ISSN 2087-2208
MODAL SOSIAL CALON LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PEMILU 2009 DI KABUPATEN INDRAMAYU Oleh : Dewi Nurmalasari, M.A. A. Latar Belakang. Sejak reformasi politik yang berhembus sejak tahun 1998, isu penguatan demokrasi pun menguak. Peta kekuatan politik mengalami perubahan signifikan, tidak hanya pada konfigurasi partai politik, model rekruitmen elit politik dan interaksi lembaga politik, tetapi pluralitas partisipasi politik, termasuk partisipasi politik perempuan. Kondisi marginalisasi perempuan, termasuk pada aras politik lokal mulai mencair seiring dengan integrasi isu-isu kesetaraan gender dalam politik, antara lain munculnya kebijakan affirmative action1 melalui kuota 30%2, sebagai mekanisme strategis meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen mengingat selama ini jumlah perempuan di Parlemen masih sangat rendah. Berikut gambaran kronologis keterwakilan perempuan di parlemen: Tabel I. 1 Jumlah Perempuan di Parlemen dalam Sejarah Pemilu di Indonesia No
Pemilu
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1
1955
256
16
272
2
1971
429
31
460
3
1977
423
37
460
4
1982
418
42
460
5
1987
441
59
500
6
1992
438
62
500
7
1997
442
58
500
8
1999
456
44
500
9
2004
485
65
550
Sumber data diolah dari Litbang Kompas, Januari 2009 Dalam data tersebut, terlihat bahwa secara kuantitas jumlah parlemen perempuan sepanjang perjalalanan pemilu masih sangat jauh dari jumlah kursi yang tersedia. Pada pemilu tahun 2004, 1
Affirmative action adalah tindakan khusus yang bersifat sementara, atau secara umum bisa diartikan sebagai tindakan pro-aktif untuk menghapuskan perlakuan diskriminasi yang berbasiskan gender atau ras. (Lihat Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, Penerbit Kompas: Jakarta, 2005, hlm.108). 2 Kebijakan kuota 30% ini mulai diterapkan pada Pemilu 2004 yang merupakan tonggak sejarah bagi keterwakilan perempuan yang diatur secara konstitusional yang tercermin dalam dalam UU No 12 /2003 tentang Pemilu pasal 65 ayat 1: setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provonsi, Kab/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan sekurang-kurangnya 30 persen. FISIP UNWIR Indramayu
1
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
kenyataan itu pun tidak bergeser, diberlakukannya kuota 30% ternyata hanya mengantarkan 62 orang perempuan anggota DPR Pusat yang mewakili sejumlah daerah di Indonesia, padahal jumlah keseluruhan anggota DPR-RI 550 orang. Artinya jumlah keterwakilan perempuan tidak sampai separohnya. Fakta sulitnya perempuan menembus kursi parlemen tidak hanya terjadi pada level pusat, karena pada level lokal (daerah) pun terjadi. Dalam pemilu legislatif tahun 2004 di kabupaten Indramayu, hanya tujuh Caleg perempuan yang berhasil duduk sebagai legislatif. Berikut ini daftar perempuan yang terpilih sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2004: Tabel I. 2 Caleg Perempuan Terpilih Hasil Pemilu 2004 No
Nama
Partai politik
Dapil
Golkar
2
1
Hj. Cholidah. D
2.
Hj. Mu’afiyah Basyuni
PKB
2
3.
Hj. Djaetun
PPP
2
4.
Erah Delima Siregar
PDIP
3
5.
Hj. Ipik Fikriah
Golkar
5
6.
Eva Latifah, SH.CN
PDIP
3
7.
Aam Aminah, S.Pd
Golkar
2
Sumber data: KPUD Indramayu hasil pemilu tahun 2004. Secara kuantitas, keterwakilan tujuh perempuan sebagai anggota legislatif ini sangat rendah dibandingkan dengan jumlah kursi legislatif kabupaten Indramayu periode tahun 2004-2009 yakni 45 kursi. Rendahnya keterwakilan perempuan tersebut harus mendapatkan perhatian, tidak hanya disandarkan pada pemerintah tetapi juga masyarakat luas terutama perempuan. Seiring dengan sulitnya menebas berbagai hambatan tersebut, peningkatan partisipasi perempuan dalam politik masih pula terhambat ketentuan UU Pemilu tahun 2008. Adanya revisi terhadap UU Pemilu3, sebagai sebuah tahapan terhadap penguatan keterwakilan perempuan justru menimbulkan dilema. Disatu sisi kenyataan ini cukup membuka peluang lebih besar bagi partisipasi politik perempuan. Perempuan seolah menjadi sosok yang paling dicari oleh Partai politik untuk dapat memenuhi kuota daftar calon. Namun disisi lain ternyata banyak perempuan belum siap berkontestasi ketika peluang itu terbuka lebar. Tidak sedikit perempuan dipaksa menjadi caleg oleh Parpol tanpa persiapan yang memadai, sehingga kehadiran mereka hanya menjadi pelengkap. Tidak banyak Caleg perempuan yang berhasil menempati posisi nomor urut jadi, sehingga peluang menuju Parlemen sangat besar. Hal kedua yang menarik dalam pemilu tahun 2009 terkait dengan politik perempuan adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bulan desember tahun 2008 yang membatalkan pasal 214 UU No. 10/2008 mengenai penentapan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Keputusan ini menjadikan 3
Memasuki pemilu 2009 kebijakan tentang kuota 30% itu masih dipertahankan bahkan terdapat revisi dari UU 12/2003 menjadi UU 10/2008 tentang pemilu. Dalam UU 10/2008 terdapat tiga pasal yang mengatur perlunya memperhatikan representasi politik. Pasal 15 huruf d menyebutkan bahwa pengurus partai politik harus menyertakan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, pasal 53 mengatakan: daftar calon legislatif harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan disemua tingkatan nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan pasal 58 ayat 2 berbunyi: daftar bakal calon yang tidak memuat sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan KPU/KPUD memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaikinya.
2
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
posisi Caleg perempuan setara dan harus berkompetisi penuh dengan Caleg laki-laki. Dalam kondisi ini, keberhasilan Caleg perempuan dalam Pemilu legislatif 2009 sangat ditentukan oleh aspek-aspek lain termasuk modal sosial (social capital) yang mereka miliki. Diskursus modal sosial menjadi sangat relevan untuk menelaah peluang kontestasi politik parlementer perempuan. Selama ini, modal sosial di Indonesia dari pusat ke daerah berkembang positif dan sekaligus negatif. Secara positif banyak politisi yang terpilih karena kredibilitas diri yang berakar pada modal sosial yang kuat. Mereka menggali dan mengelola modal sosial secara produktif untuk membangun basis konstituen yang permanen. Sebaliknya krisis modal sosial tampak pada dominasi praktik KKN dan mafia dalam rekruitmen pemimpin politik. Akar praktik kolusi-nepotisme antara lain kuatnya tradisi ‘anak atau keluarga penguasa’ yang mendapat kemudahan berusaha karena jaringan kekuasaan yang dibangun orang tua atau keluarga mereka. Pasca reformasi 1998, menguatnya partisipasi politik lokal beriringan dengan menguatnya dimensi negatif penggunaan modal sosial tersebut yang melahirkan anggota DPR/DPRD karbitan Indramayu adalah potret “kawasan pahit” bagi perempuan Indonesia, dimana labelisasi sosial yang negatif terlanjur melekat. Hal ini diperkuat oleh banyaknya perempuan Indramayu yang menjadi buruh migran (TKW), berlatar belakang pendidikan yang rendah serta lemahnya ekonomi. Selain itu banyak sekali perempuan Indramayu korban traffiking, terjerumus prostitusi, praktek pernikahan dini yang dilakukan orang tua, karena ada sebagian masyarakat Indramayu yang beranggapan negatif terhadap perempuan yang tak kunjung menikah. Di tengah citra buruk tersebut, fenomena partisipasi politik perempuan pada tahun 2009 menarik dicermati. Jumlah Caleg perempuan Indramayu berkontestasi menuju parlemen cukup tinggi. Tercatat 111 orang dari 457 orang calon anggota legislatif adalah perempuan. Dari jumlah itu, sepuluh perempuan berhasil menembus parlemen kabupaten Indramayu. Berikut data yang berhasil terpilih untuk duduk sebagai anggota legislatif 2009-2014: Tabel I. 3 Caleg Perempuan Terpilih Hasil Pemilu 2009 No
Partai
Nama
Perolehan suara
Dapil
1
Golkar
Hj. Cholidah. D
5217
1
2
Golkar
Hj. Ana Sophanah
13971
2
3
Golkar
Asniyah Darpadi
5004
2
4
Golkar
Dra. Hj. Nurhayati
11468
2
5
Golkar
UU. Sukarsih Suin
4312
3
6
Demokrat
Trisnoningsih
11204
3
7
Golkar
Hj. Emi Jumiarsih, SE
12506
4
8
Demokrat
Rofiqoh S.Pdi
3175
5
9
Golkar
Anis Khoirunnisa, S.Thi
6244
6
10
PDI-P
Liyana Listia Dewi, A. Mp
2650
6
Sumber Data: KPUD Kabupaten Indramayu, Mei 2009
FISIP UNWIR Indramayu
3
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
Keterangan 1. Dapil I
: : Kecamatan Sindang, Indramayu, Arahan, Cantigi, Pasekan, Balongan, Lohbener.
