MENYINGKAP MAKNA PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI (Telaah Ma’ani Hadits)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S. 1) Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Oleh : ELY UZLIFATURROHMAH 4105021
FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
MENYINGKAP MAKNA PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI (Telaah Ma’ani Hadits)
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana (S. 1) Dalam Ilmu Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadits
Oleh : ELY UZLIFATURROHMAH 4105021 Semarang, 15 Juni 2010 Disetujui Oleh : Pembimbing I
Pembimbing II
Ahmad Musyafiq, M.Ag NIP. 197207091999031002
Sri Purwaningsih, M.Ag NIP.197005241998032002
ii
PENGESAHAN
Skripsi saudara : Ely Uzlifaturrohmah No. Iduk : 4105021 telah dimunaqosahkan oleh dewan penguji skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal : 15 Juni 2010 Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelas sarjana dalam Ilmu Ushuluddin.
Semarang, 15 Juni 2010 Ketua sidang
Nashihun Amin NIP Pembimbing I
Penguji I
Ahmad Musyafiq, M.Ag NIP. 197207091999031002
Dr. Zuhad, M.A NIP. 195605101986031
Pembimbing II
Penguji II
Sri Purwaningsih, M.Ag NIP. 197005241998032002
Drs. Muhtarom, M.Ag NIP. 19690602199703
iii
MOTTO
ÇÒÈ t…………..bqßJn=ôètƒ Ÿw tûïÏ%©!$#ur tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$# “ÈqtGó¡o„ ö@yd…….. "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang yang tidak mengetahui?"(al-Zumar)1
1
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Penerbit Duta Ilmu, 2005), hlm.660
iv
Abstraksi
Ely Uzlifaturrohmah (NIM: 4105021) Menyingkap Makna Pengulangan Tiga Kali dalam Hadits Qauliah Nabi Saw. (Tela’ah Ma’ani Hadits). Skripsi Semarang Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, 2010 Fokus permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana makna pesan Nabi SAW. dalam hadits pengulangan tiga kali? (2) Bagaimana argumentasi dari pesan tersebut? Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisa hadits-hadits pengulangan tiga kali guna memahami makna pesan Nabi SAW. (2) Menggali argumentasi dari pesan Nabi SAW. tersebut dengan pendekatan multidisiplin. Adapun metode penelitian ini penulis manggunakan sistem kepustakaan yakni peneliti mengumpulkan matan-matan hadits yang diulang tiga kali dari sumber primer (Kutub al-Sittah) dan kitab-kitsb lain yang mendukung atau memuat obyek penilitian ini. Kemudian dalam menganalisa data, penulis menggunakan analisis data kualitatif dengan pendekatan multidisiplin. Pendekatan multidisiplin adalah pendekatan dengan menggunakan pengembangan sejumlah disiplin ilmu yang lain, seperti ilmu tentang motifasi, ilmu tentang fisiologi, psikologi, sience. Dengan menganalisa maka ditemukan beberapa makna yang terkandung di dalam matan-matan hadits tersebut, yang terlebih dahulu penulis mendialogkan dengan Al-Qur’an. Dan dengan menggunakan pengembangan sejumlah disiplin ilmu yang lain dengan tujuan memperoleh hasil secara rasional dan empiris agar hadits tersebut bisa dipahami secara tektual maupun kontekstual
v
TRANSLITERASI Transliterasi dimaksudkan sebagai pengalih-hurufan dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Transliterasi Arab-Latin di sini ialah penyalinan huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf latin beserta perangkatnya. Pedoman transliterasi dalam skripsi ini meliputi : Huruf Arab
Nama alif ba ta sa jim ha kha dal zal ra za sin syin sad dad ta za ain gain fa qaf kaf lam mim nun wau ha hamzah ya
Huruf latin
Nama
Tidak dilambangkan b t ts j h kh d dz r z s sy sh dl th zh .. g f q k l m n w
Tidak dilambangkan be te as (dengan titik di atas) je ha ka dan ha de zet (dengan titik di atas) er zat es es dan ye es de te zet koma terbalik (di atas) ge ef ki ka el em en we Ha (dengan titik di atas) apostrof ye
.´ y
vi
Maddah:
:
: a: panjang : u: panjang : i: panjang
Diftong:
:aw :ay
Catatan: 1. Konsonan yang bersyaddah ditulis rangkap, misalnya: “
maka ditulis
nabawiyah 2. Kata sandang Alif dan Lam ( ) diikuti dengan huruf qomariyah misalnya "
ditulis dengan al-hadits demekian pula saat diikuti dengan huruf
syamsiyah misalnya “
maka ditulis dengan
al-Sunnah al-
Nabawiyah 3. Ta ta nits/ Ta Marbutah mati ( ) bila diakhir kata ditulis dengan huruf “h” misalnya “
ditulis dengan sunnah
vii
Persembahan
ÇÊÈ ÉOŠÏm§•9$# Ç`»uH÷q§•9$# «!$# ÉOó¡Î0
Kupersembahkan Untuk Agama, Bangsa dan Negaraku
viii
Kata Pengantar
Bismullahirrohmanirrohim Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas taufiq serta hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan sikripsi ini. Sikripsi ini berjudul Menyingkap Makna Pengulangan Tiga Kali dalam Hadits Qauliah Nabi (Tela ah Ma ni Hadits) . Disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu (S.1) Fakaultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Dalam penyusunan sikripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan sikripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terimakasih yang paling dalam kepada: 1. Khusus Kedua Orang Tua kami, ibu dan bapak yang telah mendidik dan memperjuangkan masa depan kami dengan penuh kesabaran tak peduli beratnya perjuangan 2. Segenap keluarga yang selalu memberikan motifasi yang luar biasa sehingga penulis mampu menyelesaikan sampai akhir pembuatan sikripsi. Teruntuk paman H. Musta’in beserta istri Hj Maslihatun dan kelurga. Semoga Allah selalu memberikan Keberkahan 3. Yang terhormat Bapak Dr. Muhayya, M. A., selaku dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang yang telah merestui pembahasan sikripsi ini. 4. Bapak A. Hasan Asy’ari Ulam’I., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadits yang telah menyetujui pembahasan sikripsi ini. 5. Bapak Ahmad Musyafiq M.Ag.dan ibu Hj. Sri Purwaningsih M.Ag. yang telah membimbing dan mengarahkan dalam penyusunan sikripsi ini. 6. Bapak Saifuddin Zuhri M.Ag. sebagai wali studi penulis, serta para dosen dan pengajar di lingkungan Fakultas Ushuludin IAIN Walisongo, yang telah membekali berbagai pengetahuan sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan sikripsi ini
ix
7. Kepada Dr. Zuhad M.A. guru besar yang selalu penulis kagumi dengan segala ilmu dan kebijakan yang beliau ajrkan kepada kami 8. Bapak Muhtarom M.Ag. selaku penguji dan membimbing dalam penyelesaian sikripsi 9. Terimakasih Kepada bang Fahrur seorang laki-laki muslim yang sangat mencintai al-Qur’an, bahkan mampu mengendarai motor sambil bertilawah, ia yang selalu menyulutkan api semangat belajar al-Qur’an kepada jundi-jundi kecil pewaris Islam dan negara 10. Gus Labib, yang memahami dan memberikan arti persaudaraan 11. Segenap pengurus dan seluruh santri asrama Isybillah dan Pesma Qolbun Salim pemimpin umat yang sangat penulis kagumi 12. Teman-teman seperjuangan (Ja is al-Harokah) yang selalu menampakkan ghiroh perjuangan untuk lebih memahami arti sebuah perjuangan 13. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu mengibarkan semangat fastabiq alkhairot (semangat lulus, semangat nikah), Gus Arif, Lela, Fauzul, Faisal, Cumi, Mizan dan teman-teman angkatan 2005 14. Untuk ribuan orang lainnya yang telah begitu banyak memberikan inspirasi baik secara langsung atau tak langsung namun belum penulis cantumkan namanya. Penghargaan dan terimakasih yang tak terhingga Semoga amal baik mereka semua mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt. Akhirnya, tiada gading yang tak retak, segala kritik, saran dan masukan demi perbaikan dan pengembangan sikripsi ini selalu kami nantikan. Dan semoga sikripsi ini dapat menambah hasanah ilmu pengetahuan yang merujuk kepada agama (Al-Qur’an dan hadits) Semarang, 24 Juni 2010 Penulis,
ELY UZLIFATURROHMAH NIM: 4105021
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .....................................................................
iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAKSI..........................................................................
v
HALAMAN TRANSLITRASI ...................................................................
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................
viii
HALAMAN KATA PENANTAR...............................................................
ix
HALAMAN DAFTAR ISI..........................................................................
xi
BAB I
BAB II
BAB III
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.........................................................
1
B. Rumusan Masalah..................................................................
6
C. Tujuan Penulisan Penelitian ...................................................
6
D. Manfaat Penelitian .................................................................
6
E. Tinjauan Pustaka....................................................................
7
F. Metode Penulisan Skripsi.......................................................
8
G. Sistematika Penulisan Skripsi ................................................
10
MAKNA PENGULANGAN DAN KAIDAH MEMEHAMI HADIS NABI .............................................................................
12
A. Makna Pengulangan dalam Kaidah Bahasa Arab....................
12
B. Ilmu Ma’ani...........................................................................
14
C. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Hadits Nabi ...........................
15
1. Pengertian Hadits ............................................................
15
2. Bentuk-bentuk Hadits Nabi ..............................................
16
D. Pemahaman Hadits Secara Tekstual dan Kontekstual ............
17
TELA’AH
HADITS-HADITS
NABI
YANG
MENGANDUNG PENGULANGAN TIGA KALI ..................
24
A. Hadit-hadits Pengulangan Tiga Kali tentang Akhlaq ..............
24
xi
1. Hadits tentang Bakti ibu lebih didahulukan daripada ayah
24
2. Hadits tentang Larangan Memperbanyak Marah ..............
32
3. Hadits tentang Mengulangi Ucapan hingga Tiga Kali.......
34
B. Hadits-hadits Pengulangan Tiga Kali tentang Muamalah........
36
1. Hadits tentang Agama adalah Nashihat ............................
36
2. Hadits tentang Haram memakai kain di bawah tumit
BAB IV
BAB V
karena sombong ...............................................................
43
3. Hadits tentang Memanah sebagai strategi perang..............
45
ANALISA MAKNA LAFAL PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI........................................
47
A. Urgensi Pesan Dalam Hadits Pengulangan Tiga Kali ............
47
B. Implikasi Moral Dalam Hadits Pengulangan Tiga Kali...........
69
PENUTUP..................................................................................
77
A. Kesimpulan............................................................................
77
B. Saran-saran ............................................................................
80
C. Penutup..................................................................................
88
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, tampil sebagai penjelas (bayan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global, menafsirkan yang masih mubham, membatasi yang masih mujmal, membatasi yang masih mutlak (muqayyad), menghususkan yang umum (‘am), dan menjelaskan hukum-hukum yang masih eksplisit tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an. Hal ini sejalan dengan firman Allah: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (QS. Al-Nahl/16:44). Atas dasar inilah, maka Allah swt. menjadikan ketaatan kepada Rasul, sebagai ketaatan kepada Allah, dan mewajibkan bagi kaum muslimin untuk mengikuti apa yang diperintahkan dan menjahui apa yang dilarang oleh Rasulullah SAW. Karena Rasulullah SAW. ketika menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an tidak mendasarkan diri pada kehendak hawa nafsunya, melainkan mengikuti kehendak wahyu yang dianugrahkan Allah kepadanya. Firman Allah: “Katakanlah: “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku (QS al-An’am/6:50). Bahkan hadits dapat berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh al-Qur’an2. Al-hadits begitu juga al-sunah oleh mayoritas ulama’ didefinisikan sebagai “ segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan) maupun sifat fisik dan psikis,
2
. Secara tersirat al-Qur’an mendukung ide tersebut, baca antara lain surat al-Nahl ayat 44, al-Hasyr ayat 7 dan al-an’am ayat 50, uraian yang sangat menarik mengenai hadits sebagai bayan terhadap al-Qu’an dan contoh-contohnya, dapat dibaca dalam Wahbah al-Zuhaili, al-Qur an al-Karim wa bayanatuhu al-Tasyri iyyah wa khasha ishuhu al-Hadhariyah, (Beirut: Dar alFiukr,1993,) hlm. 48-49
1
baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya”. Adapun ulama’ ushulul fiqi
membatasi pengertian hadits hanya pada “ucapan-ucapan Nabi
Muhammad SAW. yang berkaitan dengan hukum. Sedang yang mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini, oleh ulama’ ushul fiqi dinamai al-sunah. Al-Qur’an menjadi barometer atas kebenaran hadits. Jika hadits maknanya bertentangan dengan semangat alQur’an, maka hadits yang seperti itu harus dibuang jauh-jauh, karena hadits sebagai ucapan, tindakan dan sikap Nabi Muhammad SAW. (yang kedudukannya sebagai Rasul utusan Tuhan). Karena itu ada otoritas tersendiri yang wajib ditaati umat Islam, seperti halnya dengan Al-Qur’an, hadits merupakan tindakan dan sikap atau kesan Nabi Muhammad SAW. terhadap segala sesuatu, isinya mencakup segala aspek kehidupan, dari yang paling abstrak atau umum sampai yang paling konkrit dan khusus, itu sebabnya hadits secara kausalitas ditulis dan dihafal oleh umat Islam sebagai pengetahuan untuk menjawab persoalan-persoalan agama, moralitas social, politik, bahkan hingga bagaiamana para orang tua atau seorang pendidik mendidik anak-anak dengan metode Nabi Muhammad SAW. Pada masa Rasulullah SAW. tidak ada sumber hukum selain al-Kitab dan al-sunah. Di dalam Kitabullah Ta’ala terdapat pokok-pokok yang bersifat umum bagi hukum-hukum syari’at, tanpa pemaparan rinci keseluruhannya dan pencabangannya, kecuali yang sejalan dengan pokok-pokok yang bersifat umum itu yang tidak pernah berubah oleh bergulirnya waktu dan tidak berkembang lantaran keragaman manusia di lingkungan dan secara global, sunnah sejalan dengan Al-Qur’an, menjelaskan yang mubham, merinci yang mujmal,
membatasi
yang
mutlak,
menghususkan
yang
umum dan
menguraikan yang umum dan tujuan-tujuannya, disamping membawa hukumhukum yang belum dijelaskan secara eksplisit oleh Al-Qur’an yang isinya sejalan dengan kaidah-kaidanya dan merupakan realisasi dari tujuan
dan
sasarannya. Sunnah terkadang merupakan amal yang muncul dari Rasulullah SAW. terkadang merupakan ucapan yang beliau sabdakan pada suatu
2
kesempatan. Dan terkadang
merupakan perilaku atau ucapan sahabat
Rasulullah SAW., lalu beliau melihat perilaku itu atau mendengar ucapan itu, kemudian memberikan pengakuan. Beliau tidak menentang atau mengingkari, tetepi hanya diam atau justru menilai baik. Itulah yang disebut taqriri dari beliau. Rasul
SAW.
Menghabiskan
dua
puluh
tiga
tahun
untuk
mendakwahkan Islam, menyampaikan hukum-hukum dan ajaran-ajarannya. Sehingga kepulauan Arabia dan sekitarnya telah memeluk agama Islam. Jangka waktu selama itu sekaligus merupakan periode pengajaran praktis dan sendi dasar bagi pembangunan peradaban Islam yang luhur, yang telah merubah wajah sejarah dan mengembangkannya dengan senjata peradaban disegala aspek kehidupan. Menyampaikan risalah dan amanah merupakan tugas penting yang sangat berat dan penuh resiko yang hanya mampu dipikul oleh rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati. Allah telah memilih Muhammad SAW., mengajar dan mendidik beliau mampu memangku tugas risalah dan menyampaikannya. Oleh karena itu, Allah membekali beliau dengan bekal yang agung, baik dari aspek keilmuan maupun dari aspek etika. Karena itulah, Rasul SAW. dihiasi dengan sifat-sifat luhur dan memiliki pribadi terdidik yang merupakan model munculnya pekerti yang mulia dan memancarkan sikap-sikap terpuji3. Karena itulah, beliau merupakan panutan terbaik yang jejak-jejaknya akan selalu diikuti dalam segala manifestasi kehidupan. Beliau benar-benar menjadi tauladan yang baik bagi para sahabat yang berbaur, menyaksikan dan mendengar langsung dari beliau. Mereka mengenal beliau sampai kemasalah yang paling pelik-yang semua itu merupakan sunnah- dan kemudian mewariskannya kepada kita dengan penuh keikhlasan dan ketelitian. Termasuk bagaimana metode pengajaran dan cara-cara sahabat mendapatkan sunnah dari beliau, karena hal itu memiliki pengaruh yang jauh dalam pengukuhan dan pengajaran sunnah. 3
Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terjemahan Drs. H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq S.Ag. (penterjemah), (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998), hlm. 43
3
Metode yang digunakan Rasulullah SAW. dalam mengajarkan hadits pada para sahabatnya tidaklah jauh berbeda dengan metode yang digunakan beliau dalam mengajarkan Al-Qur’an. Menurut Syuhudi Ismail, bahwa metode yang digunakan Nabi dalam menyampaikan hadits sangat berfariasi, sesuai dengan bentuk-bentuk hadits beliau . Pengajaran dengan metode peragaan peraktis, atau menurut beliau bisa disebut dengan penyampaian melalui perbuatan. Dalam hal ini Nabi memberikan contoh praktis kepada para sahabatnya tentang berbagai masalah. Seperti cara melakukan wudhu, sholat, puasa atau cara beribadat lainnya4 Pengajaran dengan metode tertulis, metode ini dapat diketahui dengan adanya perintah Nabi untuk menulis Al-Qur’an kepada para khutabnya5 Tidak jarang Rasulullah S.A.W. dalam mengajarkan haditsnya dengan menggunakan metode lisan, metode ini berbentuk ceramah yang diadakan di majlis Nabi, Nabi menyampaikan kadangkala di depan orang banyak, terdiri dari kaum laki-laki maupun perempuan, adakalanya hanya dihadiri oleh kaum laki-laki saja atau sebaliknya, setelah mereka memintanya. Bila berbicara, Rasul SAW. menggunakan makna yang sangat tegas dan rinci. Apabila yang disampaikannya itu merupakan suatu hal yang sangat penting, beliau biasa mengulanginya sampai tiga kali. Hal ini dimaksudkan memahami maknanya dan pendengar menghafalnya. Dari Sayyidah ra. Diriwayatkan bahwa beliau tidak berbicara secara beruntut seperti kalian. Tetapi beliau berbicara dengan bahasa yang tegas dan jelas sehingga bisa dihafal pendengarnya6 Riwayat yang lain menyebutkan, pembicaraan beliau bila ada yang menghitung, bisa dihitungnya. Beliau menjelaskan kepada sahabatnya berbagai hukum dengan jelas, sehingga tak ada pertanyaan lagi bagi pendengar dan tak ada lagi kesulitan bagi penanya yang ada dihadapan beliau. Samapai-sampai beliau sering memberikan jawaban yang lebih luas dari yang ditanyakan. 4
Dr. Syuhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 29-35 5 Muhammad Musthafa Azami, Metodoloi Kritik Hadits, terjemahan Drs. A. Yamin, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), hlm. 28 6 Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, Umdah al-Qori: Sharah Shahih al-Bukhori, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001), juz 22, hlm. 173
4
Namun tidak semua hadits Nabi yang diulang tiga kali dalam pengucapannya mempunyai tujuan makna yang sama, contohnya hadits nabi yang berbunyi
: 7
(
)
:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW., berikanlah wasiat kepadaku ya Rasul, lalu Nabi berkata jangan marah hingga perkataan tersebut diulang-ulang, Nabi berkata jangan marah. (Diriwayatkan dari al-Bukhori) Hadits ini tentunya tidak sama maknanya dengan hadits yang sama pengulangannya sebanyak tiga kali, sebagaimana hadits yang berbunyi
:
:
:
: 8
:
:
:
: :
:
Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata, seorang laki-laki datang kepada Rasul SAW, dengan berkata: Wahai Rasulullah, siapakah orang yang lebih berhak untuk aku temani dengan baik? Rasulullah bersabda: ibumu, lelaki tersebut berkata: kemudian siapa? Rasulullah berkata: ibumu, kemudian siapa? Rasul menjawab: ibumu, kemudian siapa ya Rasul? Rasul menjawab: bapakmu. (Mutafaq ‘alaih) Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis bermaksud mencoba melakukan analisa yang komprehenshif mengenai makna-makna yang terkandung dalam hadits-hadits tentang pengulangan tiga kali terhadap pengajaran Nabi. Dengan memilih judul Menyingkap Makna Pengulangan Tiga Kali dalam Hadits Qouliah Nabi. Pada penelitian ini penulis hendak menganalisa, bagaimana memahami secara proporsional mengenai makna pengulangan tiga kali dalam pembelajaran Nabi. 7
Imam Muhammad ‘abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhadl : Syarah Jami’ al-Tirmidzi, (Beirut: Darul Fikr, 1995M), juz. 6, hlm. 128 8 Mahmud bin Ahmad Al-‘Aini, Umdah al-Qori: Sharah Shahih al-Bukhori, op. cit., juz. 22, hlm. 130
5
Dalam penelitian ini, penulis dalam menukil hadits-hadits pengulangan merujuk pada kitab Riy dh al-Shal hi n pengarang Syarf al-Nawawi kemudian menelusurinya dalam kitab induk. Sesuai Pernyataan Imam Nawawi yang termaktub dalam muqodimahnya kitab Riy dh al-Shal hi n bahwa haditshadits yang terdapat dalam kitab tersebut berkualitas shahih karena kitab tersebut dinuqil dari kitab-kitab induk (Kutub at-Tis ah).
