Edisi 2 | II | februari 2014
Untuk Kemandirian, Integritas dan Kredibilitas Penyelenggara Pemilu
Kuliah Etika
Menuju Sistem Peradilan Etika Modern Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu hlm. 12-13
Opini
Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara Harus Diperhatikan
hlm. 7
Kupas Tuntas
Tim Pemeriksa di Daerah Antisipasi Penanganan Perkara Berlimpah
www.dkpp.go.id | facebook:
[email protected] | twitter @DKPP_RI
hlm 4-6
Sekapur Sirih
Tim Pemeriksa Daerah Siap Bekerja
S
ebanyak 66 orang tim pemeriksa daerah dari unsur masyarakat dan akademisi telah dilantik. Ditambah lagi masing-masing dari KPU dan Bawaslu, dua orang tiap provinsi. Sehingga total tim pemeriksa daerah menjadi sebanyak 132 orang. Komposisi tim pemeriksa daerah dari unsur tokoh masyarakat dan akademisi sebanyak 66 orang, dari KPU 33, dari Bawaslu 33. Tim Pemeriksa Daerah merupakan kepanjangan tangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)
di daerah. Sebagaimana termaktub dalam Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu No 2 Tahun 2013 tentang Pemeriksaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum di Daerah Pasal 2 ayat 3, wilayah kerja Tim Pemeriksa Daerah meliputi seluruh wilayah di Provinsi bersangkutan. Jumlahnya lima orang, yaitu satu orang anggota DKPP, satu orang anggota KPU, satu anggota Bawaslu dan dua orang unsur masyarakat yang berasal dari akademisi, tokoh masyarakat atau praktisi yang memiliki pengetahuan kepemiluan dan etika. Tugas Tim Pemeriksa Daerah meliputi; mengikuti rapat Tim Pemeriksa,
melaksanakan acara pemeriksaan, membuat resume pemeriksaan dan membuat laporan tim pemeriksa antara lain notulensi rapat, risalah pemeriksaan dan berita acara pemeriksaan. Namun Tim Pemeriksa Daerah tidak bisa mengeluarkan Putusan. Putusan hanya ada di pusat, DKPP. Tim Pemeriksa Daerah dibentuk untuk mengantisipasi membanjirnya pengaduan ke DKPP. Menurut Prof Jimly Asshiddiqie, ketua DKPP, ada 15 ribu caleg kali 12 partai politik. Mereka bersaing dalam memperebutkan kursi legislatif yang sangat terbatas. Ada kesenjangan antara jumlah kursi yang tersedia dengan jumlah peminat yang ingin duduk di kursi panas itu. Sehingga dimungkinkan akan banyak sekali kekecewaan bagi mereka-mereka yang kalah dalam bersaing. DKPP bisa dijadikan “wadah untuk menampung dan meluapkan kekecewaan” kepada para penyelenggara Pemilu. Dibentuknya Tim Pemeriksa Daerah akan sangat meringankan tugas-tugas DKPP dalam penegakan kode etik penyelenggara Pemilu. Keberadaan KPU dan Bawaslu yang mewakili perwakilan sampai bawah jelas akan membantu. Menurut Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini, jumlah total KPU dan Bawaslu itu ada 5.267.993 orang. Jumlah tersebut merupakan potensi untuk dimaksimalkan tapi berpotensi juga untuk menjadi Pengadu maupun Teradu. l
Daftar Isi Warta DKPP Dua Peraturan DKPP Telah Didistribusikan. hlm. 3 Kupas Tuntas Tim Pemeriksa di Daerah Antisipasi Penanganan Perkara Berlimpah. hlm. 4-6 Opini Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara Harus Diperhatikan hlm. 7 Kolom Anggota Penyelengara Pemilu 24 Jam Terikat Kode Etik hlm. 8 Ketok Palu Dua Kali Diperingatkan, Ketiga Dipecat hlm. 9 Mereka Bicara Menciptakan Pemilu yang Berintegritas Melalui Penegakan Etika Penyelenggaranya hlm . 10 Teropong Integritas Penyelenggara Pemilu 2014 Masih Diragukan hlm. 11 Kuliah Etika Menuju Sistem Peradilan Etika Modern hlm. 12-13 Parade Foto
hlm. 16
Susunan Redaksi Penerbit: DKPP RI Pengarah: Prof. Jimly Asshiddiqie, SH., Nur Hidayat Sardini, S.Sos, M.Si., Saut H Sirait, M.Th., Prof Anna Erliyana, SH, MH., Dr. Valina Singka Subekti, Ida Budhiati, SH, MH., Ir. Nelson Simanjuntak Penanggung Jawab: Gunawan Suswantoro, SH, M.Si., Redaktur: Ahmad Khumaidi, SH, MH., Editor: Yusuf, S.Si, MA, Dini Yamashita S.Pi, MT, Dr. Osbin Samosir Sekretariat: Umi Nazifah, Diah Widyawati, Rahman Yasin, Susi Dian Rahayu, Sandhi Setiawan Desain Grafis dan Fotografer: Irmawanti, Teten Jamaludin, Arif Syarwani Pembuat Artikel: Tim Humas DKPP Alamat Redaksi: Jalan M. H. Thamrin No 14 Lt. 5 Jakarta Pusat, 10350. Telp/Fax: (021) 391 4194
2
Warta DKPP
Dua Peraturan DKPP Telah Didistribusikan
P
ertengahan Februari 2014 lalu, DKPP secara resmi telah mendistribusikan dua Peraturan DKPP ke seluruh KPU dan Bawaslu Provinsi se-Indonesia. Dua peraturan tersebut meliputi Peraturan DKPP No 1 tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu, dan Peraturan DKPP No 2 tahun 2013 tentang Pemeriksaan Pelanggaran Kode Etik penyelenggara Pemilu di Daerah. Pendistribusian ini dimaksudkan untuk mensosialisasikan Peraturan DKPP kepada jajaran KPU dan Bawaslu ditingkat Provinsi. Dengan harapan, langkah ini dapat meminimalisir potensi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu melalui langkah preventif/ pencegahan. Dengan demikian, melalui Peraturan tersebut penyelenggara Pemilu di tingkat KPU dan Bawaslu Provinsi dapat membekali jajarannya tentang kode etik penyelenggara Pemilu. Selain itu, melalui peraturan ini (Peraturan DKPP No 2 tahun 2013) juga menginformasikan kepada seluruh masyarakat dan penyelenggara Pemilu bahwa Tim Pemeriksa Daerah (TPD) telah resmi dibentuk di semua provinsi se - Indonesia. Peraturan DKPP No 1 tahun 2013 terdiri dari delapan (VIII) bab dan 47
pasal, sedangkan Peraturan DKPP No 2 tahun 2013 terdiri dari lima (V) bab dan 18 pasal. Penyusunan peraturan ini melibatkan elemen masyarakat yang tergabung dalam kelompok kerja (Pokja) penyusunan peraturan. Mereka yang tergabung dalam Pokja adalah para peneliti di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pegiat Pemilu, personel Bareskrim Kepolisian RI, dan Tenaga Ahli di DPR RI. Kedua Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu. Dalam Pasal 18 disebutkan, DKPP dapat membentuk tim pemeriksa di daerah untuk memeriksa dugaan pelanggaran kode etik. Latar belakang peraturan ini adalah didasarkan pada kondisi subjektif DKPP. Sebagai lembaga baru, DKPP memiliki tugas dan kewenangan yang sangat besar dalam penegakan kode etik bagi para penyelenggara Pemilu. Di sini sudah pasti harus didukung pula dengan sumber daya yang memadai. Sesuai dengan undang-undang, DKPP hanya ada di Ibukota negara dan tidak memiliki perwakilan di daerah-daerah. Hal ini tentunya akan menjadi problem tersendiri seandainya perkara yang di-
