MERANCANG BANGUNAN TEORI PENDIDIKAN ISLAM Humaidah Br. Hasibuan Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah IAIN - SU Jl. Williem Iskandar Pasar V Medan Estate, 20371 Email:
[email protected].
,0 دراDE ;=;> @بAB6 <;ودة. 4-7 ,-./01 ا,-3456 ا:ي D./01 اJ-HP56 أن ا,M-M<6 ا4NO وI. J746 اKHL. ,FGHF6ا @^6 و، [=@ر56ى ا4]. لX طKHL @.;T DUVH6 ,-E@S ة45F6 @نS e.و. D./01 اJ6@P6 اDE @ءcb6 ا4=XAa@ل وUc6 اKHL 4-bS 4-_`a e. f6ﻪ ذ6 ,=ازX. j-0`a KHL ;تL@0 D56@ط اbUOh وا، f6ذ D56=@ت ا4Nc6 اfHV= h D./01 اJ-HP56 وا،ى4mn@ت اooB56ا D56 ا,-./0h ا,-345H6 ,-FGHF6 اJ-M6 اDE @ورھq]3 ب4Ua ,=4NO و،@مL urv3. ثX
filsafat terbatas. Walaupun pada kenyataannya pendidikan Islam telah cukup lama berproses sepanjang alur sejarah dan telah memberi pengaruh yang signifikan pada perjuangan dan perkembangan pembangunan dunia Islam. Namun, sebagai satu disiplin ilmu yang turut memapankan dirinya sehingga sejajar dengan disiplin ilmu lainnya, pendidikan Islam belum memiliki teori-teori yang berakar pada nilai-nilai filosofis pendidikan Islam yang dapat digunakan di lapangan penelitian. Pada umumnya, teori yang digunakan adalah replikasi atau modifikasi seadanya terhadap teori-teori dari luar Pendidikan Islam. Tulisan ini ingin mengemukana unsur-unsur pembentuk teori pendidikan Islam dan langkah-langkah merumuskan teori pendidikan Islam yang digali dan berlandaskan pada nilainilai filosofis Islam. Kata Kunci: Bangunan Teori, Pendidikan Islam, Paradigma, Konsep, Asumsi
69
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
A. Pendahuluan
M
anusia membutuhkan dan cenderung kepada kebenaran. Kebenaran juga adalah tujuan utama ilmu pengetahuan. Ragam cara manusia untuk mencari dan memperoleh kebenaran, salah satunya adalah dengan metode ilmiah sebagaimana yang telah berabad-abad lamanya digunakan oleh para sarjana dan ilmuwan. Walaupun telah mendapat kecaman dan kritik keras dalam jangka waktu yang lama namun penggunaan metode yang penuh nuansa positivistis produk Auguste Comte ini tetap mampu mengembangkan berbagai penangkalnya.1 Bahkan, kajian pendidikan Islam di Indonesia dalam banyak penelitiannya, baik di tingkat skripsi sarjana, tesis magister maupun disertasi di tingkat doctoral, secara umum juga menggunakan metode ilmiah yang berkarakter kuantitatif itu. Padahal, berkaitan dengan objek-objek kajian ilmu yang tidak hanya bersifat fisik tetapi juga non fisik, ada banyak metode pencarian kebenaran lainnya yang telah diukir terutama oleh para ilmuwan Islam sepanjang sejarah pendidikan Islam yang dapat dijadikan alternatif variatif seperti dipaparkan oleh Mulyadhi Kertanegara sebagai berikut: Objek ilmu dalam tradisi ilmiah Islam tidak dibatasi hanya pada objek-objek fisik, tetapi juga pada objek-objek non-fisik, padahal kita tahu bahwa indera kita, seperti telah disinyalir AlGhazali, tidak dapat menjangkau objek-objek non-fisik, maka untuk meneliti objek-objek non-fisik kita tentu membutuhkan alat pengetahuan lain, selain indera, yang mampu memahami objekobjek tersebut.2 Objek-objek non-fisik dapat di teliti dengan menggunakan metode selain metode ilmiah seperti metode bayani, metode irfani dan metode burhani3. Namun kenyataan yang terjadi dan tidak dapat dipungkiri adalah, metode ilmiah masih tetap mewarnai upaya pencarian kebenaran yang dilakukan baik oleh mayoritas peneliti maupun di kalangan peneliti pendidikan Islam. Jika kita memilih metode ilmiah, maka ia mensyaratkan penggunaan teori. Dalam langkah-langkah metode ilmiah dikenal pendekatan rasional dan pendekatan empiris. Secara rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya dengan konsisten dan kumulatif
