PENDAHULUAN
Kalimantan memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Bahkan, sudah menjadi kelaziman saat menyebut Borneo (Kalimantan), orang-orang di seluruh dunia cenderung mengasosiasikannya dengan hutan. Kedudukan Kalimantan di mata dunia pun pernah begitu terhormat, dinobatkan sebagai paru-paru dunia hanya karena Allah Yang Maha Kuasa menganugerahi pulau ini dengan hutan yang menutupi hampir seluruh daratannya. Maka ketika Kalimantan kehilangan 40% hutannya, seluruh dunia pun menjadi geram dan panik. Deforestasi hutan Kalimantan pada akhirnya jelas memberikan implikasi yang bersifat global. Kemudian, banyak pihak mulai membicarakan cara menyelamatkan hutan Kalimantan, baik orang perorang, komunitas-komunitas, organisasi non pemerintah dan pemerintah itu sendiri. Kebijakan pun dibuat, aturan ditetapkan, namun laju deforestasi tak menunjukkan tanda-tanda melambat. Berdasarkan prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektar, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektar pertahun atau 2,16%. Sementara Provinsi Kalimantan Selatan, memiliki laju kerusakan paling cepat dibanding provinsi lain, meski luasnya relatif kecil. Tercatat seluas 66,3 ribu hektar hutan musnah pertahun dari total luas wilayah hutan sekitar 3 juta hektar, (Anonim. http://www.profauna.net/id/kampanye-hutan/hutan-kalimantan/tentang-hutankalimantan#.VObCpY6ZHIU, diakses 15 januari 2015) Namun, yang cukup ironis di antara hal tersebut adalah, sikap penghuni pulau Kalimantan sendiri. Puluhan juta penduduknya, tak memiliki cukup kepedulian, bahkan saat ancaman akibat negatif deforestasi itu sudah mereka rasakan. Banjir, misalnya, yang tiap tahunnya datang dengan skala yang lebih besar, tak menyurutkan niat penduduk untuk tetap membangun rumah di tanah rawa dengan mengurug tanah. Banjir, yang puluhan tahun silam hampir tak pernah terjadi dalam skala masif, kini terjadi tiap tahun karena lahan hutan sebagai daerah resapan air kini telah gundul. Di lain pihak, pemerintah daerah yang memerintah di beberapa wilayah di Kalimantan, justru menjadi bagian dari ketidakpedulian tersebut. Lebih jauh lagi, malah menjadi pihak yang memperparah kerusakan hutan. Di Kalimantan Selatan misalnya, Perda Reklamasi Pasca Tambang atau Perda Kebakaran Hutan hanya bersifat normatif. Tidak pernah mendapatkan realisasi yang sesuai harapan di lapangan.
Meski begitu, di tengah ketidakpedulian yang ditunjukkan mayoritas manusia penghuni pulau Kalimantan, tak dapat dipungkiri, masih cukup banyak pihak yang benarbenar peduli. Baik itu kepedulian yang dicurahkan secara parsial dan sementara waktu oleh orang perorang atau komunitas, maupun yang dilakukan secara terfokus, terorganisir dan bersifat permanen seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada penyelamatan lingkungan atau komunitas sejenis. Kepedulian yang cukup efektif untuk membangkitkan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan hutan kalimantan yang sekarang tak seberapa banyak lagi ini. Selain kampanye untuk membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat, khususnya masyarakat Kalimantan, terhadap kondisi hutan Kalimantan, di mana dengan bangkitnya kesadaran ini maka usaha lebih masif terkait penyelamatan (sisa) hutan diharapkan dapat terlaksana, bentuk kepedulian lain yang diupayakan adalah usaha mengkritisi pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kerusakan hutan. Upaya mengkritisi ini dilaksanakan, baik dalam level cukup moderat seperti opini di media, hingga perjuangan melawan pihak-pihak yang merusak hutan melalui jalur hukum. Termasuk usaha mengkritisi ini, di kalimantan Selatan, telah terbit satu kumpulan puisi yang secara khusus mengangkat tema lingkungan. Dan dengan mudah didapatkan di dalamnya puisi-puisi yang berbicara tentang hutan, sebagai refleksi dari lingkungan yang mengelilingi Kalimantan Selatan. Dengan lebih khusus pula, ada beberapa puisi yang dengan cukup jelas melancarkan kritik terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab atas kerusakan hutan. Kumpulan puisi ini diberi judul ‘Konser Kecemasan’, dieditori oleh Micky Hidayat, merupakan salah satu penyair yang puisinya terdapat dalam kumpulan puisi tersebut. Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Selatan, pada April 2010. Buku kumpulan puisi ini berisi 100 puisi dari 53 penyair. Seorang penyair memuat 13 buah puisi. Rentang pembuatan puisi-puisi dalam buku ini dapat dilacak dari sejumlah puisi yang mencantumkan tanggal pembuatan puisi. Pemakalah menemukan puisi yang ditulis pada tahun 1974 oleh Sahdi Anak Hamid, dan rentang paling baru adalah puisi-puisi yang ditulis tahun 2007. Makalah ini, secara singkat, akan membicarakan sejumlah puisi di dalam buku kumpulan puisi tersebut. Bagaimana penggambaran kerusakan hutan Kalimantan di dalam
