MODAR! Karya
: Dea Alfiant H P
BABAK SATU Sebuah suara merambat dari keheningan. Lampu spot merambat dan terlihat seseorang didalam penjara hendak menggantung diri. Karto
: Ya, kalau memang harus seperti ini. Aku lebih baik mati saja
Surti. Untuk apa aku terus hidup didunia jika harus seperti ini. Maafkan aku, maafkan… Selamat tinggal dunia, sampaikan salam terakhirku ini pada istri dan anakku. Disebuah perkampungan terlihat Karto dan Jumawa sedang berpentas menghibur warga kampung yang jumlahnya sedikit. Lama kelamaan satu persatu warga kampung pergi meninggalkan pentas yang sedang berlangsung. Suara tepuk tangan terdengar sayup dan sepi mengiringi berakhirnya pementasan tersebut. Karto dan Jumawa terduduk disamping gerobak perlengkapan untuk mereka berpentas keliling kampung sementara.
Jumawa Kalau seperti
: Makin hari makin sedikit saja peminat pentas kampung disini.
ini terus, lama-lama tidak akan ada orang yang menonton pentas kita ini! Karto
: Sudahlah Jum, toh yang penting kita kan bahagia-bahagia saja
ngejalaninya. Jumawa
: Bahagia ya bahagia To, tapi kalau seperti ini lama-lama bisa
muntab juga! Karto
: Loh, muntab kenapa emangnya to?
Jumawa
: Yaa muntab aja to!
Karto
: Kamu kok ya aneh to Jum, lha wong mulai sudah dari dulu SMP
masa cuma gara-gara pentas sepi penonton jadi seperti ini. Jumawa
: Ya, memang aku sudah dari dulu bermain teater. Tapi, apa akan
selamanya aku bahagia bermain teater? Kita orang teater juga perlu untuk diapresiasi! Karto
: Memang Jum, memang. Tapi apa iya yang ada diotakmu itu
isinya cuma tepuk tangan penonton!? ( Jumawa
: Lalu apalagi? Kita ini sudah ditinggalkan penonton To, mau
sampai kapan? Ini juga bukan cuma tentang tepuk tangan To, ini masalah perut anak
istriku. Pendapatan kita dari pentas-pentas kita ini tidak seberapa, lha wong untuk bisa mencukupkan makan saja tidak selalu bisa! Karto
: Lha terus?
Jumawa
: (berjaan dan membelakangi) Aku sudah memutuskan To. Aku
ditawari untuk bergabung bersama kelompok teater di Ibukota. Disana aku yakin bisa lebih berkembang, dan tentunya hidupku akan lebih cerah. Karto
: Lebih cerah apanya? Ingat Jum, kita dulu sama-sama memilih
berteater bukan serta merta hanya tentang uang, uang dan uang. Kita berteater untuk menjadi penyeimbang di masyarakat, jadi cerminan, supaya penyelewengan -penyelewengan bisa kita musnahkan. Jumawa
: Apanya yang dimusnahkan?
Karto
: Yaa kalopun tidak musnah, seminimal-minimalnya menghambat pertumbuhan penyelewengan- penyelewengan itu Jum.
Jumawa
: Halah, jangan ngimp kamu To!
Karto
: Terserah kau saja Jum, itu adalah piihanmu.
Jumawa
: Ya! Memang, memang ini adalah jalan yang aku pilih To, dan ini
adalah Pilihan yang tepat. Aku pamit To. Jumawa berjalan meninggalkan Karto seorang diri. Lampu meredup kemudian mati. Setting tempat berubah menjadi ruang tamu rumah Karto. Karto memasuki rumah sementara istrinya telah menunggu sembari duduk diatas kursi yang reot. Surti
: Baru pulang pak? (sinis)
Karto
: Iya bu, capek. (duduk disamping Surti)
Surti
: Capek pak? Capek? (masih bernada sinis)
Karto
: Iya bu, capek. Seharian bapak pentas keliling kampung. Nah, biar
bapak tidak capek lagi, mending ibu buatin bapak kopi. (tertawa) Surti
: Kopi, kopi, tidak ada kopi pak! Sudah habis!
Karto
: Kok bisa?
Surti
: Ya bisa lah pak, kita ini gapunya uang buat beli kopi!
Karto
: Kalo teh ada bu?
Surti
: Tidak ada juga.
