METODOLOGI HUKUM MUHAMMAD SHAHRUR: Tafsir Ḥadd Pencurian dalam QS. Al-Mā’idah (5): 38 Nursyamsudin Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon Email:
[email protected]
Abstract Apakah QS. Al-Maidah ayat 38 benar-benar mengharuskan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian? Dalam merespon masalah ini, Muhmammad Shahrur menawarkan sebuah konsepsi tentang hukuman pelaku tindak pidana pencurian dengan menerapkan konsep batas maksimal. Bagi Shahrur, pemotongan tangan baru bisa dilakukan ketika seorang pencuri sudah melakukanya secara berulang kali dan tanpa adanya penyesalan. Sharur mengenalkan suatu teori yang kemudian dikenal dengan naẓariyyah al-ḥudūd (Theory of Limit) yaitu teori batas. Sejalan dengan teori ini, tidak diperkenenkan menjatuhkan hukuman lebih berat dari potong tangan namun sangat dimungkinkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan. Kata Kunci: Muhammad Shahrur, hermeneutik, teori batas, potong tangan Abstract Does QS. Al-Maidah verse 38 actually require the punishment of hand amputation for theft perpetrators? In response to this problem, Muhmammad Shahrur offers a conception of criminal punishment of theft by implementing the concept of a limit. For Shahrur, amputation of limbs can only be done when a thief already do it repeatedly and without remorse. Sharur district introduced a theory that became known as naẓariyyah al-ḥudūd (Theory of Limit), namely the theory of limits. In line with this theory, not diperkenenkan heavier sentence than cutting off hands, but it is possible to impose a lighter sentence. Keywords: Muhammad Shahrur, hermeneutic, theory of limit, hand amputation
Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 1, No. 2, Desember 2016 E-ISSN: 2502-6593
218
Nursyamsudin
219
Pendahuluan
bersamaan pula dengan lahirnya para pemikir baru dikalangan umat Islam yang difokuskan pada kajian hukum Islam. Dalam konteks inilah ketokohan Muhammad Shahrur dalam menafsirkan Qs. al-Maidah (5): 38. Oleh karena itulah tema tentang ḥadd pencurian dapat dijadikan objek kajian lebih lanjut dengan mendasarkan konsep ijtihad dan metodologi Muhammad Shahrur. Secara normatif, ḥadd pencurian menemukan konteksnya dalam alQur‟an:
Secara fenomenologis, Islam adalah apa saja yang dikatakan orang Islam tentang itu sebagaimana adanya dan ajaran Islam adalah apa saja yang dipercaya oleh orang Islam sebagai yang seharusnya. 1 Asumsi yang demikian ini sangat beralasan mengingat beberapa hal berikut: Pertama, dari segi tematik produk pemikiran hukum Islam memiliki karakteristik yang dinamis. Kedua, dinamisasi pemikiran hukum Islam secara historis terus berlangsung hingga saat ini, meskipun dalam banyak normatifitas hukum Islam selalu merujuk pada teks-teks otoritatif Qur`an dan hadits. Ketiga, untuk menemukan teori-teori hukum Islam yang telah dikembangkan oleh para sarjana terdahulu dan melakukan reaktualisasi pemikiran hukum Islam dengan pendekatan keilmuan kontemporer. Ketiga konfigurasi pemikiran diatas terwujud secara sistematis dan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah konteks keilmuan. Konteks yang terjadi pada abad kesepuluh ini merupakan masa dimana pintu ijtihad sudah tertutup, namun masih terdapat banyak ulama kontemporer menuntut akan dibukanya kembali pintu ijtihad itu.2 Berkenaan dengan ini, dinamisasi pemikiran hukum Islam tidak hanya diperlihatkan oleh tokoh-tokoh agama pada masa lampau melainkan juga para pemikir masa kini yang terus memperlihatkan perkembanganya yang kemudian melahirkan teori-teori baru dengan pendekatan kontemporer seperti hermeneutik dan filologi. Hal ini dapat dibuktikan pada beberapa produk ijtihad yang telah terukir pada lembaran karya ulama-ulama kontemporer seperti Muhammad Shahrur. Mengingat waktu yang terus melahirkan teori hukum Islam baru, yang mana 1
Abdullahi Ahmad An-Na‟im, dkk., Dekonstruksi Syariah (II) Kritik Konsep, Penjelasan Lain, cet. 2 (Yogyakarta: LKiS, 2009), 27. 2 Abdullahi Ahmad An-Na‟im, Dekonstruksi Syariah, cet. 2 (Yogyakarta: LKiS, 2004), 46.
السا ِرقَةُ فَاقْطَ ُعوا أَيْ ِديَ ُه َما َجَزاءً ِِبَا َك َسبَا نَ َك ًاًل ِم َن َّ السا ِر ُق َو َّ َو ِ ِ يم ٌ اللَّو َواللَّوُ َع ِز ٌيز َحك Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”3
Ayat diatas menyatakan dengan tegas konsekuensi hukuman bagi pelaku pencurian baik laki-laki maupun perempuan. Muhammad Shahrur menghendaki elaborasi yang berbeda dalam memahami konteks hukuman bagi pelaku pencurian. Biografi Muhammad Shahrur Muhammad Shahrur lahir di Sālihiyyah Damaskus, Syiria. Ia adalah anak kelima dari seorang anak tukang celup yang memutuskan untuk mengirimkanya bukan pada pondokan (Kuttāb) atau sekolah keagamaan (madrasah) melainkan ke sekolah dasar dan menengah di al-Midan yang terletak dipinggiran kota sebelah selatan Damaskus yang berada diluar batas dinding kota tua. pada tanggal 11 April 1938 dan ada juga yang mengatakan beliau dilahirkan pada 11 Maret.4 Nama aslinya ialah Muhammad Shahrur Deyb nama Deyb disandingkan atas dasar ayahnya yang bernama Deyb Ibn Deyb Shahrur dan ibunya bernama Siddiqah binti Salih Filyun. 3
Qs. al-Māidah (5): 38. Jasmani, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, Vol. 4, No. 2 (Desember, 2007), 149. 4
220
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Muhammad Shahrur menikah dengan seorang wanita yang bernama Azizah dan dikaruniai lima orang anak yaitu: Thāriq, alLais, Basul, Masun dan Rima. Mengenai pembacaan kembali alQur`an dan Sunnah, Muhammad Shahrur sangat kental akan pemanfaatan akan ilmuilmu alam, khususnya matematika dan fisika. Maka, sebagai konsekuensi keilmuan yang dihasilkan dari kajianya merupkan sumbangan yang unik, khususnya bagi penafsiran kembali al-Qur`an dan Sunnah dan dalam konteks yang lebih luas untuk membangun hukum sebagai sebuah sistem yang komprehensif. Memulai pendidikan dasar dan menengahnya di tanah kelahiranya sendiri yakni lembaga pendidikan „Abd al-Rahmān al-Kawākibi. Muhammad Shahrur mendapatkan ijazah sekolah menengahnya pada tahun 1957 dan setahun kemudian beliau mendapatkan beasiswa dari pemerintah Damaskus untuk pergi ke Moskow tepatnya pada bulan Maret tahun 1958 untuk belajar teknik sipil (alHandasah al-Madāniyah).5 Muhammad Shahrur menempuh pendidikan tingginya selama lima tahun dan mendapatkan gelar Diploma pada jurusan teknik sipil pada tahun 1964 dan pada tahun 1965 Muhammad Shahrur mengabdikan dirinya untuk menjadi dosen tetap di Fakultas Teknik. Beliau dalam waktu singkat membuktikan kepandaianya sehingga beliau diutus untuk melanjutkan pendidikan di Ireland National University (al-Jam‟ah al-Qoumiyah al-Irlandiyah), Irlandia. Pendidikan ini beliau tempuh untuk mendpatkan gelar Magister dan Doktoral dalam bidang yang sama dengan spesialis Mekanika Pertahanan dan Fondasi (Mekanika Turbat wa al-Mansya‟at alArdiyyah) hingga sekarang. Disamping mengajar ia juga melakukan penelitian bersama dengan koleganya yang akhirmnya beliau mendidirkan perpustakaan al-Dar alIntisyarat al-Handasiyyah. Selain itu juga
