ISSN 0126 – 3463
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014 Pemimpin Umum
: Kepala Balai Besar Logam dan Mesin Ir. Eddy Siswanto, MAM
Pemimpin Redaksi
: Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Dr. Ir. Mufid Djoko Purwanto, MSc
Dewan Redaksi
: 1. Dr. Sri Bimo Pratomo, ST, M.Eng. (Teknik Metalurgi) 2. Dr. Shinta Virdhian, ST, M.E.Eng (Teknik Metalurgi) 3. Tarmizi, ST, MT (Teknologi Las dan Metalurgi) 4. Ir. Lilis Yuliasetiawati, MT (Metalurgi dan Pelapisan Logam)
Mitra Bestari
: 1. Dr. Ir. Taufiq Rochim (Teknik Mesin dan Industri) 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Sunendar (Teknik Material) 3. Ir. Hafid Abdullah, MT (Teknologi dan Manajemen Industri) 4. DR. Ing. Indra Djodikusumo (Teknik Mesin)
Tata Usaha
: Ir. Junadi Marki, MT.
Sekretaris Redaksi
: Dewi Apriliani S.Sos
Desain Grafis
: Martin Doloksaribu, ST.
Sirkulasi
: Bambang Sudiono, SE.
Alamat Redaksi
: Jl. Sangkuriang No. 12, Bandung 40135, Telp.(022) 2504107,2503171, Fax (022) 2503978, E-mail :
[email protected]
Riwayat Penerbitan
: STT SK Men. Pen. R.I. No. 019/SK/Dirjen P.G.S.tanggal 20 Januari 1976 ISSN 0126-3463 Terakreditasi LIPI No. 24/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006 Terakreditasi LIPI No. 226/AU1/P2MBI/08/2009
ISSN 0126 – 3463
PENGANTAR REDAKSI METAL INDONESIA merupakan wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan berupa informasi teknik dan argumentasi guna membentuk interaksi antar lembaga, universitas, industri (terutama sektor logam dan mesin) serta konsumen sebagai salah satu upaya menciptakan iklim sektor industri yang andal.
Pengutipan dari METAL INDONESIA dapat dilakukan secara bebas dengan menyebut sumbernya dan mengirim kutipan tersebut ke METAL INDONESIA.
METAL INDONESIA diterbitkan oleh Balai Besar Logam Mesin (BBLM) / Metal Industries Development Centre (MIDC) Terbit 2 (dua) kali setahun, bulan Juni dan Desember.
Alamat Redaksi/Tata Usaha METAL INDONESIA JL. SANGKURIANG No. 12 PO BOX 1154 – BANDUNG 40135 Telp. (022) 2503172 – 2504107 Fax.(022) 2503978
Jurnal Metal Indonesia (MI) Vol. 36 No. 2 Desember 2014 menyajikan 6 (enam) makalah hasil karya ilmiah dari para peneliti Metal Industries Development Centre (MIDC/BBLM) Bandung. Makalah pertama Variasi Jenis dan Metode Pembuatan Cetakan Pasir Terhadap Cacat Penyinteran Untuk Produk Housing Dan Frame, Makalah kedua menampilkan tulisan Penyeimbang Dinamik dengan Pendekatan Sudut Fasa pada Sistem Poros Rotor. Makalah ketiga membahas Karakterisasi Mineral Tanah Jarang Ikutan Timah dan Potensi Pengembangan Industri Berbasis Unsur Tanah Jarang. Makalah keempat membahas Latency Kamera pada Pengolahan Citra Digital RealTime Makalah kelima yaitu Penelitian Efisiensi Energi pada Mesin Horizontal Boring & Milling. Sementara itu makalah terakhir adalah Penyusunan (Fitting) Data Titik (Point Cloud) dari Proses Pemindaian (Scanning) 3 Dimensi Pada Produk Cylinder Head Cover Semoga Jurnal edisi kali ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti, dunia usaha dan litbang serta perguruan tinggi terkait untuk dapat memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat ilmiah dan pengembangan teknologi logam dan mesin di Indonesia. Akhir kata, kami mengharapkan komentar, kritik dan saran yang konstruktif atas penerbitan Jurnal ini, baik terhadap substansi maupun redaksi untuk perbaikan dimasa-masa yang akan datang.
Redaksi
BALAI BESAR LOGAM DAN MESIN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
i
ISSN 0126 – 3463
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Daftar Isi
Halaman i ii
1.
Variasi Jenis dan Metode Pembuatan Cetakan Pasir Terhadap Cacat Penyinteran untuk Produk Housing Dan Frame, Martin Doloksaribu dan Sri Bimo Pratomo
43 – 50
2.
Penyeimbang Dinamik dengan Pendekatan Sudut Fasa pada Sistem Poros Rotor, Haruman Wiranegara
51 – 60
3.
Karakterisasi Mineral Tanah Jarang Ikutan Timah dan Potensi Pengembangan Industri Berbasis Unsur Tanah Jarang, Shinta Virdhian dan Eva Afrilinda
61 – 69
4.
Latency Kamera pada Pengolahan Citra Digital Real-Time, Puji Hartono, Trismiyati
70 – 75
5.
Penelitian Efisiensi Energi pada Mesin Horizontal Boring & Milling, Sony Harbintoro
76 - 83
6.
Penyusunan (Fitting) Data Titik (Point Cloud) dari Proses Pemindaian (Scanning) 3 Dimensi Pada Produk Cylinder Head Cover, Pujiyanto dan Shinta Virdhian
84 - 89
ii
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
ISSN 0126 - 3463
VARIASI JENIS DAN METODE PEMBUATAN CETAKAN PASIR TERHADAP CACAT PENYINTERAN UNTUK PRODUK HOUSING DAN FRAME Martin Doloksaribu (
[email protected]) Sri Bimo Pratomo (
[email protected]) Balai Besar Logam dan Mesin, Kementerian Perindustrian Jalan Sangkuriang Nomor 12 Bandung 40135
ABSTRAK Jenis dan metode pembuatan cetakan pasir dapat menimbulkan kemungkinan terjadinya cacat penyinteran. Cacat penyinteran sering muncul pada produk cor dengan dimensi yang relafif besar dan tebal. Produk Frame dan Housing memiliki dimensi dan ketabalan relatif tinggi terdapat cacat penyinteran pada pemukaannya. Pada penelitian ini cacat penyinteran pada permukaan produk tersebut dikurangi dengan menggunakan variasi jenis resin dan metode pembuatan cetakan pasir. Digunakan 2 jenis resin yaitu resin alpha dan resin water glass. Cetakan pasir dari resin alpha dibuat dengan 2 metode pencetakan yaitu cetakan pasir dibuat dari pasir reklamasi dari mesin Alkali Phenol Process (variasi 1) dan cetakan pasir dibuat dari kombinasi pasir baru sebagai facing sand dan pasir reklamasi dari mesin Alkali Phenol Process sebagai back sand (variasi 2). Cetakan pasir dari resin water glass dibuat hanya dengan 1 metode pencetakan (variasi 3). Pengujian kuat tekan, lost of ignition (LOI) dan distribusi pasir dilakukan terhadap 3 variasi tersebut. Kuat tekan akhir (saat pouring) dari 3 variasi tersebut adalah 11,90; 12,30 dan 18,70 (facing sand dan back sand); dan 12,02 kgf/cm2. Nilai LOI adalah 1,64; 0,82 dan 1,73; dan 0,95 %. Ukuran distribusi pasir yang digunakan didominasi oleh ukuran saringan 0,5 mm (27%), 0,355 mm (10%) dan 0,250 mm (7,41%) atau AFS GFN sebesar 29. Cetakan pasir yang paling sedikit memberikan cacat penyinteran pada permukaan produk adalah cetakan pasir yang dibuat dengan resin alpha dengan metode pencetakan menggunakan kombinasi pasir baru sebagai facing sand dan pasir reklamasi sebagai back sand (variasi 2). Kata Kunci: cacat penyinteran, resin alpha, resin water glass, kuat tekan, LOI, distribusi pasir ABSTRACT Type and method of sand molds making can affect the possibility of sintering defect on surface of casting product. Sintering defect frequently appear on casting product with big and thick dimension. Surfcace of casting product of Frame and Housing show many sintering defect. The aim of this research is to reduced sintering defects by using types of resin and types of mold making method. Alpha resin and water glass resin are selected. Alpha resin sand mold is produced by 2 variation of sand mold making method. First variation is alpha resin sand mold with one layer. Second variation is alpha resin sand mold with two layers: back sand layer and facing sand layer. Third variation is water glass resin with CO2 method. Test of compressive strength, Lost of Ignition (LOI) and sand size distribution were carried out. Compressive strength value of 3 variations are 11.90; 12.30 and 18.70 (for facing sand and back sand); and 12.02 kgf / cm2. The value of LOI are 1.64; 0.82 and 1.73 (for facing sand and back sand); and 0.95%. The sand size distribution is dominated by a 0.5 mm sieve size (27%), 0.355 mm (10%) and 0.250 mm (7.41%) as AFS GFN is 29. Second variation sand mold gives the minimum sintering defect mark on surface. Keywords: sintering defect, alpha resin, water glass resin, compressive strength, LOI, sand size distribution PENDAHULUAN Cacat penyinteran merupakan salah satu jenis cacat cor yang sering terjadi terutama pada produk cor yang berukuran besar. Produk cor yang memiliki ukuran yang relatif besar akan membutuhkan cairan logam yang besar. Hal tersebut akan membutuhkan pouring time yang lebih lama. Dengan kondisi
tersebut, pasir cetak pada bagian permukaan dalam (bagian permukaan yang bersentuhan dengan logam cair) akan menerima panas lebih lama dan menerima tekanan dari logam cair yang lebih besar dibandingkan dengan cetakan produk yang relatif lebih kecil. Hal demikian dapat menyebabkan terjadinya hot spot pada daerah-daerah tertentu. Jika pasir cetak pada
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
43
bagian permukaan dalam yang bersentuhan langsung dengan logam cair tidak memiliki kualitas yang baik maka pasir akan mudah terpenetrasi oleh cairan logam dan akan terjadi reaksi antara pasir dan cairan logam. Akibat penetrasi tersebut, butir pasir akan berikatan dengan cairan logam (penyinteran). Cacat penyinteran tampak sebagai permukaan yang kasar dan keras sehingga sulit untuk dibersihkan. Cacat penyinteran disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi. Faktor-faktor tersebut antara lain kualitas cetakan pasir, jenis pengikat cetakan pasir, bentuk dan dimensi produk cor dan juga temperatur cairan logam saat penuangan (pouring)(1). Oleh karena itu, untuk meminimalkan atau mengurangi terjadinya cacat penyinteran dibutuhkan pemahaman yang terintegrasi dari penyebab cacat ini. Pada penelitian ini cacat penyinteran akan dikurangi dengan variasi jenis resin dan metode pembuatan cetakan pasir. Kualitas pasir cetak akan diamati terhadap terjadinya cacat penyinteran. Kegiatan penelitian ini merupakan kegiatan in-house research yang dikerjakan di Workshop Pengecoran dan Perlakuan Panas Balai Besar Logam dan Mesin dari bulan September s.d Desember 2014. Cacat Penyinteran Penyinteran adalah proses penempelan antar permukaan partikel (serbuk) solid karena adanya panas dan tekanan(2). Partikel solid tersebut ketika saling menempel belum mencapai fasa likuid. Temperatur saat partikel tersebut mencapai kondisi saling menempel di bagian permukaan dinamakan temperatur penyinteran (titik penyinteran). Temperatur penyinteran (sintering point) akan terjadi beberapa saat sebelum mencapai temperatur lebur (melting point). Cacat penyinteran terjadi pada saat penuangan cairan logam. Pada saat proses penuangan cairan logam ke dalam cetakan, permukaan rongga cetakan (permukaan bagian dalam) akan mengalami gaya tekan dari logam cair akibat gravitasi. Selain gaya tekan akibat gravitasi, logam cair juga akan memberikan tekanan akibat panas cairan logam. Penyinteran yang terjadi pada saat penuangan cairan logam terjadi secara alami. Penyinteran yang terjadi pada proses pengecoran berbeda dengan penyinteran yang dilakukan pada
44
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
proses manufaktur pada serbuk logam. Oleh karena itu penyinteran yang terjadi pada proses pengecoran tidak dapat sepenuhnya diprediksi. Gaya tekan akibat gravitasi dan panas yang diberikan oleh cairan logam menyebabkan terjadi penyatuan (penempelan) di antara butiran pasir dengan logam cair. Logam cair bersama dengan butiran pasir yang saling menempel akan tersolidifikasi sehingga membentuk permukaan yang kasar dan keras. Permukaan tersebut sangat keras sehingga sulit untuk dibersihkan. Jika hal tersebut terjadi pada permukaan benda cor maka produk cor tersebut tidak dapat digunakan atau dilanjutkan ke proses berikutnya. Karakteristik Pasir Cetak Salah satu cara untuk menghindari terjadi cacat penyinteran pada permukaan benda cor adalah dengan memperhatikan memperhatikan kualitas pasir cetak yang digunakan. Beberapa sifat sebagai berikut(2,3): a. Ketahanan terhadap panas yaitu ketahanan pasir terhadap titik sinter. Pasir cetak harus memiliki titik sinter di atas temperatur tuang logam cair (pouring temperature). Jika pasir cetak memiliki titik sinter di bawah temperatur tuang logam cair maka akan terjadi penyinteran antara butir pasir dengan logam cair. b. Kuat tekan yaitu kekuatan untuk menahan gaya tekan dari logam cair. Kualitas ini penting supaya permukaan dalam rongga cetakan tidak runtuh ketika dilalui oleh logam cair. Cairan logam akan memberikan tekanan akibat gaya gravitasi dan juga akibat panas dari cairan logam. c. Distribusi/persebaran ukuran pasir yaitu variasi ukuran pasir dari pasir yang digunakan. Variasi ukuran pasir harus memadai agar dapat menutup rongga antar butir pasir. d. Permeabilitas yaitu kemampuan pasir cetak untuk mengalirkan gas dari dalam cetakan ke luar cetakan. Hal ini sangat akan mempengaruhi pembebasan gas dari rongga cetak dan kecepatan pendinginan produk cor. Gas yang terperangkap di dalam cetakan dapat menyebabkan porositas.
Jenis Cetakan Pasir Terdapat beberapa cetakan pasir dalam proses pengecoran. Dalam penelitian ini menggunakan 2 jenis cetakan pasir yaitu jenis cetakan mengeras sendiri dan jenis cetakan yang mengeras akibat gas CO2. Jenis cetakan yang mengeras sendiri menggunakan bahan pengikat yaitu resin alpha. Pada jenis ini, pasir silika dicampur dengan hardener dan resin dengan komposisi yang sesuai sambil diaduk. Pasir dimampatkan ke dalam cetakan lalu cetakan pasir dibiarkan mengeras. Reaksi antara hardener dengan resin akan meningkatkan kekerasan cetakan pasir. Kekerasan akan terus meningkat sampai pada nilai tertentu. Pasir dari cetakan jenis ini dapat dipakai kembali untuk membuat cetakan pasir untuk produk lainnya. Jenis cetakan pasir yang kedua adalah cetakan dengan proses CO2. Resin yang digunakan adalah resin water glass. Pasir dicampur dengan resin water glass dan diaduk lalu dimampatkan ke dalam cetakan. Kekerasan akan meningkat secara cepat akibat peniupan gas CO2 ke dalam cetakan. Gas CO2 ditiup ke dalam cetakan dengan menggunakan selang kecil. Pasir dari cetakan jenis ini tidak dapat digunakan kembali. Bentuk Butir Pasir Bentuk pasir digolongkan menjadi beberapa golongan yaitu bentuk butir pasir bundar, butir pasir sebagian bersudut, butir pasir bersudut dan butir pasir kristal(2,4,5). Ilustrasi bentuk pasir dapat dilihat pada Gambar 1. Bentuk pasir akan mempengaruhi kekuatan dan permeabilitas dari cetakan pasir. Cetakan pasir yang baik terdiri dari ukuran dan bentuk butir pasir yang bervariasi.
(a)
(b)
(c)
Uji Pasir Kualitas pasir cetak ditentukan melalui pengujian terhadap sifat-sifat di atas. Dari hasil pengujian dapat disimpulkan kualitas dari pasir cetak. Pengujian pasir antara lain(5): a. Kuat tekan. Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan nilai ketahan pasir terhadap gaya tekan yang diberikan. Nilai kuat tekan menunjukkan besar gaya tekan yang dapat diterima oleh pasir sebelum mengalami kerusakan. b. Loss of Ignition (LOI). Pengujian ini dilakukan untuk mendapatkan nilai persentase berat yang hilang dari campuran pasir setelah dipanaskan. Nilai persentase menunjukkan berat yang hilang (menguap/terbakar) setelah diberikan panas selama durasi waktu tertentu. c. Distribusi Pasir. Pengujian ini untuk mendapatkan persebaran ukuran pasir. Melalui pengujian ini didapatkan nilai (persentase) persebaran ukuran pasir. Pasir yang digunakan diharapkan memiliki persebaran ukuran pasir yang memadai. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini penanggulangan cacat penyinteran pada produk cor dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis dan metode pembuatan cetakan pasir. Produk cor pada penelitian ini adalah Housing dan Frame. Berat produk masing-masing adalah sekitar 300 Kg untuk Housing dan 200 Kg untuk Frame. Berat tersebut sudah memperhitungkan berat sistem saluran tuang. Dimensi luar untuk Housing adalah 1115 x 600 x 240 mm (panjang x lebar x tinggi) dan untuk Frame adalah 933 x 574 x 161 mm (Gambar 2). Dimensi produk tersebut termasuk kategori besar sehingga pada saat pengecoran sangat mungkin terjadi hot spot (penumpukkan panas pada satu area) yang dapat menyebabkan terjadi penyinteran.
