagai jalur pengabdian dan keteladanan. Pergeseran dari pendekatan pemberian
pengendalian dukungan
dan
lebih
pengarahan
cenderung
ke
pemberdayaan
meningkatkan
dan
keberhasilan
pengembangan lingkungan pembelajaran dan berhubungan terbalik dengan resistensi terhadap perubahan (Burdett, 1994). Menurut Cloke dan Goldsmith (2002:18), kualitas kepemimpinan yang dibutuhkan memiliki ciri-ciri kepemimpinan visioner dan berprinsip. Selain itu, kepemimpinan perlu menampakkan ciri-ciri kepemimpinan yang senantiasa
memberikan
pemberdayaan
(empowering
leadership),
memfasilitasi, dan kolaboratif. Penutup Model budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif memiliki relevansi dengan realitas lingkungan bisnis pada abad 21 dan milenium ketiga. Model budaya pembelajaran komprehensif menunjukkan bahwa pengembangan budaya pembelajaran perlu dilakukan secara memadai dan saling mendukung di antara dimensi-dimensinya. Ia juga menyarankan pentautan budaya pembelajaran dengan (tingkatan) budaya organisasi, tingkatan pembelajaran, dan perilaku organisasi dan orang-orang dalam organisasi. Budaya pembelajaran organisasi yang seimbang, selaras, dan memadai memberikan kerangka dasar untuk membedakan organisasiorganisasi yang secara aktual maupun potensial memiliki kinerja lebih baik. Akan tetapi, kerangka ini juga menyediakan ruang bagi perbedaanperbedaan dan keunikan berkenaan dengan sifat bauran (mixture) dari dimensi-dimensi budaya pembelajaran serta ketiga aspek lainnya berikut kondisi-kondisi idiosikratik dari setiap organisasi sebagai entitas yang hidup dan menyejarah.
241
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Budaya pembelajaran organisasi semakin maju jika keempat dimensi dikembangkan dengan lebih baik dalam suatu keseimbangan. Konsistensi juga perlu terjadi antara tiga lapisan budaya pembelajaran pada masingmasing dimensi, yaitu antara lapisan keyakinan, nilai-nilai, dan artefak. Pengembangan budaya pembelajaran organisasi yang komprehensif tidak dapat dipisahkan dari kepentingan pemeliharaan eksistensi dan keunggulan organisasi yang diperjuangkan melalui tranformasi atau penciptaan nilai tambah yang kompetitif dan berkelanjutan bagi para pemangku
kepentingan.
mengintegrasikan prosedur,
budaya
proses-proses
Hal
ini
menimbulkan
pembelajaran atau
strategi
dalam
tantangan
keseluruhan
organisasi.
Bahkan,
untuk sistem, budaya
pembelajaran organisasi semakin ditempatkan sebagai pusat dan penggerak organisasi. Tantangan utama bagi pengembangan budaya pembelajaran yang komprehensif adalah ketersediaan kualitas kepemimpinan yang memiliki kapabilitas melakukan pemberdayaan (bukan mengendalikan), menantang pembelajaran terus-menerus dari seluruh lapisan organisasi (bukan menciptakan ketergantungan), serta mampu menjadi model dan teladan karena menghayati kepemimpinan sebagai jalur pengabdian.
242
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
Daftar Pustaka Alvesson, Mats. 2002. Understanding Organizational Culture. London: SAGE Pub. Argyris, Chris & Schon, Donald A. 1996. Organizational Learning II: Theory, Method, and Practice. Massachusetts: Addison Wesley Pub. Barney, Jay B. 1997. Gaining Competitive and Sustaining Competitive Advantage. Massachusetts: Addison Wesley Pub. Bolman, Lee G. & Deal, Terrence E. 1997. Reframing Organizations: Artistry, Choice, and Leadership. Second Edition. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Borzsony, Philippa & Hunter, Keith. 1996. “Becoming a Learning Organization through Partenership” dalam The Learning Organization, Vol.3, No. 1, 1996, hlm. 2230. Burdett, John O. 1994. “To Coach, or Not to Coach: That is the Question”, dalam Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 133-145. London: The Open University Press. Byrd, Marry. 1995. “Creating a Learning Organization by Accident” dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 477-487. Oregon: Productivity Press. Cavaleri, Steven & Fearon, David eds. 1996. Managing in Organizations that Learn. Massachusetts: Blackweel Publishers. Chawla, Sarita & Renesch, John eds. 1995. Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace. Oregon: Productivity Press. Cloke, Kenneth & Goldsmith, Joan. 2002. The End of Management and the Rise of Organizational Democracy. San Fransisco: Jossey-Bass. Crawford, Richard. 1991. In the Era of Human Capital. London: Harper Collins Pub. DeChant, Kathleen. 1996. “The Playing Fields of Learning” dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.),. Managing in Organizations that Learn, hlm. 97-118. Massachusetts: Blackweel Publishers. Denison, Daniel. 1990a. Corporate Culture and Organizational Effectiveness. New York: John Wiley & Sons. Denison, Daniel. 1990b. “Organizational Culture: Can it be a Key Lever for Driving Organizational Change?” http://www.denisonculture.com.
