Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
METAFORA, METONIMIA, SINEKDOK, DAN IRONI DALAM KARYA SENI RUPA: STUDI KASUS ILUSTRASI EDITORIAL KOMPAS Ruswondho (Dosen Seni Rupa FBS – UNNES. E-Mail :
[email protected])
Abstrak Dalam komunikasi verbal (linguistik) baik pada percakapan sehari-hari maupun karya sastra sering digunakan gaya bahasa perumpamaan, seperti: metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi. Gaya bahasa tersebut adalah sekumpulan teks yang merupakan sistem tanda untuk mencapai sasaran komunikatif dan estetiknya. Teks non verbal seperti: seni lukis, ilustrasi, poster juga terdiri atas sistem tanda yang berfungsi untuk berkomunikasi. Atas dasar tersebut, penelitian ini mengkaji apakah sistem gaya bahasa tersebut berlaku pada komunikasi secara non verbal khususnya pada ilustrasi editorial koran Kompas. Tujuan penelitian untuk menjelaskan sistem kerja gaya bahasa perumpamaan pada bahasa visual. Penelitian mengunakan pendekatan kualitatif dengan metode semiotika strukturalis. Teknik pengambilan data melalui dokumentasi, observasi, dan wawancara. Analisis data dilakukan terhadap struktur elemen rupa ilustrasi editorial koran Kompas sebagai teks yang berfungsi tanda. Analisis dilakukan secara bertahap melalui pendekatan heuristik, hermeneutik, dan analisis domain. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa 35 sampel ilustrasi editorial koran Kompas yang terbit dari bulan Juni sampai September 2008 terdapat penggunaan majas metafora 60%, metonimia 23%, sinekdok 11%, dan ironi 6%. Metafora bekerja secara paradigmatik. Metonimia bekerja secara sintagmatik total. Sinekdok bekerja secara sintagmatik sebagian. dan, ironi bekerja secara sintagmatik oposisi. Saran yang dapat dianjurkan kepada mahasiswa seni rupa sebagai calon ilustrator, pelukis, atau desainer agar dapat menggunakan model gaya bahasa perumpamaan dalam penciptaan karya seninya agar lebih komunikatif . Kepada para pendidik, agar gaya perumpamaan dalam bahasa visual dapat dijadikan sebagai model pengajaran pada mata kuliah praktik pencipaan karya. Kata kunci: sintagmatik, paradigmatik, signifier, dan signified
Pendahuluan Manusia selalu berhubungan dengan manusia lain dalam hidupnya dengan menyampaikan sebuah bahasa. Penyampaian bahasa kepada orang lain dapat bersifat denotatif dan konotatif. Salah satu penyampaian bahasa verbal secara konotatif adalah penggunaan majas. Efek penggunaan majas tersebut adalah menjadi menarik karena dapat menambah daya keindahan sebuah teks. Bahkan kadang-kadang mudah diingat dan dipahami karena kekhasan bahasa yang diungkap sehingga menggugah perasaan seseorang dan lebih menarik ketimbang
penyajian kebenaran yang diberikan secara gamblang (Zoest 2003:23). Dari beberapa jenis majas dalam khasanah bahasa verbal atau linguistik yang paling umum dikenal dan banyak digunakan adalah majas perumpamaan yang terdiri atas metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi. Metafora adalah gaya bahasa perumpamaan langsung suatu benda dengan benda lain yang mempunyai sifat sama. Contoh, “semangatnya membaja untuk mencapi citacita”. Metonimia secara umum adalah gaya bahasa yang menggunakan sebuah nama
Vol. VI No. 1 Januari 2010
61
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
yang berasosiasi dengan suatu benda dan dipakai untuk menggantikan benda yang dimaksud. Contoh, “Bapak sedang naik Honda”. Padahal yang dinaiki adalah sepeda motor. Majas ketiga adalah sinekdok. Sinekdok terbagi dua yaitu: pars pro toto, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Contohnya adalah “Mana batang hidung si Budi, sampai sekarang kok tidak kelihatan”. Sinekdok kedua adalah totem pro parte yaitu gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Misalnya sebuah kalimat “Indonesia mendapat satu emas lewat bulu tangkis pada Olimpiade Beijing 2008”. Ironi ialah apa yang dikatakan bermakna sebaliknya dari kejadian yang sebenarnya dengan tujuan menyindir secara halus. Misalnya berkata “Di sini bersih sekali sambil menunjuk sampah yang berserakan”. Jika dalam bahasa verbal, penyampaianpenyampaian bahasa bisa dilakukan dengan varian-varian tersebut sehingga ungkapan yang dihadirkan menjadi lebih menarik, maka penelitian ini bermula dari sebuah pertanyaan, apakah dalam bahasa visual juga terdapat varian gaya pengungkapan secara simbolik tersebut. Penelitian ini didasarkan pertama atas fakta emperik, yaitu berbagai karya visual baik ilustrasi, desain iklan, poster maupun lukisan yang mulai beralih dari berbahasa literal ke bahasa simbolik. Sekarang perupa lebih cenderung memainkan segala sesuatu benda untuk dijadikan sebagai sarana ungkap. Implikasinya kadangkala menjadikan orang bingung dalam memahaminya karena belum mengetahui landasan konsep berpikirnya atau juga belum terbiasa memahami makna simbolik sebuah gambar. Kedua, adanya asumsi bahwa seniman yang bekerja dalam wilayah seni rupa dan seni sastra sebenarnya memiliki metode yang sama dalam penciptaan gaya ungkapan
62
