Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
MENUJU PENGEMBANGAN ILMU PENDIDIKAN ISLAM Warsiyah
STAI Al-Madina Sragen
[email protected] Abstrak: Ilmu pendidikan Islam diarahkan untuk membentuk sistem pendidikan Islam yang mampu mengembangkan kepribadian manusia berkualitas, yakni manusia yang memberikan banyak kontribusi bagi pembangunan peradaban dunia yang lebih bermartabat. Pendidikan Islam diharapkan mampu menciptakan output berkualitas untuk memegang peran penting dalam mensejahterakan umat Islam. Dalam perspektif Islam, ilmu tidak dapat dipisahkan dari basis iman dan realisasi amal. Ilmu yang utama dihasilkan dari dorongan iman dan ilmu yang utama membuahkan amal sebagai karya nyata kehidupan yang digunakan untuk kemaslahatan umat manusia sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT. Kesadaran akan relasi iman, ilmu dan amal ini harus ditancapkan pada peserta didik untuk mengarungi kehidupan di dunia sebagai bekal kehidupan akhirat. Kata Kunci: Ilmu Pendidikan Islam, Manusia Berkualitas. Pendahuluan Pertanyaan menarik dan perlu penelusuran secara serius adalah apakah Islam sendiri sebenarnya sudah memiliki bangunan Ilmu pendidikan Islam?. Perlu penelitian dengan pendekatan historis untuk menjawab pertanyaan ini meningat bahwa Islam telah lahir lama sebelum barat memiliki bangunan ilmu-ilmu termasuk ilmu pendidikan yang mapan seperti sekarang ini. Bagaimanakah kondisi pendidikan pada masa Islam berkembang dan berada pada masa kejayaan patut menjadi fokus perhatian dari penelusuran ini sehingga diperoleh pemahaman yang komplit mengenai bangunan ilmu pendidikan Islam. Penulis adalah Dosen Tetap dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Al Madina Sragen. Saat ini sedang menempuh program Doktor Beasiswa Diktis Kemenag RI pada UIN Walisongo Semarang dengan konsentrasi Studi Pendidikan Islam.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 43 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Warsiyah
Puncak formulasi pemikiran Islam berlangsung pada masa keemasan (abad III-V H./IX-XI M.) memiliki pengaruh yang luar biasa sampai saat ini. Hasan Hanafi menyebutnya sebagai at-turats (warisan budaya) yang memiliki karakteristik al-manquul ilainaa, al-mafhuum lanaa dan al-muwajjih lisuluukinaa.1 Warisan budaya yang kita warisi, kita pahami dan yang mengarahkan perilaku kita. Kuatnya pengaruh pemikiran Islam pada masa keemasan tidaklah mengherankan, hal ini karena sampai saat ini belum ada reformulasi pemikiran Islam yang bisa menandingi warisan tersebut. Sehingga sangat dibutuhkan kajian kritis terhadap konstruksi nalar (epistemologis) yang membentuk bangunan pemikiran yang moncer pada masanya. Dengan upaya ini diharapkan membuka mata kita umat Islam agar tidak hanya akomodatif tetapi juga lebih kritis dalam menyikapi warisan pemikiran tersebut. Konstruk nalar tersebut kemudian dapat menjadi contoh dan pijakan pembaharuan pemikiran yang lebih dinamis dan konstruktif. Sejarah pendidikan Islam dimulai bersamaan dengan sejarah Islam itu sendiri. Zuhairini menyebutkan bahwa sejarah pendidikan Islam merupakan keterangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam sejak lahirnya sampai sekarang baik dari segi ide, konsepsi, institusi dan operasionalisasi.2 Melalui pendekatan historis ini maka akan terkuat struktur keilmuan pendidikan Islam. Harun Nasution menyebutkan bahwa sejarah Islam dimulai sejak Nabi Muhammad dilahirkan (571 M)3 artinya bisa dikatakan bahwa sejarah pendidikan Islam juga dimulai dari tahun 571 M dimana Nabi Muhammad SAW dilahirkan. Tetapi perlu disadari bahwa proses pendidikan sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi yaitu sejak zaman Nabi Adam as. Pembahasan mengenai ilmu pendidikan Islam mengacu pada kenyataan sejarah sebenarnya juga ada sejak Islam itu lahir dan terus berkembang sepanjang sejarah Islam itu sendiri. Nabi Muhammad sebagai pendidik utama mendidik umatnya dan menata budaya masyarakatnya agar tercipta masyarakat yang beradab. Dalam proses penyebaran agama Islam Nabi Muhammad mengajarkan untuk berdakwah dan mendidik secara bertahap (learning by proses). Sedangkan materi pendidikannya berasal dari Allah yang diturunkan 1
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm.
2
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 2 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 7
2 3
44 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
melalui al-Quran dan hadis Qudsi. Al-Quran diturunkan secara bertahap dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada pada masyarakat pada saat itu. Materi pendidikan menekankan pada aspek tauhid dan akhlak. Pentingnya akidah dan akhlak bagi kehidupan manusia menjadi pondasi untuk menjalani kehidupan didunia ini sebelum menerima materi-materi pendidikan yang lain. Sebab itu pada masa Nabi Muhammad saw masih disebut sebagai masa pembinaan pendidikan Islam dan masa terbentuknya pondasi awal bangunan ilmu pendidikan Islam. Proses pendidikan Islam terus berkembang hingga pada masa kekhalifahan empat sahabatnya yaitu Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali di Madinah (632-661 M).4 Pada masa kekhalifahan ini pendidikan Islam mulai tumbuh dan berkembang, mulai diperhatikannya tempat pendidikan yang layak, pemilihan materi pendidikan yang sesuai dengan usianya, pemilihan metode pembelajaran yang tepat dan perhatian terhadap kualitas pendidiknya. Dari sini kita dapat mengamati bahwa pada masa pertumbuhan pendidikan Islam sudah mulai ada kemapanan bangunan pendidikan Islam dilihat dari segi pendidik, metode pembelajaran, kurikulum, tempat belajar dan juga pemilahan peserta didik. Tonggak pembangunan pendidikan Islam kemudian dilanjutkan pada masa Bani Umayah (661-750 M) dan Abbasiyah (750-1250 M) dimana dalam sejarah disebutkan pada masa ini madrasah, universitasuniversitas dan pusat kebudayaan Islam sudah banyak dan berkembang. Pada masa ini disinyalir merupakan masa keemasan dimana konstruk pemikiran pendidikan Islam terbentuk dan masih diadopsi oleh umat Islam sampai saat ini. Fakta ini tidak mengherankan karena pada masa Daulah Bani Abbasiyah sistem pendidikan Islam berkembang dengan berbagai inovasi yang luar biasa. Baik dari segi pendidik, peserta didik, kurikulum, lembaga pendidikan dan metode pembelajaran semua mengalami pembaharuan. Setelah umat Islam sudah mantab secara akidah dan akhlak yang telah terbangun sejak Nabi Muhammad menyerukan Islam serta pemantaban penguasaan isi al-Quran dan perluasan kekuasaan Islam pada masa Kekhalifahan maka sampai pada masa ini dimana umat Islam mencoba mengaktualisasikan ajaran Islam yang terkandung dalam al-Quran dan sunah Nabi. Semangat dan etos belajar umat Islam sangat tinggi, kesadaran dan haus akan ilmu 4
hlm. 7
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: P.T. Bumi Aksara Press, 1997),
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 45 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Warsiyah
pengetahuan ditunjukan oleh seluruh umat Islam dan sangat didukung oleh pemerintahan pada masa itu. Penerjemahan buku-buku dari bahasa Yunanai, Persia, India, Qitby dan Aramy.5 Hal ini menekankan bahwa penguasaan bahasa sangat dibutuhkan untuk dapat mengkaji buku-buku dari bahasa asing dengan demikian mereka akan memperoleh informasi sebagai sumber dan dasar dari penelitianpenelitian yang akan mereka lakukan. Kurikulum yang diberikan tidak hanya materi agama saja tetapi juga ilmu-ilmu pasti, ilmu falak, kedokteran, musik dan ilmu-ilmu Alam. Hal ini menunjukan bahwa umat Islam sendiri sebenarnya telah memiliki materi-materi dari ilmu-ilmu yang mereka ajarkan disamping ilmu-ilmu keIslaman. Pada masa itu Islam juga sudah memiliki sistem pendidikan untuk materi kejuruan (vokasional). Kenyataan yang mengagumkan bahwa ternyata umat Islam sudah memiliki bangunan segala ilmu pengetahuan yang saat ini menjadi pondasi bangsa Barat dalam mengembangkan Ilmu Pengetahuan, teknologi dan informasi seperti saat ini. Tumbangnya Daulah Abbasiyah akibat serangan bangsa Moghul dan lemahnya pemerinthan pada masa itu, diikuti dengan tumbangnya perkembangan pendidikan Islam. Kehancuran kota Bagdad dan Granada sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam sebagai penanda runtuhnya pendidikan dan kebudayaan Islam. Kehidupan intelektual dan material berpindah ke Eropa, Islam semakin terpuruk sehingga umat Islam mencari sandaran hanya kepada Tuhan dan pesatnya perkembangan tasawuf dikalangan umat Islam. Eropa kemudian masuk dalam zaman renaissance tetapi disisi lain timbul persoalan yaitu ilmu pengetahuan dan filsafat memisahkan diri dari agama (sekulerisme). Pada abad 20 umat Islam mulai melakukan usaha-usaha pembaharuan dalam semua segmen kehidupan setelah mendapatkan tekanan dari dunia Barat. Pembaharuan dalam bidang pendidikan dilakukan dalam semua komponen pendidikan dari sistem, metode, materi juga reformasi tujuan, visi dan misi pendidikannya. Mengurai Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Ilmu Pendidikan Islam Berangkat dari penegasan istilah Ilmu pendidikan Islam yang merupakan paduan dari 3 kata dasar yang memiliki makna sendirisendiri, yaitu ilmu, pendidikan dan Islam. Sebelum jauh membahas 5
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), hlm. 98
46 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
mengenai apa itu ilmu pendidikan Islam perlu dijelaskan terlebih dahulu makna dari masing-masing kata agar diperoleh pemahanan yang komprehensif dalam rangka mendudukan apa itu ilmu pendidikan Islam yang dimaksud. Kata ilmu merujuk dari kata `ilm (arab) dan science (Inggris). Sebuah ilmu lahir dari pengetahuan manusia yang disusun secara sistematis dan dapat diuji secara empiris. Istilah ilmu dapat dipahami sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai segala gejala yang ada dalam kehidupan.6 Secara sederhana ilmu dapat dimaknai sebagai rangkaian aktivitas manusia secara metodologis untuk memperoleh pengetahuan. Sedangkan pendidikan merupakan salah satu usaha sadar untuk mendidik, mengarahkan, membimbing dan menggerakan peserta didik agar mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang telah ditentukan. Sementara Islam merupakan sistem ajaran yang bersumber dari wahyu Allah yang disebarkan oleh nabi Muhammad yang memiliki misi untuk menyempurnakan akhlak. Konsep menegani pendidikan Islam memilki dua dimensi, yaitu normatif dan deskriptif. Secara normatif mengacu pada konsep ideal pendidikan menurut Islam, sementara secara deskriptif mengacu pada realitas pendidikan yang wujud praksisnya dari ajaran ideal diatas. Secara praktis Ilmu pendidikan Islam merupakan ilmu tentang tata cara mendidik yang sejalan dengan ajaran Islam.7 Ilmu pendidikan Islam merupakan konsep kependidikan yang menjadikan pesan-pesan wahyu ajaran Islam sebagai acuannya. Prof. Muhaimin secara lugas mendefinisikan Pendidikan Islam dalam dua substansi: pertama, sistem pendidikan yang dengan sengaja didirikan untuk menginternalisasi nilai-nilai dan ajaran Islam. Kedua, sistem pendidikan yang dikembangkan dari semangat dan jiwa ajaranajaran dan nilai-nilai Islam.8 Pembagian definisi kedalam dua substansi tersebut tentunya mengandung makna yang berbeda tetapi keduanya ada dalam praktik pendidikan Islam. Definisi pertama merujuk pada aspek kelembagaan dan program pendidikan Islam, dan yang kedua menekankan pada setiap aktivitas pendidikan. 6 Suwardi Endraswara, Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah dan Pengembangan Metode Ilmiah, (Yogyakarta: Caps, 2012), hlm. 5 7 Jamali Sahrodi, Membedah Nalar Pendidikan Islam: Pengantar Ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group bekerja sama dengan UIN Sunan
Kalijaga Press, 2005), hlm. 9 8 Muhaiman, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 39-40
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 47 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Warsiyah
Kegiatan pendidikan Islam dan sistem pengajaran Islam tidak mungkin ada tanpa adanya teori-teori, ilmu dan/atau filsafat pendidikan Islam. Maka dalam rangka mengembangkan filsafat, ilmu dan teori pendidikan Islam diperlukan kejelasan kerangka ontologis, epistemologis, dan aksiologisnya.9 Kerangka ontologis ilmu pendidikan Islam adalah objek formal dan objek material dari pendidikan Islam. Objek materiilnya adalah manusia itu sendiri sedangkan objek formal dari ilmu pendidikan Islam adalah upaya normatif sesuai ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam fenomena qauliyah dan kauniyah membantu proses perkembangan peserta didik dan satuan sosial ke tingkat yang normatif lebih baik.10 Sedangkan Arif Ichwani, sebagaimana dikutip Jamali Sahrodi, menyebutkan objek formal dari ilmu pendidikan Islam meliputi beberapa unsur terpadu yaitu tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, metode pendidikan, materi, evaluasi, konteks sosio-kultural.11 Pada tataran epistemologis ilmu pendidikan Islam ini merupakan cara memperoleh materi pengetahuan yang dalam hal ini bisa melalui beberapa metode penelitian yaitu metode penelitian ilmiah, metode penelitian filosofis, dan metode penelitian sufistik (mistik).12 sedangkan aksiologis dari ilmu pendidikan Islam merupakan etika yang harus dikembangkan dari upaya pengembangan ilmu pendidikan Islam yang sesuai dengan nilai-nilai Ilahiah (qauliyah). Artinya pengembangan Ilmu Pendidikan Islam tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Ilahiah yang terkandung dalam ajaran Islam. Anomali Ilmu Pendidikan Islam Pembahasan panjang mengenai sejarah pendidikan Islam diatas membawa kita memahami bagaimana terbentuknya pondasi pendidikan Islam. Meminjam istilah al-Kailani dalam Mahmud Arif mengenai kondisi pendidikan Islam saat ini bisa dikatakan sedang mengalami krisis perkembangan. Hal ini karena pendidikan Islam saat ini berada pada posisi antara determinisme historis yaitu belum sepenuhnya keluar dari idealisme kejayaan masa lalu yang hegemonik Muhaiman, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 43 10 Muhaiman, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 49 11 Jamali Sahrodi, Membedah Nalar Pendidikan Islam: Pengantar Ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), hlm. 12 12 Jamali Sahrodi, Membedah Nalar Pendidikan Islam: Pengantar Ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), hlm. 61 9
48 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
dan diposisi realisme praktik sebab dipaksa untuk mau menerima tuntutan masa kini dengan orientasi praktis.13 Kenyaatan ini berakibat pada stagnansi pendidikan Islam saat ini yang terkesan hanya mampu bertahan tanpa mampu berkembang. Pendidikan Islam tidak lagi mampu melahirkan karya-karya ilmu pengetahuan yang moncer seperti barat. Sedangkan pelaku pendidikan Islam sendiri sudah pasti adalah orang Islam itu sendiri. Ini berarti bahwa umat Islam sedang mengalami kemandekan dalam pengembangan Ilmu pendidikan khususnya pada tataran praktik. Upaya pembaharuan dan pengembangan ilmu pendidikan Islam pada tataran teoritis sebenarnya sudah dimulai sejak banyak digaungkan oleh cendekiawan-cendikiawan muslim seperti Ismail Raji Al-Faruqi, Naquib Al-Attas, Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, akan tetapi belum menunjukan hasil yang maksimal dan membanggakan. Tindak lanjut dari inovasi-inovasi pemikiran pendidikan Islam itu sendiri kurang disambut dengan baik dalam tataran praktis. Tidak mudah memang melakukan upaya pengembangan ilmu pendidikan Islam dalam tataran praktis, karena mengingat harus melibatkan banyak komponen didalamnya. Meskipun demikian, menurut penulis ilmu pendidikan Islam yang saat ini membutuhkan pemikiran serius dan usaha yang sungguh-sungguh agar apa yang dicanangkan dapat direalisasikan dalam praktik. Secara Ideal Pendidikan Islam bertujuan untuk menghantarkan manusia mencapai keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat. Akan tetapi sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti saat ini semakin dipertanyakan relevansi pendidikan Islam dengan kontribusinya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Orientasi pendidikan Islam hanya untuk mendidik peserta didik menjadi agama belum sampai menggugah apalagi menginspirasi peserta didik untuk membangun dunia dengan menciptakan teknologi dan ilmu yang berguna. Pendidikan Islam bertujuan untuk mendidik peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa, sedangkan orientasi iman dan takwa selalu hanya dikaitkan dengan kehidupan akhirat. Iman dan takwa seolah hanya bisa diperoleh dengan meingkatkan ibadah dan amal sholeh. Mereka lupa bahwa menciptakan teknologi untuk kepentingan orang banyak merupakan amal sholeh yang tak akan terputus sampai dia meninggal. Maka dari itu Fazlur Rahman menyebutkan bahwa tujuan 13
hlm. 5
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKIS, 2008),
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 49 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Warsiyah
pendidikan yang orientasinya bersifat ukhrowi (melangit) harus diubah pada orientasi yang dunia dan akhirat yang bersumber pada al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw.4 Penerimaan terhadap dikotomi dalam sistem pendidikan berakibat pada praktik dualisme sistem pendidikan Islam itu sendiri. Dikotomi ini berdampak pada sebagian golongan umat Islam yang menolak ilmu dan teknologi dan Barat. Berbeda dengan pada masa keemasan Islam, ilmu pengetahuan dipelajari secara utuh, baik yang diperlukan untuk kebahagiaan dunia maupun akhirat. Maka dari itu perlunya upaya pengembangan ilmu pendidikan Islam untuk menemukan konsep ilmu pendidikan Islam yang utuh sebagaimana yang telah diukir umat Islam pada zaman keemasan sehingga umat Islam kembali berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bebas nilai tetapi membumikan ajaran Islam yang Rahmatan Lil `Alamin. Urgensi Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam Dalam sejarahnya pendidikan selalu menorehkan tinta emas dalam upaya memajukan peradaban dunia. Sejak awal mula Islam, melalui masjid sebagai pusat keagamaan dan sosial juga menambah perannya menjadi pusat pendidikan. Masjid tidak hanya menjadi tempat ibadah tetapi juga menjadi tempat belajar balajar, diskusi dan juga perpustakaan. Pentingnya pendidikan dalam kehidupan manusia sangat disadari oleh umat Islam dan menjadi cocern yang terus ditekuni dan dilakukan inovasi. Umat Islam menyadari pentinganya masjid dalam membangun peradaban yang tinggi dan bermartabat menjadikan umat Islam senantiasa memperhatikan pendidikan . Pada masa Bani Abbasiyah penddikan dalam dunia Islam sendiri sejak Nabi Muhammad saw. diutus untuk menjadi Rasulullah (utusan Allah) beliau tidak mengesampingkan pendidikan. Mengingat kondisi krisis dari ilmu pendidikan Islam baik dalam teori maupun praktiknya maka pengembangan pendidikan Islam kearah holistic harus selalu dilakukan. Sehingga dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum dapat disatukan kembali sebagai langkah awal pengembangan ilmu teknologi dan informasi yang berbasis Islam. Pendidikan Islam selama ini setalah masa kejayaannya (pada masa Bani Abbasiyah) masih lemah dan produknya belum banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 105.
50 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sedang mengalami kompleksitas permasalahan yang tidak gampang untuk dipecahkan permasalahan tersebut tidak hanya pada tataran epistemologis-paradigmatis tetapi juga pada dataran teknis-metodologis. Pada dataran epistemolgis-paradigmatis, pendidikan Islam masih terfokus pada tujuan yang bersifat defensif dan berorientasi pada kehidupan akhirat saja. Pada tataran teknismetodologis, umat Islam masih mempermasalahkan dikotomi sistem pendidikan Islam.5 Hal ini berdampak pada perbedaan perumusan tujuan-tujuan pendidikn yang hendak dicapai oleh umat Islam sendiri. Maka dari itu sangat dibutuhkan upaya strategis dalam rangka mengurai problem dalam pendidikan Islam sehingga ditemukan alternatif pemecahan yang reflektif dan inovatif. Pendidikan memiliki peran yang strategis sebagaimana fungsi dan tujuannya yang mulia. Melalui perannya pendidikan menyimpan kekuatan luar biasa untuk menggerakkan seluruh aspek kehidupan dan menjadi tumpuan masa depan bangsa dalam menghadapi perubahan zaman.14 Menyadari hal tersebut sangat penting upaya pengembangan ilmu pendidikan Islam sebagai dasar utama dalam menciptakan sistem pendidikan Islam yang berkualitas. Bangunan Ilmu pendidikan Islam yang mapan akan membantu pengembangan pendidikan Islam ke arah yang lebih baik. Menuju Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam Upaya pengembangan ilmu pendidikan Islam merupakan hasil dialektika kontinu antara transmisi warisan dan inovasi dalam lingkar hermeneutis penyingkapan umat Islam terhadap warisan masa lalu, tradisi barat dan realitas konkrit saat ini.15 Hal ini juga merupakan bentuk sikap keterbukaan dan akomodatif terhadap sistem pendidikan diluar Islam yang selama ini dianggap mampu memproduk manusia yang handal di bidang Iptek. Meminjam istilah Prof. Muhaiman, makna pengembangan dapat dilihat dari sisi kuantitatif dan kualitatif. Secar kuantitatif makna pengembangan berarti menjadikan membuat lebih besar dan merata pendidikan Islam dan untuk memperluas pengaruhnya pada konteks 5 Jamali Sahrodi, Membedah Nalar Pendidikan Islam: Pengantar Ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Rihlah Group, 2005), hlm. 27 14 Mudjia Rahardjo, Quo Vadis Pendidikan Islam: Pembacaan Realitas Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, (Malang: UIN Sunan Ampel Malang Press, 2006),
hlm. 50.
15
hlm. 1
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKIS, 2008),
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 51 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Warsiyah
pendidikan secara umum. Sedangkan konsep secara kualitatif berarti meningkatkan mutu pendidikan Islam sehingga menjadi lebih baik dan maju sejalan dengan ide-ide dasar Islam untuk merespon tantangan pendidikan. Pengembangan konsep secara kualitatif ini bisa berarti mengembangkan pendidikan Islam agar menjadi bangunan keilmuan yang kokoh sehingga berkontribusi signifikan terhadap masyarakat dan iptek.16 Dalam rangka pengembangan ini dibutuhkan landasan yang jelas sehingga upaya pengembangan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan keagamaan. Landasan yang harus digunakan dalam pengembangan pendidikan Islam diantaranya landasan filosofis, religius, yuridis dan landasan ilmiah pendidikan Islam itu sendiri. Pengembangan pendidikan Islam bukanlah pekerjaan yang sederhana tetapi membutuhkan perencanaan yang terpadu dan menyeluruh. Wilayah kajian pendidikan Islam yang akan dikembangkan harus jelas sehingga menjadi peta bagi arah paradigma pengembangan yang berkesinambungan. Peta kajian pendidikan Islam meliputi komponenkomponen ilmu pendidikan Islam yaitu: 1. Ontologis Ilmu Pendidikan Islam Objek materiil ilmu pada umumnya adalah manusia tidak terkecuali dalam ilmu pendidikan. Manusia sebagai objek materiil ilmu pendidikan menjadi fokus utama karena selain sebagai pendidikan juga sebagai siswa/peserta didik yang masing-masing memilki peran dan tanggungjawab yang berbeda dalam pendidikan. Pandangan mengenai manusia dengan segala atributnya menjadi fokus utama dalam merencanakan sistem pendidikan yang baik. Pendidikan Islam sebaiknya tidak hanya berorientasi memenuhi kebutuhan manusia mencapai hidup yang bahagia kelak diakhirat saja tetapi harus diimbangi dengan perlunya kehidupan dunia sebagai bekal kehidupan akhirat. Artinya pendidikan Islam harus mendorong peserta didik untuk mempelajari ilmu-ilmu umum yang memberikan kontribusi kongkrit dalam menciptakan teknologi-teknologi tepat guna bagi kehidupan manusia. Objek formal dari ilmu pendidikan Islam yang meliputi beberapa unsur terpadu yaitu tujuan pendidikan, pendidik, siswa/peserta didik, metode pendidikan, materi, evaluasi, dan konteks sosio-kultural harus dikaji secara komprehensif dengan memadukan teori pendidikan dari barat dan teori pendidikan Islam sehingga diperoleh pemahaman yang benar terhadap objek ini. Umat Islam tidak perlu kemudian menutup 16 Muhaiman, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 1
52 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
diri tidak menerima teori-teori pendidikan yang telah ditemukan oleh bangsa Barat, justru harus digunakan sebagai bagian refrensi dalam mengkaji dan membangun teori-teori pendidikan yang Islami. Meskipun demikian dalam rangka mengkaji teori barat harus mampu memfilter teori-teori yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga tidak serta merta hanya mengambil tanpa mengkaji dan memilah teori yang sesuai dengan ajaran Islam. 2. Epistemologi Ilmu Pendidikan Islam Setiap ilmu memiliki cara yang berbeda dalam memperoleh kebenaran dan pengetahuannya. Cara yang digunakan memperoleh materi pengetahuan yang dalam pendidikan Islam biasanya melalui beberapa metode penelitian yaitu metode penelitian ilmiah, metode penelitian filosofis, dan metode penelitian sufistik (mistik). Asy-Syafii menyebutkan pemerolehan ilmu sebagai produk intelektual manusia terbatas pada dua cara yaitu ittiba` dan istinbath. Ilmu diperoleh dari al-Kitab jika tidak ditemukan baru dari As-Sunah kemudian bisa dengan pandapat kalangan salaf jika tidak ditemukan lagi maka harus bertumpu pada panduan qiyas. Selain sumber-sumber yang disebutkan diatas tadi tidak ada sumber lain yang diperkenankan untuk menjadi dasar pengetahuannya. Akal hanya berperan terbatas dalam realisnya dengan dogma agama dan hanya sebagai subordinat bukan otonomi independen.17 Persepsi seperti ini membuat statisnya perkembangan ilmu pengetahuan dan terpasungnya inovasi dan kreasi intelektual karena sempitnya ruang gerak akal dan sebagai abdi dogma agama. Kepatuhan terhadap produk dari ilmuan sebelumnya tanpa berani mengkritik apalagi memformulasikan paradigma baru membuat terpuruknya ilmu pendidikan Islam saat ini. Penggunaan akal rasio sebagai pisau analis terhadap dogma agama seolah telah diharamkan karena dianggap mengusik kebenaran agama yang dianggap sudah final dan mutlak. Peran akal harus ditempatkan pada posisi yang tepat sehingga mampu mendialektiskan antara kebutuhan dunia dan kebutuhan akhirat secara seimbang. Mahfud Arif menegaskan tentang pentingnya fungsi akal sebagai instrumen epistemologis ilmu pendidikan Islam karena umat Islam masih sibuk mempertentangkan wahyu dan akal.18 Indera, akal dan 17
hlm. 113
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKIS, 2008),
18 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm. 250-251
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 53 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Warsiyah
wahyu harus disinergiskan untuk memperoleh ilmu pengetahuan Islami. Ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi-teknologi mutakhir yang sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini yang membedakan epistemologis ilmu pendidikan Islam dibandingkan ilmu pendidikan Barat yaitu pengakuan terhadap keberadaan Wahyu (al-Quran dan sunah Nabi) sebagai sumber kebenaran. Konsep an-nazhar yang dianjurkan al-Quran merupakan aktivitas intelektual yang mengintegrasikan secara dinamis-dialektis antara pengamatan empiris, pemikiran logis-rasional dan pengalaman spiritual terpadu.19 Dengan demikian akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang empiris, rasional, intuitifdan revelasional yaitu ilmu pengetahuan yang membumi tidak hanya melangit. 3. Aksiologi Ilmu Pendidikan Islam Pendidikan selalu memiliki posisi strategis dalam upaya meningkatkan kualitas hidup baik kualitas secara duniawi maupun ukhrowi. Manusia yang memililki pendidikan baik, disinyalir akan memilki budi pekerti yang baik juga, disisi lain juga memilki kontribusi nyata untuk kehidupan umat manusia. Jika selama ini pengembagan ilmu pendidikan Islam hanya berorientasi menuju kehidupan akhirat saja, harus mulai ditata kembali orientasi ilmu pendidikan Islam. Pendidikan Islam sebaiknya tidak hanya membekali peserta didik hidup bahagia kelak di akhirat saja tetapi juga membekali peserta didik untuk mampu hidup di dunia ini sebagai muslim yang kuat, baik kuat dalam iman, ilmu dan ekonominya. Dunia sebagai ladang kehidupan dan perantara manusia menuju kehidupan kekal di akhirat kelak harus dapat dimanfaatkan secara proporsional dan tepat. Pengembangan ilmu pendidikan Islam harus memperhatikan orientasi kehidupan dunia yang tidak bisa dipungkiri bahwa kehidupan duniawi adalah perantara mencapai kebahagiaan kehidupan di akhirat. Paradigma dikotomi ilmu agama dan ilmu umum harus dihapuskan, bahkan harus disinergiskan dengan tepat antara pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Sehingga diharapkan dapat menciptakan teknologi-teknologi tepat guna dan menjadi media umat Islam menuju kehidupan kelak di Akhirat. Ilmu pendidikan Islam diarahkan membentuk sistem pendidikan Islam yang berupaya untuk mengembangkan kepribadian manusia yang berkualitas. Manusia yang memberikan banyak kontribusi bagi 19 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm. 239-240
54 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam
pembangunan peradaban dunia yang lebih bermartabat. Anggapan bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara sehingga difokuskan pada pencarian ilmu agama saja harus diimbangi dengan pemahaman bahwa sesungguhnya manusia di muka bumi ini juga akan bertanggung jawab dengan masa depan generasinya kelak. Pendidikan Islam diharapkan mampu menciptakan output yang berkualitas untuk memegang peran penting dalam mensejahterakan umat Islam. Dalam perspektif Islam, ilmu tidak dapat dipisahkan dari basis iman dan realisasi amal. Ilmu yang utama dihasilkan dari dorongan iman dan ilmu yang utama membuahkan amal sebagai karya nyata kehidupan yang digunakan untuk kemaslahatan umat manusia sebagai bentuk penghambaan diri kepada Allah SWT. Kesadaran akan relasi iman, ilmu dan amal ini harus ditancapkan pada peserta didik sebagai bekal untuk mengaruhi kehidupan di dunia. Referensi Arif, Mahmud, Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008. Suwardi, Filsafat Ilmu: Konsep, Sejarah Pengembangan Metode Ilmiah, Yogyakarta: Caps, 2012.
