Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
LAPORAN TIM PENELITIAN LAPANGAN PANINGGARAN 2011
ARTIKEL
MITOS AGRARIA DI DUSUN YANG DIKEPUNG TANAH NEGARA
Rudy Gunawan E. (SA/14887) Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
ABSTRAK Asumsi dasar dari konflik tanah ialah: tanah tidak bertambah, manusia semakin banyak; tanah tidak bertambah, kebutuhan dan hasrat manusia semakin kompleks. Ketegangan agraria muncul secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, yakni konflik terbuka antara pihak-pihak yang memperebutkan tanah. Secara implisit, di masyarakat ketegangan tidak muncul secara terang-terangan karena ketidakmampuan melawan kekuatan adat, negara, pihak-pihak yang menguasai. Masalah-masalah yang terkait agraria, atau soal tanah, tak hanya sekadar perkara konflik penguasaan dan perebutan tanah saja. Ketegangan-ketegangan juga terjadi secara tidak langsung, misalnya terbatasnya tanah namun tingkat pertumbuhan penduduk tinggi. Tanah sangat berharga bagi manusia, karena lewat tanah lah manusia hidup. Tanah merupakan tempat tinggal hingga sumber makanan. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme sendiri dalam perlakuannya terhadap tanah, masalah pendistribusian dan kepemilikannya. Adagium Jawa berbunyi “sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi tekaning pati” (seraut wajah dan sejengkal tanah, dipertahankan sampai mati). Terkait perlakuan masyarakat terhadap tanah, Mochammad Tauchid (2009:132) memaparkan hubungan antara desa atas tanah dalam lingkungannya bersifat antara lain: hubungan kebatinan atau keagamaan, hubungan yang bersifat ekonomis, dan hubungan kemasyarakatan. Bagi masyarakat di Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, persoalan tanah dibungkus oleh kebudayaan lokal yang muncul dalam bentuk norma, pola kekerabatan, gender, mitos, dan lain sebagainya. Tulisan menyoroti bagaimana posisi hubungan kebatinan antara masyarakat dan tanah yang direpresentasikan oleh mitos terhadap ketegangan-ketegangan agraria yang terjadi di Bedagung, Paninggaran. Kata kunci: agraria, pemukiman, mitos, ketegangan
1
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
“Selama kau menghargai tanah, kau takkan kelaparan.” – Mbah Soelis (dari novel Kembang Jepun, halaman 178, oleh Remy Sylado)
Pengantar Agraria, yang mengacu pada kata agraris, dapat dimaknai sebagai tanah, pertanahan, dan segala perlakuannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan1 (KBBI Daring), definisi agraria terbagi menjadi dua, yakni urusan pertanian atau tanah pertanian, dan urusan pemilikan tanah. Sementara menurut Undang-undang Pokok Agraria2 (UUPA), ruang lingkup agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, atau yang lebih dikenal dengan akronim BARAKA. Soal agraria menjadi isu penting karena soal tanah ini menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia; tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan (Tauchid, 2009:4). Karena nilainya yang sangat berharga, maka konflik ketegangan tanah selalu hadir di tengah-tengah dinamika sosial di masyarakat. Ada dua hal yang melatarbelakangi konflik antar manusia dari zaman purbakala hingga yang modern ini, yakni soal mempertahankan keturunan dan perebutan tanah (Tauchid, 2009:3). Tanah terbagi-bagi menjadi hak milik akibat adanya stratifikasi sosial, penguasaan produksi, kekuasaan politik dan sebagainya. Dengan adanya kepemilikan tanah, manusia berupaya mempertahankan atau bahkan memperluasnya untuk keberlangsungan hidup. Asumsi dasar dari konflik tanah ialah: tanah tidak bertambah, manusia semakin banyak; tanah tidak bertambah, kebutuhan dan hasrat manusia semakin kompleks. Ketegangan agraria muncul secara eksplisit maupun implisit. Secara eksplisit, yakni konflik terbuka antara pihak-pihak yang memperebutkan tanah. Secara implisit, di masyarakat ketegangan tidak muncul secara terang-terangan karena ketidakmampuan melawan kekuatan 1
Kamus Besar Bahasa Indonesia Dalam Jaringan ialah versi digital dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dirilis di internet. Saat ini KBBI Daring berpangkal dari KBBI edisi III. 2
Undang-undang Pokok Agraria ialah Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960.
