Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Kalau kita konsisten setia pada konsep kebangsaan Indonesia yang ditempa dengan Sumpah Pemuda tgl. 28 Oktober 1928, seharusnya kita tidak menghadapi masalah mayoritas-minoritas. Tetapi ketika kita berada di ambang pintu kemerdekaan, sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tgl. 17 Agustus 1945, secara implisit pembedaan mayoritas-minoritas sebenarnya sudah mulai dengan adanya kehendak mereka yang merasa mewakili penduduk mayoritas Islam untuk memberi warna Islami pada Indonesia Merdeka.
Ini diwujudkan dengan menambah tujuh kata dalam draft UUD pada bagian Pembukaan yang menyangkut sila pertama dari ideologi negara, yaitu keprcayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Menjelang Proklamasi, ketujuh kata itu, yang intinya mewajibkan umat Islam menlaksanakan rukun Islam, dicoret setelah terjadi protes beberapa anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dari daerah Maluku yang beragama Kristen dengan dalih kata-kata itu akan berakibat diskriminasi. Tetapi sejak itu masalah ini tetap menjadi duri dalam perjalanan sejarah Indonesia Merdeka, yang merupakan benih ketegangan hubungan antara mayoritas Islam dan golongan nasionalis serta kelompok-kelompok minoritas non-Islam.
Kita lalu berpura-pura seakan-akan dalam “masyarakat Pancasila” kita tidak mengenal golongan “mayoritas” dan “minoritas”. Dalam iklim dan semangat reformasi sekarang ini, sudah saatnya kita berhenti bermain sandiwara dan membohongi diri sendiri seperti itu. Di mana pun golongan mayoritas dan minoritas itu ada, dan hubungan mayoritas-minoritas di mana pun tidak mudah, sering ditandai prasangka, salah faham dan saling benci. Tidak jarang pula terjadi diskriminasi atas kelompok-kelompok minoritas tertentu.
Tantangan bagi kita adalah bagaimana sebagai suagtu bangsa kita dapat hidup damai dengan kenyataan adanya berbagai golongan dalam masyarakat kita, mayoritas maupun minoritas, apa pun latgar-belakangnya, suku, ras, agama, kebudayaan, bahasa, ataupun asal-usul. Lebih penting lagi, bagaimana kita menjalin hubungan serta kerjasama, saling menerima, saling menghormati, saling membantu dan saling menguntungkan.
Tujuan utama menjalin hubungan demikian itu adalah menghilangkan prasangka, salah faham dan kebencian. Hanya dengan itu kita dapat bersama-sama mengusahakan kesejahteraan bersama. Jalan ke arah tujuan itu amat jauh, berliku-liku, dan banyak sandungannya.
1 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Peristilahan
Saya hendak berbicara lebih dahulu tentang peristilahan, dan sejak awal bahasan ini sudah saya menunjukkan pilihan saya. Atas dasar beberapa pertimbangan, mungkin kini sudah saatnya kita perlu mengganti kata “Cina” dengan “Tionghoa” seperti dulu lagi. Ada petunjuk-petunjuk bahwa sementara kalangan keturunan Tionghoa masih belum atau tidak bisa menerima istilah “Cina”, meskipun mereka tidak pernah atau jarang mengemukakan perasaan atau keberatan itu, sementara yang lain-lain, rela atu tidak rela, menerima begitu saja dan tidak peduli.
Saya perhatikan hingga sekarang banyak orang keturunan Tionghoa memakai kata “Tionghoa”, atau Chinese , atau “keturunan” saja, atau “WNI”. Itu merupakan petunjuk bahwa mereka tidak suka disebut “Cina”. Kedua kata terakhir sebenarnya aneh. Bukankah semua warga-negara Indonesia juga “keturunan” tertentu, dan tentu saja juga WNI?
Orang bisa berkilah, kata bahasa Inggris China atau mungkin kata itu dalam bhs. Belanda di-Indonesiakan menjadi “Cina”..Tetapi bandingkan dengan penggunan kata “Inggris” di negeri ini, untuk mengacu pada negara yang dalam bhs. Inggris lengkapnya disebut The United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland , atau singkat saja Great Britain atau lebih singkat lagi Britain atau UK . Kata “Inggris” juga dipakai untuk menyebut warga negaranya, padahal asalnya kata itu hanya mengacu pada orang-orang dari daerah England.
Sebab itu, orang-orang Welsh dan Scot tidak selalu suka disebut English, dan tidak suka orang menyebut England, jika yang dimaksudkan adalah Britain . Dalam suatu filem yang berjudul The man who never was tahun 1950-an, seorang perwira tentara Inggris mencoba menghibur ayah seorang prajurit yang telah tewas dalam tugasnya. Orang itu berasal dari Skolandia. Kata perwira itu, a.l. “ Your son has died for England.