namun berbeda mediumnya. Perupa menggunakan bahasa rupa sebagai sarana untuk menuangkan ide dan gagasannya. Sedangkan lewat kekuatan verbal atau katakata, sastrawan mengungkapkan ekspresi kesenimannya lewat karya puisi atau prosa Keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu berkomunikasi dengan pendengar atau penonton. Dalam perspektif ini karya seni adalah penghubung antara seniman dengan masyarakatnya, artinya, apapun yang disampaikan seniman harus bisa ditangkap dan dimengerti oleh masyarakat. Menurut ilmu komunikasi, unsur rupa adalah unsur bahasa yang berfungsi sebagai medium penyampai pesan antara komunikator dan komunikan. Lukisan atau gambar adalah sebuah teks yang berfungsi sebagai tanda untuk dimaknai sehingga memungkinkan terjadinya interaksi. Oleh karena itu, pola dasar dan sistem kerja dalam bahasa verbal juga bisa diterapkan dalam bahasa visual. Dengan menyederhanakan bahwa teks itu dipahami sebagai tanda maka pendekatan semiotika diharapkan dapat menguraikan perbedaan yang timbul antara harapan penulis dengan realitas yang ada. Sistem kerja majas dalam bahasa visual beserta efeknya dapat terjelaskan. Hal ini sesuai dengan apa yang telah dipaparkan oleh Widagdo (2006:195), yang menyatakan bahwa aplikasi metode semiotika juga lebih banyak atau umum dilakukan pada karya bahasa ungkap yang simbolik atau karya kontemporer pada paruh abad ke XX. Lalu yang menjadi persoalan adalah, apakah sistem majas perumpamaan yaitu metafora, metonimia, sinekdok dan ironi bisa untuk menjelaskan karya seni rupa. Dalam kajian ini penulis memilih karya ilustrasi bukan lukisan atau karya seni rupa lainnya sebagai objek kajian. Meskipun mempunyai tujuan sama yaitu untuk menyampaikan gagasan,
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
ilustrasi mempunyai tujuan yang jelas karena mengacu atau menerangkan sebuah teks bahasa sedangkan lukisan lebih berbicara secara otonom sehingga kadar subyektivitas bisa sangat tinggi. Kedua, karya ilustrasi editorial lebih banyak yang bersifat representatif dalam arti subject matter-nya masih berbentuk figuratif sedangkan lukisan kadangkala masih banyak yang subject matter-nya terlalu absurd atau abstrak. Ketiga, gambar ilustrasi tetap dikerangkai ide kontekstual yang jelas yaitu sebuah teks yang diacu dan yang ingin diterangkan. Sehingga pembacaan tanda-tanda dalam ilustrasi tersebut dengan mudah dikomparasikan dengan makna yang terdapat pada teks bahasa verbal yang diacu. Dengan demikian hasil kebermaknaan ilustrasi dapat digunakan sebagai domain untuk menentukan varian gaya perumpamaannya. Pemilihan karya ilustrasi editorial pada koran harian Kompas karena target audiencenya nasional dan umum sehingga didapatkan varian tematik. Harapannya, bahasa metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi bisa tereksplorasi karena permasalahannya yang beragam dan konstekstual. Kedua, menurut pengamatan penulis, gaya ilustrasinya lebih unik, berbeda dengan surat kabar lainnya. Meskipun akhir-akhir ini, mulai terdapat penelitian seni rupa dengan dengan pendekatan semiotik namun penelitianpenelitian tersebut belum mengkategorisasikan sistem simbol yang didapatkan sebagai domain untuk menentukan gaya ungkapan. Celah ilmu tersebutlah yang ditekankan dalam penelitian ini sehingga menjadikannya berbeda terhadap penelitian lainnya. Bahkan yang sering terjadi, hampir sebagian besar penelitian seni rupa lebih asyik untuk melihat seni rupa sebagai struktur bentuk visual (formalisme) atau estetika bentuk (Sachari 2005:20). Atas dasar itu, penelitian ini bermaksud menerapkan konsep dari bidang linguistik yaitu konsep
metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi untuk mendeskripsikan sistem gaya bahasa simbolik pada ilustarasi editorial harian Kompas. Tinjauan Pustaka Ilustrasi sebagai Bahasa Rupa dalam Sistem Tanda Ilustrasi menurut Mayer (dalam Salam 1993:2) adalah sebuah gambar yang secara khusus dibuat untuk menyertai teks seperti pada buku atau iklan yang berfungsi memperjelas teks agar mudah difahami dan menarik. Ilustrasi secara umum digunakan untuk menggambarkan benda, suasana, adegan, atau ide yang berupa teks. Lebih lanjut Salam menyatakan ilustrator dalam mengkomunikasikan subjeknya biasanya dengan cara: (1) mendramatisasi, (2) menggunakan isyarat tubuh dan mimik, (3) menggunakan simbol, (4) personafikasi, (5) menggambarkan bunyi, dan (6) memusatkan perhatian. Lebih lanjut, ilustrasi dibagi menjadi ilustrasi buku, editorial, iklan, busana, animasi dan lain sebagainya. Namun yang paling banyak dikenal adalah ilustrasi buku dan ilustrasi editorial. Ilustrasi editorial adalah ilustrasi yang dibuat untuk menyajikan pandangan atau opini yang biasanya dimuat di surat kabar atau majalah untuk mendampingi artikel, maka ilustrasi editorial atau ilustrasi kolom berfungsi sebagai penjelas agar menjadi lebih mudah difahami dan menarik. Dari pandangan di atas, maka ilustrasi merupakan sarana berkomunikasi, apa yang digambar senantiasa punya maksud agar dipahami pembaca. Alat komunikasi manusia, pada hakikatnya tidak hanya berupa bahasa tulisan, lisan atau bahasa isyarat, melainkan juga bahasa rupa yang merupakan tanda komunikasi simbolik atau komunikasi rupa.