tangani oleh DKPP membeludak. Beruntung, peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 sudah mengantisipasi hal tersebut. Untuk mengimbangi jumlah pengaduan dengan sumber daya yang dimiliki, jalan yang ditempuh adalah melibatkan KPU, Bawaslu, dan perwakilan masyarakat untuk menjadi Tim Pemeriksa di Daerah. Peraturan Pemeriksaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Daerah dimaksudkan untuk hal itu. Untuk diketahui, Peraturan DKPP ini telah dikonsultasikan ke Kemenkum HAM, Kemendagri, dan Komisi II DPR pada 16 Oktober 2013. Dari Kemenkum HAM sudah ada surat balasan pada 29 November 2013. Beberapa catatan dan tanggapan terhadap pasal dari Kemenkum HAM telah dimasukkan ke dalam peraturan. Sedangkan kepada Komisi II, DKPP telah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) sebanyak tiga kali, yakni pada 27 November 2013, 2 Desember 2013, dan 11 Desember 2013. Hasilnya, Komisi II DPR RI menyambut baik peraturan ini. Beberapa catatan dan tanggapan terhadap pasal dari Komisi II sudah dimasukkan ke dalam peraturan. l Susi Dian Rahayu
3
Kupas Tuntas
Tim Pemeriksa di Daerah Antisipasi Penanganan Perkara Berlimpah
D
ua agenda politik besar akan terselenggara pada tahun 2014 ini. Pertama adalah Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) yang dilaksanakan pada 9 April 2014. Yang kedua adalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang dijadwalkan pada 9 Juli 2014. Bagi semua pihak yang memiliki keterkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu tersebut segala persiapan sudah pasti harus dimatangkan. Termasuk di sini adalah memperhitungkan antisipasi-antisipasi apa yang akan diambil sesuai tanggung jawabnya. Tak ketinggalan dalam persiapan tersebut adalah Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Sebagai dewan penegak kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP merupakan satu kesatuan fungsi dengan dua penyelenggara Pemilu lain, yakni KPU dan Bawaslu. Penegakan kode etik yang dilakukan oleh DKPP tidak lain untuk mendukung terwujudnya Pemilu yang berintegritas, di mana proses, penyelenggara, sampai hasilnya diharapkan dapat berkualitas dan memiliki legitimasi. Salah satu langkah yang dilakukan DKPP menghadapi Pemilu 2014 adalah membentuk Tim Pemeriksa di Daerah. Tugas tim ini menjalankan satu kewenangan DKPP untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh jajaran KPU dan Bawaslu di 33 provinsi Indonesia. Pembentukan Tim Pemeriksa di Daerah memiliki dasar hukum yang jelas. Seperti termaktub dalam Pasal 113 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, bahwa apabila dipandang perlu, DKPP dapat melakukan pemeriksaan di daerah. Kemudian, lebih terperinci lagi, pada Pasal 18 dari Ayat (1 s/d 6) Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2012 yang telah diubah menjadi Peraturan DKPP Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu dijelaskan mengenai Tim Pemeriksa di
4
Daerah. Menindaklanjuti amanat dua ketentuan hukum itu, akhirnya DKPP menerbitkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pemeriksaan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu di Daerah. Kenapa sampai muncul ide bahwa DKPP dapat melakukan pemeriksaan di daerah, bahkan harus diatur dalam ketentuan hukum, tentu ada pertimbangan yang melatarbelakanginya. Seperti diungkapkan oleh Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini, setidaknya ada dua pertimbangan kenapa dibentuk Tim Pemeriksa di Daerah. Pertama adalah pertimbangan internal DKPP sendiri. Secara internal, kelembagaan DKPP sangat terbatas. DKPP secara lembaga hanya ada satu dan berada di Ibu Kota negara, sementara tugasnya bersifat nasional. Jumlah Anggotanya pun hanya tujuh orang, dibantu jajaran staf sekretariat yang tidak lebih dari 50 orang. Ini jelas tidak sebanding jika melihat pada pertimbangan kedua, yakni melihat kondisi eksternalnya. Untuk Pemilu Legislatif 2014 seperti diketahui KPU telah menetapkan sebanyak 2.453 daerah pemilihan (Dapil). “Jumlah Dapil sebanyak itu sangat berpotensi memunculkan pengaduan. Katakanlah, semisal dari satu Dapil ada satu pengaduan saja, sudah pasti DKPP akan kewalahan,” kata Nur Hidayat Sardini. Faktor eksternal lain, menurut Ang gota DKPP Saut Hamonangan Sirait, adalah kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dan berpulau-pulau. Sering kali kondisi ini membuat penanganan pelanggaran kode etik kurang efisien. Sidang DKPP yang selama ini digelar di Jakarta sudah pasti berbiaya mahal baik bagi Pengadu maupun Teradu. Bagi Teradu yang merupakan jajaran Anggota KPU dan Bawaslu, biaya mungkin tidak masalah karena sudah masuk dalam anggaran dinas. Akan tetapi bagi Pengadu, seluruh biaya akan ditanggung sendiri. Selain itu,
khususnya bagi Teradu, pemeriksaan di daerah akan sangat membantu kesiapan mereka untuk menghadapi pengaduan. Berdasarkan pengalaman, sering kali para Teradu kurang maksimal memberikan jawaban karena terlalu lelah dengan perjalanan yang ditempuh. Ibaratnya, baru turun dari pesawat langsung ke ruang sidang DKPP untuk menghadapi berbagai macam tuduhan. “Dengan pemeriksaan di daerah, sudah pasti secara waktu dan ekonomi akan jauh lebih efisien, karena Pengadu dan Teradu tidak perlu lagi datang ke kantor DKPP di Jakarta. Mereka cukup hadir di kantor KPU atau Bawaslu provinsi setempat. Namun yang tak kalah penting, di balik itu semua, kehadiran DKPP di daerah ini tidak lain untuk mendekatkan pelayanannya kepada masyarakat pencari keadilan (justice seeker),” terang Saut. Sementara itu, Ketua DKPP Jimly Asshiddiqie sering mengatakan bahwa penyelenggaraan Pemilu melibatkan berbagai kepentingan. Sebagai sebuah ajang kompetisi, Pemilu selalu melahirkan pihak yang menang dan kalah.