puisi tersebut. Lebih jauh, makalah ini juga akan menganalisis struktur dan kondisi sosial yang berperan dalam produksi teks puisi tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA Ekologi, sebagai sebuah gerakan ideologis, telah muncul pada abad ke-19 sebagai antitesis dari Revolusi Industri yang menimbulkan impikasi lingkungan yang luas. Para kritikus era Victorian di Inggris saat itu misalnya, telah mengontraskan kawasan pedesaan yang hijau dan natural dengan kawasan perkotaan yang jorok dan terungkung polusi. Namun, sebagai sebuah kekuatan politik yang menjadi pihak oposisi terhadap kekuatan politik dominan yang hari ini telah secara sistematis mendukung aktivitas kaum kapitalis, Gerakan Ekologi mulai mendapatkan kekuatannya pada pertengahan abad ke-20. Meski konsep Ekologi terkait ilmu Biologi tentang bagaimana makhluk hidup berinteraksi dan hidup bersama dalam suatu lingkungan, namun gerakan Ekologi bukan gerakan para ahli Biologi. Gerakan Ekologi adalah gerakan orang-orang yang menganggap ide ekologi memiliki implikasi sosial dan politik yang besar terhadap cara manusia hidup dan berpikir. Gerakan ini secara politis dimulai dengan kelompok-kelompok kecil dan partai-partai lokal di beberapa negara. Partai politik nasional yang pertama, yang bernama ‘Values Party’ dibentuk di Selandia Baru tahun 1972. Partai Hijau Inggris dibentuk pada tahun berikutnya. Di Inggris, partai ini pada awalnya bernama ‘PEOPLE’, yang kemudian berganti nama menjadi ‘Ecological Party’ dan akhirnya tahun 1985 berubah menjadi ‘Green Party’. (Adams, terj. Noerzaman, hal. 410) Adalah para Ekolog Jerman yang mulai menyebut diri mereka dengan nama ‘Kelompok Hijau’ (Die Grunen) dan nama ini sekarang hampir diterima secara umum. Gerakan Hijau sekarang telah menyebar ke seluruh dunia, di mana hampir semua negara memiliki partai Hijau. Yang peling berhasil secara politik (dalam pengertian sempit menang dalam pemilu) adalah Hijau jerman. Meskipun baru didirikan tahun 1981, partai ini telah memukau komunitas Eropa tahun 1983 dengan memenangkan 28 kursi di Bundestag maupun memegang kursi di banyak wilayah dan majelis lokal. Maka partai ini menjadi kekuatan besar di Jerman, bangsa Eropa yang paling kuat ekonominya dalam waktu singkat. Partai Hijau Jerman memperoleh 8,3% suara dan 42 kursi dalam pemilu tahun 1987. (Adams, terj. Noerzaman, hal. 410) Meski belakangan gerakan politik Ekologi dengan Partai Hijau tidak ada yang benarbenar secara signifikan sangat berpengaruh dalam politik suatu negara, namun mereka tetap merupakan gerakan yang secara politis memiliki pengaruh. Adalah salah bila mengatakan partai Hijau merupakan faktor besar dalam politik dunia, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa
gerakan Ekologi secara keseluruhan, termasuk ‘sayap’ politik mereka, telah menempatkan lingkungan secara tetap di dalam agenda politik dunia. Lebih jauh, ternyata gerakan Ekologi juga menyentuh bidang-bidang lain yang diperlukan, memasukkan agenda lingkungan dalam tiap bidang itu. Penyesuaian dilakukan, hingga akhirnya Ekologi sendiri menjadi suatu yang bersifat interdisiplin. Sastra, termasuk bidang di mana Ekologi menjadi sebuah pendekatan dalam memahami teks-teks sastra. Tentunya, pendekatan ekologi dalam memahami teks sastra bertujuan agar pemaknaan terhadap teks-teks sastra bisa memperhatikan kearifan ekologis dan tujuan perjuangan gerakan ekologi itu sendiri. Terkait sastra dan ekologi, muncullah apa yang disebut sebagai Ekokritisisme (Ecocritism). Secara sederhana, Ekokritisisme (Ecocritism) dipahami sebagai study of literature and environment from an interdisciplinary point of view where literature scholars analyze the environment and brainstorm possible solutions for the correction of the contemporary environmental situation and examine the various ways literature treats the subject of nature, (Wikipedia, http://en.wikipedia.org/wiki/Ecocriticism diakses 15 Januari 2015) dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Ekokritisisme adalah studi sastra dan Emkologi sebagai sebuah interdisiplin ilmu yang memungkinkan kita untuk menganalisis lingkungan dan mencari solusi dari persoalan ekologi dalam konteks kesusastraan. Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakan-gerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (pollution), hutan belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan/tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth), (Mu’in, https://fatchulfkip.wordpress.com/ diakses 15 Januari 2015).
Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Dalam Analisis Wacana Kritis, teks yang dianalisis tidak cuma dilihat sebagai teks otonom yang berdiri sendiri lepas dari hal ihwal di luar teks. Namun lebih jauh, proses produksi teks dianggap sebagai proses dialektis antara teks dengan situasi, institusi maupun struktur sosial di mana teks tersebut diproduksi. Teun Van Dijk, seorang ilmuwan bahasa yang mengkhususkan diri pada analisis wacana, khususnya pada apa yang disebutnya sebagai studi wacana kritis –dengan cakupan yang lebih komprehensif daripada analisis wacana kritis. Dalam studinya ini, Van Dijk merumuskan apa yang disebutnya sebagai Segitiga Wacana – Pengetahuan – Kondisi Sosial
(Discourse Cognition Society Triangle). Menurut Van Dijk pengetahuan yang dimiliki seseorang takkan lepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Kognisi (pengetahuan), menurut Van Dijk, mengacu tidak hanya pada apa yang dimiliki individu secara personal namun juga individu dalam masyarakatnya. Kognisi menurut Van Dijk adalah, 1. Pemikiran (mind): adalah, sebagai contoh, fungsi utama dari otak manusia 2. Pengetahuan (cognition): sejumlah fungsi pemikiran seperti akal, persepsi dan representasi 3. Ingatan (memory): memori jangka pendek dan memori jangka panjang 4. Episodik (episodic): ingatan personal dan ingatan sosiokultural, semantik 5. Model Mental Semantik (Semantic Mental Models): representasi subjektif dari kejadian dan pengamatan atas situasi, mengacu pada wacana (teks atau lisan) 6. Tujuan-tujuan (Goals): model mental yang disadari dengan aksi 7. Model Konteks Pragmatik (Pragmatic Context Models): model mental spesifik dari representasi subjektif dari situasi komunikasi yang relevan, mengontrol proses wacana, dan mengadaptasi wacana ke dalam lingkungan sosial sehingga terlihat wajar. 8. Pengetahuan (knowledge) dan perangkatnya: bagian kepercayaan sosiokultural yang dijamin oleh kriteria atau standar pengetahuan masyarakat 9. Ideologi (ideology): bagian fundamental dan kepercayaan aksiomatik dari grup sosial khusus (sosialisme, neoliberalisme, feminisme, antirasisme, fasisme, dan lainnya) 10. Sikap (attitudes): sebagai bagian dari sosial, secara ideologis berdasarkan opini (kepercayaan normatif) tentang isu sosial yang khusus yang diperdebatkan atau diperjuangkan (aborsi, perceraian, eutanasia, imigran, dan lainnya) Proses Kognitif (cognitive process): seperti produksi dan pemahaman tentang wacana/ interaksi pada model mental khusus, dikontrol oleh model konteks dan berdasarkan pengetahuan dan ideologi, (VanDijk, http://www.discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20studies.pdf akses 15 Januari 2015) Dari 10 cakupan di atas, dapat kita pahami bahwa, kognisi yang dimiliki individu juga tak lepas dari pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain yang ada di lingkungannya. Bahwa ternyata, lingkungan juga membentuk pengetahuan yang dimiliki oleh individu.
Lebih lanjut Van Dijk mengatakan, We have argued that, within our sociocognitive approach, the role of context in the production and understanding of discourse is fundamental. Since knowledge is part of the context, each level of discourse structure depends on the knowledge of the participants, as explained above. In this section we analyse how the structures of discourse are controlled by the knowledge of the language users, (Van Dijk, http://www.discourses.org/OldArticles/Discourse%20and%20Knowledge.pdf akses 15 Januari 2015). Menurut Van Dijk, konteks dalam memproduksi dan memahami wacana sangat fundamental. Semenjak pengetahuan merupakan bagian dari konteks, tiap level struktur wacana bergantung pada pengetahuan partisipannya. Hingga dapatlah dianalisis bagaimana struktur wacana dikontrol oleh pengetahuan pengguna bahasanya. Analisis model Van Dijk meneliti teks dalam tiga dimensi. Dimensi teks, kognisi sosial dan analisis sosial. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur teks. Pada teks puisi, maka yang akan diteliti adalah diksi dan metafor yang digunakan, untuk menjelaskan dan memaknai teks tersebut. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/ kelompok pembuat teks. Sedangkan analisis sosial melihat bagaimana teks dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana (Eriyanto, 2005: 225)
PEMBAHASAN Di dalam buku kumpulan puisi Konser Kecemasan, terdapat 100 puisi dari sejumlah penyair (daftar terlampir), sedangkan puisi yang khusus membicarakan tentang hutan berjumlah 54 puisi. Di antara 54 puisi tersebut, puisi yang khusus membicarakan tentang hutan pegunungan Meratus yang memang terdapat di Kalimantan Selatan, berjumlah 27 puisi, sedangkan yang membicarakan hutan secara umum berjumlah 27 puisi. Makalah ini sendiri akan fokus untuk menganalisis 54 puisi yang khusus mengangkat tema tentang hutan dengan hanya menghadirkan cuplikan puisi untuk kepentingan analisis. Karena keterbatasan ruang, 54 puisi tersebut tidak dilampirkan secara utuh. Dalam bagian pembahasan ini, akan diuraikan tentang diksi dan metafor yang dipilih para penyair di dalam mendeskripsikan hutan. Selanjutnya akan dianalisis secara umum kondisi sosiokognitif
para penyair saat membuat puisi-puisi tersebut. Uraian tentang
sosiokognitif para penyair diharapkan pada akhirnya akan turut menjelaskan struktur sosial bahkan ideologis masyarakat Kalimantan Selatan khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya terkait pandangan yang menyeluruh tentang hutan. A. Teks Pada teks sastra, diksi maupun rangkaiannya yang dipilih penyair menjadi sangat penting karena struktur dalamnya yang padat makna. Satu kata bisa memiliki makna yang melampaui kata tersebut. 54 puisi yang secara khusus membicarakan hutan, menyertakan sejumlah diksi yang membangun deskripsi tentang hutan yang cukup representatif. Sejumlah diksi adalah material yang merupakan bagian dari hutan. Diksi yang digunakan untuk menggambarkan hutan, meski ditulis oleh penyair berbeda dengan waktu penciptaan puisi yang juga bervariasi, beberapa di antaranya ternyata sama. Ada beberapa kosakata yang dipakai dalam sejumlah puisi yang berbeda misalnya: rimba, tanah, pohon, dan daun. Meski diksi yang digunakan sama namun konteks pemakaiannya bergantung pada maksud penyair, bernada positif atau negatif. Namun, jika melihat keseluruhan puisi, kata-kata tersebut cenderung digunakan untuk memberikan gambaran negatif. Kita bisa melihatnya dari sejumlah kutipan puisi berikut, 1. Rimba ...
