METODE KESHAHIHAN HADIS AL-HAKIM (Telaah Atas Kitab Al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain( ______________________________________________ Amaruddin dan Syafril Mufid Abtrak: Al-Mustadrak „ala al-Shahihain adalah kontribusi besar dari Imam alHakim dalam kajian hadis. Kehadiran al-Hakim dalam sejarah pemikiran hadis tidak bisa dipandang sebelah mata, meskipun popularitasnya dibawah penulis Kutub al-Sittah. Pemikiran di dalam karyanya tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konteks sosial-kultural dan politik yang melingkupinya, sehingga menimbulkan nuansa yang berbeda secara metodologis dari kitab-kitab hadis sebelumnya. Ulama hadis memberikan penilaian tasahul kepada al-Hakim, namun mereka berbeda tentang penyebab ke-tasahul-annya. Memiliki kriteria ijtihad dalam menilai status sebuah hadis. Al-Hakim juga menerapkan prinsip status sanad, prinsip status matan, dan kriteria kritik sanad dalam menilai sebuah hadis, ini yang melahirkan standar ganda dalam menilai status hadis.
Kata Kunci: Tasahhul, Ijtihad, Prinsip Status Sanad, dan Prinsip Status Matan.
PENDAHULUAN Kitab al-Mustadrak „ala al-Shahihain merupakan kontribusi terbesar alHakim dalam kajian Hadis. Selain kitab al-Mustadrak, ada dua karya al-Hakim yang tak kalah penting, yaitu Kitab al-Madkhal ila al-Iklil dan Ma‟rifatu „Ulum al-Hadits. Dua karya yang terakhir ini, mengkaji konsep-konsep teoritis dan kerangka epistemologis ke-shahih-an sebuah Hadis. Ketiga karya tersebut membuktikan kepiawaian al-Hakim dalam studi Hadis dan ilmu Hadis sekaligus menunjukkan penguasaannya dalam bidang ini, baik secara teoritis maupun
Amaruddin adalah alumnus Program Pascasarjana (S.2) Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta Konsentrasi Ilmu Al-Qur‟an dan Hadis. Sehari-hari bertugas sebagai Dosen Pengajar pada Program Studi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir Fak. Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri (UNISI) Tembilahan. Syafril Mufid mupakan mahasiswa Mahasiswa Program Magister (S.2) Konsentrasi Tafsir Hadis PPs. IAIN Imam Bonjol Padang.
operasionalnya. Oleh karena itu, kehadiran al-Hakim dalam sejarah pemikiran Hadis tidak bisa dipandang sebelah mata, meskipun popularitasnya dibawah penulis Kutub al-Sittah. Sebagai hasil sebuah pemikiran, penyusunan kitab al-Mustadrak tidak bisa dilepaskan
begitu
saja
dari
konteks
sosial-kultural
dan
politik
yang
melingkupinya. Realitas yang ada serta cara pandang masyarakat ketika itu memberikan
hembusan
“angin”
dalam
pemikiran
al-Hakim
sehingga
menimbulkan nuansa yang berbeda secara metodologis dengan kitab-kitab Hadis sebelumnya. Nuansa itu pada akhirnya menimbulkan berbagai penilaian kepada al-Hakim, baik negatif maunpun positif. Pada dasarnya, ulama Hadis sepakat memberikan penilaian tasahul kepada al-Hakim, namun mereka berbeda tentang penyebab ke-tasahul-annya. Ada yang menilai, ke-tasahul-an al-Hakim terletak pada
tasyayyu‟
(kecendrungannya
kepada
syi‟ah),
khususnya
dalam
memposisikan peran para sahabat Nabi Saw. Asumsi dasar yang memotivasi al-Hakim menyusun al-Mustadrak adalah masih banyak Hadis shahih yang beredar dan belum sepenuhnya tercantum dalam kitab-kitab Hadis yang ada. Asumsi tersebut kemudian diperkuat dengan pernyataan penulis shahihain, bahwa kitab shahihnya tidak memuat seluruh Hadis shahih. Oleh karena itu, al-Hakim menamakan kitabnya dengan al-Mustadrak „ala al-Shahihain, yang artinya ditambahkan atau disusulkan atas shahihain. Tulisan ini akan menguraikan secara global Manahij „metode‟ kitab alMustadrak „ala al-Shahihain, latar belakang penulisan, klasifikasi status Hadis, kriteria ke-shahih-an Hadis, penilaian ulama serta biografi intelektual al-Hakim yang melingkupi riwayat hidup, guru dan muridnya, dan setting sosial-budaya masyarakat yang membentuk karakter berpikir al-Hakim.
BIOGRAFI DAN KAPASITAS INTELEKTUAL AL-HAKIM A. Riwayat Hidup dan Pendidikan Al-Hakim Nama lengkap al-Hakim adalah Abu „Abdullah Muhammad bin „Abdullah bin Hamdun bin Nu‟im yang lebih populer dengan nama Ibn alBayyi‟ al-Dhabyyi al-Syafi‟i al-Naisaburi (Ali Hamid, 1999 : 176). Dalam
bidang Hadis, ia lebih dikenal dengan nama „Abdullah al-Hakim al-Naisaburi, atau Ibn al-Bayyi‟ untuk membedakannya dengan tokoh lain yang juga bergelar al-Hakim, yaitu Abu Ahmad al-Hakim, Abu „Ali al-Hakim al-Kabir – yang merupakan guru al-Hakim sendiri –, dan seorang Khalifah Fathimiyah di Mesir yang bergelar al-Hakim, yaitu al-Hakim bi Amrullah (Abdurrahman, 2000 : 28-29). Ia dilahirkan di Naisabur pada hari Senin 13 Rabi‟ul Awal tahun 321 H dan wafat pada bulan Safar 405 H. Ayah al-Hakim, yaitu „Abdullah bin Hammad bin Hamdun adalah seorang yang dekat dan loyal kepada pemerintah Bani Saman yang menguasai daerah Samaniyah. Disamping seorang pejuang yang tangguh, ia juga seorang dermawan sekaligus ahli ibadah. Berdasarkan informasi sejarah, daerah Samaniyah merupakan tempat yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual, seperti fuqaha‟, ahli Hadis, dan filosof. Daerah ini pula yang melahirkan ahli Hadis kenamaan pada abad ke-3 H semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, al-Tirmizi, alNasa‟i, dan Ibn Majah (Najwah, 2003 : 240). Kondisi sosial-inteletual ini pada akhirnya membentuk kecendrungan keilmuan al-Hakim untuk menekuni pengetahuan agama, yaitu mendalami Hadis. Setelah mendapatkan pendidikan dasar yang diberikan oleh ayahnya, alHakim pada usia 13 tahun (334 H), mulai belajar Hadis secara khusus kepada Abu Khatim bin Hibban. Oleh karena itu, dalam karya monumentalnya alMustadrak, ia sudah banyak meriwayatkan Hadis tatkala masih berumur 16 tahun yang diterimanya pada tahun 337 H. Al-Hakim menerima Hadis tersebut antara lain dari Abu „Amr Muhammad bin Ja‟far bin Muhammad bin Mathar. Tidak cukup sampai disitu, al-Hakim kemudian melanjutkan rihlah intelektualnya ke berbagai daerah untuk dapat berlajar langsung kepada para ahli Hadis, agar mata rantai sanad yang diterimanya memiliki nilai yang tinggi, karena menurut al-Hakim, sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Bukhari, suatu sanad Hadis bernilai tinggi apa bila adanya liqa‟ (pertemuan) antara guru dan murid, meski hanya sekali (Najwah, 2003 : 241).