2 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
” Tetapi sang ayah itu dengan nada kecewa dan marah bertanya, “Why do you always say England when you mean Britain?” Tentu saja, semua warga-negara Inggris, entah mereka itu berasal dari England , Wales , dan Scotland , adalah orang-orang British ( Britons , atau Brits ). Tetapi warga-negara Republik Irlandia tetap orang-orang Irish . Mungkin orang-orang Irlandia Utara pun merasa begitu.
Yang penting adalah bahwa banyak kata mempunyai konotasi, artinya terkaitkan dengan perasaan tertentu. Kata “Cina” di Indonesia umumnya dianggap kasar oleh orang-orang Tionghoa. Pada tahun 1967, dalam era “epilog Gestapu/PKI”, pemerintah RI marah terhadap pemerintah RRT (T =Tiongkok). Seingat saya, memang pemerintah RI sengaja mengubah kata Tiongkok menjadi Tjina (sekarang dieja Cina, maka RRC) untuk menyakiti atau menghina negara itu. Sejak itulah kata “Cina” mengantikan kata “Tionghoa” dan “Tiongkok”. Yang mungkin tidak disadari oleh pemerintah adalah bahwa kata “Cina” sekaligus juga menusuk perasaan orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa.
Sementara itu, sejak awal saya menolak mempergunakan kata “asli” atau “pribumi” dan “non-pribumi”, yang nampaknya dilandasi oleh latar-belakang sejarah. Mungkin ini pengaruh dari Malaysia, yang mempergunakan istilah “bumi putra” bagi orang-orang Melayu. Kesulitan dalam mempergunakan latar-belakang sejarah adalah, sejauh mana kita hendak kembali ke masa lampau?
Saya belajar dari sejarah, orang-orang Jawa berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja. Mungkin penduduk asli atau pribumi di negeri ini, atau sekurang-urangnya di Jawa, adalah yang dalam antropologi disebut Mojokertonensis. Atau yang gambarnya terpampang di British Museum , yang semula saya kira gambar seekor orang utan. Ternyata tertulis di bawahnya, Java man.
3 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Kata “asli” dalam UUD 1945 tentang Presiden juga disalah-gunakan, seakan-akan tidak meliputi warganegara keturunan Tionghoa. Jangan lupa, dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang diketuai oleh Soekarno terdapat beberapa anggota keturunan Tionghoa. Pada saat itu, terutama karena tuduhan kemerdekaan Indonesia adalah rekayasa Jepang, kata itu dipergunakan untuk menghindari adanya Presiden orang Jepang. Beberapa perwira dan prajurit Jepang memang bersimpati, bahkan membantu perjuangan kemerdekaan kita.
Kalau kata “Cina” memang mengandung konotasi negatif, tidak disukai oleh warganegara Indonesia keturunan Tionghoa karena dirasakan kasar, kita semua seharusnya segera menggantikannya dengan kata “Tionghoa”.. Untuk generasi muda yang sudah tidak biasa menggunakan istilah itu, mungkin pergantian ini justru tidak mudah. Tetapi proses sejarah akan menunjukkan, ke arah mana kecenderungannya di masa depan. Konotasi juga merupakan hasil suatu proses, dan proses itu mengalami perkembangan.
Peristiwa Mei & etnis Tionghoa
Masalah mayoritas-minoritas ini sejak kerusuhan tgl.13-14 Mei yang lalu telah semakin menonjol, khususnya yang menyangkut orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa. Dapat diduga, lebih banyak dari kalangan mereka ini daripada kelompok lain, minoritas ataupun mayoritas, yang menjadi korban penjarahan, pembakaran rumah dan tempat usahanya, pembunuhan, penganiayan, dan pemerkosaan, yang pasti mengakibatkan penderitaan dan trauma yang bisa berlangsung lama.
Tentu saja, golongan atau kelompok minoritas di Indonesia ini bukan hanya mereka yang kebetulan keturunan Tionghoa. Ada juga kelompok-kelompok minoritas atas dasar agama, suku, budaya, atau bahasa. Orang-orang yang beragama Buddha, Hindu, Kristen-Katolik, Kristen-Protestan, atau suku Batak, Toraja, Aceh, dsb., juga merupakan kelompok-kelompok minoritas.Tetapi anehnya, mungkin karena sejarah dan berbagai faktor lainnya, kelompok Tionghoa inilah, sebenarnya kelompok ras, yang selalu menjadi atau dijadikan masalah minoritas yang paling menonjol, meskipun terdapat kelompok-kelompok ras lainnya seperti kelompok Arab.
Ada keanehan lain. Manakala orang berbicara tentang “mayoritas” di negeri ini, orang biasanya
4 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
menunjuk mayoritas Islam. Sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, sudah ada mayoritas etnis, yaitu suku Jawa, yang sampai sekarang masih merupakan mayoritas, konon kira-kira 40% dari jumlah penduduk Indonesia. Tetapi lama kelamaan saya duga identitas kelompok-kelompok etnis ini semakin sulit dikenali. Mungkin hal itu akan berlaku juga pada golongan minoritas Tionghoa, kalaupun lebih sulit.
