METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT
Oleh: Muhammad Ilyas
NIM: 106043101312
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Muhammad Ilyas
Tempat/ Tanggal Lahir
: Tembilahan, 23 Agustus 1984
NIM
: 106043101312
Jurusan
: Perbandingan Mazhab Fiqh
Judul Skripsi
: Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan dalam Salat
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 1 Februari 2011
Muhammad Ilyas
METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)
Oleh: Muhammad Ilyas NIM: 106043101312
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Noryamin Aini, MA
Mu’min Rauf, MA
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul: “Metodologi Istidlal Ulama tentang Imamah Perempuan dalam Salat” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum. Jakarta, 1 Maret 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, M.A.,M.M. NIP: 195505051982031012 PANITIA UJIAN MUNAQASAH 1. Ketua
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 196511191998031002
(...........................)
2. Sekretaris
: Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si NIP. 197421132003121002
(...........................)
3. Pembimbing I
: Drs. Noryamin Aini, MA NIP. 196303051991031002
(...........................)
4. Pembimbing II
: Mu’min Rauf, MA NIP. 150281979
(...........................)
5. Penguji I
: Dr. H. Afifi Fauzi Abbas, MA NIP. 195609061982031004
(...........................)
6. Penguji II
: Drs. Sirril Wafa, MA NIP. 19600318199103
(...........................)
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat,
taufiq
dan
hidayah-Nya
sehingga
penulis
mampu
menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan juga melimpah kepada umat Islam seluruhnya. Terselesaikannya skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dorongan banyak pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Bapak Drs. Noryamin Aini, MA sebagai pembimbing yang senantiasa memberikan saran koreksi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat tercapai.
v
5. Bapak Mu’min Rauf, MA selaku pembimbing kedua yang senantiasa mengarahkan skripsi ini dapat terwujud. 6. Para Dosen dan seluruh Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 7. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan. 8.
Kedua orang tua tercinta Abah (Syahrul) dan Mama (Nursanah) yang telah memberikan dorongan baik moril maupun materiil, serta doa dan kasih sayangnya.
9. Kepada cahaya hatiku, insan yang selalu dicintai dan mencintai, Yiyis Wulan Purnama Sanoesi (Imut) yang tiada henti memberikan motivasi dan menyediakan waktu luang untuk membantu proses editing hingga terselesaikannya skripsi ini. Semoga doamu dan doaku dikabulkan oleh yang Maha Kuasa. 10. Sahabat-sahabatku mahasiswa angkatan 2006 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya jurusan Perbandingan Mazab dan Hukum yang selama ini telah menjadi teman yang baik. Semoga ilmu yang kita dapat bermanfaat dan membawa maslahat bagi kelurga, agama, nusa dan bangsa. 11. Kawan-kawan di komunitas Subuh.net dan Gusti Rahmat (Urang Banjar) yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
vi
12. Semua pihak yang telah membantu dan membimbing penulis hingga terselesaikannnya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Terima kasih atas kebaikan dan keikhlasan yang telah diberikan. Penulis berdoa semoga Allah SWT memberikan imbalan dan pahala yang setimpal kepada mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna, khususnya bagi penulis sendiri dan tentunya bagi para pembaca pada umumnya. Amin
Jakarta, 1 Februari 2011
Penulis
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................... ...............v DAFTAR ISI ......................................................................................... ...............viii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................ ...............1 A. Latar Belakang Masalah................................................... ………...1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................... ………...5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian......................................... ...............6 D. Review Kajian Terdahulu............... .................................. ...............7 E. Metode Penelitian ........................................................... ...............9 F. Teknik Penulisan ............................................................ ...............12 G. Sistematika Penulisan.........................................................................12
BAB II
TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA ..... ...............14 A. Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum........................ ...............14 B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab ................. ...............20
BAB III
PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN ULAMA .............................................................................. ...............55 A. Imam Salat....................................................................... ...............55 1. Pengertian Imam salat .................................................. ...............55 2. Syarat Imam Salat ........................................................ ...............57 3. Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam Klasik ................................................................ ...............61 B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an................. ...............63 C. Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits ........................... ...............74
BAB IV
ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM SALAT....78 A. Dasar Hukum Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat ...................................................................... ...............78
viii
B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan ......... ...............88 C. Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat .................................................... ...............97
BAB V
PENUTUP..............................................................................................112 A. Kesimpulan...................................................................... ..............112 B. Saran ............................................................................... ..............114
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ..............116
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada 18 Maret 2005, Amina Wadud Muhsin, seorang feminis Islam dari Amerika Utara, memimpin salat Jumat yang diikuti oleh 100 orang jamaah, baik laki-laki maupun perempuan di sebuah gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS. Peristiwa ini mendapatkan kecaman publik, tidak hanya di Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Bahkan sekelompok orang di Amerika mengancam akan meledakkan bom di tempat pelaksanaan salat Jumat yang rencananya akan dilakukan di Sundaram Tagore Gallery. Namun, dengan pertimbangan keamanan, akhirnya dipindahkan di gereja.1 Berbagai reaksi pun muncul di kalangan para ulama, yang sekaligus menghadirkan kembali polemik yang selama ini hampir terkubur dalam pemikiran umat Islam. Tindakan Amina Wadud ini memicu kembali kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan menjadi imam, terutama bagi laki-laki. Sebagai agama yang membenarkan dan melengkapi ajaran-ajaran sebelumnya, Islam datang sebagai rahmatan lil alamin, rahmat untuk sekalian alam. Salah satu ajarannya yang sangat bernilai adalah keadilan antara sesama
1
Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (JuliDesember 2008): h. 1
1
2
umat manusia. Tidak sedikit ayat-ayat di dalam al-Qur`an yang menyebutkan bahwa umat manusia, laki-laki ataupun wanita, siapapun di antara mereka yang beriman dan beramal shaleh, maka akan mendapatkan ganjaran yang sama dari Allah swt. Seperti dijelaskan dalam firman Allah QS. al-Nahl (16): 97 (97 : 16 / ) ﺍﻟﻨﺤﻞ. Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl (16): 97) Ayat lainnya seperti dijelaskan di dalam QS. Ali Imran (3): 195 ( 195 : 3 / ) ال ﻋﻤﺮان Artinya: ”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan". (QS. Ali Imran (3): 195) Ayat-ayat di atas secara tegas menempatkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja dan mendapatkan hak-haknya. Perempuan berhak mendapat ganjaran yang sama atas amal mereka, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Tidak ada diskriminasi dari Allah terhadap hambanya. Karena itulah kaum laki-laki tidak boleh melecehkan perempuan dan memperlakukan mereka secara tidak manusiawi. Kaum laki-laki tidak boleh merasa dirinya lebih
3
unggul dan mulia dari perempuan. Kemuliaan seseorang tidak diukur dari jenis kelamin dan suku bangsa, melainkan dari prestasi dan kepribadian mulia, yang ditampilkan melalui interaksi sosialnya. Pada dasarnya, ajaran Islam sangat mendorong kepada kaum perempuan untuk bekerja secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Karena itulah, perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam pandangan Islam, antara lain laki-laki dan perempuan mempunyai persamaan hak dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Bahkan sebagian mereka ada yang ikut berperang, mendukung tugas laki-laki. 2 Posisi perempuan dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum lakilaki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodrat masing-masing. Tugas dan tanggung jawab perempuan dalam urusan rumah tangga, misalnya, terutama peran seorang istri, ikut mendukung keberhasilan tugas-tugas suami sebagai pemimpin keluarga.3 Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan. Kalau dalam masyarakat sebelum datangnya Islam, perempuan diperlakukan sebagai barang yang hampir-hampir tidak mempunyai hak, maka
2 3
Hasbi Indra, dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani, 2004), cet. Ke-3 h..4. Ibid. h. 4
4
ajaran Islam secara drastis memperlakukan perempuan sebagai “manusia” yang mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya laki-laki. 4 Prof. Dr. Amina Wadud, intelektual muslim di Amerika Serikat, saat ini menjadi tokoh kontroversial di kalangan umat muslim dunia. Tidak sedikit yang menuduhnya sebagai "senjata baru" Amerika Serikat, yang didesain mempertajam stigmatisasi (pencitraburukan) Islam di mata dunia setelah berbagai stigmatisasi pasca-Black September 2001 justru membuat George W. Bush banyak mendulang kecaman dunia internasional. Banyak juga yang menilai tak ada yang salah dari gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, Amerika Serikat itu karena secara fiqih tidak ada larangan dalam al-Qur’an bagi seorang perempuan menjadi imam dalam salat. Melalui pertimbangan yang panjang, penulis memutuskan untuk meneliti serta mengkaji metode istidlal ulama tentang imamah perempuan dalam salat dengan lebih memfokuskan pada kajian ushul fiqh secara komprehensif. Gebrakan revolusioner pengajar studi Islam di Virginia Commonwealth University, AS, itu, membuka kembali perdebatan fiqih tentang kebolehanlarangan perempuan memimpin salat
yang disertai makmum laki-laki.
Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin menuangkan masalah tersebut, dalam
4
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Kerjasama Lembaga Kajian Agama dan Jender, SP Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999), h. 23.
5
sebuah karya ilmiah dengan judul ”METODOLOGI ISTIDLAL ULAMA TENTANG IMAMAH PEREMPUAN DALAM SALAT”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan oleh penulis dan mengingat pembahasan yang begitu luas mengenai imamah perempuan dalam salat, maka perlu dibatasi ruang lingkupnya agar lebih jelas dan rinci pembahasannya. Persoalan imamah perempuan dalam salat yang sering terjadi di kalangan para ulama merupakan perdebatan dalam ruang lingkup kajian fiqh. Menurut penulis, pembahasan tersebut sudah dianggap selesai. Oleh sebab itu, penulis memfokuskan tentang metode istidlal atau istinbath ulama mengenai imamah perempuan dalam salat yang merupakan kajian dalam ruang lingkup ushul fiqh. Berkenaan dengan latar belakang masalah tersebut yang berkaitan dengan masalah imamah perempuan dalam salat, maka penulis membatasi penulisan skripsi ini sebagai berikut: a. Mengenai metode ulama dalam mengistinbathkan hukum perempuan menjadi imam salat. b. Mengenai penilaian sanad dan matan hadits-hadits imamah perempuan dalam salat
6
2. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, maka dapatlah dirumuskan masalahmasalah yang hendak dijawab, yaitu: a. Apa yang menjadi dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat? b. Bagaimana metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat? c. Bagaimana penilaian ulama terhadap perempuan menjadi imam salat? d. Apa yang menjadi substansi masalah tentang imamah perempuan dalam salat?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis rumuskan di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penyusunan skripsi ini, yaitu: a. Untuk mengetahui dasar ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat b. Untuk mengetahui metode ulama dalam mengistinbathkan hukum imamah perempuan dalam salat c. Untuk mengetahui penilaian ulama terhadap perempuan menjadi imam salat
7
d. Untuk mengetahui substansi masalah tentang imamah perempuan dalam salat 2. Manfaat Penelitian a. Secara teoritis yaitu untuk menambah wawasan sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan mengenai kedudukan perempuan sebagai imam salat b. Kegunaan praktis yaitu membuka transformasi hukum yang mungkin akan terjadi pada masa-masa yang akan datang. c. Memberikan sumbangan pemikiran kepada pemerintah dan lembaga keagamaan untuk dapat aktif merespon berbagai fenomena keagamaan aktual yang terjadi di masyarakat.pada masa-masa yang akan datang.
D. Review Kajian Terdahulu Penelitian tentang imam perempuan dalam salat sudah menjadi tema yang lazim ditemui. Namun yang berkaitan dengan penggalian hukum Islam, penulis hanya mendapati satu penelitian, yaitu. : Pandangan Ulama tentang Imam Perempuan: Telaah Kritis terhadap Pemikiran Amina Wadud oleh: Kokom Komariah, PMF- Syari’ah dan Hukum tahun 2006. Penelitian ini mengkaji pemikiran Amina Wadud tentang imam salat perempuan, pandangan Islam terhadap peran perempuan, dan pandangan ulama klasik dan kontemporer tentang imam salat perempuan, serta analisis penulis tentang imam salat perempuan yang lebih terfokus dalam ruang lingkup fiqh.
8
Dari penelitian di atas, penulis menyimpulkan bahwa imamah perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki maupun campuran, akan terus menjadi pembicaraan hangat dari waktu ke waktu seiring dengan adanya gerakan kesetaraan gender yang terus menerus diperjuangkan oleh kalangan perempuan. Hal yang membedakan antara penelitian penulis dengan penelitian sebelumnya terletak pada pembahasan yang mengkaji kontroversi imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki dengan lebih fokus meneliti metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum terhadap perempuan yang menjadi imam salat sehingga nantinya diharapkan dapat mengetahui hal yang melatar belakangi pendapat yang melarang dan membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki. Penelitian sebelumnya tentang imamah perempuan dalam salat
bagi
makmum laki-laki adalah lebih terfokus membahas pemikiran Amina Wadud menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Kemudian dipaparkan pendapat ulama klasik dan kontemporer tentang imamah perempuan dalam salat diseputar kajian fiqh yang kemudian dihubungkan dengan peristiwa Amina Wadud menjadi imam salat di Amerika Serikat. Tegasnya adalah bahwa analisis skripsi sebelumnya hanya dalam ruang lingkup kajian fiqh. Sedangkan penelitian penulis selain memaparkan kontroversi imamah perempuan dalam salat dalam kajian fiqh, lebih dari itu penulis lebih terfokus meneliti serta mengkaji metode istinbath ulama tentang imamah perempuan dalam salat yang merupakan kajian ushul fiqh.
9
E. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah termasuk penelitian normatif yakni dengan menggunakan pendekatan kualitatif, karena dalam penelitian ini akan diketahui metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum terutama kaitannya dengan perempuan menjadi imam salat. Penelitian ini adalah menggunakan metode
yang terinci sebagai
berikut: 1. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan analisa isi dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan isi dari data-data yang penulis dapatkan, kemudian menghubungkan dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penulisan skripsi ini. Adapun jenis data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma, atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Oleh karena itu, penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara ilmiah dan kualitatif mengenai metode istinbath ulama tentang imamah perempuan dalam salat. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis sumber data, diantaranya:
10
a. Data Primer Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah tentang metode istidlal atau istinbath ulama dalam merumuskan dan menetapkan hukum baik berupa kitab ushul fiqh maupun tentang sejarah ulama mazhab dalam mengistinbathkan hukum. Di antara sumber primer tersebut adalah Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam karya AlSyatibi, al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Tarikh alMazahib al-Islamiyyah karya Abu Zahrah, al-Madkhal ila al-Tasyri’ alIslamiy karya Kamil Musa. b. Data Sekunder Sumber data sekunder berupa bahan pustaka yang dapat memberikan informasi, melengkapi dan menguatkan data primer dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa tafsir al-Qur’an, hadits, kitab-kitab para ahli dalam bentuk karya ilmiah, buku-buku serta artikel-artikel dalam jurnal ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang diajukan. 3. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang dipakai oleh penulis dalam skripsi ini adalah:
11
a. Studi dokumentasi, yaitu dengan cara menghimpun dan menganalisis datadata pustaka dan relevansinya dengan masalah yang dibahas. Sumber data tersebut yaitu: 1. Kitab-kitab sumber hukum tafsir al-Qur’an seperti Jami’ al-Bayan ’an Ta’wil Ay’ al-Qur’an karya Muhammad bin Jarir al-Tabari, Tafsir alBagawi karya Abu Muhammad al-Hasan al-Farra al-Bagawi, Tafsir alQur’an al-Azim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Qur’an Karim karya Mahmud Yunus dan Tafsir alMishbah karya Muhammad Quraish Shihab. Selain itu juga merujuk kepada sumber hukum hadits seperti Sunan Ibnu Majah, Sunan Abi Daud, Sunan al-Daruquthni. 2. Kitab-kitab
yang
memuat
metode
istidlal
ulama
dalam
mengistinbathkan hukum dan sejarah ushul fiqh ulama mazhab seperti Ilmu Ushul al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah karya Abu Zahrah, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam karya Al-Syatibi, al-Risalah karya Muhammad bin Idris al-Syafi’i dan I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin karya Ibn Qayyim alJauziyyah. 3. Kitab-kitab
tentang
pendapat
ulama
mengenai
imamah
(kepemimpinan) perempuan dalam salat seperti al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu karya Wahbah Zuhailli, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab karya Syarafuddin al-Nawawi, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, al-
12
Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah karya Abdurrahman al-Juzairi, al-Mughni karya Ibnu Qudamah dan Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd. 4. Metode Analisa Data Setelah data tersebut terkumpul, penulis akan menganalisisnya secara deskriptif-komparatif, objektif dengan memaparkan dan membandingkan metode istinbath para ulama dalam menetapkan hukum dan aplikasinya dengan kepemimpinan perempuan dalam salat dengan berusaha menyajikan bahan yang relevan dan mendukung sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan hukum.
F. Teknik Penulisan Penulisan skripsi ini mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syrif Hidayatullah Jakarta, 2007.
H. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi beberapa bab yang diuraikan dalam sistematika sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Meliputi, Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, Teknik Penulisan dan Sistematika Penulisan.
13
BAB II
: TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA Meliputi, Tinjauan Umum tentang Istinbath Hukum, Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab.
BAB III
: PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN ULAMA Meliputi, Pengertian Imam, Syarat Imam Salat, Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam Klasik, Imam Salat dalam Perspektif al-Qur’an, Imam Salat dalam Perspektif al-Hadits.
BAB IV
: ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI ULAMA
TENTANG
KEPEMIMPINAN
PEREMPUAN
DALAM SALAT Meliputi, Dasar Hukum Pendapat Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat, Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan, Analisis Metode Istinbath Hukum Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat
BAB V
: PENUTUP Berisi kesimpulan dan saran-saran
BAB II TEORI ISTINBATH HUKUM DAN PRAKTEKNYA
A. Tinjauan Umum Tentang Istinbath Hukum Istinbath, dilihat dari sudut etimologi berasal dari nabth atau nubuth dengan kata kerja nabatha, yanbuthu, yang berarti air yang mula-mula keluar dari sumur yang digali. Dari kata kerja tersebut diubah menjadi muta’adi (transitif), sehingga
menjadi anbatha dan istanbatha,
yang
berarti
mengeluarkan air dari sumur. Jadi kata istinbath pada asalnya berarti usaha mengeluarkan air dari sumber tempat persembunyiannya. Selanjutnya istilah di atas dipakai sebagai istilah fiqh dan ushul fiqh, yang berarti usaha mengeluarkan hukum dari sumbernya.1 Sedangkan secara terminologi, kata istinbath berarti mengeluarkan atau mengambil makna (pengertian) dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan potensi yang dimiliki. 2 Menurut ilmu ushul fiqh, kata ”ijtihad” identik dengan kata ”istinbath”. Jadi, ijtihad atau istinbath ialah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash al-Qur’an dan sunnah.3 Kemudian kegiatan istinbath hukum ini melahirkan ijtihad ulama yang merupakan kegiatan mencurahkan
1
Roibin, Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 87-88. 2 Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 1. 3 Tamu Jalaluddin Rahmat, ed., Ijtihad dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1996), h. 25.
