MISI MOORE Fred Merrick White
2016
Misi Moore Diterjemahkan dari: By Woman's Wit karangan Fred Merrick White terbit tahun 1900 (Hak cipta dalam Domain Publik) Penerjemah : Ilunga d’Uzak Penyunting : Kalima Insani Penyelaras akhir : Bared Lukaku Penata sampul : Bait El Fatih Diterbitkan dalam bentuk e-Book oleh: RELIFT MEDIA Jl. Amil Sukron No. 47 Kec. Cibadak Kab. Sukabumi Jawa Barat 43351 SMS : 0853 1179 4533 Surel :
[email protected] Situs : reliftmedia.com Pertama kali dipublikasikan pada: Februari 2016 Revisi terakhir: Juni 2017 Copyright © 2016 CV. RELIFT Hak kekayaan intelektual atas terjemahan dalam buku ini adalah milik penerbit. Dilarang mengutip dan/atau memperbanyak seluruh atau sebagian isi buku ini dalam bentuk dan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, bisnis, organisasi, tempat, peristiwa, dan kejadian hanyalah imajinasi penulis. Segala kemiripan dengan seseorang, hidup atau mati, peristiwa, atau lokasi kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Ebook ini adalah wujud kesungguhan kami dalam proyek penerjemahan sastra klasik asing. Kami menyebutnya RELIFT: Mengangkat Kembali, dari masa lalu untuk masa kini hingga masa depan. Pembaca dapat turut mendukung kami dengan mengklik iklan sponsor di situs dan blog kami.
“Mampus, mampus, mampus, mampus. Isterimu pengantin. Isterimu pengantin. Mampus, mampus, mampus, mampus. Isterimu pengantin, isterimu pengantin.” Lirik geram dipalu berulang-ulang ke dalam otak Newton Moore oleh gemerincing dan gemuruh lintasan mengkilat. Corengan emas dan merah tua, diselimuti awan uap, melaju di atas logam putih perak—jalur berapi-api yang orang sebut South East European Express. Suara mesin kompon besar berkata demikian kepada Newton Moore. Bagaimanapun dia akan mampus, dan bukankah isterinya masih pengantin? Abdi British Secret Service Fund paling berharga dan terpercaya ini telah mengecup bibir isterinya satu kali, lalu memalingkan paras pucatnya ke Timur atas perintah pimpinan. “Ini tugas tersulit yang pernah kau dapat,” kata Sir Gresham Welby kepadanya. “Tapi apapun yang terjadi, kau harus urus ini sampai tuntas, atau akan bernasib seperti Rigby, Long, dan Mercer. Kau leluasa, dan seluruh sumber daya Secret Service Fund mendukungmu.” Moore merinding. Dia pria yang dikutuk dengan imajinasi gamblang. Teror gaib senantiasa mematahkan keberaniannya. Tapi saat berhadap-hadapan dengan bahaya dia menjulang jaya 5
di atas keadaan. Dia melukiskan dirinya sebagai pecundang, padahal pahlawan. Imajinasinya memperbesar bahaya tak kasat mata, tapi daya cipta ini juga yang mengajarinya momen tepat untuk menyerang. “Apa kau pantas untuk tugas ini?” tanya Sir Gresham tibatiba. Di matanya Moore tampak kurus dan pucat. Kacamata jepit memberinya kesan keringanan. “Setahuku tak ada staf lain yang mampu melakukannya,” sahutnya. “Dan ini bukan perkara biasa. Tiga orang terbaik yang kita miliki dibunuh secara misterius, dan kita belum dapat solusi. Tapi tak banyak yang bisa dicaritahu.” “Aku sependapat denganmu, Moore. Kita hampir siap menjamin integritas Pangeran Boris dari Contigua, tapi kita tahu Rusia memanfaatkan Istana dan provinsi untuk menimbulkan ketidakpuasan di perbatasan India, dan mengirim senjata kepada rakyat Mancunis. Kalau ini tak dihentikan, tak lama lagi kita akan menghadapi masalah amat serius di India. Isyaratisyarat juga tak menghendaki rakyat Contigua dihasut melawan Pangeran Boris. Kalau ada revolusi, Rusia punya dalih bagus untuk masuk dan menganeksasi provinsi itu. Dan kita tahu apa akibatnya nanti.” 6