2. Dapil II
: Kecamatan Karang Ampel, Juntiyuat, Krangkeng, Kedokan Bunder.
3. Dapil III
: Kecamatan Widasari, Jatibarang, Sliyeg, Kertesemaya, Bangodua, Tukdana, Sukagumiwang.
4. Dapil IV
: Kecamatan Losarang, Lelea, Cikedung, Terisi.
5. Dapil V
: Kecamatan Kandanghaur, Gabus Wetan, Kroya, Bongas.
6. Dapil VI
: Kecamatan Haurgeulis, Anjatan, Sukra, Gantar, Patrol.
Tabel diatas menunjukkan tiga hal. Pertama, mayoritas keterpilihan Caleg perempuan berasal dari partai besar baik pendatang lama maupun baru (Golkar, PDIP dan Demokrat). Kedua Caleg yang terpilih tidak seluruhnya bergelar sarjana atau tidak mengandalkan gelar akademik. Ketiga, perolehan suara diantara masing-maing Caleg memiliki jarak yang cukup tinggi, berkisar antara 13.971 hingga 2.650 suara. Fakta ini menunjukkan adanya kompetisi yang tinggi di internal partai masing-masing dan sekaligus menimbulkan sejumlah pertanyaan terkait modal sosial masing-masing Caleg yang mereka andalkan untuk merayu pemilih, disamping sejumlah modal lain yang bersifat konvensional misalnya modal ekonomi. Sejumlah faktor internal dan eksternal mempengaruhi keberhasilan dan juga kegagalan Caleg perempuan menjadi anggota DPRD kabupaten Indramayu. Dari berbagai faktor yang ada, hingga tahun 2009, faktor yang berkaitan dengan pemilikan dan penggunaan modal sosial belum ada yang meneliti. Untuk itulah penulis berminat meneliti dengan judul: “MODAL SOSIAL PEREMPUAN DALAM KONTESTASI POLITIK LOKAL” (Studi Kasus Pada Caleg Perempuan Dalam Pemilu 2009 di Kabupaten Indramayu). Berangkat dari latar belakang tersebut, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Faktor-faktor apa saja yang membuat calon anggota legislatif perempuan di Kabupaten Indramayu terpilih dalam Pemilu 2009? Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena kontestasi Caleg perempuan dalam Pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Indramayu, dengan mencermati modal sosial yang mereka miliki sebagai faktor utama keberhasilan dalam konteks positif ataupun negatif. Adapun manfaat teoritis yang ingin dicapai adalah untuk memperkaya wacana partisipasi politik perempuan dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan khususnya berkaitan dengan modal sosial dan model-model kontestasi menuju keterwakilan yang menggunakan modal sosial. Sementara manfaat praktisnya adalah menjadi bahan evaluasi bagi aktivis partai politik, politisi, pemangku kebijakan, analis perempuan serta masyarakat umum dalam melihat perkembangan politik lokal khususnya modal sosial perempuan. B. Kerangka Teoritik Penelitian ini menggunakan kerangka teoritik utama, yaitu modal sosial dengan berbagai variannya yang diadopsi dari pemikiran berbagai pakar. Meskipun demikian, sesuai dengan pendekatan riset eksploratif, terbuka kemungkinan penggunaan kerangka teoritik lain sesuai temuan di lapangan. Kerangka teoritik terkait modal sosial dijelaskan sebagai berikut: 1. Memahami Modal Sosial
4
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Sebelum mengulas modal sosial, peneliti akan menguraikan dahulu pengertian modal. Menurut Bourdieu (1986), definisi modal sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun memiliki signifikansi secara kultural, misalnya prestise, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang didefiniskan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi). Modal budaya dapat mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Bagi Bourdieu, modal berperan sebagai relasi sosial yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang baik materiil maupun simbol, tanpa perbedaan yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu. Modal harus ada dalam sebuah ranah, agar ranah tersebut dapat memiliki arti. Namun, hal itu juga dapat dijelaskan pada tingkat yang lain dengan menggunakan rumusan generatif. Penjelasan seperti ini sedikit bersifat artifisial namun bermanfaat. Keterkaita antara ranah, habitus, modal bersifat langsung. Nilai yang diberikan modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus. Ranah dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material. Jenis-jenis modal yang dikenali dalam ranah-ranah tertentu dan yang digabungkan ke dalam habitus, sebagian juga dihasilkan oleh basis material tersebut. Modal juga dipandang Bourdieu sebagai basis dominasi (meskipun tidak selalu diakui demikian oleh para partisipan). Beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya. Yang artinya modal bersifat dpat ditukar. Penukaran paling hebat yang telah dibuat adalah penukaran pada modal simbolik, sebab dalam bentuk inilah modal yang ber beda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimit. Agar dapat dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus dan mempunyai prestise, berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang legitimit dan terkadang sebagai otoritas yang juga legitimit. Posisi semacam itu membawa kekuasaan untuk memberi nama (aktivitas, kelompok) kekuasaan untuk mewakili pendapat umum dan yang terpenting, kekuasaan untuk menciptakan ‘versi dunia sosial yang resmi’. Modal Modal sosial adalah sebuah konsep yang memiliki banyak definisi. Pandangan para pakar dalam mendefinisikan modal sosial dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama menekankan pada jaringan hubungan sosial (sosial network), sedangkan kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik yang melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial.4 Modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan dalam ilmu sosial khususnya studi ekonomi untuk menggambarkan kapasitas sosial memenuhi kebutuhan hidup. Kemampuan itu didefinisikan pada banyak aspek kehidupan. Modal sosial menekankan perlunya transformasi dari hubungan sosial sesaat dan rapuh (contingent relations) seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain. Jumlah modal sosial yang dimiliki seseorang tergantung pada jaringan hubungan yang dapat di mobilisasikannya secara efektif dan tergantung pada modal volume lainnya, ekonomi, kultual dan simbolik yang dimiliki oleh agen lainnya yang menjadi objek dari jaringan hubungan yang mereka bangun.5 Dalam The Foundations of Social Theory (1990) seperti dikutip Tay Keong, James Coleman mengembangkan teori modal sosial dengan meneliti bentuk turunannya, kewajiban dan harapan, nilainilai, sanksi, saluran informasi, dan hubungan kekuasaan. Coleman menjadi ilmuwan pertama yang berteori tentang mekanisme penciptaan, pemeliharaan dan penghancuran modal sosial.6 Definisi modal sosial yang lain datang dari ahli politik Robert Putnam, yaitu “ciri-ciri kehidupan sosial-
4
Jamaluddin Ancok, Modal Sosial, dan Kualitas Masyarakat, Pidato pengukuhan Guru Besar UGM Yogyakarta, Tanggal 3 Mei 2003. 5 Tim FISIPOL UGM, “Merajut Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi Sosial”, (Fisipol UGM : Yogyakarta, 2001), hlm. 22-23. 6 Tay Keong Tan, Modal Sosial dan Lembaga-lembaga Legislatif Indonesia, (Grafika Murdi Yuana : Bogor, 2001), hlm 63. FISIP UNWIR Indramayu
5
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
