ISSN 0126 – 3463
METAL INDONESIA Vol. 35 No. 2, Desember 2013 Pemimpin Umum
: Kepala Balai Besar Logam dan Mesin Ir. Eddy Siswanto, MAM
Pemimpin Redaksi
: Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Dr. Ir. Mufid Djoko Purwanto, MSc
Dewan Redaksi
: 1. Dr. Sri Bimo Pratomo, ST, M.Eng. (Teknik Metalurgi) 2. Dr. Shinta Virdhian, ST, M.E.Eng (Teknik Metalurgi) 3. Tarmizi, ST, MT (Teknologi Las dan Metalurgi) 4. Ir. Lilis Yuliasetiawati, MT (Metalurgi dan Pelapisan Logam)
Mitra Bestari
: 1. Dr. Ir. Taufiq Rochim (Teknik Mesin dan Industri) 2. Prof. Dr. Ir. Bambang Sunendar (Teknik Material) 3. Ir. Hafid Abdullah, MT (Teknologi dan Manajemen Industri) 4. Ir. Mochamad Furqon, MM (Teknik Metalurgi ) 5. Kuntari Adi Suhardjo (Teknik Kimia dan Industri)
Sekretaris Redaksi
: Dewi Apriliani S.Sos
Tata Usaha
: Ir. Junadi Marki, MT.
Design & Layout
: Drs. Endro Y. Susanto
Sirkulasi
: Urusan Perpustakaan
Alamat Redaksi
: Jl. Sangkuriang No. 12, Bandung 40135, Telp.(022) 2504107,2503171, Fax (022) 2503978, E-mail :
[email protected]
Riwayat Penerbitan
: STT SK Men. Pen. R.I. No. 019/SK/Dirjen P.G.S. tanggal 20 Januari 1976 ISSN 0126-3463 Terakreditasi LIPI No. 24/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006 Terakreditasi LIPI No. 226/AU1/P2MBI/08/2009
ISSN 0126 – 3463
PENGANTAR REDAKSI METAL INDONESIA merupakan wadah untuk menyampaikan hasil penelitian dan pengembangan berupa informasi teknik dan argumentasi guna membentuk interaksi antar lembaga, universitas, industri terutama sektor logam mesin dan konsumen sebagai salah satu upaya menciptakan iklim sektor industri yang andal.
Pengutipan dari METAL INDONESIA dapat dilakukan secara bebas dengan menyebut sumbernya dan mengirim kutipan tersebut ke METAL INDONESIA.
METAL INDONESIA diterbitkan oleh Balai Besar Logam Mesin (BBLM) / Metal Industries Development Centre (MIDC) Terbit 2 (dua) kali setahun, bulan Juni dan Desember.
Alamat Redaksi/Tata Usaha METAL INDONESIA JL. SANGKURIANG No. 12 PO BOX 1154 – BANDUNG 40135 Telp. (022) 2503172 – 2504107 Fax.(022) 2503978
E-mail :
[email protected].
Dalam Jurnal Metal Indonesia (MI) Vol. 35 No. 2, Desember 2013 menyajikan 7 (tujuh) makalah hasil karya ilmiah dari para peneliti dan perekayasa Metal Industries Development Centre (MIDC/BBLM) Bandung, perekayasa Kementerian Perindustrian Jakarta dan dosen Polman Bandung. Makalah pertama Penelitian Bahan High Permanen Magnet Dengan Proses Nano Teknologi. Makalah kedua menampilkan tulisan Keseragaman Distribusi Perlit dan Kekerasan Pada Crankshaft dengan Bahan FCD 700 Paduan Cu Dengan Bantuan Software Simulasi. Makalah ketiga membahas Proses Nitriding Cair Pada Baja Paduan Rendah CrNi Terhadap Kekerasan dan Ketebalan Permukaan. Makalah keempat membahas Penentuan Kondisi Operasi Pelapisan Chrom Keras Pada Logam Kuningan. Makalah kelima menampilkan pembahasan Pengaruh Pengelasan Untuk Mendukung Analisa Komposisi Kimia Dengan Metode Spektrometer. Makalah selanjutnya adalah Pengembangan Produk Steel Casting Link Track Pada Alat Berat Excavator Batu Bara Bukit Asam Lampung Sebagai Produk Substitusi Impor. Sementara itu pembahasan mengenai Pengendalian Mutu Produksi Di PT. I Sebagai Upaya Peningkatan Kepuasan Pelanggan ditampilkan sebagai makalah penutup. Semoga Jurnal edisi kali ini dapat memberikan manfaat bagi peneliti, dunia usaha dan litbang serta perguruan tinggi terkait untuk dapat memberikan kontribusi dalam membangun masyarakat ilmiah dan pengembangan teknologi logam dan mesin di Indonesia. Akhir kata, kami mengharapkan komentar, kritik dan saran yang konstruktif atas penerbitan Jurnal ini, baik terhadap substansi maupun redaksi untuk perbaikan Jurnal MI dimasa-masa yang akan datang.
Redaksi BALAI BESAR LOGAM DAN MESIN KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
i
ISSN 0126 – 3463
METAL INDONESIA Vol. 35 No.2, Desember 2013
DAFTAR ISI Pengantar Redaksi Daftar Isi
Halaman i ii
1.
Penelitian Bahan High Permanen Magnet Dengan Proses Nano Teknologi, Lilis Yuliasetiawati
62 – 70
2.
Keseragaman Distribusi Perlit dan Kekerasan Pada Crankshaft dengan Bahan FCD 700 Paduan Cu Dengan Bantuan Software Simulasi, Oyok Yudianto
71 – 78
3.
Proses Nitriding Cair Pada Baja Paduan Rendah CrNi Terhadap Kekerasan dan Ketebalan Permukaan, M. Furqon
79 – 84
4.
Penentuan Kondisi Operasi Pelapisan Chrom Keras Pada Logam Kuningan, Azhar Arsianto dan Hafid
85 – 93
5.
Pengaruh Pengelasan Untuk Mendukung Analisa Komposisi Kimia Dengan Metode Spektrometer, Mahaputra dan Tarmizi
94 – 103
6.
Pengembangan Produk Steel Casting Link Track Pada Alat Berat Excavator Batu Bara Bukit Asam Lampung Sebagai Produk Substitusi Impor, Darma Firmansyah Undayat dan M. Achyarsyah
104 – 112
7.
Pengendalian Mutu Produksi Di PT. I Sebagai Upaya Peningkatan Kepuasan Pelanggan, Hafid dan Sony Harbintoro
113 – 125
ii
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
ISSN 0126 – 3463
PENELITIAN BAHAN HIGH PERMANEN MAGNET DENGAN PROSES NANO TEKNOLOGI Lilis Yuliasetiawati1 1
Metal Industries Development Centre Indonesia (MIDC), Kementerian Perindustrian Jl. Sangkuriang No.12 Bandung 40135 E-mail: lilis
[email protected]
Abstrak Material magnet barium ferrite nano-kristalin berhasil disintesis dengan metode sol-gel dengan bantuan cetyltrimethylammonium bromide (CTAB) sebagai surfaktan. Perbandingan molar 3+
2+
Fe /Ba diatur pada 10,6. Konsentrasi surfaktan CTAB yang digunakan divariasikan sebagai 0,025M, 0,05M, 0,075M, dan 0,1M. Proses hidrolisis dilakukan dengan menambahkan kalium hidroksida (KOH) dengan jumlah tertentu. Hasil yang terbentuk dikalsinasi pada temperatur 900ºC selama 3 jam. Sampel yang terbentuk kemudian dikarakterisasi dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscope (SEM). Dari hasil XRD masih ditemui fasa α-Fe O yang terbentuk. Hal ini mengindikasikan bahwa komposisi barium yang digunakan 2
3
mencukupi. Pengaruh penambahan CTAB terlihat dari besarnya ukuran kristal yang terbentuk sebagai fungsi dari konsentrasi CTAB. Dengan mensintesis barium ferrite melalui metode ini didapatkan bahwa ukuran kristal yang terbentuk cenderung membesar seiring dengan meningkatnya konsentrasi CTAB dan akan kembali menurun ketika konsentrasi CTAB sama dengan 0,1M. Dalam penelitian ini, ukuran kristal yang diperoleh berkisar pada 28-33 nm, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan barium ferrite yang disintesis dengan metode sol-gel konvensional, yang umunya berkisar pada 150-250 nm. Penambahan surfaktan ditengarai mempengaruhi ukuran kristal dari barium ferrite dikarenakan kemampuannya untuk menurunkan tegangan permukaan antara larutan dan padatan. Kata kunci: barium ferrite, sol-gel, cetyltrimethylammonium bromide, surfaktan. Abstract Nanocrystalline barium ferrite magnetic material has been successfully synthesized by surfactant mediated sol-gel method with cetyltrimethylammonium bromide (CTAB) as a surfactant. 3+
2+
The molar ratio of Fe /Ba was set at 10.6. The concentration of CTAB was varied by 0.025M, 0.05M, 0.075M and 0.1M. The hydrolisis process of mixing solution was caried out by the addition of potasium hydroxide (KOH) with appropriate amount. The result specimens was calcined at 900ºC for 3 hours. Prepared sample was then characterisized by means of X-Ray Diffraction (XRD) and Scanning Electron Microscope (SEM). From XRD results, it was shown that the appearance of α-Fe O indicates lack amount of barium in synthesis. The influence of CTAB was 2
3
shown in the difference of crystallite size as a fuction of CTAB’s concentration. As the increase of CTAB’s concetration, the crystallite size was also increased, but decreased rapidly when the CTAB’s concentration reached 0,1M. However, the crystallite size of barium ferrite about 28-33 nm, prepared by this method is much lower than that of prepared by conventional sol-gel method, typically around 150-250 nm. The addition of surfactant was presumed influencing the crystallite size due to its ability to reduce surface tension between liquids and solids. Key words: barium ferrite, Sol-gel, cetyltrimethylammonium bromide, surfactant.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
62
PENDAHULUAN Kegiatan penelitian bahan high permanen magnet dengan proses nano teknologi, dilakukan untuk mendapatkan bahan yang bisa digunakan pada pembuatan permanen magnet yang menghasilkan daya magnet tinggi melalui proses nano teknologi. Bahan yang dipilih adalah Barium ferrite. Menilai dari tingginya kekuatan magnet yang diinginkan, maka perlu diadakannya penelitian guna mendapatkan bahan baku permanen magnet yang sesuai. Barium ferrite dikenal luas sebagai material magnet permanen. Barium ferrite sangat menarik bagi dunia ilmu pengetahuan dan teknologi dikarenakan memiliki temperatur Curie yang tinggi, koersivitas yang tinggi, medan magnetik anisotropik yang tinggi, dan juga memiliki stabilitas kimia yang baik. Walaupun barium ferrite memiliki kekuatan magnetik yang lebih rendah jika dibandingkan dengan magnet yang berbahan dasar material rare earth, barium ferrite masih sering digunakan dikarenakan faktor keekonomisannya. Barium ferrite banyak diaplikasikan sebagai komponen pengeras suara, altenator, dan bahkan sebagai media perekam berbasis magnet. Untuk aplikasi media perekam, ukuran partikel yang besar akan memiliki kelemahan dalam hal demagnetisasi karena struktur domain magnetnya yang tidak beraturan. Oleh karena itu, ukuran partikel dari barium ferrite perlu dibuat homogen dengan ukuran yang kecil. Bentuk heksagonal yang datar dari barium ferrite sangat cocok apabila digunakan sebagai media perekam dikarenakan di dalam media perekam, partikel harus disusun di atas suatu bidang substrat sedemikian rupa sehingga bidang aksis-c dapat tegak lurus terhadap bidang substrat. Kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan bahan high permanen magnet melalui proses nano teknologi, yang pemanfaatnya sangat luas salah satunya untuk pembuatan generator listrik permanen magnet. Sedangkan tujuan kegiatan ini adalah mendapatkan teknologi pembuatan bahan high permanen magnet dengan proses nano teknologi. Dalam penelitian ini, kristal barium ferrite dengan ukuran sekitar 28-33 nm berhasil diperoleh. Dipelajari pula mengenai pengaruh konsentrasi dari surfaktan, cetyltrimethylammonium bromide (CTAB),
63
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
terhadap ukuran kristal dan morfologi yang terbentuk. Sifat-sifat dari material barium ferrite dikarakterisasi dengan analisis X-ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscope (SEM). LANDASAN TEORI Barium ferrite (BaFe O ) 12 19 Metode konvensional untuk mensintesis barium ferrite adalah dengan menggunakan solid state reaction dengan mencampurkan material oksida dengan material karbonat dan kemudian mengkalsinasinya pada temperatur lebih dari 1200ºC. Kelemahan dari metode ini adalah tingginya temperatur yang dibutuhkan yang akan mengakibatkan agglomerasi yang tinggi, ukuran partikel yang kasar, dan komposisi yang tidak homogen. Oleh karena itu, metode sintesis barium ferrite yang dapat menghasilkan serbuk dengan ukuran yang baik menjadi perhatian yang serius. Telah banyak penelitian dilakukan untuk mensintesis barium ferrite selain menggunakan metode solid state reaction, diantaranya: metode co-precipitasi, hidrotermal, self combustion, microemulsion , dan sol-gel. Namun, masih sedikit penelitian tentang sintesis barium ferrite dengan bantuan surfaktan. Surfaktan memiliki peranan penting untuk mereduksi ukuran partikel dikarenakan kemampuannya dalam menurunkan tegangan permukaan antara larutan dan padatan. Selain itu surfaktan dapat berperan pula sebagai template untuk membentuk morfologi dari partikel. Pembentukan morfologi ini dapat dilakukan dengan mengatur konsentrasi surfaktan dan kondisi lingkungannya, seperti temperatur, tekanan, dan pH. Dengan memvariasikan kondisi-kondisi tersebut, morfologi partikel dapat diatur untuk membentuk: tetrapod, flower-like , nanobelt , nano-cube, nanorod , dll. Surfaktan tidak hanya sebatas membentuk suatu template bagi partikulat, namun juga mempengaruhi mekanisme pembentukan partikel. Surfaktan memiliki peranan penting dalam pembentukan partikel nano barium ferrite. Barium ferrite merupakan material keramik yang termasuk ke dalam kelompok material ferimagnetik, sehingga material ini menunjukkan sifat magnetik spontan pada temperatur kamar. Barium ferrite merupakan jenis magnet permanen yang berbasis pada material besi oksida yang umumnya dijumpai
pada komponen pengeras suara, altenator, dan bahkan sering juga dijumpai sebagai media perekam berbasis magnet. Selain itu, barium ferrite dapat digunakan sebagai perangkat microwave dan perangkat pelindung dari gelombang eletrokmagnet. Barium ferrite memiliki beberapa karakteristik yang menarik sebagai material magnet, yaitu : 1. Anisotropi kristalin magnet yang tinggi 6
2. 3. 4. 5. 6. 7.
3
(3,3×10 ergs/cm ). Koersivitas intrinsik yang tinggi (17 kOe). Intensitas magnetisasi saturasi yang tinggi (380 emu/cm3). Temperatur Currie yang tinggi (450ºC). Kekerasan mekanik yang tinggi (7 Mohs). Kestabilan kimia yang baik. Ketahanan korosi yang baik.
Teori Sol-Gel Sol-gel merupakan suatu metode material padatan atau semi padatan dengan pemrosesan fasa cair. Pemrosesan dengan menggunakan fasa cair memungkinkan reaksi terjadi pada skala molekular, sehingga reaksi terjadi lebih homogen dan dapat dilakukan secara multikomponen. Metode sol-gel memberikan penawaran yang unik pada fabrikasi material keramik pada temperatur yang rendah, bahkan pada temperatur kamar sekalipun. Akhir-akhir ini metode sol-gel sering digunakan untuk memproduksi berbagai jenis material, seperti dari keramik monolit dan gelas menjadi serbuk, lapisan tipis, serat keramik, mikroporus membran, dan material aerogel yang porus. Dengan metode sol-gel, reaksi terjadi pada fasa cair. Bahan utama (prekursor) yang digunakan dalam proses solgel ini dapat berupa alkoksida logam (seperti, Si(C H O) , Ti(C H O) , dll.), garam-garam 2
nitrate
5
4
4
13
(seperti,
4
Fe(NO ) , 3 3
Ba(NO ) , 3 2
ZrO(NO ) , dll.), atau garam-garam chloride 3 2
(seperti, NiCl , FeCl , BaCl , dll.). 2
Gambar 1. Struktur heksagonal barium ferrite; Hijau = Ba, Biru = Fe, Merah = O [11]
Dari beberapa karakteristik diatas, disebutkan bahwa barium ferrite memiliki koersivitas intrinsik yang tinggi, yaitu 17 kOe. Namun nilai koersivitas intrinsik yang tinggi ini masih sebatas teori. Dari penelitianpenelitian yang ada mengenai barium ferrite, besar koersivitas intrinsik yang ada saat ini tidak pernah melebihi sepertiga dari teori. Meskipun demikian barium ferrite memiliki keunggulan di segi keekonomisannya dan stabilitas kimianya. Barium ferrite memiliki formula kimia BaO.6Fe O yang memiliki struktur 2
3
heksagonal. Satu satuan sel heksagonal barium ferrite tersusun dari dua molekul terdiri dari 64 atom. Struktur heksagonal dari barium ferrite, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1, memiliki hubungan arah a = b ≠ c, dengan a = 0,588 nm dan c = 2,32 nm. Perbedaan panjang inilah yang menyebabkan adanya sifat anisotropi kristal magnet barium ferrite.
3
2
Dengan motede sol-gel, larutan prekursor tersebut dapat langsung di-coating untuk nantinya dijadikan lapisan tipis, atau dapat juga dihidrolisis terlebih dahulu agar menjadi larutan sol lalu kemudian di-coating. Dari larutan sol ini, dapat juga dibentuk bermacam-macam bentuk material keramik, mulai dari material keramik yang padat, aerogel, partikel-partikel yang homogen, bahkan dapat juga dibentuk menjadi serat-serat keramik. Inti dari metode sol-gel adalah hidrolisis dan kondensasi atau polimerisasi. Hidrolisis merupakan bereaksinya logamlogam prekursor dengan air membentuk hidroksida logam. Sedangkan kondensasi atau polimerisasi adalah proses bereaksinya dua hidroksida logam menjadi oksida logam. Ada dua cara kondensasi, yaitu kondensasi air dan kondensasi alkohol. Kondensasi air adalah kondensasi yang produk sampingnya air sedangkan kondensasi alkohol merupakan kondensasi yang produk sampingnya alkohol. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat skema mengenai metode sol-gel pada Gambar 2.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
64
Gambar 2. Reaksi yang terjadi pada proses sol-gel
Dalam penelitian ini, barium ferrite, BaFe O memiliki formulasi kimia sebagai 12
19
paduan antara BaO dan Fe O dengan rumus 2
3
kimianya adalah BaO·6Fe O . Sehingga disini, 2
3
komposisi barium ferrrite terdiri BaO:Fe O =1:6. Reaksi hidrolisis 2
dari dan
3
kondensasi yang terjadi pada Fe O dan BaO 2
3
ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4.
Surfaktan Surfaktan merupakan senyawa yang berperan untuk menurunkan tegangan permukaan dari larutan, antar dua larutan, atau antara larutan dengan padatan. Komponen penyusun surfaktan disebut amphiphiles. Amphiphiles merupakan molekul yang tersusun dari kepala yang bersifat hidrofilik dan ekor yang bersifat hidrofobik sehingga memungkinkannya untuk berinteraksi dengan senyawa yang polar maupun nonpolar. Dengan jumlah molekul tertentu, amphiphiles dapat membentuk suatu bentuk tertentu (micelles) apabila jumlahnya telah melebihi batas minimumnya. Batas minimum tertentu tersebut biasa disebut dengan critical micellar concentration (CMC). Bentuk dari micelles akan berbeda-beda tergantung dari jumlah amphiphiles yang ada dan kondisi lingkungannya. Berikut, merupakan bentukbentuk yang mungkin terjadi pada micelles seperti yang ditampilkan pada Gambar 5 di bawah ini.
Secara umum, reaksi hidrolisis dan kondensasi pada proses sol-gel dari Fe O dan 2
3
BaO sama dengan yang ditunjukkan pada Gambar 2. Perbedaannya adalah proses sol-gel yang terjadi pada Fe O dan BaO tersebut tidak 2
3
mengalami kondensasi alkohol dikarenakan prekursor yang digunakan bukan dalam golongan alkoksida logam, melainkan berasal dari garam-garam nitrat, sehingga kondensasi alkohol tidak akan terjadi.
Gambar 3. Reaksi hidrolisis dan kondensasi pada pembentukan Fe O dengan metode sol-gel. 2
3
Gambar 4. Reaksi hidrolisis dan kondensasi padapembentukan BaO dengan metode sol-gel.
65
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Gambar 5. Skematik pembentukan micelles
Pada Gambar 5 di atas, ada lima jenis bentuk micelles, yaitu: spherical micelles, reverse micelles, monolayer, bilayer, dan vesicles. Vesicles sendiri terdapat dua jenis, yaitu multilamelar vesicles dan unilamelar vesicles. Yang ditunjukkan oleh Gambar 5 merupakan unilamelar vesicles. Micelles akan membentuk bentuk yang spherical setelah mencapai nilai CMC-nya dengan tingkat dispersi yang relatif kecil. Dengan meningkatkan konsentrasi dari micelles, bentuk lain seperti bentuk yang menyerupai batang (rodlike) dapat diperoleh dan kemudian disusul dengan bentuk heksagonal seiring dengan meningkatnya konsentrasi. Setiap bentuk dari micelles memiliki ukuran sendiri-sendiri.
Umumnya spherical micelles memiliki ukuran berkisar pada 3-7 nm, sedangkan unilamellar vesicles memiliki ukuran sekitar 25 nm, dan multilamelar vesicles memiliki ukuran sekitar 1000 nm. Seperti yang telah disebutkan di atas, selain dipengaruhi oleh konsentrasi, pembentukan micelles juga dipengaruhi oleh lingkungan sintesisnya, seperti temperatur, tekanan, dan tingkat keasaman atau pH. Dalam mekanismenya, surfaktan tidak hanya sebatas membentuk suatu template bagi partikulat, namun juga mempengaruhi mekanisme pembentukan partikelnya mulai dari nukleasi, pertumbuhan, koagulasi, dan flokulasi. METODOLOGI PENELITIAN Sebagai indikator keluaran kegiatan ini adalah didapatnya kesesuaian karaskteristik dari bahan baku untuk pembuatan permanen magnet berkekuatan tinggi, sedangkan keluarannya adalah di dapatkannya data-data engineering dan teknologi untuk mendapatkan bahan high permanen magnet dengan proses nano teknologi. Proses kegiatan penelitian bahan high permanen magnet dengan proses nano teknologi dilakukan di workshop pemesinan dan pengelasan Balai Besar Logam dan Mesin dan bekerjasama dengan laboratorium Material Teknik Fisika ITB, kegiatan dilakukan selama 10 bulan dari bulan Januari 2011 sampai dengan Oktober 2011. Tahapan penelitian adalah sebagai berikut : 1. Pendalaman kepustakaan untuk menentukan ciri-ciri, keunggulan dan kelemahan, sifat fisik material, dalam kaitannya untuk pemanfaatan material high permanen magnet. Serta studi kepustakaan yang sesuai. 2. Survey industri pembuatan permanen magnet untuk mengetahui data empiris yang dibutuhkan. 3. Merancang/merencanakan proses pembuatan. 4. Melakukan analisa dan perhitungan keteknikan untuk menentukan spesifikasi teknik, dari : a. Jenis material yang akan digunakan. b. Jenis komponen yang dipilih 5. Menentukan kinerja output dari susunan (Total Integrasi System Output).