Kupas Tuntas
Anehnya, di Indonesia, kata Jimly, yang menang saja sering kali tidak siap dengan kemenangannya, apalagi yang kalah. “Untuk yang kalah, segala macam cara akan dilakukan. Dicari-cari itu kesalahan. Kalau di MK kalah, di Bawaslu kalah, PTUN juga kalah, maka yang terakhir adalah mencari-cari kesalahan penyelenggaranya, entah itu KPU maupun Bawaslu. Dibawalah ke DKPP. Jadi, DKPP itu semacam saluran terakhir untuk mencari keadilan. Kalau memang terbukti ya kita beri sanksi, tapi kalau tidak terbukti ya kita rehabilitasi,” terang Jimly, beberapa waktu lalu. Apa yang diungkapkan oleh Ketua DKPP tersebut menjadi gambaran betapa gigihnya orang Indonesia ketika menuntut haknya. Penyebabnya bisa karena tidak puas dan mencari-cari kesalahan para penyelenggara Pemilu, atau bisa jadi penyelenggaranya memang terindikasi bermasalah. Kondisi seperti ini salah satunya yang membuat kehadiran DKPP yang kewenangannya sebenarnya sangat terbatas, yakni hanya menindak pelanggaran kode etik
yang dilakukan oleh jajaran KPU dan Bawaslu, ternyata tidak pernah sepi dari pengaduan. Di kehadirannya yang kurang lebih baru satu setengah tahun, pengaduan ke DKPP bisa dikatakan sangat melimpah. Data menyebut, sejak berdiri pada 12 Juni 2012 sampai 30 Januari 2014 sudah ada 758 pengaduan yang masuk ke DKPP. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah pengaduan terkait penyelenggaraan Pemilukada di berbagai daerah. Ini dapat dipahami, karena antara 2012 sampai akhir 2013 memang masih tahun Pemilukada, meskipun pada 9 Juni 2012 tahapan Pemilu Legislatif 2014 sudah dimulai. Namun begitu, bukan berarti pengaduan terkait tahapan Pemilu Legislatif 2014 sedikit. Berdasarkan data dari bagian pengaduan DKPP, selama setahun atau pada 2013 saja terdapat 252 pengaduan terkait Pemilu Legislatif 2014 dari 695 pengaduan yang masuk. Pengaduan tersebut didominasi soal penetapan daftar calon anggota legislatif sementara (DCS) dan daftar calon anggota legislatif tetap (DCT). Selebih nya soal pembentukan jajaran KPU dan
Bawaslu di daerah, penetapan peserta Pemilu 2014, serta penetapan daerah pemilihan (Dapil). Ini tentu jumlah yang signifikan, karena pada dasarnya saat ini masih masuk tahapan pra-Pemilu. Biasanya, tahapan yang paling krusial adalah ketika masuk pelaksanaan sampai penetapan hasil. Dalam menindaklanjuti pengaduan, menurut keterangan Nur Hidayat Sardini, DKPP sangat ketat untuk memverifikasinya. Tidak semua pengaduan yang masuk seketika akan disidangkan. Ada tiga mekanisme yang dilakukan untuk menindaklanjuti pengaduan. Pertama, kalau pengaduan tidak memenuhi unsur pelanggaran kode etik maka dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS/dismissal) dan tidak akan masuk sidang. Kedua, DKPP akan meminta tambahan data ke Pengadu jika pengaduan memenuhi unsur kode etik tapi data kurang lengkap. Untuk pengaduan ini dinyatakan belum memenuhi syarat (BMS). Sedangkan yang ketiga, pengaduan dinyatakan memenuhi syarat (MS) dan siap masuk sidang jika semua persyaratan terpenuhi.
5
Kupas Tuntas “DKPP ini sebenarnya lembaga yang bersifat pasif. Tidak pernah kita mendorong masyarakat untuk mengadu ke DKPP. Begitupun sebaliknya, DKPP juga tidak pernah menolak jika ada pengaduan yang masuk,” ungkap Nur Hidayat Sardini. Meskipun bersifat pasif, tidak dapat dipungkiri, bahwa masyarakat telah menjadikan DKPP sebagai “idola” baru untuk mencari keadilan dalam berpemilu. Sehingga dari hari ke hari pengaduan yang masuk ke DKPP jumlahnya selalu meningkat. Tren seperti ini yang kemudian harus diantisipasi ketika menghadapi Pemilu 2014, atau yang terdekat adalah Pemilu Legislatif 2014. Apalagi, menangani Pemilu 2014 bisa dikatakan sebagai pengalaman pertama DKPP semenjak berdiri secara permanen. Beruntung aturan hukum memberi ruang untuk membentuk Tim Pemeriksa di Daerah yang dinilai akan banyak membantu. Diterbitkan Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2013 menjadi langkah awal DKPP dalam kerangka persiapan pemeriksaan di daerah. Di dalam peraturan yang berisi 18 pasal ini di antaranya diatur soal syarat menjadi Tim Pemeriksa, tugas dan wewenang Tim Pemeriksa, tata cara pemeriksaan, serta pembiayaan pemeriksaan. Misalnya, dalam Pasal 4 disebutkan, Anggota Tim Pemeriksa berjumlah lima orang yang terdiri atas satu orang dari DKPP merangkap Ketua, satu orang dari KPU Provinsi/KIP Aceh, satu orang dari Bawaslu Provinsi, dan dua orang dari unsur masyarakat. Tugas Tim Pemeriksa tidak sampai memutus perkara, karena urusan putusan menjadi kewenangan tujuh Anggota DKPP setelah melalui rapat pleno. Tugas mereka di antaranya sebatas melakukan pemeriksaan, membuat resume peme-
riksaan, membuat laporan pemeriksaan, serta boleh merekomendasikan sanksi yang dijatuhkan. Sementara itu, masa tugas mereka adalah satu tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan. Persiapan lain yang dilakukan DKPP adalah menyiapkan Anggota Tim Pemeriksanya. Untuk tahapan ini, telah dilakukan dua kali Bimbingan Teknis (Bimtek) kepada calon-calon Anggota Tim Pemeriksa yang berasal dari Anggota KPU dan Bawaslu di 33 provinsi. Bimtek pertama digelar di Bogor, Jawa Barat, pada 10-12 Desember 2013 dan
“Dengan pemeriksaan di daerah, sudah pasti secara waktu dan ekonomi akan jauh lebih efisien, karena Pengadu dan Teradu tidak perlu lagi datang ke kantor DKPP di Jakarta. Tangerang, Banten, pada 13-15 Desember 2013. Acara Bimtek sendiri dibuka oleh Ketua DKPP Prof. Jimly Asshiddiqie untuk memberikan sambutan sekaligus pengantar kegiatan. Dalam sambutannya Prof. Jimly mengatakan, tujuan Bimtek adalah untuk membekali para peserta yang nantinya menjadi calon Tim Pemeriksa dugaan pelanggaran kode etik di daerah. “DKPP ini kan cuma tujuh orang. Sekretariatnya menempel pula di Bawaslu. Sementara yang berperkara banyak sekali. Jadi Saudara-saudara ini akan menjadi tangan kanan DKPP. Anda ditugaskan untuk menjadi aparat. Akan tetapi, Anda tidak punya kewenangan memutus. Yang memutus perkara tetap
Bung Palu DKPP bentuk Tim Pemeriksa Daerah, untuk mengatisipasi membludaknya perkara pelanggaran kode etik Pemilu 2014 ini. nP erangkat kerja cerdas, membantu menyidangkan perkara. n Pemutus akhir tetaplah di DKPP.