Di antara daerah-daerah yang didatangi oleh al-Hakim seperti Irak, Khurasan, dan Hijaz. Kota-kota tersebut pada masa itu banyak bermukim ulama dalam berbagai disiplin keilmuan, terutama ahli Hadis. Dengan cara ini, al-Hakim ingin mengikuti jejak para pendahulunya seperti Imam Bukhari „dalam upaya mencari Hadis‟ dengan bertemu langsung (liqa‟) kepada ahli Hadis. Merasa belum cukup dengan rihlah intelektual pertamanya ke daerahdaerah tersebut, al-Hakim kembali melakukan perjalanan untuk kedua kalinya pada tahun 368 H, ketika usianya sudah memasuki 47 tahun. Dalam tradisi ahli Hadis, perjalanan seperti itu diperlukan untuk mendiskusikan temuan dan pendangan-pandangannya tentang Hadis dan ilmu Hadis. Seperti diketahui bahwa kitab al-Mustadrak pernah didiskusikan dengan salah seorang gurunya, yaitu al-Daruquthni yang bermukim di Irak. Disamping itu, untuk menghilangkan anggapan bahwa ahli Hadis yang menerima dan mengandalkan riwayat dari ulama dikampung halamannya saja tidak mempunyai bobot ilmiah yang tinggi (Abdurrahman, 2000 : 32). Dengan berbekal kemampuan intelektual yang tinggi dan diiringi dengan kegigihannya dalam mencari dan mengkaji Hadis, menjadikan posisi keilmuan al-Hakim khususnya dalam bidang Hadis melebihi para ahli Hadis pada masanya. Sehingga ia sering dianggap Imam Hadis “yang paling besar” pada waktu itu. Kebesaran al-Hakim dibuktikan dengan banyak ulama yang ingin berdiskusi dengannya, termasuk gurunya sendiri, al-Daruquthni. Disamping ahli dalam ilmu Hadis, ia juga mendalami berbagai ilmu-ilmu agama Islam lainnya, seperti fikih dan tasawuf (Abdurrahman, 2000 : 32). Dalam pandangan al-Hakim ahli Hadis yang sempurna ialah orang yang menguasai fikih dan menjadi fuqaha‟. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa fikih sebagai ilmu yang paling urgent sebagai bahan referensi intelektualnya. Walaupun dalam prakteknya, al-Hakim sulit untuk mengawinkan keduanya dalam satu pandangan, sehingga melahirkan suatu standar ganda dalam menentukan status Hadis yang oleh ulama Hadis dinilai tasahul.
B. Guru dan Murid Al-Hakim
Berdasarkan informasi sejarah diperkirakan bahwa al-Hakim telah belajar kepada seribu lebih ulama, mulai dari Irak sampai ke daerah-daerah lainnya. Berikut diantara nama-nama guru al-Hakim, selain ayahnya dan Hibban, ialah : Muhammad bin „Ali al-Muzakkir, Muhammad bin Ya‟qub al„Asam, Muhammad bin Ya‟qub al-Syaibani, Muhammad bin Ahmad bin Balawaih al-Jallab, Abu Ja‟far Muhammad bin Ahmad bin Sa‟id al-Razi, Muhammad bin „Abdullah bin Ahmad al-Saffar, „Ali bin al-Fadl al-Suturi, „Ali bin „Abdullah al-Hakam, Isma‟il bin Muhammad al-Razi, dan Muhammad bin al-Qasim al-Ataki. Selain itu, al-Hakim juga memiliki murid yang meriwayatkan Hadisnya, dianatranya ialah: Abu al-Falah bin Ubay bin al-Fawari, Abu al-„Ala al-Wasiti, Muhammad bin Ahmad bin Ya‟qub, Abu Zarr al-Hirawi, Abu Ya‟la al-Khalili, Abu Bakar al-Baihaqi, Abu al-Qasim alQusyairi, Abu al-Salih al-Muazzin, al-Zakki Abu Hamid al-Bahiri, Mu‟ammal bin Muhammad bin al-Walid (Abdurrahman, 2000 : 242).