6. Melakukan evaluasi hasil penelittian. 7. Menyusun laporan hasil penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Material dan Instrumen Material yang dipakai dalam penelitian ini adalah besi (III) klorida (FeCl , kemurnian 3
≥98%), barium klorida dihidrat (BaCl .H O, 2
2
kemurnian ≥98%), kalium hidroksida (KOH, kemurnian ≥85%), cetyltrimethylammonium bromide (CTAB, kemurnian ≥99%), larutan amonia 25%, aquabidest, dan chitosan 2%. Instrumen yang digunakan untuk karakterisasi adalah X-Ray Diffraction (XRD), Philips PANalytical X-Ray, CuKα, λ=1.54060 Å, yang digunakan untuk mengidentifikasi fasa yang terbentuk, dan Scanning Electron Microscope (SEM), JEOL JSM 6360LA Analytical SEM, yang digunakan untuk mengkarakterisasi morfologi dari serbuk barium ferrite yang terbentuk. Sintesis Barium ferrite Barium ferrite disintesis dengan metode sol-gel dengan tambahan CTAB sebagai surfaktan. Sejumlah CTAB dilarutkan ke dalam 400 ml aquabidest dengan variasi konsentrasi 0,025M, 0,05M, 0,075M, dan 0,1M dan ditambahkan larutan ammonia 25% sebanyak mol dari CTAB. Prekursor FeCl dan 3
BaCl .H O 3+
2
2 2+
dengan
perbandingan
molar
Fe /Ba =10,6 dimasukkan ke dalam larutan CTAB sambil diaduk dengan menggunakan magnetic stirrer. Selanjutnya larutan prekursor dan CTAB ditambahkan 5 ml larutan 2% chitosan dan diaduk kembali selama 30 menit. Agar terjadi hidrolisis dan terbentuk presipitat, perlu ditambahkan 30 ml larutan KOH 13M secara perlahan-lahan sambil diaduk, dan di aging selama 24 jam. Kemudian presipitat dipisahkan dari pelarut dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring dan dicuci menggunakan aquabidest sebanyak 1000 ml untuk menghilangkan sisa ion-ion berlebih dan selanjutnya dikeringkan. Presipitat kemudian dikalsinasi pada temperatur 900ºC selama 3 jam. Serbuk yang tebentuk selanjutnya dikarakterisasi dengan menggunakan XRD dan SEM.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
66
agglomerasi yang terjadi pada Fe(OH) dan
Analisis X-Ray Diffraction
3
menyebabkan pertumbuhan partikel yang tidak terkendali sehingga ukuran partikel menjadi besar. Dalam proses sol-gel yang menggunakan media air sebagai pelarut, sangat rentan sekali terhadap agglomerasi pada saat proses hidrolisis dikarenakan ikatan hidrogen yang sangat kuat dari gugus hidroksil. Oleh karena itu, untuk mengurangi tingginya aglomerasi pada Fe(OH) , perlu ditambahkan 3
Gambar 6. Karakterisi XRD sampel barium ferrite dengan variasi konsentrasi CTAB sebanyak: (a) 0,025M, (b) 0,05M, (c) 0,075M, dan (d) 0,1M
Gambar 6 di atas memperlihatkan hasil karakterisasi XRD barium ferrite yang di sintesis dengan perbedaan konsentrasi CTAB yang digunakan; (a) CTAB = 0,025M, (b) CTAB = 0,05M, (c) CTAB = 0,075M, dan (d) CTAB = 0,1M. Dari hasil karakterisasi XRD di atas memperlihatkan bahwa fasa BaFe O 12
19
merupakan fasa paling dominan yang terbentuk untuk semua sampel. Dari hasil karakterisasi XRD di atas juga diperlihatkan fasa dari hematite α-Fe O , namun dengan 2
3
intensitas yang kecil. Keberadaan fasa α-Fe O 2
3
ini memperlihatkan bahwa komposisi Fe dan Ba yang digunakan masih belum memadai. Penggunaan komposisi Fe/Ba pada penelitian ini mengacu pada pustaka yang digunakan oleh W. Roos yang menyatakan bahwa komposisi tersebut telah memadai untuk membentuk fasa tunggal BaFe O dan juga memberikan 12
19
performansi magnetik yang paling baik. Dalam sintesis barium ferrite, komposisi antara Fe dan Ba memegang peranan penting dalam pembentukan fasa tunggal BaFe O . 12
19
Perlu diketahui bahwa barium ferrite terbentuk antara ion Ba. Seperti yang telah disebutkan di atas, pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya proses hidrolisis. 3+
Proses hidrolisis ion Fe untuk membentuk Fe(OH) berawal di pH = 3, sedangkan proses 3
2+
hidrolisis ion Ba untuk membentuk Ba(OH)
2
diperlukan pH yang sangat tinggi. Apabila proses hidrolisis dilakukan secara bersamaan, hal ini akan berakibat pada tingginya
67
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
suatu aditif, yaitu suatu surfaktan dengan konsentrasi yang sesuai. Penambahan surfaktan berperan untuk menurunkan tegangan permukaan antara larutan dan padatan sehingga gaya tarikmenarik antar molekulnya dapat dikurangi 2+ dengan γ- Fe2O3 yang merupakan fasa yang tidak stabil dari material ferrites. Disisi lain, fasa γ- Fe2O3 akan bertransformasi ke fasa stabilnya, yaitu α- Fe2O3 pada pemanasan sekitar 400-700ºC. Oleh karena itu, agar γFe2O3 tidak bertransformasi menjadi α-Fe2O3 maka γ-Fe2O3 ini harus segera direaksikan dengan ion Ba2+, sehingga komposisi ion Ba2+ harus memadai. Ion Ba2+ tidak akan serta merta bereaksi dengan γ- Fe2O3, dikarenakan ion Ba2+ merupakan fasa terlarut. Oleh karena itu, ion Ba2+ ini harus membentuk terlebih dahulu fasa lain yang dapat berinteraksi dengan γ-Fe2O3. Dalam metode sol-gel, umumnya ion Ba2+ akan terhidrolisis untuk membentuk fasa Ba(OH)2, sementara ferrites, sebelum menjadi γ-Fe2O3, akan membentuk amorphous-Fe(OH)3. Kesulitan mendasar dalam sintesis barium ferrite ini terletak pada proses hidrolisis barium dikarenakan tingkat kelarutannya yang sangat rendah. Oleh karena itu, komposisi Fe dan Ba dalam sintesis barium ferrite dibuat tidak stoikiometri. Komposisi barium yang sangat berlebih memungkinkan juga untuk membentuk fasa barium oksida (BaO) karena tidak ada lagi senyawa γ- Fe2O3 untuk bereaksi. Jika hal ini terjadi, selain fasa tunggal BaFe12O19 tidak akan tercapai, keberadan BaO ini juga akan mempengaruhi sifat kemagnetan dari BaFe12O19. Oleh karena itu, komposisi yang tepat dari Fe dan Ba sangat diperlukan untuk membentuk fasa tunggal BaFe12O19.
Gambar 7. Hubungan antara konsentrasi CTAB Gambar dengan ukuran kristal barium ferrite pada bidang planar
Gambar 7 di atas memperlihatkan hubungan antara konsentrasi surfaktan dengan ukuran kristal dari barium ferrite yang dihitung dengan menggunakan persamaan scherrer. Dari grafik di atas terlihat bahwa profil ukuran kristal dari barium ferrite memiliki kecenderungan semakin membesar seiring dengan meningkatnnya konsentrasi CTAB yang digunakan, namun kembali menurun tajam saat konsentrasi CTAB mencapai 0,1M. Secara keseluruhan ukuran kristal yang diperoleh barium ferrite yang disintesis melalui metode sol-gel dengan tambahan CTAB jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan metode sol-gel konvensional seperti yang pernah dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya, umumnya berkisar antara 150-250 nm. Hubungan pembentukan partikel dengan penambahan suatu surfaktan sangatlah kompleks. Proses pembentukan partikel melibatkan proses pengintian, pertumbuhan, koagulasi dan flokulasi. Penambahan surfaktan ditengarai dapat mempengaruhi proses pengintian saat kristalisasi. Setelah proses pengintian, surfaktan juga masih mempengaruhi proses pertumbuhan, dan selanjutnya proses koagulasi dan proses flokulasi. Oleh karena itu penambahan CTAB sebagai surfaktan memegang peranan penting dalam sintesis partikel berukuran nano.
Mikrostruktur Morfologi dari barium ferrite yang disintesis dikarakterisasi dengan menggunakan SEM. Gambar 8 di atas memperlihatkan morfologi barium ferrite yang disintesis dengan memvariasikan konsentrasi CTAB yang digunakan. Dari hasil karakterisasi tersebut memperlihatkan jika butir partikel memiliki bentuk yang spherical dan ada juga yang memiliki bentuk yang memanjang namun dengan jumlah yang sangat sedikit. Berdasarkan hasil SEM, semakin besar konsentrasi dari CTAB yang digunakan terlihat bahwa ukuran partikel semakin membesar namun kembali mengecil pada konsetrasi CTAB sama dengan 0,1M.
Gambar 8. Karakterisasi SEM barium ferrite dengan variasi konsentrasi CTAB; (a) 0,025M, (b) 0,05M, (c) 0,075M, (d) 0,1M
Secara kasar, ukuran butir partikel barium ferrite ditampilkan pada tabel 1 di bawah untuk memberikan Gambaran rentang ukuran butir pada setiap sampel. Dari tabel tersebut terlihat bahwa ukuran butir terkecil diperoleh ketika konsentrasi CTAB 0,1M digunakan. Namun pada konsentrasi tersebut terlihat bahwa rentang antara ukuran butir terkecil dan terbesarnya sangatlah lebar, bahkan lebih lebar daripada ketika konsentrasi CTAB sama dengan 0,025M. Sedangkan ketika digunakan CTAB dengan konsentrasi 0,05M, ukuran butir meningkat dan diikuti oleh penambahan CTAB dengan konsentrasi 0,075M. Perbedaan ukuran butir yang terjadi pada penelitian ini ditengarai dipengaruhi oleh konsentrasi dari CTAB yang digunakan. Seperti yang telah dijelaskan di atas, surfaktan juga dapat mempengaruhi pembentukan partikel yang mana di dalamnya melibatkan
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
68
proses pengintian, pertumbuhan, koagulasi, dan flokulasi. Namun dalam penelitian ini, pembahasan masih dilakukan sebatas pada suatu aspek yang dapat digunakan untuk mensintesis material pada ukuran nano, yang berkaitan dengan penambahan surfaktan, yaitu konsentrasi dari surfaktan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan partikel dan ukuran kristal akibat dari penambahan surfaktan tersebut, saat ini masih dalam tahap penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Tabel 1. Pengukuran kasar ukuran butir berdasarkan hasil karakterisasi SEM Ukuran butir partikel Konsentrasi CTAB (nm) 0,025M 128-233 0,05M 134-310 0,075M 182-346 0,1M 97-265
KESIMPULAN DAN SARAN Sintesis material barium ferrite dengan metode sol-gel dan dengan penambahan surfaktan berupa CTAB telah berhasil dilakukan. Dengan menggunakan komposisi Fe/Ba= 10,6 yang mengacu pada pustaka masih ditemukan fasa selain fasa BaFe O , 12
19
yaitu fasa α-Fe O , walaupun dalam intensitas 2
3
yang kecil. Hal ini menandakan komposisi tersebut menunjukkan jika barium yang digunakan masih mencukupi, sehingga komposisi tersebut perlu ditambahkan.
69
bahwa jumlah belum barium
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Penambahan dari barium sebaiknya janganlah terlalu berlebih karena akan dikhawatirkan memunculkan fasa yang lain, yaitu fasa BaO, yang tentunya akan berpengaruh pada karakteristik magnetik dari barium ferrite. Pengaruh dari varisasi konsentrasi CTAB dapat dilihat pada ukuran kristal dari barium ferrite, yang mana ukuran kristal barium ferrite memiliki kecenderungan semakin membesar seiring meningkatnya konsentrasi dari CTAB, namun akan kembali menurun ketika konsentrasi CTAB sama dengan 0,1M. Ukuran kristal dari barium ferrite yang disintesis dengan penambahan CTAB ini, yaitu 28-33 nm, jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan barium ferrite yang disintesis melalui metode sol-gel konvensional seperti yang telah dilaporkan pada penelitian sebelumnya. Profil dari ukuran kristal sebagai fungsi dari konsentrasi CTAB juga memiliki kesamaan dengan ukuran butir yang diukur secara kasar dari hasil karakterisasi SEM. Dari hasil karakterisasi SEM, ukuran butir memperlihatkan bahwa barium ferrite yang disintesis masih dalam skala nanometer, yaitu antara 97-346 nm. Penambahan surfaktan ditengarai mempengaruhi bentuk serta ukuran baik butir maupun kristal dari barium ferrite, namun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hal-hal tersebut masih dalam tahap penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA 1. Tyagi, S.; Agarwala, R.C.; Argawala, V, 2009, A comparative study on the morphology of barium and strontium hexaferrite nanoparticles synthesized by coprecipitation method; Advance Material Research. 2. Ding, J.; Miao, W.F.; McCormick, P.G.; Street, R. 1998, High coercivity ferrite magnets prepared by mechanical alloying; Journal of Alloys and Compounds. 3. Mali, A.; Ataie, 2005, Structural characterization of nanocrystalline BaFe O powderssynthesized by sol-gel 12
19
combustion route, Scripta Materialia. 4. Topal, Ogur, 2008, Factors influencing the remanent properties of hard magnetic barium ferrites: Impurity phases and grain sizes, Journal of Magnetism and Magnetic Materials. 5. Jacobo, S.E.; Domingo-Pascual, C; Rodriguez-Clemente, R.; Blesa, M.A, 2007, Synthesis of ultrafine particles of barium ferrite by chemical coprecipitation, Journal of Materials Science.
6. Drofenik, M; Kristl, M.; Žnidaršič, A.; Lisjak, D, 2007, Barium hexaferrite prepared by hydrothermal synthesis; Materials Science Forum. 7. Trif, L; Molnár-Vörös, N; Tolnai, G.; Sajó, I.; Mészáros, S.; Kálmán, E, 2008, Preparation and characterization of nanostructured ferrite materialsby a nitratecitrate self-combustion sol-gel synthesis; Materials Science Forum. 8. Xu, P; Han, X; Wang, M., 2007, Synthesis and magnetic properties of BaFe O 12
19
hexaferrite nanoparticles by a reverse microemulsion technique; Journal of Physical Cemistry. 9. Li, Yaowen; Wang, Qin; Yang, Hua; 2009, Synthesis, characterization and magnetic properties on nanocrystalline BaFe O 12
19
ferrite. Current Applied Physics. 10. Ko, W.Y.L.; Bagaria, H.G.; Asokan, S.; Lin, Kuan-Jin; Wong, M.S.; 2010, CdSe tetrapod synthesis using cetyltrimethylammonium bromide and heat transfer fluids; Journal of Material Chemistry.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
70
ISSN 0126 – 3463
VALIDITAS SOFTWARE SIMULASI UNTUK MELIHAT KESERAGAMAN DISTRIBUSI PERLIT DAN KEKERASAN PADA CRANKSHAFT DENGAN BAHAN FCD 700 PADUAN CU 1
Oyok Yudiyanto1
Dosen Politeknik Manufaktur Negeri Bandung Jl Kanayakan No. 21 – Dago, Bandung - 40135 Email:
[email protected]
Abstrak Crankshaft dengan bahan FCD 700 memiliki matrik strukturnya perlit, untuk mendapatkan struktur mikro perlit, proses perlitisasinya menggunakan proses perlakuan panas. Pada penelitian ini akan dibuat Crankshaft dengan bahan FCD 700 paduan Cu, dengan menghasilkan perlitis tanpa melewati proses perlakuan panas. Paduan Cu yang ditambahkan divariasikan besarnya, yaitu 0,8%, 1,2% dan 1,5%. Hasil simulasi menyimpulkan paduan Cu yang mendekati hasil keseragaman perlit dan karakteristik bahan FCD 700 adalah paduan Cu 1,2%. Keseragaman distribusi kekerasan dan distribusi perlit hasil uji coba dilapangan menunjukkan adanya kemiripan dengan hasil simulasi, walaupun terjadi perbedaan yang besar di beberapa tempat. Tapi secara umum penggunaan software simulasi untuk menentukan keseragaman kekerasan dan perlit dapat tercapai. Perbedaan selalu terjadi antara simulasi dan kondisi di lapangan. Perbedaan ini umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak dapat didefinisikan oleh software, atau sebaliknya kondisi software tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Kata kunci : FCD 700 paduan Cu, software simulasi, perlit. Abstract A Crankshaft made of FCD 700 having a matrix of pearlite. To obtain the pearlite matrix a proper heattreatment process has usually to be applied. In this research, the FCD 700 material will be processed by adding Cu, which can consequently avoid any required heattreatment process. Cu were added in varies procentage, ie 0.8%, 1.2% and 1.5%. Due to the simulation results, it can be conclude that 1.2% Cu addition produce better uniformity in term of pearlite and material characteristics.The distribution hardness and perlite as resulted from the field trial shows a similarity to those of simulation results, despite the large differences in some places. But in general the use of simulation software to determine the uniformity of hardness and perlite can be achieved. Differences always occur between the simulated and field conditions. These differences are generally influenced by many factors that can not be defined by software, or otherwise not match with the conditions of the software field conditions Key word : FCD 700 Cu alloy, simulation software, pearlite. PENDAHULUAN Crankshaft merupakan salah satu produk cor dengan bahan FCD 700 yang digunakan pada otomotif. Crankshaft merupakan bagian dari mesin yang sangat vital. Kondisi kerja Crankshaft cukup berat dengan putaran tinggi dan torsi yang besar. Berdasarkan beban kerja dan lingkungan kerja maka salah satu tuntutan teknis Crankshaft adalah keseragaman kekuatan, sehingga Crankshaft tidak mengalami kegagalan pada saat penggunaannya. Produk coran memiliki karakteristik yang tidak homogen sehingga sulit untuk
71
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
mendapatkan keseragaman kekuatan. Salah satu caranya produk coran selanjutnya dilakukan proses perlakuan panas untuk mendapatkan bahan yang homogen. Bahan yang digunakan pada Crankshaft mengacu pada penggunaan sebelumnya adalah FCD 700, besi cor nodular dengan matriks perlitis memiliki kekuatan tarik minimum 700 N/mm2. Perlitisasi pada bahan ini melalui proses perlakuan panas. Selanjutnya pada penelitian ini perlitisasi akan dilakukan tanpa proses perlakuan panas. Proses perlitisasi dicapai dengan menambahkan paduan Cu pada FCD 700, besarnya paduan Cu di variasikan untuk
mendapatkan distribuasi yang seragam. Pada penelitian ini penentuan paduan Cu yang tepat dapat ditanggulangi dengan menggunakan software simulasi, sehingga mengurangi resiko kerugian yang relatif besar. Jika tercapai keseragaman perlit dengan batasan minimum 90%, maka diharapkan akan tercapai keseragaman kekuatannya dalam hal ini keseragaman kekerasan. LANDASAN TEORI Besi Cor Nodular (Ductile iron) Besi cor nodular adalah salah satu tipe dari besi cor (cast iron), tipe lainnya yaitu besi cor putih (white iron), besi cor kelabu (gray iron) dan besi cor tempa (malleable iron). Perbedaan tipe ini didasarkan pada jenis grafit. Besi cor putih tidak memiliki grafit yang terbentuk hanya karbida. Besi cor kelabu memiliki grafit serpih (lamellar graphit). Besi cor tempa memiliki grafit temper. Besi cor nodular memiliki grafit bulat. Gambar 1 memperlihatkan tipe-tipe besi cor tersebut.
(a) Besi cor putih
(b) Besi cor kelabu
Matriks Besi Cor Nodular Karakteristik besi cor nodular tergantung dari matriks yang terbentuk. Matriks yang terbentuk tergantung dari komposisi kimia dan laju pendinginan besi cor. Matriks dari besi cor nodular adalah ferritic, pearlitic, bainitic, martensitic dan austenitic. Dalam satu material masih mungkin bisa terbentuk lebih dari satu matriks. Variasi matriks yang terbentuk akan mempengaruhi sifat-sifat material tesebut. Berdasarkan jenis matriks yang terbentuk, besi cor nodular ini dibagi beberapa tipe. Ferritric Ductile iron Pearlitic Ductile iron Ferritic-Pearlitic Ductile iron Martensitic Ductile iron Bainitic Ductile iron Austenitic Ductile iron Austemper Ductile iron (ADI) Pengaruh Unsur Paduan Karbon dan Karbon Ekivalen Tidak seperti pada Besi cor kelabu, karbon ekivalen pada besi cor nodular memiliki pengaruh yang kecil terhadap sifat mekanik. Hal ini terjadi karena ada kecenderungan penggunaan karbon ekivalen yang tinggi, sehingga menambah fluiditas dan menurunkan kecenderungan rongga susut. Tetapi jika karbon ekivalen terlalu tinggi dapat menyebabkan flotasi hiper-eutektik grafit bulat, yang dapat mempengaruhi sifat mekanik. Silicon Silicon meningkatkan jumlah ferrit dan menahan formasi karbon, sehingga terjadi peningkatan keuletan tetapi akan mengurangi kekuatan dan kekerasan.
c) Besi cor tempa
(d) Besi cor nodular
Gambar 1. Tipe-tipe besi cor
(1)
Karakteristik dari tipe-tipe besi cor tersebut yaitu : Besi cor putih : getas tapi memiliki ketahanan gesek yang tinggi. Besi cor kelabu : getas, mampu pemesinan yang bagus, meredam getaran, dan licin bersifat pelumas sendiri (self lubricating) Besi cor tempa : mampu tempa Besi cor nodular : mampu tariknya tinggi dan mempunyai elongasi.
Mangan Mangan merupakan unsur penambah jumlah pearlit dan juga memiliki pengaruh menstabilkan karbida, mendukung terjadinya pembekuan putih pada bagian yang tipis dan karbida intercellular pada bagian yang tebal. Phosfor Pada besi cor nodular, Phosfor harus dipertimbangkan sebagai unsur yang tidak diinginkan dan untuk matrik ferirtis kandungannya tidak boleh lebih dari 0,05%, jika lebih akan menyebabkan terbentuknya
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
72
phosfid karbida intercellular yang akan menurunkan pemuluran dan mampu impak.
Tembaga terlarut dalam besi cor pada batasan sampai dengan 2,5%.
Sulfur dan Magnesium Kelebihan kandungan magnesium akan meningkatkan jumlah karbida tetapi tidak akan mempengaruhi struktur matriks. Begitu juga ketika sulfur bergabung dengan magnesium, tidak akan mempengaruhi struktur matriks, tetapi kandungan yang tinggi pada base iron yang tidak dapat dihindari, magnesium akan meningkatkan resiko cacat.
METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian yang dilaksanakan merupakan kombinasi metode reverse engineering dan kajian referensi yang kemudian di verifikasi dengan adanya langkahlangkah percobaan dan pengujian. Penelitian yang dilakukan adalah : Penentuan nilai paduan Cu pada FCD 700 dengan software simulasi, paduan Cu sebagai variabel dalam menghasilkan matriks perlitis. Poin-poin metodologi kegiatan penelitian dilakukan sebagai berikut: 1. Penentuan nilai-nilai paduan Cu pada FCD 700, dan disimulasikan dengan software. 2. Analisis hasil simulasi 3. Uji coba rancangan dan bahan di bengkel pengecoran. 4. Pengujian laboratorium (struktur mikro dan uji kekerasan). 5. Evaluasi dan langkah penyempurnaan. 6. Membuat kesimpulan
Molibdenum Molibdenum sedikit meningkatkan jumlah pearlit, meningkatkan mampu tarik, kekerasan dan sifat mekanik pada temperatur tinggi serta membentuk karbida intercellular terutama pada bagian yang tebal. Nickel Nickel ditambahkan pada besi cor nodular pada kisaran 0,536%. Penambahan nickel bertujuan : Untuk mampu dikeraskan, menghindari transformasi ke pearlit (digunakan pada kisaran 0,5 – 4%) Sebagai promot matriks austenit stabil (digunakan pada kisaran 18 – 36%) Untuk aplikasi pada temperatur rendah dalam mendapatkan kekuatan yang tinggi dengan matriks feritik yang kandungan silikonnya rendah (digunakan pada kisaran 1 – 2%) Chrom Chrom sangat potensial dalam pembentukan karbida dan promot pearlit dalam besi cor nodular. Dalam besi cor nodular dengan matriks pearlitis kandungan chrom yang ditolerir sebesar 0,1%. Prosesntase ini tergantung dari pembulatan grafit dan waktu pembekuan. Chrom akan tersegregasi dan masuk ke daerah intercellular dan dapat menyebabkan pembentuk karbida intercellular. Tembaga Tembaga merupakan promot pearlit dan promot grafit. Tembaga umumnya digunakan untuk bahan dengan matrik struktur mikronya perlitis. Tembaga juga sebagai promot matriks austenit stabil seperti halnya nickel. Sehingga sering digunakan untuk menggantikan nickel dalam pembuatan austenitic ductile iron.
73
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Langkah-langkah proses simulasi dengan komputer simulasi. 1. Pembuatan model 3D dengan menggunakan software CAD system 2. Eksport file 3D menjadi file yang kompatibel terhadap software simulasi (STL, IGES, Parasolid, Step) 3. Import file 3D ke dalam software simulasi dan definisikan material yang digunakan. 4. Meshing model 3D 5. Setup parameter simulasi 6. Proses Simulasi 7. Hasil Simulasi
Gambar 2 memperlihatkan diagram alir proses simulasi M U LA I
G AM B AR PR O D U K
HASIL DAN PEMBAHASAN Distribusi Perlit Paduan Cu 0,8 % memiliki distribusi perlit dengan rentang 50 – 90%, paduan Cu 1,2% memiliki distribusi perlit dengan rentang 74 – 100% dan ada sebagian kecil dengan 80% perlit, paduan Cu 1,2 % memiliki distribusi perlit dengan rentang 95 – 100%.
M O D E L 3D C A D
S T L F iles
P R E P R O C E S S IN G
M E S H IN G
S IM U L A S I
A N A LIS A H A S IL S IM U L A S I
SE LESA I
Gambar 2. Diagram alir proses simulasi
Gambar 4. Distribusi perlit
Simulasi Bahan FCD 700 Paduan Cu Gambar 3 adalah Gambar model 3D dari rancangan coran Crankshaft, yang akan diinputkan pada komputer simulasi dengan bahan FCD 700 paduan Cu. Paduan Cu yang akan disimulasikan antara lain sebesar 0,8 %, 1,2 % dan 1,5%. Berikut ini adalah hasil simulasinya.
Distribusi Kekerasan Paduan Cu 0,8 % memiliki distribusi kekerasan dengan rentang 250–295 HB, paduan Cu 1,2 % memiliki distribusi kekerasan dengan rentang 278–322 HB, paduan Cu 1,5 % memiliki distribusi kekerasan dengan rentang 335–350 HB. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Distribusi kekerasan Gambar 3 Rancangan coran
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
74
Distribusi Kekuatan Tarik Paduan Cu 0,8 % memiliki distribusi kekuatan tarik dengan rentang 620–780 Mpa, paduan Cu 1,2 % memiliki distribusi kekuatan tarik dengan rentang 750–840 MPa, paduan Cu 1,2 % memiliki distribusi kekuatan tarik dengan rentang 870–900 Mpa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6.
