12 Media Bina Ilmiah MENYOAL KOMPETENSI MATA PELAJARAN IPS GEOGRAFI SMP KELAS VII
Oleh : Syafril Dosen pada FKIP UMM
Abstrak : Mata pelajaran geografi merupakan jembatan dari dua disiplin ilmu yakni menjelaskan tentang hubungan interaksi, interrelasi, dan interdepedensi antara aspek fisik alam dengan aspek sosial manusia. Hal tersebut membuat geografi berbeda dengan Ilmu Pengatahuan Sosial dan Ilmu Pengatahuan Alam. Oleh karena demikian, seharusnya geografi diajarkan terpisah bukan dipadukan sebagaimana kurikulum sekarang yang berupaya efisien tetapi berakibat menghilangkan substansi ilmu itu sendiri. Perbedaan mendasar antara tujuan pembelajaran IPS dengan geografi membuat materi geografi yang dimuat dalam buku teks geografi condong tidak relevan dengan tujuan pendidikan IPS. Salah satu contoh yang menunjukkan tidak relevannya materi geografi dengan tujuan IPS yakni pada kajian geologi. Sejauh yang dipahami bahwa geologi adalah peristiwa alam yang tidak dapat dikendalikan, sementara aspek-aspek social merupakan fenomena social yang sangat mungkin berubah dan relatif dapat dikendalikan. Oleh karena perubahan kurikulum cenderung harus memperhatikan ciri khas disiplin ilmu, misalnya geografi, harus ada usaha pemerintah untuk meninjau ulang materi perubahan kurikulum dimaksud. Dengan begitu, geografi dapat diajarkan secara terpisah, bukan justru difusi ke dalam mata pelajaran IPS yang notabene bertolak belakang dengan tujuan pelajaran geografi. Kata kunci: Kompetensi, geografi, dan kurikulum. PENDAHULUAN Thomas L. Friedman melukiskan empat hal yang melatar belakangi lahirnya negara modern: pencerahan akal, rasionalisme, empirisme, dan eksplorasi alam (Tilaar:2006). Secara singkat bahwa dengan menekankan pada empat aspek tersebut dunia barat (the occidentalist) menguasai dunia timur (the orientalist). Hal tersebut sebagai buah dari kompetensi yang dimiliki awal oleh mereka. Sebagai gambaran dasarnya bahwa competence includes four aspects; namely, education for competence in moral thinking, knowledge, practical ability, culture, and physical fitness (Kundoz, 2008). Aspek-aspek yang dimaksud tersebut dinilai sebagai bagian yang saling terkait, sebab jika hanya aspek pengetahuan saja tanpa budaya maka pengetahuan yang dimiliki akan cenderung disalah gunakan. Pendapat Kundoz tersebut sejalan dengan pesan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yang menekankan pada empat pilar kompetensi, yakni; professional, paedagogi, social, dan kepribadian. Uraian tentang aspek kompetensi tersebut menggambarkan bahwa betapa kompetensi merupakan kesamaptaan antara kesehatan jasmani dan aspek moral. Oleh karena itu, diskursus tentang kompetensi sebenarnya telah lama terjadi di negaranegara maju mengawali abad ke-19 yakni abad pencerahan (aufklarung) seperti; Amerika, Australia, Jerman, Inggris, Prancis dan lain-lain. Hal tersebut
dapat kita perhatikan sejak negara-negara tersebut memasuki abad ke-19 mereka sudah melepaskan diri dari kungkungan dogma agama kristen saat masih berkuasa sekaligus merekonstruksi gaya berfikirnya (Tilaar, 2006). Dimensi pendidikan menjadi centra utama untuk melahirkan tenaga-tenaga profesional, sehingga proses dan konsep pendidikan harus benar-benar didesain dengan mantap agar dapat menjawab dinamika tantangan kehidupan di era aufklarung tersebut. Di antara konsep yang cukup dikenal dalam hubungannya dengan kompetensi dalam kurikulum adalah konsep kurikulum ala Macky. Kurikulum ala Macky menekankan pada penguasaan ilmu secara holistic baik secara hafalan maupun pengalaman. Di samping itu kurikulum ala Macky mengharuskan guru dan siswa untuk saling berinteraksi secara dinamis dan konstruktif sekaligus mengkontekstualisasikan materi ajarnya (Jazadi, 2006). Di Indonesia tema tentang kompetensi pendidikan baru hangat dibicarakan pada tahun 2004 ketika terjadi perubahan kurikulum dari kurikulum 2004 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dua tahun kemudian tepatnya tahun 2006 KBK berubah menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) juga menekankan pada dimensi kompetensi baik guru maupun siswa.