Karto
: Nah! Kalo air putih pasti ada kan! Tolong ambilkan ya bu
(tertawa malu) Surti berjalan mengambil air minum. Kemudian ia datang membawa sebuah gelas.
Karto
: Heh, kok isinya cuma setengah?
Surti
: Mau berapa banyak? Itu stok terakhir.
Karto
: (geleng-geleng kepala)
Surti
: Mau sampai kapan seperti ini pak?
Karto
: Apanya? (bingung)
Surti
: Mau sampai kapan bapak hanya pentas keliling kampung seperti
ini? Kerjaannya pentas, pentas, pentaaaas terus sampai lupa kalau punya anak istri. Anak istrimu ini juga butuh makan mas, butuh tenaga untuk menahan semua derita ini. Bapak dapat apa dari pentas-pentas itu? Karto
: Dapet kebahagiaan bu.
Surti
: Lha apa anak istrimu ini tidak butuh bahagia? Inget pak, inget.
Karto
: Iya bu, aku inget.
Surti
: Inget apa pak? Inget kalo besok mau pentas? Inget kalo besok
harus latian? Mbok ya mikir to pak, mikir. Ada pekerjaan yang lebih layak, lebih menjanjikan. Jadi hansip kek, cleaning service kek, nguli dipasar kek, atau…
jadi dept… (berpikir) dept dept apa itu pak? Karto
: Dept Collector.
Surti
: Nah, iya, dept collector. Bisa kan? lha wong badan bapak juga
ngga kecilkecil banget, jadi bisa-bisa saja! Yaa… memang semuanya itu gajinya tidak seberapa, tapi kan setidak-tidaknya pasti mas. Daripada seperti sekarang ini, pentas keliling kampung tapi hasil tidak seberapa. Orang-orang itu sudah bosan dengan hiburan-hiburan semacam ini, sekarang yang lebih disukai orang-orang itu ya siaran televisi, film-film di bioskop, atau kalopun pentas, ya bukan pentas-pentas keliling seperti ini, tapi seperti pentaspentas yang ada di gedung-gedung besar yang ada tirai besarnya seperti diluar negeri itu! Karto
: Ya itu kan selera bu, tidak bisa di sama ratakan.
Surti
: Apanya yang tidak bisa pak, kalau aku jadi mereka, ya tentu saja
aku tidak akan memilih menonton pentas mu itu.
Karto
: Sudahlah bu, rezeki itu sudah ada yang ngatur, tidak akan hilang
dan dan diambil orang. Surti
: Ya memang tidak akan hilang dan diambil pak, lha wong harta
nya aja kita tidak punya gimana mau ilang. Karto
: Ibu ini mau sampe kapan nyerocos terus kayak gitu?
Surti
: Sampe bapak sadar.
Karto
: Bapak ini sadar bu, sadar.
Surti
: Ya, kalo sadar mestinya bapak berubah. Anakmu itu besok lulus
SMA, apa bapak tidak mau menyekolahkan anakmu tinggi-tinggi? Karto
: Mau bu, mau. Tapi apa ya bapak harus melakukan hal yang tidak
bapak suka? Surti
: Bukan masalah suka atau tidak suka pak, tapi ini semua demi
anak dan istrimu. Karto
: Apa ibu kira yang bapak lakukan selama ini bukan untuk ibu dan
anak kita? (kesal)
Surti
: Tidak pak, tidak. Yang bapak lakukan selama ini hanya untuk
bapak sendiri, bukan untuk kami. Kalau bapak sayang, harusnya bapak bisa sedikit berkorban. Surti
: Terserah bapak saja, yang penting aku sudah mengingatkan. Satu
hal lagi pak, aku tidak selamanya bisa terus bertahan dengan keadaan seperti ini.
Lalu Surti pergi meninggalkan suaminya seorang diri di ruang tamu. Karto terduduk lemas. Karto
: Apa salahnya pentas seperti ini? Memang, hasil yang kudapatkan
tidak seberapa, tapi apa yang salah? Apa? (menggaruk-garuk kepala) Ini semua pasti karena hiburan di gedung opera milik orang luar negeri itu. Sialan! Tiba-tiba pintu rumah Karto diketuk oleh seseorang. Karto
: Sial, siapa itu. (memakai baju)
Pintu diketuk lagi Karto
: Iya, iya sebentar. (berdiri)
Pintu kembali diketuk
Karto
: Asu! Iya iya ini aku buka!