“Ya,” timpal Moore, “dan aku hafal betul negeri itu. Novel terakhirku didasarkan pada perpolitikan Contigean. Puteri Natalie senang sekali dengan buku tersebut. Dan aku yakin dia di pihak kita.” “Kau punya karakter aneh,” kata Sir Greshman. “Semoga imajinasimu menemukan solusi untuk masalah ini. Kita tak ingin ada tragedi lagi. Dan ingat, kau diberi keleluasaan. Laporkan pada kami siapa yang melakukan kejahatan ini, dan kami tak minta lebih. Untuk sementara kau adalah penjelmaan Secret Service Fund.” Moore hampir sampai di tempat tujuan. Tiga rekan pemberani telah binasa dalam misi yang sama, tewas secara misterius, sampai-sampai Pemerintahan Ratu tak mampu melempar tuduhan pada siapapun. Mereka dirobohkan satu persatu, sebelum sempat menginjakkan kaki di Tenedos, ibukota Contigua. Dan, sepanjang yang dia ketahui, nasib sama menantinya 20 mil lagi. Sementara ini dia sangat ketakutan. Ancaman pasif selalu membuatnya nyaris sakit fisik. Imajinasi menggetarkannya. Dia tak mau makan, dia tak mau melakukan apa-apa selain mengisap rokoknya yang mudah dijumpai. Jurusan panjang merah dan emas yang bergoyang segera 7
terdiam. Sudah sampai di perbatasan. Dan urusan jengah Bea Cukai harus dilalui. Semua ini bukan apa-apa bagi Moore, sebab kopornya sudah ditandai dan dilewatkan dua hari lalu. Dia keluar dari gerbong dan berjalan ke ruang makan, di mana hanya kopi dan kréker yang dapat diperoleh. “Aku harus menggigit sesuatu, “gumamnya. “Aku belum makan selama 30 jam. Apa di sini ada kréker.” Hanya satu pelayan yang hadir. Dia membawakan kopi panas beraroma tajam dan dua kréker pipih besar di atas piring. Moore sudah makan salah satu kue tepung tipis itu, tapi dia mengamati satunya lagi dengan ragu. Sambil lesu diremukkannya kue ini dengan jari. Suatu zat asing—kertas—jatuh ke atas piring. Moore terkaku, mendadak paham. Seseorang yang kurang imajinatif akan memesan kréker baru. Tapi Moore mencium plot di sini. Diratakannya carikan kertas itu, dan cukup pasti ada pesan di dalamnya. “Jangan terus naik kereta ke Tenedos,” bunyinya. “Usahakan supaya ketinggalan. Di desa kau bisa dapatkan kuda pos ke tempat tujuanmu. Jangan berangkat sebelum jam enam petang, dan kau akan sampai di Tenedos menjelang tengah malam. Mintalah ditunjukkan ke penginapan besar di Varna Road.” Tak ada banyak waktu untuk menganbil keputusan. Surat ini 8
mungkin datang dari seorang teman ataupun musuh. Moore memutuskan bertindak menurut intuisi yang jarang mengelabuinya. Dia tetap di tempat. Bahasa poliglot negeri tersebut bukanlah barang asing baginya. Dalam satu jam dia sudah tertampung aman di bangunan besar tak karuan di Varna Road, di mana dia dapat memperoleh sepasang kuda untuk membawanya ke Tenedos hari itu juga. Mungkin ini cuma kecurigaan Moore, tapi dia merasa pemilik penginapan gendut tua beranting perak sama sekali tidak kaget dengan kedatangan tamunya. Roman montoknya kurang tenang, mata mungilnya membuntuti Moore dengan gusar. “Yang Mulia perlu kamar pribadi?” ucapnya, lebih dari usulan. Moore mengangguk asal-asalan. Dia cukup siap bermain sesuai aturan. Kamar rendah besar berpanel gelap tidak cukup terang dengan dua lilin redup di atas kandelar kuningan. Suasananya gelap dan berat. Moore memutar kunci di dudukannya, dan belum selesai mengunci ketika pintu lain terbuka dan masuklah seorang perempuan. Sang Puteri berdiri di depannya, gelap, cantik, gemetar penuh emosi—perempuan jelita yang punya sejarah, perem9