Artikel Pendidikan 13 Perubahan tersebut tidak urung menghadirkan perbedaan pendapat dari banyak kalangan. Di satu sisi, ada yang memandang bahwa perubahan kurikulum dari KBK menjadi KTSP merupakan suatu keharusan untuk memenuhi tuntutan kualitas aturan yang berlaku. Sementara di lain pihak berpendapat bahwa kehadiran kurikulum baru (KTSP) condong membingungkan karena kurikulum sebelumnya (KBK) diniali substansinya sama dengan KTSP. Pergantian kurikulum yang cepat dinilai sebagai pesan politis atau lebih karena kepentingan bisnis. Jelasnya, perubahan kurikulum telah menghadirkan banyak perbedaan pendapat di berbagai kalangan pendidikan bahkan siswa dan orang tuanya. Lebih jauh apakah konsep kompetensi yang dirancang dalam kurikulum perubahan sudah mencerminkan aspek epistomologi, ontologi, tujuan, obyek kajian, dan metodologi suatu disiplin ilmu. Dimensi itu ingin diurai secara terperinci pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) Geografi Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kelas I. Mengubah kurikulum dengan mengabaikan filosofi dasar suatu mata pelajaran justru merupakan masalah yang serius dan perlu mendapat perhatian cepat dan cerdas. Sebagaimana dimaklumi bahwa Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar mata pelajaran Geografi SMP difusi ke dalam satu mata pelajaran yakni IPS terpadu, meliputi disiplin: sosiologi, sejarah, geografi, dan ekonomi. Terjadinya penyatuan empat disiplin ke dalam satu mata pelajaran merupakan masalah tersendiri. Lebih-lebih jika salah satu atau lebih mata pelajaran memiliki dimensi kajian yang bertolak belakang dengan tujuan disiplin ilmu tersebut. Tentu saja, akan sangat menyulitkan bagi seorang guru dalam mentransfer keempat ilmu tersebut. Menurut seorang ahli tujuan mata pelajaran IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat (Sumaatmaja,1980). Jika demikian tujuang pendidikan IPS, maka permasalahannya adalah apakah konsep kompetensi mata pelajaran IPS SMP kelas I khususnya pada kajian geografi yang sedang diajarkan telah mencerminkan apa yang dimaksud dalam tujuan dan pertanyaan tersebut. Tentu saja perlu dikupas secara cermat mengingat kajian Geografi sangat kompleks dan multidimensi. Luasnya dimensi kajian geografi membuka peluang terjadinya disharmoni antara tujuan dengan
konsep standar kompetensi yang dirancang. Apabila tidak dicermati secara cermat dan mendalam dapat berakibat tidak tercapainya tujuan Pendidikan IPS dan tidak terjawabnya pertanyaan dalam pembelajaran IPS dengan kompetensi yang dirancang. Tujuan IPS yang menekankan pada kepekaan social, memiliki sikap mental positif, dan mampu menyelesaikan masalah social kemasyarakatan sangat sulit dicapai oleh disiplin geografi. Kesulitan tersebut dapat dimaklumi mengingat secara epistemology dan ontology ilmu geografi berbeda dengan ilmu social lainnya. PERMASALAHAN 1. Dari aspek sistematika konsep kompetensi mata pelajaran IPS pada kajian geografi yang disusun oleh Balitbang Departemen Pendidikan Nasional RI terdapat masalah, khususnya yang berhubungan dengan konsistensi isi. Kesan yang muncul dari konsep kompetensi mata pelajaran geografi condong lebih dekat pada mata pelajaran sosiologi sehingga kekhasan geografi tidak utuh dimunculkan. 2. Konsep kompetensi pada mata pelajaran IPS Bidang Kajian Geografi SMP kelas I tidak mencerminkan pola pembelajaran yang runtut atau sinambung. Maksudnya pada konsep kompetensi mata pelajaran IPS Bidang Kajian Geografi SMP Kelas I siswa langsung disuguhkan dengan obyek kajian geografi tanpa harus mengerti terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan geografi, ruang lingkupnya, konsep esensial. Akibatnya filsafat dasar keilmuan geografi menjadi tidak tersentuh. Berdasarkan permasalahan tersebut, dalam tulisan ini akan diajukan beberapa solusi yang relevan. SOLUSI Penulis akan membahas mengapa konsep kompetensi dasar dan standar kompetensi tersebut perlu direvisi berdasarkan tiga aspek standar berpikir: epistemology, ontology, dan obyek kajian. 1. Pembahasan berdasarkan aspek epistemologi: Berdasarkan aspek sistematikan berpikir. Konsep Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar tersebut terlihat ada yang missing link. Maksudnya, pada pertemuan awal siswa langsung disuguhkan dengan obyek kajian geografi sementara siswa belum memahami hakekat ilmu geografi. Akibatnya siswa belajar dengan dasar ketidak tahuan tentang hakekat ilmu geografi. Oleh karena itu, kompetensi dasar dan stadar kompetensi pertama yang harus diajarkan yakni apa itu geografi, mengapa harus diajarkan
14 Media Bina Ilmiah geografi di SMP, bagaimana kedudukan geografi dalam ilmu pengetahuan sosial. Dengan demikian membuat suatu kajian ilmu menjadi runtut dan terpahami dengan mudah. Obyek kajian Ilmu Geografi bukan termasuk dalam wilayah kajian IPA maupun IPS. Kenyataan yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Indonesia, mata pelajaran geografi difusi ke dalam mata pelajaran IPS terpadu. Padahal mata pelajaran IPS bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat (Sumaatmaja:1980). Jika tujuan pendidikan IPS adalah seperti itu, maka telaah tentang proses pembentukan muka bumi seperti; gempa bumi, pembentukan batuan, diatropisme dan proses endogen. Tidak perlu dimasukan dalam konsep Kompetensi Dasar. Alasannya adalah hampir tidak ada korelasinya antara kepekaan sosial siswa, pembentukan mental siswa, siswa terampil mengatasi masalah dalam masyarakat dengan kemampuan memahami konsep pembentukan muka bumi, pembentukan batuan, diatropisme dan proses endogen. Berbeda halnya kalau mata pelajaran geografi diterapkan sebagaimana sebelum difusi ke dalam mata pelajaran IPS "terpadu". Tentu saja obyek kajian geografi tidak akan terpengaruh oleh tujuan pendidikan lain seperti tujuan pendidikan IPS karena geografi memiliki tujuan pembelajaran tersendiri. 2. Berdasarkan dimensi ontologis: Kata lingkungan kehidupan pada konsep Standar kompetensi I penulis anggap bermakna sangat luas dan terlalu sulit untuk dipahami oleh kemampuan siswa SMP kelas I. Akan lebih mudah dipahami jika menggunakan kalimat lingkungan alam dalam hubungannya dengan manusia. Lebih jauh dalam konsep standar kompetensi VIII disebutkan lingkungan alam dampaknya terhadap kehidupan. Kalimat dampaknya terhadap kehidupan juga memiliki makna yang cukup luas sehingga kemungkinan siswa akan mengalami kesulitan memahami hakekat dari standar kompetensi dimaksud. Diperlukan interpretasi yang lebih khusus seperti dampaknya bagi kahidupan manusia atau kehidupan makhluk hidup di sekitarnya. Dengan begitu, siswa akan lebih mudah memahami maksud dari konsep standar kompetensi yang diinginkan. Jelasnya (baca solusi kedua).