70
Humaidah Br. Hasibuan: Merancang Bangunan Teori Pendidikan Islam
sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan fakta dengan yang tidak. Dengan demikian, teori harus memenuhi dua syarat utama yaitu: a) harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan dan b) harus sesuai dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun konsistennya jika tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.4 Ironisnya, teori-teori yang selama ini disebut teori-teori pendidikan Islam dan digunakan sebagai grand theory dalam penelitian-penelitian pendidikan Islam serta dipelajari dalam berbagai disiplin ilmu diperoleh sebagai sebuah produk yang sudah siap, sudah rampung dibuat tanpa mengetahui unsur-unsur pembentuknya dan langkah-langkah merumuskan teori-teori tersebut. Akibat dari ketidakmampuan ini dapat diduga suatu teori dipandang sebagai sesuatu yang sulit dan menakutkan seperti momok yang dihadapi dengan sikap tidak berdaya. Sangat jarang ada yang mampu menyanggah suatu teori walaupun disinyalir kurang tepat dengan kenyataan pendidikan Islam di lapangan, oleh karenanya teori yang ada diterima dan digunakan begitu saja atau hanya dimodifikasi seadanya. Timbul kesan bahwa teori merupakan hasil karya ilmuwan kenamaan saja dan kita tidak berkompeten untuk menghasilkan suatu teori. Kesan semacam ini tumbuh dan berkembang oleh karena membangun dan merumuskan sendiri sebuah teori, bahkan yang paling sederhanapun jarang dibahas di lingkungan Pendidikan Tinggi baik Umum dan Islam5. Padahal sebagai ilmuwan, membangun teori adalah kemampuan yang sejatinya harus dimiliki oleh para sarjana Islam. Karena itu, tulisan ini hadir untuk diperhatikan dan segera ditindaklanjuti di sektor Pendidikan Tinggi Islam. B. Landasan Filsafati Konsep-konsep Pendidikan Islam Begitu banyaknya penelitian eksploratif-deskriptif di Indonesia, khususnya pada pendidikan Islam namun tanpa menguasai kemampuan dan teknik membangun teori, hasil-hasil penelitian empirik itu tidak akan membuahkan rerangka teoritis baru yang sesuai bagi bangsa yang mayoritas muslim. Di tanah air, John J.O.I. Ihalauw telah mengawali pembicaraan tentang bangunan
71
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
teori ini, rumus-rumus dan langkah-langkah pembentukan teori yang telah dibicarakan di dalam bukunya dapat dijadikan panduan dasar untuk membangun teori pendidikan Islam. Bagi para peneliti yang memiliki rencana membangun teori-teori baru, buku tersebut diharapkan membantu untuk menemukan akar-akar teoretis dan arah perkembangan teoritis terbaru yang lebih relevan dengan masalah yang sedang dikaji. Buku yang terbit selanjutnya tentang Bangunan Teori ini ditulis oleh Agus Salim dengan judul ‘Bangunan Teori: Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan’.6 Pilihan untuk menempuh cara ilmiah dalam memperoleh kebenaran membawa sejumlah konsekuensi yang harus dipahami di antaranya, cara ilmiah harus memiliki: 1) landasan filsafati 2) aras kiblat pikir ilmiah 3) hampiran ilmiah 4) nilai-nilai ilmiah dan 5) bahasa keilmuan7. Jujun Suriasumantri8 telah memberikan pemahaman awal tentang landasan filsafati yang menurutnya terwujud dalam tiga kelompok landasan sebagai berikut: a. Landasan ontologi yang mempertanyakan tentang obyek apa yang ditelaah ilmu, bagaimana wujud hakiki dari obyek tersebut. b. Landasan epistemologi mempertanyakan proses