Endraswara,
dan
Muhaiman, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2011. Rahardjo, Mudjia, Quo Vadis Pendidikan Islam : Pembacaan Realitas Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, Malang: UIN Malang Press, 2006. Fazlur, Islam dan Modernitas: Intelektual, Bandung: Pustaka, 2000.
Rahman,
Tentang Transformasi
Sahrodi, Jamali, Membedah Nalar Pendidikan Islam : Pengantar Ke Arah Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Rihlah, 2005. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1997.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 55 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
ANALISIS PENDIDIKAN NASIONAL 25 TAHUN KE DEPAN DALAM KEBIJAKAN POLITIK PENDIDIKAN NASIONAL (Tinjauan Analisis SWOT) Mochammad Marjuki
STIT Muh. Kendal
[email protected] Abstrak: Pendidikan nasional, dengan segala idealisme yang dijabarkannya baik dalam UU Sisdiknas, program-program pemberdayaan, hingga dalam orasi-orasi ilmiah ternyata belum mampu mengangkat kualitas pendidikan nasional secara merata. Hal ini tentu saja bukan menjadi PR bagi segelintir penguasa semata namun juga menjadi tanggungjawab seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimanapun, pendidikan menjadi satu komponen terpenting agar masyarakat Indonesia mampu menunjukkan taringnya dalam kancah percaturan global. Dalam ikhtiarnya memajukan pendidikan (sekaligus peradaban), bangsa Indonesia memerlukan kesadaran akan potensi, hambatan, peluang, serta ancaman yang dimiliki negara Indonesia dewasa ini. Kata Kunci: Pendidikan Nasional, Kebijakan Politik, Analisis SWOT. Pendahuluan Lingkungan eksternal mempunyai dampak yang sangat berarti pada sebuah lembaga pendidikan. Selama dekade terakhir abad keduapuluh, lembaga-lembaga ekonomi, masyarakat, struktur politik, dan bahkan gaya hidup perorangan dihadapkan pada perubahanperubahan baru. Perubahan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi dan dari ekonomi dari yang berorientasi manufaktur ke arah orientasi jasa, telah menimbulkan dampak yang signifikan terhadap permintaan atas program baru pendidikan yang ditawarkan. Penulis adalah Dosen Tetap dan Wakil Ketua I Bidang Akademik STIT Muhammadiyah Kendal. Saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa Program Doktor Studi Islam UIN Walisongo Semarang.
56 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
Fenomena yang selalu terjadi dalam dunia pendidikan di era global ialah selalu tertinggalnya perkembangan dunia pendidikan itu sendiri jika dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi, dan dunia bisnis yang mengiringinya. Upaya yang telah dilakukan baru sebatas menggunakan indikator-indikator ekonomis dan rugi-laba sebagaimana yang diterapkan dalam dunia bisnis. Oleh karena itu, membiayai dan membangun sektor pendidikan harus dijadikan sebagai upaya yang memiliki jiwa dan visi human investment yang hasilnya baru akan dapat diraih satu generasi berikutnya. Konsekuensi fenomena tersebut, diperlukan pembangunan sektor pendidikan yang memerlukan polytical will yang kuat, dan dukungan yang kondusif dari keluarga dan masyarakat. Tanpa adanya political will dan komitmen yang kuat dari bangsa untuk membangun sektor pendidikan, cepat atau lambat, kita sebagai bangsa akan termarjinalisasikan secara alami. Terlebih-lebih di era globalisasi seperti saat ini, tantangan pendidikan menjadi semakin tidak terbatas, dilihat dari masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), manfaat (benefits), dan dampak (impacts). Jika hal ini terjadi, bangsa Indonesia akan semakin tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan. Tujuan akhir dari proses pendidikan di era global pada hakikatnya adalah menyediakan sumber daya insani yang memiliki daya saing internasional. Namun akankah kebijakan politik pendidikan nasional yang dilakukan pemerintah pada saat ini mampu memberikan perubahan besar bagi dunia pendidikan Indonesia 25 tahun yang akan datang? Untuk menjawab keadaan ini perlu dilakukan analisis yang lebih efektif. Penulis dalam hal ini mencoba memecahkan masalah yang dihadapi dengan menggunakan analisis SWOT (Strenghs, Weaknesses, Opportunities, and Threats), untuk mengetahui sejauh mana perubahan pendidikan pada 25 tahun mendatang. Realita Pendidikan Nasional tinjauan Analisis SWOT Analisis SWOT telah menjadi salah satu alat yang berguna dalam dunia industri. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk digunakan sebagai aplikasi alat bantu pembuatan keputusan dalam pengembangan pendidikan Nasional di masa depan. Dalam beberapa dekade, kebijakan politik pendidikan Nasional telah mengalami beberapa perubahan meski kualitas pendidikan nasional masih jauh dari harapan. Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan Unit Nation Development Program (UNDP) melaporkan bahwa Indonesia berada pada rangking 108 tahun 1998,
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 57 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
rangking 109 tahun 1999, dan rangking 111 tahun 2004 dari 174 negara yang diteliti. Dan pada tahun 2005, peringkat pendidikan Indonesia masih di bawah Vietnam yang berada pada urutan yang ke 108.1 Untuk melihat masa depan pendidikan Nasional, Analisis SWOT ini kiranya mampu memberikan gambaran ke depan nasib bangsa ini, dengan memprediksi Kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman sistem pendidikan Nasional. 1. Realita Kekuatan (Strength) Pendidikan Nasional a. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala asfek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mengesahkan Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 Pasal. Perubahan yang mendasar yang dicanangkan dalam UU Sisdiknas tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta mesyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. b. Ideologi/Falsafah Pendidikan Nasional Pancasila Berdasarkan Pancasila, pendidikan seharusnya diselenggarakan dalam kondisi (1) berketuhanan, (2) berkebangsaan (nasionalistis), (3) berkemanusiaan (humanistis), (4) demokratis, dan (5) berkedilan. Berdasarkan Falsafah Pancasila, otonomi daerah bukan sekedar pengalihan kekuasaan pusat ke daerah, akan tetapi harus disikapi sebagai wujud dari tatanan kehidupan demokratik. Daerah memiliki kewajiban moral untuk memfasilitasi pendidikan baik untuk memenuhi tuntutan pendidikan yang berdampak global maupun yang berdampak terhadap kemajuan daerah itu, namun demikian tetap harus diwujudkan dalam tatanan kehidupan demokratik, fleksibel, dan kreatif. c. Otonomi Pendidikan atau Desentralisasi Pendidikan Seiring dengan semangat reformasi nasional dalam bidang politik, ekonomi, dan hukum, otonomi daerah melalui UU. No. 32 tahun 2004 telah membawa implikasi pada berubahnya setting pendidikan yang dahulu begitu sentralistik menjadi desentralistik. 1 Ali Muhdi, et al, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007), hlm. 47. Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006) hlm. 27
58 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
Diharapkan, desentralisasi pendidikan akan membawa angin perubahan karena proses pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan dan kompleksitas problem masing-masing daerah. d. Pendanaan Pendidikan Nasional Penyelenggaraan pendidikan bermutu memang membutuhkan dana. Namun dana bukan satu-satunya unsur yang menentukan keberhasilan usaha penyelenggaraan pendidikan bermutu. Hasil akan tergantung pada tiga kata kunci yaitu sistem, keahlian, dan moral pelaksananya. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekuensinya pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar (wajar), minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, penerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2). Dengan adanya desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 –” Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional ”– (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20 % dari APBN pada sektor pendidikan, dan minimal 20 % dari APBD (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat pemerintah pusat dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2). Suyanto. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), hlm. 34 Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran: Sistem Pendidikan Nasional Abad 21, (Yogyakarta, Safiria Insani press, 2004), hlm. 51
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 59 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2). Pada tahun 2006 anggaran pendidikan dalam APBN mencapai Rp. 43, 2 triliun (8, 4%). Dalam RAPBN 2007, pendidikan dialokasikan sebesar Rp. 51, 3 triliun (10, 3%) dari belanja pemerintah pusat atau 9, 6% jika mengikuti definisi yang dipakai Mahkamah Konstitusi (MK) atau Undang-undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003. 2. Realita Kelemahan (Weakness) Pendidikan Nasional a. Pendidikan kita baru terbatas pada pemahaman pengetahuan tekstual Pendidikan Indonesia cenderung tekstualis dan mengadopsi hasil penelitian orang Barat tanpa upaya penelitian lebih lanjut serta menerapkan delivery sistem, yang menyikapi pendidikan hanya sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan. Cara menyikapi pengetahuan seperti ini yang akhirnya menjelma menjadi pendidikan dengan sistem ” suap ”. Artinya pendidikan Indonesia tidak jauh dari menyuapi anak-anak dengan pengetahuan, dan suapan yang diperoleh juga tidak akan menyamai volume ilmu yang berkembang. Kesenjangan antara perkembangan ilmu dengan jumlah suapan mengakibatkan timbulnya pembodohan terstruktur. Karenanya, orientasi pembelajaran tekstual harus diubah ke arah pendekatan faktual. Pembelajaran yang berorientasi tekstual hanya menghasilkan manusia-manusia penghapal dan hanya menghasilkan manusia-manusia penjiplak ilmu dan teknologi yang meniadakan kreatifitas. Pembelajaran yang bersifat faktual membimbing anak-anak terlatih bergaul dengan kenyataan lingkungan hidup mereka, dengan demikian mereka mampu mendeteksi masalah-masalah nyata, mampu mendeteksi kesenjangannya, mampu memecahkan solusinya, mampu Kompas. Anggaran Pendidikan (Wapres: Pemerintah dan DPR Langgar Konstitusi), tanggal 7 Juni 2006. Djohar. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan,
Yogyakarta, Grafika Indah, 2006, hlm. 166-225
60 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
mendeteksi unsur-unsurnya, mampu menkonseptualisasikan makna dari kenyataan itu, dan dari sinilah maka mereka memperoleh kemampuan dan pengetahuan dari hasil kegiatannya sendiri. Perpustakaan berguna sebagai sumber referensi belajar, bukan menjadi sasaran belajar yang hanya akan berakibat terjadinya proses pembelajaran hafalan. Orientasi pembelajaran ini dapat dipikirkan oleh daerah yang bekerjasama dengan daerah lain atau negara lain yang dipandang sesuai dengan kebutuhan pendidikan di daerahnya, terutama berlaku bagi ilmu-ilmu global misalnya Matematika, IPA, dan Bahasa Asing. b. SDM atau Tenaga ahli masih rendah di tingkat nasional dan daerah Di saat warga dunia lain telah dan akan bermain di era global, Indonesia masih berkutat pada masalah ketaktersediaan pangan, disintegrasi hingga rendahnya kualitas kesehatan nasional. SDM negara masih jauh dari cukup untuk bersaing di era global yang berparadigmakan borderless world. Ditinjau dari tenaga kerja saja, banyak angkatan kerja tidak berpendidikan (53%). Yang berpendidikan dasar sebanyak 34%; berpendidikan menengah 11%, dan yang telah berpendidikan tinggi (universitas) hanya 2%.7 c. Kesiapan daerah baru merupakan kesiapan psikologis belum memiliki kesiapan teknis dan profesional. Saat ini pemerintah daerah memiliki euforia yang sangat tinggi, sehingga secara subyektif merasa sudah siap untuk mengelola pendidikan yang ada di daerahnya masing-masing tanpa melakukan refleksi dengan cara: mencermati kelemahan, kelebihan, dan peluang yang mungkin ada di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, kesiapan daerah saat ini sebenarnya baru merupakan kesiapan psikologis. Sedangkan untuk kesiapan teknis dan profesional masih perlu dipertanyakan. d. Perspektif berpikir jangka pendek kepala daerah dan DPRD dalam paradigma pembangunan daerah dengan makna secara fisik semata. Perspektif berpikir jangka pendek akan selau membenarkan paradigma pembangunan daerah untuk kepentingan jangka pendek. Kalau ini pilihannya, pembangunan akan diberi makna secara fisik semata. Akibatnya banyak gapura, patung, jalan raya, gedung-gedung, tugu-tugu semboyan daerah yang mendapat prioritas utama untuk dibangun dengan mengorbankan pengembangan dan pembangunan aspek-aspek dan komponen penting pendidikan. Kalau hal ini terjadi, 7 Suyanto. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), hlm. 11-12
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 61 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
seorang kepala daerah tidak akan mampu menempatkan bidang pendidikan pada skala prioritas yang penting dalam proses pembangunan daerahnya.8 Dalam konteks otonomi, godaan semacam itu semakin kuat akibat semakin berkurangnya subsidi pemerintah pusat, dan semakin kuatnya daerah untuk memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tinggi. Konsekuensinya, banyak daerah yang tergiur untuk membangun sarana fisik agar daerahnya menarik bagi investor asing. Menarik investor asing sebenarnya tidak cukup hanya disediakan sarana fisik saja, sebaliknya kualitas SDM perlu ditingkatkan secara signifikan agar investor yang ingin masuk mendapatkan jaminan akan tersedianya tenaga kerja yang memiliki keterampilan dan profesionalisme yang tinggi di daerah itu. Sayangnya, meningkatkan kualitas SDM melalui pendidikan tidak dapat dilakukan dengan model ”karbitan” jangka pendek. Upaya itu memerlukan waktu paling tidak 20 sampai 25 tahun atau berdurasi satu generasi. 3. Realita Peluang (Opportunity) Pendidikan Nasional a. Issue Pendidikan 1) School Bassed Management (Pendidikan Berbasis Sekolah) School Based Management digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sekolah memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakan dalam hal pendidikan. 2)Broad Bassed Education (Pendidikan Berbasis Luas) Broad Based Education ini berorientasi pada pembekalan keterampilan untuk hidup atau bekerja (life skill). Dari keterangan ini, dan akibat adanya school based management memungkinkan sekolah mengartikan broad based education seperti yang dimaknakan UNESCO, yakni pendidikan yang berbasis luas yang mampu mengembangkan fisik anak, pikiran anak, mengembangkan hati anak, moral dan kepribadian secara utuh. Sedangkan menurut Indrajati Sidi (2002) pendidikan berbasis luas (BBE) adalah pendidikan yang memberikan bekal “learning how to learn” (belajar bagaimana cara belajar) dan “general life skill” (kecakapan hidup umum) tidak hanya memberikan teori tetapi juga mempraktikkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari. 8 Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006), hlm. 90-91
62 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
3) Community Bassed Education (Pendidikan Berbasis Masyarakat) Salah satu pemahaman community based education adalah
suatu gagasan yang menempatkan orientasi penyelenggaraan pendidikan pada lingkungan kontekstual (ciri, kondisi, dan kebutuhan masyarakat) di mana lembaga pendidikan itu berada. Pemahaman ini juga sangat mungkin menimbulkan pemahaman yang berbeda pada tiap sekolah. Mungkin juga sekolah memaknakan pendidikan berbasis masyarakat itu tidak diartikan sebagai orientasi kebutuhan masyarakat atau orientasi eksternal atau sentrifugal, akan tetapi sebagai orientasi pembelajarannya yang menggunakan “sumber belajar” dari apa yang berkembang dominan di masyarakat, yang berarti orientasi internal atau sentripetal.9 Jadi dalam orientasi ini, apa yang dominan dalam masyarakat digunakan sekolah untuk sumber belajar siswa, sehingga anak-anak memahami konteks lokalnya masing-masing. Bukan sebaliknya orientasi siswa untuk masyarakat, melainkan masyarakat yang dominan untuk modal pengetahuan siswa. Masyarakat yang bergerak dinamis sangat sulit mengantisipasi pendidikan untuk masyarakat, karena pada hakikatnya pendidikan itu untuk masa datang. Oleh karena itu, apa yang berada di masyarakat saat ini hanya digunakan oleh siswa sebagai referensi pembelajaran saja. 4) Competency Based Curriculum (Kurikulum Berbasis Kompetensi) Kurikulum berbasis kompetensi dimaknakan sebagai kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik bila is telah menamatkan suatu satuan jenjang pendidikan tertentu. Kurikulum berbasis kompetensi yang dimaksud sebagaimana yang dirumuskan oleh Anonim (2001) ialah ”Kompetensi ini terdiri dari kemampuan akademik, keterampilan hidup, pengembangan moral, pembentukan karakter yang kuat, kebiasaan hidup sehat, semangat bekerja sama, dan apresiasi estetika terhadap dunia sekitarnya. Dengan kata lain, kurikulum mengembangkan keharmonisan pemilikan logika, etika, estetika, dan kinestika.” b. Adanya Lembaga Pendampingan Adanya lembaga pendampingan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten atau kota sangat penting peranannya dalam memberikan pendampingan pendidikan kepada pemda, sehingga akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota dapat 9 Djohar. Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2006), hlm. 243-244
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 63 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
dipertanggungjawabkan. Lembaga pendampingan pendidikan di tingkat sekolah adalah komite sekolah yang pada dasarnya memiliki makna serupa dengan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu adanya lembaga pendampingan ini dapat digunakan sebagai peluang untuk memajukan pendidikan di Indonesia. c. Pelembagaan Penyelenggara pendidikan Banyaknya lembaga sekolah dapat dikatakan menjadi peluang besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Akan tetapi pembinaan terhadap adanya banyak sekolah ini kenyataannya belum mengarah kepada kedudukan sekolah sebagai peluang dalam membangun pendidikan bangsa kita. 4. Realita Ancaman/Tantangan Pendidikan Nasional a. Pemahaman yang salah dari masyarakat Pendidikan merupakan investasi jangka panjang yang membutuhkan modal besar demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Karena mahalnya biaya pendidikan dan banyaknya alumni lembaga pendidikan yang akhirnya menjadi pengangguran, banyak masyarakat berasumsi bahwa sekolah tidak mampu memperbaiki tingkat perekonomian dalam waktu cepat, sehingga banyak yang memilih untuk langsung terjun ke dunia kerja. b. Pembaruan pendidikan yang berjalan di tempat Hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa banyak proyek pendidikan yang dimanfaatkan untuk keuntungan segelintir orang sehingga tidak berjalan sesuai dengan tujuan awal. c. Sistem pembaharuan yang tidak terarah Kesalahan yang terjadi pada butir di atas, mungkin juga disebabkan karena sistem pembaharuan pendidikan kita yang tidak terfokus kepada pemecahan masalah nyata. Sehingga proyek pendidikan yang dilaksanakan hanya sekedar proyek, tidak ingin memecahkan permasalahan pendidikan. d. Kesalahan di tingkat praksis pendidikan Di tingkat praksis, kita menghadapi kesalahan pendidikan yang besar, semisal: (1) pendidikan kita tidak pernah bergulat pada hal-hal yang sifatnya teoritis, sehingga anak-anak kita tidak mampu menghadapi realitas kemiskinan, kebodohan, persaingan dan lain sebagainya, (2) metode pembelajaran yang monoton dan hanya mengedepankan aspek kognisi, (3) penyelewengan dana pendidikan, (4) memburuknya citra guru karena berbagai tindak asusila yang terjadi dewasa ini, (5) ketidakseimbangan pendidikan dalam
64 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Nasional 25 Tahun ke Depan
mempengaruhi afeksi dan psikomotor siswa/peserta didik menjadikan pendidikan tidak mampu menghasilkan manusia yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai luhur pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Simpulan Pendidikan sebagai instrumen utama proses kemanusiaan dan pemanusiaan terus disorot tajam oleh masyarakat. Bahkan, fenomena itu melahirkan pertanyaan apakah kita sudah menjadi manusia? Apakah pendidikan kita masih layak menjadi lini terdepan proses kemanusiaan dan pemanusiaan? Apakah sebagian manusia Indonesia yang dilihat dari jenjang pendidikan yang dicapai atau posisi yang diembannya, benar-benar mampu menampilkan keterpelajarannya? Arogansi kekuasaan, indeks pengembangan SDM (human development index) yang sangat rendah, krisis ekonomi, pelanggaran ketertiban umum, aksi memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan, pecandu narkotika dan obat-obat terlarang, kekerasan, KKN dan prilaku buruk di sekitar kita sepertinya makin nyata. Untuk membuat gejala buruk itu tereduksi secara signifikan, penegakan hukum, pembangkitan rasa malu, perluasan wacana, penajaman curiosity dan penguatan ajaran agama menjadi sebuah keniscayaan, baik pada tataran birokrasi, jaringan partai politik, tokoh masyarakat, orang tua, pelaku bisnis, aparat keamanan, ilmuwan, maupun lembaga pendidikan. Disinilah agenda pendidikan perlu mendapatkan pelurusan kembali. Maka analisis SWOT diharapkan bisa menjadi barometer untuk mengadakan rekonstruksi agenda pendidikan. Artinya, bagaimana kita sadar akan potensi atau kekuatan yang dimiliki untuk mau mengoptimalkan penggunaannya dengan manajemen yang akurat, serta mampu menghalau hambatan-hambatan atau meminimalisir dengan menutup celah-celah, bahkan mau dan mampu mengambil peluang yang ada dan menempatkan peluang itu sebagai kekuatan bukan sebagai momok besar yang menakutkan, serta menjadikan ancaman atau tantangan sebagai peluang kedua dengan disikapi secara dewasa. Kesamaan pandangan dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, birokrasi, masyarakat, orang tua, bahkan lembaga pendidikan itu sendiri, bahwa pendidikan itu ; pertama, sebagai proses pemanusiaan, kedua, sebagai proses penanaman modal dalam bentuk manusia (human investment atau
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 65 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Mochammad Marjuki
capital investment in human form), dimana pendidikan merupakan
proses menyiapkan manusia untuk terjun di sektor produktif. Sehingga pendidikan nasional kedepan minimal bisa mencapai empat faktor strategis reformasi pendidikan. Pertama, akuntabilitas berbasis standar (standar based accountability), dimana penetapan standar keluaran harus jelas dan pengujian secara sistematik atas kemajuan siswa, berupa statemen kepercayaan dimana guru dan siswa akan didorong pada fokus usaha pembelajaran dan arah yang benar. Kedua, reformasi sekolah secara keseluruhan. Ketiga, strategi pasar (market strategies). Dimana pendidikan merupakan pranata sosial yang menawarkan jasa layanan yang bersifat intelektual, afeksi, psikomotorik, emosional, dan bahkan spiritual. Keempat, Keputusan partisipatif (shared decisionmaking), sebuah strategi sistematis yang berfokus pada pemberdayaan guru dan administrator di tingkat sekolah. Rasionalnya adalah, masyarakat mengetahui bahwa siswa-siswa terbaik mempunyai otonomi untuk mengkreasi dan mengimplementasikan programprogram secara responsif. Daftar Pustaka Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, Yogyakarta: Grafika Indah, 2006. Kompas. Anggaran Pendidikan (Wapres: Pemerintah dan DPR Langgar Konstitusi), tanggal 7 Juni 2006. Mastuhu, Menata Ulang Pemikiran: Sistem Pendidikan Nasional Abad 21, Yogyakarta, Safiria Insani press, 2004. Muhdi, Ali, et al, Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Pustaka Fahima, 2007. Suyanto. Dinamika Pendidikan Nasional dalam Percaturan Dunia Global, Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006.
66 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
MENUJU TASAWUF BERKEMAJUAN (Rekonstruksi Konsep dan Praktik Tasawuf ) Suparman Syukur
UIN Walisongo Semarang
[email protected] Abstrak: Tasawuf dipahami sebagai ijtihad dan ikhtiar yang tidak luput dari kesalahan. Tasawuf bukanlah keyakinan atau agama sebagai pandangan hidup. Tasawuf harus bersumber pada al-Quran dan al-Sunnah. Sedangkan penghayatannya bukan untuk mencari mukasyafah, akan tetapi lebih mengedepankan prinsip tauhid. Sedangkan tujuan pengamalan tasawuf diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia dan membentuk karakter manusia seutuhnya sebagaimana dicontohkan nabi Muhammad. Selain itu, semangat tasawuf juga harus mengedepankan untuk berjihad aktif dalam menghadapi hidup, bukan pasrah dan menyerah atau terpesona hanya keinginan semu - bersatu dengan Tuhan –atau sibuk “ngurusi” Tuhan, sedangkan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial dilupakan begitu saja. Kata Kunci: Tasawuf Berkemajuan, Konsep dan Praktik. Pendahuluan Problematika tasawuf sebenarnya tidak sejernih pengembaraan ruhani yang dialami oleh para sufi. Dalam praktiknya, ia seringkali memunculkan perdebatan baik dikalangan sufi, maupun dari kelompok yang tidak setuju atau tidak tertarik dengan tradisi tasawuf. Perdebatan ini terus berlangsung dalam bentuk wacana sampai saat ini. Ditandai dengan selalu berkembang dan beranekaragamnya konsep, awal munculnya, maupun corak tasawuf. Perbedaan tersebut tidak lain hanya saling melengkapi. Lahirnya tasawuf merupakan sebuah kontinuitas dari diciptakannya manusia. Secara spontanitas, manusia selalu ingin
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Filsafat Islam UIN Walisongo Semarang. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 67 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
mengetahui sesuatu yang gaib, dan ingin mengetahui alam di balik alam semesta. Bahkan berhubungan dengan alam gaib tersebut melalui cara yang benar. Pendapat ini secara umum berdasar pada penetapan yang diakui oleh semua agama. Hal itu disebabkan, semua agama telah mengakui kenabian Adam. Derajat kenabian inilah yang merupakan derajat tertinggi dan mendapat sorotan penting dalam tasawuf, sehingga banyak ragam cara (setiap aliran tasawuf mempunyai konsep dan metode tersendiri) untuk mencapai derajat tersebut. Menurut M. Amin Syukur, terdapat perbedaan pendapat para sarjana, baik dari Barat maupun Islam sendiri tentang lahirnya tasawuf.1 Ada yang mengatakan bahwa tasawuf lahir dari India melalui Persia, berasal dari asketisme Nasrani, murni dari ajaran Islam sendiri, dan berasal dari sumber yang berbeda-beda kemudian menjelma menjadi satu konsep. Masa pembentukan tasawuf terjadi pada abad I dan II H. Pada abad ini belum muncul istilah tasawuf, tasawuf lebih bersifat praktis, yaitu berupa zuhud dalam arti menjauhkan diri dari dunia menuju akhirat yang berakar pada nas agama, dilatarbelakangi oleh sosiopolitik, coraknya bersifat sederhana, dan tujuannya untuk meningkatkan moral. Kemudian pada abad III dan IV H, tasawuf sudah berbeda dengan abad sebelumnya. Pada abad ini, tasawuf sudah bercorak ekstase (fana’) yang menjurus ke persatuan hamba dengan Khalik. Selain itu tasawuf bisa dikatakan sebagai madzhab, bahkan seolah-olah sebagai agama tersendiri. Kemudian pada abad V H, tasawuf mengadakan konsolidasi dengan ditandai kompetisi dan pertarungan antara tasawuf falsafi dengan tasawuf sunni, dan tasawuf sunni mengalami kejayaan, sedangkan tasawuf falsafi tenggelam. Setelah kalah dalam kompetisi pada abad V H, maka pada abad VI H muncullah tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang bercampur dengan ajaran filsafat. Dan pada abad ini pula dan dilanjutkan abad VII H, muncul ordo-ordo tarekat dan berkembang sampai sekarang.2 Munculnya tarekat pada awal abad ini masih banyak dipengaruhi oleh tasawuf falsafi, dikarenakan jarak yang masih dekat dengan suburnya tarekat falsafi pada abad tersebut. Tarekat merupakan peralihan dari tasawuf yang bermula bersifat personal yang mengalami perkembangan dan perluasan tasawuf itu 1
hlm. 19.