14
15
segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama melalui cara tertentu dari sumber-sumber hukum Islam. Dalil dalam kajian ushul fiqh secara etimologi diartikan dengan ”sesuatu yang dapat memberi petunjuk kepada apa yang dikehendaki”.4 Sementara itu, Abdul Wahaf Khalaf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dalil ialah: 5
ﺍﳍﺎﺩﻯ ﺇﱃ ﺃﻱ ﺷﻲﺀ ﺣﺴﻲ ﺃﻭ ﻣﻌﻨﻮﻱ ﺧﲑ ﺃﻭ ﺷﺮ
Artinya: ”Dalil ialah yang memberi petunjuk kepada sesuatu yang dirasakan atau yang dipahami baik sifatnya hal yang baik maupun yang tidak baik”. Kemudian Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa dalil secara terminologi ialah:
ﻣﺎ ﻳﺴﺘﺪﻝ ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻓﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻋﻤﻠﻲ ﻋﻠﻰ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻘﻄﻊ 6
ﺃﻭ ﺍﻟﻈﻦ
Artinya: ”Segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan hukum syara yang bersifat amali, baik secara qat’i maupun zhani”. Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya yang disebut dengan dalil ialah sesuatu yanag dapat dijadikan alasan atau pijakan
4
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 41. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh (Kairo: Dar al-Hadits, t.th.), h. 20 6 Ibid., h. 20. 5
16
dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat. Oleh karena itu, dalam istinbath hukum persoalan yang paling mendasar yang harus diperhatikan adalah menyangkut apa yang menjadi dalil atau pijakan yang dapat dipergunakan dalam menetapkan hukum syara’ dari sesuatu persoalan yang dihadapi. Tentu saja, penetapan hukum harus didukung oleh pertimbangan yang tepat dan cermat dengan menggunakan dalil atau pijakan yang jelas. Jika dilihat dari segi keberadaannya, maka dalil dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:7 1. Dalil-dalil hukum yang keberadaannya secara tekstual terdapat dalam nash. Dalil-dalil hukum yang dikategori kepada bagian ini adalah alQur’an dan al-Sunah. 2. Dalil-dalil hukum yang secara tekstual tidak disebutkan oleh nash alQur’an dan al-Sunnah. Dalil-dalil ini dirumuskan melalui ijtihad dengan menggunakan penalaran ra’yu. Ibnu Hazm dalam al-Ihkam memberikan definisi tentang istidlal yaitu: 8
ﺍﻹﺳﺘﺪﻻﻝ ﻃﻠﺐ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻣﻦ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﻌﻘﻞ ﻭﻧﺘﺎﺋﺠﻪ ﺃﻭ ﻣﻦ ﻋﺎﱂ ﻳﻌﻠﻤﻪ
Artinya: “Istidlal itu mencari dalil (menegakkan dalil) dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijahnya, atau dari seseorang yang mengetahuinya”. 7
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 44-45. Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Jil, 1987), Juz I h. 22. 8
17
Contohnya, kelaziman dari tidak adanya wudhu dengan tidak sah salatnya. Apabila seseorang mengeluarkan angin dari duburnya, wudhunya gugur, maka dengan sendirinya salatnya tidak sah lagi. Lebih lanjut, Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin memberikan pengertian istidlal yaitu: 9
ﺇﻗﺎﻣﺔ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺣﻜﻢ ﻣﻦ ﻧﺺ ﺍﻭ ﺍﲨﺎﻉ ﺍﻭ ﻏﲑﳘﺎ
Artinya: ”Menegakkan dalil untuk suatu hukum, baik dalil tersebut berupa nash, berupa ijma’ ataupun lainnya”. Sumber-sumber yang telah disepakati jumhur ulama ushul fiqh sebagai dasar dalam mengistinbathkan hukum meliputi al-Qur’an, al-Sunnah, alIjma’ dan al-Qiyas.10 Sedangkan sumber yang tidak disepakati meliputi alIstihsan, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishab, al-Urf’, Mazhab shahabi, Sadd al-dzarai’i dan Syar’u Man Qablana Syar’un Lana.11 Kegiatan istinbath dan ijtihad
merupakan pengerahan daya nalar
ulama dalam menemukan dan menetapkan hukum. Ijtihad adalah usaha besar yang memerlukan pengerahan kemampuan. Hal ini berarti usaha yang ditempuh dengan tidak sepenuh hati dan tidak bersungguh-sungguh, maka tidak dinamakan ijtihad. Cara menemukan hukum syar’i yaitu melalui istinbath yang pengertiannya memungut atau mengeluarkan sesuatu dan 9
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (t.t., Amzah, 2005), h.
133. 10 11
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 23. Ibid., 25.
18
dalam kandungan lafaz. Hal ini berarti bahwa ijtihad itu adalah usaha memahami lafaz dan mengeluarkan hukum dari lafaz tersebut.12 Jika persoalan hukum tidak terdapat dalam lafaz, maka ulama mujtahid akan menggunakan metode istinbath lain seperti ijma’, qiyas, istihsan, maslahat mursalah dan lain sebagainya dengan tetap bersandarkan kepada lafaz tersebut. Istinbath mengandung arti lebih menekankan bagaimana cara yang ditempuh ulama dalam menemukan hukum dari sumbernya. Sedangkan ijtihad merupakan kegiatan ulama dalam memahami, menemukan, dan merumuskan hukum dari sumbernya. Para mujtahid mengerahkan segenap kemampuan nalarnya untuk menemukan dan menetapkan hukum fiqh diluar apa yang dijelaskan dalam nash al-Qur’an dan hadits. Mereka merumuskan cara atau metode yang mereka gunakan dalam berijtihad. Meskipun ada beberapa metode istinbath dalam menetapkan hukum, namun tidak semua metode itu disepakati penggunaannya oleh ulama. 13 Hal ini menunjukkan bahwa cara atau metode istinbath ulama berbeda-beda dalam menetapkan hukum. Adanya perbedaan metode istinbath ulama dalam menetapkan hukum berimplikasi pada
12
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h. 238-239. Hal ini dapat dilihat Syafi’iyyah menggunakan al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum. Hanafiyyah menyetujui semua dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan istihsan. Malikiyyah menambahkan dua dalil yaitu maslahah mursalah dan sadd alzari’ah. Hanabilah menerima dalil-dalil yang dikemukakan Syafi’iyyah dengan menambahkan saad alzari’ah. Zahiriyah menolak qiyas, istihlah dan istihsan, tetapi mereka menggunakan apa yang disebutnya dalil sebagai metode ijtihad. Syiah Imamiyah menolak juga teori keabsahan al-hadits, ijma’ dan konsep qiyas yang dikemukakan Syafi’iyyah, tetapi mereka hanya mengakui ijma’ ulama mereka saja. 13
19
munculnya perbedaan antara hasil istinbath seorang mujtahid dengan yang lainnya. Perbedaan metode tersebut ditentukan oleh jenis petunjuk dan jenis pertimbangan yang dipakai oleh masing-masing mujtahid dalam berijtihad. Para mujtahid dalam berijtihad langsung merujuk kepada dalil syara’ dan menghasilkan temuan orisinal. Karena antar para mujtahid itu dalam berijtihad menggunakan ilmu ushul dan metode yang berbeda, maka hasil yang mereka capai juga tidak selalu sama. Jalan yang ditempuh seorang mujtahid dengan menggunakan metode tertentu untuk menghasilkan suatu pendapat tentang hukum, kemudian disebut ”mazhab” dan tokoh mujtahidnya dinamai ”imam mazhab”.14 Pendapat tentang hukum hasil temuan imam mazhab itu disampaikan kepada umat dalam bentuk ”fatwa” untuk dipelajari, diikuti dan diamalkan oleh orang-orang yang kemudian menjadi murid dan pengikutnya secara tetap.15
Selanjutnya para murid dan pengikut imam itu menyebarluaskan
mazhab imamnya. Hal ini menjadikan mazhab tersebut berkembang dan
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 263. Ibid., h. 263. Hal ini dapat dilihat dari para murid atau pengikut imam mazhab yang menyebarkan mazhab mereka seperti Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim al-Anshary yang merupakan murid Imam Hanafi. Usman ibn al-Hakam al-Juzami yang merupakan sahabat Imam Maliki. Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam merupakan ulama Mesir sangat berpengaruh yang menyebarkan mazhab Syafi’i di Mesir. Ibnu Qudamah sebagai salah seorang yang memperbaharui, membela, mengembangkan dan membuka mata manusia untuk memperhatikan ajaran-ajaran mazhab Hanbali, terutama dalam bidang muamalah. Ja’far Muhammad ibn Ya’kub al-Khulainiy pengarang kitab al-Kafiy yang merupakan kitab ushul fiqh mazhab Syiah Imamiyah. Abu Khalid Amr ibn Khalid al-Wasithiy mengembangkan mazhab Syiah Zaidiyah melalui kitab-kitab yang dikumpulkannya yakni kitab Majmu’ yang terdiri dari Majmu’ dalam bidang hadits dan Majmu’ dalam bidang fiqh. Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy, dialah yang banyak menegembangkan mazhab Zahiriy. 15
20
bertahan dalam kurun waktu yang lama. Bahkan perkembangannya sampai sekarang dan mewarnai umat Islam di seluruh belahan bumi. Di antara mazhab fiqh yang terkenal adalah: 1. Mazhab Hanafiyyah. Imamnya Abu Hanifah (80-150 H). 2. Mazhab Malikiyyah. Imamnya Malik ibn Anas (93-179 H). 3. Mazhab Syafi’iyyah. Imamnya Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H). 4. Mazhab Hanabilah. Imamnya Ahmad ibn Hanbal (164-241 H). 5. Mazhab Zhahiriyyah. Imamnya Dawud ibn Ali al-Ashfahaniy (202-270 H). 6. Mazhab Zaidiyyah. Imamnya Zaid ibn Ali Zainul Abidin (80-122 H). 7. Mazhab Ja’fariyyah. Imamnya Ja’far al-Shadiq (80-148 H).
B. Metode Pembentukan Hukum Ulama Mazhab Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah alQur’an. Al-Qur’an itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an tidak diwahyukan sekaligus tetapi dengan cara berangsur-angsur dimulai di Mekkah dan disudahi di Madinah. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam ketika itu. Ketika persoalan yang dijumpai masyarakat Islam saat itu tidak ditemukan ketetapan hukumnya di dalam al-Qur’an, Nabi menyelesaikannya dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui permusyawaratan dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan
21
Sunnah Rasul. Memang al-Qur’an hanya memuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan secara rinci. Perinciannya, dalam masalah ibadah, diberikan oleh hadits. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsi-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh Nabi SAW diserahkan kepada umat untuk mengaturnya. Dalam periode Nabi, karena persoalan yang timbul dalam bidang ini dikembalikan penyelesaiannya kepada Nabi, maka tidak ada persoalan. Tetapi dalam periode sahabat, ketika daerah yang dikuasai Islam bertambah luas, sedangkan permasalahan yang dihadapi semakin kompleks, sedangkan Nabi sebagai tempat bertanya tidak ada lagi, ummat pun menyelesaikan persoalannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits Nabi. Ternyata pada prakteknya, tidak semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan pada alQur’an dan hadits Nabi secara eksplisit. Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dari kedua sumber tersebut para ulama melakukan ijtihad. Karena wahyu sudah tidak turun dan Nabi sudah wafat, maka para mujtahid tidak ada yang berani menyatakan benar atau tidaknya hasil ijtihad itu. Untuk mengatasi masalah itu dipakai ijma’. Dengan demikian putusan hukum yang diambil secara suara bulat bersama oleh para ulama, lebih kuat daripada putusan hukum yang dibuat oleh satu atau beberapa orang saja. Ketika kekuasaan Islam semakin bertambah luas, para ulama tinggal secara berpencar sehingga ijma’ dalam arti di atas tidak mungkin dilakukan lagi. Akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbath hukum sendiri.
22
Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbath hukum seperti qiyas, istihsan, urf, dan lain-lain. Metode-metode istinbath hukum itu selanjutnya menjadi objek kajian ilmu ushul fiqh. Pada perkembangannya metode istinbath hukum tersebut melahirkan mazhab. Imam mazhab dalam melakukan istinbath hukum telah menyusun macam-macam sumber dalil secara sistematik. Kenyataannya, macam-macam sumber dalil tersebut ada yang disepakati dan tidak disepakati. Dengan kata lain, dalil-dalil yang menjadi sumber penetapan hukum di kalangan ulama mazhab tersebut di satu pihak terdapat persamaan dan di pihak lain terdapat perbedaan. Macam-macam sumber dalil dan sistematika yang menjadi pijakan berbagai mazhab dalam melakukan istinbath hukum seperti berikut ini:
1. Mazhab Hanafiyyah Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah (80-150 H) dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi.16 Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau lebih menggunakan ra’yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hukum
16
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003), h.98.
23
dengan jalan qiyas dan istihsan.17 Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan, diambillah ’urf . Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan beliau sendiri yakni:
ﺇﱏ ﺍﺧﺬ ﺑﻜﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﺇﺫﺍ ﻭﺟﺪﺗﻪ ﻓﻤﺎﱂ ﺃﺟﺪﻩ ﻓﻴﻪ ﺃﺧﺬﺕ ﺑﺴﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ
ﻓﺈﺫﺍ.ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺍﻻﺛﺎﺭ ﺍﻟﺼﺤﺎﺡ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﱴ ﻧﺸﺖ ﰱ ﺃﻳﺪﻯ ﺍﻟﺜﻘﺎﺕ ﱂ ﺃﺟﺪ ﰱ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﷲ ﻭﻻﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺧﺬﺕ ﺑﻘﻮﻝ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ ﻣﻦ ﺷﺌﺖ ﻭﺃﺩﻉ ﻗﻮﻝ ﻣﻦ ﺷﺌﺖ ﰒ ﻻﺃﺧﺮﺝ ﻣﻦ ﻗﻮﳍﻢ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻧﺘﻬﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﺇﱃ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻢ ﻭﺍﻟﺸﻌﱯ ﻭﺍﳊﺴﻦ ﻭﺍﺑﻦ.ﺇﱃ ﻗﻮﻝ ﻏﲑﻫﻢ ﺳﲑﻳﻦ ﻭﺳﻌﻴﺪ ﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﻭﻋﺪ ﺭﺟﺎﻻ ﻗﺪ ﺇﺟﺘﻬﺪﻭﺍ ﻓﻠﻰ ﺃﻥ .ﺃﺟﺘﻬﺪﻛﻤﺎ ﺍﺟﺘﻬﺪﻭﺍ 18
Artinya: “Sesungguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah (al-Qur’an) apabila menemukannya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah SAW dan atsar-atsar yang memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas di kalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar (pindah) dari pendapat mereka kepada yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn 17
Ibid., h. 98. Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami (Kairo: Maktabah wa Matba’ah Ali Sabih wa auladuh, t.th.), h. 91-92 18
24
al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad”.
ﻛﻼﻡ ﺃﰊ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺃﺧﺬ ﺑﺎﺍﻟﺜﻘﺔ ﻭﻓﺮﺍﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺒﺢ ﻭﺍﻟﻨﻈﺮ ﰱ ﻣﻌﺎﻣﻼﺕ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭﻣﺎﺍﺳﺘﻘﺎﻣﻮﺍ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺻﻠﺢ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﻮﺭﻫﻢ ﳝﻀﻰ ﺍﻷﻣﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﻓﺈﺫﺍ ﻗﺒﺢ ﻓﺈﺫﺍ ﱂ ﳝﻀﻰ ﻟﻪ ﺭﺟﻊ ﺇﱃ.ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﳝﻀﻴﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﺳﺘﺤﺴﺎﻥ ﻣﺎﺩﺍﻡ ﳝﻀﻰ ﻟﻪ ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻮﺻﻞ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﺍﳌﻌﺮﻭﻑ ﰒ ﻳﻘﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺎﺩﺍﻡ.ﻣﺎﻳﺘﻌﺎﻣﻞ ﺍﳌﺴﻠﻤﻮﻥ ﺑﻪ .ﺍﻟﻘﻴﺎﺱ ﺳﺎﺋﻐﺎ ﰒ ﻳﺮﺟﻊ ﺇﱃ ﺍﻹﺳﺘﺤﺴﺎﻥ ﺃﻳﻬﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﻭﻓﻖ ﺭﺟﻊ ﺇﻟﻴﻪ 19
Artinya: “Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada urf manusia. Dan ia mengamalkan hadits yang sudah terkenal kemudian ia mengqiyaskan sesuatu kepada hadits itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika atau tertib urutannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah menempatkan al-Kitab atau al-Qur’an pada urutan pertama, kemudian alSunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat, 19
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah (al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987), Juz II, h. 161.
25
qiyas, istihsan dan terakhir adalah urf. Tidak disebutkannya ijma’ dalam rumusan ini bukan berarti Abu Hanifah menolak ijma’ tetapi menggunakan ijma’ sahabat yang tergambar dalam ucapannnya di atas. 20
Jika terjadi
pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan, maka Imam Abu Hanifah meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan karena adanya pertimbangan maslahat. Dengan kata lain penggunaan qiyas dapat dilakukan sepanjang ia dapat memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus-kasus yang dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan dengan alasan maslahat.21 Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah: a.
Al-Kitab Al-Kitab adalah sumber pokok dan sumber pertama ajaran Islam yang menjadi dasar dalam pembentukan hukum Islam sampai akhir zaman. Oleh karena itu, jika didalam al-Qur’an dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka nash itu harus diikuti. Dalam menetapkan hukum Islam yang diistinbathkan dari al-Qur’an, beliau banyak menggunakan akal (nalar).
b.
20 21
Al-Sunnah
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, h. 106. Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, h. 48.
26
Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global). Jika dalam al-Qur’an tidak dijumpai nash mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah. Apabila di dalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka alSunnah tersebut harus diikuti. Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan harus masyhur di kalangan perawi hadits terpercaya. 22 Perawi hadits harus beramal berdasarkan hadits yang diriwayatkan dan tidak boleh menyimpang dari periwayatannya. Perawi hadits tidak boleh merupakan seseorang yang aibnya tersebar di kalangan umum. 23 c. Aqwalu al-Shahabah (pendapat sahabat) Para sahabat adalah orang-orang yang membantu Nabi menyampaikan risalah Allah. Mereka hidup dan bergaul bersama Nabi. Lantaran kedekatannya dengan Nabi dalam pergaulan sehingga mampu memahami al-Qur’an dan hukum-hukumnya. Mereka lebih mengetahui sebab-sebab turunnya ayat-ayat al-Qur’an dan asbabu alwurud hadits Nabi serta bagaimana kaitannya hadits dengan alQur’an yang diturunkan itu.
22
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94. Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 100. 23
27
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. 24 Beliau menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam untuk mengikutinya. 25 Jika pada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka beliau mengambil salah satunya sebagai hujjah.
Beliau membolehkan mengikuti
pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak boleh menentang keseluruhan pendapat sahabat. Oleh karena itu, penggunaan qiyas masih tidak diperkenankan selama masih ada pendapat sahabat walaupun hanya mengikuti pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Abu Hanifah bahwa apabila ia tidak mendapatkan ketentuan dari alQur’an dan al-Sunnah maka beliau akan mengambil pendapat sahabat yang dikehendaki dan meninggalkan pendapat sahabat yang tidak dikehendaki. Beliau tidak mau keluar dari pendapat sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat. d. Al-Qiyas Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas jika dalam al-Qur’an dan al-Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan ketetapan hukum. 26 Beliau menghubungkan sesuatu yang belum ada hukumnya
24
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 189. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997), h. 160. 26 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz II, h. 162. 25
28
dengan nash setelah menyamakan illat yang sama diantara keduanya. Kemampuan Abu Hanifah dalam menerapkan Qiyas menurut Shubhy Mahmasany sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo disebabkan profesi beliau sebagai saudagar dan pengetahuannya yang mendalam di bidang ilmu hukum sehingga menjadikannya ahli dalam menguasai pendapat dan logika dalam penerapan hukum syari’at. 27 e. Al-Istihsan Istihsan secara etimologi berarti mengangap baik terhadap sesuatu. Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah kepindahan seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khafi (samar), atau dari dalil kulli kepada hukum takhsish lantaran terdapat dalil yang menyebabkan mujtahid mengalihkan hasil fikirannya dan mementingkan perpindahan hukum. 28 Dari pengertian istihsan tersebut dapat dipahami bahwa apabila seorang mujtahid menghadapi suatu peristiwa yang sudah tidak ada nash yang menetapkan hukumnya, sedangkan untuk menetapkannya terdapat jalan yang berbeda-beda, jalan yang satu adalah jelas dan jalan yang lainnya adalah samar-samar, sedangkan pada diri mujtahid tersebut terdapat suatu dalil yang dapat digunakan untuk menarjihkan jalan yang samar-samar, maka ia menempuh jalan yang nyata
27 28
Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 101. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 88.
29
tersebut untuk menempuh jalan yang samar-samar itu. Demikian juga jika ia menemukan dalil kulli yang menetapkan suatu hukum, kemudian ia menemukan dalil yang lain yang mengecualikan suatu hukum dari dalil kulli tersebut, maka ia menetapkan hukum lain yang berbeda dengan hukum yang ditetapkan oleh dalil kulli tersebut. Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan. Tetapi ia tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan
yang
dilakukannya
itu.
Istihsan
menurut
bahasa,
sebagaimana telah dijelaskan, berarti menganggap atau memandang baik terhadap sesuatu.29 Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka orang mengatakan bahwa
Abu
Hanifah
dalam
menetapkan
hukum
menurut
keinginannya saja tanpa menggunakan metode. Hal ini dikarenakan Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu. Abu Hanifah dalam menetapkan hukum hanya berpatokan pada apa yang sudah dipandang baik maka sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum. Setelah timbul kritikan-kritikan terhadap istihsan yang tidak diketahui definisi hakikinya, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsan.
29
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 43.
30
Mereka berusaha untuk menjelaskan bahwa sesungguhnya istihsan itu tidak keluar dari dalil-dalil syara. Sebagian Ulama Hanafiah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istihsan adalah qiyas yang wajib beramal dengannya, karena illatnya didasarkan pada pengaruh hukumnya. Illat yang mempunyai pengaruh hukum yang kuat dinamakan istihsan dan illat yang mempunyai pengaruh hukum yang lemah dinamakan qiyas. Istihsan ini seolah-olah satu macam cara beramal dengan salah satu yang paling kuat. Ini disimpulkan dari penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam istihsan menurut ketentuan-ketentuan mereka. 30 f. Urf Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.31 Abu Hanifah berpegang kepada urf dalam menetapkan hukum. 32 Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. Beliau melakukan segala urusan yakni apabila tidak 30
Ibid., h. 44. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 99. 32 Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 177.