yang memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu, bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang harus diperhatikan agar didapat pengetahuan yang benar. c. Landasan aksiologi mempersoalkan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu digunakan dan bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral. Ketiga landasan tersebut sangat terkait dalam setiap analisis unsur-unsur bahasa ilmiah untuk membentuk teori pendidikan Islam. Unsur pertama yang seharusnya ada dalam bahasa ilmiah adalah konsep. Beberapa konsep yang saling berhubungan akan membentuk dalil. Konsep adalah simbol yang digunakan untuk memaknai fenomena. Ada tiga komponen penting yang terdapat dalam defenisi konsep tersebut yaitu simbol, makna dan fenomena. Komponen pertama, terdapat dua jenis simbol yaitu simbol primitif dan simbol turunan atau nominal. Simbol primitif dapat disepakati maknanya tanpa dijelaskan dengan menggunakan simbol-simbol lain. Maknanya disampaikan atau diperoleh hanya dengan menunjuk kepada contoh obyek yang bukan dimaksudkan
72
Humaidah Br. Hasibuan: Merancang Bangunan Teori Pendidikan Islam
oleh simbol tertentu. Contohnya gajah merupakan simbol primitif karena gajah tidak dapat digambarkan berupa simbol lain yang berupa kata. Makna dari simbol gajah hanya dapat dipahami melalui menunjuk binatang yang dimaksud. Sedangkan simbol turunan atau nominal dapat dengan jelas ditangkap dengan simbolsimbol primitif. Jadi, kalau X dan Y adalah simbol primitif maka Z sebagai simbol turunan adalah sama dengan X+Y. Bahasa keilmuan umumnya terutama menggunakan simbol-simbol turunan atau nominal yang dapat terwujud pada kata, kata majemuk, kalimat pendek atau notasi.9 Setiap disiplin keilmuan mempunyai simbol-simbol teknis tersendiri. Berbeda dari ilmu kedokteran atau ilmu eksakta lainnya. Ilmu Filsafat Pendidikan Islam menggunakan simbol-simbol teknis yang diangkat dari nilai-nilai filosofis Islam kemudian diberi konsepsi atau makna khas yang disepakati oleh komunitas ahli filsafat pendidikan Islam. Seperti: Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu aktivitas berfikir menyeluruh dan mendalam dalam rangka merumuskan konsep, menyelenggarakan dan/atau mengatasi berbagai problem pendidikan Islam dengan mengkaji kandungan makna dan nilai-nilai dalam al-Qur’an dan al-Hadis10. Filsafat Pendidikan Islam juga diartikan sebagai kajian filosofis terhadap permasalahan pendidikan yang bersumber pada al-Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para ahli khususnya filsuf muslim. Dengan kata lain, filsafat pendidikan Islam merupakan filsafat pendidikan yang didasarkan pada ajaran Islam, bukan filsafat yang bercorak liberal atau bebas tanpa nilai.11 Setiap kata yang digunakan dalam kedua defenisi di atas diberi makna spesifik (konsepsi). Selain simbol, makna sebagai komponen kedua digunakan untuk membentuk konsep dinyatakan melalui defenisi. Defenisi bertujuan untuk memperkaya kosa kata, menghilangkan kerancuan, mengurangi kekaburan, menjelaskan secara teoritis dan mempengaruhi sikap. Komponan ketiga dari konsep ialah referensi empirik (fenomena) atau obyek. Kaitan antara simbol, konsepsi (makna), dan referensi empirik/obyek/ indikator empirik sangat penting yang akan melahirkan pembahasan tersendiri yaitu pengukuran teori secara empiris. Di dalam setiap persoalan penelitian ada konsep-konsep utama yang harus diungkap. Pengungkapan diperlukan karena pertama, setiap konsep itu harus didefenisi sebagai basis yang menentukan