Karto pun bergegas membuka pintu. Karto
: Ealah bapak kira siapa. Kamu itu bisa bikin bapak jantungan!
Alim
: Ya maaf pak, diluar itu panas jadi pengennya cepet-cepet masuk. (cengengesan)
Karto
: (heran) kamu ini Lim. Oh ya gimana sekolahmu? Aman kan?
Alim
: Aman pak! Alim jamin, pasti masuk lima besar lagi!
Karto
: Wah bagus, bagus! Itu baru anak bapak!
Alim
: Jelas dong! Anak pak Karta pasti yoi!
Karto
: Ah kamu ini bisa aja! (tersipu)
Alim
: Nah, berhubung bapak adalah bapak yang baik, ada baiknya
kalau bapak mengabulkan permintaan anak pintarmu ini. Karto
: Permintaan apa? Apa kamu pikir bapakmu ini jin bisa diminta
mengabulkan permintaan? Alim
: Ya jelas! Kayak di tv-tv yang kita suka tonton di kantor kepala
desa itu! Kuberi satu permintaan! (menirukan suara jin di tv) Karto
: Sembarangan kamu! Masa bapak keluar dari teko.
Alim
: (cengengesan)
Karto
: Udah-udah, malah cengengesan. Langsung saja, kamu emangnya
mau minta apa? Alim
: Itu loh pak… anu…
Karto
: Anu anu, anu apa? Jangan bilang kamu mau minta sesuatu yang berhubungan sama anu mu itu ya?? (menghampiri henda menjewer)
Alim
: Eit eit jangan suudzon dulu pak, dosa!
Karto
: (terdiam tidak jadi menjewer)
Alim
: Ah baiklah, langsung saja! Aku minta sepeda motor pak.
Karto
: Heh? Sepeda motor?
Alim
: Iya pak, sepeda motor.
Karto
: Yang ada setangnya? (seakan memegang setang)
Alim
: Iya pak, ada setangnya.
Karto
: Yang bisa dinaikin itu? (seakan menaiki sebuah motor)
Alim
: Tentu bisa dinaikin! (seakan membonceng dibekang bapaknya)
Karto
: Yang bisa di gas itu? (seakan ingin menggas motor)
Alim
: Jelas bisa di gas dong pak! Ayo pak digas yang kenceng!
Lalu mereka berputar-putar diruang tamu seakan menaiki sebuah motor. Alim
: Ayo pak, ayo! Gas pol!
Karto
: Tentu saja! Asal kamu tahu, bapakmu ini dulu musuh
bebuyutannya Valentino Rossi! Mereka berputar terus sampai sebuah panci mendarat disekitar mereka dengan suara yang menggelegar. Surti
: Berisikkkk!!! (berbicara dari jauh namun cukup terdengar.
Kemudian mereka pun langsung terdiam dan duduk kembali Karto
: Kamu sih! Jadi kena omel kan kita (sedikit berbisik)
Alim
: Lha wong bapak juga ikutan.
Karto
: Pokoknya salah kamu!
Alim
: Iya to, kalo udah gini pasti anak yang selalu salah.
Karto
: Ya jelas, anak itu harus nurut sama orang tua, jangan ngebantah!
Alim
: (geleng-geleng kepala)
Karto
: Nah! Begini, bapak jelaskan ya nak. Kita ini bukan orang yang
punya uang banyak. Jangankan untuk membeli motor, buat makan saja kita harus mengelus dada terlebih dahulu. Bisa makan sehari tiga kali seperti orangorang saja itu sudah bagus nak. Alim yang lain.
: Tapi, Alim juga pengen naik motor, seperti temen-temen Alim
Karto
: Ya itu kan mereka, kalau kita tidak bisa seperti itu.
Alim
: Apa bapak tidak bisa mengusahakan?
Karto
: Usaha apa? Kau ini jangan bercanda! Jangan memaksakkan apa
yang tidak bisa kita jangkau. Alim
: Tapi pak..
Karto
: Tidak ada tapi tapi, kita ini miskin Lim, bapak bukan pejabat yang
uangnya selalu mengalir deras tanpa ada batu yang mengganjal. Sudah, lebih baik kau istirahat dikamar. Alim
: (tertunduk)
Alim kemudian berjalan meninggalkan ruang tamu. Karto kembali ditinggalkan sendirian di ruang tamu. Suara isya berkumandang. Karto hanyut dalam lantunan adzan tersebut. Sampai akhirnya keheningan itu terpecah oleh ketukan pintu. Karto
: Asu! Siapa lagi toh ini, orang kok gabisa liat orang istirahat
sebentar. Karto berjalan membukakan pintu Jumawa
: Apa kabar Karto?