M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),
2 M. Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 19-40.
68 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
sendiri. Dengan semakin meluasnya tasawuf, maka banyak pula yang tertarik untuk mempelajarinya yang tentunya dengan orang yang berpengalaman luas terhadap tasawuf, yang nantinya dapat menuntun mereka. Sebab belajar dari seorang guru dengan metode mengajar yang disusun berdasarkan pengalamannya dalam suatu ilmu yang bersifat praktikal, adalah suatu keharusan. Dan di sinilah seorang guru tasawuf memformulasikan sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran seperti inilah yang menjadi ciri khas bagi satu tarekat dan yang membedakan dengan atau dari tarekat lain. Tarekat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan tasawuf atau prakarsanya. Pengalaman tarekat merupakan suatu kepatuhan secara ketat terhadap peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersifat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktik-praktik dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah shalat wajib, dan mempraktikkan riyadhah. Tarekat merupakan suatu jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah, dengan mengamalkan ilmu Tauhid, ilmu Fiqih dan Tasawuf, yang bertujuan tidak lain adalah untuk memperkuat keyakinan terhadap syariat, dan meningkatkan kepatuhan terhadap aturan-aturannya.3 Pada mulanya tarekat dilalui oleh seorang sufi secara individual. Tetapi dalam perjalanannya kemudian tarekat diajarkan kepada orang lain baik secara individual maupun kolektif.4 Dalam perkembangannya, tarekat banyak mengalami kritikan. Mereka menganggap bahwa, tarekat identik dengan kemiskinan. Karena syarat menjadi ahli tarekat seseorang harus menjauhi kemewahan dan gemerlapnya dunia, dalam keadaan demikian ahli tarekat masih dituntut hidup sabar, qona’ah, syukur dan tawakkal. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, mereka berpendapat bahwa praktik tarekat identik dengan bid’ah.5 Tarekat berkembang mulai abad VI H lebih banyak diformulasikan dalam bentuk organisasi atau institusi. Dengan tarekat tersebut, pengamalan yang semula merupakan disiplin spiritual pribadi 3 A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1999), hlm. 6 4 M. Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 49-51 5 Ihsan Ilahi Dhahir, Sejarah Hitam Tasawuf, Alih Bahasa Fadli Bahri, (Jakarta: Darul Falah, 2001), hlm. 44
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 69 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
yang dilaksanakan secara bebas oleh segolongan kaum tertentu, akhirnya menjadi sebuah gerakan masal kaum muslimin yang dilaksanakan dengan ketat. Oleh sebab itu, tarekat dalam bingkai tasawuf yang mulanya disiplin spiritual-moral dan pencerahan spiritual asli berubah menjadi rutinitas permainan spiritual melalui cara-cara auto-hipnotis dan penglihatan-penglihatan gaib. Kondisi seperti ini diperkeruh setelah para syaikh dengan segala otoritasnya memunculkan mitos-mitos yang berakhir pada kepercayaan adanya manusia yang mempunyai kedudukan istimewa, terutama dalam otoritas spiritual, keajaiban-keajaiban, pemakaman-pemakaman, hipnotis, bahkan dukun-dukun palsu dan penindasan terang-terangan terhadap orang muslim dan bodoh. Keadaan ini diperparah lagi dengan munculnya kepercayaan tentang wilayah atau wali berikut keistimewaanya. Dalam kenyataannya kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang kekuasaan wali yang disebarkan melalui jama’ah tarekat. Kekuasaan ini memancar dari seorang wali pemimpin spiritual yang dipercayai dapat mempengaruhi nasib seseorang baik spiritual atau material. Akhirnya terjadi pemujaan-pemujaan, penghormatanpenghormatan kepada makam-makam dan peninggalannya. Maka, lahirlah istilah wisata spiritual ke makam-makan wali dengan tujuan mendapatkan barakahnya. Praktik penghormatan yang berlebihan terhadap wali adalah menjadi pokok ajaran dalam tarekat-tarekat. Dalam realitasnya, muncul kepercayaan tentang wali berikut keramatnya, yang kemudian lahir wisata spiritual ke makam-makam wali untuk “ngalap berkah”, dan terjadilah kultus yang berlebihan sebagaimana yang dikembangkan oleh aliran-aliran tarekat.6 Terlebih lagi, bahwa paham wahdat alwujud sebagai misalnya dibelokkan untuk kepentingan ilmu sihir. Pembelokan paham tersebut, semakin lama tidak semakin tipis dan hilang, akan tetapi semakin tebal dan menguasai keadaan.7 Demikian juga, dzikir dan wirid dari tarekat banyak yang dibelokkan untuk tujuan magis, perdukunan, dan digunakan sebagai sarana untuk mencapai daya tahan yang hebat, tidak terasa sakit, dan kekebalan terhadap senjata tajam.8 Selain itu, ajaran Islam dipahami Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005), hlm. 224-225. Moh. Dammami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 121-122. 8 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung: Penerbit Mizan, 229-232. 6 7
70 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
sebagai keharusan muslim sibuk “ngurusi” Tuhan, padahal Islam diwahyukan agar manusia “ngurusi” diri kemanusiaannya. Artinya, makna Islam sebagai ajaran bagi perdamaian dan keselamatan umat manusia akan berfungsi manakala ajaran itu dipahami dan ditafsir bagi kepentingan kemanusiaan dan bukan hanya bagi kepentingan ketuhanan saja.9 Karena itu, kedekatan kepada Tuhan atau kesalehan seperti selama ini yang cenderung tidak berhubungan dengan prestasi duniawi, patut dipertanyakan dan dikaji ulang. Kedekatan kepada Tuhan sudah semestinya tidak hanya diukur dari kemampuan dan prestasi spiritual yang tidak bisa dievaluasi atau dinilai dengan ukuran baku yang empirik, tetapi perlu dilihat dari kemampuan prestasinya menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan duniawi.10 Gerakan purifikasi atau permunian tasawuf Islam diusahakan untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam, bersih dari pengaruh syirik, khurafat, dan takhayyul. Gerakan ini ditempuh karena selama terkungkung dalam penjajahan, kaum muslim terpecah belah, hubungan salah satu dengan yang lainnya terpisah. Dalam keadaan demikian, penyakit syirik, khurafat, takhayyul berkembang dengan pesatnya, sehingga menghalangi perkembangan pemikiran. Pengalaman keagamaan pun dipengaruhi oleh bid’ah. Kemudian ketika Islam memasuki periode perkembangan dan memanfaatkan kebudayaan (filsafat) Yunani, ajaran Islam mulai dipahami dengan semangat rasionalisme yang berbeda dengan masa awal (generasi salaf al-shalih), di mana Islam dipahami dan diamalkan secara sederhana, murni, utuh, dan penuh semangat. Sejak saat itulah berkembang berbagai macam ilmu dan kebudayaan Islam yang sejalan dengan semangat tersebut, pemahaman dan pengamalan Islam menjadi sangat komplek dan beragam.11 Ibnu Taimiyah adalah salah satu tokoh yang melontarkan kritikkritik tajamnya terhadap tarekat. Sehingga (bagi mereka yang tidak memahami dengan baik) setiap kali mendengarkan kata Ibnu Taimiyah, maka opini dan image yang tercipta adalah bahwa Ibnu Taimiyah seorang tokoh anti tarekat, tarekat dianggap sebagai ajaran yang pesimistik, tidak mau berkompromi dengan dunia, bersosial. Lebih mementingkan menyendiri atau ‘uzlah. 9 Moh. Dammami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 229-232 10 Abdul Munir Mulkhan, Petani Muhammadiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 48-81. 11 Muhammad Amin Syukur, Zuhud di Abad Moderen , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 85
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 71 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Fenomena Tasawuf dalam Kanvas Peradaban Kebebasan berpikir yang terbatas pertama kali muncul dalam kehidupan umat Islam pada abad II H., pada masa hidupnya Imam Abu Hanifah, ketika ia mendorong masyarakat untuk menggunakan akalnya dan memunculkan kelompok Ahl al-Ra’y. Setelah itu, pemikiran tersebut dikembangkan oleh kelompok Mu’tazilah yang menempatkan nalar intelek sebagai hukum untuk semua persoalan, termasuk dalam mengkaji wahyu al-Qur’an. Pada saat itu umat Islam berada di tepi jurang keimanan kepada Allah SWT. Mereka mulai meragukan al-Quran sebagai Kalimat Allah. Kemudian umat Islam diselamatkan dari krisis ini oleh Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Ghazali yang mengkritik kaum Mu’tazilah dan para pemikir bebas lainnya. Penekanannya yang kuat terhadap keimanan buta (taqlid) pada takdir dan Hari Kemudian ini kelak bercampur aduk dengan ajaran sufisme. Ajaran ini memunculkan persoalan lain dengan banyaknya para “orang suci” atau syaikh. Kaum muslim melebih-lebihkan peran para “orang suci” dengan mencari berkah dan mengkultuskan kuburan mereka. Banyak ekses tasawuf dengan jalan tarekat menemui keburukan, sebab orang-orang beruzlah karena taat kepada syaikh, pengaruh syaikh besar sekali, sehingga syaikh merupakan diktator ruhaniah. Sehingga pintu ijtihad tertutup rapat, hal ini menghilangkan daya juang, inisiatif, kreatif, dan timbulnya apatis dan taqlid tanpa amandemen, serta harus menerima problem tanpa mencari solusi. Latar belakang umat Islam menunjukkan berbagai kebekuan dan penyimpangan dalam berpikir dan ajaran-ajaran Islam mulai bergeser dari arah kemurnian ke arah sinkretisme berlebihan, umat Islam terpecah belah dan dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan asing yang telah menghancurkan Islam. Hidup dan kegiatan-kegiatan kerohanian yang bertitik tolak dari ajaran -ajaran sufi, telah bercampur baur antara berbagai filsafat dan berbagai ajaran kaum sempalan orde-orde tarekat. Kebanyakan orang demikian berlebihan percaya kepada waliwali dan berbondong-bondong meminta berkat kepada mereka. Kagum atas cerita-cerita keramat sampai meminta berkat di kuburkubur para wali dan bersemedi. Ekses demikian itu adalah kelanjutan dari ekses yang lahir dari sistem tarekat yang berjenjang naik atau turun menuju Tuhan yang membutuhkan sang wali pemandu para anggota baik kala hidup maupun sudah mati. Tarekat dengan zawiyah-zawiyahnya merupakan dunia tersendiri dan berbagai peraturan dan disiplin yang amat ketat menghantarkan
72 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
orang ke arah hidup eksklusifisme dan ekstrimitas kelompok. Semua itu membawa kelemahan kepada persatuan dan ukhuwah islamiyah di kalangan kaum muslimin dan membawa ajaran Islam semakin kabur, karena semua itu tidak ada dasarnya dalam ajaran Islam yang sejat. Beberapa anomali yang terjadi yang dianggap sudah keluar dari aqidah Islam yaitu antara lain, pertama; pengkultusan kepada imam dan syaikh. Pada masa itu suasana kebanyakan kaum muslim telah terseret kepada aqidah yang rusak dan berbagai amal perbuatan yang berbau syirik. Mereka telah bercampur baur dengan kaum non-muslim, memuliakan orang asing dan meremehkan ulama. Agama yang suci dan aqidah yang murni berada dibalik tabir. Muncullah suatu sikap aqidah yang berlebihan terhadap para wali dan orang-orang shalih sebagaimana ulah kaum Yahudi dan Nasrani. Kemudian muncullah aqidah tawassuth dan taqarrub dengan para wali yang berlebihan (Abul Hasan Ali al-Nadawi., 1995: 23). Menurut mereka, bahwa wali itu lebih utama dari pada nabi, penutup para wali lebih utama dari pada penutup para nabi. Sebab nabi itu berhubungan dengan manusia, sedangkan wali berhubungan dengan Tuhan.12 Aqidah dan tradisi syirik telah berkembang pesat di kalangan muslim melalui pembauran mereka dengan non-muslim, dan orangorang ‘Ajam, serta pengaruh pemerintahan golongan Bathiniyah dan Isma’iliyah. Maka tersebarlah ajaran-ajaran kebodohan dan kesesatan dari kalangan sufi yang mewarnai berbagai aktivitas mereka. Pada masa itu umat Islam mengkultuskan para Imam, para syaikh, para wali, dan para orang shalih di antara mereka, berupa aqidah-aqidah yang sesat. Mereka membawa pemikiran syirik sebagaimana ajaran Yahudi dan Nasrani terhadap Uzair dan Isa al-Masih, serta pembesar-pembesar dan pendeta-pendetanya. Masing-masing berkerumunan di sekitar kuburan-kuburan para syaikh dan wali mereka. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa setiap rizki itu tidak akan dilimpahkan selama syaikhnya tidak menghendakinya. Mereka juga menyembelih kurban atas nama syaikhnya. Ada juga yang mengatakan syaikhnya lebih mulia dibanding nabi dan rasul. Mereka menjadikan imam dan syaikh sebagai pengatur atau pengendali alam yang meliputi makhluk dan rizki, penopang hajat-hajat, dan pembuka berbagai kesusahan. Kedua; pengkultusan terhadap kuburan-kuburan imam dan syaikh. Model pola pikir jahiliyah ini telah tumbuh subur di kalangan kaum muslim, sampai-sampai banyak dari kalangan ulama yang tidak 12
120
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 73 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
lagi menganggap adanya bahaya dalam ber-istighatsah kepada selain Allah. Mereka menjadikan kubur-kubur para nabi dan orang-orang shalih sebagai masjid. Di antara mereka ada yang memohon pertolongan dan perlindungan kepada para wali dan syaikh, sambil memperpanjang doa dan merendahkan diri kepadanya. Semua itu telah merata dan tersiar di kalangan mereka, sebagaimana meratanya tradisi-tradisi membangun tempat sujud di kubu-kubur mereka, serta dilaksanakannya berbagai macam perayaan tahun demi tahun. Ada segolongan mereka shalat kepada orang mati, dan salah satu dari mereka berdoa kepada orang mati. Ia bersujud kepada kuburannya. Ada juga di antara mereka melakukan shalat menghadap kuburan dan membelakangi Ka’bah seraya berkata “Kubur adalah kiblat yang khusus, sedangkan Ka’bah adalah kiblat yang umum.” Pernyataan ini dikatakan oleh mayoritas mereka yang abid dan zuhud. Ia adalah syaikh yang diikuti dengan harapan sama dengan itba’ syaikhnya. Sementara pihak lain dari sebagian kecil syaikh yang diikuti memiliki kebenaran dan kesungguhan dalam beribadah dan berzuhud. Ia menyuruh orang yang hendak bertobat pergi ke kubur-kubur syaikh, kemudian beri’tikaf di atasnya. Ada yang mengatakan salah satu dari mereka bahwa, “Jika kamu menziarahi kubur syaikh sebanyak dua atau tiga kali, maka sama dengan haji.” Di antara mereka ada yang menjadikan tempat kubur syaikh untuk menggantikan kedudukan Arafah. Mereka menuju ke sana pada musim haji. Mereka mempercayainya sebagaimana orang-orang Islam mengakui Arafah. Mereka memprioritaskan pergi ke masyhad dan kuburan yang diagungkan dari pada menunaikan haji ke Baitullah. Mereka enggan melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Mereka beranggapan bahwa berziarah kepada imam-imam dan para syaikh mereka lebih utama dari pada menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Mereka juga enggan melaksanakan shalat lima waktu di masjid. Mereka menganggap doa syaikh mereka lebih utama dari pada melaksanakan shalat lima waktu di masjid. Kemudian muncul kepercayaan tentang wilayah atau wali berikut keistimewaanya. Dalam kenyataannya kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep yang lebih luas tentang kekuasaan wali yang disebarkan melalui jama’ah tarekat. Kekuasaan ini memancar dari seorang wali pemimpin spiritual yang dipercayai dapat mempengaruhi nasib seseorang baik spiritual maupun material. Akhirnya terjadi pemujaan-pemujaan, penghormatan-penghormatan kepada makammakam dan peninggalannya. Maka, lahirlah istilah wisata spiritual ke
74 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
makam-makan wali dengan tujuan mendapatkan barakahnya.13 Sementara yang lain telah menjadikan orang yang sudah mati sama dengan kedudukan Tuhan dan syaikh yang masih hidup menggantungkan kepadanya seperti nabi. Dari yang mati itu ia meminta hajat dan tersingkapnya segala kesusahan. Demikian juga para ahli tasawuf juga telah pengaruh filsafat ketimuran yang datang dari Yunani dan India. Filsafat tersebut telah bercampur aduk dengan aqidah Islam tanpa adanya saringan. Sebagian cabang aliran Ahmadiyah misalnya yang dalam akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari kaidah dasarnya. Ajaran-ajaran peletaknya sendiri serta lebih condongnya kepada tokoh yang sebenarnya tidak begitu menguasai ilmu syariat dan aqidah Islamiyah. Mereka melakukan amalan-amalan ritual yang bersifat insidental dan itu akan dapat mempengaruhi jiwa orang-orang Mongol dan bangsa Tartar serta membuat mereka suka terhadap Islam. Ada juga fitnah yang berkembang dan tersiar di kalangan masyarakat, bahwa masyahid dan kubur-kubur dapat memberikan kesembuhan bagi orang yang sakit sudah cukup lama sebagai bukti dikabulkannya doa di sisi masyahid dan kubur-kubur tersebut. Banyak orang yang bercerita tentang pengalaman dan penyaksiannya secara perorangan. Dan ini terus berkembang, sehingga timbul keyakinan pada masyarakat atas kebenaran cerita tersebut. Adapun yang ketiga; masalah tawassul. Bertawassul kepada Nabi Muhammad saw, para imam dan syaikh itu melanggar konsekuensi terhadap ajaran Islam, bahwa seseorang baik laki-laki atau perempuan tidak boleh menyembah, memanjatkan doa, meminta bantuan dan menyerahkan diri kepada selain Allah. Jika seseorang berdoa kepada Malaikat, Nabi, imam, syaikh atau meminta bantuan kepadanya, jelas ini merupakan perbuatan musyrik. Tidak boleh seorang muslim mengatakan, “Wahai Jibril”, atau “Wahai Ibrahim atau Wahai Muhammad”, ampunilah aku, berilah aku rizki, tolonglah aku, atau berilah aku kekayaan, jauhkan aku dari musuh. Semuanya itu merupakan kekhususan-kekhususan ilahiyah. Singkatnya bertawassul kepada Nabi saw memang baik, akan tetapi memanjatkan doa dan meminta pertolongan kepada beliau adalah haram. Ada pula paham tentang “orang penengah” (penyambung kebutuhan) antara Allah dan manusia. Hal ini telah telah banyak melahirkan banyak bid’ah yang dapat membawa umat Islam kepada kemusyrikan. 13
153.
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 75 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Keempat; penolakan terhadap paham wahdal al-wujud yang
dipelopori oleh Ibnu Arabi. Banyak pengikut tarekat yang mengikuti paham tersebut. Paham ini dipandang menyeleweng dari ajaran Islam. Pembuktian dan ilham-ilhamnya sama sekali bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh para nabi, bahkan bertentangan dengan ajaran yang dibawa para nabi. Ajarannya yang terkenal bahwa, Khaliq itu adalah makhluk, dan makhluk itu adalah Khaliq. Wujud makhluk adalah wujud Khaliq. Mereka juga sangat mengagungkan Fir’aun yang dianggap telah mencapai puncak otoritasnya, dialah pemilik kurun waktu, sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an Fir’aun berkata, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.” (al-Nazi’at: 24). Ibnu Taimiyah menentang ajaran hulul dan ittihad. Ajaran tersebut juga merusak aqidah muslim. Dan yang meyakini dan mengamalkan ajaran tersebut adalah kafir. Dan selamanya Allah tidak mungklin bersatu, menyatu, ataupun menyerupai dengan makhluk. Karena ajaran tersebut berasal dari Nasrani.14 Konsep rabithah dalam ajaran tarekat juga perlu perhatian khusus di mana tauhid bisa berunah menjadi syirik. Konsep rabithah tersebut yaitu menghadirkan rupa syaikh ketika hendak berdzikir merupakan kegiatan atau ajaran yang rancu dan bisa menyebabkan syirik. Misalnya yang dijelaskan oleh Sri Mulyati dkk, dalam suatu ajaran tarekat ada enam tata cara melakukan rabithah, yaitu: 1. Menghadirkan syaikh di depan mata dengan sempurna. 2. Membayangkan syaikh di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada ruhaniah sampai terjadi sesuatu yang gaib. Apabila ruhaniah mursyid yang dijadikan rabithah itu lenyap, maka murid dapat menghadapi peristiwa yang terjadi. Tetapi jika peristiwa itu lenyap, maka murid harus berhubungan dengan rohaniah syaikh kembali, sampai peristiwa yang dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu muncul kembali. Demikianlah dilakukan murid berulang kali sampai ia fana’ dan menyaksikan peristiwa gaib tanda kebesaran Allah. 3. Menghayalkan rupa syaikh di tengah-tengah dahi. Memandang rabithah di tengah-tengah dahi itu menurut kalangan tarekat lebih kuat dapat menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah. 4. Menghadirkan rupa syaikh di tengah-tengah hati. 14 Ahmad Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah , juz XI, tahqiq Musthafa Abd Qadir Atha’, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), hlm. 60.
76 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
5. Menghayalkan rupa syaikh di kening, kemudian menurunkannya ke hati. Menghadirkan rupa syaikh dalam bentuk ini agak sulit melakukannya, tetapi lebih berkesan. 6. Menafikan dirinya dan menetapkan keberadaan syaikh.15 Sementara ada juga ajaran tarekat yang menyimpang dari ajaran aslinya, disebabkan karena akulturasi dengan budaya lokal. Misalnya pembaiatan yang dilakukan oleh Haji Jamaluddin. Dalam upacara pembaiatan itu mula-mula murid harus melaksanakan mandi suci di malam hari, dan dilanjutkan dengan tobat. Kemudian tubuh sang murid dibalut dengan kain kafan, dan ia tidur sebagaimana posisi mayat sampai dia mengalami kejadian yang gaib.16 Selain itu, ada yang terang-terangan memadukan antara ajaran tarekat dengan ajaran mistik tradisional, hipnotis, teosofi, seperti yang dilakukan Kadirun Yahya. Mereka mengaitkan wirid-wirid tarekat dengan magis, untuk kesaktian dan kekebalan tubuh. Sehingga perbedaan antara ajaran tarekat, perdukunan, dan ilmu kesaktian sangat tipis. Serta ada juga dalam tarekat, setelah berdzikir dan mengalami ekstase, para murid menyayat tubuhnya dengan pisau, menusuk tubuh mereka dengan paku dan besi runcing untuk membuktikan bahwa mereka semua sama sekali tak terluka. Ada pula yang mengamalkan dzikir diam yang digabung dengan latihan pernafasan dan wirid, digunakan sebagai sarana untuk mencapai daya tahan yang hebat, kekebalan terhadap senjata tajam, bahkan peluru.17 Selain itu menurut Hamka, paham wahdat al-wujud telah dibelokkan untuk kepentingan ilmu sihir. Pembelokan ke arah kepentingan ilmu sihir ini makin menhgebat gejalanya, jika didaerah Minangkabau terjadi kerusuhan sosial, seperti ketika terjadi pembangkangan terhadap peraturan belasting di Minangkabau yang pernah diberlakukan penjajah Belanda pada tahun 1908. praktikpraktik kesufian ini nampaknya terus meluas ke dalam masyarakat dan cenderung menjadi keyakinan baru. Artinya, ilmu sihir yang dihasilkan dari pembelokan paham itu semakin lama semakin kental dan menguasai keadaan.18 Sri Mulyati, dkk, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 111-112. 16 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 214. 17 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 214-216. 18 Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: 15
Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm. 121.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 77 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Dari anomali-anomali di atas, secara faktual bahwa kepercayaan tersebut adalah bagian dari konsep dan praktik yang disebarkan melalui jamaah tarekat.19 Rekonstruksi Konsep dan Praktik Tasawuf Dilihat dari segi konsep, rekonstruksi tasawuf ditandai kecenderungan upaya menghidupkan kembali Islam ortodoks dan aktifismenya yang puritan. Dengan dalih, dalam konsep tentang tasawuf harus bersumber kapada al-Quran dan al-Sunnah. Keduanya juga memandang tasawuf sebagai ijtihad dan ikhtiar, bukan sebagai panutan ataupun keyakinan yang harus diyakini secara mutlak, tasawuf bukan agama. Maka, suatu kewajaran dalam berijtihad dan berikhtiar mengalami kesalahan. Jadi, apabila tasawuf sebagai ijtihad dan ikhtiar, maka sudah sewajarnyalah timbul berbagai macam aliran tasawuf yang sesuai dengan ijtihad dan ikhtiar masing-masing orang. Karena setiap satu orang yang berijtihad, belum tentu sama dengan hasil ijtihad orang lain. Oleh karena itu, tasawuf yang disyariatkan adalah tasawuf yang bertumpu kepada kedua sumber tersebut, yaitu al-Quran dan alSunnah. Adapun pokok pangkal tasawuf yang sebenarnya adalah kembali kepada ajaran tauhid, yaitu ke-Esaan Tuhan. Artinya, ajaran yang dibawa dan dipraktikkan oleh para nabi yang disempurnakan oleh nabi Muhammad. Sebagaimana juga yang dilakukan oleh para sahabat. Sedangkan tujuan tasawuf adalah diorientasikan pada tujuan menghayati perintah agama, atau perintah Allah, agar dapat melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Kemudian dilihat dari praktik, bahwa pada hakikatnya praktik tasawuf atau yang diidentikkan dengan tarekat adalah hidup zuhud dan tekun beribadah. Hakikat tersebut sebenarnya sudah terjadi pada masa nabi Muhammad dan para sahabatnya. Secara normatif, tasawuf harus mempunyai dasar yang kuat dalam al-Quran dan al-Sunnah, secara historis juga memiliki panutan baik dari kalangan sahabat maupun sesudahnya, dan secara aplikatif dapat dikatakan sebagai perpanjangan ajaran Islam itu sendiri, terutama yang berkaitan dengan dimensi moral sebagai substansi Islam. Adapun dalam konsep amaliah batin, maqamat dan ahwal dipandang sebagai moralitas Islam yang wajib dilaksanakan oleh siapapun sebagai suatu kewajiban untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan derajat kemanusiaan. Bukan sebagai jalan penyucian jiwa dan sebagai suatu tingkatan di mana 19
153.
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago: The University of Chicago Press, 1979), hlm.
78 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep dan Praktik Tasawuf Berkemajuan
dengan tujuan akhir bersatu dengan Tuhan, mukasyafah, fana’, atau mencari keajaiban yang berupa khariq al-adat, ataupun mencari sesuatu yang bersifat magis, sebagaimana dipraktikkan oleh kebanyakan aliran tarekat. Juga tujuan pengamalan tasawuf diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia. Sedangkan refleksi pengamalan tarekat kedua pemikir bercorak sosio-religius, jalan tarekatnya lewat sikap zuhud yang dapat dilaksanakan dalam peribadatan resmi, bukan untuk menyepi dan menjauh dari kehidupan normal. Simpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diambil simpulan bahwa tasawuf dipahami sebagai ijtihad dan ikhtiar yang tidak luput dari kesalahan. Tasawuf bukanlah keyakinan atau agama sebagai pandangan hidup. Tasawuf harus bersumber pada al-Qur’an dan alSunnah. Sedangkan penghayatannya bukan untuk mencari mukasyafah, akan tetapi lebih mengedepankan prinsip tauhid. Sedangkan tujuan pengamalan tasawuf diarahkan bukan saja untuk membentuk kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial dengan menanamkan kembali sikap positif terhadap kehidupan dunia dan membentuk karakter manusia seutuhnya sebagaimana yang dicontohkan nabi Muhammad. Selain itu, semangat tasawuf juga harus mengedepankan untuk berjihad aktif dalam menghadapi hidup, bukan pasrah dan menyerah atau terpesona hanya keinginan semu (bersatu dengan Tuhan) atau sibuk “ngurusi” Tuhan, sedangkan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial dilupakan begitu saja. Tentu saja tulisan ini sangat terbatas pada hal-hal yang sudah dibatasi. Banyak persoalan yang masih terlewatkan dalam studi ini. Dan penulis sadar akan banyaknya kekurangan dalam menyelesaikan penelitian ini, maka saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat penulis harapkan. Wallahu a’lam. Daftar Pustaka Aceh,
Abubakar., Pengantar Ramadhani, 1989.
Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo:
------, Abu bakar., Pengantar Ilmu Tarekat: Kajian Historis Tentang Mistik, Solo: Ramadhani, 1996. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 79 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Suparman Syukur
Damami, Mohammad., Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000. Dhahir, Ihsan Ilahi., Sejarah Hitam Tasawuf, Alih Bahasa Fadli Bahri, Jakarta: Darul Falah, 2001. Djaelani, Abdul Qadir., Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Hamka., Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 2005. Ibnu Taimiyah, Ahmad., Majmu' Fatawa Syaikh al-Islam Ahmad Ibnu Taimiyah, juz XI, tahqiq Musthafa Abd Qadir Atha’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2000. Jamil, M. Muhsin., Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. dkk, Sri., Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006.
Mulyati
Nasution, Harun., Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997. Rahman, Fazlur., Islam, Chicago: The University of Chicago Press, 1979. ------------------., Membuka Pintu Ijtihad, Alih Bahasa Anas Muhyiddin, Bandung: Pustaka, 1984. Said, A. Fuad., Hakikat Tarikat Naqsyabandiah, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1999. Siroj, Said Aqil., Tasawuf Sebagai Kritik Sosial: Mengedepankan Islam Sebagai Inspirasi Bukan Aspirasi, Bandung: Mizan, 2006. Sujuthi, Mahmud., Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah Jombang: Hubungan Agama, Negara, dan Masyarakat, Yogyakarta: Galang Press, 2005. Syukur, Amin., Zuhud di Abad Moderen, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997. van Bruinessen, Martin., Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Penerbit Mizan, 1996.
80 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
MAKNA KHALIFAH DAN ‘ABID SEBAGAI DESTINASI MANUSIA DI BUMI (Aplikasi Hermenetika Gadamer) Rahmat Setiawan
STIT Muh. Kendal
[email protected] Abstrak: Aplikasi teori hermenetik Gadamer terhadap konsep khalifah dan abid diperlukan untuk menyuguhkan pemahaman yang segar dan fungsional sesuai elan dasar Islam. Makna khalifah diaplikasikan terhadap Q.S. al-Baqarah: 30, bahwa kata khalifah pada ayat tersebut yang dimaksud adalah Nabi Muhammad kemudian diteruskan oleh umatnya, bukan Nabi Adam. Sedangkan tugas manusia sebagai khalifah adalah mensejahterakan, melestarikan, dan memanfaatkan bumi beserta isinya. Sedangkan Q.S. al-Dzariyat: 56, bahwa selain sebagai khalifah manusia juga posisinya sebagai ‘abid yang harus beribadah kepada Allah. Ibadah disini tidak ada kaitannya dengan manusia. Ketika manusia posisinya sebagai ‘abid, maka manusia harus sebagai hamba Allah yang harus menyembah-Nya dengan sebaik-baiknya. Kata Kunci: Hermenetika Gadamer, Khalifah, Abid. Pendahuluan Istilah modernisme dimaksudkan sebagai kata yang berarti fase paling mutakhir dari sejarah dunia yang ditandai oleh kepercyaan akan sain (ilmu pengetahuan), perencanaan, sekularisasi, dan kemajuan. Istilah ini diberi pengertian oleh Samuel Hantington sebagaimana yang dikutip Qodri Azizy yaitu penggantian jumlah besar dari hal-hal yang tradisional, bersifat keagamaan, kekeluargaan, dan kekuasaan politik atas dasar etnik dengan satu kekuasan nasional dan sekuler.1 Penulis adalah Dosen Tetap STIT Muhammadiyah Kendal, Ketua Lembaga Penjamin Mutu (LPM) pada instansi yang sama. Saat ini sedang menempuh program Doktoral Beasiswa Diktis 2015 di UIN Walisongo Semarang, dengan konsentrasi Etika Islam/Tasawuf. 1 A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, cet. Ke-3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 6.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 81 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Kepercayaan manusia terhadap sain yang begitu tinggi tersebut yang pada akhirnya mengalami kejenuhan, sehingga menimbulkan kesadaran akan keringnya spiritual. Perlu diingat kembali bahwa manusia terdiri dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani, sebagaimana fungsi manusia dijelaskan oleh al-Quran yaitu sebagai Khalifah fi alArdl dan ‘Abid. Itu adalah modal dasar bagi manusia yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Manusia tidak bisa hidup nyaman ketika mereka melaksanakan hanya sebagi khalifah saja atau sebagai ‘abid saja. Kedua fungsi tersebut harus seimbang dalam mencapai kehidupan yang ideal. Dan ini adalah pesan Allah yang disebutkan dalam al-Quran. Namun dalam kenyataannya, bahwa manusia di era modern hanyalah menjalankan satu fungsinya saja yaitu sebagai khalifah, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa di antara krisis-krisis multi dimensi yang melanda dan bangsa ini, krisis akhlak merupkan krisis utamnya. Berbagai persoalan terjadi akibat ulah tangan manusia yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai akhlak. Karena itu, pembenahan dan recovery akhlak bangsa ini merupakan suatu keniscayaan. Lalu yang menjadi pertanyaan kemanakah manusia akan lari dari kegelapan yang ditawarkan oleh modernisme yang bertumpu pada sain? Untuk itu, perlu adanya review dan reinterpretasi tentang ayatayat yang berkenaan dengan destinasi manusia di muka bumi. Manusia Sebagai Khalifah Pada dasarnya manusia telah berusaha dan mencurhkan perhatiannya yang sangat besar untuk mengetahui dan memahami dirinya, walaupun manusia memiliki perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa. Tapi manusia hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari dirinya sendiri. Manusia tidak mengetahui dirinya secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan itupun pada hakikatnya dapat dibagi lagi menurut tata cara pribadi. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mereka yang mempelajari tetang manusia hingga kini belum terjawab dengan memuaskan.2 Al-Quran memakai tiga kata untuk menunjuk kepada manusia, yaitu kata yang menggunakan huruf alif, nun, dan sin (ins, insan, nas, atau unas), menggunakan kata basyar, dan menggunakan kata Bani Adam atau Dzurriyat Adam. Kata basyar terambil dari kata yang 2 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-15, (Bandung: Penerbit Mizan, 2004), hlm. 227.
82 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Kemudian lahir kata basyarah yang artinya kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan tampak beda dengan kulit binatang. Sedangkan kata insan terambil darai kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Al-Quran menggunakan kata insan dihadapkan dengan kata jin atau jan, karena jin adalah makhluk halus yang tidak tampak. Kata insan digunakan al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.3 Sedangkan kelebihan manusia dari makhluk lainnya terletak pada kemampuan akal dan daya psikologisnya. Dengan kemampuan akalnya, manusia mampu mengatasi masalah dan menciptakan berbagai peralatan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian posisi manusia di bumi ini dapat bermanfaat kepada manusia lain dan lingkungannya. Sebagaimana dijelaskan al-Quran:
.ﻟﻘﺪ ﺧﻠﻘﻨﺎ اﻹﻧﺴﺎن ﰱ أﺣﺴﻦ ﺗﻘﻮﱘ
“Sungguh telah Kami cipta manusia dalam sosok paling canggih.4
Di mana dalam al-Quran tersebut manusia mendapat penilaian terbaik dari Allah dibanding makhluk lain.5 Oleh karena itu manusia diberi kepercayaan Allah untuk mewakili-Nya mengurus dunia. Allah memberi kebijakan kepada manusia berupa evolusi manusia sebagi penduduk bumi untuk melaksanakan segala fungsinya. Fungsi manusia dilahirkan di alam semesta ini untuk menyandang tugas dan kewajiban yang berat berupa amanat. Allah berfirman:
إﻧّﺎ ﻋﺮﺿﻨﺎ اﻷﻣﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ اﻟﺴﻤﻮات واﻷرض واﳉﺒﺎل ﻓﺄﺑﲔ أن ﳛﻤﻠﻨﻬﺎ وأﺷﻔﻘﻦ ﻣﻨﻬﺎ وﲪﻠﻬﺎ .اﻹﻧﺴﺎن إﻧّﻪ ﻛﺎن ﻇﻠﻮﻣﺎ ﺟﻬﻮﻻ “Kami telah tawarkan amanah kepada langit dan bumi, kepada gunung-gunung, mereka menolak untuk memikulnya, mereka takut untuk tidak bisa membawanya, kemudian manusialah yang mengembannya. Sungguh manusia saat itu betul-betul zalim dan bodoh.6
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-15, (Bandung: Penerbit Mizan, 2004), hlm. 278-280. 4 Q.S. at-Tin: 4, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 3
hlm. 1114. 5 Bustanuddin Agus, al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 20. 6 Q.S. al-Ahzab: 72, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 754. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 83 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Al-Mawardi, dalam an-Nukat wa al-`Uyun, menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: 1. Taat dan menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Pendapat Abu al-‘Aliyah. 2. Undang-undang dan syariat Allah yang ditujukan kepada hambaNya. Pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, dan Ibnu Jabir. 3. Menjaga amanat farjinya baik laki-laki maupun perempuan. Pendapat Ubay 4. Mempercayai dengan sesama manusia dan mempercayai Ke Mahabenaran Allah dan kebenaran Rosul-Nya. Pendapat as-Saddy. 5. Mengingatkan manusia supaya tidak berpaling dari amanat yang diembannya sebagaimana Alah menitipkan berupa amanat kepada langit, bumi, dan gunung. Pendapat sebagian Mutakallimin.7 Maka dari itu, Allah mempercayakan manusia untuk mengurus, mengelola, dan memakmurkan bumi, sehingga manusia dikatakan khalifah fi al-ardl yang disebutkan al-Quran:
ﻗﺎﻟﻮا أﲡﻌﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻳﻔﺴﺪ ﻓﻴﻬﺎ.إﱐ ﺟﺎﻋﻞ ﰱ اﻷرض ﺧﻠﻴﻔﺔ ّ وإذ ﻗﺎل رﺑّﻚ ﻟﻠﻤﻼﺋﻜﺔ .إﱐ أﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن ّ وﻳﺴﻔﻚ اﻟﺪﻣﺎء وﳓﻦ ﻧﺴﺒّﺢ ﲝﻤﺪك وﻧﻘﺪّس ﻟﻚ ﻗﺎل “Perhatikanlah Tuhanmu sewaktu berfirman kepada para malaikat, Aku akan menciptakan khalifah di bumi.” Mereka bertanya keheranan, “mengapa Engkau akan menciptakan makhluk yang akan selalu menimbulkan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi, sementara kami senantiasa bertasbih dan mensucikan Engkau?” Allah berfirman, “Aku Maha Tahu akan hal-hal yang tidak kamu ketahui.”8 Kata khalifah pada mulanya berarti yang menggantikan, atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya. Berdasarkan arti tersebut, maka dapat dipahami bahwa khalifah maksudnya yang menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya, tapi bukan karena Allah tidak mampu atau menjadikan manusia berkedudukan sebagai Tuhan, namun karena Allah bermaksud menguji manusia dan memberinya Abi Hasan Ali bi Muhammad bin Hubaib al-Mawardy al-Bashry, an-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardy, jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt), hlm. 7
428-429. 8 Q.S. al-Baqarah: 30, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 9.
84 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
penghormatan. Ada yang memahami khalifah dalam arti yang menggantikan makhluk lain dalam menghuni dan mengurus bumi ini.9 Dalam kitab Tafsir Khozin, Imam ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady menerangkan bahwa yang dimaksud khalifah di situ adalah Adam, dan ia dipercaya Allah untuk mewakili-Nya dibumi dalam rangka menegakkan dan menjalankan syariat-Nya.10 Pemahaman dari ayat tersebut menunjukkan bahwa kekhalifahan terdiri dari wewenang yang dianugerahkan Allah; makhluk yang diberi wewenang, yakni Adam dan anak cucunya. Oleh karena itu, manusia harus berusaha untuk memperjuangkan moral supaya terhindar dari godaan makhluk yang anti manusia, karena manusia di antara ciptaan Tuhan, manusia mempunyai posisi yang unik; manusia diberi kebebasan berkehendak agar manusia dapat menyempurnakan misinya sebagai khalifah Allah di bumi. Misi inilah (perjuangan untuk menciptakan sebuah tata sosial yang bermoral di bumi) sebagimana yang telah dikatakan al-Quran sebagai amanah di atas. Perlu diingat, bahwa manusia harus menyadari bahwasanya manusia tidak diciptakan sekedar permainan, tetapi untuk melaksanakan sebuah tugas dan harus mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalannya dalam merealisasikan tugasnya. Maka dari itu, kekhalifahan mengharuskan manusia untuk melaksanakan tugasnya sesuai petunjuk Allah yang memberi tugas dan wewenang. Dan apabila keputusan yang diambil manusia tidak sesuai kehendakNya, maka manusia tersebut melanggar terhadap makna dan tugas kekhalifahan. Manusia Sebagai ‘Abid Posisi manusia di alam atau kehidupan dunia ini, juga merupakan tujuan penciptaan manusia oleh Allah SWT, adalah sebagai hamba (‘abid). Sebagai hamba, tugas utama manusia adalah mengabdi (beribadah) kepada Sang Khaliq; menaati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ibadah berakar kata ‘abada yang artinya mengabdikan diri, menghambakan diri. Hubungan manusia dengan Allah SWT bagaikan hubungan seorang hamba (budak) dengan tuannya. Si hamba harus senantiasa patuh, tunduk, dan taat atas segala perintah tuannya. Demikianlah, 9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, volume I, cet. Ke-2, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), hlm. 142. 10 ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady, Tafsir al-Khozin, jilid I, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), hlm. 35.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 85 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
karena posisinya sebagai ‘abid, kewajiban manusia di bumi ini adalah beribadah kepada Allah dengan ikhlas sepenuh hati. Seorang Muslim harus memahami benar posisinnya di hadapan Allah sebagai ‘abid ini. Fungsi ‘abid ini adalah untuk berakhlak karimah secara vertikal terhadap Sang Pencipta dalam bentuk ibadah. Sebagaimana al-Quran menjelaskan:
.وﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﳉ ّﻦ واﻹﻧﺲ إﻻّ ﻟﻴﻌﺒﺪون
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka menyembah-Ku.11 Adapun mengabdikan segala jiwa dan raga kepada Pencipta merupakan prinsip hidup yang hakiki bagi seorang mukmin-muslim, sehingga akan tercermin pada perilaku sehari-hari yang senantiasa mengabdikan diri di atas segala-galanya. Ibadah di sini menurut Ibu Anas dalam kitab Tafsir al-Mawardy adalah segala ucapan atau perbuatan yang dicintai dan diridloi Allah baik yang lahir maupun yang batin.12 Sehingga perbuatan baik, amal shaleh yang terwujud dalam fungsi manusia selaku khalifah dan segala aktifitasnya terhadap sesamanya maupun lingkungannya, akan mempunyai nilai ibadah bila dilakukan dengan landasan iman untuk memperoleh keridloan Allah. Seperti berdagang, bertani, nelayan, pegawai, menuntut ilmu, dan lain-lain, dalam rangka pengelolaan dan memakmurkan bumi bila dilakukan dengan niat ibadah, maka bila manusia melakukannya seperti itu, tetunya manusia telah melaksanakan kedua fungsinya sekaligus yaitu khalifah dan ‘abid.13 Teori Hermenetik Gadamer Richard E. Palmer dalam bukunya menyimpulkan enam defenisi hermeneutika, keenam definisi tersebut merupakan urutan fase sejarah yang menunjuk suatu peristiwa atau pendekatan penting dalam persoalan interpretasi yang berkenaan dengan hermeneutika. “Sejak awal kemunculannya, hermeneutika menunjuk pada ilmu interpretasi, khususnya prinsip-prinsip eksegesis tekstual, tetapi bidang 11 Q.S. al-Dzariat: 56, Qur’an Karim dan Terjemahnya, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 941. 12 Abi Hasan Ali bi Muhammad bin Hubaib al-Mawardy al-Bashry, an-Nukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardy., hlm. 375. 13 Khaelany HD, Islam Kependudukan dan Lingkungan Hidup , cet. Ke-1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996), hlm. 37-38.
86 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
hermeneutika telah ditafsirkan (secara kronologisnya) sebagai: (1) teori eksegesis Bibel, (2) metodologi filologi umum, (3) ilmu pemahaman linguistic, (4) fondasi metodologis geisteswissenschaften, (5) fenomenologi esistensi dan pemahaman eksistensial, dan (6) sitem interpretasi, baik recollektif maupun iconoclastic, yang digunakan manusia untuk meraik makna di balik mitos dan symbol.”14 Definisi yang disebut Palmer tersebut mewakili berbagai dimensi yang sering disoroti dalam hermeneutika. Setiap definisi membawa nuansa yang berbeda, namun dapat dipertanggungjawabkan dari setiap penafsiran terutama penafsiran teks, defenisi tersebut dapat disebut pendekatan Bibel, filologis, saintifik, eksistensial, dan kultural. Setiap defenisi merepresentasikan sudut pandang dari mana hermeneutika dilihat, melahirkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda namun memberi ruang bagi tindakan interpretasi, khususnya teks. Hermenetik bagi Gadamer bukan sebuah metode, karena pemahaman yang ditekankannya adalah berupa ontologis, bukan metodologis. Baginya, kebenaran menerangi metode-metode individual, sedangkan metode justru menghambat kebenaran.15 Untuk mencapai kebenaran, kita harus menggunakan dialektika, bukan metode, sebab dalam proses dialektis kesempatan dalam mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya dibandingkan dengan dalam proses metodis.16 Sesuai dengan pemahaman dasar hermenetik Gadamer, maka selanjutnya hermenetika Gadamer secara singkat akan dibahas yang menurut penulis disebut sebagai inti pemikirannya adalah sebagai berikut: 1. Bahasa Bahasa dipahami sebagai yang menunjuk pada pertumbuhan mereka secara historis, dengan kesejarahan makna-maknanya, tata bahasa dan sintaksisnya, sehingga dengan demikian bahasa muncul sebagai bentuk variatif logika pengalaman, hakikat, termasuk pengalaman historis. Bahasa juga mencakup banyak aspek fundamental, bukan sekedar system relasi pemahaman subyek-obyek, 14 Richard E. Palmer, Hermenetika: Teori Baru Mengenai Interpretasi , cet. Ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 38. 15 Edi Mulyono dkk, Belajar Hermenetika: Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, cet. Ke-2, (Yogyakarta: IRCisoD, 2013), hlm. 147. 16 Edi Mulyono dkk, Belajar Hermenetika: Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, cet. Ke-2, (Yogyakarta: IRCisoD, 2013), hlm. 147.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 87 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
manusia-benda, tetapi bahkan pemikiran dan pengalaman hidupnya yang terkristalisir dalam tradisi. Intinya adalah bagi Gadamer bahasalah yang mampu menguak atau menyingkap wujud. Sedangkan aplikasi bahasa sebagai pengalaman dan tradisi menurut Gadamer, adalah memberikan implikasi besar bagi proses pemahaman hermenetis melalui dialog tanya jawab antara penafsir dengan teks.17 2. Historically effected consciousness (kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah). Dalam memahami teks, seseorang baik secara sadar maupun tidak sadar, sejarah mempunyai peran penting dalam memahami teks. Seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermenetik tertentu yang melingkupinya, baik berupa tradisi, kultur, maupun pengalaman hidup. Seorang penafsir harus bisa mengatasi keterpengaruhan tersebut. Seorang penafsir harus memahami dan mengenali bahwa setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak, pengaruh dari effective history sangat berperan. Penafsir harus mampu mengatasi subyektifitasnya ketika dia menafsirkan sebuah teks. 3. Pre-understanding (pra-pemahaman). Pra-pemahaman menurut Gadamer bagi seorang penafsir harus ada agar penafsir bisa mendialogkan dengan isi teks yang ditafsirkan. Tanpa prapemahaman ini seseorang tidak berhasil memahami teks dengan baik. Walaupun, prapemahaman ini terbuka untuk dikritisi, direhabilitasi, dan dikoreksi oleh penafsir ketika Gadamer sadar bahwa prapemahamannya itu tidak sesuai apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsirkan. Sehingga pra-pemahaman akan menjadi lebih sempurna (Vollkommenbeit des Vorrerstandnisses). 4. Fusion of horizons and hermeneutical circle (penggabungan horison dan lingkaran hermenetik). Dalam proses penafsiran, seseorang harus sadar betul bahwa ada dua horison yang menyertainya yakni horison di dalam teks dan horison pembaca. Kedua horizon tersebut harus dikomunikasikan sehingga ketegangan diantara keduanya dapat diatasi. Karena horison yang ada di dalam teks belum tentu sama dengan horison pembaca. Horison teks dibiarkan agar berbicara sendiri, sedangkan horison pembaca hanya sebagai pijakan yang tidak boleh memaksa teks supaya sesuai dengan pijakannya. Interaksi dari ke-dua horison ini disebut hermeneutical circle. 17 Edi Mulyono dkk, Belajar Hermenetika: Dari Konfigurasi Filosofis menuju Praksis Islamic Studies, hlm. 149-151.
88 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
5. Application Pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks, tetapi meaningful sense (pesan yang lebih berarti daripada sekedar makna literal). Dalam aplikasi ini Gadamer memberikan harapan untuk masa depan setelah tercapainya penafsiran sebuah teks.18 Aplikasi Hermenetik Gadamer Terhadap Q.S. al-Baqarah: 30 dan Q.S. al-Dzariyat: 56. 1. Q.S. al-Baqarah: 30.
ﻗﺎﻟﻮا أﲡﻌﻞ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻳﻔﺴﺪ ﻓﻴﻬﺎ.إﱐ ﺟﺎﻋﻞ ﰱ اﻷرض ﺧﻠﻴﻔﺔ ّ وإذ ﻗﺎل رﺑّﻚ ﻟﻠﻤﻼﺋﻜﺔ .إﱐ أﻋﻠﻢ ﻣﺎ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮن ّ وﻳﺴﻔﻚ اﻟﺪﻣﺎء وﳓﻦ ﻧﺴﺒّﺢ ﲝﻤﺪك وﻧﻘﺪّس ﻟﻚ ﻗﺎل
Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah sedang menceritakan penunjukan manusia sebagai khalifah di muka bumi kepada Nabi Muhammad. Pada ayat di atas berlangsung dialog antara malaikat dan Allah. Ketika Allah memberikan pernyataan kepada malaikat tentang keinginan-Nya untuk menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi. Menurut teori Gadamer, bahwa historically effected consciousness dan pre-understanding telah memberikan horizon kepada pembaca. Pada kitab-kitab tafsir yang pernah dibaca menunjukkan adanya preunderstanding pembaca untuk reinterpretasi terhadap ayat tersebut. Pada prapemahaman, ayat di atas ditafsirkan bahwa Allah SWT. akan menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di bumi. Ayat tersebut juga ditafsirkan bahwa malaikat memberikan usulan kepada Allah tentang keputusan-Nya bahwasanya manusia tidak pantas menyandang gelar khalifah di bumi karena track record manusia yang buruk di mata malaikat. Akan tetapi Allah juga memantapkan pilihannya bahwa Dia Maha Mengetahui sesuatu yang malaikat belum ketahui. Pada ayat di atas juga terdapat penafsiran bahwa usulan malaikat berdasarkan bukti yang pernah terjadi bahwa manusia gagal dalam menjalankan tugasnya di bumi. Dengan kata lain, sudah pernah tercipta manusia sebelum Nabi Adam, akan tetapi manusia gagal dalam melaksanakan tugasnya. Dan pada akhirnya Allah memilih Nabi Adam sebagai manusia reformer serta dilengkapi berbagai fasilitas sehingga dipercaya Allah untuk mengemban tugas khalifah di bumi. 18 M. Nurkholis Setiawan, dkk, Upaya Integrasi Hermenetika dalam Kajian Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 36-41.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 89 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa Nabi Adam bukan manusia pertama, melainkan khalifah pertama di muka bumi. Khalifah disini dapat dipahami pula sebagai Nabi dan Rosul pertama yang dipilih Allah untuk bumi. Setelah terjadi prapemahaman dan keterpengaruhan oleh sejarah terhadap reader, terjadilah fusion of horizons antara teks atau ayat tersebut dengan reader dalam memahai ayat. Fusion of horizons terjadi ketika reader dan teks saling membuka diri, tidak saling mengintimidasi untuk memberikan penafsiran baru atau sintesa. Sintesa tersebut yaitu bahwa yang dimaksud khalifah pada ayat di atas adalah Nabi Muhammad. Sintesa ini diperkuat oleh pernyataan keberatan malaikat tentang perilaku manusia mulai Nabi Adam sampai sebelum diangkatnya Nabi Muhammad sebagai rasul. Pada waktu itu sering terjadi pertumpahan darah dan perusakan terhadap bumi. Selain itu, ayat tersebut juga dipahami sebagai penunjukan Nabi Muhammad sebagai Rasul reformer dari Rasul-rasul sebelumnya. Dan untuk mengemban tugas ini Nabi Muhammad diberi fasilitas yang lebih oleh Allah daripada Nabi-nabi sebelumnya. Fasilitas tersebut berupa pengetahuan yang luas dan kitab yang sempurna sebagai tuntunan berupa al-Quran dalam mengemban tugas di bumi. Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, maka misi khalifah di muka bumi tidak berhenti saja, melainkan diteruskan oleh umatnya yaitu memelihara, mensejahterakan dan memanfaatkan bumi beserta segala isinya. 2. Q.S. al-Dzariyat: 56
وﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﳉ ّﻦ واﻹﻧﺲ إﻻّ ﻟﻴﻌﺒﺪون Pada ayat tersebut prapemahaman reader bahwa manusia diciptakan hanya untuk beribadah semata. Seluruh aktifitas manusia baik yang berhubungan dengan manusia maupun berhubungan dengan Allah disebut sebagai ibadah. Atau dengan kata lain, manusia memposisikan dirinya sebagai ‘abid. Padahal, bagi reader ketika membaca ayat tersebut memahami bahwa manusia ketika posisinya sebagai ‘abid, dia secara langsung berurusan dengan Allah. ‘Abid ini merupakan posisi manusia dan segala aktifitasnya langsung berhadapan dengan Allah tidak berkaitan dengan makhluk. Bagi reader, yang termasuk ibadah dalam lima bangunan islam adalah shalat, puasa, dan haji. Sedangkan zakat tidak termasuk ibadah. Ketika manusia shalat, puasa, dan haji, maka posisi manusia sebagai ‘abid. Dan ini tidak ada kaitannya dengan makhluk. Tetapi ketika manusia membayar zakat,
90 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
berarti manusia memposisikan dirinya sebagai khalifah di bumi yang mempunyai tugas mensejahterakan bumi dan isinya. Banyak amalanamalan atau aktifitas manusia seperti shadaqah, infaq, wakaf dan lain sebagainya dalam prapemahaman dianggap sebagai ibadah-dengan arti manusia posisinya sebagai ‘abid. Akan tetapi, bagi reader aktifitas tersebut bukan ibadah, atau posisi manusia bukan sebagai ‘abid, melainkan sebagai khalifah. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila teori hermenetik Gadamer diaplikasikan terhadap al-Quran terutama pada Q.S. al-Baqarah: 30, bahwa kata khalifah pada ayat tersebut yang dimaksud adalah Nabi Muhammad kemudian diteruskan oleh umatnya, bukan Nabi Adam, a.s. Sedangkan tugas manusia sebagai khalifah adalah mensejahterakan, melestarikan, dan memanfaatkan bumi beserta isinya. Sedangkan Q.S. al-Dzariyat: 56, bahwa selain sebagai khalifah manusia juga posisinya sebagai ‘abid yang harus beribadah kepada Allah. Ibadah disini tidak ada kaitannya dengan manusia. Ketika manusia posisinya sebagai ‘abid, maka manusia harus sebagai hamba Allah yang harus menyembah-Nya dengan sebaik-baiknya. Aktifitas, zakat, shadaqah, infaq, dan lain sebagainya-aktivitas social- bukan merupakan ibadah. Karena aktifitas tersebut berkaitan dengan makhluk Allah SWT. Atau dengan kata lain, ketika manusia melaksanakan aktifitas tersebut, merupakan kewajiban bagi manusia sebagai khalifah. Manusia yang sempurna adalah manusia yang bisa memposisikan dirinya dan melaksanakan tugasnya dengan baik yaitu sebagai khalifah dan ‘abid. Maksudnya antara khalifah dan ‘abid harus seimbang, tidak boleh ada salah satu yang menonjol atau lebih atas. Apabila manusia berjalan hanya sebagai khalifah, maka hidup terasa gersang. Jika manusia berjalan hanyalah seorang ‘abid, maka kehidupan terasa hampa. Dan apabila manusia menjalankan kedua fungsinya dengan seksama, maka akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa. Karena balancing dalam kehidupan harus berjalan secara berbarengan antara kebutuhan jasmani dan rohani, dan keduanya tidak boleh saling berkontradiksi terlebih lagi dari keduanya lebih diutamakan kepentingannya dari yang satunya. Penulis sadar akan keterbatasan pengetahuan, maka dari itu saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 91 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Rahmat Setiawan
Daftar Pustaka Abror., Robby H, Tasawuf Sosial: Membeningkan Kehidupan dengan Kesadaran Spiritual, cet. Ke-1, Yogyakarta: AK Group – Fajar Pustaka Baru, 2002. Agus., Bustanuddin, al-Islam: Buku Pedoman Kuliah Mahasiswa untuk Mata Ajaran Pendidikan Agama Islam, cet. Ke-1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993. Al-Baghdady., ‘Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim, Tafsir alKhozin, jilid I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995. Al-Bashry., Abi Hasan Ali bi Muhammad bin Hubaib al-Mawardy, anNukat wa al-‘Uyun Tafsir al-Mawardy, jilid 4, Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyah, t.th. Azizy., A. Qodri, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam: Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, cet. Ke-3, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. --------., A. Qodri, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat), cet. Ke-2, Semarang: Aneka Ilmu, 2003. Azra., Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, cet. Ke-3, Jakarta: Kalimah, 2001. Bisri., M. Kholil, Indahnya Tasawuf: al-Hikam Ibnu ‘Athaillah asSakandarany, cet. Ke-2, Yogyakarta: Pustaka Alief, 2003. HD., Khaelany, Islam Kependudukan dan Lingkungan Hidup, cet. Ke-1, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996. Mochtar., Affandi, Membedah Diskursus Pendidikan Islam, cet. Ke-1, Jakarta: Kalimah, 2001. Mulyono., Edi dkk, Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies, cet. Ke-2, Yogyakarta: IRCiSoD, 2013. Nata., Abuddin, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, cet. Ke-3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
92 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Makna Khalifah dan Abid Perspektif Hermenetika Gadamer
Palmer., Richard E, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi, Alih Bahasa: Musnur Hery dan Damanhuri Mohammed, cet. Ke2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Qur’an Karim dan Terjemahnya, Yogyakarta: UII Press, 2000. Setiawan., M. Nur Kholis, Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis: Teori dan Aplikasi, cet. Ke-1, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009. Shihab., M. Quraish, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian alQur’an, volume I, cet. Ke-2, Jakarta: Lentera Hati, 2004. --------., M. Quraish, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. Ke-15, Bandung: Penerbit Mizan, 2004.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 93 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
PENGGUNAAN METODE INKUIRI TERBIMBING DENGAN MEDIA BENDA NYATA UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN TATA BUSANA MATERI MEMBUAT POLA BUSANA KELAS IX D SEMESTER GENAP MTs NEGERI KENDAL TAHUN AJARAN 2014/2015 Susiyantini
NIP. 19720302 199603 2 001 MTs Negeri Kendal
[email protected] Abstrak: Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri Kendal di Kelas IX D yang kemampuan siswanya materi membuat pola busana masih rendah. Penelitian tindakan kelas ini dilatar belakangi keaktifan dan hasil belajar siswa jauh dari yang diharapkan. Kemampuan siswa berpikir kritis, kreativitas menciptakan pola, dan menuangkan ide ke bentuk gambar masih rendah. Waktu pembelajaran menjadi panjang, target pembelajaran tidak sesuai rencana, dan menyebabkan pesimis terhadap pembelajaran praktik membuat pola busana. Model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan media benda nyata, dianggap solusi yang tepat untuk mengatasi kesulitan pengajaran. Hasil penelitian tindakan kelas ini menunjukkan bahwa model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Dari data pada siklus II, baik aktifitas belajar maupun prestasi belajar telah mencapai ketuntasan klasikal yaitu 85% siswa mencapai ketuntasan individual. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah dengan menggunakan model pembelajaran inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar. Kata Kunci: Metode Inkuiri terbimbing, Media Benda Nyata, Aktivitas Belajar, Hasil Belajar.