73
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
aras ukuran konsep dan member petunjuk untuk mencari indikator empirik yang relevan. Kedua, setiap konsep harus pula dinalarkan relevansinya. Untuk itu, informasi dari berbagai teori-teori yang ada, laporan penelitian, jurnal ilmiah dan karya ilmiah lainnya perlu dijelajahi dan apabila relevan, dijadikan acuan. Ketiga, berbekalkan konsep-konsep itu maka akan dapat ditegaskan apakah profil yang hendak ditelaah atau dalil, model atau sebuah penggabungan yang lebih kompleks. Bisa terjadi persoalan-persoalan penelitian yang diminati itu melibatkan konsep-konsep dalam jumlah yang banyak. Setiap konsep yang diminati tergolong ke dalam satuan analisis (unit of analysis) tertentu. Satuan analisis menunjuk pada populasi tertentu yang tentangnya dibuat kesimpulan atau rampatan empirik12. C. Dalil Dan Teori Unsur kedua dalam bahasa keilmuan adalah dalil (proposisi) yang merupakan pernyataan tentang sifat fenomena. Sebuah dalil dibentuk dengan menghubungkan dua konsep. Penghubungan atau penisbahan dua konsep ini termasuk dalam masalah spesifikasi yang menyangkut dua aspek sebagai berikut: a) Apa dasar teoritis untuk menghubungkan konsep satu dengan yang lainnya sehingga membentuk dalil? Ini mempertanyakan nisbah antar konsep. b) Apa dasar teoritis untuk menempatkan satu konsep mendahului konsep lainnya? Ini mempertanyakan struktur dalil. 1. Dasar Nisbah Nisbah yang diduga ada di antara dua konsep harus memiliki landasan teori-teori yang telah ada yang diperoleh dari berbagai sumber baik dari buku, laporan-laporan penelitian, jurnal-jurnal ilmiah yang dilengkapi dengan penalaran sendiri untuk memperlihatkan kebaruan (novelity). Ketepatan dan kehati-hatian dalam spesifikasi akan tampak dari signifikansi besaran statistik yang menunjukkan suatu nisbah, antara lain koefisien korelasi (untuk nisbah asosiatif) atau koefesien regresi (untuk nisbah kausal). 2. Struktur Dalil Struktur dalil adalah mengenai penempatan konsep-konsep di dalam tatanan dalil. Ada konsep-konsep yang ditempatkan mendahului konsep yang lain. Konsep yang ditempatkan
74
Humaidah Br. Hasibuan: Merancang Bangunan Teori Pendidikan Islam
mendahului itu disebut peubah-bebas (independent variable) dan konsep-konsep yang ditempatkan mengikuti konsep tertentu disebut peubah –terikat (dependent variable). Tidak jarang terjadi diantara keduanya ada peubah-antara (intervening variable). Dengan demikian, spesifikasi dapat menghasilkan suatu format struktur dalil sederhana atau kompleks. Dalil-dalil yang terangkai dan terkait satu sama lainnya akan membangun sebuah teori sedangkan teori-teori yang tidak terangkai tidak akan membangun sebuah teori. Teori ialah sebuah sistem dalil-dalil atau sebuah rangkaian terpadu antar dalil. Teori dapat dibangun dengan jalan menata dalil-dalil itu ke dalam sebuah rangkaian yang terpadu. Sebuah teori yang sederhana terdiri dari minimal dua dalil. Makin banyak jumlah dalil yang berangkai secara terpadu, makin kompleks pula teori. Seseorang dapat membangun sebuah teori baik yang minimal maupun yang kompleks dengan pertimbangan yang mendasar adalah pada masalah spesifikasi teori dan konsekuensi analisis dari proses pengujian teori secara empirik. Membangun teori bukanlah asal merangkai dalil-dalil saja, melainkan harus dialaskan pada landasan teoritis yang kokoh yang menjadi nalar untuk pertautan itu. Pertimbangan pertama adalah spesifikasi yaitu urutan penempatan dan dasar pertautan