(d)
Gambar 1. Ilustrasi beberapa tipe bentuk butir pasir. (a) butir pasir bulat (b) butir pasir sebagian bersudut (c) butir pasir bersudut (d) butir pasir kristal
(a)
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
45
(b) Gambar 2. (a) Cetakan pasir produk Housing dan (b) cetakan pasir produk Frame
Pada penelitian ini dibuat 3 variasi cetakan pasir (Gambar 3). Variasi 1 adalah cetakan dengan resin alpha. Cetakan pasir dibuat dengan menggunakan pasir dari pasir reklamasi. Pasir reklamasi didapat dari mesin dimana komposisi pencampuran pasir daur ulang, pasir baru, resin alpha dan hardener dilakukan oleh mesin (mesin Alkali Phenol Process). Pada mesin diatur agar komposisi berat pasir lama dan pasir baru adalah 70% pasir lama dan 30% pasir baru. Pengaturan keluaran resin adalah 26,50 Hz dan hardener adalah 35 Hz. Pengaturan tersebut memberikan nilai persentase berat pencampuran resin yaitu 1,95% dari berat keluaran pasir dan persentase berat hardener yaitu 30,21% dari berat berat keluaran resin. Resin alpha yang digunakan adalah Fenotec 820 dan hardener adalah Fenotec H20. Cetakan variasi 2 adalah cetakan pasir yang dibuat dari kombinasi pasir dari mesin reklamasi dan pasir baru dimana pencampuran dilakukan secara manual menggunakan mixer. Pasir baru digunakan hanya untuk bagian facing sand untuk tetap menjaga faktor biaya pembuatan cetakan. Bahan resin dan hardener yang digunakan sama dengan bahan pada cetakan variasi 1. Pengaturan pada mesin reklamasi menggunakan pengaturan mesin untuk variasi 1. Pencampuran pasir baru (tanpa pasir daur ulang) dengan resin dan hardener digunakan sebagai facing sand yaitu pasir yang bersentuhan dengan permukaan pola. Berat resin adalah sekitar 2% dari berat pasir. Berat hardener adalah 25% dari berat resin. Pasir reklamasi digunakan sebagai back sand yaitu lapisan pasir setelah facing sand.
46
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Gambar 3. Diagram alir penyiapan cetakan pasir
Cetakan variasi 3 adalah cetakan pasir dengan menggunakan resin water glass. Pasir dicampur dengan resin water glass. Pengerasan terjadi dengan meniupkan gas CO2 Pencampuran pasir dan resin water glass dilakukan dengan mixer. Berat resin water glass adalah 5% dari berat pasir. Setelah pasir tercampur dengan resin, pasir dimasukkan ke rangka cetak dan dipadatkan. Setelah seluruh rangka cetak tertutup; gas CO2 ditiupkan ke dalam cetakan pasir menggunakan selang. selang. Gambar 3 adalah diagram alir pembuatan ke-3 variasi cetakan pasir. Proses pengecoran dilakukan di Workshop Pengecoran. Perencanaan proses pengecoran dibuat oleh Urusan Keteknikan Seksi Pengecoran dan Perlakuan Panas. Proses pengecoran dilakukan pada temperatur tapping sekitar 1540oC dan temperatur tuang sekitar 1380oC. Waktu tuang sekitar 20 detik untuk masing-masing produk. Komposisi target material adalah FCD 600. HASIL & PEMBAHASAN Uji Kuat Tekan Nilai kuat tekan untuk 3 variasi cetakan pasir ditunjukkan pada Tabel 1. Pada jenis resin alpha, kekuatan tekan meningkat akibat adanya reaksi antara resin dan hardener. Kekuatan tekan akan meningkat terhadap lamanya reaksi antara resin dengan hardener. Proses pengerasan pada resin water glass berbeda dari resin alpha. Pada resin water-
glass, proses pengerasan tidak dipengaruhi oleh lamanya waktu. Pengerasan akan meningkat secara signifikan pada saat gas CO2 ditiupkan ke dalam cetakan. Kekerasan tidak akan bertambah secara signifikan dengan semakin lamanya proses peniupan. Tabel 1. Hasil uji kuat tekan untuk masing-masing variasi cetakan pasir untuk housing dan frame DURASI
KUAT TEKAN RATA-RATA(kgf/cm2) 1
(Jam) 0 0 24 11.47* 99 124 145 11.50 170 11.90 Pengama permukaan tan relatif baik; visual sedikit hasil cor cacat terhadap penyinteran cacat penyinte ran *Cetakan dicor
2 2a BACK SAND 0
2b FACING SAND 0
12.00 18.70*
9.20 12.30*
Permukaan paling baik dibandingkan produk dari cetakan #1 dan #3
3 CO2
0 12.02*
Permukaan banyak terdapat cacat penyinteran
Nilai kuat tekan yang diperhatikan adalah nilai kuat tekan pada jam saat/mendekati cetakan dicor. Untuk variasi 1 dan 2, waktu akhir dimana cetakan dicor tidak sama. Cetakan variasi 1 dicor sekitar setelah 24 jam (sekitar 1 hari) setelah pencampuran atau mulai pembuatan cetakan. Untuk cetakan variasi 2 dicor setelah 124 jam (sekitar 5 hari). Untuk cetakan variasi 3 dicor setelah 24 jam (sekitar 1 hari) setelah pencampuran. Waktu pelaksanaan pengecoran berbeda-beda karena tergantung dari perencanaan yang dibuat oleh Seksi Pengecoran dan Perlakuan Panas. Cetakan variasi 1 diuji tekan 24 jam setelah pencampuran. Waktu tersebut juga merupakan waktu cetakan dicor. Uji tekan pada jam ke-145 dan ke-170 tetap dilakukan untuk melihat peningkatan nilai kuat tekan. Dari pengujian didapatkan nilai kuat tekan 11,50 kgf/cm2 untuk jam ke-145 dan 11,90 kgf/cm2 untuk jam ke-170. Dari nilai tersebut didapatkan bahwa nilai kuat tekan cetakan variasi 1 tidak mengalami peningkatan terhadap pertambahan waktu yang signifikan. Dari pengamatan visual permukaan produk dari cetakan variasi 1 didapatkan permukaan produk yang relatif baik. Cetakan variasi 2 diuji pada jam ke-99 dan jam ke-124. Cetakan variasi 2 tidak diuji pada jam ke-24 karena diperkirakan nilai kuat
tekan tidak berbeda jauh dengan cetakan variasi 1 karena menggunakan resin dan metode pembuatan cetakan yang sama. Namun pada pencampuran pasir untuk back sand, pada mesin reklamasi dilakukan beberapa perbaikan. Perbaikan tersebut menghasilkan pencampuran yang memberikan nilai kuat tekan yang lebih baik daripada cetakan variasi 1. Nilai kuat tekan facing sand diharapkan lebih tinggi dari pada back sand karena menggunakan pasir baru seluruhnya. Namun pada jam ke-124, back sand memiliki nilai yang lebih besar yaitu 18,70 kgf/cm2 sedangkan facing sand memiliki nilai kuat tekan sebesar 12,30 kgf/cm2. Cetakan variasi 2 menghasilkan permukaan benda cor yang lebih baik daripada permukaan benda cor dengan cetakan variasi 1. Oleh karena itu, cetakan pasir yang dibuat dari pasir baru dengan kuat tekan sekitar 11-12 kgf/cm2 sudah mampu menghasilkan menahan peneterasi logam cair sehingga pada permukaan produk cor sedikit terdapat cacat penyinteran. Dari grafik kuat tekan terhadap durasi waktu (Gambar 4) dapat dilihat bahwa nilai kuat tekan akhir dari cetakan 2 (untuk back sand dan facing sand) nilainya di atas dari cetakan variasi 1. Nilai kuat tekan cetakan variasi 1 tidak mengalami peningkatan nilai kuat tekan dari jam ke-24 sampai dengan jam ke-170. Sedangkan cetakan variasi 2 mengalami peningkatan nilai kuat tekan yang signifikan dalam rentang jam ke-99 sampai dengan jam ke-124 khusunya pada cetakan pasir back sand. Nilai kuat tekan cetakan variasi 1 pada jam ke-124 sekitar 11,47 – 11,50 kgf/cm2. Nilai ini sangat berdeda dibandingkan nilai kuat tekan cetakan variasi 2 untuk back sand. Namun nilai tersebut tidak berbeda jauh dengan cetakan variasi 2 facing sand. Walaupun cetakan variasi 1 dan cetakan varisi 2 untuk back sand diproses dengan mesin yang sama namun menghasilkan nilai kuat tekan yang berbeda. Proses pembuatan campuran pasir dengan mesin Alkali Phenol Process dipengaruhi oleh kondisi mesin tersebut khusunya pada bagian pencampuran. Cetakan variasi 3 diuji pada jam ke-24 dan menghasilkan nilai kuat tekan sebesar 12,02 kgf/cm2. Cetakan pasir variasi 3 tidak diuji pada waktu yang lebih lama karena proses pengerasan tidak meningkat signifikan terhadap waktu. Nilai kuat tekan cetakan variasi 3 tidak berbeda jauh dengan cetakan variasi 1 dan facing sand cetakan variasi 2.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
47
Namun dari pengamatan visual permukaan produk didapatkan banyak cacat penyinteran pada permukaan produk cor.
#2a #2b
#1
#3
(c)
Gambar 4. Grafik nilai uji kuat tekan
Cetakan variasi 3 menghasilkan cacat penyinteran yang paling banyak (Gambar 5b dan 5c) walaupun nilai kuat tekan pasir tidak berbeda jauh dengan cetakan variasi 1 dan cetakan variasi 2 bagian facing sand. Penyinteran terjadi hampir seluruh area bagian sisi dari produk Housing (Gambar 5b dan 5c). Pada produk Frame penyinteran terjadi di beberapa area namun relatif lebih sedikit daripada produk Housing.
Gambar 5. Penyinteran pada produk Housing. (a) Produk Housing dari cetakan variasi 2 (tanda panah menunjukkan sisi terjadi cacat penyinteran). (b) dan (c) Produk Housing dari cetakan variasi 3 dimana permukaan produk terdapat cacat penyiteran
Uji LOI (Loss of Ignition) Hasil uji LOI dan grafik nilai uji LOI dari 3 variasi cetakan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 6. Tabel 2. Hasil uji LOI (rata-rata) tiap cetakan pasir N LOI JENIS CETAKAN PASIR O (%) 1 Resin Apha – Mesin Alkali Phenol 1.64 Process 2a Resin Alpha – Mesin Alkali Phenol 1.73 Process - Back Sand 2b 0.82 Resin Alpha – Mixer - Facing Sand 3 0.95 Resin Water Glass - CO2
(a)
Gambar 6. Grafik nilai LOI (rata-rata) tiap cetakan
(b)
48
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Nilai LOI cetakan variasi 1 dan cetakan variasi 2a tidak berbeda jauh yaitu 1,64 dan 1,73%. Hal ini disebabkan oleh metode pembuatan cetakan pasir yang sama yaitu dengan mesin Alkali Phenol Process. Nilai LOI cetakan pasir resin alpha bagian facing sand (cetakan variasi 2b) memiliki nilai LOI yang paling rendah dibandingkan cetakan variasi lainnya (nilai LOI cetakan variasi 3 adalah 0,95%). Nilai persentase LOI yang semakin rendah artinya semakin sedikit massa yang hilang setelah pemanasan. Nilai ini mengindikasikan persentase bagian pasir yang
hilang akibat panas dari logam cair. Nilai LOI semakin kecil maka semakin sedikit bagian pasir yang hilang akibat panas dari logam cair. Cetakan variasi 2b memiliki nilai LOI paling kecil sehingga cetakan variasi 2b paling sedikit terpengaruh oleh panas dari logam cair. Hal ini dapat terlihat dari jumlah cacat penyinteran yang sedikit pada permukaan produk. Cetakan variasi 3 dengan nilai LOI di antara cetakan variasi 1 dan 2b menghasilkan jumlah cacat penyinteran yang paling banyak. Hal tersebut disebabkan oleh ruang antar butir yang lebih besar. Ruang antar butir tersebut terjadi karena peniupan gas CO2 ke dalam cetakan. Proses peniupan tersebut menyebabkan ruang antar butir yang relatif lebih besar. Hal tersebut meningkatkan potensi terjadinya penetrasi logam cair ke dalam cetakan pasir sehingga banyak terjadi cacat penyinteran. Selain disebabkan oleh peniupan gas CO2, besarnya ruang antar butir dipengaruhi oleh distribusi dan bentuk butir pasir. Uji Distribusi Pasir dan Bentuk Butir Pasir Tabel 3 dan Gambar 7 menunjukkan hasil uji distribusi pasir yang digunakan pada penelitian ini. Tiap variasi cetakan menggunakan sumber pasir pasir baru yang sama. Untuk pasir lama (daur ulang) pada mesin Alkali Phonol Process menggunakan pasir lama yang tersedia pada mesin. Distribusi pasir baru didominasi oleh ukuran saringan 0,500 mm (sebanyak 27,22%); 0,710 mm (14,60%); 0,355 mm (10%); 0,180 mm (7,41%) dan 0,180 mm (4,52%) (AFS GFN = 29). Dengan nilai distribusi pasir seperti ini, butir pasir masih mampu menutup ruang antar butir sehingga dapat mengurangi cacat penyinteran. Hal tersebut dapat dilihat dari permukaan produk yang relatif sedikit terjadi penyinteran untuk cetakan variasi 1 dan variasi 2.
Tabel 3. Hasil uji distribusi pasir UKURAN % berat NO SARINGAN 1 1.400 0.00 2 1.000 0.81 3 0.710 14.60 4 0.500 27.22 5 0.355 10.00 6 0.250 7.41 7 0.180 4.52 8 0.125 0.46 9 0.009 0.14 10 0.063 0.00 11 Pan 0.00
Gambar 7. Grafik distribusi ukuran pasir
Bentuk butir pasir diamati dengan mikroskop makro. Gambar 8 menunjukkan butir pasir yang digunakan pada penelitian ini. Bentuk pasir yang digunakan memiliki bentuk agak bersudut. Bentuk seperti itu akan menyebabkan ruang antar butir yang besar. Ruang antar butir yang besar menyebabkan peningkatan penetrasi logam cair ke dalam cetakan pasir. Bentuk butir agak bersudut ditambah dengan peniupan gas CO2 semakin memperbesar ruang antar butir sehingga pada jenis cetakan resin water glass – gas CO2 (cetakan variasi 3) menghasilkan jumlah cacat penyinteran yang paling banyak dibandingkan variasi lainnya.
Gambar 8. Bentuk butir pasir; didominasi oleh bentuk butir pasir agak bersudut
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
49
KESIMPULAN & SARAN Dari penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Jenis dan metode cetakan pasir yang paling sedikit menghasilkan cacat penyinteran untuk produk Housing dan Frame adalah cetakan pasir resin alpha dengan penggunaan pasir baru sebagai facing sand (cetakan variasi 2). 2. Nilai kuat tekan yang semakin besar dan LOI yang semakin kecil memperkecil potensi terjadinya cacat penyinteran pada produk berukuran relatif besar., distribusi pasir dan bentuk pasir memberikan pengaruh terhadap terjadinya cacat penyinteran. 3. Distribusi ukuran pasir dan bentuk pasir memberikan pengaruh terhadap terjadinya cacat penyinteran. 4. Perlu dilakukan penelitian kualitas cetakan pasir resin alpha terhadap penyinteran dengan persentase resin dan hardener yang berbeda pada lokasi cacat penyinteran tertentu.
50
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA 1. Beeley, P.R. 1972. Foundry Technology. London:Butterworths. 2. Surdia, Tata & Chiijiwa, Kenji. 2013. Teknik Pengecoran Logam, cetakan 10. Jakarta: Balai Pustaka. 3. A. Sanders, Clyde. 1973. Foundry Sand Practice, Sixth Edition. Illiones:American Colloid Company. 4. ASM Handbook Volume 15 Casting. 1992. Amerika:ASM International The Materials Information Company. 5. AFS Mold and Core Test Handbook.American Society Foundryman. 6. Latief, A. Sutowo. 2012. Kajian tentang Suhu Sinter dan Suhu Lebur Pasir Merapi sebagai Potensi Sumber Daya Alam yang Mendukung Industri Pengecoran Logam di Jawa Tengah. Indonesia. 7. Brown, John, R. 2000. Foseco Ferrous Foundryman’s Handbook. Oxford:Butterworth-Heinemann. 8. Purbowo, Tedy dan Tjitro, Soejono. 2003. Studi Penambahan Gula Tetes Pada Cetakan Pasir Terhadap Cacat Blow-hole, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Kristen Petra, Jurnal Teknik Mesin Volume 5 Nomor 2.
ISSN 0126 - 3463
PENYEIMBANG DINAMIK DENGAN PENDEKATAN SUDUT FASA PADA SISTEM POROS ROTOR Haruman Wiranegara Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM), Kementerian Perindustrian, Jl. Sangkuriang No. 12 Kota Bandung, Jawa Barat. Pos-el:
[email protected]
ABSTRAK Penyeimbang dinamik (dynamic-balancing) telah banyak diimplementasikan pada mesin-mesin yang beroperasi pada putaran tinggi, seperti turbin gas, propeller, dan sebagainya., hal ini dilakukan karena akibat ketidaksempurnaan pada proses manufaktur menyebabkan putaran komponen menjadi tidak seimbang (unbalance) dan menimbulkan getaran yang tinggi dan resonansi pada putaran operasi, yang pada akhirnya akan mempercepat kerusakan mesin itu sendiri. Penelitian ini bermaksud mengimplementasikan penyeimbang dinamik dengan pendekatan sudut-fasa. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Perancangan Mesin ITB. Metode penelitian yang dilakukan melalui dua tahap, pertama memformulasikan persamaan sudut-fasa, dan kedua pengujian metode dengan menggunakan poros-rotor peraga. Hasil pengujian menunjukan metode sudut fasa cukup efektif untuk Penyeimbang dinamik pada sistim poros-rotor. Kata Kunci: sudut fasa, Penyeimbang dinamik, poros rotor ABSTRACT Dynamic-balancing has been widely implemented on machines operating at high speed, such as gas turbines, propellers, etc., This is done as a result of imperfections in the manufacturing process causes the rotation component becomes unbalanced and cause high vibration and resonance, which in turn will accelerate the damage to the machine itself. This study intends to implement dynamic-balancing with angle-phase approach. This research was conducted at the Engineering Design laboratory ITB. Methods of research conducted through two stages, the first to formulate the equation angle-phase, and the second testing method using the shaft-rotor display. The test results showed the method is quite effective for the phase angle of the dynamic-balancing the rotor-shaft system. Keywords: phase angle, Dynamic-balancing, rotor shaft PENDAHULUAN Komponen-komponen mesin yang berputar yang digunakan dalam industri proses pada umumnya memiliki kecepatan putar yang tinggi, daya yang besar, dan waktu operasi yang lama, namun seringkali terjadi unbalance sebagai akibat proses pembuatan yang tidak sempurna (Indrajana, 1993). Oleh karena itu sebelum beroperasi mesin-mesin tersebut harus melalui proses balancing supaya mesin dapat berputar dengan cepat tanpa mengalami getaran dan resonansi yang tinggi (Nasution,1999) Metode Penyeimbang dinamik saat ini telah menjadi perhatian para peneliti, salah satu pendekatan paling sering ditemukan adalah dengan menggunakan metode tiga massa coba (Nasution,1999). Walaupun demikian pendekatan baru dalam balancing masih perlu dikaji lebih banyak. Salah satu yang dapat dikembangkan adalah pendekatan sudut fasa.