jaringan, norma, serta rasa percaya (trust) yang bisa membuat semua warga masyarakat tersebut bertindak lebih efektif guna mencapai tujuan tertentu”. Menurut Putnam, asosiasi dalam masyarakat, terutama yang melibatkan hubungan tatap muka (face to face) serta hubungan horizontal diantara individu akan menghasilkan trust, norma pertukaran, dan kapasitas untuk civic engagement dalam bentuk kehidupan asosiasional yang merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat demokratis.7 Menurut Putnam, modal sosial dapat berwujud negatif dan positif. Dalam bentuknya yang negatif, modal sosial memanifestasikan diri pada kelompokkelompok eksklusif dan praktek-praktek diskriminasi dalam organisasi, dengan kesetiaan “in-group” dan antipati “out-group” yang kuat. Nilai-nilai yang kuat dalam jaringan pribadi biasanya didukung sanksi sosial informal dan “tekanan sejawat” (peer preesure). Mereka dapat menyebabkan ketergantungan, pengecualian dan pilih kasih, dan dapat mengurangi kreativitas dan inovasi. Bentukbentuk kontrol sosial semacam ini pada umumnya membatasi otonomi individu.8 Elemen penting dari modal sosial pada dasarnya adalah relasi sosial. Yaitu “sikap seseorang terhadap orang lain yang muncul akibat interaksi”. Oleh adanya relasi sosial tersebut, setiap orang akan memperoleh perasaan simpati dan kewajiban terhadap orang lain, kelompok lain atau organisasi lain yang menjadi objek perasaan simpati dan kewajiban terhadap orang lain atau organisasi lain. Orang yang menjadi objek perasaan simpati dan kewajiban punya potensi untuk memperoleh keuntungan dan perlakuan khusus yang berasal dari mereka yang memiliki rasa simpati. Kondisi ini dapat dilihat pada model relasi antara politisi dengan konstituen dalam pemilihan umum legislatif maupun eksekutif. Modal sosial awalnya dipahami sebagai suatu bentuk di mana masyarakat menaruh kepercayaan terhadap komunitas dan individu sebagai bagian di dalamnya. Mereka membuat aturan kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam komunitas. Dari sini aspirasi masyarakat terakomodasi, komunitas dan jaringan lokal teradaptasi sebagai suatu modal pemberdayaan masyarakat. Modal Sosial berbeda dengan Modal Manusia (human capital). Pada modal manusia segala sesuatu merujuk ke dimensi individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Pada Modal Sosial lebih menekankan pada potensi komunitas, kelompok dan pola-pola komunikasi dan relasi antar-individu dalam kelompok dan antar-kelompok. Fokusnya pada tata nilai, jaringan sosial, dan kepercayaan yang lahir dan menjadi norma kelompok. Modal sosial menurut Witrianto (2002) adalah sumber daya yang dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Sesuatu yang disebut sumberdaya (resources) adalah wujud fisik dan non-fisik yang dapat dipergunakan untuk dikonsumsi, disimpan, dan diinvestasikan. 9 Sumberdaya yang digunakan untuk investasi disebut sebagai modal. Jika dipergunakan untuk tujuan politik termasuk dalam Pemilu, maka modal sosial dapat disebut sebagai sumber daya politik yang dipergunakan memenangkan kompetisi. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik. Lebih lanjut James Coleman (1999) mendefinisikan konsep modal sosial sebagai varian entitas, terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Modal sosial menurutnya inheren dalam struktur relasi antar individu. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya. Modal Sosial merupakan gambaran keterikatan internal komunitas yang mewarnai struktur kolektif dan memberikan kohesifitas dan keuntungankeuntungan bersama dari proses dan dinamika modal sosial yang terdapat dalam struktur itu sendiri.10 7 8
9
Op cit, hlm 24 Ibid, hlm 64 Witrianto, Modal Sosial dan Pembangunan Manusia Melayu, Jurnal Universitas Andalas, Padang
10
James Coleman, dkk, Social Capital, A Multifaceted Perspective, The World Bank, Washington DC, 1999
6
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Masing-masing tokoh yang mempopulerkan konsep modal sosial memiliki perbedaan penekanan terhadap unsur-unsur pembentuknya. Dari berbagai konsep yang telah disebutkan di atas, intinya konsep modal sosial memberikan penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan memperbaiki kualitas kehidupan dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara terus menerus. Dalam upaya mencapai tujuan, masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma yang dipedomani sebagai acuan bersikap, bertindak dan bertingkah serta berhubungan dengan pihak lain. Acuan nilai dan unsur yang merupakan ruh modal sosial antara lain sikap partisipatif, saling memperhatikan, memberi dan menerima, mempercayai, dan diperkuat oleh nilai-nilai dan norma yang mendukungnya. Dari hasil penelitian tim Dosen Fisipol UGM, modal sosial juga berfungsi sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang ada di dalam masyarakat. Ia memberikan kontribusi tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial. Modal sosial dalam hal ini bisa berfungsi memelihara adanya integrasi sosial sekaligus mengatasi konflik dalam masyarakat. Sebagai alat untuk mengatasi konflik yang ada di dalam masyarakat, peranan modal sosial dapat dilihat dari adanya hubungan antara individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat yang bisa menghasilkan trust, norma pertukaran serta civic engagement yang berfungsi sebagai perekat sosial yang mampu mencegah adanya kekerasan. Dari modal sosial negatif yang bercirikan eksklusifitas dalam suatu kelompok menjadi modal sosial positif yang bercirikan inklusifitas dan akan merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis.11 2. Elemen-Elemen Modal Sosial Setelah mencermati berbagai definisi dari para ahli tersebut, maka dapat disimpulkan adanya elemen-elemen dalam modal sosial yang secara lebih luas dapat berupa jaringan sosial, atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena berasal dari daerah atau keturunan yang sama, kesamaan pilihan politik atau agama, hubungan genealogis, dan lain-lain. Faktor yang terpenting dari semua itu adalah bahwa jaringan sosial diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan atensi khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan modal sosial darinya. Pada tingkat mekanismenya, modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama. Kerjasama adalah upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk memenangkan sebuah kompetisi termasuk dalam Pemilu. Juga untuk mengatasi konflik perilaku seseorang atau kelompok yang menghambat oleh orang atau kelompok lain, sehingga akhirnya tingkah laku itu seirama satu sama lain. Ciri penting modal sosial adalah asal usulnya yang bersifat sosial, yaitu relasi sosial itu sinergis dan kemenangan seseorang dicap di atas kekalahan orang lain. Eleman modal sosial oleh dapat dibagi menjadi tiga yaitu nilai, institusi, dan mekanisme. Secara ringkas ketiga elemen modal sosial tersebut dapat dihubungkan sebagai berikut: Tabel I. 5 Tiga Elemen Modal Sosial* Nilai, Kultur, Persepsi: Simpati, dan kepercayaan Institusi: Ikatan yang terdapat dalam komunitas lokal, jaringan,dan asosiasi,
Mekanisme: Tingkahlaku kerjasama, sinergi
11
Tim FISIPOL UGM, “Merajut Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi Sosial”, (Fisipol UGM : Yogyakarta, 2001)
FISIP UNWIR Indramayu
7
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
