Monograf
MONOGRAF MITOS DAN REALITAS DALAM HUBUNGAN NU & MUHAMMADIYAH di Yogyakarta dan Jepara
MITOS DAN REALITAS DALAM HUBUNGAN NU & MUHAMMADIYAH di Yogyakarta dan Jepara
Mahli Zainuddin Tago
Hak Cipta©2006, pada penulis/penerbit Dilarang memperbanyak, memperbanyak sebagian, atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, tanpa seizin tertulis dari penerbit
Cetakan Pertama, Desember 2006 ISBN : 978-602-7577-18-3 LP3M UNIVERSITAS MUHAMMADIYAHYOGYAKARTA OKTOBER, 2006.
Penerbit LP3M Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Jln. Lingkar Selatan, Tamantirto, Bantul, Yogyakarta Telp. 0274-387656 ext. 174
KATA PENGANTAR Alhamdulillaah buku monograf dengan judul MITOS DAN REALITAS DALAM HUBUNGAN NU DAN MUHAMMADIYAH di Yogyakarta dan Jepar) ini akhirnya dapat diterbitkan. Buku ini merupakan hasil penelitian lapangan penulis di kedua lokasi tersebut. Penelitin itu tentu tidak bisa berjalan dengan baik bila tanpa bantuan dana dari Dirjen Dikti Depdknas RI. Karena itu pada kesempatan ini peneliti mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan tersebut. Kepada LP3-UMY yang telah memfasilitasi berbagai hal mulai dari proses pengajuan proposal sampai penyampaian laporan, juga diucapkan terima kasih. Semoga berbagai bantuan yang mereka berikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Akhirnya, peneliti berharap buku monograf ini dapat memberi manfaat bagi siapapun yang mendambakan adanya kerukunan, integrasi sosial, yang baik di antara berbagai komponen pembentuk bangsa yang kita cintai ini. Betapapun kecilnya manfaat itu.
Yogyakarta, 10 Oktober 2006 Penulis, Mahli Zainuddin Tago
RINGKASAN Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik dalam skop nasional maupun daerah. Sebagai mayoritas penduduk Indonesia, umat Islam memiliki peranan yang penting bagi proses integrasi bangsa. Sebagai unsur utama pembentuk konfigurasi umat Islam Indonesia, Muhammadiyah dan NU tentu memiliki peran yang besar bagi proses integrasi bangsa Indonesia. Kenyataannya hubungan Muhammadiyah-NU, sebagaimana hubungan antar kemunitas yang lain, mengalami dinamika, pasang dan surut. Ruang lingkup penelitian ini adalah interaksi, yang meliputi integrasi atau konflik sosial antar komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah di dua wilayah: Jepara dan Yogyakarta. Pertanyaan penelitian adalah bagaimana dan mengapa interaksi sosial terjalin antara komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah di Jepara dan Yogyakarta? Penelitian ini menemukan data: pertama, integrasi sosial terjalin dengan sangat baik antara NU dan Muhamadiyah di wilayah penelitian. Dari sisi kualitas, integrasi terjalin dalam kualitas rendah 0%, kualitas sedang 51,7% dan kualitas tinggi (48,7%). Kedua, Komunitas NU memiliki kualitas integrasi tinggi (60%) lebih banyak dari pada Muhammadiyah (36,7%). Sementara pada kualitas integrasi sedang, Muhammadiyah (63,3%) lebih banyak dari pada NU (40%). Ketiga, tidak ada hubungan yang signifikan antara kualitas integrasi dengan mayoritas-minoritas, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, keaktifan dalam organisasi sosial keagamaan dan keaktifan dalam partai politik, dalam integrasi antara Muhammadiyah dan NU di Yogyakarta dan Jepara. Karena temuan penelitian ini yang berbeda dengan asumsi (atau mitos) yang umum diyakini sebagai variabel yang berpengaruh dalam integrasi sosial, maka untuk mengetahui variabel realitas betul-betul berhubungan secara signifikan dengan kualitas integrasi diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam yang seyogyanya dilakukan dengan pendekatan kualitatif.
C. Metode Pengumpulan Data dan Alat Ukur yang Dipergunakan D. Metode Analisa Data
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL KATA PENGANTAR RINGKASAN DAN SUMMARY DAFTAR ISI
Halaman i iii iv v
49 50
BAB V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data B. Hasil Pengujian Hipotesis
51 68
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah
1 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Integrasi Sosial B. Konflik Sosial C. Lembaga Agama dan Pola Pembinaan Komunitas Beragama D. Hubungan Antar Kelompok E. Kelompok Mayoritas dan Kelompok Minoritas F. Penelitian Terdahulu G. Hipotesa Penelitian
10 17 19 22 31 33 41
BAB III. TUJUAN PENELITIAN DAN MANFAAT PENELITIAN A. Tujuan Penelitian 43 B. Manfaat Penelitian 43 BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Varaibel Penelitian dan Defenisi Operasionalnya B. Subyek Penelitian
45 48
A. Kesimpulan B. Saran
71 72
DAFTAR PUSTAKA
75
BAB I
melahirkan ketidakrukunan atau konflik. Pada tahun
PENDAHULUAN
1995 Karel C. Steenbrink dengan optimis menulis bahwa Indonesia selama masa 45 tahun terakhir
A. Latar Belakang Masalah
memberikan gambaran kerukunan agama yang
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat
hampir-hampir
bebas dari berbagai konflik. Itu
yang majemuk, baik dalam skop nasional maupun
merupakan prestasi yang sangat hebat- merupakan
daerah. Kemajemukan itu sifatnya multidimensional
perkembangan yang dianggap luar biasa di tempat
antara lain ditimbulkan oleh perbedaan suku, tingkat
lain (Steenbrink, 1995: 217). Pada umumnya berbagai
sosial, pengelompokan organisasi politik,
dan
hubungan tampak kuat dan stabil di tingkat lokal.
agama. Dari sisi agama, walaupun negara Indonesia
Ketegangan yang sangat banyak selama 45 tahun
mempunyai sekitar 90% penduduk yang beragama
silam
Islam, Indonesia bukanlah negara Islam. Lima agama
Indonesia, namun dapat pula ditemukan adanya
dunia yang memuja satu Tuhan secara resmi diakui,
hasrat serupa kepada stabilitas dan ketidaksenangan
walaupun masih banyak religi lainnya (terutama
terhadap perubahan radikal (Steenbrink, 1995: 211).
dalam masyarakat terasing, yang diterima dan
Dalam konteks ini dapat difahami pernyataan Geertz
disebut kepercayaan tradisional) (Koentjaraningrat,
bahwa kesadaran akan kesatuan kebudayaan antara
1993: 12-9). Selanjutnya, dalam masing-masing agama
lain
itu sendiri juga terjadi variasi dalam pemahaman
melindungi masyarakat dari perpecahan (Robertson,
maupun pengamalan paham agama itu.
1995: 220).
Dalam interaksi antar berbagai kelompok masyarakat,
kemajemukan
bisa
melahirkan
muncul
dalam
Tetapi
pada
bentuk
dewasa
tingkat
politik
nasionalisme
ini
masyarakat multikultural
hanya
nasional
cenderung
ada
sedikit
yang tidak memiliki
kerukunan atau integrasi sebagaimana dia juga bisa
sejarah permusuhan antar etnik yang membentuk
1
2
mereka (Giddens, 1992: 162). Bangsa Indonesia,
Kebalikan dari kerusuhan Situbondo adalah
misalnya, mulai paruh kedua dekade terakhir abad
konflik Ambon. Konflik Ambon, salah satu dari
ke-20,
konflik di atas, yang telah berlangsung sejak 19
menghadapi berbagai konflik: baik yang
bernuansa
kesukuan,
kedaerahan,
keagamaan,
Januari 1999 dan mengakibatkan tewasnya ribuan
maupun antar kelompok lainnya. Kasus Timor-timor
jiwa serta
(1995), Situbondo (1996), Tasikmalaya (1997) dan
(TEMPO, 23 Januari 2000). Walau telah diberlakukan
beberapa kasus
keadaan darurat sipil, konflik antar umat beragama
yang terkait dengan SARA di
Surabaya, Ambon, Ujung Pandang, Pekalongan,
di Ambon
Pasuruan dan didaerah lain
Maluku
telah menimbulkan
ratusan ribu penduduk mengungsi
pada khususnya maupun kepulauan
pada
umumnya
masih
juga
terasa
kerugian yang sangat besar baik materi (masjid,
dampaknya. Sampai saat ini, Januari 2006, konflik
gereja
maupun
Ambon telah memasuki tahun keenam. Dan usaha-
hubungan sosial antar umat beragama (Thayib, 1997:
usaha untuk memadamkan konflik itu nampaknya
207-8).
masih terus diusahakan.
dan
tempat
Konflik-konflik
peribadatan
yang
lain)
memakan
banyak
Memang kerusuhan di
Ambon dan sekitarnya adalah tragedi kemanusiaan
korban harta maupun jiwa itu ada yang bisa
sekaligus
ditemukan solusinya dan ada yang sampai sekarang
Sebelumnya
masih berlangsung. Konflik antar komunitas Islam
bentrokan massal antara dua kelompok pemeluk
dan
agama berbeda di Indonesia sampai berdarah-darah
Kristen
di
Situbondo,
misalnya,
bisa
diselesaikan. Kerusuhan Situbondo yang berlangsung
tragedi tidak
bangsa
yang
terbayangkan
memilukan. bisa
terjadi
(Ecip, 1999: 5).
pada 10 Oktober 1996 ini berakibat tewasnya 5 jiwa
Sebagai mayoritas penduduk Indonesia, umat
dan rusaknya 34 bangunan yang di antaranya berupa
Islam memiliki peranan yang penting bagi proses
terbakarnya 20 gereja (Retnowati, 2000).
integrasi bangsa. Bahkan pada masa penjajahan 3
4
Belanda, bagi sebagian besar bangsa Indonesia Islam
(Masyumi) (1945). Konflik terlihat jelas, antara lain,
identik
pada
pada keluarnya PSII, kemudian NU, dari Masyumi.
kenyataannya, sebagaimana bangsa Indonesia pada
Dan sejak itu umat Islam tidak berada lagi di depan
umumnya, umat Islam Indonesia juga merupakan
sebagaimana mereka perlihatkan pada tahun-tahun
umat yang mejemuk.
semasa revolusi (Deliar Noer, 1987: 49-54).
dengan
nasionalisme.