31
31
ditemukan dalam al-Qur’an, sunnah, ijma’ atau qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan denngan cara qiyas maka beliau kembali ke istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan melalui istihsan maka beliau kembali pada urf. Hal ini menunjukan bahwa beliau memperhatiakn urf manusia apabila tidak ditemukan nash dalam al-Qur’an, sunnah, ijma, qiyas maupun istihsan. Tegasnya, Abu Hanifah pun hanya menggunakan urf shahih dengan meninggalkan urf fasid.
2. Mazhab Malikiyyah Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik (93-179 H). Imam Malik adalah seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadits. 33 Al-Muwaththa’ adalah kitab hadits yang merupakan karya Imam Malik. Kitab ini banyak mengandung haditshadits yang berasal dari Rasullullah SAW. atau dari Sahabat dan Tabi’in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal termasuk beraliran Ahl al-Hadits. Adapun metode istidlal Imam Malik dalam menetapkan hukum Islam berpegang kepada: a. Al-Qur’an
33
Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 105.
32
Imam Malik bersandarkan kepada nash al-Qur’an sebagai pegangan pokok dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan hukum itu berdasarkan zahir nash al-Qur’an atau keumumannya. 34 b. Al-Sunnah Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum yang kedua setelah al-Qur’an, imam Malik tetap mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-Qur’an. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka hal yang dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut.35 Apabila sunnah berlawanan dengan zahir al-Qur’an, baik zahir itu bersifat ’am, ataupun khas, maka Imam Malik lebih mendahulukan zahir al-Qur’an terkecuali sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl al-Madinah, ijma’ atau oleh qiyas. Jika sunnah tersebut dikuatkan oleh Amal Ahl Madinah, ijma’ atau oleh qiyas, maka Imam Malik lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah daripada zahir al-Qur’an. Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadits seperti yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadits. Imam Malik tidak menolak khabar wahid hanya karena bertentangan dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan hadits periwayatannya. Imam Malik tidak mendahulukan qiyas dari
34 35
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 106.
33
khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadits mursal dalam mengistinbathkan hukum. Beliau mensyaratkan dalam penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur dalam hadits adalah hadits yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz. 36 c. Amal Ahl al-Madinah Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl alMadinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah SAW, bukan dari hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW atau tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.37 Akan tetapi terkadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama madinah. d. Khabar Ahad dan al-Qiyas Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu konsisten.38 Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas, daripada khabar ahad. Kadang-kadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas. 39 Jika khabar ahad tidak dikenal di kalangan masyarakat Madinah,
36
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101. Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab h. 106. 38 Ibid., h. 108. 39 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 215.
37
34
maka khabar ahad itu tidak dianggap sebagai petunjuk dan tidak dianggap benar sebagai sesuatu yang berasal yang Rasulullah SAW. Dengan demikian, khabar ahad tidak digunakan sebagai dasar hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyas dan maslahah. Hal ini menunjukan bahwa Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang datang dari Rasulullah jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah. Kecuali khabar ahad itu dikuatkan dengan dalil-dalil qat’i. e. Al-Maslahah al-Mursalah Al-maslahah al-mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disingung dalam nash dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah mursalah itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan. Tujuan syariat dapat diketahui melalui al-Qur’an, sunnah, dan ijma’ ulama. Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah, sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang, kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi dalam bentuk lain, misalnya istihsan.40
40
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 102-103.
35
Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai dasar hukum yakni sebagai berikut:41 1. Maslahah
harus
benar-benar
merupakan
maslahah
menurut
penelitian seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja. 2. Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu. 3. Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
f. Fatwa Sahabat Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena mereka dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang didasarkan pada al-naql. Menurut Imam Malik, 42 para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang difahami dari Rasulullah SAW. Pada perkembangannya di kalangan muta’akhirin mazhab Maliki, mereka menjadikan fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka sebagai hujjah. g. Al-Istihsan Madzhab berpendapat
41 42
Maliki
sebagaimana
dikatakan
al-Syatibi
bahwa istihsan adalah menurut hukum dengan
Ibid., h. 110. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h., 206.
36
mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan istidlal al-mursalah daripada qiyas, sebab menggunakan istihsan itu tidak berarti hanya mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara secara keseluruhan.43 Tegasnya istihsan selalu melihat dampak suatu ketentuan hukum. Jangan sampai ketentuan hukum membawa dampak
merugikan.
Dampak suatu ketentuan
hukum harus
mendatangkan maslahat atau menghindarkan madharat. Dalil umum melarang melihat aurat seseorang. Akan tetapi jika dalil umum itu tetap digunakan sampai melarang melihat seseorang dokter dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil tersebut, karena dalil yang umum bertujuan untuk memelihara kemaslahatan. Larangan melihat dalam pengobatan menghilangkan kemaslahatan yang pokok, karena dengan tidak mengadakan pengobatan akan mengakibatkan kematian. Dasar memelihara jiwa adalah pokok, sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang pokok, maka pelengkap itu tidak perlu dipertahankan. Pendapat Imam Malik dengan penggunaan prinsip istihsan terdapat pada banyak kasus (persoalan) seperti persoalan saksi yang 43
Al-Syatibi, al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), Juz. IV, h. 206.
37
melihat langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para pemimpin untuk penyamarataan pemberian upah kerja bagi para pekerja. Hanya saja, Imam Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah dalam menggunakan prinsip ini. 44 h. Sadd al-Zarai’i Imam Malik menggunakan sadd al-zarai’i sebagai landasan dalam menetapkan hukum. 45 Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya juga haram. Dan semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, maka halalnya juga hukumnya. i.
Istishab Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. 46 Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan
yang
berlaku
sebelumnya
hingga
ada
dalil
yang
menunjukkan adanya perubahan keadaan itu. 47 Tegasnya adalah tetapnya suatu hukum untuk sekarang dan yang akan datang berdasarkan ketetapan hukum yang sudah ada pada masa lampau. Yakni jika sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan padanya, maka yang menjadi landasan adalah hukum 44
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103. 45 Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219. 46 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 111. 47 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 102.
38
pertama yang telah diyakini. Misalnya, ketika seseorang yang salat maghrib yakin bahwa dia sudah melaksanakan salat 2 rakaat, kemudian datang keraguan 2 rakaat atau 3 rakaat, maka yang menjadi hukum bagi orang tersebut adalah 2 rakaat. j.
Syar’u Man Qablana Syar’un Lana Menurut Qadhy Abd. Wahab al-Maliky sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo, Imam Malik menggunakan kaidah syar’u man qablana syar’un lana sebagai dasar hukum. Tetapi menurut Sayyid Muhammad Musa seperti yang dikutip oleh Huzaemah, kita tidak menemukan secara jelas pernyataan Imam Malik yang mengatakan demikian.48 Menurut Abdul Wahab Khalaf, bahwa apabila al-Qur’an dan al-Sunnah mengisahkan syariat atau hukum-hukum syara’ bagi umat sebelum kita melalui utusan-Nya, dan juga dalam nash ditetapkan sebagai syariat seperti untuk diwajibkan kepada orang-orang sebelum kita, maka hal itu tidak terdapat perbedaan bahwa syariat itu merupakan syariat dan undang-undang yang wajib ditaati dengan menetapkannya sebagai syariat.49 Contohnya antara lain sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Baqarah (1): 183
48 49
Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 112. Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, h. 105.
39
(183 :1/)ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. al-Baqarah (1): 183) Namun, jika al-Qur’an dan al-Sunnah menyatakan bahwa hukumhukum tersebut telah dihapus, maka hukum-hukum tersebut sudah tidak berlaku lagi buat kita. Contoh dari hal tersebut adalah bahwa umat nabi Musa apabila berbuat maksiat maka harus bunuh diri karena sudah tidak dapat bertobat lagi. Hukum tersebut pernah diberlakukan bagi umat nabi Musa, tetapi tidak bagi kita.
3. Mazhab Syafi’iyyah Mengenai dasar-dasar yang hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i (150 H- 204 H) dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut:
ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺗﺼﻞ ﺍﳊﺪﻳﺚ.ﺍﻷﺻﻞ ﻗﺮﺍﻥ ﻭﺳﻨﺔ ﻓﺈﻥ ﱂ ﻳﻜﻦ ﻓﻘﻴﺎﺱ ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ ﻭﺍﻹﲨﺎﻉ ﺃﻛﱪ ﻣﻦ ﺍﳋﱪ.ﻣﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﻭﺻﺢ ﺍﻹﺳﻨﺎﺩ ﻓﻬﻮ ﺍﳌﻨﺘﻬﻰ ﺍﳌﻔﺮﺩ ﻭﺍﳊﺪﻳﺚ ﻋﻠﻰ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺣﺘﻤﻞ ﺍﳌﻌﺎﱐ ﻓﻤﺎ ﺃﺷﺒﻪ ﻣﻨﻬﺎ ﻇﺎﻫﺮﻩ ﻭﻟﻴﺲ،ﺃﻭﻻﻫﺎ ﺑﻪ ﻭﺇﺫﺍ ﺗﻜﺎﻓﺄﺕ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﻓﺄﺻﺤﻬﺎ ﺇﺳﻨﺎﺩﺍ ﺃﻭﻻﻫﺎ ﺍﳌﻨﻘﻄﻊ ﺑﺸﻲﺀ ﻣﺎ ﻋﺪﺍ ﻣﻨﻘﻄﻊ ﺍﺑﻦ ﺍﳌﺴﻴﺐ ﻭﻻ ﻗﻴﺎﺱ ﺃﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻞ
40
ﻛﻴﻒ؟ ﻭﺇﳕﺎ ﻳﻘﺎﻝ ﻟﻠﻔﺮﻉ ﱂ؟ ﻓﺈﺫﺍ ﺻﺢ ﻗﻴﺎﺳﻪ،ﻭﻻ ﻳﻘﺎﻝ ﻷﺻﻞ ﱂ 50
.ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺻﻞ ﺻﺢ ﻭﻗﺎﻣﺖ ﺑﻪ ﺣﺠﺔ
Artinya: ”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah al-Qur’an dan Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada alQur’an dan Sunnah. Apabila sanad hadits bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma’ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan hadits menurut zahirnya. Apabila suatu hadits mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau hadits itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih utama. Hadits Munqathi’ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada pokok, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”. Dari perkataan kesimpulan
bahwa
Imam Syafi’i pokok-pokok
tersebut,
pemikiran
dapat
diambil
beliau
dalam
mengistinbathkan hukum adalah: a. Al-Qur’an dan al-Sunnah Imam Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal ini dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan keduanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam. 51 Al-Sunnah menurut beliau adalah menjelaskan al-Qur’an oleh
50 51
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 239.
41
karenanya al-Sunnah sejajar dengan al-Qur’an. Akan tetapi beliau tidak menyamakan hadits ahad dengan al-Qur’an dan hadits mutawatir karena tidak sama nilainya. Al-Qur’an dan al-Sunnah mempunyai derajat yang sama. Untuk menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang mempersamakan al-Qur’an dan al-Sunnah, maka perlu digaris bawahi:52 1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan al-Qur’an adalah al-Sunnah al- Mutawatirah (Sabitah), sama-sama qat’i al-wurud. Sedangkan hadits
ahad tidak seperingkat dengan al-Qur’an karena zanni al-
wurud. Akan tetapi, hadits ahad dibolehkan mentakhsiskan ayatayat al-Qur’an yang zanni al-dalalah. 2. Al-Qur’an dan al-Sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan hukum furu’ bukan dalam menetapkan akidah. 3. Kesamaan peringkat tersebut tidak boleh diartikan sebagai menurunkan al-Qur’an dari posisinya sebagai pokok dan sendi agama Islam. Demikian juga
tidak boleh diartikan sebagai
menaikkan posisi al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan penjelas al-Qur’an. Persamaannya hanya dalam hal sama-sama menjadi landasan istinbath hukum furu’.
52
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 57.
42
Imam Syafi’i mengambil al-Qur’an dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau tidak hanya mewajibkan mengambil hadits yang mutawatir saja, tetapi beliau juga mengambil dan menggunakan hadits ahad sebagai dalil selama selama perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan bersambung sanadnya langsung sampai kepada Nabi SAW. 53 b. Ijma’ Imam Syafi’i menyatakan bahwa ijma’ menjadi hujjah setelah alQur’an dan al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum.54 Pengertian ijma’ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu masa bersatu pendapat tentang sesuatu persoalan, sehingga ijma’ mereka menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma’kan, seperti yang dikemukakannya bahwa (”Saya dan tidak seorang pun dari kalangan ulama pernah mengatakan: ”Ini adalah persoalan yang telah disepakati”, kecuali menyangkut persoalan yang tidak seorang ahli pun pernah mempersoalkannya lagi kepada anda dan meriwayatkannya dari orang-orang yang mendahuluinya, seperti salat Zuhur empat rakaat, bahwa khamar itu diharamkan dan sebagainya”).55
53
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253. 55 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah (Kairo: Dar al-Turas, 1979), Juz III, h. 534.
54
43
Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka yang berijma’ adalah para ulama karena merekalah yang bisa menemukan apa yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka terdiri dari ulama semasa dari seluruh negeri Islam. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah adalah ijma’ yang berasal dari ulama seluruh penjuru Islam bukan ijma’ ulama ahl Madinah. Artinya, ijma’ ahl Madinah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum. Dengan demikian, Imam Syafi’i menolak ijma’ ulama yang diakui gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau bahwa Ijma’ adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga bukan ijma’ kaum tertentu saja. Namun Imam Syafi’i mengakui bahwa ijma’ sahabat merupakan ijma’ yang paling kuat.56 Hal ini karena ijma’ mereka menunjukkan bahwa masalah yang diijma’kan itu didengarnya dari Nabi SAW. c. Qiyas Imam Syafi’i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum setelah al-Qur’an, al-Sunnah dan ijma’. Beliau adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau 56
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 259.
44
diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan diajarkan.57 Sedangkan mujtahid sebelumnya
sekalipun telah
menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini Imam Syafi’i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan kerangka teoritis dan metodologisnya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas.58 Beliau menggunakan qiyas berdasarkan pada firman Allah dalam QS. al-Nisa (4): 59
(59 :4/ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ
57
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i, h. 96. Contoh qiyas seperti firman Allah dalam QS. al-Zilzal: 7-8 bahwa (”Barangsiapa yang melakukan kebaikan sebesar zarrah, Ia pasti melihatnya. Barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar zarrah, Ia pun pasti akan melihatnya”). Maka jika diqiyaskan bahwa kebaikan yang lebih berat dari satu zarrah, berarti lebih terpuji dan keburukan yang lebih berat dari satu zarrah lebih tercela. 58 Muhammad Idris al-Syafi’i, al-Risalah, Juz III h. 477.
45
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. al-Nisa (4): 59) Imam Syafi’i berpendapat bahwa maksud ”kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari keduanya yakni al-Qur’an atau al-Sunnah.59 Selain berdasarkan kepada al-Qur’an, imam Syafi’i juga berdasarkan kepada al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu berdasarkan hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama Mua’adz ibn Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur di sana. Mua’dz ibn Jabal memutuskan masalah berdasarkan al-Qur’an, jika beliau tidak menemukan dalam al-Qur’an maka diputuskan berdasarkan al-Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam al-Sunnah, maka beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya. 4. Mazhab Hanabilah Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) merupakan ahli hadits sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama. 60 Akan tetapi terjadi perselisihan di antara ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fiqh. Ibn Jarir al-Thabary berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk Ahlu
59 60
Ibid., Juz I, h. 81. Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 323.
46
al-Hadits. 61 Oleh karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapatpendapat Imam Ahmad dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fiqh. Ibnu Qutaibah memasukkan Ahmad ibn Hanbal dalam bilanggan muhadditsin, bukan fuqaha.62 Sedangkan Ibn Abdul al-Barr sebagaimana dikutip oleh Huzaemah Tahido Yanggo hanya memasukkan Abu Hanifah, Malik dan alSyafi’i sebagai ahli fiqh.63 Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:64 a. Nash dari al-Qur’an dan Sunnah yang shahih Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut. b. Fatwa para Sahabat Nabi SAW. Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan mengambil dasar dari fatwa para Sahabat Nabi SAW. yang tidak ada perselisihan di antara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash yang jelas dari al-Qur’an dan Rasul yang shahih. c. Fatwa Sahabat yang diperselisihkan
61
Ibid., h. 323. Ibid., h. 323. 63 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 140. 64 Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. Ed. Thaha Abd alRauf (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973), Juz I, h. 29-33. 62
47
Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dari fatwa Sahabat yang diperselisihkan dengan memilih fatwa Sahabat yang lebih mendekati al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini beliau lakukan jika beliau tidak menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka. d. Hadits Mursal dan Hadits Dha’if Imam Ahmad ibn Hanbal membagi hadits menjadi dua yakni hadits mursal dan hadits dha’if tidak seperti para ulama yang membagi hadits menjadi shahih, hasan dan dha’if. Apabila dalam suatu perkara tidak terdapat penyelesaian, maka hadits mursal dan dha’if digunakan sebagai hujjah. Akan tetapi hadits dha’if yang digunakan bukan berarti hadits
dha’if
yang
batil,
mungkar
dan
hadits
yang
dalam
periwayatannya terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Apabila hadits
dha’if
tersebut
tidak
terdapat
atsar
yang
membantah
keabsahannya, atau pendapat sahabat, tidak pula ijma’, maka lebih mengamalkan hadits dha’if lebih utama daripada melakukan qiyas. 65 Dalam keadaan darurat Imam Ahmad menerima hadits dha’if dan mendahulukannya dari qiyas. Beliau menetapkan hukum dengan mengambil dasar dari hadits mursal dan dha’if jika beliau tidak
65
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 107-108.
48
menemukan nash yang jelas dari al-Qur’an, Sunnah dan fatwa Sahabat yang disepakati atau diperselisihkan. e. Qiyas Imam Ahmad ibn Hanbal walaupun tergolong ulama yang mengunakan Qiyas dalam menetapkan hukum, akan tetapi beliau tidak banyak menggunakannya. Beliau hanya menggunakannya dalam keadaan darurat.
5. Mazhab Syiah Imamiyah Mazhab syiah asalnya bukan sebagai mazhab dalam bidang hukum fiqih, tetapi sebagai kelompok politik yang berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah nabi wafat adalah Ali bin Ibn Abi Thalib, bukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman. 66 Pada perkembangannya mazhab syiah bukan saja menjadi mazhab politik, tetapi juga menjadi mazhab fiqh. Syiah Isna Asyariyah, biasa juga dikenal dengan nama Imamiyah atau Ja’fariyah, adalah kelompok Syiah yang mempercayai adanya dua belas imam yang kesemuanya dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah al-Zahra, putri Rasulullah SAW.
66
Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 145
49
Syiah Imamiyah menetapkan hukum berdasarkan pada alQur’an, Sunnah, Ijma’ dan al-Ra’yu. 67 Imamiyah berpendapat bahwa pendapat para imam sama nilainya dengan hadits Rasul. Pendapat para imam tidak dipandang istinbath, tetapi dianggap sunnah yang harus diikuti. Pendapat para imam dianggap satu kesatuan. Lantaran itu syiah Imamiyah tidak mengatakan bahwa Ja’far al-Shadiq mempunyai fiqh yang berdiri sendiri, terpisah dari fiqh imam-imam syiah yang lain. 68 Pada mulanya ulama syiah imamiyah melakukan ijtihad mengikuti metode imam Syafi’i dalam menetapkan hukum, tetapi lamakelamaan, mereka menetapkan ushul fiqh sendiri dan beristinbath dengan caranya sendiri pula. Mereka berijtihad menggunakan maslahat, bukan dengan cara qiyas.69 Secara terperinci Syiah Imamiyah dalam mengistinbathkan hukum berdasarkan pada: a. Al-Qur’an Al-Qur’an merupakan hujjatul Islam pokok yang disepakati oleh seluruh umat Islam. Al-Qur’an merupakan sumber dari segala sumber. Al-Qur’an dijamin terpelihara oleh Allah sebagaimana firmanNya di dalam QS. al-Hijr (15): 9
67
Ibid., 148. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 409. 69 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 148. 68
50
(9 :15/ )ﺍﳊﺠﺮ Artinya: ”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (QS. al-Hijr (15): 9)
Imam Ja’far al-Shadiq berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kitab yang mencakup segala hukum, sedangkan al-Sunnah tidak mendatangkan sesuatu yang baru. Al-Sunnah tidak diterima dan diamalkan sebelum
dirujuk kepada al-Qur’an. 70
b. Al-Sunnah Syiah Imamiyah berpendapat bahwa sunnah terbagi dua macam
yakni
sunnah
mutawatirah
dan
sunnah
yang
tidak
mutawatirah.71 Sunnah mutawatirah ada yang mutawatir dari Nabi dan ada yang mutawatir dari imam yang ma’shum. Sunnah bagi mereka termasuk fatwa imam. Mereka berpendapat bahwa mengingkari sunnah mutawatirah akan menjadi kafir dan menolak fatwa imam akan menjadi fasik. c. Ijma’ Jumhur Syiah Imamiyah berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan suatu golongan yang kesepakatan mereka menyingkapkan
70 71
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 32. Ibid., h. 45.