Hasil Uji Coba di Lapangan Pada Gambar 7 diperlihatkan hasil coran crankshaft
Gambar 7. Coran crankshaft Gambar 6. Distribusi kekuatan tarik Tabel 1. Perbandingan harga distribusi perlit, kekerasan dan kekuatan tarik Kekuatan Paduan Perlit Kekerasan No. Tarik Cu (%) (HB) (Mpa) 1 0,8 % 50 – 90 250 – 295 620 – 780 2
1,2 %
74 – 100
278 – 322
750 – 840
3
1,5 %
95 – 100
335 – 350
870 – 900
Tabel 1, memperlihatkan rangkuman hasil simulasi yang dilihat dari distribusi perlit, distribusi kekrasan dan distribusi kekuatan tarik. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan paduan Cu sebesar 0,8% distribusi perlit belum tercapai, paduan 1,2% dan 1,5% memiliki distribusi yang hampir seragam. Sementara dari batasan kekuatan tarik FCD 700 paduan dengan 1,5% Cu memiliki kekuatan yang relatif besar dan lebih mendekati ke dalam Grade FCD 800. Sehingga disimpulkan bahwa paduan yang dipilih adalah sebesar 1,2% Cu.
75
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Pengujian Sampel diambil dari tiga coran, masing-masing coran di potong pada posisi yang sama seperti Gambar 8. Pada permukaan sampel ditandai dengan membagi menjadi 4 kuadran (Gambar 9). Posisi pengujian diambil pada jarak masing-masing 5 mm. Pengujian kekerasan menggunakan metoda Rockwell.
Gambar 8. Posisi pemotongan sampel uji
Pengujian Kekerasan Pada Gambar 10 diperlihatkan perbandingan hasil pengujian kekerasan dan hasil simulasi. Sedangkan Gambar 11 diperlihatkan perbandingan hasil pengujian struktur mikro dan hasil simulasi.
Pengujian Struktur Mikro Sampel A
Sampel B
0 1 2 3 4 5
Sampel C
0 1 2 3 4 5
0 1 2
3 4
Gambar 9. Posisi pengujian kekerasan
(a) Potongan A
POS 0 1 2 3 4 5
I 271 275 279 279 279 279
Sampel 1A II III 282,5 279 282,5 282,5 279
271 271 279 279 271
IV 267,5 267,5 271 279 286
I 271 271 279 286 282,5 282,5
Sampel 2A II III 279 271 279 286 275
279 286 286 286 279
IV 279 279 279 282,5 279
I 301 294 290 301 294 282,5
Sampel 3A II III 294 286 286 286 279
311 301 301 286 279
Rata-rata
IV
281 284 282 285 284 279
301 290 294 286 282,5
(a) Potongan A
(b) Potongan B
POS 0 1 2 3 4 5
I
271 279 271
Sampel 1B II III
IV
I
279 279 279
279 279
271 275 279
264 282,5 282,5
Sampel 2B II III
IV
I
275 275 271
271 271
279 286 264
271 279 271
Sampel 3B II III
275 279 282,5
286 279 279
Rata-rata
IV
275 278 276
271 279
(b) Potongan B
(c) Potongan C Gambar 11. Perbandingan hasil pengujian struktur mikro dan hasil simulasi
POS 0 1 2 3 4
I 271 279 279 286 294
Sampel 1C II III
IV
279 279 294 294
279 279 286 301
279 294 294 294
I 279 286 294 301 306
Sampel 2C II III
IV
290 294 286 301
294 301 301 301
290 286 301 306
I 286 297,5 301 311 306
Sampel 3C II III 286 294 294 297,5
301 301 301 301
IV 294 297,5 301 311
Rata-rata 279 288 292 296 301
(c) Potongan C Gambar 10. Perbandingan hasil pengujian kekerasan dan hasil simulasi
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
76
Dari Tabel 4 perbedaan maksimum sebesar 16,5%, rata-rata perbedaan secara keseluruhan sekitar 9,5%. Tabel 4. Analisis pada potongan B
Gambar 12. Contoh hasil pengujian struktur mikro pada sampel C di posisi pusat
Tabel 2 Perbandingan hasil struktur mikro Potongan
Posisi 0 1 2 A 3 4 5 0 1 B 2 3 0 1 C 2 3 4 Rata-rata
Simulasi 78,6 78,6 82,9 87,1 91,4 95,7 74,3 82,9 91,4 95,7 95,7 95,7 95,7 100 100 89,7
Real 84,0 95,5 91,9 92,0 93,7 93,1 86,4 89,7 88,8 89,3 92,8 97,7 96,0 92,0 96,3 92,0
Perbedaan % Perbedaan 5,4 6,5 16,9 17,7 9,0 9,8 4,9 5,4 2,3 2,5 2,6 2,8 12,1 14,0 6,8 7,5 2,6 2,9 6,4 7,1 2,9 3,1 2,0 2,1 0,3 0,3 8,0 8,6 3,7 3,8 2,2 2,4
ANALISIS Analisis Hasil Uji Coba Analisis Distribusi Kekerasan Dari Tabel 3 perbedaan maksimum sebesar 15%, rata-rata perbedaan secara keseluruhan sekitar 6,5%. Tabel 3. Analisis pada potongan A
77
POS
Sampel A
Simulasi
0 1 2 3 4 5
281 284 282 285 284 279
278,6 292,9 292,9 307,1 307,1 321,4
Perbedaan %Perbedaan 2,4 9 11 22 23 42
0,9 3,3 4,0 7,6 8,1 15,0
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
POS
Sampel B
Simulasi
0 1 2 3 4 5
275 278 276
278,6 307,1 321,4
Perbedaan %Perbedaan
4 29 46
1,5 10,5 16,6
Analisis Pada Potongan C (Gambar 2.9.c) Dari data diatas perbedaan maksimum sebesar 14,1%, rata-rata perbedaan secara keseluruhan sekitar 10,2%. Analisis Struktur Mikro Analisis Pada Potongan A (Gambar 2.10.a) Tabel 2 memperlihatkan perbedaan prosentase struktur mikro antara hasil simulasi dengan uji coba di lapangan. Prosentase perlit hasil simulasi berbeda dengan hasil kenyataan, perbedaannya relatif kecil, prosentase tingkat perbedaan terbesar sekitar 17,7%. Tapi secara keseluruhan perbedaan rata-ratanya sebesar 7,4%. Analisis Pada Potongan B (Gambar 2.10.b) Prosentase perlit hasil simulasi berbeda dengan uji coba di lapangan, perbedaannya relatif kecil, prosentase tingkat perbedaan terbesar sekitar 14%. Tapi secara keseluruhan perbedaan rataratanya sebesar 7,9%. Analisis Pada Potongan B (Gambar 2.10.c) Prosentase perlit hasil simulasi berbeda dengan uji coba di lapangan, perbedaannya relatif kecil jika dibandingkan pada potongan A dan potongan B. Tingkat perbedaan terbesar sekitar 8,6%, perbedaan rata-rat secara keseluruhan sebesar 3,6%. Dari keseluruhan struktur mikro, hasil kenyataan memiliki tingkat perlitis yang lebih tinggi dibanding hasil simulasi. Pada sampel potongan C hasil simulasi hampir mendekati hasil nyatanya. Perbedaan yang terjadi antara hasil simulasi dan dilapangan dapat dikarenakan oleh perbedaan beberapa paramater simulasi dengan dilapangan. Kemungkinan parameter yang paling utama adalah heat transfer coeficient antara software dengan dilapangan berbeda.
KESIMPULAN DAN SARAN Keseragaman kekerasan dan perlitisasi dicapai dengan bahan FCD 700 paduan Cu 1,2%. Keseragaman distribusi kekerasan dan distribusi perlit hasil simulasi dan di lapangan menunjukkan adanya kemiripan, walaupun terjadi perbedaan yang relatif besar di beberapa tempat. Tapi secara umum penggunaan software simulasi untuk menentukan keseragaman kekerasan dan perlit dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA 1. AFS. 1993. “ Ductile iron Handbook “, Illionis, USA. 2. ASM Handbook Vol 1, 2001 3. Flinn,R.A. 1963. “ Fundamentals of Metal Casting ”, Addison Wesley, London. 4. Heine,R.W. 1967. “ Principles of Metal Casting “, Mc Graw Hill, New York. 5. Karsay, Stephen I. 1969. “ Ductile iron I ”, Quebec Iron and Titanium Corporation, Sorel. 6. Karsay, Stephen I. 1971. “ Ductile iron II ”, Quebec Iron and Titanium Corporation, Sorel. 7. Karsay, Stephen I. 1981. “ Ductile iron III ”, Quebec Iron and Titanium Corporation, Sorel. 8. Surdia, Tata. 1991. ” Teknik Pengecoran Logam “, PT Pradnya Paramita, Jakarta. 9. Wlodawer, Robert. 1992. “ Gelenkte Erstarrung von Gueisen “, Gisserei Verlag, Dusseldorf. 10. http://www.ductile.org
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
78
ISSN 0126 – 3463
PROSES NITRIDING CAIR PADA BAJA PADUAN RENDAH Cr-Ni TEHADAP KEKERASAN DAN KETEBALAN PERMUKAAN M. Furqon1 1
Perekayasa Bidang Metalurgi, Kementerian Perindustrian, Jakarta E-mail :
[email protected]
Abstrak Pada penelitian telah dilakukan proses Nitriding cair pada baja paduan rendah Cr-Ni, terhadap kekerasan permukaan dan ketebalan lapisan nitriding dengan melakukan variasi suhu nitriding dan waktu penahanan. Proses nitridjng cair menggunakan media garam NaCN rendah. Proses nitriding dilakukan pada rentang suhu 520-590oC dan waktu penahanan antara 2 sampai 6 jam. Kekerasan minimum : 402 Hv dan ketebalan lapisan nitriding minimum: 0,005 mm diperoleh pada suhu 520oC dengan waktu penahanan 2 jam. Kekerasan maksimum : 1020 Hv dan ketebalan lapisan nitriding maksimum : 0,117 mm diperoleh pada suhu nitriding 590oC dan waktu penahanan 6 jam,tetapi pada suhu nitriding tersebut terlihat adanya retak halus. Kondisi optimum dan kondisi lapisan tidak terjadi retakan diperoleh pada suhu nitriding 570oC dan holding time 6 jam,dihasilkan kekerasan 1012 Hv dan kedalaman kekerasan 0,115 mm. Kata kunci : nitriding cair, baja paduan rendah Ni-Cr, waktu penahanan. Abstract In this study conducted liquid nitriding process in Low alloy steel Cr-Ni, to the surface hardness and layer depth nitriding with to conduct variation on nitriding temperature and holding time. Liquid nitriding is using low NaCN salt. Nitriding process is conducted at temperature in between 520- 590oCand holding ime 2 – 6 hours. Minimum hardness : 420 Hv and layer depth is 0,005 mm obtained at temperature 520oCand holding time 2 hours, Maximum hardness : 1020 Hv and layer depth : 0,117 mm is obtained at nitriding temperature 590C and holding time is 6 hours, but at this process condition shown is micro crack. Therefore optimum condition, where is no micro crack at nitriding layer , obtained at nitriding process temperature 570oC nad holding time 6 hours, this results hardness is 1012 ang lyer depth 0,0115 mm. Keywords : liquid nitriding, low alloy steel Ni-Cr, holding time. PENDAHULUAN Komponen mesin dan peralatan yang mengalami gesekan selama dioperasikan, seperti perkakas potong, cam, roda gigi, dies dan mould, perlu memiliki kekerasan dan ketahanan gesek tinggi, agar umur pakai dari komponen tersebut lama. Terkadang komponen meskipun sudah dikeraskan dengan cara pengerasan cepat (quench hardening) masih memiliki kekerasan yang belum sesuai dengan kebutuhan. Salah satu cara untuk meningkatkan kekerasan dan ketahanan gesek komponen mesin, perkakas dan peralatan dilakukan perlakuan permukaan nitriding. Proses nitriding cair Proses nitriding cair adalah proses perlakuan pengerasan permukaan sub kritis material baja. Proses ini dimungkinkan merupakan proses perlakuan permukaan akhir
79
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
karena proses ini memiliki kemampuan mempertahankan dalam kestabilan dimensi. Proses prlakuan permukaan melalui difusi unsur nitrogen.1 Seperti proses perlakuan permukaan lain, seperti proses karburisasi, nitrokarburisasi, boronisasi dan lainnya, proses ini merupakan proses perlakuan termokimia dalam menghasilkan kekerasan tinggi. Perbedaannya dengan proses diatas adalah pada suhu pelaksanaannya berlangsung dibawah suhu austenitisasi yaitu pada suhu 500-590oC. Benda kerja dipanaskan pada suhu tersebut dalam lingkungan cairan garam yang mengandung nitrogen tinggi, kemudian berdifusi dan membentuk lapisan nitrida besi. Karena proses nitriding berlangsung pada posisi ferit, maka proses nitriding dikatagorikan sebagai proses termokimia feritik.
Proses nitring cair dilakukan untuk tujuan memperbaiki ketahanan aus atau ketahanan gesek ,ketahanan lelah dan ketahanan korosi baja. Faktor yang penting dari proses nitriding adalah proses difusi nitrogen dari lingkungan yang kaya nitrogen ke daerah kurang memiliki nitrogen. Proses difusi sangat dipengaruhi oleh suhu dan waktu, semakin tinggi suhu nitridasi semakin tebal, karena kecepatan difusi semakin tinggi. Proses nitriding optimal jika terjadi gradient komposisi yang berbeda antara permukaan dan kedalaman benda kerja. Untuk menghasilkan gradient komposisi nitrida pada permukaan perlu pertimbangan waktu proses yang sesuai dengan kebutuhan. Secara matematik ,Ficks telah mengemukakan bahwa jarak rata-rata difusi adalah : Dimana : X : Jarak rata-rata difusi (cm) D : Kooefisien difusi (cm2/det) T : waktu (detik)
Untuk mementukan laju difusi, hukum Ficks I menyatakan bahwa : Dimana : J : laju difusi ( g/cm2 detik) Δc : Konsentrasi (g/cm3) Δx : Jarak (cm).
Untuk menghasilkan perpindahan atom dari suatu posisi ke posisi lain,maka perlu pemutusan ikatan atom. Untuk itu dibutuhkan energi panas untuk mengatasi energy aktivasi yang besar, sehingga factor penting dalam menentukan laju difusi nitrogen adalah suhu pemanasan. Difusifitas atom akan meningkat sebanding eksponensial terhadap kebalikan suhu, seperti persamaan dibawah ini : Dimana : D : Do : Q : R : T :
METODE PENELITIAN Bahan baja Bahan baja yang digunakan pada penelitian ini adalah baja paduan rendah Cr-Ni, dengan komposisi kimia utama seperti pada tabel 1, dibawah ini : Tabel 1.Hasil uji komposisi kimia baja paduan rendah Cr-Ni. Standar AISI Unsur Hasil Uji 4337 Kimia (%) (%) C 0,38- 0,43 0,41 Cr 0,70-0,90 0,82 Ni 1,65-2,00 1,41 Mo 0,20-0,30 0,20 Mn 0,60-0,80 0,76 Si 0,20-0,35 0,32
Bahan garam nitriding Bahan garam yang dipergunakan pada penelitian ini adalah jenis bahan garan sianid rendah, komposisi garam adalah sebagai berukut : NaCNO : 30% NaCO3 : 28 % NaCN : 0,5 % KCl : 41,5 %. Tungku prosses nitriding Tungku nitriding untuk proses nitriding adalah tungku garam, dengan spesifikasi sebagai berikut : Tipe : Tungku garam batch Ukuran ruang bakar tungku : Diameter 300 mm tinggi 800 mm Pemanas : Heating element Skema penelitian Skema penelitian dapat dilihat pada Gambar 1 dibawah ini :
Difusivitas (cm2/det) Kooefisien difusi (cm2/det) Energi aktivasi (Jmol) Konstanta Bolzman (8,314J/molK) Suhu (K)
Diameter atom Nitrogen : 0,6 A jauh lebih kecil dari diameter atom Fe :1,4 A, oleh karena itu difusi atom N dalam atom Fe dikagorikan sebagai difusi enterstisi. Difusi interstisi mempunyai energi aktivasi lebih kecil dibandingkan dengan energi aktivasi difusi substitusi.
Gambar 1. Skema penelitian
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
80
Parameter proses yang divariasikan terdiri dari 2 parameter yaitu suhu : 520oC, 540oC, 570oC dan 590oC, waktu penahanan : 2, 4 dan 6 jam. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengujian kekerasan Data hasil pengujian kekerasan dan kedalaman kekerasan pada variasi suhu dan waktu penahan dapat diliat pada Gambar 2, 3 dan 4 dan ketahanan aus pada Gambar 5. Hasil uji struktur mikro pada Gambar 8 dan Gambar 9 dibawah ini.
Gambar 4. Hubungan hasil uji kekerasan dan kedalaman kekerasan dengan waktu penahanan 6 jam
5700C
Gambar 2. Hubungan hasil uji kekerasan dan kedalaman kekerasan dengan waktu penahanan 2 jam
Gambar 3. Hubungan hasil uji kekerasan dan kedalaman kekerasan dengan waktu penahanan 4 jam
81
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Gambar 5. Hubungan antara kehilangan berat uji aus terhadap waktu penahanan
Pembahasan Pengaruh kekerasan dan kedalaman kekerasan Berdasarkan data hasil pengujian maka dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu proses nitriding maka semakin tinggi kekerasan yang dihasilkan, misalnya pada waktu penahanan yang sama 6 jam kekerasapermukaan yang diperoleh adalah sebagai berikut : T : 520oC, kekerasan : 401 Hv T : 540oC,kekerasan : 460 Hv T : 570oC, kekerasan : 1012 Hv T : 590oC, kekerasan : 1022 Hv Pada kekerasan antara suhu 520oC dan o 570 C terlihat adanya peningkatan kekerasan yang sangat tinggi. Hal ini terjadi karena laju difusi nitrogen pada suhu yang lebih tinggi menunjukan semakin tinggi,sehingga pembentukan lapisan Nitrida pada permukaan semakin besar. Sedangkan pada suhu antara 570-590oC peningkatan kekerasannya tidak
terlalu besar, hal ini disebabkan pembentukan nitride lambat dibandingkan pada suhu rendah ke suhu tinggi. Kondisi ini terjadi karena energy bebas pembentukan nitrida pada suhu tinggi lebih positif. Pada suhu lebih tinggi akan lebih jelas lagi pengaruh energi bebas terhadap pembentukan nitrida.
Pembesaran 500X Gambar 9. Struktur mikro hasil nitriding, suhu 590oC, Waktu penahanan 6 jam
Pembesaran 500X Gambar 6. Struktur mikro bahan baja paduan CRNI AISI4337
Pembesaran 500X Gambar 7. Struktur mikro hasil nitriding suhu 520oC, Waktu penahanan 6 jam
Pembesaran 500X Gambar 8. Struktur mikro hasil nitriding suhu 570oC, waktu penahaan 6 jam
Kekerasan hasil nitriding pada suhu 590oC merupakan kekerasan yang paling tinggi (1024 Hv), tetapi pada permukaan terlihat adanya retakan halus (micro crack) lihat pada Gambar 9. Hal in terjadi karena celup cepat (quenching) setelah proses nitriding. Kekerasan yang tinggi pada permukaan yang mengalami celup cepat mengakibatkan terjadinya retakan halus. Kekerasan dan kedalaman kekerasan sangat erat dengan kehilangan berat pada uji keausan. Pada nitriding suhu rendah 540oC kekerasan yang dicapai rendah kehilangan beratnya tinggi (>0,0005%) sedangkan nitriding pada suhu tinggi 570 dan 590oC,kekerasan yang dicapai sangat tinggi dan kehilangan berat pada uji aus rendah terutama pada waktu penahanan 6 jam (<0,0003%). Oleh karena itu suhu nitriding 570oC dan waktu penahanan 6 jam sesuai untuk diaplikasikan pada komponen yang bergesekan. Pengaruh waktu penahanan pada kekerasan dan kedalaman kekerasan. Proses nitriding pada suhu rendah (520 dan 540oC) kedalaman lapisann nitride pada permukaan kecil waktu proses. Olehkarena itu pada suhu proses rendah, kedalaman lapisan keras kecil meskipun waktu penahan lama tidak banyak mengalami penambahan lapisan keras yang berarti. Sedangkan suhu nitriding tinggi, difusivitas tinggi, maka penambahan waktu penahanan memberikan pengaruh kedalaman kekerasan yang besar, seperti pada data kedalaman keras dibawah ini :
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
82
Suhu nitriding 520oC : 0,005 mm waktu penahanan kedalaman keras ⍙ : 0,003 mm
2
0,008 mm
waktu penahanan kedalaman keras ⍙ : 0,004 mm
4
jam,
0,012 mm
waktu penahanan kedalaman keras
6
jam.
2
jam,
4
jam,
6
jam.
Suhu nitriding 590 C : 0,067 mm waktu penahanan kedalaman keras
jam,
⍙ : 0,024 mm 0,091 mm waktu penahanan kedalaman keras 0,117 mm
⍙ : 0,026 mm waktu penahanan kedalaman keras
Pengaruh unsur khrom (Cr) pada baja Baja AISI adalah baja paduan rendah Cr-Ni, dengan kandungan Cr antara 0,70 sampai 0,90%. Unsur Cr merupakan pembentuk nitrida yangcukup kuat. Sehingga nitriability baja sangat ditentukan oleh kandungan Cr. Semakin tinggi kandungan Cr, semakin tinggi kemampuan untuk di nitriding dan kekerasan yang dicapai. Nitrogen yang berdifusi kedalam baja paduan Cr, segera membentuk nitride denganCr, karena afinitas Cr lebih tinggi dibandingkan unsure besi, hal ini terjadi dari energy bebas pembentukannya. Struktur krom nitride dibandingkan besi nitride., karena ikatannya lebih kuat dan strukturnya lebih komplek. Pada pemanasan selama nitriding, unsur Cr, kemungkinan bisa menjadi presifitat menjadi paduan karbida Cr (Cr7C3 dan Cr23C6) di dalam baja. Pengaruh ini dapat meningkatkan kekerasan baja. Demikian juga dengan adanya unsur krom pada baja dapat menghalangi difusi nitrogen karena nitrogen akan segera diikat membentuk nitride. Nitrida dan karbida akan segera mengendap pada batas butir atau bidang kristal, sehingga dapat menghambat difusi lebih lanjut. Dengan demikian meskipun
83
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
kekerasan meningkat, tetapi ketebalan lapisan nitride lebih kecil. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitiian yang telah dilakukan dan pembahasan , maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Bahan baja AISI 4337 adalah baja paduan rendah Cr-Ni, memiliki kemampuan diproses nitriding cair yang baik, sehingga memiliki kekerasan permukaan tinggi. Bahan ini cocok dipergunakan untuk komponen yang bergesekan pada saat dioperasikan. Suhu nitriding cair pada suhu rendah 520 dan 540 C (< 500Hv ) sehingga tidak sesuai untuk dilpergunakan untuk komponen yang bergesekan. Untuk proses nitriding pada suhu 570 dan 590 oC kekerasan hasil nitriding sangat tinggi (> 1000Hv) kekerasan ini sesuai dengan kekerasan untuk komponen yang mengalami gesekan selama dioperasikan Difusifitas pada proses nitriding dipengaruhi oleh suhu nitriding, pada nitriding suhu rendah dan waktu penahanan lama, kedalaman lapisan nitriding rendah. Nitriding pada suhu tinggi (570oC dan 590oC) difusifitasnya tinggi, sehingga kedalaman kekerasan pada waktu lama 6 jam, menunjukan kedalaman lapisan nitriding yang besar. Saran Suhu ntriding cair yang optimal adalah suhu 570oC, karena proses pada suhu tersebut lapisan nitrida tidak mengalami retak halus, sedangkan pada suhu nitriding 590oC. meskipun kekerasan yang dapat dicapai lebih tinggi tetapi lapisan keras yang dihasilkan menunjukan adanya retakan halus. Oleh karena itu disarankan suhu proses nitriding cair dilakukan pada suhu 570oC.
DAFTAR PUSTAKA 1. ASM, Metals Handbook Volume 4, 2001, Heat Treating, The Material Information Society. 2. ASM, Liquid Nitriding, 2002, The Material Information Society. 3. James W Laird, 2002, Salt batch Equipment, ASM, The Material Information Society.
4. Tuffride, 1998, Liquid Salt Bath Nitriding, Noncyanide Salt Processing. 5. Wullff J, Rorialbert M. Rose, Jere H. Brophy, 1998, Thermodinamic of Structure, Volume II, John Wley & Son,New York.