Tetapi
Kemajemukan itu terjadi
karena faktor keagamaan, seperti perbedaan paham agama, maupun karena faktor-faktor
sosiologis
Dalam pembentuk
konteks
ini,
konfigurasi
sebagai umat
unsur
Islam
utama
Indonesia,
seperti masalah politik, ekonomi, maupun budaya.
Muhammadiyah dan NU tentu memiliki peran yang
Meminjam istilah Deliar Noer,
ada berbagai
besar bagi proses integrasi bangsa Indonesia. Dan
organisasi, baik sosial, pendidikan maupun politik,
dalam kenyataannya hubungan Muhammadiyah-
dengan
NU, sebagaimana hubungan antar komunitas yang
karakteristik
kecenderungan
yang
masing-masing, mereka
bermacam
tekankan
dalam
menyebarkan ide-ide mereka. Karakteristik dan kecenderungan
itu
dipertajam
oleh
lain, juga mengalami dinamika, pasang dan surut. Ketika
Abdurrahman
Wahid (yang pernah
perbedaan
memimpin NU) dilantik sebagai Presiden RI pada
kepribadian pemimpin dan perbedaan lingkungan
Sidang MPR 1999 yang dipimpin oleh M. Amien Rais
dimana organisasi itu berada (Delair Noer, 1985: 117).
(yang pernah memimpin Muhammadiyah), banyak
Sejarah mencatat bahwa dalam interaksi antar
orang menilai bahwa telah berlangsung kerjasama
berbagai kelompok umat Islam itu, kemajemukan
yang amat mengesankan antar beberapa komponen
bisa melahirkan integrasi sebagaimana dia juga bisa
umat Islam. Tetapi hanya dalam hitungan bulan
melahirkan konflik. Integrasi bisa dilihat, misalnya,
kepemimpinan Abdurrahman Wahid sebagai RI-1,
dalam sejarah Kongres Umat Islam (1938) dan pada
sebuah episode yang penuh dengan tarik tambang
terbentuknya Majelis Syura Muslimin Indonesia
politik dan perang pernyataan segera mewarnai
5
6
hubungan antar pengikut kedua pemimpin tersebut.
merupakan
Lebih jauh konflik itu berubah bentuk menjadi
konflik
ketegangan hubungan antara Muhammadiyah dan
Muhammadiyah-NU itu,
dan apa saja yang
NU. Pada kurun waktu Februari sampai dengan Juli
sesungguhnya
mitos
2001, terjadi perusakan terhadap banyak asset
besarkan
Muhammadiyah
konstelasi interaksi Muhammadiyah-NU itu.
oleh
masyarakat
yang
selalu
realitas
dan
yang
integrasi
dalam
merupakan
untuk
menjadi
kepentingan
faktor-faktor
hubungan
yang
antar
dibesar-
tertentu
dalam
menamakan diri sebagai pendukung Presiden Gus B. Perumusan Masalah
Dur (Hamid, 2002: vii-viii). Dalam
konflik
ketidakpuasan
yang
para
muncul
pendukung
pemimpin
komunitas agama itu, sering muncul ketidakjelasan antara kritik dan hujatan, penyampaian aspirasi dan tindakan anarki, antara fakta dan khayalan, antara mitos dan realitas. Hal itu tentu saja berdampak pada ketidaktepatan
dalam
berbagai
analisa
dan
Penelitian ini dimaksudkan untuk membedah konflik dan potensinya, integrasi dan potensinya yang juga terjalin dalam waktu bersamaan di lokasi lain,
antara
dua
komunitas
yang meliputi integrasi atau konflik sosial antar komunitas NU dan komunitas Muhammadiyah di dua wilayah: Jepara dan Yogyakarta. Jepara dipilih dengan asumsi bahwa mayoritas penduduknya adalah umat Islam yang mayoritas berfaham agama atau
setidak-tidaknya
menjadi
simpatisan
NU.
Tetapi di dalam wilayah Jepara ini juga terdapat
pengambilan kebijakan yang mengiringi konflik itu.
yang
Ruang lingkup penelitian ini adalah interaksi,
karena
keagamaan:
Muhammadiyah dan NU itu. Dengan penelitian ini diharapkan bisa dipisahkan apa saja yang betul-betul 7
beberapa komunitas Muhammadiyah. Kebalikan dari Jepara
adalah
Yogyakarta,
wilayah
dimana
Muhammadiyah lahir dan berkembang dengan pesat. Namun demikian, di Yogyakarta ini juga berdiri beberapa pondok pesantren yang merupakan sentra komunitas NU.
8
BAB II
Karena integrasi dan konflik tidak bisa terjadi
TINJAUAN PUSTAKA
dengan sendirinya, artinya melalui suatu proses dan berkaitan dengan berbagai faktor,
maka usaha
memahami interaksi sosial harus melihat fase-fase interaksi
itu
dengannya
dan yang
hal-hal telah
yang
berhubungan
berkembang
dalam
A. Integrasi Sosial Integrasi sosial lazim dikonsepsikan sebagai suatu proses ketika kelompok-kelompok sosial
masyarakat. Faktor-faktor yang dimaksud adalah
tertentu
dalam aspek pendidikan, sosial ekonomi,
keseimbangan
elite-
dalam
masyarakat
saling
menjaga
untuk mewujudkan kedekatan-
mayoritas/seimbangnya suatu komunitas
kedekatan hubungan sosial, ekonomi dan politik
dan pola pembinaan keagamaan yang dilaksanakan
(Usman, 1996: 79). Dengan kalimat yang lain
di suatu lokasi.
integrasi juga didefenisikan sebagai proses atau
massa,
Dengan latar belakang seperti itu, penelitian
potensialitas
yang mendorong ke arah proses
ini akan mencoba menggali data untuk menjawab
dimana komponen-komponen dua kelompok sosial
pertanyaan bagaimana dan mengapa interaksi sosial
atau lebih menjadi terpadu sehingga memberikan
terjalin
kebersamaan
antara
komunitas
NU
dan
komunitas
dan
kesatuan
antara
kelompok-
kelompok yang ada. Dengan pegertian ini tercakup
Muhammadiyah di Jepara dan Yogyakarta?
di dalamnya kasus integrasi dan potensialitas integrasi (Mudzhar, 1998: 129). Masyarakat pertama, masyarakat
individu
bisa yang
terintegrasi menjadi
bila:
anggota
mengalami rasa memiliki sebagai
suatu kelompok sosial atau kolektivitas berdasarkan 9
10
antara
lain
atas
norma-norma,
nilai-nilai,
yang tidak bersifat komplementer. Kesepakatan
kepercayaan-kepercayaan yang disepakati bersama.
terhadap nilai-nilai
Kedua, aktivitas maupun fungsi dari istitusi atau
fundamental
subsistem di dalam suatu masyarakat lebih saling
meredam kemungkinan berkembangnya konflik-
melengkapi
konflik ideologi akibat dari kebencian atau antipati
daripada
saling
berlawanan
satu
dengan lainnya. Ketiga, adanya lembaga tertentu yang
menganjurkan
untuk
sosial tertentu yang bersifat
sangat
krusial
karena
mampu
antar kelompok Kedua, adanya kenyataan bahwa sebagian
saling
mengisi/mengimbangi dan mengkoordinir aktivitas
besar
dari berbagai susbsistem dari masyarakat itu sendiri
berbagai unit-unit sosial sekaligus (cross-cutting
(Jary, 1991: 315).
affiliations). Dengan mekanisme ini konflik yang
Sedangkan
terhimpun
dalam
terjadi (baik yang nampak/kasus konflik maupun
terintegrasi karena: pertama, adanya
yang laten/potensialitas konflik) teredam oleh
kesepakatan sebagian besar anggotanya terhadap
loyalitas ganda (cross-cutting loyalities). Cross-cutting
nilai-nilai sosial tertentu yang bersifat fundamental.
affiliation
Integrasi semacam ini lebih sering tercipta dalam
yang saling bertentangan tetap dipertahankan
kehidupan
masyarakat
Sunyoto
masyarakat
Usman,
masyrakat
menurut
anggota
yang
majemuk
(poly-
dalam
memungkinkan
suatu
posisi
elemen-elemen
yang
relatif
sosial
seimbang.
communal) yaitu masyarakat yang ditandai oleh
Kelompok-kelompok sosial yang ada menjadi saling
segmentasi
sosial
mengawasi aspek-aspek sosial
unik.
menciptakan permusuhan.
dengan
sub
berbagai
macam
kebudayaan
kelompok
sendiri
yang
Masyarakat seperti ini juga ditandai oleh tingkat
Ketiga,
yang potensial
adanya saling ketergantungan
diferensiasi fungsional yang tinggi dengan struktur
dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi. Perbedaan
sosialk yang terbelah ke dalam institusi-institusi
pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi
11
12
memang mengelompokkan masyarakat ke dalam
kekeluargaan, langsung, dan nilai-nilai yang
kelompok pendapatan (kaya, memengah, miskin).
disepakati bersama. Dalam hubungan non-
Model
kekeluargaan, dalam masyarakat yang lebih
pembangunan
saling
ketergantungan
ekonomi dapat mencegah tumbuhnya eksploitasi antar kelompok dan spesialisasi
kompleks, dasar-dasar solidaritas lebih variatif .
yang terjadi
bersifat fungsional sehingga ciri-ciri diferensiasi tidak terlalu sukar diseimbangkan (Usman, 1996: 80-1).
Emile Durkheim (1893) membagi dua tipe solidaritas sosial: solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Solidaritas
mekanis
didasarkan
pada
kesamaan antar iindividu. Tipe ini dominan dalam Integrasi sosial juga berarti solidaritas sosial
yang sama-sama dibentuk oleh suatu masyarakat
masyarakat yang sederhana dan belum maju. Sedangkan solidaritas organis didasarkan pada
atau suatu kelompok. Solidaritas menunjuk pada
pembagian kerja dan saling melengkapi antar
satu keadaan hubungan antara individu dan atau
individu.
antara kelompok yang didasarkan pada keadaan
Tipe
ini
idealnya
terjadi
dalam
masyarakat modern yang sudah maju (Jary, 1991:
moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional mereka.
389).
Durkheim lebih lanjut menjelaskan bahwa
solidaritas mekanis
Ikatan ini lebih mendasar daripada hubungan
kesadaran
kontraktual yang dibuat atas persetujuan rasional
didasarkan padda suatu
kolektif
consciousness/conscience)
(Johnson, 1986: 181).
bersama
(collective
yaitu
“totalitas
kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen
Basis solidaritas sosial berbeda antara
bersama
yang
rata-sarat
ada
pada
warga
masyarakat sederhana dengan masyarakat yang
masyarakat bersama itu.”
lebih kompleks. Dalam masyarakat sederhana
masyarakat
solidaritas berdasarkan pada hubungan-hubungan
individualitas tidak berkembang karena dia terus
13
yang
Karena itu, dalam
solidaritasnya
mekanis,
14
menerus dilumpuhkan oleh tekanan
yang besar
sekali untuk konformitas (Johnson, 1986: 183).
menyadari
fungsi
dan
peran
mereka
dalam
kebersamaan (Shills, 1972: 381).