51
pendapat imam yang ma’shum. 72 Dalam hal ini dapat dipahami bahwa ijma’ di kalangan Syiah Imamiyah hanya dapat terjadi ketika tidak ada imam dari golongan mereka. Ijma’ dalam pandangan Syiah Imamiyah hanyalah menyingkap pendapat imam. Imamlah yang menjadi pokok dasar. Apabila murid-murid imam sepakat menetapkan suatu hukum, maka hal itu dianggap pendapat imam-imam mereka. d. Al-Ra’yu Syiah
Imamiyah
mempergunakan
ra’yu
(akal)
untuk
mengetahui hal baik yang merupakan sesuatu yang dituntut syara’ dan hal buruk yang merupakan sesuatu yang dilarang oleh syara’. Golongan imamiyah berpendapat bahwa segala yang diperintah akal harus dikerjakan. Segala yang dilarang akal harus ditinggalkan. Akal menurut mereka tidak menyuruh dan melarang akan sesuatu. Akal hanya menyingkap perintah dan larangan Allah. 73 Al-Zaidiyah adalah adalah kelompok syiah pengikut Zaid bin Muhammad bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau lahir pada 80 H dan terbunuh pada 122 H. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat taat beribadah, berpengetahuan luas sekaligus revolusioner.74
72
Ibid., 53. Ibid., h. 59. 74 Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Ciputat: Lentera Hati, 2007), h. 78. 73
52
Al-Zaidiyah dalam konteks menetapkan hukum menggunakan al-Qur’an, sunnah dan nalar.75 Mereka tidak membatasi penerimaan hadits dari keluarga Nabi semata-mata, tetapi mengandalkan juga riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain.76
6. Mazhab Zhahiriyah Pendiri mazhab Zhahiriyah adalah Daud ibn Ali al-Ashfaniy yang dilahirkan pada tahun 202 H. di Kufah dan wafat pada tahun 270 H. di Baghdad. Mazhab Zhahiriyah adalah suatu mazhab yang menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada zahir nash saja, tidak memberikan ta’wil atau tafsir terhadap nash, baik al-Qur’an maupun sunnah Rasul. Mereka menafsirkan ayat al-Qur’an atau hadits dengan menggunakan ayat al-Qur’an atau hadits yang lain dan tidak menafsirkan dengan selain itu.77Kemudian mazhab Zhahiriyah ini dikembangkan oleh Ali ibn Hazmin al-Zhahiriy (384-456 H) yang dikenal dengan ibn Hazm. Ibn Hazm sebagaimana diterangkan dalam kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam mengistinbathkan hukum berdasarkan 4 sumber yakni al-Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat dan dalil. 78
75
Kamil Musa, al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islamiy (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989), h.
166. 76
Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran, h. 82. 77 Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 152. 78 Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi al-Zahiri, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam (Beirut: Dar al-Jil, 1987), Juz I h. 69.
53
Secara terperinci dasar Ibnu Hazm dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah: a. Al-Qur’an Al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber. Tidak ada sesuatu dalil syar’i melainkan diambil dari al-Qur’an. Al-Qur’an adalah asal dari setiap asal. Ibn Hazm hanya mengambil zahir alQur’an dalam menetapkan hukum. Apabila zahir al-Qur’an memerintah wajib, maka wajib segera dilaksanakan kecuali terdapat dalil yang menetapkan tidak demikian. Lafaz umum harus dimaknai umum karena berdasarkan zahir keumuman lafaz tersebut kecuali terdapat keterangan bahwa yang dimaksudkan adalah bukan zahir. 79 b. Al-Sunnah Ibn Hazm berpendapat bahwa al-Sunnah merupakan nash yang turut membina syariat walau hujjahnya diambil dari al-Qur’an. Keduanya merupakan wahyu dari Allah.80 Al-Qur’an dan al-Sunnah merupakan satu dalam bidang istidlal, tidak didahulukan yang satu atas yang lain. Keduanya dipandang senilai dan semartabat dalam bidang istidlal. c. Ijma’ Sahabat Ijma’ yang ditetapkan oleh ibn Hazm adalah ijma’ mutawatir yang bersambung sanadnya kepada Rasul dan harus bersandarkan 79 80
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 324. Ibid., 326.
54
kepada nash. Ijma’ yang tidak bersandarkan kepada nash bukan termasuk ijma’. Ijma’ ulama Madinah oleh ibn Hazm tidak dapat dikatakan sebagai ijma’ dan tidak dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum. d. Dalil Ibn Hazm menggunakan apa yang ia sebut dengan ”dalil” sebagai pengganti qiyas dalam mengistinbathkan hukum setelah alQur’an, sunnah dan ijma’ sahabat.81 Dalil diambil dari nash atau ijma’.
81
Ibid., h. 349.
BAB III PEREMPUAN MENJADI IMAM SALAT DALAM PANDANGAN ULAMA
A. Imam Salat 1. Pengertian Imam Salat Imamah menurut bahasa berarti “kepemimpinan”. Imam artinya “pemimpin”, seperti “ketua” atau yang lainnya, baik dia memberikan petunjuk ataupun menyesatkan. Imam juga disebut khalifah yaitu penguasa dan pemimpin tertinggi rakyat. Kata imam juga bisa digunakan untuk Al-Qur’an karena Al-Qur’an itu adalah imam (pedoman) bagi umat Islam. Demikian pula, bisa digunakan untuk Rasulullah SAW karena beliau adalah pemimpin. Kata imam juga digunakan untuk orang yang mengatur kemaslahatan sesuatu, untuk pemimpin pasukan, dan untuk orang dengan fungsi lainnya. 1 Di dalam Al-Qur’an tidak disebutkan kata imamah, yang ada imam (pemimpin) dan aimmah (pemimpin-pemimpin),2 seperti dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah (1): 124
(124 :1/ ) ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ
1
Ali Ahmad al-Salus, Imamah dan Khalifah dalam Tinjauan Syar’i. Penerjemah Asmuni Solihin Zamarkhsyari (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 15 2 Ibid., h. 15
55
56
Artinya: ”Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah (1): 124)
(73 :21/ )ﺍﻻﻧﺒﻴﺎﺀ
Artinya: ”Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah”. (QS. al-Anbiya (21): 73)
(12 :09/ )ﺍﻟﺘﻮﺑﺔ
Artinya: ”Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orangorang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS. al-Taubah (9): 12)
(41 :28/)اﻟﻘﺼﺺ Artinya: ”Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong”. (QS. al-Qashash (28): 41)
57
Sedangkan menurut Wahbah Zuhaili, arti imam terbagi menjadi dua bagian yaitu imam dalam pengertian luas dan sempit. Pengertian yang luas berarti hak pengendalian yang menyeluruh atas manusia atau memberi ketaatan pada ketua dalam perkara agama dan dunia.3 Al-Mawardi mengatakan imamah ditujukan untuk mengantikan tugas kenabian dalam memimpin urusan agama dan dunia.4 Dalam pengertian sempit, maksudnya adalah imam salat, yang berarti hubungan salat seseorang dengan imamnya.5 Imam adalah orang yang memimpin pelaksanaan salat jamaah. 2. Syarat Imam Salat Persoalan tentang kepemimpinan dalam salat (imam) telah menjadi salah satu topik kajian para ulama dalam f iq h ibadah. Signifikasi konsep imamah ini terlihat dengan adanya berbagai kriteria yang ditetapkan ulama bagi orang-orang yang akan didaulat sebagai imam salat. Para ulama menetapkan beberapa syarat imam salat, yang terkadang antara ulama satu dengan yang lainnya berbeda pendapat. Mainstream ulama memberikan beberapa kriteria yaitu muslim, berakal, baligh, pria, suci dari hadas dan kotoran, bacaannya baik, alim, dan
3
Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), jilid II h. 1191-1192 4 Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 5. 5 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu, h. 1192
58
sebagainya.6 Wahbah Zuhaili menerangkan bahwa untuk menjadi imam salat ada 9 syarat yakni: a. Muslim, maka tidak boleh imam dari golongan kafir. b. Berakal, maka tidak boleh salat di belakang orang gila. c. Baligh. Menurut jumhur ulama tidak sah imam mumayyiz (anak kecil) bagi orang yang sudah baligh, baik bagi salat fardu maupun salat sunnah, dan bagi salat fardu saja menurut mazhab Maliki dan Hanbali. d. Laki-laki yang sempurna. Apabila makmumnya laki-laki atau khunsa (banci), maka tidak sah yang menjadi imam itu wanita atau banci, baik dalam salat fardu maupun salat sunnah. e. Suci, maka tidak sah imam itu seorang yang berhadas. f. Pandai membaca al-Qur’an. Menurut jumhur, tidak sah imamah itu seorang yang ummi (bodoh) dalam bacaan. g. Keadaannya bukan makmum, maka tidak sah mengikuti makmum. h. Mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan bahwa imam itu harus terpelihara dari uzur (halangan). i.
6
Imam itu orang yang bagus lidahnya (bahasanya/tidak cadel). 7
Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (JuliDesember 2008): h. 2 7 Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu, h. 1192-1198
59
Secara terperinci, Abu Hanifah mendahulukan mereka yang lebih atas pengetahuan hukum-hukum, kemudian yang paling baik bacaannya, kemudian mereka yang wara’, muslim, berumur, memiliki akhlak mulia, tampan wajahnya, baik nasabnya, dan paling bersih pakaiannya. Apabila terdapat sejumlah orang yang sama kriterianya, maka diadakan undian untuk memilih salah seorang yang berhak menjadi imam. 8 Senada dengan pandangan Hanafiyah, Malikiyah memberikan syarat-syarat kepemimpinan shalat secara agak luas, mencakup ke arah imamah kubra, dan memperluas syarat-syaratnya. Adapun persyaratan secara rinci yang dikemukakan Malikiyah adalah lebih mendahulukan sultan (penguasa) atau wakilnya, imam masjid, penghuni rumah, yang paling tahu tentang masalah salat, yang paling baik bacaannya, yang paling banyak ibadahnya, yang lebih dulu Islamnya, suci nasabnya, memiliki akhlak mulia, bagus pakaiannnya dan jika sama akan diadakan undian untuk menentukannya.9 Sementara itu, Syafi’iyah memberikan persyaratan penguasa dan imam masjid lebih didahulukan daripada mereka yang lebih paham terhadap masalah salat dan baru kemudian mereka yang paling baik bacaannya.
Hanabilah berpandangan bahwa o ran g yang berhak
menjadi imam adalah yang ses eor ang yan g paling paham dan paling
8 9
Ibid., h. 1201-1202. Ibid., h. 12021203.
60
baik bacaannya, kemudian orang yang paling baik bacaannya saja, dan jika tidak ada maka baru mereka yang paling paham tentang masalah salat. Namun, jika masih ditemukan ada yang sama, maka ditentukan melalui undian. Berbeda dengan tradisi Sunni, kalangan Syi’ah lebih mendahulukan para imam mereka untuk pimpinan salat. Apabila terdapat kesamaan, maka yang didahulukan adalah yang lebih paham terhadap ajaran agama, lebih baik bacaannya dan lebih tua umurnya.10 Secara umum, dari pendapat para ulama di atas terdapat beberapa kriteria yang bersifat substansial, yang disepakati oleh mereka, untuk seseorang yang dapat menjadi imam yakni kemampuan bacaan dan kapasitas ilmu agama yang baik. Sementara kriteria-kriteria lain, seperti umur, kedudukan, akhlak, dan lain sebagainya, menjadi tidak terlalu substansial dibandingkan kedua kriteria di atas. Namun, beberapa ulama memberikan persyaratan khusus terkait
dengan
kriteria
jenis
kelamin,
yang
hanya
membolehkan
laki-laki sebagai imam. Sementara itu, perempuan hanya diperbolehkan imam bagi kaumnya saja. Sedangkan Hasbi as-Shiddieqy mengemukakan bahwa syarat minimal imam salat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:11
10 11
h. 455
Ibid., h. 1203-1205. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),
61
a. Sanggup menunaikan salat. Maka jika dengan tiba-tiba datang ganguan, hendaklah ia menggantikan dirinya dan mundur ke dalam shaf. b. Mengetahui ketentuan salat. Mengetahui sah tidaknya salat dalam segala sudut. Karena itu, tidak sah diikuti orang yang tidak sedikit juga mengetahui Al-Qur’an dan tidak mengetahui fiqh. Dikehendaki dengan mengetahui fiqh di sini, ialah mengetahui hukum-hukum bersuci dan hukum-hukum salat. c. Mempunyai hafalan yang kuat. d. Tidak cacat bacaan Al-Qur’an (Al-Fatihah dan surat, dan dzikir)
3. Praktek Pelaksanaan Pengimaman Salat Berjamaah dalam Sejarah Islam Klasik Permulaan Nabi Muhammad SAW. mengerjakan salat berjamaah secara terang-terangan dan terus-menerus, ialah di Madinah. Di kala masih di Mekkah, Nabi SAW. tidak mengerjakan salat dengan berjamaah di Masjid, karena sahabat Nabi kala itu masih lemah. Nabi SAW. salat berjamaah di rumahnya, terkadang-kadang dengan sayyidina Ali ra. dan terkadang-kadang dengan sayyidatina Khadijah ra. Jika Nabi SAW. salat berjamaah dengan para sahabat di luar rumah, maka Nabi SAW. melaksanakannya di tempat-tempat yang sepi. Para sahabat Nabi SAW. pun demikian halnya, yakni berjamaah di rumah atau di tempat-tempat yang tersembunyi. 12 12
Ibid., h. 432
62
Orang-orang yang menghadiri jamaah bersama-sama lelaki adalah kebajikan. Sejarah dan riwayat membuktikan bahwa orang-orang perempuan di masa Nabi SAW. turut salat bersama-sama Nabi SAW. baik di waktu siang maupun di malam hari. Bahkan Nabi SAW. melarang para sahabat melarang istri-istri mereka pergi salat berjamaah ke mesjid pada malam hari. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW: 13
ﻻ ﲤﻨﻌﻮﺍ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻣﻦ ﺍﳋﺮﻭﺝ ﺇﱃ ﺍﳌﺴﺎﺟﺪ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ
Artinya: ”Janganlah kalian melarang istri-istri kalian pergi ke mesjid di malam hari”. (HR Muslim). Jika
orang-orang
perempuan
salat
berjamaah
bersama-sama
perempuan, mereka diimami oleh seorang perempuan, maka ini pun dianggap baik karena tidak ada nash yang melarangnya. Aisyah ra. mengimami orangorang perempuan pada salat Maghrib. Beliau berdiri di tengah-tengah (pada shaf pertama) dengan menjaharkan bacaan. Aisyah juga pernah menjadi imam bagi orang-orang perempuan dalam salat Tathauwwu’. Beliau menjadi imam bagi sesama perempuan. Ummu Salamah mengimami orang-orang perempuan pada salat Ashar. Beliau berdiri di tengah-tengah mereka (shaf pertama). Ummu Salamah juga menjadi imam bagi orang-orang perempuan di bulan Ramadhan.14
13 14
Abu al-Husain Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007), Vol. IV, h. 383. Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, h. 444-445.
63
Dalam kitab Fiqh Sunnah, karangan Syeikh Sayyid Sabiq terdapat bab kebolehan perempuan menjadi imam bagi perempuan. Dalam bab ini dijelaskan bahwa Aisyah dan Ummu Salamah pernah mengimami jamaah perempuan, dan Ummu Waraqah pernah diperintah oleh Nabi untuk menjadi imam bagi keluarganya dalam salat fardhu, sedang di antara mereka ada seorang laki-laki. 15
B. Imam Salat dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an Al-Qur’an menginformasikan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupannya. Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan manusia atas manusia yang lain hanya berlaku pada soal kwalitas ibadahnya kepada Allah (taqwa). Hal ini dijelaskan di dalam QS. al-Hujurat (49): 13
( 13 : 49 / )اﻟﺤﺠﺮات Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13)
15
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Bairut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973) Cet. II Jilid. I h. 237
64
Lihat pula firman Allah yang menyatakan imbalan yang sama diberikan Allah kepada hamba-Nya yang melakukan amalan shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam surat al-Nahl (16): 97
(97 :16/ )اﻟﻨﺤﻞ Artinya: ”Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl (16): 97) Begitu pula kesamaan laki-laki dengan perempuan dalam memperoleh hak dan bagian dari hasil usahanya, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Nisa (4): 32
(32 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء Artinya: ”Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-Nisa (4): 32)
65
Persoalan perizinan atau pelarangan imamah perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki tampaknya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut demikian. Imam al-Syafi’i (w. 204 H) dalam al-Umm membuat satu bahasan dengan topik ( إﻣﺎﻣﺔ اﻟﻤﺮأة ﻟﻠﺮﺟﺎلkeimaman perempuan untuk laki-laki). Kemudian beliau mengatakan:
ﻭﺇﺫﺍ ﺻﻠﺖ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺑﺮﺟﺎﻝ ﻭﻧﺴﺎﺀ ﻭﺻﺒﻴﺎﻥ ﺫﻛﻮﺭ ﻓﺼﻼﺓ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﳎﺰﺋﺔ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻭﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ﺍﻟﺬﻛﻮﺭ ﻏﲑ ﳎﺰﺋﺔ ﻷﻥ ﺍﷲ ﻋﺰﻭﺟﻞ ﺟﻌﻞ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻗﻮﺍﻣﲔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻭﻗﺼﺮﻫﻦ ﻋﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻦ ﺃﻭﻟﻴﺎﺀ ﻭﻏﲑ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﳚﻮﺯ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺇﻣﺎﻡ ﺭﺟﻞ ﰲ ﺻﻼﺓ ﲝﺎﻝ ﺃﺑﺪﺍ 16
Artinya: Apabila wanita salat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan, dan anak laki-laki, maka salat para makmum yang wanita sah. Sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu karena Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan, Allah juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain. Perempuan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum lakilaki. Mayoritas ulama salaf dan khalaf telah sepakat akan ketidakbolehan perempuan memegang tampuk pimpinan terlebih lagi kepemimpinan negara Islam. 17 Begitu juga kepemimpinan perempuan dalam salat Alasan yang sering digunakan antara lain adalah firman Allah SWT QS. al-Nisa (4): 34
16
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Wafa, 2005), Juz II Cet. III h. 320. Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Ceria, 2008) h. 114. 17
66
(34 :4/ )اﻟﻨﺴﺎء Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. al-Nisa (4): 34) Dari ayat 34 Surat Al-Nisa ini, secara khusus yang dibahas di sini adalah qawwamun. Kata ini seperti tersebut di atas merupakan potongan kalimat dari ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa (kaum lelaki adalah qawwamun bagi perempuan). Kata qawwamun adalah bentuk jamak (plural) dari al-qawwamu yang berarti menjamin, mampu berdiri, dan raja. 18 Menurut al-Mu’jam alWasith, kata al-qawwamu berarti bagus pendirian, dan mempunyai ide yang bagus dalam setiap pekerjaan. 19 Namun menurut al-Munawwir, kata alQawwamu berarti yang menanggung, bertanggung jawab, amir, kepala, pemimpin. 20 Tafsir besar klasik populer menjelaskan hal ini secara etimologi kebahasaan dimulai oleh Al-Thabari. Ia mengartikan kata itu dengan arti Ahl alQiyam (penegak). Ini berarti bahwa laki-laki sebagai penegak derajat kaum perempuan bertanggung jawab mendidik dan membimbing istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah maupun suami dalam keluarganya. AlTabari memaparkan: 18
Abdul Lois Ma’luf, Al-Munjid (Beirut: Dar al-Masyrik, 2002), h. 664 Anis Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasith (Qahirah: Dar al-Qalam, t.th.), h. 786 20 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1174 19
67
ﻳﻌﲏ ﺑﻘﻮﻟﻪ ﺟﻞ ﺛﻨﺎﺅﻩ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻗﻮﺍﻣﻮﻥ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﺃﻫﻞ ﻗﻴﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﻧﺴﺎﺋﻬﻢ ﰲ ﺗﺄﺩﻳﺒﻬﻦ ﻭﺍﻷﺧﺬ ﻋﻠﻰ ﺃﻳﺪﻳﻬﻦ ﻓﻴﻤﺎ ﳚﺐ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﺍﷲ ﻭﻷﻧﻔﺴﻬﻢ ﲟﺎﻓﻀﻞ ﺍﷲ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻰ ﺑﻌﺾ ﻳﻌﲏ ﲟﺎﻓﻀﻞ ﺍﷲ ﺑﻪ ﺍﻟﺮﺟﺎﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﺯﻭﺍﺟﻬﻢ ﻣﻦ ﻦﺳﻮﻗﻬﻢ ﺇﻟﻴﻬﻦ ﻣﻬﻮﺭﻫﻦ ﻭﺇﻧﻔﺎﻗﻬﻢ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﺃﻣﻮﺍﳍﻢ ﻭﻛﻔﺎﻳﺘﻬﻢ ﺇﻳﺎﻫﻦ ﻣﺆ 21
Artinya: ”Yang dimaksud dengan para lelaki qawwamun atas perempuan, lelaki itu Ahl al-Qiyam (penegak) untuk kaum perempuannya dalam tugas mendidik dan mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan kaum perempuan terhadap Allah serta hak diri kaum laki-laki sendiri, disebabkan keunggulan yang diberikan Allah di atas yang lainnya. Maksudnya karena Allah mengunggulkan kaum laki-laki di atas para isterinya berupa pemberian maharnya kepada para isteri, kewajiban memberi nafkah harta bendanya kepada isteri, dan jaminan para suami terhadap perbekalan hidup para isteri”. Al-Bagawi
menafsirkan
qawwamun
dengan
pelindung
kaum
perempuan, penguasa dan pengatur pendidikan para perempuan. 22 AlZamakhsyari menekankan arti kata itu pada kaum lelaki untuk menegakkan amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ’an al-munkar kepada istrinya. Seperti apa yang dilakukan pemimpin kepada rakyatnya. 23 Demikian juga pendapat Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan dengan arti pelindung.24 Serasi dengan pendapat
21
Muhammad bin Jarir al-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay’ al-Qur’an (Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 2005), Vol. IV, h. 59. 22 Abu Muhammad al-Hasan al-Farra al-Bagawi, Tafsir al-Bagawi (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1993), vol. 1 h. 335 23 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 116 24 Abdullah Yusuf Ali, Quran. Penerjemah Ali Audah (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 190
68
Rasyid Rida, kata itu berarti pemimpin tetapi menempuh jalan bimbingan dan penjagaan bukan melalui pemaksaan. 25 Sementara
al-Zamaksyari
menegaskan
bahwa
ayat
tersebut
menunjukkan keunggulan laki-laki adalah alami, bukan karena hasil paksaan. Kemudian pemikir Mu’tazilah ini mengemukakan bahwa kelebihan laki-laki itu karena umumnya memiliki kelebihan penalaran, tekad yang kuat, keteguhan, kekuatan, kemampuan tulisan, dan keberanian. Karena itu dari kaum laki-laki ini lahir para nabi, ulama, dan pemimpin. Mereka juga berperan dalam jihad, azan, khutbah, i’tiqaf, takbir, persaksian, dalam
hudud dan qisas. Juga mereka
menerima bagian lebih dalam waris dan lain-lain. Selain itu laki-laki juga dapat menjadi wali nikah, menentukan talaq dan ruju’.26 Ibnu Katsir secara panjang lebar membahas ayat ini. 27 Menurut beliau ayat al-rijal qawwamun ala al-nisa berarti bahwa laki-laki lebih dibanding wanita dalam empat hal, yaitu: memimpin, besar/kuat, hakim dan mengajar akhlaknya jika akhlaknya tidak baik. Karena laki-laki lebih baik daripada perempuan, itulah sebabnya para Nabi hanya dari jenis laki-laki. Begitu pula pengendalian kekuasaan yang lebih besar, dengan mengutip sabda Rasulullah SAW bahwa (”tidak akan beruntung bagi suatu kaum/golongan yang menyerahkan urusannya kepada wanita”).