Penelitian ini bermaksud implementasikan Penyeimbang dengan pendekatan sudut-fasa.
mengdinamik
METODE DAN LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut : 1. Merancang poros-rotor peraga, yang dilengkapi dengan perangkat interface SCXI, vibrometer, Labview, dan MathLab, 2. Memformulasikan persamaan sudut-fasa 3. Memvalidasi poros-rotor peraga dengan pendekatan Finite Elemen (FEM) berbantuan aplikasi Mechanical Desktop dan NASTRAN 4D. 4. Pengujian metode sudut-fasa yang di implementasikan pada poros-rotor peraga 5. Menganalisis hasil Pengujian secara empirik.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
51
METODE SUDUT FASA Pendekatan static dan Penyeimbang dinamik saat ini menggunakan metode tiga massa coba (Fair, 2001) Namun pendekatan lain dapat dilakukan dengan mengunakan pendekatan sudut fasa. pendekatan sudut fasa diaplikasikan pada sebuah rotor-peraga, menggunakan pendekatan dua bidang penyeimbang (datum), yang diletakkan pada posisi tertentu, bidang-bidang tersebut dinamai bidang ukur kiri A0 dan bidang ukur kanan
B0 ,
sedangkan sudut-fasa dinamai sudut
fasa kiri 0 dan sudut fasa kanan 0 . Dengan prosedur sebagai berikut: (1) Rotor diputar pada kecepatan putar x Hz untuk diukur getarannya pada bidang ukur kiri A0 dan kanan
B0 diukur
Q1 , Q 2 = vektor-vektor penyeimbang pada bidang ukur kiri dan kanan Harga Q1 dan Q2 dihitung dengan cara determinan Jacobian :
Q1
52
Q2
A0
(A 2 A 0 )
B0
(B 2 B 0
A 1 - A 0 A 2 A 0 B1 - B 0 B 2 B 0
…….(3)
………(4)
Bentuk Q1 dan Q2 adalah :
Q a bi dan Q a 2 b 2
….…(5)
&(6) Besar massa penyeimbang pada bidang penyeimbang kiri dan posisinya dari penempatan massa coba:
M1
rM c rM1
Q1M c …………………………..(7)
a1 0 a = arctan
sudut fasanya pada
bidang penyeimbang kiri 0 dan kanan 0 dengan menggunakan bantuan sensor getaran. (2) Massa coba sebesar M c gram dipasang pada bidang penyeimbang kiri pada sembarang posisi. Rotor diputar pada kecepatan x Hz untuk diukur getarannya pada bidang ukur kiri A1 dan kanan B1 , diukur sudut fasanya pada bidang penyeimbang kiri 1 dan kanan 1 . (2) massa coba dipindahkan ke bidang penyeimbang kanan pada sembarang posisi. Rotor diputar pada kecepatan putar x Hz untuk diukur getarannya pada bidang ukur kiri A2 dan kanan B2 , diukur sudut fasanya pada bidang penyeimbang kiri 2 dan kanan 2 . Besar massa penyeimbang pada bidang penyeimbang pada bidang penyeimbang kiri dan kanan dihitung sebagai berikut: Untuk bidang ukur kiri : (A - A 0 )xQ1 (A 2 - A 0 )xQ 2 A 0 …(1) Untuk bidang ukur kanan : B1 B0 xQ1 (B2 B0 )xQ2 B0 …(2)
A 1 - A 0 B 0 B1 - B 0 A 2 A 0 A 1 A 0 B 2 B 0 B1 B 0 A0
b1 ;900 a 900 a1
a1 0 a =arctan b1 1800 ;90 0 a 2700 ………………… a1 ……………………..…..(8) dan besar massa penyeimbang pada bidang kanan dan posisinya dari penempatan massa coba dicari dengan persamaan (1) dan (2), dengan mengganti subscript 1 menjadi 2. PERANCANGAN POROS-ROTOR PERAGA Tujuan pembuatan poros rotor peraga adalah untuk melakukan pengujian metode sudut-fasa. Pengujian metode ini tidak langsung diaplikasikan pada mesin sesungguhnya, namun bertujuan mensimulasikan sinyal akibat unbalance serta dapat menempatkan massa balancing secara bebas pada dua bidang yang dimaksud. Dalam perancangan poros rotor ini, salah satu proses yang ditempuh adalah mendefinisikan kebutuhan (spesifikasi desain), perangkat uji harus dapat memperagakan ketakseimbangan statik & dinamik. Alat peraga dirancang sedemikian berbentuk poros rotor yang memiliki dua piringan tempat meletakan massa tak seimbang, memiliki dua sensor vibrometer dan pengolah data Untuk mencapai suatu kebutuhan atau tujuan tersebut perlu diterapkan kriteria utama yang harus dipenuhi (must) dan kriteria yang diharapkan terpenuhi (want)[4]
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Kriteria perancangan yang harus dipenuhi oleh perangkat uji adalah sebagai berikut : Terjadinya fluktuasi gerakan disk dan poros yang diakibatkan oleh massa unbalance sebagai akibat dari satu atau lebih posisi massa yang berbeda Posisi disk harus dapat digeser dalam arah harisontal, pergeseran ini harus dapat mensimulasikan perubahan karakteristik getaran sebagai akibat dari posisi massa yang berbeda. Sensor harus bisa dipasang pada alat peraga dengan mudah pada bagian-bagian yang diukur. Adapun kriteria yang diharapkan terpenuhi adalah sebagai berikut: Perangkat peraga mampu menunjukan ciri getaran yang diakibatkan ketakseimbangan statik & dinamik. Perangkat peraga memiliki ukuran yang kecil dan ringan supaya mudah dipindah.
Gambar 3. Konstruksi perangkat peraga
Komponen-komponen utama dan instrumentasi pada mesin peraga ini adalah : a. Sensor : Sensor yang digunakan adalah proximity yang berfungsi untuk menentukan posisi disk. Proximity ini mendeteksi logam terdekat yang dipasang pada poros rotor. Untuk mendeteksi percepatan pada arah radial yang disebabkan oleh masa tak seimbang digunakan sensor accelerometer. Pada mesin ini digunakan 2 buah sensor accelerometer yang dipasang pada kedua bidang (X & Y). Secara umum persamaan tegangan yang dikeluarkan adalah
V N Gambar 1. Perangkat peraga pandangan samping
Gambar 2. Perangkat peraga pandangan atas
t
b. Data Akuisisi c. Data akuisisi yang digunakan adalah LAB VIEW dengan dukungan hardware SCXI d. Power Supply : e. Berfungsi sebagai sumber tegangan 12 V DC pada sensor proximity dan accelerometer. f. Motor & Inverter : g. Motor yang digunakan jenis AC 1 phase, 100 watt, 10000 rpm. Motor ini berfungsi sebagai pemutar rotor dengan menggunakan puli dan sabuk, dengan rasio putaran 1 : 1,5 (putaran rotor diperlambat kira-kira 1,5 kali). Untuk mendapatkan data pengukuran yang baik putaran motor harus dapat diatur sesuai kebutuhan. Untuk mengatur putaran motor digunakan Power Inverter.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
53
Instalasi alat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 4. Instalasi alat
Pengujian Tanpa Massa Pada pengujian ini digambarkan benda uji tanpa menggunakan beban tak seimbang, Rotor diputar pada kecepatan 1200 rpm dengan kecepatan pengambilan data 100 data perdetik. Dari pengujian ini terlihat adanya fluktuasi sinyal namun tidak diperolehnya indikasi karena adanya masa tak seimbang, fluktuasi yang ditimbulkan seperti terlihat adanya puncak-puncak amplitudo karena getaran yang ditimbulkan oleh motor listrik. Dengan melalui prosedur seperti digambarkan pada gambar 5. Diperoleh gambaran signal sebagai berikut (dalam Mathlab):
Aliran Pengolahan Data Tegangan yang keluar dari vibrometer dikonversi sebagai data akusisi melalui beberapa tahap. Pengolahan data digambarkan dalam diagram alir sebagai berikut:
Data Acquisition
Data TEXT (ASCII)
Gambar 6. Hasil pengukuran kondisi tanpa massa
Math LAB
Plot Grafik FFT
Gambar 5. Aliran Pengolahan Data
Data dari SCXI yang diterima dari sensor berupa data TEXT. Data tersebut ambil dan diolah dengan Math-LAB menjadi kurva dalam FFT (Fast Fourier Transform) (lab Dinamika, 1997) HASIL EKSPERIMEN/PENGUJIAN Deskripsi Parameter pengukuran Sensor getaran yang di terima SCXI yang mendeteksi adanya masa unbalance pada bidang obyek uji dengan beberapa posisi yang berbeda. Data sinyal disimpan dalam bentuk code ASCII dengan nama file uji.txt Sinyal yang diterima diolah dengan Math-LAB dan diolah berupa sinyal Fast Fourier Transform (FFT).
54
Dari hasil diatas diperoleh fluktuasi berkisar antara -0.5-0.5 m/s2. Secara teoritik, kasus seperti ini diangap sebagai kondisi unbalance namun hal ini terjadi karena komponen yang tidak homogen dan unsur-unsur lain pada struktur yang menyebabkan fluktuasi terjadi Pengujian Dengan Dua Massa Beda Sudut 0o Pada pengujian ini digambarkan benda uji dengan menggunakan beban tak seimbang, Rotor diputar pada kecepatan 1200 rpm (kecepatan pada inverter) dengan diberi massa tak seimbang sebesar 20,51 gram pada kedua disk dengan kecepatan pengambilan data 100 data perdetik. Dari pengujian ini terlihat diperolehnya amplitude terbesar pada frekuensi (sedikit) dibawah 20 Hz, ini merupakan indikasi karena masa unbalance, juga terlihat adanya puncak-puncak frekwensi lain yang diindikasi karena struktur lain seperti terlihat pada gambar 8 pada 28 Hz, diindikasi karena getaran akibat struktur lain.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Gambar 7. Penempatan dua massa pada selisih sudut 0o
Hasil pengolahan data diolah dengan Aplikasi Mathlab, dengan menampilkan frekwensi. yang digambarkan sebagai berikut (hasil pengolahan Mathlab):
Gambar 10. Hasil pengujian rotor dengan massa unbalance model dinamik (hasil Mathlab)
Dari pengujian ini terlihat diperolehnya amplitude terbesar pada frekuensi dibawah 20 Hz merupakan indikasi karena masa unbalance, juga terlihat adanya puncakpuncak frekuensi lain yang diindikasi karena struktur lain seperti terihat pada gambar 10 pada 28 Hz, 37 Hz , diindikasi karena getaran akibat struktur lain (bearing, dll).
Gambar 8. Hasil pengujian rotor dengan massa unbalance model statik
Pengujian Dengan Dua Massa Selisih sudut 180o Pada pengujian ini digambarkan benda uji dengan menggunakan beban unbalance, Rotor diputar pada kecepatan 1200 rpm (kecepatan pada inverter) dengan diberi massa unbalance sebesar 20,51 gram pada kedua disk dengan model dua bidang pembebenan yang berbeda dengan selisih 180o , sehingga minimbulkan kopel (terlihat pada gambar sketsa pemberian posisi beban ) dengan kecepatan pengambilan data 100 data perdetik.
M-1
VALIDASI POROS-ROTOR PERAGA DENGAN FINITE ELEMEN CAD Untuk memvalidasi model poros-rotor yang dibuat, pada penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan pemodelan dengan Mechanical Dekstop (geometriknya) kemudian analisis dilakukan diVisual NASTRAN 4D 2003 (analisisnya) (Msc Nastran, 2005) Dengan pendekatan FEM, software ini dapat merepresentasikan simulasi gerakan, kecepatan, percepatan, tegangan, gaya pada titik pool, dll. Adapun pemodelan adalah sebagai berikut :
M-2
Gambar 9. Penempatan dua massa pada selisih sudut 180o
Gambar 11. Pemodelan CAD tanpa massa
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
55
Proses analisis dilakukan dengan cara memasukkan : Dimensi aktual, Massa Jenis tiap komponen, tumpuan (Constraint) dll. Semua parameter tersebut dimasukkan sesuai dengan komponen nyata. Rotor yang dideskripsikan adalah rotor yang ideal, artinya rotor tersebut secara fisik tidak mengalami cacat, tidak mengalami ketidaksilindrisan, kondisi-kondisi ideal seimbang pada saat tidak diberi beban. Pemodelan Ketakseimbangan Statik Pada pemodelan ini digambarkan benda uji dengan menggunakan beban tak balans dengan beda posisi 0o, Parameter kecepatan putar dimasukan yaitu Rotor diputar pada kecepatan 1200 rpm dengan diberi massa tak balans sebesar 20,51 gram pada jarak terluar disk.
Dengan pemodelan ini pegas & redaman juga dimodelkan constraint. Harga pegas & redaman tersebut dimasukan secara langsung pada input data. Pendekatan tersebut dapat ditampilkan pada gambar 12 & 13. Setelah itu dilakukan analisis dengan model rotor yang diputar dengan kecepatan yang diinginkan, kemudian nilai redaman secara bertahap dimasukan kedalam input sampai mendekati hasil eksperimen. Hasil yang diperoleh adalah berupa percepatan pada titik tertentu, sehingga yang dibandingan dengan nilai percepatan (pada posisi penempatan sensor).
Gambar 14. Hasil Analisis V. NASTRAN 3D 2003 (static unbalance)
Gambar 12. Pemodelan CAD dengan massa model statik
Pemodelan Dinamik Pada pemodelan ini digambarkan benda uji dengan menggunakan beban tak balans dengan beda posisi 180o, Rotor diputar pada kecepatan 1200 rpm dengan diberi massa unbalance sebesar 20,51 gram pada.
Parameter massa bahan, harga kekakuan & harga redaman memegang peranan yang penting untuk memperoleh hasil yang sesuai. Dengan pendekatan ini menunjukan nilai percepatan terhadap waktu yang di peroleh pada posisi sensor. Yaitu antara -5 m/s2-25 m/s2 pada axis Y.
Constrain
Gambar 13. Pemodelan CAD dengan massa model dinamik
56
Gambar 15. Hasil Analisis V. NASTRAN 3D 2003 (dynamic unbalance)
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Dengan pendekatan ini menunjukan nilai percepatan terhadap waktu yang diperoleh pada posisi sensor. Yaitu antara 1.8 m/s2- 10 m/s2 pada axis Y. VALIDASI DENGAN PENDEKATAN ANALITIK Pada pendekatan ini mengacu pada referensi (Thomson, 1993) pendekatannya dengan menggunakan Metode Pseudo-Modal atau Metode Langsung (direct methode) kedua metode tersebut bisa digunakan untuk mendapatkan respon ketakseimbangan massa untuk multi rotor yang sesumbu. Penggunaan persamaan-persamaan mariks serta penerapannya menggunakan bantuan MathLAB. Berikut adalah diagram alir pembuatan program : Input : jumlah nodal, rapat massa jenis, besar massa unbalance, jumlah disk , poisson ratio Volume disk, poros
Matriks Massa, Redaman & Kekakuan Lokal
Penjumlahan Matriks Lokal Massa, Redaman
Hasil dari ekperimental belum merepresentasikan kekakuan & redaman yang sesuai dengan data teoritik yang diberikan, dikarenakan spesifikasi bearing yang belum diperoleh. Untuk mengatasi permasalahan tersebut maka dilakukan pendekatan analitik dengan cara memasukan nilai kekakuan pada setiap perhitungan melalui range yang proporsional secara bertahap. Proses yang dilakukan adalah dengan menggunakan beberapa persamaan Maka berikut ditunjukan hasil-hasil dari pemberian nilai kekakuan dan redaman sampai diperoleh nilai yang sesuai dengan eksperimental. Perhitungan berikut dilakukan berdasarkan sistim perhitungan 1x 1200 rpm tak balans statik. Asumsi yang diberikan dengan batasan sebagai berikut : (a) Nilai yang diubah adalah hanya kekakuannya saja sedangkan nilai redaman diasumsikan tetap (b) Setiap arah kekakuan di anggap sama Kxx=Kzz dan Kxz=Kzx=0. (c) Pembebanan massa unbalance yang sama. Pada aksis y secara teoritik di berikan nilai jarak (m) untuk membantu dalam melihat perubahan respon karena perubahan kekakuan bearing. Perhitungan-1. Pemberian nilai kekakuan K= 7x106 N/m C= 4x102 N/m/s , menghasilkan sinyal sebagai berikut :
Input : Kekakuan bearing, redaman baring pada tiap arah Pembentukan Matriks Global untuk Massa, Redaman & Kekakuan
Penjumlahan Matrik Global : Massa disk+shaft , Redaman Disk + Shaft , Kekakuan Shaft +. bearing
Operasi Matriks Invers dll.