Durkheim juga membagi integrasi sosial
Dalam penelitiannya tentang masyarakat
atas dua hal: pertama, integrasi normatif, yang ada
komplek perumahan industri dan penduduk asli di
dalam perspektif budaya dan menekankan
desa sekitarnya, Ravik Karsidi (1988) menulis
solidaritas mekanik yang terbentuk melalui nilai-
bahwa integrasi hanya terjadi bila dipenuhi syarat-
nilai dan kepercayaan. Kedua, integrasi fungsional
syarat: pertama, anggota masyarakat merasa tidak
yang menekankan pada solidaritas organik, suatu
dirugikan bahkan keuntungan akan diperoleh lebih
solidaritas yang terbentuk melalaui relasi saling
besar. Kedua, adanya persesuaian faham tentang
tergantung antara bagian atau usnur dalam
norma dalam arti bagaimana harus bertingkah laku
masyarakat (Shills, 1972: 382).
untuk mencapai tujuan dalam masyarakat. Ketiga,
Sosiolog lainnya, Cooley, membagi integrasi sosial ke dalam tiga
bentuk: pertama, integrasi
norma yang berlaku harus konsisten agar terbentu suatu struktur yang jelas. Secara
normatif yang merupakan tradisi baku masyarakat untuk membentuk kehidupan bersama bagi mereka yang mengikatkan diri dalam kebersamaan itu. Kedua, integrasi komunikatif. Komunikasi dalam hal ini hanya dapat dibangun
bagi mereka yang
memiliki sifat saling tergantung dan mau diajak bekerjasama menuju tujuan yang dikehendaki. Ketiga, integrasi fungsional yang hanya akan
bertahap
integrasi
sosial
akan
berlangsung melalui proses: pertama, akomodasi. Ini merupakan pendapat
upaya atau
pihak-pihak
bertentangan
yang
berbeda
untuk
mencari
pemecahan masalah. Kedua, koordinasi. Merupakan upaya
menyelesaikan
mewujudkan
suatu
perbedaan
bentuk
kerjasama.
dengan Ketiga,
asimilasi atau akulturasi yang merupakan kontak
terwujud bila anggota yang mau mengikatkan diri 15
16
budaya yang berlainan atau pertemuan dua budaya
terjadi
bila
untuk menjadi lebih baik (Ratnawati, 2000: 17-8).
tersebut
anggota-anggota suatu kelompok
berkumpul secara fisik,
memiliki
sumberdaya material untuk saling berhubungan, B. Konflik Sosial Konflik
dan menyepakati suatu budaya yang sama ialah pertentangan antar dua
Dari aspek strata sosial, kelas-kelas sosial
kelompok sosial atau lebih, atau potensialitas yang
tinggi
menyebabkan pertentangan.
Dengan demikian
kelas sosial rendah dan kebanyakan perebutan
pengertian ini mencakup pengertian kasus konflik
kekuasaan terjadi pada faksi-faksi yang berbeda di
dan potensialitas konflik (Mudzhar, 1998: 129).
kalangan kelas tinggi tersebut.
antar
pada
umumnya
lebih mobil dibanding
Kelas rendah
Konflik muncul karena adanya perjuangan
cenderung terpecah dalam kelompok-kelompok
individu
lokal
atau
kelompok
dalam
suatu
dan akan lebih mudah digerakkan
kalau
masyarakat atau bahkan antar negara. Seringkali
mereka secara etnis maupun keagamaan homogen
karena persaingan dalam penguasaan akses atau
dan terkonsentrasi dalam suatu tempat tertentu.
pengontrolan
terhadap sumber daya
maupun
Konflik terbuka biasanya
kesempatan-kesempatan yang terbatas (Jary, 1991:
solidaritas kelompok
111). Dalam model Weberian,
berbagai macam
bertikai.
konflik bermula ketika setiap kelompok budaya
menulis
(seperti kelompok etnis, agama maupun intelektual)
pemusatan kekuasaan
berjuang mencari keuntungan (Borgotta, 288).
kelompok dan
Perebutan kepentingan akan tetap sebagai
Coser, bahwa
meningkatkan
pada kedua pihak yang
mengelaborasi teori Simmel, konflik
mengarah
kepada
di dalam masing-masing
memotivasi kelompok-kelompok
untuk mencari sekutu-sekutu.
Dengan demikian
sesuatu yang laten bila tidak ada suatu kelompok
konflik
yang bergerak untuk berjuang secara aktif. Hal ini
bahkan negaraw (yang sedang berperang), ke
17
18
cenderung memecah masyarakat, atau
dalam dua kutub. Proses
bisa
pembagain kerja dan spesifikasi fungsi yang
dibatasi ketika terdapat keanggotaan lintas antar
merupakan atribut penting masyarakat perkotaan
kelompok:
(O’Dea, 1987: 69).
jika
perpecahan
itu
pengelompokan kelas, etnis,
agama, saling silang, misalnya. Dengan demikian
Secara lebih rinci, Thomas F. O’Dea menulis
adanya saling silang dalam suatu konflik (cross-
bahwa ada dua hal yang cenderung memacu
cutting conflict)
perubahan diri suatu agama ‘primitif’
cenderung
membuat masing-
ke arah
masing menjadi netral. Sebaliknya ketika yang ada
agama yang terorganisasi secara khusus: pertama,
adalah ‘saling himpit’
meningkatnya
( tidak ada saling silang)
maka konflik menjadi lebih ekstrim (Borgotta, 288).
kedalaman
beragama
differentiation). Karena pembagian kerja dalam masyarakat kian berkembang
C. Lembaga Agama dan Pola Pembinaan Komunitas Beragama Dalam perkembangan masyarakat dimana
(inner
yang kemudian
melahirkan alokasi fungsi, alokasi fasilitas serta sistem
imbal
jasa
yang
kian
ruwet,
maka
para ahli agama juga selalu tampil maka akan
masyarakat cenderung
muncul pula suatu lembaga yang fungsi utamanya
tingkat
adalah mengelola masalah keagamaan. Organisasi
Kemudian tampillah kelompok-kelompok dengan
keagamaan yang khusus ini pada umumnya
tujuan yang lebih jelas dan terperinci untuk
dijumpai
melaksanakan berbagai kegiatan seperti produksi,
dalam
diferensiasi
internal
ditimbulkan oleh berkembang.
masyarakat dan
fungsi
yang
lebih
tinggi.
dimana
fungsi
stratifikasi
yang
pendidikan
telah
ditangani oleh kelompok-kelompok yang lebih
kehadiran
kabur, seperti keluarga. Agama yang terorganisasi
perkembangan
Dengan
spesifikasi
mengembangkan suatu
agama
demikian
organisasi keagamaan yang khusus menunjukkan
secara
dan
khusus
sejenisnya,
ini
lahir
yang
sebagai
sebelumnya
akibat
dari
salah satu aspek dari semakin meningkatnya 19
20
kecenderungan umum ke arah pengkhususan
ketenangan,
pandangan
fungsional.
menghargai
orang
Kedua,
meningkatnya
luas,
lain.
obyektif
Dengan
kata
dan lain,
pengalaman
kelompok ini dapat disebut dengan kelompok yang
keagamaan yang mengambil bentuk dalam corak
mencintai kerukunan dan kedamaian antar agama.
organisasi
studinya
Kedua, suffering yaitu mereka yang menganut agama
tentang konversi agama A.D. Nock menunjukkan
dengan sikap tertutup. Kelompok ini menganggap
bahwa kelompok keagamaana yang baru seringkali
diri paling benar dan yang lain salah.
berbenturan dengan berbagai norma dan lembaga
pemeluk agama yang kedua ini sering menebarkan
masyarakat yang telah mapan. Organisasi baru
konflik
mengetengahkan komunitas baru dan pola hidup
kehendak kepada kelompok lain.
keagamaan
baru.
Dalam
dan
suka
memaksakan
agama
Sikap
dan
baru pada para anggotanya. Ia juga memutuskan
Pedidikan dan pembinaan agama yang
hubungan dengan masa lalu. Ritus, keyakinan dan
diberikan lembaga agama atau pemimpin agama
corak organisasi keagamaan yang baru
terhadap
akan
umatnya
sangat
mempengaruhi
berbeda dari masing-masing kelompok keagamaan
munculnya sikap para pemeluk agama. Pola
yang ada dalam masyarakat (O’dea, 1987:90-1).
pembinaan
Pada kenyataannya, berbagai keagaman
itulah
yang
sekarang
organisasi
ini
banyak
melakukan pembinaan terhadap kehidupan umat
yang
cenderung
eksklusif
dan
berwawasan sempit akan menghasilkan umat beragama
yang
berwawasan
sempuit
pula.
Demikian pula sebaliknya (GATRA, Februari 1997).
bergama. Hasil dari pembinaan ini, menurut Burhanuddin Daya, antara lain adalah munculnya
D. Hubungan Antar Kelompok
dua sikap pemeluk agama: pertama, healty yaitu
Kelompok (group) adalah kumpulan orang
mereka yang menganut agama dengan segala
yang menyepakati suatu masalah dan bergerak
21
22
bersama
dalam
menyikapi
masalah
tersebut,
memiliki harapan bersama dan memiliki suatu rasa
sama, walau juga bisa terjadi antar kebudayaan yang posisinya tidak sama.
senasib sepenanggungan. Ada banyak macam kelompok: kelompok
persahabatan etnis,
informal,
masyarakat,
kelompok-
kelompok
antar
Dalam sejumlah kasus akulturasi terjadi pula proses dekulturasi seperti terjadi pada kasus hilangnya
kebudayaan
asli
dan
hancurnya
masyarakat. Hubungan antar kelompok adalah
kehidupan keluarga orang-orang Afrika yang secara
bentuk-bentuk hubungan yang dikembangkan di
paksa diculik untuk dijadikan budak di Amerika
antara dua kelompok (Borgotta, 962).