2
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
adat, negara, pihak-pihak yang menguasai. Setiap masyarakat mempunyai mekanisme sendiri dalam perlakuannya terhadap tanah, masalah pendistribusian dan kepemilikannya. Adagium Jawa berbunyi “sadumuk bathuk sanyari bumi, ditohi tekaning pati” (seraut wajah dan sejengkal tanah, dipertahankan sampai mati). Bagi masyarakat di Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, persoalan tanah dibungkus oleh kebudayaan lokal yang muncul dalam bentuk norma, pola kekerabatan, gender, mitos, dan lain sebagainya. Terkait perlakuan masyarakat terhadap tanah, Mochammad Tauchid dalam karya klasiknya Masalah Agraria memaparkan hubungan antara desa atas tanah dalam lingkungannya bersifat antara lain: hubungan kebatinan atau keagamaan, hubungan yang bersifat ekonomis, dan hubungan kemasyarakatan (2009:132). Lewat tulisan ini secara khusus saya menyoroti bagaimana posisi hubungan kebatinan antara masyarakat dan tanah yang direpresentasikan oleh mitos terhadap keteganganketegangan agraria yang terjadi di Dusun Bedagung. Berangkat dari pernyataan Tauchid “hubungan religius antara tanah dengan perseorangan masih tetap ada hampir di seluruh Indonesia” (2009:133), maka tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan apakah mitos tentang tanah di Bedagung memiliki keterkaitan dengan konflik agraria yang terjadi di sana? Jika terdapat keterkaitan, bagaimana mitos tersebut dapat mempengaruhi ketegangan yang ada?
Tentang Dusun Bedagung Desa Bedagung terletak di bagian paling utara Kecamatan Paninggaran, Kabupaten Pekalongan, sekitar 17 kilometer ke arah utara kota kecamatan Paninggaran, dan 28 kilometer ke kota kabupaten Kajen. Kecamatan Paninggaran sendiri ialah satu dari empat 'daerah atas' atau dataran tinggi di Kabupaten Pekalongan. Daerah atas lainnya yakni Kecamatan Lebakbarang, Kecamatan Petungkriyono, dan Kecamatan Kandangserang. Desa Bedagung bisa dikatakan salah satu desa dengan wilayah terluas di Kecamatan Paninggaran, dengan luas 6.939,58 hektar atau sekitar 14% dari total luas Kecamatan Paninggaran. Meskipun mempunyai daerah yang sangat luas, namun Desa Bedagung juga 3
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
tercatat sebagai desa dengan kepadatan penduduk paling sedikit. Dari tiga dusun di desa ini, menurut catatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah3 (RPJM) Desa Bedagung 20112015, hanya terdapat 225 kepala keluarga dengan sebaran 810 jiwa. Berada di wilayah pegunungan, sebagian besar wilayah Desa Bedagung merupakan hutan lindung, hutan produksi Perhutani, dan area persawahan. Rincian pemanfaatan lahan antara lain: 670 hektar hutan lindung, 667,72 hektar hutan produksi perhutani, 30 hektar tegalan atau ladang, 25,51 hektar tanah perkebunan rakyat, 23 hektar sawah tadah hujan, dan sisanya 5 hektar pemukiman penduduk. Dusun Bedagung merupakan salah satu dari tiga dusun di Desa Bedagung, sekaligus juga berperan sebagai 'ibu desa'. Dusun lainnya yakni Dusun Sijaha dan Dusun Bulupitu. Dusun ini berada di bagian barat desa, dan menjadi dusun yang pertama dijumpai jika mengambil jalan dari jalan raya Paninggaran –yang merupakan jalan satu-satunya memasuki Desa Bedagung. Dusun Bedagung terletak di bagian lembah, dan dikelilingi oleh persawahan di bagian barat dan timur dusun, serta hutan lindung dan hutan produksi Perhutani. Sebagai 'ibu desa', maka Balai Desa, Sekolah Dasar, dan Pos Pelayanan Kesehatan ada di dusun ini. Pemukiman padat dengan total 68 rumah. Menurut Register Penduduk Dusun Tahun 2010, terdapat 114 kepala keluarga di Dusun Bedagung, dengan sebaran 332 jiwa. Mata pencaharian mayoritas penduduk Dusun Bedagung ialah pada sektor pertanian. Ada yang menjadi petani sendiri dan juga buruh tani. Untuk menunjang perekonomian, sebagian besar penduduk bekerja sebagai buruh sadap getah pinus untuk Perhutani. Kegiatan pertanian dilakukan di sawah tadah hujan, yang ditanami padi sekali setahun dan bergantian dengan jagung. Selain itu warga juga mengusahakan alternatif lain seperti teh, kopi, dan cengkeh. Di luar pertanian, hampir semua warga mempunyai ternak sapi, kerbau, dan kambing. Bertani umumnya merupakan mata pencaharian subsisten, di mana hasilnya hanya digunakan untuk rumah tangga sendiri, tidak dijual. Karena kondisi geografis yang tidak memungkinkan, seperti keterbatasan lahan, kurangnya keahlian, dan faktor tanah, maka 3
Rencana Pembangunan Jangka Menengah disusun oleh perangkat desa yang antara lain berisikan: kondisi desa, sejarah desa, demografi, keadaan sosial, keadaan ekonomi, kondisi pemerintahan desa, pembagian wilayah desa, struktur organisasi pemerintah desa, potensi dan masalah, visi dan misi pembangunan, kebijakan pembangunan, program pembangunan, hingga strategi pembangunan desa.