*Tabel dikutip dari: Tim FISIPOL UGM, 2001. Pada dasarnya ketiga tipe atau elemen modal sosial ini dapat bekerja tergantung dari keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam suatu masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus penghambat dalam ikatan sosial tergantung bagaiman individu dan masyarakat mengelolanya. 3. Manifestasi dan Pemeliharaan Modal Sosial Diskursus modal sosial ketika dikorelasikan dalam kehidupan nyata pada negara maju dan berkembang memiliki banyak bentuk yang menyebar dalam struktur kehidupan masyarakat. Wujud nyata modal sosial dalam masyarakat majemuk membuat para pelaku politik terinspirasi oleh pentingnya kehadiran modal sosial sebagai alat pemberdayaan masyarakat, pendukung demokrasi, pilar proses-proses kontestasi politik mereka. Di era liberalisasi politik yang sangat menekankan pada kapasitas individu ketimbang institusi Parpol, modal sosial menjadi ranah komodifikasi yang sengit diantara politisi.12 Manifestasi dan pemeliharaan modal sosial menjadi wacana penting di kalangan ilmuwan sosial dan politik untuk melihat bagaimana ia dipergunakan oleh berbagai aktor sosial. Menurut James S. Coleman (1994), ada beberapa faktor yang mendorong manifestasi dan sekaligus pemeliharaan atas modal sosial di masyarakat. Tiga diantaranya adalah faktor stabilitas struktur sosial, ideologi dan faktor ketergantungan satu sama lain. (1) Stabilitas. Dalam faktor stabilitas, setiap bentuk modal sosial, kecuali yang berasal dari organisasi resmi dengan struktur yang berdasarkan pada posisi, sangat tergantung pada stabiltas.kekacauan organisasi atau relasi sosial sekaligus akan dapat merusak modal sosial. (2) Ideologi. Sebuah ideologi dapat menciptakan modal sosial dengan menuntut individu yang memiliki modal sosial agar bertindak demi kepentingan sesuatu atau seseorang selain dirinya sendiri. Kesamaan agama dan atau ideologi politik menjadi contohnya. (3) Faktor tergantung satu sama lain adalah pemicu terbesar dalam pembentukan, pemeliharaan sekaligus pengrusakan modal sosial.13 Secara garis besar, wujud nyata modal sosial dalam masyarakat dapat digambarkan pada kesediaan hidup berdampingan satu sama lain. Suatu bentuk komunikasi bersama, interaksi antar individu yang membuka kemungkinan campur tangan dan kepedulian individu terhadap individu yang lain. Bentuk ini mempunyai nilai positif karena masyarakat mempunyai keadilan sosial di lingkungannnya. Modal sosial juga mewujud dalam budaya lokal, yang masih terpelihara erat di masyarakat, baik yang bersifat demokratis Maupun sebaliknya seperti budaya feodalisme. Banyak sekali nilai dan budaya lokal yang bercirikan kebersamaan, kerjasama dan hubungan sosial dalam masyarakat. Toleransi atau menghargai pendapat orang lain merupakan modal sosial dan salah satu kewajiban moral yang harus dilakukan oleh setiap orang ketika ia hidup bersama orang lain. Sikap ini juga dijadikan sebagai salah satu prinsip demokrasi. Toleransi bukan berati tidak boleh berbeda, toleransi juga bukan berarti diam tidak berpendapat. Toleransi bermakna penghargaan orang lain, memberikan kesempatan orang lain untuk berbicara serta menyadari bahwa pada dasarnya setiap orang mempunyai kepentingan masing-masing. Toleransi juga berarti kesediaan mendengar pendapat orang 12
Hermawanti, Mefi dan Hesti Rinandari, Penguatan dan Pengembangan Modal Sosial Masyarakat Adat, Laporan Need Assesment Pemberdayaan Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur, IRE Yogyakarta, 2002, diakses dari http://www.ireyogya.org/adat/modul_modalsosial.htm
13
James S. Coleman, Dasar-Dasar Teori Sosial,( Penerbit Nusa media: Bandung, 2009), hal. 439-443.
8
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
lain. Dalam bernegara, kearifan mendengar suara rakyat merupakan salah satu bentuk toleransi negara atas masyarakat. Dinamika masyarakat, suara rakyat harus ditampung, disimak dan dipahami untuk mengkaji ulang kebijakan publik. Kejujuran adalah modal sosial, instrumen relasi yang sehat. Dalam masyarakat modal sosial kejujuran ini sudah ada, dan ini sangat mendukung perkembangan demokratis karena modal sosial ini mereduksi titik-titik korupsi dan manipulasi di kalangan masyarakat. Wujud lain modal sosial adalah kearifan dan pengetahuan lokal. Pengetahuan loikal di masyarakat menjadi pendukung nilai-nilai, yang membentuk kebersamaan secara turun temurun. Wujud modal sosial yang populer adalah jaringan sosial dan kepemimpinan sosial yang berperan membentuk kekuatan fisik dan opini. Jaringan sosial sebagai modal sosial umumnya terbentuk berdasarkan kepentingan atau ketertarikan antarindividu secara prinsip atau pemikiran. Sementara itu kepemimpinan sosial terbentuk dari kesamaan visi, hubungan personal atau keagamaan. Kepemimpinan sosial muncul dari proses demokrasi, yang didominasi adu konsep rasional dan gagasan suatu kemajuan. Biasanya jaringan dan kepimimpinan sosial ditopang modal sosial lain seperti (1) kepercayaan, relasi sosial yang dibangun atas dasar rasa percaya dan rasa memiliki bersama, (2) kesetiaan, perasaan ikut memiliki dan perasaan menjadi bagian dari ebuah komunitas, dan (3) partisipasi masyarakat, yaitu kesadaran dalam diri seseorang untuk ikut terlibat dengan lingkungannya termasuk dalam memilih pada Pemilu. 4. Implikasi Politik Modal Sosial Modal sosial yang dimaksimalkan penggunaannya akan memiliki implikasi yang bersifat politik, ekonomi dan sosial bagi penggunanya. Dalam artikel berjudul: Defining Social Capital, an integrating view, peneliti Bank Dunia Ismail Serageldin (Coleman, dkk. 1999) menyebutkan dua implikasi besar sebagai dampak positif yang akan diraih siapapun yang berhasil mengelola modal sosial dalam lingkungannya. Kedua implikasi tersebut adalah: Pertama, terjadinya sharing information atau pertukaran informasi secara formal dan informal yang memungkinkan semua pihak dalam relasi modal sosial itu untuk berdaya, mengantisipasi berbagai peluang. Informasi adalah modal utama kekuasaan, baik ekonomi maupun politik. Kedua, coordinating activities atau kesediaan bekerjasama dalam menggelar berbagai aktifitas untuk tujuan yang sama. Sikap kerjasama ini dibangun berdasarkan kepercayaan antara berbagai pihak, mereduksi sikap opurtunistik dari satu pihak terhadap pihak lain.14Secara lebih luas, implikasi politik modal sosial adalah: (1) Membentuk partisipasi politik masyarakat dengan pilar kesukarelaa, (2) Penyeimbang relasi politisi-warga dalam masyarakat, (3) Masyarakat mempunyai bargaining position (posisi tawar) dengan pemerintah, (4) Membangkitkan keswadayaan dan keswasembadaan ekonomi, (5) Bagian dari mekanisme manajemen konflik, menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat, memelihara dan membangun integrasi sosial di masyarakat yang rawan konflik, memulihkan masyarakat akibat konflik, yaitu guna menciptakan dan memfasilitasi proses rekonsiliasi dalam masyarakat pasca konflik, (6) Mencegah disintegrasi sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik sosial tidak dikelola secara optimal sehingga meletus menjadi konflik kekerasan. Modal sosial dalam konteks politik memberikan kontribusi pada beberapa level antara lain lavel individu dan komunitas. Pada level individual, modal sosial memberikan kontribusi adanya dukungan bagi pengambil kebijakan oleh masyarakat, penggalian aspirasi masyarakat, pendampingan atau penggalangan kekuatan untuk kontestasi. Sedangkan pada level komunitas, modal sosial mendukung upaya promosi pengembangan institusi lokal, jaringan kerjasama antar komunitas dan pengembangan informasi demokrasi bersama. Lebih jauh menurut Sutoro Eko, modal sosial memberikan kontribusi besar bagi proses konsolidasi desentralisasi dan demokrasi lokal. Secara horizontal berbagai organisasi masyarakat menjadi arena untuk saling membangun kepercayaan, kerjasama, toleransi dan tolong-menolong. Secara vertikal berbagai organisasi itu telah membuka ruang publik, menjadi struktur mediasi antara 14
Coleman, James, dkk, Social Capital, A Multifaceted Perspective, The World Bank, Washington DC, 1999.