Utara, dan dibunuhnya unsur pimpinan orang
Berdasar sejarah hubungan antar kelompok
Aztec di Mexico.
para ilmuan sosial telah mengidentifikasi berbagai kemungkinan
pola
(1968)
ras menguasai kelompok lain. Di samping dalam
menulis bahwa kontak antara dua kelompok ras
hubungan antar ras, dominasi juga terjadi dalam
dapat
hubungan aktara kelompok pria terhadap wanita,
diikuti
paternalisme,
hubungan.
proses integrasi
Banton
Dominasi terjadi bilamana satu kelompok
akulturasi, dan
dominasi,
pluralisme.
Pola
hubungan seperti itu juga bisa berlaku dalam
orang kaya terhadap orang miskin, orang dewasa terhadapa orang yang cukup umur.
hubungan antar kelompok lain di luar kelompok ras.
Menurut kemungkinan
Akulturasi
terjadi
kebudayaan kedua kelompok ras
manakala yang bertemu
Banton,
yang
ada
terjadi
empat
dalam
macam
hubungan
dominatif ini: pembunuhan secara sengaja dan sistematis
terhadap
anggota
suatu
kelompok
mulai berbaur dan berpadu. Sering terjadi antara
tertentu (genocide), pengusiran, perbudakan, segresi
kebudayaan dua masyarakat yang posisinya relatif
dan
asimilasi.
pengusiran, 23
Pembunuhan
penahanan,
yang
melibatkan
penganiayaan
dan 24
perkosaan terhadap kaum wanita antara lain terjadi
kurang memancing konflik di pihak migran yang
pada kasus ethnic cleanshing yang menimpa warga
didominasi.
muslim Bosnia. Kematian warga suatu kelompok
Dalam rangka memantapkan kepentingan
ras dalam jumlah besar sering terjadi pula karena
mereka
mereka menjadi korban berbagai penyakit baru
merubah
yang dibawa oleh kelompok ras pendatang yang
mendatangkan
dominan.
Kelompok
Pengusiran antara lain dialami orang-orang
kelompok migran dominan kadang kala komposisi migran
pribumi
penduduk dari
dengan
masyarakat
dominan
lain.
berusaha
mempertahankan dominasi mereka dengan jalan
keturunan India di Uganda, warga asing kleturunan
mengendalikan
Tionghoa dari pedesaan Indonesia, warga Palestina
masuk dalam masyarakat mereka.
di tepi Barat Sungai Yordan.
jumlah dan jenis migran yang
Paternalisme adalah bentuk lain dominasi
Sementara itu Stanley Lieberson (1961)
kelompok ras pendatang
atas kelompok ras
membedakan dua pola utama dominasi yaitu
pribumi. Pola ini menurut Banton muncul manakala
dominasi kelompopk pendatang atas kelompok
kelompok pendatang yang lebih kuat mendirikan
pribumi (migrant superordination) dan pola dominasi
koloni
kelompok
memunculkan
pribumi
atas
kelompok
pendatang
di
daerah tiga
jajahan.
Ini
kelompok
kemudian masyarakat:
(indigenous superordination). Pengendalian politik
masyarakat
dan ekonomi oleh migran menghasilkan perubahan
pendatang), masyarakat kolonial yang terdiri dari
besar pada institusi politik dan ekonomi
para pendatang dan sebagian masyarakat pribumi,
serta
demografi penduduk setempat dan suatu waktu
metropolitan
(di
daerah
asal
dan masyarakat pribumi yang dijajah.
cenderung memancing reaksi keras dari mereka.
Integrasi adalah pola hubungan yang
Dominasi pribumi di bidang ekonomi dan politik
mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat
25
26
tetapi tidak memberikan makna penting pada
membedakan
perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang
kekuasaan, martabat, uang, lebih besar pada satu
terkait dengan ras seseorang hanya terbatas pada
kelompok dibanding kelompok lain. Akibatnya
bidang tertentu dan tidak ada sangkut pautnya
muncul ketidakadilan sosial yang menjadi bagian
dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih
esensial dari suatu sistem stratifikasi. Lebih lanjut,
dengan usaha.
kelompok-kelompok
Pluralisme
merupakan
suatu
pola
hubungan yang di dalamnya mengenal pengakuan persamaan hak politik
dan hak perdata semua
warga masyarakat namun memberikan arti penting lebih besar pada kemajemukan kelompok ras dari pada dalam pola integrasi. Dalam pola pluralisme ini solidaritas dalam masing-masing kelompok ras
lain
yang
dominan
dalam
hubungan antar kelompok berasal dari pemikiranpemikiran Marxian yang dikenal dengan teori konflik. Dalam pandangan ini hubungan-hubungan yang saling bersaing muncul
beserta konsekwensinya
dari sistem stratifikasi sosial
masyarakat.
ras)
yang
berbeda
dalam
(seperti kelas-kelas, kelompok etnis-
bersaing untuk menguasai
sumberdaya
tersedia yang terbatas (Borgotta, 964). Ada tiga kondisi yang diperlukan dalam konflik antar kelompok
dan dalam adanya
berbagai ketidakadilan. Pertama, adanya minimal dua kelompok. Orang harus menyadari kelompok mereka dan kelompok orang lain dengan dasar ciri
lebih besar (Kamanto, 1993: 140-3). Perspektif
masyarakat
anggota-anggotanya, memberikan
dalam
Masyarakat dilihat sebagai sesuatu
yang secara konstan selalu berubah. Masyarakat 27
khas masing-masing. Ciri itu bisa fisik, atau cukup ciri non fisik
berupa kepercayaan-kepercayaan
atau nilai-nilai. Kedua, dua kelompok itu
bersaing satu
dengan lain atau merasa bahwa mereka bersaing dalam memperebutkan sumberdaya yang terbatas seperti uang, tanah atau pekerjaan. Anggotaanggota kelompok akan melindungi kepentingan 28
mereka
dengan berusaha mendapatkan sumber
banyak kelompok orang Asia di Amerika, misalnya,
daya itu untuk mereka, bila perlu dengan ongkos
anak-anak
mereka
yang ditanggung oleh kelompok lain.
berpakaian
ala
Ketiga, seimbang kelompok
sehingga salah satu bisa mengungguli yang
sumberdaya. kelompok
kekuatan kedua kelompok tidak
lain
Dalam
menjadi
dalam kondisi
semakin
dominan
satu seiring
Amerika,
Bahasa
Inggris,
memakan
makanan
Amerika dan nampak seperti serta menganggap diri mereka sebagai orang Amerika.
memperebutkan demikian
belajar
Bentuk hubungan antar kelompok yang lain
adalah
akomodasi.
Akomodasi
yang
dimaksudkan berkaitan dengan keputusan
dua
dengan berkembangnya persaingan. Kelompok
atau lebih kelompok untuk mengesampingkan
yang lebih kuat menganggap kelompok lain sebagai
perbedaan-perbedaan yang signifikan yang ada di
inferior. Ketika kelompok yang lemah berusaha
antara mereka dalam rangka kepentingan bersama.
melindungi dan menuntut hak mereka, kelompok
Hal ini mengarah kepada pluralisme budaya
yang kuat akan merasa terancam
dimana
dan akan
berbagai bentuk budaya yang berbeda
berusaha memperkuat diri pada tingkat yang lebih
hidup
tinggi.
meningkat.
masyarakat yang sama. Amerika Serikat, misalnya
Kebanyakan anggota kelompok dominan biasanya
adalah masyarakat yang plural dimana berbagai
mudah dan segera melihat kelompok lain dengan
agama, etnis dan kelompok ras yang berbeda
istilah-istilah yang negatif.
diizinkan hidup secara berdampingan
Maka
keteganganpun
Hubungan antar dua kelompok berupa asimilasi. Asimilasi
bisa
meliputi adaptasi
terhadap budaya setempat dimana
berdampingan
secara
damai
dalam
(Borgotta,
964). Dalam
kaitan
hubungan
antar
umat
seseorang
beragama, Kuntowijoyo menyarankan perlunya
memasuki masyarakat dan budaya baru. Dalam
pola hubungan dalam bentuk kerukunan atau
29
30
toleransi, yang hanya cocok untuk masyarakat
mereka normal dan superior sedangkan kelompok
agraris, diganti dengan pola hubungan kerjasama
lain (minoritas) tidak normal dan rendah karena
atau kooperasi antar umat beragama (Andito, 1998:
mempunyai beberapa ciri tertentu, atas dasar
359).
anggapan
tersebut
kelompok
lain
mengalami
eksploitasi dan diskriminasi. E. Kelompok Mayoritas dan Kelompok Minoritas
Dalam
Salah satu bentuk hubungan yang banyak
pengertian
mayoritas ditandai
Kinloch
kelompok
dengan adanya kelebihan
disoroti dalam kajian terhadap hubungan antar
kekuasaan dan tidak dikaitkan dengan jumlah
kelompok ialah hubungan mayoritas-minoritas.
anggota kelompok, jadi boleh saja kelompok
Dalam konteks ini yang coba dijelaskan adalah
mayoritas itu jumlahnya lebiih kecil dari minoritas
konsep mayoritas karena bila di suatu tempat
tetapi mereka lebih berkuasa seperti kelompok Kulit
terdapat kelompok
Putih di Afrika Selatan pada masa sistem apartheid
mayoritas maka tentu secara
otomatis kelompok lain disebut minoritas. Terdapat pengertian
beberapa
mayoritas.
pendapat
Kinloch
masih berlaku di sana. tentang
mendefenisikan
Berbeda dengan Kinloch, Mely G. Tan, membedakan
kelompok mayoritas dengan
mayoritas sebagai any power group that defines itself as
kelompok minoritas atas dasar kelompok kecil
normal and superior and others as abnormal and inferior
masyarakat kota dan kelompok besar masyarakat
on the basis of certain
desa, kelompok kecil kaum terdidik dan massa tak
perceived characteristics, and
exploits or discriminates against them in consequence.
terdidik, antara
Dari defenisi ini dijumpai beberapa unsur sebagai
sejumnlah besar orang miskin, serta klasifikasi yang
berikut:
terkait dengan sifat majemuk masyarakat Indonesia.
mayoritas
merupakan
kelompok
sejumnlah orang kaya dan
kekuasaan, kelompok tersebut menganggap diri 31
32
Edward M. Bruner melihat mayoritas
Mudzhar, misalnya,
setelah meneliti
interaksi
dalam kaitannya dengan kebudayaan.
Dalam
antar Kelompok Islam dengan Kelompok Towani
penelitiannya
Bruner
Tolotang dan Tolotang Benteng (kelompok aliran
di Medan ddan Bandung
melihat bahwa ada tidaknya suatu kebudayaan
kepercayaan
mayoritas dominan menentukan bentuk hubungan
menemukan bahwa aspek-aspek yang mendorong
antar
integrasi
kelompok
di
suatu
wilayah.
