Menurut saya dua perusahaan dibidang pertelevisian ini mendominasi persaingan. Karena lebih dari 100.000 orang telah melamar ke Trans TV dan Trans-7, sampai pendaftaran ditutup Desember 2006. Pada tahun 2007 ini, kedua stasiun TV itu memang melakukan rekrutmen bersama-sama, sejak bergabung dalam kemitraan strategis di bawah
payung
Trans
Corpora.
Angka 100.000 itu adalah berasal dari seluruh Indonesia. Karena jumlahnya yang sangat besar, maka ujian atau seleksi masuknya akan diadakan di sejumlah kota besar. Untuk pelamar yang tinggal di kawasan Jabodetabek sendiri (sekitar 65.000), tes seleksi masuk dipusatkan di Gelora Bung Karno, Senayan, pada 21 Januari 2007. Karena, hanya gedung stadion olahraga itulah yang sanggup menampung puluhan ribu peserta seleksi sekaligus. Ini mengingatkan kita pada ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN), yang juga diikuti ratusan ribu peserta. Angka 100.000 itu sangat fantastis, dan memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia), sebagai jumlah aplikasi terbanyak yang dikirim atau diajukan oleh para pelamar kepada satu perusahaan (Trans Corp), dalam satu gelombang
penerimaan
karyawan.
Jumlah pelamar ini tampaknya juga jauh di luar dugaan pihak Trans Corpora sendiri. Bagi Trans TV, ini adalah rekrutmen Batch 7. Sedangkan untuk Trans-7 (dulu bernama TV7), ini adalah rekrutmen besar pertama, sejak sebagian besar saham milik Kelompok Kompas Gramedia (KKG) di dalamnya telah dibeli oleh Trans Corpora, pada 2006. Mengapa jumlah pelamar bisa begitu membludak?ada beberapa sebab. 1. Pertama, cara penerimaan aplikasi lewat internet, yang praktis dan mudah diakses dari seluruh penjuru Tanah Air. 2. Kedua, brand image Trans TV dan Trans-7 sendiri yang sudah meningkat secara signifikan pada setahun terakhir. 3. Ketiga, kondisi kesempatan kerja di Indonesia yang masih sangat berat, sementara prospek kerja di industri pertelevisian dianggap cukup meyakinkan dan menjanjikan. Karena jumlah pelamar yang sangat besar, menjadi tantangan tersendiri bagi pihak Human Capital Trans Corpora, untuk benar-benar bisa menjaring karyawan dan
jurnalis dengan kualitas yang terbaik. Karena, kekuatan dan asset terpenting dalam menghadapi persaingan di industri televisi siaran pada akhirnya bukan cuma uang, tetapi adalah
sumberdaya
manusia
(SDM).
Dalam konsep manajemen terbaru, manusia/karyawan bukanlah sekadar asset atau sumberdaya (resources) milik perusahaan, tetapi adalah modal (capital) utama perusahaan. Itulah sebabnya, yang dulu namanya Bagian Personalia, kemudian berubah menjadi Divisi Sumberdaya Manusia (Human Resources), dan lalu bergeser lagi menjadi Human
Capital. Tantangan bagi manajemen Trans TV dan Trans-7 sekarang adalah bagaimana
memanfaatkan gelombang rekrutmen 2007 ini untuk betul-betul memperoleh bibit-bibit yang baik, dan mengembangkannya menjadi karyawan/jurnalis yang berkualitas, tangguh, tahan uji, kreatif, berintegritas, punya wawasan luas, haus belajar, selalu mau berkembang,
dan
siap
bersaing.
