MEWUJUDKAN TRADISI ISLAM DALAM MANIFESTASI HARMONI KEBERAGAMAAN UMAT Mas’udi STAIN KUDUS Email:
[email protected]
ABSTRAK Islam adalah agama misi yang diwahyukan Allah swt., kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw. Dalam perjalanannya pula, Islam berjalan beriringan dengan dinamika kehidupan umat sehingga menjadikannya kadang dipertentangkan dan di diteladani. Plus minus keberadaan ini tidak menjadikan Islam surut dalam usahanya mengentaskan keberadaban umat manusia. Islam terus menjalankan misi sucinya dengan memberikan uraian keilmiahan hidup sehingga pada akhirnya masyarakat mulai mengerti akan hakikat dari keharmonisan hidup bersama dalam lintasan keyakinan. Tuntutan utama yang diajarkan oleh Islam adalah menyadarkan masyarakat akan arti penting tradisi sebagai perekat utama doktrin keislaman dengan perjuangan Rasulullah saw. Tradisi dalam Islam dengan pengertian akan eksistensi keanekaragaman sosial, budaya, dan bahkan agama itu sendiri menjadikan Islam sebagai jalan tengah bagi masyarakat. Islam memberikan beberapa deskripsi realistis tentang hakikat hidup setiap pribadi yang mustahil dinafikkan kebersandarannya kepada nilai-nilai suci masing-masing agama. Di atas kenyataan
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
1
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
inilah, tuntutan untu menghadirkan harmoni Islam sebagai pemersatu kehidupan umat niscaya dikedepankan. Kata Kunci: Tradisi, Jalan Tengah (middle roader), al-Sunnah, Ritual, Keberagamaan
Pendahuluan Ritual merupakan manifestasi utama perjalanan dinamika keberagamaan para pemeluk agama. Di atas kenyataannya, masing-masing pemeluk agama akan menghadirkan kenyataan ini sebagai perwujudan dari keyakinan mereka terhadap agama yang dianut dan dipercaya. Berbagai pola niscaya dikembangkan oleh segenap pemeluk agama guna mengejawantahkan doktrin agama sebagai kesatuan praktek dalam kehidupan beragama. Berbagai ritual dalam Islam sebagai menifestasi dari nilai-nilai dan budaya suatu agama, terdapat beberapa entitas yang bisa diperhatikan eksistensinya; kuatnya akar dari tradisi, budaya keagamaan—ritual—yang terdapat dalam diri masingmasing pemeluknya. Realita ini adalah gambaran yang sangat faktual untuk mengkajinya dengan baik dan sempurna guna menemukan suatu hakekat terbesar dari agama atas perwujudan nilai kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha ESa. Kebesaran suatu agama dengan berbagai bentuk atributnya menjadi semakin debatable atau diperdebatkan dalam masyarakat ketika tradisi ekspresi yang mereka tampilkan sangat berbeda dari aksentuasi orang lain dalam pengimplementasian agamanya. Dalam masyarakat yang sederhana dan yang hampir tidak dapat dibedakan, ada sedikit perbedaan antara kisah-kisah keagamaan dengan kisah-kisah kemasyarakatan lainnya. Namun demikian, agama tidak sama sekali diidentikan dengan ketertiban sosial. Dalam masyarakat yang lebih maju, kisah-kisah keagamaan muncul sebagai simbol keagamaan dan simbol sosial yang secara jelas dapat dibedakan, yang saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya pada kutub pengaruh yang saling menguntungkan. Akhirnya, di dalam masyarakat yang komplek dan sangat beragam dewasa ini, kisah keagamaan hanya mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap kisah kemasyarakatan melalui pengaruhnya dalam membentuk penilaian dan pandangan dunia
2a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