Tujuan integrasi bangsa, atau “pembauran” kalau kita berbicara tentang golongan minoritas Tionghoa, bukan dihilangkannya identitas ras atau etnis, meskipun dapat terjadi secara alamiah. Bagi golongan agama, hal itu juga lebih sulit terjadi.
Etnis Tionghoa dalam perspektif
Sebagian besar korban tindakan-tindakan biadab sekitar peristiwa pertengahan Mei tahun ini di Jakarta maupun di kota-kota lain terdapat di antara saudara-saudara kita dari keturunan Tionghoa. Sebab itu saya dapat mengerti mengapa karena tidak dapat mengatasi perasaan takutnya, banyak di antara mereka ini meninggalkan negeri ini. Apa pun alasannya, itu adalah hak asasi mereka, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan isyu nasionalisme ataupun patriotisme. Jauh lebih besar dari mereka yang ingin berbuat begitu, tetapi tidak mampu dan belum mnemukan alternatifnya, sebagaimana sebagian besar dari kita juga.
Jika orang ketakutan dan merasa terancam jiwanya, apalagi ketakutan itu memang beralasan kuat, dia bisa dan akan berbuat apa saja yang mungkin untuk menghindari ancaman itu. Sayangnya, banyak dari mereka itu mempunyai kemampuan dan ketrampilan sebagai potensi bangsa yang tidak dapat digantikan begitu saja dalam waktu singkat. Sebab itu pernyataan seorang pejabat tinggi bahwa kepergian banyak orang keturunan Tionghoa merujpakan kesempatan bagi orang-orang “pribumi” menggantikan peranan mereka itu dalam bidang usaha khususnya sebagai distributor tidak saja tidak bermoral, tetapi juga tidak realistis.
Masalah perusakan atau pembakaran dan penjarahan toko dan rumah tinggal, penganiayaan, pelecehan seksual dan pemerkosaan, tidak semata-mata masalah minoritas, dan tidak semata-mata menyangkut warga-negara keturunan Tionghoa. Inti persoalannya pada dasarnya adalah bahwa pemerintah kita, dalam hal ini aparat keamanan, gagal memberi perlindungan yang memadai bagi warga-negaranya, apa pun latar belakang keturunannya.
5 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Tetapi para warga keturunan Tionghoa itu nampaknya telah sengaja dijadikan sasaran utama kaum perusuh yang melakukan provoksi bagi suatu amukan massal. Provokasi itu ditujukan untuk menodai dan mendiskreditkan gerakan reformasi para mahasiswa. Faktor keturunan Tionghoa mudah dipergunakan sebagai alat untuk tujuan itu. Pertama, karena memang telah terdapat citra di antara sementara kalangan di masyarakat, yang sekurang-kurangnya tidak pernah terbuktikan kebenarannya, seakan-akan kekayaan negeri ini berada di tangan mereka, yang menjadi sebab kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin melebar. Citra itu seringkali juga ditumbuhkan, sengaja maupun tidak, oleh kalangan elit politik, sehingga menyulut sentimen anti-Tionghoa.
Tetapi, kedua, citra semacam itu juga dipupuk oleh sementara kalangan atas golongan keturunan Tionghoa sendiri dalam dunia bisnis, yang berkolusi dengan pemerintah, dan hidup mewah berlebihan serta memamerkannya secara menyolok. Ini menimbulkan kecumburuan, bahkan mungkin kebencian, terhadap mereka maupun terhadap mereka yang berkuasa, bukan saja pada pihak orang-orang lain yang bukan keturunan Tionghoa, tetapi juga di antara orang-orang keturunan Tionghoa sendiri.
Terjadinya kerusuhan, entah disulut dengan sengaja seperti kasus peristiwa Mei atau tidak, memberi kesempatan pelampiasan kecemburuan, prasangka, kebencian dan kemarahan yang sudah lama terpendam.Tetapi pelampiasan itu tidak mungkin diarahkan kepada pemerintah karena pemerintah terlalu kuat, dan umumnya juga tidak mudah diarahakan pada para elit Tionghoa. Banyak dari mereka lebih mudah “membeli” keamanan, atau lari ke luar negeri. Sebagian mereka bahkan sudah memiliki green card atau izin sebagai permanent resident di salah satu negara Barat. Beberapa dari mereka mengaku, untuk orang-orang setingkat mereka sudah ada contingency plan manakala terjadi sesuatu.
Maka yang menjadi sasaran terutama adalah orang-orang keturunan Tionghoa lain yang tidak bersalah, yang tidak semua kaya, yang hidup dengan sederhana dan bekerja keras mencari nafkah. Mereka merupakan sasaran empuk karena lemah, tidak dapat atau tidak berani melawan, dan umumnya tidak dapat mengharapkan perlindungan dari pihak aparat keamanan kecuali dengan membayar dan diperas. Hal itu berlaku di Jakarta maupun di kota-kota lain. Sebab itu, menurut pendapat saya, golongan Tionghoa elit yang berkolusi dengan pemerintah dan kaya raya, betapa pun kecil jumlahnya, ikut bertanggung-jawab atas nasib saudara-saudara mereka seketurunan, di Jakarta maupun di kota-kota lain.