Diperlukannya perubahan pada konsep Kompetensi mata pelajaran IPS yang disusun oleh Balitbang Depdiknas karena konsep kompetensi yang ditawarkan dianggap belum komprehensif dan terkesan tumpang tindih serta tidak runtut. Ada dua alasan dasar mengapa diperlukannya draft konsep perubahan pada konsep kompetensi IPS SMP dimaksud, adalah sebagai berikut: a. Konsep standar komptensi IPS SMP yang disusun oleh Balitbang Depdiknas terkesan tidak memperhatikan aspek kajian, ruang lingkup materi, konsep esensial, obyek kajian, serta isu-isu aktual sehubungan dengan materi ilmu tersebut. b. Konsep kurikulum yang disusun tidak memperhatikan korelasi antara tujuan dengan fungsi dari materi pelajaran tersebut, sehingga dalam aplikasinya tidak saling melengkapi dan terkesan ambigu atau bahkan tidak ada hubungannya sama sekali antara tujuan dari materi pelajaran tersebut dengan isi kajiannya. (lihat tujuan Pembelajaran IPS hal. 9). IPS atau studi sosial itu merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang diturunkan dari isi materi cabang-cabang ilmu-ilmu sosial: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, antropologi, filsafat, dan psikologi sosial (Sidi dan Budiono, 2004). Sementara disatu sisi, kajian geografi bukan ansich berdasarkan fenomena dan realitas sosial melainkan juga membahas realita dan fenomena fisik alam. Ada baiknya kita perhatikan salah satu contoh konsep kompetensi yang terpadu antara beberapa cabang ilmu sosial yang jalin berkelindan. Jika demikian model kurikulumnya, maka yang perlu direvisi adalah tujuan mata pelajaran IPS yakni "mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa kehidupan masyarakat" (Sumaatmaja, 1980). Menjadi "mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah lingkungan hidupnya, dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri, yang menimpa kehidupan masyarakat maupun lingkungan alam tempat aktivitas hidupnya". Tabel 1. Ruang lingkup kajian Pengetahuan Sosial dalam Kurikulum yang dipadukan
Artikel Pendidikan 15 Dimensi dalam kehidupan manusia Area dan substansi pembelajaran
Contoh Kompetensi Dasar yang dikembangkan
Ruang
Waktu
Nilai/Norma
Alam sebagai tempat dan penyedia potensi sumber daya
Alam dan kehidupan yang selalu berproses, masa lalu, saat ini, dan yang akan dating
Adaptasi spasial dan eksploratif
Berpikir kronologis, prospektif, antisipatif
Kaidah atau aturan yang menjadi perekat dan penjamin keharmonisan kehidupan manusia dan alam Konsisten dengan aturan yang disepakati dan kaidah alamiah masingmasing disiplin ilmu Ekonomi, Sosiologi/Ant ropologi
Alternatif Geografi Sejarah penyajian dalam mata pelajaran Sumber: Sardiman dalam Harianti, 2006.
Perubahan tersebut perlu dilakukan mengingat telaah dasar keilmuan geografi adalah mengkorelasikan dua fenomena utama yakni fenomena sosial dan fenomena fisik. Jika dilakukan perubahan sebagaimana tersebut, maka tidak akan terjadi disharmoni antara konsep kompetensi yang diajukan dengan tujuan materi pembelajaran IPS dan juga substansi ilmu yang disampiakan. SIMPULAN Perubahan kurikulum yang terjadi dalam waktu yang terlalu cepat rupanya dapat mempengaruhi kualitas konsep yang menyertai perubahan tersebut salah satu di antaranya adalah konsep kompetensi. Kenyataan sebagaimana yang telah dipaparkan merupakan entry point bahwa tim penyusun konsep kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia di dalamnya memuat kompetensi dasar atau standar kompetensi harus lebih cermat dan teliti agar pebelajar dapat memahami secara cepat dan tepat tentang materi pelajaran yang diajarkan. Mata pelajaran geografi merupakan jembatan dari dua disiplin ilmu dan dalam konsep filsafat geografi dikatakan hanya geografi ilmu yang memberikan penjelasan secara rinci dan jelas tentang hubungan mutual simbiosa antara aspek fisik
alam dengan aspek sosial manusia. Karena itulah yang membedakan antara geografi dengan Ilmu Pengatahuan Sosial dan Ilmu Pengatahuan Alam. Oleh karena demikian, maka geografi harusnya diajarkan terpisah bukan dipadukan sebagaimana kurikulum sekarang yang berupaya efisien tetapi berakibat menghilangkan substansi ilmu itu sendiri. Semoga tidak demikian adanya.