puan ambisius yang punya kebencian hebat terhadap Rusia, dan membara dengan kecintaan untuk negeri sterilnya sendiri. “Dengarkan aku,” katanya. “Aku tahu kau akan datang, tapi intinya, yang lain juga tahu. Andai kau meneruskan perjalanan ke Tenedos sesuai rencana, kau pasti sudah mati sebelum pagi. Alangkah senang, senangnya aku karena kau menggubris peringatanku.” “Itu cukup samar, Yang Mulia,” balas Moore. “Karena aku tidak bisa membuatnya lebih terang. Kiranya kau tahu sistem spionase yang merintangiku! Ada seorang pengkhianat di kamp, dan pengkhianat itu sudah dapat pengaruh di Istana. Pangeran ada dalam kekuasaannya, dan dia menarik keuntungan tanpa pertimbangan moral. Dan, yang paling parah, dia agen Rusia.” Moore cukup siap mendengar semua ini. Sebagai agen Secret Service Fund, sudah menjadi kewajibannya untuk datang kemari dan membongkar mata-mata Rusia yang melakukan semua kejahatan tersebut. Begitu ini selesai, tugasnya praktis berakhir. Tapi, pada saat bersamaan, dia sadar akan bahaya di hadapannya. “Yang Mulia membahayakan diri dengan datang kemari,” ucapnya. 10
“Sampai taraf tertentu, ya. Tapi saat aku tahu kau agen yang dipilih Pemerintah Inggris, kurasa harus sekarang atau tidak selamanya. Hari ini aku mengatur pesta berburu di sekitar sini, dan aku berhasil menghindar dari rombongan. Masyarakat di sini setia dan mengabdi padaku. Sebentar lagi aku harus menyelinap dan bergabung kembali dengan yang lain. “Dengan ketinggalan kereta, untuk sementara kau sudah membingungkan orang-orang yang hendak membunuhmu. Dalam situasi normal mereka takkan menanti kedatanganmu sebelum besok malam. Kau akan berbaring tenang, dan besok sore beritahukan Pangeran bahwa kau di Tenedos. Terus kau akan diminta bergabung dengan kami dalam makan malam besok. Habis itu, semua tergantung pada nyali dan keberanianmu. Kalau kau berani, bukan hanya tujuanmu tercapai, Contigua juga akan terselamatkan. Terserah kau mau membongkar Zouroff dan membuatnya tak berdaya untuk masa mendatang. Adapun isterinya, aku yang urus.” Bahkan dalam cahaya redup mata Puteri Natalie menyala. Perempuan ini tergerak oleh perasaan yang lebih dominan daripada patriotismenya—oleh hasrat untuk dilampiaskan kepada wanita yang telah menzaliminya. “Jadi Zouroff dalangnya,” tinjau Moore. “Pria cerdik, dan tak 11
bermoral. Orang bilang isterinya tiada taranya.” “Dia
memang
menawan,”
Puteri
mengakui. “Saking
menawan, dia berkuasa penuh atas seorang suami yang pernah mencintaiku, tidak, masih mencintaiku, andai saja bebas dari pesona penyihir cantik itu. Dan Zouroff bisa mendorong Boris dari singgasana kapanpun dia mau.” “Dia memegang rahasia suamimu, sang Pangeran?” “Ya. Sebaiknya aku terus-terang denganmu. Kau ingat upaya gagal sepuluh tahun silam untuk menyatukan semenanjung ini menjadi satu kerajaan. Para Adidaya memberhentikan tak kurang tiga pangeran gara-gara itu. Skemanya Zouroff. Bertindak demi kepentingan Rusia. Dan dia menyimpan bukti bahwa Boris termasuk orang yang tidak puas. Makanya kau lihat betapa kecil genggaman kedudukan kami. Hari demi hari pengaruh Boris menyusut, hari demi hari Zouroff menggerakkan kelompok revolusi. Dan besok malam semua sudah diatur untuk kudeta. Kalau aku bisa mengekang tangan musuhku, kalau aku bisa menunjukkannya terhina dan terikat kepada gerombolan di depan jendela istana, maka Contigua selamat, dan misimu ikut selesai. Itu sebabnya aku mendatangimu— karena aku percaya padamu, dan kau hafal kebiasaan rakyatku. Mereka masih mencintaiku, mereka mau berbuat apa saja atas 12
perintahku. Tapi mereka seperti domba tanpa gembala. Kau mau membantuku?” Puteri mengulurkan dua tangan gemetar ke arah Moore. Dia pun menyambutnya dan mengecupnya. “Sudah menjadi kewajiban dan kecenderunganku untuk melakukannya,” sahutnya. “Tapi kulihat kau sudah menyusun rencana dalam pikiranmu. Kalau kau memberiku kehormatan dengan kepercayaanmu, akan kuanggap itu kemurahan besar.” Puteri bicara dengan jelas dan cepat. Moore mendengarkan penuh minat dan takjub. Plotnya langsung menarik imajinasinya. Seru, dan nekat sampai tingkat terakhir. Cahaya seram bersinar di matanya. Pipinya memancarkan gejolak tak biasa.