Bahwa yang lemah (defenceless) biasanya menjadi korban dapat juga kita lihat gejalanya
6 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
pada tingkat yang lebih kecil. Bila terjadi pertengkaran antara orang tua dalam keluarga, tidak jarang anak-anak menjadi korban, atau piring-piring yang tidak bersalah dan tidak dapat melawan. Bisa juga karyawan atau murid-murid di sekolah di tempat sang isteri atau suami bekerja, yang tidak terlibat dan tidak tahu masalahnya sama sekali, tetapi menjadi sasaran kemarahan.
Akhirnya, para warga keturunan Tionghoa banyak yang terlibat dalam usaha bisnis. Mereka melakukan itu, buka kantor atau toko, tentu saja di tempat-tempat yang strategis, banyak dikunjungi orang, dan sebab itu lebih rawan, dan cenderung menjadi sasaran pelampiasan itu.
Apa yang saya kemukakan di atas tentang beberapa faktor yang saya nilai menjadi latar-belakang tindak kerusuhan sama sekali tidak saya maksudkan untuk membenarkan kebiadaban tindakan semacam itu. Saya juga tidak bermaksud mengatakan, bahwa para pedagang atau pengusaha keturunan Tionghoa jangan melakukan usahanya di tempat-tempat atau jalan-jalan yang strategis, tetapi di tengah sawah saja, misalnya, yang sepi dan aman.
Begitu pula saya tidak bermaksud menyarankan agar para warga keturunan Tionghoa diam dan menerima saja nasibnya. Yang saya usahakan adalah mencoba melihat persoalannya dalam kerangka dan perspektif yang lebih luas serta dalam proporsinya yang tepat, agar kita tidak terlalu terbawa oleh ketakutan, amarah dan dendam kesumat. Sebaliknya, saya hendak berbagi pikiran mengenai apa yang bisa dan perlu diperbuat, bukan saja oleh warga keturunan Tionghoa, ataupun kelompok minoritas lainnya, tetapi kita semuanya, menghadapi masalah itu, baik masa kini maupun untuk masa depan.
Dalam jangka pendek, apalagi yang menyangkut pemerkosaan, saya tidak tahu banyak. Tetapi saya yakin, penanganan dan pelayanan bagi para korban merupakan prioritas utama. Meskipun demikian, saya menyadari kesulitan besar yang kita hadapi. Menemukan mereka yang mau mengaku sebagai korban saja sudah tidak mudah. Dan kalaupun kita menemukannya, lebih sulit lagi mendekatinya agar mereka mau bicara. Bukan saja mereka sudah dipermalukan dan ternodai secara fisik dan mental, serta kehilangan harga dirinya, tetapi juga takut akan keamanan dirinya jika membuka mulut.
Kemudian, kalaupun kita mempunyai ahli-ahli psikologi maupun pembimbing rohani untuk mendampinginya, mereka harus diterima oleh para korban, sehingga mereka mau berbicara bagi kesembuhan mental dan spiritual mereka sendiri. Faktor-faktor itu berlaku juga bagi keluarga korban, khususnya para orang tuanya.
7 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Aspek kedua adalah askpek hukum. Pengusutan secara hukum merupakan tuntutan mutlak. Tetapi sekurang-kurangnya untuk sementara, hal itu belum perlu diketahui oleh para korban, yang mungkin justru akan membuat enggan berbicara. Kesulitan lain dalam hal itu adalah kelemahan sistim hukim dan peradilan di negeri ini, termasuk aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Di AS yang sudah maju, kasus perkosaan memprihatinkan. Hukumannya terlalu ringan. Beban pembuktian (burden of proof) ditimpakan pada pihak korban. Ini menyebabkan korban enggan melaporkan kasusnya. Harga yang harus dibayar terlalu tinggi, yaitu perasaan malu, ternoda, dan tercemar namanya, tidak sepadan dengan hasilnya.
Tetapi aspek ketiga dapat langsung dilakukan oleh masyarakat, yaitu kampanye, gerakan advokasi, bagi perlindungan wanita dan kelompok minoritas. Ini harus dilakukan oleh semua pihak, bukan saja kelompok minoritas Tionghoa, tetapi juga kelompok-kelompok minoritas lainnya dan golongan mayoritas. Memang, perlindungan bagi setiap warga negara, termasuk bagi wanita dan golongan-golongan minoritas, adalah tugas negara. Tetapi golongan mayoritas harus tampil di depan. Golongan mayoritas, seperti pernah dikatakan oleh Gus Dur, harus dapat ikut “mengayomi” golongan-golongan lain yang lebih kecil dan lemah dalam masyarakat, bukan malahan iktu-ikutan menindas.