B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari pemikiran di atas, permasalahan yang akan di bahas dalam skripsi ini, yaitu : 1. Bagaimana makna pesan Nabi dalam hadits pengulangan tiga kali? 2. Bagaiama argumentasi dari pesan Nabi tersebut?
C. Tujuan Penelitian 1. Menganalisa hadits-hadits pengulangan tiga kali untuk memahami makna pesan Nabi 2. Menggali argumentasi dari pesan Nabi tersebut dengan pendekatan multidisipilin
D. Manfaat Penelitian 2. Dapat memahami makna pesan nabi dalam hadits pengulangan tiga kali 3. Dapat memberikan argumentasi dari hikmah-hikmah tersebut baik secara aqli maupun naqli. 4. Dapat mengetahui hikmah dalam lafal pengulangan hadits Nabi tersebut (ma wa ra a al-nash)
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan pemahaman tentang informasi yang digunakan malalui hasanah pustaka, terutama yang terkait dengan tema yang dibahas.
6
Hadits Nabi dalam Jam ul Bukhori dalam Kitab al- Ilm, bab Man da hadits liyufhima an u dalam sebuah hadits tersebut menunjukkan salah satu metode Nabi untuk mengajarkan ilmu kepada para sahabatnya, pengulangan tersebut untuk memberi kefahaman sahabat terhadap sunnah Nabi dengan makna atau maksud yang benar. Dalam bukunya Muhammad Sulaiman al-Ashqor, bukunya yang berjudul af l al-ros l wa dil lati
ala al-ahkami al-syar iyah, di dalamnya
diterangkan berbagai metode Nabi dalam mengucapkan suatu permasalahan, hususnya dalam bidang masalah hukum dalam metodologi berupa af lnya Rasul, meliputi qaul, perbuatan, suk t, atau taqr rnya Nabi. Namun, lebih menekankan pada af lnya Rasul dalam menentukan hukum. Di samping itu juga kitab-kitab yang dijadikan sumber dan perbandingan oleh penulis dalam melengkapi data, diantaranya Shahih Muslim dan Bukhari, hasil karya dari Imam Bukhori dan Imam Muslim, Imam Turmudzi dengan kitabnya Sunan al-Turmudzi, Imam Abu Daud dengan kitabnya Sunan Abu Daud, yang secara tidak langsung mengumpulkan hadits yang berkaitan pengulangan ucapan tiga kali dalam hadits Nabi. Dari buku-buku di atas, penulis masing-masing melengkapi dalam memberikan informasi dan masukan dalam penelitian ini. Berangkat dari pemaparan para tokoh pemerhati hadits di atas, menambah wawasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian mengenai makna pengulangan ucapan tiga kali dalam hadits Qauliah Nabi. Penelitian ini menjadi berbeda karena berdasarkan pada hadits-hadits khusus tentang pengulangan tiga kali dalam ucapan Nabi dan melakukan pemaknaan atasnya. Berangkat dari uraian tersebut di atas, penulis menganggap perlu melakukan penelitian lebih lanjut dengan kajian ini diharapkan dapat ditemukan pernyataan tentang makna pengulangan tiga kali sebagai metode pembelajaran, yang pada akhirnya menjadi temuan baru yang dapat diamalkan dalam proses belajar mengajar.
7
F. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini penulis memberi judul “ Menyingkap Makna Pengulangan Tiga Kali dalam Hadits Qauliyah Nabi”. Jadi obyek penelitian tetsebut adalah matan hadits yang diulang tiga kali. Yang mana matan- matan hadits tersebut terkait dengan sunnah-sunnah qauliah. Sebagaimana kita tahu sebagian besar pernyataan Nabi Saw. itu tidak diulang. Namun dibeberapa kitab hadits, peneliti mendapati teks-teks hadits yang diulang sampai tiga kali. Menurut kaidah bahasa Arab bahwa pernyataan yang diulang tiga kali memiliki faidah li al- ta kid yaitu menunjukkan bahwa pernyataan itu adalah penting untuk diperhatikan, sehingga pendengar tidak ragu9. Hal inilah yang menggelitik peneliti untuk menggali lebih dalam lagi terhadap teks-teks hadits yang diulang tiga kali, yaitu untuk mendapatkan argumentasi rasional dan empiris dari pesan-pesan Nabi Saw. tersebut. Untuk lebih mudahnya guna memahami proses penelitian ini, penulis akan menggambarkan secara sistematis, yaitu: 1. Sumber Data Sementara, sumber data tersebut dapat penulis bedakan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder: a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah data autentik atau data yang berasal dari sumber pertama10. Dalam hal ini, penulis akan mengambil data dari Kutub al-Sittah dan kitab-kitab hadits lain yang memuat matanmatan hadits yang diulang tiga kali. b. Sumber Data Sekunder Adalah data yang materinya secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. Sementara, data ini berfungsi sebagai pelengkap data primer. Data sekunder berisi tentang tulisan-
9
Asy-Sekh mushthafa al- Qalaini, Jami al-Durus al- Arabiah, (Beirut: Dar al-Kutub al‘ilmiah, 2006), Juz.3 hlm. 176. 10 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, (Yogyakarta, Gajah Mada University Press,1996), hlm. 216-217.
8
tulisan
yang
berhubungan
dengan
pokok
penelitian
yakni
penyingkapan makna tiga kali dalam pembelajaran Nabi baik dari AlQur’an, buku, jurnal, majalah, hasil penelitian dan sebagainya. 2. Metode Pengumpulan Data. Karena penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, yang mana obyek penelitiannya adalah hadits-hadits pengulangan tiga kali, maka penelitian ini adalah penelitian kepustakaan atau library research . agar mencapai hasil yang optimal, penulis menggunakan beberapa langkah yaitu: pertama, peneliti mengumpulkan matan-matan hadits yang diulang tiga kali dari sumber primer (kutub al-Sittah) dan kitab-kitab lain yang mendukung atau
memuat
obyek penelitian
ini.
Kedua,
penulis
mengelompokkan hadits-hadits tersebut dalam tema-tema yang sudah direncanakan oleh penulis. Setelah data tersebut terklasifikasi, penulis menggali lebih dalam dengan penjelasan-penjelasan dari para ulama’ atau keterangan-keterangan dalam kitab-kitab syarah dari Kutub al-Sittah. Ketiga, setelah mendapatkan keterangan atau penjelasan tersebut, penulis mencoba menganalisa dari kitab induk tersebut dengan mendialogkan kitab-kitab lain yang di dalamnya memuat penemuan-penemuan rasional dan empiris yang terkait dengsn obyek penelitian ini, guna mendapatkan argumentasi rasional dan empiris dari pesan-pesan Nabi Saw. 3. Metode Analisis Data Setelah data terkumpul, selanjutnya data tersebut disusun secara sistematik dan dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan metode sebagai berikut: a. Metode Deskriptif Metode deskriptif merupakan metode penelitian dalam rangka menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian.11 Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau 11
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), Cet. 2, hlm. 66
9
melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini penulis gunakan untuk menganalisa data dengan menggunakan pembahasan yang beranjak dari matan sebuah hadits, dan mencoba menggali lewat kitab-kitab syarah atau asbab al-wurud guna untuk memahami makna hadits-hadits pengulangan tiga kali dalam obyek penelitian ini. v Pendekatan Metode Multidisiplin Dalam memahami pesan atau hikmah yang terkandung dalam sebuah
hadits
yang
diangkat
dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan pendekatan metode multidisiplin. Pendekatan ini adalah pendekatan dengan menggunakan pengembangan sejumlah disiplin ilmu yang lain12, seperti ilmu tentang motifasi, ilmu tentang fisioligi, psikologi, sience. Ilmu-ilmu tersebut dipadukan dengan sejumlah tema-tema hadits dalam penelitian ini, dengan tujuan memperoleh hasil secara rasional dan empiris.
G. Sistematika Penulisan Sebagai sebuah penelitian ilmiah, penulisan skripsi ini disusun berdasarkan tertib susunan yang sistematis, hal ini agar pembahasan bisa dipahami secara jelas. Adapun sistematika penulisannya adalah sebagai berikut : Bab I, pada bab pertama ini merupakan bab pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, pada bab kedua ini merupakan pandangan umum pengulangan lafal hadits yang meliputi, makna pengulangan dalam kaidah bahasa Arab, ilmu ma’ani, pengertian hadits dan hadits qauliah, pemahaman hadits secara tekstual dan konstekstual 12
Noeng Muhadjir, Metodologi Keilmuan, Paradigma Kualitatif, Kuantitatif dan mixed, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2007), hlm.17
10
Bab III, hadits Nabi yang mengandung pengulangan tiga kali, berisi seputar hadits-hadits pengulangan tiga kali tentang akhlaq, hadits-hadits tersebut adalah hadits tentang bakti ibu lebih didahulukan dari pada ayah, hadits tentang tidak boleh marah, dan hadits tentang mengulangi ucapan hingga tiga kali sebagai strategi. Adapun point kedua, hadits-hadits pengulangan tiga kali tentang muamalah, hadits tersebut adalah hadits tentang menghormati tetangga dan tamu, hadits tentang larangan memakai kain di bawah tumit karena sombong, dan hadits tentang memanah Bab IV, Analisis makna pengulangan tiga kali dalam hadits-hadits Nabi yang dalam hal ini penulis akan membagi analisis tersebut dengan beberapa bagian di antaranya adalah untuk sebuah kemuliaan atau keutamaan sebagai bentuk hak seorang ibu atas anak adalah lebih besar dari hak seorang ayah, untuk kewaspadaan terhadap sifat marah (Larangan Memperbanyak Marah), untuk memahamkan, untuk menghormati dan menghargai, untuk kesempurnaan dalam wudhu menghapus dosa, sebagai ungkapan motivasi. Bab V, pada bab ini merupakan penutup dari penyajian skripsi penulis, yang meliputi kesimpulan, saran-saran, dan kata penutup.
11
BAB II MAKNA PENGULANGAN DAN KAIDAH MEMAHAMI HADITS NABI
A. Makna Pengulangan dalam Kaidah Bahasa Arab Salah satu kriteria yang dijadikan untuk menilai fasih atau tidaknya perkataan seseorang di kalangan bangsa arab, ialah bentuk pengulangan kata ataupun kalimat yang sama dalam satu waktu. Demikian sebutan akrabnya dalam kaedah bahasa. Tikrar berasal dari kata karra yang berarti kembali, mengulangi atau menyambung. Imam Jauhari menegaskan hal yang sama yaitu, arti kata karra ialah mengulangi suatu hal atau perbuatan tertentu. Sedangkan pengertian tikrar dalam istilah, ialah mengulangi satu kata atau kalimat yang sama beberapa kali karena bebarapa alasan, diantaranya dengan tujuan penegasan (tawkid), memberi peringatan atau menggambarkan agungnya sebuah hal tertentu. Para ulama bahasa membagi tikrar menjadi dua macam, yang pertama tikrar yang pola pengulangannya terdapat pada ejaan dan makna kata sekaligus, atau mengulang satu kata yang bermakna sama. Seperti jika seseorang mengatakan kata perintah asri’ asri’ !(cepat-cepat!). Satu kata tersebut diulang dengan makna dan ejaan yang tidak berbeda sama sekali. Tikrar yang kedua yaitu apabila pengulangan hanya pada makna saja, sedangkan ejaan katanya tidak sama. Misalnya, athi ni wa la tu shini! (taati dan jangan kau langgar aku!). Dua kata ini meski berbeda, yang satu menggunakan kata athi ni dan satunya lagi la tu shini, akan tetapi kedua makna tersebut tetap saja sama, sehingga jika ada seseorang mengatakan “jangan langgar aku , berarti ia juga memerintahkan untuk mentaatinya. Dirasa ilmu ini cukup penting dalam kajian bahasa. Di bawah ini akan dijelaskan secara sistematis. Pengulangan kata (tikrar) dalam bahasa Arab mempunyai faedah taukid. Namun, taukid mempunyai makna tersendiri. Taukid menurut ahli
12
Nahwu adalah lafal yang mengikuti yang berfungsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafal yang ditaukitkan13 Al-Taukid mempunyai dua bagian: 1. Taukid Lafzhi Taukid lafzhi adalah mengulang-ulang lafazh taukid itu sendiri, baik berupa isim, dhom r, fi il, huruf ataupun jumlah. Pengulangan redaksi baik dalam hadits atau ayat di dalam Al-Qur’an baik berupa hurufhurufnya ataupun susunan kalimatnya dengan tujuan tertentu Taukid lazhi mempunyai faedah tersendiri, faedah tersebut adalah untuk menetapakan dan menyatakan pemahaman kepada pendengar dan menghilangkan dari keraguan14. 2. Taukid Ma nawi Taukid ma naw adalah dengan menyebutkan Nafsun, Ain, Jami , ammah, kila, kilta, dengan syarat lafal-lafal taukid tersebut dimudhofkan dengar dhomir yang sama (muakadnya)15. Taukid ma nawi ini dibagi menjadi dua macam: pertama; kalimah yang menunjukkan pengertian hakikat dan menghilangkan majaz. Kedua; ma nawi lil-ihathoh adalah kalimah yang menunjukkan akan keseluruhan bukan sebagian16 Taukid mempunyai beberapa faidah: 1. Untuk menetapkan dan menyatakan pemahaman ketika dirasa ada kelalaian pendengar 2. Untuk menetapkan serta menolak prasangka penyimpangan dari yang zhahir 3. Untuk menetapkan serta
menolak prasangka tidak
menunjukkan
menyeluruh
13
Moch. Anwar, Ilmu Nahwu Terjemahan Matan al-Jurumiyyah dan Imrithi Berikut Penjelasannya, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm. 116 14 Al-Sekh Mushthafa al- Qalaini, Jami al-Durus al- Arabiah, (Beirut: Dar al-Kutub al‘ilmiah, 2006), Juz.3 hlm. 176. 15 Ibid 16 Syekh Muhannad bin A. Malik al-Andalusy, Terjemahan Matan al-Fiyah, Terj. M. Anwar, (Bandung: PT. Al-Ma’arif), t.th., hlm.276
13
4. Untuk tujuan mengukir makna taukid dihati pendengar17. Ada beberapa faedah yang bisa disimpulkan dari pola tikrar, diantaranya yang pertama penegasan atau penguatan (ta’kid) . Bahkan apabila dicermati, nilai penekanan yang dikandung pola takrir setingkat lebih kuat dibanding bentuk ta’kid. Keunggulan pola takrir ini disinyalir karena takrir mengulang kata yang sama, sehingga makna yang dimaksudkan akan lebih mengena. Lain halnya dengan pola ta’kid yang dalam penerapannya lebih sering menggunakan huruf atau perangkat yang mengindikasikan penegasan makna yang terkandung. Faedah yang kedua, pola takrir berfungsi untuk memperjelas dan memperkuat sebuah peringatan, sehingga kata-kata tersebut bisa dipahami dan diterima. Fungsi pola takrir yang ketiga, untuk menghindari sikap lupa yang disebabkan kalimat tertentu terlalu panjang, sehingga jika sebuah kata tidak diulangi, dikhawatirkan kata yang berada di awal akan terlupakan B. Ilmu Ma’ani Al-Ma ani adalah bentuk jamak dari kata makna. Secara etimologi artinya hal yang dituju, menurut pengertian terminologi ulama Ilmu Bayan adalah menyatakan apa yang digambar dalam hati dengan suatu lafal atau ucapan, atau tujuan yang dimaksudkan oleh lafal yang tergambar di dalam hati18. Ilmu ma ani19 adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya (muqtadhal hal-nya)20 sehingga cocok dengan tujuan yang dikehendaki. 17
Sayid Ahmad al-Hasyimi, Mutiara Ilmu Balaghah, Ter. M. Zuhri. Ahmad Chumaidi Umar, (Surabaya: Dar al-Ihya’, 1994), hlm. 203-204 18 Ibid. hlm. 36 19 Sebagian ulama menjelaskan: Berbagai makna yang tergambar dibenak manusia yang bertemu dengan hati mereka adalah sangat rahasia dan jauh. Seorang manusia tak akan mengerti nuranu temannya. Ia tak akan mengerti kehendak temennya, dan tidak mengetahui siapa orang yang akan membantunya, kecuali dengan beberapa pernyataan yang ditetapkan dari pemahaman dan pernyataan itu menjadikan makna yang samar menjadi jelas, yang jauh menjadi dekat. Jadi, pernyataan itulah yang bisa menyelamatkan segala keserupaan, melepaskan yang teruikat, yang tidak berguna menjadi berfaidah, yang muqayyad menjadi mutlak, yang tidak diketahui menjadi dikenali, yang asing menjadi terbiasa dipakai.
14
Obyek
pembahasannya
adalah
lafal
bahasa
Arab
dari
segi
penunjukkannya kepada makna-makna yang kedua yang merupakan tujuantujuan yang dimaksudkan oleh mutakallim, yaitu menunjukkan kalimat yang berisi kehalusan dan keistimewaan-keistimewaan yang dengannya kalimat tersebut dapat sesuai dengan kontekstualnya. Ilmu ma ani juga mempunyai beberapa faidah yaitu, pertama; mengetahui kemukjizatan Al-Qur’an melalui aspek kebaikan susunan dan sifatnya, keindahan kalimat, kehalusan bentuk ijaz yang telah diistimewakan oleh Allah dan segala hal yang telah terkandung oleh Al-Qur’an itu sendiri, yang berupa kemudahan susunan, keagungan kalimat-kalimatnya, kemanisan lafal-lafalnya dan kesalamatannya serta kebaikan-kebaikan lain yang melumpuhkan bangsa Arab untuk melawannya dan mencengangkan akal meraka karena kefashihan dan nilai sastranya. Kedua, mengetahui rahasia “balaghah dan fashahah” dalam bahasa Arab yang berupa prosa dan puisi agar dapat mengikutinya dan menyusun sesuai dengan aturannya serta membedakan antara kalimat yang bagus dengan yang bernilai rendah21. Ilmu ma ani al-Hadist adalah ilmu yang berusaha memahami matan hadits secara tepat dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengannya atau indikasi yang melingkupinya.
C. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Hadits Nabi 1. Pengertian Hadits Kata ad ts berasal dari bahasa Arab: al- ad ts , jamaknya aldits, al- ad tsan dan al- udtsan22. Dari segi bahasa
ad ts
mempunyai beberapa arti diantaranya: al-Jad d (yang baru) lawan dari alqad m (yang lama), al-qar b (yang dekat) menunjukkan waktu yang
20
“Keadaan adalah suatu perkara yang mengajak orang untuk menyampaikan kalimat secara khusus. Kekhisusan itulah yang dinamakan “kontekstual” atau “muqtadhal hal”. 21 Ibid. hlm 34-35 22 M. Syuhudi Isma’il, Kaidah Keshahihan Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hlm. 26
15
pendek, dan al-khabar (berita atau khabar) menunjukkan sesuatu yang dipercayakan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain23. Dari segi istilah, para ulama’ memberikan pengertian yang berbeda-beda. Hadits menurut al-Ta awuni mengatakan, “Hadits adalah apa saja yang disandarkan pada Nabi SAW”. Pendapat ini selanjutnya diperkuat oleh al-Thibby bahwa hadits adalah mencakup juga perkataan, perbuatan dan taqr r sahabat dan tabi’in. Menurut ulama’ hadits, al-H fidz dalam kitab
Syarah al-Nukhbah
bahwa hadits mempunyai makna
riwayat yang sampai pada Nabi SAW., Sahabat, dan Tabi’in yang disebut had ts marfu , mauquf dan maqtu . Dalam kajian ushul fiqh, hadits mencakup perkatan, perbuatan, dan ketetapan Nabi yang patut sebagai dalil hukum syar’i.24. Ajaj al-Khathib menjelaskan hadits dan sunah mempunyai arti yang sama. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul SAW. setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqr r25. Dengan demkian, berdasarkan keterangan ini, sunnah lebih luas dari pada hadits. Ulama’ dari berbagai bidang sepakat bahwa hadits yang dijadikan hujjah adalah hanya hadits yang berkualitas shah h, maka para mu add ts menetapkan kriteria keshah han hadits, baik dari segi sanad maupun dari segi matan. 2. Bentuk-Bentuk Hadits Nabi Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, khususnya mengenai beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama’ mu addits n bahwa hadits atau sunnah mencakup segala perkataan (qauliah), perbuatan (fi liyah), dan ketetapan (taqr r) Nabi SAW., berdasarkan hal ini, hadits mempunyai masing-masing bentuk, atau bentuk hadits atau sunnah qauliyah, fi liyah, maupun taqr r. 23
Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisan-al-Arabi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), juz II, hlm. 133 24 Dr. Moh. Isom Yoesqi et.al, Eksistensi Hadits dan Wacana Tafsir Tematik, (Yogyakarta: CV. Grafika Indah. 2007), hlm.6 25 Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terjemahan Drs. H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq S.Ag. (Jakarta: Gaya Media Pratama,1998), hlm.8
16
ad ts fi liyah misalnya, adalah segala perbuatan Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh para sahabatnya, yang merupakan amalan praktis beliau yang berkaitan dengan peraturan-peraturan syara’ yang masih global sifatnya. 26 ad ts taqr ri yaitu apa saja yang menjadi ketetapan Rasulullah SAW. terhadap berbagai perbuatan, yaitu Nabi SAW. membiarkan atau mendiamkan sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabatnya disertai kerealaan atau dengan memperlihatkan pujian dan dukungan27. Adapun ad ts qauliah adalah segala perkataan atau ucapan yang disandarkan kepada Nabi SAW., baik yang berkaitan dengan aqidah, syari’ah, akhlak, atau ibadah maupun yang lainnya.
ad ts qauliah ini
adalah hadits yang paling banyak ditemukan.28
D. Pemahaman Hadits Secara Tekstual dan Konstekstual Pemahaman terhadap hadits secara umum terbagi menjadi dua kelompok. Yaitu, pemahaman secara tekstual dan konstekstual. Hal ini sudah terjadi sejak zaman Rasulullah SAW. Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama dan umat Islam terhadap hadits diklasifikasikan menjadi dua bagian; Pertama, tipologi pemahaman yang mempercayai hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam tanpa memperdulikan proses sejarah pengumpulan hadits dan proses pembentukan ajaran ortodoksi. Barangkali tipe pemikiran ini oleh ilmuwan sosial dikategorikan sebagai tipe pemikiran yang akistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadits dari sunah yang hidup pada saat itu). Tipe ini bisa juga disebut dengan memahami hadits secara “tekstualis”. Kedua, golongan yang mempercayai hadits sebagai sumber ajaran kedua ajaran Islam, tetapi dengan kritis historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asb b al-wur d) hadits tersebut. Tipe ini bisa juga disebut dengan memahami hadits
26
Muhammad Nor Ikhwan, Studi Ilmu hadits, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2007),
27
Drs. Munzier, Suparta, Ilmu Hadits, (Jakarta, P.T. Raja Grafindi Persada. 2003), hlm.
28
Muhammad Nor Ikhwan, op. cit., hlm. 16
hlm. 18 18
17
secara “kontekstual”. Tipe pemahaman ini tidak begitu populer karena pemahaman ini tenggelam dalam pelukan kekuatan
l al-sunnah wa al
jamaah, yang lebih suka memahami hadits secara tekstual. Pemahaman secara takstual ini diperlukan
l al-sunnah wa al-jamaah karena dorongan untuk
menjaga dan mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodoks.29 Disebut pemahaman tekstual karena lebih menekankan signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk kepada sumber-sumber suci (Al-Qur'an dan hadits). Pemahaman ini sangat penting ketika kita ingin melihat realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun implisit, dalam Al-Qur'an dan hadits. Kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan ulama besar muslim terdahulu dan kontemporer. Pemahaman tekstual barangkali tidak menemui kendala yang cukup berarti untuk melihat dimensi Islam normatif yang bersifat qath i. Persoalan baru muncul ketika pendekatan tertulis secara eksplisit, baik didalam AlQur'an maupun hadits, namun kehadirannya diakui, dan bahkan diamalkan oleh komunitas muslim tertentu secara luas. Segi-segi yang berkaitan dengan diri Nabi dan kondisi yang melatar belakangi kedudukan penting dalam pemahaman suatu hadits. Mungkin memahami suatu hadits tertentu secara tersurat (tekstual), sedang hadits yang lain lebih tepat dipahami secara tersurat (kontekstual). Pemahaman dan penerapan hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, setelah dihubungkan dengan segi-segi yang barkaitan dengan latar belakang terjadinya, tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks hadits yang bersangkutan. Sedangkan pemahaman dan penerapan hadits secara kontekstual dilakukan bila dibalik teks suatu hadits, ada petunjuk kuat yang mengharuskan hadits yang bersangkutan
29
M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normalitas atau Historisitas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 315.
18
dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang tersurat (tekstual).30 Dalam memahami hadits Nabi SAW, kontekstual ada beberapa langkah yang harus ditempuh, antara lain: 1. Dengan Pendekatan Kebahasaan Pendekatan kebahasaan dalam upaya mengetahui kualitas hadits tertuju pada beberapa objek: Pertama, struktur bahasa; yaitu apakah susunan kata dalam matan hadits yang menjadi objek sesuai dengan kaidah bahasa Arab atau tidak? Kedua, kata-kata yang sesuai dipergunakan oleh bangsa Arab pada masa Nabi Muhammad SAW., atau menggunakan kata-kata baru yang muncul dan dipergunakan dalam literatur Arab modern? Ketiga, matan hadits tersebut menggambarkan bahasa kenabian. Keempat, menelusuri makna kata yang terdapat dalam matan hadits, dan apakah makna kata tersebut ketika diucapkan oleh Nabi SAW., sama makna yang dipahami oleh pembaca atau peneliti. Dengan penelusuran bahasa, mu addits n dapat membersihkan hadits Nabi SAW., dari pemalsuan hadits, yang muncul karena adanya konflik politik dan perbedaan pendapat dalam bidang fiqih dan kalam. Melalui pendekatan bahasa, kita dapat mengetahui makna dan tujuan hadits Nabi SAW.31 2. Melalui Kandungan Teks Dalam kaitannya dengan teks (Al-Qur'an dan al-hadits) yang lahir atau muncul karena sebab-sebab tertentu, mayoritas ulama dalam mengemukakan hadits dengan menggunakan dua kaidah yaitu, Pertama, kaidah al-ibrah bi
umum al-lafzhi la bi khus s al-sab bi (lebih
memfokuskan pada keumuman lafal dalam memahami teks, bukan sebab khususnya). Kedua, kaidah al- ibrah bi khus s al-sab b la bi umum allafzhi (lebih fokus pada kekhususan sebab, bukan pada keumuman lafalnya). Mayoritas ulama’ menggunakan kaidah yang pertama, dengan 30
M. Syuhudi Islamil, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994), hlm. 6. 31 Ibid., hlm. 76.
19
berpijak pada kaidah yang pertama, pandangan yang menyangkut asb b al-wur d dan pemahaman hadits yang sering kali hanya menekankan pada peristiwa dan mengabaikan waktu terjadinya serta pelaku kejadian tersebut. Dengan menggunakan kaidah tersebut, maka teks yang bersifat umum (‘am) yang muncul atas sebab tertentu mencakup individu yang mempunyai sebab dan tidak boleh difahami bahwa lafal am itu hanya dihadapkan kepada orang-orang tertentu saja. Ibnu Taimiyah berkata bahwa para ulama’ walaupun berbeda pendapat dalam menghadapi lafal umum yang datang lantaran sesuatu sebab, apakah khusus bagi sebab itu, namun tak ada seorang pun yang menyatakan bahwasannya keumuman Al-Qur’an dan al-sunnah khusus dengan orang-orang tertentu. Hanya saja paling jauh dikatakan bahwa keumuman lafal itu tertentu dengan orangorang yang semacam itu
lalu ia
mencakup orang-orang yang
menyerupainya. Dan tidaklah keumuman padanya menurut lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu jika merupakan perintah atau larangan, maka ia mencakup orang-orang itu dan selainnya, yang sama keadaannya dan kedudukannya. Lafal ‘am dalam sebuah teks walaupun munculnya dilatar belakangi oleh sebab-sebab khusus, ia mencakup seluruh individu yang bisa ditampung oleh suatu teks itu, tidak tertentu dan terbatas berlakunya hanya kepada individu yang menjadi sebab khusus dalam suatu teks.32 3. Melalui Keterkaitan Hadits dengan Hadits lain yang Satu Tema Untuk menentukan kualitas dan sekaligus makna suatu hadits adalah menghimpun dan menyandingkan hadits-hadits yang temanya sama atau satu tema. Yang dimaksud dengan hadits yang terjalin dalam tema yang sama adalah: Pertama, hadits-hadits yang mempunyai sumber sanad yang sama, baik riwayat bi al-lafzh maupun melalui riwayat bi al-ma na; Kedua, hadits-hadits yang mengandung makna yang sama, baik sejalan maupun bertolak belakang; Ketiga, hadits-hadits yang mempunyai tema yang sama, seperti tema aqidah, ibadah, muamalah, dan lainnya. Hadits 32
Zuhad, Asbab al-Wurud Dalam Teologia, Vol. 16, Nomor 1, (Januari, 2005), hlm. 135.
20
yang pantas diperbandingkan adalah hadits yang sederajat tingkat kualitas sanadnya. Perbedaan lafal pada matan hadits yang satu makna, ialah karena dalam periwayatan hadits telah terjadi periwayatan secara makna (alriw yah bi al-ma na). Menurut mu addits n, perbedaan lafadz yang tidak mengakibatkan perbedaan makna, dapat ditoleransi asalkan sanadnya sama-sama sah h.33 4. Penelusuran Sejarah Salah satu langkah yang ditempuh oleh mu addits n dalam melakukan penelitian matan hadits adalah mengetahui peristiwa yang melatar belakangi munculnya suatu hadits (asb b al-wur d al-had ts). Asb b al wur d al-had ts sebenarnya tidak mempunyai pengaruh secara langsung dengan kualitas suatu hadits. Namun yang mengetahui asb b al wur d bisa mempermudah untuk memahami kandungan hadits. Walaupun tidak semua hadits mempunyai asb b al-wur d. Sebagian hadits ada yang mempunyai asb b al-wur d khusus, tegas dan jelas, namun sebagian hadits yang lain tidak. Ada tiga fungsi dari asb b al-wur d al-had ts, yaitu; Pertama, menjelaskan makna hadits melalui tahsh h al am, taqy d, bay n illat alhukm, dan tawdh h al-musykil. Kedua, mengetahui kedudukan Rasulullah SAW. pada saat munculnya hadits, apakah sebagai Rasul, sebagai qodhi dan mufti, pemimpin masyarakat., atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat itu disampaikan. 34 5. Asbab Al-Wurud Untuk memahami suatu hadits, tidak cukup dengan melihat teksnya saja, khususnya ketika hadits tersebut mempunyai asb b alwur d, kita juga harus melihat konteksnya. Ketika kita ingin menggali pesan moral dari suatu hadits, perlu memperhatikan konteks historisnya,
33 34
Ibid., hlm. 64-65. Ibid., hlm. 85.
21
pada siapa hadits tersebut disampaikan Nabi, dalam kondisi sosio-kultural sebagaimana Nabi waktu menyampaikan hadits itu. Secara etimologis, “asb b al-wur d” merupakan idhafah yang berasal dari kata asb b dan al-wur d. Kata “asb b” adalah bentuk jamak dari kata sab b, yang berarti segala sesuatu yang dapat menghubungkan kepada sesuatu yang lain. Atau penyebab terjadinya sesuatu. Sedangkan kata “wur d” merupakan bentuk isim masdar dari warada, yaridu, wur dan yang berarti datang atau sampai. Dengan demikian asb b al-wur d dapat diartikan sebagai sebabsebab datangnya sesuatu. Istilah tersebut dalam ilmu hadits asb b alwur d
biasa diartikan sebagai sebab-sebab atau latar
belakang
(background) munculnya suatu hadits. Menurut al-Suyuthi, secara terminologi asb b al-wur d diartikan dengan “Sesuatu yang menjadi thariq (metode) untuk menentukan maksud suatu hadits yang bersifat umum, atau khusus, mutlak atau muqayyad, dan untuk menentukan ada tidaknya naskh pembatalan dalam suatu hadits. 35 Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik benang merah bahwa asb b al-wur d adalah konteks historisitas, baik berupa peristiwaperistiwa atau pertanyaan yang terjadi pada saat hadits itu disampaikan oleh Nabi SAW. Ia dapat berfungsi sebagai analisis untuk menentukan apakah hadits itu bersifat umum atau khusus, mutlak atau muqoyyad, nash atau mans kh dan lainnya. Menurut Imam al-Suyuthi, asb b al-wur d dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu: a. Sebab berupa hadits. Artinya pada waktu itu terdapat suatu hadits, namun sebagian sahabat merasa kesulitan untuk memahaminya, maka kemudian muncul hadits lain yang memberikan penjelasan terhadap hadits tersebut.
35
H. Said Agil Husain Munawwar, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud; Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosiohistoris-Kontekstual, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 7-8.
22
b. Sebab yang berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar dikalangan sahabat. Pendekatan ini berusaha mengetahui situasi Nabi Muhammad SAW., dan menelusuri segala peristiwa yang melingkupinya dan masyarakat pada periode tersebut secara umum. Sebenarnya pendekatan serupa telah dilakukan oleh para ulama hadits, yang mereka sebut dengan asb b al-wur d. Namun ilmu hanya terikat dengan data yang terdapat pada sanad dan matan hadits.
23
BAB III HADITS NABI YANG MENGANDUNG PENGULANGAN TIGA KALI
A. Hadits-hadits Pengulangan Tiga Kali tentang Akhlaq 1. Hadits tentang Bakti Ibu Lebih Didahulukan Daripada Ayah
: 36
"
Dari Abu Hurairah r.a. berkata, datang seseorang kepada Rasulullah SAW seraya berkata: Ya Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku temani dengan baik? Rasulullah SAW. Bersabda: Ibumu . Orang itu bertanya lagi: Kemudian siapa? Rasulullah menjawab: Ibumu . Orang itu bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Rasulullah SAW menjawab: Ibumu . Orang itu bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Rasulullah SAW menjawab: Bapakmu . (HR. Bukhori)
:
: 37
Sebelum Islam datang, para wanita sangat menderita karena tidak memiliki hak-hak dan ketiadaan rasa penghormatan terhadap wanita dikalangan masyarakat. Kaum laki-laki mempunyai kebebasan mengawini beberapa istri dan menceraikannya sekehendak hati. Para janda diwariskan dan tidak diperbolehkan menikah lagi tanpa izin pewarisnya. Di samping poligami, seorang laki-laki tanpa ada aturan, dapat berhubungan dengan beberapa wanita yang disukai. Bangsa Arab pun sebelum Islam datang 36
Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Matn al-Bukhori, (Beirut: Dar alFikr, 1995), juz 8, hlm. 28 37 Ibid
24
tidak menyukai kelahiran bagi perempuan. Islam datang dalam kondisi manusia berkasta-kasta, berbeda suku dan status sosial. Kaum wanita tidak memiliki derajat dalam pandangan masyarakat saat itu. Islam datang menghapus kebanggaan keturunan dan kepangkatan. Islam menempatkan posisi yang mulia bagi kaum wanita. Dan semua manusia disisi Allah Swt. memiliki kedudukan yang sama, yang membedakannya hanyalah amal saleh dan ketakwaannya. Allah berfirman yang artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu lagi Maha Mengenal. Oleh sebab itu, maksud Nabi Saw. Dalam hadits di atas mempunyai makna kemuliaan seorang ibu dan menampilkan peranan ibu kepada masyarakat pada waktu itu. Peranan wanita pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. yang kita kenal ialah yang memelihara Nabi saw, yaitu Aminah ibu beliau; yang menyusuinya, Halimah As-Sa’diyah; dan yang menjadi pengasuh bagi beliau, Ummu Aiman r.a. dari Habasyah. Kemudian kita kenal Siti Khadijah binti Khuwailid r.a, wanita pertama yang beriman dan membantunya, Siti Aisyah, Ummu Salamah, dan lain-lainnya, dari Ummahaatul Mukmin n (ibu dari kaum Mukmin), isteri-isteri Nabi, dan isteri-isteri para sahabat Rasulullah saw Apakah peran sebagai seorang ibu atau seorang istri?. Banyak tokoh-tokoh menjadi penting dan terkenal lantaran ditopang oleh peran wanita. Maka, atas perannya yang demikian, wanita sering disebut sebagai tokoh penting di belakang layar. Peran wanita Muslimah dalam jihad Rasulullah Saw. amat signifikan. Sebagian besar mereka yang berhijrah ke Habasyah adalah bersama istri-istri mereka. Bahkan sejarah Islam mencatat bahwa manusia
25
yang pertama kali menyambut dakwah Islam adalah seorang wanita, yaitu Khadijah binti Khuwailid, istri Rasulullah Saw. Dan manusia pertama yang syahid di jalan Allah juga seorang wanita, yaitu Sumayyah. Selain Khadijah Ra. dan Sumayyah, masih banyak wanita-wanita Islam yang namanya abadi. Di antara mereka ada Aisyah Ra., Ummu Sulaim, Sumayyah, Nusaibah, Asma binti Abu Bakar, dan masih banyak wanita lain yang memegang peranan penting dalam perintisan dakwah Rasulullah Saw. di Mekkah dan Madinah38. Khadijah
yang
selalu
membesarkan
hati
Nabi,
beliau
mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Nabi Muhammad Saw. sejak kecil telah menginvestasikan kebaikan di tengah-tengah masyarakat. Sebuah fakta perlu medapatkan pengakuan dari orang lain agar menjadi nilai universal yang didukung oleh masyarakat luas. Rasulullah Saw. bukan tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya adalah semata-mata atas bimbingan wahyu. Tapi beliau ingin tahu apakah dakwahnya diterima masyarakat. Sebagai istri, Khadijah Ra. telah mengambil sikap cerdas, yaitu memberikan dukungan total terhadap dakwah sang suami. Bagaimana jika Khadijah memberikan pernyataan yang tidak menenangkan jiwa? Tentu Nabi Saw. akan merasa sedih. Karena bagaimanapun, seorang Rasul adalah manusia juga yang membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekat yang dicintainyainya. Dan Khadijah Ra. telah memberi andil besar dalam membangun dakwah Rasulullah Saw. Kisah lain, suatu ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq didampingi Rasulullah Saw. mendatangi tokoh-tokoh musyrikin Quraisy yang sedang berkumpul dekat Ka’bah. Setelah duduk di tengah-tengah mereka, Abu Bakar berbicara mengajak para hadirin untuk beriman dan beribadah kepada Allah dan Rasul-Nya serta tidak mempersekutukan Allah dengan yang selain-Nya. 38
Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Peranan Wanita Muslimah Majalah Al-Ummah, ,Nomor. 66, (Pebruari 1986), hlm. 40
26
Sudah diduga, pidato Abu Bakar membuat wajah pemuka musyrikin Quraisy memerah. Hati mereka panas menggelegak. Seolaholah mereka dihina. Seketika itu juga, para pemuka Quraisy dan pemudanya menyerang
Abu Bakar dengan pukulan bertubi-tubi.