Muhammad Shahrur menekuni ilmu filsafat dan ilmu bahasa (al-Fiqh al-Lughah).6 Pada tahun yang sama dan bersama beberapa rekanya di Fakultas Teknik, beliau memebuka Biro Konsultasi Teknik. Prestasi dan kreatifitas Muhammad Shahrur semakin menambah kepercayaan Universitas terhadapnya dan hali tersebut terbukti ketika ia mendapat kesempatan menjadi tenaga ahli di Saudi Arabia pada al-Saud Consult tahun 1982-1983. Pada tahun 1995 juga pernah diundang untuk menjadi peserta kehormatan dan terlibat dalam debat publik mengenai pemikiran keislaman di Libanon dan Maroko. Adapun karya-karya yang menjadi andalan Muhammad Shahrur dalam bidang hukum Islam ialah: 1. Al-Kitāb wa al-Qur`an: Qirā`ah Mu‟āshirah 2. Dirāsāh Islāmiyah Mu‟āshirah fi alDaulah wa al-Mujtama‟ 3. Al-Islām wa al-Imān: Mandzūmat alQiyam 4. Nahwa al-Ushūl al-Jadīdah li al-Fiqh alIslāmy: Fiqh al-Mar‟ah7 Bagi Muhammad Shahrur, seperti yang tergambar dalam sebuah karyanya yaitu Nahw UShūl Jadīdah li al-Fiqh alIslāmī yang mana merupakan karyanya yang keempat dari berbagai rangkaian karyakaryanya adalah dalam rangka memproyeksikan pemahaman baru terhadap ayat-ayat al-Tanzīl al-Hākīm. Karya yang kedua dari Muhammad Shahrur adalah Al-Kitāb wa al-Qur`an: Qirā`ah Mu‟āshirah yang mana didalam kitab ini membahas tentang prinsip dan dasar hukum Islam, yang merupakan hasil dari pemahamanya dari apa yang disebutnya dengan ayat-ayat muhkamāt, konsep Sunnah, ijma‟ dan qiyās. Muhammad Shahrur memaparkan keempat konsep tersebut dengan pemahaman baru. Misalnya terma muhkāmāt tidak lagi dipahami sebagai ayat6
5
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), 19.
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam, 20. 7 Muhammad Syahrur, Nahwa al-Ushūl alJadīdah li al-Fiqh al-Islāmy: Fiqh al-Mar‟ah, 14.
Nursyamsudin ayat yang mengandung arti yang cukup jelas, sehingga tidak memerlukan penalaran yang panjang untuk memahaminya, melainkan ayat-ayat yang membicarakan dan berkaitan erat dengan sulūk insāni (prilaku manusia).8 Karya berikutnya yaitu Dirāsāh Islāmiyah Mu‟āshirah fi al-Daulah wa alMujtama‟. Dalam buku ini Muhammad Shahrur secara spesifik menguraikan dan membahas tema-tema sosial politik yang berkaitan erat dengan permasalahan masyarakat (al-Mujtama‟) dengan negara (al-Daulah) tetapi tetap pada tawaran metodologisnya dalam memahami al-Qur`an sebagaimana tertuang pada kitab Al-Kitāb wa al-Qur`an: Qirā`ah Mu‟āshirah. Secara tegas dan konsisten, Muhammad Shahrur membangun konsep keluarga, masyarakat, negara dan tindakan kesewenang-wenangan (al-Istibdad) prespektif al-Qur`an. Karya berikutnya juga yaitu Al-Islām wa al-Imān: Mandzūmat al-Qiyam yang berisi tentang kajian tentang konsep-konsep klasik mengenai tukun Islam dan rukun iman. Bidang teknik sipil sebagai latar belakang pendidikan yang digelutinya juga menuai berbagai karya yaitu diantaranya: 1. Handasah al-Asasiyyah 2. Handasah al-Turabiyah 3. The Devine Text and Pluralism in Moeslem Socities 4. Islam in The 1995 Beijing World Conference on Women9 Pandangan Terhadap al-Qur`an dan Sunnah Muhammad Shahrur yang memandang bahwa al-Quran sudah jelas dan terarah dengan sendirinya tanpa memerlukan Sunnah didalamnya. Penerapan hukum syariat Islam untuk umat Nabi Muhammad berbeda dengan hukum syariat 8
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin. (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007), 14. 9 http://www.lakpesdam.org/ acrobat/ edisi31/risetredaksi3.pdf. (diunduh pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 11:24)
221 Islam pada masa sebelumnya. Syariat Nabi Muhammad berlaku sampai hari kiamat namun syariat Islam sebelum Nabi Muhammad hanya sebatas masanya saja. Menanggapi masalah sumber kedua dalam syariat Islam yaitu hadits, pandangan Muhammad Shahrur menyatakan bahwa adanya hadits-hadits Nabi bukanlah sebagai sebuah landasan pokok yang mengharusakn umat Islam tunduk dan patuh terhadap hadits. Hadits hanyalah sebuah metodologi dalam menyatakan sebuah hukum yang terjadi hanya pada saat nabi masih hidup. 10 Maksudnya bahwa hadits dicetuskan atas dasar adanya sebuah permasalahan yang timbul dan disesuaikan dengan melihat pada teks al-Qur`an dan disertai ijtihad pula. Hal ini juga seperti halnya dengan gejala hukum yang terjadi pada saat sekarang yang sangat memungkinkan mensinergikan pesan alQur`an dengan ijtihad ilmiah modern. Ajaran Islam yang ada saat ini sebenarnya sudah lama telah dipraktekan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-harinya, kehidupan Nabi tersebutlah yang menjadi sumber dalil para ulama tradisional. Hal tersebut tidaklah berlebihan dikarenakan keadaan soial kemasyarakatan pada saat itu sesuai dengan apa yang telah dipraktikan oleh Nabi. Namun saat ini ajaran tersebut tidaklah koheren apabila diterapkan pada zaman sekarang.11 Hal demikian tidaklah berlebihan melihat latar belakang pemikiran Muhammad Shahrur dalam Islam yang sangat sarat dengan metode hermeneutik. Sunnah dalam pandangan Muhammad Shahrur hanya mewakili sebuah model metodologi hukum. Sunnah berbeda dengan al-Qur`an namun Sunnah sama dengan al-Qur`an. Sunnah tidak menyediakan kasus-kasus konkrit dan spesifik tetapi lebih kepada menyediakan sebuah metodologi (manhāj) untuk membangun sebuah sistem hukum. 10
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam, 14. 11 Muhammad Shahrur, Al-Qur`an, Morality and Critical Reason The Essential Muhammad Shahrur, cet. 1 (Leiden: Clearance Center, 2009), 71.