Medan
di
sosial
Amparita,
di
Sulawesi
Amparita
adalah:
Selatan)
adanya
merupaka suatu kota yang terdiri dari sejumlah
kepercayaan yang sama tentang Gunung Lowa,
minoritas
adanya
tanpa
adanya
suatu
kebudayaan
pemilikan
kekayaan
kebudayaan
yang
dan
kegiatan-kegiatan kepemudaan yang melibatkan
Sementara di kota
semua kelompok, adanya ritus dan jaringan sewa
berkembang
persaingan
hubungan antar etnis tegang. Bandung
kebudayaan
dan
menyewa yang melibatkan semua kelompok dalam
kebuidayaan Sunda selaku kelompok mayoritas
aktivitas pertanian, adanya interaksi dalam Golkar
sehingga
dan
sana
para
dominan
pendidikan
ialah
di
yang
ketat
adanya
atas
dominan sehingga antar kelompok-kelompok etnis ada
lama,
bersama
pendatang
harus
lembaga
pemerintahan
desa,
adanya
menyesuaikan diri dengan kebudayaan tersebut
pemukiman yang membaur dan sumber air minum
dan hubungan antar etnis yang ada bersifat lebih
yang
terbuka dan santai (Kamanto, 1993: 135-6)
(Mudzhar, 1998: 203-226)
sama,
dan
adanya
faktor
kekerabatan
Mujiyana dalam penelitiannya tentang F. Penelitian Terdahulu Penelitian
potensi konflik antar umat beragama di Kabupaten tentang
interaksi
antar
Sleman menyimpulkan bahwa konflik antar umat
komunitas agama, baik berbentuk konflik maupun
beragama antara lain disebabkan oleh: dalam satu
integrasi,
telah banyak dilakukan. M. Atho
tempat tinggal atau pemukiman terdapat berbagai
33
34
penganut agama dengan karakteristiknya masing-
amukan massa yang didukung oleh faktor non
masing, orang berpindah dari satu agama ke agama
agama.
lain, peringatan hari besar suatu agama tertentu
merupakan faktor utama konflik, penguasaan
yang kurang memperhatikan masyarakat sekitarnya
sumberdaya ekonomi yang tidak simetris antara
(Mujiana, 1999: 117).
pelaku
Setelah melakukan penelitian mendalam
Ketiga,
kesenjangan
ekonomi
hanya
ekonomi
merupakan
bukan
faktor
pendukung saja. Keempat, pola pembinaan lembaga
tentang konflik Situbondo ini, Retnowati (2000)
gereja
menulis sebagai berikut. Pertama, kerusuhan itu
berorientasi
merupakan konflik sosial keagamaan yaitu konfliki
pendidikan agama sendiri, kurang berorientasi ke
horizontal meyangkut hubungan
luar. Dalam hal ini
antar agama.
dan
pesantren ke
dalam
cenderung yaitu
eksklusif,
berisi
tentang
pemeluk agama kurang
Penyebabnya adalah akumulasi segala keresahan
mendapatkan
dan ketidakpuasan yang dialami masyarakat, jadi
tentang agama lain. Sikap beragama yang demikian
bukan merupakan sesuatu yang bersifat spontan.
ini sangat rentan
Masalah pokok sebagai penyebab konflik bukan
kesalahpahaman, streotype negatif, prasangka dan
pada perbedaan aspek doktrin ajaran tetapi pada
curiga terhadap agama lain. Kelima, Resolusi konflik
masalah non teologis, terutama pada kecemburuan
berhasil dilakukan melalui konsiliasi dan mediasi.
keagamaan yaitu karena adanya gaya hidup
Dialog dilakukan antara lembaga gereja, NU dan
beragama kelompok Kristen yang demonstratif.
pesantren dan menghasilkan kesepakatan bersama
Kedua, telah terjadi kesenjangan komunikasi sosial
menyangkut sumber-sumber konflik dan solusinya.
antar agama
Keenam, konflik menghasilkan nilai dan tatanan
karena tumbuhnya
gaya
hidup
eksklusif dari kelompok sosial tertentu. Ketegangan
baru,
pengetahuan
dan
konflik karena
menyadarkan
pemeluk
pemahaman
mudah terjadi
agama
untuk
yang lama terpendam meledak dalam bentuk 35
36
menjalani kerjasama, perlunya keterbukaan dan
sosial yang sangat fundamental yaitu Pancasila.
saling pengertian (Retnowati, 2000: 102-4).
Sila-sila
Kalau menurut Mujiyana peringatan hari
yang
difungsikan
terendap
dalam
sebagai faktor-faktor
Pancasila
yang diyakini
besar agama menjadi sumber konflik, Retnowati
mampu menumbuhkan dan mempertahankan rasa
justru melihat sebaliknya. Dalam penelitiannya
kebersamaan dan kebhinekaan, walau kemudian
tentang hubungan antar Islam dan Kristen pasca
mesti dicermati persoalan yang berkaitan dengan
Kerusuhan
sosialisasi dari Pancasila itu lebih lanjut (Usman,
Situbondo,
Retnowati
justru
menemukan peringatan hari besar agama sebagai
1996: 81-2)
salah satu hal yang mengintegrasikan masyarakat
Dengan
demikian,
integrasi
antar
antar agama. Lebih lanjut Retnowati melihat bahwa
komunitas agama ternyata memiliki nuansa yang
Islam dan Kristen di Situbondo terintegrasi karena:
sangat variatif dan bahkan bisa kontradiktif antara
pemakaian bahasa yang sama yaitu bahasa Madura
satu lokasi dengan lokasi yang lain. Kalau di
dalam
saling
Sleman peringatan hari besar keagamaan menjadi
ketergantungan fungsional antar warga masyarakat
sumber konflik, di Situbondo justru menjadi salah
dalam pekerjaan, adanya tradisi tolong menolong,
satu faktor yeng mengintegrasikan antar kelompok
gotong royong dan perkumpulan sosial, serta
keagamaan. Tetapi sesuatu yang pasti adalah
karena adanya perayaan hari besar agama (Islam)
bahwa
dimana warga Krsiten juga ikut berpartisipasi
saluran,
baik
(Retnowati, 2000: 89-95).
budaya,
maupun
kehidupan
sehari-hari,
adanya
Pada skala nasional, Sunyoto Usman menulis
bahwa
masyarakat
Indonesia
bisa
setiap integrasi mesti memiliki salurandalam
aspek
aktivitas
ekonomi, keseharian
politik, yang
melibatkan kelompok-kelompok sosial yang ada. Bertempat
di
Kecamatan
ngampilan,
berintegrasi antara lain karena adanya satu nilai
salah satu kecamatan di kota Yogyakarta, penulis
37
38
sendiri telah melakukan penelitian dengan tema
mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas bersama itu
yang sama dengan proposal ini. Penelitian itu
(Mahli Zainuddin, 2001).
menemukan kenyataan sebagai berikut: pertama,
Selanjutnya, peneliti juga melakukan
integrasi antar komunitas Islam dan Kristen di
penelitian terhadap integrasi antar Islam Kristen ini
Kecamatan Ngampilan
dengan pendekatan kuantitatif dan mengambil
secara umum
berjalan
dalam kualitas sedang, kelompok etnis Tionghoa
lokasi di Kecamatan Kalibawang Kulonprogo.
memiliki kualitas integrasi lebih tinggi daripada
Setelah penelitian dilakukan maka dapat
etnis Jawa, daerah dengan mayoritas penduduknya
disimpulkan bahwa: pertama, aecara umum (54,5
beragama Islam memiliki kualitas integrasi lebih
%) integrasi antar komunitas Islam dan komunitas
rendah
Kristen di Kecamatan Kalibawang berlangsung
daripada
daerah
yang
formasi
kepemelukan agamanya seimbang. Kedua, variabel
dalam kualitas tinggi. Kedua, secara kepemelukan
etnisitas
agama, mereka yang berada pada kualitas integrasi
lebih
lebih
dominan
ddalam
mempengaruhi kualitas integrasi karena di dalam
tinggi di Kecamatan Kalibawang itu adalah
variabel
pemeluk agama Kristen (88,9 %) dan pemeluk
etnisitas
itu
juga
melekat
variabel
mayoritas/seimbang. Ketiga, antar komunitas Islam
agama Islam (20%). Ketiga, ada hubungan antara
dan kristen di Kecamatn Ngampilan
ini terjalin
kulitas integrasi dengan status sosial ekonomi dan
integrasi dalam arti perbedaan antar komunitas
etnisitas di Kecamatan Kalibawang. Keempat, tidak
diakui keberadaannya tetapi tidak diberik makna
ada hubungan antara kualitas integrasi dengan
penting dalam interaksi antar mereka. Kenyataan
mayoritas/ seimbangnya proprosi kependudukan
integrasi ini didukung oleh adanya kessadaran
dan tingkat pendidikan di Kecamatan Kalibawang
kelompok, aktivitas-aktivitas yang lebih saling
(Mahli Zainuddin, 2004).
melengkapi, dan adnya lembaga ketiga yang 39
40
G. Hipotesa Penelitian
dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi
Sebagaimana disebutkan di atas, research questions penelitian ini adalah bagaimana dan mengapa interaksi sosial terjalin antara komunitas NU dan
komunitas
Muhammadiyah
di
Jepara
dan
Yogyakarta?
kualitas integrasi d. Ada hubungan antara kualitas integrasi dengan status dalam organisasi keagamaan. Semakin tinggi status dalam suatu organisasi
Setelah membaca berbagai teori terkait sebagaimana ditulis di atas maka, maka peneliti menulis
tingkat pendidikan semakin tinggi pula
hipotesa
yang
merupakan
keagamaan semakin tinggi pula kualitas integrasi
jawaban
e. Ada hubungan antara kualitas integrasi
sementara terhadap permasalahan penelitian ini
dengan keaktifan dalam organisasi politik.
sebagai berikut
Semakin aktif di oganisasi politik semakin
a. Ada hubungan antara kualitas integrasi
rendah kualitas integrasi.
dengan proporsi kependudukan. Kualitas integrasi lebih tinggi di daerah yang lebih seimbang dibanding daerah yang mayoritas penduduknya mengidentifikasi diri sebagai kelompok tertentu. b. Ada hubungan antara kualitas integrasi dengan
tingkat
status
Semakin
tinggi
tingkat
sosial sosial
ekonomi. ekonomi
semakin rendah kualitas integrasi c. Ada hubungan antara kualitas integrasi 41
42
BAB III
sikap yang tepat dalam mencari solusi bagi konflik
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
yang masih berlangsung, kedua, mempertahankan
A. Tujuan Penelitian Penelitian
integrasi yang masih terjalin dengan baik, antar tentang
interaksi
intra
Muhammadiyah dan NU pada khususnya dan
komunitas agama ini bertujuan mendapatkan data
antar komunitas agama lainnya (dalam agama yang
empiris
sama maupun antar agama yang berbeda) pada
tentang
kualitas
interaksi
antar
Muhammadiyah dan NU dalam kaitannya dengan
umumnya.
mayoritas/seimbangnya komunitas di suatu lokasi, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, status dalam organisasi keagamaan, dan afilisasi politik praktis. Dengan
data-data
kuantitatif
tersebut
penelitian ini menargetkan terungkapnya aspekaspek yang betul-betul realitas dan sisi-sisi yang sebenarnya mitos belaka dari dinamika interaksi antar dua komunitas dalam satu agama yang dominan di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. B. Manfaat Penelitian Berdasarkan informasi empiris yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan berbagai pihak yang berkepentingan dapat: pertama, mengambil
43
44
BAB IV
maupun aktifitas lebih menonjol dibanding
METODOLOGI PENELITIAN
A. Variabel Penelitian dan Defenisi Operasionalnya Sebagai penelitian survai, penelitian ini tidak sekedar deskriptif tetapi lebih jauh juga berusaha melakukan eksplanatif
eksplanasi. maka
survai
Karena ini
tujuannya di
komunitas
yang
minoritas
adalah
komunitas
dari
lain.