dari individu dan keluarga.1 Sebagai penghujung dari realitas tersebut, aspek kompleksitas dalam tatanan suatu agama semakin mengisolasikan satu pemeluk agama tertentu terhadap pemeluk agama yang lainnya. Pertautan realita sosial dalam bermasyarakat yang berhubungan dengan pengimplementasian semua aspek-aspek ekspresif mereka dalam beragama—ritual—tidak akan semakin tajam, jika pemetaan nilai-nilai keagamaan dapat disandingkan bersama. Pemetaan nilai-nilai tersebut dapat diklasifikasikan dalam dua hal; Pertama, Human Contruction—kontruksi manusia—. Budaya sebagai realita sosial dalam masyarakat, mempunyai unsur kebiasaan, kontinuitas dan tidak pernah berhenti. Keberlanjutan ini sebagai manifestasi konstruk budaya pada manusia dan mengendap kuat pada masing-masing mind setting pola pikir mereka dan akhirnya menjadi suatu ideologi tanpa adanya suatu deskripsi yang valid, penyokong terhadap nilai budaya yang ada. Kenyataan ini bisa terjadi karena pemahaman masing-masing masyarakat bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuh kehidupannya dengan belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.2 Bagian kedua dari pemetaan tersebut adalah sinkretisme budaya—Cultural Sincreticism—. Ritual dalam suatu agama pada awalnya adalah implementasi dari nilai suci ajaran agama yang ada. Tradisi keagamaan tersebut secara bertahap mengalami proses transformatif seiring dengan sampainya ajaran agama tersebut di luar domain agama itu sendiri diturunkan. Perbedaan lokasi, wilayah, kultur, dan tradisi yang ada ini menjadi paradigma logis dalam diri pemeluk agama. Tranparansi tradisi agama yang ada dengan unsur budaya yang mereka miliki membentuk pola-pola ritual keagamaan baru di masyarakat sehingga terciptalah budaya keagamaan baru dalam kehidupan mereka. Melalui beberapa pola ini pula terjadilah sinkretasi tradisi suatu agama dengan budaya lokal yang ada. Andrew M. Greely, Agama Suatu Teori Sekuler (Jakarta:Erlangga, 1982), hlm. 113. 2 Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 1. 1
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
3
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
Membentuk kemajuan di tengah-tengah kehidupan umat secara niscaya perlu menyadarkan masyarakat itu sendiri akan eksistensi dari pertumbuhan di tengah-tengah kehidupan mereka. Sebagaimana dicatat oleh Ris’an Rusli bahwa modernisme dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Pikiran dan aliran ini segera memasuki lapangan agama dan modernisme dalam hidup keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan jaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan dan falsafat modern. Aliran ini akhirnya membawa kepada timbulnya sekularisme di Barat.3 Ide-ide sekularisme yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyaraka Barat memberikan kontribusi terhadap tuntutan modernisme bagi kehidupan masyarakat dalam beragama. Hal ini tentunya bukanlah dengan usaha menafikkan hakikat dasar agama dengan mengedapankan nilai-nilai materi semata bagi pemeluknya. Islam secara utuh memberikan perekatan nilainilai sosial dan ketuhanan demi menghadirkan sikap modernisme kehidupan pemeluknya. Hal ini secara niscaya dipraktekkan oleh Nabi Muhammad saw., sebagai teladan hakiki kehidupan masyarakat muslim. Fakta ini dicatat oleh Afif Muhammad dengan penjelasannya bahwa tipologi manusia Qur’ani diwujudnyatakan oleh Rasulullah saw., demi menghadirkan kehidupan masyarakat yang sudah mengalami dekadensi. Nabi Muhammad saw., hadir sebagai pengejawantah al-Qur’an dalam bentuk manusia. Jika dia berbicara, maka cara berbicaranya adalah cara berbicara menurut al-Qur’an. Jika dia duduk, maka duduknya adalah duduk model al-Qur’an.4 Terilustrasi dari beberapa argumentasi di atas terdapat dua eksistensi keagamaan yang ingin diwujudnyatakan masyarakat terhadap pola-pola pemahaman keagamaan masing-masing. Secara Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 176. 4 Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam Nonsektarian (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 89. 3
4a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