222
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Walaupun demikian Muhammad Shahrur bukan tidak memepercayai adanya Nabi Muhmmad sebagai seorang Nabi terahir, beliau tetap iman terhadap Nabi dan Rasulullah sebagai suatu perintah Allah.12 Menurut pandangan ulama bahwa pemahaman al-Qur`an adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para sahabat. Sedangkan Muhammad Shahrur memandang bahwa hanya prespektif ilmiah yang mempunyai signifikansi dan kompetensi dalam mengawal pesan alQur`an secara utuh bahwa nilai yang sesungguhnya hanya terletak pada teks alQur`an itu sendiri. Pada prespektif ini, bisa didapatkan sebuah justifikasi ilmiah atas desakan Nabi untuk mengkodifikasikan wahyu dan pada saat yang bersamaan pula melarang untuk mengkodifikasi terhadap perkataan pribadinya. Menurut Muhammad Shahrur Sunnah tidaklah mungkin menghakimi alQur`an baik untuk memetuskan atau menghapus sebuah hukum, karena Sunnah lebih membutuhkan al-Qur`an dbukan Qur`an membutuhkan Sunnah. akan sangat berlebihan apabila dalam menafsirkan alQuran namun melupakan nalar dan logika, karena tidaklah mungkin sebuah cabang menghukumi yang pokok. Argumentasi Muhammad Shahrur tentang hal ini adalah bahwa al-Qur`an sudah terang dan jelas terhadap segala sesuatunya. Sebagai dampak dari argument Muhammad Shahrur tentang anggapan bahwa tidak perlunya Sunnah untuk dijadikan sebuah dalil untuk mengawal eksisitensi al-Qur`an. Sunnah hanya sebagai metodologi dalam memecahkan sebuah masalah hukum yang terjadi dimasyarakat. Berangkat dari hal ini maka Muhammad Shahrur mengemukakan konsekuensi ḥadd potong tangan bagi pencuri hanya bisa dilakukan apabila sudah dilakukan secara berkali-kali, karena hukuman potong tangan adalah sebuah hal yang kejam. Adanya hukuman ini bagi pelaku yang melakukan 12
Muhammad Shahrur, Al-Islām wa Al-Īmān Mandhūm Al-Qiyam, cet. 1 (Damaskus: Al-Ahālī, 1996), 56.
tindak pidana dalam Islam adalah sebuah penyiksaan semata.13 Pendekatan Terhadap Metode Literal dan Hermeneutik Metode hermeneutik yang menandai ketokohan Muhammad Shahrur untuk melakukan usaha dalam bidang ilmu penafsiran tersebut sejalan dalam memaksimalkan teks otoritatif al-Qur`an agar menjadi sebuah manifestasi dalil hukum yang menyeluruh dan dapat dipedomani oleh setiap umat muslim. Metode hermeneutik yang digunakan oleh Muhammad Shahrur dengan pendekatan linguistik sangat terfokus pada redaksi teks dengan pemaknaan kontemporer. Kajian lingusitik ini mengarah kepada penggunaan bahasa yang mana teks bahasa tidak tumbuh dalam satu masa melainkan berkembang dalam kurun waktu yang berkesinambungan. Metode hermeneutik ini berimbas kepada penggunaan sunnah hanya sebatas metodologi bukan merupakan sumber rujukan. Istilah hermeneutik sendiri bukan berasal dari disiplin ilmu keislaman, namun berasal dari dunia barat dalam diskursusnya terhadap Bibel. Perkembangan rasionalisme yang bersamaan dengan lahirnya filologi klasik pada abad kedelapan belas mempunyai pengaruh besar terhadap hermeneutika Bibel.14 Pada masa tersebut muncul metode kritik historis dalam teologi interpretasi Bibel yang mana bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan pada buku-buku yang lain. Usaha ini tidaklah lain untuk membuat Bibel dapat relevan dengan pikiran rasional manusia pada masa sekarang.15
13
Muhammad Shahrur, Dirāsāt Al-Islāmī Mu‟āshirah Al-Daulah wa Al-Mujtam‟, cet. 1, (Damaskus: Al-Ahālī, t.t.), 34. 14 Richard Palmer, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi, terj. Musnar Hery dan Damanhuri Muhammaed, cet. 2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 41. 15 Richard Palmer, Hermeneutika Teori Baru, 43.