Sebaliknya
daerah segi
dimana
jumlah
daerah suatu
keanggotaan
maupun aktifitas lebih sedikit dibanding dengan kelompok lainnya. 2. Tingkat Pendidikan.
samping
Tingkat pendidikan yang dimaksud adalah
menggambarkan karakter tertentu dari populasi
lamanya proses pendidikan formal yang dilalui
juga melakukan uji hubungan antar variabel (Faisal,
seseorang. Untuk mengukur hal ini maka dilihat
1999: 23).
dari pendidikan terakhir yang pernah diikuti
Adapun variabel-variabel dari penelitian ini adalah:
mayoritas/seimbangnya
proporsi
kependudukan, tingkat pendidikan, status sosial
yang mepiluti: tidak sekolah, pendidikan dasar, SMTP, SMTA, dan pendidikan tinggi. 3. Status Sosial Ekonomi
ekonomi, partisipasi dalam organisasi keagamaan,
Status sosial ekonomi adalah status sosial yang
dan partisipasi pada partai politik (variabel bebas),
ada dalam masyarakat yang terbentuk karena
dan kualitas interaksi (variabel tergantung). Secara
adanya
lebih
sumberdaya ekonomi. Dalam hal ini indikator
operasional
variabel-variabel
penelitian
perbedaaan
dalam
penguasaaan
tersebut didefenisikan sebagai berikut.
yang
1. Mayoritas-minoritas proporsi kependudukan.
penghasilan per bulan yang diperoleh seseorang.
dijadikan
ukuran
adalah
jumlah
Daerah mayoritas adalah daerah dimana satu komunitas dari sisi jumlah keanggotaan 45
46
B. Subyek Penelitian
4. Partisipasi dalam Organisasi Keagamaan
Subyek
Partisipasi yang dimaksud disini adalah tingkat
adalah
warga
serta
komunitas Muhammadiyah dan komunitas NU
organisasi yang diikutinya itu.
yang berdomisili di dua wilayah penelitian yaitu
partisipasi dalam organisasi keagamaan tingkatan dari
penelitian
Keaktifan yang dimaksud bisa meliputi anggota
Yogyakarta dan Jepara. Karena luasnya wilayah penelitian dan
pasif, anggota aktif, pengurus atau panitia pada
terbatasnya kemampun dan kesempatan peneliti,
berbagai tingkatan.
maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut.
5. Partisipasi dalam Politik Praktis
Pertama,
Partisipasi politik praktis yang dimaksudkan
di wilayah Yogyakarta, dicari
disini adalah kekutsertaan pada partai politik
suatu kawasan dimana Muhammadiyah sangat
tertentu pada berbagai level. Kekikutsertaan bisa
dominan tetapi disekitarnya ada komunitas NU
meliputi anggota pasif, anggota aktif, pengurus
yang aktif melakukan berbagai aktivitas. Dengan
atau panitia pada berbagai tingkatan.
kriteria
ini
Kotagdede
6. Kualitas Integrasi
maka
dipilih
merupakan
kawasan
Kotagede.
wilayah
dimana
derajat hubungan
Muhammadiyah sangat menonjol dari berbagai
antar kelompok ketika masing-masing mereka
aktivitas, baik aktivitas persyarikatan/organiasai
menjaga
Muhammadiyah
Kulaitas
integrasi adalah
keseimbangan
untuk
mewujudkan
maupun
aktivitasamal
usaha
Tinggi
Muhammadiyah dalam berbagai bidang seperti
rendahnya kualitas integrasi diukur dengan
pendidikan, ekonomi, maupun sosial. Meskipun
sejauh mana unsur-unsur integrasi diketahui,
demikian, hal yang menarik adalah bahwa di
disikapi dan dihayati oleh anggota kelompok.
Kotagede terdapat sebuah pondok pesantren yang
kedekatan-kedekatan
hubungan.
47
48
berafiliasi dengan NU yaitu Pondok Pesantren
keagamaan dan politik praktis. Penelusuran data
Nurul Ummah.
sekunder Kedua, seperti di Yogyakarta, di
dipergunakan
mengidentifikasi
data lokasi
dalam tentang penelitian.
rangka distribusi
Jepara juga dilakukan langkah seperti di atas.
kependudukan
Skala
Sebagaimana diketahui bahwa Jepara adalah daerah
dimanfaatkan untuk mengumpulkan data tentang
dimana kultur NU sangat dominan. Hal in antara
kualitas
lain ditandai dengan banyaknya pondok pesantren
komunitas tersebut.
interaksi yang telah terjalin antar dua
yang berdiri disana. Namun demikian di beberapa kawasan Muhammadiyah juga bisa berkembang
D. Metode Analisa Data
pesat. Antara lain hal itu terjadi di kawasan
Pada tahap kuantitatif, untuk menguji
Cepogo-Bucu. Di kawasan ini Muhammadiyah
hipotesis teknik analisis data yang digunakan
mengembangkan amal usaha berupa madrasah
adalah analisis statistik dengan dibantu program
tsanawiyah dan beberapa TK ABA. Oleh karena itu
komputer SPSS.
Cepogo-Bucu
dipilih
sebagai
wilayah
yang
mewakili Jepara sebagai lokasi penelitian.
C. MetodePengumpulan Data dan Alat Ukur yang Dipergunakan Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik yang bervariasi sesuai dengan jenis data yang akan dikumpulkan. Angket dipakai untuk mengumpulkan data tentang tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, partisipasi dalam organisasi 49
50
BAB V
penelitian, antar komunitas Muhammdiyah
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
dan
NU
tidak
ada
lagi
(0%)
yang
memasalahkan adanya perbedaan-perbedaan A. Deskripsi Data
antar mereka. Mereka juga sudah berusaha
1. Kualitas Integrasi antar Komunitas Muhammadiyah dan NU
beradaptasi dengan tetangga yang berbeda faham agama, sudah ada berbagai kompromi,
a. Kualitas Integrasi Muhammadiyah dan NU
sudah
Tabel-1 Frekwensi dan Prosentase Kualitas Integrasi
sering
terjadi
kerjasama,
memiliki
banyak reaksi yang sama terhadap suatu kejadian, telah ada pembagian kerja dan telah
Kualitas Integrasi Rendah Sedang Tinggi Total
Frekwensi
Prosentase
0 62 58 120
0 51,7 48,3 100
berkembang solidaritas antar mereka. Antar mereka juga sudah pernah terjadi kerjasama dalam waktu yang lama, memiliki harapan dan kesediaan
Dari tabel-1 di atas terlihat jelas bahwa integrasi sosial terjalin dengan
sangat baik
antara NU dan Muhamadiyah di wilayah penelitian. Dari sisi kualitas,
integrasi yang
untuk
kebiasaan-kebiasaan
bekerjasama, lama
atau
mengakhiri memiliki
kebiasaan-kebiasaan bersama yang baru. b. Kualitas Integrasi Komunitas Muhammadiyah dan Komunitas NU
terjalin berada pada kualitas sedang (51,7%) dan tinggi (48,7%). Menariknya lagi adalah tidak ada responden yang memiliki kualitas integrasi rendah. Dengan kata lain temuan penelitian ini membuktikan bahwa di wilayah 51
52
Tabel-2a Kualitas Integrasi dan Mayoritas-minoritas
Tabel-1b Kualitas Integrasi Komunitas Muhammadiyah dan Komunitas NU Kualitas Integrasi Rendah Sedang Tinggi Total
F 0 38 22 60
Komunitas Keagamaan Muh. NU P F 0 0 63,3 24 36,7 36 100 60
Kualitas Integrasi P 0 40 60 100
Rendah Sedang Tinggi Total
Mayoritas-minoritas Mayoritas Minoritas F P F P 0 0 0 0 31 51,7 31 51,7 29 48,3 29 48,3 60 100 60 100
Data pada tabel ini mempertajam data
Tabel ini memperlihatkan bahwa terjadi
yang ada pada tabel sebelumnya. Kalau pada
persamaan kualitas integrasi pada daerah
tabel sebelumnya nampak bahwa integrasi
mayoritas maupun daerah minoritas. Pada dua
berjalan pada kualitas sedang dan tinggi, maka
wilayah ini,
pada tabel ini terlihat lebih rinci bahwa
minoritas,
komunitas NU memiliki kualitas integrasi
Muhammadiyah dan NU pada umumnya
tinggi (60%) lebih banyak dari pada yang
berjalan pada kualitas sedang (51,7%) lebih
dimiliki komunitas Muhmmadiyah (36,7%).
banyak daripada kualitas tinggi (48,3%).