dalil-dalil itu dalam rangka meramalkan atau menerangkan peubah terikat. Oleh karena dalil-dalil dibentuk dari konsep-konsep maka itu berarti pula urutan penempatan konsep-konsep dalam pertautan dalil-dalil harus dicermati benar-benar.13 Pemanfaatan konsep-konsep yang semakin banyak dalam dalil-dalil yang membentuk teori tidak selalu menghasilkan teori yang lengkap, bisa saja terjadi adanya interkorelasi yang tinggi antara dua atau lebih konsep dalam teori yang akan dibangun. Oleh karena itu diperlukan uji multicollinearity. Apabila ada interkorelasi yang tinggi maka kemungkinan ada dua konsep yang semula diduga berbeda sebenarnya hanya merupakan satu konsep saja. Dalam pembentukan teori ini kita mengenal adanya tatanan aksiomatik melalui reduksi atau manipulasi defenisi dan manipulasi dalil. Untuk memperoleh bentuk tatanan melalui reduksi defenisi seperti ini beberapa tahapan berikut harus dilakukan. Tahap pertama, menetapkan sejumlah kecil dalil bernilai informatif relatif tinggi. Tahap kedua, mengidentifikasi konsep-konsep penad dalam
75
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
dalil-dalil tersebut. Tahap ketiga, mendefenisikan konsep-konsep penad itu dan tahap keempat yaitu menganalisis konsepsi atau makna dalam defenisi dan memperbandingkan makna tersebut satu terhadap lainnya. Tahap kelima yaitu membandingkan hasil analisis (tahap keempat) dengan rumusan dalil-dalil (tahap pertama) dan tahap keenam yaitu menurunkan jumlah dalil asal yang relatif banyak menjadi jumlah yang lebih sedikit tetapi memiliki nilai informatif tinggi,. Sedangkan melalui reduksi dalil, tahap pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan dalil-dalil asal bernilai informatif tinggi. Contoh yang dapat dipaparkan dalam hal ini yaitu: 1. Bila kualitas pendidikan nasional meningkat, maka kelas menengah akan meluas jumlahnya. 2. Bila kelas menengah meluas, konsensus nilai-nilai meningkat dalam masyarakat. 3. Bila kelas menengah meluas, mobilitas sosial meningkat. 4. Bila mobilitas sosial meningkat, konsensus nilai-nilai meningkat dalam masyarakat, dan demikian pula sebaliknya. Dalil-dalil asal ini dirumuskan berlandaskan teori-teori yang telah ada, pengamatan maupun penalaran sendiri yang cemerlang. Tahap kedua, membentuk postulat dengan cara memilih sejumlah kecil dalil dari dalil-dalil asal yang dapat dijadikan postulat dengan syarat harus independen artinya dalil yang dijadikan postulat adalah mandiri tanpa dapat diturunkan dari dalildalil lain. Yang kedua sufficient, artinya dalil yang dijadikan postulat cukup untuk dapat menurunkan dalil-dalil lain yang disebut theorema. Ketiga, consistency, artinya dari sejumlah kecil dalil yang dijadikan postulat itu senantiasa dapat diturunkan theorema. Tahap ketiga ada dua langkah yaitu dengan jalan menggabungkan postulat yang satu dengan yang lain. Langkah kedua dengan menggabungkan theorema dengan postulat. Sebagaimana dikutip oleh Ihalauw dari Pudji Nurutami, bahwa suatu teori dapat dipaparkan dengan tiga bentuk yaitu: rumusan verbal, rumusan matematik dan kurva atau grafik. Dalam hubungannya dengan filsafat pendidikan Islam biasanya paparan yang digunakan adalah dalam bentuk rumusan verbal yang berarti bahwa teori itu disajikan dalam rangkaian kalimat yang merupakan pernyataan-pernyataan teoritis, seperti dicontohkan:
76
Humaidah Br. Hasibuan: Merancang Bangunan Teori Pendidikan Islam