Plot Grafik Respon Massa Unbalance
Gambar 16. Flowchart Program Untuk PseudoModal Methode (Msc Nastran, 2005)
Gambar 17. Amplitudo untuk K= 7x106 N/m C= 4x102 N/m/s (teoritik)
Pada hasil ini belum menunjukan kesamaan amplitude, dengan hasil eksperimental. Amplitudo lebih kecil dari yang hasil eksperimental, ini menunjukan pengaruh kekakuan yang berbeda dari asumsi teoritik. Dimana asumsi kekakuan pada nilai teoritik lebih besar. (untuk nilai axis y adalah hasil-
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
57
konversi nilai percepatan terhadap jarak yang diolah kedalam jarak) Perhitungan-2. Pemberian nilai kekakuan K= 6.5x106 N/m C= 4x102 N/m/s, menghasilkan sinyal sebagai berikut :
Gambar 20. Amplitudo untuk K= 4.5 x106 N/m C= 4x102 N/m/s
Gambar 18 Amplitudo untuk K= 6.5x106 N/m C= 4x102 N/m/s
Perhitungan-3 . Pemberian nilai kekakuan K= 5x106 N/m C= 4x102 N/m/s, menghasilkan sinyal sebagai berikut :
Berdasarkan hasil coba-coba yang dilakukan secara bertahap seperti yang digambarkan pada gambar 17 s/d gambar 20, dapat disimpulkan berdasarkan asumsi ini bahwa kekakuan untuk bearing & adalah : K= 4.5 x106 N/m C= 4x102 N/m/s Secara analitik dilakukan dengan memberikan beban pengimbang pada bagianbagian posisi yang sudah diberi massa balance. Hasil program yang telah dibuat dituangkan dalam grafik. Hasil yang diperoleh sama seperti yang diperoleh dari proses perhitungan jika tidak diberi massa pengimbang.
Tanpa respon
Gambar 19. Amplitudo untuk K= 5x106 N/m C= 4x102 N/m/s
Perhitungan-4 . Pemberian nilai kekakuan K= 4,5x106 N/m C= 4x102 N/m/s, menghasilkan sinyal sebagai berikut : Gambar 21. Grafik hasil pengukuran setelah proses balancing (Secara teoritik)
Bisa dilihat dari grafik diatas diambil kesimpulan bahwa pada untuk penyeimbangan unbalance diperoleh hasil yang ideal, tanpa ada sinyal lain seperti halnya pada hasil eksperimental.
58
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Proses Filter dengan MathLab Filter dilakukan dengan tuijuan menapis beberapa frekuensi yang tidak diperlukan atau bukan merupakan akibat massa tak seimbang. Secara hardware penapisan dapat dilakukan dengan bantuan penapis frekuensi rendah (lowpass filter) yaitu dengan mengunakan kapasitor (10 nF 100V). Bisa juga filter dilakukan dengan cara software dengan menggunakan Butterworth Lowpass Filter pada Math-LAB. Hasil rancangan filter jenis Butterworth Lowpass Filter (Sinaga, 1999) Program filter/tapisan dengan math-Lab, digambarkan sebagai berikut : clear all clc %filter n=5; Wn=0.02/5; [B,A]=butter(n,Wn); %data asli; t=0:0.01:(1000-0.01); %waktu sesuai data;load uji9.txt %ambil data x=uji9; %data N=length(x); X=2/N*abs(fft(x)); T=0.01; k=0:N-1; f=k*(1/(N*T)); %data yg difilter y=filter(B,A,x); Y=2/N*abs(fft(y)); figure(3); plot(f(1:N/2),X(1:N/2));grid; legend('data asli') xlabel('frekuensi [Hz]') ylabel('percepatan [m/s^2]') figure(4); plot(f(1:N/2),Y(1:N/2));grid; xlabel('frekuensi [Hz]') ylabel('percepatan [m/s^2]')
Penapisan ini juga bisa digunakan pada setiap frekuensi setelah kemunculan puncak akibat massa tak balans, dalam hal ini penapisan frekuensi setelah 20 Hz. Sistim Butterworth Lowpass Filter menggunakan prinsip polynomial, sehingga semakin tinggi orde polinomnya maka akan semakin memberikan kehalusan. Hasil Balancing Tahap berikutnya adalah balancing. dengan menggunakan metode sudut fasa, dilakukan proses balancing dengan prosedur pada persamaan (1) s.d (8) yang yang telah dijelaskan diatas. Kemudian setelah itu dilakukan pengukuran ulang/pengujian ulang dengan data akuisisi diperoleh grafik seperti terlihat dibawah ini
Gambar 22. Grafik hasil pengukuran setelah proses balancing
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa fluktuasi ada disekitar 1-1.5x10-5 kondisi ini merupakan kondisi yang paling seimbang yang telah dilakukan untuk proses penyeimbangan, hasil yang diperoleh identik seperti yang dihasilkan pada kondisi tdk diberi beban.
Gambar 22. Grafik hasil Butterworth Lowpass Filter
KESIMPULAN Kesimpulan Berdasarkan semua yang telah dilakukan pada penelitian ini dapatlah dikemukakan sebagai berikut : Dari hasil pengujian menunjukan hasil Penyeimbang dinamik dengan metode sudut-fasa cukup baik, walaupun dari beberapa percobaan, sinyal masih menunjukan noise, akibat getaran bearing dan motor listrik. Sinyal pengganggu dapat dihindari dengan menggunakan isolator
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
59
medan magnet. Selain itu dapat juga dilakukan filter secara hardware (salah satunya dengan menggunakan kapasitor) atau filter secara software. Poros-rotor peraga yang dibuat mampu merepresentasikan sinyal akibat massa static-unbalance dan dynamic-unbalance Dalam pengoperasian terjadi penurunan putaran/frekuensi uji antara hasil pengukuran dan setting operasi benda (terjadinya sampling). Hal ini disebabkan oleh redaman struktur dan juga faktor beban/slip pada puli motor penggerak. Hasil teoritik cukup mendekati hasil yang diperoleh dengan eksperimental, melalui pemberian harga kekakuan & redaman secara bertahap. Penggunaan filter jenis Butterworth akan mengurangi amplitudo sinyal yang difilter, hal ini disebabkan karena filter jenis ini bukan ideal filter tetapi merupakan transisi antara bandpass dan bandstop filter. Pada pengukuran ketakseimbangan terjadi penurunan puncak amplitude yang relatif lebih rendah dari pada kondisi statik.
DAFTAR PUSTAKA Dianviviyanthi. 2000. Pendeteksian Cacat Tak Balans Pada Sistem Poros Rotor Dengan Teknik Pemodelan Waktu dan Pengenalan Pola. Bandung:Tugas Magister Jurusan Teknik Mesin ITB Fair. 2001. Pembuatan dan Pengujian Perangkat Lunak Pengakuisisi Data Berbasis LAB VIEW® 4.1 Untuk Mesin Penyeimbang. Bandung:Tugas Sarjana Jurusan Teknik Mesin ITB.
60
Indrajana, A. 1993. Penyempurnaan Konstruksi dan Pengujian Dinamik Mesin Penyeimbang Mampu Atur Berkapasitas 500 kg. Bandung:Tugas Sarjana Jurusan Teknik Mesin ITB. Lab Dinamika. 1997. Bahan Kuliah Kursus Singkat Getaran Permesinan Tingkat Lanjut, Diktat Kursus, Bandung : Lab. Dinamika PPAU-IR ITB. Lalanne, M&Ferraris, G. 1990. Rotordynamics Prediction in Engineering. John Willey and Sons. Nasution, A.Z. 1999. Integrasi Perangkat Lunak dan Pengujian Prestasi Mesin Penyeimbang Berkapasitas 100 Kg, Bandung : Tugas Sarjana, Jurusan Teknik Mesin ITB. Sinaga, RM. 1999. Pengembangan Penganalisis Sinyal dinamik 4 Kanal Berbasis Komputer dengan perangkat Lunak LabView. Bandung:Tugas Sarjana Jurusan Teknik Mesin ITB. TUTORIAL ; MSC Visual NASTRAN Dekstop (2005) Thomson, WT. 1993. Theory of Vibration with Application, Four Edition. USA:McGrawHill. Ullman, David G. 2009. The Mechanical Design Process, 4th edition. USA:Mc Graw Hill. Vance,John M. 1988. Rotordynamic of Turbomachinery. John Willey & Son.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
ISSN 0126 – 3463
KARAKTERISASI MINERAL TANAH JARANG IKUTAN TIMAH DAN POTENSI PENGEMBANGAN INDUSTRI BERBASIS UNSUR TANAH JARANG Shinta Virdhian dan Eva Afrilinda Balai Besar Logam dan Mesin, Kementerian Perindustrian Jalan Sangkuriang No. 12 Bandung, Jawa Barat 40135 E-mail:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Di Indonesia, mineral tanah jarang, monasit, xenotime dan zircon diasosiasikan dengan deposit alluvial timah, uranium dan emas. Mineral tanah jarang ditemukan sebagai mineral ikutan dari proses penambangan dan ekstraksi mineral timah. Pulau Bangka dan Belitung yang terletak di antara Semenanjung Malaysia dan Sumatera bagian timur diketahui sebagai deposit timah alluvial utama di Indonesia. Penelitian ini bertujuan melakukan karakterisasi dasar mineralogi dan komposisi kimia dari mineral tanah jarang yang berasosiasi dengan bijih timah. Mineral seperti monasit dan xenotim yang merupakan mineral ikutan mengandung sedikit kandungan unsur radioaktif seperti Th dan U. Hasil pengujian semi kuantitatif dari beberapa mineral (selected minerals) menggunakan EDX menunjukkan monasit memiliki rata-rata kandungan Ce 28,2 %, La 12,9 %, Nd 9,7 %, Pr 5,2 % dan Gd 3,9%. Sedangkan xenotim mengandung unsur utama Y 29,5 %, Dy 7,7 % dan Gd 2,6% Potensi pemanfaatan dan pengembangan industri berbasis tanah jarang didiskusikan dalam tulisan ini. Kata Kunci: mineral tanah jarang, timah, monasit, xenotim. ABSTRACT In Indonesia, the REE minerals, monazite, xenotime, and zircon are associated with tin, uranium and gold in alluvial deposits. REE minerals are found as by-product of tin ore mining and extraction process activities. The Bangka and Belitung Islands, located in the region between the Peninsular Malaysia and eastern region of Sumatra, are known as major alluvial tin deposits in Indonesia. This paper reports some basic characteristics of mineralogy and chemical composition of the REE minerals associated with tin ores. The main REE minerals in such ores include monazite and xenotime, which contain small amounts of radioactive elements such as thorium (Th) and uranium (U). Semi quantitative analysis of the selected minerals using EDX analysis showed that average elements contained in the monazite are Ce 28,2 %, La 12,9 %, Nd 9,7 %, Pr 5,2 % dan Gd 3,9%. Furthermore, xenotime consists of Y 29,5 %, Dy 7,7 %, and Gd 2.6 %. Potential application and development of rare earth based industries are discussed. Keywords: rare earth minerals , tin , monazite , xenotime . PENDAHULUAN Unsur-unsur tanah jarang pada tabel periodik adalah 15 logam-logam lanthanida ditambah dengan logam scandium dan yttrium, karena kedua logam tersebut memiliki sifat kimia yang hampir mirip dengan logam-logam lanthanida. Logam-logam lanthanida terdiri dari logam lanthanum, cerium, praseodymium, neodymium, promethium, samarium, europium, gadolinium, terbium, dysprosium, holmium, erbium, thulium, ytterbium dan lutetium. Unsurunsur tanah jarang merupakan kelompok unsur yang memiliki sifat elektronik, magnet, optik dan katalitik yang khusus. Unsur-unsur tanah jarang
digunakan untuk aplikasi magnet permanen magnet (30%), bidang metalurgi (20%), fluid cracking dan autokatalis (20%), aditif bahan gelas (10%), pospor (10%) dan sisanya untuk aplikasi pigmen dan keramik (Asnani dan Patra, 2013). Dalam aplikasinya penggunaan unsurunsur tanah jarang ini memerlukan kemurnian yang tinggi. Saat ini pemakaian logam tanah jarang banyak dikembangkan pada teknologi untuk menghasilkan energi terbarukan seperti pada aplikasi untuk kendaraan listrik dan turbin angin, industri teknologi informasi (IT) seperti , komputer dan telepon selular juga banyak menggunakan unsur-unsur tanah jarang
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
61
Keberadaan unsur-unsur tanah jarang relatif banyak ditemukan pada kerak bumi. Akan tetapi karena sifat kimianya keberadaan unsur tanah jarang tersebar dan tidak terkonsentrasi di suatu tempat sehingga tidak dapat diekploitasi secara ekonomis. Walaupun begitu beberapa deposit mineral tanah jarang dapat diolah secara ekonomis yaitu mineral basnaesit, ion absoption clay, monasit dan xenotim. Cadangan logam tanah jarang yang sudah diolah terdapat di banyak negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Brazil, China, India, Malaysia dan lain-lain. Diketahui bahwa China memiliki cadangan mineral tanah jarang yang besar dan China juga menguasai pemenuhan produksi tanah jarang dunia. Harga oksida tanah jarang dan logam tanah jarang meningkat secara drastis pada tahun 2010 dan 2011 tapi kemudian menurun pada tahun 2012. Kenaikan harga yang drastis ini karena pembatasan kuota ekspor oleh China yang menguasai hampir 97 % produksi
oksida tanah jarang maupun logam tanah jarang di dunia (Humphries, 2012). Tujuan penelitaian ini adalah untuk mendapatkan karakteristik mineral logam tanah jarang yang ada di areal pertambangan PT Timah (Kepulauan Bangka) sehingga dapat dicapai sebagai acuan untuk pengolahan mineral tanah jarang skala industri dan ekonomis. TINJAUAN PUSTAKA Mineral Tanah Jarang dan Penyebarannya di Dunia Klasifikasi dari deposit mineral tanah jarang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 2 menunjukkan mineral-mineral tanah jarang yang dikelompokan menurut komposisi kimianya. Deposit utama dikelompokkan secara umum sebagai igneous, sedimentary, dan secondary. Gambar 1 menunjukkan penyebaran mineral tanah jarang di dunia.
Tabel 1. Klasifikasi deposit mineral tanah jarang (Kamitani, 1991) 1.
2.
3.
62
Tipe Deposit Igneous Hydrothermal Carbonatites Alkaline rocks Alkaline granites Sedimentary Placer Conglomerate Secondary Ion adsorption clay
Tambang Bayan Obo (China) Mount Pass (USA), Weshan, Maoniuping(China), Mount Weld (Australia), Catalao (Brazil) Khibiny, Lovozeiro (Russia), Posos de Caldas (Brazil) Strange Lake (Canada) Kerala (India), Western Australia, Queensland (Australia), Richard Bay (South Africa) Elliot Lake (Canada) Longnan, Xunwu (China)
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Tabel 2. Klasifikasi mineral tanah jarang berdasarkan komposisi kimianya (Kanazawa & Kamitani, 2006)
Bayan Obo, China adalah deposit tanah jarang terbesar di dunia. Total mineral reserve tambang yang terdapat di Bayan Obo setidaknya 1.5 milyar metrik ton Fe (grade rata-rata 35%), 48 juta ton oksida tanah jarang ( grade rata-rata 6%) dan 1 juta ton Nb. Mineral tanah jarang yang utama adalah bastnaesite, monasit dan RENb mineral seperti aeschynite, felgusonite dan columbite. Mountine Pass, USA adalah deposit tanah jarang kedua terbesar di dunia. Deposit dalam bentuk mineral carbonatite terletak di bagian selatan California dan Nevada. Total oksida tanah jarang reserve adalah sekitar 28 juta metrik ton (grade 5-10% REO). Produksi pada tahun 2006 turun drastis menjadi 5000 ton/tahun karena beberapa permasalahan. Mount Weld, Australia memiliki deposit mineral tanah jarang yang berupa carbonite intrusive pipe yang memiliki diameter 3 km. Bagian permukaan mengandung Nb-Ta, P dan konsentrasi unsur tanah jarang yang memiliki kandungan unsur radioaktif (Th dan U) yang lebih rendah. Mineral utamanya adalah
basnaesite. Cadangan deposit diperkirakan sekitar 917.000 ton oksida tanah jarang. Selain carbonite deposit, mineral pasir berat tipe plaser deposit juga terdapat di sepanjang Australian coast. Mineral yang terkandung meliputi rutilezircon-ilmenite pada east coast, ilmenit pada south west coast, sedangkan mineral tanah jarangnya berupa monasit dan xenotim. Tipe deposit yang lain adalah ion adsorption clay. Tipe ini terdapat di selatan China (Nanling). Secara umum batuan granit adalah batuan umum yang merupakan host dari deposit tipe ion adsorption clay. Mineral tanah jarang tipe ini diabsorpsi oleh mineral kaolin dan halloysite. Walaupun kandungan tanah jarang yang relatif rendah (0.005-0.2%), proses penambangan dan pengolahan relatif mudah. Deposit ditambang dengan menggunakan metode open pit dan tidak membutuhkan penggerusan (milling) dan ore dressing. Selain itu kandungan radioaktifnya yang relatif rendah (Kanazawa dan Kamitani, 2006).