canda fauna di rimba belantara ikan yang berenang di kolam rasa geliat buaya di rawa penantian masa ... (Prasasti Kehancuran Alam, A Rahman Al Hakim, hal. 3)
... dan siapa yang menjadikan suka atas kesengsaraan ini, jeritan yang dikirim angin kemari ke rimba-rimba yang terusir ... (Requiem Meratus, Ajamuddin Tifani, hal. 21) Pada kutipan pertama, rimba menjadi bagian dari kosakata yang menjelaskan tentang harmoni kehidupan hutan, sedangkan pada puisi kedua, rimba merepresentasikan sebuah tempat di mana kesengsaraan bermukim. Namun, didapati, kata rimba, lebih sering digunakan untuk deskripsi yang bersifat negatif. Hal itu bisa dilihat dari kutipan puisi berikut, … bayang-bayang petaka pun lampus terbenam di selangkang rimba dan pada dingin lumut di tebing-tebing andesit … (Lembah Meratus, Maman S. Tawie, hal. 108)
Di lembah dan gunung-gunung Yang kehilangan denyut rimba Entah, apakah Tuhan tengah marah? … (Pagi yang Menangis, Rahmatiah, hal. 136)
2. Tanah
hutan-hutan tiada
huma-huma tiada tanah-tanah rekah mengalirkan nanah ... (Konser Kecemasan, Burhanuddin Soebely, hal. 48-49) … Ketika pohon terakhir telah kering Ketika hutan itu telah lenyap dan air pun sirna Tanah mengering dan menjadi debu … (Meratus, Lisa Yuliani, hal. 107)
Tidak ada lagi pohon yang dipeluk tidak ada lagi bunga yang dicium hanya tinggal tanah yang retak di musim panas dan bencana banjir di musim hujan (Hutan, M. Syarkawie Mar’ie, hal. 125) Dalam tiga puisi di atas, kata tanah digunakan untuk menggambarkan hutan secara negatif. Memberikan deskripsi, betapa mengenaskannya kondisi hutan dengan tanahnya yang kering, retak, rekah. 3. Pohon ... demam dahulu panasnya kemudian setelah itu hutan hutan kebakaran pohon-pohon kehilangan daunan tumpah harapan Ritus meratus kembali merajut kenangan pada hutan yang kehilangan biji-bijian ... (Ritus Meratus, Hardiansyah Asmail, hal. 86)
... Kabut asap liar menggumpal dan menari-nari Batu-batu merintih
Pohon dan satwa pun bersedih
(Reportase dari Kaki Pergunungan Meratus, Micky Hidayat, hal. 114)
Kidung apa lagi yang kau tembangkan hutanku, Ketika berpuluh gergaji mengusik rimbunan Pohon dari barisan hutan larangan
(Nyanyian Hutan Larangan, Roeck Syamsuri Saberi, hal. 139)
Kata pohon dalam kutipan tiga puisi di atas digunakan untuk menegaskan kerusakan yang telah dialami hutan. Pohon yang merupakan elemen mendasar dari hutan digambarkan sebagai sesuatu yang terusik, bersedih dan lebih jauh, hilang. Dalam sejumlah puisi lainnya, pohon digambarkan tak jauh berbeda dari gambaran tiga puisi di atas. 4. Daun
salam pada meratus, yang menyimpan riwayat perjalanan dan burung-burung yang tertindas, yang sayapnya patah di sana-sini; nafas perih pada laskar, masih berdesir di dedaunan yang berjaga di empat sudut alam prasangka; makanya, jangan curangi tanah meratus yang segera (adalah cepat membakar kapas, ini lebih dari itu)
(Madah Meratus, Ajamuddin Tifani, hal. 23)
mengibas cahaya matahari yang tembus di daun pecah Batang-batang pohon besar-besar Bercacar. Tegap kukuh bagai menyumbat langit bakal runtuh
(Hutan, D. Zauhidhie, hal. 58)
Airmatamu turun di ujung daun
Ranting dan batang pohon Membanjiri akar tunjang Humus dan tanah rawa ... (Air Mata Rimba, Y.S. Agus Suseno, hal. 165) Kosakata lainnya yang juga sering muncul adalah daun. Serupa dengan tiga kata sebelumnya, kata daun pun digunakan untuk menguatkan gambaran negatif tentang kondisi hutan dalam puisi-puisi tersebut. Selain tiga kata di atas, ada satu lagi kata yang sering muncul dalam sejumlah puisi dalam kumpulan puisi ini yaitu kata ‘batubara’. Batubara jelas bukan hiponim hutan, tidak seperti rimba, pohon atau daun. Namun, dalam konteks hutan Kalimantan, batubara sangat erat kaitannya dengan hutan Kalimantan. Ia adalah materi yang mengisi tempattempat di dalam tanah di mana hutan Kalimantan tegak berdiri. Ia adalah materi yang menarik begitu banyak perhatian. Karena bernilai tinggi, ia dikeluarkan dari dalam tanah, dalam praktiknya, dengan cara-cara yang menyebabkan kerusakan tanah yang ada di permukaannya. Karena hal yang diakibatkan keberadaannya, batubara cenderung mendapatkan kesan negatif. Hal ini juga tercermin dari puisi-puisi berikut, … Dan janganlah dangsanak bikin Pertambangan batubara di tanah banyu etam Karena dangsanak menciptakan wabah bumburaya Yang bertaring babi hutan Yang mengaduk ladang kehidupan etam Yang membongkar kubur kehidupan etam … (Etam Sayang Gunung, Arsyad Indradi, hal. 37) … Jangan tinggalkan meratus, Cuma setangkup jantung kita Ketika semua jatuh hati tergoda batubara Meratus rumah kita, jendela dan air mata rumah balai …
(Meratus Rumah Kita, Eza Thabry Husano, hal. 70)
Gunung-gunung pergi jauh bersama barisan panjang truk malam segelap batu bara
(Gunung-gunung Pergi Jauh, Hajriansyah, hal. 75)