Sementara pada kualitas integrasi sedang,
b. Kualitas Integrasi dan Mayoritas-minoritas
Muhmmadiyah (63,3%) lebih banyak dari pada
wilayah mayoritas maupun integrasi
antar
komunitas
Muhammadiyah
kualitas sedang yang dimiliki oleh komunitas NU (40%). 2. Kualitas Integrasi dan Mayoritas-minoritas a. Kualitas Integrasi dan Mayoritas-minoritas
53
54
Tabel-2b Kualitas Integrasi dan Mayoritas-minoritas Muhammadiyah Kualitas Integrasi Rendah Sedang Tinggi Total
Tabel-2c Kualitas Integrasi dan Mayoritas-minoritas NU Kualitas Integrasi
Muhammadiyah Mayoritas Minoritas F P F P 0 0 0 0 20 66,7 18 60 10 33,3 12 40 30 100 30 100
Data pada tabel ini
Rendah Sedang Tinggi Total
NU Mayoritas F P 0 0 11 36,7 19 63,3 30 100
Minoritas F P 0 0 13 43,3 17 56,7 30 100
Kalau pada tabel sebemulnya terlihat
menggarisbawahi
data pada tabel sebelumnya bahwa kualitas
bahwa
integrasi
daerah mayoritas maupun
kaitannya dengan posisi sebagai mayoritas
daerah minoritas relatif berada pada level yang
ataupun minoritas memiliki kualitas integrasi
sama. Bagi komunitas Muhammadiyah, baik
sedang lebih banyak dari pada tinggi, maka
ketika mereka berada di wilayah sebagai
tabel ini memperlihatkan kenyataann yang
mayoritas maupun sebagai minoritas kualitas
berbeda pada komunitas NU. Komunitas NU
integrasi mereka dominan berada pada level
ternyata memiliki kualitas integrasi tinggi
sedang (66,7%) ketika
(63,3% saat mayoritas dan 56,7% saat minoritas)
pada
mayoritas dan 60 %
komunitas
lebih banyak
ketika minoritas) c. Kualitas Integrasi dan Mayoritas-minoritas NU
Muhammadiyah
dalam
dibandingkan yang dimiliki
komunitas Muhammadiyah pada situasi yang sama (33,3% saat mayoritas dan 40% saat minoritas)
55
56
3. Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi
kualitas intergasi lebih banyak berjalan pada
a. Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi
kualitas sedang (51,8% pada pendapatan s.d.
Tabel-3a Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi Kualitas Integrasi
Rendah Sedang Tinggi total
1.000 ribu rupian dan 52,8% pada pendapatan 1.001-3.000 ribu rupiah). Ini lebih tingi dari
Status Sosial Ekonomi (Pendapatan per Bulan dalam ribuan rupiah) Sampai 1.001 – 3.000 Di atas dengan 1.000 3.000 F P F P F P 0 0 0 0 0 0 43 51,8 19 52,8 0 0 40 48,2 17 47,2 1 100 83 100 36 100 1 100
Data pada tabel ini masih konsisten dengan data pada tabel-1 dimana kualitas integrasi masih berjalan pada kualitas sedang dan tinggi pada semua level status sosial ekonomi. Tetapi
pada level status sosial
ekonomi tinggi (penghasilan di atas Rp 3 juta)
pada kualiats integrasi pada kualitas tinggi (48, 2% pada pendapatan s.d. 1.000 ribu rupian dan 47,2% pada pendapatan rupiah).
b. Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi Muhammadiyah Tabel-3b Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi Muhammadiyah
Kualitas Integrasi
(hanya ada satu kasus). Pada sisi lain secara lebih mendalam
Status Sosial Ekonomi (Pendapatan per Bulan dalam ribuan rupiah) Sampai de 1.001 – 3.000 Di atas 3.000 ngan 1.000
tidk bisa dilihat kualitas integrasinya karena ada persoalan responden yang tidak ada variasi
1.001-3.000 ribu
Rendah Sedang Tinggi total
F 0
P 0
F 0
P 0
F 0
P 0
22
50
7
43,75
0
0
22
50
9
56,25
0
0
44
100
16
100
0
0
dapat dikatakan juga bahwa di antara dua level status
ekonomi
(rendah
dan
menengah),
Hal yang menarik dari data pada tabel-7 ini adalah bahwa kualitas integrasi pada
57
58
komunitas Muhamdiyah terjadi pada sstatus sosial ekjonomi menengah (penghasilan antara
4. Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan a. Gabungan (NU dan Muhamadiyah)
sejuta sampai tiga juta rupiah). Pada status sosial itu kualitas integrasi tinggi berjumlah 56,25%, jauh lebih tinggi dari jumlah responden
Tabel 4a Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan (Muhammadiyah dan NU) Kualitas Integrasi
yng berkualitas integrasi sedng (43,75%). c. Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi (NU)
Rendah Sedang Tinggi Total
Tabel-3c Kualitas Integrasi dan Status Sosial Ekonomi (NU) Kualitas Integrasi
Status Sosial Ekonomi (Pendapatan per Bulan dalam ribuan rupiah) Sampai 1.001 – 3.000 Di atas 3.000 dengan 1.000 F P F P F P 0 0 0 0 0 0 21 53,8 12 60 0 0 18 46,2 8 40 1 100 39 100 20 100 1 100
Rendah Sedang Tinggi total
Dari
tabel-8
ini
terlihat
bahwa
di
kalangan komunitas NU prosentase tertinggi dimiliki oleh kualitas integrasi sedang pada semua
level
status
sosial
ekonomi
s.d. Pendi dikan Dasar F P 0 0 9 52,9 8 47,1 17 100
Tingkat Pendidikan Pendidikan Pendidikan Menengah Tinggi F P F P 0 0 0 0 25 54,3 28 49,1 21 45,7 29 50,9 46 100 57 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa lebih banyak berjalan pada kualitas sedang pada tingkat pendidikan dasar (52,9%) dan menengah (54,3%). Tetapi pada tingkat pendidikan tinggi integrasi lebih banyak berjalan pad kualitas tinggi (50,9%). b. Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan (Muhammadiyah)
yang
terdeteksi.
59
60
Tabel 4-b Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan (Muhammadiyah) Kualitas Integrasi
Rendah Sedang Tinggi total
Tabel 4c Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan (NU) Kualitas Integrasi
Tingkat Pendidikan s.d. Pendi Pendidikan Pendidikan dikan Dasar Menengah Tinggi F P F P F P 0 0 0 0 0 0 7 50 14 46,7 8 50 7 50 16 53,3 8 50 14 100 30 100 16 100
Rendah Sedang Tinggi total
berjalan seimbang (sama-sama 50%) pada kualita sedang dan tinggi pada lelel pendidikan dasar dan
tinggi.
menengah
Tetapi kualitas
pada
level
integrasi
pendidikn warga
Muhammadiyah lebih banyak berada pada
Pendidikan Tinggi F P 0 0 20 48,8 21 51,2 41 100
Dari tabel di atas terlihat bahwa di
Dalam hal komunitas Muhammadiyah, tabel di atas memnunjuukan bahwa integrasi
Tingkat Pendidikan s.d. Pendi Pendidikan dikan Dasar Menengah F P F P 0 0 0 0 2 66,7 11 68,7 1 33,3 5 31,3 3 100 16 100
kalangan NU, integrasi berjalan lebih banyak pada kualitas tinggi (51,2%) terjadi pada level pendidikan tingi saja. Pada level pendidikan menengah dan dasar, integrasi ternyata lebih banyak berjalan pada kualitas sedang (66,7% untuk pendidikan dasar dan 68,7% untuk pendidikan menengah).
kualitas tinggi (53,3%). c. Kualitas Integrasi dan Tingkat Pendidikan (NU)
5. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Organisasi Keagamaan a. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Organisasi Keagamaan (Muhammadiyah dan NU)
61
62
Tabel 5a Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Organisasi Keagamaan (Muhammadiyahh dan NU) Kualitas Integrasi
Rendah Sedang Tinggi total
b. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Organisasi Keagamaan (Muhammadiyah)
Keaktifan dalam Organisasi Keagamaan Tidak aktif Pengurus tkt Peng tkt kab /anggt biasa desa/kec / prop/nas F P F P F P 0 0 0 0 0 0 27 42,2 29 61,7 6 66,7 37 57,8 18 38,3 3 33,3 64 100 47 100 9 100
Hal yang menarik dari tabel ini adalah
Tabel 5b Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Organisasi Keagamaan (Muhammadiyah) Kualitas Integrasi
Rendah Sedang Tinggi total
Keaktifan dalam Organisasi Muhammadiyah Tidak aktif/ Pengurus tkt Peng tkt anggt biasa desa /kec kab/prop/nas F P F P F P 0 0 0 0 0 0 10 37 17 56,7 2 66,7 17 63 13 43,3 1 33,3 27 100 30 100 3 100
data bahwa semakin tinggi tingkat aktivitas di organisasi keagamaan masing-masing, semakin enurun
kualitas
integrasi
mereka
dengan
oganisasi yang lain. Kalau pada level anggota tidak aktif atau anggot biasa integrasi lebih banyak berada pada kualitas tinggi (57,8%), maka
pada
level
pengurus
tngkat
desa/kecamatan, integrasi lebih banyak berada pada
kualitas
sedang
(61,7%).
Selanjutnya
prosentase integrasi pada kualiats sedang itu meningkat menjadi 66,7% pada level pengurus tingkat kabupaten/propinsi/nasional.
63
Tabel ini memperjelas kecenderungan data pada tabel sebelumnya, khususnya yang terjadi pada komunitas Muhammdiyah. Kalau pada pada level anggota tidak aktif atau anggota biasa integrasi lebih banyak berada pada kualitas tinggi (63%), maka pada level pengurus tingkat desa/kecamatan, integrasi lebih banyak berada pada
kualitas
sedang
(56,3%).
Selanjutnya
prosentase integrasi pada kualiatas sedang itu meningkat menjadi 66,7% pada level pengurus tingkat kabupaten/propinsi/nasional.
64
6. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Partai
c. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam
Politik
Organisasi Keagamaan (NU)
a. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Partai
Tabel 5c Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Organisasi Keagamaan (NU) Kualitas Integrasi
Rendah Sedang Tinggi total
Politik (Muhammadiyah dan NU)
Keaktifan dalam Organisasi Muhammadiyah Tidak aktif Pengurus tkt Peng tkt /anggt biasa desa/kec kab/prop/nas F P F P F P 0 0 0 0 0 0 17 45,9 12 70,6 4 66,7 20 54,1 5 29,4 2 33,3 37 100 17 100 6 100
Table
ini
juga
menggarisbawahi
Tabel 6a Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Partai Politik Kualitas Integrasi
Rendah Sedang
Keaktifan dalam Partai Politik Tidak aktif/ Pengurus tkt Peng tkt kab anggt bi asa desa/kec / prop/nas F P F P F P 0 0 0 0 0 0 56 49,1 4 100 2 100
Tinggi total
58 114
50,9 100
0 4
0 100
0 2
0 100
kecenderungan data pada table sebelumnya, Sebagaiamana
khsusunya yang terjadi pada komunitas NU. Kalau pada pada level anggota tidak aktif atau anggot biasa integrasi lebih banyak berada pada kualitas
tinggi
(54,1%),
maka
pada
level
pengurus tngkat desa/kecamatan, integrasi lebih banyak berada pada kualitas sedang (70,6%). Selanjutnya prosentase integrasi pada kualiats sedang itu meningkat menjadi 66,7% pada level pengurus tingkat kabupaten/propinsi/nasional.
bahwa
tingkat
keagaman
sebelumnya
keaktifan
berhubungan
pada dengan
terlihat organisasi kualitas
integrasi, ternyata demikian juga halnya dengan keaktifan dalam partai politik. Kalau pada pada level anggota tidak aktif atau anggota biasa integrasi lebih banyak berada pada kualitas tinggi (50,9%), maka pada level pengurus tngkat desa/kecamatan, integrasi lebih banyak berada pada kualitas sedang (masing-masing 1006%).