komparatif terlihat bahwa fenomena keagamaan masyarakat di Barat menyentuh kepada nilai-nilai sekularitas kehidupan. Untuk meluncur melewati kejumudan dalam keberagamaan masyarakat diajak untuk meninggalkan tradisi dan beralih kepada pemikiran. Hanya dengan fakta ini akan terwujud sepenuhnya pertumbuhan masyarakat yang lebih moderat. Hal ini secara berbeda dengan eksistensi Islam yang bersandar kuat kepada risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., sebagai rasul-Nya. Modernisme Islam ditunjukkan oleh Rasulullah saw., dengan pengejawantahan dirinya sebagai insan Qur’ani. Pada praktek kehidupan beliau semua aktifitas lahir dan batin manusia ditunjukkan. Representasi Ritual Islam bagi Kejahiliyahan Masyarakat Arab Islam terlahir sebagai jawaban atas tradisi Jahiliyyah yang telah mengakar kuat dalam diri masyarakat Arab. Kelaliman yang telah mereka perbuat dari, penganiyayaan, perjudian, perzinaan dan lain sebagainya, telah mengendap kuat dalam diri mereka dan menjadi tipikal utama kehidupan di masa tersebut. Perwujudan keagamaan yang mereka lakukan di masa tersebut merupakan manifestasi utama dari pola kehidupan masyarakat Arab yang lebih menyentuh ke aspek dekaden. Fakta ini secara nyata ditegaskan oleh Afif Muhammad bahwa pada masa awal Islam diwahyuka ke tengah-tengah kehidupan masyarakat diorientasikan seutuhnya untuk mengikis kejahiliyahan mereka.5 Kehadiran Islam dengan keutuhan etimologinya sebagai ajaran berserah diri kepada Allah swt., datang untuk meluruskan hakekat hidup masyarakat Arab yang telah keluar dari sumbu utama kehidupan Rabbani. Kelaliman yang secara implisit mereka kultuskan sebagai esensi dari hidup mereka, berangsur-angsur diarahkan kepada kenyataan hidup di dunia ini. Nabi Muhammad saw., sebagai pioner dari ajaran ini, menerima pesan suci dari Allah swt., untuk memberikan suatu paradigma baru dalam hidup yang lebih imajinatif dan progresif. Rasulullah mendapatkan pesan Penjelasan tentang hal ini dikupas secara deskriptif analitis oleh Afif Muhammad dalam karyanya pada bab pembahasan tentang Manusia Qurani. Lebih lanjut baca; Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam Non-sektarian. Ibid., hlm. hlm. 87. 5
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
5
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
pertama dengan wahyu Allah swt., pada QS. Al-‘Alaq (96:1-5)6 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan; Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah; Bacalah dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah; Yang mengajar (manusia) dengan pernatara kalam; Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. Menganalisa secara deskriptif penjelasan ayat al-Qur’an tersebut, masyarakat Arab dengan kehadiran ajaran Islam dan tuntutan perwujudan ritual keagamaannya diperintah untuk memahami hakikat kosmologi sebagai tempat mereka bernaung dan mengemban amanat dalam hidup. Pada bagian selanjutnya fakta kehidupan mereka dituntut untuk menyadari tentang nilainilai antropologis karena kehidupan mereka tercipta dari aneka warna bentuk suku, ras, dan social. Kesadaran berikutnya dari tuntutan Islam dengan ayat tersebut adalah pemahaman akan nilai teologis. Nilai ini seutuhnya mengajak kehadiran akan kesadaran mereka bahwa pengertian akan Pencipta adalah kenisccayaan dalam kehidupan. Pada bagian nilai berikutnya yang dituntut kepada mereka kehadirannya adalah nilai-nilai sosiologis. Kehiduapan masyarakat Arab tercipta dengan aneka bentuk sosial pendukungnya. Untuk itulah, tiada suatu kebenaran yang bisa dipahami bahwa suatu kedudukan sosial tertentu mampu mendominasikan dirinya terhadap nilai sosial yang lain. Pada bagian akhir, masyarakat Arab dituntut kesadaran diri mereka akan nilai-nilai eskatologis kehidupan. Semua kehidupan yang dijalankan oleh setiap pribadi akan berakhir semua pengembaraan tersebut ke hadirat-Nya. Untuk selanjutnya pula, melalui wahyu inilah Rasulullah saw., memulai misi sucinya untuk meluruskan akidah (kepercayaan orang-orang Arab) yang telah hilang jauh dari ajaran suci agama. Islam dalam realitas perjalanannya memberikan kontribusi besar dalam peradaban sosial, budaya, dan kultur dalam masyarakat. Kontribusi peradaban yang dimilikinya tumbuh sempurna. Kebudayaannya menjadi pembimbing bagi kebudayaan-kebudayaan lain, serta akhlak dan adat istiadatnya Departemen Agama Republik Indonesia, Terjemahnya (Semarang: Al-Wa’ah, 1989), hlm. 1079. 6
