No.09/Th.3/Rabiul Awal 1430H/ Pebruari 2009
Jum’at – IV
MENYELUSURI MAKNA BID'AH DAN KHILAFIAH Ust. Drs. M. Soleh, M.Pd Bid’ah dan Khilafiyah merupakan masalah yang sampai hari ini menjadi perbincangan di antara kaum muslimin. Namun sangat tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid'ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid'ah dan pengertiannya ini menjadi krusial bagi seorang da’i/penceramah. PENGERTIAN BID'AH SECARA BAHASA Secara bahasa bid'ah itu berasal dari ba-da-'a asy-syai yang artinya adalah mengadakan dan memulai. Dan kata "bid'ah" maknanya adalah baru atau sesuatu yang menjadi tambahan dari agama ini setelah disempurnakan. PENGERTIAN BID'AH SECARA ISTILAH DAN PERBEDAAN PANDANGAN Secara istilah, bid'ah itu didefinisikan oleh para ulama dengan sekian banyak versi dan batasan. Hal itu lantaran persepsi mereka atas bid'ah itu memang berbeda-beda. Sebagian mereka ada yang meluaskan pengertiannya hingga mencakup apapun jenis yang baru (diperbaharui), sedangkan yang lainnya menyempitkan batasannya. Dalam Ensiklopedi Fiqih jilid 8 keluaran Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait halaman 21 disebutkan bahwa secara umum ada dua kecenderungan orang dalam mendefinisikan bid’ah. Yaitu kecenderungan menganggap apa yang tidak ada di masa Rasulullah SAW sebagai bidah meski hukumnya tidak selalu sesat atau haram. Dan kedua adalah kecenderungan untuk mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat. Kelompok Pertama Kelompok Pertama adalah mereka yang meluaskan batasan bid'ah itu mengatakan bahwa bid'ah adalah segala yang baru diada-adakan yang tidak ada dalam kitab dan sunnah. Baik dalam perkara ’ibadah ataupun adat. Baik pada masalah yang baik atau yang buruk. Para ulama yang mewakili kalangan ini antara lain adalah Al-Imam Asy-Syafi'i dan pengikutnya seperti Al-'Izz ibn Abdis Salam, An-Nawawi, Abu Syaamah. Sedangkan dari kalangan Al-Malikiyah ada Al-Qarafi dan Az-Zarqani. Dari kalangan lainnya seperti Ibnul Abidin dan dari kalangan Al-Hanabilah adalah Al-Jauzi serta Ibnu Hazm dari kalangan Dzahiri. Bisa kita kemukakan pendapat Al-Izz bin Abdis Salam yang mengatakan bahwa 1
bid`ah adalah perbuatan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, yang terbagi menjadi lima hukum. Yaitu bid'ah wajib, bid'ah haram, bid'ah mandub (sunnah), bid'ah makruh dan bid'ah mubah. Contoh bid'ah wajib misalnya belajar ilmu nahwu yang sangat vital untuk memahami kitabullah dan sunnah rasulnya. Contoh bid'ah haram misalnya pemikiran dan fikrah yang sesat seperti Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah dan Khawarij. Contoh bid'ah mandub (sunnah) misalnya mendirikan madrasah, membangun jembatan dan juga shalat tarawih berjamaah di satu masjid. Contoh bid'ah makruh misalnya menghias masjid atau mushaf Al-Qur’an. Sedangkan contoh bid'ah mubah misalnya bersalaman setelah shalat. Pendapat bahwa bid'ah terbagi menjadi lima kategori hukum didasarkan kepada dalil-dalil berikut : a. Perkataan Umar bin Al-Khattab ra tentang shalat tarawih berjamaah di masjid bulan Ramadhan yaitu Sebaik-baik bid'ah adalah hal ini. b. Ibnu Umar juga menyebut shalat dhuha' berjamaah di masjid sebagai bid'ah yaitu jenis bid'ah hasanah atau bid'ah yang baik. c. Hadits-hadits yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah dan bid'ah dhalalah seperti hadits berikut : Siapa yang mensunnahkan sunnah hasanah maka dia mendapat ganjarannya dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Siapa yang mensunnahkan sunnah sayyi'ah (kejelekan), maka dia mendapatkan ganjaran dan ganjaran orang yang mengamalkannya hingga hari qiyamat. Kelompok Kedua Kalangan lain dari ulama yang mendefinisikan bahwa yang disebut bid'ah itu semuanya adalah sesat, baik yang dalam ibadah maupun adat. Diantara mereka ada yang mendifiniskan bid'ah itu sebagai sebuah jalan (tariqah) dalam agama yang baru atau tidak ada sebelumnya (mukhtara'ah) yang bersifat syar`i dan