Sepasang kuda kuning miring berderap di atas bebatuan bulat jalanan Tenedos dalam gelap dan akhirnya berhenti di depan hotel utama di kota, terisak-isak. Moore mendapati kamarnya sudah disiapkan. “Yang Mulia perlu kudapan malam dan lampu?” usul pelayan. “Lampu di kamar,” balas Moore, “tapi biarkan ruang duduk tetap gelap. Aku tak butuh kudapan; tinggalkan aku sendiri. 13
Kalau butuh sesuatu aku akan bunyikan lonceng.” Meski sudah larut, masih banyak orang berkeliaran. Suasana resah rupanya merata; tak ada suara riang dari gang-gang lesu di bawah, selain geraman dan gumaman, dan lebih dari sekali gumaman
lunak
percekcokan
yang
disembunyikan
oleh
kegelapan. Orang-orang ini siap ribut. Mereka hanya butuh seseorang untuk memimpin, entah ke arah perdamaian atau peperangan, itu tak terlalu penting. Moore kenal betul pertandanya, jadi tak mungkin keliru. Dengan
hasrat mencaritahu, dia merapatkan
mantel
tebalnya, menurunkan topi ke matanya, lalu terjun ke jalanan suram hangat berkabut. Dia melewati kelompok-kelompok yang tengah berdiri di trotoar, semua asyik membahas situasi. Dari bayangan ungu sebuah menara, Moore berhenti untuk mendengar-dengarkan. “Boris tidak seperti dulu lagi,” kata salah seorang. “Contigua takkan pernah puas selama Zouroff tetap di posisinya.” “Justru Madame Zouroff,” seringai yang lain. “Dialah penyebab semua perselisihan ini. Konon Pangeran tergila-gila padanya. Madame mengidamkan mahkota milik Puteri, dan Pangeran memberikannya. Aku dengar dari Marie, si pelayan 14
membosankan,
sepupu
isteriku.
Mereka
akan
serahkan
Contigua kepada wanita petualang Rusia ini.” “Lebih baik mengangkat si harimau tua perbukitan ke atas singgasana,” usulnya. “Tidak, tidak,” kata yang ketiga. “Pak tua Taraz memang bagus, tapi dia bertindak di pihak Rusia terkait senapan selundupan itu. Tidakkah kalian tahu, Zouroff sedang menyusun plot untuk membuka jalan Taraz?” Semua ini menggetarkan minat Moore. Bahwa Contigua mendidih oleh intrik, plot, dan nafsu, dia tahu betul. Dan dia pun tahu Zouroff menganggap Taraz sebagai boneka dan alatnya, padahal Taraz sedang mengelabui orang yang membantunya naik ke takhta mainan kecil itu. Serigala lihai tua dari perbukitan ini bermaksud membunuh Zouroff tanpa segan setelah pemberontakannya berhasil. Itu semua tebakan Moore, dan masih banyak lagi. Dia sadar akan fakta bahwa mayoritas rakyat Contigua lebih memilih Taraz. Alasannya sederhana, mereka lebih suka si manusia bukit daripada si Rusia. Istana dan Negara begitu sempit; setiap potong gosip dan skandal yang bocor ditelan penuh hasrat dan tamak oleh masyarakat Tenedos. Skandal tiara intan telah menjadi 15
santapan lezat beberapa hari terakhir. Dan para pengoceh ngawur ini tak sadar, betapa hiasan itu ditakdirkan menjadi faktor penting dalam sejarah Contigua. “Hari esok akan membuktikan banyak hal,” tinjau bijak orang pertama. “Konon sinyalnya akan diberikan besok malam dari gerbang-gerbang istana, dan kemudian Taraz mengambil tempat Boris. Takkan ada kerusuhan dan pertumpahan darah.” “Dua-duanya akan terjadi sebelum para macan tutul Taraz merebut kekuasaan,” geram pria besar bermantel tebal. “Andai aku punya cara, Zouroff takkan hidup walau satu jam. Dengardengar dia menyimpan bukti pengkhianatannya sendiri. Kalau saja Pangeran Boris berani berkata, seluruh Tenedos akan bersatu di sisinya dan mengoyak-ngoyak si Rusia itu. Entah apa yang terjadi pada pemimpin kita. Dulu dia seorang pria!” Pembicara pertama mendesah berat. “Ini cerita lama,” katanya. “Dan selalu ada wanita di dasarnya. Si bodoh itu terpesona oleh Madame Zouroff. Madame biasa ikut paduan suara Bucharest Theatre. Wanita petualang! Wanita yang boleh jadi dicampakkan oleh saudari-saudarinya sambil menyingsingkan rok jika mereka berani! Dan kita semua boneka yang menari saat dia menarik benangnya. Kenapa 16