1. Semakin kuat daya inovatif suatu lembaga pendidikan Islam, anak didik yang dihasilkan semakin berakhlakprestasi. 2. Semakin berakhlakprestasi anak didik yang dihasilkan, semakin besar jumlah calon anak didik yang di didik di dalamnya. 3. Semakin kuat daya capai akhlakprestasi anak didik, semakin besar jumlah calon anak didik yang di didik di dalamnya 4. Semakin besar jumlah calon anak didik yang di didik di dalamnya, semakin besar jumlah anak didik berakhlakprestasi yang dihasilkan. D. Menggunakan Paradigma Sebagai Asumsi Konsep paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962). Namun banyak pendapat tentang paradigma yang dapat disimpulkan pada dua kelompok pemahaman yaitu: pertama, paradigma dipahami sebagai citra fundamental (baik yang sedang berlaku ataupun yang baru sebagai hasil dari revolusi keilmuan) dari permasalahan pokok dalam sebuah ilmu. Sebagai citra fundamental paradigma menggariskan tentang: apa yang harus dipelajari, pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dikemukakan yang menyangkut landasan ontologi dan bagaimana pertanyaanpertanyaan itu dikemukakan serta kaidah-kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh yang menyangkut landasan epistemologi. Kedua, paradigma dapat juga digunakan sebagai titik pandang disertai seperangkat asumsi tersirat atau tersurat tentang fenomena atau pokok permasalahan dan menjadi bingkai bagi suatu gagasan ilmiah. Oleh karena itu, sebagai titik pandang paradigma menggariskan: 1. Menentukan apa yang ditela’ah atau diteliti 2. Menentukan cara meneliti atau metode penelitian Sedangkan sebagai asumsi paradigma: 1. Memberikan bingkai yang menjadi ranah dari apa yang diteliti sehingga dapat diteliti 2. Membuat hal-hal lain yang tidak diteliti itu konstan, tidak berubah agar tidak mempengaruhi apa yang akan diteliti.
77
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
Bangunan teori menggunakan paradigma dalam artian sebagai asumsi. Untuk membuat asumsi ada tiga syarat: asumsi harus relevan dengan persoalan yang dikaji, asumsi itu harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya bukan keadaan yang seharusnya ada, dan asumsi itu harus dipaparkan secara tegas jangan tersirat.14 Asumsi itu perlu karena realitas dan masalah yang dihadapi manusia demikian luasnya, kompleks dan selalu berubah. Gejala dari realitas dan masalah itu hanya sedikit sekali yang masuk dalam pengamatan manusia dan terbatas. Oleh karena itu, perlu dibuat asumsi agar ilmu dapat menjelaskan secara analitis tentang apa yang dapat ditangkap oleh pengamatan yang terbatas itu. Asumsi yang merupakan pernyataan tentang kondisi yang dianggap tetap atau tentang konsep-konsep lain yang dianggap tidak mempengaruhi diterima sebagai sesuatu yang benar tanpa harus dibuktikan secara empirik terlebih dahulu. Seorang ilmuan harus mengenal benar paradigma yang digunakan dalam sebuah analisis ilmiah. Menggunakan paradigma yang berbeda berarti menggunakan suatu rerangka pikir yang berbeda pula. Jadi, meskipun asumsi tidak diuji secara empirik namun dengan berpegang pada asumsi tertentu, suatu persoalan penelitian diuji secara empirik. E. Penutup Allah SWT memberikan jalan kebenaran tidak hanya satu, manusia pada tingkat pendidikan tinggi telah menemukan salah satu cara pencaharian itu adalah dengan menggunakan metode ilmiah. Pendidikan Islam sebagai satu bidang kehidupan yang telah mapan dalam sejarah juga telah, sedang dan kelihatannya akan masih terus menggunakan metode ilmiah sebagai salah satu model dalam penelitian-penelitiannya dalam pencarian dan upaya penemuan kebenaran. Selama ini arah penelitian metode ilmiah berkiblat ke negeri asalnya di negara-negara Eropa dan Amerika. Untuk itu, diperlukan arah penelitian yang bercorak kekinian dan kedisinian. Penggunaan metode ilmiah harus di warnai dengan dinamika dan konteks sosial masyarakat yang bergerak dan berproses dalam pendidikan Islam baik secara sempit dan meluas. Karakteristik metode ilmiah salah satunya adalah mensyaratkan penggunaan teori. Teori dibangun di atas konsepkonsep dan beberapa konsep yang saling berhubungan akan