Vol. VI No. 1 Januari 2010
63
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
Sachari (2005:7) menyatakan bahasa rupa, seperti halnya bahasa lain juga memiliki apa yang dikenal sebagai kaidah, asas, atau konsep. Ilustrasi, sebagai bahasa rupa memiliki empat kelompok unsur yaitu: a. Unsur Konsep, yang terdiri dari titik, garis, bidang , dan volume. b. Unsur Ruang, yang terdiri dari bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. c. Unsur Pertalian, yang terdiri dari arah, kedudukan, ruang, gaya, dan berat. d. Unsur Peranan, yang terdiri dari gaya, makna dan tugas. Bahasa rupa memang tidak memiliki kaidah gramatika seperti halnya bahasa lisan atau bahasa tulisan, sehingga setiap orang komunikator kadang memiliki pendapat yang berlainan. Namun demikian, bahasa rupa memiliki kaidah yang sifatnya universal, dan hampir berlaku di mana-mana. Sebagaimana yang diutarakan Umberto Eco, komunikasi visual diantaranya ilustrasi dapat dijadikan sebagai kajian semiotik, karena memiliki bahasa rupa dasar sebagai unsur tanda yang cukup penting secara semiotis. Dengan demikian unsur-unsur bahasa rupa dasar yang terdiri dari konsep, rupa dan pertalian, dapat dinyatakan sebagai langue dalam dikotomi de Saussure. Sedangkan unsur peranan (gaya, makna, fungsi) merupakan suatu hal yang dapat dikatakan sebagai parole, yang merupakan ungkapan tanda secara individual atau tanda yang telah diberi makna tertentu. Sama dengan konsep langue dan parole, keempat unsur itu, sebenarnya saling berkaitan dan berhubungan, karena suatu tanda rupa yang tidak memiliki makna, gaya atau fungsi hanya merupakan bahasa yang tidak bisa dimengerti oleh penafsir. Ketika suatu tanda rupa setelah diberi makna atau fungsi tertentu, maka komunikasi dengan penafsir akan difahami.
64
Demikian pula dengan konsep signifier dan signified dari de Saussure. Konsep ini dapat pula diadopsi pada bahasa rupa, karena bahasa rupa yang sifatnya tidak tampak, acak atau tidak berwujud sulit mengidentifikasi citra dan maksud ungkapannya. Tetapi jika telah terjadi pemaknaan atau pemberian fungsi tertentu, maka terbentuklah citra dari bahasa rupa itu sehingga terbentuk sebuah konsep rupa. Gaya Bahasa Perumpamaan dalam Semiotika Gaya bahasa dalam literatur bahasa Indonesia yang sangat menonjol penggunaannya adalah majas perumpamaan. Majas tersebut terdiri dari metafora, sinekdok, metonimia, dan ironi. Pemahaman sistem kerja majas dianalisis berdasarkan teori semiotika Saussure. Semiotika berasal dari kata Yunani: semeion, yang berarti tanda. Semiotika menurut Berger dalam Tinarbuko (2008:11) memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Pierce. Secara umum semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut signifier, sebagai penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, adalah petanda atau konsep makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama.Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada level of expression (tingkatan ungkapan) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi,
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
huruf, kata, gambar, warna, objek dan sebagainya. Sedangkan petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan, hubungan antar kedua unsur melahirkan makna. Mengacu pendapat Spradley (1997:121) bahwa objek atau peristiwa apapun menunjuk pada sesuatu. Semua simbol melibatkan tiga unsur: Pertama, simbol itu sendiri. Kedua, satu rujukan atau lebih. Ketiga hubungan antar simbol dengan rujukan. Semuanya itu merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Salah satu cara yang digunakan para pakar untuk membahas makna yang lebih besar adalah membedakan makna denotatif dengan makna konotatif. Spradley menjabarkan makna denotatif meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata. Piliang mengartikan bahwa makna denotatif adalah hubungan eksplisit antara tanda dengan referensi atau realitas. Spradley menyebut makna konotatif meliputi semua signifikansi sugestif dari simbol yang lebih dari arti referensialnya, karena mampu meningkatkan perasaan dan emosi serta nilai-nilai kebudayaan dan ideologi. Metafora adalah gaya bahasa perumpamaan langsung suatu benda dengan benda lain yang mempunyai sifat sama. Contohnya semangatnya membaja untuk mencapi citacita. Baja bersifat kuat. Semangat yang bersifat teguh pendirian bermakna kuat. Jadi ada kesamaan sifat antara teguh pendirian dan baja. Semiotika melihat dua tanda diketemukan atau diperbandingkan agar terjadi perpaduan antara signifier dari tanda pertama menghasilkan signified dari tanda yang kedua. Upaya perumpamaan didasarkan pada aspek kesamaan sifat antara tanda pertama dan tanda kedua dalam aspek tertentu (Chandler 2007).
