Metoda Analisis Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan (Abdul Gaffar Tahir, Dwi Djono Hadi Darwanto dkk )
METODA ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN KEDELAI DI SULAWESI SELATAN Abdul Gaffar Tahir (1), Dwidjono Hadi Darwanto(2), Jangkung Handoyo Mulyo(2), dan Jamhari (2) 1. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan, KM. 17,5 Sudiang - Makassar 90242 2. Dosen Ekonomi Pertanian UGM Yogyakarta (2,) E-mail:
[email protected]
(Makalah diterima 14 April 2010 – Revisi Desember 2011)
ABSTRAK Penurunan harga riil kedelai dan persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya penurunan areal panen kedelai. Sementara laju permintaan kedelai yang meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan produksi dalam negeri, sehingga defisit meningkat dari 968 ribu ton (1998) menjadi 1,42 juta ton (2006) dan 1,45 juta ton pada tahun 2008 atau meningkat sebesar 8,74 persen per tahun. Penelitian efisiensi pemasaran kedelai dilakukan di Sulawesi Selatan pada tiga kabupaten, yaitu: Kabupaten Bone, Soppeng, dan Wajo. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan sebagai daerah sentra produksi kedelai. Adapun tujuan penelitian yaitu untuk menganalisis efisiensi pemasaran kedelai dan faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran kedelai di Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan April – Juni 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang sangat menentukan marjin pemasaran kedelai adalah harga di tingkat petani, jumlah tahap yang dilalui yaitu pada tahap III (saluran pemasaran 2 dan 4) kemudian diikuti oleh varietas kedelai, sedangkan volume rata-rata pemasaran kedelai, jarak dari rumah ke pasar, jumlah tahap yang dilalui pada tahap I (saluran 6), II (saluran 5 dan 7), dan IV (saluran 1 dan 3), serta lokasi pemasaran untuk wilayah Soppeng dan Wajo tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 90 persen terhadap marjin pemasaran. Selanjutnya diperoleh pula bahwa semakin panjang saluran atau semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kedelai, akan mengakibatkan semakin besar pula marjin pemasaran. Kata kunci : Efisiensi, kedelai, marjin pemasaran, pemasaran, saluran pemasaran.
ABSTRACT Efficiency analysis of soybean marketing in South Sulawesi The decrease on soybean’s real price and its competition with other crops in the usage of field is presumed as one of the causes of soybean’s harvest areal reduction. At the same time, there is a higher increasing on the demand of soybean compared to the production capability inside the country so that the deficit increases from 968,000 ton (1998) become 1.42 million ton (2006) and 1.45 million ton in 2008 or increases up to 8.74%/ year. A research on the efficiency of soy marketing in South Sulawesi is done in three areas; Bone, Soppeng and Wajo. Site selection is done on purpose (purposive sampling) with consideration of the central areas of soybean production. The
purpose of the study is to analyze the efficiency of marketing soybeans and the factors that influence soybean marketing margins in South Sulawesi. The study was conducted in AprilJune 2010. The results showed that the variables that determine the kedalai marketing margin is the price at the farm level, the number of stages through which is in phase III (marketing channels 2 and 4) followed by soybean varieties, while the average volume of soybean marketing, distance from home to market, the number of stages through which the first phase (line 6), II (channels 5 and 7), and IV (channels 1 and 3), as well as location marketing for the region and Wajo Soppeng no significant effect on the real level of 90 percent of the marketing margin . Subsequently obtained also that the longer the channel or the more marketing agencies who are involved in marketing of soybeans, will lead to greater the marketing margin.SimakBaca secara fonetik Key words : Efficiency, marketing, marketing link, marketing margin, soybean.
PENDAHULUAN Fluktuasi produksi kedelai lebih disebabkan karena tanaman semusim dengan skala usaha yang kecil. Usahatani kedelai dengan skala yang kecil dan tersebar (spatial) salah satu faktor penyebab tingginya biaya pengumpulan, sehingga fluktuasi produksi juga dibarengi dengan fluktuasi harga pasar. Selain hal tersebut di atas, petani umumnya berada dalam posisi tawar yang lemah, sehingga harga kedelai ditingkat petani lebih banyak ditentukan oleh pedagang. Karena tingkah laku para pedagang/ lembaga pembeli kedelai cenderung menentukan harga secara sepihak, keadaan harga pasar ini tidak dapat dinikmati oleh petani secara maksimal, dan secara tidak langsung berakibat kurang memberi insentif bagi petani untuk bergairah meningkatkan intensifikasi dalam pengelolaan usahataninya. Oleh karena itu, dalam pengembangannya diperlukan perbaikan pemasaran kedelai dari produsen hingga konsumen. Penurunan harga riil kedelai menjadi disinsentif yang menyebabkan terjadinya penurunan areal panen kedelai. Selain itu, persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya juga diduga merupakan salah
47
Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011 : 47 - 57