Dikombinasikan dengan budaya perusahaan dan budaya organisasi, yang terus dikembangkan dan disosialisasikan, hasil rekrutmen ini --Insya Allah-- akan menjadi pendorong bagi kemajuan Trans TV dan Trans-7 di tahun 2007 dan tahun-tahun mendatang. Sehingga, dalam jangka panjang, diharapkan akan terwujudlah apa yang diidam-idamkan. Yaitu, seluruh karyawan dan manajemen Trans Corpora bukan hanya ingin memperjuangkan Trans TV (dan Trans-7) menjadi masa depan pertelevisian Indonesia, tetapi ingin menjadikan Trans TV (dan Trans-7) sebagai masa depan Indonesia itu
sendiri! Sebagai catatan: Pola rekrutmen yang digabungkan ambisi pencarian Rekor
Muri (lengkap dengan acara drumband, sambutan Pak Chairul Tanjung selaku pimpinan tertinggi Para Group, dan sebagainya), memancing kritik pedas dari sejumlah peserta yang disampaikan di berbagai milis. Cara-cara yang dilakukan Trans Corp untuk mengangkat brand image ini mungkin memang tidak lazim, dan belum pernah dilakukan satu
stasiun
TV
pun
di
Indonesia.
Sebagian dari posting yang mengritik pola rekrutmen yang dilakukan Trans Corp itu saya nilai cukup proporsional dan obyektif, sedangkan sebagian yang lain bersifat emosional. Apapun juga, bisa dibilang seluruh kritik, saran, dan bahkan caci
maki itu sudah diforward ke milis internal News Trans TV, sehingga bukan saja akan dibaca oleh karyawan Trans TV, tetapi juga oleh para pimpinan. Industri media televisi nasional kini mengalami perkembangan pesat, baik dari segi ternologi maupun bisnis. Selain makin banyak stasiun TV yang secara bertahap mulai menerapkan teknologi digital dalam operasionalnya, industri media TV juga ditandai
dengan
proses
konsolidasi
dan
pengelompokan
stasiun-stasiun
TV.
Setidaknya saat ini sudah terbentuk tiga kelompok besar. Kelompok pertama, yang dikomandani Hary Tanoesoedibjo, dengan payung PT. Media Nusantara Citra (PT. Bimantara Citra, Tbk), membawahi: RCTI (PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia), TPI (PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia) dan Global TV (PT.
Global
Informasi
Bermutu).
Kelompok kedua, yang dikomandani Anindya N. Bakrie, dengan payung PT. Bakrie Brothers (Grup Bakrie), membawahi: ANTV (PT. Cakrawala Andalas Televisi) dan Lativi (PT. Lativi Media Karya). Kelompok ketiga, yang dikomandani Chairul Tanjung, dengan payung PT. Trans Corpora (Grup Para), membawahi: Trans TV (PT. Televisi Transformasi Indonesia) dan Trans-7 (PT. Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh, semula dikenal sebagai TV7). Jadi, tinggal SCTV, Metro TV, dan Indosiar, tiga televisi swasta yang belum jelas mau masuk kelompok yang mana. Mungkin mereka masih mencoba bertahan dan lebih suka berdiri sendiri. Namun, dalam kondisi persaingan yang sangat ketat ini, serta keterbatasan kue iklan yang harus dibagi untuk seluruh stasiun TV, jelas lebih banyak keuntungan yang bisa diraih suatu stasiun TV, jika bergabung dalam kelompok. Pertama, pengelompokan ini jelas akan didukung oleh para biro iklan, karena biro-biro iklan ini tidak perlu lagi repot berurusan dengan satu-persatu stasiun TV, dalam membuat perencanaan periklanan. Sebuah kelompok stasiun TV dengan segmen audience dan jangkauan siaran yang berbeda-beda, akan bisa merangkum segmen penonton yang sangat luas dan beragam, baik dilihat dari segi demografi, psikografi, maupun tingkat status sosial-ekonominya. Dengan demikian, mereka akan bisa menawarkan paket penayangan iklan yang menarik dan lengkap kepada para pemasang iklan. Misalnya, segmen penonton dominan untuk Trans TV adalah female (perempuan),
dengan status sosial-ekonomi A dan B (kelas atas). Sedangkan segmen penonton yang dominan di Trans-7 adalah male (laki-laki) dengan status sosial-ekonomi A, B, dan C (menengah ke atas). Maka, kepada biro-biro iklan, bagian sales dan marketing dari bisa menawarkan slot (bagian dari skedul siaran dengan durasi tertentu, yang bisa diisi iklan) bagi iklan produk-produk untuk konsumen perempuan di Trans TV. Namun, jika produk yang mau dipasarkan bukan cuma untuk perempuan, tetapi juga untuk konsumen lakilaki,
iklan
itu
akan
diarahkan
untuk
ditayangkan
di
Trans-TV.