C. Latar Sosio-Politik Intelektual Al-Hakim Kegiatan berpikir dan produk pemikirannya tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial-kultural dan politik dimana tempat seorang pemikir hidup dan dibesarkan. Karena produk pemikiran pada dasarnya adalah interpretasi terhadap situasi dan kondisi masyarakat baik sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan yang terjadi saat itu. Oleh karena itu, ada ungkapan yang cukup populer “seorang pemikir adalah anak zamannya”. Dengan kata lain bahwa produk pemikiran seseorang adalah cerminan dari realitas sosial masyarakat pada waktu itu. Disisi lain, tidak jarang konteks sosial-politik ikut memberikan pengaruh dan warna bagi pemikiran seorang intelektual. Tidak hanya
itu,
sosial-politik
seringkali
“memasung
kebebasan”
dalam
mengemukakan pandangan dan memaksa elit intelektual untuk tunduk kepada ideologi yang dianut oleh penguasa. Secara umum, situasi politik umat Islam pada masa al-Hakim, terpecah ke dalam tiga kekuatan besar, yaitu Fathimiyah yang berkuasa di bagian Afrika Utara, Bani Umayyah II di Andalusia, dan Bani „Abbasiyah yang
berpusat di Baghdad. Fase ini dalam sejarah Islam di klasifikasikan sebagai fase disintegrasi (Abdurrahman, 2000 : 42). Tidak hanya berbeda secara politik, ketiga khalifah itu pun menganut madzab yang berbeda-beda. Penguasa Bani Saman, daerah dimana al-Hakim tinggal misalnya, menganut ideologi yang berbeda; ada yang condong ke sunni dan ada pula yang Syi‟i. Salah seorang penguasa Saman, Sa‟id bin Nasr bin Ahmad, misalnya, secara terang-terangan mendukung Fathimiyah di Mesir yang beraliran Syi‟i. Pada masa Sa‟id dan anaknya Nuh berkuasa, ideologi
Syi‟i
diterapkan
melalui
kebijakan
pemerintah
Samaniyah
(Abdurrahman, 2000 : 45). Kebijakan penguasa Samaniyah yang menerapkan ajaran Syi‟i lambat laun ikut mempengaruhi struktur berpikir masyarakat umum, politisi, dan ulama yang hidup pada masa itu. Sosialisasi ajaran Syi‟i juga nampak dalam tata upacara dan tradisi, seperti upacara Mawalid, dan peringatan 10 Muharram yang harus diikuti seluruh warga negara. Kebijakan ini memicu terjadinya konflik sektarian antara sunni dan Syi‟i serta dapat menganggu stabilitas dan keamanan negara. Pada paruh pertama abad ke-4 H, geliat intelektual masih terpelihara dan berkembang dengan baik. Munculnya tokoh-tokoh seperti al-Thabari, alMas‟udi dalam bidang sejarah, al-Maturidi dan al-Bazdawi dalam bidang teologi, Ibn Sina sebagai filosof, Ibn Hibban, al-Daruquthni, Ibn Huzaimah, dan al-Hakim dalam kajian Hadis menunjukkan masih kuatnya tradisi intelektual kala itu . Bani Saman sendiri adalah pecinta ilmu pengetahuan dan sangat liberal dalam merespons situasi dan karya intelektual yang ada. Karena didukung oleh penguasa ini lah para intelektual banyak memunculkan kreasikreasinya dalam berkarya, seperti dalam bidang Hadis, sejarah, sastra, falsafah, dan tasawuf (Abdurrahman, 2000 : 53). Latar sosial-budaya dan politik seperti yang dijelaskan di atas, secara tidak langsung memberikan pengaruh bagi al-Hakim dalam menyusun kitab al-Mustadrak-nya. Demikian juga dengan kedekatannya kepada penguasa Bani Saman yang “notabene” menganut ideologi syi‟ah. Oleh karena itu,
muncul berbagai tuduhan kepada al-Hakim tentang ke-Syi‟ah-annya yang menyebabkan tasahul dalam menilai status sebuah Hadis.1
D. Karya-Karya Al-Hakim Kemampuan al-Hakim dalam menguasai berbagai disiplin keilmuan dibuktikan dengan keberhasilannya melahirkan berbagai karya baik dalam disiplin ilmu Hadis maupun ilmu lainnya. Diantara karya-karyanya adalah sebagai berikut: 1.
Al-Mustadrak „Ala al-Shahihain
2.
Ma‟rifat „Ulum al-Hadits
3.
Tarikh „Ulama‟ al-Naisabur
4.
Al-Iklil
5.
Al-Muzakkina li Ruwah al-Akhbar
6.
Madzahib al-Muhadditsin
7.
Fadha‟il al-Imam al-Syafi‟i
8.
Tarajum al-Syuyukh
9.
Al-Talkhis
AL-MUSTADRAK ‘ALA AL-SHAHIHAIN A. Pengertian Al-Mustadrak dan Latar Belakang Penulisannya Sebelum mendiskusikan lebih jauh tentang metode penyusunan kitab al-Mustadrak, terlebih dahulu diuraikan pengertian al-Mustadrak dalam pandangan ulama Hadis. Mahmud al-Thahhan mendefenisikan kitab alMustadrak dengan : ٗ شزطٍٝ وتاب اخز ِّا فاتٗ عٍٝا عٙ استذروٟث اٌت٠ٗ ِؤٌفٗ االداد١وً وتاب جّع ف Setiap kitab yang menghimpun Hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab Hadis tertentu, yang disusun berdasarkan syaratnya (Thahhan, 1995: 72).
1
Sa‟id bin „Abdullah Ali Hamid dalam bukunya Manahij al-Muhadditsin menyebutkan bahwa di antara faktor yang menyebabkan al-Hakim disebut al-Tasyayyu‟ adalah karna ia tidak menyebutkan keistimewaan sahabat, seperti Ali, Mu‟awiyah, dan „Amar bin al-„Ash dalam bahasan “Ma‟rifah Manaqib al-Shabah” yang terdapat dalam kitab al-Mustadrak. Dan memasukkan Hadis-hadis yang bertendensi ideologi Syi‟ah dan men-shahih-kannya.
Sementara itu, menurut Subhi al-Shalih, sebagaimana yang dikutip oleh Bukhari, yang dimaksud dengan al-Mustadrak adalah: ٗ شزطٍٝ وتاتٗ عٟٗ ِا فا خ اٌّؤٌف ف١ِا استذرن ف Kitab yang memuat Hadis-hadis yang tidak dimuat dalam kitab Hadis tertentu yang disusun berdasarkan persyaratannya (Bukhari, 2009: 54). Walaupun sedikit berbeda dalam redaksi, namun secara substansi kedua defenisi di atas dapat disimpulkan ke dalam tiga hal, yaitu : pertama, ada kitab yang dijadikan acuan, kedua, Hadis-hadis yang dimuat berdasarkan syarat kitab yang dijadikan acuan, ketiga, Hadis yang dimuat tidak terdapat dalam kitab yang dijadikan acuan. Dengan demikian, pengertian kitab alMustadrak „Ala al-Shahihain adalah kitab yang penyusunannya mengacu kepada shahih al-Bukhari dan Muslim, dengan asumsi bahwa Hadis-hadis yang terdapat didalamnya sesuai dengan syarat Bukhari dan Muslim dan tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Dari pengertian al-Mustadrak seperti yang telah dijelaskan di atas, maka Hadis-hadis yang terdapat dalam karya al-Hakim ini, menurut penilaian Abdurrahman, mengandung beberapa kemungkinan sebagai berikut: 1.
Hadis-hadis yang tercantum dalam al-Mustadrak tidak terdapat dalam Shahihain, baik lafal maunpun makna, tetapi ada dalam kitab lain.
2.
Hadis-hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak berbeda lafalnya dengan Hadis yang ada dalam Shahihain.
3.
Hadis-hadis yang ada dalam al-Mustadrak melengkapi lafal Hadis dalam Shahihain.
