FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SINDROMA DOWN DI SLB-C CIPAGANTI BANDUNG (The relationship between mother’s & father’s factors that are correlated to Down Syndrome at SLB-C Cipaganti Bandung)
Mirza Rini1, Eny Kusmiran2, Argi Virgona Bangun3 ABSTRACT Background: Down Syndrome is the cromosom disorder that is found in human body, and it can occur to everyone, race, and economy-social status . There are about 300.000 Indonesian people have suffered from Down Syndrome. It assumes that the process of non-disjunction of meaoses can cause the disorder, and the main cause of ot is still difficult to find. Needing a further observation that can decrease the Down Syndrometrigger factors. The following observed factors including (women’s age, DM medical record, psyco-social depression, women medical radiation record, child’s genetical factor and men’age). According to the data that the most Down Syndrome sufferers found at SLB-C Cipaganti in the city and district of Bandung. Objectives : It is proposed to describe the relationship between mother’s and father’s factors (women’s age, DM medical record, psyco-social depression, women medical radiation record, child’s genetical factor and men’age). Method : This was an observational research that used cross sectional design. The research data used primare data with sample of children with total respondent of 97 responden. The used analysis consists of univariable analysis with proportion, bivariable with chi square test with significance level of P<0.05.The data is collected based on questionnaire by interview. Result :There was 83,6% mothers who were more than 35 years old of and 91,8% fathers who were least than 45 years old. The bivariable analysis showed that there were not a significant relationship between mother’s age (p = 0,396), Diabetes Mellitus’s background (p = 0,672), medical radiation record (p = 1,000), psyco-social depression (p = 1,000), Father’s age (p = 0,774), genetical factor (p = 1,000), genetical child’range (p = 0,747). Conclusion :Based on the result of this study, Variable of mother’s and father’s factors that hadnot significant consistent influence toward Down Syndrome. Keyword
: Cross Sectional study, Down Syndrome, mother’s and father’s factors
Jurnal Stikes A. Yani
14
A. PENGANTAR Sindroma Down merupakan kelainan kromosom yang paling sering ditemukan pada manusia. Kelainan ini dapat terjadi pada setiap orang, ras dan status sosial ekonomi. Kelainan ini ditemukan di seluruh dunia, pada semua suku bangsa dan kejadiannya 1,6 per 1000 kelahiran dan terjadi pada bangsa kulit putih lebih tinggi daripada kulit hitam (Stoll,1998 dalam Wong, 2000). Di Amerika Serikat, sekitar 4.000 anak dilahirkan setiap tahun, atau sekitar 1 dari 800 - 1.000 kelahiran hidup menderita sindroma Down (NICHCY : National Dissemination Centre for Children with Disabilities, 2004). Di Indonesia terdapat sekitar 300.000 penderita sindroma Down ( ISDI : Ikatan Sindroma Down Indonesia, 2005). Menurut Gunadi (2000) kejadian sindroma Down pada penelitian yang dilakukan di RSHS tahun 1999 adalah 0,8 per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan pada penelitian kelainan kongenital di Medan tahun 1991-1994 didapatkan angka penderita sindroma Down adalah 0,33 per 1000 kelahiran. Penyebab pasti sindroma Down secara pasti belum diketahui, tetapi penelitian pada sitogenetik studi epidemiologi mendukung tentang penyebab yang multiple. Kira-kira 95 % kasus sindroma Down disebabkan oleh kromosom extra 21, yang dinamakan trisomi 21. Meskipun anak-anak dengan trisomi 21 dilahirkan dari orang tua pada semua umur, terdapat data statistik yaitu resiko pada wanita yang lebih tua akan didapatkan resiko yang lebih besar terutama usia lebih dari 35 tahun ketika melahirkan anak dengan sindroma Down (Hixon & other, 1998 dalam Wong, 2000). Banyak hipotesis dikemukakan tentang penyebab sindroma Down selama hampir satu abad. Tetapi sejak ditemukan adanya kelainan kromosom pada sindroma Down tahun 1959, maka perhatian lebih dipusatkan pada kejadian non disjunctional sebagai penyebabnya yaitu faktor keturunan, radiasi, infeksi, autoimun, usia ibu, usia ayah (Soetjiningsih, 1995). Insiden sindroma Down meningkat dengan meningkatnya usia ibu. Banyak ahli merekomendasikan perempuan yang berumur diatas 35 tahun harus mengadakan test prenatal untuk mengetahui adanya kelainan sindroma Down. Wanita di bawah 30 tahun yang hamil dan kemungkinan mempunyai bayi dengan sindroma Down diperkirakan 1 dari 1.000, tetapi kesempatan mempunyai bayi dengan sindroma Down Meningkat pada ibu yang berusia 35 tahun atau lebih (Linsdjo, 2001).