Rasulullah Saw. berusaha melindungi Abu Bakar. Namun, banyaknya tinju yang mengarah ke wajah Abu Bakar sulit dibendung. Salah seorang pemuda Quraisy bernama ‘Atabah bin Rabi’ah menanggalkan sepatunya, lalu memukulkannya ke wajah Abu Bakar. Darah pun mengalir dari hidung dan mulut Abu Bakar. Luka memar membiru menghiasi pipi dan matanya. Banu Tamim, kabilah Abu Bakar, datang melerai dan menarik orang-orang yang menganiaya Abu Bakar. Empat pemuda Banu Tamim lalu membawa Abu Bakar pulang ke rumahnya. Melihat anaknya terkapar berlumuran darah dan tak bergerak, Salma, ibunda Abu Bakar menangis dan memanggil-manggil nama kecil Abu Bakar.
Atiq Atiq Atiq!
Abu Bakar tidak menjawab panggilan
ibunya. Dia masih tidak sadarkan diri. Ibunda Abu Bakar membersihkan luka-luka diwajah anaknya dengan penuh kasih sayang. Tangannya memijat-mijat telapak tangan Abu Bakar agar anaknya itu segera siuman. Tubuh Abu Bakar mulai bergerak. Salma bertanya,
Bagaimana perasaanmu sekarang, Abu Bakar?
Abu Bakar balik bertanya, tidak tahu,
Bagaimana keadaan Rasulullah.
Kami
jawab Salma. Abu Quhafah, sang ayah, hanya diam saja
mendengarkan percakapan istri dan anaknya.
Pergilah ibu temui
Fathimah binti Khaththab, tanyakan kepadanya kabar Rasulullah, pinta Abu Bakar. Salma segera menemui Fathimah dan menjelaskan apa yang menimpa Abu Bakar. Keduanya lalu menemuinya dan duduk di samping Abu Bakar yang masih terkapar. Rasulullah selamat dan kini berada di rumah Ibnul Arqam, jelas Fathimah. Abu Bakar berkeras untuk bertemu Rasulullah Saw. Malam itu juga, ibunya dan Fathimah memapah Abu Bakar menemui Rasulullah. Rasulullah bangkit dan menyambut Abu Bakar sambil mendoakannya.
27
Salma, ibunda Abu Bakar mengucapkan syahadat di hadapan Rasulullah Saw. Penggalan kisah ini menggambarkan betapa besar peran Salma dan Fathimah dalam menyelesaikan “masalah” yang dihadapi Abu Bakar. Di saat Abu Quhafah, ayah Abu Bakar, dan para pemuda Banu Tamim bingung melihat kondisi yang menimpa Abu Bakar, Salma dan Fathimah tampil sebagai decision maker . Keislaman Utsman bin ‘Affan pun tak luput dari peran seorang wanita, Su’da binti Kariz, bibinya. Suatu ketika Su’da bertamu ke rumah saudara perempuannya Arwa binti Hariz, ibunda Utsman, untuk menceritakan kabar kelahiran seorang Rasul dengan membawa agama yang lurus. Utsman menyambut hangat kedatangan bibinya, dan menanyakan berita yang akan disampaikannya. Dengan senang hati Su’da menceritakan tentang Muhammad Rasulullah yang membawa agama kebenaran. Su’da amat baik dan runut dalam menceritakan kabar kerasulan Muhammad Saw. sehingga amat membekas di pikiran Utsman. Paginya, ketika berangkat ke kebun, Utsman bertemu teman akrabnya, Abu Bakar. Melihat wajah Utsman yang agak lain, Abu Bakar bertanya,
Apa yang sedang kamu pikirkan, Utsman?
Tidak ada,
jawabnya. Hanya saja kemarin bibiku menceritakan tentang kehadiran seorang Rasul di tengah-tengah kita. Sejak itu, berita itu terus mengganggu pikiranku, lanjut Utsman. Abu Bakar membenarkan berita yang disampaikan Su’da kepada Utsman, lalu mengajaknya menemui Rasulullah Saw. Tak berpanjang kata, Utsman menyatakan diri masuk Islam. Islamnya Hamzah bin Abdul Mutholib juga tak lepas dari peran seorang wanita, yaitu ibunya. Pada suatu hari ibunda Hamzah menceritakan kasus penghinaan dan penganiayaan yang menimpa Nabi Muhammad oleh Abu Jahal. Hai Abu Imarah (nama panggilan Hamzah)! Apa yang hendak kau perbuat seandainya engkau melihat sendiri apa yang dialami kemenakanmu. Muhammad dimaki-maki dan dianiaya oleh
28
Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal), lalu ditinggal pergi sementara Muhammad tidak berkata apa-apa kepadanya, ujar ibunda Hamzah. Mendengar cerita itu, raut muka Hamzah memerah dan pergi menemui Abu Jahal yang saat itu tengah berkumpul bersama temantemannya. Tanpa berfikir panjang Hamzah memukul Abu Jahal dengan busurnya hingga berdarah. Hamzah berkata,
Engkau berani memaki
Muhammad? Ketahuilah aku telah memeluk agamanya! Begitupun keislaman Umar bin Khaththab tak lepas dari peran adik perempuannya Fathimah. Waktu itu Umar sedang marah dan mencari Muhammad untuk dibunuh. Di tengah jalan ada orang yang memberitahu bahwa adiknya Fathimah sudah masuk Islam. Umar pun mengurungkan niat mencari Rasulullah dan berbalik ke rumah Fathimah yang dinilainya telah berkhianat dari agama nenek moyang. Umar menyerbu ke dalam rumah adiknya lalu memukul Fathimah hingga berdarah. Ternyata darah yang mengucur dari wajah Fathimah meluluhkan hati Umar. Saat itu Umar melihat secarik kertas yang berisi ayat Al-Qur’an. Ia amat terpesona dan berkata, Alangkah indahnya dan mulianya kalimat ini. Setelah itu Umar menemui Rasulullah Saw. dan menyatakan keislamannya39. Saat ini Islam membutuhkan wanita-wanita yang memiliki semangat seperti Khadijah, ‘Aisyah, Sumayyah, Ummu Sulaim, Asma, dan Fathimah untuk memperbaiki umat dan bangsa yang tengah meradang. Dari kisah-kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala kelebihannya mampu berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa Rasulullah Saw. Selain itu mereka juga berperanan dalam keluarganya. Di dalam Al-Qur’an telah ditetapkan, semua penetapan dan perintah ditujukan kepada kedua pihak, laki-laki dan wanita, kecuali yang khusus bagi salah satu dari keduanya. Maka, kewajiban bagi kaum wanita di dalam keluarganya ialah menjalankan apa yang diwajibkan baginya. dan berperan sebagai kodratnya yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui. 39
M. Abdur Razzaq, Perempuan Terbaik, www.eramuslim.com, 24 Juni 2010
29
Hadits di atas menunjukkan bahwa hendaknya seorang ibu memiliki porsi tiga kali lipat dari pada porsi sang ayah dalam hal mendapatkan bakti. Hal ini dikarenakan seorang ibu mengalami kesulitan saat mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ketiga hal itu merupakan bagian yang dirasakan oleh ibu. Hadits di atas juga merupakan dalil bahwa mencintai ibu dan menyayanginya haruslah tiga kali lebih banyak secara menyatu. Karena Nabi telah menyebutkan kata ibu sebanyak tiga kali dan hanya menyebutkan ayah pada urutan yang keempat. Hal ini karena kesulitan ketika mengandung, kesulitan ketika melahirkan dan kesulitan dalam menyusui dan mendidiknya. Selain itu ia juga wanita lemah. Oleh karena itu Rasulullah SAW. Telah mewasiatkan sebanyak tiga kali dan memberi wasiat terhadap ayah hanya satu kali, maka dalam hal itu terdapat perintah agar manusia memperbaiki cara berbakti mereka terhadap ibunya demikian juga terhadap ayahnya semaksimal mungkin. Ada beberapa faktor mengapa seorang ibu mempunyai porsi tiga kali dibanding seorang ayah. Faktor pertama adalah hanya sosok ibulah yang harus menghadapi masa sulit itu selama satu periode tertentu yang hampir memakan sebagian besar usianya. Faktor kedua adalah bahwa meskipun telah mencurahkan seluruh pengorbanan seperti itu, seorang ibu tidak pernah mengharapkan balasan sekecil apapun. Dia tidak pernah menunggu ucapan terima kasih atau sanjungan.
Sebaliknya, dia senantiasa menghabiskan usianya sebagai
sumber pengorbanan, serta sebagai ladang kebaikan disepanjang hidupnya. Faktor ketiga adalah karena meskipun seorang ibu memiliki sifat sayang, cinta, hangat, baik dan sangat toleran kepada anaknya, tetapi ada anak yang menyepelekan ibunya, dia akan berpaling dari ibunya ketika marah, tidak mengindahkan pendapat ibunya saat berunding atau musyawarah, semua itu dia lakukan karena dia beranggapan bahwa ibu
30
merupakan orang yang mudah ridha dan tidak cepat marah. Oleh karena itulah Allah Yang Maha Bijaksana pun menganggap semua sikap yang telah disebutkan di atas serta sikap-sikap yang mirip dengannya sebagai sikap durhaka kepada ibu, meskipun seorang ibu tidak marah.40 Seperti dalam Al-Qur'an surat al-Isra’ (17): 23.
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (QS. al-Isra’(17): 23) 41 Dalam ayat di atas menerangkan bahwa bakti kepada orangtua yang diperintahkan agama Islam adalah bersikap sopan kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai denga adat dan kebiasaan masyarakat sehingga mereka merasa senang terhadap kita serta mencukupi kebutuhankebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita (sebagai anak). Hal ini untuk menekankan apa pun keadaan mereka, berdua atau sendiri, masing-masing harus mendapat perhatian anak. Sang anak diminta untuk merendahkan diri kepada orangtuanya terdorong oleh penghormatan dan rasa takut melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan kedudukan ibu bapaknya. Pada dasarnya ibu hendaknya didahulukan atas ayah, artinya sang anak hendaknya memperhatikan atau mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya42. Dan ibu lebih didahulukan karena beliau telah mengandung, melahirkan dan menyusui dalam kurun waktu 40
M. Al-Fahham, Berbakti Kepada Orang Tua Kunci Kesuksesan dan Kebahagiaan Anak, (Bandung: Penerbit Irsyad Bait al-Salam, 2006), cet. 10, hlm. 357-358. 41 . Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Penerbit Duta Ilmu, 2005), hlm. 387 42 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), volume 10, hlm. 67
31
dua tahun dengan keadaan yang susah dan payah. Sebagaimana yang telah disinggung di atas.
2. Hadits tentang Larangan Melampiaskan Marah
43
Diriwayatkan dari Abu Hurairata r.a. bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi SAW.: Berilah wasiat kepadaku . Nabi SAW. Bersabda: Jangan marah . Beliau mengulanginya beberapa kali dan bersabda: Jangan marah”. (HR. Imam Bukhari)
: 44
Dalam kitab Tukhfah al- Akhwadl dijelaskan ada seorang yang mendatangi dengan wajah marah lalu meminta nasihat kepada beliau Rasulullah SAW., tunjukkan sesuatu yang bermanfaat (ilmu) untuk agama dan dunia serta untuk mendekatkanku kepada Allah dan jangan berikan kepadaku sesuatu ilmu yang banyak supaya aku bisa menjaganya. Menurut al-Khuttobi makna
taghdlob adalah menjauhi faktor-
faktor yang menyebabkan kemarahan dan jangan memancing sesuatu yang menimbulkan kemarahan, karena menurut beliau marah adalah merupakan watak dasar manusia atau sesuatu yang wajar dalam diri manusia. Dikatakan pula makna
tahgdlob adalah jangan melampiaskan
marah, karena faktor yang paling besar memancing kemarahan adalah sombong. Oleh sebab itu akan jatuh kepada perselisihan, maka dari itu 43
. Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, loc. cit., juz 4, hlm. 79 Abi Isa Muhammad bin Isa bin Saurah, Sunan al-Tirmidzi, (Beirut, Dar al-Fikr, 1994), Juz 3, hlm. 411 44
32
untuk menghilangkan kemarahan adalah dianjurkan untuk melatih diri agar bisa berbesar hati atau sabar, jangan menuruti sesuatu apapun yang diperintahkan oleh kemarahan, karena kemarahan selain memancing kesombongan, juga menimbulkan perpecahan sehingga menghilangkan rasa kasih sayang atau bisa juga menjadikan terputusnya tali silaturrahmi. Dalam riwayat yang sama, Abu Darda pernah berkata kepada Nabi SAW., “Tunjukkan aku satu amal yang bisa memasukkan dalam surga” lalu Nabi menjawab: “Jangan marah, maka bagimu surga”. Dalam riwayat Usman bin Abi Syaibah berkata: “
tahgdlob tsal sa marr t,
menunjukkan larangan mutlak untuk memperbanyak marah”.45 Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an surat Ali-Imron ayat 134:
46
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkannya (kesalahan) orang. Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan Ayat di atas adalah menerangkan tentang kehidupan manusia dengan lingkungan sosialnya. Sebuah nasihat yang ditujukan kepada manusia untuk berbuat baik kepada orangn lain sebagai bentuk orang yang bertaqwa, nasihat pertama adalah mereka yang biasanya atau terusmenerus menafkahkan hartanya di jalan Allah baik diwaktu di lapang, yakni memiliki kelebihan dari kebutuhannya maupun di waktu dia sempit tidak memiliki kelebihannya, sifat kedua yang ditonjolkan adalah yang mampu menahan amarah, bahkan yang memaafkan kesalahan orang lain. Bahkan akan sangat terpuji mereka yang berbuat kebajikan terhadap 45
. Imam Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al- Akhwadl : Syarah Jami al-Turmudzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Juz 6, hlm. 130. 46 . Departemen Agama, loc. cit, hlm. 84
33
mereka yang pernah melakukan kesalahan karena Allah menyukai, yakni melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya tanpa henti untuk, orang-orang yang berbuat kebajikan. Dalam menghadapi kesalahan orang lain, ayat ini menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Yaitu dia menahan diri sehingga tidak mencetuskan kata-kata buruk atau perbuatan negatif. Di atas tingkat ini, adalah yang memaafkan, seseorang yang memaafkan orang lain adalah yang menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Kalau dalam peringkat pertama di atas, yang bersangkutan baru sampai pada tahap menahan amarah, kendati bekas-bekas luka itu masih memenuhi hatinjya, pada tahapan ini yang bersangkutan telah menghapus bekasbekas luka itu. Untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukainya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni bukan yang sekedar menahan amarah atau memaafkan, tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah melakukan keslahan atau menyambung tali persaudaraan47 3. Hadits tentang Mengulangi Ucapan Hingga Tiga Kali
48
Dari Anas r.a. berkata: Adanya Nabi SAW. jika mengatakan suatu kalimat diulanginya tiga kali hingga dimengerti oleh pendengarnya. Demikian pula jika mendatangi suatu kaum mengulangi salam kepada mereka sampai tiga kali.
47 48
M. Quraish Shihab, loc., cit., Volume , hlm, 265-266 Al-Bukhori, Abi abdillah muhammad bin ismail, loc. cit., juz 4, hlm. 102
34
49
Pengulangan tiga kali dalam sebuah ucapan itu untuk memberikan kefahaman dalam penjelasan, lebih-lebih dalam perkara agama. Menurut al-Khutobi, pengulangan ucapan tiga kali adakalanya: a. Audien tidak faham karena tidak begitu mendengar, maka diulangi ucapan/penjelasan hingga tiga kali. b. Adakalanya ucapan yang isykal, maka itupun diulanginya hingga tiga kali, agar para audien memahami maksud yang dijelaskan. Menurut Abu Zinad: ”Pengulangan ucapan hingga tiga kali karena isinya penting dan untuk ditaati dan menjauhi apa yang dilarang.” Rasulullah dalam metode mengajarnya, juga menggunakan metode pengulangan tiga kali, ini biasanya ditujukan untuk para sahabat beliau yang bertanya, agar mudah difahami yang bertujuan semua pesan Nabi yang mulia tersampaikan dengan sempurna. Begitu juga jika beliau mengucapkan salam saat berpapasan atau mendatangi rumah salah seorang sahabat beliau mengulanginya hingga tiga kali. Jika tidak ada jawaban maka Rasul meninggalkan rumahnya dan pulang. Dalam suatu cerita juga dikatakan: Rasulullah jika mendatangi suatu kaum, beliau mengucapkan salam, sebagai tanda penghormatan, beliau mengatakan “Bolehkah aku masuk?” Jika beliau berdiri di hadapan majlis beliau juga mengucapkan salam, demikian pula sebaliknya jika Rasulullah meninggalkannya, Rasul pun mengucapkan salam sebagai salam perpisahan, dan ini hukumnya adalah sunah.50
49
Ibid. Muhammad bin Ahmad al-Aini, Umidah al-Qori: Syarah Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001), Juz 2, hlm. 174 50
35
B. Hadits-hadits Pengulangan Tiga Kali tentang Muamalah
).
:
:
(
Dari Abi Ruqayah Tamim bin Aus Ad Daari bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, Agama ini adalah nasihat. Kami bertanya, Bagi siapa? Beliau menjawab, Bagi Allah, bagi kitab-kitab-Nya, bagi RasulNya, bagi para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya. (HR. Muslim) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam Shahih-nya, di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan al Din al-Nashihah Syarah anNawawi, dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini. Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul anNabi: al-Din al-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati lMuslimin wa Ammatihim di dalam Kitab al-Iman Fathul-Bari, karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau. Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan kalimat (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam hadits. Sedangkan Imam alNawawi dalam al-Arbain hadits tersebut membawakannya tanpa pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan) al-din al-nashihah mengalami pengulangan tiga kali yang berfaidah untuk ihtimam (perhatian), dan sebagai takhrish (semangat)52. Kata (al-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al- adah (kebiasaan), 51
Muslim Ibn al-Hujjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz.2, hlm. 48 Ibrahim bin Mar’I bin ‘athiyah al-Syabr Khoiti, Syarah Syabr Khaiti ala al-arbain Nawawi hadits al-Nawawi, (Beirut:Dar al-Quthni), hlm. 122 52
36
ath-tha ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini. Kata (al-nashihah) berasal dari kata (al-nush-hu) yang memiliki beberapa pengertian: 1. (al-Khulush) berarti murni, seperti dalam kalimat: (al khoolish minal asal) ‘Madu yang murni’. Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta dan khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin. (Lihat I’lamul-Hadits (I/190), dan Syarah Shahih Muslim (II/33). 2.
al-Khiyathah/al-Khaith ) berarti ‘menjahit/menyulam dengan
jarum’. Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan layak dipakai. Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain.” Ini semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, Nasehat adalah sebuah kata yang jami (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata lain. .53 Macam-macam Nasehat (1) “Agama (Islam) itu adalah nasehat.”