25
Rasyid Rida, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), vol. 5 h. 68 Endis Firdaus, Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, h. 118 27 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim (Riyadh: Dar Thayibah, 2007), Juz I h. 292. 26
69
Namun menurut Ibnu Katsir, kelebihan tersebut dalam masalah rumah tangga dengan alasan kelanjutan ayat itu yang menyatakan bahwa laki-lakilah yang harus mengeluarkan harta untuk mereka. 28 Rasyid Rida menekankan,29 bahwa kelebihan laki-laki atas perempuan terjadi karena dua sebab: fitri dan kasbi. Sebab fitri (bawaan) sudah ada sejak penciptaan. Menurutnya, laki-laki sejak penciptaan sudah diberi kelebihan kekuatan (al-Quwwah), dan kemampuan (al-Qudrah). Laki-laki katanya lebih tegap (ajmal), lebih sempurna (atamm wa akmal) dan lebih kuat (aqwa). Kelebihan laki-laki atas perempuan bukan hanya berlaku pada manusia melainkan juga pada binatang. Binatang jantan adalah lebih tegap dan lebih sempurna (ajmal wa akmal) daripada betinanya. Sebagai akibat dari kesempurnaan sejak penciptaan itu, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan kejernihan pandangan. Rasyid Rida mengemukakan kenyataan itu merupakan sesuatu yang wajar karena pribahasa sendiri menyatakan ’akal yang sehat ada pada tubuh yang sehat’. Kemudian kelebihan akal katanya, menyebabkan kelebihan kasbi. Laki-laki lebih mampu berusaha, berinovasi, dan bergerak. Karena itu, laki-laki dituntut memberi nafkah pada perempuan, menjaga, dan memimpinnya. Abdullah al-Mirgani mengartikan qawwamun sebagai pelindung yakni laki-laki pelindung bagi perempuan, sebagaimana seorang pemimpin mengurus
28 29
Ibid., h. 293. Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, vol. 5 h. 69-70
70
rakyatnya. Hal ini dikarenakan Allah telah melebihkan sebagian mereka (lakilaki) atas sebagian yang lain (perempuan) yakni karena kaum laki-laki yang mengatur urusan perempuan berkat kelebihan yang mereka miliki, di antaranya kesempurnaan akal, kemampuan manajemen, dan hak perwalian serta hak lainnya. Selain itu karena laki-laki telah menafkahkan kepada perempuan sebagian dari harta mereka seperti kewajiban memberi nafkah dan mahar.30 Sedangkan Nashir al-Sa’adi menafsirkan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, maksudnya dengan cara mengharuskan mereka untuk menunaikan hak-hak Allah berupa pemeliharaan akan kewajibankewajiban dari-Nya dan melarang mereka dari berbuat kerusakan, laki-laki wajib untuk menekankan hal tersebut kepada mereka, dan laki-laki juga adalah pemimpin mereka dengan memberikan nafkah kepada mereka berupa pakaian dan tempat tinggal. 31 Kemudian al-Sa’adi mengemukakan tentang kelebihan laki-laki atas perempuan disebabkan dari berbagai segi. Segi kekuasaan adalah dikhususkan bagi laki-laki, kenabian, karasulan, dan pengkhususan mereka dalam berbagai macam ibadah seperti jihad, salat hari raya dan salat jumat, dan apa yang telah berikan secara khusus bagi mereka berupa akal pikiran yang matang, kesabaran, dan ketegaran yang tidak dimiliki oleh perempuan. Demikian juga Allah telah mengkhususkan mereka dengan kewajiban memberikan nafkah kepada istri, 30
Muhammad Usman Abdullah al-Mirgani, Taj al-Tafasir (Dar al-Fikr, t.th.), Juz I h. 90. Abdurrahman bin Nashir al-Sa’adi, Tafsir al-Sa’adi. Penerjemah Muhammad Iqbal, dkk (Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999), h. 76 31
71
bahkan pada sebagian besar nafkah laki-laki dikhususkan untuknya dan diistimewakan dengannya daripada perempuan. Laki-laki adalah seperti wali dan tuan bagi istrinya, sedangkan istrinya adalah sebagai pendamping, tawanan, dan pelayan. Maka tugas laki-laki adalah menunaikan apa yang telah Allah perintahkan untuk dilindungi, dan tugas perempuan adalah melakukan ketaatan kepada Rabb-Nya dan kepada suaminya. 32 Amina Wadud Muhsin menyatakan kalimat ”Laki-laki adalah qawwamun atas perempuan” tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki secara otomatis sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional, yaitu selama yang bersangkutan memenuhi kriteria al-Qur’an memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Dan ini jelas tidak hanya berlaku bagi laki-laki melainkan juga untuk perempuan. Ayat ini sendiri tidak menyebut semua laki-laki superior atas perempuan. Hal yang dinyatakan Kitab Suci adalah bahwa ”Allah telah melebihkan sebagian mereka laki-laki (ba’dahum) atas sebagian yang lain. 33 Selanjutnya Asghar Ali Engineer menjelaskan pernyataan al-Qur’an ”laki-laki adalah qawwam atas perempuan”
sesungguhnya
merupakan
pengakuan bahwa dalam realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap pekerjaan perempuan. Sementara lakilaki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan 32
Ibid., h. 77 Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan. Penerjemah Abdullah Ali (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 121 dan 123. 33
72
mereka mencari nafkah dan membelanjakannya untuk perempuan. Al-Qur’an menggambarkan situasi sosial itu. Hal yang perlu diperhatikan, menurutnya ialah bahwa al-Qur’an hanya mengatakan ”Kaum laki-laki adalah qawwamun (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwam. Menurutnya, laki-laki merupakan pernyataan kontekstual, bukan normatif. 34 Mahmud Yunus menerjemahkan qawwamun dengan tulang punggung (pemimpin). 35 Quraish Shihab berpendapat bahwa kata qawwamun adalah bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama artinya berdiri atau tegak. Perintah salat misalnya, juga menggunakan akar kata itu. qawwam artinya bukan mendirikannya semata akan tetapi juga melaksanakannya dengan sempurna,
memenuhi
segala
syarat,dan
sunnahnya.
Seseorang
yang
melaksanakan tugas itu sesuai dengan harapannya dinamai qaim. Baru dinamai qawwam seandainya pelaksanaan suatu tugas dilaksanakan sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang. Kata yang digunakan dalam ayat itu adalah kata qawwam untuk makna kata banyak laki-laki (al-rijal).36 Namun, pertanyaan kemudian adalah kenapa al-Qur’an menyatakan adanya keunggulan laki-laki atas perempuan karena nafkah yang mereka berikan?. Masalah sesungguhnya di sini adalah masalah kesadaran sosial dan 34
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 701 35 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim (Jakarta: Hidakarya Agung, 2004), h.113 36 Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 402
73
penafsiran yang tepat. Kesadaran perempuan pada masa itu tidak diragukan lagi, sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan. Lebih dari itu, laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari nafkah dan membelanjakan untuk perempuan. Al-Qur’an mencerminkan kondisi sosial itu. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemberi nafkah atau pengatur urusan keluarga) dan tidak mengatakan bahwa mereka harus harus menjadi qawwam. Dapat dilihat bahwa ”qawwam”merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normatif. Seandainya al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwam, maka ia akan menjadi sebuah pernyataan normatif dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaaman dan dalam semua keadaan.37 Mengenai QS. al-Nisa (4): 34 yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat dua penafsiran yang berbeda. Kelompok pertama menyatakan bahwa QS. al-Nisa (4): 34 hanya berkaitan dalam ruang lingkup rumah tangga. Laki-laki dalam hal ini adalah sebagai pemimpin, pelindung, pendidik dan pengayom perempuan dalam rumah tangga karena laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan dan laki-lakilah yang memberikan nafkah bagi perempuan. Ayat tersebut tidak lepas dalam konteks realitas sejarah masyarakat arab saat itu. Derajat perempuan sangat rendah dan pekerjaan domestik hanya menjadi tugas perempuan. Keadaan perempuan saat ini sungguh 37
Abdulmanan Syafi’i, “Memahami Ayat al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala al-Nisa Secara Tekstual dan Kontekstual”, Harakat an-Nisa’, vol. 1 no. 1 (Januari 2001): h. 35-36
74
sangat berbeda dengan kondisi perempuan dalam sejarah arab jahili. Perempuan era sekarang sudah dapat mengakses dan mendapatkan ilmu pengetahuan dan teknologi
sama seperti laki-laki. Bahkan banyak perempuan yang dapat
mengungguli prestasi laki-laki. Sedangkan kelompok kedua berpendapat bahwa QS. al-Nisa (4): 34 menyatakan bahwa laki-laki adalah syarat mutlak sebagai pemimpin bagi perempuan dalam segala bidang, tidak terkecuali imamah perempuan dalam salat.
C.
Imam Salat dalam Perspektif Al-Hadits Secara umum, tidak ada hadits Nabi yang membedakan aturan dan tatacara salat antara perempuan dan laki-laki. Hampir bisa dipastikan, haditshadits yang berkaitan dengan salat memiliki ketentuan yang sama. Perlakuan yang berbeda muncul dalam konteks pelaksanaan salat berjamaah, menyangkut posisi perempuan dalam salat tersebut dan dibolehkannya perempuan bertindak menjadi imam salat berjamaah. Pandangan paling umum dalam masyarakat muslim sepanjang sejarahnya sepakat menolak kepemimpinan perempuan bagi jamaah salat lakilaki. Pandangan ini menyatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Perempuan menurut mereka, hanya dibolehkan menjadi imam bagi jamaah perempuan.38 Abu Hamid al-Isfirayini, tokoh utama aliran fiqh Iraqi dari mazhab Syafi’i (Syaikh al-Iraqiyyin), menyatakan bahwa (”Seluruh ulama fiqh dari 38
h. 4.
Husein Muhammad, “Perempuan dalam Fiqh Ibadah”, Harkat vol. 5, no. 1 (Oktober 2004):
75
berbagai mazhab fiqh Islam, kecuali Abu Tsaur, salah seorang mujtahid besar, sepakat berpendapat bahwa kepemimpinan perempuan dalam salat bagi jamaah kaum laki-laki adalah tidak sah”).39 Akan tetapi, pernyataan Abu Hamid ini dibantah oleh Qadhi Abu Thayyib dan al-Abdari. Kedua tokoh ini menyatakan bahwa (”Kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi kaum laki-laki bukan hanya dikemukakan oleh Abu Tsaur saja, melainkan juga Ibn Jarir al-Thabari dan imam alMuzani”).40 Al-Thabari adalah seorang mufassir terkemuka, sejarawan, dan pendiri mazhab fiqh, sementara al-Muzani adalah murid utama imam al-Syafi’i Argumen yang dikemukakan untuk pandangan yang pertama ini adalah hadits Nabi SAW. antara lain adalah:
ﻻﺗﺆﻣﻦ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﺟﻼ ﻭﻻ ﺃﻋﺮﺍﰊ:ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 41
(ﻣﻬﺎﺟﺮﺍ ﻭﻻﻳﺆﻣﻦ ﻓﺎﺟﺮ ﻣﺆﻣﻨﺎ )ﺍﺧﺮﺟﻪ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin”. Sementara pandangan kedua yakni pandangan minoritas ulama fiqh (Abu Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari) mendasarkan pendapatnya pada hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut: 39
Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (Beirut: Dar Ihya al-Turas alArabiy, 2001), Juz IV, h. 107. 40 Ibid., h. 107. 41 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), h. 122.
76
ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ:ﻭﻋﻦ ﺃﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻭﺭﻫﺎ ﰲ ﺑﻴﺘﻬﺎ ﻭﺟﻌﻞ ﳍﺎ ﻣﺆﺫﻧﺎ ﻳﺆﺫﻥ ﳍﺎ ﻭﺍﻣﺮﻫﺎ ﺎ ﺷﻴﺨﺎ ﻛﺒﲑﺍ )ﺍﺧﺮﺟﻪ ﻓﺄﻧﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﺆﺫ: ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ.ﺃﻥ ﺗﺆﻡ ﺃﻫﻞ ﺩﺍﺭﻫﺎ (ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ 42
Artinya: Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”. Nama lengkap Ummu Waraqah adalah Ummu Waraqah binti Abd Allah bin al-Harits bin Uaimir bin Naufal al-Anshari.43 Al-Asqalani menyatakan bahwa (“Nabi SAW. Mengunjungi Ummu Waraqah dan menamakannya Syahidah. Beliau memerintahkannya untuk mengimami keluarganya, kemudian ia menjadi imam mereka dan ia mempunyai muazin. Maka kedua anak didiknya membunuh Ummu Waraqah. Hal ini terjadi pada masa khalifah Umar bin alKhattab. Umar datang kepada keduanya, kemudian mensalib keduanya. Keduanya adalah orang yang pertama disalib di Madinah. Maka Umar berkata: “Benar Rasulullah bersabda: Mari kita mengunjungi Syahidah (Ummu Waraqah)”.44 Itulah kisah Ummu Waraqah yang kemudian menjadi imam salat jamaah untuk penghuni rumahnya. Kisah ini diriwayatkan oleh sejumlah ahli 42
Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th), Juz I, h. 100 Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (India: Majlis Da’irat al-Ma’arif alNizhamiyah, t.th), Juz X, h. 533. 44 Ibid., h. 534. 43
77
Hadits sebagaimana yang dikutip oleh Husein Muhammad yaitu imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dalam kitabnya al-musnad, imam Abu Daud (w. 275 H) dalam kitabnya Sunan Abi Daud, dan imam Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dalam kitabnya Shahih Ibnu Khuzaimah.45 Selanjutnya diriwayatkan oleh imam al-Tabrani (w. 360 H) dalam kitabnya al-Mu’jam al-Kabir, imam al-Daruqutni (w. 385 H) dalam kitabnya sunan al-Daruqutni, imam Ibnu al-Jarud (w. 307 H) dalam kitabnya alMuntaqa, imam al-Hakim (w. 407 H) dalam kitabnya al-Mustadrak, dan imam al-Baihaqi dalam kitabnya Kitab Sunan al-Shagir.46 Hadits-hadits di atas menyatakan bahwa terdapat dua pendapat ulama yang kontradiktif tentang imamah perempuan dalam salat bagi makmum lakilaki. Pendapat mayoritas ulama mazhab tidak membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Pendapat ini berpatokan kepada hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Sedangkan minoritas ulama seperti yang dikemukakan oleh Abu Tsaur, Muzani dan al-Thabari berpendapat bahwa perempuan dibolehkan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Mereka berpendapat bahwa hadits Ummu Waraqah riwayat Abi Daud secara zahir menyatakan bahwa Ummu Waraqah diizinkan menjadi imam penghuni rumahnya sedangkan di situ terdapat laki-laki.
45 46
Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 28 Ibid., h. 29-29
BAB IV ANALISIS TERHADAP METODOLOGI ARGUMENTASI ULAMA TENTANG KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM SALAT
A. Dasar Hukum Ulama tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Salat Permasalahan mengenai kepemimpinan perempuan dalam salat bukan hal yang baru. Bahkan pada zaman Nabi Muhammad SAW pun praktek imam perempuan dalam salat sudah pernah terjadi. Sebut saja misalnya Ummu Waraqah yang pernah menjadi imam salat di kalangan keluarganya, padahal di situ ada laki-laki. 1 Siti Aisyah bertindak sebagai imam bagi kaum perempuan dan berdiri bersama mereka dalam barisan. Demikian pula halnya Ummu Salamah pernah menjadi imam salat dengan makmum perempuan. Bahkan Rasulullah SAW. mengangkat seorang muadzin untuk Ummu Waraqah dan diperintahkannya supaya ia menjadi imam bagi keluarganya dalam salat-salat fardhu. 2 Akan tetapi kisah-kisah itu sering dilupakan. Terutama dengan kehadiran beberapa ayat al-Quran yang ditafsirkan menurut pandangan laki-laki, ungkapan hadits maupun pandangan ulama yang secara harfiah memiliki makna yang berbeda dengan keadaan di atas. Karenanya, diperlukan banyak rekonstruksi baru untuk menilai hal yang bertentangan dengan redaksi tersebut. 1 2
Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud (Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th), Juz I, h. 100. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973), Cet. II Jilid I, h. 237.
78
79
Keseluruhan pandangan ulama tentang perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki terdapat dua pendapat yakni ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Untuk mencapai satu pemikiran yang utuh, kiranya perlu dikritisi dasar-dasar pandangan keduanya dengan mentelaah lebih lanjut kekurangan dan kelebihannya.
1. Pendapat yang menolak kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki Pandangan umum masyarakat muslim sepanjang sejarah sepakat menolak kepemimpinan perempuan bagi jamaah laki-laki dalam salat. Pandangan ini menyatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Perempuan menurut mereka, hanya dibolehkan menjadi imam bagi jamaah perempuan. Para ulama dalam menanggapi masalah perempuan menjadi imam dalam salat adalah: a.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi imam salat dengan makmum laki-laki dalam salat fardhu maupun salat sunnah. Mereka membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum perempuan, tetapi hukumnya makruh.3
3
1194.