Nursyamsudin Eksegesis al-Qur`an dengan metode hermeneutik akan menghasilkan sebuah interpretasi radikal dalam memahami sebuah teks al-Qur`an dikarenakan sifat yang dimiliki oleh hermeneutik itu sendiri yang sangat memaksimalkan otoritas logika. Penggunaan metode ini, oleh Muhammad Shahrur diterapkan dalam kajian penfasiran al-Qur`an sehingga kesan hukum yang ditimbulkan akan sangat berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh para sarjana terdahulu. Aspek kontekstualitas yang diangkat oleh Muhammad Shahrur dalam menginterpretasi teks al-Qur`an telah menjadikan al-Qur`an bukan lagi merupakan sebuah teks suci yang turun sebagai sebuah pedoman bagi umat Islam. Secara prototipe pernyataan tentang otoritas sebuah teks al-Qur`an sangat dipengaruhi oleh pembacaan para mufassirnya dalam rangka menciptakan sebuah dalil hukum. Pandangan para sarjana terdahulu ini terhadap teks al-Qur`an lebih bersifat genostik (teologis) hal ini sangat berbeda dengan para ulama kontemporer yang menghendaki pelucutan secara menyeluruh. Secara praktis teks bermain dari balik dzat, dalam arti bahwa teks memerlukan kita sebagaimana kita memerlukanya sekaligus teks menunutun kita dimana kita sendiri berasumsi bahwa kitalah yang melahirkanya. Tujuan dari adanya Islam adalah sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia bukan hanya kepada orang yang paham Islam secara mendalam, namun bagi mereka juga yang baru mengenal agama Islam. Hakikat dari pada agama Islam sendiri apabila disuatu tempat sudah aman dan sejahtera, maka pada hakikatnya agama Islam sudah ditegakan pada tempat tersebut. Seperti yang tersebut didalam maqāshid alsyarī‟ah bahwa menjaga jiwa adalah hal yang sangat diutamakan dalam Islam.16 Berdasarkan hal tersebut seharusnya para ulama tidak hanya memperhatikan apa yang terlihat sebagai sebuah teks yang telah
223 diciptakan oleh pengarang, melainkan harus melihat apa yang tidak diungkapkan oleh pengarang teks dengan cara mempertanyakan dan menganalisis strukturnya.17 Istinbāṭ Hukum Muhammad Shahrur Muhammad Shahrur dalam usahanya melakukan pendekatan terhadap sebuah hukum yang tertulis didalam al-Qur`an sangat kental dengan aroma kebahasaan. Adapun pendekatan yang dilakukan oleh Muhammad Shahrur dalam mengkonstruksi pemikiran keislamanya adalah menggunakan pendekatan hermeneutik dengan penekanan pada aspek filologi. Muhammad Shahrur menyebutnya dengan al-manhaj al-tarīkh al-„ilm fi dirasat allughawiyyah yaitu metode historis ilmiah studi bahasa. Pendekatan ini sebenarnya merupakan penggabungan dari premispremis yang menjadi teori linguistiknya Ibn Jinni dan al-Jurjanji yang kemudian dari sinilah Muhammad Shahrur mendapatkan sebuah batasan kaidah-kaidah dalam metode linguistiknya yang memiliki prinsip sebagai berikut: 1. Penolakan terhadap konsep sinonimitas antar kosa kata dalam bahasa Arab. Hal ini disampaikan bekenaan dengan penolakan terhadap istilah al-Qur`an dan al-Kitab bahwa kedua istilah itu adalah bukan terikat dalam satu makna melainkan dua istilah yang berbeda. 2. Penggunaan bahasa harus dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat universal kekiniaan. Uraian ini mengingat bahwa bahasa dalam pandangan Muhammad Shahrur adalah bersifat dinamis dan diperlukan adanya studi tata bahasa yang diletakan dalam kerangka sinkronik diakronik. 3. Bahasa merupakan fenomena sosiologi. Maksudnya adalah dimana konstruksi bahasa sangat dipengaruhi oleh konteks dimana bahasa tersebut disampaikan kepada objeknya.
16
Muhammad Shahrur, Dirāsāt Al-Islāmī Mu‟āshirah Tajfi fi Manābi‟ Al-Irhāb, cet. 1, (Damaskus: Al-Ahālī, 2008), 361.
17
Ali Harb, Kritik (Yogyakarta: LKis, 2005), 14.
Nalar
Al-Qur`an,
224
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
Pendekatan linguistik Muhammad Shahrur hanya digunakan untuk membangun suatu landasan teori dalam rangka menafsirkan ulang pada tema-tema yang terdapat didalam al-Qur`an. Bila dicermati alur pemikiran Muhammad Shahrur adalah senada dengan model pemikiran Muhammad Abduh dengan konsep demitologisasi teks yang membahas tentang elaborasi ulang teks-teks al-Qur`an dengan cara yang moderat dan Mahmud Muhammad Thaha dalam karyanya alRisālah al-Tsāniyah li al-Islām yaitu konsep pesan kedua Islam, yang mana Thaha mengemukakan pengenalan pesan kedua Islam yang sesuai dengan abad kedua puluh yang dibangun atas penafsiranya sendiri terhadap al-Qur`an. Muhammad Shahrur dalam metode istinbath hukum yang dilakukan oleh adalah hanya al-Qur`an saja. Menurut pandanganya, konteks terpenting bagi penafsiran al-Qur`an adalah konteks politik dan intelektual yang menjadi ruang lingkup umat dan satu-satunya batasan penafsiranya terdapat pada teks al-Qur`an itu sendiri.18 Teks ilahi yang independen secara mutlak menentukan aturan penafsiranya yang hanya didasarkan pada struktur linguistik. Bahasa al-Qur`an adalah bahasa Arab yang memberikan sebuah wewenang berdasarkan sejarah bukan atas dasar latar belakang budaya. Muhammad Shahrur dalam menafsirkan al-Quran menggunakan komparasi linguistik dan teori-teori ilmiah. Maka, menurut pandangan Muhammad Shahrur bahwa satu-satunya sumber hukum yang inheren adalah hanya dengan alQur`an saja, karena pada kenyataanya hakikat dari ajaran Islam adalah kesejahteraan dan sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Menanggapi masalah sumber kedua dalam syariat Islam yaitu hadits. Pandangan Muhammad Shahrur menyatakan bahwa adanya hadits-hadits Nabi bukanlah sebagai sebuah landasan pokok yang mengharusakn
umat Islam tunduk dan patuh terhadap hadits. Hadits hanyalah sebuah metodologi dalam menyatakan sebuah hukum yang terjadi hanya pada saat nabi masih hidup.19 Maksudnya bahwa hadits dicetuskan atas dasar adanya sebuah permasalahan yang timbul dan disesuaikan dengan melihat pada teks al-Qur`an dan disertai ijtihad pula. Hal ini juga seperti halnya dengan gejala hukum yang terjadi pada saat sekarang yang sangat memungkinkan mensinergikan pesan alQur`an dengan ijtihad ilmiah modern. Sunnah dalam pandangan Muhammad Shahrur hanya mewakili sebuah model metodologi hukum. Sunnah berbeda dengan al-Qur`an namun Sunnah sama dengan al-Qur`an. Sunnah tidak menyediakan kasus-kasus konkrit dan spesifik tetapi lebih kepada menyediakan sebuah metodologi (manhāj) untuk membangun sebuah sistem hukum. Menurut pandangan ulama bahwa pemahaman al-Qur`an adalah berdasarkan riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para sahabat. Sedangkan Muhammad Shahrur memandang bahwa hanya prespektif ilmiah yang mempunyai signifikansi dan kompetensi dalam mengawal pesan alQur`an secara utuh bahwa nilai yang sesungguhnya hanya terletak pada teks alQur`an itu sendiri. Pada prespektif ini, bisa didapatkan sebuah justifikasi ilmiah atas desakan Nabi untuk mengkodifikasikan wahyu dan pada saat yang bersamaan pula melarang untuk mengkodifikasi terhadap perkataan pribadinya.20 Menurut Muhammad Shahrur Sunnah tidaklah mungkin menghakimi alQur`an baik untuk memetuskan atau menghapus sebuah hukum, karena Sunnah lebih membutuhkan al-Qur`an dan bukan Qur`an membutuhkan Sunnah. kan sangat berlebihan apabila dalam menafsirkan alQuran namun melupakan nalar dan logika,
19
18
Nasr Abu Zayd dalam pengantar buku Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer, 11.
Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam, 14. 20 Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an, 276.
Nursyamsudin karena tidaklah mungkin sebuah cabang menghukumi yang pokok.21 Argumentasi Muhammad Shahrur tentang hal ini adalah bahwa al-Qur`an sudah terang dan jelas terhadap segala sesuatu sesuai dengan apa yang tersebut didalam firman Allah Swt.:
ِ ِ ِ يت لَ ُك ُم ُ ت َعلَيْ ُك ْم ن ْع َم ِِت َوَرض ُ ت لَ ُك ْم دينَ ُك ْم َوأ َْْتَ ْم ُ ْالْيَ ْوَم أَ ْك َمل 22 ِ ِْ اْل ْس ََل َم دينًا Artinya: “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu Jadi agama bagimu.”
Pendapat yang selanjutnya ialah perihal ijmā‟ dan qiyās. Menurut Muhammad Shahrur ijmā‟ yang benar adalah kesepakatan masyarakat yang dilakukan secara demokratis tanpa keluar dari koridor-koridor yang telah ditentukan oleh al-Qur`an baik berupa larangan, perintah dan pembolehan.23 Sedangkan qiyās adalah sebuah analogi yang didasarkan atas bukti-bukti material dan pembuktian ilmiah yang diajukan oleh para ahli hukum alam, sosiologi, statistik dan ekonomi. Penerapan Teori Limit terhadap ḥadd Pencurian dalam Qs. al-Maidah (5): 38 Muhmammad Shahrur menawarkan sebuah konsepsi mengenai sebuah metodologi pendekatan dalam mengelaborasi teks-teks al-Qur`an. Telah tercatat bahwa Muhammad Shahrur mempergunakan al-Qur`an dan Sunnah hanya sebagai sebuah metodologi.24 Muhammad Shahrur mengemukakan dua istilah yang menjadi tendensi pijakan dalam mengemukakan teori batasnya yaitu 21
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 297. 22 Qs. Al-Māidah (5): 3. 23 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 282. 24 Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an, 14.
225 hanifiyyah dan istqomah. Istilah hanafiyah yang diartikan sebagai garis dimana hukum harus sesuai dengan keadaan masyarakat yang ada dan istilah istoqomah sebagai suatu aturan Allah yang tidak bisa diganggu gugat.25 Teori ini secara umum menggabungkan metode hermeneutik dengan pendekatan linguistik untuk memahami bagaimana seorang muslim mendapatkan petunjuk secara menyeluruh. Muhammad Shahrur memakai hermeneutik sebagai sebuah metode penafsiran bukan menjadi objek kajian. Hermeneutik dipandang sebagai sebuah eksplorasi karakter filosofis dan syarat yang dibutuhkan bagi semua pemahaman. Hermeneutik juga diartikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang merefleksikan bagaimana sebuah kata ataua peristiwa dan kultur masa lalu dapat dimengerti dan secara eksensial menjadi bermakna dalam situasi sekarang ini. Hermeneutik dalam kerangka penfsiran mencakup aturan-aturan metodologi yang diaplikasikan dalam penfsiran epistemolog pemahaman.26 Muhammad Shahrur menemukan teori limit atau teori batas ini ketika menyampaikan kuliahnya dalam bidang teknik sipil, sepeti yang dikemukakan olehnya dalam bukunya Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer. Beliau menerangkan bahwa: Suatu hari sebuah ide muncul dalam kepala saya ketika saya menyampaikan mata kuliah teknik pada jurusan Teknik Sipil tentang bagaimana cara membuat jalan padat. Kami sedang melakukan apa yang dinamakan dengan uji keamanan, yang kami gunakan sebagai contoh dan cara menguji tanah yang digunakan untuk mengisi tanggul. Pada ujian itu kami mengeluarkan dan menambahkan tanah. Kami mendapatkan sumbu X 25
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an, 18. 26 Marzuki Wahid, Studi Al-Qur`an Kontemporer Prespektif Islam dan Barat, 133-134.