diniatkan sebagai tariqah syar'iyah. Diantara mereka yang berpendapat demikian antara lain adalah At-Thurthusy, Asy-Syathibi, Imam Asy-Syumunni dan Al-Aini dari kalangan Al-Hanafiyah. Juga ada Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-`Asqallany serta Ibnu Hajar Al-Haitami dari kalangan Asy-Syafi'iyah. Dan kalangan Al-Hanabilah diwakili oleh Ibnu Rajab dan Ibnu Taymiyah. Contohnya adalah orang yang bernazar untuk puasa sambil berdiri di bawah sinar matahari atau tidak memakan jenis makanan tertentu yang halal tanpa sebab yang jelas (seperti vegetarian dan sebangsanya). Dalil yang mereka gunakan adalah : Bahwasanya Allah SWT telah menurunkan syariat dengan lengkap diantaranya adalah fiman Allah SWT : ”... Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu...” (QS. Al-Maidah : 3). Juga ayat 2
berikut : ”dan bahwa adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan lain, karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa”. (QS:AlAn`am:153) Setiap ada hadits Rasulullah SAW yang berbicara tentang bid'ah, maka selalu konotasinya adalah keburukan. Misalnya hadits berikut : ”...bahwa segala yang baru itu bid'ah dan semua bid'ah itu adalah sesat. Selain pembagian di atas maka sebagian ulama juga ada yang membuat klasifikasi yang sedikit berbeda, oleh para ulama bid’ah terbagi dua : a. Bid’ah dalam adat kebiasaan (di luar masalah agama) seperti banyaknya penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, hal tersebut dibolehkan karena asal dalam adat adalah kebolehan (al-ibahah) b. Bid’ah dalam agama, mengada-ngada hal yang baru dalam agama. Hukumnya haram, karena asal dalam beragama adalah at-tauqief (menunggu dalil). Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan tersebut akan tertolak (HR Muslim 1817). Namun dalam kaitannya dengan bid’ah dalam agama, para ulama ternyat juga masih memilah lagi menjadi dua bagian : Pertama : Bid’ah perkataan yang berkaitan dengan masalah Itiqod, seperti perkataan Jahmiyah, Mu’tazilah, Rafidhoh dan sekte-sekte sesat lainnya. Misalnya pendapat Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk Alloh dan bukan firmanNya. Kedua: Bid’ah dalam beribadah, seperti melaksanakan suatu ritual ibadah yang tidak ada dalil syar’inya. Bid’ah dalam ibadah ini terbagai beberapa macam: a. Bid’ah yang terjadi pada asal ibadah, dengan cara mengadakan suatu ritual ibadah baru yang tidak pernah disyari’atkan sebelumnya, contohnya adalah melaksanakan shaum dengan tujuan agar dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu b. Bid’ah dalam hal menambah Ibadah yang disyari’atkan, seperti menambah raka’at sholat shubuh menjadi tiga. c. Bid’ah dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang diwujudkan dengan melaksanakannya diluar aturan yang disyari’atkan, contohnya melaksanakan dzikir sambil melakukan gerakan-gerakan tertentu. d. Bid’ah dengan mengkhususkan waktu tertentu untuk melaksanakan ibadah masyru’. Seperti mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban dengan shaum dan sholat. Karena shaum dan sholat pada asalnya disyari’atkan, akan tetapi pengkhususan pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut di waktu-waktu tertentu haruslah berdasarkan nash (dalil-dali) dari Alloh dan rasul-Nya. 3
Bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, tentu saja kita wajib menyampaikannya kepada khalayak. Sebab kita wajib melindungi umat dari bahaya bid'ah. Akan tapi kalau masih ada perbedaan di dalam suatu masalah, Apakah termasuk bid'ah atau bukan, di mana para ulama sendiri masih berpolemik, maka yang lebih bijak untuk kita lakukan adalah berpegang kepada kejujuran ilmiyah. Katakan bahwa sebagian ulama membid'ahkannya tapi sebagian lainnya tidak sampai demikian. Tidak ada ruginya menjalankan kejujuran, bahkan kejujuran adalah bagian dari ketinggian ilmu seorang da’i. Dan tidak perlu malu mengatakan hal demikian, toh kewajiban kita hanya menyampaikan saja. Bila kita saksikan