Puteri tidak datang pada kita? Dia tahu kita siap berbuat apa saja untuknya. Siapa yang mau menyerang bersamaku?” Tak ada yang menanggapi. Semua takut akan bayangbayang dan mata-mata yang mungkin bersembunyi. Semua ini seperti anggur bagi sang penguping. Perasaan tak puas yang melapisi nuansa loyalitas luhur ini memberinya ilham. Imajinasi Moore menggelora. Dalam mata batinnya dia dapat melihat dirinya memimpin orang-orang liar ini menuju kebebasan. Kemudian selera humornya memuncak, dia tersenyum. Pria kurus pucat berkacamata jepit di bagian depan gerombolan melodramatis ini tampak menggelikan. Firasat, hawa ketidakpuasan, masih menggelayut bagai awan di atas ibukota selagi Moore berkendara ke istana keesokan paginya. Pangeran Boris senang menyambut pria Inggris ini dengan ramah. Wajah gelap pekanya menampakkan kekuasaan dan ambisi, tapi mulutnya lemah dan sensual. Dan Pangeran Boris tidak sendirian. Bersamanya ada pria kurus jangkung berwajah klimis dan sepasang mata yang memancarkan api hitam jahat. Seringai tampak di wajahnya sewaktu dia membungkuk kepada sang orang asing. Moore tak perlu diberitahu siapa dia. “Aku bisa tebak tugasmu,” ujar Zouroff dengan nada halus 17
mendengung, “dan kau akan dapati kami siap memberi segala bantuan. Udara Tenedos tampaknya buruk untuk orang Inggris sepertimu. Tapi kau suka bertualang.” Ancaman nyata mendasari kata-kata terakhir ini. Hasrat untuk menerkam kerongkongannya memenuhi jiwa Moore. Di balik mantel rok ketatnya terdapat banyak rahasia, bukti dokumen yang ingin Moore kuasai meski harus memakan waktu bertahun-tahun. Zouroff adalah penghasut intrik dan terlalu cerdik untuk dipisahkan dari pengetahuan dan bukti yang menjadi sumber kekuatannya. Suatu trik mujur mungkin dapat membuatnya terusir lagi; sewaktu-waktu dia harus lari. Untuk alasan itu dia membawa-bawa rahasianya. “Kau mengukur karakter kami dengan tepat, tuan,” tanggap Moore. “Keistimewaan yang kau singgung adalah ciri yang menjadikan Inggris besar. Apabila kami mengerjakan sesuatu, berapapun resikonya kami berhasil.” Zouroff menelan tantangan dengan enteng. “Kita lihat saja,” balasnya. “Seperti sudah kubilang, iklimnya tidak sehat. Kalau kau bisa cari cara untuk mengobati—” “Pembasmian sumber wabah memang ada.” Zouroff tak lagi tersenyum. Sebaliknya dia tampak susah. Mulai terpikir olehnya bahwa ada seorang antagonis sekuat 18
dirinya. Pangeran Boris resah menyaksikan. Betapapun santun kepada Zouroff, dia bersedia mengulurkan tangan kanannya untuk dibebaskan dari si penasehat utama, sosok yang memainkannya sebagai boneka dan membayang-bayangkan teror para Adidaya di depan matanya. “Tak usah hiraukan ucapan kawanku Zouroff,” selangnya. “Dia orang yang menurunkan olok-olok ke derajat ilmu seni. Jangan diambil serius.” “Sebaliknya, Paduka,” sahut Moore, “kukira ada masa-masa di mana sepatutnya orang arif menganggap serius Tn. Zouroff.” “Kau mau makan malam bersama kami jam tujuh nanti?” tanya Pangeran tiba-tiba. Moore sudah menunggu undangan tersebut. Dia tahu itu akan datang. Kesombongannya agak tergelitik lantaran plot tandingan sedang disusun di depan hidung si konspirator besar, Zouroff. “Dengan senang dan terhormat,” jawab Moore. Pada saat bersamaan masuk seorang lelaki lain. Dia pria tua berparas mirip elang. Ada cahaya pertarungan di matanya dan ayunan bebas perbuktian di tungkai cokelatnya. Jubah putihnya melambai-lambai, bertengger anggun pada tubuh kuatnya. 19
Terlepas dari rasa hormat yang dipertontonkan, air mukanya memuat keangkaraan dingin. “Ini Taraz dari Perbukitan,” ujar Pangeran Boris singkat. “Kalian akan bertemu lagi nanti malam.” Taraz tidak berkenan melirik Moore. Keangkuhan orientalnya sempurna. Berhubung tanya-jawab selesai, Moore pun berbalik pergi. Selagi dia masuk ke koridor berubin lebar, Zouroff mengikutinya. Moore mengarahkan matanya lurus ke wajah si Rusia. “Aku akan terima nasehatmu,” tukasnya, “dan meninggalkan Tenedos—besok!”