Begitu pula, bagi saya toleransi terutama berlaku pada pihak yang lebih besar, yang lebih kuat, terhadap yang lebih kecil dan lebih lemah, bukan sebaliknya. Ketika seorang supir bus mengalah pada supir bajaj, seorang pengendara mobil mengalah pada pejalan kaki, itu toleransi. Tetapi pejalan kaki yang mengalah pada pengendara mobil, atau pengendara sepeda motor mengalah pada pengedara mobil atau bus, itu karena takut, bukan toleransi. Saya mendapat kesan, di negeri ini istilah “toleransi” sudah mengalami distorsi, seperti beberapa istilah lainnya.
Golongan non-Tionghoa, terutama mayoritas Islam, perlu menyadari, bahwa nama mereka juga sudah ternoda mungkin oleh kalangan mereka sendiri. Berapa banyak rumah-rumah selama huru-hara bulan Mei itu diberi tanda secara menyolok, “Milik Muslim Pribumi”, jelas dengan tujuan agar tidak menjadi sasaran. Asumsinya, yang melakukan berbagai tindak biadab itu seakan-akan hanya orang-orang Muslim dan “pribumi”.. Mungkin sebagian besar benar, karena masyarakat Muslim memang merupakan mayoritas besar di negeri ini, yang terbesar di dunia. Implikasinya adalah bahwa kebanyakan yang miskin juga terdapat di antara mayoritas itu. Begitu pula yang ada di penjara. Sebaliknya, begitu pula yang biasanya memegang kekuasaan.
Bayangkan sebaliknya yang terjadi, misalnya, dalam masyarakat Philipina. Yang melarat, tertindas dan tersingkirkan, begitu pula yang menjadi penjahat, saya kira kebanyakan
8 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
beragama Katolik. Tetapi yang kaya-kaya, yang menindas, tuan-tuan tanah, saya duga kebanyakan juga orang-orang Katolik. Menjadi mayoritas besar memang mahal harganya. Meskipun demikian, menyamaratakan, meng-gebyah uyah, tidak benar. Saya mendengar, pada hari-hari naas bulan Mei itu, terdapat juga orang-orang Katolik, malahan sekeluarga, ikut menjarah.
Analisa yang tepat tentang unsur etnis Tionghoa dalam serangkaian kerusuhan pertengahan Mei tahun ini perlu agar kita dapat melihat permasalahannya dalam perspektif dan proporsi yang benar. Tanpa pemikiran yang jernih dan tepat, orang mudah berkesimpulan bahwa banyaknya korban dari kalangan etnis Tionghoa semata-mata atau terutama disebabkan oleh kebencian rasial, yang menurut penilaian saya tidak benar.
Sebab itu, di satu pihak, terlalu menekankan unsur etnis Tionghoa, sekurang-kurang kesan demikian dapat menimbulkan semacam backlash, yang sudah terlihat kecenderungannya. Penjelasan atau penilaian yahg kuang tepat tentang peranan unsur etnis Tionghoa dalam kerusuhan, dan penekanan yang berlebihan pada unsur itu dapat membuat golongan mayoritas Islam menjadi defensif. Sudah terdengar bantahan dari kalangan masyarakat Islam, misalnya, bahkan dari kalangan pemerintah, bahwa tuduhan atau keluhan pemerkosaan massal terutama terhadap wanita-wanita Tionghoa selama kerusuhan kurang didukung bukti-bukti, sehingga mereka balik menuduh seakan-akan mempersoalkan masalah itu merupakan usaha mendiskreditkan atau mencemarkan umat Islam.
Di lain pihak, mengingkari adanya unsur etnis Tionghoa, juga sekurang-kurang kesan demikian, akan cenderung menyakiti warga komunitas etnis Tionghoa. Ini terjadi terutama di luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Kedua macam backlash itu hanya akan mendorong saling benci dan balas dendam. Kenyataannya adalah bahwa terdapat juga korban di antara warga keturunan lain, bahkan bukan saja anggota kelompok minoritas, tetapi juga warga anggota mayoritas, meskipun jumlahnya jauh lebih kecil, sedang kebanyakan terdapat di antara warga etnis Tikonghoa.
Hikmah & momentum krisis
Sebab itu, serangkaian peristiwa yang banyak menyangkut orang-orang keturunan Tionghoa hendaknya tidak membuat kita terus tenggelam dalam kesedihan dan ketakuan, atau sebaliknya amarah, dan mungkin bahkan dendam dan kebencian. Sebaliknya, pengalaman itu dapat merupakan shock therapy dan momentum “kebangkitan” mereka, agar mereka
9 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
menyadari, berani berbicara dan bertindak untuk mengurangi prasangka dan menghilangkan citra negatif yang keliru yang dapat disaslahgunakan. Lebih poenting lagi, mereka harus menmperjuangkan dihapuskannya berbagai diskriminasi yang telah mereka derita selama ini dan dikembalikannya hak-haknya, baik sebagai warga-negara biasa maupun sebagai anggota kelompok minoritas. Dengan demikian, mereka yang menjadi korban keganasan itu tidak sia-sia pengorbnannya demi perbaikan nasib generasi yang akan datang di masa depan. Kalau yang bersangkutan saja sudah menerima dan diam saja, mengapa orang-orang lain mesti pusing memperjuangkannya, padahal masalah itu adalah masalah kita semua sebagai bangsa?