65
66
Tabel 6c Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Partai Politik
c. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Partai Politik (Muhamadiyah)
Kualitas Integrasi
Tabel 6b Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Partai Politik Kualitas Integrasi
Rendah Sedang Tinggi total
Rendah Sedang Tinggi total
Keaktifan dalam Partai Politik Tidak aktif/ Pengurus tkt Peng tkt anggt biasa desa/kec kab/prop/nas F P F P F P 0 0 0 0 0 0 26 45,6 3 100 0 0 31 54,4 0 0 0 0 57 100 3 100 0 0
Keaktifan dalam Partai Politik Tidak aktif/ Pengurus tkt Peng tkt kab anggt biasa desa/kec /prop/nas F P F P F P 0 0 0 0 0 0 30 52,6 1 100 2 100 27 47,4 0 0 0 0 57 100 1 100 2 100
Agak berbeda dengan kecenderungan dua tabel sebelumnya, tabel ini memperlihatkan bahwa ternyata pada setiap level keaktifan
Tabel ini memeprlihatkan bahwa dalam kasusu Muhammadiyah keaktifan dalam partai politik juga cenderung berhubungan dengan kualitas integrasi anggota komunitas. Kalau pada
dalam partai politik komunitsa NU lebih banyak berintegrasi pada kualitas sedang (52,6% untuk level tidak aktif/angggota biasa, 100 % untuk level pengurus)
pada level anggota tidak aktif atau anggot biasa integrasi lebih banyak berada pada kualitas tinggi (54,4%), maka pada level pengurus tngkat desa/kecamatan, integrasi lebih semua berada pada kualitas sedang (100%).
B. Hasil Pengujian Hipotesis Sebagaimana
disebutkan
pada
bab
sebelumnya (Bab II, Landasan Teori) research questions penelitian ini adalah bagaimana dan mengapa interaksi
c. Kualitas Integrasi dan Keaktifan dalam Partai
sosial terjalin antara komunitas NU dan komunitas
Politik (NU)
Muhammadiyah di Jepara dan Yogyakarta? Selanjutnya,
67
68
setelah membaca berbagai teori terkait maka peneliti
keaktifan dalam organisasi politik. Semakin
menulis
aktif di oganisasi politik semakin rendah
hipotesis
yang
merupakan
jawaban
sementara terhadap permasalahan penelitian sebagai
kualitas integrasi.
berikut.
Untuk mengetahui hubungan antara
1. Ada hubungan antara kualitas integrasi dengan
variabel tergantung (kualitas integrasi) dengan
proporsi kependudukan. Kualitas integrasi lebih
berbagai variabel bebas dalam hipotesisi itu maka
tinggi di daerah yang lebih seimbang dibanding
dilakukan
daerah
signifikansi (TS). Bila TS lebih kecil dari 0,05 maka
yang
mayoritas
penduduknya
mengidentifikasi diri sebagai kelompok tertentu.
dengan
cara
melihat
tingkat
berarti ada hubungan antara varaiabel tergantung
2. Ada hubungan antara kualitas integrasi dengan
dengan masing-masing varibel bebas tersebut.
status sosial ekonomi. Semakin tinggi sosial
Dari uji hipotesis yang dilakukan terlihat
ekonomi semakin rendah kualitas integrasi
hal-hal sebagai berikut. Pertama, antara variabel
3. Ada hubungan antara kualitas integrasi dengan
kualitas integrasi dengan variabel mayoritas/
tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat
minoritas memiliki TS 0,271. Kedua, antara
pendidikan
variabel kualitas integrasi dengan variabel status
semakin
tinggi
pula
kualitas
integrasi
sosial ekonomi memiliki TS 0,473. Ketiga, antara
4. Ada hubungan antara kualitas integrasi dengan
variabel kualitas integrasi dengan variabel tingkat
aktifitas dalam organisasi keagamaan. Semakin
pendidikan memiliki TS 0,216. Kempat, antara
tinggi
variabel
aktifitas
keagamaan
dalam
semakin
suatu
tinggi
organisasi
pula
kualitas
kualitas
integrasi
dengan
variabel
keaktifan dalam organisasi sosial keagamaan
integrasi
memiliki TS 0,388. Kelima, antara variabel
5. Ada hubungan antara kualitas integrasi dengan
kualitas integrasi dengan variabel keaktifan 69
70
BAB VI
dalam politik praktis memiliki TS 0,139.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasar hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tingkat signifikansi hubungan antara variabel
kualitas
integrasi
(sebagai
A. KESIMPULAN
variabel
Setelah
tergantung) dengan berbagai variabel bebas yang
mengumpulkan
data
dan
menganalisanya sebagaimana tertulis pada bab
ada lebih besar dari 0,05.
V, maka peneliti membuat kesimpulan penelitian
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dalam integrasi antara Muhammadiyah dan NU
ini sebagai berikut.
di Yogyakarta dan Jepara, hubungan antara
1. Secara umum integrasi sosial terjalin dengan
kualitas integrasi dengan mayoritas-minoritas,
sangat baik antara NU dan Muhamadiyah di
tingkat
wilayah
pendidikan,
status
sosial
ekonomi,
penelitian.
Dari
sisi
kualitas,
keaktifan dalam organisasi sosial keagamaan dan
integrasi terjalin dalam kualitas rendah 0%,
keaktifan dalam partai politik, berada pada
kualitas sedang 51,7% dan kualitas tinggi
tingkat tidak signifikan.
(48,7%). 2. Komunitas NU memiliki kualitas integrasi tinggi
(60%)
lebih
banyak
dari
pada
Muhammadiyah (36,7%). Sementara pada kualitas integrasi sedang, Muhammadiyah (63,3%) lebih banyak dari pada NU (40%). 3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara
kualitas
integrasi
dengan
mayoritas-minoritas, tingkat pendidikan, 71
72
status sosial ekonomi, keaktifan dalam
mendalami
organisasi sosial keagamaan dan keaktifan
menopang jalinan integrasi sosial yang baik
dalam partai politik, dalam integrasi
antara
antara
Yogyakarta dan Jepara itu.
Muhammadiyah
dan
NU
di
realitas
yang
Muhammadiyah
sesungguhnya
dan
NU
di
Yogyakarta dan Jepara.
B. SARAN 1. Berbeda dengan asumsi atau mitos yang umum diyakini, ternyata di Yogyakarta dan Jepara tingginya kualitas integrasi antara NU dan
Muhammadiyah
tidak
berhubungan
secara signifikan dengan mayoritas-minoritas, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, keaktifan dalam organisasi sosial keagamaan dan keaktifan dalam partai politik. Karena itu untuk mengetahui variabel realitas yang berhubungan secara signifikan atau bahkan yang
memiliki
pengaruh
kuat
terhadap
kualitas integrasi disana diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. 2. Penelitian lanjutan ini seyogyanya melalui pendekatan kualitatif agar lebih mampu 73
74
DAFTAR PUSTAKA
Giddens,
Andito, Atas Nama Agama, Jakarta: Rajawalipers, 1998. Amal,
Ichlasul & Armaidy, Armawi (ed.), Sumbangan Ilmu Sosial Terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional, Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1996.
Amirin, Tatang M., Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali Pers, 1990. Bangura, Yusuf, The Search for Identity: Ethnicity, Religion and Political Violence, makalah ke6 World Summit for Social Development, Kopenhagen, 1995. Borgotta, Edgar F., Encyclopedia of Sociology. Ecip, S. Sinansari, Menyulut Ambon: Kronologi Merambatnya Berbagai Kerusuhan Lintas Wilayah di Indonesia, Bandung: Mizan, 1999. Eriksen, Thomas Hylland, Ethnicity and Naturalism. Anthropological Perspective, Colorado: Pluto Press London Boulder, 1993. Faisal, Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
75
Anthony, Human Societies A Reader, Cambridge: Polity Press, 1992.
Hadi, Sutrisno & Pamardiyanto, Seno, Seri Program Statistik, Yogyakarta: Universitas Gadjahmadda, 1997. Jary, David &Julia, Collins Dictionary of Sociology, Galsgow: HarperCollins, 1991. Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1990. Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, Jakarta: UI-Press, 1993. Mahli Zainuddin, Integrasi Antar Komunitas Agama: Islam dan Kristen di Kecamatan Ngampilan Yogyakarta, tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Sosiologi, Program Pasca Sarjana UGM, 2001 --------------------------, Integrasi Komunitas Islam dan Kristen Penelitian di Kalibawang, Kulonprogo-DIY, penelitian sosial keagamaan dibiayai Dirjen Dikti, 2003. Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998. Mudzhar,
M. Atho, Pendekatan Studi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Islam,
76
Mujiana, Potensi Konflik Antar Umat Beragama Masyarakat Majemuk, tesis diterbitkan pada Program Ketahanan Nasional, Program Sarjana UGM, 1999.
Dalam tidak Studi Pasca
O’Dea, Thomas F., Sosiologi Agama Suatu Pengenalan Awal, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.
Svalastoga, Kaare, Diferensiasi Sosial, Jakarta: Bina Aksara, 1989. Thayib, Anshari, dkk. (ed.), Hak Asasi Manusia dan Pluralisme Agama, Surabaya: Pusat Kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), 1997.
Retnowati, Agama, Konflik dan Integrasi Sosial (Rekonsiliasi Islam dan Kristen Pasca Kerusuhan Situbondo), tesis tidak diterbitkan pada Program Studi Sosiologi, Program Pasca Sarjana UGM, 2000. Robertson, Roland, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers, 1995. Shills, David L. (ed.), International Encyclopedia of Social Sciences, New York: The MacMillan Company and The Free Press, 1972. -------------------------- & Effendi, Sofian, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1982. Steenbrink, Karel, Kawan Dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942), Bandung: Mizan, 1995. Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1993. 77
78