Karto
: Untuk apa kau kesini?
Jumawa
: Ah kau ini Karto! Jangan seperti itu!
Jumawa berjalan dan duduk
Karto
: Kau pasti punya tujuan datang kesini bukan?
Jumawa
: Tentu saja, tapi… santai-santailah dulu.
Karto
: Langsung saja, tidak usah bertele-tele.
Jumawa
: Baiklah, baiklah! Kedatanganku kesini adalah untuk mengajakmu
bergabung bersama denganku. Aku sudah mengenalmu sejak dulu saat kita sama-sama belajar seni peran. Sekarang adalah saatnya untukmu menjadi seperti aku. Karto
: Tidak, terimakasih.
Jumawa
: Ayolah Karto! Apa kau tidak melihat bagaimana aku sekarang?
Sudah sepuluh tahun sejak aku memutuskan untuk meninggalkanmu dan kau masih saja setia dengan gerobak dan pentas kelilingmu itu. Karto
: Ya, memang. Aku setia dan akan selalu setia.
Jumawa
: Kenapa kau begitu keras kepala Karto? Apa bedanya pentasmu
dengan pentas-pentas besar di gedung mewah seperti yang aku lakukan? Bukankah kita sama-sama berkesenian dan berbudaya? Karto
: Memang secara kasat mata kita ini terlihat sama. Tapi ada
perbedaan yang
mencolok antara pentas kelilingkuu dengan pentas di gedunggedung megah seperti yang kau jalani saat ini. Jumawa
: Apa bedanya?
Karto
: Pentas keliling ku tidak memeras.
Jumawa
: Memeras? Apa maksudmu?
Karto
: Apakah kau tidak menyadari bahwa pentas-pentas di gedung
besar dan megah seperti kalian hanya mampu dijangkau oleh sekelompok orang? Jumawa
: Ya lalu?
Karto
: Ya itulah bedanya antara kalian dengan aku. Aku tidak
menyalahkan pilihan kalian. Tapi untukku, membiarkan semua orang menonton pentas kelilingku dengan senyum lebar diwajah mereka sudah merupakan pencapaian bagiku. sisanya, adalah bonus jika orang-orang itu memberiku sedikit apresiasi dengan menyisihkan sedikit uang mereka. Jumawa
: Sampah!
Karto
: Apanya yang sampah?
Jumawa
: Kau ini terlalu idealis!
Karto
: Bukan tentang idealis. Tapi, memang prioritas utama ku
bukanlah tentang Materi. Jumawa
: Baik Karto, baik. Itu terserah padamu saja. Yang penting aku
sudah memberimu kesempatan. Karto
: Terimakasih Jum, tapi aku sama sekali tidak tertarik.
Jumawa pergi meninggalkan rumah Karto. Karto kembali sendiri. Ia lalu meninggalkan ruang tamu untuk pergi tidur. Lampu panggung perlahan mati. Kemudian terdengar suara kentongan dan orang-orang berteriak maling. (berteriak dibelakang panggung) MALINGGGGG!!! MALINGGG!! TANGKAP MALINGNYA! Kemudian beberapa orang terlihat disekitar panggung dan penonton. Orang 1
: Mana malingnya??
Orang 2
: Maling keluar kamu maling!!!
Orang 3
: Tidak usah bersembunyi! Cepat Keluar!
Orang 4
: Asu! Maling asu!
Orang 5
: Kalau sampai ketemu, ayo kita cincang!
Orang 4
: Ayo sekarang kita berpencar! Kamu kesana, kamu kesana, kamu
kesana dan kamu coba cari kesana!
Orang 2,4
: Siap!
Orang 1, 3
: Siap!
Kemudian mereka mencari dan terus mencari. Mereka berteriak dan terus berteriak. Maling!!!!! Cepet keluar!!! Tiba-tiba disuatu sudut tedengar teriakan. Malingnya ketangkep!!! Malingnya ketemuuuuu!!! Ayo kita bawa ke kantor kepala desaaaaa!! Dan sebuah teriakan menggema kembali. Bapaaaaaaak!!!!! Tolong aku!!!