satu penyebab turunnya areal panen kedelai. Indikatornya ialah kenaikan harga riil jagung. Secara teoritis, kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk menanam komoditas tersebut. Konsekuensinya ialah bahwa kenaikan areal tanam jagung (sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan mengurangi areal tanam untuk kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama. Berdasarkan hal tersebut, maka laju permintaan kedelai yang meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan produksi dalam negeri menyebabkan defisit meningkat dari 968 ribu ton (1998) menjadi 1,42 juta ton (2006) dan 1,45 juta ton pada tahun 2008 atau meningkat sebesar 8,74 persen/tahun. Tingginya permintaan kedelai dalam negeri menyebabkan impor kedelai tetap berlangsung dalam jumlah yang besar, bukan saja disebabkan karena pertambahan jumlah penduduk dan penurunan luas areal tanam, tetapi juga akibat meningkatnya pendapatan masyarakat, serta berkembangnya industri makanan dan pakan yang menggunakan bahan baku kedelai terutama untuk industri peternakan ayam ras (Damardjati et al, 2005). Dilihat dari komposisinya, sekitar 59 persen dari total impor kedelai dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan industri tempe, tahu dan sejenisnya, serta sisanya berupa bungkil kedelai dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan industri pakan ternak (Adreng dan Purwanto, 1992). Menurut Sudaryanto (2005), konsumsi kedelai per kapita per tahun meningkat sekitar 160 persen dalam periode waktu 10 tahun dari tahun 1990 sampai dengan 2003. Konsumsi tahu dan tempe per kapita per tahun saja meningkat berturut-turut dari 3,8 kg dan 4,2 kg pada tahun 1999 menjadi 4,5 dan 4,9 kg pada tahun 2003. Oleh karena itu, maka diharapkan petani produsen dapat meningkatkan produksinya serta merangsang petani lain untuk berproduksi tanpa mengabaikan faktor kualitas dan permintaan pasar, sehingga kedelai akan mampu memenuhi permintaan pasar baik untuk konsumsi langsung maupun untuk memenuhi kebutuhan industri berbahan baku kedelai, yang pada gilirannya mampu tampil sebagai komoditis unggulan Sulawesi Selatan. Sulawesi Selatan sebagai salah satu wilayah program perluasan areal tanam melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) yang memiliki potensi sumberdaya lahan cukup baik di Indonesia Bagian Timur, sampai saat ini ternyata masih menunjukkan fenomena kesenjangan seperti yang dijelaskan di depan. Dalam kerangka keragaan usahatani kedelai yang dilakukan petani, fenomena tersebut menarik untuk diteliti yang berkaitan dengan bentuk saluran pemasaran, biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga 48
pemasaran, fungsi yang dilakukan oleh pedagang perantara yang ada dalam saluran pemasaran, serta faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran dengan memperhatikan struktur pasar, tingkah laku pasar dan efektivitas pasar guna perbaikan sistem pemasaran. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka analisis terhadap efisiensi pemasaran kedelai dan faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran kedelai sangat penting untuk dilakukan, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh suatu kesimpulan yang dapat dijadikan acuan untuk membuat kebijakan yang terkait dengan kinerja pemasaran yang dapat berdampak pada pengembangan usahatani kedelai di Sulawesi Selatan. METODOLOGI Lokasi Penelitian dan Sumber Data Penelitian ini dilaksanakan di Sulawesi Selatan (Kabupaten Bone, Soppeng, dan Wajo). Pemilihan ketiga lokasi tersebut didasarkan, antara lain : merupakan sentra produksi kedelai di Sulawesi Selatan atau sekitar 61,8 % dari total luas panen lahan kedelai (17.721 ha); dan di lokasi tersebut terdapat petani kedelai yang memiliki keragaman sosial, ekonomi, dan variasi tingkat kepemilikan lahan usahatani kedelai. Pengumpulan data primer dilakukan selama 3 (tiga) bulan, yaitu mulai dari April sampai Juni 2010 dengan mengumpulkan data musim tanam tahun sebelumnya dan musim tanam tahun yang berjalan, dengan metode survey. Menurut (Singarimbun dan Effendi, 1989; Supranto, 1997; dan Subiyanto, 2000) bahwa penelitian dengan teknik survey adalah penelitian yang bersifat deskriptif untuk menguraikan suatu keadaan tanpa melakukan perubahan terhadap variabel tertentu. Pendekatan survey dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan deskriptif yang bersifat obyektif tentang: saluran pemasaran, efisiensi pemasaran, marjin pemasaran, dan elastisitas transmisi harga, dan lain-lain. Teknik Sampling dan Penentuan Jumlah Sampel Selain mewawancarai petani kedelai, juga dilakukan wawancara kepada pedagang kedelai secara snowball sampling, dengan mengikuti saluran pemasaran yang dilalui oleh komoditi kedelai, yakni dari produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar sampai ke konsumen akhir. Pengambilan dengan cara snowball sampling adalah pengambilan sampel yang diawali dari kelompok kecil yang selanjutnya kelompok kecil tersebut diminta menunjukkan sampel
Metoda Analisis Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan (Abdul Gaffar Tahir, Dwi Djono Hadi Darwanto dkk )
berikutnya dan seterusnya sehingga sampel tersebut bertambah besar seperti bola salju (Suratno dan Arsyad, 1999). Teknik pengumpulan data menggunakan tiga macam cara, yaitu teknik observasi, wawancara dan pencatatan. Teknik observasi, merupakan cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan peninjauan langsung secara cermat dan sistematik baik secara partisipatif maupun non partisipatif pada obyek penelitian. Teknik wawancara, yaitu cara pengumpulan data dengan bertanya langsung atau berdialog dengan responden. Proses wawancara dilakukan dengan menggunakan alat pengumpulan data berupa daftar pertanyaan (kuesioner) terstruktur, hal ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang terarah dan sesuai (Suratno dan Arsyad, 1999). Teknik pencatatan merupakan pengumpulan data dengan mencatat semua data yang diperlukan. Asumsi dan Pembatasan Masalah Pembahasan pemasaran pada penelitian ini dibatasi sampai pada: 1) pemasaran kedelai sampai dengan konsumen akhir; 2) tingkat harga yang berlaku adalah tingkat harga pada saat penelitian dan 3) mutu kedelai dianggap sama antara kedelai yang dibeli oleh pedagang perantara dengan konsumen. Metode Analisis Data Analisis dilakukan untuk mengetahui besarnya persentase bagian harga yang diterima petani kedelai dari marjin pemasaran kedelai yaitu harga yang diterima petani kedelai dan harga yang dibayarkan pedagang pengecer dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Sf
Pf Pr
x100% ……........................................... (1)