6a
Al-Qur’an
dan
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
lebih tinggi dari pada yang ada sezamannya. Untuk selanjutnya, umat-umat yang lain merasa bahwa tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mengikuti contoh-contoh umat ini dan menerima ajaranajarannya. Sehingga meskipun dari segi jumlah umat ini kecil saja, namun ia mempunyai ruang gerak yang amat luas, seakanakan umat ini merupakan ruh bagi alam, dan alam merupakan jasad baginya.7 Ketimpangan-ketimpangan serta kebodohan yang menimpa umat manusia pada masa itu, berangsur-angsur hilang dan pergi digantikan dengan tradisi baru, yaitu tradisi Islam dengan semangat suci yang menyertainya “Rahmatan lil ‘Alamin” Islam rahmat bagi segenap umat. Kemegahan peradaban dan ketinggian tradisi yang telah diberikan serta disumbangkan oleh Islam terhadap peradaban umat manusia, bukti monumental yang harus diketahui dan diresapi serta diaktualisasikan realitasnya oleh para generasi muda Islam sebagai sarana penyeimbang—balancing power—bagi mereka dalam melihat, mengasah dan mejalankan realitas global yang semakin bebas. Kemajuan yang tealah diberikan oleh zaman modern ini, tidak dapat dihindarkan bahwasanya kenyataan ini tercipta dari sumbangan Islam pada zaman klasik, pertengahan, dan zaman modern saat ini. Islam sebagai Manifesto Tradisi Kehidupan Umat Bangunan tradisi yang telah ditanamkan dalam Islam adalah manifestasi dari akumulasi peradaban yang tertanam kokoh dalam sanubari kaum muslimin saat ini. Nilai peradaban ini dapat dilihat dari peta geografis dunia saat ini. Masing-masing dapat melihat bahwa dunia muslim berada di antara Cina, Korea, dan Jepang pada sisi timur dan Eropa sisi barat: antara Rusia di bagian utara dan sub sahara Afrika dan Australia di bagian selatan. Maksud dari “Dunia Muslim” dalam perspektif ini adalah bagian bumi yang mayoritas ditempati oleh masyarakat yang memeluk agama Islam, dan terbentang dari Maroko di ujung barat hingga Indonesia di ujung timur, Rusia di bagian utara hingga Comoro di lautan India di bagian selatan. Fakta geografis ini saja, yang kurang lebih tetap demikian adanya di bagian terbesar Nurkhalish Madjid, Khazanah Intelektual Bintang, 1994), hlm. 345. 7
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Islam (Jakarta:Bulan
7
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
sejarah Islam cukup untuk menetapkan “Dunia Muslim” sebagai “Bangsa Tengah” (middle nation). Secara geografis, dunia muslim merupakan jembatan antara timur dan barat, dan antara utara dan selatan”8. Letak geografis inilah Islam memberikan warna yang signifikan bagi sosio-kultur dan budaya masyarakat muslim. Middle Nation “Bangsa Tengah” yang telah dipredikatkan pada wilayah-wilayah yang telah terdoktrinasikan tradisi Islam, secara variatif memunculkan keanekaragaman sosio-kultur dan sosio-budaya pada domain yang mereka diami. Akan tetapi Islam dengan stigma pokoknya sebagai “rahmatan lil “alamin” rahmat untuk sekalian alam telah memberikan kombinasi yang begitu megahnya untuk kehidupan mereka, dari tradisi sosial, seni, politik, pendidikan, arsitektur dan banyak lagi yang lainnya. Satu aspek penting yang telah disumbangkan oleh Islam untuk kemajuan peradaban yaitu dari bidang tradisi pemikiran. Dalam melakukan telaah terhadap pemikiran Islam, pertama-tama harus dilihat kembali masa para sahabat. Dari sana terlihat bahwa sahabat Nabi Muhammad saw., yang paling kreatif dalam berpikir adalah tokoh yang kemudian menjadi khalifah kedua, ‘Umar ibn Khattab (586-644). Kreatifitas pemikiran ‘Umar memberikan kesan kuat bahwa sekalipun beriman teguh, ia tidak bersifat dogmatis. ‘Umar adalah seorang