Sebagai bentuk representasi, akhirnya, dapat disimpulkan bahwa keempat kata yang sering digunakan dalam berbagai puisi di kumpulan puisi ini menjadi bagian uuntuk mendeskripsikan hutan Kalimantan Selatan hari ini yang kondisinya memprihatinkan. Dalam menggambarkan hutan Kalimantan Selatan, khususnya hutan pegunungan Meratus, dari 54 puisi, hampir semua bernada negatif, penuh kesedihan dan kepesimisan. Sebagai sebuah pola, secara umum, hutan akan digambarkan dengan cukup puitis untuk kemudian diceritakan kondisi terakhirnya, yang berada di ambang kerusakan dan kehancuran, baik oleh penebangan hutan ilegal, penambangan batubara, dan bencana lainnya. Hal ini seperti nostalgia pada keindahan hutan yang sudah tak lagi ada, berganti kenyataan hari ini bahwa hutan Kalimantan Selatan di ambang kehancurannya. Dalam tiap puisi tentang hutan di buku kumpulan puisi ini, terkandung keresahan yang sama, keluhan yang sama, tentang kondisi hutan yang memprihatinkan. Kita dapat melihatnya dari kutipan berikut,
Lalu datang tahun-tahun yang menghumbalangkanmu gelegar gigir cakar keserakahan mencerabuti akar pijakmu ada sungai yang meluapkan air mata membanjiri tiap-tiap hati, tiap-tiap dada
(Kayu-kayuku Hutan-hutanku, Adjim Arijadi, hal. 12)
Lalu tanah-tanah, hutan-hutan, gunung-gunung, lembah dan sungai-sungainya sudah habis diangkut ke atas sana Propaganda kemakmuran itu terus saja dan tak pernah berhenti sampai kini
(Warisan yang tersisa, Bakhtiar Sanderta, hal. 44)
Kita menyaksikan dunia kecil paru-paru dunia dihapuskan dari peta dunia kita pun melawannya karena kita sedang dipersiapkan dalam sebuah kubangan padang ketiadaan kuburan peradaban
(Meratus Berduka, Eko Suryadi, WS, hal. 61)
Bukankah semua hutan Telah dipenuhi bibit air mata Yang ditanam Bengis ekskavator gila
(Ke mana Harus Kami Tanam, Isuur Loeweng, hal. 99)
Dada kami, bumi ini telah lama dicabik-cabik Bukit dan gunung-gunung kami digunduli Hutan-hutan kami ditebangi Sungai-sungai kami dicemari
(Siapakah Lagi yang Peduli, Roestam Effendi Karel, hal. 141) B. Kognisi Sosial 54 puisi bertemakan hutan dalam kumpulan puisi Konser Kecemasan, ditulis dalam kurun waktu antara tahun 1974 sampai 2007. Meski mencapai lebih dari 30 tahun, namun persoalan yang dikemukakan masih sama: kerusakan hutan akibat tambang, penebangan ilegal, dan bencana lainnya. Hal itu membuktikan bahwa eksploitasi hutan sendiri sudah berlangsung selama kurun waktu tersebut. Ketika penyair Kalimantan Selatan mendapatkan inspirasi untuk menulis puisi tentang hutan, maka persoalan yang sama juga ada di sana.
Selama lebih dari 30 tahun, hutan Kalimantan Selatan hanya dijadikan arena kerukan. Di era Orde Baru, kayu-kayu di hutan kalimantan Selatan dieksploitasi sedemikian rupa hingga akhirnya sekarang justru mengalami krisis kayu. Hingga 1995/1996, ada 11 buah izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan pemerintah sebegai akses pihak tertentu mengeksploitasi habis-habisan kayu di hutan Kalimantan Selatan, (Anonim, Jatam, 2010) Di awal tahun 2000-an, perkebunan kelapa sawit mulai marak. Cadangan luas lahan yang bisa dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 955.085 hektar, tersebar di 8 kabupaten. Hingga 2004 telah dikembangkan sebesar 318.551 hektar yang telah meringsek ke kawasan hutan. Tercatat, 431. 125,47 hektar kawasan hutan dipakai sektor perkebunan kelapa sawit. Itu termasuk 6.219,67 hektar kawasan Suaka Alam dan 5.385,67 hektar kawasan hutan lindung. Tentu saja termasuk hutan pegunungan Meratus. (Anonim, Jatam, 2010) Saat ini, hutan Kalimantan Selatan terancam oleh penambangan batubara. Kalimantan Selatan sendiri saat ini adalah provinsi kedua produsen batubara terbesar di Indonesia, setelah Kalimantan Timur. Hingga tahun 2008, terdapat 280 perusahaan pemegang izin KP (Kuasa Pertambangan) di kawasan hutan dengan konsesi seluas t553.812 hektar. Ini belum termasuk KP yang masih dalam proses pinjam pakai kawasan hutan (terdapat 97 perusahaan). (Anonim, Jatam, 2010) Eksploitasi hutan secara terus-menerus dalam berbagai bentuk telah menjadi pengetahuan di dalam pikiran para penyair, yang menjadi dasar dalam memandu puisipuisi mereka tentang hutan Kalimantan Selatan. Hingga puisi-puisi yang lahir akan cenderung mengungkit masalah kondisi hutan yang kritis, meski diawali dengan gambaran ideal hutan Kalimantan yang dulu pernah begitu disanjung sebagai paru-paru dunia. Hal ini adalah pengetahuan sosiokultural yang mengikut pada pikiran para penyair. Pemahaman bahwa dikenang seindah apapun, pada akhirnya kenyataan yang harus dihadapi adalah ancaman kehilangan hutan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pengetahuan umum tentang betapa cepatnya hutan habis dari hari ke hari adalah pengetahuan yang menjadi pemahaman bersama masyarakat Kalimantan Selatan sendiri, termasuk di dalamnya para penyair.