243
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Denison, Daniel. 1990c. “What is the Difference Between Organizational Culture and Organizational Climate? A Native’s Point of View on Decade of Paradigm Wars”. http://www.denisonculture.com. Denison, Daniel & Mishra, Aniel K. 1995. “Organizational Culture andOrganizational Effectiveness”, dalam Organization Sceince, Vol. 6, No. 2, March-April. Fearon, David .1996. Interview with Kermit Campbell” dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.),. Managing in Organizations that Learn, hlm. 3-11. Massachusetts: Blackweel Publishers. Handy, Charles. 1995. “Managing Dream” dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 45-55. Oregon: Productivity Press. Hatch, Mary Jo. 1997. Organization Theory. New York: Oxford University Press. Hoffman, Frank & Withers, Bill. 1995. “Shared Values: Nutrients for Learning” dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 463-475. Oregon: Productivity Press. Hofstede, Geert. 2001. Culture’s Consequences. Second Edition. London: Sage Pub. Jones, Gareth R. 2001. Organizational Theory: Text and Cases. Massachusetts: Addison-Wesley Pub. Juechter, W. Mathew, et al. 1998. “Five Conditions for High Performance Cultures” dalam Training and Development, May 1998, pp. 63-67. Kanter, Rosabeth Moss. 1994. “Dilemmas of Teamwork” dalam Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 173-180. London: The Open University Press. Kanter, Rosabeth Moss. 1996. “Beyond the Cowboy and the Corporation”, dalam Ken Starkey (ed.), How Organizations Learn, hlm. 43-59. New York: International Thomson Business. Kofman, Fred & Senge, Peter M. 1995. “Communities of Commitment: The Heart of Learning Organization” dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 15-34. Oregon: Productivity Press. Kotter, John P. & Heskett, James L.. 1992. Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press. Leonard-Barton, Dorothy. 1994. “The Factory as a Learning Laboratory” dalam Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 43-54. London: Routledge & The Open University. Leonard-Barton, Dorothy. 1995. Wellsprings of Knowledge: Building and Sustaining theSources of Innovation. Massachusetts: Harvard Business School Press.
244
Wilfridus B. Elu, Ismail Purwana, Ariotejo M. Margono “Model Budaya Pembelajaran Organisasi yang Komprehensif”
Lewis, Richard D. 2000. When Cultures Collide. London: Nicholas Brealey Pub. Lundberg, Craig C. 1996. “Managing in a Culture that Values Learning”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 491-508. Massachusetts: Blackweel Publishers. Marquardt, Michael & Reynolds, Angus. 1994. The Global Learning Organization. NewYork: Richard D. Irwin. Montgomery, John M. & Scalia, Frank. 1996. Integrating Learning and Organizations”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 435-465. Massachusetts: Blackweel Publishers. Peters, Tom. 1990. “Get Innovate or Get Dead, Part I”, dalam California Management Review, Vol. 33, No. 1 (Fall), hlm. 9-26. Peters, Tom. 1991. “Get Innovate or Get Dead, Part II”, dalam California Management Review, Vol. 33, No. 2 (Winter), hlm. 9-23. Performance Engineering Group. 2002. “The http://www.thepegroup.com/align.html.
Importance
of
Alignment”.
Pollard, William C. 1996. The Soul of the Firm. Michigan: Zonder van Publishing House & Harper Business. Reed, Frederick & Seivert, Sharon. 1996. “The Implications of Autonomy for Learningin Organizations”, dalam Steven Cavaleri & David Fearon (eds.), Managing in Organizations that Learn, hlm. 377-402. Massachusetts: Blackweel Publishers. Ryan, Stephanie. 1995. “Learning Communities: An Alternative to the “Expert Model”, dlam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 279-291.Oregon: Productivity Press. Schein, Edgar H. 1985. Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: Jossey-Bass. Schein, Edgar H. 1992. Organizatinal Culture and Leadership. Second Editon. San Fransisco: Jossey-Bass. Senge, Peter M. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization. London: Century. Vogt, Eric Edwards. 1995. “Learning Out of Context”, dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 293-303.Oregon: Productivity Press. Walker, Barbara. 1994. “Valuing Differences: The Concept and the Model”, dalam Christopher Mabey & Paul Iles (eds.), Managing Learning, hlm. 211-223. London: Routledge & The Open University.
245
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 3, Mei 2003: 217-246
Wise, Richard E. 1996. “Creating the Conditions for Learning”, dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 142-160.Oregon: Productivity Press. Wood, John H. 1995. “Restructuring Education: Designing Tomorrow’s Workplace”, dalam Sarita Chawla & John Renesch (eds.), Learning Organizations: Developing Cultures for Tomorrow’s Workplace, hlm. 403-415. Oregon: Productivity Press.
246