Penulis adalah Guru PNS pada Kementerian Agama Kabupaten Kendal. Saat ini mengajar bidang studi Keterampilan Tata Busana di MTs Negeri 1 Kendal. Penulis merupakan peserta Workshoop Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah bagi Guru yang diselenggarakan STIT Muhammadiyah Kendal bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal Tahun 2014.
94 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
Pendahuluan Pembelajaran Keterampilan Tata Busana pada materi membuat pola busana melibatkan seluruh kemampuan siswa untuk berpikir kritis, dan harus mampu menerapkan kreatifitasagardapat menciptakan pola busana sesuai dengan model yang diinginkan namun. Masalah yang terjadi adalah rendahnya kemampuan peserta didik untuk menuangkan ide dalam bentuk gambar pola busana, waktu pengajaran menjadi lebih panjang , siswa merasa tidak mampu membuat desain pola busana, siswa kelas IX D yang berjumlah anak 36, sebanyak 32 anak atau sekitar 80 % tidak mampu mencetuskan dan mewujudkan gagasan dan imajinasinya ke dalam bentuk gambar pola busana, pesimis terhadap pembelajaran praktik membuat pola busana. dalam bentuk gambar desain pola busana, peserta didik cenderung hanya duduk, diam, dan bingung dengan materi pelajaran. Selama pembelajaran berlangsung tidak pernah tahu apa yang harus dikerjakan sesuai dengan materi pelajaran . Apabila kenyataan tersebut dibiarkan berlarut larut tanpa ada upaya pemecahan maka akan berdampak lebih luas, diantaranya: 1) peserta didik akan menjauhi dan malas belajar, 2) peserta didik semakin kesulitan berkreasi khususnya dalam membuat pola busana, 3) guru mengalami kesulitan dalam mentransfer konsep mendesain dalam pembelajaran keterampilan Tata Busana, 4) suasana kelas tidak kondusif sehingga proses KBM menjadi terhambat. Oleh sebab itu perlu upaya meningkatkanpartisipasi peserta didik dalam pembelajaran merupakan hal yang penting untuk dilakukan, karena terkait erat dengan keberhasilan pendidikan, antara lain dengan metode inkuiri terbimbing dengan alat peraga benda nyata. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Apakah penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan benda nyata dalam proses pembelajaran di kelas meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas IX D MTs Negeri tahun pelajaran 2014/2015? 2. Apakah penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan benda nyata dalam proses pembelajaran di kelas meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX D MTs Negeri tahun pelajaran 2014/2015?
media dapat Kendal media dapat Kendal
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini diharapkan dapat: JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 95 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
1. Meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran Kooperatif inkuiri terbimbing yang menggunakan media benda nyata dalam pembelajaran. 2. Meningkatkan aktivitas belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran Kooperatif inkuiri terbimbing yang menggunakan media benda nyata dalam pembelajaran. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian tindakan kelas ini sebagai berikut: 1. Secara Teoritis: Menambah khasanah pengetahuan tentang pentingnya metode pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan keaktifan dan hasil belajar peserta didik dalam proses pembelajaran. 2. Secara Praktis: a. Bagi peneliti Memperoleh pengetahuan baru yang dapat mempermudah dalam membimbing peserta didik dalam praktik membuat pola busana pada khususnya dan materi pembelajaran Tata Busana pada umumnya. b. Bagi Peserta Didik 1) Melalui PTK dapat tercapai perbaikan pembelajaran yang akhirnya bisa meningkatkan hasil belajar peserta didik.1 2) Dapat meningkatkan aktivitas dan prestasi belajar peserta didik dalam praktik membuat pola busana. c. Bagi MTs Negeri Kendal 1) Untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran mata pelajaran Keterampilan Tata Busana di MTs. Negeri Kendal. 2) Untuk meningkatkan inovasi model pembelajaran. Landasan Teori 1. Inkuiri terbimbing(Guided Inquiry) Pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif yang mana model pembelajaran inkuiri ini dalam pelaksanaannya, guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa. Kelebihan model pembelajaran inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) antara lain: 1) Membantu peserta didik mengembangkan atau memperbanyak persediaan dan penguasaan keterampilan dan proses 1 Raka Joni, T. Kardiawarman, dan Hadisubroto, Pedoman Penelitian Tindakan Kelas (Jakarta: Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah (Ditjen Dikti, 1998).
96 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
kognitif peserta didik, 2) Membangkitkan gairah pada peserta didik misalkan peserta didik merasakan jerih payah penyelidikannya, menemukan keberhasilan, dan kadang-kadang kegagalan, 3) Memberi kesempatan pada peserta didik untuk bergerak maju sesuai dengan kemampuan, 4) Membantu memperkuat pribadi peserta didik dengan bertambahnya kepercayaan pada diri sendiri melalui proses-proses penemuan, 5) Siswa atau peserta didik terlibat langsung dalam belajar sehingga termotivasi untuk belajar, 6) Strategi ini berpusat pada peserta didik, misalkan memberi kesempatan kepada mereka dan guru berpartisipasi sebagai sesama dalam mengecek ide. Guru menjadi teman belajar, terutama dalam situasi penemuan yang jawabanya belum diketahui.2 Berdasarkan dari pendapat para ahli pendidikan di atas, model pembelajaran inkuiri induktif terbimbing melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran tentang konsep atau suatu gejala melalui pengamatan, pengukuran, pengumpulan data untuk ditarik kesimpulan, sedangkan guru tidak lagi berperan sebagai pemberi informasi dan peserta didik atau siswa sebagai penerima informasi, tetapi guru membuat rencana pembelajaran atau langkah-langkah percobaan dalam pelaksanaannya guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada peserta didik sehingga guru tidak melepas begitu saja. 2. Media Benda Nyata Media pendidikan merupakan alat, metode dan teknik yang digunakan dalam rangka untuk lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara guru dan peserta didik dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.3 Media pembelajaran berperan penting untuk mengatasi kesulitan proses pembelajaran.4 Fungsi utama dari media pembelajaran adalah untuk meningkatkan interaksi antara guru dan peserta didik.5 Kualitas outpot dari sebuah sekolah termasuk media sebagai salah satu unsur yang menentukan, Karenanya guru profesional tidak hanya dituntut menguasai materi pembelajaran yang akan disampaikan 2
2009).
B. Suryobroto, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Jakarta: Rineka Cipta,
Oemar Hamalik, Media Pendidikan. (Bandung: Sinar Baru, 1994). Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2005) 5 John D. Latuheru, Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar Masa Kini, (Jakarta: Depdikbud DIKTI P2LPTK, 1988). 3 4
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 97 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
kepada anak didiknya, akan tetapi juga harus mampu memanfaatkan serta mengembangkan media pembelajaran, agar pencapaian prestasi belajar sesuai dengan standar kompetensi. 3. Aktivitas Belajar Siswa Aktivitas merupakan kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa, baik dalam aktivitas jasmani atau aktivitas ruhani. Siswa dikatakan memiliki keaktifan apabila ditemui ciri-ciri seperti berikut: a. Antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran b. Terjadi interaksi siswa dengan guru, siswa dengan siswa c. Siswa terlibat dan bekerja sama dalam diskusi kelompok d. Terjadi aktivitas siswa dalam pelaksanaan pembelajaran e. Siswa berpartisipasi dalam menyimpulkan materi.6 4. Hasil Belajar Siswa Hasil belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan melalui mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.7 Hasil belajar siswa yang ditunjukkan dengan hasil tes dari akhir proses pembelajaran. Kerangka Berfikir Model inkuiri induktif terbimbing, dipilih karena siswa terlibat aktif dalam pembelajaran tentang konsep melalui pengamatan, pengukuran, pengumpulan data untuk ditarik kesimpulan, sedangkan guru menyediakan bimbingan atau petunjuk cukup luas kepada siswa sehingga guru tidak melepas begitu saja kegiatan kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Guru memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berfikir lambat atau berintelegensi rendah sehingga tetap mampu mengikuti kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan . Media pembelajaran serta alat peraga digunakan dalam proses belajar mengajar untuk mengefektifkan komunikasi sekaligus sebagai sumber informasi serta lebih menjelaskan informasi yang dimaksud sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa dalam proses belajar. Untuk lebih jelas kerangka berpikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai berikut: 6 7
Tim Instruktur PKG. Penelitian, (Yogyakarta: Depdiknas, 1992) Anonim, Prosedur Penelitian, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003)
98 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
Fakta yang ditemui
Pembelajaran cenderung teacher oriented Pembelajaran menggunakan metode ceramah Kurang adanya variasi model dan strategi pembelajaran Rendahnya kemampuan siswa untuk menuangkan ide dan pikiran ke dalam bentuk gambar (pola baju)
Rendahnya aktifitas siswa dalam pembelajaran Hasil belajar siswa dibawah ketuntasan individual dan klasikal Pembelajaran tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
Pemecahan
Perbaikan proses pembelajaran dengan memperbaiki: metode pembelajaran, strategi dan model pembelajaran, serta media
pembelajaran Penggunaan model pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan media benda nyata
Proses Pembelajaran bermakna, berkualitas, bersifat student centered, guru sebagai fasilitator
Hasil yang diharapkan
Pembelajaran menyenangkan dan bermakna Keaktifan siswa meningkat Hasil belajar siswa meningkat Pembelajaran sesuai waktu yang ditentukan
Gambar 1 Kerangka Berfikir Penggunaan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Media Benda Nyata pada Materi Membuat Pola Busana. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 99 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
Hipotesis Tindakan Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas IX D MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015. 2. Penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX D MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015. Langkah Langkah Penelitian Menerapkan model pembelajaran kooperatif inkuiri terbimbing yang menggunakan media benda nyata dalam penelitian tindakan kelas, penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus. Masing masing siklus dilakukan dalam empat tahap yaitu: (1) Perencanaan, (2) Pelaksanaan, (3) observasi (penilaian); dan (4) Refleksi. Metode Pengumpulan Data Pengambilan data dilakukan dengan tes dan observasi. 1. Analisis data hasil belajar Peserta didik Suatu kelas dikatakan tuntas belajarnya jika di kelas tersebut terdapat 85% siswa telah mencapai ketuntasan individual. Ketuntasan individual dalam penelitian ini adalah peserta didik dikatakan tuntas jika telah mencapai nilai KKM yaitu 80. Skor yang diperoleh dihitung dengan rumus : Nilai Akhir = NA =∑ skor 2. Analisis data aktivitas peserta didik dalam pembelajaran Data aktivitas peserta didik dalam pembelajaran diperoleh melalui lembar observasi. Aktifitas belajar yang diobservasi dalam penelitian baik pada siklus 1 dan siklus II dibatasi pada 5 indikator: Bertanya/menjawab pertanyaan dalam rangka memahami materi dan menyelesaikan tugas, Kemampuan memecahkan masalah, Aktif berkonsultasi pada materi praktik yang belum dipahami, Mengajukan ide/gagasan dalam upaya menyelesaikan tugas, Aktif bekerja dalam rangka menyelesaikan tugas. Kriteria Penilaian: Skor 1 = tidak aktif Skor 2 = cukup aktif Skor 3 = aktif Skor 4 = sangat aktif Jumlah nilai minimal 1 x 5 = 5 Jumlah nilai maksimal 4 x 5 = 20
100 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
Rentang nilai 5 – 8 = Tidak Aktif Rentang nilai 9 – 12 = Cukup Aktif Rentang nilai 13- 16 = Aktif Rentang nilai 17- 20 = Sangat Aktif Ketuntasan keaktifan belajar individual dalam penelitian ini apabila nilai keaktifan siswa masuk dalam rentang nilai 13 – 20. Data dihitung dengan rumus : NP = 100%
Indikator Kerja Untuk mengetahui apakah proses pembelajaran menggunakan pendekatan kooperatif inkuiri terbimbing yang menggunakan media benda nyata dapat meningkatkan aktifitas belajar dan prestasi belajar peserta didik kelas IX D MTs Negeri Kendal dalam praktik membuat pola busana, indikatornya adalah sebagai berikut : 1. Minimal 85% siswa/peserta didik mendapat nilai keaktifan belajar individual dalam rentang nilai 13 – 20, sesuai dengan batasan nilai yang telah ditentukan dalam penelitian ini. 2. Minimal 85% siswa atau peserta didik mendapat nilai unjuk kerja ≥ 80 sesuai dengan patokan yang ditetapkan Depdikbud (1994) dalam Kurikulum 1994. Kedua indikator kerja tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, artinya jika hasil analisis data salah satunya atau bahkan keduanya tidak terpenuhi, maka rumusan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini ditolak. Cara Menggambil Keputusan Apabila hasil dari analisis data menunjukkan prosentasi sama atau lebih besar dari indikator kerja yang telah ditetapkan maka hipotesa diterima, maka kesimpulan hasil penelitian dinyatakan: Penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan aktifitas dan hasil belajar peserta didik kelas IX D MTs Negeri Kendal dalam praktik membuat pola busana diterima kebenarannya. Berdasarkan konsep pengambilan keputusan hasil penelitian di atas maka hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: Proses pembelajaran menggunakan metode inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dengan media benda nyata dapat meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa kelas IX D MTs Negeri Kendal dalam praktik membuat pola busana. Jika hasilnya kebalikannya maka dikatakan penelitian ini tidak berarti atau ditolak. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 101 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
Penjelasan Penelitian 1. Tindakan Siklus I Kegiatan yang dilakukan pada siklus I ini meliputi kegiatan perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. a. Perencanaan Meliputi: membuat RPP. Membuat alat peraga, membuat soal, membuat angket, membuat lembar observasi, dan menyiapkan alat untuk dokumentasi. b. Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan tindakan meliputi: melaksanakan kegiatan pendahuluan yaitu mengabsen peserta didik atau siswa, dan guru mengadakan apersepsi. Dilanjutkan pada kegiatan inti yaitu menjelaskan, tanya jawab dan pembimbingan peserta didik mengenai cara membuat pola busana dengan menggunakan media benda nyata yaitu busana jadi. Dengan teknik langkah demi langkah peserta didik membuat pola busana baik pola badan muka, pola badan belakang, pola krah, maupun pola pendukung busana dengan ukuran sesungguhnya di kertas payung. Semua peserta didik diberi kesempatan untuk bertanya, atau mengajukan ide berkaitan dengan penyelesaian tugas. Setiap peserta didik diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan teman sebangku untuk mengecek bentuk/ukuran pola. Pelaksanaan kegiatan tes unjuk kerja pada siklus I, dilaksanakan pada pertemuan minggu depan, karena pelaksanaan kegiatan inti tersebut memerlukan waktu lama, sehingga tes unjuk kerja dilaksanakan minggu depan sesuai dengan RPP yang telah dibuat oleh guru dan telah disetujui oleh kolaborator. c. Observasi Observasi atau pelaksanaan penilaian pembelajaran dilaksanakan seminggu kemudian dari pelaksanaan siklus I, karena KMB siklus I membutuhkan waktu lama sehingga waktu 2x 40 menit hanya cukup untuk proses KBM. Penilaian pembelajaran dilakukan dengan menilai unjuk kerja peserta. d. Refleksi Refleksi dilakukan pada siklus I ini, berdasarkan hasil nilai yang diperoleh dari ulangan tes unjuk kerja siswa. Setelah nilai diolah hasilnya dipakai sebagai sumber data penelitian untuk acuan dalam perencanaan siklus II. Adapun pelaksanaan proses pembelajaran keterampilan tatat busana menggunakan metode inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dengan media benda nyata didokumentasikan di bawah ini:
102 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
Foto KMB dengan metode inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dengan media benda nyata pada Siklus I
2. Tindakan Siklus II Pelaksanaan siklus II tidak jauh berbeda dengan siklus II, yaitu perencanaan, pelaksanaan dan refleksi, hanya saja pada siklus II ini berusaha memperbaiki dan menyempurnakan : rencana pelaksanaan pembelajaran, manajemen waktu yang lebih ketat dalam pelaksanaan KBM, serta memperbaiki soal tes unjuk kerja yang lebih jelas, yaitu guru membuat soal disertai menampilkan busana jadi yang dimaksud, sehingga siswatidak hanya melihat gambar tetapi dapat melihat dalam bentuk nyata model busana yang dilihat. Foto KMB dengan metode inkuiri terbimbing dengan media benda nyata pada Siklus II
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 103 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
Optimalisasi penggunaan media benda nyata pada KMB Inkuiri
Proses Menganalisis Data 1. Siklus I a. Analisis Data aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Tabel 1. Data aktivitas belajar siswa pada siklus I No
Kriteria Keaktifan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tidak aktif Cukup aktif Aktif Sangat aktif Kelompok tidak aktif Kelompok Aktif
Rentang Skor 5-8 9-12 13-16 17-20 5-12 13-20
Jumlah Anak 1 12 23 0 13 23
Persentase 3% 33% 64% 0% 36% 64%
Diagram 1. Keaktifan siswa siklus I Tidak aktif 1 anak (3%) Cukup aktif 12 anak (33%) Aktif 23 anak (64%)
Berdasarkan tabel 1. dan diagram 1. Diperoleh data siswa yang tidak aktif 3% (1 anak), siswa cukup aktif 33% (12 anak), siswa yang aktif 64% (23 anak), dan siswa yang sangat aktif 0%.
104 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
b. Analisa data hasil belajar siswa Hasil belajar siswa diperoleh dari nilai hasil tes unjuk kerja, dideskripsikan sebagai berikut: Tabel 2. Data hasil belajar siswa pada siklus I Jumlah Siswa yang Tuntas 24
Nilai Tertinggi 86
Nilai Terendah 64
Rata-rata 79
Ketuntasan Klasikal 67%
Diagram 2. Hasil Belajar Siswa Siklus I
Siswa tuntas 24 anak (67%) Siswa tidak tuntas 12 anak ( 33%)
Berdasarkan data dari tabel 2 dan diagram 2 diperoleh data siswa yang tuntas ada 24 siswa dari 36 , nilai tertinggi 86 dan nilai terendah 64, rata rata 79 dan persentase ketuntasan klasikal baru mencapai 67 %. Pada siklus I ini belum mencapai ketuntasan klasikal, sehingga diperlukan pembenahan, baik dari persiapan maupun pelaksanaan KBM. 2. Siklus II a. Analisa data aktifitas siswa dalam proses pembelajaran Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dideskripsikan sebagai berikut: Tabel 3. Data aktifitas belajar siswa pada Siklus II No
Kriteria Keaktifan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tidak aktif Cukup aktif Aktif Sangat aktif Kelompok tidak aktif Kelompok Aktif
Rentang Skor 5-8 9-12 13-16 17-20 5-12 13-20
Jumlah Anak 0 3 27 6 3 33
Persentase 0% 8% 75% 17% 8% 92%
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 105 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
Diagram 3. Aktivitas siswa pada Siklus II Tidak aktif 0% Cukup aktif 3 anak ( 8%) Aktif 27 anak ( 75%) Sangat aktif 6 anak (17%)
Berdasarkan tabel 3 dan diagram 3 diperoleh data siswa yang tidak aktif 0% (0 anak), siswa cukup aktif 3 anak( 8%), siswa yang aktif 27 anak (75%), dan siswa yang sangat aktif ada 6 anak (7%). Berdasar standar yang telah ditetapkan dalam penelitian ini, keaktifan anak dalam siklus II, yang masuk dalam kelompok tidak aktif sebesar 8% atau sejumlah 3 anak, dan yang termasuk kelompok aktif sebesar 92% atau sejumlah 33 anak. Jika dibanding keaktifan anak pada prasiklus, siklus I dan siklus II, penerapan metode inkuiri terbimbing yang menggunakan media benda nyata menunjukkan efek yang positif, yaitu mengalami peningkatan, dan pada pelaksanaan siklus II, keaktifan anak telah mencapai ketuntasan belajar klasikal yang diharapkan yaitu telah mencapai bahkan melebihi standart ketuntasan klasikal karena mencapai 92 %. b. Analisa data hasil belajar siswa Hasil belajar siswa diperoleh dari nilai hasil tes unjuk kerja, diskripsikan sebagai berikut: Tabel 4. Data hasil belajar siswa pada siklus II Jumlah Siswa Nilai Nilai Rata-rata Ketuntasan yang Tuntas Tertinggi Terendah Klasikal 32 94 77 86 89%
Diagram 4. Hasil belajar siswa siklus II Siswa tuntas 32 anak (89%) Siswa tidak tuntas 4 anak (11%)
106 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
Berdasarkan tabel 4 dan diagram 4 diperoleh data siswa yang tuntas ada 32 siswa dari 36, nilai tertinggi 94 dan nilai terendah 77, rata rata 86 dan persentase ketuntasan klasikal telah mencapai 89 %, sehingga hasil belajar pada siklus II telah mencapai ketuntasan klasikal. Perbandingan Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II 1. Analisa data perbandingan aktifitas belajar siswa pra siklus, siklus I dan siklus didapat dilihat pada tabel 11. Tabel 5. Data perbandingan aktifitas belajar pra siklus, siklus I dan siklus II PRASIKLUS SIKLUS I SIKLUS II KATEGORI Jumlah siswa/ Jumlah siswa/ Jumlah siswa/ KEAKTIFAN persentase persentase persentase Tidak Aktif 5 ( 14% ) 1 ( 3% ) 0 ( 0% ) Cukup Aktif 21 ( 58% ) 12 ( 33% ) 3 ( 8% ) Aktif 10 ( 28%) 23 ( 64% ) 27 ( 75% ) Sangat Aktif 0 (0%) 0 ( 0% ) 6 ( 17% ) Kelompok 26 ( 72%) 13 ( 36% ) 3 ( 8% ) Tidak Aktif Kelompok Aktif 10 ( 28%) 23 ( 64% ) 33 ( 92% ) Ketuntasan Tidak Tuntas Tidak tuntas Tuntas Klasikal Diagram 5. Perbandingan aktivitas siswa Pra siklus, Siklus I, Siklus II 80 Prosentase (%) Pra Siklus
60 40
Prosentase (%) Siklus I
20 Prosentase (%) Siklus II
0 Tidak aktif
Cukup aktif
Aktif
Sangat aktif
Berdasar data tabel 11 dan diagram 5 di atas diperoleh data bahwa pada pra siklus siswa yang tergolong kelompok aktif ada 10 anak ( 28%), pada siklus I ada 23 anak ( 64%), dan pada siklus II yang tergolong kelompok aktif ada 33 anak (92%), hal ini membuktikan bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode inkuiri terbimbing dengan media pembelajaran benda nyata dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada materi membuat pola busana. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 107 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
2. Perbandingan analisa data hasil belajar siswa pada pra siklus, siklus I dan siklus II. Tabel 6. Data Perbandingan Hasil Belajar Pra siklus, Siklus I, Siklus II Tahap- Jumlah Nilai Nilai an siswa terting- terenyang gi dah tuntas Pra 8 85 50 Siklus Siklus I 24 86 64 Siklus II 32 94 77
Rata rata
Ketuntasan Ketercapaian klasikal Ketuntasan Klasikal
70, 6
22%
Tidak tuntas
79 86
67% 89%
Tidak tuntas Tuntas
Diagram 6. Rekapitulasi aktifitas belajar, hasil belajar dan pencapaian ketuntasan belajar klasikal prasiklus, siklus I dan siklus II 100 80 60
Aktifitas belajar
40
Prestasi belajar
20
ketuntasan klasikal
0 PRASIKLUS
SIKLUS I
SIKLUS II
Berdasarkan dari data tabel 6 dan diagram 6 di atas terlihat bahwa hasil belajar siswa pada pra siklus mendapat nilai rata rata 70, 6 dan ketuntasan klasikal hanya mencapai 22%. Pada siklus I nilai rata rata mencapai 79 dan ketuntasan klasikal mengalami peningkatan yaitu mencapai 67%. Pada siklus II nilai rata rata siswa mencapai 86 dan ketuntasan klasikal dapat mencapai 89%, hal ini menunjukkan adanya peningkatan nilai rata rata dan pencapaian standar ketuntasan klasikal, dengan demikian pembelajaran keterampilan tata busana menggunakan metode inkuiri terbimbing dengan media pembelajaran benda nyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi membuat pola busana. Analisa data perbandingan tanggapan setelah proses pembelajaran Hasil angket tanggapan siswa setelah proses pembelajaran pada siklus I dan siklus II didapat dilihat pada tabel 7.