DAFTAR PUSTAKA Harianti, Diah. 2006. Model Pembelajaran terpadu IPS: SMP/Mts/SMPLB. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Jazadi, Iwan, 2000. An investigation of current constraints and potential resources for developing learner-centred curriculum frameworks for English language at hihgt scools in Lombok, Indonesia. Unpublished PhD Thesis, University of South Australia, Adelaide. Suryantoro, Agus. 2008. Pengantar/Filsafat Geografi. Malang: UNM. Sidi, Indra Jati dan Budiono, 2004. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial untuk SMP dan Tsanawiyah 2003. Jakarta, Departemen Pendidikan Nasional. Tilaar, H.A.R., 2006. Standarisasi Pendidikan Nasional: Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta. UNM, 2000. Pedoman penulisan karya ilmiah. Malang: UNM Press. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003: Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kondoz, 2008. Kompetensi Pendidikan. www.proz.com/kundoz/chines_to_english/ education-pedagogy. Didownload tanggal, 5 September 2008. Malang
16 Media Bina Ilmiah PENGARUH KEMISKINAN TERHADAP MARAKNYA PERTAMBANGAN TANPA IJIN (Studi Kasus Di Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat)
Oleh : Diah Rahmawati Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Mataram
Abstrak: Kegiatan pertambangan emas di Kecamatan Sekotong telah menjadi mata pencaharian baru bagi masyarakat setempat. Kemiskinan dijadikan alasan utama mengapa masyarakat beralih dari bertani dan nelayan menjadi penambang. Namun pada akhirnya kemiskinan bukan lagi menjadi satu-satunya alasan untuk menambang. Keberhasilan sebagian orang dalam memperoleh emas dalam jumlah yang cukup besar dan mampu meningkatkan kesejahteraannya menjadi faktor pendorong bagi semua kalangan untuk berpartisipasi dalam kegiatan pertambangan tanpa ijin di Kecamatan Sekotong. Kata Kunci: kemiskinan, pertambangan tanpa ijin, emas PENDAHULUAN Saat ini fenomena kerusakan lingkungan terjadi di seluruh sektor, salah satunya adalah sektor pertambangan. Pertambangan sebagai salah satu industri yang mempunyai resiko lingkungan yang tinggi selalu mendapatkan perhatian khusus oleh publik. Salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM) adalah maraknya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI). Istilah PETI semula dipergunakan untuk pertambangan emas tanpa ijin, tetapi dalam perkembangan selanjutnya permasalahan PETI tidak hanya pada komoditi bahan galian emas tetapi juga diterapkan pada pertambangan tanpa ijin untuk bahan galian lain baik Golongan A, B maupun C (PP No. 27 Tahun 1980 Tentang Penggolongan BahanBahan Galian) yang biasanya termasuk pada pertambangan skala kecil (PSK). Penambangan tersebut sebagian besar tidak memiliki ijin usaha penambangan berupa Surat Ijin Pertambangan Daerah. Keadaan demikian membuat pemerintah daerah sulit dalam mengawasi dan mengotrol kegiatannya, sehingga banyak kasus lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan tersebut. Permasalahan pertambangan tanpa ijin bahan galian golongan B bahkan lebih rumit lagi, hal ini terkait dengan penggunaan bahan dan zat berbahaya dalam pengolahannya. Limbah (tailing) yang dihasilkan umumnya masih mengandung merkuri. Tailing biasanya langsung dibuang ke perairan atau dibuang begitu saja di halaman rumah, padahal merkuri bersifat bioakumulatif dalam organ tubuh makhluk hidup dan berbahaya terhadap manusia dan lingkungan. Kegiatan penambangan emas tanpa ijin yang berdampak terhadap lingkungan ini banyak terjadi di
wilayah Indonesia seperti: 1) penambangan oleh masyarakat yang ada di daerah Sangon, Desa Kalirejo, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Setiabudi, 2005), 2) kegiatan penambangan emas tradisional di lokasi pemandian Tahite di Desa RauRau, Kecamatan Rarowatu, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara (Media Sultra, 2010), 3) Penambangan emas tradisional yang ada di Kecamatan Tambang Ulang, Kabupaten Tanah Laut, Provinsi Kalimantan Selatan. (Darlan, 2009), 4) di Provinsi Kalimantan Tengah masyarakat melakukan kegiatan penambangan di sekitar sungai secara berkelompok dengan mengoperasikan kasbok dimana setiap kasbok mampu memompa 12 ton bijih setiap hari. (Sodikin, 2009), 5) Penambangan emas Pongkor dilakukan masyarakat di sekitar wilayah PT. Aneka Tambang di bawah kaki Taman Nasional Gunung Halimun. (Sodikin, 2009), 6) penambangan emas di Kecamatan Sekotong Kabupaten Lombok Barat .Hal ini menunjukkan bahwa jaringan PETI sudah meradang ke seluruh Indonesia. Kegiatan penambangan liar Sekotong berlangsung dalam 3 (tiga) tahun terakhir. Berawal dari tahun 1986 berdasarkan survei yang dilakukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara yang berkesimpulan bahwa terdapat logam emas di daerah Sekotong. Berdasarkan pertimbangan ekonomi ternyata kandungan emas di daerah Sekotong tidak ekonomis untuk ditambang dan diolah oleh perusahaan sebesar PT. Newmont Nusa Tenggara. Kemudian survei dilanjutkan oleh PT. Indotan Inc. pada tahun 2004 yang menyatakan bahwa daerah prospek emas berada di ‘Kuta Ring Feature” Kabupaten Lombok Tengah dan di daerah Sekotong Barat (Tembowong, Sepi dan Selodong). Sejak awal tahun 2008 lalu keberadaan tambang emas di daerah
Artikel Pendidikan 17 Sekotong menarik perhatian masyarakat luas, bahkan banyak yang berasal dari luar Kecamatan Sekotong. Kandungan emas di Kecamatan Sekotong memiliki kadar emas yang tinggi namun hanya ekonomis untuk ditambang secara tradisional. Walaupun terhitung ilegal minat masyarakat bukannya surut malah semakin bertambah. Hingga saat ini kegiatan penambangan emas di Kecamatan Sekotong masih berlangsung dan meluas hingga ke seluruh wilayah Kecamatan. Pertambangan liar ini sulit untuk dihentikan karena bagi masyarakat setempat, menambang merupakan mata pencaharian mereka saat ini. Di sisi lain, jika kegiatan penambangan terus dilakukan, maka akan semakin banyak pula merkuri yang terbuang ke lingkungan dan mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar. TELAAH PUSTAKA a. Pertambangan ideal (Good Mining Practice) Pertambangan adalah serangkaian kegiatan yang meliputi pekerjaan pencarian, penyelidikan, penambangan, pengolahan, penjualan bahan galian hasil tambang yang memiliki nilai ekonomis. Bahan galian memiliki sifat utama diantaranya tidak dapat diperbaharui, keterdapatannya tersebar di permukaan bumi secara tidak merata seperti di hutan, persawahan, di sungai, di bawah laut, di pegunungan sehingga sering menimbulkan masalah tumpang tindih pemanfaatan lahan (Somantri, 2008). 1. Penggolongan Bahan Galian Penggolongan bahan galian di dasarkan atas fungsi serta perannya dalam kehidupan manusia, terbagi atas 3 kelompok yaitu A, B, dan C. a) Bahan galian golongan A, adalah bahan galian yang mempunyai nilai strategis, yang termasuk bahan galian jenis ini adalah minyak, batubara, uranium yang dapat digunakan sebagai sumber energi. b) Bahan galian golongan B, adalah bahan galian yang mempunyai nilai vital, jenis bahan galian ini sebagaian besar terdiri dari bahan galian logam seperti, emas, perak, tembaga, besi, mangaan, nikel, seng, timah, timah hitam, aluminium dll. c) Bahan galian golongan C, adalah bahan galian yang tidak termasuk kedalam golongan A dan B, jenis bahan galian ini termasuk kedalam bahan galian industri, yaitu bahan galian yang digali dan dapat digunakan secara langsung tanpa atau sedikit melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Jenis bahan galian ini seperti pasir, batu bangunan, tanah urug, tanah liat, gamping (kapur), batu apung, tras, kaolin, gypsum, asbes dll (Somantri, 2008).