(model sistem semiotika metafora) Metonimia adalah sistem substitusi (penggantian) dari dua tanda yang berbeda. Bisa terjadi fungsi substitusi karena “kedekatan” dua tanda tersebut. Kedekatan diperoleh karena adanya hubungan langsung dan asosiasi yang telah melekat pada masyarakat dalam cara tertentu. Bisa juga kedekataan antara tanda yang diperoleh melalui atribut, perasaaan, sugesti, dan hubungan sebab akibat (indeksial). Meskipun beberapa pakar juga ada yang memasukan sebab akibat sebagai sebuah hubungan yang oposisi tetapi tetap bisa masuk dalam wilayah kategori substitusi (Chandler 2007). Substitusi metonimia dimungkinkan juga terjadi karena adanya pengaruh pikiran, sikap dan aksi dengan cara memfokuskan pada aspek lainnya dari konsep awal yang sebelumnya tidak ada kaitannya. Majas ketiga adalah sinekdok. Beberapa pakar mengidentifikasi sinekdok adalah model majas perumpamaan yang terpisah, ada yang melihat sebagai bagian khusus dari metonimia dan lainnya menggolongkan fungsinya sama dengan metonimia. Jakobson menyatakan bahwa metonimia dan sinekdok mempunyai kesamaan berdasarkan adanya hubungan kedekatan. Richard Lanham menjelaskan model sinekdok terbagi menjadi dua yaitu: pars pro toto, yaitu gaya bahasa yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Sinekdok kedua adalah totem pro parte yaitu gaya bahasa yang menyebutkan keseluruhan untuk sebagian. Pemilihan sebagian dari suatu tanda karena secara fisik dianggap paling berperan terhadap keseluruhan tanda dalam arah atau aplikasi atau penggunaannya. Dengan
Vol. VI No. 1 Januari 2010
65
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
demikian penggunaan satu kata menjadikan lebih simple namun bermakna lebih komprehensiif. Ironi ialah apa yang dikatakan bermakna sebaliknya dari yang sebenarnya dengan tujuan menyindir secara halus. Signifier dalam ironi menandakan sesuatu yang tidak sesuai realita tetapi kita mengetahui makna berdasarkan signifier lain yang secara aktual benar. Ironi merefleksikan pikiran atau perasaan pembicara atau penulis secara berlawanan. Majas ironi adalah substitusi berdasarkan ketidaksamaan hubungan antara dua signifier (Chandler 2007). Semua majas perumpamaan memiliki makna tanda ganda. Sistem perumpamaan menggunakan model substitusi yang tidak bermakna literal. Pemahamannya harus lebih komprehensif dan diperlukan penguasaan mengenai perbedaan antara yang dikatakan dengan yang dimaksud serta kepekaan terhadap tanda bermakna ganda. Metode Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Metode analisis yang digunakan adalah metode semiotika strukturalis. Metode analisis semiotika strukturalis untuk mengetahui setiap fragmen struktur teks atau subject matter pada ilustrasi yang merupakan sistem tanda. Setiap teks keberadaannya sangat tergantung dengan teks-teks yang lainnya. Melihat teks atau subject matter dalam ilustrasi sebagai kesatuan struktur yang secara keseluruhan menyandang makna.. Ilustrasi editorial tidak dibaca sebagai struktur yang otonom tetapi struktur yang kontekstual dengan harapan makna yang dihasilkan lebih tepat. Subjek penelitian adalah ilustrasi editorial harian Kompas yang terbit mulai bulan JuniSeptember 2008. Kemudian sample dipilih
66
secara purposive dan prosentase untuk mewakili edisi tiap bulan dengan harapan adanya varian subject matter. Hasil Penelitian dan Pembahasan Majas Metafora, Metonimia, Sinekdok, dan Ironi dalam Semiotika Gaya bahasa dalam linguistik yang menonjol adalah majas perumpamaan. Majas terdiri atas metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi. Berdasarkan teori semiotika Saussure, sistem kerja majas dapat dipahami sebagai sistem tanda. Tanda terdiri dari signifier dan signified. Signifer adalah penanda yaitu sesuatu yang berupa wujud fisik verbal maupun non verbal. Signified adalah petanda yaitu acuan yang dimaksud oleh penanda. Keduanya tidak bisa dipisahkan tetapi suatu kesatuan utuh yang membentuk tanda. Proses pemaknaan suatu tanda akan berhubungan dengan tanda lainnya lewat interaksi orang dalam suatu komunitas. Hubungan tanda dengan tanda lain dapat secara eksternal dan internal. Hubungan eksternal dapat secara paradigmatik dan sintagmatik. Paradigmatik adalah hubungan antara suatu tanda dengan tanda lain dalam satu kelas atau sistem. Sintagmatik adalah hubungan yang bersifat aktual karena antara tanda satu dengan tanda lainnya bersifat kesadaran logis, sebab akibat atau kausalitas. Hubungan internal adalah bekerjanya suatu tanda secara intrinsik tanpa perlu tanda lain karena secara alamiah sudah memiliki kekuatan simbolik yang mandiri. Hubungan signifier dan signified dapat terjadi dalam pembacaan tingkat pertama (denotasi) dan pembacaan tingkat kedua (konotasi). Metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi berlangsung pada pembacaan tingkat kedua. Menurut Jakobson, metafora bekerja secara paradigmatik. Lacan menyatakan