Sudah menjadi pengetahuan bersama pula, bahwa penduduk pulau Kalimantan ini setiap harinya berada dalam ketakutan yang sama, hutan yang habis, hilang, hutan yang tak lagi ada, 10-20 tahun ke depan. Dan sebuah paradoks pula, bahkan dengan pengetahuan itu, masyarakat tak mampu –atau mau- berbuat lebih banyak untuk menyelamatkan sisa hutan mereka. Hal lainnya, 54 puisi yang membicarakan tentang hutan ini mendeskripsikan tentang kerusakan dan keadaan kritis hutan, hanya ada beberapa puisi yang membicarakan tentang siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan tersebut. Dalam puisi-puisi tersebut pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab itu disebut dengan ‘kau’ atau ‘mereka’. Dalam posisinya sebagai teks sastra, khususnya puisi yang strukturnya padat makna, pilihan kata ‘kau/ dia/ dangsanak’ atau ‘mereka/ tuan-tuan’ sesungguhnya memberi ruang interpretasi yang terlampau luas bagi para pembaca untuk bisa menduga-duga. Meskipun begitu, ‘kau’ dan ‘mereka’ ini tak lepas dari struktur pengetahuan yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat itu sendiri. Para pembaca mungkin bisa dengan mudah menduga-duga, siapakah ‘kau’ dan ‘mereka’ ini. Sesungguhnya, dengan pengetahuan bersama yang dimiliki masyarakat, para pembaca bahkan sudah mengetahui siapa ‘kau’ dan ‘mereka’ ini. Kita bisa melihat ‘kau’ dan ‘mereka’ ini dalam kutipan berikut, Yulan ya lalalin Hutan beratus tahun Dibabat habis Batubara dikikis Untuk kekayaan tuantuan Kami tercampak Ke lembah-lembah pengasingan Terusir ke padangpadang perburuan
(Dundang Duka Seribu Burung, Arsyad Indradi, hal. 40)
Apakah para pewaris cuma dia, cuma mereka, cuma orang-orang itu Ketika rakus dan tamak bersembunyi di balik panggung birokrasi Duh, lelahnya generasi-generasi didik supaya bisa digiring
Sambil mulut dibungkam, lalu Meratus pun digadaikan dan seisinya, seludesnya diangkut ke sana ... (Warisan yang Tersisa, Bakhtiar Sanderta, hal. 44)
Oo... mengapa kita tiba-tiba menjadi harimau di antara sesama Mengapa engkau tiba-tiba menjadi raksasa super rakus tak cukup memakan daun-daun malah menelan pohon-pohon tak kenyang oleh pohon-pohon malah bumi sendiri tempat berpijak kau gadaikan pada matahari lain ... (Meratus Berduka, Hardiansya Asmail, hal. 82) Para penyair yang menulis puisi-puisi ini jelas mengetahui siapa ‘kau’ dan ‘mereka’ yang dimaksud, meski begitu, para penyair ini menyerahkan penafsiran tersebut kepada para pembaca dengan asumsi, sebagai pengetahuan bersama, pembaca juga bisa dengan mudah memahami siapa kau dan mereka yang dimaksud. Namun, ada satu puisi yang dengan gamblang menyebutkan ‘mereka’ dengan ‘nama aslinya’. Adjim Arijadi dalam puisinya Balada Arutmin di Yaumil Akhir, menyebutkan Arutmin, yaitu satu dari tiga perusahaan tambang terbesar di Kalimantan Selatan selain Adaro dan Baramarta (Jatam, 2010: 15). Kita bisa melihat dari kutipan puisi tersebut, Arutmin oh Arutmin kau angkut pusaka karun nini datu turunan dikemas dipajang di pasaran seantero bumi North Pulau Laut Coal Terminal Keren dan Wangi semerbak cendana orang mati
(Balada Arutmin di Yaumil Akhir, Adjim Arijadi, hal.16-17)
Meski puisi ini tampak seperti anomali di antara keseluruhan puisi yang memanfaatkan pengetahuan bersama para pembaca dalam memahami siapa ‘aku’ dan
‘mereka’ yang menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam merusak hutan. Namun, puisi ini tak menepiskan pengetahuan bersama yang dimiliki para pembaca, hanya saja dengan lugas menyebutkan ‘nama asli’ membuat puisi ini memiliki nilai perlawanan yang lebih kuat daripada yang lain. Dengan menyebutkan ‘nama asli’, puisi ini mengkritik secara langsung dan terbuka salah satu perusahaan Kalimantan Selatan. C. Analisis Sosial Dari bahasan sebelumnya, muncullah pertanyaan, mengapa pengetahuan bersama yang dimiliki individu dan masyarakat tentang kondisi hutan Kalimantan Selatan dan siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan itu, tidak membawa masyarakat kita pada perlawanan yang lebih signifikan demi menjaga kelestarian hutan itu sendiri? Indonesia telah dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, mulai dari hasil laut, sungai, hutan, dan tambang. Segala kemudahan dalam mengakses sumber daya alam itulah yang di kemudian hari menciptakan kondisi