beriman sekaligus intelektual, yang dengan intelektualitasnya itu ia berani mengemukakan ideide dan melaksanakan berbagai perkara inovatif yang sebelumnya tidak dicontohkan oleh Nabi.9 Dari zaman ‘Umar ibn Khattab inilah Islam mulai berkibar di kawasan Eropa, peradaban besar yang dapat dilihat dari kenyataan ini, kemegahan Cordoba dengan masjid agungnya. Islam mengkombinasikan tradisinya dalam daerah kekuasaan Raja Alexander Agung, sehingga makin menjadikan Islam lebih dikenal di antara kawasan dunia. Kemajuan ini telah menjadikan tradisi Islam mewarnai separuh belahan dunia. Kemajuan yang telah dicapai oleh Islam dalam membumikan tradisi dan kebudayaanya tidak dapat dipertahankan Osman Bakar, Islam dan Dialog Peradaban (Yogyakarta:Fajar Pustaka. 2003), hlm. 3. 9 Suadi Putro, Islam dan Modernitas (Jakarta:Paramadina, 1998), hlm. 35. 8
8a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
lagi secara kokoh. Kejumudan mulai menggejala di kalangan umat Muslim pada masa—Renainsance—kebangkitan di Eropa. Eropa sebagai negara terbelakang di saat Islam mencapai kejayaannya, saat itu pula mereka mulai bangkit melakukan ekspansi ke dunia Islam. Nilai tradisi, ilmu pengetahuan, teknologi, arsitektur yang sudah begitu melekat dalam Islam jatuh ke tangan mereka. Unsur fatalistik sebagi mainstream dari perjalanan kehidupan mengakar kuat dalam nilai tradisi umat manusia. Menyikapi kejumudan dan nilai fatalisme dalam Islam harus dimunculkan peranan konstruktif terhadap ajaran-ajaran Islam yang telah mencapai kegemilangannya di masa lampau. Untuk itu, dunia Islam harus kerja keras. Pemikiran tradisional dan sikap fatalislis yang telah ratusan tahun berkembang di kalangan umat perlu dihilangkan untuk diganti dengan pemikiran rasional dan sikap dinamis. Sains dan teknologi modern harus dikuasai, karena sejarah telah membuktikan bahwa ketika dunia Islam mementingkan sains dan teknologi, Islam menghasilkan adikuasaadikuasa. Eksklusifitas umat yang telah menggejala harus diganti dengan nilai-nilai inklusif akan transparansi Islam yang terbuka untuk segala zaman dan keadaan. Tuntutan untuk menghadirkan Islam dalam proporsinya yang terbuka seutuhnya menegeskan akan modernisme tradisi Islam. Hal ini menyandar kepada kenyataan akan kemoderatan Islam yang berciri khas dan mustahil ditemukan pada agama lain. Sebagaimana Muhammad Imarah menjelaskan bahwa kemoderatan Islam (moderatisme Islam) merupakan gabungan antara kerohanian dan jasmani, kombinasi wahyu dan akal, kitab yang tertulis dan kitab yang terhampar di alam semesta.10 Membandingkan tentang proses indoktrinasi ini dikukuhkan oleh Imarah bahwa dalam doktrin Kristen, seseorang diwajibkan untuk beriman sesuai dengan kepercayaan yang diyakini oleh agama tersebut. Bahwa keimanan dalam Kristen tidak membutuhkan rasionalitas sementara dalam Islam bahwa Allah dapat diketahui banyak dengan akal. Sebelum beriman seseorang kepada nabi dan rasul, maka tertuntut pada dirinya agar beriman kepada Allah Muhammad Imarah “Islam Moderat sebagai Penyelamat Peradaban Dunia” dalam Hery Sucipto, ed., Islam Madzhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher (Jakarta: Grafindo, 2007), hlm. 438. 10
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
9
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
swt., dengan perantara akal. Perintah beriman dalam Islam merupakan piranti atau media utama untuk menjadikan diri setiap muslim mampu bertempat dalam wilayah trnsformatif kehidupan. Dalam Islam dinyatakan bahwa suatu perbuatan baru dikatakan bermakna jika dilandaskan pada keimanan. Tanpa iman, perbuatan apapun akan sia-sia di hadapan Allah swt. Itu sebabnya, Afif Muhammad menjelaskan bahwa kewajiban pertama bagi manusia adalah berimana terlebih dahulu sebelum dia melakukan apapun. Secara niscaya pula, hal ini menjadi petunjuk dasar bagi segenap manusia bahwa kaidah yang ada dalam Islam ini jika dipegang dengan