FISIP UNWIR Indramayu
9
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
pemerintah dan masyarakat, memperluas ruang-ruang partisipasi serta menjadi kekuatan bagi gerakan sosial untuk mendorong perubahan. Namun demikian, modal sosial yang kian semarak tidaklah tunggal. Di balik kemajuan banyak sisi paradoksal dalam modal sosial. Secara horizontal kemajemukan masyarakat menyajikan konflik ketimbang pluralisme dan kohesivitas. Ruang publik civil society memang menghadirkan wacana dan gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi polarisasi ideologis dan kepentingan adalah sajian yang jauh lebih menonjol. Atau istilah Sutoro Eko sebagai fragmented social capital.15 Gerakan demokratisasi lokal yang didorong aktor-aktor civil society berhadapan dengan politik kekerasan yang dimainkan elemen masyarakat lain. Gerakan demokratisasi mengadopsi modal sosial tidak selalu didukung oleh elemen-elemen partai oposisi yang pro perubahan. Di Indonesia, baik di pusat atau daerah, partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi melainkan bagian dari pemeliharaan status quo. Gerakan demokratisasi civil society bergelora menentang “raja-raja kecil” yang bermasalah, tetapi gerakan itu dengan mudah dilumpuhkan oleh para preman bayaran/paramiliter yang dipelihara oleh partai politik. Desentralisasi dan demokrasi lokal juga menyajikan problem rendahnya pengelolaan modal sosial terutama kepercayaan (trust). Faktanya terjadi fenomena distrust, antar elemen dalam warga. Partai dan parlemen lokal adalah dua elemen utama yang menunai badai distrust paling serius di mata masyarakat karena keduanya tidak mempertanggungjawabkan mandat yang telah diberikan oleh rakyat. Dalam konteks ini, modal sosial yang dibangun oleh individu politisi secara natural akan memberikan kontribusi dan implikasi yang sangat berbeda dibandingkan dengan modal sosial yang dibangun berdasarkan fondasi yang rapuh, sarat kolusi dan nepotisme. Krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi formal yang dikelola atau dibangun oleh negara seperti Partai Politik dan lembaga perwakilan, bahkan terhadap sejumlah tokoh elit politik lama yang masih berkiprah merupakan tantangan politisi baru termasuk calon legislatif perempuan untuk tampil dengan kapasitas individu, berangkat dari upaya penggalian modal sosial yang ada di sekitarnya. Identifikasi terhadap modal-modal sosial yang mereka ketahui, kelola dan gunakan dalam kontestasi Pemilu 2009 menarik dicermati untuk menggali dan menempatkan posisi dan peran yang lebih mengakar pada kepentingan publik. Sebab mereka yang terpilih akan mengabdi di lembaga legislatif dan akan menjadi model pencitraan wakil perempuan di parlemen. C. Kerangka Pemikiran dalam Penelitian Berdasarkan kerangka teoritik diatas, maka penelitian ini menggunakan alur pikir yang dapat diuraikan sebagai berikut: Berawal dari pengamatan atas fenomena keterpilihan Caleg perempuan di Kab. Indramayu pada Pemilu 2009 yang kemudian dianalisis berdasaRkan modal sosial. Analisis atas modal sosial itu difokuskan kepada dua Caleg perempuan dalam pemilu 2009 di Kabupaten Indramayu. Secara singkat alur pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
15
Eko, Sutoro, Modal Sosial, Desentralisasi dan Demokrasi Lokal, Draft makalah Seminar Internasional IV “Dinamika Politik Lokal di Indonesia: Demokrasi dan Partisipasi”, Yayasan Percik dan The Ford Foundation, Salatiga, 15-18 Juli 2003
10
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Calon Anggota Legislatif Perempuan
Modal Sosial
Modal Sosial
(Social Bounding, Bridging, Linking)
(Nilai-Kultur, Institusi dan Mekanisme)
Kontestasi Caleg Perempuan Dalam Pemilu Legislatif 2009
Keterpilihan (elektabilitas) sebagai Anggota Legislatif
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam riset ini adalah penelitian dengan metodologi kualitatif. Metodologi adalah suatu proses, prinsip dan prosedur yang dipergunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban. Pengertian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi berupa teks, gambar, kata-kata dan bahasa yang diungkap dari temuan lapangan. Data tersebut bisa berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, video-tape, dokumen pribadi, catatan atau memo dan dokumen resmi lain. Selanjutnya peneliti menganalisis data tersebut secara holistik sesuai aslinya dengan memanfaatkan metode ilmiah karena kenyataan sebagai keutuhan tidak dapat dipahami jika dipisahkan dari konteksnya.16 Secara khusus, strategi penelitian ini mempergunakan studi kasus (case study). Studi kasus merupakan salah satu metode riset ilmu sosial. Studi kasus mengutamakan pertanyaan riset berkenaan dengan how dan why atau bagaimana dan mengapa. Studi kasus bertujuan untuk melihat dan melacak akar peristiwa-peristiwa kontemporer dengan menekankan kepada observasi dan wawancara. Penelitian studi kasus dapat dibedakan menjadi tiga tipe: yaitu studi kasus eksplanatoris, eksploratoris dan deskriptif. Studi kasus sebagai strategi penelitian telah dipergunakan untuk berbagai lapangan studi ilmu politik, penelitian kebijakan dan penelitian organisasi dan manajemen. Desain studi kasus terbagi empat. Yaitu dapat terdiri dari desain kasus tunggal holistik, desain kasus tunggal terjalin, desain multikasus holistik dan desain multikasus terjalin. Penelitian ini mengadopsi tipe studi kasus deskriptif dan menggunakan desain studi kasus tunggal terjalin. Menurut Robert K. Yin (1996), studi kasus tunggal terjalin diaplikasikan kepada satu atau dua unit analisis yang berkenaan dengan figur atau program yang menyajikan suatu kasus ekstrim atau unik. Studi kasus 16
Lexy J. Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (PT. Remaja Rosdakarya : Bandung, 2004), hal 16.
FISIP UNWIR Indramayu
11
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
tunggal menyajikan uji kritis secara signifikan atas suatu teori. 17Dalam konteks ini adalah teori modal sosial. 2. Waktu, Lokasi dan Pemilihan Kasus Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan, yaitu sepanjang bulan Agustus-Oktober 2009 dengan mengambil lokasi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Waktu tiga bulan terdiri dari persiapan, penelitian lapangan hingga pelaporan. 3. Sumber data dan Teknik Pengumpulan data Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder yang bersifat multisumber. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari sumbernya berupa informasi maupun tindakan dari orang-orang yang diwawancarai atau diamati, terutama kedua Caleg perempuan, tim sukses dan konstituen mereka. Data sekunder adalah data tertulis atau informasi yang diperoleh secara tidak langsung dari sumbernya, berupa dokumen, buku-buku ilmiah serta informasi yang berkaitan dengan modal sosial. Sumber data dalam penelitian ini adalah seseorang atau sesuatu yang dipilih sebagai narasumber maupun informan untuk memperoleh data dalam penelitian. Dalam studi kasus, terdapat enam sumber data yang bersifat primer dan sekunder. Yaitu, wawancara, observasi langsung, observasi pemeran serta, dokumen, rekaman arsip dan perangkat fisik.18Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah : a. Untuk data primer dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Observasi dilakukan dengan mengamati kondisi modal sosial informan yang notabene adalah kedua Caleg perempuan. Sedang wawancara dilakukan kepada Caleg, tim sukses, wakil konstituen yang pada musim kampanye Pemilu 2009 memiliki keterkaitan dalam konteks modal sosial dengan Caleg. b. Data sekunder berupa arsip dan perangkat fisik, digali dan diperoleh dari dokumen KPUD, liputan media, makalah dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 4. Analisis data Metode yang dipergunakan untuk analisis data adalah analisis deskriptif kualitatif yang bertujuan menggambarkan secara tepat dan mendalam, detail dan akurat fakta-fakta serta hubungan antar fenomena. Maksud analisis data adalah aktifitas memecah, memilah atau menguraikan materi penelitian ke dalam potongan-potongan, bagian, elemen dan unit. Setelah data dipecah, peneliti memilah dan menyaring data untuk memperoleh tipe, pola dan gambaran menyeluruh. Proses analisis kualitatif dalam penelitian ini dijelaskan dalam tiga langkah berikut: 1. Reduksi data (data reduction) yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian, abstraksi dan transformasi data kasar yang diperoleh dari lapangan. 2. Penyajian data (data display) yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif yang lazim dilakukan dalam bentuk teks naratif. 3. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification). Dari kumpulan data peneliti melakukan pencarian makna dari gejala yang diperoleh di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan dan konfigurasi yang mungkin ada, alur kausalitas dan proposisi.