psikologis yang membahayakan bangsa ini. Karena sumber daya alam berlimpah, masyarakat dan pengelola negara cenderung menganggap enteng pihak-pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Sikap ini pada akhirnya memudahkan para pendukung kapitalisme sekaligus sebagai pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan, untuk mengambil keuntungan. Ketika masyarakat tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi pada sumber daya alamnya yang dianggap selalu banyak dan selalu tersedia itu, maka para pendukung kapitalisme akan mendorong pemerintah sebagai pembuat regulasi yang memudahkan mereka mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, termasuk hutan. Di sinilah terjadi persekutuan antara para pengeksploitasi dengan ideologi kapitalisme yang berkeinginan besar untuk mengeruk sampai tiada bersisa sumber daya alam Indonesia termasuk hutannya, dengan pembuat regulasi yaitu pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Para pengeksploitasi itu pada akhirnya cenderung dibiarkan melakukan apa yang mereka mau. Tak ada hukum yang tegas untuk menindak mereka. Yang terjadi selanjutnya justru upaya untuk saling menguntungkan antara pembuat regulasi dan pengeksploitasi, tentunya tanpa melibatkan masyarakat. Kemudahan regulasi yang tidak diiringi kontrol dan pengawasan yang memadai menyebabkan eksploitasi itu dilakukan
dengan semena-mena. Sumber daya alam diperas sampai nyaris tak bersisa. Hingga saat sumber daya itu benar-benar nyaris habis, baru kita sebagai masyarakat akan panik. Maka, jawaban dari pertanyaan di atas pun akhirnya menyentuh persoalan yang sangat mendasar, bahwa mereka yang bertanggungjawab atas kerusakan hutan juga adalah mereka yang memiliki akses pada kekuasaan yang tak bisa dilawan begitu saja oleh masyarakat. Mereka adalah pemegang kuasa, sekali lagi, bukan secara represif namun secara struktural. ‘Mereka’ ini memiliki akses pada regulasi yang mengatur masyarakat, ‘mereka’ ini adalah pihak yang juga menafkahi sebagian rumah tangga di wilayah Kalimantan Selatan ini. ‘Mereka’ juga pihak yang secara ideologis mengendalikan masyarakat. Jika sudah seperti ini, maka perlawanan terbuka adalah hal sulit dilakukan. Hingga menulis puisi pun dirasa cukup dan memadai.
PENUTUP Simpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diksi dan pilihan kata yang dipakai para penyair dalam kumpulan puisi Konser Kecemasan, mendukung deskripsi para penyair tentang kondisi hutan Kalimantan Selatan yang dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini berada dalam kondisi memprihatinkan dan mendekati situasi kritis. Apa yang dituliskan oleh para penyair tentang kondisi hutan saat ini dalam puisi-puisi tersebut sebenarnya merupakan pengetahuan pengetahuan bersama yang juga dimiliki masyarakat Kalimantan Selatan tentang hutan. Pada dasarnya, masyarakat Kalimantan Selatan tahu bagaimana kondisi hutan hari ini sekaligus juga memiliki pengetahuan bersama tentang siapa yang menyebabkan kerusakan itu. Namun, dengan pengetahuan itu, tak serta merta muncul perlawanan yang sifatnya frontal. Hal ini disebabkan bahwa mereka yang bertanggungjawab atas kerusakan hutan juga adalah mereka yang memiliki akses pada kekuasaan yang tak bisa dilawan begitu saja oleh masyarakat. Saran Dari uraian makalah di atas dapat diketahui bahwa puisi adalah media yang representatif untuk memberikan kritik sosial sekaligus melakukan pembelaan (advokasi) terkait persoalan apa saja, termasuk masalah kerusakan hutan. Maka tradisi ini hendaknya terus berlanjut. Puisi bahkan bisa menjadi media penyadaran sekaligus media perlawanan yang efektif. Puisi bisa memosisikan dirinya sebagai wacana perlawanan dalam konteks pertarungan kekuasaan. Jika puisi bisa meyakinkan khalayak, bukan tak mungkin ia mengambil alih kekuasaan yang dewasa ini tidak lagi dalam bentuk hegemoni represif, namun lebih pada kontrol pada akses dalam memproduksi kebenaran.
LAMPIRAN
Daftar Penyair dan Puisinya pada Antologi Puisi Konser Kecemasan Nama Penyair A.Rahman Al Hakim
Puisi -
Musim Alam Terzholim Sang Waktu
-
Prasasti Kehancuran Alam
-
Tubuh Alam Tercabik
-
Negeri Asap dan Kini Aku adalah Lelakimu
-
Menunggu Hujan Tumpah dalam Puisiku
-
Kayu-kayuku Hutan-hutanku
-
Arus Barito
-
Balada Arutmin di Yaumil Akhir
Ahmad Fitiriadi F.