6. ASM,Metals Handbook Volume 8, 2002, Atlas Microstructure of Industrial Alloys, The Material Information Socety. 7. George Dieter E, 1998, Mechanical Metalurgy, Material Science Metallurgy. 8. Tjipto Suyitno, Sujatmoko, Suprapto, 2008, Surface Hardening of High Speed Steel using Nitiding Technique, Centre for accelerator and Material Process Technology-National Nuclear Energy Agency. 9. WIlliam Goward, 2002, Diffusion Coating for Gas turbine Engine Hot Section Parts, University of New York.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
84
ISSN 0126 – 3463
PENENTUAN KONDISI OPERASI PELAPISAN CHROM KERAS PADA LOGAM KUNINGAN Azhar Arsianto1 dan Hafid2 1
2
Tenaga Ahli Pelapisan Logam & Konsultan Free Lance MIDC Metal Industries Development Centre Indonesia (MIDC), Kementerian Perindustrian Jl. Sangkuriang No.12 Bandung 40135 E-mail :
[email protected];
[email protected]
Abstrak Penelitian kondisi operasi pelapisan chrom keras pada logam kuningan telah dilakukan. Berdasarkan perkembangan jenis produk dalam industri khususnya produk yang sering mengalami pergesekan, maka produk tersebut harus mempunyai kekuatan dan kekerasan yang tinggi terutama pada permukaannya yang sering bergesekan. Untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan tersebut di atas dapat dilakukan dengan cara pengerasan permukaan yaitu dengan proses lapis listrik chrom keras (hard chrom). Parameter yang akan diteliti pada penelitian ini yaitu memvariasikan rapat arus dan waktu proses pelapisan. Berdasarkan parameter tersebut dapat diketahui pengaruhnya dan perubahan-perubahan yang terjadi pada material dasar (kuningan) terutama terhadap sifat kekerasan, ketahanan korosi dan lain-lainnya. Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada proses lapis listrik chrom keras dengan komposisi larutan electrolyt yaitu chromic acid 250 gr/l dan asam sulfat 2,50gr/l dengan kondisi kerja temperatur tetap yaitu 55oC, waktu proses pelapisan 70 menit dapat menghasilkan kekerasan yang tertinggi yaitu 831 Hv. Kata kunci : lapis listrik, chrom keras, rapat arus, waktu proses. Abstract Research operating conditions at the metal plating hard chrome brass has been done. Based on the development of products in a particular industry often experience friction products, the product must have high strength and hardness, especially in the frequent rubbing surface. To obtain the desired properties mentioned above can be done in a way that the electroplating process of hardening chrome (hard chrome). Parameters to be investigated in this study is time varying current density and coating process. Based on these parameters to determine its effect and the changes that occur in the base material (brass) mainly to the properties of hardness, corrosion resistance and others. From the research conducted it can be concluded that the electroplating process with a hard chrome electrolyt composition is chromic acid solution of 250 g/l sulfuric acid and 2.50 g/l with the working conditions of constant temperature is 55oC, coating process time of 70 minutes can produce the highest hardness ie 831 Hv. Key words :electroplating, hard chrome, brass, coating. PENDAHULUAN Setiap tahun korosi dan keausan suatu produk yang terjadi diberbagai lingkungan industri cukup menimbulkan kerugian yang besar, sehingga perlu dicari cara-cara untuk menanggulanginya. Salah satu cara untuk menanggulangi tersebut adalah dengan memberikan suatu lapisan logam tertentu sebagai lapis lindung dengan cara proseslapis listrik (electroplating). Proses lapis listrik yang banyak digunakan untuk menganggulangi hal tersebut di atas adalah proses pelapisan chrom keras. Hal ini dikarenakan lapisan chrom keras mempunyai sifat tahan terhadap kekusaman,
85
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
korosi, keausan, afinitas terhadap benda cair sangat kecil dan kekerasan tidak akan berubah bila beroperasi dibawah temperatur kerja 500oC. Penelitian ini dilakukan pada komponen mesin tekstil yaitu selubung pembagi benang yang terbuat dari bahan kuningan yang banyak menerima beban gesekan secara terus menerus, sehingga akan menyebabkan keausan yang selanjutnya akan mengakibatkan korosi.
Untuk menghindari hal tersebut maka diperlukan upaya pencegahan yaitu dengan pelapisan chrom keras pada selubung tersebut, sehingga dapat meningkatkan umur pakai dari bahan tersebut. Temperatur larutan dan waktu proses pelapisan chrom keras merupakan variabel yang sangat penting untuk mendapatkan mutu lapisan yang baik, karena mempengaruhi kecepatan pengendalian ion logam pelapis. Tingginya temperatur menyebabkan daya larut bertambah besar dan terjadi penguraian logam sehingga mengakibatkan tingginya konduktivitas dan mobilitas ion logam yang membuat sirkulasi ion logam semakin cepat. Tujuan penelitian ini adalah menentukan parameter waktu proses dan rapat arus yang tepat dalam upaya menghasilkan lapisan chrom keras dengan mutu yang baik seperti meningkatkan kekerasan, daya tahan terhadap korosi dan sifat-sifat lain. Komposisi larutan yang digunakan pada penelitian ini adalah campuran chromic acid dengan asam sulfat yaitu 250 gr/l chromic acid dan 2,50 gr/l asam sulfat dengan kekentalan asam sulfat 18-22o Be dan temperatur larutan tetap yaitu 55oC. Metoda pengerasan permukaan dengan cara pelapisan chrom secara listrik yang diterapkan pada permukaan bahan dasar kuningan untuk mesin tekstil ini, diharapkan dapat menghasilkan permukaan yang keras dan tahan korosi, sehingga umur pakainya bisa meningkat dan biaya produksi menurun serta meningkatkan keuntungan. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu perbaikan pada komponen mesin tekstil, terutama yang mendapat gesekan secara terus menerus, sehingga diperoleh keuntungan tinggi dalam perbaikan/maintenance.
LANDASAN TEORI Proses Pelapisan Lapis listrik (electroplating) adalah suatu proses pengendapan logam (ion-ion logam) pada elektro katoda dengan cara eletrolisa. Terjadinya endapan karena adanya ion-ion yang berpindah dari larutan elektrolit dan elektroda anoda. Selama proses pengendapan berlangsung terjadi reaksi kimia pada elektroda dan elektrolit baik reaksi reduksi pada anoda maupun reaksi oksida pada katoda. Reaksi reduksi dan oksidasi merupakan reaksireaksi yang berlangsung secara bersamaan dan terus menerus selama proses pelapisan, dimana reaksi reduksi akan menerima elektron, sedangkan reaksi oksidasi akan mengeluarkan ion, sehingga pada reaksi oksidasi akan menyebabkan bertambahnya bilangan elektron dan pada reaksi reduksi akan kekurangan bilangan oksidasi. Kejadian ini dapat dijelaskan seperti contoh berikut ini : Reaksi oksidasi :H H+e Reaksi reduksi : Cl- + e Cl Ion-ion logam yang larut dari anoda akan mengendap pada katoda, kemudian ionion logam ini direduksi menjadi atom, selanjutnya membentuk kristal dan akhirnya secara keseluruhan membentuk lapisan logam. 1. Proses perlakukan permukaan a. Pembentukan permukaan Sebelum dilakukan proses pelapisan secara listrik, permukaan benda kerja (spesimen) harus benar-benar dalam keadaan bersih agar didapat lapisan logam yang daya lekatnya baik, untuk itu diperlukan perlakuan permukaan untuk menghilangkan/membersihkan kotoran dari permukaan spesimen. Proses ini mencakup pencucian lemak (degreasing) dan pencucian dengan asam (picling). Pencucian lemak (degreasing) bertujuan untuk menghilangkan atau membersihkan spesimen dari noda lemak, minyak dan kotoran lainnya. Metode pembersihan dilakukan dalam pelarut organik, benzine, trichloroethylene, sedangkan pencucian asam (picling) adalah proses pembersihan oksida secara kimia dan berfungsi juga untuk menetralisir
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
86
kemungkinan adanya sisa-sisa alkali yang menempel pada spesimen. b. Proses pengetsaan Proses pengetsaan merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam pengerjaan permukaan untuk persiapan proses pelapisan chrom keras, karena proses pengetsaan akan menentukan daya lekat (adhesi) lapisan chrom keras pada spesimen. Tujuan proses pengetsaan adalah menghilangkan sisasisa oksida yang kemungkinan masih ada serta membentuk permukaan kasar dan struktur yang teratur pada permukaan logam yang akan dilapis. 2. Proses pelapisan chrom keras Komposisi larutan dan kondisi operasi proses pelapisan chrom keras harus benarbenar diperhatikan, karena akan menentukan berhasil tidaknya proses pelapisan dan kualitas lapisan yang dihasilkan. a. Larutan elektrolit Ion-ion chrom tidak dapat diendapkan hanya dari larutan chromic acid (CrO3) saja, tetapi harus ditambahkan satu atau dua macam asam radikal yang bertindak sebagai katalis. Umumnya asam yang banyak digunakan adalah asam sulfat, asam silikat, karena lebih efektif. Kedua jenis asam ini mempunyai karakteristik masing-masing baik dalam kondisi operasinya, kontrol larutan dan hasil lapisan yang akan terjadi. Dalam pelaksanaan pelapisan chrom keras perbandingan asam radikal perlu dijaga, karena terlalu sedikit akan menyebabkan lapisan tidak merata dan berwarna brown oxide, sebaliknya bila jumlah konsentrasi asam terlalu tinggi menyebabkan throwing power rendah dan lapisan tidak merata, hal ini dikarenakan defolarizing/pembentukan chromium trivalent terlalu cepat. Untuk lebih jelasnya pada Gambar 1 dibawah ini diperlihatkan hubungan pH dengan konsentrasi chromic acid pada temperatur 25oC.
Gambar 1. Hubungan pH larutan dengan konsentrasi chromic acid.
b. Rapat arus Seperti pada proses-proses pelapisan secara listrik lainnya, rapat arus sangat erat hubungannya dengan kecepatan pelapisan (plating speed), begitu pula pada proses pelapisan chrom keras, prinsip tersebut tetap berlaku. Makin tinggi rapat arus, makin tinggi pula kecepatan pelapisan, tetapi sebaliknaya akan terjadi hal yang tidak diinginkan yaitu bila terlalu tinggi akan menyebabkan lapisan terbakar. Hubungan rapat arus dan kecepatan pelapisan pada pelapisan chrom keras dengan konsentrasi chromic acid 250 gr/l dan 400 gr/l dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3 berikut ini :
Gambar 2. Hubungan rapat arus dan kecepatan pelapisan dengan konsentrasi CrO3 = 250 gr/l.
87
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Gambar 3. Hubungan rapat arus dan kecepatan pelapisan dengan konsentrasi CrO3 = 400 gr/l
Untuk itu terhadap benda kerja sebelum dilakukan proses pelapisan terlebih dahulu dipanaskan, sehingga dengan adanya proses ini akan mengurangi terbentuknya hal tersebut di atas. Dalam operasi pelapisan makin rendah temperatur operasi, makin rendah kecepatan pelapisan dan lapisan yang terbentuk suram, sebaliknya makin tinggi temperatur operasi makin cepat pelapisan dengan hasil lapisan mengkilap dan cenderung terbakar. Hubungan temperatur larutan dan rapat arus terhadap tampak rupa lapisan diperjelaskan pada Gambar 5 berikut ini.
Pada pelapisan chrom keras lebih disukai kondisi operasi rapat arus tinggi, sedangkan temperatur berkisar 50-55oC, karena akan membuat peningkatan current efisiensi lebih besar dari 80%. Hubungan rapat arus dan waktu pelapisan terhadap tebal lapisan dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
Gambar 5. Hubungan temperatur larutan dan rapat arus terhadap tampak rupa lapisan
Gambar 4. Hubungan rapat arus dan waktu pelapisan terhadap tebal lapisan.
c. Temperatur Kondisi operasi seperti temperatur larutan dan temperatur benda kerja sebaiknya mendekati atau sama. Hal ini untuk menghindari terbentuknya gas hydrogen dan tegangan permukaan yang akan mengakibatkan terjadinya hydrogen embritlement dan tegangan sisa pada permukaan lapisan.
3. Pengerjaan akhir Pada proses pelapisan chrom keras, pengerjaan akhir perlu dilakukan, karena selama proses pelapisan larutan elektrolit akan menghasilkan gas oksigen dan hidrogen yang berlebihan, sehingga akan mempengaruhi sifat-sifat lapisan. Gas oksigen akan menguap sedangkan gas hidrogen sebagian menguap dan sebagian lagi akan mempengaruhi lapisan yang akan menimbulkan tegangan, sehingga membuat lapisan rapuh/hydrogen embritlement. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan pengerjaan akhir seperti penghilangan tegangan (degassing) dan pemolesan (polishing).
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
88
a. Penghilangan tegangan : Setelah proses pelapisan selesai, benda kerja dipanaskan hingga temperatur 180-260oC, lalu didinginkanke dalam oli selama 45-60 menit, kemudian diangkat dan didinginkan diudara terbuka. Pemanasan diusahakan tidak melebihi dari 260oC, karena bila terlalu tinggi akan mengakibatkan turunnya kekerasan lapisan. b. Pemolesan (polishing) : Oleh karena ada kemungkinan hasil lapisan chrom keras kasar dan melebihi dimensi yang diinginkan, maka untuk mendapatkan permukaan yang halus dan ukuran yang tepat perlu dilakukan pengerjaan pemolesan. Bahan polesdapat digunakan kain wol atau bahan dari kulit dengan bahan pasta aluminium oksida dan lain-lainnya, sesuai dengan bahan dasar benda kerja.
2. Material (spesimen) percobaan Material yang digunakan adalah kuningan sesuai dengan spesifikasi UNS Number C 28.000 dan QQ.B-613 dengan komposisi kimia seperti berikut : Copper (Cu) : 5963%; timbal (Pb) : 0,3 max besi (Fe) : 0,07 max dan zinc (Zn) sisanya. Sedangkan dimensi spesimen dijelaskan pada Gambar 7 berikut ini.
Gambar 7. Dimensi spesimen percobaan
METODOLOGI PENELITIAN 1. Skema penelitian Skema penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 6.
dilakukan
Material Kuningan (Cu-Zn) Persiapan Permukaan Etsa Pelapisan Krom Keras (Hard Crom) T = 55 ± 5oC, T = 50-70 menit I = 15-45 Amp/dm2 Pengujian dan Pemeriksaan Kekerasan & Ketebalan Laju Korosi, Daya Lekat Tanpak Rupa Data Analisis dn Pembahasan Kesimpulan dan saran Gambar 6. Skema penelitian pelapisan chrom keras pada kuningan
89
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
3. Pekerjaan persiapan (pendahuluan) : a. Pencucian lemak (degreasing) : Pengerjaan pencucian lemak bertujuan untuk membersihkan benda kerja (kuningan)dari lemak atau minyakminyak yang menempelakibat pengerjaan sebelumnya. Pencucian lemak perlu dilakukan karena lemak maupun minyak tersebut akan mengganggu proses pelapisan yaitu mengurangi daya hantar listrik dan kontak antara lapisan dengan logam kuningan.Pencucian dilakukan dengan cara dipping benda kerja kuningan kedalam larutan dengan komposisi dan kondisi kerja seperti berikut : Caustik soda (NaOH) : 50 gr/l Sodium metasilikat (Na4SiO3) : 10 gr/l Surfactant : 50 gr/l Temperatur : 55oC Waktu pencucian : 10 menit b. Pencucian asam (pickling) : Pencucian dengan asam untuk membersihkan permukaan benda kerja dari oksida dan sisa-sisa bahan kimia dari proses cuci lemak. Proses pencucian dilakukan dengan cara direndam dalam larutan asam chlorida dengan komposisi kerja seperti berikut : Asam chlorida (HCl) : 15% x volume Temperatur : Temperatur kamar Waktu pencucian : 8 menit
Reaksi yang terjadi pada proses ini adalah sebagai berikut : ZnO + 2HCl ZnCl2 + H2O CuO + 2HCl CuCl2 + H2O Oleh karena reaksi berjalan secara terus menerus, maka permukaan benda kerja (kuningan) yang berasal dari panduan Cu + Zn akan membentuk permukaan yang bersih. Dipilihnya larutan asam chlorida pada proses cuci asam, karena larutan ini akan memberikan keuntungan bila dilihat dari : - Permukaan yang dihasilkan berwarna kelabu muda dan merata - Efektifitas picling tetap sampai konsentrasi garam besi (Fe) 13% - Dilakukan pada temperatur rendah (temperatur kamar) - Mudah dibilas dan lebih aman - Kemungkinan terjadinya over picling kecil - Daya lekat (adhesi) tinggi c. Proses etsa (etching) : Proses pengetsaan merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam persiapan proses pelapisan chrom keras, karena akan menentukan daya lekat (adhesi) lapisan yang terbentuk. Dengan adanya proses etsa, maka permukaan benda kerja akan menjadi porous dan membentuk struktur kristal yang teratur, sehingga memudahkan logam pelapis berdifusi dengan baik. Proses etsa dilakukan dalam larutan dengan komposisi dan kondisi kerja seperti berikut : Caustic soda (NaOH) : 50 gr/l Rapat arus : 15 A/dm2 Waktu proses etsa : 10 menit Adapun reaksi yang terjadi selama proses etsa berlangsung adalah seperti berikut ini : CuZn + NaOH NaZn + Cu(OH)2 4. Proses pelapisan chrom keras (hard chrom) : Proses pelapisan dilakukan sesuai dengan variabel yang akan dilakukan yaitu memvariasikan waktu pelapisan dan rapat arus, sedangkan temperatur dan komposisi dan kekentalan larutan tetap. Dengan memvariasikan waktu pelapisan dan rapat arus, maka komposisi larutan dan kondisi kerjanya adalah sebagai berikut :
a. Percobaan I : Chromoc acid (CrO3) : 250 gr/l Asam sulfat (H2SO4) : 2,50 gr/l Kekentalan larutan : 18o Be Temperatur : 55oC Rapat arus : 15 A/dm2 Waktu pelapisan : 50, 60 dan 70 menit b. Percobaan II : Chromoc acid (CrO3) : 250 gr/l Asam sulfat (H2SO4) : 2,50 gr/l Kekentalan larutan : 18o Be Temperatur : 55oC Rapat arus : 30 A/dm2 Waktu pelapisan : 50, 60 dan 70 menit c. Percobaan III : Chromoc acid (CrO3) : 250 gr/l Asam sulfat (H2SO4) : 2,50 gr/l Kekentalan larutan : 18o Be Temperatur : 55oC Rapat arus : 45 A/dm2 Waktu pelapisan : 50, 60 dan 70 menit Dari ketiga percobaan yang dilakukan, reaksi yang terjadi dari tiap-tiap percobaan yaitu sama seperti berikut ini : CrO3 + H2O H2CrO4 H2CrO4 H2Cr2O7 + H2O H2Cr2O7 + 14H2 + 2E 2Cr + 7H2O
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
90
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengujian 1. Pengujian ketebalan Pengujian ketebalan lapisan didasarkan pada standar ASTM B-244 yaitu dengan menggunakan metode Eddy-Current.
Adapun hasil uji ketebalan dan hubungan rapat arus dan waktu proses terhadap ketebalan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 8 berikut ini :
Tabel 1. Hasil uji ketebalan lapisan No
Kode
1
A B C A B C A B C
2
3
Benda Kerja Temperatur Rapat Arus (oC) (A/dm2) 15
55
30
45
Ketebalan lapisan (m) Waktu Operasi (Menit) 50 60 70 50 60 70 50 60 70
t-1
t-2
t-3
t-4
t-5
10,1 12,5 11,7 13,6 14,1 17,4 17,1 16,8 17,9
13 9,8 15,8 12,5 14,1 18,4 17,9 17,9 20,1
8,7 10,4 15,4 13,1 16,8 20,1 19,5 14,1 23
10,9 11,2 13,1 15,7 19,2 17,4 16 16,6 22,7
11,1 8,7 12,9 11,9 16,3 16,3 14,1 13,6 20,6
Ratarata 10,76 10,52 13,78 13,36 16,1 17,92 16,92 15,8 20,86
2. Pengujian kekerasan Pengujian kekerasan lapisan dilakukan dengan menggunakan alat mikro Vickers dengan beban 10 gram dan waktu penekanan selama 15 detik. Hasil uji kekerasan dan hubungan rapat arus dan waktu proses terhadap laju korosi dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 9.
Gambar 8. Hubungan rapat arus dan waktu proses terhadap ketebalan
Tabel 2. Hasil uji kekerasan lapisan No
Kode
1
A B C A B C A B C
2
3
91
Benda Kerja Temperatur Rapat Arus (oC) (A/dm2) 15
55
30
45
Ketebalan lapisan (m) Waktu Operasi (Menit) 50 60 70 50 60 70 50 60 70
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
t-1
t-2
t-3
t-4
t-5
623 680 705 709 801 820 734 814 830
627 682 704 713 805 826 739 826 831
626 680 707 713 807 820 738 823 830
626 681 705 712 805 823 737 822 828
627 687 706 710 803 821 738 822 832
Ratarata 625,8 682 705,4 711,4 804,2 822 737,2 822,4 830,2
Gambar 9. Hubungan rapat arus dan waktu proses terhadap kekerasan
Gambar 10. Hubungan rapat arus dan waktu proses terhadap laju korosi
Tabel 3. Hasil uji ketahanan korosi No
Kode
1
A B C A B C A B C
2
3
Benda Kerja Temperatur Rapat Arus (oC) (A/dm2) 15
55
30
45
Waktu Operasi (Menit) 50 60 70 50 60 70 50 60 70
3. Pengujian ketahanan korosi Pengujian ketahanan korosi lapisan chrom keras dilakukan dengan metode penyemprotan kabut garam yang didasarkan pada standar JIS H-8502 yaitu dengan metode Copper Acclereted Acetic Acid Salt Spray Test (CASS). Hasil uji ketahanan korosi dan hubungan rapat arus dan waktu proses pelapisan dijelaskan pada Tabel 3 dan Gambar 10 berikut ini :
Ketebalan lapisan (m) Selisih Berat Laju Korosi (mg) (mdd) 2,15 4,30 1,85 3,70 1,70 3,40 2,45 4,90 2,80 5,60 3,10 6,20 4,30 8,60 4,60 9,20 4,05 8,1
Pengujian dilakukan dengan cara memasukkan benda kerja kedalam minyak (palm oil) yang panasnya mencapai temperatur 245-260oC selama 5-8 menit kemudian didinginkan secara cepat kedalam air. Apabila lapisan tidak mengelupas maka dinyatakan daya lekat lapisan baik. Hasil uji daya lekat dijelaskan pada Tabel 4 berikut ini.
4. Pengujian daya lekat (adhesi) Faktor yang penting untuk mendapatkan mutu lapisan yang baik, sampai sejauh mana kekuatan/daya lekat lapisan, maka dilakukan pengujian daya lekat (adherent test) dengan menggunakan metode pengujian panas sesuai dengan JIS H-8504.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
92
Tabel 4. Hasil uji daya lekat lapisan No
Kode
1
A B C A B C A B C
2
3
Spesimen Temperatur Rapat Arus (oC) (A/dm2) 15
55
30
45
Hasil pengujian daya lekat Waktu Operasi (Menit) 50 60 70 50 60 70 50 60 70
KESIMPULAN DAN SARAN Pengerjaan pendahuluan sangat menentukan daya lekat lapisan, karena apabila masih terdapat pengotor pada permukaan benda kerja, maka akan menghasilkan lapisan yang bergelombang dan mudah terkelupas. Proses etsa cukup menentukan pengendapan ion-ion chrom untuk menghasilkan kekuatan ikatan benda kerja dengan lapisan chrom. Untuk menghasilkan lapisan yang optimum, maka didapat pada kondisi operasi dengan rapat arus 45 A/dm2, waktu proses 70 menit dan temperatur 55oC dan konsentrasi larutan chromic acid 250 gr/l dan asam sulfat 2,5 gr/l. DAFTAR PUSTAKA 1. Green Wood David J, 1991, Hard Chromium Plating, Robert Draper Ltd Tedding. 2. F.A. Lowenhein, 1974, Modern Electroplating, John Wiley and Sons Inc. New York.
93
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Daya lekat
Visual
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
3. F.A. Lowenhein, 1978, Electroplating, Mc. Graw Hill Book Company. 4. JICA, 2002, Industrial Hard Chromium Plating. 5. Logozzo Athur, 1990, Chromium Plating, Metal Finishing Guide Book & Directory. 6. Nagoya, 1989, Metal Finishing Engineering, Japan International Cooperation Agency. 7. Dubpernell George, 1989, Chromium Modern Electroplating, New York. 8. Denny A. Jones, Principle and Prevention of Corrosion. 9. Metal Hand Book, 2005, Atlas of Microstructures of Industrial Alloy (8th Edition Vol 7). 10. Metal Hand Book Ninth Edition Vol.5, 2005, Surface Cleaning, Finishing and Coating. 11. JIS Hand Book Standard, 1993, Non Ferro Metals & Metallurgy. 12. ASTM Hand Book Standard, 1989, General Test Metallurgy.