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
63
Gambar 1. Distribusi mineral tanah jarang di dunia (Yasuo Kanazawa, 2006)
Potensi Unsur Tanah Jarang di Indonesia Keberadaan mineral tanah jarang di Indonesia diindikasikan pada daerah yang mengandung intrusi granitoid, alluvial dan plaser. Daerahdaerah yang memiliki ekstensif instrusi granitoid di Indonesia adalah Pulau Bangka dan Belitung, Kepulauan Tujuh, Singkep, Kundur, Karimun Jawa, Sumatera, Kalimantan, Pulau Sula Banggai (timur Sulawesi) dan bagian barat Papua (Johari dan Kuntjara, 1991). Mineral logam tanah jarang yang umum ditemukan di Indonesia adalah monazite dan xenotime. Di Indonesia, mineral yang mengandung tanah jarang ditemukan di daerah Bangka Belitung, bersama dengan mineral timah, dan di Kalimantan, bersama dengan mineral emas. Menurut data Pusat Sumber Daya Geologi tahun 2009, cadangan mineral monazite di Indonesia adalah lebih dari 951.000 ton (Suhkyat, 2013). Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai keberadaan mineral tanah jarang di Indonesia. 1. Pulau Bangka dan Belitung Keberadaan mineral tanah jarang monasit dan xenotim ditemukan sebagai ikutan dari mineral bijih timah (kasiterit). Tabel 3 menunjukkan tipikal kandungan monasit dan xenotim pada
64
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
bijih timah yang belum diproses (raw sand) di Pulau Bangka dan Belitung. Tabel 3. Tipikal kandungan monasit dan xenotim pada konsentrat bijih timah yang belum diolah di Pulau Bangka dan Belitung (Suhkyat, 2013; Irawan, 2013) Mineral Kasiterit Monasit Xenotim
Bangka(%) 40.1 1.31 0.23
Belitung (%) 41.0 0.67 0.56
2. Pegunungan Tiga Puluh (Suwargi & Nugroho, 1991) Hasil penelitian joint research antara Indonesia (ESDM) dengan JICA pada tahun 1989 mendeteksi anomali geokimia unsur tanah jarang pada hulu Sungai Isahan dan Sungai Sikambu di Pegunungan Tiga Puluh, Riau. Mineralisasi di hulu sungai Isahan, ditemukan singkapan pegmatit dengan urat kuarsa yang mengandung kasiterit, muskovit, turmalin, arsenopirit, pirit dan sedikit beril. Hasil analisis kimia dari contoh urat yang mengandung kasiterit, menujukkan bahwa pegmatit di sungai isahan mengadung 3,84% Sn, 0,07% W, dan 0,08-0,24% Ce.
3. Kalimantan Barat Mineral tanah jarang selain merupakan ikutan dari bijih timah dan emas, didapat juga pada bijih uranium yang terdapat di daerah Rirang, Kalimantan Barat. Jenis mineral tanah jarang yang terdapat di daerah tersebut adalah monasit (Rifandriah et.al., 2004). Dari hasil penelitian cebakan uranium di daerah Rirang, diperoleh kandungan unsur tanah jarang 5964.63 ton (Suharji et.al, 2006). 4. Papua bagian barat Daerah Selatan Nabire terdapat konsentrasi tinggi dari Th, W, Ta dan Nb pada aliran endapan Permian Kwartisore Granite dan Utawa Diorite. Contoh dari Sungai Wami mengandung 740 ppm Th, 25 ppm W, 440 ppm Nb dan 34 ppm Ta. Kandungan U dan Ce juga terindikasi di daerah ini. Dekat jalur granit utama dari Late Permian ke Middle Triassic terdapat kandungan timah, kandungan yang rendah dari monasit, xenotim, dan ziron juga ditemukan daerah Waren Anggi Granite. (Ratman, 1986). 5. Pulau Sula Banggai (Sulawesi) Karakteristik kimia dan radioaktif dari pre jurassic granite di P. Sula Banggai (sebelah Timur Sulawesi) memiliki kemiripan dengan
granit di Pulau Timah (Johari & Kuntjara, 1991). METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, contoh yang diuji adalah konsentrat bijih timah yang didapatkan dari amang plant yang berada di daerah penambangan. Gambar 2 menunjukkan proses pengolahan bijih timah di PT Timah dengan proses pemisahan dari mineral ikutannya. Dalam proses in, konsentrasi mineral yang mengandung bijih timah ditingkatkan menjadi 70% sebagai persyaratan sebelum memasuki tungku peleburan. Selain itu, proses pengolahan ini juga memisahkan bijih timah dari mineral-mineral ikurannya. Mineral tanah jarang seperti monasit dan xenotim diperoleh sebagai by-product / ikutan dari bijih timah. Pemisahan dilakukan berdasarkan sifat magnet dan sifat listrik dari mineral timah dan ikutannya. High tension separator akan memisahkan mineral berdasarkan sifat kelistrikannya yaitu menghantarkan listrik (konduktor) dan tidak menghantarkan listrik (isolator). Sedangkan magnetic separator memisahkan mineral berdasarkan sifat magnetiknya yaitu bersifat magnet (magnetic) dan tidak bersifat magnet (nonmagnetic).
Gambar 2. Diagram alir pengolahan bijih timah untuk dipisahkan dari mineral mineral ikutan (Harjanto, Virdhian, dan Afrilinda, 2013)
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
65
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis semi kuantitatif dari konsentrat bijih timah yang belum diproses Dalam analisis semi kuantitatif ini, contoh yang diuji adalah konsentrat bijih timah yang didapatkan dari amang plant ( daerah penambangan) yang sudah melalui proses pencucian. Konsentrat bijih timah ini selanjutnya akan dipisahkan secara fisik berdasarkan sifat
magnet dan listriknya seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2. Gambar 3 menunjukkan gambar SEM (Scanning Electron Microscope) dari konsentrat timah yang akan dipisahkan lebih lanjut. Pada konsentrat tersebut dapat diindenfikasi mineral ikutan selain mineral timah (kasiterit) yaitu monasit, xenotim, ilmenit, dan silika dengan menggunakan analisis EDX.
Gambar 3. Gambar back scattered SEM dari contoh konsentrat bijih sebelum diproses M = Monasit, C = Kasiterit, X = Xenotim, I = ilmenit, and Q = Quartz
Analisis semi kuantitatif dengan menggunakan Energy Dispersive X-Ray Spectrometer (EDX, FEI INSPECT F50, Apolox EDS Analyzer) dilakukan untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam monasit dan xenotim. Gambar 4 menunjukkan hasil spectrum pengujian analisis EDX. Hasil analisis menunjukkan mineral monasit yang kaya akan cerium, lanthanum, samarium, uranium dan thorium, sedangkan xenotim mengandung yttium, gadolinium dan dysporsium, uranium dan
66
thorium. Gambar 5 menunjukkan grafik kandungan unsur-unsur tanah jarang dalam mineral monasit dan xenotim. Hasil ini menunjujjan bahwa monasit dan xenotim memiliki komposisi kimia yang bervariasi. Nilai yang ditampilkan pada grafik adalah nilai ratarata dari beberapa contoh yang diuji. Monasit terindikasi memiliki kandungan mineral radioaktif seperti thorium yang lebih tinggi daripada xenotim.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Gambar 4 Analisis elemen dari spektrum EDX, a) Monazite; b) Xenotime
Monasit
Gambar 5. Analisis semi kuantitatif menggunakan EDS dari beberapa mineral monasit dan xenotim (selected minerals)
Potensi Pengembangan Industri Berbasis Unsur Tanah Jarang Hasil karakterisasi monasit dan xenotime menunjukkan unsur-unsur tanah jarang yang memiliki potensi untuk dikembangkan di Indonesia. Unsur-unsur tanah jarang banyak diperlukan untuk pengembangan teknologi maju yang sudah dijelaskan. Tabel 3 menunjukkan pemanfaatan unsur-unsur tanah
jarang. Pada umumnya unsur tanah jarang hanya ditambahkan dalam jumlah yang sedikit untuk meningkatkan sifat dari material tersebut. Produk high end dapat diperoleh dengan melakukan proses seperti pada Gambar 6.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
67
Tabel 3 Aplikasi utama dari unsur-unsur tanah jarang (Humphries, 2012) Unsur Tanah Jarang RIngan Lanthanum (La) Cerium (Ce) Praseodymium (Pr) Neodymium (Nd)
Samarium (Sm) Europium (Eu)
Aplikasi utama
Unsur Tanah Jarang Berat Terbium (Te) Dysprosium (Dy)
Hybrid engine, paduan logam Autokatalis, pemurnian petrolium, paduan logam Magnet Autokatalis, pemurnian petroleum, hard drives, headphone, hybrid engine, magnet Magnet Red color untuk layar televisi dan komputer
Aplikasi Utama Phosphors, magnet Magnet, hybrid engine
Erbium (Er) Yttrium (Y)
Phosphors Phosphors, red color, lampu fluorescent, keramik, paduan logam
Holmium (Ho) Thulium (Tm)
Pewarna gelas, laser x-ray untuk aplikasi kedokteran
Lutetium (Lu) Ytterbium (Yb) Gadolinium (Gd)
Katalis Laser, baja paduan Magnet
Ce O 2
3
La O 2
3
Nd O 2
Mineral (Monasit/ Xenotim)
Pemisahan Mineral dari Unsur radioaktif (U dan Th)
RE(OH)
3
dll
RE(OH)3 dipisahkan sebagai Oksida
3
Oksida diproses menjadi logam
Ce, La, Nd, Pr, etc
FeNdB, SmCo , 5
Hybrid Engine Magnet Katalis Water Treatment Defense LCD/LED Screen
LaNi , 5
Nd:YAG etc
Pemaduan unsur tanah tanah jarang
Gambar 6. Flow proses pengolahan tanah jarang dari mineral hingga menjadi produk jadi.
68
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
KESIMPULAN Hasil pengujian analisis dari beberapa mineral (selected minerals) menggunakan EDX analisis menunjukkan monasit memiliki ratarata kandungan Ce 28,2 %, La 12,9 %, Nd 9,7 %, Pr 5,2 %, dan Gd 3,9 %. Sedangkan xentotim mengandung unsur utama Y 29,5 %, Dy 7,7 %, dan Gd 2,6 %. Hasil uji menunjukkan bahwa mineral tanah jarang didapatkan sebagai mineral ikutan dari penambangan timah dan emas. Maka dari itu, pengelolahan lebih lanjut dari mineralineral ikutan agar dimanfaatkan secara optimal dari sumber daya alam yang ada di Indonesia. Selain itu explorasi perlu dilakukan untuk mencari dan mengidentifikasi daerah lain yang memiliki potensi tanah jarang, sehingga pengolahannya bisa lebih ekonomis dengan sumber daya yang lebih besar. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada PT Timah Tbk, atas fasilitas dan bantuan yang diberikan dalam kegiatan ini, kepada Denny Noviansyah (Pusat Kajian Teknologi BPKIMI, Kemenperin) untuk diskusi dan saran dalam kegiatan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Asnani, C., & Patra, R. 2013. Rare Earth from Monazite Indian Experience. Conference of Metallurgist 2013 (pp. 167-172). Montreal: Canadian Institute of Mining, Metallurgy and Petroleum. Harjanto, S., Virdhian, S., & Afrilinda, E. 2013. Characterization of Indonesia rare earth minerals and their potential processing rechniques. Conference of Metallurgist 2013 (pp. 99-108).
Montreal: Canadian Institute of Mining, Metallurgy and Petroleum. Humphries, M. 2012. Rare Earth Elements THe Global Supply Chain. USA: CRS Report for Congress. Irawan, S. 2013. Rare Earth Element Mineral Processing in PT Timah Tbk. Workshop on Rare Earth Element Mineral Processing and Refining in Indonesia. Bandung. Johari, & Kuntjara, U. 1991. The Occurence of Rare Earth Mineral in Indonesia. Material Science Forum, 645-661. Kamitani, M. 1991. Proceedings of International Conference on Rare Earth for Electronic Use, (pp. 181-191). Kanazawa, Y., & Kamitani, M. 2006. Rare earth minerals and resources in the world. Journal of Alloy and Compound 408-412, 1339-1343. Ratman, N. 1986. Metalliferous Mineralisation Related to the Geological Environtment in Western Irian Jaya. Buletin of GDRC No. 12 . Rifandriah et.al., E. 2004. Penentuan Kondisi Dekomposisi Optimal Bijih Uranium Rirang Kalan. PPGN-BATAN. Suharji et.al. 2006. Peningkatan Kwalitas Estimasi Cadangan Uranium dan Unsur Tanah Jarang Sebagai Asosiasinya di Sektor Rirang Hulu, Kalimantan Barat. Suhkyat, R. 2013. Potential and Distribution of Indonesia Mineral Resources and Deposits. Seminar on Acceleration Attempts to Increase Domestic Minerals Added Value. Suwargi, E., & Nugroho, D. 1991. Hasil Penelitian Logam Jarang di Pegunungan Tiga Puluh Riau. Direktorat Sumberdaya Mineral. Suwargi, E., Pardiarto, B., & Ishlah, T. 2010. Potensi Tanah Jarang di Indonesia. Buletin Sumber Daya Geologi Volume 5 Nomor 3, 131-140.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
69
ISSN 0126 - 3463
LATENCY KAMERA PADA PENGOLAHAN CITRA DIGITAL REAL-TIME 1
Puji Hartono1, Trismiyati2
Pranata Komputer Balai Besar Logam Mesin, 2Peneliti Balai Besar Logam Mesin Jl Sangkuriang 12, Bandung - 40135 Email:
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Latency pada aplikasi real-time menjadi faktor yang sangat penting karena hasil akhir tidak hanya ditentukan oleh nilai keluarannya saja, tetapi juga waktunya. Pada pengolahan citra digital waktu nyata, faktor penyumbang latency yang signifikan adalah pada kamera. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kamera tipe webcam mempunyai latency yang lebih kecil daripada kamera tipe IP Camera karena pada IP camera, data dikirimkan melalui media jaringan. Pada pengujian 2 buah seri webcam didapatkan latency < 200 ms, sedangkan pada 2 buah seri IP camera didapatkan latency > 300 ms. Nilai latency juga dipengaruhi oleh jumlah fps yang digunakan, semakin tinggi nilai fps maka latency juga semakin besar. Nilai latency pada kamera akan menjadi pertimbangan pada perancangan sistem yang lebih besar sehingga faktor latency dapat diantisipasi dan sistem yang dibangun tetap dapat berfungsi dengan benar. Kata Kunci: Latency, kamera, pengolahan citra digital, real-time ABSTRACT Latency in realtime applications becomes a very important factor because the end result is not only determined by the value of the output,but also by the timing. In realtime digital image processing, a significant contributing factor to latency is on the camera. The test results showed that the webcam has a shorter latency than IP camera because the camera IP, data is transmitted over the network. In test of 2 pieces series webcam, measured latency was <200 ms, whereas in 2 pieces series IP camera measured latencies was > 300 ms. Latency also depends on the amount of fps, the higher fps,the longer latency. Latency on the camera will be a consideration in the design of systems so that the latency factor can be anticipated and the system can still work properly. Keyword: Latency, camera, digital image processing, real-time. PENDAHULUAN Jenis kamera yang banyak di pasaran adalah webcam dan IP camera. Kedua jenis kamera ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi keduanya sama mudah dipasang ke perangkat komputasi melalui USB dan ethernet. Pada aplikasi pengolahan citra digital real-time, kamera yang handal diperlukan agar hasil pembacaan objek oleh kamera dapat sampai ke perangkat komputasi dengan delay sekecil mungkin dan dengan distorsi citra sekecil mungkin. Ada beberapa parameter yang memengaruhi kinerja sebuah kamera, seperti: fps (frame per second), resolusi, latency dan shutter speed Penentuan jenis kamera yang sesuai menjadi faktor yang sangat penting sehingga sistem pengolahan citra digital real-time yang dibangun dapat bekerja dengan baik sesuai spesifikasi yang ditentukan.
70
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
LANDASAN TEORI Latency Latency pada kamera adalah waktu yang dibutuhkan mulai dari pembacaan objek oleh kamera sampai objek tampil di pengamatan pada unit komputasi. Latency pada aplikasi pengolahan citra digital terdiri atas beberapa sumber, yakni latency yang berasal dari: kamera, encoder, jaringan, decoder dan display. Pengambilan Citra Kamera dapat menghasilkan citra objek menggunakan sensor. Gambar 1 menunjukkan sensor pencitraan tunggal. Energi yang masuk diubah menjadi gelombang tegangan oleh kombinasi masukan daya listrik dan material sensor yang responsif terhadap tipe energi tertentu yang terdeteksi.1 Sensor menghasilkan tegangan yang berbeda dari penyerapan energi yang berbeda ketika sensor membaca objek. Tegangan ini yang pada akhirnya akan diinterpretasikan menjadi sebuah citra digital.
Gambar 1. Sensor Pencitraan Tunggal1
Line Scan vs Area Scan Sensor kamera ada 2 jenis, line scan dan area scan. Pada line scan, citra objek diambil pergaris, kemudian disusun untuk menjadi sebuah citra 2 dimensi (Gambar 2a).
conferencing. Koneksi webcam ke komputer umumnya menggunakan antarmuka USB. IP Camera IP Camera atau Network Camera merupakan kamera yang disertai dengan kemampuan akses melalui jaringan. Saat ini, IP camera berkembang pesat dengan berbagai variasi resolusi dari VGA sampai dengan high definition. Koneksi IP camera ke komputer dengan menggunakan antarmuka RJ45 dengan kabel UTP. IP camera banyak digunakan sebagai kamera pengawasan seperti CCTV (Closed-circuit television), hanya saja pengguananya lebih luas karena adanya fitur dapat diakses melalui jaringan. Gambar 3 menunjukkan contoh jenis kamera tipe webcam dan Gambar 4 menunjukkan contoh IP camera.