6
DKPP,” tegas Jimly, waktu itu. Sedangkan materi Bimtek disampaikan oleh enam narasumber dari Anggota DKPP yaitu Nur Hidayat Sardini, Saut Hamonangan Sirait, Anna Erliyana, Valina Singka Subekti, Nelson Simanjuntak (ex officio Bawaslu), dan Ida Budhiati (ex officio KPU). Para narasumber dibantu oleh fasilitator yang tugasnya memandu dinamika forum. Para fasilitator berasal dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) pegiat Pemilu, Bareskrim Polri, dan tenaga ahli DPR RI. Mereka adalah Jojo Rohi dari Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Ibrohim Fahmi Badoh dari Transparency International Indonesia (TII), Jeirry Sumampouw dari Komite Pemilih Indonesia (TePI), Ray Rangkuti dari Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Imam Suhodo dan Nur Said dari Bareskrim Polri, Ahsanul Minan, Said Salahudin dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (Sigma), serta Rahmad Bagdja dan Ade Syukron dari Tenaga Ahli DPR RI. Dengan rampungnya penyelenggaraan Bimtek untuk unsur KPU dan Bawaslu berarti calon Anggota Tim Pemeriksa di Daerah tinggal menunggu dari unsur masyarakat. Memang, sepertinya tidak mudah untuk menyeleksi calon Tim Pemeriksa dari unsur masyarakat ini. Ada persyaratan ketat bagi mereka, misalnya minimal berusia 45 tahun, pendidikan terendah magister atau S2, serta harus memiliki kompetensi di bidang kepemiluan dan etika. Mengingat Pemilu 2014 semakin dekat, DKPP sudah mengagendakan paling lambat Tim Pemeriksa dari unsur masyarakat ini harus telah dibimtek dan diambil sumpahnya pada pertengahan Maret 2014. l
Arif Syarwani
Opini
Pemenuhan Hak Konstitusional Warga Negara Harus Diperhatikan
H
ak untuk memilih sejatinya adalah hak yang dilindungi oleh konstitusi. Sehingga Negara wajib menjamin penggunaan hak untuk memilih, baik secara yuridis maupun dalam pelaksanaanya (law enforcement). Namun fakta yang terjadi saat ini adalah banyak warga negara yang memiliki hak pilih namun tidak tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusional warga Negara oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menanggapi persoalan yang serius ini maka Komnas HAM pada Senin (3/2) lalu mengunjungi kantor DKPP. Pertemuan tersebut dirancang dalam rangka koordinasi terkait pemantauan pemenuhan hak konstitusional warga negara dalam Pemilu 2014. Jaminan terhadap hak konstitusional warga negara secara tegas diatur di dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini yang kemudian menjadi landasan warga negara bahwa mereka memiliki hak politik yang sama tanpa terkecuali. Menurut Komnas HAM, pihaknya
memiliki tugas untuk menjaga mandat dalam memenuhi hak-hak konstitusional setiap warga negara. Oleh karena itu, Komnas HAM memiliki kewajiban untuk melakukan tindakan secara aktif untuk menjaga agar warga negara tidak diperlakukan diskriminatif dalam memilih dan dipilih atas dalil apapun. Dalam pembahasan tersebut, DKPP bersama Komnas HAM telah memetakan kelompok-kelompok yang diidentifikasi rentan dengan pelanggaran, baik dipilih maupun memilih. Orang-orang yang rentan tersebut meliputi orang dalam tahanan, ekstrim kiri dan kanan pada masa lalu yang kemungkinan besar masih dalam menjadi kelompok termarginalkan, minoritas agama, orang-orang di pengungsian, kelompok berkebutuhan khusus, dan termasuk masyarakat yang hidup di tanah sengketa yang mengakibatkan tidak tercatatnya masyarakat tersebut dalam administrasi kependudukan. Sebagaimana diketahui seseorang telah memiliki hak politik apabila ia telah berusia 17 tahun atau telah menikah, dan kemudian terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Namun, KPU sebagai penyelenggara Pemilu telah memberikan ruang bagi warga yang tidak tercatat dalam DPT untuk tetap dapat menggunakan hak pilihnya dengan
menunjukkan NIK. Problematikanya adalah tidak semua warga negara yang memenuhi persyaratan di atas memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Anggota DKPP Saut Hamonangan Sirait berpandangan manakala administrasi kependudukan menghancurkan hak warga negara, secara politik warga negara tersebut stateless (tidak bernegara), dan hal tersebutlah yang selama ini tidak pernah disadari oleh berbagai pihak. Dampak domino yang muncul jika warga negara tidak memiliki Nomor Induk Penduduk (NIK) tidak hanya pada perampasan hak politik (hak pilih) saja, tetapi juga berpengaruh terhadap pemenuhan hak – hak sebagai warga negara yang lain, seperti hak memperoleh pendidikan, penghidupan yang layak, pekerjaan dan lain – lain. Dalam hal ini DKPP tidak mungkin melakukan intervensi termasuk intervensi directiva (mengarahkan) terkait pemenuhan hak konstitusional warga negara. Namun, dari sisi penjaminan atas Hak Asasi Manusia (HAM) dalam hal ini hak politik, DKPP memberikan support kepada Komnas HAM dan penyelenggara Pemilu untuk terus mengawal dan menjaga hak politik warga negara. l Susi Dian Rahayu
7
Kolom Anggota
Penyelengara Pemilu 24 Jam Terikat Kode Etik
D
i dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi, pergantian pemimpin dilakukan melalui mekanisme Pemilu. Demikian pula dengan Indonesia, di Indonesia sendiri perhelatan Pemilu baik Pemilukada, maupun Pileg dan Pilpres yang digelar secara lima tahunan. Berbicara mengenai Pemilu, tentu tidak terlepas dari peran penyelenggara Pemilu. Sukses atau tidaknya proses Pemilu semua bergantung pada kesiapan penyelenggaranya, karena dari kinerja para penyelenggara Pemilu inilah kemudian akan terpilih pemimpin yang legitimated. Dalam UU No 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, unsur penyelenggara Pemilu meliputi KPU dan Bawaslu sementara DKPP sebagai penambah unsur dalam satu kesatuan fungsi penyelenggara Pemilu. Seperti diketahui sebelumnya bahwa DKPP tidak mengurusi tahapan pemilu, namun DKPP memiliki peran yang sangat penting yakni mengawal kemandirian, integritas dan kredibilitas penyeleng-
8