Dimana : Sf = bagian (share) yang diterima petani kedelai (%) Pf = harga rata-rata kedelai di tingkat produsen (Rp/ kg) Pr = harga rata-rata kedelai ditingkat pengecer (Rp/kg) Kemudian dianalisis dengan cara menghitung besarnya persentase bagian harga yang diterima petani (share petani), pada tiap-tiap saluran pemasaran, berdasarkan rasio harga di tingkat petani dan di tingkat pengecer. Sehingga dapat diketahui besarnya rata-rata bagian harga yang telah diterima petani, pada tiap-tiap lembaga pemasaran dan saluran pemasarannya. Menurut Kohl dan Uhl (1980) dan Mahreda (2002), jika
share yang diterima petani lebih kecil dari 50%, maka dapat dikatakan sistem pemasaran belum efisien. Pengujian tentang perbedaan tingkat keuntungan rata-rata yang diperoleh tiap-tiap lembaga pemasaran kedelai, pada tiap-tiap saluran pemasaran. Diduga keuntungan tiap-tiap pedagang per kilogram kedelai yang dijual tertinggi diterima oleh pedagang pengecer, dan keuntungan rata-rata tertinggi tersebut berada pada saluran yang pendek. Meskipun, umumnya volume penjualannya lebih kecil dibandingkan dengan volume penjualan pedagang pengumpul dan pengecer, walaupun keuntungan per kilogram kedelai lebih besar. Pemecahan masalah ini, diselesaikan dengan menggunakan data marjin pemasaran kedelai dan biaya pemasaran kedelai pada tiap-tiap lembaga pemasaran kedelai yang terjadi. Untuk mengetahui besarnya elastisitas transmisi harga (eth) digunakan persamaan, adalah : Eth =
Pr Pf ...............................................(2) x P f Pr
Elastisitas transmisi harga digunakan untuk mengetahui hubungan antara harga di tingkat produsen dengan harga di tingkat pengecer. Dari hubungan tersebut secara tidak langsung dapat diperkirakan tingkat keefektifan suatu informasi pasar, bentuk struktur pasar dan efisiensi sistem pemasaran kedelai. Untuk mengetahui besarnya elastisitas transmisi harga (eth) digunakan persamaan dengan menghubungkan antara harga di tingkat produsen (P f) dan harga ditingkat pengecer (P r) maka dapat diasumsikan linear dengan nilai koefisiennya dalam bentuk logaritma natural (Ln) menghasilkan persamaan regresi linear berganda (multiple linear regression) sebagai berikut:
ln Pf ln 0 ln Pr u06 .............................. (3). Dimana : Pf = harga rata-rata kedelai di tingkat petani (Rp/kg) áo = intercept/konstanta á = koefisien elastisitas transmisi harga Pr = harga rata-rata kedelai ditingkat pengecer (Rp/kg) u = kesalahan pengganggu (disturbance error) Pengujian terhadap koefisien regresi secara individual (parsial) digunakan uji-t dengan tingkat kepercayaan tertentu yaitu untuk mengetahui pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Dengan hipotesis : Ho : 0, berarti tidak terdapat transmisi harga. H1 : ± 0, berarti terdapat transmisi harga.
49
Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011 : 47 - 57
Kriteria pengambilan keputusannya adalah : 1.Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak dan menerima H1 yang berarti terdapat transmisi harga. 2.Jika t-hitung d” t-tabel, maka H0 diterima dan menolak H1 yang berarti tidak terdapat transmisi harga. Untuk mengetahui besarnya marjin pemasaran kedelai yang merupakan selisih antara harga di tingkat pedagang pengecer dengan harga di tingkat petani menurut Sudiyono (2004) dapat dihitung dengan menggunakan rumus : MP = Pr – Pf ............................................................... (4) Dimana : MP = marjin pemasaran kedelai (Rp/kg) = harga rata-rata kedelai di tingkat pedagang Pr pengecer (Rp) = harga rata-rata kedelai di tingkat produsen Pf (Rp) Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran kedelai digunakan analisis regresi berganda dengan bentuk fungsi linear yang menghubungkan koefisien marjin dengan variabel bebas : harga di tingkat produsen, volume pemasaran kedelai, dan jumlah tahap yang dilalui dengan model sebagai berikut. MP e0 e1Q s e2 JRP 1 DTP1 2 DTP2 3 DTP3 4 DTP4 5 DLPB 6 DLPS 7 DV u07 .........................................(5) Dimana : MP
= marjin pemasaran kedelai (Rp/kg)
QS
= volume rata-rata pemasaran kedelai (kg)
JRP
= Jarak dari rumah ke pedagang/pasar (km)
DTP 1
= dummy jumlah tahap yang dilalui (D TP1 = 1, tahap I;
DTP 2
= dummy jumlah tahap yang dilalui (D TP2 = 1, tahap
DTP 3
= dummy jumlah tahap yang dilalui (D TP3 = 1, tahap
DTP 4
= dummy jumlah tahap yang dilalui (D TP4 = 1, tahap
DTP1 = 0, lainnya) II; DTP2 = 0, lainnya)
Untuk menguji besarnya proporsi/persentase sumbangan dari variabel bebas, maka dicari koefisien determinasi atas nilai R2. Untuk mengetahui pengaruh variabel independen (X) terhadap variabel dependen (Y) secara bersama-sama, maka dilakukan uji-F. Dengan hipotesis : H0 : e1 = e2 = ä 1 = ....... = ä 4 = 0, berarti tidak terdapat pengaruh variabel independen ke-i secara bersamasama terhadap marjin pemasaran kedelai. H1 : minimal salah satu : ei; ä i ¹ 0, berarti terdapat pengaruh variabel independen ke-i secara bersamasama terhadap marjin pemasaran kedelai. Kriteria pengambilan keputusan adalah: jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak dan menerima H1 yang berarti variabel independen ke-i secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap marjin pemasaran kedelai, sebaliknya jika F-hitung F-tabel, maka H0 diterima dan menolak H1 yang berarti variabel independen ke-i secara bersama-sama tidak berpengaruh nyata terhadap marjin pemasaran kedelai. Untuk mengetahui pengaruh variabel independen kei secara individual terhadap variabel dependen (Y) dilakukan uji-t. Dengan hipotesis : H0 : ei, ä i = 0, berarti tidak terdapat pengaruh variabel independen ke-i secara individual terhadap marjin pemasaran kedelai. H1 : ei,ä i 0, berarti terdapat pengaruh variabel independen ke-i secara individual terhadap marjin pemasaran kedelai. Kriteria pengambilan keputusannya adalah: jika thitung > t-tabel, maka H0 ditolak dan menerima H1 yang berarti variabel independen ke-i secara individual berpengaruh nyata terhadap marjin pemasaran kedelai, sedangkan jika t-hitung t-tabel, maka H0 diterima dan menolak H1 yang berarti variabel independen ke-i secara individual tidak berpengaruh nyata terhadap marjin pemasaran kedelai.