ISSN 0126 – 3463
PENGARUH PENGELASAN TIG TERHADAP ANALISA KOMPOSISI KIMIA MEMAKAI METODE SPEKTROMETER Mahaputra dan Tarmizi1 1
Balai Besar Logam Mesin (BBLM/MIDC) – Kementerian Perindustrian Jl. Sangkuriang No. 12 Bandung 40135 E-mail :
[email protected] ;
[email protected]
Abstrak Penelitian pengaruh pengelasan untuk mendukung analisa komposisi kimia dengan metode spektrometer telah dilakukan. Spektrometer adalah alat yang digunakan untuk menguji komposisi kimia suatu logam. Komposisi kimia suatu logam diperlukan untuk menentukan kelas material logam tersebut, sehingga hasil uji komposisi kimia harus tepat. Pengujian komposisi kimia dengan metoda spektrometer menggunakan gas argon sebagai media untuk emisinya, dan sangat penting bahwa ketika pengujian dengan metoda spektrometer, gas argon tidak bocor agar hasilnya tepat. Terkadang sampel yang akan diuji spektrometer memiliki ukuran yang terbatas seperti terlalu kecil sehingga akan terjadi kebocoran gas argon ketika diuji, atau terlalu tipis sehingga emisi akan tembus, dan hasil ujinya menjadi tidak tepat. Pada penelitian ini, penulis menggunakan metoda pengelasan untuk mendukung pengujian komposisi kimia dengan metoda extended size dan added thickness. Hasil pengujian awal dan setelah dikondisikan extended size dan added thickness, analisa komposisi kimia logam hasilnya sama. Kata kunci: spektrometer, komposisi kimia, pengelasan. ABSTRACT A research of welding effects to support the chemical composition with spectrometer method has been done. Spectrometer is an instrument used to examine the chemical composition of a metal. The chemical composition is needed to determine the material grade, so that the chemical composition test results must be precise. The spectrometer method is using argon gas as a medium for its emissions, and it is essential that when testing , argon gas is not leak so the results are right. Sometimes the sample to be tested have such limited size such as small size so argon gaswould be leak when tested, orthe sample is very thin so that emissions would be translucent, and the test results to be incorrect. In this study, the authors use welding methods to support testing of chemical composition by the method of extended size and added thickness. Results of initial testing and after extended size condition and added thickness, chemical composition analysis are the same. Keywords : spectrometer, chemical composition, welding. PENDAHULUAN Mutu material logam dan paduannya sangat penting bagi kinerja peralatan produksi, fasilitas teknik serta bahan penunjang lainnya. Data pengujian kualitas material yang terbuat dari logam sangat diperlukan dalam pemilihan bahan dan pemeliharaan peralatan industri. Salah satu metoda untuk pengujian kualitas material adalah pengujian komposisi kimia. Pengujian komposisi kimia adalah suatu metoda untuk mengetahui komposisi kandungan unsur-unsur yang terdapat pada suatu material, dimana dari kandungankandungan unsur-unsur tersebut dapat diketahui grade material tersebut atau termasuk pada kelompok material mana logam tersebut.
Salah satu metoda pengujian komposisi kimia logam adalah dengan metoda optical emission spectrometer. Metoda ini adalah metoda pengujian komposisi kimia dengan menggunakan optical emission dengan cara burn atau spark. Media untuk melaksanakan proses burn atau spark ini adalah dengan menggunakan gas yaitu argon UHP. Dikarenakan metoda pengujian komposisi kimia, metoda optical emission spectrometer ini menggunakan media gas, maka hasil pengujian komposisi kimia dengan cara ini sangat tergantung kondisi gas yang melakukan burn atau spark tersebut terjadi kebocoran atau tidak. Hasil pengujian komposisi kimia akan makin tepat jika tidak ada gas yang bocor. Sehingga ada dua faktor yang mempengaruhi
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 94
hasil uji komposisi kimia dengan metoda ini, yaitu posisi probe/gun dari alat uji spektrometer, dimana posisinya tegak lurus sedemikian rupa sehingga tidak ada gas yang bocor dan kondisi ukuran sampel yang cukup untuk menutupi seluruh bagian probe/gun sehingga tidak ada gas yang bocor. Untuk faktor yang pertama telah banyak ditanggulangi oleh pabrikan alat uji optical emission spectrometer dengan merancang probe/gun sedemikian rupa agar gas tidak bocor. Sedangkan untuk faktor kedua yaitu ukuran material, harus dicari metoda yang tepat dan tidak mempengaruhi hasil pengujian. Metoda yang diambil oleh penulis adalah metoda extended size dan added thickness. Metoda extended size adalah dengan menyambung material yang ukurannya kecil dengan material yang sejenis dengan cara dilas, sehingga ukuran material menjadi makin besar. Metoda added thickness adalah metoda dengan penambahan ketebalan material dengan cara dilas. Metoda ini untuk menanggulangi kondisi material yang tipis sehingga ketika diperlakukan pengujian komposisi kimia dengan optical emission spectrometer , proses burn/spark akan menembus materialnya, sehingga hasilnya tidak tepat. Pengujian komposisi kimia dengan metoda Optical Emission Spectrometry adalah metoda analisa komposisi kimia dengan menggunakan media gas, dalam hal ini gas Argon UHP untuk mengeksitasikan energi secara Spark atau Arc. Hasil pengujian sangat tergantung intensitas eksitasi energi dalam hal ini berkaitan dengan intensitas gas yang digunakan. Pada suatu kondisi terkadang ditemukan keadaan dimana ukuran sampel yang kecil dan tebal sampel yang tipis. Sehingga, untuk sampel dengan ukuran yang kecil akan terjadi kebocoran gas ketika dilakukan Spark atau Arc, sehingga intensitas eksitasi energi akan berkurang dan menyebabkan analisa komposisi kimia menjadi tidak tepat. Sedangkan untuk kondisi sampel yang tipis, ketika terjadi spark atau Arc, akan tembus, sehingga pada sampel tidak terjadi eksitasi energi, dan hasil uji komposisi kimia menjadi tidak tepat. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisa hasil uji komposisi kimia material logam pada kondisi awal dan setelah
95
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
diperlakukan pengelasan untuk extended size dan added thickness. LANDASAN TEORI Proses Pengelasan Logam Pengelasan adalah proses penyambungan material dengan menggunakan energi panas sehingga menjadi satu dengan atau tanpa tekanan. Pengelasan dapat dilakukan dengan pemanasan tanpa tekanan, pemanasan dengan tekanan, dan tekanan tanpa memberikan panas dari luar (panas diperoleh dari dalam material itu sendiri). Disamping itu pengelasan dapat dilakukan : tanpa logam pengisi dan dengan logam pengisi. Proses pengelasan sangat penting baik ditinjau secara komersial maupun teknologi, antara lain karena : 1. Merupakan penyambungan yang permanen dan sambungannya dapat lebih kuat daripada logam induknya. Bila digunakan logam pengisi yang memiliki kekuatan lebih besar dari pada logam induknya; 2. Merupakan cara yang paling ekonomis dilihat dari segi penggunaan material dan biaya fabrikasi. Metode perakitan mekanik yang lain memerlukan pekerjaan tambahan, misalnya pengencang sambungan (rivet dan baut); 3. Dapat dilakukan dalam pabrik atau dilapangan. Meskipun demikian pengelasan juga memiliki keterbatasan dan kekurangan, yaitu : 1. Kebanyakan operasi pengelasan dilakukan secara manual dengan upah tenaga kerja yang mahal; 2. Kebanyakan proses pengelasan berbahaya karena menggunakan energi yang besar; 3. Pengelasan merupakan sambungan permanen sehingga rakitannya tidak dapat dilepas. Jadi metode pengelasan tidak cocok digunakan untuk produk yang memerlukan pelepasan rakitan (misalnya untuk perbaikan atau perawatan); Sambungan las dapat menimbulkan bahaya akibat adanya cacat yang sulit dideteksi. Cacat ini dapat mengurangi kekuatan sambungannya. Pengelasan dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu :
1. Pengelasan lebur (fusion welding) Proses pengelasan lebur menggunakan panas untuk mencairkan logam induk. Beberapa operasi menggunakan logam pengisi dan yang lain tanpa logam pengisi. Pengelasan lebur dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Pengelasan busur Dilakukan dengan memanaskan logam pengisi dan bagian sambungan dari logam induk sampai mencair dengan memakai sumber panas busur listrik. b. Pengelasan resistansi listrik Permukaan lembaran logam yang disambung ditekan satu sama lain dan arus yang cukup besar dialirkan melalui sambungan tersebut. Pada saat arus mengalir dalam logam, panas tertinggi timbul di daerah yang memiliki resistansi listrik terbesar, yaitu pada permukaan kontak kedua logam; c. Pengelasan gas Sumber panas diperoleh dari hasil pembakaran gas dengan oksigen sehingga menimbulkan nyala api dengan suhu yang dapat mencairkan logam induk dan logam pengisi. Gas yang lazim digunakan adalah gas alam, asetilen, dan hidrogen. d. Proses pengelasan lebur yang lain misalnya pengelasan berkas elektron (electron beam welding),dan pengelasan berkas laser (laser beam welding). 2. Pengelasan padat (slid state welding) Proses penyambungan logam dihasilkan dengan tekanan tanpa memberikan panas dari luar, atau tekanan dan memberikan panas dari luar. Pengelasan padat dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Pengelasan difusi Dua pemukaan logam yang akan disambung disatukan, kemudian dipanaskan dengan temperatur mendekati titik lebur logam sehingga permukaan yang akan disambung menjadi plastis dan dengan memberi tekanan tertentu maka terbentuk sambungan logam; b. Pengelasan gesek Penyambungan terjadi akibat panas yang ditimbulkan oleh gesekan antara dua bagian logam yang disambung. Kedua bagian logam yang akan disambung disatukan dibawah
c.
pengaruh tekanan aksial, kemudian salah satu diputar sehingga pada permukaan kontak akan timbul panas (mendekati titik cair logam), maka setelah putaran dihentikan akan terbentuk sambungan logam. Pengelasan ultrasonik Dilakukan dengan menggunakan tekanan tertentu antara dua bagian logam yang akan disambung, kemudian diberi getaran osilasi dengan frekuensi ultrasonik dalam arah yang sejajar dengan permukaan kontak. Gaya getar tersebut akan melepas lapisan tipis permukaan kontak sehingga dihasilkan ikatan atomik antara ke dua permukaan tersebut.
Sambungan Las Sambungan las adalah pertemuan dua tepi atau permukaan benda yang disambung dengan proses pengelasan. Terdapat lima jenis sambungan yang biasa digunakan untuk menyatukan dua bagian benda logam, yaitu 1. Sambungan tumpu Kedua bagian benda yang akan disambung diletakkan pada bidang datar yang sama dan disambung pada kedua ujungnya; 2. Sambungan sudut Kedua bagian benda yang akan disambung membentuk sudut siku-siku dan disambung pada ujung sudut tersebut; 3. Sambungan tumpang Bagian benda yang akan disambung saling menumpang (overlapping) satu sama lainnya; 4. Sambungan T Satu bagian diletakkan tegak lurus pada bagian yang lain dan membentuk huruf T yang terbalik; 5. Sambungan tekuk Sisi-sisi yang ditekuk dari ke dua bagian yang akan disambung sejajar, dan sambungan dibuat pada kedua ujung bagian tekukan yang sejajar tersebut. Berdasarkan geometrinya, lasan dapat dikelompokkan sebagai berikut : a. Lasan jalur Digunakan untuk mengisi tepi pelat pada sambungan sudut, sambungan tumpang, dan sambungan T. Logam pengisi digunakan untuk menyambung sisi melintang bagian yang membentuk segitiga siku-siku;
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 96
b. Lasan alur Ujung bagian yang akan disambung dibuat alur dalam bentuk persegi, serong (bevel), V, U, dan J pada sisi tunggal atau ganda. Logam pengisi yang biasanya dilakukan dengan pengelasan busur dan pengelasan gas; c. Lasan sumbat dan lasan slot Digunakan untuk menyambung pelat datar. Dengan membuat satu lubang atau lebih atau slot pada bagian pelat yang diletakkan paling atas, dan kemudian mengisi lubang tersebut dengan logam pengisi sehingga kedua bagian pelat melumer menjadi satu. d. Lasan titik dan lasan kampuh Digunakan untuk sambungan tumpang. Lasan titik adalah manik las yang kecil antara permukaan lembaran atau pelat. Lasan titik diperoleh dari hasil pengelasan resistansi listrik. Lasan kampuh hampir sama dengan lasan titik, tetapi lasan kampuh lebih kontinu dibandingkan dengan lasan titik. e. Lasan lekuk dan lasan rata Lasan lekuk dibuat pada ujung dua atau lebih bagian yang akan disambung, biasanya merupakan lembaran logam atau pelat tipis, paling sedikit satu bagian ditekuk. Lasan datar tidak digunakan untuk menyambung bagian benda, tetapi merupakan lapisan ganjal logam pada permukaan bagian dasar. Ciri-ciri Penyambungan Pengelasan Lebur Pada umumnya sambungan las diawali dengan meleburnya di daerah sekitar pengelasan. Sambungan las yang di dalamnya telah ditambahkan logam pengisi terdiri dari beberapa daerah (zone) : 1. Daerah lebur (fusion zone), Terdiri dari campuran antara logam pengisi dengan logam dasar yang telah melebur secara keseluruhan. Daerah ini memiliki derajat homogenitas yang paling tinggi diantara daerah-daerah lainnya. 2. Daerah antarmuka las (weld interface zone) Merupakan daerah sempit berbentuk pita (band) yang memisahkan antara daerah lebur dengan HAZ . Daerah ini terdiri dari logam dasar yang melebur secara keseluruhan atau sebagian, yang segera menjadi padat kembali sebelum terjadi proses pencampuran.
97
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
3. Daerah pengaruh panas (heat effective zone, HAZ), Mendapat pengaruh panas dengan suhu di bawah titik lebur, tetapi cukup tinggi untuk merubah mikrostruktur logam padat. Komposisi kimia pada HAZ sama dengan logam dasar, tetapi akibat panas yang dialami telah merubah mikrostrukturnya, sehingga sifat mekaniknya mengalami perubahan pula dan pada umumnya merupakan pengaruh yang negatif karena pada daerah ini sering terjadi kerusakan. 4. Daerah logam dasar tanpa pengaruh panas (uneffective base metal zone). Daerah ini tidak menagalami perubahan metalurgi, tetapi karena dikelilingi oleh HAZ maka daerah ini memiliki tegangan sisa yang besar akibat adanya penyusutan dalam daerah lebur, sehingga mengurangi kekuatannya. Untuk menghilangkan tegangan sisa tersebut biasa dilakukan perlakuan panas yaitu memanaskan kembali daerah lasan tersebut hingga temperatur tertentu, kemudian temperatur dipertahankan dalam beberapa waktu tertentu, selanjutnya didinginkan secara perlahan. Las TIG Las gas tungsten (las TIG) adalah proses pengelasan dimana busur nyala listrik ditimbulkan oleh elektroda tungsten (elektroda tak terumpan) dengan benda kerja logam. Daerah pengelasan dilindungi oleh gas lindung (gas tidak aktif) agar tidak berkontaminasi dengan udara luar. Kawat las dapat ditambahkan atau tidak tergantung dari bentuk sambungan dan ketebalan benda kerja yang akan dilas. Perangkat yang dipakai dalam pengelasan las gas tungsten adalah: 1. Mesin, Mesin las AC/DC merupakan mesin las pembangkit arus AC/DC yang digunakan di dalam pengelasan las gas tungsten. Pemilihan arus AC atau DC biasanya tergantung pada jenis logam yang akan dilas. 2. Tabung gas lindung adalah tabung tempat penyimpanan gas lindung seperti argon dan helium yang digunakan di dalam mengelas gas tungsten.
3. Regulator gas lindung adalah adalah pengatur tekanan gas yang akan digunakan di dalam pengelasan gas tungsten. Pada regulator ini biasanya ditunjukkan tekanan kerja dan tekanan gas di dalam tabung. Flow meter untuk gas dipakai untuk menunjukkan besarnya aliran gas lindung yang dipakai di dalam pengelasan gas tungsten. 4. Selang gas dan perlengkapan pengikatnya berfungsi sebagai penghubung gas dari tabung menuju pembakar las. Sedangkan perangkat pengikat berfungsi mengikat selang dari tabung menuju mesin las dan dari mesin las menuju pembakar las. 5. Kabel elektroda dan selang berfungsi menghantarkan arus dari mesin las menuju stang las, begitu juga aliran gas dari mesin las menuju stang las 6. Kabel masa berfungsi untuk penghantar arus ke benda kerja 7. Stang las (welding torch) berfungsi untuk menyatukan sistem las yang berupa penyalaan busur dan perlindungan gas lindung selama dilakukan proses pengelasan. 8. Elektroda tungsten berfungsi sebagai pembangkit busur nyala selama dilakukan pengelasan.Elektroda ini tidak berfungsi sebagai bahan tambah 9. Kawat las berfungsi sebagai bahan tambah. Tambahkan kawat las jika bahan dasar yang dipanasi dengan busur tungsten sudah mendekati cair. 10. Assesories pilihan dapat berupa sistem pendinginan air untuk pekerjaan pengelasan berat, rheostat kaki, dan pengatur waktu busur. Pengujian komposisi kimia dengan Optical Emission Spectrometry (OES) Optical Emission Spectrometry (OES) adalah salah satu metoda untuk menentukan komposisi kimia suatu logam, dalam arti OES dapat menentukan persentase unsur-unsur yang terdapat dalam suatu material logam. Kandungan suatu material logam dapat dideteksi berdasarkan spektrum warna dari suatu material. Karena tiap-tiap unsur akan memiliki sifat fisik khas dalam hal warna spektrumnya. Sebagai contoh untuk unsur Natrium (Na) jika dipanaskan akan mengeluarkan cahaya yang berwarna kuning (pada panjang gelombang sekitar 760μm) yang hanya dikeluarkan oleh unsur Natrium.
Dengan demikian cahaya pada pada panjang gelombang tersebut jelas menunjukan sifat unsur Natrium, dan intensitas cahaya tersebut sebanding dengan jumlah atom Na, yang berarti dengan mengukur cahaya yang dipancarkan tadi, kita dapat menentukan jumlah (kadar) dari unsur Natrium tersebut. Prinsip OES berkaitan dengan ilmu spektroskopi. Spektroskopi adalah bidang ilmu pengetahuan yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pengamatan, pengukuran dan penafsiran tentang radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan atau diserap oleh materi. Pada kegiatan spektroskopi, radiasi gelombang elektromagnetik diuraikan menjadi barbagai panjang gelombang yang disebut spektra dan diukur intensitasnya. Selanjutnya dari spektra-spektra ini dapat ditafsirkan sifat dari bahan tersebut, dengan demikian spektroskopi dapat dimanfaatkan untuk mengetahui komposisi bahan. Dalam analisa kimia, cara ini biasa disebut analisa Spektrometri. Cahaya polikromatik dari suatu sumber cahaya dibuat paralel dengan menggunkan suatu lensa optik. Bila seberkas cahaya polikromatik melalui sebuah prisma, maka akan diperoleh spektrum yang terdiri dari berbagai warna. Laju cahaya bergantung pada medium yang dilaluinya, akibatnya suatu berkas sinar akan dibelokan ketika melalui batas antara dua medium. Karena cahaya dengan panjang gelombang yang berbeda, maka cahaya polikromatik tadi akan didispersikan menjadi spektrum warna ketika keluar dari medium prisma. Selanjutnya apabila sumber cahaya polikromatik tersebut diganti dengan busur elektrik yang diisi dengan suatu senyawa atau suatu unsur tertentu, maka ketika dialirkan listrik senyawa atau unsur tadi akan teratomisasi lalu tereksitasi sehingga memancarkan suatu spektrum yang khas bagi unsur tersebut. Spektrum radiasi gelombang elektromagnetik berasal dari atom atau molekul yang mengalami perubahan pada keadaan susunan elektron yang mengelilingi inti. Menurut teori kuantum tiap atom atau molekul mempunyai berbagai tingkat energi yang bergantung pada susunan (konfigurasi) elektron nya. Apabila suatu atom yang elektronnya dalam keadaan stabil diberi energi maka elektron tersebut akan berpindah ke level enegi yang lebih tinggi sambil menyerap energi yang diterima, selanjutnya apabila
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 98
energi tersebut dihilangkan maka elektron tadi akan kembali kedalam keadaan semula sambil memancarkan radiasi elektromagnetik. Radiasi yang dipancarkan ini biasanya terdiri dari berbagai panjang gelombang yang disebut spektrum, spektrum ini dapat dipisahkan atas spektra-spektra yang hanya terdiri dari satu jenis panjang gelombang (monokromatis). Spektrum elektromagnetik adalah sederetan energi sinar yang disusun menurut perubahannya, misalnya bertambahnya nilai panjang gelombang. Spektrum elektromagnetik digolongkan dalam berbagai “daerah spektrum”, dimana sinar kosmik merupakan daerah spektrum dengan nilai panjang gelombang paling kecil tetapi mempunyai energi paling besar, sebaliknya gelombang radio mempunyai panjang gelombang paling besar tetapi energinya kecil. Pada daerah sinar tampak (Visible ray), mencakup daerah spektrum / panjang gelombang yang paling sempit yaitu sekitar 400 nm sampai dengan 700 nm. Sinar tampak (Visible ray) ini adalah sinar elektromagnetik yang mendasari analisa “Spektrofotometri”. Parameter-parameter gelombang adalah : 1. Panjang Gelombang (λ), yaitu jarak antara dua puncak gelombang atau jarak tempuh gelombang tiap-tiap periode waktu. Satuannya adalah A (Angstrom). 1 A = 10-8 Cm = 10-9m = 1 nm 2. Frekuensi (ν), adalah jumlah gelombang penuh atau jumlah siklus yang melewati suatu titik tertentu dalam satuan waktu. Satuannya adalah Hertz (Hz), 1 Hz = 1 siklus per detik .