Krisis sekarang ini juga memiliki momentum yang dapat kita pergunakan untuk mempersiapkan masyarakat masa depan yang lebih baik, yang ditandai hubungan dan kerjasama secara rukun dan damai antar golongan. Dialog antar agama lebih berlaku pada tingkat tertentu. Pada lapisan masyarakat luas, lebih penting lagi adalah semakin membudayanya kebiasaan hidup bersama, kerjasama dan hubungan yang penuh toleransi, saling pengertian, saling menghargai, dan salling menguntungkan. Hal itu dapat kita bina dengan bekerjasama dalam membantu mengatasi krisis ekonomi, terutama krisis pangan dewasa ini. Itu saya sebut dalam membicarakan kaitan antar kegiatan karitatif dan kehidupan politik.
Tetapi berkaitan dengan peristiwa kerusuhan yang memakan korban banyak di antara saudara-saudara kita keturunan Tionghoa dan kelompok-kelompok minoritas lainnya seperti Kristen/Katolik, saya kira dituntut dari kita sikap dan tingkah laku tertentu. Sekurang-kurangnya hal itu dapat diharapkan membantu mengurangi kemungkinan berulangnya peristiwa kebiadaban seperti itu. Dari kita dituntut tingkah- laku sebagai manifestasi solidaritas dengan mereka yang lebih menderita karena krisis ini. Misalnya, bagi mereka yang biasa bepergian dengan mengendarai mobil mewah, ada baiknya kali ini menggunakan mobil yang lebih sederhana - kalau memang ada tentu saja.Dalam masyarakat ini, mobil, apalagi yang mewah, bukan saja dipandang sebagai simbol status, tetapi juga sebagai simbol kekayaan, salah atau benar. Dalam pengertian itu, simbol-simbol itu sendiri sudah dapat menimbulkan kecumburuan, apalagi kalau yang memiliki adalah orang-orang anggota minoritas.
Pesta-pesta perkawinan - atau pesta apa pun - sebaiknya juga lebih sederhana dari biasanya sebelum kita dilanda krisis. Saya heran, bagaimana sementara orang, entah karena tuntutan orang tuanya atau anaknya yang menikah, atau keduanya, apa pun alasannya, masih tega mengadakan pesta perkawinan dalam masa krisis seperti ini dengan cara yang saya pandang mewah atau mahal. Apakah orang-orang seperti itu tidak tahu, atau tidak peduli, bahwa semakin banyak orang kehilangan mata pencarian, kekurangan atau semakin sulit mendapatkan sembako dan kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari lainnya? Doa dan penyerdahaan cara hidup kita masing-masing, merupakan langkah-langkah minimum yang dapat kita lakukan secara pribadi atau dalam keluarga sebagai wujud solidaritas sosial,
10 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
terutama dengan mereka yang lebih menderita daripada kita, kalaupun kita tidak dapat bertindak lebih dari itu.Begitu pula, sementara kalangan Kristen dan Katolik nampaknya masih merasa wajar saja mengumpulkan uang untuk pembangunan gedung gereja dalam suasana krisis ini.
Hak-hak minoritas
Sebenarnya tidak mudah memberi definisi golongan minoritas. Biasanya istilah “minoritas” mengacu pada golongan-golongan yang anggota-anggotanya mengalami perlakuan-perlakuan diskriminatif dan seringkali ditempatkan pada kedudukan yang relatif rendah dalam struktur status dari sistim sosial. Status golongan minoritas secara khusus terkaitkan dengan latar belakang ras, suku, agama, budaya, bahasa, atau asal-usul.
Kaitan dengan berbagai latar belakang itu penting. Dari segi jumlah, apa yang kita mengerti sebagai “golongan atas”, bahkan “menengah atas”, entah dari segi kekayaan, pendidikan, atau kekuasaan, mereka itu juga merupakan “minoritas”.. Meskipun begitu, mereka itu tidak biasa disebut kelompok minoritas dalam pengertian yang sama ketika kita berbicara tentang minoritas Tionghoa atau Kristen di Indonesia. Contoh-contoh “minoritas” seperti itu di antaranya adalah pemerintahan Presiden Saddam Hussein di Irak, yang berasal dari minoritas Islam Suni. Di Yordania, pemerintahan Raja Hussein berasal dari minoritas Beduin. Rezim apartheid di Afrika Selatan dulu adalah kelompok minoritas kulit putih.