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
hubungan satu kelas antara tanda dengan tanda lain dapat berlangsung karena adanya kekuatan represi dari sebuah tanda tersebut untuk saling bertukar. Pertukaran dapat dilakukan karena adanya kesamaan antara dua tanda yang masih dalam satu himpunan, saudara, dan setara dalam sistem tandanya. Kesamaan diperoleh dengan mempertemukan dua tanda agar signifier dari tanda pertama menghasilkan signified dari tanda yang kedua. Aspek “kesamaan sifat” antara tanda pertama dan tanda kedua dalam aspek tertentu akhirnya terjadi meskipun dua tanda tersebut sebenarnya dalam sistem tanda yang berbeda. Bahkan dalam perkembangan ilmu semiotika (hipersemiotika) aspek “kesamaan” selalu bisa dicari dan bisa dibuat (Piliang 2003: 233-254). Metonimia secara umum pengertiannya adalah gaya bahasa yang menggunakan sebuah nama yang berasosiasi dengan suatu benda dan dipakai untuk menggantikan benda yang dimaksud. Secara semiotika hubungan kedekataan antara dua tanda adalah secara indeksikal. Indeksikal ini adalah hubungan yang secara sebab akibat atau hubungan kontinuitas realitas. Penggunaan penghubung (signifier) yaitu sesuatu yang dapat diketemukan bersama dalam dua tanda sebagai titik kunci sehingga dapat menghubungkan ke petanda karena adanya hubungan yang bersifat unconscious menjadi conscious. Penggunaan signifier dimungkinkan juga karena adanya pengaruh pikiran, sikap dan aksi dengan cara memfokuskan pada aspek tanda lainnya dari konsep awal yang sebelumnya tidak ada kaitannya. Atas dasar itu, sintagmatik pada metonimia bersifat total karena signifier dari tanda satu akan bermakna signified yang ditemukan pada tanda lain. Beberapa pakar mengidentifikasi sinekdok sebagai bagian khusus dari metonimia dan lainnya menggolongkan fungsinya sama dengan metonimia. Lanham
(dalam Daniel 2007) menjelaskan bahasa model sinekdok terbagi menjadi dua yaitu: pars pro toto, yaitu sebagian untuk keseluruhan. Signifier suatu tanda dengan mengambil bagian dari tanda tersebut. Sinekdok kedua adalah totem pro parte yaitu keseluruhan untuk sebagian. Signifier suatu tanda dengan mengambil keseluruhan dari tanda tersebut tetapi signified-nya adalah keseluruhan wujud tanda tersebut. Jakobson menyatakan bahwa metonimia dan sinekdok mempunyai kesamaan pada model hubungan sintagmatik. Atas dasar itu, sintagmatik bersifat sebagian karena masih dalam satu wilayah tanda. Ironi ialah apa yang dikatakan bermakna sebaliknya dari kejadian yang sebenarnya dengan tujuan menyindir secara halus. Signifier pada ironi adalah sesuatu yang tidak sesuai realita tetapi kita mengetahui makna signified berdasarkan hubungan sintagmatik yang dikontraskan dengan kenyataan di luar tanda itu sendiri. Hubungan perlawanan apa yang diucapkan dengan kenyataan lebih berdasarkan oposisi biner. Logika ironi berlangsung secara sintagmatik ketika direlasikan dengan kenyataan sebagai signifed berlawanan dengan signifier-nya. Metafora, Metonimia, Sinekdok, dan Ironi dalam Ilustrasi Editorial harian KOMPAS Ilustrasi menurut Mayer (dalam Salam 1993:2) adalah sebuah gambar yang secara khusus dibuat untuk menyertai teks seperti pada buku atau iklan untuk memperdalam pengaruh dari teks tersebut sehingga akan menjadi lebih jelas dan menarik. Ilustrasi editorial adalah ilustrasi yang dibuat untuk menyajikan pandangan atau opini yang biasanya dimuat di surat kabar atau majalah untuk mendampingi tulisan atau artikel. Sebagai pendamping dari suatau karangan yang bersifat pandangan terhadap sesuatu hal, maka ilustrasi editorial atau ilustrasi kolom
Vol. VI No. 1 Januari 2010
67
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