III; DTP3 = 0, lainnya)
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV; DTP4 = 0, lainnya) DLP 1
= dummy lokasi pemasaran (D LP1 = 1, Bone; DLP1 = 0,
Saluran Pemasaran
lainnya) DLP 2
= dummy lokasi pemasaran (D LP2 = 1, Soppeng; D LP2 = 0, lainnya)
DV
= dummy varietas (D V = 1, varietas unggul; D V = 0, lainnya)
eo
= intercept/konstanta
ei
= koefisien arah regresi variabel bebas
ä1..ä7
= koefisien dummy
u
= kesalahan pengganggu (disturbance error)
50
Di daerah penelitian, kedelai biasanya dijual dalam bentuk kedelai kering pipilan (KKP) sehingga tidak mengalami proses pengolahan menjadi berbagai bentuk lainnya. Namun di ibukota kabupaten dan propinsi, kedelai diolah menjadi berbagai bentuk penanganan termasuk tahu, tempe, dan sebagainya. Adapun jumlah tahap pemasaran kedelai dapat dilihat sebagai berikut :
Metoda Analisis Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan (Abdul Gaffar Tahir, Dwi Djono Hadi Darwanto dkk )
Saluran I
Produsen
PPD
PPK
PPKB
Saluran II
Produsen
PPD
PPKB
PB
Saluran III
Produsen
PPD
PPK
PrKB
Saluran IV
Produsen
PPD
PrKC
PTT
Saluran V
Produsen
PPD
PTT
Saluran VI
Produsen
PTT
Saluran VII
Produsen
PrKC
Keterangan PPD = PrKC = PPK = PTT = PrKB = PPKB = PB = PrPv =
PB
Tabel 1. Perkembangan harga kedelai dari produsen sampai ke pedagang besar (Propinsi) melalui Saluran I, di lokasi penelitian, 2010.
PrPv
PrPv
: pedagang pengumpul di tingkat desa pedagang pengecer kecamatan pedagang pengumpul di tingkat kecamatan pengrajin tahu dan tempe pedagang pengecer kabupaten pedagang pengumpul di tingkat kabupaten pedagang besar di tingkat propinsi pedagang pengecer propinsi
Perkembangan Harga Kedelai Bentuk saluran pemasaran masing-masing kabupaten adalah sama, dimana bentuk pemasaran tersebut sama dari setiap tahap yang dilalui. Untuk mendapatkan keuntungan, seringkali pedagang pengumpul di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten menekan harga di tingkat produsen (petani), sehingga petani memperoleh bagian harga yang relatif rendah. Tabel 1. menunjukkan bahwa persentase perbandingan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayar konsumen akhir (bagian petani) sebesar 75,46 persen (Bone), 75,15 persen (Soppeng), dan 75,00 persen (Wajo). Sementara total biaya yang dikeluarkan oleh semua lembaga pemasaran pada saluran ini sebesar Rp1.000 per kilogram (Bone); Rp 1.038 per kilogram (Soppeng); dan Rp1.035 per kilogram (Wajo), dan total keuntungan yang diperoleh semua lembaga pemasaran untuk saluran pemasaran ini adalah Rp 1.000 per kilogram (Bone); Rp 1.013 per kilogram (Soppeng); dan Rp 1.015 per kilogram (Wajo).
Sumber : Analisis Data Primer
Pada Tabel 2 diketahui bahwa bagian harga yang diterima petani pada saluran II yang juga merupakan saluran panjang adalah 75,46 persen (Bone), 75,15 persen (Soppeng), dan 75,00 persen (Wajo) sehingga tidak berbeda jauh dengan saluran I. Berhubung masih merupakan saluran panjang, maka harga di tingkat petani masih tetap ditekan sehingga bagian harga yang diterima petani masih lebih rendah dibandingkan dengan bagian harga yang diterima petani pada saluran pendek. Pada tabel tersebut terlihat bahwa biaya yang terbesar dikeluarkan oleh pedagang adalah pedagang pengumpul di tingkat kabupaten (PPKB) di kabupaten Soppeng, hal ini disebabkan karena petani kedelai terpencar-pencar dengan kondisi jalan yang kurang bagus sehingga biaya transportasi yang dikeluarkan oleh pedagang pengumpul di tingkat desa cukup tinggi. Sedangkan keuntungan yang terbesar berada di Kabupaten Bone dan Wajo yang didapat oleh pedagang pengumpul di tingkat kabupaten (PPKB), hal ini disebabkan karena pada umumnya pedagang pengumpul di tingkat desa (PPD) langsung menjual ke ibukota kabupaten dengan biaya transportasi yang sedikit lebih murah jika dibandingkan dengan biaya transportasi di Kabupaten Soppeng. Sementara total biaya yang dikeluarkan oleh semua lembaga pemasaran pada saluran ini sebesar Rp1.000 per kilogram (Bone); Rp 1.125 per kilogram (Soppeng); dan Rp 1.000 per kilogram (Wajo), dan total keuntungan yang diperoleh semua lembaga pemasaran untuk saluran pemasaran ini adalah Rp 1.000 per kilogram (Bone); Rp 925 per kilogram (Soppeng); dan Rp 1.050 per kilogram (Wajo).
51
Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011 : 47 - 57
Tabel 2. Perkembangan harga kedelai dari produsen sampai ke pedagang besar (propinsi) melalui Saluran II, di lokasi penelitian, 2010.