108 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
Tabel 7. Rekapitulasi hasil angket tanggapan siswa setelah proses pembelajaran pada siklus I dn siklus II pada pembelajaran dengan metode inkuiri terbimbing yang menggunakan media benda nyata pada materi praktik membuat pola busana No
Skala minat siswa
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sangat senang Senang Biasa biasa saja Tidak senang Kategori senang Kategori biasa biasa saja
Jumlah siswa Siklus I 21% 53% 26% 0% 74% 26%
Siklus II 26% 65% 9% 0% 91% 9%
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa terjadi peningkatan tingkat kesenangan terhadap penggunaan metode inkuiri terbimbing ( Guided Inquiry ) dengan media benda nyata dalam pembelajaran membuat pola busana. Pembahasan dan Pengambilan Simpulan 1. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran Diketahui bahwa persentase kategori atau kelompok siswa aktif dari pra siklus hanya sejumlah 10 anak (28%), mengalami kenaikan pada tindakan siklus I menjadi 23 anak (64%), berarti mengalami kenaikan sebesar 13 anak (36%). Pada siklus II anak yang masuk dalam kelompok aktif sebesar 33 anak (92%) sehingga dari siklus I mengalami peningkatan sebesar 10 anak (28%). Pada siklus II peserta didik telah mencapai ketuntasan klasikal keaktifan belajar karena indikator keberhasilannya ≥ 85%. Dengan demikian membuktikan bahwa penggunaanmetode pembelajaraan inkuiri terbimbing dengan
media benda nyata dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa pada materi membuat pola busana.
2. Hasil belajar peserta didik setelah proses pembelajaran Pada tabel 6 diketahui bahwa hasil belajar siswa pada pra siklus mendapat nilai rata rata 70,6 dengan ketuntasan klasikal hanya mencapai 22%, sedangkan pada siklus I nilai rata rata siswa mencapai 79 dengan ketuntasan klasikal 67%, Pada siklus II nilai rata rata siswa sebesar 86, dengan ketuntasan klasikal sebesar 89%. Dari pra siklus, kemudian siklus I dan Siklus II, nilai rata rata dan ketuntasan klasikal
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 109 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
siswa mengalami peningkatan, bahkan pada siklus II telah mencapai ketuntasan klasikal yang disyaratkan ≥ 85% yaitu sebesar 89%, hal ini membuktikan bahwa penggunaanmetode inkuiri terbimbing dengan
media benda nyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi membuat pola busana.
3. Hasil angket tanggapan siswa Pada tabel 7 diketahui bahwa siklus I jumlah siswa yang senang dengan proses pembelajaran mencapai 74% dab siklus II dapat mencapai 87 %, ini menunjukkan adanya peningkatan rasa senang dan ketertarikan peserta didik pada proses pembelajaran, dengan demikian membuktikan penerapan metode pembelajaraan kooperatif inkuiri terbimbing menggunakan media benda nyata pada materi membuat pola busana dapat membuat peserta didik senang dan tertarik sehingga membuat peserta didik menjadi termotivasi dalam pembelajaran Keterampilan Tata Busana. Pengambilan Simpulan. Simpulan diambil dengan cara membandingkan angka persentase yang diperoleh mulai dari pra siklus, pelaksanaan tindakan siklus I, dan siklus II dengan angka persentase indikator kerja. Dari hasil observasi keaktifan belajar siklus II, peserta didik sejumlah 33 anak (92%) telah mencapai kategori aktif, sehingga telah mencapai indikator/kriteria ketuntasan klasikal sebesar 85%. Hasil yang diperoleh dari tes hasil belajar yang diberikan pada siklus II menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam mengikuti pelajaran sudah cukup baik. Ini terbukti bahwa peserta didik yang telah mencapai nilai KKM ada 32(89%), dan ketuntasan belajar klasikal juga telah tercapai, yaitu 85% siswa telah mencapai ketuntasan individual. Namun demikian masih ada 4 (11%) peserta didik yang belum tuntas yang menjadi PR guru untuk menyelidiki ketidaktuntasan siswa tersebut, baik dari faktor internal peserta didik tersebut maupun dari faktor luar peserta didik tersebut. Untuk selanjutnya mencari solusi pemecahan, sehingga peneliti bisa menghantarkan seluruh peserta didik mencapai ketuntasan individul. Dengan demikian hipotesis yang berbunyi: 1. Penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan aktivitas belajar peserta didik atau siswa dalam pembelajaran keterampilan Tata Busana materi membuat pola busana kelas IX D MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015, dapat diterima kebenarannya.
110 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Penggunaan Metode Inquiri Terbimbing untuk Meningkatkan Keaktivan dan Hasil Belajar Keterampilan Tata Busana
2. Penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa atau peserta didik dalam pembelajaran keterampilan Tata Busana materi membuat pola busana kelas IX D MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015, dapat diterima kebenarannya. Berdasarkan variasi hipotesis di atas, hasil penelitian tindakan kelas ini dapat disimpulkan sebagai berikut: Penggunaan metode inkuiri terbimbing dengan media benda nyata dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa atau peserta didik kelas IX D MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015, diterima kebenarannya. Simpulan Simpulan hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Pembelajaran menggunakan metode kooperatif inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dengan media benda nyata merupakan langkah langkah pembelajaran yang bermakna, berkualitas, menyenangkan dan pengajaran menjadi lebih efektif dan efisien. 2. Media benda nyata sangat bermanfaat untuk menarik perhatian dan meningkatkan motivasi siswa dalam proses pembelajaran, siswa dapat melihat dan mengamati secara langsung objek pembelajaran, sehingga materi lebih mudah dipahami siswa, dan pembelajaran lebih berhasil. 3. Pembelajaran dengan menggunakan metode kooperatif inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dengan media pembelajaran benda nyata pada materi membuat pola busana dapat meningkatkan aktifitas belajar siswa kelas IX MTs Negeri Kendal. 4. Pembelajaran menggunakan metode kooperatif inkuiri terbimbing (Guided Inquiry) dengan media pembelajaran benda nyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang ditandai dengan perolehan nilai rata rata 86 dan ketuntasan klasikal 89 %. Saran
Saran yang dapat penulis sampaikan terkait hasil penelitian ini sebagai berikut: 1. Setiap pendidik harus memiliki empat kompetensi guru yaitu pedagogik, profesional, kepribadian dan sosial. 2. Setiap pendidik harus mempunyai keinginan mengembangkan kualitas diri terutama dalam dunia pendidikan. 3. Setiap pendidik harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan penelitian di bidang pendidikan. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 111 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Susiyantini
Daftar Pustaka Anonim, Prosedur Penelitian, Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003. Hamalik, Oemar, Media Pendidikan, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1994. Joni, Raka, T., Kardiawarman, dan Hadisubroto, T., Penelitian Tindakan Kelas (Clasroom Action Research), Jakarta: Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah, Ditjen Dikti. 1998. Latuheru, Jhon D., Media Pembelajaran dalam Proses Belajar Mengajar Masa Kini, Jakarta: Depdikbud DIKTI P2LPTK, 1988. Sahrul, 2009. ”Jenis-jenis Metode inkuiri” http: //Sahrulgmail. blogspot.com/metode-inkuiri_23.html/, diakses tanggal 19 Januari 2014. Sudjana, Nana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005. Suryobroto, B., Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta, 2009. Tim Instruktur PKG., Penelitian, Yogyakarta: Depdiknas, 1992.
112 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
UPAYA PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MELALUI METODE STAD PADA MATERI GERAK LURUS MATA PELAJARAN IPA KELAS VII H SEMESTER GENAP MTs NEGERI KENDAL TAHUN PELAJARAN 2014/2015 Taofikoh
NIP. 19680409 199303 2 003 MTs Negeri Kendal
[email protected] Abstrak: Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk: (1) Meningkatkan aktivitas peserta didik atau siswa dengan penggunaan metode STAD pada materi gerak lurus mata pelajaran IPA kelas VII H MTs Negeri Kendal; dan (2) Meningkatkan hasil belajar siswa dengan menggunakan metode STAD pada materi gerak lurus mata pelajaran IPA kelas VII H MTs Negeri Kendal. Metode STAD (Student Teams Achievemen Division) meliputi empat tahap, yaitu pengajaran, studi kelompok, dan ulangan atau tes, serta penghargaan. Subjek penelitian adalah siswa MTs Negeri Kendal kelas VII H sejumlah 34 peserta didik/siswa tahun pelajaran 2014-2015. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dengan indikator: (1) Aktivitas bertanya sebesar 76%, (2) Aktivitas menjawab pertanyaan 74 %, (3) Aktivitas mengemukakan gagasan 67 %, (4) Aktivitas mengerjakan tugas 81 %, dan (5) Efektivitas kerjasama kelompok 75 %. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan tutor sebaya pada metode pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievemen Division) terbukti dapat meningkakan aktivitas dan hasil belajar peserta didik pada pembelajaran IPA materi gerak lurus kelas VII H semester genap MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015. Kata Kunci: Aktivitas, Hasil Belajar, Metode STAD.
Penulis adalah Guru PNS pada Kementerian Agama Kabupaten Kendal. Saat ini mengajar bidang studi Keterampilan Tata Busana di MTs Negeri 1 Kendal. Penulis merupakan peserta Workshoop Penelitian dan Penulisan Karya Tulis Ilmiah bagi Guru yang diselenggarakan STIT Muhammadiyah Kendal bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Kendal Tahun 2014. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 113 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
Pendahuluan Masalah pendidikan dan pengajaran merupakan masalah yang cukup komplek, banyak faktor yang ikut mempengaruhinya, salah satu faktor di antaranya adalah guru. Oleh karena itu guru harus memiliki kemampuan mengajar agar tujuan-tujuan pendidikan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Berdasarkan pengalaman guru mengajar, ternyata dari hasil test IPA cenderung memperoleh hasil yang masih rendah. Sebagai guru mata pelajaran IPA di kelas VII selalu merasa kurang puas dengan hasil belajar siswa tersebut, dari setiap hasil ulangan sebagian besar siswa cenderung belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 75 (tujuh puluh lima), sehingga belum mencapai ketuntasan klasikal. Baru setelah diadakan ulangan perbaikan, ketuntasan klasikal tercapai, dan itupun mesti dilakukan berulang kali, bahkan pada beberapa materi yang dianggap lebih sulit ulangan perbaikan (remedial) perlu diulang lagi. Padahal untuk melakukan ulangan perbaikan diperlukan tambahan waktu. Agar siswa tidak merasa sulit belajar IPA, supaya pemahaman konsep lebih mudah, dan siswa tidak jenuh karena harus menghafal banyak rumus maka digunakan metode Student Teams Achievement Devision (STAD). Dengan metode STAD tersebut diharapkan siswa atau peserta didik kelas VII H MTs Negeri Kendal semester genap tahun pelajaran 2014/2015 mampu melakukan penalaran dan mau berpikir untuk memudahkan pemahaman standar kompetensi memahami gejala-gejala alam melalui pengamatan. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari latar belakang masalah, dan juga identifikasi masalah, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut apakah metode STAD efektif untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran gerak lurus dan apakah metode STAD efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran gerak lurus pada siswa kelas VII H semester genap MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015? Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan aktivitas siswa dan meningkatkan hasil belajar siswa setelah mengikuti pembelajaran yang menggunakan metode STAD dalam pembelajaran gerak lurus pada siswa kelas VII H MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015.
114 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
Kajian Teori 1. Aktivitas Belajar Aktivitas belajar adalah proses pembelajaran yang dilaksanakan guru dengan sedemikian rupa agar menciptakan peserta aktif bertanya, mempertanyakan dan mengemukakan gagasan”.1 Aktivitas belajar yang dimaksud merupakan aktivitas yang bersifat pisik ataupun mental pada proses pembelajaran baik di lingkungan sekolah maupun dalam keluarga atau masyarakat. Pada kegiatan belajar kedua aspek tersebut (fisik dan mental) sangat terkait. Sebagaimana dikemukakan Pieget bahwa:“Seseorang/peserta didik harus berpikir sepanjang berbuat”.2 Tanpa perbuatan berarti peserta didik itu tidak berpikir. Berpikir dalam taraf verbal baru dan timbul setelah anak itu berpikir dalam taraf perbuatan. Jika kedua aspek tersebut terkait, maka aktivitas belajar yang optimal akan timbul. 2. Hasil Belajar Hasil belajar adalah merupakan kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui kegiatan belajar.3 prestasi belajar sebagai bentuk pengukuran dan penilaian sebagai usaha dari guru untuk mengetahui hasil yang telah dicapai siswa dengan kemampuan atau potensi dirinya seperti kecerdasan atau perbuatan yang mencerminkan penerimaan dan pemahaman terhadap materi yang diberikan.4 3. Metode STAD (Student Teams Achievement Devision) Student Teams Achievement Division atau yang disebut Metode STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dkk dari Universitas John Hopkins (1995). Metode ini dipandang paling sederhana dan paling langsung dari pendekatan pembelajaran kooperatif. Dalam model STAD kelompok terdiri atas empat siswa yang mewakili keseimbangan kelas dalam kemampuan akademik, jenis kelamin dan ras. Menyarankan peringkat para siswa dalam kemampuan akademik dibuat terlebih dahulu. Masing-masing kelompok terdiri dari seorang siswa dari kelompok atas, seorang siswa dari kelompok bawah dan dua orang siswa dengan kemampuan rata-rata.5 1 Hartono, PAIKEM (Pembelajaran Aktif Inofatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan), (Pekanbaru: Zanata, 2008), hlm 11. 2 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta,
2007), hlm. 60. 3 Nashar, Peranan Motifasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Pembelajaran, (Jakarta: Delia Press, 2004), hlm 77. 4 Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 130. 5 Koes Supriyono, Strategi Pembelajaran Fisika, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), hlm 54.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 115 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
Kerangka Berpikir Perubahan suasana belajar mengajar akan menimbulkan variasi bagi siswa, hal ini secara tidak langsung akan menumbuhkan semangat baru dari siswa untuk belajar, kerangka berpikir untuk penyelesaian masalah dalam penelitian ini dapat dilihat dalam diagram berikut : GURU Melakukan variasi Pengetahuan. Memberikan kesempatan tutor sebaya pada anak yang memiliki kemampuan di atas rata-rata.
KBM akan Optimal
SISWA Metode STAD dengan tutor sebaya: Menumbuhkan minat dan kerjasama dalam belajar Pemahaman materi lebih mudah Melatih kerjasama dan tanggungjawab
OUTPUT Kerjasama antar siswa di kelas meningkat Siswa terbiasa bekerjasama dengan penuh tanggungjawab Terjadi peningkatan jumlah siswa yang mencapai nilai di atas KKM
Gambar 1. Diagram Kerangka berpikir Hipotesis Tindakan Berdasarkan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: dengan tutor sebaya pada metode STAD dapat meningkatkan aktivitas siswa dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA pada materi gerak lurus pada siswa kelas VII H MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 5 Januari 2015 sampai 31 Maret 2015. Penentuan waktu penelitian mengacu pada kalender akademik dan program semester genap mata pelajaran IPA kelas VII tahun pelajaran 2014-2015. Satu bulan pertama yaitu tanggal 5 Januari 2015 sampai 7 Februari 2015 digunakan mempersiapkan pembelajaran dengan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), menyusun lembar pengamatan, menyusun alat evaluasi untuk uji kompetensi.
116 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
Dalam hal ini disusun rancangan pembelajaran tiap siklus. Pada pelaksanaan akan direvisi pada setiap siklus berjalan. Tanggal 9 Februari 2015 sampai 28 Pebruari 2015 adalah pelaksanaan tindakan kelas untuk memperoleh data yang diperlukan. Di sini rencana pembelajaran untuk setiap siklus dilakukan revisi berdasar hasil siklus sebelumnya. Pada tiga bulan terakhir yaitu tanggal 2 Mart 2015 sampai 31 Maret 2015 untuk menganalisa data dan menyusun laporan hasil penelitian. Dalam penelitian tindakan kelas (PTK) ini subjek penelitian adalah siswa kelas VII H MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014-2015 dengan jumlah 34 siswa yang terdiri dari 16 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan. Kelas ini merupakan salah satu dari 8 kelas VII di MTs Negeri Kendal. Pada Penelitian Tindakan Kelas ini, sumber data diperoleh dari data primer (utama) yang didapat dari nilai ulangan harian yang telah direncanakan dengan kompetensi dasar menganalisa data percobaan gerak lurus beraturan dan gerak lurus berubah beraturan serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, data sekunder yang didapat dari pengamatan aktivitas siswa dalam kegiatan belajar mengajar, lembar pengamatan peserta didik/siswa digunakan untuk melihat bagaimana aktivitas siswa dalam pembelajaran. Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan adalah teknik tes dan teknik non tes. Sedangkan untuk menghitung nilai peningkatan individu dihitung berdasarkan nilai yang diperoleh siswa sebelum tindakan ( Prasiklus ) atau disebut nilai dasar. Kriteria nilai peningkatan individu dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel. 1. Nilai Peningkatan Individu No 1 2 3 4
Nilai Hasil Tes Melebihi 10 dibawah nilai dasar 10 sampai 1 nilai dibawah nilai dasar Nilai dasar sampai nilai 10 diatasnya. Lebih dari 10 nilai diatas nilai dasar
Nilai Peningkatan Individu 5 10 20 30
Sedangkan nilai peningkatan kelompok diperoleh dari jumlah nilai peningkatan individu dari masing-masing angggota kelompok dibagi dengan jumlah anggota kelompok yang hadir. Empat tingkat penghargaan diberikan berdasarkan nilai rata-rata kelompok sebagai berikut: JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 117 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
Tabel 2. Nilai Peningkatan Kelompok No
Nilai Peningkatan Individu
1 2 3 4
< 16 16 – 20 21 – 25 >25
Penghargaan Kelompok Kurang Cukup Baik Terbaik
Keterangan
Teknik non tes digunakan untuk penilaian atau evaluasi hasil belajar peserta didik dengan tanpa menguji peserta didik, melainkan dilakukan dengan melakukan pengamatan (observasi) secara sistematis, melakukan wawancara (interview) berstruktur, menyebarkan angket (questionnaire), dan memeriksa atau meneliti dokumen-dokumen.6 Pengamatan digunakan untuk memperoleh data aktivitas dan kerjasama siswa dalam proses belajar mengajar. Pengamatan dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh guru mitra sebagai observer untuk mengamati aktivitas dan kerjasama siswa dalam pembelajaran, apakah siswa tersebut aktif bertanya, menjawab pertanyaan, mengemukakan gagasan, mengerjakan tugas, kerjasama dalam kelompok. Data hasil pengamatan meliputi penilaian aktivitas peserta didik selama proses pembelajaran dengan menjumlahkan skor setiap aspek yang diamati yaitu aktivitas siswa bertanya, menjawab pertanyaan, mengemukakan gagasan, mengerjakan tugas, kerjasama kelompok. Dalam penilaian aktivitas belajar digunakan skala dengan rentang dari 1 sampai 4. Dengan demikian jika dari penilaian ada 5 aspek yang harus diamati maka skor maksimal adalah 20 dan skor minimal adalah 5. Data hasil pengamatan aktivitas dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut.7
Indikator keberhasilan pelaksanaan pembelajaran oleh guru adalah sebagai berikut: 1. 80 – 100 : pelaksanaan pembelajaran baik sekali 2. 66 – 79 : pelaksanaan pembelajaran baik 3. 56 – 65 : pelaksanaan pembelajaran cukup 6 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 76. 7 Muhammad Ali, Strategi Penelitian Pendidikan, (Bandung: Angkasa, 1995), hlm. 186.
118 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
4. 40 – 55 : pelaksanaan pembelajaran kurang 5. 30 – 39 : pelaksanaan pembelajaran gagal.8 Angket (questionnaire) dapat digunakan sebagai alat bantu dalam rangka penilaian hasil belajar.9 Data yang dapat dihimpun melalui angket atau questionnaire misalnya adalah data yang terkait atau berkenaan dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh peserta didik dalam mengikuti pelajaran, seperti cara belajar mereka, fasilitas belajarnya, bimbingan belajar, motivasi dan minat belajarnya, sikap belajarnya, sikap terhadap mata pelajaran tertentu, pandangan siswa terhadap proses pembelajaran dan sikap serta hubungan interaksi yang dibangun siswa dengan atau terhadap guru.10 Jurnal harian untuk mengetahui catatan-catatan kejadian khusus selama pelaksanaan tindakan berlangsung dalam proses pembelajaran di kelas. Hasil catatan tersebut digunakan sebagai bahan refleksi untuk mengetahui kekurangan-kekurangan dan temuan-temuan lain selama pelaksanaan tindakan. Hasil belajar peserta didik pada setiap siklus divalidasi dengan instrumen yang berupa: Soal tes, lembar jawab, kunci jawaban soal tes, hasil atau nilai tes, rencana pembelajaran pada setiap siklus. Proses penggunaan metode STAD divalidasi dengan lembar observasi siswa yang memuat aktivitas peserta didik bertanya, menjawab pertanyaan, mengemukakan gagasan, mengerjakan tugas, dan kerjasama antar kelompok. Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu: untuk analisis hasil belajar dengan membandingkan nilai tes, meliputi tes sebelum tindakan ( prasiklus ), siklus I dan siklus II dengan indikator kerja. Analisis penggunaan metode STAD dengan memaparkan hasil observasi dari lembar observasi dari lembar observasi dan hasil wawancara dengan siswa. Dari hasil jawaban angket dengan dihitung jumlah siswa yang menyatakan sangat setuju, setuju, tidak setuju, tidak tahu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju bahwa digunakannya metode STAD menarik, mudah, lebih baik, dan penggunaan dilanjutkan. Semua hal diatas untuk mengetahui aktivitas siswa setelah mengikuti pembelajaran IPA materi gerak lurus. 8 Suharsimi Arikunto, Dasar Dasar Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hlm. 245. 9 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 84. 10 Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm 85.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 119 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
Indikator keberhasilan PTK ini adalah sebagai berikut : 1. Terdapat peningkatan aktivitas siswa kelas VII H MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015 sebagai dampak pembelajaran IPA dengan metode STAD pada materi gerak lurus. 2. Terdapat peningkatan hasil belajar siswa kelas VII H MTs Negeri Kendal tahun pelajaran 2014/2015 sebagai dampak pembelajaran IPA dengan metode STAD pada materi gerak lurus. Hasil Penelitian dan Pembahasan Deskripsi Kondisi Awal (Prasiklus) Hasil pengamatan peneliti pada saat prasiklus ditemukan adanya proses pembelajaran yang kurang mendukung terhadap penguasaan materi. Proses pembelajaran yang kurang mendukung tersebut adalah proses pembelajaran yang masih terfokus pada guru, rasa canggung untuk bertanya dan menjawab pertanyaan, serta belum terbiasa dengan belajar kelompok yang dapat meningkatkan aktivitas, sehingga aktivitas belajar siswa kurang termotivasi. Berikut ini hasil pengamatan aktivitas saat prasiklus. Tabel 3. Hasil Analisis Lembar Observasi Aktivitas Prasiklus No 1 2 3 4 5
Aktivitas Bertanya Menjawab Pertanyaan Mengemukakan gagasan Mengerjakan tugas Kerjasama kelompok Nilai Rata-rata Kategori
Skor 75 78 67 106 81
Persentase 55 % 57 % 49 % 78 % 59 % Cukup
Berdasarkan dari data pada tabel 3 tentang Hasil Analisis Lembar Observasi Aktivitas Prasiklus di atas menunujukkan persentase rata-rata keberhasilan pelaksanaan pembelajaran diperoleh hasil dengan kategori cukup dan berdasar tabel 4. Analisis Hasil Belajar Pada Prasiklus dari hasil tes kompetensi dasar pada prasiklus diperoleh hasil yang rendah, dengan KKM 75 hanya 5 peserta didik yang mencapai KKM dengan nilai rata-rata 56,3. Berdasarkan hasil nilai rata-rata tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran pada prasiklus baik aktivitas maupun hasil belajar peserta didik belum memuaskan. Berdasarkan dari keadaan ini peneliti menduga bahwa aktivitas yang rendah ada kaitan dengan hasil belajar siswa yang rendah.
120 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
Tabel 4. Analisis Hasil Belajar Pada Prasiklus No 1 2 3 4
Kategori nilai Sangat Baik Baik Cukup Kurang Jumlah
Interval 91 – 100 81 – 90 75 – 80 0 - 74
Frekuensi 0 0 5 29 34
Persentase (%) 0 0 14, 7 85, 3 100
Supaya peserta didik tidak merasa sulit belajar IPA dan tidak canggung bertanya, sebagai upaya meningkatkan aktivitas belajar yang akhirnya akan meningkatkan hasil belajar peserta didik, serta untuk membiasakan kerja kelompok maka dengan menerapkan atau menggunakan metode STAD (Student Teams Achiemement Division) diharapkan semua hal di atas dapat teratasi karena metode ini lebih menekankan pada kinerja kelompok. Diskripsi siklus I Pelaksanaan pembelajaran IPA materi gerak lurus pada tindakan siklus I menggunakan metode STAD (Student Teams Achiemement Division) pada kompetensi dasar menganalisis data percobaan gerak lurus beraturan dan gerak lurus berubah beraturan serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan indikator: (1) menunjukkan konsep gerak lurus beraturan dalam kehidupan sehari-hari, (2) mendefinisikan percepatan sebagai perubahan kecepatan setiap setiap satuan waktu. Aktivitas peserta didik selama mengikuti proses pembelajaran IPA materi garis lurus diukur dengan menggunakan lembar observasi aktivitas dalam pembelajaran. Dalam penilaian aktivitas digunakan skala pada tiap aspek berdasarkan hasil analisis lembar observasi aktivitas menghasilkan data sebagai berikut : Tabel 5. Hasil Analisis Lembar Observasi Aktivitas Siklus I No 1 2 3 4 5
Aktivitas Bertanya Menjawab Pertanyaan Mengemukakan gagasan Mengerjakan tugas Kerjasama kelompok Nilai Rata-rata Kategori
Skor 94 91 79 108 86 91
Persentase 69 % 67 % 58 % 79 % 63 % 67, 4 % Baik
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 121 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
Berdasarkan tabel 5. Analisis Lembar Observasi Aktivitas Siklus I di atas menunjukkan persentase rata-rata keberhasilan pelaksanaan pembelajaran IPA materi garis lurus adalah 67,4 % dengan kategori baik. Berdasarkan pengamatan peneliti pada saat melakukan kegatan pembelajaran pada siklus I aktivitas peserta didik sudah mengalami peningkatan dibanding pada pembelajaran prasiklus. Aktivitas peserta didik bertanya pada siklus I sebesar 69 %, berarti ada peningkatan 14 %. Adapun aktivitas peserta didik menjawab pertanyaan prasiklus menunjukkan persentase 57 %, pada siklus I aktivitas peserta didik menjawab pertanyaan adalah 67 %, hal ini menunjukkan ada peningkatan sebesar 10 %, mengemukakan gagasan ada peningkatan sebesar 9 % dan aktivitas mengerjakan tugas ada peningkatan sebesar 1 %. Aktivitas kerjasama kelompok pada siklus I sebesar 63 % sedang pada prasiklus belum ada. Dengan demikian dapat disimpulkan ratarata persentase aktivitas ada peningkatan sebesar 8,4 %. Dengan adanya peningkatan aktivitas belajar siswa, terbukti dapat meningkatkan nilai hasil belajar. Dari data nilai hasil tes siklus I yang diikuti sejumlah 34 siswa, didapat distribusi nilai sebagai berikut: nilai terendah (minimum) 42, nilai tertinggi (maksimum) 92, dan ratarata nilai (mean) sebesar 73, 4. Analisis nilai hasil belajar pada siklus I dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 6. Analisis Hasil Belajar Pada Siklus I No 1 2 3 4
Kategori nilai Sangat Baik Baik Cukup Kurang Jumlah
Interval 91 – 100 81 – 90 75 – 80 0 - 74
Frekuensi 2 11 10 11 34
Persentase 5, 9 32, 3 29, 4 32, 4 100
Berdasarkan hasil dari tabel 6 di atas, nilai hasil belajar pada siklus I diperoleh deskripsi sebagai berikut: Peserta didik dengan hasil belajar kategori kurang sebanyak 11 orang atau sebanyak 32,3 %. Sedang peserta didik dengan hasil belajar kategori cukup sebanyak 10 orang atau 29,4 %, kategori hasil belajarnya baik sebanyak 11 peserta didik atau 32,4 %, dan kategori hasil belajarnya sangat baik sebanyak 2 peserta didik atau 5,9 %. Dengan demikian dari sudut ketuntasan belajar yang mendapat nilai memenuhi KKM atau mendapat nilai sama dengan 75 atau lebih telah mengalami peningkatan walaupun belum seberapa yaitu dari 5 siswa setelah siklus I menjadi 23 siswa ( 67, 6 % ).