Sentimen rasial dan keagamaan di negeri ini paling mudah dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan destruktif. Kecenderungan ini diperkuat oleh beberapa bentuk diskriminasi yang sudah berlangsung lama di negeri ini. Sebab itu, pengalaman berbagai kerusuhsan itu telah menimbulkan kesadaran akan hak-hak minoritas. Ini merupakan hikmah, karena selama ini tidak selalu disadari adanya bentuk-bentuk diskriminasi, resmi ataupun tak resmi, khususnya terhadap warga golongan keturunan Tionghoa. Kalaupun disadari, orang takut memprotes atau menuntut, lalu diam saja, atau paling banter grundelan dan mengeluh. Lama-kelamaan praktik-praktik diskriminasi itu terpaksa diterima seakan-akan sebagai hal-hal yang wajar, sudah seharusnya begitu, sebagai part of the order or nature of things.
Diskriminasi mempunyai dua pengertian. Pertama, diskriminasi merupakan penyangkalan hak-hak sesuatu kelompok warga-negara, yang sebenarnya berlaku untuk semua warga, sementara komitmen dan kewajiban yang juga berlaku bagi semua warga-negara, tetap dituntut, kalau tidak malahan lebih, dari para warga-negara lainnya.
11 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Kedua , diskriminasi merupakan penyangkalan hak-hak minoritas sesuatu kelompok yang harus dilindungi dalam negara demokrasi, sementara hak-hak serupa kelompok-kelompok lainnya tetap dilindungi, atau sekurang-kurangnya dibiarkan.
Termasuk bentuk diskriminasi jenis pertama dapat disebut, misalnya, hambatan atau pembatasan kesempatan warga kelompok minoritas untuk memperoleh kesempatan kerja dalam pemerintahan, dinas militer, atau kesempatan pendidikan di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi negeri. Hambatan atau pembatasan ini dapat bersifat resmi, atau pun tidak resmi, yang lebih seringkali terjadi di negeri ini.Suatu bentuk lain diskriminasi dalam kategori ini adalah adanya kode atau tanda-tanda tertentu pada KTP, yang berlaku pada warga keturunan Tionghoa. Saya tidak tahu presis apakah hal itu (masih) berlaku juga untuk mereka yang disebut “tapol”. Saya juga tidak tahu presis untuk apa, meskipun saya yakin bukan untuk sesuatu tujuan yang mulia.
Dalam kategori kedua diskriminasi dapat disebut, resmi maupun tidak resmi, dilarangnya sekolah-sekolah Tionghoa yang memakai bahasa Tionghoa sebagai bahasa pengantar, dan publikasi media berbahasa Tionghoa, kecuali yang dikelola pemerintah. Begitu pula tidak diakui dan dihormatinya agama Kongfucu, serta perayaan-perayaan sesuai dengan adat kebiasaan Tionghoa, seperti Tahun Baru Imlek dengan pertunjukan tari-tarian barongsai sebagai salah satu bentuknya.
Kedua kategori diskriminasi itu harus segera dihapus, kafena diskriminasi adalah bentuk ktidakadilan. Yang pertama menyangkut hak asasi dan hak warga-negara. Yang kedua menyangkut hak minoritas, yaitu hak untuk mempertahankan atau memelihara identitas keagamaan, budaya, bahasa, dan adat-istiadat.
Kehidupan politik
Kita semua sebagai suatu bangsa secara keseluruhan berkewajiban memperjuangkan dan menuntut dikembalikan, diakui, dihormati, dan dilindunginya hak-hak itu, sejauh hak-hak itu tidak bertentangan dengan kepentingan atau kesejahteraan umum. Tetapi lebih penting lagi, mereka sendiri yang bersangkutan harus berani memperjuangkannya secara terbuka.
12 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Di situlah letak arti dan nilai kehidupan politik dan partisipasi mereka dalam kehidupan politik. Kehidupan politik merupakan jalan yang paling efektif karena keputusan-keputusannya didukung oleh kekuasaan, dan kekuasaan itu syah dalam suatu sistim demokrasi yang sehat, dan karena keputusan politik mempunyai jangkauan luas dan lintas golongan..
Partisipasi itu (berpolitik) adalah hak setiap warga-negara, dan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Salah satu bentuk adalah “berpolitk praktis”, meskipun berpolitik praktis tidak harus berarti menjadi “politikus.” Dan salah satu wadah untuk berpolitik praktis adalah partai politik. Partai politik dapat dibentuk bagi kaum minoritas yang secara khusus hendak memperjuangkan hak-hak minoritas itu, seperti golongan keturunan Tionghoa. Partai politik seperti itu tidak harus bersifat tunggal. Tetapi beberapa yang ada perlu berkoalisi atau beraliansi satu sama lain. Dan secara bersama atau kolektif, mereka masih harus bekerjasama, berkoalisi atau beraliansi dengan partai yang lebih besar, khususnya partai yang didukung oleh sebagian besar umat Islam, yang merupakan mayoritas terbesar di negferi ini.