4.
Hadis-hadis yang dimuat dalam al-Mustadrak menggunakan sanad yang tidak digunakan dalam Shahihain (Abdurrahman, 2000 : 57-60). Dalam muqaddimahnya, al-Hakim tidak menyebutkan secara eksplisit
faktor yang melatarbelakangi penyusunan kitab al-Mustadrak.2
2
Sa‟id bin „Abdullah Ali Hamid dalam bukunya Manahij al-Muhadditsin menyebutkan tiga latar belakang penulisan al-Mustadrak, yaitu pernyataan Bukhari-Muslim masih banyak Hadis sahih yang tidak dimuat dalam Shahih-nya, adanya kelompok yang beranggapan bahwa Hadis sahih hanya berkisar sepuluh ribu, dan hanya terdapat dalam Shahihain, permintaan tokoh intelektual Nisabur supaya al-Hakim menyusun sebuah kitab yang memuat Hadis-hadis sahih. Lihat h. 194
Ia hanya menyebutkan bahwa penyusunan kitab tersebut karena banyaknya permintaan tokoh intelektual, supaya ia menghimpun Hadis dalam sebuah kitab berdasarkan syarat Shahihain, Bukhari-Muslim (Al-Hakim, 1997: 40). Namun, dari penamaan kitabnya dengan al-Mustadrak, dapat ditafsirkan bahwa penyusunan kitab tersebut berangkat dari asumsi al-Hakim bahwa masih banyak Hadis sahih yang belum dicatat ulama terdahulu. Di samping itu, adanya penegasan penulis Shahihain, yang menyatakan bahwa masih banyak Hadis sahih yang belum dimuat dalam Shahih-nya (Najwah, 2003 : 243). Faktor lain yang ikut berperan dalam mempengaruhi al-Hakim untuk menyusun kitabnya adalah kondisi sosial-intelektual saat itu. Sebagaimana diketahui, bahwa daerah Nisabur (baca:Saman) banyak melahirkan tokoktokoh intelektual terkemuka, seperti Muslim dan al-Daruqutni. Tradisi ilmiah yang begitu kuat ikut memacu semangat al-Hakim untuk memberikan kontribusinya dalam kajian Hadis dan ilmu Hadis.
B. Sistematika Penulisan Al-Mustadrak dan Kandungannya Kitab al-Mustadrak terdiri atas empat jilid besar yang memuat lebih kurang 8.8033 buah Hadis yang tersebar dalam 50 pokok bahasan atau kitab. Kitab ini termasuk ke dalam kitab al-Jami‟, karena memuat berbagai dimensi ajaran Islam, seperti akidah, hukum, tafsir, perjalanan Nabi, biografi para Nabi, sirah para sahabat, sejarah masa lalu, peperangan dan persoalan lainnya (Kattani, Risalah: 42). Al-Mustadrak, ditulis oleh al-Hakim saat berusia 52 tahun, yaitu tahun 373 H. Ia meninggal pada saat berumur 84 tahun. Data lain menyebutkan bahwa ia menyusun kitab al-Mustadrak pada tahun 393 H. Namun kuat dugaan, ia menyusunnya tahun 373 H, karena tulisan al-Mustadrak itu pernah ia kemukakan kepada al-Daruquthni yang wafat tahun 375 H. Dari rentang waktu sekitar dua puluh tahun itu, tidak digunakan oleh al-Hakim untuk 3
Hitungan ini berdasarkan urutan nomor Hadis dalam al-Mustadrak yang ditahkik oleh Musthafa Abdur Kadir Atha. Sementara itu, dalam hitungan M. Abdurrahman dan Nunun Najwah berjumlah 8690 buah Hadis.
menulis al-Mustadrak saja, tetapi juga karya-karya lainnya. Oleh karena itu, al-Hakim disebut sebagai penulis terbaik pada masanya (Abdurrahman, 2000:56). Dari sistematika penyusunan, kitab al-Mustadrak mengacu kepada Shahih Bukhari-Muslim, yaitu disusun berdasarkan bab-bab fikih. Dengan membahas berbagai aspek dan membaginya berdasarkan urutan kitab-kitab „tema-tema‟. Setiap Hadis ditulis berdasarkan nomor urut dari 1-8803. Jumlah Hadis itu diklasifikasikan ke dalam empat jilid dengan rincian sebagai berikut: jilid I, 1-2129 buah Hadis, jilid II, 2130-4256 buah Hadis, jilid III, 4257-6709, jilid IV, 6710-8803. Disamping itu, masing-masing kitab juga diberi nomor urut Hadis, sehingga dapat diketahui jumlah Hadis yang terdapat dalam setiap kitab. Dalam kitab al-Buyu‟, misalnya, terdapat sebanyak 246 buah Hadis. Setelah mengemukakan sebuah Hadis atau beberapa Hadis dalam tema yang sama, alHakim kemudian memberi komentar dengan ungkapan, misalnya, “Hadis ini shahih, tetapi tidak dimuat dalam Shahihain, dan sesuai dengan syarat Muslim bin al-Hajjaj”. Sebagai contoh dapat dilihat pada kutipan dibawah ini:
حدثناه علي بن محشاد العدل ثنا أبو املثىن ثنا مسدد ثنا عبد الوىاب ثنا دمحم بن عمرو أكمل املؤمنٌن إدياان: أن نيب هللا صلى هللا عليو و سلم قال: عن أيب سلمة عن أيب ىريرة :أحسنهم خلقا ) ىذا حديث صحيح مل خيرج يف الصحيحٌن و ىو صحيح على شرط مسلم بن ( احلجاج 4
Adapun sistematika penyusunan kitab dalam al-Mustadrak, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Kandungan Kitab Al-Mustadrak 4
Lihat al-Mustadrak “kitab al-Iman” Hadis yang kedua, h. 41. Pada kutipan di atas terlihat sistematika al-Hakim dalam mengemukakan Hadis, setelah menyebutkan sebuah Hadis atau beberapa Hadis, al-Hakim kemudian memberikan komentar terhadap Hadis tersebut.