***
Babak Dua
Ruang tamu Karto terlihat sepi. Meja dan bangku yang sudah reot serta beberapa lukisan terlihat menghiasi dan mengisi keheningan dalam ruangan tersebut. Hingga hening itu terpecah oleh suatu ketukan pintu yang sangat kencang. Sabdo
: Karto!!! Buka Karto!!!
Kepala Desa
: Karto! Kartooo (memanggil dengan intonasi yang khas)
Dari kejauhan terdengar suara Karto Karto
: Yaaa, sebentar. Jangan berisik!
Gedoran pintu terus terdengar makin kencang. Sabdo
: Karto!!! Cepat buka!! Kartoooo!!!
Kepaa Desa
: Kartooo (dengan intonasi khas)
Karto terlihat berjalan sambil berbicara. Karto
: Iya iya, ini mau dibuka!
Suara pintu terbuka. Karto
: Oalah ternyata Pak Kades sama mas Sabdo. Saya kira siapa.. ada
apa mas, pak, kok terlihat sedang marah seperti itu? Sabdo
: Tidak usah pura-pura tidak tahu kamu!
Karto
: Eh eh sebentar pak! Saya benar-benar tidak tahu.
Sabdo
: Anakmu itu lho! Anakmu!
Karto
: Iya anak saya, ada apa dengan anak saya?
Sabdo
: Anakmu, anakmu itu
Kepala Desa
: Hem begini-begini. Kita ini disini ada maksud member suatu
kabar To. Karto
: Kabar, kabar apa pak? Baik, apa buruk?
Sabdo
: Buruk.
Kepala Desa
: Yaa, buruk. Jadi…. Anakmu itu semalam tertangkap sedang
maling. Karto
: Apa?? Maling pak?
Sabdo
: Iya! Maling!
Karto
: Bapak berdua jangan bercanda ya! Kami memang orang miskin,
tapi saya tidak pernah sedikitpun mengajari anak saya untuk jadi seorang penjahat, salah satunya maling! Lha wong nyontek pas ujian saja saya melarang kok. Sabdo
: Ya kalau tidak percaya, coba lihat saja sana di kantor polisi!
Karto
: Ka, kantor polisi pak?
Kepala Desa
: Iya, kantor polisi! Anakmu itu semalam mencuri dirumah pak
Sabdo. Karto
: Ya Allah Gusti... (terlihat sangat terpukul)
Sabdo
: Tidak usah sok nangis kamu! Air mata buaya! Air mata palsu!
Karto
: (terdiam) Mencuri apa anak saya pak?
Sabdo
: Sepeda motor!
Karto
: Anak kurang ajar! Kenapa harus sampai seperti ini (meratapi)
Sabdo
: Nah! Tidak perlu berlama-lama lagi, maksud kedatangan kami
kesini adalah bermaksud baik. Kepala Desa
: Ya! Baik!
Sabdo
: Heee jangan dipotong dulu omongan saya ini pak Kades, nanti
tidak selesai selesai-selesai urusan kita ini. Kepala Desa
: Oh iya pak, maaf pak maaf. (cengengesan)
Sabdo
: Karena anak bapak terbukti menjadi seorang pencuri dan kami
sudah menjebloskannya ke penjara, maka dari itu kami ingin memberikan penawaran. Karto
: Penawaran apa pak?
Kepala Desa
: Jadi, kami bisa saja mengeluarkan anak bapak.
Sabdo
: Ya, bisa saja. Asal dengan satu syarat.
Karto
: Syarat apa?
Sabdo
: Silahkan membayar uang sebanyak lima juta, dan kami akan
mencabut
tuntutan kami. Karto
: Lima juta pak?
Kepala Desa
: Ya! Lima juta.
Karto
: Tapi saya tidak punya uang sebanyak itu. Darimana saya bisa
mendapatkan Sabdo
uang sebanyak itu? : Terserah, yang pasti dengan uang lima juta anak mu baru bisa
menghirup udara bebas. Kepala Desa
: Ya, dan jika tidak maka anak bapak akan mendekam dipenjara
selamanya. Sabdo
: Baik pak, baik.
Kepala Desa dan Sabdo kemudian berlalu. Karto
: Kalau memang seperti ini, tidak ada cara lain. Maafkan aku
istriku, maafkan. Suasana panggung kemudian menjadi gelap. Terdengar suara teriakan. Maling!!!!! Maling!!!!! Karta Maling!!!!!!!! Kemudian adegan diulang kembali ke adegan paling awal didalam penjara. Tamat