226
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016 dan sumbu Y dalam sebuah bentuk hiperbola. Kemudian kami menemukan sebuah masalah dan menggambar sebuah kurva dan meletakan garis diatasnya. Garis ini adalah garis maksimum yang kemudian timbul sebuah ide dalam pikiran saya tentang batasan Tuhan (hududullah) dan sampai ke rumah saya membuka al-Qur`an dan mendapatkan lima cara menyuguhkan batas. Saya menemukan lima kasus yang dapat menampung ide tentang batas hukum Allah.27
Hukuman potong tangan sebagai sebuah preseden yang dicetuskan oleh Imam Syāfi‟i sebagai sebuah imbas dari ijtihadnya, dikarenakan ada campur tangan Sunnah didalamnya. Sunnah dalam pandangan Muhammad Shahrur hanya mewakili sebuah model metodologi hukum. Sunnah berbeda dengan al-Qur`an namun Sunnah sama dengan al-Qur`an. Sunnah tidak menyediakan kasus-kasus konkrit dan spesifik tetapi lebih kepada menyediakan sebuah metodologi (manhāj) untuk membangun sebuah sistem hukum.28 Bagian-bagian Sunnah yang demikian adalah kondusif untuk menciptakan sebuah metodologi teori batas sebagai sebuah Jika digambarkan dalam sebuah metode yang sangat relevan. skema ilmu matematika, bahwa dapat Teori batas yang ditawarkan oleh digambarkan yaitu sebagai berikut: Muhammad Shahrur adalah memuat penolakan terhadap sumber-sumber hukum x lain yang menindas dan keluar dari norma Hukum Allah atau istiqomah kemanusiaan. Beliau menjelaskan bahwa z Batas Maksimum qiyās sebagai sesuatu yang menindas atau ḥadd al-a’lā dengan asumsi bahwa peristiwa yang terjadi antara abad ketujuh dengan abad kedua Wilayah Ijtihad puluh akan sangat berbeda dilihat segi atau y kultural, sosial, ekonomi dan dari berbagai hanafiyyah segi manapun. Sebagi gantinya beliau menawarkan teori batas ini guna menjawab tantangann zaman sekarang. Muhammad Shahrur juga mampu mematahkan konsep ijmā‟ yang berlebihan Pada skema diatas menunjukan batas karena epistemologinya secara definitif maksimum atau ḥadd al-a‟lā yang tidak menghasilkan sebuah kepastian dan menunjukan bahwa sumbu z berada pada memandang bahwa ijmā‟ yang dilakukan titik maksimum. Sumbu z ini direfleksikan oleh ulama tradisional adalah bersifat wahm dengan hukuman potong tangan bagi pelaku atau dugaan yang tidak mengikat kaum tindakan pencurian yang terdapat pada Qs. muslim pada zaman modern. Hal dmikian al-Māidah (5): 38 sebagai sebuah batas dikarenakan bahwa hukum akan terus tertinggi yang mana hukuman tersebut tidak berubah sepanjang zaman dan bergerak akan lebih berat daripada potong tangan. diantara batas-batas murni al-Qur`an.29 Pada wilayah inilah istilah istiqomah dalam Muhammad Shahrur juga aturan Allah tidak bisa dirubah lagi. Istilah mengingatkan bahwa, hadis Nabi bukanlah hanafiyyah yang terdapat pada wilayah wahyu. Hanya berfungsi sebagai ijtihad sebagai suatu tindakan relatif yang pertimbangan untuk menetapkan hukum bisa dilakukan oleh para ahli hukum untuk dalam kontek ruang dan waktu tertentu menjatuhkan hukuman selain dari hukuman 28 potong tangan. Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar 27
Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer, 17.
Hermeneutika Hukum Islam, 14. 29 Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam, 14-15
Nursyamsudin sebagai bentuk ijtihat Nabi dalam mengaplikasikan al-tanzil menjadi aturan kehidupan nyata.30 Tafsir Terhadap ḥadd Pencurian dalam Qs. Al-Māidah (5): 38 Allah telah berfirman:
السا ِرقَةُ فَاقْطَ ُعوا أَيْ ِديَ ُه َما َجَزاءً ِِبَا َك َسبَا نَ َك ًاًل ِم َن َّ السا ِر ُق َو َّ َو ِ ِ يم ٌ اللَّو َواللَّوُ َع ِز ٌيز َحك Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Muhammad Shahrur melakukan pembacaan kedua terhadap ayat tentang ḥadd pencurian yang terdapat pada ayat diatas, kemudian sejalan dengan hal itu maka akan tampak perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan penafsiran Imam Syāfi‟i. Kata al-Sarīq yang bermakna pencuri didapati berposisi sebagai ism alfā‟il (kata benda yang mempunyai arti pelaku) dari kata kerja sariqa atau saraqa. Isim fāil ini menunjukan makna terus menerus dan lamanya waktu pelaku melakukan suatu pekerjaan. Sebagian yang dicontohkan oleh beliau adalah kata alKātib yang berarti seorang penulis atau sekertaris. Predikat penulis atau sekertaris ini muncul karena seseorang tersebut melakukanya secara terus menerus.31 Hal ini berarti menandakan bahwa seorang yang mencuri sebanyak seperempat dinarpun yang dikemukakan oleh Imam Syāfi‟i tidak diperkenankan untuk dipotong tanganya, apabila baru melakukanya sekali saja. Mayoritas ulama juga menidakan istilah hukum potong tangan baru berlaku bagi pencuri apabila sudah melakukanya
227 berkali-kali. Hukuman potong tangan hanya diberikan kepada seorang pencuri yang tidak mau sadar dan bertaubat.32 Muhammad Shahrur menjelaskan bahwa hukuman potong tangan bagi pencuri adalah batas maksimal. Maksudnya adalah bahwa tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman lebih berat dari potong tangan, namun sangat dimungkinkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan. Hal ini tentu akan sangat relevan jika dikaitkan dengan eksistensi Islam sebagai agama yang shālih dengan segala ruang dan waktu. Qurish Shihab dalam kitabnya mengemukakan bahwa seorang yang baru melakukan tindakan pencurian sekali atau dua kali belum dikatakan sebagai seorang pencuri. Oleh karena itu, seorang pencuri tersebut belum atau tidak dikenai sanksi seperti yang disebutkan oleh ayat diatas. Seorang pencuri yang tertangkap dan telah melakukan tindakan pencurian secara berulang-ulang telah kehilangan harga dirinya dan baru dikatakan sebagai pencuri.33 Muhammad Shahrur menambahkan bahwa didalam ayat ini juga ia memulai pembahasan dari kata kerja qatha‟a, karena disinilah letak masalahnya bahwa huruf qaf, tha dan „ain adalah satu kata dasar yang valid yang bermakna memisahkan dan menjelaskan sesuatu dengan sesuatu yang lain (ibānatu syain min syain).34 Susunan kata qotha‟a al-shalata yang berarti memutus atau membatalkan shalat, qatha‟a al-nahra yang berarti menyebrangi sungai, qatha‟a lisanahu yang berarti mendiamkan seseorang dengan cara berbuat baik kepadanya, qatha‟ahu bi al-hujjah artinya membungkam seseorang dengan argumentasi, aqtha‟ahu al-arda artinya memberikan sebidang tanah kepada orang
32
30
http://pps.uinsuka.ac.id/index. (diunduh pada tangga 02 Februari 2015 pukul 09:59) 31 Muhammad Shahrur, Naḥwa al-Uṣūl alJadīdah li al-Fiqh al-Islāmy: Fiqh al-Mar‟ah, 158.
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 161. 33 Quraish Shihab, Tafsil al-Mishbāh, 91 34 Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakāriyah, Mu‟jam al-Maqāyīs fi al-Lughah, 893.