gara Pemilu, melalui penegakan kode etik Penyelenggara Pemilu. Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No 13, 11, dan 1 tahun 2012 menyatakan bahwa penyelenggara Pemilu harus taat dan berpedoman pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Kedua belas asas tersebut harus dipatuhi oleh penyelenggara Pemilu tanpa terkecuali apapun. Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini mengatakan bahwa penyelenggara Pemilu terikat kode etik selama 24 jam, tidak mengenal dimensi ruang dan waktu. Menurutnya, kode etik adalah satu kesatuan norma moral, etis dan filosofis yang merupakan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapannya. “Kode etik itu mengikat penyelenggara Pemilu selama 24 jam penuh,
karena ucapan dan tindakannya maka cakupannya tidak mengenal waktu dan tempat. Apakah itu di kantor atau di lapangan,” terang Sardini saat mengisi acara Rapat Konsolidasi dan Bimbingan Teknis Bagi Penyelenggara Pemilu 2014 Tingkat Kab. Batang yang digelar 21-22 Februari di Guci, Tegal. Nur Hidayat Sardini yang juga dosen Fisip Undip itu juga menerangkan, ada lima fungsi kode etik. Pertama, pedoman bagi setiap anggota profesi yang memuat prinsip-prinsip etika profesi. Kedua, sarana kontrol sosial baik bagi internal, pimpinan maupun eksternal. Ketiga, mencegah intervensi pihak eksternal. Keempat, indikator keberhasilan juga reward and punishment. Kelima, mencegah adanya the candidat of victims anggota penyelenggara Pemilu maupun peserta Pemilu. Selain itu, pria yang kerap disapa NHS ini juga menjelaskan alasan pentingnya menaati kode etik ialah untuk memandu penyelenggara Pemilu agar dipercaya dan berintegritas dihadapan publik. l Susi Dian Rahayu
Ketok Palu
Dua Kali Diperingatkan, Ketiga Dipecat
J
usuf Idrus Tatuhey gelenggeleng kepala saat Anna Erliyana, anggota majelis hakim DKPP yang membacakan Putusan, memonis diberhentikan secara tetap oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Kedua sikunya ia sandarkan di meja sembari kedua telapak tangannya ia rapatkan, lalu ditempel di hidung. Seolah ia tercenung atas vonis yang sudah dibacakannya. Usai majelis membacakan Putusan, ia disalami oleh teman-temannya dan mereka mendoakan semoga dikuatkan hatinya. Ia langsung bergegas ke luar Ruang Sidang. “Saya masih tidak percaya dengan Putusan ini. Saya berkeyakinan bahwa calon yang tidak diloloskannya itu memang tidak memenuhi syarat,” katanya. Ia pun sangat menyesalkan akan keputusan tersebut. Karena apa yang dilakukannya adalah sudah sesauai dengan peraturan yang sudah ditetapkan. “Tapi mau gimana lagi sudah diputuskan,” ujarnya. Ia pun akan kembali mengajar di salah satu perguruan tinggi ternama di Maluku. Dia mengajar di program Ilmu Politik. “Saya akan kembali ke kampus. Sudah dua periode saya di KPU Provinsi
Maluku,” ucap pria berkopiah hitam itu. Dalam pertimbangan Putusannya No. 7/ DKPP-PKE-III/2014, No. 8/ DKPP-PKE-III/2014, No. 9/ DKPPPKE-III/2014, No. 10/ DKPP-PKEIII/2014, selain telah melanggar kode etik Penyelenggara Pemilu, Jusuf telah dijatuhi sanksi berupa peringatan keras sebanyak dua kali dalam Putusan DKPP
“Saya masih tidak percaya dengan Putusan ini. Saya berkeyakinan bahwa calon yang tidak diloloskannya itu memang tidak memenuhi syarat,” katanya.
Nomor 70-71/DKPP-PKE-II/2013 dan Nomor 53/DKPP-PKE-II/2013 yang seluruhnya merupakan pelanggaran kode etik dalam pelaksanaan tahapan Pemilukada, oleh karena DKPP menjatuhkan sanksi yang berbeda karena akumulasi dari sanksi-sanksi sebelumnya.
Pada Putusan perkara Nomor 53/ DKPP-PKE-II/2013, Jusuf Idrus telah membuat pernyataan di media SIWALIMA edisi 12 April 2013 sebelum Rapat Pleno Penetapan Peserta Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Tahun 2013 dilakukan yang menyebutkan bahwa berkas dukungan Pengadu tidak memenuhi syarat adalah sesuai dengan bukti sebagaimana yang disampaikan Pengadu. Pada Putusan Nomor 70-71/DKPPPKE-II/2013, selaku Ketua KPU Maluku telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Yaitu, kembali menggunakan data Lampiran C1-KWK.KPU yang dimiliki para Teradu KPU Kabupaten Seram Bagian Timur SBT yang nyata-nyata diragukan keabsahan dan kebenarannya adalah tidak dapat dibenarkan dan menunjukkan sikap yang tidak profesional sehingga dengan demikian melanggar ketentuan Pasal 15 huruf a dan huruf b Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 1, Nomor 11, Nomor 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu. l Teten Jamaludin
9
Mereka Bicara
Menciptakan Pemilu yang Berintegritas Melalui Penegakan Etika Penyelenggaranya Oleh Desta Trianggoro, Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Diponegoro.
R
eformasi pada 1998 telah melahirkan sistem kenegaraan dan kelembagaan baru di Indonesia. Salah satu yang dihasilkan adalah terbukanya keran masyarakat dalam menentukan pemimpin dan perwakilannya secara langsung melalui Pemilu. Pemilu merupakan pesta bagi rakyat Indonesia untuk menunaikan hak dan kewajibannya dalam memilih pemimpin dan para wakilnya. Dengan demikian kita tidak hanya membutuhkan calon-calon yang berintegritas untuk maju dalam Pemilu, tetapi juga penyelenggara Pemilu yang berintegritas. DKPP sebagai lembaga yang baru dibentuk diharapkan dapat memberikan kontribusi positif dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia yang lebih berintegritas. Penyelenggara Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan pemimpin yang berintegritas. Begitu pula sebaliknya, keburukan pemimpin yang dihasilkan pada hilir penyelenggaraan Pemilu erat terkait dengan apa yang terjadi di hulu penyelenggaraannya, KPU dan Bawaslu sebagai pelaksana hilir menjadi penentu yang memberikan pengaruh besar untuk memperoleh pemimpin yang berintegritas pada hulu. Pemimpin yang berintegritas dapat dihasilkan melalui cara-cara yang berintegritas. KPU merupakan pemegang peran sentral dalam menyelenggarakan Pemilu 2014. Kekhawatiran pada pelaksanaan Pemilu 2014 yang tidak memenuhi asas Pemilu Luber Jurdil timbul di tengah masyarakat karena ketidakprofesionalan kinerja KPU daerah maupun pusat. Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden yang akan dilaksanakan dalam hitungan beberapa hari ini, memungkinkan akan banyak sekali pengaduan terkait dugaan pelanggaran dalam proses penyelenggaraan Pemilu. DKPP sebagai tempat pengaduan terhadap dugaan pelanggaran etika penyelenggara Pemilu tentu harus siap dalam
10
Apresiasi harus diberikan kepada DKPP sebagai harapan baru dalam penyelenggaraan Pemilu karena turut menjadi bagian yang memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan jujur dan adil.