2. Tahapan kegiatan dalam pertambangan Seperti dalam industri-industri lain, dalam kegiatannya industri pertambangan mempunyai tahapan yang sangat rumit. Setiap tahapan saling berhubungan erat dan harus dilakukan secara berurutan, terutama untuk industri pertambangan bahan galian golongan A dan B, tahapan tersebut adalah sebagai berikut : a) Penyelidikan umum Adalah kegiatan penyelidikan, pencarian dan atau penemuan enapan mineral-mineral berharga. Pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan hanya sebatas pada pemetaan permukaan, penyelidikan geofisika, geokimia, serta pengambilan sample singkapan batuan dalam jmlah yang kecil melalui paritan dan sumur uji dalam ukuran yang kecil untuk mengtahui keberadaan bahan galian. Kegiatan ini tidak membutuhkan pembukaan lahan yang luas dan tidak membutuhkan alat-alat berat. b) Eksplorasi Adalah pekerjaan lanjutan setelah penyelidikan umum yaitu setelah ditemukannya endapan bahan galian untuk mengetahui dan mendapatkan ukuran, bentuk, letak (posis), kadar dan jumlah cadangan bahan galian. Pada tahapan ini kegiatan yang dilakukan seperti pengeboran inti dengan kedalaman tertentu untuk mendapatkan informasi tentang keberadaan bahan galian, pengambilan sample hasil pemboran diperlukan dalam jumlah kecil untuk mengetahui kandungan serta kadar mineral. Dalam kegiatan ini belum membutuhkan pembukaan lahan secara luas, bukaan lahan hanya dilakukan pada setiap pemboran sekitar 50 m2. c) Studi kelayakan Adalah studi yang dilakukan untuk menghitung untung atau ruginya apabila kegiatan pertambangan dilakukan. Kegiatan ini dilakukan setelah mendapatkan data cadangan dan kadar bahan galian. Beberapa aspek yang ditinjau dari studi kelayakan ini adalah, aspek ekonomi, teknologi dan lingkungan. Apabila menguntungkan dilihat dari ketiga aspek tersebut maka kegiatan pertambangan akan dilanjutkan pada perencanaan penambangan, tetapi apabila tidak menguntungkan, maka data eksplorasi akan disimpan sebagai arsip dan tidak dilanjutkan kegiatannya sampai pada suatu saat memungkinkan untuk dilanjutkan. d) Perencanaan penambangan Adalah kegiatan yang dilakukan untuk merencanakan secara teknis, ekonomi dan
18 Media Bina Ilmiah
e)
f)
g)
h)
lingkungan kegiatan penambangan, agar dalam pelaksanaan kegiatannya dapat dilakukan dengan baik, aman terhadap lingkungan. Persiapan / Konstruksi Adalah kegiatan yang dilakukan untuk mempersiapkan fasilitas penambangan sebelum operasi penambangan dilakukan. Pekerjaan tersebut seperti pembuatan akses jalan tambang, pelabuhan, perkantoran, bengkel, mes karyawan, fasilitas komunikasi dan pembangkit listrik untuk keperluan kegiatan penambangan., serta fasilitas pengolahan bahan galian. Penambangan Adalah kegiatan penggalian terhadap bahan tambang yang kemudian untuk dilakukan pengolahan dan penjualan. Pada tahapan ini kegiatannya terdiri dari pembongkaran/penggalian, pemuatan kedalam alat angkut dan pengangkutan ke fasilitas pengolahan maupun langsung dipasarkan apabila tidak dilakukan pengolahan terlebih dahulu. Kegiatan membutuhkan lahan yang luas dan menggunakan alat-alat mekanis untuk keperluan produksinya. Bukaan lahan bekas tambang nantinya dilakukan reklamasi untuk mengembalikan fungsi lahan sesuai dengan peruntukannya. Pengolahan bahan galian Pengolahan bahan galian dilakukan untuk memisahkan antara mineral berharga dan mineral tidak berharga sehingga didapatkan mineral berharga dalam kadar yang tinggi. Pemasaran Setelah didapatkan mineral berharga dalam kadar yang tinggi selanjutnya dapat di pasarkan sebagai bahan dasar untuk industri hilir, seperti industri logam, industri manufaktur dll (Somantri,2008)
Ciri-ciri praktek pertambangan yang baik, secara umum adalah sebagaiberikut: • Mematuhi kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; • Mempunyai perencanaan yang menyeluruh tentang teknik pertambangan dan mematuhi standar yang telah ditetapkan; • Menerapkan teknologi pertambangan yang tepat dan sesuai; • Menerapkan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan di lapangan; • Menerapkan prinsip konservasi, peningkatan nilai tambah, serta keterpaduan dengan sektor hulu dan hilir;
• Menjamin keselamatan dan kesehatan kerja bagi para karyawan; • Melindungi dan memelihara fungsi lingkungan hidup; • Mengembangkan potensi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat; • Menghasilkan tingkat keuntungan yang memadai bagi investor dan karyawannya; • Menjamin keberlanjutan kegiatan pembangunan setelah periode pasca tambang. Melalui pendekatan dan penerapan teknik yang efektif dan efisien ( cost effective) maka dapat dilakukan evaluasi kelayakan kegiatan pertambangan secara menyeluruh, baik dari aspek teknis, lingkungan maupun ekonomi (Djajadiningrat,2007) 3. Nilai Tambah dan Manfaat Pertambangan Sesuai dengan pandangan konvensional atau tradisional, negara atau wilayah yang kaya akan sumberdaya mineral tentunya mempunyai keuntungan atau keunggulan. Kekayaan sumberdaya mineral merupakan salah satu asset nasional. Industri pertambangan diharapkan (atau dengan kata lain, tentunya) dapat menjadi peran kunci dalam mengubah kekayaan alam yang belum dapat dimanfaatkan ( dormant) menjadi kekayaan yang dapat mensejahterakan rakyat dalam bentuk sekolah, permukiman, pelabuhan, jalan, jaringan listrik dan sarana umum lainnya yang memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi. Di samping pandangan di atas, menurut Davis dan Tilton (2002) dalam Djajadiningrat,(2007) sejak akhir 1980-an di kalangan internasional muncul pandangan baru terhadap industri pertambangan, yang memandang bahwa industri pertambangan adalah industri ekstraktif yang merusak lingkungan hidup serta tidak memberikan kontribusi yang berarti terhadap masyarakat sekitar dan negara. Pandangan serupa juga mulai muncul di Indonesia, untuk menyelesaikan perbedaan pandangan tersebut, diperlukan kegiatan penyebarluasan informasi tentang nilai tambang dan manfaat industri pertambangan dalam pembangunan nasional Indonesia (Djajadiningrat,2007). b. Pertambangan tanpa ijin (PETI) PETI adalah kegiatan pertambangan secara illegal. Umumnya dilakukan masyarakat dengan pengetahuan yang terbatas atau mengabaikan kaidah good mining practice. Kegiatan yang seakan-akan mengatasnamakan kepentingan rakyat atau masyarakat ini didukung oleh cukong bermodal