(a) Webcam Logitech C170
(b) Webcam Logitech C920
(c) IP Camera Zestron ZIP300
(d) IP Camera Avtech AVM284D
Gambar 2(a). Line scan camera (elm-cham.org)
Gambar 3. Beberapa jenis kamera: webcam dan IP camera Gambar 2(b). Line scan camera ((elm-cham.org)
Pada area scan camera, citra objek diambil sekaligus dalam bentuk 2 dimensi (Gambar 2b). Webcam Webcam adalah kamera video yang didesain untuk terhubung langsung dengan PC. Kamera bisa digunakan untuk merekam klip video yang bisa dikirim melalui e-mail atau untuk mentransmisikan gambar secara langsung melalui internet untuk keperluan video
Pengolahan Citra Digital Skema perangkat keras untuk pengolahan citra beserta aliran datanya digambarkan sebagai berikut
Gambar 5. Skema perangkat keras pengolahan citra beserta aliran datanya2
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
71
Frame per Second Frame per second menunjukkan banyaknya jumlah bingkai citra yang dihasilkan dalam tiap detik. Adapun dari segi komputasi, secara umum, semakin tinggi nilai fps pada sebuah kamera, maka dibutuhkan CPU yang lebih tinggi pula guna memproses citra agar tidak ada bingkai citra yang terlewatkan. Kamera perekam pada umumnya mempunyai rentang frame persecond antara 20 sampai dengan 30. Pada kamera untuk kebutuhan khusus, misalkan untuk merekam benda jatuh, lomba balap mobil maka akan menggunakan kamera yang mempunyai fps sangat besar. Komputasi Real-Time Komputasi real-time adalah kondisi pengoperasian dari suatu sistem perangkat keras dan perangkat lunak yang dibatasi oleh rentang waktu dan memiliki tenggat waktu (deadline) yang jelas, relatif terhadap waktu suatu peristiwa atau operasi terjadi. Sebuah sistem non-waktu nyata sebagai lawannya tidak memiliki tenggat waktu. Contoh dari sebuah sistem waktu nyata adalah sistem pengendali pesawat terbang. Batasan waktu pada sistem pengendali pesawat terbang harus tegas karena penyimpangan terhadap batasan waktu dapat berakibat fatal, yaitu kecelakaan. Aplikasi real-time terbagi menjadi 3 kategori: Hard real-time yaitu aplikasi dengan adanya waktu tenggang terlampaui menyebabkan sistem gagal total dan menjadi tidak berguna sama sekali Firm real-time yaitu aplikasi dengan adanya waktu tenggang yang masih ditolerir terlampaui mengakibatkan menurunkan kualitas. Setelah melampaui batas yang ditolerir, maka sistem tidak berguna lagi. Soft real-time yaitu aplikasi dengan kegunaan hasil menurun setelah batas waktu yang ditentukan. Hasil ini akan menurunkan kualitas sistem layanan METODOLOGI PENELITIAN Pengukuran latency pada kamera yang dilakukan dengan cara sebagai berikut Menjalankan program di laptop untuk menampilkan waktu sekarang (timestamp) Mengarahkan kamera ke layar laptop untuk pengambilan citra (layar laptop digunakan sebagai objek yang akan diambil gambarnya)
72
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Mencatat waktu saat gambar sampai ke laptop. Latency dihitung dari waktu saat gambar sampai di layar laptop (waktu PC/laptop) dikurangi dengan waktu awal proses pengambilan citra objek di sistem laptop (waktu objek). Pengukuran latency diilustrasikan dalam Gambar 6.
Gambar 6. Diagram proses pengukuran
Gambar 7 menunjukkan saat pengukuran dilakukan menggunakan kamera dan laptop.
Gambar 7. Diagram Pengambilan data waktu objek oleh kamera
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan data waktu (objek) dan waktu (PC) dengan berbagai tipe kamera dilakukan sebanyak 5 kali. Pengambilan data dilakukan dengan jumlah fps divariasikan. Ketidakpastian latency (U95%) dihitung berdasarkan ketidakpastian pengukuran berulang dan resolusi. Hasil pengujian dengan mengambil beberapa sampel didapatkan data latency sebagai berikut Webcam Logitech C170 Tabel 1. Menunjukkan Webcam Logitech C170 dengan mengambil resolusi 640x480 dan frame per second 7
Tabel 1. Latency pada Webcam Logitech C170 Waktu Waktu Selisih (Objek) (PC) (ms) 22:17:57:106 22:17:57:319 213 22:17:59:409 22:17:59:598 189 22:18:00:108 22:18:00:316 208 22:18:02:503 22:18:02:717 214 22:18:04:206 22:18:04:398 192 Rata-rata 203
Tabel 3. Latency pada IP Camera Zestron ZIP300
Latency rata-rata diperoleh senilai 203 ms dengan ketidakpastian U95% senilai ± 15 ms ( k = 2,8) dan jumlah frame per second sebanyak 7
Rata-rata latency diperoleh senilai 321 ms dengan ketidakpastian U95% senilai 10 ms (k = 2,8) dan jumlah frame per second sebanyak 25.
Webcam Logitech C920 Webcam Logitech C920 dengan mengambil resolusi 640x480 dan frame per second 15
IP Camera Avtech AVM284D IP Camera Avtech AVM284D dengan mengambil resolusi 640x480 dan frame per second 25 dengan menggunakan kabel UTP yang dihubungkan secara cross.
Tabel 2. Latency pada Webcam Logitech C920
21:29:30:083
Waktu (PC) 21:29:30:206
Selisih (ms) 123
21:29:30:204
21:29:30:338
134
21:29:31:083
21:29:31:206
123
21:29:32:086
21:29:32:206
120
21:29:32:146
21:29:32:276
130
Rata-rata
126
Rata-rata latency diperoleh senilai 126 ms dengan ketidakpastian U95% senilai 6 ms (k = 2,7) dan jumlah frame per second sebanyak 15. IP Camera Zestron ZIP300 Sensor pada kamera ini menggunakan sensor citra CCD (charge-coupled device), lain halnya dengan 3 kamera yang digunakan dalam eksperimen ini yang menggunakan sensor citra CMOS (complementary metal-oxide semiconductor). Uji coba IP Camera Zestron ZIP300 dengan mengambil resolusi 640x480 dan frame per second 25 dengan menggunakan kabel UTP yang dihubungkan secara cross.
Waktu (Objek) 13:47:51:339
Waktu (PC) 13:47:51:646
Selisih (ms) 307
13:47:51:673
13:47:52:000
327
13:47:52:643
13:47:52:967
324
13:47:52:794
13:47:53:119
325
13:47:52:916
13:47:53:238
322
Rata-rata
321
Tabel 4. Latency pada IP Camera Avtech AVM284D Waktu Waktu Selisih (Objek) (PC) (ms) 08:24:13:410 08:24:13:744 334 08:24:13:531 08:24:13:835 304 08:24:15:695 08:24:15:982 287 08:24:16:726 08:24:16:360 310 08:24:20:367 08:24:20:671 304 Rata-rata 308
Rata-rata latency diperoleh senilai 308 ms dengan ketidakpastian U95% senilai 21 ms (k=2,8) dan frame per second sebanyak 25. Pengaruh Frame Rate pada IP Camera Pengukuran juga dilakukan dengan frame rate per second yang berbeda. Berikut ini pengukuran latency IP Camera Avtech AVM284D dengan 30 fps Tabel 5. Latency AVM284D pada 30 fps Waktu (Objek) 20:25:11:533
Waktu (PC) 20:25:12:721
Selisih (ms) 1188
20:25:11:563
20:25:12:756
1193
20:25:11:593
20:25:12:794
1201
20:25:11:623
20:25:12:830
1207
20:25:11:688
20:25:12:905
1217
Rata-rata
1201
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
73
Rata-rata latency diperoleh senilai 1201 ms dengan ketidakpastian U95% senilai 14 ms (k=2,8) dan frame per second sebanyak 30. Berikut ini pengukuran latency IP Camera Avtech AVM284D dengan 20 fps Tabel 7. Latency AVM284D pada 20 fps Waktu (Objek) 09:19:7:562
Waktu (PC) 09:19:7:899
Selisih (ms) 337
09:19:7:653
09:19:7:998
345
09:19:7:713
09:19:8:063
350
09:19:8:016
09:19:8:363
347
09:19:8:168
09:19:8:499
331
Rata-rata
342
Rata-rata latency diperoleh senilai 342 ms dengan ketidakpastian U95% senilai 10 ms (k=2,8) dan frame per second sebanyak 20. Berikut ini pengukuran latency pada IP Camera Avtech AVM284D dengan fps = 15 Tabel 8. Latency AVM284D pada 15 fps Waktu Waktu Selisih (Objek) (PC) (ms) 09:30:40:043 09:30:40:451 408 09:30:40:316 09:30:40:717 401 09:30:40:376 09:30:40:785 409 09:30:41:43 09:30:41:451 408 09:30:44:43 09:30:44:450 407 Rata-rata 407
Rata-rata latency diperoleh senilai 407 ms dengan ketidakpastian U95% senilai 4 ms (k=2,7) dan frame per second sebanyak 15. Korelasi fps terhadap latency pada IP Camera Avtech AVM284D dengan 4 nilai fps yang berbeda digambarkan dalam grafik pada Gambar 8.
Gambar 8. Grafik Korelasi fps terhadap latency
74
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Analisis Latency pada webcam secara umum lebih kecil dibandingkan dengan IP Camera karena data dikirimkan secara langsung ke komputer tanpa melalui jaringan. Kecepatan USB2 dapat mencapai 480 Mbps, sementara kecepatan maksimum transfer data pada ethernet dengan mode full duplex sebesar 100 Mbps. Jumlah frame per second juga berpengaruh pada besarnya latency. Latency pada 30 fps sangat besar dimana latency lebih dari 1 s. Hal ini karena semakin banyak frame yang diproses (encode, decode, tranfer melalui jaringan). Nilai latency pada 2 jenis IP camera yang diujicobakan optimal di 25 fps. Besar latency juga sangat dipengaruhi oleh konfigurasi resolusi yang digunakan, semakin besar resolusi citra maka akan semakin besar ukuran file-nya sehingga proses transfer file citra akan memakan waktu lebih lama. KESIMPULAN DAN SARAN Latency pada IP Camera lebih besar karena ada proses transfer data melalui jaringan Pada pengujian 2 seri webcam, didapatkan latency < 200 ms Pada 2 seri IP camera didapatkan latency > 300 ms. Secara umum webcam mempunyai frame per second lebih rendah dari IP camera. Latency juga dipengaruhi oleh frame per second, semakin tinggi fps, maka semakin tinggi latency pada kamera Dari pengujian, didapat kesimpulan bahwa jenis sensor baik CCD maupun CMOS tidak terlalu signifikan pada besarnya latency, hal ini terlihat dari perbandingan latency pada ZIP 300 dengan AVM284D
DAFTAR PUSTAKA 1. Gonzales, R.C. and R. E.Woods. 2008. Digital Image Processing. Third Edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall. 2. Ahmad, U. 2005. Pengolahan Citra Digital & Teknik Pemrogramannya. Yogyakarta: Graha Ilmu. 3. Daintith, J. and E.Wright. 2008. A Dictionary of Computing. UK: Oxford Press 4. Haivision Network Video. Understanding End-to-End Latency for Network Video Applications.(http://www.techex.co.uk/reso urces/white-papers/understanding-end-toend-ip-video-latency/download, diakses tanggal 6 November 2014). 5. Prasetyo, E. 2011. Pengolahan Citra Digital dan Aplikasinya menggunakan Matlab. Yogyakarta:Andi.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
75
ISSN 0126 - 3463
PENELITIAN EFISIENSI ENERGI PADA MESIN HORIZONTAL BORING & MILLING Sony Harbintoro Balai Besar Logam dan Mesin Kementerian Perindustrian Jl. Sangkuriang 12 Bandung - Jawa Barat Email:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian mengenai efisiensi energi pada mesin horizontal boring & milling telah dilaksanakan di workshop pemesinan Metal Industries Development Center Bandung. Efisiensi energi pada bidang manufaktur merupakan salah satu faktor penting dalam proses mendukung green industry. Penelitian ini menganalisa dampak dari retrofit sistem kendali terhadap penggunaan energi listrik pada mesin horizontal boring & milling. Metode penelitian efisiensi penggunaan daya listrik dilaksanakan sebelum dan sesudah retrofit pada sistem kendali. Pengukuran penggunaan daya listrik dilaksanakan pada saat mesin mengerjakan benda kerja dengan material yang sama. Data dari hasil pengukuran, dianalisis untuk mendapatkan besaran efisiensi energi listrik. Dari penelitian ini ditampilkan bahwa setelah dilakukan retrofit sistem kendali, dapat dicapai penurunan penggunaan energi listrik sebesar 21,5%. Kata Kunci: sistem kendali, efisiensi, energi, horizontal boring & milling
ABSTRACT Research on energy efficiency in a horizontal boring and milling machine has been implemented in the machining workshop at Metal Industries Development Center Bandung. Energy efficiency in the manufacturing process is one of the important factors to support the green industry. This research analyzed the impact of the control system retrofit on the horizontal boring and milling machine for the electric energy consumption. The methods of research was conducted before and after the retrofit of the control system. Measurements was carried out on the use of electrical power was using the same workpiece material. Data from the experiment was analyzed to obtain the amount of electrical energy efficiency. This research was shown that, after the control systems retrofit, the reduction about 21.5% of electrical energy can be achieved. Keywords: control system, eficiency, energy, horizontal boring & milling PENDAHULUAN Mesin horizontal boring & milling merupakan salah satu mesin perkakas yang banyak digunakan dalam proses pemesinan benda kerja yang besar sehingga dibutuhkan energi listrik yang besar untuk menggerakan mesin tersebut. Kapasitas mesin horizontal boring & milling dapat dilihat dari seberapa berat meja mesin tersebut mampu mengerjakan benda kerja dan seberapa besar diameter perkakas potong yang dapat dipasang pada quil spindle-nya. Workshop pemesinan Metal Industries Development Center (MIDC) mempunyai satu unit mesin horizontal boring & miiling dengan kapasitas meja mesin 3 ton benda kerja dan diameter spindle 90 mm. Mesin tersebut merupakan mesin buatan tahun 1973 dengan menggunakan sistem kontrol yang tua 76
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
sehingga mengakibatkan mesin tersebut menjadi boros energi. Untuk mendapatkan kinerja mesin yang tetap optimal namun pemakaian energi listrik menjadi lebih efisien, maka dilakukan retrofit sistem kontrol dengan menambahkan fitur-fitur teknologi baru pada sistem kontrol yang lama. Sistem retrofit yang dilakukan yaitu mengganti sistem kontrol motor-generator operated drives menjadi variabel speed DC drive. Pengambilan data penggunaan energi pada mesin ini dilakukan sebelum proses retrofit sistem kontrol pada tahun 2011 dan setelah dilakukan retrofit sistem kendali pada tahun 2013. Sasaran yang dicapai dari penelitian ini adalah didapatkan data penghematan energi listrik dari mesin horizontal boring & milling di MIDC setelah dilakukan proses retrofit sistim kontrol/ sistim kendali. Hasil dari penelitian ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi tingkat penggunaan konsumsi energi sebagai data menuju kearah konservasi energi. Studi Pustaka Mesin Horizontal Boring & Milling Mesin horizontal boring & milling merupakan gabungan mesin boring dan mesin milling dengan konstruksi horizontal. Mesin horizontal boring & milling merupakan salah satu mesin perkakas yang banyak digunakan dalam pengerjaan benda kerja berat seperti engine frames, steam engine cylinders, machine housing, dll. Benda kerja yang dapat dikerjakan pada mesin horizontal boring & milling merupakan benda kerja yang spesifik yang tidak bisa dikerjakan pada mesin bubut atau mesin drilling. Dengan menggunakan alat bantu yang terdapat pada mesin itu, mesin ini dapat difungsikan sebagai mesin bubut, mesin drilling, face milling atau gear cutting(1). Pada mesin horizontal boring & milling, benda kerja ditempatkan pada meja sedangkan perkakas potong/tools berputar pada sumbu horizontal. Dengan tools yang sesuai, mesin dapat melakukan berbagai operasi pemesinan seperti boring, reaming, turning, threading, facing, milling dan grooving. Gambar 1 berikut ini menunjukkan mesin horizontal boring & milling.