menghadapi tantangan yang semakin dekat ini. Optimisme dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 ini akan terselenggara dengan memenuhi asas Luber Jurdil melalui proses yang berintegritas dan penyelenggaraan yang berintegritas tumbuh bila melihat kehadiran DKPP dalam Pemilu kali ini. Melihat kinerja yang telah dicapai oleh DKPP selama setahun lebih setelah diresmikan berdiri, DKPP telah menjalankan tugasnya dengan baik. Melihat pencapaian yang telah diraih tersebut, jelas menjadi angin segar dalam penyelenggaraan Pemilu yang lebih berintegritas bukan lagi hanya sekedar harapan. Apresiasi harus diberikan kepada DKPP sebagai harapan baru dalam penyelenggaraan Pemilu karena turut menjadi bagian yang memastikan penyelenggaraan pemilu berjalan jujur dan adil. Untuk menciptakan Pemilu yang diharapkan kita semua yang berintegritas dan memenuhi asas Pemilu yang Luber Jurdil. diperlukan keterlibatan berbagai pihak, tidak hanya DKPP melainkan segala unsur yang terkait dalam penyelenggaraan Pemilu yaitu KPU dan Bawaslu. KPU, Bawaslu, dan DKPP menjadi garda terdepan untuk mengasilkan Pemilu yang berintegritas demi memperoleh wakil rakyat dan pemimpin baru yang berintegritas. Dalam hal ini masyarakat juga dituntut untuk turut aktif tidak hanya menunaikan hak dan kewajibannya dalam memilih wakil dan pemimpin mereka, melainkan juga turut dalam mengawasi penyelenggaraan Pemilu di 2014 ini. Momentum Pemilu 2014 merupakan kesempatan bagi bangsa ini untuk menapaki lembar baru, memasuki gerbang baru dengan kemudi yang baru, tentu kita berharap dengan suasana baru yang dihasilkan pada Pemilu 2014 ini menciptakan Indonesia yang lebih baik, wakil rakyat dan pemimpin yang berintegritas melalui penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas. l
Teropong
Integritas Penyelenggara Pemilu 2014 Masih Diragukan
P
enyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 (Pemilu 2014) disebut sebagai yang paling siap jika dibandingkan dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya. Hal tersebut tidak lain karena dari segi undang-undang dan peraturannya, Pemilu 2014 sudah lama dibuat. Dengan telah dibuatnya undang-undang serta peraturan tersebut, pembentukan lembaga penyelenggara Pemilu seperti KPU dan Bawaslu pun lebih cepat dilakukan. Selain itu, Pemilu 2014 juga telah dilengkapi lembaga penegak kode etik, yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang bersifat permanen. Jika dilihat dari segi pengaturan dan kelembagaan memang sepertinya tidak ada alasan Pemilu 2014 tidak sukses. Namun, berdasarkan pengalaman, sukses tidaknya penyelenggaraan Pemilu tidak dapat hanya diukur dengan dua aspek di atas. Ada aspek lain yang sangat terkait dengan keberadaan penyelenggara, yakni soal kredibilitas dan integritas orang-orang yang duduk di jajaran KPU dan Bawaslu. Beberapa pengamat yang punya concern terhadap Pemilu sependapat bahwa proses rekrutmen Anggota KPU dan Bawaslu masih jauh dari harapan. Jojo Rohi misalnya, menilai bahwa proses rekrutmen atau seleksi calon anggota KPU dan Bawaslu di daerah masih sarat dengan pola jatah-jatahan. Latar belakang organisasi Anggota KPU dan Bawaslu dari pusat sampai daerah biasanya tidak jauh berbeda. Bahkan, kata peneliti di Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) ini, struktur di bawah biasanya menjadi miniatur dari struktur di atasnya. “Kalau sudah begitu, sangat sulit untuk menyebut mereka sudah berintegritas. Integritas mereka masih harus dipelototi oleh banyak pihak. Lengah sedikit, lewat barang itu,” kata Jojo, beberapa waktu lalu. Pendapat hampir sama disampaikan oleh Said Salahudin, Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma). Proses seleksi anggota KPU dan Bawaslu, ujar Said, masih kurang ketat. Akibatnya, banyak orang yang tidak
memiliki kompetensi dalam kepemiluan bisa lolos. KPU maupun Bawaslu sebenarnya juga memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan kepada jajaran di bawahnya, namun hal itu tidak dimaksimalkan. Pembinaan biasanya dilakukan hanya di ujung atau berbentuk evaluasi setelah ada kasus. “Seharusnya pembinaan yang dilakukan KPU maupun Bawaslu kepada jajaran di bawahnya dilakukan secara berkelanjutan. Mereka juga mesti membuka ruang kepada masyarakat untuk mengawasi dan mengontrol kinerjanya,” ungkap Said. Pada kesimpulannya, Said masih meragukan bahwa para penyelenggara Pemilu 2014 ini dapat dikatakan sudah berintegritas. Dari segi kinerja, dia merasa kurang puas dengan yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. Meski begitu, dia menilai kinerja KPU lebih baik jika dibandingkan dengan Bawaslu. “Yang saya katakan tadi semua bukan asumsi, tapi berdasarkan data. Jadi secara pribadi saya belum yakin penyelenggaraan Pemilu 2014 akan lebih baik daripada Pemilu sebelumnya,” tegas dia. Peneliti dari Transparency Indonesia (TI) Ibrahim Fahmi Badoh pun tidak jauh beda dengan pendapat sebelumnya.
Bahkan, berdasarkan pengamatan dia, penyelenggara Pemilu bisa saja menjadi salah satu faktor menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap hasil Pemilu. Tidak selesainya berbagai persoalan elementer hingga menjelang penyelenggaraan Pemilu, seperti daftar pemilih, logistik Pemilu, dan akuntabilitas dana kampanye adalah biang penyebabnya. “Penyelenggara Pemilu sekarang ini menurut saya juga terlalu kompromis. Tidak dekat dengan masyarakat dan terlihat mau aman saja,” kata Fahmi. Sementara itu, Ahsanul Minan dari Management System International berpendapat, penyelenggara Pemilu saat ini harus dapat becermin pada penyelenggaraan Pemilu 2004 dan 2009. Seperti diketahui, Pemilu 2004 dan 2009 adalah pengalaman buruk penyelenggaraan Pemilu di Indonesia di mana hampir semua persiapannya sangat amburadul. “Soal integritas masih menjadi harapan yang harus dibuktikan oleh penyelenggara Pemilu 2014. Problem DPT, dana kampanye, dan punguthitung-rekap suara akan menjadi ujian untuk menilai integritas mereka. Pengalaman buruk Pemilu 2004 dan 2009 jangan sampai terulang kembali,” terang Minan. l
Arif Syarwani
11
Kuliah Etika
Menuju Sistem Peradilan Etik Modern Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI
S
istem etika di zaman pasca modern sekarang ini dikembangkan tidak saja sebagai sistem norma yang abstrak yang biasa dikhotbahkan dalam ritual-ritual keagamaan, tetapi juga sebagai sistem norma yang lebih konkrit untuk kepentingan mengendalikan dan mengarahkan perilaku warga suatu komunitas atau anggota suatu organisasi ke arah nilai-nilai yang diidealkan bersama. Sebagaimana tahap-tahap perkembangan sistem norma hukum dalam sejarah, sistem etika juga mengikuti alur perkembangan sejarah yang serupa, meskipun tidak persis sama. Dahulu kala, hukum bukanlah sesuatu sistem norma yang biasa dituliskan dalam bentuk undangundang seperti di zaman sekarang. Sistem norma hukum baru dituliskan setelah umat manusia berkenalan
12