bagaimana indahnya para ulama di masa lalu memperbincangkan perbedaan pendapat. Tidak ada caci maki, apalagi saling ejek atau saling tuduh ahli bid'ah. Sebab masing-masing sadar bahwa argumen temannya itu tidak bisa dipatahkan begitu saja. Meski dirinya lebih yakin dengan kekuatan argemumentasinya sendiri, tapi tetap saja menaruh hormat yang tinggi kepada pendapat orang lain. Rupanya, semakin tinggi ilmu mereka, semakin tawadhhu' jiwa mereka. Hal-Hal Yang Termasuk Masalah Khilafiyah Biasanya perkara yang masuk kategori khilafiyah adalah masalah furu' atau cabang-cabang agama. Adapun masalah pokok, seperti aqidah yang paling dasar, tauhid yang esensial serta konsep ketuhanan yang fundamental, tidak pernah terjadi perbedaan pendapat. Demikian juga dengan kerangka dasar ibadah, umumnya para ulama sepakat. Ketidak-sepakatan baru muncul manakala mereka mulai memasuki wilayah teknis dan operasional yang tidak prinsipil. Beberapa penyebab mengapa suatu perkara bisa menjadi masalah yang tidak disepakati hukumnya antara lain : a. Adanya ayat yang berbeda satu dengan lainnya secara zhahirnya. Sehingga membutuhkan jalan keluar yang bisa cocok untuk keduanya. Di titik inilah para ulama terkadang berbeda dalam mengambil jalan keluar. Adanya perbedaan penilaian derajat suatu hadits di kalangan ahli hadits. Di mana seorang ahli hadits menilai suatu hadits shahih, namun ahli hadits lainnya menilainya tidak shahih. Sehingga ketika ditarik kesimpulan hukumnya, sangat bergantung dari perbedaan ahli hadits dalam menilainya. Adanya ayat atau hadits yang menghapus berlakunya ayat atau hadits yang pernah turun sebelumnya. Dalam hal ini sebagaian ulama berbeda pendapat untuk menentukan mana yang dihapus dan mana yang tidak dihapus. Adanya perbedaan ulama dalam menetapkan mana ayat yang berlaku mujmal 4
dan mana yang berlaku muqayyad. Juga dalam menetapkan mana yang bersifat umum ('aam) dan mana yang bersifat khusus (khaash). b. Adanya perbedaan ulama dalam menggunakan metodologi teknik pengambilan kesimpulan hukum, setelah sumber yang disepakati. Misalnya, ada yang menerima syar'u man qablana dan ada yang tidak. Ada yang menerima istihsan dan ada juga yang tidak mau memakainya. Dan masih banyak lagi metode lainnya seperti saddan lidzdzri'ah, qaulu shahabi, istishab, qiyas dan lainnya. SIKAP KITA DALAM MASALAH KHILAFIYAH Sikap kita terhadap masalah khilafiyah adalah: a. Yakin bahwa masalah khilafiyah itu wajar dan tidak bisa dihindari terjadinya. Khilafiyah sudah ada sejak awal mula risalah Islam pertama kali diturunkan di muka bumi. b. Yakin bahwa dengan adanya beda pendapat itu kita menjadi semakin mempunyai khazanah yang kaya tentang ragam alur hukum. c. Yakin bahwa khilafiyah itu bukan persoalan yang harus ditangani dengan sewot dan emosi, melainkan sebuah kewajaran yang manusiawi. Karena sejak zaman nabi dan shahabat di mana Al-Qur’an sedang turun dan hadits masih diucapkan oleh nabi, sudah ada perbedaan pendapat di kalangan mereka. d. Kita dilarang merasa diri paling benar dengan pendapat kita. Padahal kapasitas kita tidak pernah sampai kepada derajat ulama ahli istimbath hukum. e. Kita dilarang mencaci maki ulama, apalagi sampai menuduh mereka ahli bid'ah, hanya lantaran para ulama itu tidak sama pandangannya dengan apa yang kita pikirkan. f. Kita tidak bisa memaksakan manusia untuk berpendapat sesuai dengan pendapat kita sendiri dengan menafikan, mengecilkan atau malah menghina pendapat orang lain. Tindakan seperti ini hanya dilakukan oleh mereka yang jahil dan tidak berilmu. Marilah kita satukan langkah dalam beramal ’ibadah, marilah kita menghormati perbedaan diantara kita, sehingga kita tidak mudah diadu domba oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani yang selalu berusaha memecah belah persatuan umat Islam. Masih sangat banyak masalah umat yang lebih penting yang harus kita bicarakan selain masalah bid’ah dan khilafiyah.
5
“Waktu Shalat Dhuhur adalah 12:07”
6