baik, akan menghasilkan makna ganda dalam diri setiap muslim. Pertama; dalam hubungannya dengan Allah yang dengan kenyataannya pekerjaan tersebut mempunyai nilai ibadah yang dijanjikan pahala di akhirat. Kedua; dalam hubungannya dengan sesama manusia yang dengan pekerjaan tersebut mempunyai nilai manfaat duniawi.11 Islam dan Eksistensi Tradisi Tradisi yang dibangun Islam dengan keterbukaan atas realitas zaman yang berkembang harus disadari oleh para pemeluknya. Kejumudan tradisi yang telah lama menggejala dalam masyarakat dengan beraneka ragam ritual yang menemani mereka harus dikaji kembali keabsahannya untuk kemajuan umat Islam itu sendiri. Perlulah masing-masing orang membuka ingatannya— rethinking—bahwasanya kemunduran Islam terdahulu disebabkan oleh jutifikasi umat terhadap hasil pemikiran ulama-ulama tanpa mempertanyakan validitas dari pemikiran mereka. Ibarat ayam bertelur emas, mereka sering bertaklid buta dengan pemikiranpemikiran tersebut. Timbal balik atas pemikiran itu pembenaran buta akan pemikiran yang ada. Sementara itu, realita futuristik umat membuktikan, relevansi kebenaran di zaman ini terhadap zaman mendatang senantiasa debatable kebenarannya. Kajian dalam tradisi ritual dalam Islam harus dimanifestasikan dalam wadah yang continue, tidak statis. Konstruk yang ada dalam Islam masa Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam Nonsektarian....., hlm. 245. 11
10a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
depan adalah perpaduan antara tradisi lokal dengan ajaran-ajaran normatif yang ada dan diajarkan oleh agama. Kejumudan dalam perjalanan tradisi Islam yang beraviliasi dengan ekstremitas tidak akan pernah terjadi, jika pengertian tradisi Islam yang instan, kolaboratif, adoptisiasi terhadap budaya lokal senantiasa diketahui oleh para pemeluknya. Kontruksi tercepat terhadap pemberitahuan akan keadaan tradisi Islam yang instan ini adalah dengan mensosialisasikan sistem terpadu terhadap masyarakat dari elemen-elemen yang paling bawah sampai yang atas. Alternatif ini dapat dijadikan jalan tengah—middle roader— untuk mengantisipasi kesalahpahaman akan hakekat tradisi Islam yang termanifestasikan dari nilai-nilai normativitas agama serta ajaran lokal. Tradisi ritual dalam Islam yang telah mengakar kuat dalam lubuk sanubari para pemeluk agama Islam adalah suatu bukti akan tradisi dalam Islam yang berhaluan kepada hakikat normativitas-historisitas. Normativitas itu dapat dilihat dari asas dasar yang senantiasa mereka nomersatukan dengan tidak mengenyampingkan unsur budaya lokal. Historisitas sebagai komunitas berbagi dalam keseharian mereka, pada akhirnya akan terkuaklah suatu pengertian pasti tradisi Islam adalah tradisi yang senantiasa menyanjung tinggi dengan mengedepankan unsurunsur dasar agama dari pada cabang-cabangnya yang debatable, sehingga terciptalah suatu tradisi dalam Islam yang menjadikannya rahmat bagi alam semesta. Dalam catatannya, Mas’udi merumuskan bahwa manusia perlu melihat kembali identitasnya sebagai manusia yang utuh dan diciptakan oleh Tuhan untuk mengemban amanat terbesar sebagai pelindung dan pelestari bumi. Itulah pesan moral yang senantiasa dipersinggungkan dalam kajian perenial. Sebuah pesan keabadian yang bersandar seutuhnya kepada prinsip-prinsip tradisi dalam kehidupan masyarakat. Konsep “keabadian” yang diperlambangkan dalam kajian perenialisme adalah untuk melihat suatu kesejajaran akan kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam agama yang mewadahi aspek kehidupan manusia.12 Untuk inilah Mas’udi, “Perenialisme dalam Islam (Studi atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)”, dalam Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005, hlm. 12
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
11