Wahbah Zuhailli, al-Fiqh al-Islam Waadillatuhu (Damaskus: Dar al-Fikr, 2004), Jilid II, h.
80
b.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa laki-laki merupakan syarat mutlak imam salat. Perempuan tidak sah menjadi imam dengan makmum laki-laki maupun perempuan. 4
c.
Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa syarat menjadi imam adalah laki-laki yang sempurna (tidak banci). Apabila di antara makmum terdapat laki-laki atau khunsa (banci), maka perempuan atau banci tidak sah menjadi imam dengan makmum laki-laki baik di dalam salat fardhu maupun salat sunnah. Jika makmum terdiri dari para perempuan saja, maka tidak menjadi syarat imam mereka harus laki-laki, tetapi perempuan juga sah menjadi imam bagi perempuan. 5
d.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi imam dengan makmum laki-laki baik dalam salat fardhu maupun salat sunnah. 6
Secara umum, ada beberapa argumentasi yang digunakan para ulama untuk menolak imam perempuan bagi laki-laki: 1) Surat al-Nisa ayat 34 menyatakan bahwa (“Laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan”). Kepemimpinan laki-laki dalam ayat ini, kemudian dijadikan legitimasi haknya untuk memimpin dalam bidang apapun tidak terkecuali ibadah sehingga imamah salat menjadi kewenangan laki-laki.
4
Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqh ala al-Madzahibil al-Arba’ah (Kairo: al-Sakafa alDinayah, 2005), h. 409. 5 Ibid., h. 409 6 Ibid., h.409.
81
Konsekuensinya, perempuan hanya berhak menjadi makmum dalam semua aspek kehidupannya termasuk dalam salat. 2) Ummu Waraqah hanya diizinkan oleh Nabi untuk mengimami jamaah perempuan penghuni rumahnya. Hal ini dapat dilihat dari hadits riwayat Daruquthni yang menyatakan bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).7 3) Dalam Hadits riwayat Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, (“Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir, dan orang jahat bagi orang mukmin”).8 Hadits pelarangan perempuan menjadi imam salat dijadikan dalil oleh para ulama untuk menolak imamah perempuan dalam salat. 4) Argumentasi lain yang digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan dalam salat adalah bahwa perempuan dianggap sebagai “pembangkit birahi kaum
laki-laki”.
Alasan
ini
menyiratkan
bahwa
eksistensi
perempuan
dikonsepsikan hanya sebagai makhluk sensual, di mana tubuhnya hanya dimaknai sebagai perangsang nafsu laki-laki. Konsepsi ini kemudian dijadikan legitimasi untuk membatasi gerak perempuan terbatas pada ruang-ruang domestik karena kebebasan untuk mengakses dunia publik justru akan menimbulkan fitnah.
7
Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1993), Jilid
8
Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah (Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004), h.
I, h. 304. 122.
82
5) Dalam banyak persoalan yang terkait dengan persoalan relasi laki-laki dan perempuan, baik yang menyangkut bidang ibadah maupun sosial, di mana berlangsung pertemuan antara perempuan dan laki-laki, baik secara bersama-sama, berhadap-hadapan, maupun aktivitas perempuan yang mengundang perhatian lakilaki, para ulama fiqh selalu mengaitkannya dengan alasan khauf al-fitnah (menjaga jangan sampai terjadi fitnah, yakni suasana yang menganggu atau menggoda hati dan pikiran laki-laki). Dengan alasan seperti ini pula maka dalam banyak masalah, seperti urusan shaf dalam salat berjamaah, posisi perempuan dan laki-laki haruslah terpisah dan shaf perempuan di belakang laki-laki. Selain itu, perempuan juga tidak diwajibkan melaksanakan salat jum’at,9 dilarang menyampaikan khutbah, atau mengumandangkan azan dengan suara yang dapat didengar laki-laki. Bahkan perempuan yang keluar rumah untuk mengikuti salat berjamaah di mesjid dianggap kurang baik. Bahkan Abu Hanifah dan dua orang murid utamanya berpendapat bahwa makruh bagi perempuan-perempuan muda menghadiri salat berjamaah bersama laki-laki karena khawatir akan terjadi fitnah. Mazhab Syafi’i dan Hanbali juga sepakat dengan pendapat ini.10 2. Pendapat yang menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki. Inti dari pandangan ini adalah upaya untuk meletakkan kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan, sehingga kemudian keduanya memiliki hak 9
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996), Juz I, h. 171. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 44-45. 10
83
yang berimbang. Mereka berupaya menjelaskan bahwa Islam mengandung keadilan melalui interpretasi-interpretasi baru. Golongan ini menganggap bahwa tradisi-tradisi Islam yang secara letterlejk redaksinya menolak perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki bersifat kontekstual tidak berlaku umum. Akibatnya, perlu diadakan interpretasiinterpretasi baru menurut konteks zamannya, tanpa harus menjadikannya sebagai hukum yang baku. Berikut ini akan diungkapkan tanggapan-tanggapan dan dalil-dalil yang digunakan golongan ini. Sebelumnya perlu diketahui bahwa mereka yang menerima kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki berarti telah menolak keputusan jumhur ulama dan tradisi yang telah lama berjalan di masyarakat. a. Al-Qur’an
(34 :4/ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ Artinya: ”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”. (QS. al-Nisa (4): 34)
Pendapat yang mengambil landasan terjemah firman Allah SWT QS. AlNisa (4): 34 bahwa (”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.”) merujuk kepada asbab al-nuzul ayat tersebut. Ayat tersebut diturunkan dalam
84
konteks istri Sa’ad bin al-Rabi’ yang membangkang, lalu ditampar oleh Sa’ad. Kemudian istri Sa’ad mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi berkata: ”Balaslah suamimu! Ketika si istri beranjak pergi, Rasulullah memanggilnya kembali dan mengatakan, ”Begini, Jibril datang kepadaku, lalu Allah menurunkan firman-Nya; dengan terjemahan: ”Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan.” (QS. Al-Nisa: 34). Kata Rasulullah lebih lanjut, ”Aku menghendaki suatu hal dan Allah menghendaki hal lain. 11 Quraish Shihab berpendapat bahwa QS. al-Nisa: 34 hanya berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki (dalam hal ini suami) terhadap seluruh keluarganya dalam bidang kehidupan rumah tangga. Kepemimpinan ini tidak mencabut hak-hak istri dalam berbagai segi kehidupan.12 Tegasnya bahwa ayat di atas hanya berbicara`dalam ruang lingkup keluarga. Lebih lanjut, rumah tangga sebagai institusi memerlukan seorang pemimpin dalam rangka menjaga
kelestarian
institusi
tersebut.
Hukum
dan
Undang-Undang
perkawinan di Indonesia menetapkan bahwa pemimpin rumah tangga adalah laki-laki.13
Secara tekstual, kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga
tersebut merujuk pada QS. al-Nisa ayat 34. Ayat ini lebih lanjut menjadi alat legitimasi bagi pendapat yang menyatakan bahwa kepemimpinan rumah tangga berada di tangan suami. 11
Qomaruddin Saleh , dkk, Asbab al-Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat al-Qur’an (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 33. 12 Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Mizan, 1997), h. 274. 13 UU No. 1 Tahun 1974 bab VI pasal 31 ayat 3.
85
Menanggapi ayat tersebut, Asghar Ali berpendapat bahwa QS al-Nisa ayat 34 tersebut tidak dapat difahami lepas sosial pada saat ayat tersebut diturunkan. Menurutnya, pada saat itu, struktur sosial yang ada tidak benarbenar mengakui adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Oleh karena kondisi yang semacam itu, orang tidak dapat menilai ayat tersebut sematamata dalam pandangan teologis, tetapi harus menggunakan perspektif sosioteologis.14 Keunggulan laki-laki yang diungkapkan dengan kata fadala dalam ayat tersebut menurut pandangan Asghar Ali bukanlah keunggulan jenis kelamin yang bersifat absolut, tetapi keunggulan tersebut lebih bersifat fungsional
karena
laki-laki
bertanggung
jawab
atas
nafkah
serta
membelanjakan hartanya untuk perempuan sebagai isterinya. Fungsi sosial laki-laki sebagai pemberi nafkah ini seimbang dengan fungsi sosial yang diemban oleh perempuan yaitu melakukan tugas-tugas domestik dalam rumah tangga. Namun demikian, al-Quran menyatakan keunggulan laki-laki atas perempuan adalah karena nafkah yang mereka berikan kepada perempuan.15 Tidak ada satu teks pun dalam al-Qur’an yang melarang perempuan memimpin laki-laki dalam salat . Al-Qur’an menegaskan bahwa perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki bukan hanya dalam urusan ibadah mahdah, tetapi juga bidang-bidang pengabdian
14
Asghar Ali Engineer, Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: Bentang, 1994), h. 61 15 Siti Habibah Jazila, “ Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga: Telaah atas Pemikiran Asghar Ali Engineer”, Justitia Islamica. Vol. 3, no.2 (Juni-Desember 2006): h. 34 -35.
86
(ibadah) dalam pengertian yang luas, yakni amal-amal saleh yang lain. Al-Qur’an menyebutkan asas egalitarianisme Islam. Kelebihan manusia atas manusia yang lain hanya berlaku pada kwalitas ibadahnya kepada Allah. Hal ini dapat dilihat dalam QS. al-Hujurat (49): 13
(13 :49/ )ﺍﳊﺠﺮﺍﺕ Artinya: ”Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat (49): 13)
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam datang untuk membebaskan manusia dari diskriminasi dan subordinasi. Sejarah masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam menginformasikan bahwa diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan merupakan ciri khas mereka. Perempuan pada masa itu bukan hanya terdiskriminasi dan tersubordinasi, tetapi juga dipandang dengan kebencian dan merupakan sumber fitnah. Perempuan dikonotasikan kepada hal-hal yang bersifat negatif (stereotype) yang tampaknya mempunyai pengaruh atau imbas yang sangat besar. Dengan adanya diskriminasi dan subordinasi, maka pemahaman ulama atau mufasir pendahulu kita sesuai dengan zamannya, di mana perempuan
87
memang belum bisa banyak berkiprah seperti kaum laki-laki, sehingga muncul penafsiran yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu.16 Melalui ayat ini Islam ingin menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk beribadah kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupannya. b. Al-Hadits Abu Tsaur, al-Muzani, dan al-Thabari mendasarkan pendapat mereka tentang kebolehan perempuan menjadi imam dengan makmum laki-laki pada hadits Ummu Waraqah yang diriwayatkan Abu Daud sebagai berikut:
ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ:ﻭﻋﻦ ﺃﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻭﺭﻫﺎ ﰲ ﺑﻴﺘﻬﺎ ﻭﺟﻌﻞ ﳍﺎ ﻣﺆﺫﻧﺎ ﻳﺆﺫﻥ ﳍﺎ ﻭﺍﻣﺮﻫﺎ ﺎ ﺷﻴﺨﺎ ﻛﺒﲑﺍ )ﺍﺧﺮﺟﻪ ﻓﺄﻧﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﺆﺫ: ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ.ﺃﻥ ﺗﺆﻡ ﺃﻫﻞ ﺩﺍﺭﻫﺎ (اﺑﻮ داود 17
Artinya: “Dari Ummu Waraqah bintu Abdillah bin Al Haarits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”. Al-Syaukani mengatakan bahwa menurut
lahiriyahnya Ummu
Waraqah jelas melakukan salat sementara sang muazzin, pembantu laki-laki dan penghuni rumahnya yang lain menjadi makmumnya.18 Pendapat yang
16
Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Peran Perempuan (Ciputat: el-Kahfi, 2002), h. 60. 17 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100 18 Al-Syaukani, Nail al-Authar (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th.), Juz III, h. 187.
88
sama juga dikemukakan oleh al-Shan’ani, penulis kitab Subul al-Salam yang mengatakan
bahwa hadits ini menunjukkan atas kebolehan perempuan
menjadi imam dengan makmum laki-laki. Secara eksplisit hadits ini memperlihatkan bahwa Ummu Waraqah menjadi imam salat bagi laki-laki tua, laki-laki hamba sahaya, dan perempuan hamba sahaya.19 c. Perempuan yang dianggap sebagai sumber fitnah menunjukkan adanya bias laki-laki dalam memandang perempuan. Fitnah atau gangguan itu seakan-akan hanya muncul dari pihak perempuan terhadap laki-laki. 20 Padahal fitnah atau gangguan juga bisa muncul dari pihak laki-laki terhadap perempuan. Sebab, ketertarikan dan ketergodaan dapat terjadi pada masing-masing pihak. Jadi, jika alasan khauf al-fitnah yang diutarakan oleh ulama tidak cukup beralasan dengan konteks kekinian. Apalagi jika dengan mekanisme tertentu atau dalam situasi dan ruang serta waktu tertentu, pertemuan/kebersamaan laki-laki dan perempuan dapat dipastikan tidak akan membawa fitnah.21
B. Argumen Ulama Mengenai Imam Salat Perempuan Ketika kita memperbincangkan soal kepemimpinan dalam salat maka kita menjumpai para ulama fiqih dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali sepakat bahwa perempuan tidak dibenarkan memimpian salat kaum laki-laki. Ia hanya bisa menjadi imam bagi kaumnya sendiri. Bahkan Imam Malik bin Anas, 19 20
Al-Shan’ani, Subul al-Salam (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz II, h. 35. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h.
47. 21
Ibid., h. 46.
89
pendiri mazhab Maliki, sama sekali tidak membenarkan perempuan menjadi imam salat, termasuk bagi jama’ah kaumnya sendiri, baik untuk salat fardu (wajib) maupun salat sunnah.22 Sedangkan Imam Muzani, Abu Tsaur dan alThabari membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum lakilaki. 23 Para ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Jabir:
ﻻﺗﺆﻣﻦ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﺟﻼ ﻭﻻ ﺃﻋﺮﺍﰊ:ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ 24
(ﻣﻬﺎﺟﺮﺍ ﻭﻻﻳﺆﻣﻦ ﻓﺎﺟﺮ ﻣﺆﻣﻨﺎ )ﺍﺧﺮﺟﻪ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin”. Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud:
ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺳﻮﻝ:ﻭﻋﻦ ﺃﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﺑﻨﺖ ﻋﺒﺪ ﺍﷲ ﺑﻦ ﺍﳊﺎﺭﺙ ﻗﺎﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻭﺭﻫﺎ ﰲ ﺑﻴﺘﻬﺎ ﻭﺟﻌﻞ ﳍﺎ ﻣﺆﺫﻧﺎ ﻳﺆﺫﻥ ﳍﺎ ﻭﺍﻣﺮﻫﺎ ﺎ ﺷﻴﺨﺎ ﻛﺒﲑﺍ )ﺍﺧﺮﺟﻪ ﻓﺄﻧﺎ ﺭﺃﻳﺖ ﻣﺆﺫ: ﻗﺎﻝ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﲪﻦ.ﺃﻥ ﺗﺆﻡ ﺃﻫﻞ ﺩﺍﺭﻫﺎ (ﺍﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ 25
22
Abdurrahman al-Juzairi, al-Fiqhu ala al-Madzahibil al-Arba’ah, h. 409. Ahmad Abd al-Rahman al-Banna, al-Fathu al-Rabbany (al-Qahirah: Dar al-Syihab, t.th.), Juz V, h. 234. 24 Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122. 25 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud, Juz I, h. 100. 23
90
Artinya: Dari Ummu Waroqah bintu Abdillah bin al-Harits, beliau menyatakan bahwa Rasulullah mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”. Wahbah al-Zuhaili, ahli fiqh kontemporer dari Syiria dalam ensiklopedi fiqhnya, al-Fiqh Islam Waadillatuhu, mengatakan bahwa perempuan hanya sah menjadi imam salat bagi jama’ah kaum perempuan. Perempuan tidak sah menjadi imam bagi jama’ah kaum laki-laki. Ia menyebutkan alasan larangan perempuan menjadi imam salat jama’ah laki-laki antara lain hadits Nabi SAW. dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha:
ﺃﻥ ﺍﳌﺮﺃﺓ ﺗﺆﻡ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ:ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﻭﺃﻡ ﺳﻠﻤﺔ ﻭﻋﻄﺎﺀ Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah dan Atha’: bahwa perempuan (hendaklah) menjadi imam bagi kaum perempuan”. Pernyataan ini juga diperkuat oleh hadits lain yang diriwayatkan oleh alDaruquthni dari Ummu Waraqah:
ﺃﻧﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺃﺫﻥ ﳍﺎ ﺃﻥ ﺗﺆﻡ ﻧﺴﺎﺀ:ﻭﺭﻭﻱ ﺍﻟﺪﺍﺭﻗﻄﲏ ﻋﻦ ﺃﻡ ﻭﺭﻗﺔ ﺩﺍﺭﻫﺎ 26
Artinya: “Al-Daruquthni meriwayatkan dari Ummu Waraqah bahwa Nabi Muhammad SAW. menperkenankan dia menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”. Ibnu Qudamah, yang terkenal dengan sebutan syeikhnya para pengikut Hanbali, dalam Al-Mughni,27 menjelaskan penafsirannya atas hadits Ummu
26
Wahbah Zuhailli, Al-Fiqh Al-Islam Waadillatuhu, Jilid II, h. 1194.
91
Waraqah tersebut. Pertama Ummu Waraqah diizinkan Nabi untuk mengimami jamaah perempuan. Hal ini, misalnya diperkuat
oleh hadits riwayat
Daruquthni bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).28 Kedua, kalaupun di antara jamaahnya ada laki-laki, maka sesungguhnya peristiwa ini berkaitan dengan salat sunnah karena sebagian dari fuqaha mazhab Hanbali memang membolehkan perempuan menjadi imam dalam salat tarawih. Ketiga, apabila kasus Ummu Waraqah benar-benar berkaitan dengan salat wajib, maka ketentuan itu harus dimaknai bersifat
kasuistik
dan
khusus
untuk Ummu
Waraqah, sebab ketentuan tersebut tidak pernah disyari’atkan kepada perempuan lain. Atas dasar analisis tersebut, Ibnu Qudamah tetap berkesimpulan bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam bagi makmum laki-laki. Padahal Ibnu Qudamah tidak mengatakan bahwa hadits Ummu Waraqah itu dhaif. Ibnu Qudamah hanya mengatakan bahwa hadits riwayat Abu Daud pengertiannya umum dan harus diartikan dengan riwayat Imam al-Daruquthni yang menyatakan bahwa Nabi SAW. menyuruh Ummu Waraqah untuk mengimami salat jamaah untuk kaum perempuan penghuni rumahnya. Ini juga berarti bahwa hadits Ummu Waraqah menurut Ibnu Qudamah adalah shahih, baik dalam riwayat Abu Daud maupun riwayat al-Daruquthni.29 Al-Syaukani mengungkapkan hadits tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi jama’ah laki-laki dengan lebih lengkap sebagai berikut: 27
Ibnu Qudamah, Al-Mughni, Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd al-Fattah Muhammad al-Hilwu (Riyadh: Hajar, 1987), Jilid III, h. 33-34. 28 Imam al-Daraquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304. 29 Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), h. 35.