53
Abdullah Abdurrahman al-busam, Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, (Makkah, Maktabah al-Asadi, 2003), juz. 7, hlm. 505
37
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat.” Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat
ini)
bermakna
mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu Arafah.’ Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian agama.” (2) “Nasehat bagi Allah.” Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya
dengan
sesuatu
apapun,
meninggalkan
segala
bentuk
penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut. Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran) nasehat kepada Allah -sebenarnya- kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia.” (3) “Nasehat bagi Kitab Allah.” Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup
membuat
yang
serupa
38
dengannya.
Mengagungkannya,
membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya. Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim (menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) -yakni bahwa semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus, mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang dihapus hukumnya). Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia untuk berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna nasehat bagi Kitabullah. (4) “Nasehat bagi Rasulullah.” Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orangorang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami
makna-maknanya,
menyeru
manusia untuk
berpegang
dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau,
39
tidak mengadakan bid’ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya. (5) “Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum muslimin.” Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka. Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka,
menyerahkan
shadaqah-shadaqah
kepada
mereka,
tidak
memberontak dan mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka -baik ketika mereka berlaku zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum muslimin, dan inilah yang masyhur.” Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zhzhan) kepada mereka.” (6) “Nasehat bagi kaum muslimin umumnya.” Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang makruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan
40
menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan, dan sebagainya. Keutamaan Orang yang Memberi Nasehat Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan
nabi-Nya,
Hud,
ketika
menasehati
kaumnya,
“Aku
menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.” (QS. Al-A’raf: 68) Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya, Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat.’” (QS. Al-A’raf: 79) Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini. Hukum Nasehat Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu
41
bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam.” Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah. Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitabnya Ta’zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul-’Ulum wal-Hikam, katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan).” Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini. Faedah-Faedah 1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’” Dan bahwa nasehat itu dinamakan agama dan Islam, dan bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada yang berupa perkataan. 2. Perkataan Imam Bukhari dalam Shahih-nya, “Bab sabda Nabi: Al-d nun nash hah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil muslimin wa ‘ammatihim. Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohuu lillaahi wa li rosuulihi)” dalam kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat merupakan bagian dari
42
1. Hadits tentang Larangan Memakai Kain Dibawah Tumit karena Sombong
54
Artinya: Abu Hurairah r.a. berkata: Ketika seorang sedang shalat dengan kaim yang dibawah mata kaki, maka Rasulullah SAW. berkata kepadanya: pergilah berwudhu. Dan sesudah berwudhu Nabi berkata pula: pergilah berwudhu. Maka seorang bertanya: ya Rasulullah mengapakah kau suruh berwudhu kemudian setelah ia berwudhu kau diamkan ia? Jawab Nabi: Dia telah shalat dengan kain di bawah mata kaki. Dan Allah tidak menerima shalat seorang yang berkain di bawah mata kaki. (HR. Abu Daud). Isbal adalah memanjangkan pakaian dan membiarkannya sampai tanah, yang bertujuan ujub dan sombong, maka orang yang melakukan hal itu sama sekali tidak termasuk dalam kehalalan dan keharaman Allah. Maksudnya halal adalah bebas dari berbagai dosa, mendapatkan ampunannya juga halal untuk syurga dan haram baginya neraka. Begitu juga diterangkan dalam kitab Fathul Wudud, Isbal adalah memanjangkan baju dan membiarkannya sampai ke tanah dengan tujuan sombong dan ujub. Isbal menurut Imam Syafi’i dan Hanafi hukumnya makruh, dalam shalat ataupun dalam hal lain, berbeda dengan Imam Malik, beliau memperbolehkan isbal dalam shalat. Namun, beliau tidak membolehkan isbal pada selain shalat.55
54
Abu Daud Sulaiman bin al-asy’ats, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994.), Juz 2,
hlm. 272 55
Abi al-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-Adim Abadi, Ain al-Ma bud: Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz 2, hlm. 340.
43
: : 56 ."
. .
":
Dari dhohir hadits ini, dipahami bahwa illat atau adanya taqyid “sombong” menjadi penyebab diharamkannya isbal. Artinya, pendapat ini berkeyakinan bahwa sejauh pelaku isbal tidak melakukannya dengan sombong, maka perilaku isbal tidaklah diharamkan dan hukumnya mubah. Demikian misalnya yang diyakini oleh Imam Nawawi dan Ibnu Abdil Barr, dalam kitab Fathul Bari li Ibn Hajar. Namun ada juga pendapat yang mengharamkan perilaku isbal mengacu pada beberapa hadits Nabi yang menunjukkan adanya larangan dari Nabi dan populer di kalangan penganut pendapat ini di antaranya adalah sebagai berikut: 1. “Apa yang ada di bawah kedua mata kaki berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka”57 (Bukhari).
2.
“Sesungguhnya Allah SWT. tidak menerima shalat seseorang yang melakukan isbal. 58 (HR. Abu Dawud).
Perbedaan pendapat dalam ranah yang tidak termasuk dalam kategori al-Tsawabit atau al-Ma lum min al-Din bi al-Dloruroh adalah hal yang wajar. Masing-masing yang berbeda harus saling menghormati antar satu dengan yang lain. Demikianlah kewajiban dalam Islam dalam menyikapi perbedaan. Meyakini bahwa pendapat kita yang paling benar tidaklah bermasalah. Namun menganggap pendapat orang lain salah atau memojokkan atau bahkan menghinanya sama berdasarnya dengan 56
Imam Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Syafi’I, Shahih Muslim : Syarah al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995), juz 14 hal. 52 57 Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqolani, Fathul Bari, (Beirut:Dar al-Fikr, t.th,), juz. 10, hlm. 256 58 Abi al-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-Adim Abad, loc. cit., Juz 2, hlm. 340
44
meyakini bahwa orang yang isbal telah berbuat sesuatu yang haram dan tidak menjalankan syariat Rasulullah. Sekali lagi disini ditekankan bahwa keduanya
memiliki
landasan
argumen
dan
tokoh
yang
kuat.
Mengunggulkan pendapat yang satu, tidaklah sama sekali mengurangi kekuatan pendapat yang lain. Meyakini kebenaran satu pendapat tidak sama sekali menghapus kebenaran pendapat yang berbeda. 2. Hadits tentang Memanah Sebagai Strategi Perang
59
Uqbah bin Amir al-Jauhari r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda di atas mimbar: Bersiaplah untuk menghadapi musuh sedapat mungkin dari kekuatan. Ingatlah sesungguhnya kekuatan itu ada pada kepandaian melempar jauh, ingatlah sesungguhnya.... Hadits di atas menerangkan tentang kekuatan yang paling bisa diandalkan atau yang paling berguna di medan perang adalah memanah. Panah adalah senjata yang paling berguna60. Dari Tsumamah bin Syufayya berkata: Rasulullah SAW. bersabda dalam tafsirannya terhadap firman Allah al-Anfal ayat 60:
.61
;o§qè% `ÏiB OçF÷èsÜtGó™$# $¨B Nßgs9 (#r‘‰Ïãr&ur
Dan persiapkanlah dengan seluruh kemampuanmu untuk menghadapi mereka”. Ketahuilah sesungguhnya yang dimaksud dengan kekuatan disini adalah melempar (Rasul mengucap hal itu sampai tiga kali).
Dalam
beberapa hadits disebutkan fadh lah melempar batu atau memanah atau kepedulian untuk mau berlatih terhadapnya dengan niat untuk jihad 59
Imam Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, loc. cit., juz. 1, hlm. 50 Muhammad bin ‘Alam al-Syafi’i al-Asy’ari al-Makki, Dalil al-Falihin: Syarah Riyadh al-Shalihin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Juz 4, hlm.119. 61 Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya,loc. cit, hlm. 249. 60
45
sab lillah adalah guna membentuk suatu keberanian dalam melawan. Penggunaan senjata atau perlombaan dalam memacu kuda dan sejenisnya adalah sebagai pendidikan dan latihan berperang dan juga sebagai ketrampilan serta sebagai olah raga badan. Oleh karena itu Nabi Muhammad SAW. memerintahkan sahabatnya untuk mempersiapkan diri mempelajari melontar atau memanah. Hendaklah kita belajar untuk menembak dengan senjata modern yang dipakai oleh musuh untuk berperang di zaman ini, dan apa saja yang ada di dalamnya, kecuali jika ada kekuatan yang datang secara tiba-tiba untuk melawan musuh. Apabila kita tidak belajar berperang dan menembak atau tidak belajar menggunakan senjata berat dan senjata ringan, maka kita akan menjadi tidak bermanfaat sedikitpun. Karena semua itu adalah bagian dari perintah Allah dalam firman-Nya surat alAnfal ayat 60 sebagaimana telah disebutkan di atas.
46
BAB IV ANALISA MAKNA LAFAL PENGULANGAN TIGA KALI DALAM HADITS QAULIAH NABI
A. Urgensi Pesan Dalam Hadits Pengulangan Tiga Kali Pengulangan kata dalam bahasa Arab mempunyai faidah taukid. Menurut ahli Nahwu adalah lafal yang mengikuti yang berfungsi untuk melenyapkan anggapan lain yang berkaitan dengan lafal yang ditaukitkan62 Al-Taukid mempunyai dua bagian pertama adalah taukid lafd adalah mengulang-ulang lafadz taukid. Tauk d lafzh mempunyai faidah tersendiri, faidah tersebut adalah untuk menetapakan dan menyatakan pemahaman kepada pendengar dan menghilangkan dari keraguan63. Kedua adalah tauk d ma naw adalah dengan menyebutkan nafsun, ain, jami , ammah, kila, kilta, dengan syarat lafal-lafal taukid tersebut dimudhofkan dengar dhomir yang sama (muakadnya)64. Secara umum tauk d mempunyai beberapa faidah, untuk menetapkan dan menyatakan pemahaman ketika dirasa ada kelalaian pendengar, untuk menetapkan serta menolak prasangka penyimpangan dari yang dhahir, untuk menetapkan serta menolak prasangka tidak menunjukkan menyeluruh, untuk tujuan mengukir makna taukid dihati pendengar65. Bagaimana jika pengulangan atau tuakid terdapat pada hadits Nabi SAW. tentunya akan mempunayai makna yang berbeda, karena Rasulullah SAW. sendiri telah menerapkan metode pengulangan dalam proses belajar mengajar bersama para sahabatnya. Bila berbicara, Rasulullah SAW. menggunakan makna yang sangat tegas dan rinci. Apabila yang disampaikan itu merupakan suatu hal yang sangat penting beliau biasa mengulanginya
62
Moch. Anwar, Ilmu Nahwu Terjemahan Matan al-Jurumiyyah dan Imrithi Berikut Penjelasannya, (Bandung: Sinar Baru, 1992), hlm. 116 63 Asy-Sekh mushthafa al- Qalaini, Jami al-Durus al- Arabiah, (Beirut: Dar al-Kutub al‘Ilmiah, 2006), Juz.3 hlm. 176. 64 Ibid 65 Sayid Ahmad al-Hasyimi, Mutiara Ilmu Balaghah, Terj. M. Zuhri. Ahmad Chumaidi Umar, (Surabaya: Dar al-Ihya’, 1994), hlm. 203-204
47
sampai tiga kali. Hal ini dimaksudkan memahami maknanya dan pendengar menghafalnya. 66 Sebagaimana kita akan meneliti lebih jauh pengulangan tiga kali hadits-hadits Nabi guna memahami makna atau pesan yang disampaikan beliau. Beberapa makna pengulangan tiga kali dalam hadits qaul Nabi adalah sebagai berikut: 1. Untuk Sebuah Kemuliaan atau Keutamaan sebagai bentuk hak seorang ibu atas anak adalah lebih besar dari hak seorang ayah67 Rasulullah dalam memberikan fatwanya, tidak jarang memberikan sebuah penghargaan atau kemuliyaan yang dirasa seseorang tersebut pantas menerimanya. Seperti salah satu bukti hadits yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah berkata:
: 68
"
Seorang laki-laki datang menghadap Rasulullah SAW., lalu bertanya: Siapakah orang yang paling berhak aku berbakti kepadanya . Beliau menjawab: Ibumu . Ia bertanya pula: Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: Ibumu . Ia bertanya pula: Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: Ibumu .Ia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Beliau menjawab: Bapakmu . Hanya dengan melakukan perenungan sedikit saja, kita dapat mengetahui hikmah yang disembunyikan oleh Allah dibalik hal itu. Allah telah menggambarkan kepada kita tentang penderitaan yang dirasakan oleh seorang ibu saat dia hamil, melahirkan, dan menyusui serta dampakdampak yang ditimbulkannya, seperti fisik yang lemah dan kecapaian, baik fisik maupun mentalnya. Selain itu, seorang ibu pun harus merasakan 66
Ibid., hlm. 51. Muhammad ‘Aly al-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Al-Shabuni, terjemahan Muammal Hamidi dan Imron A. Manan (Surabaya:PT. Bina Ilmu,2003), hm. 350 68 Muhammad bin Ahmad al-‘Aini, Umdah al-Qori : Syarah Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2001), Juz 22, hlm. 128. 67
48
berbagai rasa sakit yang tidak bisa ditahan oleh seorang laki-laki meskipun ia memiliki ketahanan fisik dan keteguhan perasaan. Hal ini pun dipertegas di dalam al-Qur’an, Allah telah berfirman:
… Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah juga, mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.” (QS. al-Ahqaff (46): 15).69 Dalam perintah-Nya untuk berbuat baik kepada orang tua, Allah menyebutkan dengan kata
lidaini , tetapi kemudian disusul dengan
menyebut ibu secara husus Dzikrul khas ba da am (menyebutkan yang khusus setelah yang umum), gunanya untuk menambah perhatian dan memandangnya sebagai hal yang penting, disamping untuk menerangkan, bahwa hak ibu atas seorang anak adalah lebih besar dari seorang ayah. Allah SWT. memerintahkan kepada anak untuk berbuat baik kepada orang tua dengan mengutamakan ibu, sehingga hak ibu ditetapkan lebih besar dari hak bapak, karena jerih payah ibu lebih besar, sejak mengandung, melahirkan sampai mengasuhnya. Ibu telah memberikan air susunya, kasih sayangnya dan seluruh jiwanya adalah demi kebahagiaan anak. Dia sendiri merasakan letih demi ketenangan anak. Diterimanya seluruh beban dan penderitaan, dengan harapan ia ingin melihat anak bahagia. Di malam hari ia bangun untuk ketenangan anaknya, dijaganya anaknya dari dari setiap gangguan yang mengancamnya. Bahkan berjam-jam ia bersandar di dinding rumahnya sambil menggedong anaknya, betapapun payahnya dan letihnya70. Jadi hak ibu dan keutamaanya adalah lebih besar dan lebih mulia, sebab dia adalah penyebab utama bagi kehidupan anak, sesuadah Allah SWT. perintah Allah untuk berterima kasih dan taat serta berbuat baik 69
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Surabaya: Penerbit Duta Ilmu, 2005.), hlm. 726. 70 Muhammad ‘Aly al-Shabuni, loc. cit, hlm. 350
49
kepada orang tua ini, tidak pandang agama, sampaipun seandainya orang tuanya itu musyrik. Sebab prinsip keta’atan dalam Islam hanyalah dalam kebajikan dan tidak ada keta’atan dalam hal berdurhaka kepada Allah. Sehingga keta’atan ini dibarengi dengan suatu persyaratan demi ta’at kepada Allah dan dalam batas-batas yang diakui oleh syara’. Jadi tidak terdapat dalam hal yang mengabaikan hak Allah atau hak manusia lain. Berterima kasih kepada orang tua, termasuk bersyukur kepada Allah dan ta’at kepada orang tua, dalam hal yang bukan durhaka kepada Allah adalah termasuk ta’at kepada Allah juga. Allah telah mengajarkan kepada kita dalam firman-Nya:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua orang tua ibu, bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya selama dua tahun. Oleh karena itu hendaklah engkau bersykur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”. Dan jika kedua orang tuamu itu bersungguh-sungguh (memaksamu) supaya engkau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mengetahuinya, maka janganlah engaku ta ati mereka itu, tetapi bersahabatlah engkau dengan mereka itu di dunia ini dengan sebaibaiknya dan ikutilah jalan orang yang kembali kpada-Ku, kemudian kepada-Kulah tempat kemalimu, lalu Kuterangkan kepadamu apa yang pernah kamu kerjakan itu (QS. Luqman (31) : 14-15)71 Dari penjelasan di atas, pantas jika Rasulullah SAW. Memberikan sebuah kemuliaan atau keutamaan kepada seorang ibu. Dengan tiga tingkat lebih tinggi derajatnya dari seorang ayah, yaitu hendaknya hak seorang ibu memiliki porsi tiga kali lipat dari pada porsi sang ayah mendapatkan bakti.
71
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya,, op.cit., hlm. 581.
50
2. Untuk Kewaspadaan terhadap sifat marah (Larangan Memperbanyak Marah)72
73
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW.: Berilah saya wasiat! Rasulullah SAW. menjawab: Jangan marah! Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, dan Rasulullah SAW. (tetap) bersabda: Jangan marah! (Riwayat alBukhari). Hadist di atas dapat dinyatakan sebagai hadits Nabi SAW. yang berbentuk jaw mi al-kalim, yakni ungkapan yang singkat namun padat makna. Marah adalah satu bentuk emosi yang bersifat fitrah atau bawaan yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Marah umunya muncul karena adanya kekangan yang muncul dalam usaha pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Di saat seseorang marah, pada saat itulah kekuatannya bertambah untuk dapat menghadapi semua masalah yang menghalangi jalannya. Pada saat itulah ia mulai mempertahankan haknya dan mengalahkan segala hal yang mengekang tujuan hidupnya Allah telah mengizinkan Rasulullah dan kaum muslimin untuk mempergunakan
kekuatannya
demi
melawan
kaum
kafir
yang
menghalangi penegakan agama Allah. Kekuatan ini bersumber dari adanya kemarahan yang berawal dari adanya keakangan dalam menyebarkan Islam dan menyerukan keimanan kepada Allah. Senada dengan hal tersebut Allah berfirman:
72
Imam Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, Tukhfah al-Akhwadzi: Syarah Jami al-Turmudzi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Juz 6, hlm. 128. 73 Al-Bukhori, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Matan al-Bukhori, (Beirut: Dar alFikr, 1995), juz 4, hlm. 79
51
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka 74”(al-Fath: 29)
Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang disekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadau, dan ketahuilah bahwasannya Allah bersama orang-orang yang bertakwa 75(al-Taubah: 123) Ini adalah bentuk marah yang dinjurkan atau yang dibolehkan oleh Agama, yaitu marah jika hak atau aqidah kita dihina oleh orang lain. Al-Qur’an banyak menggambarkan rasa marah dan pengaruhnya dalam sikap dan perilaku individu. Al-Qur’an mengilustrasikan kemarahan manusia bagaikan Musa yang ketika kemabali pada kaumnya, ia mendapati mereka dalam penyembahannya kepada patung lembu dari emas yang berbentuk patung Samiri. Sebagaimana firman-Nya Dan tatkala Musa telah kembali pada kaumnya dengan marah dan bersedih hati berkatalah dia, Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musa melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya (Harun) sambil menarik kearahnya 76 (al-A’raf: 150) Namun bagaimana marah yang tidak dianjurkan oleh agama, atau lebih dekat dengan pemahaman yang senada dengan topik atau hadits dalam pembahasan ini. Imam Nawawi berkata: Makna jangan marah pada hadits yang telah disinggung di atas adalah jangan engkau lampiaskan marahmu, bukan melarang marah, sebab marah merupakan karakter dasar manusia yang tidak mungkin dihilangkan.77 74
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya,, loc. cit.,hlm. 742 Ibid, hlm. 277 76 Ibid, hlm. 226 77 Imam Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, loc. cit 75
52
Pengaruh amarah yang tampak dipermukaan adalah adanya perubahan warna dan raut wajah, munculnya kerutan, refleksitas sikap di luar dari batas kenormalan, rasa kikuk pada perkataan dan perbuatn hingga seolah menampakkan buih keluar dari mulutnya dan biji matanya memerah. Pengaruh amarah di lisan amat jelas terlihat di mana di saat orang sedang marah, maka pada umumnya ia akan mencela, mengejek, mengucapkan perkataan buruh dan sejenisnya. Pengaruhnya pada anggota tubuh akan terlihat dari perilakunya yang akan secara refkeks memukul, menyerang, merobek, menyakiti tanpa peduli akan orang yang disakitinya dan sejenisnya. Pengaruhnya pada hati adalah tertanamnya rasa iri, dengki, prasangka buruk dan sejenisnya. Menurut kesehatan, selama marah berlangsung, dua kelenjar anak ginjal memancarkan hormon adrenalin yang mempengaruhi hati dan membuatnya mengeluarkan lebih banyak zat gula. Ini membut terjadinya peningkatan energi dalam tubuh dan membuat tubuh lebih mampu mencurahkan upaya organis yang diperlukannya untuk mempertahankan diri. Peningkatan energi dalam tubuh, selama marah berlangsung akan membuat seseorang lebih siap untuk melakukan permusuhan fisik terhadap oprang yang membangkitkan kemarahannya. Perubahan terpenting yang terjadi pada bagian tubuh yang menyertai amarah adalah meningkatnya detak jantung dan tekanan darah serta melebarnya bentuk usus di tubuh dan anggota lainnya yang menyebabkan banyaknya peredaran hususnya di wajah dan juga pada bagian mata.78 Marah juga merupakan salah satu pintu utama masuknya syaitan dalam diri manusia, Rasulullah SAW. memberikan perhatian yang sangat besar terhadap sifat marah, beliau memerintahkan umatnya agar selalu menahan marah.