-
Lelaki
Ajamuddin Tifani
-
Requiem Meratus
-
Madah Meratus
-
Nyanyian Hutan
-
Sebamban-Batulicin
-
Di Mata Kita Ada Asap
-
Sebab Aku Bukan Orang Bukit
-
Dendam Hutan
Andi Jamaluddin AR.AK
-
Bagaimana Aku Bisa Membaca
Antung Kusairi
-
Kenapa Banjir Melanda
Aria Putrajaya
-
Hutan Kemarau
Arsyad Indradi
-
Etam Sayang Gunung
-
Dundang Duka Seribu Burung
-
Takafakur Memandang Waduk Riam Kanan
-
Meratus, Warisan yang Tersisa
-
Mantera Terakhir
-
Konser Kecemasan
-
Megatruh
Dwi Putri Ananda
-
Bumi Menggerutu
D.Zauhidie
-
Orang Gunung
-
Hutan
Abdurrahman El Husaini
Adjim Ariadi
Ali Syamsudin Arsi
Bakhtiar Sanderta
Burhanuddin Soebly
East Star From Asia
-
Sajak Orang Pedalaman
Eddy Wahyuddin, S.P.
-
Diorama Bukit Malaris
Eko Suryadi WS
-
Meratus Berduka
-
Pesta Sebuah Jalan Bebas Waktu
-
Sepanjang 46 Kilometer
-
Dendam Sungai
-
Stasiun Waktu Kilometer Lima Puluh Lima
-
Siklus
-
Turai Hunjuran Meratus
-
Meratus Rumah Kita
Fitriyani
-
Sajak di Atas Rakit
H.Muhammad
-
Sebatung Menangis
Hajriansyah
-
Gunung-gunung Pergi Jauh
-
Pekerjaan Memindah Gunung
-
Bumi Semakin Panas
-
Aku Menulis
-
Malam Malaris
-
Meratus Berduka
-
Cerita dari Hulu Sungai
-
Ritus Meratus
Harie Insani Putra
-
Kemusnahan Peradaban Bukit
Hijaz Yamani
-
Dalam Pesawat
-
Riwayat 1
-
Jembatan Asap
-
Meratus Bertutur
-
Perawanku Telah Pergi
-
Oh, Pedih Nian
-
Kemana Harus Kami Tanam
-
Ibu, Sebenarnya Hutan Ini Milik Siapa?
-
Surat dari Kota
-
Menangisi Airmatamu
Lisa Yuliani
-
Meratus
Maman S.Tawie
-
Di Lembah Meratus
Eza Thabry Husano
Hamami Adaby
Hardiansyah Asmail
Ibramsyah Amandit Imra’atu Jannah
Isuur Loeweng S
Jamal T.Suryanata
-
Dari Balunan ke Lembah Mantar
-
Hutan di Mataku
-
Reportase dari Kaki Pegunungan Merartus
-
Tinggal Bersama Maniak
-
Tongkang Emas Hitam
M.Rifani Djamhari
-
Jurnal Kecil tentang Perjalanan di Hutan Meratus
M.S. Sailillah
-
Wajah Telanjang
-
Hutan Surgawi yang Luka
M.Syarkawi Mar’ie
-
Hutan
Mudjahidin S
-
Hanya Cermin
Muhammad Radi
-
Sajak tentang Sungai
Nailiya Nikmah
-
Pada Sebuah Forum
-
Rindu Peri
-
Sektor di Luar Statistik
-
Vignet Kalimantan
-
Airmata yang Hilang
-
Pergi yang Menangis
-
Nyanyian Hutan Larangan
-
Raja Gundul
Roestam Effendi Karel
-
Siapakah Lagi yang Peduli
Sahdi Anah Amid
-
Hutan Bertutur
Sainul Hermawan
-
Saat Hujan Bertemu Pasang
-
Rumahku Rawaku
-
Sajak Sebatang Pohon Karet
-
Yang Bertahan dan Melawan
Shah Kalana Al-Haji
-
Risau Rimba Sunyi
Syafiqotul Machmudah
-
Nyanyian Bisu sang Bumi
-
Sebungkus Cerita untuk Bumiku dan Bumimu
Sofyan Surya
-
Sajak Burung-burung Negeriku
Taufiq Ht
-
Selepas dari Hutan
Yuniar M.Ary
-
Mega Putih
-
Balada Banjarbaru
-
Waduk Riam Kanan
Micky Hidayat
M.Nahdiansyah Abdi
Noor Aini Cahya Khairani
Rahmatiah
Roeck Syamsuri Saberi
Sandy Firly
Y.S Agus Suseno
-
Suara Tanah Air dan Udara
-
Kuala
-
Air Mata Rima
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Tiga penguasa Kalimantan Selatan. Jatam. 2010 Anonim. Serangan terhadap Hutan Lindung meratus Kalimantan Selatan. Jatam. 2010 Anonim. Tentang Hutan Kalimantan. Anonim. http://www.profauna.net/id/kampanyehutan/hutan-kalimantan/tentang-hutan-kalimantan#.VObCpY6ZHIU (diakses 15 januari 2015) Adams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir, terj. Ali Noerzaman. Jogjakarta: Qalam. 2004 Eriyanto. Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. 2005 Hidayat, Micky (Ed). Konser Kecemasan. KSI Banjarmasin: Banjarmasin. 2010 Mu’in, Fatchul. Ekokritisme: kajian Ekologi dalam Sastra. https://fatchulfkip.wordpress.com/ (diakses 15 Januari 2015) Van Dijk, Teun A. Critical Discourse Studies, A Sociocognitive Approach http://www.discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse%20studies.pdf (diakses 15 Januari 2015) Van Dijk, Teun A. Discourse and http://www.discourses.org/OldArticles/Discourse%20and%20Knowledge.pdf Januari 2015)
knowledge. (diakses 15
Wikipedia. Ecocritism. http://en.wikipedia.org/wiki/Ecocriticism (diakses 15 januari 2015)