17
18
Robert K Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 Robert K Yin, Studi Kasus, Desain dan Metode, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
12
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Dengan mengadopsi pendekatan studi kasus deskriptif, maka analisis data penelitian dilakukan dengan mendasarkan kepada proposisi-proposisi teoritis sebagaimana diperkenalkan oleh Robert K Yin (1996). Proses analisis semacam ini akan berjalan dalam tiga tahap: (1) Mencatat dan menghasilkan catatan lapangan dengan diberi kode agar sumber datanya tetap mudah ditelusuri. (2) Mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasi, mensintesiskan, kemudian membuat indeksnya. (3) Berpikir agar kategori data yang ada dapat mempunyai makna, menemukan pola hubungan dan membuat temuan-temuan umum.19 5. Pengembangan validitas Usaha memperoleh derajat kepercayaan atau validitas hasil penelitian akan dilakukan dengan menggunakan metode trianggulasi. Trianggulasi adalah suatu cara peningkatan validitas dalam penelitian kualitatif. Patton seperti dikutip Sutopo (1996) menyatakan ada empat macam teknik trianggulasi yaitu (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3) trianggulasi metodologi, (4) trianggulasi teoritis. Penelitian ini menggunakan trianggulasi metode dan data. Trianggulasi metode dilakukan dengan mencek silang, membandingkan data yang diperoleh dari hasil studi dokumen dengan wawancara yang dilakukan pada informan. Trianggulasi data dilakukan dengan mencek data-data yang diberikan oleh beberapa informan, melakukan cross-check terhadap data dokumen yang diperoleh melalui wawancara dengan informan pokok dan cross-check antara informan pendukung terhadap subyek penelitian. D. SKETSA KABUPATEN INDRAMAYU Indramayu, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Ibukotanya Indramayu. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Cirebon di tenggara, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Sumedang, serta Kabupaten Subang di barat. Kabupaten Indramayu terdiri atas 31 kecamatan, yang dibagi lagi atas 313 desa dan kelurahan. Pusat pemerintahannya di Kecamatan Indramayu, yang berada di pesisir Laut Jawa. Indramayu dilintasi jalur pantura, salah satu jalur terpadat di Pulau Jawa, terutama pada musim mudik. Kabupaten ini juga dilintasi jalur kereta api lintas utara Pulau Jawa, dengan stasiun terbesar di Jatibarang. Kota penting di wilayah kabupaten Indramayu diantaranya adalah Indramayu, Jatibarang, Haurgeulis dan Karangampel. Penduduk Indramayu di wilayah pesisir pada umumnya menggunakan Bahasa Indramayu yang mirip Dialek Cirebon pada kehidupan sehari-hari, dan mereka menyebutnya dialek Dermayon. Sedangkan di bagian selatan, menggunakan Bahasa Sunda. Menurut Supali Kasim, meski memiliki sumberdaya alam (sawah, hutan, laut) yang melimpah, Indramayu dikenal sebagai kabupaten termiskin di Jawa Barat hingga dekade 1970. Ada peribahasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi tersebut, yakni ”ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan”. Secara antropologis, penduduk Indramayu bukan hanya berasal dari Bagelen (Purworejo, Jawa Tengah). Ada wilayah lain yang juga melakukan migrasi ke Indramayu sebelumnya, seperti saat kejayaan Majapahit terlihat pengaruh Majapahit pada daerah-daerah seperti Kec. Juntinyuat (sebelah timur Indramayu). Beberapa nama daerah di Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan dari Jawa Timur dan Madura, seperti Kamal, Lombang, Sampang, Tuban, dan Majakerta (Mojokerto). Di seputar kota Indramayu hingga Sindang, selain pengaruh aristrokrat (mungkin dari Mataram), juga perkampungan Arab dan Pecinan. Sedangkan di kecamatan Lelea dan Kandanghaur, pengaruh Kerajaan Sumedang masih terasa pada kulturnya, terutama bahasa. Bahasa Sunda-Lea dan SundaParean (Sunda-Lelea dan Sunda-Kandanghaur). Di perbatasan Kab. Sumedang, dan Subang (sebagian wilayah Kec. Gantar, Haurgeulis, Kroya, Terisi), penduduk menggunakan bahasa Sunda, walau jumlahnya tak banyak. Di wilayah barat Indramayu (Kec. Gantar, Haurgeulis, Anjatan, Sukra, Patrol, Bongas) sebagian penduduk berasal dari 19
Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta: UNS Press, 1996
FISIP UNWIR Indramayu
13
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
Tegal-Brebes dan sebagian lagi berasal dari wilayah timur Indramayu dan Cirebon, yang melakukan migrasi pada tahun 1920-an melalui jalur kereta api. Hal itu dilakukan tanah dan hutan di wilayah barat masih perawan. Telah dibangun pula bendungan dan irigasi oleh Belanda. Percampuran penduduk dari Bagelen (Demak atau Mataram), Jawa Timur, Tegal-Brebes, Pasundan, Arab, dan Cina itu menghasilkan suatu akulturasi yang kini disebut sebagai kultur Dermayu. Mereka mengaku bukan Jawa, bukan pula Sunda. Mereka menganggap wong Jawa adalah wong wetan, sedangkan urang Sunda adalah wong gunung. Satu hal yang penting dicatat, sebagian besar dari mereka adalah kalangan grass-root (wong cilik), kaum migran/transmigran, pinggiran yang terpaksa melakukan perpindahan dari wilayah asal ke Indramayu. Di antara mereka yang mampu bekerja keras, mendapatkan penghasilan, dan mengeluarkan pendapatan secara ketat (irit), akhirnya menjadi kaya. Sebaliknya tak sedikit pula yang gagal. Berikut posisi Indramayu dalam peta lengkap provinsi Jawa Barat:
E. POTRET KONTESTASI POLITIK LOKAL PEREMPUAN DI INDRAMAYU Hasil Pemilu legislatif 2009 yang menempatkan sembilan perempuan pada kursi DPRD Indramayu, setidaknya memberikan harapan baru partisipasi perempuan dalam politik Indramayu pasca reformasi 1998. Ke-9 perempuan itu, yakni dari Golkar: Asniah Darpadi, Anna Sophanah, Emi Jumiarsih, Anis Khoirunnisa, Cholida Dwiyantiningrum, Nurhayati, dari PDIP: Lilyana Listiya Dewi, dari Demokrat: Trisnoningsih, Rofiqoh. Selain sembilan politisi lokal itu, Miryam S. Heryani dari Partai Hanura berhasil terpilih anggota DPR RI. Mampukah sepuluh perempuan politisi itu memberikan perubahan bagi Indramayu, khususnya citra perempuan? Harapan adanya perubahan citra wajar karena beberapa di antara mereka memiliki latar belakang sosial sangat penting. Anna Sophanah adalah istri bupati, Asniah Darpadi (istri camat), Nurhayati (istri Dirut PDAM), Anis Khoirunnisa (putri Pimpinan Pontren Al-Zaitun), pondok pesantren modern terbesar dan termasyhur di Jawa Barat bagian utara. Mencermati hasil Pemilu legislatif pada tahun 2009, partisipasi politik perempuan relatif meningkat dari Pemilu periode sebelumnya. Jumlah caleg perempuan pada pemilu legislstif 2009 adalah: dari 499 orang total Caleg. Data yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum tahun 2009 menguraikan sebagai berikut: Tabel Perbandingan Jumlah Caleg Perempuan Pemilu 2009 Daerah Pemilihan Jumlah Caleg Terpilih Pada Pemilu 2009 DAPIL Laki-Laki Perempuan Jumlah 1 Indramayu 1 8 1 9 2 Indramayu 2 6 2 8 3 Indramayu 3 7 3 10 4 Indramayu 4 4 1 5 5 Indramayu 5 7 1 8 6 Indramayu 6 8 2 10 Jumlah 40 10 50 Sumber: KPU Kabupaten Indramayu 2009 No
14
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
Citra perempuan Indramayu sedikit terangkat oleh sukses figur perempuan dalam berbagai bidang pasca reformasi 1998. Harapan masyarakat Indramayu kepada politisi yang tampil di parlemen adalah agar kiprah mereka jangan melepaskan diri dari stigma dan problema sosial perempuan Indramayu, karena merasa menempati strata tinggi dan eksklusif. Jangan hanya sebagai garwa atau sigareng nyawa (separuh nyawa dari suami). Jangan hanya sebagai pelengkap dan pemanis gedung dewan semata. F.