Jurnal Stikes A. Yani
15
Apabila umur ibu di atas 35 tahun, diperkirakan terdapat perubahan hormonal yang dapat menyebabkan non disjunction pada kromosom. Teori lama mengatakan perubahan hormon, seperti meningkatnya sekresi androgen, menurunnya kadar hidroepiandrosteron, menurunnya konsentrasi estradiol sistemik, perubahan konsentrasi reseptor hormon, dan peningkatan secara tajam kadar LH (Luteinizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone) secara tiba-tiba sebelum dan selama menopause, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya non disjunction. (Soetjiningsih, 1995) Peluang seorang wanita mempunyai anak dengan sindroma Down meningkat bersamaan dengan peningkatan usianya pada saat mengandung. Peningkatan ini khususnya mulai kelihatan sejak usia 35 tahun (Selikowitz, 2001). Hal yang sama juga dikatakan oleh NICHCY (2004) bahwa usia orang tua penderita sindroma Down bisa bermacam-macam tetapi insiden tertinggi terjadi pada usia ibu lebih dari 35 tahun. Selain pengaruh usia ibu terhadap sindroma Down, juga dilaporkan adanya pengaruh dari usia ayah. Penelitian sitogenetik di Norwegia pada orang tua dari anak dengan sindroma Down mendapatkan bahwa 20-30 % kasus extra kromosom 21 bersumber dari ayahnya tetapi korelasinya tidak setinggi dengan usia ibu. Usia ayah yang dikatakan mempunyai resiko untuk terjadinya sindroma Down adalah 50 tahun atau lebih (Soetjiningsih, 1995). Grande Multipara (anak lebih dari 6) berhubungan dengan meningkatnya prevalensi sindroma Down pada ibu yang berusia antara 25 - 44 tahun. Prevalensi sindroma Down didapatkan lebih tinggi pada ibu multipara (anak 2 – 5) daripada primipara pada semua golongan usia (Forrester, 2001). Levine (1993) menduga adanya faktor predisposisi keturunan pada kejadian non disjunctional. Bukti yang mendukung teori ini didapat dari penelitian epidemiologi yang menunjukkan tingginya resiko kejadian sindroma Down bila ada riwayat keluarga dengan kelainan yang sama (Soetjiningsih, 1995 ). Faktor penyebab lain adalah autoimun, khususnya autoimun tiroid dan penyakit tiroid yang lain. Penelitian Fialkow’s menunjukkan perbedaan kadar autoantibodi tiroid antara ibu yang melahirkan anak sindroma Down dengan ibu kontrol pada umur yang sama. Tidak didapatkan penyakit tertentu yang secara langsung menyebabkan
Jurnal Stikes A. Yani
16
peningkatan kejadian sindroma Down, tetapi beberapa peneliti menemukan peningkatan kejadian pada ibu dengan diabetes mellitus (Soetjiningsih, 1995). Beberapa orang tua penderita sindroma Down mengalami peristiwa yang menimbulkan stres pada saat sebelum kehamilan. Ibu dari penderita sindroma Down biasanya menderita beberapa penyakit/kelainan sebelum konsepsi. Pada penelitian Murdoch dikatakan beberapa ibu mengalami penyakit psikologis dan mendapatkan obatobatan sekitar satu tahun sebelum konsepsi (Forrester, 2001). Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab dari non disjunctinal pada sindroma Down. Sekitar 30 % ibu yang melahirkan anak dengan sindroma Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi (Soetjiningsih, 1995). Anak dengan sindroma Down mempunyai resiko yang tinggi umtuk mendapat masalah kesehatan yang serius. Sindroma Down mengakibatkan kelainan hampir pada semua organ tubuh. Masalah kesehatan itu antara lain gangguan pendengaran, gangguan penglihatan jauh dan dekat, juling, nistagmus, katarak, penurunan tonus otot, mobilitas sendi meningkat (atlantoaksial pada tulang leher yang paling atas), kulit kering, pecahpecah, kadang-kadang gatal, gigi geligi tumbuh lambat, hipotiroidisme, konstipasi, pada kelainan bawaan didapatkan hirschprung, atresia duodenal, leukemia dan kelainan jantung AVSD (Atrio Ventricular Septal Defect), Ventricular Septal Defect (VSD) dan PDA (Patent Ductus Arteriosus) (Selikowitz, 2001). Selain masalah kesehatan di atas, angka mortalitas penderita sindroma Down juga cukup