Sumber : Analisis Data Primer
Pada Tabel 3 terlihat bahwa bagian harga yang diterima petani pada saluran III yang merupakan saluran sedang adalah 72,57 persen (Bone), 73,16 persen (Soppeng), dan 72,57 persen (Wajo). Karena merupakan saluran sedang, maka harga di tingkat petani masih belum mengalami peningkatan, hanya saja keuntungan yang diterima oleh pedagang pengecer di tingkat kecamatan (PrKC) di Kabupaten Wajo, jauh lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh pedagang pengumpul di tingkat desa, kabupaten, dan propinsi. Hal ini dapat dipahami bahwa jarak dari ibukota kecamatan ke desa saling berdekatan sehingga biaya transportasi lebih murah dibanding dengan biaya transportasi di Kabupaten Bone dan Soppeng antar kecamatan dan desa. Total biaya yang dikeluarkan oleh semua lembaga pemasaran pada saluran ini sebesar Rp 1.150 per kilogram di Kabupaten Bone dan Rp. 1.125 di Kabupaten Soppeng, serta Rp 1.150 per kilogram di Kabupaten Wajo, dan total keuntungan yang diperoleh semua lembaga pemasaran untuk saluran pemasaran ini adalah Rp 1.175 per kilogram (Bone); Rp 1.150 per kilogram (Soppeng); dan Rp 1.175 per kilogram (Wajo). Tabel 3. Perkembangan harga kedelai dari produsen sampai ke pedagang pengecer (propinsi) melalui Saluran III, di lokasi penelitian, 2010.
Sumber : Analisis Data Primer
52
Sedangkan persentase biaya yang terbesar pada saluran pemasaran ini adalah pedagang pengecer di tingkat propinsi (PrPv) dengan jalur pembelian di Kabupaten Bone dan Wajo sebesar 4,13 persen, dan keuntungan terbesar diperoleh pedagang pengecer di tingkat kabupaten di Kabupaten Wajo sebesar 4,79 persen. Pada Tabel 4 terlihat bahwa bagian harga yang diterima petani pada saluran IV yang merupakan saluran sedang adalah 81,47 persen (Bone), 81,05 persen (Soppeng), dan 79,87 persen (Wajo), merupakan saluran sedang, sehingga harga di tingkat petani sedikit mengalami peningkatan dibandingkan dengan saluran pemasaran sebelumnya (I, II, dan III), hanya saja keuntungan yang diterima oleh pedagang pengecer tingkat kecamatan (PrKC) lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh pedagang pengumpul di tingkat desa. Tabel 4. Perkembangan harga kedelai dari produsen sampai ke pedagang pengecer di tingkat kecamatan melalui Saluran IV, di lokasi penelitian, 2010.
Sumber : Analisis Data Primer
Total biaya yang dikeluarkan oleh semua lembaga pemasaran pada saluran ini sebesar Rp 800 per kilogram (Bone); Rp 775 per kilogram (Soppeng); dan Rp 950 per kilogram (Wajo), sedangkan total keuntungan yang diperoleh semua lembaga pemasaran untuk saluran pemasaran ini adalah Rp 625 per kilogram (Bone); Rp 675 per kilogram; dan Rp 600 per kilogram (Wajo).
Metoda Analisis Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan (Abdul Gaffar Tahir, Dwi Djono Hadi Darwanto dkk )
Tabel 5. Perkembangan harga kedelai dari produsen sampai ke pengrajin tahu/tempe (kabupaten) melalui Saluran V, di lokasi penelitian, 2010.
Sumber : Analisis Data Primer
Pada Tabel 5 terlihat bahwa bagian harga yang diterima petani pada saluran V yang merupakan saluran pendek adalah 86,01 persen (Bone), 84,83 persen (Soppeng), dan 84,83 persen (Wajo). Karena merupakan saluran pendek, maka persentase harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan dengan persentase harga yang diterima petani pada saluran pemasaran sebelumnya. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan oleh semua lembaga pemasaran pada saluran ini sebesar Rp 750 per kilogram (Bone); Rp 800 per kilogram (Soppeng) dan Rp.850 per kilogram (Wajo), dan total keuntungan yang diperoleh pedagang pengumpul di tingkat desa (PPD) adalah sebesar Rp 250 per kilogram (Bone dan Wajo), serta Rp.300 per kilogram (Soppeng), sedangkan keuntungan yang diterima oleh pengrajin tahu dan tempe di dalam penelitian ini tidak ditelusuri.
oleh semua lembaga pemasaran pada saluran ini sebesar Rp 750 per kilogram (Bone dan Wajo) dan Rp 700 per kilogram (Soppeng), sedangkan total keuntungan yang diterima oleh pengrajin tahu dan tempe di dalam penelitian ini tidak ditelusuri. Pada Tabel 7 terlihat bahwa bagian harga yang diterima petani pada saluran VII yang merupakan saluran pendek adalah 70,80 persen (Bone), 71,98 persen (Soppeng), dan 71,98 persen (Wajo). Persentase harga yang diterima petani lebih rendah jika dibandingkan dengan persentase harga yang diterima oleh petani pada saluran pemasaran sebelumnya . Hal ini disebabkan karena harga yang diterima oleh petani sangat ditentukan oleh pedagang pengecer di tingkat kecamatan yang merupakan perpanjangan tangan dari pedagang pengecer tingkat propinsi, sehingga biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing pedagang yang terlibat cukup tinggi, akibatnya harga yang diterima oleh petani sangat rendah jika dibandingkan dengan harga penjualan oleh pedagang pengecer di tingkat kecamatan dan propinsi, namun keuntungan yang diterima oleh pedagang pengecer pada saluran pemasaran ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diterima oleh pedagang pengecer lainnya yang ada pada saluran pemasaran sebelumnya. Tabel 7. Perkembangan harga kedelai dari produsen sampai ke pedagang pengecer di tingkat propinsi melalui Saluran VII, di lokasi penelitian, 2010.