122 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
Nilai Kelompok Berdasarkan hasil tes siklus I dapat ditentukan nilai peningkatan individu pada lembar nilai peningkatan individu untuk menentukan nilai kelompok guna memberikan penghargaan kelompok sebagai bagian dari pelaksanaan metode STAD seperti terlihat berikut ini: Tabel 7. Penghargaan Kelompok Pada siklus I No 1 2 3 4
Kategori Kelompok Terbaik 8 Baik 1, 3, 5, 6, 7 Cukup Baik 2, 4 Kurang Baik Jumlah
Jumlah Kelompok 1 5 2 8
Persentase 12, 5 62, 5 25, 0 100
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat kelompok 8 mendapat penghargaan sebagai kelompok terbaik, sedang kelompok 1, 3, 5, 6, 7 mendapat penghargaan kelompok baik, dan kelompok 2, 4 mendapat penghargaan kelompok cukup baik, dan tidak ada kelompok yang mendapat penghargaan sebagai kelompok kurang baik. Deskripsi Siklus II Pelaksanaan pembelajaran menggunakan metode STAD pada siklus II pada kompetensi dasar menganalisis data percobaan gerak lurus beraturan dan gerak lurus berubah beraturan serta penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dengan indicator : (1) menyelidiki gerak lurus berubah beraturan (GLBB), (2) menunjukkan konsep gerak lurus berubah beraturan dalam kehidupan sehari-hari. Aktivitas siswa diukur dengan menggunakan lembar pengamatan aktivitas pembelajaran. Pada pengamatan aktivitas siswa menggunakan skor minimum 1 x 34 = 34 dan skor maksimum 4 x 34 = 136 poin. Berdasar hasil analisis pada lembar pengamatan aktivitas menghasilkan data sebagai berikut : Tabel 8. Hasil Analisis Lembar Observasi Aktivitas Pada Siklus II No 1 2 3 4 5
Aktivitas Bertanya Menjawab Pertanyaan Mengemukakan gagasan Mengerjakan tugas Kerjasama kelompok Nilai rata –rata Kategori
Skor 103 101 91 110 102 101
Persentase ( %) 76 % 74 % 67 % 81 % 75 % 74, 6 % Baik
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 123 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
Berdasar pada tabel di atas tentang analisis lembar pengamatan aktivitas pembelajaran IPA materi garis lurus menunjukkan bahwa persentase rata-rata keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran adalah 74,6 % dengan kategori baik. Dengan demikian kegiatan pelaksanaan pembelajaran mulai dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 7, 2 %. Hasil pengamatan peneliti pada saat berlangsungnya kegiatan pembelajaran IPA materi garis lurus pada siklus II didapat bahwa peserta didik pada masing-masing kelompok sudah melaksanakan diskusi dengan aktif dan baik, aktivitas bertanya baik dan menjawab pertanyaan juga baik, peserta didik juga sudah berani mengemukakan gagasan dengan cukup baik dan semua peserta didik terlihat sudah mengerjakan tugas yang diberikan guru dengan baik serta kerjasama kelompok sudah baik. Nilai hasil tes siklus II yang diikuti sejumlah 34 peserta didik, didapat distribusi nilai sebagai berikut: nilai terendah (minimum) 50, nilai tertinggi (maksimum) 96, dan rata-rata nilai (mean) sebesar 78,7. Distribusi nilai siklus II dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 9. Analisis Hasil Belajar Pada Siklus II No 1 2 3 4
Kategori nilai Sangat Baik Baik Cukup Kurang Jumlah
Interval 91 – 100 81 – 90 75 – 80 0 - 74
Frekuensi 2 8 17 7 34
Persentase (%) 5, 9 23, 5 50, 0 20, 6 100
Berdasarkan pada tabel 9. nilai hasil tes pada siklus II, diperoleh deskripsi hasil belajar peserta didik sebagai berikut: Hasil belajar peserta didik dengan kategori kurang sebanyak 7 orang atau sebanyak 20,6 %, sedang peserta didik dengan kategori cukup sebanyak 17 orang atau 50,0 %, kategori baik sebanyak 8 orang atau 23,5 %, dan kategori sangat baik sebanyak 2 orang atau 5,9 %. Dengan demikian dari sudut ketuntasan belajar (yang mendapat nilai sama dengan KKM atau lebih) telah mengalami peningkatan menjadi 27 peserta didik atau 79,4 %. Dari hasil tes siklus II dapat ditentukan nilai penngkatan individu pada lembar nilai peningkatan individu untuk menentukan nilai kelompok guna memberikan penghargaan kelompok sebagai bagian dari pelaksanaan metode STAD. Penghargaan kelompok dapat dilihat pada tabel berikut:
124 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
Tabel 10. Penghargaan Kelompok Pada siklus II No 1 2 3 4
Kategori Terbaik Baik Cukup Baik Kurang Baik
Kelompok 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8 2 Jumlah
Jumlah Kelompok 7 1 8
Persentase (%) 87, 5 12, 5
100
Berdasarkan rekapitulasi data penghargaan kelompok pada siklus II pada tabel di atas dapat dilihat bahwa kelompok 1, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 mendapat penghargaan sebagai kelompok terbaik, sedang hanya kelompok 2 saja yang mendapat penghargaan kelompok baik. Pada siklus II ini tidak ada kelompok siswa yang kinerjanya cukup atau kurang baik. Berdasarkan dari data hasil wawancara dengan 34 peserta didik menggunakan pedoman wawancara pada siklus II sebanyak 20 peserta didik merasa santai, sebanyak 9 peserta didk kurang santai, sebanyak 5 peserta didik merasa tidak santai selama mengikuti pembelajaran. Kebanyakan peserta didik cenderung senang dengan kegiatan kerja kelompok karena lebih paham dan tidak malu bertanya teman. Hanya 5 siswa yang tidak merasa tergugah, 20 siswa merasa tergugah semangat belajarnya, 29 siswa menyatakan model pembelajaran yang diterapkan lebih enak hanya 5 siswa yang merasa terlalu serius. Hasil angket respon siswa terhadap penggunaan metode STAD dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 11. Hasil Angket Penggunaan Metode STAD N o
Pernyataan
1 Menarik 2 Mudah 3 Labih Baik Penggunaan 4 dilanjutkan Jumlah Persentase
Sangat Setuju (SS)
Setuju (S)
Tidak Tahu (TT)
Tidak Setuju (TS)
5 3 4
11 20 23
8 4 2
10 7 5
Sangat Tidak Setuju (STS) 0 0 0
5
13
8
8
0
34
17 12, 5
67 49, 2
22 16, 2
30 22, 1
0 0
136 136
Jumlah 34 34 34
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 125 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
Berdasarkan dari hasil analisis hasil angket pada tabel 11 di atas, yang telah diisi oleh 34 peserta didik yang mengambarkan bahwa terdapat sebanyak 12,5 % peserta didik menyatakan bahwa proses pembelajaran IPA materi garis lurus dengan menggunakan metode cooperative learning tipe STAD dengan jawaban sangat setuju untuk dilanjutkan penggunaannya. Adapun sebanyak 49,2 % peserta didik menyatakan setuju, sebanyak 16, 2 % peserta didik menyatakan tidak tahu, dan hanya 22,1 % peserta didik yang menyatakan tidak setuju, serta tidak ada seorangpun dari peserta didik yang menyatakan sangat tidak setuju menggunakan atau menerapkan metode STAD pada pembelajaran selanjutnya. Pada siklus II siswa lebih semangat belajar mata pelajaran IPA dengan materi garis lurus. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa terlihat diskusi kelompok yang tampak serius, siswa tidak malu bertanya kepada teman, dan semangat maju ke depan baik untuk presentasi atau mengerjakan soal tampak tiap kelompok bersaing dengan kelompok lain untuk menyelesaikan hasil diskusi maupun menunjukkan hasilnya ke depan. Pembelajaran juga tepat waktu sesuai yang direncanakan, siswa lebih memahami arti kerja kelompok, sehingga kelas suasananya tenang. Pembahasan Antar Siklus 1. Pengamatan Aktivitas Berdasarkan dari hasil lembar observasi aktivitas peserta didik dalam proses pembelajaran pada siklus I dan siklus II dapat dilihat sebagai berikut: Tabel 12. Hasil Analisis Lembar Observasi Aktivitas Belajar Prasiklus, Siklus I dan Siklus II N o 1 2 3 4 5
Aktivitas Bertanya Menjawab Pertanyaan Mengemukaan gagasan Mengerjakan tugas Kerjasama kelompok Nilai rata –rata Kategori
Prasiklus Skor % 75 55 78 57 67 49 106 78 81 59 Cukup
Siklus I Skor % 94 69 91 67 79 58 108 79 86 63 91 67,4 Baik
Siklus II Skor % 103 76 101 74 91 67 110 81 102 75 101 74, 6 Baik
Deskripsi hasil analisis observasi aktivitas belajar pada tabel di atas dapat divisualisasikan pada grafik histogram berikut ini:
126 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
Gambar 3. Histogram Aktivitas Pada Prasiklus, Siklus I, Siklus II Sebelum melaksanakan metode STAD aktivitas bertanya siswa sebesar 55 %, aktivitas menjawab pertanyaan sebesar 57 %, aktivitas mengemukakan gagasan 49 %, aktivitas mengerjakan tugas 78 % dan aktivitas kerjasama kelompok 0 %. Pada siklus I aktivitas bertanya 69%, aktivitas menjawab pertanyaan 67 %, aktivitas mengemukakan gagasan 58 %, aktivitas mengerjakan tugas 79 % dan aktivitas kerjasa kelompok menjadi ada yaitu 63 % . Pada siklus II aktivitas bertanya sebesar 76%, aktivitas menjawab pertanyaan 74 %, aktivitas mengemukakan gagasan sebesar 67 % dan aktivitas kerjasama kelompok mengalami peningkatan yaitu menjadi 75%. Peningkatan aktivitas siswa setelah menggunakan metode STAD dikarenakan siswa berani bertanya maupun menjelaskan kepada teman sehingga proses pembelajaran menjadi tepat waktu sesuai dengan rencana dan suasana pembelajaran menjadi lebih menyenangkan. Hasil Belajar Nilai Individu Dari hasil belajar dapat dilihat pada table berikut: Tabel 13. Hasil tes sebelum tindakan, siklus I, dan siklus II N o 1 2 3 4
Kategori Sangat baik Baik Cukup Baik Kurang Baik Jumlah
Pra Siklus Siklus I Jumlah % Jumlah % Siswa Siswa 0 0 2 5,9 0 0 11 32,3 5 14,7 10 29,4 29 85, 3 11 32,3 34 100 34 100
Siklus II Jumlah % Siswa 2 5, 9 8 23, 5 17 50 7 20, 6 34 100
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 127 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
100 80 Pra Siklus
60
Siklus I
40
Siklus II
20 0 Sangat baik
Baik
Cukup Baik Kurang Baik
Gambar 4. Histogram hasil tes prasiklus, siklus I, siklus II. Sebelum menerapkan metode STAD atau sebelum tindakan tidak ada siswa yang memperoleh kriteria sangat baik, pada siklus I hasil belajar individu sebanyak 5,9 % dengan kriteria sangat baik, dan pada siklus II hasil belajar individu dengan kriteria sangat baik sebanyak 5,9 %. Pada kriteria baik sebelum tindakan juga tidak ada, pada siklus I hasil belajar individu dengan kriteria baik sebanyak 32, 3% dan pada siklus II 23,5%. Sedangkan pada kriteria cukup baik sebelum tindakan 14,7% pada siklus I 29,4 % dan pada siklus II 50 %. Secara garis besar terjadi peningkatan hasil belajar individu peserta didik pada siklus I dan pada siklus II. Hasil Belajar Nilai Kelompok Penggunaan metode STAD dalam pembelajaran untuk kerja kelompok pada siklus II terjadi perubahan seperti pada penekanan kerja kelompok pada siklus II untuk mengatasi kelemahan yang terjadi pada siklus I, dan kinerja kelompok mengalami peningkatan terlihat pada penghargaan kelompok pada tabel berikut : Tabel 13. Penghargaan Nilai Kelompok Pada Siklus I dan Siklus II No 1 2 3 4
Kategori Terbaik Baik Cukup Baik Kurang Baik Jumlah
SIKLUS I Jumlah % kelompok 1 12,5 5 62,5 2 25,0 0 0 8 100
128 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
SIKLUS II Jumlah % Kelompok 7 87,5 1 12,5 0 0 0 0 8 100
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
100 80 60
SIKLUS I
40
SIKLUS II
20 0 Terbaik
Baik
Cukup Baik Kurang Baik
Gambar 5. Histogram penghargaan nilai kelompok pada siklus I dan siklus II. Berdasarkan tabel 13 dan gambar histogram penghargaan nilai kelompok di atas menunjukkan bahwa kelompok dengan kategori terbaik pada siklus I sebanyak 12, 5 % pada siklus II mengalami peningkatan menjadi 87, 5 %, kategori baik pada siklus I sebanyak 62, 5 % pada siklus II menjadi12, 5 %, kategori cukup baik pada siklus I sebanyak 25 % pada siklus II menjadi tidak ada dan kategori kurang pada siklus II juga tidak ada. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis, dapat disimpulkan bahwa dengan menerapkan metode STAD (Student Teams Achievement Division) dapat ditingkatkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dapat meningkatkan aktivitas Peningkatan aktivitas belajar peserta didik yaitu dari sebelum tindakan dengan skor sebesar 81 (59 %) dengan kriteria cukup, pada Siklus I menjadi skor sebesar 91 (67,4 %) dengan kriteria baik dan pada Siklus II meningkat menjadi skor sebesar 101 ( 74,6 % ) dengan kriteria baik, karena terjadi peningkatan maka hipotesis tercapai. 2. Dapat meningkatkan hasil belajar Peningkatan nilai individu : (1)Kategori sangat baik sebelum menerapkan metode STAD sebesar 0 % setelah siklus I menjadi 5,9 % dan setelah siklus II 5,9 %. (2) Kategori baik sebelum menerapkan metode STAD 0 %, setelah siklus I menjadi 32,3 % dan pada siklus II menjadi 23%. (3) Kategori cukup baik sebelum menerapkan metode STAD dari 14,7 %, setelah siklus I menjadi 29,4 %, dan setelah siklus II JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 129 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Taofikoh
menjadi 50 %, sedangkan anak yang nilainya dalam (4) Katagori kurang baik sebelum menerapkan metode STAD jumlahnya sebesar 85, 3% setelah siklus I menjadi 32,3% dan setelah siklus II 20,6%. Dilihat dari uraian di atas tampak ada peningkatan jumlah siswa yang masuk dalam katagori Sangat Baik, Baik dan Cukup Baik sedang siswa yang masuk katagori Kurang Baik jumlahnya menjadi berkurang dengan pengurangan yang sangat besar yang berarti secara garis besar terjadi peningkatan nilai hasil belajar individu, karena terjadi peningkatan maka hipotesis tercapai. Saran
Ada beberapa saran yang perlu disampaikan sehubungan dengan penelitian ini, yaitu: 1. Guru hendaknya melaksanakan proses pembelajaran di kelas dengan memperhatikan tingkat kesulitan kompetensi pelajarannya. Pemilihan pendekatan, metode dan media pembelajaran yang tepat dapat membangkitkan aktivitas siswa, yang pada akhirnya dapat mewujudkan tujuan pembelajaran yang diharapkan. 2. Bagi siswa, yang perlu diperhatikan bahwa belajar kelompok lebih baik dari pada belajar sendiri, karena dalam belajar kelompok dituntut kerjasama dan tanggung jawab mencapai hasil maksimal. 3. Bagi Kepala Madrasah hendaknya selalu memberi motivasi kepada para guru untuk melakukan inovasi pembelajaran. Dukungan berupa fasilitas dan kebutuhan yang diperlukan guru dalam melaksanakan inovasi pembelajaran tentu akan memperlancar proses. Sedangkan dukungan berupa peningkatan kemampuan dan mengembangkan profesinya sangat diperlukan dengan memberi kesempatan yang luas untuk mengikuti pelatihan (Diklat), baik di forum MGMP maupun ditingkat yang lebih tinggi.
Guru membimbing kerja kelompok Siklus I
130 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Guru membimbing kerja kelompok Siklus II
PTK: Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar IPA Materi Gerak Lurus Melalui Metode Cooperative Learning Tipe STAD
Daftar Pustaka Ali, Muhammad, Strategi Penelitian Pendidikan, Bandung: Angkasa, 1995. ______________, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2008 Arikunto, Suharsimi, dkk, Dasar-Dasar Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2002. _________________, Managemen Penelitian, Jakarta: Bumi Aksara, 2003. Hamalik, Oemar, Kurikulum Dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2008. Hartono, PAIKEM Pembelajaran Aktif Inofatif Kreatif Efektif dan Menyenangkan, Pekanbaru: Zanata, 2008. Hizam, Zain, Pembelajaran Aktif, Jakarta: CTSD, 2011. Nashar, Peranan Motivasi dan Kemampuan Awal dalam Kegiatan Pembelajaran. Jakarta: Delia Press, 2004 Purwanto, Ngalim M, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. __________________, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007. Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Suprijono, Agus, Cooperatif Learning, Jakarta: Kalamulia Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010. Supriyono, Koes, Strategi Pembelajaran Fisika, Malang: Universitas Negeri Malang (UNM Malang), 2003. Trianto, Model Pembelajaran Terpadu, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Model Pembelajaran Terpadu, Konsep Strategi, dan Implementasi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
______,
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 131 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
KONSEP REZEKI DALAM AL-QURAN Achmad Kurniawan Pasmadi
STIT Muh. Kendal
[email protected] Abstrak: Rezeki memiliki korelasi dengan kehidupan manusi. Hakikat rezeki sering disahpahami berupa harta semata. Sebagian orang memandang ketika seseorang kaya berarti dimuliakan Allah, sebaliknya jika mendapati miskin orang tersebut dinilai hina di mata Allah. Seiring dengan lajunya industrialisasi di era post modern ini, pandangan manusia terhadap materi sejalan dengan keinginan manusia untuk memenuhi hasrat-hasrat hedonisme-nya. Oleh karena itu, tuntutan terhadap mencari rezeki tidak mengindahkan halal dan haram, dengan persepsi rezeki adalah segala-galanya. Banyak jalan menuju Roma, Tidak ada Rotan akarpun jadi, demikian konsep mencari rezeki. Lantas bagaimana konsep rezeki dalam Islam. Tulisan ini akan membedah tuntas konsep rezeki dalam al-Quran. Kata kunci : Rezeki, al-Quran, hamba-hamba. Pendahuluan Al-Quran merupakan kitab suci bagi umat Islam. Ia berperan sebagai pedoman bagi kehidupan setiap muslim. Dengan mengikuti petunjuk al-Quran setiap muslim akan memperoleh kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat. Maka, berpaling darinya akan menjadikan kehidupan seseorang jauh dari petunjuk, dan berada dalam kerugian. al-Quran sebagai sumber petunjuk bagi umat manusia mencakup beberapa garis besar di antaranya tentang permasalahan keyakinan atau tauhid, kemudian syariah yang mencakup hubungan vertikal kepada Allah, juga hubungan horisontal atau muamalah kepada manusia, permasalahan kisah-kisah dalam al-Quran, dan pembicaraan eskatolagi atau berita-berita ghaib berkenaan permasalahan akhirat. Demikian cakupan isi al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan fondasi moral bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Penulis adalah Dosen Tetap dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STIT Muhammadiyah Kendal, Sekretaris Majelis Tarjih Muhammadiyah Kabupaten Kendal, dan Ketua Ta`mir Masjid Muhammadiyah Desa Kumpulrejo Patebon Kendal.
132 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep Rezeki dalam al-Quran
Permasalahan muamalah yang terjadi antara seorang manusia dengan yang lain merupakan masalah yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan manusia. Baik muamalah terkait akhlak kepada setiap manusia, maupun muamalah yang terkait dengan hubungan transaksi untung dan rugi seperti adanya transaksi jual-beli, sewa-menyewa dan utang piutang. Maka salah satu hal yang harus dipahami dengan baik oleh manusia adalah hukum yang meliputinya, baik hukum halal, haram, mubah dan makruh dalam transaksi tersebut. Dan manusia dalam melakukan transaksi tidak terlepas dari faktor pemahamannya terhadap masalah dasar terkait dengan hakikat rezeki. Pemahaman terhadap konsep rezeki merupakan permasalahan yang penting untuk dibicarakan secara panjang lebar. Pemahaman yang benar akan rezeki akan memberikan dampak yang baik kepada pribadi maupun kepada masyarakat, dampak baik tersebut dapat terwujud berupa beberapa wujud perilaku diantaranya perilaku jujur dalam transaksi, perilaku mencari berkah dari transaksi tersebut, dan perilaku bahwa mencari rezeki merupakan bagian dari beribadah kepada Allah. Adapun pemahaman yang salah tentang rezeki akan berakibat buruk baik bagi pribadi maupun kepada masyarakat. Dampak buruk tersebut dapat berupa : pertama pemahaman yang sempit tentang rezeki dan cakaupannya, kedua seseorang yang tidak memahami rezeki sebagaimana tuntunan al-Quran akan terjerumus kepada jurang materealisme atau segala sesuatu diukur hanya yang nampak pada kasat mata. Oleh karena itu makalah berikut ini akan membahas pemahaman rezeki menurut perspektif al-Quran, baik dari definisi, pembagian rezeki, sifat-sifat rezeki dalam al-Quran, bahwa rezeki dan nyawa ditangan Allah, pintu-pintu rezeki, perbedaan rezeki antara seseorang dengan yang lain, rezeki di dunia terbatas dengan sebab-sebabnya dan berbeda dengan rezeki akhirat, tawakal dalam mencari rezeki. Definisi Rezeki Memahami hakikat rezeki, sangat penting melihat konsep rezeki dari beberapa tinjauan, baik rezeki secara bahasa maupun istilah. Setelah melakukan pengkajian yang panjang tentang maknanya secara bahasa ternyata istilah rezeki memiliki bayak makna, sebagai berikut: 1. Berkata Ibnu Mandzur kata rizqu-al-razzaq-al-razzaaq- bagian dari sifat Allah. Dikarenakan Allah memberikan rezeki kepada semua makhluk-Nya. Allah yang menciptakan rezeki, memberikan kepada makhluk-makhluk-Nya rezeki-rezeki-Nya dan menyampaikannya.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 133 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
Sedangkan rezeki terbagi menjadi 2 macam, yang pertama rezeki untuk badan atau fisik seperti bahan makanan, dan yang kedua rezeki batin bagi hati dan jiwa seperti pengetahuan dan berbagaimacam ilmu. Dan Allah berfirman dalam surat Hud, ayat 6 : (ْض إﱠِﻻ َﻋﻠَﻰ ا ﱠِ رِْزﻗـُ َﻬﺎ ِ ) َوﻣَﺎ ِﻣ ْﻦ دَاﺑﱠٍﺔ ِﰲ ْاﻷَر.1 2. Berkata Raghib: kadang-kadang kata rizki diungkapkan sesuatu yang bermakna pemberian, baik perkara keduniawiaan maupun perkara akhirat. Dan kadang-kadang kata rezeki juga digunakan untuk makna bagian. Dan ungkapan bagi apa yang masuk ke dalam tenggorokan dan dimakan oleh makhluk. Oleh karena itu sering dikatakan: penguasa memberikan rezeki tentaranya, atau akan diberikan rezeki berupa ilmu.2 3. Kata rizki dalam Mu’jam al-Wasith jika berharakat fathah maka ia merupakan masdar, dan jika berharakat kasrah ia sebagai nama bagi sesuatu yang direzekikan. Rizki juga bermakna sesuatu yang bermanfaat bagi seseorang. Masing-masing dari kedua pola kata tersebut dapat memiliki makna yang lain, seperti ungkapan apa yang bermanfaat dari apa yang dimakan, atau dipakai seperti pakaian. dan apa yang masuk ditenggorokan dan dimakan. Allah berfirman dalam surat al-Kahfi ayat ke 19 (ُْق ِﻣﻨْﻪ ٍ) ﻓَـﻠْﻴَﺄْﺗِ ُﻜ ْﻢ ﺑِﺮِز, dan hujan dikarenakan hujan sebagai sebab rezeki, dan begitu pula pemberian yang berlangsung.3 4. Menurut Ibnu Faris al-Razi, kata rezeki bermakna pemberian, oleh karena itu ada suatu ungkapan mengatakan ( )رزﻗﻪ ﷲ رزﻗًﺎyang artinya Allah memberinya rezeki.4 Berdasarkan beberapa pandangan mengenai rezeki dari segi bahasa di atas, dapat disimpulkan bahwa makna rezeki secara bahasa meliputi dua makna, makna pertama ialah pemberian, sedangkan makna kedua rezeki disebut sebagai apa-apa yang dimanfaatkan manusia, baik apa yang ia makan dan yang ia pakai dari pakaian. Adapun makna rezeki secara istilah adalah ungkapan bagi setiap apa-apa yang Allah sampaikan kepada para hewan, maka mereka memakannya. Maka rezeki tersebut mencakup rezeki yang halal dan 1
115.
Ibnu Mandhur al-Anshori, Lisanul Arab, juz : 10, (Mesir: Bairut, 1414 H), hlm.
Al-Ashfahani, Mufrodat fii Ghoribil al-Quran, juz: 1, (Dimasyiq: Dar al-Qolamal daar asy Syamiyah, 1412 H) 3 Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Washit, (Kairo: Dar ad-Dakwah) hlm. 351 4 Ahmad ibnu Faris, Maqaayisil Lughah, juz :2, ( Daarul al-Fikr, 1979) hlm. 388. 2
134 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep Rezeki dalam al-Quran
rezeki yang haram, dan jika dihubungkan kepada hewan maka ia dapat berbentuk makanan atau minuman bagi hewan tersebut. Adapun dalam pandangan Muktazilah rezeki adalah ungkapan dari sesuatu yang dimiliki seseorang dan orang tersebut memakannya. Berdasarkan konsep tersebut, menurut pandangan Muktazilah rezeki hanyalah rezeki halal saja, dan tidak ada rezeki yang haram. Gugusan pembahasan rezeki di atas jika diperhatikan hubungan antara makna rezeki secara bahasa dan istilah, dikandung maksud bahwa rezeki secara bahasa adalah pemberian, sedangkan secara istilah adalah sesuatu yang disampaikan, atau sesuatu yang disampaikan Allah kepada makhluk-Nya dan yang bermanfaat baginya. Penggunaan Lafadz Rezeki dalam al-Quran Al-Quran menyebutkan 123 lafadz rezeki di dalam al-Quran, 61 disebutkan dalam bentuk kata kerja, dan lafadz rezeki disebutkan dalam bentuk isi sebanyak 62.5 Adapun contoh penyebutannya dalam bentuk kata kerja, firman Allah dalam surat al-Maidah 88, Allah berfirman: ( )وﻛﻠﻮا ﳑﺎ رزﻗﻜﻢ ﷲ ﺣﻼﻻ ﻃﻴﺐاdan adapun dalam bentuk isim
adalah firman Allah dalam surat al-Baqorah ayat 60, Allah berfirman : {}ﻛﻠﻮا واﺷﺮﺑﻮا ﻣﻦ رزق ﷲ. Para ahli tafsir menyebutkan bahwa lafadz rezeki memiliki berbagai macam makna. Adapun rinciannya sebagai berikut: 1. Lafadz rezeki bermakna pemberian, sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqaroh ayat ke 3, Allah berfirman: { }وﳑﺎ رزﻗﻨﺎﻫﻢ ﻳﻨﻔﻘﻮنyang artinya dan dari apa-apa yang kami rezekikan/berikan kepada mereka mereka menafkahkan. 2. Lafadz rezeki bermakna makanan, sebagaimana terdapat dalam satu surat yaitu surat al-Baqarah ayat 25 yang terdiri dari dua potong ayat sebagai berikut, pertama: { }ﻛﻠﻤﺎ رزﻗﻮا ﻣﻨﻬﺎ ﻣﻦ ﲦﺮة رزﻗﺎyang maknanya mereka diberi makan dengannya, sedangkan kedua: { ﻗﺎﻟﻮا ﻫﺬا اﻟﺬي رزﻗﻨﺎ
} ﻣﻦ ﻗﺒﻞyang maknanya kami diberimakan.
3. Lafadz rezeki bermakna hujan, sebagaimana terdapat dalam dua
surat pertama surat ad dzariat ayat 22, kedua surat al-Jatsiyah ayat lima. Dalam al-Quran surat al-dzariat ayat 22, Allah berfirman: { } وﰲ اﻟﺴﻤﺎء رزﻗﻜﻢ وﻣﺎ ﺗﻮﻋﺪونmakna rezeki di atas adalah hujan. Ibnu Asur berkata: kata rezeki di atas adalah hujan, dalam pola kalimat ia berkedudukan sebagai majaz mursal, yang maksudnya bahwa hujan 5
Diakses di http://articles.islamweb.net/ pada 28-07-2016 pada jam 15.30. JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 135 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
adalah sebagai sebab rezeki bagi hamba Allah dengan berbagai macamnya. sedangkan surat al-jatsiah ayat 5, Allah berfirman: { وﻣﺎ
}أﻧﺰل ﷲ ﻣﻦ اﻟﺴﻤﺎء ﻣﻦ رزقberkata at-Thobari: ia adalah hujan yang 4.
5.
6.
7.