(4)
(2)
(1) (5)
Gambar 1. Mesin horizontal boring & milling
Tipe mesin horizontal boring & milling dapat dikategorikan menjadi empat yaitu: (a) Table type, (b) Floor type (c), Planer type dan (d) Multiple head type. Bagian-bagian utama dari mesin horizontal boring & milling antara lain:
(1) Bed: bed merupakan bagian dari mesin yang terpasang pada lantai workshop, fungsi bed yaitu menyangga columns, meja, dan bagian lainnya dari mesin. (2) Headstock supporting column: bagian ini berfungsi menyangga headstocks dan menuntunnya dalam gerakan naik turun melalui guide ways pada column. (3) End supporting column: bagian ini dipasang pada bed sebagai tumpuan boring bar, penempatan bagian ini dapat diatur mendekati atau menjauhi headstock tergantung pada seberapa panjang boring bar yang digunakan. (4) Headstocks: bagian ini terletak pada column dan dapat bergerak naik-turun. Pada bagian ini terdapat spindle untuk memutar perkakas potong/tools sedangkan untuk melakukan operasi long drilling dapat digunakan quill yaang dapat bergerak longitudinal.(1) (5) Saddle dan table: table berfungsi untuk menempatkan benda kerja yang akan dikerjakan. Pada table terdapat T-slots untuk pemasangan baut pencekam benda kerja. Saddle merupakan bantalan/tumpuan yang mana table dapat bergerak transversal atau longitudinal, pergerakan table dilaksanakan dengan motor servo. (6) Boring bars: bagian ini digunakan pada saat melakukan operasi memperbesar lubang/boring dengan diameter tools yang besar, sedangkan untuk melakukan operasi facing mill langsung dipasang pada taper spindle nose.(2) Ukuran mesin horizontal boring & milling ditentukan oleh seberapa besar diameter spindle (mm), diameter spindle bervariasi dari 75 s.d. 355 mm. Untuk spesifikasi yang lebih lengkap dapat dilihat dari seberapa besar daya motor spindle, tinggi columns, ukuran table, kecepatan putaran spindle, feeds dan panjang dari feeds, total luas lantai yang diperlukan, berat mesin dll. Mekanisme mesin horizontal boring & milling yaitu: (a) headstock dapat bergerak naik turun dengan digerakan oleh motor servo. (b) Spindle dapat memutarkan tools dengan kecepatan yang bervariasi digerakan oleh motor spindle. (c) Quill spindle dapat bergerak masuk atau keluar dengan digerakan manual atau motor servo. (d) Saddle dan table dapat digerakan arah longitudinal atau transversal dengan tenaga motor servo. Pada tabel 1
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
77
ditampilkan harga kecepatan potong mesin horizontal boring & milling Pegard. Tabel 1. Kecepatan Potong : V (m/min) Material To Be Machined
High Speed Steel Tools
Carbide Tipped Tools
Roughing
Finishing
Roughing
Finishing
Cast steel
18
30
80
120
Cast Iron
23
35
80
120
Steel 50 K
35
50
100
220
Steel 70 K
20
35
80
180
Bronze Alumunium Alloys
45
80
250
500
65
100
150
400
analisa data dengan membandingkan data pengukuran awal dan data pengukuran akhir serta menarik kesimpulan. Berikut ini ditampilkan flow chart dari penelitian yang dilakukan:
Efisiensi Energi Mesin Perkakas Mesin perkakas dilengkapi dengan beberapa motor listrik dan komponen tambahan yang memerlukan konsumsi energi yang bervariasi selama proses pemesinan berlangsung. Energi listrik yang dibutuhkan pada saat proses milling yaitu diantaranya untuk sistim kontrol motor spindle dan motor pergerakan axis, motor pompa untuk pendingin pada saat pemakanan (coolant), unit pendingin oli hidrolik (oil cooler) dan komponen tambahan/aksesoris yang menggunakan energi listrik seperti lampu penerangan mesin dan ventilasi udara pada lemari sistem kontrol. (3) METODOLOGI Benda kerja dan alat yang digunakan Benda kerja/objek yang digunakan untuk penelitian ini adalah mesin horizontal boring & milling dengan kapasitas meja 3 ton, diameter spindle 90mm, buatan Belgia, tahun pembuatan 1973.(2) Sedangkan alat ukur yang digunakan pada penelitian ini yaitu volt meter digital, ampere meter, KWH meter, clamp meter, power meter dan tools set. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dimulai dengan melakukan pengamatan karakteristik mesin horizontal boring & milling dengan mempelajari manual book , dan penelitian sejenis yang telah dilakukan, melakukan pengambilan data awal pemakaian energi listrik pada mesin meliputi data tegangan (volt), besaran arus (ampere) dan daya listrik (watt), melakukan retrofit sistem kelistrikan dan sistem kendali, melakukan pengambilan data akhir, melakukan
78
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Gambar 2. Diagram alir penelitian yang dilakukan
HASIL PENELITIAN Hasil pelaksanaan penelitian yang telah dilakukan terhadap mesin horizontal boring & milling di workshop MIDC yaitu meneliti cara kerja sistem kelistrikan khususnya sistem kontrol pada motor spindle dan motor axis sebelum dan sesudah dilakukan retrofit. Bagian sistem kelistrikan motor spindle dan motor axis merupakan bagian yang paling besar penggunaan energi listriknya pada mesin tersebut. Sistem kontrol orisinil dari mesin horizontal boring & milling ini yaitu menggunakan sistem motor-generator operated drives dimana masukan energi listrik tegangan AC 380 volt, 3 phase digunakan untuk menggerakan motor listrik yang dikopel dengan generator arus searah (DC), generator DC mengeluarkan tegangan listrik arus searah
yang digunakan untuk menggerakan motor DC servo, untuk mengatur kecepatan motor DC servo digunakan rheostat/tahanan muka yang dapat diubah besaran tahanannya(2). Berikut ini gambar dari sistem motor-generator operated drives.
Penggerak motor spindle menggunakan sistem motor – generator dengan kapasitas daya 15 KW, tegangan 380 volt, arus 28 ampere dan putaran nominal 2900 rpm dengan tipe vertikal motor–generator coupled. Pengaturan kecepatan putaran motor spindle menggunakan dua cara yaitu (1) menggunakan variabel resistor yang diatur melalui panel kendali dan (2) secara manual menggunakan tuas pengatur transmisi roda gigi. Motor axis terdiri atas dua motor servo yang disuplai dari satu set motorgenerator yang bekerja secara bergantian. Gambar motor-generator yang digunakan untuk penggerak motor axis pada gambar 5 di bawah ini.
Gambar 3. Sistem motor-generator
Dari gambar 3, motor listrik akan berputar dikarenakan ada daya listrik yang masuk (power in), poros dari motor dihubungkan/dikopel dengan poros generator sehingga generator akan berputar dan menghasilkan daya listrik (power out). Pada mesin horizontal boring dan milling ini terdapat dua generator DC yang difungsikan sebagai sumber tenaga listrik untuk motor spindle dan motor axis. Gambar 4 adalah sistem motor-generator untuk penggerak motor spindle.
Generator
Motor
Gambar 5. Sistem motor–generator untuk penggerak motor axis
Generator
Power Out
Motor
Sumber tenaga untuk motor axis didapat dari motor-generator dengan kapasitas 5 KW, tegangan 380 volt dan putaran 3470 rpm, untuk pengaturan kecepatan motor axis hanya menggunakan variabel resistor yang diatur melalui panel kendali. Motor axis hanya dapat dijalankan secara bergantian antara motor axis meja dan motor axis headstock dengan perantara magnetic coupling. Berikut ini ditampilkan skema diagram penggerak motor spindle dan motor axis.
Daya Masuk
Gambar 4. Sistem motor–generator untuk penggerak motor spindle
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
79
Gambar 6. Skema diagram penggerak motor spindle sebelum retrofit
Gambar 7. Skema diagram penggerak motor axis sebelum retrofit
Pengambilan data dilakukan sebanyak enam kali untuk mengetahui penggunaan daya listrik pada mesin horizontal boring and milling sebelum
dilakukan proses retrofit sistem kelistrikan khususnya pada sistem kendali didapat data sebagai berikut:
10,000.00 9,000.00 8,000.00
Daya (watt)
7,000.00 6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 0.00 I Daya Phase R
II
III
IV
Pengambilan Data Daya Phase S
V
VI
Daya Phase T
Gambar 8. Data konsumsi daya listrik sebelum retrofit
80
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Proses retrofit sistem kelistrikan dilakukan pada bagian sistem kendali motor spindle dan motor axis. Sistem kendali untuk motor spindle dan motor axis diubah dari sistem motor-generator operated drives menjadi sistem variabel speed DC drives(5) sehingga sistem motor-generator set tidak lagi
digunakan, namun tetap menggunakan motor DC servo yang lama (existing). Setelah dilakukan proses retrofit sistem kelistrikan khususnya pada bagian sistem kendali motor spindle dan motor axis maka skema diagramnya dapat dilihat pada gambar 9 dan 10 di bawah ini.
Gambar 9. Skema diagram sistem kendali motor spindle setelah retrofit
Gambar 10. Skema diagram sistem kendali motor axis setelah retrofit
Pada skema diagram sistem kendali motor spindle, listrik arus bolak balik yang masuk (power in) langsung terhubung ke drives kemudian diubah menjadi arus searah dan dihubungkan ke motor DC spindle. Pada motor spindle terdapat tacho generator yang berfungsi memberikan sinyal umpan balik/feedback kepada drives. Poros motor spindle terhubung dengan rangkaian gigi transmisi pada rumah roda gigi/gearbox. Proses retrofit sistem kendali pada motor axis seperti terlihat pada gambar 10 yaitu dengan menggunakan sistem variabel speed DC drives untuk menggantikan sistem lama yaitu sistem motor-generator operated drives. Pada sistem
variabel speed DC drives tidak lagi menggunakan motor-generator sebagai sumber tenaga listrik untuk penggerak motor axis namun arus listrik tiga phase dari PLN diubah oleh DC drives menjadi arus searah DC sehingga dapat dihubungkan dengan motor axis yang merupakan motor DC servo. Pengambilan data dilakukan sebanyak enam kali untuk mengetahui penggunaan daya listrik pada mesin horizontal boring & milling setelah dilakukan proses retrofit sistem kelistrikan khususnya pada sistem kendali. Data yang didapat dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
81
9,000.00 8,000.00
Daya (watt)
7,000.00 6,000.00 5,000.00 4,000.00 3,000.00 2,000.00 1,000.00 0.00 I
II
III
IV
V
VI
Pengambilan Data Daya Phase R
Daya Phase S
Daya Phase T
Gambar 11. Data konsumsi daya listrik setelah retrofit
PEMBAHASAN Dari hasil pengambilan data penggunaan daya listrik pada mesin horizontal boring & milling setelah dilakukan proses retrofit sistem kelistrikan khususnya sistem kendali motor spindle dan motor axis dapat dilihat adanya penurunan konsumsi daya listrik. Pengukuran yang dilakukan pada kondisi motor listrik yang bekerja yaitu motor spindle, motor axis Z, motor hidrolik dan motor cooling fan untuk spindle, dengan kondisi yang sama, hasil pengukuran jumlah penggunaan daya listrik dapat dibandingkan.(6) Di bawah ini ditampilkan gambar proses pemesinan pada mesin horizontal boring & milling.
Gambar 12. Proses pemesinan pada mesin horizontal boring & milling.
82
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Dari hasil pengukuran terhadap konsumsi daya listrik setelah dilakukan retrofit sistem kelistrikan khususnya sistem kendali, didapat penurunan konsumsi daya listrik per phasa, hal ini diakibatkan dari perubahan sistem kendali yang asalnya dari sistem motorgenerator operated drives menjadi sistem variable speed DC drives. Dari hasil pengukuran konsumsi daya listrik per phase didapat prosentase penurunan konsumsi daya listrik dari setiap phase. Penurunan daya listrik setelah dilakukan proses retrofit sistem kendali yaitu untuk (1) phase R penurunannya sebesar 30%; (2) phase S penurunan sebesar 29% dan (3) phase T penurunan sebesar 19%. Pada phase T penurunan daya listrik yang terjadi tidak sebesar pada phase R maupun S disebabkan adanya beberapa komponen listrik 1 phase yang terhubung ke phase T. Komponen listrik 1 phase yang terhubung pada phase T yaitu diantaranya, sistem lampu penerangan mesin, transformator untuk sistem DC eksitasi motor servo spindle dan servo axis serta transformator untuk magnetic coupling. Rata-rata Penurunan konsumsi daya listrik setelah dilakukan proses retrofit pada sistem kelistrikan lama khususnya pada sistem kendali motor spindle dan motor axis yaitu sebesar 21,5%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bosch Rexroth yang menyatakan bahwa perubahan
motor-generator operated drives dengan sistem variable speed DC drives dapat menghemat energi hingga mencapai 50%.(7) KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian mengenai efisiensi energi pada mesin horizontal boring & milling yang terdapat di workshop pemesinan MIDC, dapat ditunjukan bahwa setelah dilakukan proses retrofit pada sistem kendali, dapat dicapai penurunan konsumsi daya listrik total sebesar 21,5%. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan syukur alhamdulillah kepada Allah SWT. Ucapan terima kasih kepada bapak Agus Supriatna, yang telah membantu dalam proses pengumpulan data, bapak Ir. Hafid, MT. yang telah memberikan pengarahan pada saat penelitian, ibu Dewi Apriliani dan ibu Mila yang telah membantu pada saat penyusunan karya tulis ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA Bosch Rexroth AG. 2008. Energy Efficiency in Machine Tools. Dietmair, A., Verla. 2009. Energy Consumption Forecasting and Optimization for Tool Machines, Modern Machines Science Journal. F. Draganescu, M. Gheorghe, C.V. Doicin, 2002. Models of Machine Tools Efficiency and Specific Consumed Energy, Journal of Materials Processing Technology 141 (2003) 9-15. Heidenhain. 2010. Aspect of Energy Efficiency in Machine Tools. Pegard S.A.. 1973. Operation and Service Manual Book. Belgium. S.K. Hajra Choudhury, A.K. Hajra Choudhury, Nirjhar Roy. 2006, Element of Workshop Technology Vol. II Machine Tools. Mumbai: Media Promoteurs & Publishers. Siemens. 2007. Simoreg DC-Master, Operation Instruction.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
83
ISSN 0126 - 3463
PENYUSUNAN (FITTING) DATA TITIK (POINT CLOUD) DARI PROSES PEMINDAIAN (SCANNING) 3 DIMENSI PADA PRODUK CYLINDER HEAD COVER Pujiyanto dan Shinta Virdhian Balai Besar Logam dan Mesin, Kementerian Perindustrian Jalan Sangkuriang No. 12 Bandung, Jawa Barat
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Mesin pemindai tiga dimensi merupakan suatu alat pemindai titik-titik pada permukaan suatu obyek benda kerja. Keluaran dari alat pemindai ini adalah data titik (point cloud) yang merupakan suatu set data titik titik dalam sistem koordinat. Data-data titik ini digunakan untuk membuat model CAD 3 dimensi. Pemodelan 3 dimensi ini dapat digunakan dalam proses manufaktur, metrologi/inspeksi, visualisasi, animasi dan lain-lain. Makalah ini bertujuan untuk menyusun data-data titik yang didapatkan dari proses pemindaian produk cylinder head cover sehingga data yang diperoleh dapat disusun mirip perwujudan produk contoh yang dipindai. Tahapan yang dilakukan adalah pemindaian 3 dimensi, perbaikan, penyusunan berkas data, analisa simpangan, dan penyatuan berkas. Dengan tahapan-tahapan itu hasil yang didapatkan diharapan memiliki deviasi rata-rata yang optimum. Hasil analisis deviasi dari data titik-titik (point clouds) menunjukkan bahwa pemindaian berkas pada bagian permukaan luar memiliki batas deviasi rata-rata yang lebih kecil (-0.1983 ~ 0.1912) bila dibandingkan dengan pemindaian berkas pada permukaan bagian dalam dari cylinder head cover (-0.6769 ~ 0.6319). Kata Kunci: Point Cloud, 3D Scanning, Analisis Deviasi ABSTRACT Three-dimensional scanner is a scanner points on the surface of an object work piece. The output of this scanner is a data point (point cloud) which is a set of data points in a coordinate system point. These data points are used for various purposes such as creating three-dimensional CAD model required in the manufacturing process, metrology / inspection, visualization, animation and others. This paper aims to compile the data points obtained from scanning product cylinder head cover so that the data obtained can be structured similar to the original embodiment. In addition, the results obtained it calls have an average deviation of the optimum. Results of analysis of the deviation of the data points (point clouds) indicates that the scanning beam on the outer surface has a limit of the average deviation smaller (-0.1983 ~ 0.1912) when compared with the scanning beam on the inner surface of the cylinder head cover (- 0.6769 ~ -0.6319). Keywords: Point Cloud, 3D Scanning, deviation analysis PENDAHULUAN Perkembangan teknologi desain dan permodelan 3 dimensi berkembang sangat pesat. Pada perkembangannya, dengan teknologi ini banyak digunakan dalam rekayasa peniruan (reverse engineering) maupun rekayasa desain murni. Dengan semakin cepatnya tuntutan pasar, teknologi dalam mendesain suatu produk yang baru juga dituntut semakin efektif dan efisien. Teknologi desain yang diperkenalkan dalam melakukan desain telah banyak dijual dipasar, baik berupa teknologi perangkat keras (hardware) maupun aplikasi perangkat lunaknya (software). BBLM sebagai lembaga 84
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
penelitian dan pengembangan (litbang) dalam bidang logam dan mesin telah dilengkapi dengan beberapa perangkat desain yang mutakhir. Peralatan itu berupa perangkat aplikasi CAD (computerized Aided Design) dan mesin pemindai 3 dimensi (3 dimensional scanning machine). Mesin pemindai 3 dimensi digunakan untuk proses pengambilan data geometri dari produk yang berupa sekumpulan titik-titik. Dari titik-titik yang dihasilkan dari proses pemindaian ini diolah dalam perangkat aplikasi CAD menjadi permodelan 3 dimensi dari produk, baik berupa pemodelan kulit (surface modeling) maupun pemodelan pejal (solid modeling). Dari permodelan 3 dimensi
ini diolah lebih lanjut secara keteknikan hingga dihasilkan produk baru. Teknologi rekayasa peniruan telah berkembang dengan sedemikian pesatnya hingga inovasi terhadap kebaruan suatu produk dapat dilakukan hanya dalam hitungan bulan. Pada prinsipnya, penguasaan teknologi ini didasari pada pemahaman akan keberfungsian dari suatu elemen, fitur, komponen satuan, komponen sub rakitan, dan produk rakitan melalui persyaratan yang harus dipenuhi secara geometri dan persyaratan kekuatan material. Dalam melakukan penelitian dan pengembangan (litbang) di BBLM, salah satu fokusnya adalah litbang prototip produksi massal dari pembuatan komponen motor bakar. Dalam produksi massal, pendalaman terhadap setiap fitur yang menyusun bangunan komponen harus dilakukan hingga dapat dipahami fungsi dan persyaratan dari setiap fitur itu. Dengan pemahaman dari fungsi dan persyaratan setiap fitur, maka tujuan dalam mendesain untuk mengidentifikasi ukuran nominal dari fitur dapat diperoleh. Dengan ukuran fitur nominal dapat dibuat simulasi toleransi dimensi dan geometri dari fitur tersebut hingga diperoleh toleransi geometri yang optimum. Tujuan dari kegiatan ini adalah melakukan pemindaian 3 dimensi terhadap produk dengan hasil akhir berupa data titik dengan simpangan yang sangat kecil (dibawah 0,5 mm). Kegiatan ini diawali dengan pemilihan produk yang paling sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada di BBLM. Kemudian dari produk yang dipilih, dilakukan desain ulang melalui penguasaan teknologi rekayasa peniruan. Dari desain ulang ini diteruskan dengan proses manufaktur yang didasari pada hasil desain ulang tersebut. Untuk kelengkapan data geometri, dalam kegiatan ini dilakukan pengambilan data geometri dengan mesin pemindai 3 dimensi. Proses pengambilan data dilakukan berulang pada posisi dan orientasi yang diubah-ubah hingga data yang dibutuhkan dianggap mencukupi. Data yang diambil disetiap prosesnya tidak serta merta dapat tersusun secara otomatis hingga membentuk perwujudan seperti produk contoh yang dipindai, namun perlu penanganan lebih lanjut hingga diperoleh perwujudan yang diinginkan. Dengan demikian diperlukan langkah-langkah agar data yang diperoleh dapat disusun hingga mirip dengan perwujudan aslinya.