Artikel Pendidikan 19 besar yang hanya memikirkan keuntungan dalam jangka pendek.
• •
• • Gambar 1. Kegiatan PETI di Wilayah Sekotong 1. Akibat PETI Akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan PETI yaitu ; • pencemaran terhadap air, baik berupa erosi maupun larutnya unsur-unsur logam berat (leaching) karena sistem penirisan yang tidak baik, • pencemaran udara berupa debu dan kebisingan oleh kendaraan pengangkut,perubahan kontur, • perubahan alur sungai, akibat penambangan pasir sungai, • longsor dikarenakan pembuatan jenjang yang terlalu curam, dan • subcidence, terjadi pada penambangan yang dilakukan secara bawah tanah. • pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan berkurang, • konflik sosial, terjadinya persaingan antar buruh tambang, dan • terganggunya kegiatan sektor lain, seperti pertanian dikarenakan rusaknya irigasi dan perubahan alur sungai, dan perubahan kontur. • Membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lingkar tambang • Meningkatnya pendapatan masyarakat, • Tumbuhnya usaha penunjang kegiatan pertambangan seperti ; usaha warung makan, fabrikasi alat-alat pertambangan konvensional 2. Faktor Pendorong PETI Beberapa faktor yang mendorong meningkatnya kegiatan PETI penyebab adalah sebagai berikut ; • Kemiskinan. • Karakteristik usaha pertambangan. Usaha pertambangan pada umumnya memberikan keuntungan materi yang relatif tinggi, karena beberapa bahan galian tanpa melalui pengolahan langsung dapat dijual. • Permintaan terhadap pasar bahan galian yang relatif tinggi, terutama pada daerah-daerah
• •
yang mempunyai pertumbuhan pembangunan fisik yang tinggi. Tingkat pengusahaan yang mudah, terutama untuk bahan galian golongan C. Umur tambang yang sangat singkat, beberapa diantaranya lebih singkat dari lamanya proses perijian, karena sebagain besar berupa pertambangan sekala kecil. Proses perijian yang rumit dan memakan waktu yang lama, Terjadinya praktek suap dan pungutan liar yang menyebabkan retibusi dan pajak tidak sampai ke kas pemerintah, Lemahnya pengawasan terhadap usaha pertambangan, dan Lemahnya penegakan hukum.
c. Kemiskinan Salim (1980) dalam BPS Yapen Waropen (2005), mengemukakan bahwa kemiskinan umumnya dilukiskan sebagai rendahnya pendapatan untuk memenuhi kehidupan pokok. Pendekatan kemiskinan yang didasarkan atas pendapatan ini tidak dengan sendirinya memberikan gambaran yang sempurna atau memadai tentang kemiskinan pada umumnya. Dillon dan Hermanto (1993) dalam BPS Yapen Waropen (2005) mengemukakan bahwa kemiskinan dapat dilihat dengan dua cara, yaitu kemiskinan sebagai suatu proses dan kemiskinan sebagai suatu akibat atau fenomena di dalam masyarakat. Sebagai suatu fenomena atau gejala dari suatu masyarakat, kemiskinan menggambarkan ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Pendekatan ini pada akhirnya melahirkan konsep kemiskinan absolut. Definisi BPS tentang kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang yang mempunyai pengeluaran per kapita selama sebulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan standar hidup minimum. Kebutuhan standar hidup minimum digambarkan dengan garis kemiskinan (GK) yaitu batas minimum pengeluaran per kapita per bulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan non makanan (BPS Yapen Waropen, 2005) Ciri masyarakat miskin adalah: (1) tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka (politik), (2) tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada (sosial), (3) rendahnya kualitas SDM termasuk kesehatan, pendidikan, keterampilan yang berdampak pada rendahnya penghasilan (ekonomi), (4) terperangkap dalam budaya rendahnya kualitas SDM seperti rendahnya etos kerja, berpikir pendek dan fatalisme (budaya/nilai), (5) rendahnya pemilikan aset fisik termasuk aset lingkungan hidup
20 Media Bina Ilmiah seperti air bersih dan penerangan. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti sandang, pangan, papan, afeksi, keamanan, identitas kultural proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi dan waktu luang. Pengertian kemiskinan dapat didefinisikan sebagai berikut (Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2002): • BPS: Kemiskinan adalah kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari • BKKBN: Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan bepergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. • Bank Dunia: Kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US $ 1 per hari. Penduduk miskin di Indonesia dibedakan menjadi a) kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural; yang terjadi terus-menerus, dan b) kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis. Jumlah penduduk miskin Indonesia pada tahun 1996 sebesar 22,5 juta jiwa (11,3%) dan melonjak drastis dengan adanya krisis ekonomi tahun 1997 menjadi 49,5 juta jiwa pada tahun 1998 (17,6 juta jiwa di perkotaan, dan 31,9 juta jiwa di perdesaan). Dengan adanya berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah maka pada tahun 2000 (tidak termasuk Provinsi NAD dan Maluku) jumlah penduduk miskin sebesar 37,3 juta jiwa (9,1 juta jiwa di perkotaan dan 25,1 juta jiwa di perdesaan). Penyebaran penduduk miskin lebih dari 59 persen berada di Jawa-Bali, 16 persen di Sumatera dan 25 persen di Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. PEMBAHASAN a. Kondisi Geografis yang kurang menguntungkan menyebabkan kemiskinan Kecamatan Sekotong secara administratif termasuk dalam Kabupaten Lombok Barat di provinsi Nusa Tenggara Barat. Luas wilayah Kecamatan Sekotong 330,45 km2 (BPS Lobar, 2010). Terletak dibagian selatan Pulau Lombok, terdiri dari perbukitan dan merupakan daerah kritis air dengan curah hujan rendah. Penggunaan lahan di wilayah perbukitan ini sebagian besar merupakan semak belukar dan hutan tanaman kering.