Moore berdandan dengan teliti. Dari luar, dia adalah pria tenang bersetelan malam, yang pergi untuk makan malam. Padahal, dia sedang memainkan peran utama dalam tragedi di mana dia dapat mencoba peran pahlawan terbunuh atau menyelamatkan Eropa dari lautan api berdasarkan firasat Nasib Dame1, penonton tunggal drama ini. Sebagai abdi terpercaya Dinas Rahasia, Dinas yang perbuatannya tak boleh dipertanyakan oleh anggota parlemen usil sekalipun, Moore sering mengalami bahaya, tapi tak pernah 20
mematikan seperti ini. Zouroff bermaksud membunuhnya. Zouroff tahu apa yang sedang dikerjakannya di sini. Menskakmat Rusia, menghentikan arus masuk senapan, dan membebaskan Pangeran Boris dari pria laut ini merupakan urusan Moore di sini. “Syukurlah ada perempuan berani di sisiku,” gumamnya. “Dalam dua jam ke depan urusan ini akan diputuskan dengan suatu cara. Sayang, Puteri Natalie tak punya orang yang bisa dipercaya di sini selain aku. Tapi, jika dia berhasil, seluruh Contigua akan tunduk padanya besok.” Moore memberi sentuhan akhir pada dandanannya, dan membunyikan lonceng untuk memanggil kereta kuda. “Kau akan dapat kudapan yang sudah kupesan untuk tengah malam,” katanya. “Kalau nanti aku tak di sini, makanan itu takkan diperlukan.” Praktisnya Moore belum makan apa-apa selama 24 jam. Memikirkan makanan saja membuatnya mual, padahal dalam kondisi biasa nafsu makannya normal. Secantik apapun hidangan di istana nanti, Moore takkan menyentuh apa-apa. Betapapun gamblang dan hebohnya imajinasi Moore, dia tidak buta akan kondisi kegelisahan di jalanan selagi berkendara. Kerumunan pria berkumpul penuh semangat mem21
bahas situasi, dan kali ini kaum wanita dipulangkan ke rumahrumah. Di Alun Istana, ratusan orang berkeliaran seolah menanti sesuatu. Mereka tampak murung dan tak puas, alih-alih memberontak. Hawa mereka seperti orang-orang yang siap mengikuti satu pemimpin, asal tidak menemukan orang yang lebih disukai. “Keadaan ini tak menentu,” gumam Moore. “Jika Puteri berhasil, Contigua dan situasinya akan terselamatkan.” Sementara itu di dalam istana, suasananya riang. Di aula berpilar, berukiran dan berpahatan, serta berornamen panel dicat dan figur baju baja, Pangeran Boris dan isterinya sedang menjamu para tamu. Mayoritas, kecuali Taraz, berpakaian ala Barat, dan seluruh rombongan berjumlah dua belas. Moore segera diperkenalkan kepada mereka semua. Tapi tak ada yang menarik perhatiannya selain Pangeran dan Puteri, Taraz, dan Zouroff, dan terakhir, tapi tak kalah penting, wanita petualang brilian yang Zouroff sebut isterinya. Wanita langsing langsat, dengan senyum dan gigi mempesona. Pada bibir merah dan mata birunya Moore melihat kecantikan jahat de L’Enclos, kekuatan yang memikat dan membuat gila kaum pria. Ada kesan bengis dari keelokannya. 22
Bahu putih gadingnya masih tersembunyi, sebab ruang tamu dingin, dan Madame Zouroff mengenakan selendang tipis. Dari waktu ke waktu dia melirik ke arah Puteri, dan saat itulah Moore melihat jelas kilasan senyum khianat itu. Tak ada yang luput dari mata pria penulis novel sekaligus penyuka laga tersebut. Perbincangan berlangsung tidak tenang, sebab Pangeran tampak gusar dan bingung, dan Puteri masih bungkam dan tegang. Wajahnya pucat pasi sementara bunga kamelia menghias dadanya. Matanya berpijarkan api kokoh. “Dia mirip macan tutul dalam kandang,” bisik Madame Zouroff kepada suaminya. “Persis,” timpal si Rusia asal-asalan. “Natalie wanita cerdik, dan tahu kapan dirinya kalah; dan aku akan cari cara untuk menjinakkannya sebelum malam berakhir.” “Rakyat resah, menurutmu?” “Aku yakin itu. Aku berhasil mengasingkan mereka dari Pangeran. Lebih baik ada pemimpin daripada tidak sama sekali, dan Taraz disukai Rusia. Sekiranya mereka tahu bahwa kedua ini sinonim! Untunglah tidak. Kalau kau dengarkan baik-baik, ada gerutuan massa di Alun-alun.” Madame tersenyum seiring telinga kecil merah mudanya 23