Tabel 6. Perkembangan harga kedelai dari produsen sampai ke pengrajin tahu/tempe (kabupaten) melalui Saluran VI, di lokasi penelitian, 2010. Sumber : Analisis Data Primer
Biaya Pemasaran
Sumber : Analisis Data Primer
Pada Tabel 6 terlihat bahwa bagian harga yang diterima petani pada saluran VI yang merupakan saluran pendek adalah 88,89 persen (Bone), 89,71 persen (Soppeng), dan 89,05 persen (Wajo). Karena merupakan saluran pendek, maka persentase harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan dengan persentase harga yang diterima oleh petani pada saluran pemasaran sebelumnya. Sedangkan total biaya yang dikeluarkan
Pedagang perantara mengeluarkan biaya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan pemasaran kedelai hingga ke konsumen. Besarnya biaya yang dikeluarkan bagi tiap-tiap saluran pemasaran selalu berbeda-beda. Dengan demikian semakin panjang saluran pemasaran maka jumlah biaya yang dikeluarkan akan semakin bertambah. Hasil analisis menunjukkan bahwa biaya pemasaran yang paling banyak ada pada saluran VII yang merupakan saluran pendek. Sementara pada saluran IV, V, dan VI yang merupakan saluran pemasaran pendek lebih rendah dibandingkan dengan saluran I, II, III, dan VII.
53
Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011 : 47 - 57
Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pedagang perantara tersebut bermacam-macam tergantung pada tingkat usahanya. Selanjutnya kegiatan pemasaran yang membutuhkan biaya yang besar adalah pengrajin tahu dan tempe, kemudian menyusul pedagang pengecer di tingkat kecamatan (PrKC) dan propinsi (PrPv), hal ini disebabkan karena masing-masing pedagang tersebut umumnya langsung ke petani sehingga membutuhkan biaya yang besar, karena petani umumnya terpencar-pencar. Bagian Harga yang Diterima Petani Hasil analisis menunjukkan bahwa share tertinggi yang diterima petani dari saluran I s.d saluran VII adalah melalui saluran IV yaitu :Produsen Pedagang pengumpul tingkat desa à Pedagang pengecer tingkat kecamatan (PrKC) Pengrajin tahu dan tempe (PTT). Jadi dapat dikatakan bahwa lebih menguntungkan jika petani menjual produksinya langsung ke pedagang pengumpul tingkat desa kemudian ke pedagang pengecer kecamatan dan pengrajin tahu dan tempe atau langsung ke industri yang berbahan baku kedelai, namun karena banyak dari petani yang tidak mempunyai modal yang cukup maka mereka menjual produksinya kepada pengrajin tahu dan tempe dengan sistem ijon (borongan) yaitu menjual produksinya sebelum panen. Adapun besarnya bagian harga yang diterima masing-masing lembaga pemasaran pada setiap saluran pemasaran diperoleh data bahwa hampir semua saluran pemasaran di lokasi penelitian, bagian harga yang diterima pedagang pengecer di tingkat propinsi lebih besar dibandingkan dengan pedagang lainnya. Menurut Mubyarto (1987) bahwa sistem pemasaran dianggap efisien apabila mampu menyampaikan hasil dari produsen kepada konsumen dengan biaya serendah-rendahnya dan mampu mengadakan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan pemasaran. Bagian Biaya dan Keuntungan Lembaga Pemasaran Persentase rata-rata bagian keuntungan (%BK) tertinggi diterima oleh pedagang pengecer tingkat kecamatan (PrKC) di Kabupaten Bone sebesar 6,72 persen atau Rp 513 per kilogram dan persentase bagian keuntungan (%BK) terendah diterima oleh pedagang besar di propinsi (PB) dari saluran pemasaran Kabupaten Soppeng yaitu sebesar 2,41 persen atau Rp 200 per kilogram kedelai. Dengan kata lain, persentase rata-rata bagian biaya (%BB) 54
tertinggi diterima oleh pedagang pengecer kecamatan (PrKC) sebesar 6,52 persen dan persentase bagian biaya (%BB) terendah diterima oleh pedagang besar di propinsi (PB) yaitu sebesar 2,948 persen per kilogram kedelai (Lampiran 1). Tingkat keuntungan yang didapatkan pedagang pengecer kecamatan pada saluran pemasaran 7 (PrKC) adalah yang tertinggi. Hal ini disebabkan karena pedagang pengecer pada saluran pemasaran 7 langsung membeli kedelai dari petani, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pedagang pengecer yang lokasinya masih relatif dekat dengan daerah pertanaman kedelai. Demikian juga yang di jual di pasar sedikit, karena dijual ke pengrajin tahu dan tempe, serta pedagang besar. Harga kedelai yang lebih tinggi, kredit yang menyentuh petani, infrastruktur yang baik, difungsikannya KUD, dan organisasi bagi petani, akan dapat meningkatkan kehidupan petani. Pedagang pengecer yang lokasinya jauh, tidak membeli kedelai ke daerah produsen karena biaya tinggi. Pedagang pengumpul di tingkat kecamatan pada saluran 3, tidak secara langsung membeli kedelai dari petani melainkan melalui pedagang pengumpul di tingkat desa terlebih dahulu, sehingga tingkat keuntungan yang diperoleh lebih rendah. Meskipun demikian pedagang pengumpul tingkat kecamatan yang berada pada saluran pemasaran III lebih muda dalam hal waktu dan biaya lebih rendah, karena kedelai tidak harus dibawah ke lokasi yang jauh. Elastisitas Transmisi Harga Analisis elastisitas transmisi harga dilakukan untuk melihat kepekaan perubahan harga di tingkat produsen akibat perubahan harga di tingkat pedagang pengecer. Pada Lampiran 2 dapat disimpulkan bahwa untuk semua saluran pemasaran yaitu dari saluran I sampai saluran pemasaran VII, varietas kedelai yang elastisitas transmisi harganya tertinggi adalah varietas unggul yang berada pada saluran pemasaran II sebesar 0,3675 dengan lokasi pemasaran Kabupaten Bone, sedangkan di Kabupaten Soppeng pada saluran pemasaran IV sebesar 0, 4526 dan Wajo pada saluran pemasaran III sebesar 0,3819. Hal ini disebabkan karena vatietas unggul lebih disukai oleh pedagang dan masyarakat di Sulawesi Selatan, sedangkan varietas lokal yang elastisitas transmisi harganya terendah berada pada saluran pemasaran III dan VII masing-masing sebesar 0,3642 dan 0,3917 untuk lokasi Kabupaten Wajo, dan saluran pemasaran V sebesar 0,3642 untuk Kabupaten Soppeng, sedangkan Kabupaten Bone berada pada saluran II dan V masing-masing sebesar 0,3642 dan