4
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
warga tidak menanam sayur-mayur. Untuk memenuhi kebutuhan akan sayur, warga membelinya di pasar dengan uang hasil penghasilan utama, misalnya hasil menyadap getah pinus.
Tanah Negara: Hutan Lindung dan Hutan Produksi Menurut penuturan Pak Bejo4, salah seorang perangkat desa, dulu di era HindiaBelanda, luas tanah warga Bedagung hampir tidak ada bedanya dengan sekarang. Waktu itu sempat ada wacana membuat perkebunan kopi dan kina di daerah Gununglumping, sebuah bukit di dekat Dusun Bedagung, namun tidak terealisasikan karena invasi Jepang. Setelah merdeka pun, pemerintah Indonesia tidak meneruskan wacana perkebunan ini. Setelah merdeka inilah dilakukan pengukuran tanah pada tahun 1947. Tanah negara milik pemerintah Hindia-Belanda diakuisisi oleh Indonesia, dan sebagian lagi dibeli dari masyarakat untuk hutan lindung dan hutan produksi. Pembelian tanah dari masyarakat secara besar-besaran ini hanya terjadi sekali saja. Bagian pertama tanah negara di Desa Bedagung ialah hutan lindung. Hutan lindung sudah ada sejak era Hinda-Belanda. Contoh pohon-pohonnya antara lain sengon dan randu. Bagian kedua ialah hutan produksi yang dikelola oleh Perhutani. Mayoritas tanaman hutan produksi ini ialah pinus yang diambil getahnya. Luas dua bagian ini hampir merata, 670 hektar untuk hutan lindung dan 667,72 hektar untuk hutan produksi. Penanaman pertama hutan pinus terjadi pada tahun 1953. Usia per pohon biasanya mencapai 30 sampai 40 tahun. Tahun 1990 ada penanaman lagi menggantikan pohon generasi pertama. Sekarang pinus-pinus tua yang hampir berusia 60 tahun hanya ada di daerah Sijaha. Di daerah Bedagung terdapat dua pos penimbangan getah pinus. Satu di Bedagung dan satunya di Sijaha. Pos-pos ini dibawahi oleh seorang mandor. Biasanya penyadap menyetor hasil setiap tiga hari sekali. Harga getah pinus per kilogramnya Rp. 2.000,-. Setiap hari satu pohon bisa menghasilkan sekitar 7 gram getah. Getah pinus ini biasanya diolah menjadi produk seperti terpentin dan gondorukem, yang pabriknya ada di Desa Domiyang. 4
Nama informan disamarkan. Selanjutnya nama semua informan di artikel ini disamarkan dengan alasan privasi.