berfungsi untuk menjadi lebih mudah difahami dan menarik. Berdasarkan matrik majas perumpamaan dalam analisis semiotika maka setiap karya ilustrasi editorial harian Kompas dalam menyampaikan makna menggunakan model sistem hubungan antartanda secara eksternal melalui paradigmatik dan sintagmatik. Seperti apa yang disampaikan di awal bahwa model hubungan ini dilakukan untuk menghindari pengungkapan bahasa secara literal akan tetapi lebih menggunakan bahasa secara tidak langsung. Metafora Karya J31JL (Gambar 1) merupakan contoh karya ilustrasi yang menggunakan majas metafora. Jika dilakukan pembacaan secara denotatif maka ilustrasi tersebut menyatakan sebuah kotak suara pemilu yang meleleh. Namun, untuk dapat memahaminya diperlukan pembacaan secara konotasi. Pembacaan konotasi adalah pembacaan tingkat dua. Ilustrator sengaja menggabungkan dua tanda sekaligus dalam bentuk kotak suara yang mencair. Tanda pertama kotak suara dan tanda kedua adalah air. Bentuk tersebut tidak ada secara realitas. Gambar tersebut rekayasa imajinatif ilustrator untuk menyampaikan gagasan lebih estetik dan efektif. Tanda pertama terdiri kotak suara pemilu sebagai signifier. Signifier tanda kedua adalah benda yang meleleh. Dalam pembacaan tingkat dua (Gambar 2), partisipasi pemilu adalah signified dari tanda pertama. Kotak suara telah menjadi simbol pemilu karena secara paradigmatik telah menggantikan surat suara, gambar pilihan, dan pulpen. Meskipun sebenarnya surat suara dapat berpeluang langsung kepada pemaknaan partisipasi pemilu, namun karena secara ikonis hal yang paling mudah untuk dipersepsi masyarakat dalam pemilu adalah kotak suara.
68
Kotak suara, surat suara, pulpen adalah alat yang mempunyai kedudukan setara yang digunakan dalam sistem pemilu. Proses siginifikansi tahap kedua yang dilakukan secara metafora telah melalui proses signifikansi tahap pertama. Kotak suara untuk menghasilkan petanda partisipasi pemilu juga mengalami fusion dua tanda. tanda kotak suara mempunyai signified dari tanda dua yaitu surat suara karena adanya unsur similarity yaitu kesamaan antara dua tanda yaitu pada fungsionalnya dalam proses pemilu. Memasuki tanda kedua, karena benda yang mencair mempunyai sifat menurun atau menghilang secara wujud fisiknya maka secara asosiatif signifier tanda kedua yaitu air meleleh dapat menghasilkan signified menurun. Proses ini juga dilakukan secara metaforik melalui proses signifikansi tahap kedua. Akhirnya, muncul transfering atau pemindahan sifat tanda kedua air untuk pindah terhadap tanda pertama. Sifat menurun ini sebenarnya bisa didapatkan dari berbagai sistem tanda yang lain. Namun, air tampaknya merupakan pilihan yang lebih efektif dibandingkan lainnya karena kekuatan simbolik internalnya. Dengan demikian dalam proses metafora terjadi apa yang disebut dengan fusion dua tanda. Bahkan hubungan penanda dan petanda tersebut dibangun secara bertingkat mulai dari paradigmatik primer, paradigmatik sekunder, dan seterusnya (periksa bagan berikut). Setelah itu, dua signifier antara kotak suara dengan air dipertemukan secara horizontal. Makna yang diharapkan dari keduanya benar-benar hadir dan ada dalam ilustrasi editorial tersebut. Melalui penggabungan dua tanda tersebut, ada penyusunan struktur visual dari dua sistem tanda yang berbeda menjadi karya ilustrasi yang utuh. Dengan demikian, proses pemaknaan secara keseluruhan terhadap karya J31JL adalah
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
meleleh
Tembaga
Besi
Air
Mencair
Menurun
Menurun/menghilang
Air
air
Mencair
Partipasi pemilu menurun
Tempat Menyimpan Surat
Partisipasi Pemilu
Partisipasi pemilu
Kotak suara
Kotak suara
Surat Suara
Pemilu
Kotak suara
Pena
Surat Suara
partisipasi pemilu yang menurun. Dalam sistem politik, secara logika sesuatu yang menurun adalah partisipasi. Pemaknaan tersebut juga terbantu dari judul artikel “Bahaya Departisipasi Publik” yang berfungsi sebagai anchorage atau kunci pengikat. Departispasi berarti penurunan tingkat partisipasi. Dalam contoh karya tersebut kekuatan bahasa pengungkapan metafora terletak pada kemampuannya secara grafis bukan pada bahasa teks verbal. Metonimia Metonimia ditandai hubungan yang sifatnya indeksial. Obyek yang hadir secara visual atau yang dapat dilihat (signifier) tidak mengacu signified dari tanda tersebut. Justru ingin menghadirkan obyek lainnya yaitu obyek yang tidak hadir. Terjadi demikian karena obyek yang tidak hadir memiliki hubungan eksistensial yang keberadaannya selalu merupakan akibat atau sebab dari obyek yang hadir.