Gambar 2. Peta Wilayah Kecamatan Sekotong (Bappeda Lombok Barat, tanpa tahun) Tidak ada akses transportasi di sekitar wilayah perbukitan ini sehingga untuk mencapainya harus dengan berjalan kaki atau motor melintasi jalan setapak. Sementara, wilayah yang dekat dengan laut merupakan dataran. yang banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai lokasi permukiman, pertanian, dan kegiatan perekonomian. Akses jalan cukup memadai dengan angkutan umum yang menjangkau sampai wilayah Desa Pelangan. Jumlah penduduk di Kecamatan Sekotong 52.271 jiwa dengan kepadatan penduduk 158 jiwa/km2. Dilihat dari tingkat pendidikan, masih banyak masyarakat yang tidak/belum pernah sekolah, mencapai 50% jumlah penduduk di Kecamatan Sekotong, yang didominasi oleh penduduk berusia di atas 18 tahun. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan biaya sehingga mereka lebih memilih bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berdasarkan data dari BPS dalam Kecamatan Sekotong Dalam Angka (2010), untuk mata pencaharian utama penduduk di Kecamatan Sekotong, diketahui bahwa sektor pertanian menduduki tempat tertinggi (± 73%) dimana sektor pertanian yang dimaksud termasuk peternakan dan perikanan. Pertanian yang diusahakan adalah pertanian lahan kering (tadah hujan) yang sangat tergantung pada curah hujan. Jika musim kemarau berkepanjangan masyarakat sering mengalami kegagalan panen. Kecamatan Sekotong masih tergolong tertinggal dalam hal pembangunan. Sekitar 72% tipe perumahan yang ada merupakan rumah tidak permanen dan terbuat dari anyaman bambu (gedek). Untuk kegiatan rumah tangga, 98% masyarakat masih menggunakan kayu bakar dibandingkan minyak tanah. Sebagian wilayah belum terpasang listrik, sekitar 73% masyarakat masih menggunakan lampu minyak, atau membeli genset secara patungan (BPS Lobar, 2010).
Artikel Pendidikan 21
Gambar 3. Kondisi sebagian Masyarakat Sekotong b. Kemiskinan menyebabkan masyarakat berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Menurut Soetjipto Wirosardjono dalam Suryanto (1996) dari data SUSENAS BPS keluarga-keluarga miskin umumnya bertempat tinggal di kantongkantong pemukiman atau daerah yang kecil kemungkinannya disentuh oleh kebijaksanaan ditambah situasi bahwa mayoritas dari mereka berpendidikan rendah. Selo Soemardjan menyebutnya sebagai bentuk kemiskinan struktural. Jenis kemiskinan ini cenderung diwariskan dari satu generasi ke generasi. Survei lain dari BPS menyebutkan bahwa mata pencaharian yang umumnya ditekuni rumah tangga miskin mayoritas hidupnya mengandalkan dari sektor pertanian. Biasanya mereka adalah petani kecil serta kelompok nelayan tradisional. Ada banyak faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan. Diantaranya adalah yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia dan modal (ADB, 1999). Miskinnya informasi mengenai berbagai hal menyebabkan masyarakat pedesaan terutama di Pulau Lombok kesulitan mengembangkan alternatif hidup, menyebabkan satu-satunya usaha masyarakat adalah mengandalkan pertanian atau merambah sumber daya alam yang ada sehingga kemiskinan (ekonomi) semakin meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan kelangkaan lahan. Kemiskinan dan hidup kekurangan mengakibatkan masyarakat berusaha untuk mencari solusi mengatasi kesulitan hidup. Adanya kandungan emas di wilayah sekitar rumah mereka menyebabkan masyarakat Sekotong begitu antusias untuk beralih profesi menjadi penambang (penambang liar). Tingkat pendidikan yang rendah mengakibatkan hampir semua penambang menggunakan cara dan peralatan yang tradisional dalam kegiatannya, tanpa memikirkan akibat yang mereka timbulkan. Saat ini menambang adalah mata pencaharian utama mereka. Mereka menggali sebagian besar perbukitan yang diduga mengandung emas dan mengolah batuan yang diperoleh di rumah masing-masing.