92
ﻻﺗﺆﻣﻦ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺭﺟﻼ ﻭﻻ ﺃﻋﺮﺍﰊ:ﻋﻦ ﺟﺎﺑﺮ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻣﻬﺎﺟﺮﺍ ﻭﻻﻳﺆﻣﻦ ﻓﺎﺟﺮ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﺇﻻ ﺃﻥ ﻳﻘﻬﺮﻩ ﺑﺴﻠﻄﺎﻥ ﳜﺎﻑ ﺳﻮﻃﻪ ﻭﺳﻴﻔﻪ )ﺍﺧﺮﺟﻪ 30
(ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ
Artinya: Dari sahabat Jabir, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Janganlah sekalikali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orangorang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin kecuali karena paksaaan dari penguasa yang ditakuti cambuknya atau pedangnya”. Al-Syaukani kemudian mengemukakan penilaian ulama ahli hadits mengenai kwalitas hadits ini. Katanya:
: ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻯ.ﺣﺪﻳﺚ ﺟﺎﺑﺮ ﰱ ﺇﺳﻨﺎﺩﻩ ﻋﺒﺪﺍﷲ ﺑﻦ ﳏﻤﺪ ﺍﻟﺘﻤﻴﻤﻰ ﻭﻫﻮ ﺗﺎﻟﻒ ﻳﻀﻊ ﺍﳊﺪﻳﺚ: ﻭﻗﺎﻝ ﻭﻛﻴﻊ. ﻻﳚﻮﺯ ﺍﻻﺣﺘﺠﺎﺝ ﺑﻪ: ﻭﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ.ﻣﻨﻜﺮ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﻗﺪ ﺗﺎﺑﻌﻪ ﻋﺒﺪ ﺍﳌﻠﻚ ﺑﻦ ﺣﺒﻴﺐ ﰱ ﺍﻟﻮﺍﺿﺤﺔ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻣﺘﻬﻢ ﺑﺴﺮﻗﺔ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻭﲣﻠﻴﻂ ﺍﻷﺳﺎﻧﻴﺪ ﻭﻗﺪ ﺻﺮﺡ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﱪ ﺑﺄﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﳌﻠﻚ ﺍﳌﺬﻛﻮﺭ ﺃﻓﺴﺪ ﺇﺳﻨﺎﺩ ﻫﺬﺍ 31
.ﺍﳊﺪﻳﺚ
Artinya: ”Hadits Jabir dalam rantai sanadnya ada Abdullah bin Muhammad alTamimi, dia adalah rusak. Al-Bukhari berkata: munkar al-hadits. Ibn Hibban berkata: (yang diriwayatkan) orang itu tidak bisa dijadikan dasar hukum. Waki’ berkata: dia sering memalsukan hadits. Abdul Malik memasukkan hadits itu dalam kitab al-Wadhihah, namun dia juga dituduh mencuri hadits, mencampur rantai sanad. Ibn Abdul Barr menegaskan bahwa Abdul Malik itu telah merusak sanad hadits di atas. Imam al-Busyairi dalam kitab Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah menyebutkan bahwa hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi 30 31
Ibnu Majah al-Qozwini, Sunan Ibnu Majah, h. 122. Al-Syaukani, Nail al-Authar, Juz III, h. 185.
93
imam salat bagi makmum laki-laki adalah dhaif (lemah) karena di dalam sanadnya terdapat dua orang perawi yang lemah periwayatannya. Dua orang itu adalah Ali bin Zaid bin Ju’dan dan Muhammad bin Abdullah al-’Adawi. 32 Imam Nawawi dalam alMajmu’ Syarah al-Muhazab berpendapat bahwa hadits Jabir yang diriwayatkan Ibnu Majah dan al-Baihaqi dengan sanad yang dhaif.33 Hadits riwayat Ibnu Majah yang menjadi dasar hukum mayoritas ulama, antara lain diriwayatkan oleh Abdullah bin Muhammad al-Adawi al-Tamimi. Mengenai hadits ini para ulama ahli hadits melakukan penilaiannya masing-masing: 1. Al-Bukhari dan Abu Hatim al-Razi mengatakan bahwa ”Hadits Abdullah bin
Muhammad
al-Adawi
munkar”.
Abu
Hatim
selanjutnya
menambahkan: ”Abdullah bin Muhammad al-Adawi guru yang tidak dikenal”. 2. Ibnu Adi mengatakan: ”Hadits yang dimiliki Abdullah bin Muhammad al-Adawi sedikit”. 3. Imam al-Daruquthni mengomentari hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Muhammad al-Adawi sebagai hadits yang ditinggalkan. 4. Imam Waki’ bin al-Jarrah mengatakan bahwa Abdullah bin Muhammad al-Adawi suka membuat hadits palsu.
32
Ahmad bin Abu Bakar al-Busyairi, Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah, Ed. alSyeikh Muhammad Mukhtar Husain (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), h. 167. 33 Syarafuddin al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab (Beirut: Dar Ihya al-Turas alArabiy, 2001), Juz IV, h. 107.
94
5. Ibnu Hibban mengatakan ”Hadits yang Abdullah bin Muhammad alAdawi riwayatkan tidak boleh menjadi dasar hukum”. 6. Ibn Abdu al-Barr mengatakan segolongan ulama mengatakan bahwa hadits yang dikeluarkan Ibnu Majah ini adalah bikinan Abdullah bin Muhammad al-Adawi. Menurut mereka, orang ini terkenal pendusta.34
Kemudian, untuk hadits Abu Daud yang menjadi dasar kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang merupakan pendapat Abu Tsaur, alMuzani dan al-Thabari, terdapat seorang perawi yang perlu dilihat kualifikasinya, yaitu al-Walid bin Abdullah bin Jumayyi’ al-Zuhri al-Maliki. Mengenai orang ini, para ulama hadits memberikan komentarnya sebagai berikut:35 1. Ahmad dan Abu Daud mengatakan: ”Dia tidak bermasalah”. Begitu juga yang dinyatakan oleh Abu Zur’ah. 2. Ibn Ma’in dan al-Ijli mengatakan bahwa dia terpercaya. 3. Abu Hatim mengomentari: ”Hadits yang diriwayatkannya bagus”. 4. Ibn Hibban memasukkan dia dalam kelompok orang-orang yang dapat dipercaya. 5. Ibnu Sa’ad juga mengatakan bahwa dia dapat dipercaya, dia mempunyai banyak hadits.
34
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib (India: Majlis Da’irat al-Ma’arif alNizhamiyah, t.th), Juz VI, h. 21. 35 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, h. 41.
95
6. Al-Uqaili
memandang
bahwa
hadits
yang
diriwayatkannya
membingungkan.
Selanjutnya, terhadap perawi Abdurrahman bin al-Khalad, Ibn Hibban memasukannya ke dalam golongan orang yang dapat dipercaya. 36 Sementara Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, penulis kitab Aun alMa’bud Syarh Sunan Abi Daud mengatakan bahwa Abu al-Hasan ibn alQaththan berpendapat bahwa hal ihwalnya tidak diketahui. 37 Dari penilaian ulama terhadap hadits riwayat Ibnu Majah dan Abu Daud, jelas terlihat bahwa hadits yang menjadi argumen pandangan minoritas (yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki) ternyata memiliki nilai lebih tinggi dibanding hadits yang menjadi argumen pandangan mayoritas (yang melarang perempuan menjadi imam kaum lakilaki). Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki dalam perspektif hadits, terdapat hadits-hadits yang bersifat umum dan khusus. Lebih lanjut, Ali Mustafa Yaqub berpendapat bahwa jika ada ayat yang bersifat mutlak dan muqayyad (terbatas), ada ayat yang pengertiannya umum dan ada ayat yang pengetiannya khusus, maka kedua ayat tersebut harus digabung (dijamak), sehingga pengertian mutlak itu dibatasi dengan 36
Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, Juz VI, h. 168 Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq al-Azhim, Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), Jilid II, h. 212. 37
96
pengertian muqayyad. Begitu pula apabila dalam suatu masalah terdapat ayat yang pengertiannya umum dan ayat yang pengertiannya khusus, maka ayat yang pertama digabung dengan ayat kedua, sehingga pengertian umum itu menjadi pengertian khusus.38 Kajian ini dalam ilmu ushul fiqh dan tafsir alQur’an disebut takhsish. Apabila ada riwayat hadits yang pengertiannya umum dan ada riwayat yang pengertiannya khusus, maka kedua pengertian tersebut harus digabungkan (dijamak) sehingga riwayat yang berpengertian umum itu menjadi berpengertian khusus. Hadits Ummu Waraqah tentang imamah perempuan dalam salat terdapat dua pengertian. Dalam salah satu riwayat al-Daruquthni terdapat pengertian khusus bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”).39 Sementara dalam riwayat lain seperti riwayat Abi Daud pengertiannya adalah umum yakni bahwa Nabi mengizinkan Ummu Waraqah menjadi imam salat berjamaah bagi penghuni rumahnya. Lebih lanjut Ali Mustafa Yaquf berpendapat bahwa dengan metode jamak (penggabungan riwayat), maka pengertian hadits Ummu Waraqah secara keseluruhan adalah bahwa Ummu Waraqah diizinkan Nabi untuk mengimami salat bagi perempuan penghuni rumahnya.40 38
Ali Mustafa Yaqub, Imam Perempuan, h. 44-45. Imam al-Daruquthni, Sunan al-Daruquthni, Jilid I, h. 304. 40 Ibid., h. 46. 39
97
Pernyataan hadits Daruquthni jelas berbeda dengan hadits Abi Daud, meski keduanya sama-sama menyebutkan riwayat Ummu Waraqah. Hadits Daruquthni menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah kaum perempuan penghuni rumahnya. Sedangkan hadits riwayat Abi Daud menyebutkan bahwa yang menjadi makmum dari Ummu Waraqah adalah penghuni rumahnya, tanpa menyebutkan laki-laki atau perempuan.
C. Analisis
Metode
Istinbath
Hukum
Ulama
tentang
Kepemimpinan
Perempuan dalam Salat Perdebatan para ulama tentang imam perempuan atas laki-laki dalam salat telah melahirkan dua kelompok yang berseberangan. Pertama, kelompok yang melarang imam perempuan bagi laki-laki diwakili oleh para imam empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), yang kemudian berlanjut pada para ulama belakangan, seperti Yusuf Qardhawi, dan sebagainya. Kedua, adalah kelompok yang membolehkan imam perempuan bagi laki-laki, yang diwakili oleh para ulama salaf seperti Tabari, Abu Tsaur, Muzani dan lain-lain, yang kemudian berlanjut pada ulama kontemporer, seperti Muhammad Hasbi al-Shiddieqy.41
41
h. 447.
Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001),
98
Kontroversi seputar kebolehan-larangan perempuan sebagai imam telah ada dalam pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Keempat imam mazhab secara tegas menolak imam perempuan atas laki-laki. Imam Malik dan Abu Hanifah menolak perempuan sebagai imam laki-laki karena imamah merupakan posisi yang terhormat dan agung yang hanya menjadi kewenangan laki-laki. Hal ini berlaku secara mutlak. Sementara itu, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, membolehkan perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja. Diskursus para
ulama
tentang
imamah
perempuan
tersebut
mencerminkan keberpihakan mereka kepada kepentingan patriarki. Hal ini terlihat dari adanya inkonsistensi rasional dalam pemikiran mereka, di satu sisi dalam persyaratan imam secara umum, pemahaman agama dan bacaan alQur’an dijadikan sebagai kriteria utama. Namun, di sisi lain ketika membahas tentang imamah perempuan, kriteria yang substansial yakni kemampuan bacaan dan kapasitas ilmu agama yang baik itu justru tidak diterapkan. Penolakan mereka tidak didasarkan pada pertimbangan apakah perempuan memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, tetapi justru pada “karena ia perempuan”. Sementara itu, Abu Tsaur, al-Thabari dan Muzani, merupakan wakil ulama yang membolehkan secara mutlak perempuan sebagai imam. Namun, pandangan kelompok ini, tidak muncul ke permukaan, bahkan hampir tenggelam dalam diskursus pemikiran Islam. Dalam konteks ini, seperti
99
ditegaskan oleh Ibnu Rusyd bahwa wacana imamah perempuan memang sengaja diredam dalam diskursus pemikiran Islam.42 Persoalan dalam
lagi.
imamah
Pemaknaan
perempuan dal am sal at perlu
dikaji
lebih
perempuan mengatributkan sifat-sifat negatif,
seperti kurang akal, lemah agama, dan pembangkit nafsu laki-laki, telah dijadikan legitimasi untuk membatasi otoritas dan kewenangannya pada wilayah-wilayah tertentu. Hal ini tentu bertentangan dengan gagasan tauhid yang mengimplikasikan adanya kesetaraan manusia universal. Manusia, apapun jenis kelamin, etnik, ras, kulit, bangsa dan bahasa, memiliki posisi setara di hadapan
Tuhan. Keterangan ini
subordinasi
dan
mengimplikasikan penolakan terhadap
penindasan antara sesama manusia apapun motif dan
kepentingan ideologisnya. Diskursus pemikiran ulama yang menolak kepemimpinan perempuan dalam salat tampaknya masih berada dalam kerangka tradisi patriarki, sehingga pembahasan tentang perempuan dalam kajian fiqh selalu ditempatkan dalam posisi
marginal
atau
’berbeda’. Berbagai
diatributkan kepada perempuan kemudian
dalam
persyaratan
khusus
berbagai status legalnya,
selalu yang
dikaitkan dengan kelemahan-kelemahan yang dianggap inheren
dalam diri perempuan. Sementara itu, adanya beberapa teks agama yang melegitimasi konsepsi perempuan lebih rendah dari laki-laki, pembangkit birahi laki-laki, 42
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Juz I, h. 161.
100
pembuat fitnah, kurang agama dan akal, harus dipahami secara kontekstual dengan melihat background kultural masyarakat Arab saat itu. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa para ulama dahulu akan memberikan penafsiran yang berbeda ketika mereka hidup pada situasi sekarang, di mana perempuan dapat mengakses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat meningkatkan kwalitas keilmuannya. Kalau hadits Ummu Waraqah dianalisis lebih jauh, pada dasarnya kesempatan untuk mendapatkan posisi imam dapat diperoleh siapapun, baik laki-laki
maupun
perempuan,
sepanjang
ia
memiliki kualifikasi sebagai
imam. Namun, karena di antara orang-orang yang ada di rumah Ummu Waraqah, hanya ia yang memiliki kwalitas dan kemampuan dalam agama dan membaca al-Qur’an dengan baik, maka Nabi mengizinkannya menjadi imam. Dalam hal ini, pertimbangan Nabi didasarkan bukan pada apa
jenis
kelaminnya, t e tapi bagaimana kemampuannya. 43 Hal yang menunjukkan inkonsistensi ulama adalah sikap mereka terhadap hadits Ummu Waraqah. Hadits tersebut dalam berbagai jalurnya telah memenuhi kualifikasi hadits sahih. Oleh karenanya, ia dapat diterima sebagai hujjah atas kebolehan perempuan menjadi imam laki-laki. Namun, sebagian ulama menolak hadits ini sebagai dalil, dengan mengajukan hadits
lain 43
yang
melarang perempuan menjadi imam laki-laki. Sebagian
Elya Munfarida, “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat”, Studi Anak dan Gender vol. 3 no. 2 (JuliDesember 2008): h. 1
101
ulama lain mengakui keotentikan hadits tersebut, namun mereka berupaya memberikan
interpretasi
yang
membatasi
batasan
dan
otoritas
imam
perempuan, seperti tercermin dalam pandangan ibnu Qudamah di atas. Padahal, kalau dianalisis lebih jauh interpretasi Ibnu Qudamah terhadap hadits Ummu Waraqah, dapat ditemukan beberapa kelemahan yang mendasar, yang sekaligus dapat menggugurkan analisisnya. Analisis pertama: bahwa
Ummu
Waraqah
hanya
mengimami
jamaah
perempuan
tidak
berdasar, sebab tingkat kesahihan hadits Ummu waraqah yang menyebutkan bahwa di antara makmumnya ada laki-laki, diakui oleh para sarjana hadits. Analisis kedua: bahwa kebolehan perempuan sebagai imam hanya sebatas pada salat sunnah, juga lemah, sebab salat sunnah tidak disyari’atkan adanya adzan. Sementara bahwa
Nabi
itu,
menunjuk
dalam
hadits Ummu Waraqah di atas, dinyatakan
seseorang mengumandangkan adzan. Lebih-lebih
jika posisi imam harus di belakang makmum laki-laki, tentu bukan disebut sebagai imam lagi. Analisis ketiga: bahwa peristiwa Ummu Waraqah bersifat khusus, juga memiliki kelemahan. Jika hanya karena terjadi pada Ummu Waraqah sendiri, bukankah banyak peristiwa hukum syari’ah yang diderivasi dari peristiwa tertentu. Dalam kaidah ushuliyah dikenal suatu prinsip bahwa al’ibrah bi ’umum al-lafdz la bi khusus al-sabab(ketentuan hukum itu diambil dari keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab).44 Jadi ketentuan hukum yang
44
Masykuri Abillah dan Mun’im A. Sirri, “Hukum yang Memihak Kepentingan Lakilaki: Perempuan dalam Kitab Fikih”, dalam Ali Munhanif (Ed.), Perempuan dalam Literatur Islam
102
diambil adalah Ummu Waraqah mengimami penghuni rumahnya dengan terdapat makmum laki-laki. Persoalan perizinan atau pelarangan imamah perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki tampaknya tidak ada ayat yang secara tegas menyebut demikian. Ayat yang dijadikan hujjah oleh ulama dalam QS. al-Nisa (4): 34 juga tidak secara jelas berbicara tentang larangan atau kebolehan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki. Bahkan para mufasir berbeda pendapat mengenai tafsir ayat tersebut. Bagi para mufasir yang berpendapat bahwa ayat tersebut merupakan hak kepemimpinan yang hanya diberikan kepada laki-laki secara mutlak, maka kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki dilarang. Akan tetapi jika merujuk kepada pendapat mufasir yang menyatakan bahwa ayat tersebut hanya berkaitan dengan urusan rumah tangga, maka kepemimpinan perempuan dalam salat dengan makmum laki-laki bukan tidak mungkin dibolehkan. Jika ayat tersebut dikaitkan dengan semangat ayat lain yang menjunjung kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, maka secara umum laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam seluruh aspek kehidupan termasuk hak perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. QS. al-Nisa: 34 menurut analisis penulis hanya berkaitan dengan urusan rumah tangga. Karena itu pernyataan ayat tersebut adalah tepat sesuai konteks zamannya. Karena itu merupakan kesalahan besar apabila perempuan masa kini selalu diposisikan dalam setting budaya masa lampau seperti pandangan diskriminatif Klasik (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 107-108.
103
masyarakat Arab jahili yang memandang perempuan tidak berharga. Kemaslahatan dan keadilan akan dapat terwujud jika menempatkan sesuatu pada secara tepat dan proporsional. Penerapan QS. al-Nisa: 34 harus memperhatikan kemaslahatan pada situasi riil saat ayat tersebut diturunkan. Untuk menghadapi kasus tertentu yang secara substansial berbeda dengan kondisi masa lampau, maka perlu dikaji ulang penerapan ayat tersebut dengan memperhatikan kemampuan yang dimiliki perempuan serta kesepakatan mereka dalam mewujudkan kemaslahatan bersama. Menurut penulis, para ulama dalam menetapkan hukum perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki tidak beristidlal kepada QS. al-Nisa: 34 kecuali Imam Syafi’i. Imam Syafi’i dalam al-Umm menyatakan bahwa (”Apabila wanita salat menjadi imam untuk kaum laki-laki, perempuan, dan anak laki-laki, maka salat para makmum yang wanita sah. Sedangkan salat para makmum laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal itu karena Allah menjadikan laki-laki sebagai pemimpin perempuan, Allah juga tidak menjadikan perempuan sebagai wali dan lain-lain. Perempuan dalam keadaan bagaimana pun tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki”).45 Nampaknya Imam Syafi’i menjadikan QS. al-Nisa: 34 sebagai istidlal larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Bahkan imam salat hanya berhak diberikan kepada laki-laki. Dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i dalam pelarangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki sebagaimana disebutkan dalam al-Umm hanya berdasarkan QS. al-Nisa: 34 tanpa berdasarkan hadits Nabi tentang 45
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Umm (Beirut: Dar al-Wafa, 2005), Juz II, Cet. III h. 320.
104
kepemimpinan perempuan dalam salat. Ayat ini tidak menjelaskan tentang imam salat perempuan bagi laki-laki. Ayat ini hanya menyatakan bahwa laki-laki menjadi pelindung, pengayom dan pemimpin bagi perempuan. Hal ini sesuai dengan metode istinbath Imam Syafi’i yang hanya mengambil al-Qur’an dengan makna (arti) yang lahir kecuali jika didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Imam Syafi’i juga beristidlal kepada hadits, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum. Dalam satu kesempatan, beliau pernah berkata: 46
ﺇﺫﺍ ﺻﺢ ﺍﳊﺪﻳﺚ ﻓﻬﻮ ﻣﺬﻫﱯ
Artinya: ”Apabila hadits itu shahih maka itu adalah mazhabku”.
Dalam hal pelarangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum lakilaki, Imam Syafi’i tidak mendasarkan pendapatnya kepada hadits riwayat Ibnu Majah. Ini berarti hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki kwalitasnya menurut Imam Syafi’i adalah dhaif. Sedangkan hadits yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dinilai shahih oleh para ulama. Dalam pernyataanya, jika Imam Syafi’i menemukan dua hadits yang sama tingkatannya, maka beliau akan mengambil hadits yang lebih shahih sebagai dasar mengistinbathkan hukum.47 Mengenai hadits tentang kepemimpinan
46 47
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, Juz II, h. 272. Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 105.
105
perempuan dalam salat, hadits riwayat Abi Daud berkwalitas shahih sedangkan hadits riwayat Ibnu Majah dinilai dhaif.