Jilid III/Judul kitab وتاب اٌٙجزج وتاب اٌّغاسٚ ٞاٌسزا٠ا وتاب ِعزفح اٌصذاتح
No 1 2 3
Jilid IV/Judul kitab وتاب صالج اٌع١ذٓ٠ وتاب االدىاَ وتاب االطعّح وتاب االشزتح وتاب اٌثز ٚاٌصٍح وتاب اٌثاص وتاب اٌطة وتاب االاضادٝ وتاب اٌذتائخ وتاب اٌتٛتح ٚاالتأح وتاب االادب وتاب االئّاْ ٚإٌذٚر وتاب إٌذٚر وتاب اٌزلاق وتاب اٌفزائض وتاب اٌذذٚد وتاب تعث١ز اٌزء٠ا وتاب اٌطة وتاب اٌزلٚ ٟاٌتّائُ وتاب اٌفتٓ ٚاٌّالدُ وتا ب اال٘ٛاي
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
وتاب اٌٛتز وتاب صالج اٌتطٛع وتاب اٌسٛٙ وتاب االستسماء وتاب اٌىسٛف وتاب صالج اٌخٛف وتاب اٌجٕائش وتاب اٌشواج وتاب اٌصَٛ وتاب إٌّاسه وتاب اٌذعاء ٚاٌتىث١ز ٚاٌتً١ٍٙ وتاب وتاب فضائً اٌمزاْ
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jilid I /Judul kitab وتاب االّ٠اْ وتاب اٌعٍُ وتاب اٌطٙارج وتاب اٌصالج وتاب اٌجّعح
Jilid II/Judul kitab وتاب اٌثٛ١ع وتاب اٌجٙاد وتاب لسُ اٌفئ وتاب لتاي اً٘ اٌثغٟ وتاب إٌىاح وتاب اٌطالق وتاب اٌعتك وتاب اٌّىاتة وتاب اٌتفس١ز وتاب تٛارر اٌّتمذِٓ١
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
C. Klasifikasi Status Hadis dalam Al-Mustadrak Dalam penelitian al-Dzahabi, Hadis Shahih secara mutlak dalam alMustadrak berjumlah 1930 buah. Hadis shahih diklasifikasikan ke dalam tiga istilah yang dikemukakan oleh al-Hakim, yaitu memenuhi kriteria Syaikhain, „ala syarthi Bukhari atau syarthi Muslim, kriteria shahih al-Isnad, bahkan ada yang tidak dinilai oleh al-Hakim sama sekali. Masih menurut al-Dzahabi, Hadis shahih yang masuk dalam kategori memenuhi kriteria Syaikhain
sebanyak 986 buah, kriteria Bukhari sebanyak 113 Hadis, kriteria Muslim sebanyak 571 Hadis. Selain itu, Hadis Shahih yang menggunakan ungkapan Shahih al-Isnad berjumlah 3447 Hadis, selebihnya Hadis yang terdapat dalam al-Mustadrak tidak dinilai oleh al-Hakim. Hadis-hadis tersebut terdapat pada jilid 4 sekitar 280 Hadis. Sedangkan Hadis maudhu‟ dalam al-Mustadrak ada dua kategori, maudhu‟ secara eksplisit berjumlah 87 buah, implisit 67 buah (Abdurrahman, 2000 : 215-223).
D. Metode Penetapan Ke-Sahih-An Hadis Menurut Al-Hakim Dalam menentukan status sebuah Hadis, shahih atau dha‟if, setiap ulama Hadis memiliki prinsip-prinsip dasar atau metode tersendiri yang membedakannya dari ulama lain. Perbedaan itu nampak dari metode dan sistematika penyusunan kitab-kitab Hadis. Al-Kutub al-Sittah, misalnya, berbeda penulisannya dengan kitab al-Musnad, al-Mustakhraj, al-Mustadrak, dan kitab-kitab Hadis lainnya (Abdurrahman, 2000 : 92). Dengan kata lain, masing-masing ulama berbeda bangunan konsep operasionalisasi menyangkut status sebuah Hadis. Di antara prinsip dasar yang dijadikan acuan bagi alHakim untuk menilai status sebuah Hadis adalah ijtihad, prinsip status sanad, prinsip status matan, dan kriteria kritik sanad. 1.
Ijtihad Menentukan status sebuah Hadis dengan jalan ijtihad, pada dasarnya sudah diterapkan oleh ulama-ulama Hadis. Nama-nama seperti al-Ramahurmuzy, al-Baghdadi, Ibn al-Asir, serta lainnya adalah ulama yang menggunakan prinsip ijtihad untuk menentukan kesahihan sebuah Hadis (Abdurrahman, 2000 : 92). Prinsip ijtihad ini yang membedakan al-Hakim baik dengan para pendahulunya, maupun ulama semasa dan sesudahnya. Mengenai prinsip ijtihad ini, dipahami oleh ulama Hadis dari ungkapan al-Hakim sendiri dalam muqaddimah al-Mustadrak-nya, yaitu.
يث رواتُنيها ثِعَوق ٌت ِع اج أ ِع وأ َوَوان أ ِع الش ْسي َو ِع احَو َهَّلل ِعِبِعثْسلِع َوها َهَّلل ٌن َهَّلل ان َور ِع َوي قَود ْس، ات َوحاد َو ُنيَو َو َوسَوع ُني َو ْس ااَو َوعلَوى إِع ْسخ َور ِع َو يح ِعع ْسن َود َوكااَهَّلل ِعة اُني َوق َوه ِعاا أ ْسَوى ِعل ِع اا ْسس َوِعم أ َهَّلل َهَّلل َون الص ِعح ِع ط َهَّلل َوو َوى َوذا َوش ْسر ُني، َوح ُنيد ُنيُهَوا ااُني َوع ْسن ُنيه َوما أ ْسَوو أ َو ِع ِع ون ِعمن الثِعِّزَوق ِع ِع ِّزِع ات َوم ْسقبُنيولَوة اللَو َود َوةِعيف ااَوساَونيد َووال ُنيْسم ُني َو Aku memohon pertolongan Allah untuk meriwayatkan Hadis-hadis yang para perawinya orang-orang yang tsiqah. Bukhari dan Muslim atau salah satu keduanya telah menggunakan perawi itu sebagai hujjah. Ini syarat Hadis Shahih menurut pandangan seluruh Fuqaha‟, bahwa penambahan pada sanad dan matan dari orang-orang yang tsiqah dapat diterima (Al-Hakim, 1997: 40). Ungkapan al-Hakim di atas selanjutnya menjadi objek penelitian ulama Hadis untuk mengetahui substansi dari konsep ijtihad yang diterapkannya dalam al-Mustadrak. Dari pernyataan ini banyak sekali makna-makna
yang
mesti
ditafsirkan
dari
istilah-istilah
yang
digunakannya, seperti ruwatuha tsiqat „perawi terpercaya‟, bi mitsliha, menurut Fuqaha‟ al-Islam, dan al-ziyadah min al-tsiqah. Pernyataan di atas diuraikan oleh Abdurrahman sebagai berikut: a.