tinggi. Resiko kematian tertinggi terjadinya pada masa bayi. Antara 10-20 % bayi sindroma Down meninggal pada tahun pertama kehidupannya. Penyebab kematian terbanyak pada saat itu adalah akibat kelainan jantung bawaan, malformasi organ lain dan infeksi. Pada anak sindroma Down dengan kelainan jantung bawaan, angka harapan hidup sampai usia 1 tahun adalah 72 % dan sampai usia 6 tahun adalah 45 %. Pada anak sindroma Down yang tidak menderita kelainan jantung bawaan, kemungkinan harapan hidup sampai usia 1 tahun adalah 93 % dan sampai usia 6 tahun adalah 88 % (Forrester, 2000). Melihat angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi, para ahli sejak lama berusaha untuk menurunkan angka kejadian sindroma Down. Seperti juga pada kelainankelainan lain yang bersifat genetik, upaya ini terbentur pada etiologinya yang belum
Jurnal Stikes A. Yani
17
diketahui pasti. Oleh karena itu diperlukan penelitian-penelitian yang bersifat epidemiologi sebagai usaha untuk pencegahan (Forrester, 2000). Berdasarkan hasil survey ke beberapa Sekolah Luar Biasa (SLB)-C di kota dan Kabupaten Bandung yaitu di SLB-C Nurani Cimahi, SLB-C Sukapura, SLB-C Cileunyi, SLB-C Purnama Asih, SLB-C Nike Ardila didapatkan data penderita sindroma Down untuk usia sekolah (SD-SMU) berjumlah sekitar 350 orang. Pernyataan lain menurut Delpie (2006) mengatakan bahwa penderita tunagrahita di sejumlah SLB-C di Kota dan Kabupaten Bandung yaitu sekitar 600 orang. Hasil studi pedahuluan mengenai di SLB-C Cipaganti Bandung didapatkan kejadian Autisme, Sindroma Down dan Retardasi Mental. Untuk retardasi mental dibagi menjadi beberapa gangguan yaitu gangguan tingkah laku, hiperaktif, gangguan bicara, epilepsi, gangguan pendengaran dll. Penderita sindroma Down adalah yang terbanyak diantara penderita autisme atau retardasi mental. Sekolah Luar Biasa (SLB ) C Cipaganti adalah sekolah luar biasa yang khusus menyelenggarakan pelayanan pendidikan bagi anak-anak tunagrahita (keterbelakangan mental). SLB ini merupakan kelanjutan dari sekolah luar biasa untuk anak cacat mental yang telah ada sejak zaman Belanda. Awal berdirinya dikenal dengan nama ’Folker School’ yakni salah satu sekolah luar biasa yang pertama ada di Indonesia, didirikan tanggal 29 Mei 1927 oleh Dr. Kits Van Heijningeen dan Akkerrs Dijk. Pada tahun 1954 baru dibuka untuk anak-anak Indonesia. Saat ini SLB C Cipaganti telah memiliki 137 murid yang terdiri dari tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, autisme dan sindroma Down. Seiring dengan banyaknya penderita sindroma Down di SLB ini, maka angka kejadian sindroma Down semakin tinggi pula. Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, walaupun secara teoritik diketahui banyak sekali faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindroma Down, sehingga dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan faktor ayah dan ibu dengan kejadian sindroma Down khususnya di SLB-C Cipaganti Bandung. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung. Untuk mendapatkan gambaran tentang 1) kejadian sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung;2) faktor ibu (
Jurnal Stikes A. Yani
18
usia, riwayat diabetes mellitus, stres psikologis, radiasi ), 3) faktor ayah (usia ); 4) faktor keturunan dan urutan anak.
B. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Jenis penelitian deskriptif korelasional, yaitu penelitian yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian sindroma Down. Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan melalui observasi atau pengukuran pada satu saat tertentu. Pengukuran terhadap variabel atau faktor resiko dalam penelitian ini adalah faktor ibu( usia, riwayat diabetes mellitus, stres psikologis, radiasi) dan usia ayah, keturunan dan urutan anak terhadap kejadian sindroma Down. Baik faktor risiko maupun efeknya, pengukuran hanya dilakukan sekali dan dalam waktu yang bersamaan.