akrab dengan tradisi baca-tulis dan munculnya kebutuhan yang lebih konkrit untuk mengatur perikehidupan bersama dalam masyarakat dan dalam kerangka organisasi bernegara. Sekarang, perkembangan yang serupa juga dialami oleh sistem norma etika. Dari kebiasaan yang tumbuh dalam praktik hidup secara tidak tertulis, atau dengan hanya mengacu kepada teksteks kitab suci agama, lama kelamaan muncul kebutuhan untuk menuliskan kaedah-kaedah etika itu dalam bentuk kode etik dan pedoman perilaku yang konkrit dan dapat difungsikan sebagai sarana pengendalian
dan penuntun perilaku ideal dalam kehidupan bersama. Itulah yang saya gambarkan dalam buku saya terbaru berjudul: Peradilan Etik Dan Etika Konstitusi; Perspektif Baru tentang ‘Rule Of Law And Rule Of Ethics’ & Constitutional Law And Constitutional Ethics’, bagaimana perkembangan awal sistem etika yang bermula dari ajaran agama sehingga dapat kita namakan sebagai tahap perkembangan etika teologis (Theological Ethics). Setelah itu, sistem etika dikembangkan menjadi objek kajian tersendiri di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan sehingga dapat disebut sebagai tahap perkembangan etika ontologis (Ontological Ethics), hingga munculnya kebutuhan untuk menuangkannya secara lebih konkrit dan terkodifikasi. Hal itulah yang menyebabkan dewasa ini muncul kebiasaan baru dimana-mana dan di semua aspek pekerjaan dan keorganisasian untuk menuliskan prinsip-prinsip perilaku ideal itu dalam Kode Etika (Code of Ethics) dan Pedoman Perilaku (Code of Conduct) yang lebih konkrit. Inilah era yang saya namakan sebagai era positivisasi (Positivist Ethics) etik yang dulu juga pernah dialami oleh sistem norma hukum dalam sejarah, terutama setelah munculnya ide untuk membuat qanun
Kuliah Etika dalam sejarah ‘fiqh’ di dunia Islam atau setelah muncul dan berkembangnya pengaruh aliran positivisme Auguste Comte di dunia hukum, sehingga muncul pengertian tentang hukum positif dalam sejarah. Namun, sistem kode etik yang dikembangkan terutama selama abad ke-20, cenderung hanya bersifat pro-forma, tidak disertai oleh sistem dan mekanisme penegakan yang efektif. Karena itu, di akhir abad ke-20, muncul kesadaran baru yang ditandai oleh berkembang luasnya kesadaran untuk membangun infrastruktur kelembagaan penegak kode etik dimana-mana. Inilah yang saya namakan sebagai tahap perkembangan etika fungsional (functional ethics) di zaman sekarang. Semula sistem etika itu memang hanya dikenal dan dipraktikkan di lingkungan ajaran agama. Semua agama mengajarkan perikehidupan beretika dan berperilaku yang baik dan ideal. Jika diperhatikan, tidak semua agama memiliki sistem ajaran tentang hukum. Agama yang dapat dikatakan paling banyak mengandung ajaran-ajaran tentang hukum hanya Islam, Yahudi, dan Hindu. Akan tetapi, dalam urusan etika, semua agama mengajarkannya. Bahkan dalam agama Islam sekalipun dikatakan ajaran intinya adalah ajaran tentang akhlaq. Nabi Muhammad saw bersabda bahwa “Aku tidak diutus oleh Allah kecuali untuk menyempurnakan perilaku manusia”. Artinya, jika kita membicarakan sistem norma hukum, maka dengan sendirinya akan ada perbedaan prinsipil yang dibungkus oleh sikap mutlak dalam keyakinan keagamaan di antara para pemeluk ajaran agama yang berbeda-beda yang sulit dipertemukan. Akan tetapi, jika kita membicarakan etika, maka pada pokoknya semua agama selalu
mengajarkan perilaku mulia dalam kehidupan bersama. Yang berbeda hanya formulasi dan bungkusan bahasanya saja, sedangkan esensi kemuliaan yang terkandung di dalamnya serupa saja satu dengan yang
Sistem kode etik yang dikembangkan terutama selama abad ke-20, cenderung hanya bersifat pro-forma, tidak disertai oleh sistem dan mekanisme penegakan yang efektif. Karena itu, di akhir abad ke-20, muncul kesadaran baru yang ditandai oleh berkembang luasnya kesadaran untuk membangun infrastruktur kelembagaan penegak kode etik di mana-mana.
lain. Karena itu, universalitas sistem nilai etika ini dapat dengan mudah dijadikan sarana untuk mempersatukan umat manusia yang bergolongangolongan dalam satu kesatuan sistem nilai luhur yang dapat membangun integritas kehidupan bersama. Tentu saja, kode etik dapat dirumuskan secara beraneka ragam
sesuai dengan tuntutan kebutuhan masing-masing sektor dan bidang kehidupan profesional di atas tradisi budaya yang beraneka ragam di dunia. Sedangkan sistem hukum, terutama norma hukum publik seperti sistem hukum pidana, mengharuskan adanya keseragaman yang diberlakukan secara sama untuk semua orang sesuai dengan prinsip ‘equality before the law’. Tidak boleh ada diskriminasi atau perbedaan dalam memperlakukan orang yang sama untuk hal yang juga sama dalam peristiwa yang juga sama. Sikap diskriminasi yang dapat dikecualikan oleh hukum hanyalah kebijakan afirmatif (affirmative policy) yang memberikan perlakuan khusus untuk tujuan menyetarakan tingkat perkembangan seseorang atau sekelompok orang dalam kehidupan bersama. Karena itu, corak perumusan norma hukum memang diidealkan harus seragam. Namun sebaliknya, corak perumusan norma etika justru diidealkan tidak seragam. Untuk tiap-tiap organisasi, tiap-tiap bidang profesi, tiap-tiap daerah, dapat diterapkan perumusan norma etika yang berbeda-beda dengan mengadopsi budaya lokal, nilai-nilai yang hidup dari dalam lingkungan komunitas yang bersangkutan. Hanya saja, tatkala sistem norma etika itu diberlakukan, seperti juga dalam sistem norma hukum, pemberlakuannya tetap harus bersifat inklusif dan tidak diskriminatif. Akhirnya, bagaimanapun, di tengah keanekaragaman sistem norma etika yang dirumuskan dan diberlakukan sebagai kode etik dan pedoman perilaku ideal tersebut di atas, di dalamnya, tetap terkandung nilai-nilai universal yang sama-sama mengarahkan perikehidupan bersama menuju kemuliaan kemanusiaan. l
@djhamdan 64 : @DKPP_RI ini sangat baik untuk diketahui seluruh rakyat, tpi sayang media sepertinya lebih berpihak pemberitaan tentang capres – cawapres. @ariomenk : @DKPP_RI jgn ragu menindak secara pidana krn wasit pemilu membunuh calon pemimpin terbaik @imadavon1 : @DKPP_RI selamat menjalankan tugas, mohon ketegasan! @mesozen : @DKPP_RI semoga KPU yg terbukti melanggar kode etik agar di pecat dan di Pidanakan agar ada efek jera bagi mereka dan yang lainnya.
13
Sisi Lain
Dituduh Masuk Angin, Ada Pula yang Curhat
“Dia curhat. Ketika si pengadu menceritakan itu, saya hanya diam saja dan iya-iya saja. Setelah dia selesai berbicara, baru saya menjelaskan bahwa DKPP tidak menangani konflik di internal partai. DKPP hanya mengurusi kode etik penyelenggara Pemilu. Ngga apa-apa deh mbak, mudah-mudahan aja diproses.”
Lika-Liku Staf Penerima Pengaduan.
M
enjadi seorang penerima Pengaduan pelanggaran dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu memiliki cerita yang menarik. Cerita yang diadukan itu tidak melulu mengenai dugaan pelanggaran kode etik namun juga ada hal-hal lain. Santo Gotia, staf Bagian Pengaduan Sekretariat DKPP, misalnya. Ketika Pengaduan sudah diterima, lalu tidak ada kabar kelanjutan kepada Pengadu. Ada Pengadu yang berpikir bermacammacam. “Ada Pengadu yang menuduh, ‘jangan-jangan DKPP ini sudah ‘masuk angin’’,” katanya. Istilah “masuk angin”, muncul ketika ada kasus yang menimpa lembaga Mahkamah Konstitusi. Arti dari “masuk angin” adalah tidak netral dengan condong terhadap salah satu pihak tertentu atau menerima uang suap dari pihak tertentu untuk menutup perkara yang sedang ditangani.