menangkap gerutuan jauh. Bagai gelombang pasang yang bergejolak. Seorang pelayan berseragam membuka pintu lipat seraya mengumumkan makan malam sudah tersaji. Moore menangkap tatapan Puteri Natalie yang melintasinya, dan raut Puteri memperkuat keberaniannya. Kini dia menjadi pria laga. Kekhawatiran akan kondisi tak dikenal, kondisi tak terduga, telah lenyap darinya di tengah keributan itu. Dia merasakan luapan kemenangan, membayangkan kilauan keberhasilan. Untuk beberapa lama makan malam berlangsung hening. Lalu, begitu anggur mengendurkan lidah para tamu, keriangan merajalela. Siaga, giat, mirip kucing, Moore memandang sekeliling meja. Tak ada yang lolos dari pandangan kilatnya. Waktunya semakin dekat. Di luar, gerutuan suara kian nyaring, bahkan sampai mengganggu obrolan meja makan. Rupanya seorang orator kasar sedang menceramahi gerombolan. Senyum meledek terlintas di wajah Puteri Natalie. “Ide-ide kebebasan rakyat ala Barat ini sedang menular,” ujarnya. Dalam cahaya lampu tunggal di atas meja makan, rautnya lebih pasi daripada tadi. Adapun ruangan selebihnya, gelap 24
sama sekali. Di bawah bayang-bayang, para pelayan berseragam bergerak ke sana kemari. “Pangeran Boris harus menjawab banyak hal,” senyum Zouroff. “Dan kau pasti tak bercela?” tanya Natalie. Itu pertanyaan tantangan. Obrolan terhenti seperti bintang jatuh. Natalie bangkit dan menyuruh para pelayan pergi. Disertai ceklikan keras dia putar kunci pada dudukannya. Kegegeran
memenuhi
ruangan.
Sambil
tersenyum
tipis
Madame Zouroff melontarkan selendangnya ke belakang dan bersandar di kursi. “Kau harus kuat untuk bicara padaku seperti ini,” kata Zouroff parau. Moore memperhatikan si pembicara dengan sungguhsungguh. Dia duduk tapi satu kursi digeser, dan pria Inggris ini mengukur jarak antara mereka dengan matanya. Di sebelah kanan Natalie ada Taraz, muram tak bergeming layaknya ukiran elang pada sebuah lesnar. Mata Puteri berkobar-kobar; lapisan tipis peradaban telah mengelupas. “Aku lebih kuat dari yang kau bayangkan,” pekiknya. Madame Zouroff tertawa. Natalie berpaling geram padanya. “Kau makhluk tak tahu malu,” pekiknya. “Kau curi cinta 25
suamiku, kau sombongkan itu di pasar-pasar. Kau kenakan perhiasan milikku di rambut dan dadamu. Dia memberikannya padamu, dan kau berani memamerkannya di depanku.” “Dan kau berani memfitnah nama isteriku!” teriak Zouroff. “Isterimu terlalu jahat untuk baik,” ketus Natalie. “Aku tak menyalahkan Pangeran. Aku tahu, begitu sumber pesonanya disingkirkan, dia akan menjadi pria lagi. Dan itu akan disingkirkan malam ini juga. Serahkan perhiasannya.” Perintah angkuh ini hampir menggoyahkan kaki Madame Zouroff sesaat. Dia membuat gerakan tak sengaja ke dadanya. “Tidak, tidak,” teriak Zouroff. “Itu takkan terjadi.” “Dan kubilang itu akan. Akan, itu akan, dan sekarang.” Sambil mengucapkan kata terakhirnya disertai jeritan, Natalie bangkit dan menggapai ke seberang meja. Sementara itu Moore melihat pangkal belati berkilat di korsasenya. Lalu dia berpaling lagi ke arah Zouroff. Sejenak berikutnya lampu di atas meja terjungkal dan padam. Seluruh ruangan jadi gelap-gulita, selain genangan kecil api biru beruap pada damas putih halus. Seraya menjerit mayoritas tamu mencari-cari pintu, hanya untuk mendapati kuncinya hilang. Kikihan histeris tipis pecah dari bibir Moore. Otaknya 26