Metoda Analisis Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan (Abdul Gaffar Tahir, Dwi Djono Hadi Darwanto dkk )
0,3917. Hal ini disebabkan karena varietas kedelai ini kurang disukai oleh masyarakat karena harganya rendah dan potensi hasilnya juga rendah. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa untuk saluran pemasaran dua elastisitas transmisi harga tertinggi adalah varietas unggul pada pemasaran di Kabupaten Bone sebesar 0,338 dan terendah varietas lokal berada pada saluran VI yakni sebesar 0,078. Angka ini menunjukkan bahwa untuk varietas unggul tiap kenaikan 1 persen harga ditingkat produsen menyebabkan kenaikan harga di tingkat pedagang pengecer sebesar 0,388 persen, sedangkan untuk varietas lokal tiap kenaikan 1 persen di tingkat produsen menyebabkan kenaikan harga sebesar 0,078 persen di tingkat pengecer. Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa pada saluran pemasaran II elastisitas transmisi harga semakin kecil dibandingkan dengan saluran pemasaran III untuk semua varietas dan semua lokasi pemasaran di daerah penelitian. Ini berarti perubahan harga di tingkat pedagang pengecer hampir sama dengan perubahan harga di tingkat produsen pada saluran III, sedangkan pada saluran II sebaliknya. Dapat disimpulkan bahwa saluran pemasaran III lebih efisien daripada saluran pemasaran II.
pedagang pengecer kecamatan di saluran IV, namun marjin pemasaran rata-rata yang diperoleh pedagang pengecer kecamatan pada saluran VII lebih tinggi pada semua lembaga pemasaran yang terlibat. Kesimpulan yang diperoleh bahwa komponen terbesar dari marjin pemasaran adalah keuntungan lembaga pemasaran di Kabupaten Wajo, kemudian Kabupaten Bone, dan nenyusul Kabupaten Soppeng, dengan masing-masing adalah: Rp. 702, Rp 700, dan Rp 695. Dari data tersebut menunjukkan bahwa keuntungan terbesar diperoleh pada saluran pemasaran III, dan paling kecil pada saluran pemasaran V. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Marjin Pemasaran Kedelai Faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran kedelai adalah harga di volume rata-rata pemasaran kedelai, harga di tingkat petani, jarak dari rumah ke pasar/pedagang, dummy jumlah tahap yang dilalui, dummy lokasi pemasaran, dan dummy varietas kedelai. Hasil estimasi dengan regresi linear berganda terlihat pada Tabel 8. Tabel 8. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi marjin pemasaran kedelai di lokasi penelitian, 2010
Analisis Marjin Pemasaran Rata-rata marjin terbesar pada saluran I, untuk pemasaran kedelai di Kabupaten Bone adalah lembaga pemasaran pengumpul kecamatan sedangkan pada saluran II, marjin terbesar adalah pedagang pengumpul kabupaten. Terlihat bahwa marjin pada pedagang pengumpul kecamatan sama dengan pada saluran III, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan marjin pada pedagang pengumpul kabupaten pada saluran pemasaran II, namun marjin pemasaran yang diperoleh pedagang pengumpul kecamatan lebih tinggi dari pada semua lembaga pemasaran yang terlibat. Rata-rata marjin terbesar pada saluran I, untuk pemasaran kedelai di Kabupaten Soppeng adalah lembaga pemasaran pengumpul kecamatan yaitu sama dengan di Bone, demikian juga pada saluran II, marjin terbesar adalah pedagang pengumpul tingkat kabupaten. Terlihat bahwa marjin pada pedagang pengumpul kecamatan lebih kecil dari pada pedagang pengecer kecamatan di saluran IV dan VII, namun marjin pemasaran rata-rata yang diperoleh pedagang pengecer tingkat kecamatan pada saluran VII lebih tinggi pada semua lembaga pemasaran yang terlibat. Sedangkan rata-rata marjin terbesar pada saluran I, untuk pemasaran kedelai di Kabupaten Wajo adalah lembaga pemasaran pengumpul kecamatan, sedangkan pada saluran II marjin terbesar adalah pedagang pengumpul tingkat kabupaten. Terlihat bahwa marjin pada pedagang pengumpul kecamatan sama dengan
Sumber : Analisis data primer Keterangan : ns : ** *** Qs Pf JRP DT P DL P DV
: : : : : : : :
tidak berbeda nyata pada taraf nyata 90 persen berbeda nyata pada taraf nyata 95 persen berbeda nyata pada taraf nyata 99 persen volume rata-rata pemasaran kedelai Harga di tingkat petani jarak dari rumah ke pedagang/pasar Dummy jumlah tahap yang dilalui Dummy lokasi pemasaran Dummy varietas kedelai
Pada Tabel 8 tersebut di atas menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) tampak tinggi yakni di atas 50 persen. Koefisien determinasi sebesar 0,870 berarti sekitar 87,0 persen variasi marjin pemasaran kedelai yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas, sedangkan sisanya (13,0%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. 55
Informatika Pertanian, Vol. 20 No.2, Desember 2011 : 47 - 57