Alat pemindai 3 dimensi ini dipilih karena dalam metode inspeksi secara manual terdapat kendala dalam melakukan pengukuran geometri (ukuran, bentuk, posisi, dan orientasi). Dengan alat pemindai 3 dimensi ini, hasil data yang direkam berwujud sangat mirip dengan produk contohnya (termasuk geometrinya), sehingga setelah data titik diolah dengan menggunakan software pemodelan ulang, dapat dilakukan inspeksi data titik untuk memperoleh informasi geometri yang diperlukan. Pada tahap penyusunan data titik ini, target yang diharapkan adalah susunan dari data titik di setiap tahapan dengan data yang paling optimum dan deviasi yang paling optimum pula. Untuk memenuhi keperluan ini diperlukan pekerjaan yang iteratif hingga data akhir sebelum dibuat permodelan 3 dimensi adalah data yang paling memudahkan pekerjaan pemodel 3 dimensi (3D modeler). METODOLOGI Penyusunan berkas data titik dianggap baik jika penyimpangan data yang diperoleh sangat kecil. Untuk memperoleh itu semua teknik pemindaian, perbaikan data, penyusunan hingga validasinya dilakukan dengan hati-hati. Dalam tahapan penyusunan berkas data titik ini menggunakan kombinasi alat berupa software dan hardware. Disamping itu penggunaan alat ukur manual berupa jangka sorong juga diperlukan guna membandingkan ukuran hasil ukur jangka sorong dengan inspeksi dengan software pada data titik tersebut. Pembandingan ini diperlukan untuk melihat besaran penyimpangan data ukur pemindai 3 dimensi terhadap jangka sorong. Hasil inspeksi data titik dengan jangka sorong dianggap sebagai acuan Software yang digunakan adalah perangkat aplikasi pemodelan 3 dimensi khusus untuk mentransformasikan data titik menjadi pemodelan 3 dimensi, yaitu rapidform 2006. Sedangkan hardware yang digunakan berupa seperangkat komputer desain (work station) merk Dell Precission T 3500 dan seperangkat alat pemindai 3 dimensi merk Konica Minolta Vivid 9i dengan menggunakan lensa jenis wide. Untuk mengantisipasi kesulitan dalam pemindaian 3 dimensi, diperlukan pula bahan tambahan berupa cairan penutup kilap pada produk, yaitu spots check developer. Bahan ini METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
85
dipilih karena kemudahan penggunaannya, mudah diperoleh di pasaran, dan kemudahan untuk dihilangkan dari permukaan produk. Dalam melakukan penyusunan kumpulan data titik yang diambil dalam banyak tahapan mengikuti alur proses seperti gambar 1 berikut:
Gambar 2. Hasil pemindaian 3 dimensi
Gambar 1. Alur proses penyusunan data titik (point cloud) produk
Kegiatan ini dimulai dengan pengambilan data titik-titik dari produk contoh yang akan dimodelkan ulang. Proses ini dilakukan dengan melakukan pemindaian 3 dimensi terhadap produk contoh yang diambil. Proses pemindaian 3 dimensi dilakukan berulang-ulang pada sudut pemindaian yang berbeda-beda sehingga ketika setiap berkas pemindaian dari masing-masing sudut pemindaian ini akan dirangkai (fitting) akan membentuk bangunan yang mirip dengan produk contoh. Gambar 2. gambar hasil urutan proses pemindaian 3 dimensi sebelum dilakukan perbaikan (editing) hingga perangkaian (fitting).
86
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Proses pemindaian dengan hasil seperti gambar 2 dilakukan dengan menempatkan dan memposisikan benda/obyek pindai pada meja bantu pemindai dan peraltan bantu lainnya berupa benda yang dapat digunakan untuk mendudukkan benda itu tetap stabil pada posisi yang diinginkan. Kemudian atur kamera pemindai hingga obyek pindai dapat dipindai seperti yang diinginkan. Kemudian atur software pemindai agar benda pindai diperkirakan dapat dipindai hingga data yang paling maksimal. Setelah semuanya siap, dilakukan pemindaian. Hal ini dilakukan secara berulang dengan cara memutar posisi benda pindai hingga semua sisi dari benda pindai dapat terambil datanya. Selanjutnya dilakukan perbaikan terhadap hasil pemindaian 3 dimensi. Setiap berkas pemindaian dari sudut pemindaian yang dilakukan, dilakukan perbaikan. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan data titik yang sebenarnya bukan dari sampel bagian produk contoh. Lebih dari itu, hasil pemindaian yang dianggap kurang baik seperti menggantung terpisah (dangling), melipat (folded), tidak seragam (non-manifold), bias (noise), dan sebagainya akan dibuang (healing). Kemudian dilakukan perbaikan ujung dari kumpulan titik (edit boundaries) hingga jika titik-tik itu disambungkan menjadi kurva yang halus (smooth). Setelahnya dilakukan perbaikan titik-titk yang berada di sekitar pinggir kumpulan titik, dilanjutkan dengan penghalusan dan perbaikan tampilan, dan diakhiri dengan penutupan lubang-lubang kumpulan titik yang belum terpindai 3 dimensi. Gambar 3 menunjukkan contoh proses perbaikan tiap berkas (file) pemindaian.
Gambar 3. Contoh hasil proses perbaikan tiap berkas (file) pemindaian.
Gambar 5. Hasil perangkaian setiap berkas pemindaian (perbedaan setiap berkas pemindaian dapat dilihat dari perbedaan warna pada tampilan gambar)
Setelah hasil perbaikan data titik-titik dianggap optimal, selanjutnya dilakukan pengurangan (decimating) jumlah titik yang ada dalam setiap berkas. Gambar 4 menunjukkan proses pengurangan jumlah titik dalam satu berkas
Gambar 6. Analisis deviasi antar 2 berkas data pemindaian 3 dimensi
Gambar 4. Proses pengurangan jumlah titik dalam satu berkas
Setelah data setiap berkas pemindaian dikurangi, pekerjaan selanjutnya adalah perangkaian (fitting) setiap berkas menjadi satu rangkaian yang tersusun hingga berwujud mirip dengan produk contohnya. Proses perangkaian dilakukan dengan cara memilih minimal 3 titik pada posisi fitur tertentu dari berkas pilihan awal dirangkai dengan memilih minimal 3 titik pada posisi fitur tertentu yang sama dengan berkas pilihan awal. Gambar 5 menunjukkan hasil perangkaian setiap berkas pemindaian.pada pekerjaan penyatuan setiap berkas ini, sekaligus dilakukan analisis terhadap deviasi antara berkas satu dengan yang lainnya. Hal ini dilakukan untuk melihat besaran penyimpangan hasil pemindaian antara berkas satu dan yang lainnya, termasuk deviasi rata-rata, deviasi maksimum, dan deviasi minimumnya. Gambar 6 menunjukkan analisis deviasi antar 2 berkas data pemindaian 3 dimensi.
Setelah berkas-berkas dirangkai menjadi satu rangkaian yang tersusun hingga berwujud mirip dengan produk contohnya, semua berkas itu disatukan (merge) menjadi satu berkas yang merupakan hasil proses peleburan dari seluruh berkas tersusun. Gambar 7 menunjukkan hasil penyatuan seluruh berkas pemindaian 3 dimensi.
Gambar 7. Hasil penyatuan seluruh berkas pemindaian 3 dimensi
Setelah berkas disatukan menjadi satu, kemudian dilakukan langkah perbaikan ulang terhada berkas yang disatukan hingga proses pengurangan jumlah titik pada berkas tersatukan. Setelah pekerjaan ini dilakukan, selanjutnya data titik-titik ini siap diteruskan pada pekerjaan permodelan 3 dimensi, baik dilakukan secara berbasis fitur (pejal / solid atau kulit / surface) maupun berbasis kulit (NURBS: Non-uniform rational B-spline).
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
87
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari proses pemindaian yang dilakukan dalam penelitian ini, proses pemindaian dilakukan sebanyak 16 kali proses pemindaian. Dari 16 kali proses ini, 10 kali dilakukan di kulit pada sisi kulit bagian luar dan 6 kali dilakukan pada sisi kulit bagian dalam. Masing-masing proses pemindaian dilakukan dengan mengubah orientasi sudut pemindaian sebesar ± 450 untuk kulit bagian luar, dan ± 600 untuk kulit bagian dalam.
No.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Tabel 1. Pengurangan jumlah titik dananalisis deviasi Pemindaian Jumlah Jumlah ke-n titik-titik titik-titik sebelum setelah diperkecil diperkecil (30%) 1 287.792 86.337 2 299.712 89.913 3 386.875 116.061 4 274.827 82.448 5 292.058 87.617 6 263.840 79.152 7 258.913 77.673 8 288.502 86.550 9 396.336 118.899 10 155.394 46.618 11 261.758 78.527 12 244.690 73.407 13 249.269 74.779 14 253.670 76.101 15 283.290 84.987 16 273.900 82.170 Penyatuan 341.294 102.388 data 1 hingga 16
Setiap berkas dari proses pemindaian 3 dimensi dikurangi jumlah titiknya hingga 30% untuk mengurangi jumlah besaran data yang akan diolah. Dari data yang sudah diperkecil ini selanjutnya dirangkai dan di analisis deviasinya dari berkas pertama dengan ke 2, berkas ke 2 dengan ke 3 hingga berakhir pada analaisa deviasi berkas ke 15 dengan yang ke 16. Tabel 1 menunjukkan jumlah data sebelum diperkecil dan setelah diperkecil, dan tabel 2 hasil analisis deviasi rata-rata, maksimum dan mininum.
88
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
Tabel 2 Hasil analisis batas maksimum No.
Analisis deviasi Antara berkas ke-n dengan Gabungan
Batas deviasi minimum
Persen Deviasi rata-rata
Batas Deviasi maksimum
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
-0.1983 -0.2855 -0.3115 -0.2287 -0.2506 -0.2599 -0.2919 -0.2583 -0.3131 -0.5065 -0.6413 -0.5317 -0.5844 -0.6610 -0.6769 -0.5127
87.92 91.43 92.61 85.98 87.59 89.43 91.11 89.22 90.92 90.35 91.72 91.85 90.71 92.52 89.64 91.54
0.1912 0.2753 0.2837 0.2388 0.2468 0.2751 0.3026 0.254 0.2832 0.4766 0.4642 0.4938 0.5310 0.5472 0.6316 0.5681
Tabel 2 menunjukkan hasil analisis deviasi antara berkas ke-n dengan berkas gabungan. Data titik berkas ke 1 sampai 9 merupakan hasil pemindaian kulit produk bagian luar sedangkan data titik berkas ke 10 sampai berkas ke 16 merupakan hasil pemindaan kulit produk bagian dalam, Berkas 1 dengan berkas gabungan memiliki nilai deviasi yang paling kecil (range batas minimum dan maksimum yang paling kecil) dengan prosentase titik yang berada dalam range tersebut sebanyak 87.92%. Kemudian berkas ke 2 dianalisis deviasinya dengan deviasi gabungan dan seterusnya. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa berkas ke 15 memiliki nilai deviasi yang paling besar (-0.6768 ~ 0.6316). Dari Tabel 2 dapat dilihat pula bahwa data ke-10 hingga ke-16 memiliki rentang yang lebih lebar dibandingkan dengan data ke-1 hingga ke-9. Hal ini terjadi karena data ke-1 hingga ke-9 merupakan kulit produk bagian luar memiliki keleluasaan sudut pemindaian yang lebih baik dibanding data ke-10 hingga ke-16. Keterbatasan pemindaian pada data ke10 hingga ke-16 adalah halangan (hidden) dari dinding produk contoh saat laser bergerak memindai.
KESIMPULAN Mesin pemindai 3 dimensi digunakan untuk proses pengambilan data geometri dari produk yang berupa sekumpulan titik-titik. Dari titik-titik yang dihasilkan dari proses pemindaian ini diolah dalam perangkat aplikasi CAD menjadi pemodelan 3 dimensi dari produk, baik berupa pemodelan kulit (surface modeling) maupun pemodelan pejal (solid modeling). Pada tahap penyusunan data titik ini, target yang diharapkan adalah susunan dari data titik di setiap tahapan dengan data yang paling optimum dan deviasi yang paling optimum pula. Untuk memenuhi keperluan ini diperlukan pekerjaan yang iteratif hingga data akhir sebelum dibuat pemodelan 3 dimensi adalah data yang paling memudahkan pekerjaan pemodel 3 dimensi (3D modeler). Hasil analisis deviasi dari data titik-titik (point clouds) menunjukkan bahwa pemindaian berkas pada bagian permukaan luar memiliki batas deviasi rata-rata yang lebih kecil (0.1983 ~ 0.1912) bila dibandingkan dengan pemindaian berkas pada permukaan bagian dalam dari cylinder head cover (-0.6769 ~ 0.6319).
DAFTAR PUSTAKA 1. Berger, M., et.al. 2014. State of the Art in Surface Reconstruction from Point Clouds, Proc. Of Eurographics 2014. 2. Drake, P. 1999. Dimension and Tolerancing Hand Book. New York:Mc Graw-Hill.. 3. Ficher, B.R. 2004. Mechanical Tolerance and Stack Up and Analysis. New York:CRC Pers. 4. Huang, M. and Zhong, Y. 2008. Dimensional and geometrical tolerance balancing in concurrent design. Int. Journal Advance Manufacturing Technology. 35, 723-735. 5. Hu, J. and Xiong, G. 2005. Dimensional and geometrical tolerance design based on constraint. Int. Journal Advance Manufacturing Technology. 26(9-10), 1099-1108 6. Salomons et.al. 1996. A Computer Aided tolerancing tool I: Tolerance Specification. Computer in Industry. 31. 161-174. 7. Rabbani, T., et.al. 2006. Segmentation of point clouds using smoothness constraint. IAPRS Volume XXXVI, Part 5, Dresden 2527 September 2006. 8. Stoll, C., et.al. 2006. Template deformation for point cloud fitting. Eurographics Symposium on Point-Based Graphics 2006. 9. Voelcker, H.B. 2002. Whiter Size in Geometric Tolerancing?. Proc. Of ASPE Summer Tropical Meeting on Tolerance Modeling and Analysis. ASPE Press, Raleigh, USA. 10. Whitney, D.A. 2004. Mechanical Assemblies, Their Design, Manufacture, and Role in Product Development, Oxford University Press, New York, USA.
METAL INDONESIA Vol. 36 No. 2 Desember 2014
89
ISSN 0126 – 3463
PETUNJUK PENULISAN MAJALAH ILMIAH METAL JUDUL MAKALAH (12 pt bold) Nama Penulis tanpa disertai gelar akademik (11 pt bold) Nama lengkap lembaga tempat penulis bekerja disertai alamat dan e-mail (10 pt)
Abstrak (11 pt) Abstrak berisi latar belakang, tujuan, metodologi, hasil dan kesimpulan secara ringkas. Sebaiknya, jumlah kata dalam abstrak tidak lebih dari 200 kata. Abstrak ditulis dengan huruf Times New Roman 11 poin yang dicetak miring. Tata letak abstrak ini dapat dijadikan contoh format baku penulisan dalam majalah Metal Indonesia (11 pt). Abstract (11 pt) An abstract consist of background, objectives, methodology, results, and conclusion in brief. The abstract should be less than 200 words, in 11 point Italic Times New Roman font. The lay out of this abstract can be used as a template (11 pt). Kata kunci : terdiri dari tiga sampai lima kata. Dewan Redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah berupa hasil penelitian dan pengembangan atau tinjauan yang belum dipublikasikan dalam media cetak dengan persyaratan sebagai berikut : 1. Naskah diketik menggunakan Microsoft Word dalam spasi tunggal pada kertas A4 tidak lebih dari 15 halaman. Huruf yang digunakan (fonts) Times New Roman, Judul (12 pt bold), nama penulis (11 pt bold), lembaga/jabatan profesional (10 pt), abstrak, dan isi naskah (11 pt). Tata letak halaman portrait dengan margin kiri, kanan, atas dan bawah 2,5 cm. 2. Naskah harus dilengkapi dengan abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris tidak lebih dari 200 kata. 3. Redaksi menerima makalah yang telah dipresentasikan dalam suatu pertemuan ilmiah, apabila belum dipublikasikan. 4. Naskah disusun dengan urutan sebagai berikut : Judul, Nama penulis, Lembaga/Jabatan profesional, Abstrak (masalah & tujuan, metode dan hasil), Kata kunci, Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metode penelitian atau Kajian, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan dan Saran, Ucapan terima kasih dan Daftar Pustaka.
5. Daftar Pustaka minimum 6 (enam) buah dan hendaknya mutakhir terbitan kurang dari 10 tahun. Penulisan disusun menurut abjad nama penulis. Urutan penulisannya sebagai berikut : Nama belakang, nama depan. Tahun. Judul (italic), Edisi. Kota terbit:Penerbit. 6. Naskah yang dikirimkan berupa print out dan CD yang telah mengikuti acuan di atas, dilengkapi bio data/Curriculum vitae, dapat dikirim langsung ke Sekretariat Majalah METAL : Jl. Sangkuriang 12 Bandung ataupun melalui e-mail :
[email protected] 7. Dewan Redaksi berhak mengedit naskah tanpa mengubah maksud dan isi tulisan. Semua naskah yang masuk akan dinilai oleh Mitra Bestari/Redaksi Ahli dengan format penilaian yang telah ditetapkan. 8. Pendapat/pernyataan ilmiah pada setiap tulisan merupakan tanggung jawab penulis. 9. Tidak diadakan surat menyurat kecuali tulisan yang disertai perangko akan dikembalikan (karena tidak memenuhi persyaratan atau perlu diperbaiki). Keterangan yang lebih terperinci dapat menghubungi Redaksi Majalah Metal Indonesia.