Hadits riwayat Ibnu Majah yang
digunakan sebagai alasan untuk menunjukkan bukan arti yang lahir dari QS. alNisa: 34 juga tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum karena kwalitas hadits tersebut dhaif. Artinya hadits dhaif tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang digunakan untuk menentang arti zahir QS. alNisa: 34 tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Penulis berpendapat bahwa Imam Syafi’i tidak konsisten dengan metodologi istidlal yang dirumuskannya dalam mengistinbathkan hukum. Hal ini terlihat dari pendapat beliau yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Padahal QS. al-Nisa: 34 secara zahir hanya menerangkan bahwa laki-laki pemimpin bagi perempuan. Dalam ayat tersebut tidak ada larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Apalagi hadits yang digunakan untuk mendukung pelarangan imam perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki juga dhaif. Jika Imam Syafi’i konsisten dengan metode istinbath hukum yang dibuatnya sendiri, seharusnya beliau berpatokan dengan zahir QS. al-Nisa dan hadits shahih yang diriwayatkan Abi Daud tentang kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Ijma’ menurut Imam Syafi’i adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma’ suatu negeri saja dan juga bukan ijma’ kaum tertentu saja. Ijma’ yang bisa dijadikan hujjah menurut beliau adalah ijma’ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam. Ijma’ sahabat dalam pelarangan
106
perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki juga tidak pernah terjadi. Padahal Imam Syafi’i menjadikan ijma’ sahabat sebagai ijma’ yang paling kuat. Ini terbukti dari sahabat Nabi yakni Ummu Waraqah pernah diidzinkan oleh Nabi untuk menjadi imam salat penghuni rumahnya sedangkan di sana terdapat makmum laki-laki. Dalam hal qiyas, Imam Syafi’i mengqiyaskan perempuan sebagai fitnah yang dapat menganggu fikiran dan hati laki-laki. Perempuan diqiyaskan hanya sebagai sumber fitnah yang dapat menganggu kekhusyukan laki-laki dalam salat. Kehadiran perempuan dalam salat apalagi menjadi imam salat bisa dianggap bahkan diyakini menganggu fikiran dan hati laki-laki. Akibatnya perempuan tidak boleh menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Penulis berpendapat bahwa jika Imam Syafi’i menqiyaskan ”fitnah” sebagai hujjah pelarangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum lakilaki adalah tidak tepat dan hanya merupakan pandangan kebudayaan patriarki. Laki-laki juga bisa menganggu fikiran dan hati perempuan. Ini berarti laki-laki juga bisa menjadi sumber fitnah bagi perempuan. Jika dengan mekanisme tertentu laki-laki dan perempuan salat berjamaah dan hal itu dipastikan tidak akan membawa fitnah, maka laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk menjadi imam salat berjamaah meskipun terdapat makmum laki-laki dan perempuan. Satu hal yang dapat penulis simpulkan adalah bahwa Imam Syafi’i tidak konsisten dengan metode istinbath yang dibuatnya sendiri. Imam Syafi’i
107
beristidlal kepada al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas dalam mengistinbathkan hukum. Artinya, sistematika atau tertib urutan sumber dalil yang beliau gunakan dalam mengistinbathkan hukum adalah al-Qur’an pada urutan pertama, kemudian sunnah pada urutan kedua dan seterusnya secara berurutan ijma’ dan qiyas. Dalam hal pelarangan imam salat perempuan bagi makmum laki-laki, Imam Syafi’i beristidlal kepada al-Qur’an dan qiyas tanpa menggunakan hadits Nabi sebagai sumber dalil. Padahal, jika masih terdapat hadits yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbathkan hukum maka penggunaan qiyas tidak dibenarkan. Metode istidlal Imam Hanafi dalam mengistinbathkan hukum secara berurutan adalah melalui al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat, qiyas, istihsan dan urf. Dalam mengistinbathkan hukum perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki, beliau melarang perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dalam salat wajib dan salat sunah. Dasar hukum yang beliau pakai adalah hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dan qiyas bahwa perempuan akan menjadi fitnah bagi laki-laki. Inkonsistensi Imam Hanafi juga terlihat dalam mengistinbathkan hukum tentang imam salat perempuan bagi makmum laki-laki. Imam Hanafi dikenal sebagai ulama yang sangat selektif dalam penerimaan hadits. Beliau hanya menerima hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
tsiqah (terpercaya).
Hadits riwayat Ibnu Majah tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi
108
makmum laki-laki ternyata diriwayatkan oleh perawi yang tidak tsiqah. Menurut para ulama, hadits riwayat Ibnu Majah ini dhaif. Sedangkan hadits riwayat Abi Daud diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah sehingga hadits ini shahih kwalitasnya. Jika Abu Hanifah konsisten dengan metode istidlal yang digunakannya dalam mengistinbathkan hukum, maka beliau akan membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dengan berdasarkan hadits riwayat Abi Daud. Ummu Waraqah adalah seorang sahabat Rasulullah yang diidzinkan oleh Nabi mengimami salat berjamaah penghuni rumahnya walaupun terdapat makmum laki-laki. Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Beliau menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam untuk mengikutinya. Perkataan Ummu Waraqah tentang kebolehan perempuan menjadi Imam salat bagi makmum laki-laki tidak dijadikan Imam Hanafi sebagai hujjah. Beliau bahkan memperkuat argumennya tentang larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dengan alasan khauf alfitnah. Padahal, qiyas dalam pandangan Abu Hanifah hanya bisa dilakukan jika tidak terdapat ketetapan hukum dalam al-Qur’an, sunnah dan perkataan sahabat. Perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki merupakan sesuatu yang dianggap baik dan tidak keluar dari dali-dalil syara’. Sesuatu yang dianggap baik maka sudah bisa menjadi dasar penetapan hukum. Perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki sudah pernah dicontohkan Ummu
109
Waraqah. Hal ini sesuai dengan konsep istihsan dan urf dalam pandangan Imam Hanafi. Ummu Waraqah adalah salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Izin bagi Ummu Waraqah mengimami penghuni rumahnya oleh Nabi SAW. sedangkan di situ terdapat makmum laki-laki merupakan salah satu amal ahlu Madinah yang langsung mendapatkan legitimasi dari Nabi SAW. Hadits Nabi tentang kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang dikuatkan amal ahlu Madinah lebih kuat dari hadits larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki kedudukannya sebagai hujjah walaupun bertentangan dengan makna zahir QS. al-Nisa: 34. Ketika Imam Malik tidak membolehkan perempuan menjadi imam salat secara mutlak, maka beliau tidak konsisten
dengan
metode
istidlal
yang
telah
diterapkannya
dalam
mengistinbathkan hukum tentang kepemimpinan perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki.. Imam Ahmad bin Hanbal beristidlal kepada al-Qur’an, sunnah, fatwa para sahabat, fatwa para sahabat yang diperselisihkan, hadits mursal dan hadits dhaif dan qiyas. Inkonsistensi Imam Ahmad terlihat ketika beliau tidak berpatokan kepada hadits Abu Daud yang berkwalitas shahih dalam mengistinbathkan hukum perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Dalam hal ini, Imam Hanbali hanya berpatokan kepada hadits dhaif riwayat Ibnu Majah dan qiyas bahwa perempuan hanya akan menjadi fitnah bagi laki-laki dalam salat berjamaah. Padahal Imam Ahmad beristidlal kepada hadits shahih dalam metode
110
istinbath yang telah ditentukannya, bukan kepada hadits riwayat yang berkwalitas dhaif. Penggunaan hadits dhaif hanya beliau pakai apabila hadits dhaif itu tidak bathil, munkar dan hadits yang dalam periwayatannya terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Sedangkan hadits riwayat Ibnu Majah terdapat perawi yang bathil, munkar dan diragukan kejujurannya. Penggunaan qiyas pun hanya digunakan dalam keadaan darurat. Sebaliknya,
penulis
berpendapat
bahwa
ulama
minoritas
yang
membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki ternyata konsisten dengan metode istinbath yang mereka rumuskan. Al-Tabari menafsirkan bahwa QS. al-Nisa: 34 hanya berbicara dalam ruang lingkup keluarga dan urusan sosial. Ini berarti bahwa kepemimpinan perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki menurutnya adalah boleh. Kemudian beliau memperkuat argumennya dengan hadits riwayat Abi Daud dalam hal kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Hanya saja, pendapat alTabari tentang kebolehan kepemimpinan perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki tengelam bersamaan dengan punahnya mazhab ini. Imam Muzani ternyata konsisten mengikuti metode istinbath yang telah Imam Syafi’i rumuskan dalam mengistinbathkan hukum. Penulis berpendapat bahwa Imam Muzani membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki berdasarkan penafsiran QS. al-Nisa: 34 yang hanya berkaitan dalam ruang lingkup rumah tangga. Kemudian beliau merujuk kepada hadits riwayat Abi Daud dalam hal kebolehan kepemimpinan perempuan dalam salat
111
bagi makmum laki-laki. Akan tetapi, pendapat Imam Muzani tenggelam karena kebesaran gurunya yakni Imam Syafi’i. Begitu juga dengan pendapat Abu Tsaur yang tenggelam karena beliau tidak meninggalkan kitab yang berisi pemikiranpemikirannya. Pendapat-pendapat Abu Tsaur hanya dapat ditemukan pada kitabkitab lain yang bukan kitab karya beliau. Ini berarti, kita tidak dapat menemukan kitab karya Abu Tsaur. Penulis berpendapat bahwa pendapat minoritas ulama tentang kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki yang telah tenggelam menunjukkan bahwa perempuan pernah menjadi imam salat bagi makmum lakilaki seperti yang terjadi pada kasus Ummu Waraqah yang mengimami penghuni rumahnya sedangkan di situ terdapat makmum laki-laki. Hal ini bukan berarti pendapat yang telah tenggelam tentang kebolehan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dapat dijadikan dasar untuk melegitimasi larangan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi makmum lakilaki berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah yang menyatakan bahwa (“Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir, dan orang jahat bagi orang mukmin”) kemudian diperkuat dengan hadits riwayat Daruquthni yang menyatakan bahwa (“Rasulullah SAW. memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi kaum perempuan penghuni rumahnya”). Sedangkan ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki berdasarkan hadits riwayat Abi Daud yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda (”Dari Ummu Waraqah bintu Abdillah
bin
al-Haarits,
beliau
menyatakan
bahwa
Rasulullah
mengunjunginya di rumah dan mengangkat untuknya seorang muazin yang berazan untuknya dan memerintahkannya untuk mengimami keluarganya di rumah. Abdurrahman berkata: saya melihat muazinnya seorang lelaki tua”). 2. Secara umum, metode istinbath ulama yang melarang perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki adalah beristidlal kepada QS. al-Nisa:
112
113
34 yang ditafsirkan bahwa pemimpin dalam salat adalah hak mutlak lakilaki. Kemudian mereka memperkuat argumennya kepada hadits riwayat Ibnu Majah. Sedangkan metode istinbath ulama yang membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki juga berdasarkan QS. al-Nisa: 34 yang ditafsirkan bahwa ayat ini hanya berbicara dalam konteks rumah tangga yakni mengenai kepemimpinan suami terhadap istrinya. Kemudian mereka memperkuat pendapatnya dengan hadits riwayat Abi Daud. 3. Persoalan imamah perempuan dalam salat bagi makmum laki-laki telah melahirkan dua pendapat yang saling bersebrangan. Mayoritas ulama (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) sepakat bahwa perempuan dilarang menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. Imam Malik dan Abu Hanifah menolak perempuan sebagai imam laki-laki karena imamah merupakan posisi yang terhormat dan agung yang hanya menjadi kewenangan laki-laki. Hal ini berlaku secara mutlak. Sementara itu, Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, membolehkan perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja. Sedangkan kelompok minoritas (Imam Abu Tsaur, Muzani dan Thabari) membolehkan perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki. 4. Substansi masalah tentang imamah perempuan dalam salat adalah bahwa perempuan sering dikaitkan dengan alasan khauf al-fitnah. Perempuan seakan-akan dianggap mempunyai unsur-unsur inheren yang membuat
114
laki-laki tergoda. Oleh karena itu, untuk menghindarkan laki-laki dari godaan dan fitnah, perempuan sebaiknya dilarang melakukan aktivitas bersama-sama laki-laki, apalagi dalam persoalan ibadah salat yang merupakan ibadah yang membutuhkan konsentrasi penuh. Padahal ketertarikan atau ketergodaan lawan jenis bisa dimiliki laki-laki atau perempuan. Pesoalan yang tersisa adalah mengenai ada atau tidaknya faktor fitnah sebab proses kebudayaan dan tradisi dapat membentuk ideologi tertentu berupa ideologi laki-laki maupun perempuan.
B. SARAN-SARAN 1. Adanya perbedaan ulama dalam metode istinbath hukum menunjukkan bahwa ulama terkadang berbeda dalam memahami, merumuskan dan menetapkan hukum. Ini semua merupakan sebuah rahmat bagi umat muslim yang patut kita tiru. Perbedaan dalam menaggapi sebuah persoalan merupakaan sebuah kenyataan yang selalu akan kita hadapi dalam hidup ini. Jadi, sikap yang elegan adalah bagaimana kita menghadapi perbedaan tersebut dengan bijaksana yakni dengan tidak menyalahkan bahkan dengan mudah mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat dengan kita. Apalagi, mengklaim bahwa pendapatnya adalah paling benar dengan menafikan pendapat orang lain. Toleransi adalah solusi terbaik dalam menghadapi setiap perbedaan.
115
2. Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur, ini menunjukkan bahwa setiap ayat al-Qur’an yang diturunkan mempunyai latar belakang (asbab al-nuzul) atau faktor sosiologis yang mempengaruhinya. Sudah saatnya kita memahami ayat al-Qur’an secara kontekstual, bukan hanya secara tekstual. Hal ini bertujuan agar terdapat pemahaman yang mengedepankan kesetaraan dengan terbebas dari budaya patriarki dalam memahami ayat al-Qur’an yang merupakan ruh tauhid. Begitu juga ketika kita memahami hadits Nabi, harus melihat asbab al-wurud sehingga didapatkan penafsiran yang tidak diskriminatif dan subordinatif. Konsep pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan hadits yang memperhatikan asbab al-nuzul dan asbab al-wurud akan melahirkan pemahaman teks yang menunjukkan elastilitas ajaran agama Islam. Ini berarti, ajaran Islam tidak kaku dan jumud.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah, Masykuri dan Mun’im A. Sirri, “Hukum yang Memihak Kepentingan Laki-laki: Perempuan dalam Kitab Fikih”. Dalam Ali Munhanif, ed. Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jakarta: Gramedia, 2002. Abdullah, Sulaiman. Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi’i. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996. Ali, Abdullah Yusuf. Quran. Penerjemah Ali Audah. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993. Asqalani, al, Ibnu Hajar. Tahdzib al-Tahdzib. India: Majlis Da’irat al-Ma’arif alNizhamiyah, t.th. Azhim, al, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq. Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1990. Bagawi, al, Abu Muhammad al-Hasan al-Farra. Tafsir al-Bagawi. Beirut: Dar alMa’rifah, 1993. Banna, al, Ahmad Abdurrahman. Fathu al-Rabbany. Kairo: Dar al-Syihab, t.th., Cet. Ke-5. Busyairi, al. Zawaid Ibnu Majah ’Ala al-Kutub al-Khamsah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993. Daruquthni, al, Imam. Sunan al-Daruquthni. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1993. Engineer, Asghar Ali. Hak-hak Wanita dalam Islam. Penerjemah Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Bentang, 1994. Firdaus, Endis. Imam Perempuan: Dekonstruksi Berpesrpektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Ceria, 2008. Hasan, M. Ali. Perbandingan Mazhab. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Ibrahim, Anis. Al-Mu’jam al-Wasith. Qahirah: Dar al-Qalam, t.th. Indra, Hasbi. dkk. Potret Wanita Shalehah. Jakarta: Penamadani, 2004. Jauziyyah, al, Ibn Qayyim. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin. (ed.). Thaha Abd al-Rauf. Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1973.
116
117
Jazila, Siti Habibah. “ Konsep Kepemimpinan Rumah Tangga: Telaah atas Pemikiran Asghar Ali Engineer.” Justitia Islamica. Vol. 3, No.2 (JuniDesember 2006): h. 34 -35. Juzairi, al, Abdurrahman. al-Fifqh ala al-Madzahibil al-Arba’ah. Kairo: al-Sakafa al-Dinayah, 2005. Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Azim. Riyadh: Dar Thayibah, 2007. Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushulul Fiqh. Kairo: Dar al-Hadits, t.th. Mawardi, al. al-Ahkam al-Sulthaniyyah. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. Ma’luf, Abdul Lois. Al-Munjid. Beirut: Dar al-Masyrik, 2002. Mirgani, al, Muhammad Usman Abdullah. Taj al-Tafasir. Dar al-Fikr, t.th. Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKiS, 2009. --------------. “Perempuan dalam Fiqh Ibadah.” Harkat Vol. 5 No. 1 (Oktober 2004): h. 1-9. Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. Munfarida, Elya. “Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah: Tafsir Transformatif atas Diskursus Imam Perempuan bagi Laki-Laki dalam Shalat.” Studi Anak dan Gender vol. 3. No. 2 (Juli-Desember 2008). Musa, Kamil. al-Madkhal ila al-Tasyri’ al-Islamiy. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1989. Muslim, Abu al-Husain. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2007. Mustafa Yaqub, Ali. Imam Perempuan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006. Nawawi, al, Syarafuddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab. Beirut: Dar Ihya alTuras al-Arabiy, 2001. Qozwini, al, Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah. Beirut: Bait al-Afkar al-Dauliyah, 2004. Qudamah, Ibnu. Al-Mughni. Ed. Abdullah bin Abd al-Muhsin al-Turki dan Abd alFattah Muhammad al-Hilwu. Riyadh: Hajar, 1987.
118
Rahmat, Tamu Jalaluddin (ed.). Ijtihad dalam Sorotan. Bandung: Mizan, 1996. Rida, Rasyid. Tafsir al-Manar.Beirut: Dar al-Fikr, 1973. Roibin. Sosiologi Hukum Islam: Telaah Sosio-Historis Pemikiran Imam Syafi’i. Malang: UIN Malang Press, 2008. Romli SA. Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabiy, 1996. Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1973. Saleh, Qomaruddin. Dkk. Asbab al-Nuzul: Latar Belakang Turunnya Ayat-ayat alQur’an. Bandung: Diponegoro, 1996. Salus, al, Ali Ahmad. Imamah dan Khilafah dalam Syar’i. Penerjemah Asmuni Solihan Zamakhsyari. Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Sayis, al, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. Kairo: Maktabah wa Matba’ah Ali Sabih wa auladuh, t.th. -------------. Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. Sa’adi, al, Abdurrahman bin Nashir. Tafsir al-Sa’adi. Penerjemah Muhammad Iqbal, dkk. Jakarta: Pustaka Sahifa, 1999. Shan’ani, al. Subul al-Salam. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Shiddieqy, ash, Muhammad Hasbi. Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. ------------------. Pedoman Salat. Semarang: Pustaka Rizki Putera, 2001. Shihab, Quraish. Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera Hati, 2007. ---------. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Mizan, 1997.
119
---------. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran. Ciputat: Lentera Hati, 2007. ----------.Tafsir al-Mishbah: Pesaan, Kesan dan Keserasian al-Quran. Ciputat: Lentera Hati, 2000. Sijistani, al, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Beirut: Dar ibnu al-Hazm, t.th. Subhan, Zaitunah .Rekonstruksi Pemahaman Jender dalam Islam: Agenda SosioKultural dan Politik Peran Perempuan. Ciputat: el-Kahfi, 2002. Syafi’i, Abdulmanan. “Memahami Ayat al-Rijalu Qawwamuna ‘Ala al-Nisa Secara Tekstual dan Kontekstual.” Harakat an-Nisa’, vol. 1 no. 1 (Januari 2001): h. 35-36. Syafi’i, al, Muhammad bin Idris. al-Risalah. Kairo: Dar al-Turas, 1979. ------------.al-Umm. Beirut: Dar al-Wafa, 2005. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Syatibi, al. al-Muwafaqat Fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Syaukani, al, Ali. Nail al-Authar. Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, t.th. Tabari, al, Muhammad bin Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay’ al-Qur’an. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2005. Umar, Nasaruddin. Kodrat Perempuan dalam Islam. Jakarta: Kerjasama Lembaga Kajian Agama dan Jender, PS Perempuan dan The Asia Foundation, 1999. Usman, Iskandar. Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. Wadud, Amina. Quran Menurut Perempuan. Penerjemah Abdullah Ali. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006. Yanggo, Huzaemah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003. Yunus, Mahmud. Tafsir Quran Karim. Jakarta: Hidakarya Agung, 2004, Cet. Ke-73.
120
Zahiri, al, Abu Muhammad Ali ibn Hazm al-Andalusi. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Jil, 1987. Zahrah, Abu. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. al-Qahirah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987. Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islam Waadillatuh. Kairo: Darul Fikar, 2004.