Faktor ibu : - Usia > 35 tahun - Riwayat DM
Ya
- Radiasi - Stres psikososial
Kejadian
Faktor ayah :
Sindroma
- Usia > 45 tahun
Down Tidak
Faktor: Keturunan Urutan anak
Gambar 1. Kerangka Konsep Pemikiran
Variabel penelitian ini adalah variabel bebas faktor ibu dan ayah dengan variabel dependennya kejadian Sindroma Down. Faktor ibu yang akan diukur adalah Usia ibu Riwayat Diabetes mellitus Stres psikososial dan Radiasi. Faktor ayah adalah usia dan faktor lain meliputi keturunan dan urutan anak.
Jurnal Stikes A. Yani
19
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh orang tua biologis yang anaknya melakukan proses pembelajaran di SLB-C Cipaganti Bandung yang berjumlah 137 yang memenuhi kriteria inklusi sampel sebanyak 97 responden. Teknik sampel yang digunakan adalah accidental sampling . Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah angket /kuesioner. Angket yang digunakan adalah angket berstruktur dimana jawaban telah tersedia dan responden tinggal memilih alternatif jawaban sehingga data yang didapat mudah diolah dan dianalisa. Instrumen yang akan digunakan untuk faktor stres psikososial menggunakan daftar pertanyaan dari Holmes dan Rahe mengenai ada atau tidaknya stress psikososial yang dialami pada masa 1 tahun kehamilan anak yang bersangkutan. Analisis univariat dalam penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan
tiap
variabel faktor ibu (usia, genetik, paritas, stres psikososial, penyakit diabetes, radiasi) dan faktor ayah serta faktor luar dengan distribusi frekuensi dan prosentase. Analisis bivariat menggunakan Chi-square tes (X2) kriteria pengujian adalah bila p-value < α = 0.05 maka hubungan tersebut secara statistik ada hubungan yang bermakna, tetapi bila p-value > α = 0.05 maka secara statistik tidak signifikan atau tidak ada hubungan yang bermakna. C. HASIL Analisis univariat menunjukkan distribusi kejadian sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung adalah sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi Frekuensi Kejadian Sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung Kejadian Sindroma Down Ya Tidak
Jumlah (n)
Persentase (%)
41 56
42,3 57,7
Sumber : Data Primer, 2007
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa anak yang mengalami sindroma Down sebanyak 42,3 % dan anak yang tidak mengalami sindroma Down sebanyak 57.7 %.
Jurnal Stikes A. Yani
20
Analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi faktor ibu dan faktor ayah serta faktor keturunan dan urutan anak terhadap kejadian sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung adalah sebagai berikut: Tabel 2 Distribusi Frekuensi Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian Sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung Faktor Ya N Usia Ibu > 35 tahun ≤ 35 tahun Riwayat DM ibu Ada Tidak ada Radiasi pada ibu Pernah Tidak pernah Stres psikososial ibu Ada stres Tidak ada stres Usia Ayah > 45 tahun ≤ 45 tahun Riwayat Keturunan Ada Tidak ada Urutan anak > 5 orang ≤ 5 orang Sumber : Data Primer, 2007
Kejadian Sindroma Down Tidak Total % n % N %
4 37
25 45,7
12 44
75 54,3
16 81
16,4 83,6
4 37
36,4 43
7 49
63,6 57
11 86
11,34 88,66
5 36
38,5 42,9
8 48
61,5 57,1
13 84
13,4 86,6
31 10
41,9 43,5
43 13
58,1 56,5
23 74
76,3 23,7
3 38
37,5 42,7
5 51
62,5 57,3
8 89
8,2 91,8
6 35
42,9 42,2
8 48
57,1 57,8
14 83
14,4 85,6
1 40
33,3 42,6
2 54
66,7 57,4
3 94
3,1 96,9
Berdasarkan usia ibu, dibedakan usia ibu > 35 tahun (resiko tinggi) dan usia ibu ≤ 35 tahun (resiko rendah) pada saat melahirkan anak dengan sindroma Down. Dimana usia terendah ibu adalah 20 tahun dan usia tertinggi adalah 54 tahun. Hasil penelitian mengenai usia ibu, dapat dilihat pada tabel 4.1, yang menggambarkan bahwa dari 16 ibu (16,4%) yang mempunyai resiko tinggi melahirkan anak dengan sindroma Down (usia > 35 tahun) mayoritas memiliki anak yang tidak mengalami sindroma Down, demikian juga dari 81 ibu (83,6%) yang mempunyai resiko rendah melahirkan anak dengan sindroma Down mayoritas juga tidak memiliki anak dengan sindroma Down.