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa dalam perenialisme pada hakekatnya terdapat kebenaran dalam seluruh agama. Inilah yang disebutnya ”inner metaphysical truth of religion” (kebenaran metafisis batiniah agama)—dalam kamus peristilahan Islam disebut al-din al-hanif—primordial relegion. Kebenaran sejati itu selalu hadir sepanjang sejarah, berlaku abadi. Dengan kata lain, terdapat persatuan prinsip hakikat keilahian sebelum terjadinya keragaman.13 Pembahasan tentang aspek primordial agama yang dijelaskan oleh Seyyed Hossein Nasr dengan pengukuhan tradisi merupakan hakikat yang diajarkan Islam kepada seluruh pemeluknya. Hal ini secara niscaya pula dilakukan oleh seluruh lapisan pemeluk agama dengan harapan besar mereka untuk mengukuhkan doktrin agama yang berlandaskan kepada tradisi keniscayaan yang perlu dipertahankan. Semangat ajaran-ajaran kitab suci itu dipertegas dengan firman Allah, “Dan barang
siapa Alloh menghendaki untuk diberikanNya hidayah, maka Dia lapangkan dada orang itu untuk ( atau karena ) Islam; dan barang siapa Alloh menghendakinya sesat, maka Dia jadikan dada orang itu sempit dan sesak, seolah-olah naik ke langit” (QS.al-An’am, 6:125). Membaca ayat al-Qur’an di atas sebuah keniscayaan hadir ke tengah-tengah kehidupan beragama umat bahwa sikap terbuka adalah bagian dari pada iman. Sebagai alasannya, seperti ternyata dari firman di atas berkenaan dengan sikap kaum kafir tersebut, tidak mungkin menerima kebenaran jika dia tidak terbuka. Karena itu difirmankan bahwa sikap tertutup, yang diibaratkan dada yang sempit dan sesak, adalah indikasi kesesatan. Sedangkan sikap terbuka itu sendiri adalah bagian dari sikap”tahu diri”, yaitu tahu bahwa diri sendiri mustahil mampu meliputi seluruh pengetahuan akan kebenaran. Sikap “tahu diri” dalam makna yang seluas-luasnya adalah kualitas pribadi yang amat terpuji, sehingga ada ungkapan bijaksana bahwa ” Barang siapa yang tahu dirinya maka dia akan tahu Tuhannya.” Artinya, kesadaran orang akan keterbatasan dirinya adalah akibat kesadarannya akan 72. 13
12a
Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. IV, 1993, hlm. 111.
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
ketidak terbatasan dan kemutlakan Tuhan. Jadi tahu diri sebagai terbatas adalah isyarat tahu tentang Tuhan sebagai Yang Tak Terbatas, yang bersifat serba Maha. Dalam tingkah laku nyata, “tahu diri” itulah yang membuat orang juga rendah hati (harap jangan dicampuraduk dengan “rendah diri”). Dan sikap rendah hati itu adalah permulaan adanya sikap jiwa yang suka menerima atau receptive terhadap kebenaran. Inilah pangkal iman dan jalan menuju Kebenaran.14 Harapan Ideal Islam Masa Depan Sebagaimana terilustrasi dari beberapa pembahasan terdahulu tampak bahwa Islam secara niscaya hadir di tengahtengah kehidupan umat sebagai pencerah dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan atau bahkan politik seutuhnya. Islam “mengambil istilah Osman Bakar sebagai middle roader” menjadi jalan tengah di antara kompleksitas kebutuhan umat manusia akan hidup dan kemanusiaan itu sendiri. Kenyataan ini secara hakiki diwujudkan oleh Rasulullah dalam kehidupannya sehingga mampu menghadirkan Islam sebagai solusi kebutuhan umat manusia. Islam menjadi pintu utama manusia berhutang akan hidupnya kepada Ilahi. Untuk itulah, Mas’udi mencatat bahwa seorang Muslim tidak dapat secara langsung mengerti atas pemenuhan dirinya untuk membayar keberhutangan dirinya kepada Tuhan. Di atas kenyataan inilah dalam tradisinya yang berlanjut Islam melalui pembawa amanatnya Nabi Muhammad saw., menjadikannya patokan dalam kehidupan kaum Muslim. Dalam pandangan Nasr sebagaimana dikutip oleh Mas’udi dijelaskan bahwa upaya untuk meniru Nabi, yang merupakan inti dari spiritualitas dan kesalehan Islam, harus didasarkan atas al-Sunnah, atau tradisitradisi dan perbuatan-perbuatannya. Al-Sunnah memberikan contoh-contoh konkret dan akses pada teladan Muhammad yang telah diperintahkan oleh al-Qur’an agar ditiru oleh orang yang beriman.15 Al-Sunnah adalah ulasan atas al-Qur’an dan tata cara Dianalisa dari “Pintu-Pintu Menuju Tuhan” karya Nurcholish Madjid melalui pengungguhan pada http://paramadina.wordpress.com/category/ pemikiran-cak-nur/ diakses pada tanggal, 7 Agustus 2009. 15 Mas’udi, “Perenialisme dalam Islam...........”, hlm. 78-79. 14