Gambar 1. Ikhtisar panjang gelombang
Optical Emission Spectrometry (OES) adalah suatu alat yang dapat digunakan untuk analisa logam secara kuantitatif yang didasarkan pada pemancaran atau emisi sinar dengan panjang gelombang karakteristik untuk unsur yang dianalisa. Sumber dari pengeksitasi
99
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
dari OES bisa didapat dari nyala api gas atau busur listrik, biasa disebut “ARC” atau “SPARK”. Prinsip dasar dari analisa OES ini yaitu : apabila atom suatu unsur ditempatkan dalam suatu sumber energi kalor (sumber pengeksitasi), maka elektron di orbital paling luar atom tersebut yang tadinya dalam keadaan dasar atau ‘ground state’ akan tereksitasi ke tingkat-tingkat energi elektron yang lebih tinggi. Karena keadaan tereksitasi itu merupakan keadaan yang sangat tidak setabil maka elektron yang tereksitasi itu secepatnya akan kembali ke tingkat energi semula yaitu kekeadaan dasarnya (ground state). Pada waktu atom yang tereksitasi itu kembali ke tingkat energi lebih rendah yang semula, maka kelebihan energi yang dimilikinya sewaktu masih dalam keadaan tereksitasi akan ‘dibuang’ keluar berupa ‘emisi sinar’ dengan panjang gelombang karakteristik bagi unsur yang bersangkutan. Untuk sumber pengeksitasi atom suatu unsur diperlukan suatu sumber energi kalor yang mampu mengeksitasikan elektron di orbital paling luar dari atom tersebut ke tingkat energi atom yang lebih tinggi. Pada spektrofotometri Emisi nyala, sumber pengeksitasinya adalah nyala api gas, tetapi kelemahan dari nyala api ini adalah energi kalor yang dihasilkannya relatif rendah. Misalnya campuran gas Acetilen dan O2 murni hanya akan menghasilkan suhu sekitar 3000oC. Dengan kombinasi gas ini maka unsur-unsur yang dapat dieksitasikan dengan menghasilkan intensitas sinar emisi yang baik biasanya adalah logam-logam alkali (Na, K, Li, Ca dll). Sedangkan untuk mengeksitasikan atom logam-logam yang lebih berat maka diperlukan nyala api dengan kombinasi gas lain yang dapat memberikan suhu lebih tinggi dan juga memberikan energi kalor yang lebih tinggi. Oleh karena itu telah diusahakan adanya sumber-sumber pengeksitasi atom yang dapat menghasilkan energi kalor yang lebih tinggi. Ada suatu jenis sumber pengeksitasi yang mampu memberikan energi kalor dan suhu yang lebih tinggi, yaitu ‘bunga api listrik’ yang disebut ‘Arc’ atau “Spark”. Dalam penelitian ini yang digunakan sebagai sumber pengeksitasi adalah dengan menggunakan gas Argon UHP. Yang dimaksud dengan bunga api listrik atau awan muatan listrik (electrical discharge) adalah loncatan muatan listrik
antara ujung batang elektroda dan sampel dimana ujung elektroda dan sampel tidak saling bersentuhan dan apabila antara keduanya diberikan tegangan listrik yang tinggi, maka akan terjadi loncatan muatan elektron dan akan menimbulkan tahanan sehingga hal ini akan menimbulkan kalor yang sangat tinggi, Suhu yang dihasilkan oleh muatan listrik tersebut berkisar antara 4000oC sampai dengan 7000oC. Jadi jauh lebih tinggi dari pada yang dihasilkan oleh nyala api gas acetilen dan O2. Untuk analisa kuantitatif, dibuat beberapa cuplikan standar unsur X dengan komposisi kimia yang sudah diketahui, kemudian tiap cuplikan standar itu dieksitasi dalam “Spark” sehingga diperoleh spektrum emisi X tersebut pada tabung penggandaan foto (Photo Multi Plier Tube/ PMT). Dari berbagai garis spektrum yang dihasilkan pada foto tersebut, kemudian dipilih salah satu garis yang intensitasnya kuat dan diukur derajat kehitamannya. Semakin tinggi konsentrasi X maka semakin hitam garisnya (dan sebaliknya). Sehingga dapat disimpulkan tingkat kehitaman garis spektrum emisi itu berbanding lurus dengan Intensitas (I) garis emisi itu. Densitometer memberikan langsung nilai Intensitas untuk berbagai konsentrasi. Sehingga dapat dibuat kurva hubungan antara Intensitas dan Konsentrasi pada suatu panjang gelombang yang diukur. Letak suatu garis hitam, yang berasal dari suatu logam, pada film foto, menentukan nilai panjang gelombang yang khas bagi logam yang bersangkutan. Suatu logam tertentu dapat menghasilkan banyak sekali garis hitam pada film foto, dengan Intensitas yang berbeda. Penentuan kadar secara kuantitaip dengan analisa OES adalah sebuah metoda yang relatif. Pada dasarnya metoda ini membandingkan intesitas dari sampel yang belum diketahui komposisinya dengan intensitas dari sample standar yang nilai komposisinya sudah diketahui dengan pasti. Oleh karena itu, untuk menghasilkan analisa yang akurat tergantung dari stabilitas alat dan sampel standar. Lebih jelasnya ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema OES modern
Secara umum persyaratan untuk sampel standar adalah sebagai berikut : 1. Komposisi kimia untuk setiap elemen harus mencakup rentang sampel yang akan dianalisa 2. Struktur kimia dan sifat-sifat secara metalurgis harus sesuai dengan sampel yang akan dianalisa 3. Komposisi kimia untuk setiap elemen harus betul-betul sudah dianalisa dan bersertifikat dari badan yang berhak mengeluarkan sertifikat sampel standar 4. Harus homogen dan bebas dari segregasi 5. Mempunyai base elemen yang sama 6. Jumlah sampel standar harus cukup untuk membentuk kurva kerja METODE PENELITIAN Perancangan Sistem Dalam penelitian ini, sampel yang digunakan adalah material Stainless Steel kelas martensitic dengan grade 420F. Komposisi kimia standar sebagai berikut (dalam %) : Carbon : 0,26 – 0,40 ; Silicon : max 1,00; Mangan: max 1,25; Phospor : max 0,060 ; Sulfur : min 0,15 ; Nickel : ± 0,60 ; Chrom : 12-14 ; Molybdenum : ± 0,60. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah pelat Stainless Steel dengan tebal 5 mm, panjang 300 mm dan lebar 25 mm. pertama-tama sampel tersebut diuji komposisi kimianya dengan menggunakan alat uji Optical Emission Spectrometer dan media gas Argon UHP. Hasil uji komposisi kimia tersebut adalah sebagai hasil uji komposisi kimia awal ketika belum diperlakukan extended size dan added thickness. Dari pelat tersebut kemudian dipotong tiga bagian masing-masing panjang 20 mm. Satu bagian digunakan untuk pengujian komposisi kimia setelah diperlakukan extended size, dan dua bagian lainnya digunakan untuk
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 100
analisa metoda added thickness. Ilustrasi perancangan sistem seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Langkah percobaan – 1 ( material utuh dipotong 4 bagian )
Gambar 5. Langkah percobaan – 2 ( bagian-bagian potongan extended size dan added thickness )
Langkah Percobaan Pada penelitian ini terdapat 7 (tujuh) langkah percobaan, yaitu: 1. Preparasi awal sampel Langkah pertama adalah preparasi awal sampel untuk dilakukan uji komposisi kimia awal. Sampel sebelumnya diampelas pada bagian yang akan diuji dengan OES. Preparasi ini untuk memastikan bahwa pada 101
permukaan sampel tidak terdapat minyak, grease, kerak-kerak yang dapat mengganggu uji komposisi kimia. 2. Pengujian komposisi kimia sampel awal Setelah dipreparasi, sampel diuji komposisi kimia dengan optical emission spectrometer. Pengujian komposisi kimia dilakukan di laboratorium uji kimia Balai Besar Logam dan Mesin Bandung. Sebelumnya dilakukan kontrol sampel standar untuk memastikan bahwa alat uji tersebut dapat menganalisa komposisi kimia sampel standar, dalam hal ini yang digunakan adalah sampel standar dan program untuk Stainless Steel. Sampel kemudian ditembak dengan OES. Sampel ditembak beberapa kali sampai mendapatkan tiga data komposisi kimia yang stabil. Kemudian tiga data tersebut diambil nilai rata-ratanya. Hasil dari uji ini dijadikan sebagai data nilai komposisi kimia awal material penelitian, untuk dibandingkan dengan nilai komposisi kimia material setelah dilakukan extended size dan added thickness. 3. Pemotongan sampel tiga bagian Selanjutnya sampel awal dipotong, diambil tiga bagian dengan masing-masing panjang 25 mm. Pemotongan sampel menggunakan gergaji potong, tanpa menggunakan panas. Potongan bagian pertama digunakan sebagai sampel untuk diperlakukan metoda extended size. Sedangkan dua bagian lainnya digunakan untuk metoda added thickness. 1. Pengelasan sampel Selanjutnya adalah proses pengelasan. Sampel bagian pertama dipotong kembali menjadi dua bagian, masing –masing panjang 10 mm. Pemotongan juga menggunakan gergaji potong tanpa menggunakan panas. Setelah dipotong sampel bagian pertama yang telah menjadi dua bagian tersebut dilas dengan menggunakan las TIG. Sampel ini akan dijadikan sebagai sampel untuk metoda extended size. Sedangkan dua bagian sampel lainnya juga dilas dimana salah satu sampel berada di atas sampel lainnya. Pengelasan juga menggunakan las TIG. Sampel ini dijadikan sampel untuk metoda added thickness.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
2. Preparasi sampel extended size dan added thickness untuk uji komposisi kimia Setelah sampel dilas, terdapat kerak-kerak sisa pengelasan. Kerak-kerak ini dapat mengganggu pengujian komposisi kimia, sehingga harus dihilangkan. Penghilangan kerak-kerak ini dengan menggunakan gerinda. Setelah dipastikan tidak terdapat kerak lagi, maka sampel siap diuji komposisi kimia. 3. Pengujian komposisi kimia sampel extended size dan added thickness Langkah selanjutnya adalah pengujian komposisi kimia sampel yang telah diperlakukan extended size dan added thickness. Pengujian komposisi kimia dilakukan dengan menembak beberapa kali sampai ditemukan tiga data komposisi kimia yang stabil. Kemudian diambil nilai rata-ratanya. Data hasil uji komposisi kimia ini digunakan sebagai hasil uji komposisi kimia untuk sampel extended size dan added thickness. 4. Analisa hasil uji Langkah terakhir adalah pembandingan hasil uji sampel awal yang tidak diperlakukan apa-apa dengan hasil uji komposisi kimia setelah sampel diperlakukan extended size dan added thickness. Selanjutnya hasil pembandingan tersebut dianalisa. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji komposisi kimia sampel awal Hasil uji komposisi kimia sampel awal yang belum diperlakukan extended size dan added thickness. Diketahui hwa sampel uji paling dekat masuk Stainless Steel kelas Martensitic grade 420F, dimana sampel standar dengan komposisi kimia (dalam %) : Carbon : 0,26 – 0,40 ; Silicon : max 1,00; Mangan: max 1,25; Phospor: max 0,060; Sulfur: min 0,15; Nickel: ± 0,60 ; Chrom: 1214; Molybdenum: ± 0,60. Sedangkan hasil uji (dalam %) : Carbon : 0,447; Silicon : 0,499; Mangan: 0,423; Phospor: 0,0717; Sulfur: 0,237; Nickel: 0,354; Chrom: 12,4; Molybdenum: 0,466. Hasil uji komposisi kimia tidak persis sama dengan sampel standar dikarenakan sampel yang diuji tidak homogen sehingga persentase unsur-unsur di dalamnya tidak sama persis dengan sampel standar, tetapi paling mendekati.
Hasil uji komposisi kimia sampel setelah dilakukan extended size dan added thickness Hasil uji komposisi kimia terhadap sampel yang telah dilakukan extended size dan added thickness. Diketahui komposisi kimia sampel tersebut juga mendekati sampel standar Stainless Steel kelas Martensitic Grade 420F. Dengan hasil uji (dalam %) : Carbon : 0,402 ; Silicon : 0,435; Mangan: 0,406; Phospor: 0,0810; Sulfur: 0,0424; Nickel: 0,320; Chrom: 12,6; Molybdenum: 0,463. Untuk hasil uji komposisi kimia sampel yang dilakukan added thickness. Diketahui mendekati sampel standar Stainless Steel kelas Martensitic Grade 420F. Dengan hasil uji (dalam %) : Carbon : 0,428 ; Silicon : 0,467; Mangan: 0,411; Phospor: 0,0674; Sulfur: 0,0553; Nickel: 0,332; Chrom: 12,6; Molybdenum: 0,462. Analisa perbandingan komposisi kimia awal terhadap sampel yang dilakukan extended size dan added thickness Dari hasil pengujian komposisi kimia terhadap sampel pada kondisi awal ketika sampel belum diperlakukan apa-apa dengan sampel yang sudah dilakukan extended size dan added thickness, dapat dibandingkan hasil uji komposisi kimianya seperti Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan hasil uji komposisi kimia Komposisi Kimia (%) Unsur Sampel Extended Added Awal Size Thickness 84,7 85,0 84,9 Fe 0,447 0,402 0,428 C 0,499 0,435 0,467 Si 0,423 0,406 0,411 Mn 0,0717 0,0810 0,0674 P 0,237 0,0424 0,0553 S 12,4 12,6 12,6 Cr 0,466 0,463 0,462 Mo 0,354 0,320 0,332 Ni < 0,0010 < 0,0010 < 0,0010 Al 0,0320 0,0261 0,0308 Co 0,0573 0,0491 0,0374 Cu 0,0213 0,0059 0,0123 Nb 0,0040 < 0,0020 < 0,0020 Ti 0,0749 0,0648 0,0768 V 0,0985 < 0,0250 < 0,0250 W < 0,0100 < 0,0100 < 0,0100 Pb
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 102
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa secara umum hasil uji komposisi kimia suatu material ketika diperlakukan kondisi extended size dan added thickness tidak memiliki perubahan yang signifikan, kecuali unsur Sulfur seperti yang diarsir pada tabel di atas yang memiliki perbedaan persentase cukup signifikan,tetapi tidak merubah pengelompokan material secara umum. Hal ini dapat diakibatkan oleh ketidakhomogenan dari material yang diuji. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas yaitu : 1. Metoda yang dapat dipakai ketika menguji komposisi kimia dengan Optical Emission Spectrometry. Dalam hal mengantisipasi kondisi sampel yang memiliki dimensi dan ketebalan yang terbatas adalah dengan extended size dan added thickness. 2. Hasil uji komposisi kimia antara kondisi awal sampel tanpa diperlakukan apa-apa dengan sampel yang dikondisikan extended size dan added thickness, perubahan komposisi kimia tidak terlalu signifikan, sehingga hasil uji komposisi kimia relatif tidak berubah. Saran Saran tindak lanjut atas simpulan di atas : 1. Penelitian ini dapat dilanjutkan dengan menggunakan sampel dari kelas material lain atau dari grade lain, sehingga dapat dibandingkan. 2. Penelitian ini dapat diterapkan pada bidang-bidang yang berkaitan dengan pengujian komposisi kimia dengan metoda Optical Emission Spectrometry, seperti pada pipa baja, pelat baja, baja tulangan dan lain-lain yang memiliki keterbatasan ukuran dan tebal atau diameter.
103
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada : (1) Laboratorium Pengujian Komposisi Kimia, Balai Besar Logam dan Mesin Bandung, (2) semua pihak yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan diskusi yang berguna. DAFTAR PUSTAKA 1. ASM International Handbook Committee., 2005. ASM Handbook, Voume 1,Properties and Selection: Irons, Steels, and High Performance Alloys , ASM International, pp. 1305 -1313, USA. 2. The American Society for Testing and Materials., 2012. ASTM E1086-08, Standard Test Method for Optical Emission Vacuum Spectrometric Analysis of Stainless by the Point-to-Plane Excitation Technique, ASTM International, pp. 1-10, PA, USA. 3. Seshadri Seetharaman., 2005. Fundamentals of Metallurgy, Woodhead Publishing in Materials, pp.118, 145-146, Cambridge, England. 4. K. Ishizaki, N. Araki and H. Murai, 1965. Interfacial Tension Theory on The Phenomena of Arc Welding (Chapter 9), J. Jpn Weld.Soc, pp.146-153, Japan.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
ISSN 0126 - 3463
PENGEMBANGAN PRODUK STEEL CASTING LINK TRACK PADA ALAT BERAT EXCAVATOR BATU BARA BUKIT ASAM LAMPUNG SEBAGAI PRODUK SUBSTITUSI IMPOR Darma Firmansyah Undayat1, M. Achyarsyah1 1
Dosen Jurusan Teknik Pengecoran Logam Politeknik Manufaktur Negeri Bandung) Jl. Kanayakan No. 21 Dago, Bandung 40135 E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini berisikan pengembangan produk substitusi impor Link Track yang digunakan di industri hulu batu bara yang telah direkomendasikan PT Bukit Asam Muara Enim Sumatera Selatan sebagai penggunanya. Dalam tahap awal pengembangannya, standard operation procedure telah menunjukkan arah yang benar. Review awal dengan menggunakan perangkat lunak simulasi menunjukkan modulus thermal dan hotspot telah berada pada daerah yang baik. Pengembangan lebih lanjut diperlukan pada hal-hal yang berkaitan dengan porositas penyusutan, dan homogenitas matriks. Salah satu pencapaiannya adalah dengan mendapatkan pembekuan terarah (directional solidification). Pada tahap pengembangannya, peran perangkat lunak pengecoran logam canggih sangat besar dan menjadi yang utama. Seluruh desain dan parameter terukur disimulasikan dan dianalisis secara iteratif. Kemudian hasil optimal diuji coba pada pengecoran sesungguhnya. Diharapkan dengan cara ini desain pengecoran dapat tercapai optimal dan efisien. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa sound casting pada Link Track diperoleh dengan menggunakan perancangan coran Desain Perbaikan 2, dan Program Simulasi Pengecoran Logam Magmasoft dan Solidcast efektif membantu perancangan coran dengan kalibrasi dan penggunaan yang tepat serta sesuai dengan kondisi praktek di bengkel pengecoran. Kata kunci: Baja cor paduan rendah, link track, magmasoft. Abstract This research concern with the development of the Track Link for import substitution product. This product is used in primery coal industry and has been recommended by PT Bukit Asam Muara Enim in South Sumatra. In the early stages of development, standard operation procedure has shown the right way. Preliminary review by using simulation software indicates that modulus of thermal and hotspot are located in the right area. Further development is needed on matters relating to the shrinkage porosity, and homogeneity of the matrix. One of the results was to obtain directional solidification. At this stage of development, the role of advanced metal casting software is significant and become a major factor. The entire design and measurable parameters are simulated and analyzed iteratively. Then the optimum results will be trialed in the actual casting. It is Expected that this way can be lead to the optimum and efficient final result. Based on research conducted, it is concluded that sound casting for Track Link is obtained by using 2nd alternative of design, and The Simulation Program Solidcast and Magmasoft help designing castings optimally, since the parameter are calibrated and matched to the conditions in the casting workshop practice. Key words: low alloy steel castings, metal casting simulation, link track, magmasoft. PENDAHULUAN Produk asli Link Track merupakan salah satu bagian pada Bucket Wheel Excavator di Bukit Asam, Lampung yang selama ini selalu diperoleh dengan cara diimpor dari Jerman atau India. Spesifikasi teknis yang tinggi dan tingkat kesulitan produksi yang relatif tinggi menjadikan produk ini memerlukan perhatian dan perancangan khusus dalam memproduksinya. Jenis baja cor
khusus, dimensi coran yang tebal, dan bentuknya yang relatif sulit dalam perancangan coran, merupakan aspek-aspek yang menjadikan produk ini perlu mendapatkan perhatian dan penelitian lanjut menganai usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk dapat memproduksi Link Track yang memenuhi spesifikasi standar.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
104
Pengembangan yang dilakukan dalam penelitian ini menitikberatkan pada pemecahan masalah penyusutan, yang merupakan salah satu masalah utama dalam memproduksi coran Link Track ini. Untuk itu, diperlukan suatu penelitian lanjut untuk mendapatkan seluruh aspek perancangan coran, sehingga coran yang benar-benar bebas dari cacat penyusutan dapat dicapai. Pada akhirnya, dari keberhasilan memproduksi barang substitusi impor ini, industri-industri yang menggunakan produk coran dapat memenuhi kebutuhan akan spare part mesinnya dari produk dalam negeri, yang memiliki kualitas bersaing dengan harga yang tentunya lebih murah. LANDASAN TEORI State of The Art Bidang yang Diteliti Berikut ini landasan ilmiah yang digunakan sebelum, dan selama penelitian ini berjalan. Meskipun banyak sumber landasan ilmiah dalam perancangan coran, terutama sumber-sumber dari Jerman, namun sebagian besar landasan ilmiah yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada SFSA (Steel Founders’ Society of America). Sumber pustakan dan bahan kajian dari SFSA ini dinilai lebih baru, sederhana dan selalu menggunakan referensi dan simulator dalam setiap bahasan perancangannya. Beberapa diantaranya adalah Feedering and Risering Guidelines for Steel Casting yang dirilis tahun 2001, dan Development of New FeedingDistance Rules Using Casting Simulation: Part I. Methodology dan Part II. The New Rules. (1)
Variabel Perancangan Coran Metoda-metoda yang digunakan sebagai variabel perancangan yang dijelaskan di bawah ini sering kali terjadi konflik antara efek perancangan satu dengan yang lainnya. Contohnya, prinsip dasar pengocoran logam adalah dengan penuangan cairan logam ke dalam cetakan secepat mungkin. Tetapi hal ini sangat bertentangan dengan prinsip pencegahan terjadinya erosi, dimana cairan yang melintasi setiap rongga cetak harus setenang mungkin. Oleh karena itu, setiap perancangan yang dilakukan secara umum akan mempertimbangkan aspek yang lebih utama dan penting diantara konflik yang terjadi tersebut, yang dirangkum dalam beberapa variabel perancangan coran sebagai berikut:
105
1. 2. 3. 4. 5.
Pengisian rongga cetakan secepat mungkin Meminimalkan turbulen Pencegahan erosi cetakan dan inti Gradien termal yang teratur Yield yang maksimal
Riser Samping Dengan Efek Zona Ak(2) Feeding Distance yang dinormalisasi, FD/T, untuk bagian coran dengan riser sebagai sebuah fungsi dari rasio lebar-ke-ketebalan, W/T. Tidak seperti FD/T pada riser atas, perhitungan feeding distance untuk riser samping tidak dapat digambarkan dengan hanya satu kurva. Namun, FD/T juga merupakan fungsi dari diameter riser yang dinormalisasi, DR/T. Hal ini disebabkan dari rumitnya jalannya suplai cairan yang melalui sudut riser, tidak seperti riser atas yang hanya memiliki aliran lurus, dengan jalur radial. Kurva dengan label kurva “Feeding Distance Untuk W = DR” adalah kurva pembatas yang penting. Ketika W=DR, coran dengan riser samping diasumsikan sama dengan coran riser atas yang diletakkan di samping coran, seperti sketsa paling atas pada Gambar 20. Pada kurva pembatas ini, FD/T untuk riser samping sama dengan FD/T untuk riser atas. Garis putus-putus adalah panjang normalisasi konstan, L/T. Jika Feeding Distance, Diameter riser, dan bagian coran diketahui, panjang bagian coran dapat dihitung berdasarkan: L (0.5 D R FD ) 2 0.25W 2 0.5 D R … (1)
Garis L/T ini juga dapat menunjukkan bahwa akan terjadi perubahan pada nilai L bila terjadi perubahan parameter lain. Dengan memperhatikan kurva DR/T = 2, sebagai contoh, ketika W/T = DR/T = 2, nilai FD/T adalah 5,0 sama dengan nilai W/T = 2 pada kurva riser atas. Ketika W/T naik dari titik ini, kurva DR/T mendekati parallel dengan garisL/T = 4,9. Oleh karena itu, ketika W/T naik sepanjang kurva DR/T = 2, nilai L/T mendekati konstan, yang berarti bagian coran manjadi lebih lebar. Nilai FD/T naik bersama nilai W/T hingga W/T mencapai nilai maksimumnya pada 14,5, dimana nilai kurva FD/T pada titik ini berbelok tajam ke bawah dan nilai W/T mulai turun. Nilai W/T = 14,5 menunjukkan lebar maksimum bagian coran yang dapat disuplai sempurna tanpa ada-
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
rongga susut dengan sebuah riser berdiameter DR/T = 2. Perancangan Sistem Saluran Sistem saluran dirancang untuk memenuhi beberapa tujuan dari sistem saluran(3), yaitu: 1. Mengisi rongga cetak dengan cepat tanpa temperature pengecoran yang terlalu tinggi. 2. Mengurangi atau menghindari terjadinya turbulensi, 3. Mencegah masuknya kotoran, terak (slag), dan pasir yang tererosi. 4. Menghindari terjadinya terhisapnya udara atau gas dari cetakan ke dalam cairan logam. 5. Mencegah tererosinya inti (core). 6. Menciptakan terjadinya pembekuan terarah (directional solidification), dan meminimalkan terdadinya distorsi pada coran. 7. Mendapatkan yield (rasio berat total dengan berat part coran) yang maksimum, dan mendapatkan biaya pemotongan dan pembersihan yang minimum. 8. Memudahkan pengecoran, terutama dalam hal penggunaan ladel dan crane. Namun demikian tujuan tersebut tidak dapat dipenuhi seluruhnya, dan oleh karenanya dimungkinkan dilakukan perubahan-perubahan yang disesuaikan dengan tujuan yang diinginkan. Teknik dan perhitungan sistem saluran diuraikan pada beberapa literatur dengan cara perhitungan dan persamaanpersamaan yang berbeda. Namun demikian, pada beberapa kasus pengecoran didapati menghasilkan coran yang sempurna (sound casting) dengan perancangan yang buruk. Kasus coran lain dapat tetap bermasalah meskipun segalanya telah dihitung dengan teliti. Oleh karena itu, alih-alih menerapkan segala teori perhitungan perancangan sistem saluran, setiap desainer hendaklah mengetahui dan menguasai fenomena-fenomena fisik yang terjadi pada cairan logam ketika ia mengecor baja cor dan seberapa spesifik pengaruh geometri sistem saluran rancangannya terhadap kualitas akhir coran(4).
Kondisi tertentu di bawah nilai tersebut menunjukkan adanya cacat pada coran. Nilai dalam kurung di atas biasanya digunakan sebagai satuan dalam software simulasi coran (Magmasoft dan AFSolid). Pada sebuah coran, kriteria Niyama dihitung pada akhir pembekuan. Niyama dkk. mendefinisikan akhir pembekuan sebagai waktu ketika temperatur tepat pada Ts. Pada perhitungan aplikasi, kriteria Niyama dihitung pada temperatur yang lebih tinggi, sama dengan temperatur solidus ditambah dengan 10 persen dari interval antara temperatur solidus dan likuidus: T = Ts + 0,1(Tl – Ts). Perhitungan kriteria Niyama pada temperatur yang lebih tinggi menghasilkan nilai Niyama kritis yang lebih rendah dari yang dilakukan oleh Niyama dkk., tetapi hubungan fungsional antara nilai ini dan porositas penyusutan adalah sama. Penelitian Niyama dkk. memfokuskan pada centerline shrinkage yang terbentuk di dalam daerah yang memiliki gradient temperatur yang rendah. Aturan dalam menentukan feeding distance dalam coran dibuat untuk mengantisipasi terbentuknya penyusutan jenis ini. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian pengembangan yang menggunakan pendekatan Research and Development yang akan diselesaikan dalam dua tahap penelitian. Masing-masing tahap akan memiliki teknik pengembangan yang saling mendukung dan melengkapi. Penelitian akan difokuskan pada penyempurnaan kualitas produk yang belum didapatkan pada penelitian sebelumnya. Modifikasi desain atau desain ulang pada produk ini akan dilakukan, terutama pada hal mengatasi masalah-masalah; turbulensi cairan, masih terdapat cacat centerline shrinkage dan masalah casting yield yang masih rendah.
Kriteria Niyama (5) Kriteria Niyama didefinisikan sebagai G/ T , dimana G adalah gradient temperatur dalam K/mm dan T adalah laju pendinginan dalam K/s. Niyama dkk memberikan nilai kritis kriteria ini dengan G/ T = 1.0K1/2min1/2cm-1 (0.775 K1/2s1/2mm-1)
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
106
Mulai Perumusan masalah : Turbulensi, porositas, dan yield coran Penetapan tujuan penelitian: mendapatkan produk casting yang bebas rongga susut. Review penelitian sebelumnya: Pengumpulan data, dan analisis parameter yang digunakan Perancangan perbaikan Sistem Saluran: rancang bangun 3D gating system Perancangan perbaikan dan optimalisasi feeder atau penambah: rancang bangun riser Proses simulasi perancangan dengan simulator Magmasoft
Tidak
Perancangan pada simulator efektif dan efisien serta bebas porositas Ya
Percobaan di bengkel Pengecoran logam : Pembuatan prototype hasil simulasi Pembersihan dan pemotongan Pengujian dan Analisis
Tidak
Hasil percobaan baik, sesuai dengan spesifikasi dan standar produk Ya Produksi Link Track Selesai
Gambar 1. Diagram alir pemecahan masalah secara umum
Pada tahap pertama ini perancangan coran akan kembali di lakukan dengan membangun grafis 3D produk lengkap dengan gating system-nya yang telah diperhitungkan, dianalisis, dan sesuai dengan seluruh kaidah pengecoran baja yang kemudian diekspor ke dalam program simulasi Magmasoft. Proses iterasi simulasi harus dilakukan dengan mempertimbangkan parameter optimal untuk diperoleh produk yang benar-benar bebas porositas (sound casting). Kemudian seluruh parameter yang digunakan pada simulasi diterapkan pada pembuatan prototipe di bengkel pengecoran, dan hasilnya di analisis dan dibandingkan dengan hasil simulasi
107
HASIL DAN PEMBAHASAN Pra Desain Berdasarkan geometri dan posisi produk seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2, maka kecenderungan porositas terjadi pada daerah atas produk. Porositas ini normal terjadi, dan akan dikompensasi oleh penggunaan penambah pada daerah terserbut. Perhatian lebih harus ditujukan pada porositas di bagian tengah produk seperti ditunjukkan pada Gambar 2 Porositas ini harus dikompensasi oleh pengendalian pembekuan. Pengendalian pembekuan yang terarah, barakhir pada porositas.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Thermal modulus : Thermal modulus :
M] Gambar 2. Porositas pada produk
Acuan desain pengecoran diambil dari hasil simulasi berikut di bawah ini.