78
Humaidah Br. Hasibuan: Merancang Bangunan Teori Pendidikan Islam
membentuk dalil. Konsep adalah simbol yang digunakan untuk memaknai fenomena. Untuk menentukan apa yang diteliti dan cara meneliti, diperlukan pula kemampuan membangun paradigma yang disertai dengan seperangkat asumsi. Membangun teori adalah suatu kompetensi yang sejatinya harus dimiliki oleh ilmuan-ilmuan dalam bidang pendidikan Islam. Produktifitas dalam hal membangun teori akan semakin memperkuat nilai-nilai filosofis ajaran Islam dalam pelaksanaan penelitian kependidikan Islam hingga akan disadari sepenuhnya bahwa pendidikan Islam adalah benar-benar sebagai implementasi dari ajaran Islam itu sendiri. Hal ini penting sebagai dasar pelaksanaan pendidikan Islam yang disadari akan menghasilkan generasi muda Islam yang memahami perannya sebagai seorang khalifah Allah di atas permukaan bumi.
79
ءا
أVol. I No. 1 Januari – Juni 2011
DAFTAR PUSTAKA Ihalauw, John J.O.I., 2000, Bangunan Teori, Salatiga: SatyaWacana. Kartanegara, Mulyadhi, 2006. Reaktualisasi Tradisi Islam, Jakarta: Baitul Ikhsan. Kartanegara, Mulyadhi, 2007, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia, Jakarta: Erlangga. Nata, Abudin, 1997, Filsafat pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Salim, Agus, 2010, Bangunan Teori: Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan, Jakarta: Tiara Wacana. Suriasumantri, Jujun, 1984, Filsafat Ilmu, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suriasumantri, Jujun, 1998, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Syar'i, Ahmad, 2005, Filsafat Pendidikan Islam, cet. I, Jakarta: Pustaka Firdaus. Verhaak, C. dan R. Haryono Imam, 1997, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-Ilmu, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
80
Humaidah Br. Hasibuan: Merancang Bangunan Teori Pendidikan Islam
End Note: 1
C. Verhaak dan R. haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan; Telaah Atas Cara Kerja Ilmu-ilmu (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 163 2
Mulyadhi Kartanegara, Reaktualisasi Tradisi Islam. (Jakarta: Baitul Ikhsan, 2006), h. 187 3
Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia , (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 55 4
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1998), h. 124 5
John J.O.I. Ihalauw, Bangunan Teori (Salatiga: SatyaWacana, 2000), h. 2
6
Agus Salim, Bangunan Teori: Metodologi Penelitian Untuk Bidang Sosial, Psikologi, dan Pendidikan (Jakarta: Tiara Wacana, 2010) 7
John J.O.I. Ihalauw, Bangunan, h. 6
8
Jujun Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1984),
9
John J.O.I. Ihalauw, Bangunan, h. 20-21
h. 18 10
Ahmad Syar'i, Filsafat Pendidikan Islam, cet. I, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), h. 5 11
Abudin Nata, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 15 12
John J.O.I. Ihalauw, Bangunan, h. 139-140
13
John J.O.I. Ihalauw, Bangunan, h. 94
14
John J.O.I. Ihalauw, Bangunan, h. 119
81