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
13
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
kaum Muslim mengetahui bagaimana kebenaran-kebenaran Teks Suci itu dihidupkan oleh makhluk Tuhan yang paling sempurna dalam kehidupan manusiawi namun benar-benar suci.16 Melalui al-Sunnah, setiap segi kehidupan manusia disakralkan, karena hukum Ilahi (al-Syari’ah) itu sendiri yang menjadi acuan bagi kehidupan Islam, didasarkan bukan hanya pada al-Qur’an melainkan juga pada al-Hadits. Dan dalam pengertian yang lebih umum, al-Sunnah, yang karena mencakup seluruh amalan-amalan dan tradisi-tradisi Nabi, dalam suatu pengertian juga mencakup al-Hadits. Al-Hadits sendiri adalah bagian dari al-Sunnah, karena ia terdiri dari tradisi Nabi yang berbentuk ucapan dan bukan perbuatan. Kata al-hadits itu sendiri berarti “ucapan”, tetapi ia juga diterjemahkan sebagai “tradisi”.17 Kedua panduan hukum dalam Islam tersebut memiliki peranan yang sangat berarti bagi perjalanan kehidupan seorang Muslim. Hanya al-Qur’anlah yang mempunyai nilai lebih tinggi dan otoritas lebih besar. Al-Hadits sesungguhnya, adalah ulasan paling pertama dan paling penting atas al-Qur’an.18 Pada saat yang sama ia melengkapi Teks Suci dan menguatkan serta lebih memperjelas ayat-ayatnya. Al-Hadits merupakan perluasan dalam bahasa manusia, yakni Nabi, dari Firman Ilahi yang berwujud al-Qur’an. Penutup Mengkaji Islam dari sudut pandang eksklusif akan memunculkan ketimpangan dalam pemahaman itu sendiri. Produk aktif yang dapat dikedepankan dalam memahami aspek-aspek tradisi ini adalah suatu bagan pengertian dari hakekat tradisi sebagai konstruksi pemahaman yang tercipta dari kebiasaankebiasaan yang terjadi di masyarakat dalam kesehariaannya. Kesalahan dalam masyarakat terhadap asas tradisi tidak akan muncul tatkala penetahuannya seputar tradisi; adalah pengetahuan yang diciptakan oleh warisan-warisan nenek moyang mereka masing-masing bersandar kepada nilai dasar beragama dan beradat-istiadat. Ibid. Ibid. 18 Ibid. 16 17
14a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
Menumbuhkan keterbukaan akan komplektisitas hidup yang sarat kehidupan yang bersifat normatif dan historis adalah realitas yang diperjuangkan Islam bagi kehidupan umat. Sejarah adalah bukti dari suatu kenyataan. Akan tetapi bersifat dinamis terhadap kemunculan sejarah itu sendiri akan menyelamatkan setiap orang dalam kebutaan terhadap hal-hal yang harus direalisasikan dalam kemajuan tradisi yang telah ada.***
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013
15
Mewujudkan Tradisi Islam (oleh: Mas’udi)
DAFTAR PUSTAKA M. Greely, Andrew. Agama Suatu Teori Sekuler. Jakarta: Erlangga, 1982. Sujarwa, Manusia dan Fenomena Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Afif Muhammad, Islam Mazhab Masa Depan Menuju Islam Nonsektarian. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Al-Wa’ah, 1989. Nurkhalish Madjid, Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1994. Bakar, Osman, Islam dan Dialog Peradaban. Yogyakarta: Fajar Pustaka. 2003 Suadi Putro, Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina, 1998.
http://paramadina.wordpress.com/category/pemikiran-cak-nur/ Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. IV, 1993 Mas’udi, “Perenialisme dalam Islam (Studi atas Pemikiran Seyyed Hossein Nasr)”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005. Hery Sucipto, ed., Islam Madzhab Tengah Persembahan 70 Tahun Tarmizi Taher. Jakarta: Grafindo, 2007. Ris’an Rusli, Pembaharuan Pemikiran Modern dalam Islam. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013
16a
Fikrah, Vol. I, No. I, Januari-Juni 2013