c. Adanya potensi bahan galian emas menyebabkan masyarakat berbondongbondong untuk menambang secara illegal/tanpa ijin. Sejak awal tahun 2008 lalu, keberadaan tambang emas di daerah Sekotong Lombok Barat menyedot perhatian masyarakat, bahkan banyak diantara mereka berbondong-bondong untuk mengadu perutungan. Walaupun terhitung illegal minat masyarakat bukannya surut malah penambang liar yang berdatangan makin bertambah. Awalnya lokasi penambangan hanya di dua titik yakni di Desa Kedaro Sekotong dan di Dusun Kayu Putih Desa Pelangan. Namun kini telah ditemukan lokasi penambangan yang baru yakni di Dusun Jati dan di Dusun Rambut Petung kedua lokasi tersebut masih dalam wilayah Desa Pelangan. Menurut informasi kandungan emas di lokasi yang baru tersebut lebih bagus. Hal tersebut membuat para penambang di dua titik sebelumnya beramai-ramai berpindah ke lokasi yang baru, jika sebelumnya kandungan emas dalam satu karungnya hanya 1 gram, di lokasi yang baru dalam satu karung para penambang bisa memperoleh minimal 3,5 gram emas murni. Bahkan pernah ada penambang yang berhasil mendapatkan emas murni sebesar 55 gram. Samiun (35) salah seorang penambang asal Desa Pengenjek Lombok Tengah mengaku dalam sehari ia bisa mendapatkan emas paling sedikit 3 gram, sementara itu Rustam (41) penambang asal Dompu mengaku dalam sehari rata-rata bisa mengumpulkan 4 sampai 5 gram emas. Dengan hasil yang menggiurkan tersebut, banyak masyarakat yang menjadi penambang dadakan, bahkan ada yang berasal dari luar Lombok Barat seperti, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, bahkan ada yang datang dari pulau Jawa dan Kalimantan.(Goenawan, 2008). Meskipun tidak banyak berubah, namun masyarakat mengaku pendapatan mereka meningkat dengan adanya kegiatan penambangan emas ini, seperti yang dituturkan oleh salah seorang pemilik gelondong bahwa sebelum ada kegiatan pertambangan, beliau bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tidak tetap, maksimal yang dapat diperoleh adalah Rp. 20.000/hari. Tetapi setelah adanya kegiatan pertambangan, dalam sehari minimal masyarakat bisa mendapatkan 0,5 - 1 gram emas. Saat ini dapat dikatakan bahwa kemiskinan bukanlah satu-satunya penyebab maraknya kegiatan pertambangan tanpa ijin, karena kegiatan menambang tidak hanya dilakukan oleh masyarakat miskin tetapi dilakukan juga oleh seluruh lapisan masyarakat Sekotong termasuk aparat dusun, desa, kecamatan, bahkan investor dari luar Sekotong yang membuat gelondong/tong di Wilayah Kecamatan Sekotong dengan mempekerjakan masyarakat
22 Media Bina Ilmiah setempat. Bagi masyarakat miskin, menambang merupakan profesi utama mereka saat ini. Bagi aparat, menambang merupakan kegiatan sampingan yang menghasilkan, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang aparat desa bahwa mereka memiliki lubang tambang sendiri dan amalgamator (gelondong). Kegiatan ini dilakukan sebagai pekerjaan sampingan untuk meningkatkan kesejahteraan. Sementara bagi investor, hasil pengolahan emas yang diperoleh dipandang cukup menguntungkan. d. Solusi yang ditawarkan Kegiatan Pertambangan di Kecamatan Sekotong tidak mungkin dihentikan, karena telah menjadi mata pencaharian utama bagi sebagian besar masyarakat setempat saat ini. Sebaiknya pemerintah daerah mengusahakan perolehan ijin usaha pertambangan rakyat sehingga kegiatan pertambangan yang dilakukan di Kecamatan Sekotong menjadi legal dan dapat dikontrol agar dapat mensejahterakan masyarakat setempat. PENUTUP Tujuan pembangunan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan dan pemerataan pendapatan. Kemiskinan yang terjadi di Kecamatan Sekotong lebih disebabkan karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan sehingga ketika di wilayah tersebut diketahui terdapat bahan galian emas, tidaklah mengherankan jika masyarakat berbondong-bondong menambang emas secara tradisional/tanpa ijin/illegal. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan mereka berpikir secara sederhana, tidak berpikir panjang akan bahaya yang ditimbulkan dari kegiatan mereka tersebut, baik bagi diri mereka maupun bagi lingkungan. Untuk itu, diharapkan kebijakan pemerintah terutama Pemerintah Daerah mengusahakan status pertambangan rakyat, mengatur dan mengarahkan sehingga kegiatan pertambangan di wilayah Sekotong dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan dampak negatif yang sekecil-kecilnya terhadap lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2009, Bupati Lombok Barat Ancam Pidanakan Penambang Emas Illegal, www.antarmataram.con, diakses 6 Juni 2009 Asian Development Bank. 1999. Reducing Poverty: Major Findings and Implementation, A Report Based on Consultations in Selected Developing Member Countries of the Asian Development Bank. Asian Development Bank. BPS Kabupaten Lombok Barat, 2010, Kecamatan Sekotong dalam Angka 2009/2010 BPS Yapen Waropen, 2005, Profil Rumah Tangga Miskin dan Indikator Kemiskinan Yapen Waropen Djajadiningrat, S.T., 2007, Pertambangan, Lingkungan, dan Kesejahteraan Masyarakat, Makalah disampaikan dalam Seminar Ilmiah NasionalL: Mining, Environment, and People Welfare’, International Center for Coastal and Small Island Environment Studies, Universitas Sam Ratulangi, Manado, 6 Agustus 2007. Goenawan, I., 2008, Ditemukan Dua Titik Lokasi Penambangan Baru, www.sasak.org, diakses 4 Juni 2009 Mubarok, M.Z., 2009, Menuju Lombok Barat Bangkit dan Berhijrah, www.pelita.or.id, diakses 4 Juni 2009 Somantri, N.D., 2008, Mengenal Pertambangan Lebih Dekat, www. disputambenlobar.blogspot.com, diakses 4 Juni 2009 Suryanto, Bagong, 1996. Perangkap Kemiskinan, Problem dan Strategi Pengentasannya dalam Pembangunan Desa. Yogyakarta: Aditya Media