Pilihan kedua, mereka dapat bergabung dalam partai berbagai kelompok minoritas, yang mempunyai kepentingan serupa.. Dan pilihan ketiga, mereka dapat bergabung dengan partai kelompok mayoritas yang dapat menampung, menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi mereka itu sebagai bagian integral dari perjuangan untuk kesejahteraan umum. Dalam hal itulah golongan mayoritas mempunyai tanggung-jawab untuk berada di garis depan membela hak-hak kelompok minoritas, membantu mengayomi dan melindungi mereka, bukan sebaliknya malahan mempelopori praktik-praktik diskriminasi.
Lagi pula, sebagai langkah reformasi, memperjuangkan sesuatu yang benar tidak lagi harus melalui “kolusi” dengan yang berkuasa, dan dengan begitu mempergunakan kekausaan, melainkan dengan keyakinan seluruh masyarakat, jadi dari bawah. Jika begitu, terwujudkannya masalah-masalah itu
dalam bentuk perundangan memang didasarkan pada kehendak rakyat, dan sebagai masukan dari bawah, dari masyarakat, bukan dari atas. Ini merupakan proses demokrasi yang sewajarnya.
Sebaliknya, kaum minoritas berkewajiban menunjukkan dan membuktikan komitmen, kepedulian, dan tanggun-jawabnya yang sama sebagai warga-negara pada kehidupan bermasyarakat dalam semua seginya. Pembatasan lapangan kerja di bidang pemerintahan dan militer, misalnya, yang merupakan warisan kolonial Belanda, seharusnya tidak justru
13 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
dijadikan dalih untuk mendidik generasi mudanya agar menghidarinya dan memusatkan perhatiananya hampir semata-mata di bidang usaha, yang memang memberti kesempatan lebih besar untuk mencapai suatu gaya dan taraf hidup materiil yahg lebih tinggi. Ini akan cenderung menanamkan atau membudayakan suatu citra yang keliru, seakan-akan bagi warga keturunan Tionghoa politik merupakan “tabu” , seakan-akan mereka “takut” berpolitik, “oportunis”, “ikut angin” saja dalam berpolitik, dan bahkan seakan-akan mereka “tidak berhak” berpolitik.
Warga kelompok minoritas, baik minoritas keagamaan maupun kelompok keturunan khususnya keturunan ras Tionghoa, hendaknya semakin membaur. Dan sebagaimana perjuangan untuk menghapus segala bentuk diskriminasi, pembauran adalah masalah dan kepentingan kita semua sebagai bangsa. Pembauran tidak harus berarti ganti nama, kawin campur, atau meninggalkan identitas budayanya, kecuali kalau memang dikehendakinya secara suka rela atau berlangsung secara alamiah. Tetapi jelas, eksklusivisme dalam bidang apa pun tidak sesuai dengan semangat perjuangan itu. Begitu pula kecenderungan berkolusi dengan pejabat, yang memang mempunyai latar-belakang historis sejak kedatangan orang-orang Tionghoa jaman dahulu kala di di negeri ini.
Dengan begitu kita membantu mengembangkan dan membudayakan kebiasan pergaulan, hubungan dan kerjasama dengan semua golongan pada semua tingkatan dan dalam semua bidang kehidupan, termasuk wilayah timpat tinggal, lapangan kerja, pendidikan, dsb. Dan dengan demikian kita membantu mengurangi prasangka, kecemburuan, dan ketegangan, serta sebaliknya mengembangkan komunikasi ke arah saling pengertian, saling menghargai dan menghormati. Baik mayoritas maupun minoritas mempunyai kepentingan dan komitmen yang sama, yaitu menegakkan masyarakat yang semakin adil, dengan kesejahteran yang semakin merata untuk semua orang, selama kita semua tetap bertekad hidup bersama sebagai suatu bangsa yang beradab, yang menghormati martabat sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan, kendati perbedaan dalam hal latar-belakang keturunan, keagamaan, kebudayaan, bahasa, dan asal-usul.
Akhirnya, alternatif apa pun yang dipilih, perlu sekali bahwa para anggota kelompok etnis minoritas Tionghoa yang bergerak di berbagai wadah dan berbagai bidang tetap memellihara komunikasi dan koordinasi satu sama lain, agar terpelihara adaanya saling pengertian dan tidak berseberangan serta bertabrakan, meskipun mungkin jalan atau taktik yang ditempuh dapat berbeda. Tujuan strategis jangka panjang perlu didukung oleh seluruh mayarakakt etnis Tkionghoa. Di sinilah letak nilai suatu wadah atau semacam paguyuban yang tidak secara formal bergerak di bidang politik, tetapi lebih merupakan forum sosial-budaya, komunikasi dan koordinasi, untuk mendukung perjuangan segenap komunitas etnis Tionghoa dalam berbagai bidang, termasuk bidang politik.
14 / 15
Minoritas Etnis Tionghoa & Kehidupan Politik Written by Soedjati Djiwandono Saturday, 05 September 1998 00:00 -
Soedjati Djiwandono, 5 September 1998
15 / 15