5
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
Tanah Pribadi: Sawah, Ladang, dan Perkebunan Rakyat Area persawahan di Dusun Bedagung terbagi menjadi dua, yakni di bagian timur dusun dan bagian barat dusun. Terletak di lembah, yang dilewati kali yang cukup besar dan deras. Lembah ini dikelilingi oleh hutan lindung dan hutan pinus. Petak-petak sawah warga tak terlalu besar, dibuat beberapa sengkedan karena tanahnya tidak rata. Sebagian besar masih mengandalkan pengairan sederhana. Luas sawah tadah hujan mencapai 30 hektar, dan terdapat pula 23 hektar tegalan atau ladang. Untuk padi, biasanya dalam setahun dua kali panen, namun belakangan ini hanya sekali. Januari ialah waktu untuk pembibitan padi. Penanaman padi dilakukan pada bulan Februari. Sementara Agustus panen padi. Dan untuk jagung, penanaman dilakukan bulan Agustus setelah panen padi. Biasanya panen jagung dilakukan pada September atau Oktober. Selain sawah tadah hujan dan ladang, lahan milik warga juga meliputi tanah perkebunan rakyat yang luasnya 25,51 hektar. Distribusi lahan teh ialah sekitar 10 hektar di Bulupitu, 10 hektar di Bedagung, sisanya 5 hektar di Sijaha. Salah satu komoditi utama tanah perkebunan rakyat ini ialah teh. Teh masuk Bedagung pada tahun 1985. Tahun itu juga dilakukan penanaman pertama. Teh ditanam di tanah milik warga dengan bantuan pengolahan tanah, pembibitan, penanaman, dan perawatan pertama oleh pihak Pabrik Teh Pagilaran yang membuka cabang di Kaliboja. Pabrik teh dengan merk Teh Sigma ini sendiri berpusat di Kabupaten Batang. Implikasi penanaman teh ini adalah kontrak. Petani teh memiliki kontrak penjualan dengan Pabrik Teh Pagilaran, yakni menjual ke Kaliboja. Petani dilarang menjual teh ke pihak lain. Tiap Jumat siang akan datang truk pengangkut teh dari Kaliboja menuju Bulupitu. Selain itu, warga juga menanam kopi dan cengkeh. Kedua hasil bumi ini dijual di Pasar Induk Kajen. Lahan warga ada juga yang ditanami pinus, lalu dijual pohonnya ke Perhutani. Yang dijual hanya pohonnya saja, tidak termasuk tanahnya. Biasanya yang dijual sekitar 15 hingga 50 pohon. Praktik penjualan pohon pinus ini banyak terjadi di Sijaha. Warga Bedagung tidak mempunyai sertifikat tanah untuk rumah, pekarangan, maupun sawah dan ladang. Yang memiliki hanya mereka yang menanam teh, untuk kebun tehnya, dan 6
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
diurus pembuatannya oleh perusahaan. Untuk pekarangan dan lahan pertanian warga cukup membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saja
Pemukiman di Dusun Bedagung Area pemukiman di Dusun Bedagung menumpuk hanya di satu tempat, dengan luas hanya sekitar 5 hektar. Bedagung terletak di lembah cekungan, pemukiman berada di tengahtengah dikelilingi lagi oleh tanah pertanian dan dikelilingi lagi oleh tanah negara berupa hutan lindung dan hutan produksi. Pak Bejo menuturkan bahwa dulu sekitar tahun 1970-an di Bedagung hanya ada sekitar 30 rumah, dengan jarak yang berjauhan. Rumah kala itu sudah dianggap besar jika berukuran paling tidak 4 x 5 meter. Sekarang rata-rata rumah di Bedagung ukurannya hampir sama, antara 4 x 5 meter atau 5 x 6 meter. Makin lama penduduk makin bertambah dan pemukiman makin padat, sehingga jalan di dusun pun menjadi sempit. Jalan yang lebar, bisa dilalui roda empat hanya sampai depan mesjid. Terdapat 62 rumah di Dusun Bedagung. Hampir semuanya sudah berupa rumah permanen, dengan sebagian sudah terbuat dari beton. Rumah-rumah penduduk benar-benar padat. Jalanan di dusun hanya jalan setapak selebar 1 meter yang diaspal dan dicor. Rumahrumah dibuah mepet dan tak terlalu besar untuk menghemat lahan Tipe rumah-rumahnya hampir seragam, rumah beton dikeramik di bagian depan. Beberapa rumah diberi tiang dan pagar beton di teras depan. Untuk contoh rumah di Dusun Bedagung, saya menggunakan sampel rumah tuan rumah saya, Pak Ali. Saya menghitung ukuran rumah Pak Ali dengan menggunakan keramik. Satu satuan keramik dihitung 30 sentimeter. Kira-kira per ruangan di rumah Pak Takhim berukuran sebagai berikut: ruang tamu 5,7 x 2,5 meter, ruang tengah 3 x 2,4 meter, kamar depan 2,7 x 2,4 meter, kamar belakang 2,1 x 2,5 meter, dan dapur 3,6 x 2,5 meter. Dari penghitungan per ruangan, dapat dikira-kira ukuran rumah Pak Ali ialah 5,7 x 7,4 meter. Di rumah Pak Ali, biasanya ada enam orang yang menghuninya, yang terbagi menjadi dua kepala keluarga. Masing-masing kepala keluarga menempati satu kamar. Kamar depan