78
Musfir bin Said al-Zahrani, Konseling Terapi, terjemahan Sari Narulita L.c. dan Miftahul Janah L.c., (Jakarta:Gema Insani Pres, 2005), hlm. 194
53
Seseorang
yang
memiliki
kepribadian
tinggi
tidak
akan
membiarkan kalimat “suka marah” menjadi salah satu sifatnya. Namun, ia akan berusaha untuk mengenyahkan semua pengaruh amarah dalam dirinya. Karena marah juga merupakan salah satu pintu utama masuknya syaitan dalam diri manusia, sesungguhnya setan juga akan memanfaatkan kesempatannya saat manusia berada pada titik kelemahannya, khususnya di saat manusia dikuasai oleh syahwat dan amarahnya. Setan akan merasuki manusia di saat ia berada dalam amarahnya ataupun emosi lainnya yang darinya akan mengeluarkan adrenalin yang mempunyai pengaruh besar pada hati. Dalam keadaan seperti ini, ia akan mampu mengerahkan segala tenaganya untuk membela dirinya. Kemampuan dan kekuatan besar yang dimiliki seseorang yang sedang marah akan membuatnya siap untuk kontek fisik dengan siapa pun yang telah menyulut kemarahannya. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa menahan amarah sangat dibutuhkan dan bermanfaat atas dasar beberapa hal. 1.
Menjaga
kemampuan
individu
untuk
berfikir
jernih
dan
memutuskan suatu keputusan penting yang bijaksana untuk semua pihak. 2.
Menjaga kondisi tubuh individu pada posisi normal, hingga ia tidak pernah dilanda depresi yang disebabkan oleh meningkatkan kemampuan dan kekuatan yand berasal dari meningkatnya kadar gula dalam hati.
3.
Mengendalikan kemarahan dengan tidak merugikan pihak lain, baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan hingga ia bisa terus berinteraksi baik dengan masyarakat.
4.
Sesungguhnya pengendalian diri di saat marah sangat bermanfaat besar bagi kesehatan79.
79
Ibid, hlm. 192-193
54
Dengan demikian, seorang muslim hendaknya menenangkan rasa amarahnya dan meredakannya dari berbagai bentuk yang menimbulkan kemarahan. Al-Qur'an juga memberikan perhatian secara serius terhadap sifat marah. Menahan marah disebut sebagai sifat orang-orang yang bertakwa. Dalam surat Ali Imran ayat 133-134 Allah berfirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orangorang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkannya (kesalahan) orang. Allah menyukai orangorang yang berbuat kebajikan.”80 Menahan marah dalam ayat di atas, disebut sebagai sifat orangorang yang bertakwa. Ayat di atas adalah ayat yang menggambarkan tentang sifat-sifat orang yang bertaqwa, yaitu: c. Orang-orang yang
mau berinfaq, baik dalam keadaan mudah atau
sulit, mereka pantang mundur terus beramal sesuai dengan kondisi kemampuan mereka dan sama sekali tidak pernah melalaikan infak d. Orang yang mengekang dan menahan perasaan amrahnya, tidak mau melampiaskannya, sekalipun hal itu bisa saja ia lakukan. Barang siapa menuruti nafsu amarahnya, kemudian berterkad untuk dendam, bearti ia tidak stabil lagi dan tidak mau berpegang teguh pada kebenaran. Bahkan terkadang ia bisa melampauinya hingga kelewat batas. Oleh karena itu, dikatakan bahwa mengekang amarah termasuk takwa kepada Allah SWT. e. Orang-orang yang suka memberi maaf kesalahan orang lain membiarkan mereka, tidak menghukum, sekalipun mereka mampu 80
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya op.cit., hlm. 84
55
melakukan itu, hal itu merupakan tingkatan penguasaan diri dan pengendalian jiwa yang jarang bisa dilakukan oleh setiap orang. f. Dan kepada orang-orang yang suka menolong kepada orang yang membutuhkan pertolongan81. 3. Untuk Memahamkan82 Rasulullah menggunakan
dalam
metode
metode
belajar
pengulangan,
mengajar
biasanya
ada
beliau
kalanya
mengulangi
ucapannya hingga dua sampai tiga kali. Begitu juga beliau mengajarkan kepada kita dalam mengucapkan salam atau izin untuk memasuki rumah seseorang sebaiknya mengulangi salam hingga tiga kali, jika lebih dari itu hendaknya pulang atau pamit. Menurut al-Khutobi, pengulangan ucapan tiga kali adakalanya: a. Audien tidak faham karena tidak begitu mendengar, maka diulangi ucapan/penjelasan hingga tiga kali. b. Adakalanya ucapan yang isykal, maka itupun diulanginya hingga tiga kali, agar para audien memahami maksud yang dijelaskan. Pengulangan dalam memaparkan pendapat dan pemikiran tertentu kepada manusia, umumnya akan memperkokoh pendapat dan pemikiran itu sendiri dalam pikiran manusia. Dalam surah al-Qamar pun terjadi pengulangan ayat
Dan
sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (Q.S. al-Qamar-17) sebanyak empat kali. Pengulangan ini bertujuan untuk mengukuhkan proses dalam pembelajaran. Sesorang yang selalu mengulang-ulang baik dalam belajar atau sebuah perbuatan maka tanpa disadarinya perbuatan tersebut akan menjadi suatu kebiasaan hingga sulit baginya untuk meninggalkan perbuatan tersebut83, karena tertanam kuat di dalam bawah sadar. Hal ini
81
Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, terjemahan Bahrun Abu Bakar L.C. dan Drs. Hery Noer Aly (Penterjemah), (Semarang: C.V. Thoha Putra, 1993), hlm. 115 82 Muhammad bin Ahmad al-‘Aini, Umdah al-Qori , loc. cit. hlm. Juz. 2, hlm. 174 83 Musfir bin Said al-Zahrani, loc., cit. hlm 326
56
juga karena dalam pembemtukan karakter, tidaklah cukup hanya mengulang satu atau dua kali, apalagi cuma membaca buku. Dibutuhkan sebuah penbiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, konsisten dan berkesinambungan84. Hal ini telah disinggung dalam buku ESQ Kecerdasan Emosi dan Spiritual karya Ary Ginanjar, dengan teori pengulangan yaitu, sesuatu yang diucapkan berulang-ulang akan menjadi sebuah doktrin yang maha dahsyat yang akan mengisi dan menggetarkan kalbu. Ini sebenarnya merupakan sebuah energi raksasa yang tercipta dari hukum kekekalan energi, yaitu sifat energi yang kekal, artinya energi itu tidak bisa dihlangkan tetapi berubah bentuk menjadi energi yang lain. Teori pengulangan ini disebut Repetitive Magic power yang bearti kekuatan ajaib dari pengulangan85. Pengulangan dalam sebuah ucapan untuk memberikan kefahaman dalam penjelasan, lebih-lebih dalam perkara hukum atau agama. Semakin diulang akan menjadikan kalimat-kalimat tersebut tertanam kuat di dalam bawah sadar. Seperti dalam hadits yang lalu dari Anas r.a. Nabi bersabda:
86
Adanya Nabi SAW jika mengatakan suatu kalimat diulanginya tiga kali hingga dimengerti oleh pendengarnya . 4. Ihtimam (perhatian), dan sebagai Takhrish (semangat)87.
84
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses ESQ POWER Aebuah Inner Journey Melalui al-Ihsan, (Jakarta: Penerbit Arga, 2004), hlm. 258 85 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Jakarta: Penerbit Arga, 2001), hlm. 187-188. 86 Muhammad ‘Abd al-Rahman al-Mubarokfuri, loc .cit., hlm. 174. 87 Ibrahim bin Mar’I bin ‘athiyah al-Syabr Khoiti, Syarah Syabr Khaiti ala al-arbain Nawawi hadits al-Nawawi, (Beirut:Dar al-Quthni), hlm. 122
57
).
:
:
(
Dari Abi Ruqayah Tamim bin Aus Ad Daari bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, Agama ini adalah nasihat. Kami bertanya, Bagi siapa? Beliau menjawab, Bagi Allah, bagi kitab-kitab-Nya, bagi RasulNya, bagi para pemimpin kaum muslimin, dan bagi kaum muslimin pada umumnya. (HR. Muslim) Nasihat bagi Allah adalah nasihat bagi agama-Nya, demikian pula dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan menjauhi laranganlarangan-Nya, membenarkan berita-berita-Nya, beribadah dan bertawakal kepada-Nya, melaksanakan syiar-syiar dan syari’at-syari’at Islam lainnya. Nasihat bagi kitab-Nya adalah beriman bahwa ia adalah firman Allah, beriman pula bahwa kitab itu memuat berita-berita yang benar, hukum-hukum yang adil, kisah-kisah yang bermanfaat, dan wajib hukumnya untuk berhukum kepadanya dalam segenap urusan kita. Nasihat bagi rasul-Nya yaitu dengan beriman kepadanya, dan beriman pula bahwa beliau adalah rasul yang Allah utus kepada segenap makhluk, mencintai dan meneladani beliau, mempercayai berita yang belaiu
sampaikan,
melaksanakan
perintah-perintahnya,
menjauhi
larangannya, dan membela agamanya. Nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin adalah menasihati mereka, yakni: menjelaskan kebenaran, tidak meresahkan mereka, sabar terhadap apa-apa yang telah diperbuat oleh mereka, baik berupa hal-hal yang menyakitkan atau yang lainnya, yaitu berupa hak-hak mereka yang dikenal, membantu dan menolong mereka dalam perkara-perkara yang hukumnya wajib untuk dibantu, seperti: mengusir musuh dan semisalnya. Nasihat bagi kaum muslimin pada umumnya, yaitu bagi seluruh kaum muslimin, yaitu menyampaikan nasihat kepada mereka dengan berdakwah kepada Allah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, mengajarkan kebaikan kepada mereka, dan lain-lainnya. 88
Muslim Ibn al-Hujjaj, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz.2, hlm. 48
58
Dengan hal-hal itu, maka jadilah agama ini nasihat, dan yang pertama kali masuk dalam komunitas muslimin adalah diri orang itu sendiri, maksudnya seseorang hendaknya menasihati dirinya sendiri. Hadits ini memuat beberapa faedah, di antaranya adalah: a. Terbatasinya agama pada nasihat, berdasarkan sabda Nabi, “Agama adalah nasihat.” b. Sasaran nasihat adalah lima, yaitu: bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya. c. Anjuran untuk memberikan nasihat pada lima perkara di atas, karena jika kelima perkara tersebut adalah ajaran agama, maka tentunya seseorang tidak diragukan lagi akan menjaga agamanya dan berpegang teguh dengannya. Karena itulah, Nabi telah menjadikan nasihat itu pada kelima perkara ini. d. Diharamkannya perbuatan Ghisy (khianat/menipu), karena jika nasihat ini bertentangan dengan ajaran agama, maka ghisy ini adalah kebalikan dari nasihat, sehingga ghisy ini bertentangan dengan ajaran agama89.
5. Kesempurnaan dalam wudhu menghapus dosa Bentuk peristiwa lain adalah Rasulullah SAW. melihat seorang sahabatnya shalat dalam keadaan isbal, beliau menyuruhnya untuk berwudhu, dan mengulanginya untuk berwudhu lagi, setelah itu beliau membiarkannya. Dalam kitab sunan Abu Dawud dijelaskan Allah memerintahkan lewat Rasul SAW. kepada orang tersebut untuk berwudhu, guna untuk membersihkan dhahirnya karena akan membersihkan batinnya yang takabur karena orang yang isbal tersebut mempunyai unsur sombong dalam hatinya.90
89
Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, penerjemah Abu Abdillah Salim, (Pustaka al Rayyan).http: //ulamasunnah.wordpress.com), 07 Juli 2010 90 Abi al-Thayyib Muhammad Syamsul Haq al-Adhim Abadi, Ain al-Ma bud: Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz 2, hlm. 340.
59
91
Idzhab fatawadza dalam hadits di atas untuk menghapuskan dosadosa
karena
kesucian
(wudhu)
menghapuskan
dosa.
Rasulullah
menyuruhnya untuk mengulangi wudhunya adalah sebagai bentuk untuk penyempurnaan wudhu guna membersihkan dhahirnya karena akan membersihkan batinnya yang sombong atau takabur. Karena dalam kitab Dalil al-Falihin dijelaskan orang yang isbal hanya disuruh oleh Rasulullah Saw. berwudhu, namun tidak mengulangi dalam sholatnya92 Wudhu, secara sederhana dapat diartikan sebagai gerakan syar'i yang terdiri dari membasuh muka, tangan, kepala, telinga maupun kaki. Wudhu diposisikan sebagai amaliah yang benar-benar menghantar kita semua, untuk hidup dan bangkit dari kegelapan jiwa. Dalam wudlu segala masalah dunia hingga akhirat disucikan, diselesaikan dan dibangkitkan kembali menjadi hamba-hamba yang siap menghadap kepada Allah SWT. Bahkan dari titik-titik gerakan dan posisi yang dibasuh air, ada titik-titik sentral kehambaan yang luar biasa. Itulah, mengapa para sufi senantiasa memiliki wudhu secara abadi (wudhu daim), menjaga kesucian dalam kondisi dan situasi apa pun, ketika mereka batal wudhu, langsung mengambil wudhu seketika. Wudhu adalah juga termasuk hydro-therapy atau terapi air. Dalam satu ayat Allah berfirman secara khusus mengenai wudhu.