ANALISIS KONTESTASI DAN MODAL SOSIAL CALEG PEREMPUAN KABUPATEN INDRAMAYU
Berdasarkan analisis kontestasi politik perempuan di Indramayu, didasarkan pada teori modal sosial yang dimiliki dan dikelola oleh Caleg perempuan. Analisis ini berangkat dari upaya menjawab dua rumusan masalah awal yang menjadi obyek dalam penelitian ini, yaitu: Pertama, apa saja modal sosial yang menopang keberhasilan Caleg perempuan dalam kontestasi menjadi anggota DPRD Kab. Indramayu tahun 2009? Dengan mengadopsi metode studi kasus, penelitian ini fokus kepada tiga dari sepuluh Caleg perempuan yang berhasil. Kedua, bagaimana para Caleg perempuan menggali dan menggunakan modal sosial yang mereka miliki untuk memenangkan kontestasi Pemilu legislatif tahun 2009? Secara empirik, penelitian eksploratif-deskriptif yang mengacu pendekatan fenomenologi ini tidak sedari awal mendasarkan kepada teori dan data yang terkait modal sosial semata, akan tetapi membuka peluang temuan data dari berbagai jenis modal, sejak politik hingga ekonomi, yang juga dominan menentukan sukses tidaknya calon legislatif perempuan meraih kursi di parlemen. Dalam kasus di kabupaten Indramayu, Caleg perempuan yang diteliti memiliki dan menggunakan tidak hanya modal sosial, tetapi modal ekonomi dan juga politik. Secara rinci, peneliti akan menguraikannya dengan membagi dalam empat sub-bab berikut ini. 1. Rekruitmen Kontestasi: Politik Afirmasi Sebagaimana terjadi di berbagai kabupaten/kota di Indonesia, kontestasi politik khususnya yang menghadirkan sosok perempuan politisi masih berada dalam tarik menarik antara kontestasi yang dilatarbelakangi politik afirmasi, suatu kebijakan yang secara sadar diambil partai politik atau regulator politik untuk mengikutsertakan perempuan sebagai calon legislatif untuk tujuan representasi dan meraih suara pemilih (vote getter), dengan makin kuatnya kompetensi, kualitas diri dan hasrat aktualisasi diri dari Caleg perempuan dalam kontestasi politik lokal. Di kabupaten Indramayu, menjadi Caleg masih dilandasi semangat “pemberdayaan dan diberdayakan”, bukan karena sudah berdaya. Meskipun kebijakan kouta 30 persen Caleg perempuan oleh Parpol tidak berlaku ketika sistem pemilihan yang telah menggunakan model suara terbanyak, namun kebijakan mendorong perempuan untuk “sekedar tampil sebagai “vote getter dan penyeimbang jumlah masih kuat. Dalam konteks ini, mengikuti teori psikolog Abraham Maslow, kontestasi politik perempan masih berada pada tingkatan untuk meraih keuntungan pragmatis politik ekonomi sebagai level pemula bukan untuk tujuan aktualisasi diri dan atau perjuangan aspirasi publik sebagai level lanjut. Analisis ini juga berlaku kepada Caleg perempuan di Indramayu sebagai subyek penelitian,mereka bersedia dan dicalonkan Parpol masing-masing untuk menjamin kouta 30 persen, disamping kompetensi yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan oleh Friedrich Ebert Stiftung, lembaga nirlaba yang berkantor di Jerman menemukan fakta, kontestasi perempuan dalam politik lokal di berbagai negara yang masih transisional termasuk di Indonesia amat ditentukan oleh tiga hal. Pertama, lingkungan sosial politik yang sudah kondusif, membuka peluang akses partisipasi perempuan di ruang publik. Kedua, jaringan sosial dan politik yang terbangun diantara politisi perempuan atau jaringan primordial keluarga politisi yang didalamnya berkomitmen mendorong perempuan. Ketiga, aturan main di internal partai politik dan regulator Pemilu yang secara tegas mewajibkan keberadaan politisi perempuan atau dikenal dengan sistem kouta. Dalam konteks pembentukan dan pengembangan karir politik perempuan di Indramayu khususnya pada ketiga calon legislatif yang menjadi obyek penelitian ini, faktor dukungan dan jaringan keluarga yang sudah pernah atau sedang jadi politisi menginsyaratkan bahwa faktor jaringan dan afirmasi masih lebih kuat mendorong ketiganya terjun ketimbang kemampuan personal. Pada saat FISIP UNWIR Indramayu
15
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
awal rekruitmen, partai politik masih dikenai kewajiban kouta 30 persen yang otomatis membuka lowongan politisi bagi perempuan. Lingkungan sosial politik berupa kondisi yang tidak lagi bias gender belum terbentuk, khususnya di kabupaten Indramayu. Belajar dari kasus ini, beradasarkan pengalaman dari berbagai negara yang relatif sama dengan Indonesia, maka diperlukan kombinasi strategi untuk menggeser politik afirmasi menjadi politik partisipasi murni yan tumbuh dari internal perempuan peduli terhadap nasib wilayahnya. Strategi itu secara legal formal sebetulnya sudah terwadahi dalam sejumlah UU di Indonesia akan tetapi diperlukan penguatan pada implementasinya. Implementasi yang kuat ini mensyaratkan dukungan dan komitmen yang kuat dari partai politik dan pemerintah yang berkuasa. Disamping itu, jaringan organisasi antara politisi dan aktifis perempuan yang kuat dibutuhkan pada semua tingkatan, sejak desa hingga negara. Kendala kontestasi perempuan yang berasal dari faktor eksternal hanya dapat diatasi dengan mengelola kekuatan bersama mendorong regulasi yang terbuka dan tidak diskriminatif terhadap politisi perempuan. 2. Koalisi Berbagai Modal: Eksploitasi Pragmatisme Adanya trend percampuran berbagai modal dalam kontestasi politik di Kab. Indramayu menjadi warna khas politik lokal. Desentralisasi dan otonomi daerah yang diperkuat oleh kebijakan pemilihan langsung, mengharuskan para calon anggota legslatif mengerahkan semua potensi yang dimiliki, dari modal sosial sebagai basis utama mayoritas Caleg, hingga modal politik dan ekonomi. Semua modal itu bertemu dengan sikap pragmatis mayoritas pemilih lokal. Sehingga terjadilah eksploitasi sikap pragmatisme dengan mempergunakan modal para Caleg sebagai “umpan”-nya. Politik “dagang sapi” muncul, barter atau pertukaran, distribusi modal tertentu pada pemilih dengan suara yang diberikan pemilih kepada Caleg tertentu terjadi secara massif, sistimatik yang dirancang oleh tim sukses. Di kabupaten Indramayu, penggalangan pemilih yang menggunakan beragam modal lebih bersifat pragmatis, jangka pendek meraih suara ke parlemen, ketimbang suatu idealisme yang berdimensi jangka panjang dan terejawantahkan secara konkret. Kondisi ekonomi mayoritas warga Indramayu yang berada dibawah kemiskinan lebih mudah dieskploitasi dengan mendistribusi modal ekonomi (uang). Sedangkan politik feodalisme yang masih kuat, membuka ruang penggunaan modal politik patron-klien sebagai cara meraih suara, seperti dilakukan Ana Sophanah. Eksploitasi pragmatisme pemilih berlangsung massif di tingkat pedesaan sebagai basis utama. Umumnya menggunakan relasi sosial dan ekonomi dengan aparat/perangkat desa melalui tim sukses. Sebagai miniatur negara, desa menjadi arena politik paling dekat bagi relasi antara masyarakat dengan pemegang kekuasaan. Selama ini perangkat desa, termasuk di Indramayu menjadi bagian dari birokrasi negara yang melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administratif kepada masyarakat, serta melakukan kontrol dan mobilisasi warga desa. Karena dekatnya arena, secara normatif pemilih menyentuh langsung, berpartisipasi dalam proses pembangunan di tingkat desa. Para perangkat desa dikonstruksi sebagai “pamong desa” yang diharapkan sebagai pelindung dan pengayom warga masyarakat. Mereka dituakan, ditokohkan dan dipercaya oleh warga masyarakat untuk mengelola kehidupan publik maupun privat warga desa. Dalam praktiknya antara warga dan pamong desa mempunyai hubungan kedekatan secara personal yang mungkin diikat dengan tali kekerabatan maupun ketetanggaan, sehingga kedua unsur itu saling menyentuh secara personal dalam wilayah yang lebih privat ketimbang publik. Jika pemerintah desa menjadi sentrum kekuasaan politik, maka kepala desa (lurah desa) merupakan personifikasi dan representasi pemerintah desa. Semua mata di desa ditujukan kepada kepala desa secara personal. Legitimasi berarti pengakuan rakyat terhadap kekuasaan dan kewenangan kepala desa untuk bertindak mengatur dan mengarahkan rakyat. Tetapi legitimasi tidak turun dari langit begitu saja. Kepala desa yang terpilih secara demokratis belum tentu memperoleh legitimasi terus-menerus ketika menjadi pemimpin di desanya. Kata kunci Pemilu demokratis adalah partisipasi masyarakat. Secara teoretis, partisipasi adalah keterlibatan secara terbuka (inclusion) dan keikutsertaan (involvement). Keduanya mengandung kesamaan tetapi berbeda titik tekannya. Inclusion menyangkut siapa saja yang terlibat, sedangkan involvement berbicara tentang bagaimana masyarakat terlibat. Keterlibatan berarti memberi ruang