Gambar 4. Penambah samping tidak berfungsi sebagai pensuplai cairan pada benda
Gambar 3. Critical position on thermal
Penambah samping harus di desain ulang sehubungan dengan kurang berfungsinya sistem pensuplaian. Gambar 4 menunjukkan thermal modulus yang di gambarkan dalam skala warna. Riser yang kurang berfungsi ditunjukkan dengan nilai modulus pada riser tersebut yang rendah. Penambah samping pada sistem desain pengecoran telah diperbaiki dengan menaikkan nilai modulusnya. Penambahan nilai modulus pada sistem ini menurunkan nilai yield namun masih dalam batas yang wajar untuk steel casting.
Uraian Desain Perbaikan 1 Pada desain perbaikan 1 ini, digunakan 5 penambah, yang terdiri dari 3 penambah atas (1 bh diameter 180 mm dan 2 bh diameter 120 mm) dan 2 penambah samping dengan diameter 90 mm. Gambar 5 menunjukkan posisi, jumlah, dan besar penambah yang digunakan. Perhitungan manual menunjukkan diperlukan 3 penambah atas saja. Namun, pada perhitungan modulus thermal, ditemui bahwa daerah di bawah penambah atas diameter 120 mm, ditemui hot spot. Daerah ini cenderung membentuk porositas di akhir pembekuan. Oleh karena itu, diperlukan kompensasi panas yang lebih besar dari daerah tersebut. Dalam hal ini di gunakan penambah samping dengan diameter 90 mm. Penambah atas besar dengan diameter 180 mm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 telah memenuhi ukuran suplai cairan yang cukup, modulus thermal yang cukup dan arah pensuplaian yang memadai. Oleh karena itu, pada desain ini hanya diperlukan satu penambah saja dengan letak. Posisi, dan ukuran seperti pada gambar. Berikut adalah proses pembekuan yang disimulasikan dimulai tepat saat proses pengisian rongga cetak berakhir. Critical fraction solid pada sistem ini didapatkan pada nilai 60%.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
108
Gambar 5. Desain Perbaikan 1
Hasil Simulasi Desain Perbaikan 1 Porositas Gambar 8. A. Modulus thermal pada bagian tengah. Dan B. modulus thermal pada bagian samping
Gambar 7. Porositas pada desain ini ditunjukkan oleh tanda panah
Modulus thermal Daerah A pada Gambar 8 menunjukkan bagian pada produk yang memiliki nilai modulus thermal yang lebih besar dari dari daerah B. Nilai modulus yang rendah pada daerah B menjadikan daerah tersebut tercekik. Inilah yang mengakibatkan daerah A terjadi porositas seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Porositas terjadi karena akhir penyusutan terjadi pada daerah tersebut.
Critical Fraction Solid Time Gambar 9 menunjukkan terputusnya suplai cairan penambah. hal ini disebabkan daerah di bagian bawah produk memiliki nilai modulus thermal yang lebih besar. Pemberian ukuran penambah yang lebih besar tidak akan memecahkan masalah ini sebab daerah tengah produk memiliki modulus thermal yang besar. Nilai modulus thermal daerah tengah tersebut harus diturunkan agar terjadi pembekuan terarah dari produk ke penambah.
Gambar 9. Terputusnya suplai cairan penambah atas seperti ditunjukkan pada tanda panah
109
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Desain Perbaikan 2 Untuk menurunkan nilai modulus thermal pada dasain perbaikan 1, maka salah satu caranya adalah pemberian pasir kromit pada daerah dengan nilai modulus thermal yang besar tersebut, dimana terjadi porositas penyusutan. Pada Gambar 10 pemberian pasir kromit ditunjukkan dengan warna merah. Dengan pemberian pasir kromit ini, diharapkan laju pendinginan akan dipercepat, dan lebih cepat dari daerah disampingnya, sehingga nilai modulus thermalnya menjadi seperti ditunjukkan pada Gambar 8, sesuai dengan kaidah pembekuan terarah.
Gambar 11. (A). Modulus thermal pada bagian tengah dan (B). modulus thermal pada bagian samping. Nilai modulus thermal pada kedua bagian tersebut sama, sehingga urutan pembekuan terarah lebih terjamin
Gambar 10. Perbaikan desain dengan pemberian pasir kromit pada bagian produk. Ditandai dengan warna merah pada gambar ini
Modulus Thermal Gambar 11 menunjukkan nilai modulus thermal yang sudah sesuai dengan kaidah pembekuan terarah. Pada desain ini, kecenderungan terjadinya porositas pada produk sudah diminimalisir. Nilai modul dibagian tengah yang asalnya tinggi, kini menjadi lebih rendah. Nilai tinggi rendahnya modulus thermal ini pada gambar 11 ditunjukkan pada skala warna. Warna kuning (warna lebih terang) menunjukkan nilai modulus thermal yang lebih tinggi dari warna orange (warna lebih gelap).
Porositas Penggunaan pasir kromit pada desain ini telah membentuk pembekuan terarah, sehingga tidak lagi terjadi porositas pada bagian tengah produk seperti pada Desain Perbaikan 1 (ditunjukkan pada Gambar 12). Artinya, pasir kromit berperan sebagai pemberi efek chilling pada sistem tersebut, karena kapasitas panas dan konduktifitas panas yang lebih tinggi daripada pasir green sand.
Gambar 12. Porositas pada Desain perbaikan 2. Tidak ditemui adanya porositas pada produk
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
110
Percobaan Pengecoran (Trial) Hasil simulasi pada desain perbaikan 2, yang telah menunjukkan kriteria sebuah produk casting yang baik, kemudian diterapkan di workshop dengan menggunakan seluruh parameter yang sama dengan parameter simulasi. Gambar 13 menunjukkan hasil dari trial pada peleburan baja di Politeknik Manufaktur Negeri Bandung. Pada gambar terlihat tinggi penambah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Desain Perbaikan 2. Hal ini dikarenakan teknis di lapangan yang lebih memungkinkan untuk dibuat lebih tinggi. Namun demikian perbedaan ini lebih menguntungkan dari segi pencegahan porositas.
Gambar 13. Hasil percobaan pada desain perbaikan 2
Pengujian Beberapa pengujian porositas yang dilakukan pada produk ini adalah: 1. Pengujian Ultrasonic, 2. Dye penetrant, dan 3. Pemotongan produk pada daerah kritis porositas. Pemotongan produk pada Gambar 14 menunjukkan tidak terdapat porositas pada produk, sesuai dengan hasil simulasi pengecoran logam. Pengujian potong ini dilakukan untuk memperkuat hasil pengujian ultrasonic dan pengujian dye penetrant.
111
Gambar 14. Pengujian porositas pada bagian kritis Produk
Gambar 15. Pengujian dye penetrant pada potongan produk untuk menguji porositas di bagian kritis. Tidak ditemukan indikasi terjadinya cacat porositas pada sample uji tersebut
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Sound casting pada link track diperoleh dengan menggunakan perancangan coran Desain Perbaikan 2 2. Program Simulasi Pengecoran Logam Magmasoft dan Solidcast efektif membantu perancangan coran dengan kalibrasi dan penggunaan yang tepat serta sesuai dengan kondisi praktek di bengkel pengecoran.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
DAFTAR PUSTAKA 1. Arnson, H.L., Lecture II: Gating Systems for Steel Castings in Gating and Risering – State of The Art, SFSA, hal 34 – 49 2. Beckermann, Christhope, Feeding and Risering of Steel Casting, SFSA redbook, 2002, hal 1 – 42 3. Beeley, Peter BMet. (2001). Second Edition, Foundry Technology, Butterworth -Heinemann, Oxford OX2 8DP, hal 109 – 110 4. Flinn, Richard A. 1963). Fundamentals of Metal Casting. Addison-Wesley Publishing Company, Inc., Michigan, hal 41 – 63 5. Hiene, Peter F. (1968). Principles of Metal Casting. Mc-Graw-hill, hal 384411
6.
Magmasoft V4.2 SP 2, 2004, GmBH, Aachen, Germany. 7. Plutshack, Lee A and Anthony L. Suschil. (1998). Riser Design. ASM Handbook vol.15 Casting,ASM International. 8. Schulze, Manfred, Feeder design for casting, 2002 9. Svoboda, John M. (1982). Lecture I: Fluid Mechanics and Solidification in Gating and Risering – State of The Art, SFSA, hal 28 – 29 10. Wegst C.W. Stahlschlussel, 2001 11. Wieser, Peter F, Lecture III: Riser Design for Steel Castings in Gating and Risering – State of The Art, SFSA, hal 77 – 94 12. Wlodawer. (1967). Die gelenkte Erstarrung von Shahlguss, Dusseldorf, hal 50 - 96
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
112
ISSN 0126 - 3463
PENGENDALIAN MUTU PRODUKSI DI PT. I SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEPUASAN PELANGGAN Hafid dan Sony Harbintoro1 1
Balai Besar Logam dan Mesin (BBLM), Kementerian Perindustrian Jl. Sangkuariang No. 12 Bandung 40135 E-mail :
[email protected]
Abstrak Dalam rangka meningkatkan kepuasan pelanggan, maka PT. I menyadari bahwa hal-hal yang dapat mengakibatkan ketidakpuasan pelanggan harus dihindari. Berdasarkan data produksi yang ada, salah satu hal yang menyebabkan manajemen PT. I merasa adanya kesulitan dalam memuaskan pelanggan adalah mutu produk yang jelek. Makalah ini menyajikan hasil penelitian analisis faktorfaktor penyebab terjadinya kerusakan produk atau No Good (NG) di PT. I sebagai upaya untuk membantu manajemen perusahaan dalam meningkatkan kepuasan pelanggan. Tujuan penelitian adalah untuk pengendalian mutu produksi di bagian battery carbon dan langkah-langkah perbaikannya. Cara peningkatan melalui aplikasi metode QC seven tools, yang meliputi : (1) check sheet, (2) stratifikasi, (3) pareto diagram, (4) histogram, (5) control chart, (6) fish bone diagram, (7) scatter diagram. Hasil analisis dan usulan perbaikan diperoleh : (1) jenis NG inside crack ada di urutan ke-1 (78%) sehingga menjadi masalah utama yang harus segera ditanggulangi, (2) penyebab NG produksi bermasalah adalah karena operator, mesin dan peralatan, cara kerja dan lingkungan kerja, (3) melalui usulan perbaikan dengan menurunkan NG menjadi 50% dapat dihemat biaya inside crack sekitar Rp. 2,5 juta/bulan. Kata kunci : pengendalian mutu, 7 alat QC, kepuasan pelanggan. Abstract In order to improve customer’s satisfaction, the PT. I management realize that the things that can lead to customer’s dissatisfaction should be avoided. Based on the production data, one thing cause the management PT. I was difficult to in satisfying the consumer is quality products no good. This paper presents the results on the factors that cause of rejected products in PT. I as an effort to ensure customers satisfaction. The aim of research is the quality control (QC) of production in section battery carbon and improvement process. The method uses QC seven tools, which covers, : (1) check sheet, (2) stratification, (3) pareto diagram, (4) histogram, (5) control chart, (6) fish bone diagram, (7) scatter diagram. The results of the analysis and recommen improvement obtained: (1) the type NG crack inside there at number one (78%) so that it becomes a major problem that must be countermeasured, (2) the cause of NG production problems are due to operator, machinery and equipment, ways of working and work place, (3) through the proposed NG improvement by reducing to 50% can be saved inside crack cost around Rp. 2.5 million/month. Key words : quality control, QC seven tools, customer satisfaction. PENDAHULUAN Menghadapi era perdagangan bebas dan mulai diberlakukannya 1 Januari 2010, Indonesia membuka pasar dalam negeri kepada negara-negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Berdampak kepada semakin meningkatnya peluang sekaligus ancaman bagi manufaktur di dalam negeri dari serbuan produk asing dengan mutu dan harga yang sangat bersaing. Oleh karena itu keunggulan
113
kualitas produk, harga yang wajar, waktu penyerahan yang tepat serta pelayanan purna jual yang lebih baik merupakan persyaratan yang harus dimiliki agar dapat bersaing. Salah satu cara untuk meningkatkan keunggulan daya saing industri baterai nasional agar dapat meraih pangsa pasar dalam negeri yang sangat potensial serta mampu mengekspor ke luar negeri, maka diperlukan permintaan kebutuhan bahan baku karbon dari industri pembuat karbon di dalam negeri dengan kualitas produk yang memenuhi standar yang diinginkan industri baterai.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Sehubungan hal tersebut di atas, PT. I adalah sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi pembuatan karbon untuk baterai kering, gouging carbon dan karbon untuk pengobatan. Perusahaan tersebut telah berdiri sejak tahun 1988. Lokasi pabrik perusahaan terletak di Bogor Jawa Barat. Modal perusahaan saat ini mencapai ± US $ 1,770,000 dengan luas tanah yang dimiliki ± 46,000 m2 dan luas bangunannya ± 11,000 m2. Perusahaan tersebut beroperasi 2 Shifts dan mempunyai jumlah karyawan ± 192 orang. Adapun konsumen utamanya adalah : Eveready Battery, ABC Battery, Panasonic Battery, Energizer. Untuk memenuhi kebutuhan pesanan dari para konsumen atau mitra usaha PT. I, maka sering timbul permasalahan dalam proses produksinya karena masih tingginya produk NG (No Good/tidak baik) di bagian Baterai Karbon PT. I. Untuk menghasilkan kualitas produk yang sesuai dengan permintaan konsumen diperlukan pengendalian kualitas (Quality Control/QC) di setiap tahapan proses, mulai dari masukan bahan baku sampai menjadi keluaran produk jadi(1). Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas adalah dengan pengendalian produksi yang mengarah pada continuous improvement yang menunjang perwujudan kepuasan konsumen secara total. Prinsip dasar pengembangan QC menurut Edward Deming(9) di dalam perusahaan terdiri dari 4 kegiatan utama, yaitu : (1) riset pasar, (2) desain produk, (3) proses produksi, dan (4) pemasaran. Berdasarkan informasi dari hasil riset pasar tentang keinginan konsumen yang komprehensif diharapkan dapat didesain produk yang sesuai dengan keinginan pelanggan. Dari desain produk tersebut dapat dilakukan model dan spesifikasi produk yang harus diikuti oleh bagian produksi dalam kegiatan proses produksinya. Bukan terbatas proses produksi tapi bagian produksi harus mampu meningkatkan efisiensi dan perbaikan berkelanjutan (kaizen) agar diperoleh produk yang berkualitas sesuai dengan desain yang telah ditentukan berdasarkan riset pasar. Kemudian untuk proses pendistribusian produk ke konsumen (distributor atau ke pengguna akhir dari produk) dilakukan melalui bagian pemasaran tentunya dengan pelayanan yang baik dan harga yang kompetitif. Proses ini terus berulang kembali secara kontinyu sepanjang waktu.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka penelitian ini memaparkan contoh kasus usulan perbaikan (improvement) cara meningkatkan kualitas hasil produksi industri pembuat baterai karbon di dalam negeri dengan menggunakan metode pengendalian kualitas terpadu. Diharapkan hasil penelitian ini dapat berguna bagi para pembina atau pengelola perusahaan agar akses pasarnya dapat terus ditingkatkan baik di tingkat nasional, regional maupun di pasar internasional. TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Pengertian Pengendalian Kualitas Usaha perdagangan suatu negara akan mampu menembus pasar manca negara atau kawasan ekonomi lain, kalau produk yang ditawarkan memenuhi kebutuhan kebutuhan pasar, baik dari segi mutu, harga, biaya dan delivery time-nya. Dan itu dapat diwujudkan dengan upaya sistem manajemen Pengendalian Kualitas Terpadu atau Total Quality Control (TQC) dengan Quality Control Circle (QCC)nya(2). Saat ini konsep TQC ala Jepang tekanannya adalah quality is every body's job dan harus terus menerus diupayakan meningkat. Hal ini terbukti dalam fakta sesuai penerapan yang membawa kemajuan bangsa Jepang menjadi negara industri maju yang dapat menguasai pasar dunia. PMT dapat diterapkan untuk setiap perusahaan besar atau kecil, organisasi publik/swasta dan perusahaan pemerintah/swasta. TQC mengarahkan perusahaan pada continuous improvement yang menunjang perwujudan kepuasan konsumen secara total(2). Yang dimaksud dengan TQC adalah suatu sistem manajemen yang mengikut sertakan seluruh pimpinan dan karyawan dari semua tingkatan dalam menerapkan konsepsi pengendalian mutu dengan metode statistik untuk meningkatkan kepuasan pelanggan dan yang mengerjakannya(1). Dalam pengertian TQC, mutu adalah kepuasan pelanggan atau "user satisfaction". Pengertian mutu telah bergeser dimana standar atau spesifikasi produk bukan lagi merupakan tujuan, tetapi merupakan sarana yang terus menerus dikembangkan untuk mencapai kepuasan pelanggan.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
114
Manajemen TQC didefinisikan sebagai daya upaya untuk mengendalikan kegiatan perbaikan (kaizen) sehingga menunjang rencana kegiatan perusahaan. Sedangkan yang dimaksud dengan QCC adalah kelompok kecil karyawan/anggota organisasi (4 - 10 orang) dari pekerjaan yang sejenis yang secara sukarela mengadakan pertemuan dengan teratur diluar jam kerjanya untuk melakukan perbaikan-perbaikan metoda kerja dan kualitas produk di tempat kerjanya(1). Ide pokok di dibalik kegiatan QCC antara lain : (a) menghormati individu dan membangun suatu tempat kerja yang menyenangkan, (b) memperlihatkan kemampuan individu sepenuhnya, dan akhirnya mengGambarkan adanya kemungkinan yang tidak terbatas, (c) menyumbangkan kepada peningkatan dan pengembangan perusahaan. Dalam menerapkan QCC ada beberapa unsur posisi organisasi penting, yaitu : 1. Fasilitator : Seseorang yang bertanggung jawab untuk mengkoordinir & mengarahkan kegiatan-kegiatan circle di suatu departemen/divisi/cabang dan berperan sebagai koordinator, katalisator, pembaharu, pelatih, promotor dan penghubung. 2. Circle leader : Seseorang yang bertanggung jawab untuk melancarkan dan mengefektifkan circle. 3. Notulis : Seseorang yang bertanggung jawab atas pencatatan hasil-hasil yang dibicarakan selama circle berlangsung. Langkah pertama yang perlu dilakukan untuk memulai bekerjanya dari tim QCC adalah sebagai berikut : 1. Memilih pimpinan QCC dan untuk tahap pertama disarankan pimpinan formal (unit) sebagai pimpinan QCC. 2. Mengidentifikasi masalah (problem) di tempat kerja. 3. Mengadakan pertemuan secara berkala untuk memecahkan masalah dengan menggunakan teknik QC. 4. Mengevaluasi hasil yang dicapai dan mempresentasikan ke manajemen. Untuk menunjang keberhasilan TQC digunakan 7 alat (seven tools) yang merupakan teknik untuk menganalisis problem yang dihadapi. Teknik-teknik tersebut mudah dimengerti, karena digunakan oleh semua tingkatan manajemen dalam perusahaan. Tujuh alat tersebut ditunjukkan pada Tabel 1(3,6).
115
No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Tabel 1. 7 Tools dalam TQC Alat Kegunaan Lembar Pengumpul data Pengumpul Memudahkan menganalis data data (Check Sheet) Stratifikasi Pengelompokan data sejenis untuk mempermudah menemukan persoalan. Histogram Mengetahui distribusi yang ada Menentukan persoalan Memeriksa hasil Diagram Menemukan kemungkinan Sebab Akibat penyebab persoalan (Cause & Persiapan untuk dibahas lebih Effect lanjut Diagram) Diagram Menemukan persoalan utama Pareto Mempelajari dan mencari faktor yang berpengaruh. Menunjukkan perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan. Diagram Mempelajari dan mencari Tebar (Scatter hubungan suatu penyebab yang Diagram) paling berpengaruh. Peta Kendali Melihat perubahan data dari (Control waktu ke waktu Chart) Menunjukkan penyimpangan Batas Atas VS Batas Bawah. Menemukan persoalan
Metode Kaizen Kaizen adalah cara mengerjakan orang agar bekerja cerdas dan memahami tujuan pekerjaan yang sebenarnya. Karena itu karyawan berani untuk mempertanyakan setiap unsur dari tugas atau operasi guna memaksimalkan efisiensi(4). Sehingga kita akan terus menerus mempertanyakan “apakah ada cara yang lebih baik untuk mengerjakan hal itu” ? Dengan kaizen mungkin sekali suatu unsur pekerja dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali, agar memperoleh hasil yang lebih baik. Untuk mengubah cara kerja, atau meniadakannya sama sekali, maka kita perlu mengetahui tujuan yang jelas dari suatu pekerjaan. Gambar 1(5) memperlihatkan prinsip payung kaizen yang menjiwai sistem manajemen yang berkembang di Jepang saat ini, seperti : TQC, QCC, Kanban System, Zero Defect dan lain-lain. Dengan prinsip inilah perbaikan yang melibatkan semua orang di seluruh jajaran perusahaan dilaksankan berkesinambungan dan konsisten. Agar perbaikan dapat dijalankan terus menerus, para karyawan harus belajar bagaimana mengidentifikasi masalah dan memikirkan solusi-solusi yang sesuai dengan penyebabnya.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
KAIZEN
• • • • • • •
• • • • • • •
Customer oriented 5S TQC Robotics QCC Automation
Kanban Quality improvement JIT Zero defects Small group activities Cooperative labour management relations
Gambar 1. Payung Kaizen.
METODOLOGI PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan metode studi kasus yang berkonsentrasi pada analisis historis, deskriptif dan tindakan. Penelitian historis diperoleh dengan cara mengumpulkan, memeriksan dan mengevaluasi proses dan hasil produksi bagian baterei karbon PT. I. Sedangkan penelitian deskriptif bertujuan untuk mengetahui akar penyebab terjadinya kerusakan produk baterai karbon. Selanjutnya dengan penelitian tindakan diharapkan dapat diketahui dan ditanggulangi penyebabnya sehingga kualitas produk baterai karbon dapat lebih ditingkatkan lagi melalui upaya pengembangan kemampuan dan ketrampilan para karyawannya. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk pengambilan data primer dan sekunder adalah melalui aplikasi metode pengendalian kualitas terpadu di PT. I, dengan cara : (1) studi literatur dari berbagai terbitan, (2) diskusi dengan operator, supervisor, manajer perusahaan dan tenaga ahli quality control. Sebagai kode etik penulisan dalam tulisan ini, nama perusahaan yang menjadi objek penelitian hanya disebutkan inisialnya saja dengan singkatan PT. I. Langkah-langkah diagnosis yang dilakukan pada PT. I adalah sebagai berikut : 1. Kajian kepustakaan yang berkaitan dengan metode pengendalian mutu (Quality Control). 2. Pembuatan kuesioner dan daftar pertanyaan dalam rangka persiapan survey industri.
3. Survey industri, yang meliputi : a. Identifikasi masalah QC di bagian Battery Carbon b. Pengamatan aliran proses produksi, inspeksi dan QC. c. Wawancara dengan bagian produksi, QC impregnation, QC produk jadi. d. Mendokumentasi kondisi awal sebelum dan rencana perbaikannya. e. Meneliti faktor-faktor penyebab kerusakan produk, yaitu : (1) bahan/material, (2) produk jadi, (3) operator, (4) mesin & peralatan, (5) metode kerja, (6) lingkungan kerja (5S). f. Pemeriksaan dokumen-dokumen quality system : (1) check sheet, (2) laporan produksi dan QC. g. Meneliti alat ukur QC yang digunakan secara visual dan laboratorium. h. Memberikan/menyerahkan kuesioner yang diperlukan untuk analisis QC. 4. Pengolahan dan analisis data. 5. Pembahasan dan evaluasi 6. Pembuatan laporan.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
116
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Saat Ini Perusahaan PT. I dipegang oleh Daiichi Carbon Co.,Ltd., Yokohama, Jepang sebagai share holder terbanyak yang memproduksi berbagai gouging carbon dan / atau ARC Carbon. PT. I memproduksi elektroda karbon yang dipakai pada baterai/elemen kering dan juga memproduksi gouging carbon, medical carbon, cinema carbon, gear carbon, treatmen carbon yang memiliki rupa ataupun spesifikasi yang berbeda dengan elektroda karbon untuk battery. Dari jumlah produksi total elektroda karbon untuk dry cell battery, perusahaan mengekspor 75% ke berbagai negara seperti Brazil, Colombia, Guatemala, Pakistan, Filippina, China, India, Sri Lanka, Vietnam, Kenya, Egypt, Mali, Senegal, Cameroon, Tunisia, Marocco, Iran dan lainnya. Dan 25% untuk dijual di Indonesia, Panasonic Battery, Energizer battery dan ABC Battery. Untuk produksi total gouging carbon perusahaan mengekspor hampir 100% ke luar negeri dan banyak digunakan untuk keperluan pabrik baja dan sinema. Kapasitas produksi elektroda karbon = 4,5 milyar pieces per tahun. Kapasitas produksi gouging carbon = 12 juta pieces per tahun. Berdasarkan hasil survey di PT. I, maka kondisi saat ini perusahaan dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Perusahaan sudah berpengalaman dalam memproduksi baterai karbon sebagai produk utama selain special karbon. Lokasi pabrik berada dalam satu kawasan industri sedangkan kantor pusat yang membidangi bagian keuangan dan pemasarannya berada di jakarta. Hal ini berhubungan dengan pemisahan struktur organisasi perusahaan antara bagian produksi dengan bagian pemasaran dan keuangan. 2. Karakteristik unik untuk bahan baku dan bahan bakar, proses produksi, pasar produk baterai karbon adalah sebagai berikut : a. Bahan baku dan bahan bakar Biaya paling besar diserap untuk keperluan pengadaan bahan baku dan bahan bakar. Bahan baku memakai turunan batubara (berbentuk serbuk) dan turunan aspal sebagai bahan baku utama yang sudah memenuhi standar JIS.