Apabila dilihat secara parsial, variabel yang sangat menentukan marjin pemasaran kedelai adalah harga di tingkat petani, jumlah tahap yang dilalui yaitu pada tahap III (saluran pemasaran II dan IV) kemudian diikuti oleh varietas kedelai, sedangkan volume rata-rata pemasaran kedelai, jarak dari rumah ke pasar, jumlah tahap yang dilalui pada tahap I (saluran VI), II (saluran V dan VII), dan IV (saluran I dan III), serta lokasi pemasaran untuk wilayah Soppeng dan Wajo tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 90 persen terhadap marjin pemasaran. Analisis parsial untuk variabel harga di tingkat petani menunjukkan hubungan yang sangat berarti yakni sampai tingkat kepercayaan 99 persen. Adapun tanda dari koefisien regresi untuk pemasaran kedelai bertanda negatif yang berarti apabila harga di tingkat produsen naik maka akan menurunkan marjin pemasaran sebesar nilai regresi dari pemasaran kedelai. Sedangkan analisis secara parsial untuk variabel volume rata-rata pemasaran tidak signifikan sampai pada taraf uji 90 persen. Ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara volume rata-rata pemasaran dengan marjin pemasaran. Hal ini dapat terjadi karena jumlah yang diperdagangkan oleh masing-masing petani jumlahnya sangat sedikit. Adapun untuk pengaruh variabel bebas tahap pemasaran yang dilalui dalam hal ini variabel dummy jumlah tahap yang dilalui (DTP) berpengaruh sangat nyata sampai pada taraf nyata 99 persen. Hal ini menunjukkan perbedaan intersep antara saluran I dengan saluran lainnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin panjang saluran atau semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kedelai, akan mengakibatkan semakin besar pula marjin pemasaran. Hal ini wajar terjadi karena masing-masing lembaga akan mengeluarkan biaya dan memperoleh keuntungan dari kegiatan mereka, dimana ini merupakan komponen dari marjin pemasaran. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 1. Secara parsial, variabel yang sangat menentukan marjin pemasaran kedelai adalah harga di tingkat petani, jumlah tahap yang dilalui yaitu pada tahap III (saluran pemasaran II dan IV) kemudian diikuti oleh varietas kedelai, sedangkan volume rata-rata pemasaran kedelai, jarak dari rumah ke pasar, jumlah tahap yang dilalui pada tahap I (saluran VI), II (saluran V dan VII), dan IV (saluran I dan III), serta lokasi pemasaran untuk wilayah Soppeng dan Wajo
56
tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 90 persen terhadap marjin pemasaran. 2. Semakin panjang saluran atau semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kedelai, akan mengakibatkan semakin besar pula marjin pemasaran. Implikasi Kebijakan Untuk memperkecil marjin pemasaran kedelai maka salah satu upaya yang perlu diterapkan adalah membangun/menghidupkan kembali kelompok tani kedelai selaku produsen dan juga sentralisasi lembaga pemasaran ditingkat desa dengan aturan main yang jelas dan disepakati oleh anggotanya. Dengan demikian maka petani kedelai akan memiliki posisi tawar yang lebih baik. Selain itu dengan adanya sentralisasi lembaga pemasaran ditingkat desa, akan lebih memudahkan petani apabila ada pihak swasta yang ingin menerapkan pola kemitraan/ kerjasama dalam pemasaran kedelai, sehingga kuantitas dan kualitas produk dapat terjaga. Sedangkan dari analisis saluran pemasaran yang ada, dapat disarankan penggalakan pengembangan industri pengolahan hasil produksi kedelai menjadi tahu dan tempe dan mengorganisir upaya pemasarannya. DAFTAR PUSTAKA Adreng dan Purwanto., 1992. Pengembangan Agroindustri sebagai Penggerak Pembangunan Desa, Jakarta Damardjati, D.S, Marwoto, D.K.S. Swastika, D.M. Arsyad, dan Y. Hilman., 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Ke dela i. Badan Litbang Pertanian, Depa rtemen Perta nia n. Jakarta. Kohl. R.L, dan S. N. Uhl., 1980. Marketing of Agricu ltural Product, Collier Macmillan, New York. Mahreda. E.S., 2002. Efisiensi Pemasaran Ikan Laut Segar di Ka limantan Selatan. Diserta si. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Mubyarto., 1987. Pengantar Ekonomi Pertanian, LP3ES, Jakarta. Singarimbun, M., dan S. Effendi., 1989. Metode Penelitian Survei. LP3ES. Jakarta Su biyanto, I., 200 0. Metodologi Penelitian (Ma najemen dan Akuntansi). Edisi 3. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Sudaryanto. T., 2005. Konsumsi Kedelai. Amang, M.Husain, dan A. Rachman (Eds). Ekonomi Kedelai Indonesia. IPB Press, Bogor. Su diyono, A., 200 4. Pemasa ran Perta nia n, Universitas Muhammadiyah Malang Press, Madang Soera tno da n L. Arsyad., 1 999 . Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis. UPP AMP YKPN. Yogyakarta. Supranto, J., 1997. Metode Riset : Aplikasinya dalam Pemasaran. Rineka Cipta. Jakarta
Metoda Analisis Efisiensi Pemasaran Kedelai di Sulawesi Selatan (Abdul Gaffar Tahir, Dwi Djono Hadi Darwanto dkk )
Lampiran 1. Persentase bagian biaya pemasaran dan bagian keuntungan pada berbagai saluran pemasaran (%) di lokasi penelitian.
Sumber : Analisis Data Primer Keterangan : %BB = persentase bagian biaya pemasaran %BK = persentase bagian keuntungan pemasaran PPD = pedagang pengumpul di tingkat desa PPK = pedagang pengumpul di tingkat kecamatan PrKC = pedagang pengecer kecamatan PPKB = pedagang pengumpul di tingkat kabupaten PrKB = pedagang pengecer kabupaten PrPv = pedagang pengecer di tingkat propinsi PB = pedagang besar di tingkat propinsi
Lampiran 2. Rasio harga di tingkat produsen dengan pengecer dan elastisitas transmisi harga di loka si penelitian.
Sumber : Analisis Data Primer Keterangan : Pf/Pr = rasio harga di tingkat produsen dan eceran ET = elastisitas transmisi harga
57