Ruwatuha Tsiqah Perawi tsiqah adalah perawi yang memiliki kapasitas intelektual yang baik serta kualitas pribadi yang sangat sempurna. Dalam bahasa lain, tsiqah adalah gabungan antara „adalah dan dhabit.5
b. Bi Mitsliha Makna dari kata “bi mitsliha” dapat berarti “seperti itu atau seumpamanya”. Kata ini merupakan „kunci‟ dalam memahami ijtihad al-Hakim. Beragam pendapat ulama Hadis mengenai kata alHakim ini. Ada yang memahami kata bi mitsiliha adalah Hadis yang benar-benar mengacu kepada perawi yang menjadi persyaratan Syaikhain. Pendapat lain memahami bahwa ungkapan al-Hakim “sesuai syarat Bukhari-Muslim atau salah satu keduanya” bukan 5
Penjelasan mengenai „adalah dan dhabit dalam dilihat antara lain buku M. Syuhudi Ismail “Kaedah Ke-Shahih-an Hadis
hanya rijal saja, tetapi juga mengacu kepada sifat-sifat yang sama dengan rijal Syaikhain. Kata bi mitsliha diterapkan oleh al-Hakim melalui ungkapan-ungkapan yang ia gunakan setelah meriwayatkan Hadis. Ungkapan-ungkapan itu, secara garis besar dikalsifikasikan dapat tiga bagian, yaitu:
هذا حديث صحيح على شرط الشيخين ولم يخرجاه او هذا حديث لم يخرج- 1 في الصحيحين ٖخزجا٠ ٌُٚ ٍُ ِسٚ اٜ شزط اٌثخارٍٝخ ع١ث صذ٠ ٘ذا دذ- 2 خ االئسٕاد١ث صذ٠ ٘ذا دذ3 Ungkapan pertama mengandung pengertian bahwa al-Hakim meriwayatkan Hadis berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim, artinya rijal Hadis tersebut digunakan dalam Shahihain. Hal ini dibenarkan oleh al-Dzahabi, karena dalam penelitiannya, separuh dari jumlah Hadis dalam al-Mustradrak memenuhi kriteria tersebut. Sedangkan ungkapan kedua menunjukkan bahwa rijal Hadis dalam al-Mustadrak diambil oleh Bukhari dan Muslim. Namun, pernyataan ini dibantah oleh al-Dzahabi. Menurutnya, setiap apa yang dinyatakan oleh al-Hakim benar, jika sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Bukhari dan Muslim. Masih menurut al-Dzahabi, rijal Hadis yang dinyatakan oleh al-Hakim memenuhi persyaratan Syaikhain, ternyata memenuhi salah satu keduanya. Ketidaktepatan pernyataan al-Hakim tersebut, ditemukan oleh al-Dzahabi ketika ia meneliti Hadis berikut :
حدثنا أبو عبد هللا دمحم بن يعقوب احلااظ ثنا أمحد بن النضر بن عبد الوىاب ثنا دمحم بن بكر املقدمي ثنا اضيل بن سليمان ثنا موسى بن عقبة مسع عبيد هللا بن سليمان عن أبيو
: عن أيب أيوب اانصاري ر ي هللا عنو قال
ما من عبد يعبد هللا و ال يشرك بو شيئا و يقيم: قال رسول هللا صلى هللا عليو و سلم:
: ما الكبائر ؟ قال: اسألوه: الص ة و يؤيت اللكاة و جي نب الكبائر إال دخل اجلنة قال
ااشراك ابهلل و الفرار من اللحف و ق ل النفس
6
ىذا حديث صحيح على شرط الشي ٌن و ال أعرف لو علة و مل خيرجاه
Dalam mata rantai sanad Hadis di atas, “Ubaid bin Sulaiman” yang menerima Hadis dari ayahnya, menurut al-Hakim, „Ubaid merupakan rijal Syaikhain, tetapi dibantah oleh al-Dzahabi. Karena menurutnya, hanya Bukhari saja yang memakai „Ubaid bin Sulaiman. Sedangkan ungkapan al-Hakim “Hadis ini sahih sanad”, menunjukkan bahwa Hadis yang dicantumkan tidak memenuhi kriteria Syaikhain, tetapi sesuai dengan persyaratan al-Hakim sendiri (Abdurrahman, 2000 : 96-97). c.
Menurut Fuqaha’ al-Islam. Dalam penerapannya, al-Hakim tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa apa bila suatu Hadis diriwayatkan oleh orang yang tsiqah dan memenuhi kriteria Bukhari dan Muslim, maka Hadis itu sudah memenuhi ketentuan Fuqaha‟. Ia sendiri tidak menjelaskan baik dalam ilmu Hadisnya Ma‟rifah fi „Ulum al-Hadits dan alMadkhal maupun dalam al-Mustadrak itu sendiri, tentang ke-shahihan Hadis menurut Fuqaha‟. Pernyataan al-Hakim ini kemudian memuncul pertanyaan, apakah ia menggunakan standar ganda dalam menentukan status sebuah Hadis. Sementara antara ahli Hadis dan Fuqaha‟ memiliki perbedaan dalam menetapkan ke-shahih-an suatu Hadis, dimana ahli Hadis cendrung lebih ketat dalam menilai suatu Hadis, sedangkan Fuqaha‟ lebih tasahul.
d. Al-Ziyadah min al-Tsiqah Konsep al-ziyadah min al-tsiqah pada dasarnya adalah tambahan yang digunakan seorang rawi yang tsiqah, namun tidak diterdapat dalam riwayat tsiqah yang lain. Dalam pandangan Ibn Katsir, ziyadah tsiqah merupakan perbedaan persepsi antara Fuqaha‟ dan ahli Hadisa. Mayoritas ahli fikih mentolerir, sementara ahli
6
Lihat al-Mustadrak jilid I Hadis yang ke-60
Hadis tidak menerimanya. Sementara al-Hakim sendiri dalam alMustadrak-nya, memperkuat keberadaan konsep ini. Contoh penerapan konsep ini dapat ditemukan dalam al-Mustadrak, yakni:
ثنا عبيد بن شريك ثنا: حدثنا أبو بكر بن إسحاق و أبو بكر بن سلمان الفقيهان قاال حيٍن بن بكًن ثنا الليث حدثين دمحم بن عج ن عن القعقاع بن حكيم عن أيب صاحل عن أيب
املسلم من سلم املسلمون من لسانو و: أن رسول هللا صلى هللا عليو و سلم قال: ىريرة يده و املؤمنون من أمنو الناس على دمائهم و أمواهلم
املسلم من سلم املسلمون من لسانو و يده و مل: قد اتفقا على إخراج طرف حديث 7
خيرجا ىذه الل دة و ىي صحيحة على شرط مسلم
Pada contoh di atas dapat diketahui pernyataaan al-Hakim bahwa Syaikhain tidak mencantumkan tambahan kata al-Mu‟min sampai akhir Hadis ini. Sementara itu, dalam kitab-kitab Hadis yang lain banyak ditemukan teks Hadis yang sama dengan apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim di atas. Oleh karena itu, al-Hakim menerima konsep ziyadah tsiqah dan menerapkannya dalam kitab alMustadrak. 2.