Kedua, dengan membentuk kelompok, media TV akan mampu melakukan efisiensi, optimalisasi sumberdaya, dan penghematan biaya modal dan operasional, yang sangat krusial artinya di tengah persaingan antar stasiun TV yang ketat saat ini. Kemitraan strategis antara Trans TV dan Trans-7, misalnya, memungkinkan penghematan dalam biaya rekrutmen, penggunaan kontributor dan koresponden di daerah, pemanfaatan program-program yang sudah diakuisisi, serta efisiensi dan optimalisasi
penggunaan
studio,
fasilitas,
dan
alat-alat
siaran
lain.
Tukar-menukar program antar stasiun-stasiun TV yang sudah berkelompok dalam suatu kemitraan strategis juga memungkinkan maksimalisasi profit. Misalnya, sesudah bergabung, film-film produksi Amerika yang sebelumnya sudah diakuisisi oleh Trans-7 banyak ditayangkan di Trans-TV, karena terbukti bisa mendatangkan pemasukan iklan lebih besar dibandingkan jika dipaksakan tayang di Trans-7. Sebagai contoh, sebuah film yang ditayangkan di Trans-7 “hanya” menghasilkan pendapatan iklan Rp 70 juta. Tetapi, film yang sama, jika ditayangkan di Trans TV, bisa menghasilkan iklan senilai
Rp
400
juta.
Sebaliknya, sejumlah program yang pernah tayang di Trans-TV juga ditayangkan ulang di Trans-7, karena keterbatasan sumberdaya manusia di Trans-7 untuk memproduksi sendiri program-program berkualitas semacam itu. Program itu, antara lain: Fenomena,
Lacak,
Menanti
Ajal,
dan
Paranoid.
Ketiga, dengan membentuk kelompok yang kompak, kelompok industri TV akan memiliki bargaining position yang lebih baik dibandingkan stasiun TV yang berdiri sendiri, dalam berhadapan dan bernegosiasi dengan rumah-rumah produksi atau PH (production house). Sebelum ini, PH yang memproduksi sinetron-sinetron lokal, misalnya, bisa memiliki posisi tawar yang tinggi karena mereka bisa “mengadu domba”
satu stasiun TV dengan stasiun TV yang lain. Akibatnya, PH bisa menjual produkproduknya dengan harga sangat mahal. Namun, dengan terkonsolidasinya stasiun-stasiun TV dalam grup/kelompok, para pengelola TV kini malah bisa menekan PH untuk memberi
harga
yang
lebih
proporsional
bagi
produk-produknya.
Malah sejumlah stasiun TV kini menggenjot produk-produk buatannya sendiri (in-house production), untuk mengurangi ketergantungan pada PH, dan pada saat yang sama menekan biaya akuisisi. Salah satu contoh yang paling berhasil adalah Trans TV, yang pada tahun 2006, sudah 80% tayangannya merupakan buatan sendiri. Konsolidasi dan pengelompokan sejumlah besar stasiun TV bersiaran nasional ini merupakan proses, yang dipicu oleh pertimbangan hisnis. Hal serupa juga sudah lebih dulu terjadi di Amerika dan Eropa. Dalam 20 tahun terakhir, terjadi merger dan konsolidasi
besar-besaran
di
industri
media
dunia.
Dalam buku The New Media Monopoly (2004) karya Ben Madigan, diungkapkan, kini tinggal lima perusahaan media besar yang menguasai seluruh pasar media global. Yaitu: News Corporation, AOL-Time Warner, Disney-ABC, Viacom-CBS, dan Sony-Columbia. Dan, asal tahu saja, News Corporation juga sudah masuk ke pasar Indonesia, dengan mengusai 20% saham ANTV.