Jurnal Stikes A. Yani
21
Berdasarkan ada atau tidaknya riwayat penyakit DM pada ibu menunjukkan bahwa dari 11 ibu (11,34%) yang mempunyai riwayat diabetes mellitus mayoritas mempunyai anak yang tidak menderita sindroma Down, demikian pula dari 86 ibu (88,66%) yang tidak mempunyai riwayat DM mayoritas juga tidak memiliki anak dengan sindroma Down. Berdasarkan ada atau tidaknya radiasi pada ibu (pada saat hamil didapatkan data bahwa 13 ibu (13,4%) pernah dilakukan radiasi dan 84 ibu (86,6%) tidak pernah dilakukan radiasi, dimana keduanya mayoritas tidak memiliki anak dengan sindroma Down Berdasarkan ada atau tidaknya stress psikososial pada ibu (pada saat hamil), dapat dilihat pada tabel 1.2, didapatkan data bahwa dari 74 ibu (76,3%) yang tidak ada stress psikososial pada saat hamil mayoritas memiliki anak yang tidak sindroma Down, demikian pula dari 23 (23,7%) ibu yang mempunyai stres psikososial mayoritas tidak memiliki anak dengan sindroma Down juga. Berdasarkan usia ayah, dibedakan usia ayah > 45 tahun (resiko tinggi) dan ≤ 45 tahun (resiko rendah) pada saat anak dengan sindroma Down lahir. Dimana usia terendah ayah adalah 22 tahun dan usia tertinggi adalah 60 tahun. Hasil penelitian mengenai usia ayah, dapat dilihat pada tabel 4.1, yang menggambarkan bahwa dari 8 ayah (8,2%) yang mempunyai resiko anak dengan sindroma Down mayoritas memiliki anak yang tidak mengalami sindroma Down, demikian juga dari 89 ayah (91,8%) yang mempunyai resiko rendah melahirkan anak dengan sindroma Down mayoritas juga tidak memiliki anak dengan sindroma Down. Berdasarkan faktor keturunan / genetik dengan kejadian sindroma Down menunjukkan bahwa dari 14 keluarga (14,4%) yang mempunyai keturunan sindroma Down, sebagian besar memiliki anak yang tidak menderita sindroma Down. Hal yang sama tampak dari 83 keluarga (85,6%) yang tidak mempunyai riwayat keturunan sindroma Down sebagian besar juga tidak memiliki anak yang menderita sindroma Down.Urutan anak dengan kejadian sindroma Down menunjukkan bahwa dari 3 anak (3,1%) dari urutan anak > 5, mayoritas tidak menderita sindroma Down, demikian pula dari 94 anak (96,9%) dengan urutan < 5, mayoritas juga tidak menderita sindroma Down. Analisa bivariat dimaksudkan untuk menguji hubungan faktor ibu dan faktor ayah dengan kejadian sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung. Dari pengolahan data hasil
Jurnal Stikes A. Yani
22
penelitian diperoleh pengujian faktor ibu dan faktor ayah yang berhubungan dengan kejadian sindroma Down adalah dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3
Hasil Uji Statistik Hubungan Faktor Ibu dan Ayah serta faktor keturunan dan urutan anak dengan Kejadian Sindroma Down di SLB-C Cipaganti Bandung Faktor 1. Usia Ibu > 35 thn (resiko tinggi) ≤ 35 thn (resiko rendah) 2. Riwayat DM Ada riwayat DM
Terjadinya Sindroma Down Sindroma Tidak Sindroma Down Down
Jumlah
4 (25%) 37 (45,7%)
12 (75%) 44 (54,3%)
16
4 (36,4%) 37 (43%)
7 (63,6%) 49 (57%)
11
5 (38,5%) 36 (42,9%)
8 (61,5%) 48 (57,1%)
13
10 (43,5%) 31 (41,9%)
13 (56,5%) 43 (58,1%)
23
3 (37,5%) 38 (42,7%)
5 (62,5%) 51 (57,3%)
8
6 (42,9%) 35 (42,2%)
8 (57,1%) 48 (57,8%)
14
1 (33,3%) Resiko Rendah ≤ 5 40 (42,6%) Sumber : Data Primer, 2007
2 (66,7%) 54 (57,4%)
3
Tidak ada riwayat DM 3. Radiasi pada ibu Pernah Radiasi Tidak pernah radiasi 4. Stres pada Ibu Ada Stres Tidak Ada Stres 5. Usia Ayah > 45 tahun < 45 tahun 6. Keturunan Ada keturunan Tidak ada keturunan 7. Urutan Anak Resiko tinggi > 5