91
Abu Daud Sulaiman bin al-asy’ats, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994.), Juz 2,
hlm. 272 92
Muhammad bin ‘Alam al-Syafi’i al-Asy’ari al-Makki, Muhammad bin ‘Alam al-Syafi’i al-Asy’ari al-Makki, Dalil al-Falihin: Syarah Riyadh al-Shalihin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), juz. 3, hlm. 248
60
…. wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan basuh kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki .93 Manusia yang mengaku beriman, apabila hendak bangkit menuju Allah ia harus berwudhu jiwanya. Ia bangkit dari kealpaan demi kealpaan, bangkit dari kegelapan demi kegelapan, bangkit dari lorong-lorong sempit duniawi dan mimpi di tidur panjang hawa nafsunya. Ia harus bangkit dan hadir di hadapan Allah, memasuki "sholat" hakikat, dalam munajat demi munajat, sampai ia berhadapan dan menghadap Allah. wudhu ternyata sangat bermanfaat terhadap kesehatan. Dr Ahmad Syauqy Ibrahim, peneliti bidang penderita penyakit dalam dan penyakit jantung di London mengatakan, "Para Pakar sampai pada kesimpulan mencelupkan anggota tubuh ke dalam air akan mengembalikan tubuh yang lemah menjadi kuat, mengurangi kekejangan pada syaraf dan otot, menormalkan detak jantung, kecemasan, dan insomnia (susah tidur)". Dalam buku Al-I'jaaz al-Ilmiy fii al-Islam wa al-Sunnah al-Nabawiyah dijelaskan, setelah melalui eksperimen panjang, ternyata orang yang selalu berwudhu mayoritas hidung mereka lebih bersih, tidak terdapat berbagai mikroba. Rongga hidung bisa mengantarkan berbagai penyakit. Dari hidung, kuman masuk ke tenggorokan dan terjadilah berbagai radang dan penyakit. Apalagi jika sampai masuk ke dalam aliran darah. Barangkali inilah hikmah dianjurkannya istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) sebanyak tiga kali kemudian menyemburkannya setiap kali wudhu94 Ada pun berkumur-kumur dimaksudkan untuk menjaga kebersihan mulut dan kerongkongan dari peradangan dan pembusukan pada gusi. Berkumur menjaga gigi dari sisa-sisa makanan yang menempel. Bila kita 93
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya loc., cit., hlm.144 Muhaili, Wudhu dan Kesehatan, http://al-asra.blogspot.com/2008/11/w-wudhuwudhu-secara-sederhana-dapat.htm, 22 April 2010 94
61
tidak rajin membersihkannya, maka bisa menyebabkan berbagai macam penyakit. Bakteri-bakteri tersebut semakin subur oleh bekas-bekas makanan yang ada di sela-sela gigi yang tidak kita bersihkan. Penelitian pernah membuktikan bahwa 90% dari mereka yang menderita kerusakan gigi adalah karena keteledoran dalam menjaga mulut, selain mengancam pada gigi dan gusi, tetapi juga mengancam sistem pencernaan. Ini karena air liur yang kita telan berasal dari mulut.95 Sementara membasuh wajah dan kedua tangan sampai siku, serta kedua kaki memberi manfaat menghilangkan debu-debu dan berbagai bakteri. Apalagi dengan membersihkan badan dari keringat dan kotoran lainnya yang keluar melalui kulit. Dan juga, sudah terbukti secara ilmiah penyakit tidak akan menyerang kulit manusia kecuali apabila kadar kebersihan kulitnya rendah. Dari segi rohani, wudhu menggugurkan 'daki-daki' yang menutupi pahala. Bersama air wudhu, dosa-dosa kita dibersihkan, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda,
:
. "Apabila seorang hamba muslim atau mukmin berwudhu, tatkala ia membasuh wajahnya keluarlah dari wajahnya seluruh dosa yang dilakukan matanya bersamaan dengan air itu atau dengan tetesan terakhirnya. Apabila dia membasuh dua tangannya maka akan keluar seluruh dosa yang dilakukan tangannya bersamaan dengan air itu atau tetesan air yang terakhir. Apabila dia membasuh dua kakinya maka 95
Muhammad Muhyiddin, Misteri Energi Wudhu Keajaiban Fadhilah Energi Wudhu terhadap Kekuatn Fisik, Emosi dan Hati Manusia, ( Jogjakarta, DIVA Press, 2007), hlm.109
62
keluarlah seluruh dosa yang telah dilangkahkan oleh kakinya bersama air atau tetesannya yang terakhir sehingga dia selesai wudhu dalam keadaan bersih dari dosa-dosa ". (HR Muslim). Maka, berbahagialah orang-orang yang selalu menjaga wudhunya dan menjaga hatinya tetap suci. Rahasia di balik Ritual Wudhu; "Sempurnakanlah dalam berwudhu dan gosoklah sela-sela jari kalian". Hal ini diterangkan dalam hadist riwayat Imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad Hambal). Menurut pandangan medis hal ini sangatlah rasional. Karena pada bagian tersebut terdapat banyak serabut saraf, arteri, vena, dan pembuluh limfe. Menggosok pada sela-sela jari sudah semestinya memperlancar aliran darah perifer (terminal) yang menjamin pasokan makanan dan oksigen. Titik lain yang terkena basuhan air adalah siku. Selain menyentuh aspek hygiene, pada siku bagian bawah terdapat titik-titik penting dalam akupuntur. Termasuk juga ujung tungkai (lutut ke bawah) memiliki titik akupuntur yang penting. Pada bagian telingga pun memiliki titik akupuntur. Menurut cabang
spesifikasi
kedokteran
di
China,
bagian
telinga
bisa
direpresentasikan sebagai tubuh manusia. Bentuk telinga ini serupa dengan bentuk tubuh saat meringkuk dalam rahim ibu. Kepalanya adalah bagian yang sering dipasang anting. Dalam lubang adalah rongga tubuh tempat tersimpannya organ-organ dalam. Melakukan stimulasi seperti wudhu akan berpengaruh baik terhadap fungsi organ dalam. Adapun lingkaran luar menggambarkan punggung. Pemijatannya juga seolah melakukan stimulasi daerah punggung dan ruas-ruas tulang belakang Lalu adakah rahasia matematis antara hubungan ritual wudhu dengan susunan tulang dan sendi? Menurut dr. Sagiran, jumlah ruas tulang manusia ada 354 yang sama dengan jumlah hari dalam satu tahun hijriah. Hitungan jumlah ini didapat dari rumus, yakni anggota wudhu di kaki, di tangan, dan di muka yang dibasuh pada saat wudhu dikalikan dengan kali
63
pembasuhan. Kalau tangan dan kaki di basuh tiga kali, kepala diusap hanya sekali. Maka ritual berwudhu seperti halnya sama saja dengan membasuh seluruh tubuh. Selain sebagai ritual bersuci, berwudhu juga mengandung unsur perawat kesehatan tubuh96 Bagaimana hubungan antara wudhu dengan kebersihan dan kesucian batin, hususnya kebersihan dan kesucian hati dari akhlak yang tercela? Wudhu merupakan bagian dari cara kita bersuci. Karena bersuci memiliki empat tahapan sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ghazali, maka wudhu pun memiliki empat tahapan, yakni pembersihan anggota tubuh dar hadas, penyucian anggota tubuh dari dosa dan kejahatan, pembersihan hati dari akhlak yang tercela, dan pembersihan batin dari selain Allah Swt. Dua yang pertama merupakan pembersihan dan penyucian yang bersifat lahir. Ini bisa dilakukan dengan cara membasuh dari anggota tubuh kita yang wajib untuk dibasuh dalam berwudhu. Sedangkan dua yang terakhir merupakan pembersihan dan penyucian batin. Kekuatan wudhu yang menghidupkan dan menyehatkan hati merupakan kekuatan wudhu yang lebih mendalam yang lebih bersifat spiritual dan inmaterial. Imam Ghozali menyebutnya sebagai “Tahap membersihkan hati dari akhlak yang tercela ”. Imam al-Qusyairi alNaisaburi menyatakan bahwa, perilaku tercela dari sifat-sifat hamba terbagi menjadi dua, yaitu; pertama, bersifat upaya dari hamba, seperti perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan larangan. Kedua, budi pekerti (akhlak) yang buruk dalam diri. Hal ini kekuatan wudhu yang pertama merupakan kekuatan wudhu yang dapat menghindarkan seseorang hamba dari perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan larangan Allah Swt. ini adalah aspek kekuatan lahir yang diberikan oleh wudhu. Perbuatan maksiat dan pengingkaran terhadap perintah dan larangan merupakan perbuatan yang bersifat lahir. Semua perbuatan lahir sesungguhnya berasal dari keadaan 96
Muhaili, op., cit
64
batin. Wudhu memberikan kekuatan berupa anggota tubuh dan kesuciannya. Tentunya kita harus memberikan kesempatan kepada wudhu agar ia menguatkan, menghidupkan, dan menyehatkan keadaan-keadaan hati kita. Kekuatan wudhu sesungguhnya akan mendorong kepada siapa pun orang yang melakukannya untuk benar-benar mendapatkan akhlak yang terpuji di satu sisi dan menghindarkan kita dari akhlak yang tercela di sisi lain. Dengan demikian, apa yang oleh penelitian modern disebut “kecerdasan emosional” sesungguhnya akan didapat melalui jalan pintas dan singkat, yakni dengan memanfaatkan energi wudhu.97 Hal tersebut didasarkan kepada sejumlah hadits, di antaranya digambarkan bergugurannya dosa bersamaan dengan jatuh mengalirnya air dari setiap anggota wudhu
98
Dari Ustman bin Affan berkata, bersabda Rasulullah Saw. Barangsiapa yang wudhu dan menyempurnakan wudhunya maka dosadosanya akan keluar sehingga keluar dari bawah kuku-kukunya 6. Untuk sebuah keberanian sebagai bentuk motivasi99 Rasulullah SAW. merupakan figur pendidik, penyelamat, dan pengajar sekaligus pembimbing, bahkan sebagai motivator handal bagi para sahabatnya. Konsep pengajaran yang ada di dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabawiyah dalam menyerukan ketauhidan, pendidikan kaum mukminin dan juga dalam menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam jiwa kaum 97
Muhammad Muhyiddin, op. cit., hlm.154-155 Imam Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Syafi’I, loc. cit., juz 3, hal. 114 99 Al-Mundiri, al-Targhib wa al-Tarhib min al-Hadits al-Syarif, (Dar al-Fikr, Beirut, 1981), juz. 2, hlm. 276 98
65
muslimin, mengunakan konsep yang mempunyai landasan dasar yang mengarah kepada adanya perubahan perilaku kam mukminin dan penanaman nilai-nilaia keislaman dalam diri mereka guna membentuk pribadi yang tangguh. Rasulullah pun telah menerapkan landasan dasar ini ke dalam pendidikan kejiwaan bagi para sahabatnya yang bertujuan untuk mengubah perilaku mereka dan untuk menyebarkan dakwah Islam di antara manusia. Di antara landasan dasar tersebut adalah adanya motivasi dan metode pengulangan100. Dalam sebuah hadits,
101
“Uqbah bin Amir al Jauhani r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah SAW. bersabda di atas mimbar: Bersiaplah untuk menghadapi musuh sedapat mungkin dari kekuatan. Ingatlah sesungguhnya kekuatan itu ialah kepandaian melempar jauh, beliau mengulangi perkataannya hingga tiga kali.” Dalam hadits tersebut melempar adalah sebuah kekuatan, sebab fadh lah melempar batu atau panah dengan niat jihad f sab lillah adalah suatu bentuk keberanian dan tindakan melawan musuh102. Dalam hadits di atas Rasulullah SAW mengulangi perkataannya hingga tiga kali. Ini adalah salah satu bentuk penyemangat atau sebuah motivasi beliau kepada para sahabat untuk berani bertindak dalam rangka mewujudkan cita-cita yang agung yaitu kemenangan dalam jihad f sab lillah di medan perang. Keadaan ini juga memotivasi para sahabat untuk berlomba-lomba dan bersaing
dalam
hal
kebajikan.
100
Sesungguhnya
Allah
pun
telah
Musfir bin Said al-Zahrani, loc. cit, hlm. 312 Imam Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Jami al-Shahih: Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.h.), Juz 6, hlm. 52. 102 Imam Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Syafi’I, loc. Cit., juz 13, hal. 56 101
66
memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk bersaing dalam ketaqwaan, sebagaimana firman-Nya,
Berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu . (al-Mai dah: 48)103
Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari Kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu . (al-Baqarah: 148)104 Dalam ayat-ayat di atas tampak jelas bahwa Allah telah memerintahkan semua hamba-Nya untuk berlomba-lomba dan bersaing dalam ketakwaan kepada-Nya, berbuat kebaikan, konsisten dengan nilainilai kemanusiaan dan juga dalam mengikuti semua ajaran yang telah ditetapkan oleh Allah baik dalam Al-Qur’an ataupun lewat Rasulullah dalam sunah-sunah beliau. Rasulullah Saw. pun sangat menekankan kaum muslimin untuk terus saling bersaing dan saling memotivasi ataupun berlomba-lomba dalam mengerjakan perbuatab yang bermanfaat, yang akhirnya dalam anjurannya tersebut mampu menjadi sugesti para kavileri (penunggang kuda) dan para pemanah sebagai mujahid yang berperang demi menegakkan kalimat Allah. Rasulullah Saw. bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhori:
103 104
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya loc., cit., hlm.154 Ibid, hlm. 28
67
. Dari Salamah bin Akwa’ bahwa Rasulullah pergi menuju seseorang yang baru saja masuk Islam dan dilihatnya banyak orang sedang memanah di pasar, lanu beliau berkat, “ Berpanahlah wahai Bani Ismail. Sesungguhnya pendahulumu adalah pemanah. Aku akan bersama suatu bani tertentu”. Kemudian beliau memegang tangan sekelompok, dan berkata, Mengapa kalian tidak memanah? Lalu mereka berkata, Kami memanah dan engkau bersama mereka? . Lalu Rasulullah pun berkata, Memanahlah, sesungguhnya aku bersama kalian semua 105 Hal ini pun senada dengan hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah Saw. mengulangi perkataan beliau tentang kekuatan memanah hingga tiga kali, ini dikarenakan, sesuatu yang terus menerus diulang-ulang melalui lisan, pikiran atau hati, akan menjadikan kalimat-kalimat tersebut tertanam kuat di dalam bawah sadar. Bila terus diulang dalam jangka waktu lama maknanya akan mendarah daging dan akhirnya menjadi kekuatan dahsyat yang akan mengendalikan tingkah laku. Para ahli menyebutnya sebagai repetitive magic power.106 Inilah sebabnya
mengapa
Rasulullah
SAW.
dalam
sebuah
metode
pembelajarannya, beliau menggunakan metode pengulangan sebagai bentuk
motivasi,
waspada,
penghargaan ataupun sebagai bentuk
pemahaman terhadap para sahabatnya, karena pengulangan akan membuat sebuah tindakan.
105 106
Musfir bin Said al-Zahrani, loc, cit., hlm. 127-128 Ary Ginanjar Agustian, loc. cit., hlm. 187-188.
68
B. Implikasi Moral Dalam Hadits-hadits Pengulangan Tiga Kali 1. Bakti Anak kepada Kedua Orang Tua khususnya Ibu Ibu dan bapak adalah perantara seorang anak lahir ke dunia, merawat dan mendidiknya sampai ia dewasa dan mandiri, karena itu Islam menekankan kewajiban anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya. Berbakti kepada kedua orang tua dinilai dari penerimaan terhadap keberadaan orang tua sebagaimana adanya, serta menghayati pengorbanan mereka dalam mendidik dan merawatnya. Penghayatan ini melahirkan penerimaaan terhadap keberadaan orang tua baik fisik maupun non fisik, sehingga melahirkan sikap menghormati mereka secara tulus dan ikhlas Penghormatan terhadap orang tua ditampilkan anak dalam komunikasi yang baik yang dilahirkan pada seluruh sikap dan perilakunya. Komunikasi dan interaksi dengan orang tua tidak hanya dibatasi dalam kata sapaan yang sopan, melainkan penampilan yang mencerminkan kesungguhan untuk menempatkan orang tua pada tempatnya yang tinggi dan terhormat. Penampilan merupakan akulmulasi dari perasaan dan kata hati di mana kasih sayang dan ketulusan akan memancar dalam penampilan dan raut wajah, sehingga dalam komunikasi fisik dengan orang tua, ketulusan itu dapat di tangkap maknanya dan sekaligus menjauhkan kepura-puraan Kepentingan menghormati ibu bapak dikaitkan pula dengan nasib anak dikemudian hari, yairu kehidupannya di akhirat, sebagaimana Nabi mengingatkan bahwa keridhaan Allah tergantung pada keridhaan orang tua, demikian juga kebencian Allah tergantung pada kebencian orang tua, bahkan lebih dekat dari itu, Nabi menyatakan bahwa ada dua jenis dosa yang dilakukan seseorang yang siksanya akan dirasakan sejak masih berada di dunia, yaitu dosa zina dan durhaka kepada orang tua. Di samping itu, berbakti kepada orang tua dinyatakan pula pada saat orang tua sakit, anak diwajibkan untuk menjenguk dan menghiburnya, sampai mereka sembuh. Apabila kemudian orang tua meninggal dunia, kewajiban anak adalah merawat dan menyalatkan jenazahnya sampai di
69
pemakaman. Salah satu yang amat penting dalam berbakti kepada orang tua setelah mereka meninggal dunia adalah mendoakannya setiap saat, karena do’a anak yang mampu menembus ruang dan waktu, sehingga perbedaan dunia tidak bisa memutuskan hubungan antara anak dan orang tuanya107. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah108 :
Nabi bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia, maka putuslah senua amalnya, kecuali tiga hal, yaitu shadaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat dan do a anak sholih (HR. Muslim) 2. Bahaya Marah Karena faktor yang paling besar memancing kemarahan adalah sombong. Oleh sebab itu akan jatuh kepada perselisihan, maka dari itu untuk menghilangkan kemarahan adalah dianjurkan untuk melatih diri agar bisa berbesar hati atau sabar, jangan menuruti sesuatu apapun yang diperintahkan oleh kemarahan, karena kemarahan selain memancing kesombongan, juga menimbulkan perpecahan sehingga menghilangkan rasa kasih sayang atau bisa juga menjadikan terputusnya tali silaturrahmi. Maka dari itu Rasulullah memberikan perhatian kepada umatnya untuk menjauhi marah atau lebih menahan kemarahan, sesuai resep beliau: Rasulullah SAW. telah bersabda: Sesungguhnya aku tidak mengetahui satu kalimat yang jika diucapkan akan menghilangkan apa yang ia dapatkan (marah) yaitu membaca a dz bill hi minasyaith nirroj . (Riwayat Muslim)109.
107
Drs. K.H. Muslim Nurdin, Moral dan Kognisi Islam, (Bandung, CV. Alfabeta, 2001),
hlm. 260 108 109
Imam Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, loc. cit., Juz 5, hlm. 73. Al-Bukhori, Abi abdillah muhammad bin ismail, loc. cit., juz 4, hlm. 79
70
Jadi untuk meredam amarah langkah yang ditempuh adalah berta’awudz, kalau tidak mempan sekali maka harus diulang hingga dua atau tiga kali, bahkan hingga marahnya benar-benar reda. Termasuk cara meredam marah adalah merubah posisi ketika sedang marah. Misalnya, jika marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya segera duduk. “:Rasulullah SAW. bersabda: Jika salah seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya ia segera duduk, maka marahnya akan segera hilang. Jika tidak maka hendaknya ia berbaring. Cara ini juga diamini oleh para psikolog dan ahli jiwa sekarang. Banyak berdzikir kepada Allah juga termasuk cara untuk meredam marah. Sebab dengan dzikir hati menjadi tenang. Allah berfirman: “Ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”110 (QS. al-Ra’du (13): 28). Karena marah sangat berbahaya bagi diri sendiri dan orang lain, dan Islam telah memberikan solusi tepat bagaimana cara meredam marah. Oleh karena itu waspada terhadap bahaya marah
3. Metode Pengulangan sebagai bentuk Pemahaman Metode pengulangan banyak digunakan dalam metode proses belajar mengajar di masa sekarang ini. Yang mana Rasulullah telah mengajarkan kepada kita lewat sabda beliau atau pengajaran beliau terhadap para sahabatnya. Pengulangan akan menghasilkan pemahaman yang berbeda daripada hanya satu kali. Membaca, mendengar maupun bertindak akan lebih sempurna bila dilakukan lebih dari satu kali. Segala sesuatu yang diulang-ulang akan besar di dalam hati, semakin sering diulang maka akan semakin kuat gemanya di dalam hati. Untuk
menghafal dan memahami lebih bagus untuk diulang-ulang,
sebagaimana para sahabat Nabi SAW. sewaktu menerima sebuah hadits 110
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya loc. cit., hlm. 341.
71
atau menghafal Al-Qur'an. Mereka sengaja menghafal hadits dan mengulang-ulanginya. Anas bin Malik berkata: “Kami berada di sisi Rasul SAW., lalu kami dengan hadits dari beliau. Bila kami telah beranjak, maka kami akan mempelajarinya kembali di antara kami sehingga bisa menghafalnya.”111 Sesuatu yang terus menerus diulang akan menghasilkan perubahan karakter yang luar biasa, dan sesuatu baik membaca, mendengar ataupun bertindak bisa meresap ke dalam pikiran bawah sadar. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya Ary Ginanjar menyebutnya sebagai kekuatan ajaib dari pengulangan atau disebut Repetitive Magic Power. Al-Qur'an adalah kitab terbaik yang pernah ada, tetapi kita tetap disuruh untuk membaca secara berulang-ulang. Karena pengulangan akan mendorong pemahaman dan tindakan. 4. Wudhu dapat menggugurkan dosa- dosa Isbal adalah memanjangkan pakaian dan membiarkannya sampai tanah, yang bertujuan ujub dan sombong, maka orang yang melakukan hal itu sama sekali tidak termasuk dalam kehalalan dan keharaman Allah. Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda112, Kain yang berada di bawah mata kaki itu berada di neraka.” Kasus ini adalah apabila seseorang menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini dikhawatirkan termasuk dosa besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan semacam ini dengan neraka. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu Hurairah pada hadits Imam Muslim yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.
111 112
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, loc. cit., hlm. 57. Ahmad bin Ali bin Hajar al-Ashqolani, Fathul Bari, (Beirut:Dar al-Fikr, t.th,), juz. 10,
hlm. 256
72
:
.
: 113 ."
.
":
Dari ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: Allah tidak melihat seseorang yang melebihkan pakaiannya karena sombong Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat bahwa hukum untuk kasus pertama berbeda dengan kasus yang ke dua. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena menganggap bahwa hadits Abu Hurairah pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong, hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh al Nawawi dalam Syarah Muslim dan Riy dh al Sh lih n, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i114 Perbedaan pendapat dalam ranah yang tidak termasuk dalam kategori al-Tsawabit atau al-Ma lum min al-Din bi al-Dloruroh adalah hal yang wajar. Masing-masing yang berbeda harus saling menghormati antar satu dengan yang lain. Demikianlah kewajiban dalam Islam dalam menyikapi perbedaan. Meyakini bahwa pendapat kita yang paling benar tidaklah bermasalah. Namun menganggap pendapat orang lain salah atau memojokkan atau bahkan menghinanya sama berdasarnya dengan meyakini bahwa orang yang isbal telah berbuat sesuatu yang haram dan tidak menjalankan syariat Rasulullah. Sekali lagi disini ditekankan bahwa keduanya
memiliki
landasan
argumen
dan
tokoh
yang
kuat.