Konsep metonimia tersebut dapat dilihat pada karya JJN20 (Gambar 3) yang mengilustrasikan artikel “Menguji Sistem Pemilu DPD”. Isi artkel adalah masih banyaknya aturan-aturan sistem pencalonan anggota DPD yang belum fix dilihat dari berbagai sudut pandang. Untuk merepresentasikan tema tersebut ilustrator sengaja memilih buku sebagai petanda undang– undang karena secara ikonis memang mirip dengan bentuk kitab atau undang-undang. Untuk memperoleh makna pemilu sekaligus maka buku tersebut disusun menyerupai kotak suara. Proses tanda tersebut bergerak dalam wilayah paradigmatik karena menyingkirkan bentuk atribut pemilu lainnya dalam pemilu seperti surat suara, pena, gambar pilihan, dan lain sebagainya. khirnya, terjadi proses pertukaran signified pemilu dari signifier kotak suara melekat pada signifier buku. Buku menjadi bermakna pemilu. Jika tingkat pertanda sampai hal tersebut maka ilustrasi tersebut masuk kategori majas metafora.
Vol. VI No. 1 Januari 2010
69
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
Namun apa yang diharapkan ilustrator tidak demikian. Tahapan metafora tersebut akhirnya dijadikan sebuah penanda baru. Untuk menggapai makna yang diinginkan maka buku sengaja disusun dalam keadaan yang rentan mau roboh. Pada posisi tersebut penanda diartikan ketahapan selanjutnya. Akhirnya, hubungan aktual atau sintagmatik yang mampu memberikan makna secara benar. Petanda tersebut sengaja tidak digambarkan. Yang digambarkan hanyalah semacam petunjuk melalui buku yang disusun seperti kotak suara mau roboh. Undangundang pemilu akan roboh adalah sesuatu yang eksistensial diharapkan oleh ilustrator tersebut sebagai akibat konsekuensi logis dari penataan demikian. Atau paling tidak, ketika ada orang yang sedang menyusun maka petandanya adalah ada orang yang akan menguji keberadaan keabsahan undangundang tersebut. Jadi pemaknaan terletak pada undangundang tersebut yang masih kacau dan rapuh untuk dibongkar atau direvisi. Hal tersebut didasarkan logika realitas, atau menggunakan
Buku
kode rasional. Persoalan undang-undang tersebut secara lebih khusus adalah undangundang pemilu atau keanggotaan DPD dikuatkan oleh keberadaan judul artikel tersebut . Sinekdok Karya JJL16 (Gambar 5) mengilustrasikan artikel “Sisi Nasionalis Natsir”, yang mengisahkan perdana menteri yang lebih mengutamakan kepentingan nasional daripada ideologi keislamannya. Karya JJL16 adalah penggambaran ilustrasi dengan model sinekdok. Sinekdok adalah penggambaran sebagian untuk keseluruhan. Figur Muhammad Natsir hanya ditampilkan bagian pokok saja yaitu wajah kepala sebagai signifier untuk mewakili keseluruhan tubuh Muhammad Natsir sebagai signified. Secara sintagmatik, diketahui bahwa jika ada kepala manusia sebagai sebab berarti ada keseluruhan tubuhnya sebagai akibat. Ada hubungan eksistensial yang harus dilanjutkan. Logika secara eksistensial Natsir adalah seorang manusia yang memiliki badan secara utuh dan tidak hanya terdiri dari kepala
Buku Ditumpuk horizontal & Vertikal
Undang-undang
Nota
Kitab suci
mudah roboh Eksistensial
Undang-undang pemilu yang masih lemah
Disusun seperti kotak suara
Pemilu
pemilu
Buku
Buku
Kotak suara
Pemilu
Alat Coblos
Papan Kotak Tabulasi
suara
Skema Proses Metonimia Karya JJN20
70
Vol. VI No. 1 Januari 2010
Kotak suara
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