Jurnal Stikes A. Yani
Pvalue
OR (95% CI)
0,210
0,396 (0,118 1,333)
0,672
0,757 (0,206 – 2,778)
1,000
0,833 (0,,251 – 2,761)
1,000
0,937 (0,364 – 2,411)
0,774
0,805 (0,181 – 3,579)
81
86
84
74
89
1,000 83
0,747 94
1,029 (0,327 – 3,231) 0,675 (0,059 – 7,706)
23
Hasil uji statistik antara usia ibu dengan kejadian sindroma Down menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% dapat dibuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia ibu dengan kejadian sindroma Down, karena p-value = 0,210 > α = 0,05. Pada riwayat penyakit DM pada tingkat kepercayaan 95% dapat dibuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit DM dengan kejadian sindroma Down, karena p-value = 0,672 > α = 0,05. Pada riwayat radiasi pada tingkat kepercayaan 95% dapat dibuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara riwayat radiasi dengan kejadian sindroma Down, karena p-value = 1,000 > α = 0,05. Pada stress psikososial pada tingkat kepercayaan 95% dapat dibuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara stress psikososial ibu dengan kejadian sindroma Down, karena p-value = 1,000 > α = 0,05. Pada usia ayah dan pada tingkat kepercayaan 95% dapat dibuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara usia ayah dengan kejadian sindroma Down, karena pvalue = 1.000 > α = 0,05. Pada riwayat keturunan dapat dibuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara riwayat keturunan dengan kejadian sindroma Down, karena p-value = 1,000 > α = 0,05. Pada urutan anak dapat dibuktikan tidak adanya hubungan yang bermakna antara urutan anak dengan kejadian sindroma Down, karena p-value = 0,747 > α = 0,05.
D. PEMBAHASAN 1. Hubungan Usia Ibu dengan Kejadian Sindroma Down Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara usia ibu dengan kejadian sindroma Down karena p-value = 0,210 > α = 0,05. Resiko kelahiran bayi dengan sindroma Down relatif meningkat dengan meningkatnya usia ibu, meskipun demikian pada penelitian ini ternyata ditemukan angka kejadian yang cukup tinggi pada ibu-ibu yang melahirkan anak dengan sindroma Down dengan usia ≤ 35 tahun yaitu sebanyak 45,7%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Pueschel (1993) bahwa kebanyakan bayi dengan sindroma Down (lebih dari 85%) lahir dari ibu yang berusia kurang dari 35 tahun. Penelitian di Ghost (1995) juga didapatkan data bahwa terdapat insiden yang tinggi ibu yang melahirkan anak dengan sindroma Down di usia muda, dari penelitian tersebut
Jurnal Stikes A. Yani
24
ditemukan juga bahwa usia rata-rata ibu yang melahirkan penderita sindroma Down adalah 26 tahun.
2. Hubungan Penyakit Diabetes mellitus pada Ibu dengan Sindroma Down Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara riwayat penyakit diabetes mellitus pada ibu dengan kejadian sindroma Down. karena p-value = 0,672 > α = 0,05 dan dari 41 penderita sindroma Down, hanya 4 ibu yang mempunyai riwayat penyakit DM. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Narchi (1997) yang menemukan peningkatan kejadian sindroma Down pada ibu dengan diabetes mellitus, dan ditunjang pula penelitian fialkow’s (1999) menunjukkan perbedaan kadar autoantibodi tiroid antara ibu yang melahirkan anak dengan sindroma Down dengan ibu kontrol pada umur sama. Tidak didapatkan penyakit tertentu yang secara langsung menyebabkan peningkatan kejadian sindroma Down, tetapi beberapa peneliti menemukan peningkatan kejadian pada ibu dengan diabetes mellitus.