Mengunggulkan pendapat yang satu, tidaklah sama sekali mengurangi kekuatan pendapat yang lain. Meyakini kebenaran satu pendapat tidak sama sekali menghapus kebenaran pendapat yang berbeda. 113 114
Imam Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-Syafi’I, loc. cit., juz 14, hal. 52 Ibid, hlm.53
73
Dalam hadits Abu Daud yang telah disinggung di atas bahwa seseorang melakukan isbal yang bertujuan sombong sehingga Rasulullah menyuruhnya untuk berwudhu hingga tiga kali karena dalam wudhu melalui konsep ghasala, masaha, dan al-dalk memberikan stimulasi yang optimal, karena dengan berwudhu dapat menggugurkan dosa-dosa bersamaan dengan jatuh mengalirnya air dari setiap anggota wudhu. Selain wudhu bermanfaat dengan kesehatan jasmani, dijelaskan pula wudhu berpengaruh dengan kesehatan rohani. Hikmah wudhu bagi kesucian baik lahiriyah (jasmani) maupun bathiniyah (rohani) sangatlah tinggi. Wudhu, dapat dijadikan sebagai sarana bertaubat untuk membersihkan diri dari dosa guna kesucian dan kesehatan rohani115. Implikasi dari berwudhu adalah bahwa orang yang berwudhu akan terhindar dari sifat-sifat kemunafikan. Karena tidak menutup kemungkinan ketika seseorang berwudhu, hatinya tidak ikut berwudhu secara sempurna, namun hati dan pikirannya tidak terkonsentrasi kepada Allah. Ia mengingat persoalan-persoalan duniawinya. Sehingga tanpa sadar ia telah “bermuka dua” (munafik), pada satu muka, ia mengatakan bersuci, namun di muka yang lain, ia mengingat selain Allah. Padahal, Allah sama sekali tidak menyukai hamba-hamba-Nya yang bermuka dua (munafik). Dalam Al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 142 dijelaskan:
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali 116 Jika hal semacam ini tidak benar-benar disadari oleh oarng yang berwudhu, dihawatirkan akan timbul kemunafikan dalam hatinya 115 116
Muhammad Muhyiddin, loc. cit., hlm.222 Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya loc. cit., hlm. 133
74
Di lain pihak, wudhu pada hakikatnya merupakan langkah awal memasuki pelatihan penjernihan emosi. God-Spot (hati nurani) sering kali tertutup oleh berbagai belenggu yang menyebabkan oarng menjadi buta hati. Hal ini mengakibatkan seseorang tidak mampu lagi mendengar informasi-informasi maha penting yang berasal dari suara-suara hatinya sendiri, yang mengakibatkan sesorang menjadi tidak mampu untuk membaca lingkungan di luar dirinya atau membaca dirinya sendiri. Akibatnya, ia sering terperosok ke dalam berbagai kegagalan dan tidak mampu memanfaatkan potensi dirinya atau potensi lingkungan. Di kalangan sufi, misalnya karya Ibn Arabi, al-Futuhat alMakiyah, dalam bab Asar al-Thaharah dikemukakan bahwa wudhu itu dimaksudkan untuk membersihkan kotoran lahir dan batin. Karena itu, wudhu pada hakikatnya bukan hanya membasuh tubuh, melainkan justru jiwa117. Hal ini senada dengan hadits yang penulis bahas, wudhu juga membersihakan hatinya yang sombong.
5. Pengajaran Nabi sebagai bentuk Motivasi perilaku Motivasi
(dorongan
diri)
adalah
kekuatan
yang
mampu
memunculkan aktifitas dalam diri manusia. Hal ini dimulai dari adanya perilaku yang diarahkan pada tujuan tertentu yang menjadikan aktivitas tersebit adalah satu tugas yang harus diaksanakan. Motivasi inilah yang mampu mendorong manusia dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya, sebagaimana ia pula yang mendorong manusia dalam melaksanakan banyak
kegiatan
penting
yang
bermanfaat
yang
sesuai dengan
Motivasi adalah landasan dasar terpenting
dalam belajar.
keinginannya.
Umumnya manusia tidak akan belajar kecuali ia mendapatkan satu permasalahan yang memotivasinya untuk mencari pemecahannya. Telah disinggung di atas Rasulullah SAW. pun sering memberikan sebuah 117
Sulaiman al-Kumayi, Shalat Penyembahan dan Penyembuhan, (Yogyakarta, Erlangga:2007), hlm. 7
75
motivasi dalam pembelajarannya, melalui metode pengulangan, yang menumbuhkan semangat untuk bertindak. Diantara hadits beliau yang mengandung bentuk motivasi adalah sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Muslim :
118
Melempar batu atau panah dengan niat jihad f sab lillah adalah suatu bentuk keberanian dan tindakan melawan musuh sebagai wujud untuk meraih cita-cita yaitu kemenangan Islam dalam jihad f sab lillah
118
Imam Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, loc. cit, juz. 6, hlm. 52.
76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dari bab-bab sebelumnya maka, dapat disimpulkan bahwa: 1. Rasulullah SAW. dalam berbicara kepada orang lain sesuai dengan kadar intelektual mereka. Beliau mampu memahami pola hidup dan kondisi lingkungan seorang audien, dalam hal ini adalah sahabat. Beliau juga memperhatikan perbedaan daya tangkap, kecerdasan dan kemampuan alami maupun hasil latihan mereka dalam berfikir. Rasulullah SAW. dalam mengajarkan haditsnya pun menggunakan metode yang berbeda, di antara metode yang digunakan beliau adalah metode lisan, metode ini berbentuk ceramah yang diadakan di majlis. Bila berbicara, Rasulullah SAW. menggunakan makna yang sangat tegas dan rinci. Apabila yang disampaikannya itu merupakan suatu hal yang penting, beliau biasa mengulanginya sampai tiga kali. Hal ini dimaksudkan memahami maknanya dan pendengar menghafalnya. Dalam hadits beliau yang diulang secara lafal hingga tiga kali, tentunya mempunyai makna atau pesan yang berbeda. Pesan Nabi dalam hadits-hadits pengulangan tiga kali adalah: a. Untuk Sebuah Kemuliaan atau Keutamaan sebagai bentuk hak seorang ibu atas anak adalah lebih besar dari hak seorang ayah b. Untuk Kewaspadaan terhadap sifat marah (Larangan Memperbanyak Marah) c. Untuk Memahamkan d. Ihtimam (perhatian), dan sebagai Takhrish (semangat) e. Kesempurnaan dalam wudhu menghapus dosa f. Untuk sebuah keberanian sebagai bentuk motivasi
77
2. Ada beberapa alasan atau argumentasi dan pesan Nabi lewat haditshaditsnya yang diulang-ulang lafalnya. a. Untuk Sebuah Kemuliaan atau Keutamaan sebagai bentuk hak seorang ibu atas anak adalah lebih besar dari hak seorang ayah Bertepatan dengan hal ini adalah mengacu pada hadits Nabi dalam kitab Umdah al-Qori, Shahih Bukhari. Rasulullah SAW. memberikan sebuah penghargaan atau kemuliaan kepada seorang ibu yang telah mengandung, melahirkan serta menyusui bahkan seorang ibu pun mampu mencari nafkah untuk anaknya, yaitu beliau berpesan hendaknya seorang ibu memiliki porsi tiga kali daripada porsi sang ayah dalam hal mendapatkan bakti. b. Untuk Kewaspadaan terhadap sifat marah (Larangan Memperbanyak Marah) Dalam sebuah hadits yang singkat namun padat makna, disebut juga Jawami al-Kalim, beliau memberikan perhatian khusus terhadap sifat marah, Imam Nawawi berkata makna jangan marah pada hadits Nabi yang diulangi hingga tiga kali adalah, larangan untuk melampiaskan marah, bukan melarang untuk marah, sebab marah merupakan karakter dasar manusia yang tidak mungkin dihilangkan. c. Sebagai bentuk pemahaman Segala sesuatu yang diulang-ulang akan besar di dalam hati, semakin sering diulang maka akan semakin kuat gemanya di dalam hati. Untuk menghafal dan memahami lebih bagus untuk diulangulang, sebagaimana para sahabat Nabi SAW. sewaktu menerima sebuah hadits atau menghafal al-Qur'an. Hal ini juga dijelaskan dalam hadits Nabi SAW., jika beliau mengatakan suatu kalimat biasa diulanginya tiga kali hingga dimengerti oleh pendengarnya. d. Ihtimam (perhatian), dan sebagai Takhrish (semangat) Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan kalimat (mengulanginya tiga kali) pada hadits al-Din al-Nashihah, terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan yang dibawakan
78
oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam hadits. Sedangkan Imam al-Nawawi dalam al-Arbain hadits tersebut membawakannya tanpa pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan) al-din al-nashihah mengalami pengulangan tiga kali yang berfaidah untuk ihtimam (perhatian), dan sebagai takhrish (semangat). Karena hadits tersebut menyangkut tentang nasihat bagi Allah, nasihat bagi kitab-Nya, nasihat bagi rasul-Nya, nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin, nasihat bagi kaum muslimin pada umumnya. Maka ini adalah bentuk ihtimam atau untuk diperhatikan bagi umat Islam
e. Kesempurnaan dalam wudhu menghapus dosa Wudhu pada hakikatnya merupakan langkah awal memasuki pelatihan penjernihan emosi. God-Spot (hati nurani) sering kali tertutup oleh berbagai belenggu yang menyebabkan oarng menjadi buta hati. Hal ini mengakibatkan seseorang tidak mampu lagi mendengar informasiinformasi maha penting yang berasal dari suara-suara hatinya sendiri, yang mengakibatkan seseorang menjadi tidak mampu untuk membaca lingkungan di luar dirinya atau membaca dirinya sendiri. Akibatnya, ia sering terperosok ke dalam berbagai kegagalan dan tidak mampu memanfaatkan potensi dirinya atau potensi lingkungan. Di kalangan sufi, misalnya karya Ibn Arabi, al-Futuhat alMakiyah, dalam bab Asar al-Thaharah dikemukakan bahwa wudhu itu dimaksudkan untuk membersihkan kotoran lahir dan batin. Karena itu, wudhu pada hakikatnya bukan hanya membasuh tubuh, melainkan justru jiwa119. Hal ini senada dengan hadits yang penulis bahas, wudhu juga membersihakan hatinya yang sombong. Yakni bagi seseorang yang menyempurnakan wudhunya akan menghapus dosa-dosa yang telah diperbuatnya
119
Sulaiman al-Kumayi, Shalat Penyembahan dan Penyembuhan, (Yogyakarta, Erlangga:2007), hlm. 7
79
f. Sebagai bentuk motivasi Rasulullah memberikan sebuah motivasi lewat hadits beliau tentang melempar jauh adalah salah satu strategi dan kekuatan dalam perang, karena disana mengandung keberanian untuk bertindak dalam rangka
mewujudkan cita-cita
yaitu
kemenangan dalam
jihad
fisabilillah. B. Saran-saran Setelah penulis menyelesaikan proses penulisan naskah skripsi ini, penulis berusaha memberikan saran-saran yang merupakan sumbangan positif: 1. Kepada segenap manusia yang mendambakan suatu kedamaian dan keselamatan yang abadi, seyogyanya selalu berpegang teguh pada alQur'an dan sunah Nabi SAW. karena dengan kita berpegang teguh pada keduanya kita akan mendapat jauh yang lurus dan tercapai apa yang menjadi tujuan hidup yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. 2. Hasil penelitian ini merupakan langkah awal dari upaya pemahaman hadits secara tekstual ataupun kontekstual, oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sebagai kelanjutan pengembangan dari penelitian ini.
C. Penutup Pada akhirnya penulis merendahkan diri dalam naungan Al-Alim Azza Wajalah serta memohon ilmu yang berkah dan bermanfaat (rabbi zidna ilma al-nafi a wa wafiqna amalan shaliha). Amin.
80
DAFTAR PUSTAKA Abbas, Hasyim, Kritik Matan Hadits, yogyakarta:TERAS, 2004 Cet. I. Abdullah, M. Amin, Studi Agama; Normalitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Agustian, Ary Ginanjar, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta: Penerbit Arga, 2001. Ahs-Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009. Al-‘Aini, Mahmud bin Ahmad, Umdah al-Qori: Sharah Shahih al-Bukhori, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001, Juz 22. Al-Adim Abadi, Abi al-Thayyib Muhammad Syamsul Haq, Ain al-Ma bud: Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz 2. Al-Andalusy, Syekh Muhannad bin A. Malik, Terjemahan Matan al-Fiyah, Terj. M. Anwar Bandung: PT. Al-Ma’arif, t.th. Al-Ashqolani, Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul Bari, Beirut:Dar al-Fikr, t.th,, juz. 10. Al-Asy’ats, Abu Daud Sulaiman bin, Sunan Abi Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, Juz 2 Al-Aziz, Mohammad Saifullah, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang, 1998 Al-Bukhori, Abi abdillah muhammad bin ismail, Matn al-Bukhori, Beirut: Dar alFikr, 1995, juz 4. Al-Damsyiqi, Ibnu Hamzah al-Husaini, Asbab al-Wurud, Terjemahan M. Suwarta Wijaya dan Zafrullah Salim, Jakarta: Kalam Mulia, 1994, Juz 1. Al-Fahham, M., Berbakti Kepada Orang Tua Kunci Kesuksesan dan Kebahagiaan Anak, Bandung: Penerbit Irsyad Bait al-Salam, 2006, cet. 10. Al-Faurak, Abu Bakar, Musykil Hadits wa Bayanihi, Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985. Al-Hasan, Qadir, Ilmu Musthalah al-Hadits, Bandung: CV. Diponegoro, 1983, Cet. II.
81
Al-Hasyimi, Sayid Ahmad, Mutiara Ilmu Balaghah, Ter. M. Zuhri. Ahmad Chumaidi Umar, Surabaya: Dar al-Ihya’, 1994. Al-Hasyimi Muhammad Ali, Menajdi Muslim Ideal, terjemahan Ahmad Baidowi, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002 Al-Khatib, Muhammad ‘Ajaj, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, terjemahan Drs. H. M. Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq. Jakarta: Gaya Media Pratama,1998. Al-Makki, Muhammad bin ‘Alam al-Syafi’i al-Asy’ari, Dalil al-Falihin: Syarah Riyadh al-Shalihin, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., Juz 4. Al-Maliki, Ibrahim bin Mar’i al-Syabr al-Khaithi, Syarah al-Syabar al-Khoithi, Dar al-Fikr, Beirut: t.th. Al-Mubarokfuri, Imam Muhammad ‘abd al-Rahman, Tuhfatul Ahwadzi: Syarah Jami’ al-Tirmidzi, Beirut: Darul Fikr, 1995M, Al-Naisaburi, Imam Muslim al-Qusyairi, Al-Jami al-Shahih: Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, t.th. Al-Nawawi, Imam Abu Zakaria Yahya, Riadh al-Shalihin, terj. Salim Bahreisy, al-Ma’arif, Bandung, 1997. Al-Qalaini, Asy-Sekh Mushthafa, Jami al-Durus al- Arabiah, Beirut: Dar alKutub al-‘ilmiah, 2006 Al-Rahman, Muhammad ‘Abd, Al-Mubarokfuri, Tuhfah al-Wadzi: Sejarah Jami al-Turmudzi, Beirut: Dar al-Fikr, 1995 Al-Shabuni Muhammad ‘Aly, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Al-Shabini, terjemahan muammal Hamidi dan Imron A. Manan. Surabaya:PT. Bina Ilmu,2003 Al-Shalih, Hasbi, Pokok-pokok Ilmu Diroyah Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1976. Al-Shidqy, M. Hashbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997. Al-Syafi’I, Imam Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim : Syarah alNawawi, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1995), Al-Zahrani, Musfir bin Said, Konseling Terapi, terjemahan Sari Narulita L.c. dan Miftahul Janah L.c., Jakarta:Gema Insani Pres, 2005.
82
Anwar, Moch., Ilmu Nahwu Terjemahan Matan al-Jurumiyyah dan Imrithi Berikut Penjelasannya, Bandung: Sinar Baru, 1992. Aqlayanah, al-Makki, Metode Pengajaran Hadits, (Pada Tiga Abad Pertama Hijriyah), Terj. Amir Hamzah Fahrudin, Jakarta: Granada Nadia, 1994. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktis, Jakarta, Bina Aksara, 1989. Assa’idi, Sa’dullah, Hd-hd Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Azami, Muhammad Musthafa, Metodologi Kritik Hadits, terjemahan Drs. A. Yamin, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992. Bakker, Anton dan Ahmad Charis Zubair, Yogyakarya: Kanisius 1994.
Metode Penelitian Filsafat,
Departemen Agama, Al-Qur'an dan Terjemahnya, Surabaya: Penerbit Duta Ilmu, 2005. Ikhwan, Muhammad Nor, Studi Ilmu hadits, Semarang: RaSAIL Media Group, 2007. Islamil, M. Syuhudi, Hadits Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1994. Ismail, M. Syuhudi, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Ismail, Al-Bukhori, Abi abdillah Muhammad, Matan al-Bukhori, Beirut: Dar alFikr, 1995, juz 4. Ismail, M. Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, t.th. Ismail, Syuhudi, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1993. Khairuman, Badri, Otentitas Hadits; Studi Kritis atas Kajian Hadits Kontemporer, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004. Khalil, Munawar, Kembali kepada Al-Qur an dan Al-Sunah, Jakarta: Bulan Bintang, 1956
83
Manzur, Muhammad bin Mukarram, Lisan-al-Arabi, Beirut: Dar al-Fikr, 1990, juz II. Muhaili, Wudhu dan Kesehatan, http://al-asra.blogspot.com/2008/11/w-wudhuwudhu-secara-sederhana-dapat.htm, 22 April 2010 Munawwar, Said Agil Husain, Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud; Studi Kritis Hadits Nabi Pendekatan Sosiohistoris-Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001. Najati, Ustman, Al-Qur an dan Ilmu Jiwa, terjemahan A. Rofi’i Ustman. Bandung: Penerbit Pustaka, 1985 Nawawi, Hadari dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1996. Saurah , Abi Isa Muhammad bin Isa bin, Sunan al-Tirmidzi, Beirut, Dar al-Fikr, 1994 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, Cet. 2. Suparta, Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: P.T. Raja Grafindi Persada, 2003. Strauss, Anselm dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teoritisasi Data, terj. Muhammad Sodik dan Imam Muttaqin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Ya’kub, Ali Mustofa, Kritik Hadits, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004. Yoesqi, Moh. Isom et.al, Eksistensi Hadits dan Wacana Tafsir Tematik, Yogyakarta: CV. Grafika Indah. 2007. Zakiuddin , al-Imam al-Khafidz, al-Targhib wa al-Tarhib min al-Hadits al-Syarif, Beirut : Dar al-Fikr, 1981 Zuhad, Asbab al-Wurud Dalam Teologis, Vol. 16, Nomor 1, Januari, 2005.
84
BIODATA PENULIS
Nama
: Ely Uzlifaturohmah
Nomor Induk Mahasiswa
: 054211021
Jurusan
: Tafsir dan Hadits (TH)
TTL
: Demak, 16 Juli 1986
Alamat Asal
: Wedung, Rt: 02, Rw: 01 Ds./Kel. Wedung, Kec. Wedung, Kab. Demak, Jawa Tengah
Pendidikan Formal
:
1. SDN Buko I, Wedung, Demak 2. MTs Tarbiyautul Ulum, Wedung, Demak 3. MA Mamba’us al-Shalihin, Suci, Manyar, Gresik, Jawa Timur 4. IAIN Walisongo Semarang Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits (TH). Pendidikan Non Formal
:
Ø Madrasah Diniyah Ribatul Qur’anil ‘Adhim, Wedung, Demak (19931999) Ø Pon-Pes Mamba’us al-Shalihin, Suci, Manyar, Gresik, Jawa Timur (19992005) Yang menyatakan,
ELY UDZLIFATURROHMAH
85
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Ely Uzlifaturrohmah
Nomor Induk Mahasiswa
: 054211021
Jurusan
: Tafsir dan Hadits (TH)
TTL
: Demak, 16 Juli 1986
Alamat Asal
: Wedung, Rt: 02, Rw: 01 Ds./Kel. Wedung, Kec. Wedung, Kab. Demak, Jawa Tengah
Pendidikan Formal
:
5. SDN Buko I, Wedung, Demak 6. MTs Tarbiyautul Ulum, Wedung, Demak 7. MA Mamba’us al-Shalihin, Suci, Manyar, Gresik, Jawa Timur 8. IAIN Walisongo Semarang Fak. Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits (TH). Pendidikan Non Formal
:
Ø Madrasah Diniyah Ribatul Qur’anil ‘Adhim, Wedung, Demak (19931999) Ø Pon-Pes. Mamba’us al-Shalihin, Suci, Manyar, Gresik, Jawa Timur (19992005) Demikian daftar riwayat hidup penulis, dibuat dengan sebenar-benarnya. Harap menjadikan periksa dan maklum adanya.
Semarang, 09 Juli 2010 Penulis
ELY UZLIFATURROHMAH NIM. 4105021
86