117
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
95% merupakan bahan baku impor mengakibatkan lead time yang relatif panjang dan perlu stock. Harga bahan baku berfluktuasi; Sudah bisa melakukan cost down (25%) dengan mengganti bahan bakar minyak (BBM) menjadi gas (LNG = Liquid Natural Gasses) dengan mengganti semua sistem yang berkaitan dengan proses pemanasan yang dipakai untuk keperluan proses produksi. b. Proses produksi Produksi dilakukan berdasarkan Job To Order (JTO) namun tidak secara murni karena masih ada stok bahan baku dan produk jadi. Konsumen order pesanan dengan ukuran diameter dan panjang batang karbon yang berbeda untuk masing-masing yang berkaitan langsung dengan setting dies mesin. Return material yang bisa diproses produksi ulang (logikanya seharusnya tidak terjadi loss material). Alur proses produksinya mengalir dengan waktu proses yang relatif panjang (dalam hitungan hari). Proses produksi ada yang telah terotomatisasi, campuran dan manual. Kapasitas terpakai baru 2/3 dari total kapasitas Baking Kiln terpasang. c. Pasar Mempunyai tingkat pemahaman yang tinggi atas karakteristik pasar yang punya jumlah pesaing terbatas walaupun juga muncul pesaingpesaing baru (hal ini berkaitan dengan besarnya ukuran kue pangsa pasar yang cenderung turun) dan pasar utamanya adalah negara-negara berkembang. PLC (Product Life Cycle) datar dan cenderung turun terhadap 3 jenis produk batere carbon ukuran 4 mm, 6 mm dan 8 mm. Adanya produk substitusi sebagai salah satu ancaman. Melakukan kerja sama dengan pihak ke-3 dalam hal ekspor (Marble, Co – Japan).
3. Aliran kebijakan perusahaan yang lebih mengarah ke pola top-down. 4. Visi dan misi perusahaan hanya berada pada level Top Management sedangkan yang disosialisasikan berupa kebijakan perusahaan menyangkut kualitas, keamanan dan lingkungan; 5. Adanya hubungan baik antara pihak perusahaan dengan karyawan misalnya menyangkut JPK – Jaminan Pemeliharaan Kesehatan – Mandiri, penghargaan The Best Employee of The Year kepada karyawan, tour serta hubungan baik dengan masyarakat sekitar. Selain itu perusahaan juga memberikan kebebasan kepada setiap karyawan untuk berkspresi mengeluarkan pikiran dan pendapat dalam bentuk slogan dan kebebasan berorganisasi. 6. Penerapan 5S (atau menurut istilah perusahaan 6S) belum maksimal terutama mulai dari ware house ke cutting diamond. 7. Adanya morning briefing tiap pagi selama 5 menit; 8. Kondisi di dalam gedung pabrik dan mesin peralatan yang sudah tua (menyangkut kondisi lantai , ventilasi, pencahayaan, garis batas area produksi, kebisingan, bau) berisiko bagi kesehatan dan K3, ada prosesproses yang perlu diberi perhatian (perbaikan) lebih yaitu mulai dari ware house ke cutting diamond. Tingkat kesadaran karyawan untuk memakai perangkat keselamatan kerja masih perlu ditingkatkan. 9. Kebijakan perusahaan atas ISO didasarkan pada pemahaman bahwa yang perlu adalah penerapannya dan masalah sertifikasinya disesuaikan dengan tuntutan konsumen. Perusahaan sudah mampu memenuhi standar audit konsumen dengan baik. 10. Space pabrik tidak memadai untuk meletakkan work in process produk (ada lokasi peletakan yang berantakan) bahkan banyak yang diletakkan di luar pabrik. 11. Perusahaan menerapkan FIFO tetapi masih masih memiliki kendala dalam peletakkan material baik menyangkut kualitas pallet maupun metode penyimpanan yang berkaitan dengan indeks aktifasi; 12. Adanya rencana mengadakan pelatihan produksi dan preventive maintenance.
Penggunaan QC Seven Tools Kasus NG di bagian finished good untuk produk battery carbon di PT. I sudah diketahui ± 5 %. Namun return NG di masingmasing proses bagian produksi belum dilakukan pencatatan hasil inspeksi secara rinci (angka-angkanya) dan pengendaliannya terhadap faktor-faktor penyebab (mesin, material, orang, cara kerja dan lingkungan kerja) dan jenis kerusakan (a) crack (luar dan dalam), (b) chipping, (c) pinhole, (d) gucha (budug), (e) carbon miring, (f) kebocoran karbon, (g) bengkok, dll. Untuk menurunkan produk NG di PT. I belum dilakukan analisis penanganan dan pencegahan yang optimal. Sehingga diperlukan sistem pengendalian mutu (QC) pada proses yang berpengaruh terhadap kerugian yang timbul (in-efisiensi). Seperti : besarnya biaya yang diperlukan untuk return NG untuk pemakaian listrik, gas, tenaga kerja, mesin yang digunakan, dll. Oleh karena itu arah perbaikannya adalah memperkenalkan metode kaizen untuk pengendalian mutu NG tertinggi produksi bermasalah di bagian battery carbon dengan alat QC seven tools. Dilihat dari faktor-faktor penyebab dan jenis kerusakannya. Untuk melakukan analisis mengenai QC di PT. I dilakukan kunjungan lapangan dengan meneliti hal-hal sebagai berikut : 1. Pengamatan aliran proses produksi, inspeksi dan QC. 2. Faktor-faktor penyebab kerusakan produk, yaitu : (1) bahan/material, (2) produk jadi, (3) operator, (4) mesin & peralatan, (5) metode kerja, (6) lingkungan kerja (5S). 3. Dokumen-dokumen quality system : (1) check sheet, (2) laporan produksi dan QC. 4. Alat ukur QC yang digunakan secara visual dan laboratorium. Hasil survey di PT. I pada tahun 2011 diketahui bahwa setiap bulannya membuat puluhan ribu pcs battery produk (size). Sehingga diperlukan pengendalian mutu oleh bagian QC agar memenuhi standar yang ditetapkan para customer (buyer) baik untuk lokal maupun eksport, seperti : Everedy Battery, ABC Battery, Panasonic Battery, Energiser dll. Adapun data hasil produksi di bagian Battery Carbon, ditunjukkan pada Gambar 2.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 118
Jumlah produksi (million pcs)
2500
2270
2000 1500 800
1000
360
500
240
25
5
0 R
25
R (F )
si ze
20
R (D )s iz e
14 /R 12
R SM 03 /R or (A 01 A) la rg si (A C er ze AA siz si e )s ze iz e R
6
Jenis produk
Gambar 2. Hasil produksi perusahaan
Dari hasil produksi battery carbon yang dibuat tersebut, dilakukan pemeriksaan terhadap prosentase NG tertinggi pada bulan Mei 2011 dari ke 3 (tiga) jenis produk (size) tertinggi yang dibuatnya, seperti ditunjukkan pada Gambar 3.
15% 9%
76%
Gambar 3. Prosentasi NG produksi perusahaan Keterangan : 1. R6(4 MM) = 76 % 2. R03 (3 MM) = 9 % 3. R20 (8 MM) = 15 %
Selanjutnya setelah diketahui data produksi NG tertinggi produksi bermasalah di Bagian Battery Carbon, maka prioritas utama dalam pengendalian mutu adalah pada produk NG dari jenis produk R6(4MM) adalah sebesar 76%. Yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap jenis-jenis kerusakannya. Di dalam penerapan QC Seven Tools di bagian Battery Carbons PT. I, diperlukan data jumlah produk NG tertinggi berdasarkan jenis kerusakannya. Namun karena ketebatasan waktu data yang diperoleh, maka data yang digunakan adalah data yang diperoleh bulan Mei 2011. Diharapkan perusahaan dapat menggunakan metode QC Seven Tools sebagai usaha dalam perbaikan atau kaizen terhadap NG tertinggi produksi bermasalah.
119
Untuk mengetahui NG tertinggi produksi bermasalah PT. I sudah menggunakan sebagian alat dari QC Seven Tools, yaitu lembar pengumpul data (check sheet) dan stratifikasi. Namun alat QC lainnya belum digunakan. Untuk lebih jelasnya penerapan QC Seven Tools di PT. I adalah sebagai berikut : 1. Lembar Pengumpul Data (Check Sheet) Check sheet merupakan alat bantu untuk memudahkan pengumpulan data. Bentuk dan isinya disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Sebagai contohnya dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Lembaran check sheet ini dapat digunakan untuk melakukan pemeriksaan secara rasional dengan melakukan pengumpulan data yang sederhana melalui pemberian tanda-tanda yang sederhana pula, sehingga data-data yang ada akan lebih mudah untuk diolah, khususnya dalam pencatatan produk defect atau reject. Pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari ke 5 jenis NG ternyata inside crack menduduki peringkat tertinggi NG (dengan jumlah 2.651 kg) dan produk R6 (Ø 4mm) (2.600 kg). Tabel 2. Check sheet NG tertinggi produksi bermasalah (Mei 2011) Quantity Produk No Customer (size) Pcs Kg 1 PGBI/Chung R6 210.240 2.270 Pak HK 2 HI-WATT 4 x 46.9 630.720 630 3 Pinaco 4 x 47 420.480 420 4 DMJ R20 140.160 480 5 Mill Pakistan R 20 80.300 401 6 PGBI 8 x 57 24.000 240 7 Chung 3 x 42 600.600 299 Pak/HK Total 3.316.100 4.670 Tabel 3. Check sheet data jenis terjadinya NG produk No. Jenis NG Jumlah Produk Jumlah (kg) (size) (kg) 1 Inside 2.651 R6 (4 2.600 crack MM) 2 Miring 210 R 03 (3 299 MM) 3 Resistance 299 R 20 (8 521 tinggi MM) 4 Pendek 140 5 Budug 120 (gucha)
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
2. Stratifikasi Stratifikasi adalah menguraikan atau mengklasifikasikan persoalan menjadi kelompok atau golongan sejenis yang lebih kecil. Dalam diagnosis ini diuraikan menurut : (a) jenis NG, (b) produk atau size, dan (c) prosentase NG yang paling dominan di Bagian Battery Carbon berdasarkan catatan tanggal 1 Mei 20011. Pada Tabel 3 dapat diketahui contoh stratifikasi kasus jenis penyebab NG dan produk (size) yang paling dominan dari produksi bermasalah : (a) 5 (lima) jenis NG dan (b) 3(tiga) produk atau size-nya. Pada Tabel 4 diperlihatkan jenis NG inside crack dilihat dari prosentase yang paling dominan, yaitu 78% sehingga menjadi prioritas pertama penanggulangan masalah.
Setelah diketahui jumlah produksi yang bermasalah (NG) dari pesanan (buyer) PGBI/Chung Pak HK berdasarkan data bulan 1 Mei 2011, selanjutnya prioritas pengendalian mutu difokuskan pada NG produk yang mempunyai penyebab paling tinggi. Lebih jelasnya ditunjukkan pada Tabel 5 dan Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4, terlihat bahwa NG tertinggi produksi bermasalah adalah yang disebabkan oleh inside crack, dimana rasio persentasenya 78 %. Oleh karena itu maka selanjutnya akan diselidiki penyebab adanya inside crack pada size R6 (4 MM) di bagian masing-masing proses Battery Carbon karena memiliki persentase terbesar dan menjadi masalah utama.
3. Diagram Pareto Diagram pareto adalah diagram yang merupakan gabungan antara grafik batang yang diurutkan sesuai dengan besarnya jumlah kasus, nilai dan grafik garis yang berupa jumlah kumulatif dari hasil klasifikasi permasalahan di lapangan untuk masing-masing penyebab dan fenomena masalahnya. Penetapan target di PT. I perlu menggunakan alat QC Seven Tools, yaitu diagram pareto. Kegunaannya adalah selain untuk menunjukkan secara grafis jenis NG yang menjadi masalah utama yang perlu menjadi prioritas penanggulangan juga dapat digunakan untuk menunjukkan perbandingan sebelum dan sesudah perbaikan.
Tabel 5. Data prosentase jenis No. Jenis NG Prosentase (%) 1 Inside 78 crack 2 Resistance 9 Tinggi 3 Miring 6 4 5
Pendek Budug
4 3
NG dan produk Produk Prosentase (size) (%) R6 (4 76 MM) R 20 (8 15 MM) R 03 (3 9 MM) -
100 Prosentase NG (%)
Tabel 4. Stratifikasi kasus Jenis NG dan produk yang paling dominan No. Jenis Prosentase Produk ProsentNG (%) (size) ase (%) 1 Inside 78 R6 (4 76 crack MM) 2 Miring 6 R 03 (3 9 MM) 3 Resistan9 R 20 (8 15 ceTinggi MM) 4 Pendek 4 5 Budug 3 (gucha) Catatan : Jenis NG lainnya : (a) chipping/gompal, (b) pinhole, karbon miring, (c) diameter kecil, (d) banyak wax,(e) B.Strength rendah.
80
100 78
80
60
60
40
40
20
9
6
20
4
3
Pendek
Budug
0
0 Inside Resistance Miring crack Tinggi Jenis NG
Gambar 4. Diagram pareto prosentase NG pada produk (size) R6 (4 MM).
4. Histogram Tabel histogram digunakan untuk menemukan masalah atau penyimpangan dari target. Berikut ini diperlihatkan contoh dari histogram untuk cutting T Carbon yang telah dibuat oleh PT. I.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 120
Tabel 6. Data pengukuran panjang pada cutting T Carbon No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Total % Spec
2 2,72 2,96 2,74 2,92 2,54 2,33 2,50 2,58
3 3,40 3,29 3,40 3,24 3,28 3,97 3,71 3,51 3,73 3,45 3,77 3,02 3,62 3,51 3,98 3,61 3,24 3,80 3,85 3,90 3,06
4 4,69 4,43 4,16 4,30 4,06 4,07 4,90 4,44 4,79 4,82 4,06 4,79 4,18 4,04 4,44 4,16 4,73 4,02 4,57 4,00 4,00 4,79 4,89 4,86 4,26 4,85 4,87
8 8% Max.10 %
21
27
Length mm (n =100) 5 6 7 5,98 6,56 7,06 5,66 6,05 5,24 6,69 5,74 6,60 5,20 6,12 5,53 6,04 5,69 6,15 5,06 6,20 5,80 6,43 5,73 6,84 5,15 6,07 5,97 6,06 5,97 5,24 5,95 5,15 5,51 5,71 5,69 5,33 5,37 5,36 5,57 5,90 5,91 5,20 5,43 5,46 5,78 5,19 5,51 31 92 % Min 80 %
12
8
9
10
1 0% Max 10 %
Result OK
35 30 Unit (%)
25 20 15 10 5 0 %
2mm
3mm
4mm
5mm
6mm
7mm
8mm
8
21
27
31
12
1
0
Length (mm)
Gambar 5. Histogram data cutting T Carbon
121
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
9mm 10mm 0
0
5. Peta Kendali (Control Chart) eta kendali kegunaannya adalah untuk mendeteksi adanya ketidak wajaran dalam suatu proses. Hal itu dapat diketahui dengan memplotkan data-data hasil pengolahan kedalam peta kontrol. Jika ada data yang terletak diluar peta kontrol berarti ada ketidak wajaran dalam proses tersebut. Sebagai contoh dalam diagnosis ini digunakan Peta Kendali p dengan menggunakan data yang diperoleh di PT. I, yaitu :jumlah inspeksi dan jumlah NG pada bulan Januasri s/d Juli 2011. Peta Kendali p yang digunakan adalah peta p mengingat jumlah produk yang diinspeksi tiap-tiap bulannya tidak sama. Setelah Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah ditentukan. Kemudian Peta Kendali p dapat diGambarkan, seperti ditunjukkan pada Gambar 6 dengan cara menplotkan data-data pada Tabel 7. Rumus yang digunakan dalam pembuatan peta kendali p adalah sebagai berikut : 1) P=
6 5.8
5.73
Tingkat prosentase rusak (%)
5.6
5.2
5.44
5.21
5.21
5.2
5.19
5.28
5.18
5.23
GT
5.17 p(%)
5 4.8
4.8 4.72
4.79
4.82
4.79
4.81
4.7
4.6
4.34 4.32
4 1
2
3
4
5
6
7
Bulan
Gambar 6. Peta Kendali p produk jadi.
n
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Total
5.3
4.2
2) Garis Tengah = p 3) Batas Kontrol : BKA /BKB p (1 p ) (UCL/LCL) = p
Bulan
5.34
4.4
jumlahcacat pn jumlahyangdiinspeksi n
Tabel 7. Batas-batas peta kontrol p produk jadi Jumlah Jumlah P BKA inspeksi NG (%) (%) 5.36 5.28 55075 2952 5.73 48500 2780 5.3 4.33 105925 4584 5.2 4.32 5.21 100365 4340 5.23 5.21 96080 5029 5.44 5.18 132405 7203 5.17 5.19 116080 6003 654430 32891
5.4
BKB (%) 4.72 4.7 4.8 4.79 4.79 4.82 4.81 -
6. Diagram Sebab Akibat (Cause & Effect Diagram) Untuk menanggulangi NG produk (size) R6 (4 mm) maka dianalisis faktor-faktor yang menjadi penyebabnya, yaitu dilihat dari : (1) Metode yang digunakan, (2) Manusia dan (3) Mesin/Peralatan. Oleh karena itu dalam menganalisis sebab akibat yang berpengaruh terhadap NG tersebut faktorfaktor tersebut perlu diperhatikan, seperti ditunjukkan pada Gambar berikut. Dari analisis sebab akibat kemudian ditentukan cara-cara penanggulangannya, sehingga diupayakan dapat menghilangkan atau mengurangi kerusakan. Adapun cara-cara rencana penanggulangan dan penanggulangannya dapat dilihat pada Tabel 7.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013 122
BKA (%)
C A R A K E R JA
M A N U SIA
Q ty l ot te r la lu b an ya k
K u r a n g p e r h a t ik a n k e s . k e r ja
B a tt e ry C a rb o n C ra k
A t t it u d e /S ik a p
S aa t p ro d u k s i
l a l a i/ k u r a n g d is i p l in B e n tu r a n s er i n g t er j a d i (- ) S t a n d a r w a k t u & ja m p e m a k a i a n m e s in M a in t e n a n c e P an a s S iru l a s i ud ar a k ot o r
B ah a n b ak u b e lu m s t a n d a r
(- ) j a d w a l p e s a n s p ar e p a r t P ros es ex tru d e r A s m ac e t
L IN G K U N G A N KE R JA
S cr e w aus
k o m p o s is i k a n d u n g a n b a h a n kuran g
P ro s e s c e n t e r le s s G e t ar a n c o n v e y o r tid a k n o r m a l
M AC HINE/ALA T
A la t u ku r K al ib r a s i in t e r n
C am p uran K u ran g m era ta Ad onan K a n d u n g a n a ir tid a k s ta n d a r
M A T E R IA L
Gambar 7. Diagram sebab akibat
No. 1.
123
Masalah Inside Crack
Tabel 8. Cara penanggulangan NG tertinggi produksi bermasalah Target Cara Penanggulangan (Waktu) Screw pada proses ekstruder direpair sesuai September 2011 jadwal preventif maintenance, yang meliputi : Standar waktu pemakaian mesin. Standar jam pemakaian Jadwal pemesanan suku cadang terencana. Getaran conveyor di proses centerless harus menggunakan standar vibrasinya untuk masingmasing size produksi yang berbeda. Kalibrasi alat ukur/uji oleh lembaga independent (KAN) Operator harus mempunyai kualifikasi standar kompetensi berbasis CBT. Sehingga attitude, (kedisiplinan, motivasi kerja, keselamatan kerja) kompeten. Dilakukan QC secara ketat untuk penentuan komposisi bahan baku yang akan dipakai dalam proses produksi. Dilakukan pencampuran secara homogen dengan pemakaian jumlah air sesuai standar. Quantity lot harus disesuaikan standar dan operator perlu kehati-hatian dalam penyusunan produk kedalam basket. Perlu sirkulasi udara yang cukup (ventilasi) dan perlu penerapan 5S berkesinambungan
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
Penanggulang Jawab Maintenance dan produksi
QC
QC
QC
QC dan Produksi
Produksi
Rp
7. Diagram Pencar (Scatter Diagram) Diagram ini dipakai untuk melihat korelasi (hubungan) dari suatu penyebab atau faktor yang kontinu terhadap suatu karakteristik kualitas atau faktor yang lain. Langkahlangkah untuk membuat scatter diagram adalah : Dalam diagnosis ini diagram pencar tidak dapat dibuat karena data yang diperoleh tidak lengkap.
5000000 4500000 4000000 3500000 3000000 2500000 2000000 1500000 1000000 500000 0 Inside crack
Usulan Kaizen
Miring
Budug(gucha)
Jenis NG
Pada Gambar 8 diperlihatkan penurunan biaya NG inside crack sebelum dan sesudah perbaikan. Biaya inside crack pada bulan ini sekitar Rp. 5 Juta (100% NG) dan apabila dilakukan kaizen dan turun NG-nya menjadi 50%, maka dapat menghemat sekitar Rp. 2,5 juta/bulan. Untuk mencapai kepuasan pelanggan (konsumen) yang menjadi mitra usahannya, maka PT. I disarankan untuk terus melakukan perbaikan (improvement) terhadap permasalahan-permasalahan yang mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan. Usulan kaizen peneliti adalah sebagai berikut : 1. Lakukan preventive maintenance terhadap screw aus di mesin extruder, yang meliputi : standar waktu & jam pemakaian mesin serta jadwal pemesanan/repair suku cadang. 2. Analisa vibrasi di conveyor untuk mengetahui standar kenormalan getaran masing-masing pada produk (size). 3. Kalibrasi alat ukur/uji kepada lembaga yang independent (KAN). 4. Melakukan standar kompetensi berbasis CBT untuk operator. 5. QC secara ketat untuk campuran komposisi bahan baku dan pemakaian jumlai air sesuai standar. 6. Quntity lot di basket sesuai standar dan kehati-hatian operator agar tidak terjadi benturan. 7. Ventilasi udara yang cukup dan penerapan 5S yang berkesinambungan.
Before Kaizen = Rp. 4418300
After Kaizen = (Rp) 2209150
Gambar 8. Penurunan biaya NG akibat inside crack (hasil kaizen)
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap PT. I, maka didapat beberapa kesimpulan dan saran-saran sebagai berikut : 1. Pengendalian mutu NG tertinggi produksi bermasalah dilakukan untuk dilakukan penanggulangan NG inside crack di bagian battery carbon PT. I. 2. Sebagai upaya peningkatan kepuasan konsumen, PT I menerapkan metode QC seven tools, meliputi : (1) check sheet, (2) stratifikasi, (3) pareto diagram, (4) histogram, (5) control chart, (6) fish bone diagram, (7) scatter diagram. 3. Perlu dilakukan pencatatan hasil inspeksi secara rinci (angka-angka) return NG di masing-masing proses produksi. 4. Perlu dilakukan pencatatan data hasil inspeksi secara rinci di masing-masing bagian produksi (data jenis & penyebab) dan keluhan customer (buyer) agar dapat dilakukan analisa penyebab dan perbaikannya. Sehingga tidak terjadi kesalahan yang sama berulang.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013
124
DAFTAR PUSTAKA 1. Anonim, 2000., Pedoman Astra Total Quality Control (ATQC), Diktat, Astra, Jakarta. 2. Tresna P. Sumarno, 1995., Total Quality Management, Majalah Usahawan, FE - UI, No. 11/TH XXIV dan No. 12/TH XXIV, Jakarta. 3. Hafid, 2008, Analisa Mutu Produk Komponen Otomotif Untuk Peningkatan Daya Saing Perusahaan, Jurnal Metal Indonesia, Vol.030/2008, Balai Besar Logam Mesin, Bandung. 4. Anonim, 1995., Mencapai Ekselensi Dengan Kaizen Teian, Majalah Manajemen, ISSN : 0216-1400, No. 98 Edisi Maret-April, Jakarta.
125
5. Imai Masaaki, 1986., Kaizen : The Key to Japan’s Competitive Success, Random House, Inc. 6. Vincent, Gaspersz, 1988., Statistical Process Control ; Penerapan TeknikTeknik Statistikal Dalam Manajemen Bisnis Total, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 7. Akira Hatta, 2004., Production Control, Penerbit IDKM, Pusdiklat Indag. Dan JICA, Jakarta. 8. Toyota Astra Motor (TAM), 2006., Materi Training 5R, Human Resources Division, Jakarta. 9. Dikdik Gunantara, 2002, Aplikasi Metode QFD Dalam Peningkatan Mutu Produk Cylinder Liner, Vol.024/2002, Balai Besar Logam Mesin, Bandung.
METAL INDONESIA Vol.35 No.2, Desember 2013