3. Hubungan Radiasi pada Ibu dengan Sindroma Down Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara riwayat radiasi pada ibu dengan kejadian sindroma Down karena p-value = 1,000 > α = 0,05. Dari 41 penderita Sindroma Down hanya 5 ibunya pernah dilakukan radiasi di daerah perut selama hamil. Angka ini lebih kecil daripada penelitian Uchida (1991), yang menyatakan bahwa sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindroma Down, pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsinya. Radiasi dikatakan merupakan salah satu penyebab terjadinya non disjunctional pada sindroma Down ini. Sedangkan peneliti lain tidak mendapatkan hubungan antara radiasi dengan penyimpangan kromosom. Kecelakaan reaktor atom Chernobil dikatakan merupakan penyebab beberapa kejadian sindroma Down di Berlin (Forrester, 2001). 4. Hubungan Stres Psikososial ibu dengan Sindroma Down Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara stress psikososial ibu dengan kejadian sindroma Down karena p-value = 1,000 > α = 0,05 dan menurut data didapatkan hasil bahwa dari 41 penderita sindroma Down ada sebanyak 10 ibu yang
Jurnal Stikes A. Yani
25
menderita stress psikososial pada saat mengandung anak yang bersangkutan. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan bahwa ibu dari penderita sindroma Down biasanya menderita gangguan stress berat / gangguan jiwa sebelum konsepsi. Pada penelitian Murdoch (1994) dikatakan beberapa ibu mengalami penyakit psikologis, dan mendapat obat-obatan sekitar 1 tahun sebelum konsepsi.
5. Hubungan Urutan Anak dengan Sindroma Down Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara urutan anak dengan kejadian sindroma Down karena p-value = 0,747 > α = 0,05 dan dari data didapatkan bahwa dari 41 penderita sindroma Down urutan anak yang lebih dari 5 hanya didapatkan pada 1 kasus. Hal ini sesuai dengan penelitian Schimmel dkk.(1997) yang mengatakan bahwa prevalensi sindroma Down didapatkan lebih tinggi pada ibu multipara (2-5) daripada ibu yang mempunyai 1-3 anak pada semua golongan usia.
6. Hubungan Faktor Keturunan / Genetik dengan Kejadian Sindroma Down Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara faktor keturunan dengan kejadian sindroma Down karena p-value = 1,000 > α = 0,05. Hal ini berbeda dengan pendapat Pueschel (1993) yaitu diperkirakan terdapat predisposisi genetik terhadap non-disjunctional. Hasil penelitian epidemiologi menyatakan adanya peningkatan resiko berulang bila dalam keluarga terdapat anak dengan sindroma Down. Diperkirakan resiko untuk mendapat anak dengan sindroma Down lagi adalah 1 dari 100 pada tipe trisomi 21 dan mosaikisme, dan bila anak yang terkena mempunyai tipe translokasi atau salah satu orang tua merupakan karier translokasi, resiko untuk mendapat anak dengan sindroma Down lagi meningkat secara bermakna.
7. Hubungan Usia ayah dengan Sindroma Down Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara usia ayah dengan kejadian sindroma Down karena p-value = 0,774 > α = 0,05 dan dari 41 penderita sindroma Down hanya 3 yang ayahnya berusia > 45 tahun ketika anaknya lahir. Hal ini sesuai denganpendapat Walker (1995) yang mengatakan bahwa usia ayah tidak berpengaruh terhadap terjadinya sindroma Down. Pernyataan yang sama dikemukakan
Jurnal Stikes A. Yani
26
oleh Friedman (1991) yang mengatakan bahwa tidak terdapat keterkaitan antara aneuploidi dan usia ayah. Hal ini mungkin karena sperma aneuploidi tidak dapat membuahi sel telur. Jika kedua orang tua si bayi berusia lebih dari 35 tahun, maka konsultasi genetik sangat dianjurkan karena resiko abnormalitas kromosom diduga akan meningkat 5 % pada situasi tersebut. Kini banyak dianjurkan agar pria menjadi ayah dari anak-anak sebelum mereka berusia 40 tahun. Namun, hingga kini masih diperlukan data dan penelitian yang mendukung tentang pernyataan pengaruh usia ayah pada kehamilan. Pendapat lain mengatakan selain pengaruh usia ibu terhadap sindroma Down, juga dilaporkan pengaruh dari usia ayah (> 45 tahun. Penelitian sitogenetik pada orang tua dari anak dengan sindroma Down mendapatkan bahwa 20 – 30 % kasus ekstra kromosom 21 bersumber dari ayahnya. Tetapi korelasinya tidak setinggi dengan usia ibu. Tesh dan Glover (1996) menunjukkan bahwa gamet laki-laki yang sudah lanjut juga akan berpengaruh pada embrio dan janin. Mereka melaporkan bahwa penuaan sperma pada traktus reproduksi kelinci jantan menyebabkan kemampuannya untuk kapasitasi dan fertilisasi sangat menurun. Bila sel telur dibuahi oleh sel sperma tersebut maka akan dihasilkan embrio dengan kemungkinan kelainan bawaan yang meningkat. Keterbatasan penelitian ini adalah perlunya memasukkan variabel-variabel lain selain variabel diatas dengan rancangan penelitian yang lebih tinggi tingkatan seperti kasus kontrol dengan menggunakan instrumen penelitian yang dapat lebih mengukur variabel yang berhubungan dengan sindroma Down.
E. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :1) Terdapat 42,3% anak yang menderita sindroma Down, dan sebesar 57,7 anak tidak menderita sindroma Down; 2) Tidak terdapat hubungan signifikan antara faktor ibu (usia, riwayat DM, radiasi dan stress psikologis) dengan kejadian sindroma Down; 3) Tidak terdapat hubungan signifikan antara faktor ayah (usia, riwayat DM, radiasi dan stress psikologis)dengan kejadian sindroma Down;4) Tidak terdapat hubungan signifikan antara faktor lain (keturunan dan urutan anak) dengan kejadian sindroma Down.
Jurnal Stikes A. Yani
27
Dari penelitian ini dapat disampaikan saran-saran: 1) Secara teoritik hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor resiko antara berbagai faktor penyebab kejadian sindroma Down dan diharapkan juga penelitian ini dapat dikembangkan juga kearah penelitian multivariat untuk mencari lebih dalam lagi hubungan antar faktor-faktor lain yang lebih kuat dengan kejadian sindroma Down; 2) Secara praktek Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pemikiran bagi para tenaga kesehatan terkait dalam melakukan upaya promotif dan preventif dalam pemberian konseling bagi pasangan usia subur tentang faktor ayah dan ibu yang mempengaruhi terjadinya sindroma Down. Bagi keluarga hasil penelitian ini sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi responden dan keluarganya untuk mengetahui tentang faktor resiko terjadinya sindroma Down, sehingga keluarga dapat melakukan pendekatan married conselling atau melakukan prenatal conselling.
DAFTAR PUSTAKA Behrman, dkk. (1996). Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Jakarta: EGC. Buckingham JC, Cowell AM, Gillies GE. (1997). The Neuroendocrine System : Anatomy, Physiology & Responses to Stress. Chicester. Debra. (2001). Risk Factors of Down Syndrom. Http://www.ndss.org Delphie Bandi. (2006). Pembelajaran Anak Tunagrahita. Jakarta : Universitas Pendidikan Indonesia. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, (1993). Pedoman Penggolongan & Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan pertama, Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Eijkman Institute for Molecular Biology. (2005). Diagnosis Prenatal Kelainan Kromosom. Jakarta. Http://www.eijkman.go.id Fakultas Kedokteran Universitas Indoesia. (1995). Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah I, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Forrester, M. (2000). Birth Defect Risc Faktor Series : Down Sindrome. Texas :Texas Department Health, Document E58-10957 D
Jurnal Stikes A. Yani
28
Gunadi. (1995). Beberapa Aspek dari Cacat Bawaan Pada Neonati Yang Lahir Di Rsup dr. Hasan Sadikin, Bandung. Program Pascasarjana. Unpad, Tesis. National Dissemination Center for Children with Disabilities/ NICHCY. (2004). Disability Fact Sheet. Washington 2003. http://www.nichcy.org. Notoatmodjo, S. Metodology Penelitian Kesehatan, Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka Cipta. Sacharin, RM. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Jakarta ; EGC. Sastroasmoro, S. (2002). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis, Edisi kedua. Jakarta : Sagung Seto. Selikowitz, M. (2001). Mengenal Sindroma Down. Jakarta : Arcan. Shannon, M. (1999). Down Syndrome & Folic Acid Nutrition & Down Sindroma Shephard B, Kupke. (1998). Specific Genetic Disorders Presenting in the Newborn. Dalam : Taeusch Hw, Ballard RA, (Eds). Avery’s diseases of the Newborn. Edisi ke-7. Philadelphia. WB Saunders Company. Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak, Edisi ke-1. Jakarta : EGC Sugiyono. (2005). Statistika untuk penelitian. Bandung : Alfabeta. Suryo, H. (1995). Sitogenetika. Yogyakarta :Universitas Gadjah Mada. Riduwan. (2005). Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung : Alfabeta Wong Donna. L. (1997). Wong’s Essentials of Pediatric Nursing. Sixth Edition. Mosby Inc. Wong Donna. L. (2000). Wong’s and Whaley’s Clinical Manual of Pediatric Nursing. Fifth Edition. Mosby Inc.
Jurnal Stikes A. Yani
29