saja. Berdasarkan logika tersebutlah signified bukan kepala Natsir saja tetapi seorang Natsir sebagai manusia yang utuh. Selektifitas ikonik wajah oleh ilustrator karena wajah dianggap bagian fisik manusia yang paling vital berperan untuk mendiferensiasikan antarorang atau tokoh. Signifikansi terjadi pada tataran tingkat dua. Signifikansi pertama adalah denotatif yang bermakna ikon kepala Natsir. Dari tanda ikonis tersebut bergerak ke wilayah indeksikal, belum masuk ke wilayah paradigmatik. Ditunjang judul artikel “ Sisi Nasionalis Natsir” maka dengan mudah pembaca dapat mengartikulasikannya. Foto tersebut adalah sebagai petunjuk seorang Natsir. Berikut ini adalah skema proses terbentuknya sinekdok pada karya JJL16. Apabila diamati, maka cara pengambilan subjek sebagai signifier tersebut masih menampilkan adanya unsur signifier yang sama dan masih mengacu pada signified pada tanda masing-masing. Jadi masih dalam satu struktur bukan sistem tanda yang lain. Ironi Karya TJL1 (Gambar 7) yang mengilustrasikan artikel “Membangun Polisi Masa Depan” dengan penulis Satjipto Rahardjo adalah contoh cara visualisasi secara ironi. Isi artikel adalah reformasi harus melahirkan polisi yang bercitra mengayomi rakyat adalah konteks yang ingin diacu karya TJL 1 dengan tidak memprioritaskan tindakan represif. Kumpulan tanda atau objek dalam ilustrasi tidak pernah menunjukkan makna secara denotasi atau langsung. Penanda terdiri cemeti yang ujungnya berbintang lima. Ilustrator ingin menyajikan realitas yang justru bertentangan dengan apa yang digambarkan. Cemeti merupakan petanda tindakan kekerasan. Namun, karena ujungnya terdapat bintang maka bintang tersebut bermakna ganda. Pertama, petanda polisi.
Kedua, petanda pelayanan terbaik. Dengan demikian, jika digabungkan dan dihubungkan secara paradigmatik maka dapat diartikan bahwa polisi harus melakukan tindakan kekerasan secara ekstrem atau sangat keras. Akan tetapi lebih tepat untuk memahaminya secara sintagmatik. Dengan demikian petanda akhirnya adalah polisi tidak seharusnya melakukan tindakan kekerasan secara berlebihan akan tetapi justru haruslah mengedepankan tindakan persuasif. Bintang adalah signifer yang membuat cemeti tidak mungkin bermakna kekerasan akan tetapi berbalik arah menjadi tindakan persuasif. Kemunculan petanda tersebut karena signifer direlasikan dengan hukum kelanjutan atau eksistensi realitas yang menyatkan bahwa cara kekerasan tidak pernah disukai oleh masyarakat. Berdasarkan kajian dari 35 karya sampel ilustrasi editorial Kompas, menunjukkan bahwa penggunaan hubungan tanda secara paradigmatik lebih dominan dibandingkan sintagmatik. Dibuktikan dengan jumlah paradigmatik 60 %, sedangkan sintagmatik total 23 %, sintagmatik sebagian 11 %, dan sintagmatik oposisi 6 %. Penutup Ilustrasi editorial harian Kompas sebagai bahasa rupa memiliki karakteristik yang hampir sama dengan bahasa verbal dalam majas perumpamaanya. Ilustrasi editorial harian Kompas juga menggunakan bahasa rupa dalam varian metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi. Majas bekerja melalui hubungan antartanda secara paradigmatik dan sintagmatik dengan tingkat pertandaan yang bervariasi. Proses metafora lebih menekankan hubungan signifier dan signified secara paradigmatik, metonimia bekerja dalam hubungan signifier dan signified secara
Vol. VI No. 1 Januari 2010
71
Ruswondho
Gaya Bahasa Perumpamaan pada Ilustrasi Editorial Harian Kompas: Sebuah Studi Kasus
sintagmatik total, sinekdok lebih menekankan hubungan signifier dan signified secara sintagmatik sebagian, dan ironi adalah sebuah hubungan signifier dan signified melalui sintagmatik oposisi. Hubungan penanda dan petanda semakin jelas dengan menggunakan konteks artikel atau judulnya yang berfungsi sebagai anchorage. Ilustrasi harian Kompas lebih banyak menggunakan metafora dan metonimia. Sinekdok dan ironi adalah yang paling sedikit digunakan. Penggunaannya untuk memperoleh efek-efek lebih dramatis
72
sehingga lebih estetis. Saran yang dapat diberikan bagi para mahasiswa seni rupa sebagai calon ilustrator, pelukis, atau desainer agar dapat menggunakan model metafora, metonimia, sinekdok, dan ironi untuk menghasilkan karya yang kreatif dan konseptual. Bagi para pendidik, dengan mengetahui proses konstruksi gaya varian majas tersebut maka dapat digunakan sebagai bekal teoretis atau model pengajaran dalam mata kuliah berkarya.
Vol. VI No. 1 Januari 2010