228
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
lain dan lain sebagainya.35 Hal ini menunjukan bahwa sebuah teks lafadz yang tersirat tidak selalu menunjukan maknanya, melainkan tergantung dari aspek yang menjadi pendekatanya. Ayat diatas menyebut dengan khusus kata السارقةyang artinya “perempuan yang mencuri.” Kata ini sengaja dipergunakan untuk meluruskan kekeliruan masyarakat jahiliyah yang enggan menjatuhkan hukuman terhadap seorang perempuan yang melakukan pencurian. Hal tersebut tidaklah dikerenakan rasa kasihan kepada mereka, namun karena mereka tidak pernah memberi nilai kemanusiaan kepada seorang perempuan. Masyarakat jahiliyah menyebut perempuan sebagai نَصْ ُرهَا ب ُ َكاء َو ِبرُّ هَا َس ِرقَة yang artinya “Pembelaan terhadap perempuan adalah tangis dan kebaktianya adalah pencurian.”36 Pencurian yang dimaksud pada kalimat tersebut adalah seorang perempuan pada masa jahiliyah sering mencuri harta milik suami dan orang tuanya sendiri. Muhammad Shahrur menambahkan bahwa jika yang dikehendaki bagi siapa saja yang baru melakukan pencurian dan tidak disyaratkan terus menerus, tentunya Allah akan menggunakan kalimat wa man yasriqu yang artinya barang siapa yang mencuri. Sebagai buktinya, beliau menyebutkan sebuah firman Allah:
ًَوَما َكا َن لِ ُم ْؤِم ٍن أَ ْن يَ ْقتُ َل ُم ْؤِمنًا إًَِّل َخطَأً َوَم ْن قَتَ َل ُم ْؤِمنًا َخطَأ 37 ِ ِ فَتَ ْح ِر ُير َرقَبٍَة ُم ْؤِمنٍَة َوِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِ ََل أ َْىلو Artinya: “dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja). dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta
membayar diat38 yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).”
ِ ِ ومن ي ْقتل مؤِمنًا مت ع ِّم ًدا فَجزاؤه جهن ِ ب َ َُ ْ ُ ْ ُ َ ْ َ َ َ َّم َخال ًدا ف َيها َو َغض ُ َ َ ُُ ََ 39 ِ اللَّوُ َعلَْي ِو َولَ َعنَوُ َوأ ََع َّد لَوُ َع َذابًا َعظ ًيما Artinya: “dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya sertsa menyediakan azab yang besar baginya.”
Melihat contoh-contoh yang telah dipaparkan diatas, bahwa dalam setiap susunan yang telah dicontohkan oleh Muhammad Shahrur bahwa semua contoh tersebut diambil dari satu kata dasar yaitu qatha‟a yang bisa mempunyai arti al-ibānah (menjelaskan), al-batr (memotong) dan alsarm (memisahkan). Istilah memetong atau memutus juga, menurut beliau tidak selalu menggunakan suatu benda tajam seperti memotong buah atau memotong ranting pohon. Banyak makna yang terkandung didalam lafadz qatha‟a seperti qath‟u altharīq yang artinya pejalan kaki, qath‟u alrahīm yang artinya memutus hubungan keluarga dan lain sebagainya. 40 Metode pemikiran yang dipakai oleh Muhammad Shahrur dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an ialah dengan metode hermeneutik. Sebagai konsekuensi dari implikasi teori ini terhadap ayat tentang hukuman potong tangan adalah bahwa tidak semua lafadz qatha‟a diartikan sebagai manifestasi pemotongan secara fisik. Penafsiran atas redaksi kalimat فااقطعىا ايديهماyang artinya “maka potonglah tangan keduanya” adalah bukan tangan dalam arti fisik, melainkan arti majazi yakni lumpuhkanlah kemampuanya. Makna lumpuhkanlah kemampuanya disini adalah 38
35
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 152. 36 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an , (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 92. 37 Qs. al-Nisā` (4): 92.
Diat ialah pembayaran wajibatas sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan. Lihat Muhammad bin Qāsim al-Ghizī al-Syāfi‟i, Fath al-Qarīb al-Mujīb, (Surabaya: Dar al-Kitāb al-Islāmī, t. t.), 51. 39 Qs. al-Nisā` (4): 93. 40 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 161.
Nursyamsudin “penjarakan dia”. Seperti istilah اقطعىا لسانه yang artinya “potong lidahnya”. Namun makna yang sebenarnya dikehendaki adalah “jangan biarkan dia mengomel atau mengecam dengan jalan memberinya uang.” 41 Muhammad Shahrur menegaskan keterkaitan antara makna satu lafadz yang lain didalam al-Qur`an bahwa pemotongan tangan hanya dilakukan sebagai batas maksimal bagi pencuri. Maksudnya adalah bahwa seseorang yang mencuri tidak akan lebih berat hukumanya dari sekedar pemotongan tangan saja. Beliau juga mengatakan bahawa dengan beragam makna yang terkandung dalam lafadz qatha‟a, para sarjana klasik cenderung berpura-pura tidak mengetahui akan hal tersebut dan selalu berpegang teguh pada prinsip pemotongan tangan secara fisik. Muhammad Shahrur mengambil sebuah contoh lafadz aydiyahuma pada, yang mana pada lafadz tersebut lebih bersifat plural dan tidak bisa diartikan dengan satu pemahaman saja yaitu tangan secara fisik. Seperti firman Allah: ِ ِ ِ ث َ ك إََِّّنَا يُبَايِ ُعو َن اللَّوَ يَ ُد اللَّوِ فَ ْو َق أَيْدي ِه ْم فَ َم ْن نَ َك َ َين يُبَايِ ُعون َ إ َّن الَّذ 42 ِ ِ ث َعلَى نَ ْفسو ُ فَِإََّّنَا يَْن ُك Artinya: “bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah tangan Allah di atas tangan mereka” Uraian ayat al-Qur`an diatas menyatakan bahwa kata al-Yad berarti tangan, yang mana kata tersebut diartikan kekuasaan, kemenangan dan pertolongan yang mengandung arti penjagaan. Kata ini juga bisa berarti pemimpin (al-Imam), kemampuan (al-Qudrah) dan kemantapan (al-Tamakkun). Namun dalil tersebut bukan berarti Allah sama dengan makhluknya yang mana mempunyai tangan layaknya tangan manusia. Inilah yang menjadi wacana pemikiran pasca tradisional dewasa ini dan
229 menajdi perbincangan di dunia Islam.43 Persoalan makna ayat aydiyahumā secara rasionalitas memang cukup beralasan, mengingat peran tangan secara umum mempunyai banyak arti dan makna. Oleh karena itu, kehendak Allah dalam Qs. al-Māidah (5): 38 atas hukuman potong tangan bagi seorang pencuri adalah apabila seorang pencuri tersebut telah melakukanya secara berulang-ulang. Maka dengan demikian menurut Muhammad Shahrur bahwa tidak ada pemotongan tangan bagi seseorang yang melakukan pencurian untuk kali pertama. Para ahli literalis atau ulama teradisional memaksakan pemahaman tangan secara fisik, ini didasarkan oleh pemahaman hukuman orang yang melakukan peperangan dan perusakan di muka bumi. Redaksi qath‟u al-yad tidak diartikan sebagai pemotongan tangan yang sebenarnya namun dengan melarang tangan beraktifitas dengan dipenjara bisa serupa maknanya dengan memotong tangan. Adanya pemotongan tangan sebagai alternatif terahir bagi pencuri yang tidak mau sadar dan bertobat. Seperti hukuman pembakaran dikalangan bangsa Arab dengan melakukan pembakaran terhadap pelaku tindak pencurian ketika terapi-terapi yang lain tidak lagi mampu.44 Kata nakāl dalam bahasa Arab berasal dari kata nakala yang mempunya arti melarang. Kemudian dari kata ini juga muncul makna lain yaitu mengikat, redaksi lafadz nakkala bihi tankīla wa nakālan artinya seseorang yang terhalang untuk melakukan perbuatan yang biasa dilakukan.45 Muhammad Shahrur dalam pemikiranya telah melakukan dekonstruksi besar-besaran atas sebagian teks al-Qur`an yang dianggapnya sudah tidak lagi relevan dengan zaman sekarang. Dekonstruksi yang 43
41 42
Quraish Shihab, Tafsil al-Mishbāh, 94-95. Qs. al-Fath (48): 10.