8.
dengannya bumi mengeluarkan rezeki-rezeki hamba dan makananmakanan mereka. Lafadz rezeki bermakna nafkah, sebagaimana terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233, Allah berfirman: {َﻮﻟُﻮِد ﻟَﻪُ رِْزﻗُـ ُﻬ ﱠﻦ َوﻛِ ْﺴ َﻮﺗـُ ُﻬ ﱠﻦ ْ } َو َﻋﻠَﻰ اﻟْﻤyang artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian, yang maksudnya bahwa nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam surat an-Nisa ayat 5, Allah berfirman: { َارُزﻗُﻮُﻫ ْﻢ ﻓِﻴﻬَﺎ وَا ْﻛﺴُﻮُﻫ ْﻢ ْ }وIbnu Abbas mengstsksn ksts rezeki pada ayat tersebut bermakna perintah ayah untuk memberikan nafkah kepada anaknya. Lafadz rezeki bermakna pahala, sebagaimana terdapat dalam surat al-Ali Imronh ayat 169, Allah berfirman: { } ﺑَ ْﻞ أَ ْﺣﻴَﺎءٌ ِﻋﻨْ َﺪ َرِِّ ْﻢ ﻳـ ُْﺮَزﻗُﻮ َنyang artinya: Bahkan mereka itu hidupdisisi Tuhannya dengan mendapat rezki. Maknanya mereka diberi pahala aatas apa yang telah mereka kerjakan dan atas apa yang mereka korbankan. Lafadz rezeki bermakna surga, sebagaimana terdapat dalam surat tohaa ayat 131, Allah berfirman: {ِﻚ َﺧْﻴـٌﺮ َوأَﺑْـﻘَﻰ َ ّْق َرﺑ ُ } َوِرزyang artinya : Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. Imam alBaghowi mengatakan maksudnya dalah surga. Sebagaimana juga firman Allah terkait isteri-isteri nabi dalam surat al-Ahzab ayat ke 31, Allah berfirman: { } َوأَ ْﻋﺘَ ْﺪﻧَﺎ ﳍََﺎ رِْزﻗًﺎ َﻛ ِﺮﳝًﺎyang artinya dan Kami sediakan baginya rezki yang mulia. Dan maksud dari rezeki yang mulia adalah surga. Lafadz rezeki bermakna syukur, sebagaimana terdapat dalam surat al-Waqiah ayat 82, Allah berfirman: {َﲡ َﻌﻠُﻮ َن رِْزﻗَ ُﻜ ْﻢ أَﻧﱠ ُﻜ ْﻢ ﺗُ َﻜ ِّﺬﺑُﻮ َن َْ } وyang artinya : kamu mengganti rezki (yang Allah berikan) dengan mendustakan Allah. Imam at-Thobari mengatakan: kalian jadikan syukur nikmat kepada Allah dengan kedustaan. Lafadz rezeki bermakna buah-buahan, sebagaimana terdapat dalam surat ali-Imron ayat 37, Allah berfirman: { } َو َﺟ َﺪ ِﻋﻨْ َﺪﻫَﺎ رِْزﻗًﺎyang artinya: kebanyakan ahli tafsir dari kalangan sahabat dan tabi’in memaknai kata rezeki di atas sebagai buah-buahan, mereka berkata: zakaria mendapati di sisi maryam buah-buahan musim panas di musim dingin dan buah-buahan musim dingin di musim panas.
136 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep Rezeki dalam al-Quran
Pembagian Rezeki dan Sifat-sifat Rezeki dalam al-Quran Pembagian Rezeki Membagi rezeki kedalam beberapa bagian merupakan hasil dari pemahaman terhadap dalil-dalil yang bertemakan rezeki. Dari pemahaman dalil-dalil tersebut dapat dipahami bahwa rezeki terbagi menjadi dua macam. Adapun perinciannya sebagai berikut: 1. Rezeki umum Rezeki umum adalah rezeki yang diberikan mencakup orang yang taat, orang yang fajir (banyak berbuat dosa), orang beriman dan orang kafir, orang yang dewasa maupun anak-anak, berakal maupun tidak berakal, dan mencakup seluruh yang ada di dunia ini, seperti : ikan yang ada di laut, binatang buas di dalam kandang, maupun janinjanin yang berada di perut ibu, maupun semut yang berada di dalam tanah. Hal tersebut berdasarkan pemahaman dari ayat dalam surat alHud ayat ke 6, yang menjelaskan bahwa tidaklah dari binatang melata kecuali ada bagian rezekinya, baik makanannya dan apa yang menjadi penghidupannya. Allah berfirman dalam surat al-Hud ayat 6, sebagai berikut:
.ﲔ ٍ َِﺎب ُﻣﺒ ٍ ْض إﱠِﻻ َﻋﻠَﻰ ا ﱠِ رِْزﻗُـﻬَﺎ َوﻳـَ ْﻌﻠَ ُﻢ ُﻣ ْﺴﺘَـ َﻘﱠﺮﻫَﺎ َوُﻣ ْﺴﺘـ َْﻮَد َﻋﻬَﺎ ُﻛﻞﱞ ِﰲ ﻛِﺘ ِ َوﻣَﺎ ِﻣ ْﻦ دَاﺑﱠٍﺔ ِﰲ ْاﻷَر
“dan tidaklah binatang di muka bumi kecuali atas Allah rezekinya, dan ia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya, semuanya dalam kitab yang nyata”.
Dari ayat di atas dapat dipahmi bahwa Allah akan menjamin dan menanggung rezeki makhluk-makhluk-Nya sebagai karunia dan pemuliaan terhadap makhluk-makhluk-Nya. Adapun jenis dari rezeki ini dapat menjadi rezeki yang halal dan kadang dapat menjadi rezeki yang haram, dan penetapan status atas halal dan haram suatu rezeki dikembalikan kepada penilaian syariat terhadapnya, maka jika suatu rezeki dibolehkan untuk dikonsumsi, dan dibenarkan cara perolehannya maka ia termasuk jenis rezeki yang mubah atau boleh untuk dipergunakan. Adapun sebaliknya jika rezeki tersebut tidak diperkenankan memakannya dan tidak dibenarkan cara perolehannya maka termasuk rizki yang diharamkan. 2. Rezeki khusus Adapun maksud dari rezeki yang khusus adalah rezeki yang bermanfaat bagi hamba-hamba-Nya. Dan juga berlanjut manfaatnya di dunia dan akhirat, maka ia mencakup rezeki hati atau jiwa manusia, seperti ilmu yang bermanfaat, hidayah dan petunjuk, taufik kepada JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 137 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
perilaku yang baik, dan berperilaku baik, dan menjauhi dari perilaku buruk, dan semua tadi adalah rezeki yang sebenarnya yang bermanfaat bagi manusia bagi dunia dan akhiratnya. Hal tersebut sebagaimana difirmankan Allah dalam surat at-Thalaq ayat ke 11, sebagai berikut:
ﱠﺎت َْﲡﺮِي ِﻣ ْﻦ َْﲢﺘِﻬَﺎ ْاﻷَﻧْـﻬَﺎ ُر ﺧَﺎﻟِﺪِﻳ َﻦ ﻓِﻴﻬَﺎ أَﺑَ ًﺪا ﻗَ ْﺪ ٍ ْﺧْﻠﻪُ َﺟﻨ ِ َوَﻣ ْﻦ ﻳـ ُْﺆِﻣ ْﻦ ﺑِﺎ ﱠِ َوﻳـَ ْﻌ َﻤ ْﻞ ﺻَﺎﳊًِﺎ ﻳُﺪ أَ ْﺣ َﺴ َﻦ ا ﱠُ ﻟَﻪُ رِْزﻗًﺎ “Siapa yang beriman kepada Allah dan dan mengerjakan amal kebajikan, Allah akan memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, sungguh Allah telah memberikan rezeki yang baik baginya”.6
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa rezeki khusus adalah rezeki yang khusus bagi kaum muslimin karena mencakup halhal yang bermanfaat baik di dunia hingga akhirat. Rezeki tersebut mencakup rezeki yang pertama yaitu rezeki bagi badan dengan hal-hal yang dihalalkan bagi syariat. Sifat-sifat Rezeki dalam al-Quran Manusia sering berpendapat bahwa rezki itu hanya berupa perolehan yang diperoleh seseorang hasil kerjanya berupa harta benda. Pandangan demikian merupakan pemahaman yang keliru, hal tersebut dikatakan keliru karena makna dari kosa kata rezeki memiliki makna yang luas meliputi makna secara indrawi berupa hal-hal yang menjadi penunjang kehidupan berupa makanan dan minuman dan lain sebagainya. Dan demikian pula rezeki memiliki makna yang meliputi makna secara immateri atau maknawi seperti ilmu pengetahuan, dan ilmu-ilmu duniawi maupun ukhrawi. Adapun sifat-sifat rezeki di dalam al-Quran sangat banyak, dan akan disebutkan sebagiannya, diantara rezeki-rezeki tersebut adalah: 1. Rezeki yang Halal dan Baik Adapun yang disebut dengan rezeki yang halal adalah: apa-apa yang tidak disebutkan pengharamannya dalam al-Quran dan sunnah, dan tidak ada sedikitpun syubhat terkecil bahwa hal tersebut haram. islam memberikan taklif atau beban kepada umatnya agar mencari rezeki yang halal, hal tersebut berdasarkan firman Allah dalam surat alMaidah ayat 88: 6 Diakses di http://www.dorar.net/enc/aqadia/566, pada hari kamis, 28 Juli 2016, jam 15.49.
138 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep Rezeki dalam al-Quran
َﻼًﻻ ﻃَﻴِّﺒًﺎ َ َوُﻛﻠُﻮا ﳑِﱠﺎ َرَزﻗَ ُﻜ ُﻢ ا ﱠُ ﺣ
“Dan makanlah dari apa-apa yang Allah rezekikan kepada kalian yang halal lagi baik”.
Sedangkan kata baik dalam halal lagi baik memiliki artinya setiap apa-apa yang merupakan rezeki bagi setiap muslim dan ia baik di sisih Allah. Berkata hasan al-Basri dalam mensikapi ayat ini: yang halal lagi baik adalah apa-apa tidak dimintaai pertanggung jawaban di akhirat, sedangkan semestinya ia pada umumnya dimintaai pertanggung jawaban, dan setiap yang baik itu pasti halal sedangkan tidak setiap yang halal itu baik. 2. Rezeki yang Hasan Adapun rezeki yang hasan di dalam al-Quran diungkapkan untuk bayak makna, salah satu penggunaannya untuk menjelaskan kenabian dan hikmah, sebagaimana kisah Nabi Syuaib ketika mendebat kaumnya dalam surat Hud ayat ke 88, Allah berfirman: “Syuaib berkata wahai kaumku, bagaimana pikiranmu jika kau mempunyai bukti yang nyata dari tuhanku dan dianugrahinya aku dari pada-Nya rezeki yang baik”. Adapun maksud dari rezeki hasan pada ayat tersebut bermakna kenabian dan hikmah. Adapun penggunaan makna rezeki yang hasan dalam ayat yang lain bermakna setiap apa-apa yang mengambil manfaat darinya manusia, baik dari buah-buahan seperti kurma dan anggur, hal tersebut sebagaiman firman Allah dalam surat an-Nahl ayat 67, Allah SWT. berfirman: dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki hasan/baik. Dari ayat di atas kata memabukkan tidak dikatagorikan sebagai rezeki yang hasan dan walaupun ia berasal dari buah kurma dan angggur. Dan juga kata rezeki yang hasan dipergunakan untuk makna kenikmatan syurga, hal tersebut sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Hajj ayat ke 58, Allah berfirman: dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka di bunuh atau mati, benarbenar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allah sebaik-baik pemberi rezeki. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa kaum muhajirin berhak memperoleh syurga karena mereka hijrah dan berperang di jalan Allah. 3. Rezeki yang Karim atau Mulia Rezeki hasan adalah semulia-mulia yang diperoleh hamba di kehidupan dunia, dan sedangkan rezeki yang mulia adalah setinggitinggi yang diperoleh hamba berupa rezeki ukhrowi. Hal tersebut
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 139 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al-Anfal ayat ke 4, Allah SWT. berfirman yang artinya: itulah orang-orang yang beriman yang sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki yang mulia. Adapun berdasarkan ayat di atas bahwa rezeki yang mulia adalah apaapa yang allah siapkan bagi orang-orang yang beriman dari tambahan makanan, minuman dan hidup yang tenang dan itulah rezeki yang langgeng disertai pemuliaan dan pengagunagan. Dan pemahaman rezeki mulia tersebut di atas tidak meniadakan pemahaman bahwa di dunia terdapat rezeki yang mulia, dan hal tersebut dapat berwujud: rasa aman dari rasa takut, luasnya rezeki, dan badan yang sehat. 4. Rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka Allah menyebut dalam al-Quran rezeki yang tidak disangkasangka dengan sebutan al-Rizqu Bighoiri Hisab. Adapun penyebutan rezeki yang tidak disangka-sangka di dalam al-Quran di tujukan kepada orang-orang beriman dalam dua tema, adapun tema-tema tersebut sebagai berikut: a. Tema pertama berlaku di akhirat, dan ini berdasarkan kepada firman Allah surat al-Baqaroh ayat 212, Allah berfirman: “Dan Allah memberikan rezeki kepada siapa yang ia kehendaki dengan tanpa hisab/batasan”. Fahrur Razi menjelaskan dengan dua penjelasan. Pertama, bahwa Allah memberikan rezeki kepada siapa yang dikehendaki, mereka adalah orang-orang yang beriman dengan tanpa hisab, maksudnya rezeki yang luas menyenangkan yang tidak fana dan terputus. Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam surat al-Ghofir ayat ke 40, Allah SWT. berfirman: ”Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalas melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezki di dalamnya tanpa hisab”. Sedangkan poin kedua penjelasannya bahwa manfaat yang sampai kepada mereka di akhirat sebagiannya adalah merupakan balasan yang merupakan pahala, dan sebagiannya adalah karunia, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 173, Allah berfirman: Adapun orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh, maka Allah akan menyempurnakan pahala mereka dan menambah untuk mereka sebagian dari karunia-Nya. Sedangkan karunia Allah yang dimaksud adalah tanpa hisab. Dan hal hal tersebut sebagaimana dijelaskan pada surat an-Nur ayat 38, Allah berfirman:” (Meraka mengerjakan
140 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep Rezeki dalam al-Quran
yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa batas. “ b. Tema kedua berlaku ketika di dunia, dan hal tersebut sebagai bentu kebaikan dan pemulian, sebagaima firman Allah dalam surat al baqorah ayat 212 dan surat ali Imron ayat 27. Adapun firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 212 sebagai berikut, Allah berfirman: : “Dan Allah memberikan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dengan tanpa hisab/batasan”. Dan perkataan Allah dalam surat ali Imron ayat 27, Allah berfirman: Dan Engkau beri rezki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)." Dalam tafsir al Kabir: sesunggunya Allah memberikan apa yang dikehendaki tanpa hisab dan memberikan rezeki siapa yang dikehendaki sebagai bentuk karunia. Hal tersebut sebagaimana kisah Imron dan Maryam ayat ke 37, Allah berfirman: Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah." Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab. Sedangkan rezki tersebut berupa buah-buahan musim dingin pada musim panans, dan buah-buahan musim panas pada musim dingin.7 Rezeki Makhluk Ditangan Allah Pemahaman tentang rezeki merupakan bagian yang penting bagi akidah seoarang muslim. Pemahaman tentang rezeki yang benar memiliki peranan penting dalam membentuk tingkah laku dan dan pandangan kedepan dalam hal kemantapan jiwa dan ketentraman bahwa rezeki berada dalam kekuasaan Allah. Adapun ayat-ayat al-Quran banyak yang menjelaskan bahwa rezeki makhluk-makhluk Allah semua berada ditangan Allah, dan Allah yang menjamin dan memberikan rezeki tersebut kepada hambahamba-Nya, dan di antara ayat-ayat tersebut banyak namun penulis hanya menyebutkan penjelasannya hanya pada tiga ayat, adapun ayatayat yang menunjukkan bahwa Allah menjamin rezeki adalah ayat pada (Surat Yunus ayat 31, Surat an-Naml ayat 64, Surat Saba’ ayat 24, 7 Penjelasan materi konsep rezeki menuurt al-Quran ini dapat diakses pada http://www.maghress.com/attajdid/1149.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 141 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
Surat al-Mulk ayat 21, Surat al-Mulk ayat 21, Surat Yunus ayat 31, Surat Adzariat ayat 58,) penjelasannya sebagai berikut: 1. Surat yunus ayat 31, Allah berfirman:
ج ُ ِﺖ وَﳜُْ ِﺮ ِ ّج اﳊَْ ﱠﻲ ِﻣ َﻦ اﻟْ َﻤﻴ ُ َاﻷَﺑْﺼَﺎ َر َوَﻣ ْﻦ ﳜُْ ِﺮ ْ ِﻚ اﻟ ﱠﺴ ْﻤ َﻊ و ُ ْض أَﱠﻣ ْﻦ ﳝَْﻠ ِ َاﻷَر ْ ﻗُ ْﻞ َﻣ ْﻦ ﻳـ َْﺮُزﻗُ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِء و (31) َﻼ ﺗَـﺘﱠـﻘُﻮ َن َ ِﺖ ِﻣ َﻦ اﳊَْ ِّﻲ َوَﻣ ْﻦ ﻳُ َﺪﺑُِّﺮ ْاﻷَ ْﻣَﺮ ﻓَ َﺴﻴَـﻘُﻮﻟُﻮ َن ا ﱠُ ﻓَـ ُﻘ ْﻞ أَﻓ َ ّاﻟْ َﻤﻴ
“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidupdan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah." Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?"
Para ahli Tafsir menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan perintah Allah untuk berdialok dengan orang musyrik Arab tentang siapakah pemberi rezeki dari langit dan bumi, dan ternyata orangorang musyrik mengakui bahwa Allah yang memberi rezeki dari langit dan bumi.8 2. Surat an-Naml ayat 64, Allah berfirman:
ْض أَإِﻟَﻪٌ َﻣ َﻊ ا ﱠِ ﻗُ ْﻞ ﻫَﺎﺗُﻮا ﺑـ ُْﺮﻫَﺎﻧَ ُﻜ ْﻢ إِ ْن ِ َاﻷَر ْ أَﱠﻣ ْﻦ ﻳـَْﺒ َﺪأُ اﳋَْْﻠ َﻖ ﰒُﱠ ﻳُﻌِﻴ ُﺪﻩُ َوَﻣ ْﻦ ﻳـ َْﺮُزﻗُ ُﻜ ْﻢ ِﻣ َﻦ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ ِء و (64) ﲔ َ ُِﻛْﻨﺘُ ْﻢ ﺻَﺎ ِدﻗ
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)?. Katakanlah: "Unjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orangorang yang benar."
Sebagian penafsir menjelaskan bahwa secara logika ayat ini menghubungkan awal penciptaan dengan memberi rezeki, dan hal itu berkonsekuen bahwa yang memberi rezeki tersebut adalah Allah. Sebaliknya jika kata rezeki tersebut dihubungkan dengan hari berbangkit, maka akan menimbulkan pemahaman bahwa yang memberi rezeki di dunia adalah tuhan-tuhan mereka selain Allah, dan pemberi rezeki di akhirat adalah Allah. 8 . Mujiruddin bin Muhammad al-Alimi, Fathul Rahman Fii Tafsiril Quran, jus:3 (Daarun Nawadhir, 2009) hal.281.
142 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep Rezeki dalam al-Quran
3. Surat ad-Dzariat ayat 58, Allah berfirman:
ﲔ ُ ِﱠاق ذُو اﻟْ ُﻘ ﱠﻮةِ اﻟْ َﻤﺘ ُ إِ ﱠن ا ﱠَ ُﻫ َﻮ اﻟﱠﺮز
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh”.
rezki
Yang
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah yang memberikan rezeki kepada makhluknya dan menjamin rezeki tersebut, dan juga menjelaskan bahwa Allah memiliki kekuatan yang sangat kokoh. Dua sifat tersebut memberikan pemahaman bahwa, pertama Allah Maha Pemberi Rezeki yang tidak membutuhkan rezeki kepada selainnya, dan jika ada seseorang yang membutuhkan rezeki kepada selainnya berarti ia adalah lemah, dan membutuhkan kepada selainnya. Kedua, bahwa Allah memiliki kekuatan yang sangant kokoh, ayat menunjukkan bahwa Allah dzat yang tidak membutuhkan kepada pekerjaan, dan siapa yang membutuhkan pekerjaan dari selainnya menunjukkan bahwa ia adalah lemah dan tidak memiliki kekuatan.9 Pintu-pintu Rezeki: Ketaatan akan Menambah Rezeki dan Kemaksiatan akan Merusaknya Allah memberikan informasi kepada hamba-hamba-Nya dalam kitab suci al-Quran bahwa ketaatan kepada-Nya menjadi sebab mendatangkan, memperluas dan menambah rezeki. Hal tersebut ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antara ayat-ayat tersebut dan penjelasannya sebagai berikut: Pertama, Q.S al-Thalaaq ayat ke 2 dan ke tiga: “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar {2}, sedangkan pada ayat ke 3, Allah berfirman: “Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. {3}. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa barangsiapa yang bertakwa kepada Allah dalam perintah-Nya dan bertakwa dalam larangan-laranganNya, maka Allah akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak duga-duga. Kedua, Q.S al-A’raf ayat 96: “Jikalau sekiranya penduduk negerinegeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa salah satu dari sunatullah yang berlaku bagi makhluk-Nya adalah jika 9 Jamaah min Ulamaaut Tafsir, al-Mukhtashor fii Tafsiiril al-Quran, juz : 1, (Markas Tafsir Liddiraasah al-Islamiyah, 1436 H), hlm. 523.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 143 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
suatu penduduk negeri beriman dan bertakwa dengan seluruh konsekwensinya niscaya Allah akan membuka barokah-Nya tanpa batas dari berbagai arah, di antaranya dari atas mereka dan dari bawah kaki-kaki mereka. Dari kedua ayat di atas dapat disimpulkan bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Allah merupakan salah satu sebab bertambahnya rezeki pada seorang hamba. Namun dalam pemahaman yang benar bahwa tidak dibenarkan seseorang meninggalkan ikhtiyar mencari rezeki dengan alasan bertawakal dengan jaminan Allah. Nabi menjelaskan dalam suatu hadits: “Jikalau kalian bertawakal dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Allah akan memberikan rezeki sebagaimana Allah memberikan rezeki kepada seekor burung, pergi di pagi hari dengan lapar dan kembali ke sangkar pada sore hari dengan perut yang kenyang”.10 Adapun kemaksiatan akan berpengaruh kepada rezeki seseorang. Di antara akibat dari perbuatan maksiat yang dilakukan seseorang adalah bahwa Allah akan menghilangkan berbagai keberkahan pada seseorang, di antaranya: berkah umur, ilmu, amal, berkah ketaatan kepada Allah, maka dapat dikatakan bahwa seseorang kehilangan berkah baik berkah agama dan dunianya. Dan tidaklah hilang keberkahan pada seseorang kecuali karena perbuatan maksiat seseorang. Hal ini sesuai dengan pemahaman dari mafhum mukholafah/pemahaman terbalik dari ayat surat al-A’rof 96, Allah berfirman: “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Pendapat ini didukung dengan sabda nabi: Sesunggunya seorang hamba sungguh dihalangi dari rezeki karena perbuatan dosanya. Maka dapat disimpulkan bahwa bukanlah lapangnya rezeki dan banyaknya karena banyaknya secara fisik, demikian juga tidaklah umur yang panjang dikarenakan banyaknya jumlah bulan dan tahun yang dilewati hamba, namun dikatakan demikian jika padanya terdapat berkah. Perbedaan Kuantitas Rezeki di antara Manusia Al-Quran dalam banyak ayatnya memberikan gambaran kepada umatnya bahwa rezeki antara seseorang dengan yang lainnya berbedabeda, hal ini ditunjukkan dalam beberapa ayat dalam al-quran. Diantara beberapa ayat tersebut adalah sebagai berikut: 10 Ibnu Hajar al-Atsqolani, Fathul Baari Syarah Imam Bukhori, juz: 11, (Bairut: Daarul Marifah, 1379), hlm. 306.
144 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Konsep Rezeki dalam al-Quran
Pertama, Q.S an-Nahl ayat 71, Allah berfirman: ”Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”. Adapun inti dari ayat di atas bahwa Allah melebihkan rezeki seseorang dari yang lain, maka didapati ada orang yang kaya dan adapula orang yang miskin, ada tua dan adapula budak. Kedua, Q.S al-Fajr ayat 15 dan 16, Allah berfirman: “Adapun ayat ke 15. Allah berfirman: “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: "Tuhanku telah memuliakanku." Adapun ayat ke 16 Allah berfirman: Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya maka dia berkata: "Tuhanku menghinakanku". Mujiruddin dalam fatkhurrahman menjelaskan kedua ayat tersebut bahwa : Rezeki yang berbeda-beda antara makhluk Allah adalah sebagai ujian, namun ada manusia ketika Allah mengujinya dengan menyempitkan rezekinya, maka ia berkata tuhanku menghinakanku. Adapun jika Allah mengujinya dengan melapangkan rezekinya. Maka ia berkata tuhanku telah menghinakannku. Maka Allah membantah hal anggapan bahwa kekayaan merupakan tanda dimuliakan dan kemiskinan merupakan tanda dihinakan merupakan anggapan yang keliru. Maka jika ada yang diuji dengan kekayaan maka hendaklah bersyukur dan taat kepada Allah. Adapun jika ia diuji dengan kemiskinan maka hendaklah bersyukur dan bersabar. Dan sebenarnya kemuliaan pada hamba dikarekan takwa dan kehinaannya disebabkan karena perbuatan dosa. Simpulan Konsep rezeki merupakan hal yang amat erat dengan kehidupan manusia. Maka jika manusia memahami dengan benar maka ia akan menjalani hidupnya dengan ketaatan dan bahagia, adapun jika seseorang tidak memahami konsep rezeki dengan baik maka akan dikhawatirkan terjerumus kepada pemahaman yang salah, yang berakibat akan merugikan diri sebagai personal dan masyarakat secara umum. Dari makalah yang disajikan tentang konsep rezeki dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Banyak dari masyarakat memahami rezeki dengan pemahaman yang salah, baik pandangan bahwa rezeki dari definisi, hakikat dan pandanagan secara umum tentang rezeki.
JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA | 145 Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015
Achmad Kurniawan Pasmadi
2. Secara definisi kata-kata rezeki memiliki makna secara bahasa dan istilah yang saling berdekatan, secara bahasa makna rezeki adalah pemberian, dan atau sesuatu yang bermanfaat bagi makhluk-Nya. Maka secara istilah rezeki itu sesuatu yang bermanfaat bagi manusia baik dalam urusan dunia dan urusan akhirat. 3. Sebagian manusia salah dalam memandang rezeki, mereka hanya menilai rezeki adalah harta saja. Padahal makna rezeki sangatlah luas, ada rezeki yang sifatnya materi yang dapat diindra seperti makanan, minuman, harta benda yang bermanfaat bagi seseorang. Disitu pula ada rezeki yang sifatnya maknawi, contoh seperti kesehatan, ilmu, pengetahuan, isteri yang shalihah, amal-amal shalih seseorang karena amal shalih tersebut akan membawa manfaat seseorang baik di dunia maupun di akhirat. 4. Rezeki setiap makhluk Allah berada ditangan Allah, dan Allah yang menjamin rezeki setiap makluk-Nya. Namun hal ini tidak menjadi alasan seseorang bermalas-malasan dan tidak menyongsong rezeki, karena rezeki hamba ketika di dunia dicari dengan sebab-sebab ataupun ikhtiar memperoleh rezeki. 5. Rezeki dapat bertambah dengan amal shalih, sebaliknya rezeki akan hilang keberkahannya disebabkan oleh maksiat seorang manusia. 6. Dalam konsep al-Quran bahwa rezeki yang Allah berikan kepada makhluk-makhluk-Nya berbeda-beda, dan sesuai dengan hikmahNya, sebagian ada yang Allah kayakan dan sebagian yang lain Allah sempitkan rezekinya sebagai cobaan darinya, dan bukan karena pemuliaan terhadap seseorang ataupun kehinaan pada seseorang. Adapun kemulyaan dan kehinaan kembali kepada ketaatan dan maksiat hamba kepada Allah. Daftar Pustaka Ahmad ibnu Faris, Maqaayisil Lughah, Daarul al-Fikr, 1979. Al-Ashfahani, Mufrodat fii Ghoribil al-Quran, Dimasyiq: Darul alQolam al-Daar asy-Syamiyah, 1412 H. Ibnu Hajar al-Atsqolani, Fathul Baari Syarah Imam Bukhori, Bairut: Daarul Marifah, 1379. Ibnu Mandhur al-Anshori, Lisanul Arab, Mesir: Bairut, 1414 H . Jamaah min Ulamaaut Tafsir, al-Mukhtashor fii Tafsiiril al-Quran, Markas Tafsir Liddiraasah al-Islamiyah, 1436 H. Mujiruddin bin Muhammad al-Alimi, Fathul Rahman Fii Tafsiril Quran, Daarun Nawadhir, 2009. http://www.maghress.com/attajdid/1149.
146 | JURNAL DIDAKTIKA ISLAMIKA Volume 6 Nomor 2 – Agustus 2015