7
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
ditempati oleh puteri Pak Ali, beserta suami dan anaknya. Kamar belakang ditempati oleh Pak Ali, beserta istri dan anaknya. Rumah-rumah di Bedagung rata-rata terdiri dari satu keluarga per rumah, sebagian di antaranya malah dua kepala keluarga atau lebih per rumah. Ada hingga per rumah dua kepala keluarga atau lebih ialah karena tanah yang tersedia untuk pemukiman sudah terlampau sempit. Dari buku data penduduk Dusun Bedagung, saya mendapatkan angka sebagai berikut. -
Jumlah rumah
: 62 rumah
-
Jumlah kepala keluarga
: 114 kepala keluarga
-
Jumlah jiwa
: 332 jiwa
Dari situ saya menghitung lagi untuk mengetahui kategori kepala keluarga menurut jumlah anggota keluarga dan kategori jumlah kepala keluarga per satu rumah. Untuk kategori kepala keluarga menurut jumlah anggota keluarga: -
1 orang / kepala keluarga
: 13
-
2 orang / kepala keluarga
: 23
-
3 orang / kepala keluarga
: 48
-
4 orang / kepala keluarga
: 22
-
5 orang / kepala keluarga
:7
-
6 orang / kepala keluarga
:1
Untuk kategori jumlah kepala keluarga per satu rumah: -
1 kepala keluarga / rumah
: 31
-
2 kepala keluarga / rumah
: 28
-
3 kepala keluarga / rumah
:9
Dari angka-angka tersebut dapat dilihat bahwa jumlah anggota keluarga per satu kepala keluarga rata-rata ialah tiga orang, dan kadang bisa juga dua atau empat orang. Terlihat bahwa tiap orangtua seringkali hanya mempunyai satu atau dua anak saja. 8
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
Dari sana juga dapat dilihat bahwa sebagian rumah di Bedagung dihuni oleh dua kepala keluarga atau lebih ada 37 rumah, dan 28 rumah oleh dua kepala keluarga, serta 9 rumah oleh tiga kepala keluarga. Hanya ada 68 rumah untuk menampung 114 kepala keluarga, atau total 332 jiwa.
Masalah Seputar Lahan Pemukiman Dusun Bedagung benar-benar dikelilingi, atau boleh dikatakan 'dikurung' oleh tanah negara, yang dikelola Perhutani sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Kesulitan yang muncul adalah jika terjadi ledakan penduduk, pemukiman yang sudah sempit ini diperluas hingga ke sawah, yang juga sudah sempit. Lahan milik warga sudah tak ada yang berupa lahan kosong, namun sudah dimanfaatkan sebagai rumah dan pekarangan. Juga sebagai sawah, kebun teh, dan lain sebagainya. Sehingga bisa dikatakan lahan pertanian tak bisa diperluas lagi, malah cenderung berkurang karena makin meluasnya pemukiman akibat pertambahan penduduk. Penduduk yang terus bertambah lewat kelahiran dan migrasi perkawinan, didorong faktor jarangnya orang Bedagung yang pindah atau bekerja di luar. Sementara itu lahan pertanian makin menyempit karena pertambahan penduduk menuntut perluasan pemukiman. Saat ini terlihat sebagian rumah sudah menampung dua kepala keluarga atau lebih. Dalam beberapa waktu kemudian jelas kebutuhan akan perluasan pemukiman semakin mendesak. Pemukiman sukar untuk diperluas, sehingga sekarang di hampir tiap rumah dihuni oleh dua kepala keluarga, tiga kepala keluarga, bahkan lebih. Ada kecenderungan warga enggan membangun rumah jauh dari pemukiman karena masalah akses jalan yang ditakutkan sulit dilalui kendaraan. Karena itu tanah di lereng dekat SD tidak dibangun rumah. Karena hampir semua keluarga mempunyai sepeda motor, maka warga ingin membangun rumah yang dekat dengan akses jalan. Warga Bedagung tak ada yang mempunyai tanah di luar desa. Karena itulah sulit untuk bermigrasi keluar, kecuali ada laki-laki yang menikah dengan perempuan dari desa lain, maka akan pindah menurut jalur matrilineal dan matrilokal.