16
Program Studi Ilmu Pemerintahan
ISSN 2087-2208
bagi siapa saja untuk terlibat dalam proses pembangunan terutama kelompok-kelompok masyarakat miskin, minoritas, rakyat kecil, perempuan, dan kelompok-kelompok marginal lainnya. Secara substantif partisipasi mencakup tiga hal. Pertama, voice (suara): setiap warga mempunyai hak dan ruang untuk menyampaikan suaranya dalam proses pembangunan. Pemerintah, sebaliknya, mengakomodasi setiap suara yang berkembang dalam masyarakat yang kemudian dijadikan sebagai basis perencanaan pembangunan. Kedua, akses, yakni setiap warga mempunyai kesempatan untuk mengakses atau mempengaruhi perencanaan pembangunan desa dan akses terhadap sumberdaya lokal. Ketiga, kontrol, yakni setiap warga atau elemen-elemen masyarakat mempunyai kesempatan dan hak untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap lingkungan kehidupan dan pelaksanaan pembangunan. Modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan dalam ilmu sosial khususnya ekonomi untuk menggambarkan kapasitas sosial memenuhi kebutuhan hidup. Kemampuan itu didefinisikan pada banyak aspek kehidupan. Modal sosial menekankan perlunya transformasi dari hubungan sosial sesaat dan rapuh (contingent relations) seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain. Jumlah modal sosial yang dimiliki seserang tergantung pada jaringan hubungan yang dapat di mobilisasikannya secara efektif dan tergantung pada modal volume lainnya, ekonomi, kultual dan simbolik yang dimiliki oleh agen lainnya yang menjadi objek dari jaringan hubungan yang mereka bangun.3 Modal sosial dalam konteks politik memberikan kontribusi pada beberapa level antara lain lavel individu dan komunitas. Pada level individual, modal sosial memberikan kontribusi adanya dukungan bagi pengambil kebijakan oleh masyarakat, penggalian aspirasi masyarakat, pendampingan atau penggalangan kekuatan untuk kontestasi. Sedangkan pada level komunitas, modal sosial mendukung upaya promosi pengembangan institusi lokal, jaringan kerjasama antar komunitas dan pengembangan informasi bersama. Ana Sophanah berhasil mengelola modal sosial dan sekaligus modal ekonomi dan politik yang dimiliki untuk mempromosikan diri dan institusi yang dipimpinnya, sehingga kemudian ia meraih suara terbanyak. Menurut Putnam, modal sosial dapat berwujud negatif dan positif. Dalam bentuknya yang negatif, modal sosial memanifestasikan diri pada kelompok-kelompok eksklusif dan praktek-praktek diskriminasi dalam organisasi, dengan kesetiaan “in-group” dan antipati “out-group” yang kuat. Nilainilai yang kuat dalam jaringan pribadi biasanya didukung sanksi sosial informal dan “tekanan sejawat” (peer preesure). Mereka dapat menyebabkan ketergantungan, pengecualian dan pilih kasih, dan dapat mengurangi kreativitas dan inovasi. Bentuk-bentuk kontrol sosial semacam ini pada umumnya membatasi otonomi individu.6 3. Masa Depan Kontestasi: Penguatan Modal Sosial Modal sosial awalnya dipahami sebagai suatu bentuk di mana masyarakat menaruh kepercayaan terhadap komunitas dan individu sebagai bagian di dalamnya. Mereka membuat aturan kesepakatan bersama sebagai suatu nilai dalam komunitas. Dari sini aspirasi masyarakat terakomodasi, komunitas dan jaringan lokal teradaptasi sebagai suatu modal pemberdayaan masyarakat. Modal Sosial lebih menekankan pada potensi komunitas, kelompok dan pola-pola komunikasi dan relasi antar-individu dalam kelompok dan antar-kelompok. Fokusnya pada tata nilai, jaringan sosial, dan kepercayaan yang lahir dan menjadi norma kelompok. Di masa depan khususnya pada aras politik lokal, modal sosial lebih urgen dikembangkan. Modal sosial yang dimaksimalkan penggunaannya akan memiliki implikasi yang bersifat politik, ekonomi dan sosial bagi penggunanya. Dalam artikel berjudul: Defining Social Capital, an integrating view, peneliti Bank Dunia Ismail Serageldin (Coleman, dkk. 1999) menyebutkan dua implikasi besar sebagai dampak positif yang akan diraih siapapun yang berhasil mengelola modal sosial dalam lingkungannya. Kedua implikasi tersebut adalah: Pertama, terjadinya sharing information atau pertukaran informasi secara formal dan informal yang memungkinkan semua pihak dalam relasi 3
Tim FISIPOL UGM, “Merajut Modal Sosial Untuk Perdamaian dan Integrasi Sosial”, (Fisipol UGM : Yogyakarta, 2001), hlm. 22-23 6 Ibid, hlm 64 FISIP UNWIR Indramayu
17
JURNAL ASPIRASI Vol.1 No.2 Februari 2011
modal sosial itu untuk berdaya, mengantisipasi berbagai peluang. Informasi adalah modal utama kekuasaan, baik ekonomi maupun politik. Kedua, coordinating activities atau kesediaan bekerjasama dalam menggelar berbagai aktifitas untuk tujuan yang sama. Sikap kerjasama ini dibangun berdasarkan epercayaan antara berbagai pihak, mereduksi sikap opurtunistik dari satu pihak terhadap pihak lain. 12 Secara lebih luas, implikasi politik modal sosial membentuk partisipasi politik masyarakat dengan pilar kesukarelaan, penyeimbang relasi politisi-warga dalam masyarakat, Masyarakat mempunyai bargaining position (posisi tawar) dengan pemerintah, bagian dari mekanisme manajemen konflik, menyelesaikan konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat, memelihara dan membangun integrasi sosial di masyarakat yang rawan konflik, menciptakan dan memfasilitasi proses rekonsiliasi dalam masyarakat pasca konflik, mencegah disintegrasi sosial yang mungkin lahir karena potensi konflik sosial tidak dikelola secara optimal sehingga meletus menjadi konflik kekerasan. Partisipasi dan kontestasi politik yang memakai modal sosial lebih mampu menciptakan harmoni sosial pemilih. Jika dipergunakan untuk tujuan politik termasuk Pilkada, modal sosial dapat disebut sebagai sumber daya politik yang dipergunakan memenangkan kompetisi. Modal sosial juga sangat dekat dengan terminologi kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi jaringan. Kebajikan sosial akan kuat dan berpengaruh jika di dalamnya melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik. Menurut Sutoro Eko, modal sosial memberikan kontribusi besar bagi proses konsolidasi desentralisasi dan demokrasi lokal. Secara horizontal berbagai organisasi masyarakat menjadi arena untuk saling membangun kepercayaan, kerjasama, toleransi dan tolong-menolong. Secara vertikal berbagai organisasi itu telah membuka ruang publik, menjadi struktur mediasi antara pemerintah dan masyarakat, memperluas ruang-ruang partisipasi serta menjadi kekuatan bagi gerakan sosial untuk mendorong perubahan. Gerakan demokratisasi lokal yang didorong aktor-aktor civil society berhadapan dengan politik kekerasan yang dimainkan elemen masyarakat lain. Gerakan demokratisasi mengadopsi modal sosial tidak selalu didukung oleh elemenelemen partai oposisi yang pro perubahan. Di Indonesia, baik di pusat atau daerah, partai politik bukanlah pendukung otentik demokratisasi melainkan bagian dari pemeliharaan status quo. Gerakan demokratisasi civil society bergelora menentang “raja-raja kecil” yang bermasalah, tetapi gerakan itu dengan mudah dilumpuhkan oleh para preman bayaran/paramiliter yang dipelihara oleh partai politik.
12
Coleman, James, dkk, Social Capital, A Multifaceted Perspective, The World Bank, Washington DC, 1999
18
Program Studi Ilmu Pemerintahan