Prinsip Status Sanad Kajian terhadap sanad Hadis selanjutnya akan menentukan terhadap status suatu Hadis. Dalam menentukan keakuratan suatu rangkaian sanad, muncul konsep-konsep yang menunjukkan indentitas sebuah sanad, apakah sahih, hasan, dan dha‟if. Konsep-konsep keshahih-an sanad, misalnya, diantaranya, Ashahhu al-Asanid, Atsbatu alAsanid, Ajallu al-Asanid, Aqawa al-Asanid,. Tingkatan konsep keshahih-an sanad menurut al-Hakim ditentukan oleh rijal Hadis itu. AlHakim sendiri telah menetapkan rijal sebuah Hadis yang masuk dalam kategori Ashahhu al-Asanid. Baginya, orang-orang yang termasuk Ashahhu al-asanid, jika jalurnya melalui ahli bait adalah Ja‟far bin Muhmmad melalui ayahnya dari kakeknya „Ali bin Abi Thalib. Jika Hadis diterima dari jalur Abu Bakar, maka sanad yang paling sahih adalah melalui Isma‟il bin Abi Khalid, dari Qays bin Abi Hazim
7
Al-Mustadrak jilid I Hadis ke-22
(Abdurrahman, 2000 : 109). Demikian ijtihad al-Hakim dalam menentukan status sanad Hadis. 3.
Prinsip Status Matan Prinsip ini secara tegas dikemukakan oleh al-Hakim dalam bukunya Ma‟rifah fi „Ulum al-Hadits sebagai berikut:
وشزج اٌسّاعٚ اٌذفظٚ ُٙعزف تاٌف٠ أّاٚ ٗت٠اٚعزف تز٠ خ ال١اْ اٌصذ Sesungguhnya
Hadis
sahih itu tidak hanya diketahui
dengan
berdasarkan riwayat saja, melainkan dengan pemahan, hafalan, dan banyak mendengar (Al-Hakim, 1977: 59-60) Pernyataan al-Hakim di atas adalah indikasi bahwa dalam mempertimbangkan status sebuah Hadis, banyak hal yang dikaji oleh ulama Hadis untuk mengetahui „illah-nya, apakah terdapat disanad atau matan Hadis. Prinsip ini kemudian melahirkan berbagai konsep, seperti rajah-marjuh, nasikh-mansukh, maqlub,mudraj, dan mudltharib. Untuk mengetahui ke-shahih-an suatu matan Hadis misalnya, dilakukan komparasi antara satu Hadis dengan Hadis lainnya, bahkan juga matan Hadis dengan al-Qur‟an. Jika Nampak adanya kontradiktif antar teks Hadis tersebut, maka salah satunya dha‟if dan tidak bisa dijadikan hujjah (Abdurrahman, 2000 : 114-116). Bahkan hasil komparasi juga menunjukkan adanya nasikh-mansukh antar keduanya. 4.
Kriteria Kritik Sanad Kritik sanad dalam kajian ilmu Hadis adalah berkaitan dengan cara menggunakan ungkapan jarh untuk menilai perawi Hadis. Perbedaan dalam menggunakan ungkapan jarh melahirkan berbagai madzhab atau kecendrungan dalam mengkritik rijal Hadis. Kecendrungan itu dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama adalah tasyaddud, dengan tokoh-tokohnya, seperti Ibn Ma‟in, „Ali bin Madini, dan alBukhari. Kedua, mutawassith, dan tokohnya, Imam Ahmad. Ketiga, mutasahil, yaitu Ibn Khuzaimah, Ibn Hibban, Abu Hatim, dan al-Hakim. Perbedaan kritik sanad akibat perbedaan sudut pandang serta topik-topik yang dikandung Hadis. Prinsip yang dipedomani oleh ulama Hadis
berkaitan dengan akidah, ibadah mahdhah, muamalah adalah tasyaddud (ketat) dalam menilai rijal. Sedangkan berkaitan dengan fadhail „amal, targhib wa tarhib sedikit longgar (tasahul). Prinsip ini diterapkan oleh al-Hakim ketika akan menentukan status Hadis. Ia menggunakan prinsip yang amat ketat (tasyaddud) terhadap Hadis-hadis yang berkaitan dengan akidah dan syari‟ah, smentara terhadap Hadis-hadis yang berhubungan dengan fadilah amal, sejarah Rasul, sejarah para nabi-nabi terdahulu, dan para sahabat, al-Hakim cendrung agak longgar (tasahul) (Najwah, 2003 : 250).
E. Pandangan Ulama Terhadap Al-Hakim dan Al-Mustadrak Seperti karya lainnya, kitab al-Mustadrak tidak lepas dari kritikan baik yang bernada memuji dan maupun yang bernada menghujat. Pujian itu terutama ditujukan kepada pribadi al-Hakim sendiri. Muhammad al-Dzahabi, misalnya, dalam bukunya Siyar „Alam al-Nubala‟ menyatakan al-Hakim sebagai “al-Imam al-Hafidz, al-Naqid „ahli kritik‟, al‟Allamah, Syaikh alMuhadditsin, dan Shahibu al-Tashanif„ (muqaddimah kitab al-Mustadrak). Dalam bukunya Tadzkiratu al-Haffadz, al-Dzahabi memberikan pernyataan “al-Hafidz al-Kabir, Imam al-Muhaddtsin. Masih dalam buku yang sama pada halaman yang berbeda, ia juga menyatakan “ Abu „Abdullah al-Hakim adalah Imam ahli Hadis, orang yang paling tahu tentang ilmu Hadis” (muqaddimah kitab al-Mustadrak). Komentar-komentar di atas menunjukkan bahwa kepiawaian al-Hakim dalam kajian Hadis dan Ilmu Hadis tidak diragukan lagi. Bahkan beberapa karyanya, seperti kitab alMadkhal ila al-Iklil dan Ma‟rifah „Ulum al-Hadits menjadi referensi dalam menentukan status rijal dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan sanad dan matan Hadis. Meskipun demikian, kitabnya al-Mustadrak tidak lepas dari berbagai kekurangan yang menyebabkan ia mendapat “lemparan” kritikan yang sangat tajam. Dalam penilaian sebagian ahli Hadis, kesalahan yang terdapat dalam al-Mustadrak karena faktor usia yang cukup tua. Selain itu, al-
Hakim tidak sempat meneliti kembali Hadis-hadis dalam al-Mustadrak karena kematian yang menjemputnya. Dalam catatan Nunun Najwah, ada beberapa kritikus Hadis yang memberikan penilaian terhadap kitab al-Mustadrak. Mereka itu adalah : 1.