9
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
Pak Bejo, sebagai perangkat desa yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di Desa Bedagung, menyatakan bahwa pemukiman bisa diperluas ke arah timur. Dulu pernah Pak Bejo mengusulkan pembangunan SD di tanah sekitar sawah timur dusun, dengan harapan jika dibangun SD di sana maka jalan aspal ke sana akan mudah diajukan pembangunannya. Ini bisa menjadi modal awal untuk perluasan pemukiman. Rencana ini tak disetujui sebagian warga karena menganggap tanah di sana keramat.
Mitos Tanah di Bedagung Sebelum memaparkan tentang mitos mengenai tanah di Dusun Bedagung, terlebih dahulu diceritakan asal-muasal Bedagung. Cerita asal-muasal ini sedikit-banyak terkait dengan mitos tanah yang dipermasalahkan tersebut. Bedagung berasal dari kisah Kyai Da’i Jaimin yang mempunyai empat putra yakni: Kyai Marga Jati, Kyai Bangun Nadi, Kyai Taman Sari, dan Kyai Merta Praya. Di suatu hari keempat kyai tersebut bertemu dengan utusan Syekh Maulana Maghribi yang diutus mengejar Putri Tanjung yang sedang diperebutkan oleh Bupati Luwuk dan Bupati Runcang untuk dijadikan istri. Di Bukit Sigrayang, Putri Tanjung yang sedang bersembunyi bisa ditemukan dan akhirnya dipaksa pulang. Dengan rasa kesal Putri Tanjung berkata, "jahat temen ka weruh..." dan seketika itu juga tempat itu dikenal masyarakat dengan nama Sijahat atau Sijaha, yang menjadi cikal-bakal Dusun Sijaha. Dalam perjalanan pulang ketujuh orang tersebut dihadang badai dan hujan yang sangat lebat sehingga terpaksa harus berteduh dibawah pohon Mbulu dan sampai sekarang tempat tersebut dikenal dengan nama Dusun Bulupitu. Kabar tempat persembunyian Putri Tanjung pun sampai ditelinga Bupati Luwuk dan Bupati Rancang. Lalu mereka mengirim utusan untuk menjemputnya. Naas benar bagi keempat Putra Kyai Da’i Jaimin itu, karena tanpa sepengetahuan mereka berempat ternyata Putri Tanjung pergi melarikan diri dari tempat persembunyiannya. Bupati Luwuk dan Bupati Rancang pun murka karena tidak bisa menemui Putri Tanjung,dan menyuruh prajuritnya untuk menangkap keempat kyai tersebut karena dikira menyembunyikan Putri Tanjung.
10
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
Tetapi merasa bahwa mereka berempat merasa tidak bersalah, dan untuk menghindari keributan akhirnya mereka pergi. Namun Bupati Luwuk dan Bupati Rancang dengan semua prajuritnya terus mengejar dan mengejar (mbedag). Dalam pengejaran keempat kyai tersebut dikenal dengan Bedagung yang berasal dari peristiwa mbedag-mbedag wong agung. Dengan perkembangan zaman dikenal tempat tersebut dengan nama Dusun Bedagung. Sekarang terdapat tiga canden atau petilasan di Desa Bedagung. Yang pertama ialah Sikenteng, terletak di dekat sawah di seberang kali. Diziarahi tiap Kamis Kliwon. Yang kedua, Gununglumping, terletak di puncak bukit di tengah hutan. Ditempuh dengan berjalan kaki sekitar satu jam dari Dusun Bedagung. Ini merupakan petilasan yang paling tua. Diziarahi Kamis dan Jumat Kliwon. Dan yang ketiga, Bantarayu, terletak di dekat Sijaha. Biasa dipakai tempat nyadran, atau slametan bersih makam. Diziarahi tiap Jumat Kliwon. Ketiga petilasan itu biasanya dikunjungi banyak orang dari kota, terutama Bojong Pekalongan dan bahkan Jakarta, untuk berziarah dengan tujuan agar memperoleh jabatan atau pangkat tinggi. Orang Bedagung sendiri ziarah untuk kesuksesan panen. Petilasan dan tanah di sekitarnya dianggap keramat sekaligus angker oleh masyarakat setempat. Itulah mengapa ada kepercayaan bahwa di tanah sekitar petilasan tidak boleh didirikan bangunan, terutama bangunan pemukiman. Kepercayaan atau mitos tentang tanah ini dijelaskan Tauchid sebagai “hubungan seseorang dengan tanah tidak seperti hubungan antara orang dengan alat-alat penghasilan lainnya yang dianggap sebagai barang yang mati” (2009:133).