menyala, jemarinya gatal ingin beraksi, karena waktunya sudah tiba. Segera setelah lampu padam dia betul-betul terjun memburu Zouroff. Sejauh ini keadaan berjalan sesuai rencananya dan Natalie. Ruang gelap pekat, sisa tamu yang ketakutan berjubel dekat pintu; tak ada potensi gangguan. Dan di tubuh Zouroff terdapat dokumen senilai tebusan raja. Moore mendarat ringan di leher lawannya. Dengan liar gembira dia cengkeram kerongkongan si Rusia dan ditekannya ke lantai. Segenap kekuatan otot dan ketangkasan Moore dikerahkan. Dia bertarung demi keberhasilan misinya, dia bertarung demi nyawanya sendiri, dan demi membalaskan dendam tiga orang baik yang telah pergi lebih dulu. Zouroff bukan remaja tanggung, dan bukan pengecut untuk menendang, tapi dia sudah terperanjat. Dia dalam cengkeraman seseorang yang cukup siap mencekiknya kalau perlu; dia sadar dirinya sedang memperjuangkan hari-harinya di tanah ini. Tapi cengkeraman itu tak tergoyahkan, terus menekan sampai lampu-lampu merah besar memenuhi matanya dan suara lautan menggemuruh di telinganya. Zouroff rebah, rebah ke dalam perairan hangat, dilupakan. Samar dia rasakan tangan-tangan menggeledah sakunya, serbuan gelombang 27
pasang merah yang hangat, lalu tak sadarkan diri. Moore memperoleh dokumen itu. Dia keluarkan sepasang borgol tipis dari saku pinggul, terus dicekliknya pada pergelangan tangan si Rusia. Pada saat bersamaan gerombolan pelayan yang cemas mendobrak pintu, membuka jendelajendela agar ruangan dimasuki cahaya dari Alun-alun. Hembusan udara menangkap uap biru di atas meja makan, dan meletuskannya dalam nyala api kuning indah. Kini ada cukup cahaya. Tinggal tersisa lima orang. Di lantai, Taraz terkapar dengan belati di dada, tewas. Rautnya kalem dan tenang, sebab maut menyergapnya dengan cepat. Api semakin tinggi. Di Alun-alun beberapa ratus orang berdesakan, panas, sengit, nekat. Sebagian fakta sudah menyebar cepat di antara massa hitam tersebut. Sewaktu Zouroff terseok berdiri, Puteri merenggut lengannya, dan menyeretnya ke balkon, linglung, buta, dan lemas sempoyongan. Cahaya seram di belakang menerangi kedua sosok ini. Timbul raungan parau dari para manusia serigala di bawah, dan kemudian hening, nyaris menyakitkan dalam intensitas suram melekat. Orang-orang di sana tahu apa yang telah terjadi, seolah baru menyaksikan tragedi kegelapan.
28
Sejam kemudian Tenedos menyala dengan obor-obor. Taraz sudah tiada, dan Zouroff tergeletak di mana dia tak mampu mengacau lagi. Kekuatannya patah, senjata andalannya disita oleh Moore. Dan setiap orang dalam gerombolan sorak-sorai itu dinyalakan oleh patriotisme dan berbaukan asap kegilaan yang terilhami proklamasi Natalie dari balkon dengan api kelap-kelip di belakangnya. “Kau puas?” tanyanya kepada Newton Moore. “Kau yakin sudah berhasil?” “Tak ada lagi yang kuinginkan,” sahut Moore, “dan aku tak mau membuat pertanyaan janggal. Kalau bukan karenamu pasti aku sudah gagal. Rupanya kau paham momen psikologis. Dan sekiranya hal ini bisa dirahasiakan dari koran-koran Eropa—” Puteri Natalie tersenyum mantap.
29