Al-Baihaqi: ia tidak setuju bahwa al-Mustadrak memuat Hadis-hadis yang memenuhi persyaratan Bukhari dan Muslim.
2.
Abu Sa‟id al-Malini: ia menyatakan bahwa dalam al-Mustadrak tidak ada Hadis yang memenuhi persyaratan Syakhain. Bahkan ia mengatakan “aku telah meneliti al-Mustadrak dari awal sampai akhir, ternyata tidak ada satu pun Hadis yang memenuhi kriteria Syaikahin.
3.
Muhammad bin Thahir: ia menilai al-Hakim seorang pengikut Syi‟ah rafidhah, hanya berpura-pura sunni (Najwah, 2003 : 256).
4.
Al-Dzahabi: menurutnya, kritikan al-Malini terlelalu berlebih-lebihan. Dalam penelitiannya, separuh dari Hadis al-Mustadrak memenuhi kriteria Syaikhain atau Bukhari dan Muslim saja. Meskipun demikian, menurut al-Dzahabi, penyataan al-Hakim bahwa suatu Hadis memenuhi persyaratan Syaikhain, tidak bisa diterima begitu saja, karena ada Hadis yang dinyatakan „ala syarthi Syaikhain, ternyata hanya memenuhi krtiteria salah satu keduanya. Masih dalam pandangan al-Dzahabi, pengakuan al-Hakim bahwa Hadis yang dimuat dalam al-Mustadrak merupakan Hadis Shahih yang tidak terdapat dalam Shahihain, tidak dapat diterima sepenuhnya, karena ada Hadis yang sudah tercantum dalam Shahihain, tapi masih dimasukkan dalam al-Mustadrak. Dalam konteks ini, al-Dzahabi bekomentar “Hadis ini ada dalam Shahihain, tapi mengapa masih anda muat dalam kitab ini”.8
PENUTUP Al-Hakim al-Naisaburi merupakan salah seorang ahli Hadis yang hidup pada abad ke-4 Hijriyah pada masa pemerintahan Samaniyah. Kuatnya tradisi 8
Untuk lebih jelasnya komentar-komentar al-Dzahabi, bisa dilihat dalam catatan kaki kitab al-Mustadrak
intelektual kala itu ikut memicu al-Hakim untuk menyusun berbagai karya dalam kajian Hadis, salah satunya kitab al-Mustadrak. Al-Hakim mempunyai kriteria tersendiri dalam menilai status sebuah Hadis, yaitu ijtihad. Konsep ijtihad ini kemudian yang membedakan antara al-Hakim dengan ulama lainnya, khususnya tentang kriteria Syaikhain. Menurutnya, kriteria al-Syaikhain tidak mesti diriwayatkan secara utuh oleh rijal Syaikahin, tetapi dengan adanya kesamaan sifat-sifat rijal dalam sebuah Hadis, maka Hadis tersebut sudah memenuhi kriteria Syaikhain. Prinsip ijtihad ini kemudian diterapkan oleh al-Hakim dalam alMustadrak melalui ungkapan-ungkapan, seperti “Hadis ini sesuai dengan syarat Syaikhain, dan syarat Bukhari atau Muslim saja”. Selain metode ijtihad, al-Hakim juga menerapkan prinsip status sanad, prinsip status matan, dan kriteria kritik sanad dalam menilai sebuah Hadis. Metode yang digunakan oleh al-Hakim tersebut kemudian melahirkan standar ganda dalam menilai status Hadis. Sebagai konsekwensi dari penerapan prinsip ini menyebabkan ulama Hadis menilai al-Hakim tidak konsisten. Karena tasahul terhadap Hadis-hadis yang tidak berkaitan dengan persoalan akidah dan syari‟ah. Meskipun al-Hakim menyatakan bahwa kitab al-Mustadrak memuat Hadishadis yang memenuhi persyaratan Syaikhain, namun pernyataan itu tidak seluruhnya benar, karena tidak semua Hadis dalam al-Mustadrak bernilai Shahih. Bahkan menurut al-Dzahabi, Hadis shahih secara mutlak dalam kitab tersebut hanya sebanyak 1930 buah. Sementara yang sesuai dengan persyaratan Syaikahin 985 hadis. Terlepas dari segala kekurangannya, kitab al-Mustadrak merupakan sumbangan terbesar al-Hakim dalam pemikiran Hadis. al-Hakim telah merintis suatu wacana baru dalam meletakkan prinsip-prinsip ke-shahih-an sebuah Hadis bagi para pengkaji studi Hadis sesudahnya. Dengan demikian, upaya al-Hakim patut diberi apresiasi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M, Pergeseran Pemikiran Hadits ; Ijtihad al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits. Jakarta: Paramadina. 2000 Ali Hamid, Sa‟id bin „Abdullah. Manahij al-Muhadditsin. Riyadh: Dar „Ulum alSunnah. 1999. Bukhari, M. Ushu al-Hadits: Studi Kritis Ilmu Hadis. Padang: Azka. 2009. Al-Kattani, Ja‟far. al-Risalah al-Mustathrafah. Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah. t.th. Najwah, Nurun, “Al-Mustadrak „Ala al-Shahihain al-Hakim” dalam Studi Kitab Hadis. Yogyakarta: Teras. 2003. Al-Naisaburi, Al-Hakim. al-Mustadrak „Ala al-Shahihain. Jilid. I. Sudan: Dar alHaramian. 1997. Al-Naisaburi, Al-Hakim. al-Ma‟rifah fi „Ulum al-Hadits. Madinah: al-Maktabah al-„Ilmiyyah. 1977. Al-Thahhan, Mahmud. Ushul al-Takhrij wa Dirasatu al-Asanid. Terj. Ridwan Nasir. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1995.