Kesimpulan Perluasan areal pemukiman ialah rencana jangka panjang Dusun Bedagung untuk mengakomodir pertumbuhan penduduk. Total luas tanah pribadi kepunyaan warga Bedagung yang hanya berjumlah sekitar 83 hektar –di mana sebagian besarnya berupa area pertanian dan perkebunan– tak bisa diperluas lagi karena dikelilingi oleh tanah negara, berupa hutan lindung dan hutan produksi. Tanah yang dimiliki negara memang tidak bisa diminta atau dibeli oleh warga. Namun ada opsi tukar tanah. Misalnya seseorang memiliki tanah di suatu daerah yang dekat 11
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
dengan hutan pinus perhutani seluas misalnya 5 hektar, maka bisa ditukar dengan 5 hektar tanah Perhutani di Bedagung. Sayangnya belum ada warga yang memenuhi syarat tersebut. Pemukiman tidak bisa diperluas ke arah barat dusun karena tidak bisa dibuat jalan besar yang dapat dilalui kendaraan roda empat yang bisa mencapai sana. Maka satu-satunya opsi hanyalah perluasan ke arah timur dusun, yakni ke arah petilasan Sikenteng. Tetapi sampai saat ini satu-satunya opsi perluasan areal pemukiman itu masih ditentang sebagian warga karena masih ada kepercayaan bahwa tidak boleh mendirikan bangunan di tanah di sekitar petilasan. Salah satu cara yang dilakukan hingga saat ini untuk mengatasi masalah minimnya lahan pemukiman ialah dengan rumah yang dihuni oleh lebih dari satu kepala keluarga. Namun sampai kapan solusi jangka pendek ini dapat dipertahankan? Tentunya dalam beberapa tahun ke depan rumah-rumah akan semakin ‘penuh’, dan kebutuhan akan pemukiman baru tak bisa ditunda lagi. Salah satu faktor kemungkinan dapat diperluasnya pemukiman ke arah timur dusun ke depannya ialah apabila orientasi masyarakat terhadap tanah sudah berubah. Salah satu perubahan orientasi terhadap tanah misalnya bagaimana tanah tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya sumber penghidupan. Dari titik ini akan dikaitkan bagaimana hubungan kebatinan antara masyarakat dan tanah menjadi melemah. Pertanyaannya apakah pasti akan terjadi perubahan orientasi ke arah sana? Tentu belum pasti. Dusun Bedagung dengan lahannya yang minim tak hanya ‘terkepung’ oleh tanahtanah negara, namun juga masih terkukung mitos seputar tanah yang mengakibatkan pergerakan perluasan pemukiman menjadi terhambat. Namun mitos tanah itu bisa menjadi dualisme. Di satu sisi larangan pendirian bangunan di tanah keramat menyebabkan terhambatnya perluasan pemukiman. Di sisi lain mitos ini ‘menjaga’ lingkungan di sekitar petilasan menjadi tetap ‘alami’ tanpa terjamah pembangunan yang mulai gencar hingga pelosok desa. Yang jelas ada keterlibatan kuat mitos dalam ketegangan-ketegangan agraria di Dusun Bedagung. ***
12
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
Bibliografi Buku Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya. Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan. Peluso, Nancy Lee. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Jakarta: Konphalindo. Sadikin & Samandawai, Sofwan. 2007. Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa. Bandung: Yayasan AKATIGA. Tauchid, Mochammad. 2009. Masalah Agraria: Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press. Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria. Jakarta: SAINS.
13
Mitos Agraria di Dusun yang Dikepung Tanah Negara
Rudy Gunawan E.
14