14
Lanjut dia, lebih mending soal tuduhan itu. Nah, yang membuatnya kesal adalah ketika ada Pengadu yang menanyakan nasib Pengaduannya. Kemudian kami jelaskan panjang lebar. Namun Pengadu tidak terima dengan alasan kami, Pengadu itu marahmarah. “Mereka tidak terima nasib laporannya di dismiss. Padahal itu kan bukan otoritas kami, selaku penerima Pengaduan,” ujar pria asal Sulawesi itu. Lain cerita bagi Ratna, bagian Pengaduan lain. Dia pernah menerima bagian Pengaduan dari seorang Pengadu. Si Pengadu itu menceritakan mengenai konflik internal di partainya. Ia berharap, dengan Pengaduan ke DKPP itu bisa ditindak lanjuti. “Dia curhat. Ketika si Pengadu menceritakan itu, saya hanya diam saja dan iya-iya saja. Setelah dia selesai berbicara, baru saya menjelaskan bahwa DKPP tidak menangani konflik di internal partai. DKPP hanya mengurusi kode etik penyelenggara Pemilu. Ngga apa-apa deh mba, mudah-mudahan aja
diproses,” ucapnya. Kemudian, ada pula Pengadu yang menanyakan nasib Pengaduannya dari mulai siang hingga malam. Si Pengadu menghubunginya melalui telepon selular. Bahkan sampai malam sekalipun. “Daripada saya merasa diteror seperti itu, aku lebih baik matiin aja hapeku ketika sudah aku pulang,” ucapnya. Baginya, telepon akan terus aktif selama jam kerja, lebih dari itu hape Blackberry-nya itu dia nonaktifkan. Dia tidak mau urusan pekerjaan dibawa-bawa ke rumah. “Jam sepuluh malam kan waktunya istirahat,” ucapnya. Hampir serupa dengan yang dialami oleh Zaedi. Namun, Zaedi mengaku, karena merasa terganggu dia pun tidak lagi memberikan nomor kepada si Pengadu. “Saya kasih aja nomor kantor. Ada yang sering nanyain nomor hape saya, tapi tidak pernah aku kasih,” ucap pria yang akrab disapa Jay itu. l
Sisi Lain
Di Bagian Pengaduan, Idealisme Staf Diuji
M
endapat marah dari Pengadu kepada staf Bagian Pengaduan saat menerima Pengaduan perkara dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu itu biasa. Tidak sedikit Pengadu yang bersikap marah kepada staf Pengaduan. “Bila ada yang marah-marah usir saja! Panggil polisi kemari. Memangnya lembaga ini untuk mereka?” ucap Prof Jimly Asshiddiqie, ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu kepada staf di ruang front desk ketika bertemu dengan salah seorang Pengadu yang didampingi pengacaranya di suatu kesempatan. Pada waktu itu, Si Pengadu mempertanyakan kepada staf mengenai alasanya perkara Pengaduannya didismissal (ditolak). Setelah diberikan penjelasan oleh staf, si Pengadu merasa tidak puas. Yang paling berat adalah ketika harus diuji idealisme. Pengadu tidak sungkan untuk memberikan sesuatu yang menggiurkan. Biasanya berupa uang atau pertemuan. Zaedi, staf Bagian Pengaduan menceritakan, ada Pengadu memberikan laporan Pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Si Pengadu tersebut, secara prosedural seperti biasa mengisi form, menyerahkan dua alat bukti. Namun tiba-tiba disaat percakapan, dia disodori uang segepok. “Langsung saja aku tolak. Gaji di sini udah cukup,” katanya. Kata dia, sewaktu masih memberikan nomor kontak kepada Pengadu, ada pula Pengadu yang mengajak pertemuan di suatu tempat. “Pengadu mengajak makan di salah satu bilangan di Jakarta,” akunya. Sebelumnya, dia selalu memberi nomor kontak kepada si Pengadu. Namun, adakalanya si Pengadu itu tidak mengenal waktu. Siang dan malam selalu menghubunginya. “Sejak saat itu, saya tidak pernah lagi memberi nomor kontak. Kalau mau urusan kantor, nelpon aja ke nomor kantor,” ucapnya. Dia menuturkan, sebetulnya ada celah-celah “basah” seandainya dia mau mengeruk keuntungan secara pribadi dari Pengadu. Di luar kantor, dia bisa
menjadi “konsultan” beracara di DKPP. Sementara di dalam kesekretariatan, dia bertugas seperti biasa. Kata Zaidi, meskipun dalam persidangan majelis sidang sering menanyakan mengenai ada tidaknya pungutan baik kepada pihak Pengadu maupun Teradu, namun hal itu bisa disiasati. “Bisa saja bilang aja ke Pengadu, soal uang perkara itu tidak boleh dibuka di persidangan,” tuturnya. Zaidi mengaku, dirinya tidak mau mendapatkan keuntungan dari cara-cara seperti itu. Baginya, cara-cara tersebut itu tidak jelas. “Aku tidak mau rizki
yang masuk ke perut istriku diperoleh dari uang yang tidak jelas,” tandas pria lulusan UIN Walisongo Semarang itu. Hal serupa juga dialami oleh Ratna. Dia menceritakan, ada Pengadu yang memberikan oleh-oleh ketika melakukan Pengaduan ke DKPP. Oleh-olehnya berupa makanan atau bingkisan khas dari daerah si Pengadu. “Ada Pengadu yang memberikan oleh-oleh makanan khas Palembang, kami terima karena nilainya tidak seberapa tapi kalau berupa barang, saya sampaikan mohon maaf kami tidak bisa menerima,” ucapnya. l
15
Parade Foto foto: teten
rakornas bawaslu. Ketua DKPP Prof. Jimly Asshidiqqie menjadi narasumber di acara Rakornas Pengawasan Tahapan Pemilu Anggota dan DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 di Grand Sahid Jaya Hotel, Jalan Sudirman, Senin (10/2) foto: Dio
Pelatihan. DKPP Jumat-Minggu (14-16/2) menggelar acara ”Penyusunan Modul Bimbingan Teknis Majelis Daerah,” bertempat di Hotel Sensa, Jalan Cihampelas 160, Bandung.
foto: Irma
Apel pagi. Staf di lingkungan Sekretariat DKPP dan Bawaslu, mengikuti apel pagi yang dipimpin langsung oleh Sekjen Gunawan Suswantoro.
16
foto: teten
Sosilisasi DKPP. Prof. Jimly Asshiddiqie memperkenalkan DKPP kepada lebih dari 500 jaksa dari seluruh Indonesia dalam acara Sosialisasi Penanganan Perkara Pidana Pemilu Tahun 2014 di Hotel Yasmin, Cianjur, Rabu (26/2). foto: Dio
Simulasi. Jumat (7/2) sekitar 1000 personel dari berbagai satuan polisi dari Polda Metro Jaya menggelar latihan pengamanan Pemilu 2014 di depan Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat.
foto: Arif Syarwani
Senam Bersama. Staf di lingkungan Sekretariat DKPP dan Bawaslu melakukan olah raga senam bersama, yang diadakan setiap hari Jumat pagi.