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer..., 161. 44 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 160. 45 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 156.
230
Mahkamah, Vol. 1, No. 2, Desember 2016
dilakukan oleh Muhammad Shahrur adalah sebagai upaya untuk menemukan kesesuaian pesan ilahi terhadap apa yang terjadi sekarang ini dalam berbagai sisi kehidupan bermasyarakat dengan tanpa mengurangi esensi dari al-Qur`an itu sendiri. Menurut pandangan Muhammad Shahrur bahwa konteks terpenting bagi penafsiran al-Qur`an adalah konteks politik dan kemampuan intelektual dari mufassir itu sendiri. Al-Qur`an sengaja diturunkan oleh Allah dalam bentuk yang umum agar setiap manusia yang mempunyai kemampuan dapat menafsirkanya sesuai denga keadaan dan kebutuhan saat itu. Hal ini dikarenakan para ahli fiqh dan para mufassir telah berhenti pada tingkat kaidah nahwu saja dalam memahami ayat al-Qur`an.46 Kontekstualitas dalam menafsirkan al-Qur`an adalah sebuah keinscayaan bagi setiap kondisi yang memungkinkan adanya hal itu. Muhammad Shahrur menggunakan analisis linguistik yang ia dapatkan dari studi teknik sipilnya dalam menafsirkan alQur`an yang cenderung terhadap pendekekatan logika matematika. Batasbatas yang ditawarkan oleh Muhammad Shahrur dalam bidang hukum bertujuan untuk menjadikan masyarakat bebas namun diwajibkan untuk mengembangkan dan mengadaptasi hukum mereka sesuai dengan keadaan sosial politiknya.47 Sehingga titik berat dari hasil pendekatanya dalam menafsirkan makna ayat-ayat al-Qur`an cenderung lebih muda Penutup Muhammad Shahrur menyampaikan terkait dengan hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian yang terdapat pada Qs. alMāidah (5): 38 bahwa hal tersebut memang benar dilakukan, namun tidak serta merta langsung dikenakan hukuman potong tangan. Beliau mempertimbangkan aspek kemaslahatan yang menjadi keinginan
46
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, 256. 47 Muhammad Shahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika, 18.
semua umat manusia dalam menjalani kehidupan. Muhammad Shahrur menyatakan bahwa pemotongan tangan baru bisa dilakukan ketika seorang pencuri tersebut sudah melakukanya secara berulang kali dan tanpa adanya penyesalan. Faidah al-Qur`an yang menjadi rahmat bagi seluruh alam menjadi salah satu alasan Muhammad Shahrur dalam menanggapi masalah ini. Jika pemotongan tangan ini tetap dilakukan tanpa melihat aspek sosioligis maka hal ini mengasumsikan bahwa hukum Islam telah mengalami kekerdilan dan masyarakat akan merasa takut terhadap Islam. Daftar Pustaka al-Syāfi‟ī, Muhammad bin Qāsim al-Ghizī, Fath al-Qarīb al-Mujīb, Surabaya: Dar al-Kitāb al-Islāmī, t. t. an-Na‟im, Abdullahi Ahmad, Dekonstruksi Syariah, cet. 2, Yogyakarta: LKiS, 2004 an-Na‟im, Abdullahi Ahmad, dkk., Dekonstruksi Syariah (II) Kritik Konsep, Penjelasan Lain, cet. 2, Yogyakarta: LKiS, 2009 Departemen Agama: Al Qur‟an dan Terjemahannya, 2011. Harb, Ali, Kritik Nalar Al-Qur`an, Yogyakarta: LKis, 2005 http://pps.uinsuka.ac.id/index. (diunduh pada tangga 02 Februari 2015 pukul 09:59) http://www.lakpesdam.org/acrobat/edisi31/ri setredaksi3.pdf. (diunduh pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 11:24) Jasmani, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, no. 2, vol. 4, Desember, 2007 Nasr Abu Zayd dalam pengantar buku Muhammad Syahrur, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur`an Kontemporer Palmer, Richard, Hermeneutika Teori Baru Mengenal Interpretasi, terj. Musnar Hery dan Damanhuri Muhammaed,
Nursyamsudin cet. 2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005 Shahrur, Muhammad, Al-Islām wa Al-Īmān Mandhūm Al-Qiyam, cet. 1, Damaskus: Al-Ahālī, 1996 Shahrur, Muhammad, Al-Qur`an, Morality and Critical Reason The Essential Muhammad Shahrur, cet. 1, Leiden: Clearance Center, 2009 Shahrur, Muhammad, Dirāsāt Al-Islāmī Mu‟āshirah Al-Daulah wa AlMujtam‟, cet. 1, Damaskus: AlAhālī, t.t Shahrur, Muhammad, Dirāsāt Al-Islāmī Mu‟āshirah Tajfi fi Manābi‟ AlIrhāb, cet. 1, Damaskus: Al-Ahālī, 2008 Shahrur, Muhammad, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin. Yogyakarta: eLSAQ
231 Press, 2010 Shahrur, Muhammad, Nahwa al-Ushūl alJadīdah li al-Fiqh al-Islāmy: Fiqh alMar‟ah, Damaskus: al-Ahali, 200 Shahrur, Muhammad, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin.Yogyakarta: eLSAQ Press, 2007 Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur`an , Jakarta: Lentera Hati, 2007 Wahid, Marzuki, Studi Al-Qur`an Kontemporer Prespektif Islam dan Barat, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005 Zakāriyah, Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin, Mu‟jam al-Maqāyīs fi alLughah, Bairut: Dar al-Fikr, 1994