Position Paper 1/2014
Menolak Rencana PerMen Sensor Sapujagat 2013-2014 “Menguji Pengaturan Bloking dan Filtering Konten Internet di Indonesia”
Supriyadi Widodo Eddyono Anggara
IMDLN Indonesia Media Defense Litigation Network
Dipersiapkan dan disusun oleh: Supriyadi Widodo Eddyono Senior Researcher Associate Anggara Senior Researcher Associate Editor : Erasmus A.T. Napitupulu Lisensi Hak Cipta
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License. Diterbitkan oleh
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) Sekretariat Jln. Cempaka No. 4, Pasar Minggu Jakarta Selatan 12530 Phone/Fax: 021 7810265 Email:
[email protected] website: http://icjr.or.id/
Dipublikasikan pertama kali pada: 27 Mei 2014
ii
DAFTAR ISI 1. Pendahuluan …………………………………………………………………………………………………… 1.1. Ruang Lingkup Kebijakan Konten Internet Di Beberapa Yuridiksi………………. 1.2. Prinsip Dan Standar Internasional Dalam Kebijakan Pembatasan Konten…… 1.3. Perkembangan Dan Inisiatif Internasional………………………………………………… 1.4. Ruang Lingkup Hukum Bloking dan Filtering Konten Internet di Indonesia… 1.5. Praktek Pemblokiran Dan Penyaringan (Blocking/Filtering) Di Indonesia…….
2.
3.
4.
1 1 2 3 5 6
Rencana Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang Kebijakan Konten Tahun 2013…………………………………………………………………………………………..……………….
10
2.1. Situs Internet Bermuatan Negatif………………………………………………………………. 2.2. Peran Pemerintah, Penyelenggara dan Masyarakat dalam Kebijakan Konten 2.3. Tata Cara Pemblokiran………………………………………………………………………………. 2.4. Prosedur Normalisasi………………………………………………………………..……………….
10 11 11 13
Kritik atas Rancangan Permenkominfo tentang kebijakan Konten……………………….. 3.1. Pembatasan Atau Sensor Terhadap Internet Harus Dilakukan Dengan Undang-Undang…………………………………………………………………………….. 3.2. Pembatasan Konten Harus Terkait Dengan Penegakan Hukum Pidana………….. 3.3. Kewenangan Pemerintah (Menkominfo) yang Terlalu Luas…………………………… 3.4. Sensor yang Kebablasan Akan Merugikan Publik……………….……………….………… 3.5. Pengujian Terhadap Trust+Positif…………………………………………………………………
13
Penutup……………….……………….……………….……………….……………….……………….…………. 4.1. Simpulan……………….……………….……………….……………….……………….………………. 4.2. Rekomendasi……………….……………….……………….……………….……………….…….….
19 19 20
13 14 17 18 18
Lampiran Draft Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penanganan Situs internet bermuatan Negatif……………….……………….……………….……………….……………….…
21
Tentang ICJR, IMDLN dan Penulis……………….……………….……………….……………….……………….……
27
iii
1. Pendahuluan Saat ini, praktik pemblokiran dan penyaringan merupakan praktik yang mulai dilakukan untuk menutup akses pengguna terhadap konten yang tersaji di internet. Beberapa alasan umum praktik pemblokiran dan penyaringan ini, antara lain terkait dengan kontrol terhadap ekspresi politik, baik berupa ekspresi yang dilakukan oleh warga negaranya, maupun sebagai upaya untuk menghalangi pengaruh dari luar negaranya terhadap praktik politik di dalam suatu negara. Selain itu, praktik pemblokiran sering pula didasarkan pada alasan yang terkait dengan pencegahan pornografi serta melindungi moralitas masyarakat. Walaupun begitu praktik pemblokiran dan penyaringan ini telah jamak dilakukan melalui beberapa cara, yakni diantaranya melalui pencegahan pengguna mengakses laman tertentu, pemblokiran Internet Protocol (IP), ekstensi nama domain, dan penutupan suatu laman dari laman server yang ditempatinya. Selain itu, pencegahan akses juga dilakukan dengan menerapkan sistem filter untuk memblok atau membuang laman yang mengandung kata‐kata kunci tertentu. Dalam beberapa kasus, praktik ini dilakukan secara bervariasi, terdapat kasus‐kasus dimana pemerintah memblok laman dan penyedia jasa, seperti dalam kasus pemblokiran YouTube dan penyaringan mesin mencari di Cina1. Dalam beberapa hal praktik ini melibatkan pihak perantara pada saat penyedia jasa yang ‘dipaksa’ melakukan pemblokiran atau penyaringan pada penggunanya. Pola penyaringan dan pemblokiran jenis ini berlangsung pula di Indonesia, perintah datang dari Kementerian Komunikasi dan Informatika kepada para penyedia layanan (ISP). Beberapa contoh, seperti dalam kasus RIM di Indonesia kewajiban melakukan pemblokiran oleh penyedia jasa dimasukkan sebagai bagian dari perijinan beroperasi Khusus di Indonesia, sebetulnya belum adanya ketentuan yang secara detail mengatur mekanisme dan tata cara pemblokiran/ penyaringan konten. Indonesia juga belum memiliki suatu badan khusus yang independen, yang diberikan mandat untuk melakukan pemblokiran dan penyaringan konten internet. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terbatas hanya memberikan mandat yang terkait dengan konten-konten yang dianggap melawan hukum, namun lupa untuk memasukkan kebijakan kontrol terhadap konten. 1.1. Ruang lingkup kebijakan konten Internet di beberapa yurisdiksi Salah satu dari berbagai isu sosio kultural dalam ranah internet adalah kebijakan konten, isu ini sering dibahas dari berbagai sudut pandang, mulai dari dari hak asasi manusia (kebebasan berekpresi dan kebebasan berkomunikasi), pemerintah dan teknologi. Paling tidak ada tiga kelompok konten yang mendapatkan perhatian2 yakni: 1. Konten yang pengendaliannya memiliki konsensus global, termasuk dalam hal ini adalah pornografi anak-anak, penyebaran informasi yang mengandung pembenaran terhadap aksi genosida, dan aksi dari organisasi terorisme, yang seluruhnya dilarang berdasarkan hukum Internasional 2. Konten yang sensitif bagi Negara-negara, wilayah atau kelompok etnik tertentu terkait dengan nilai-nilai budaya dan agama di suatu negara. Komunikasi online yang telah semakin global memiliki tantangan bagi nilai-nilai lokal, budaya dan agama di berbagai kelompok masyarakat. Sebagian besar pengendalian konten di Negara-negara Timur Tengah dan Asia secara resmi dibenarkan demi melindungi nilai-nilai budaya tertentu, dan hal ini sering berarti bahwa akses terhadap website pornografi dan perjudian lokal dilarang. 1 2
Lihat Jovan Kurbalija , Sebuah pengantar tentang tata kelola internet, APJII, hal 144, Ibid
1
3. Penyensoran Politis di Internet. Laporan OpenNet Initiative (ONI) pada tahun 2012 menunjukkan tidak kurang dari 32 Negara melakukan penyensoran terhadap konten yang bersifat politik.3 Saat ini di beberapa yurisdiksi, penerapan kebijakan konten dilakukan dengan banyaknya pilihan-pilihan hukum dan teknis misalnya: melalui penyaringan pemerintah, sistem penyaringan dan peringkat dari swasta, penyaringan konten berdasarkan lokasi geografis, pengendalian konten melalui mesin pencarian, dan menggunakan Web 2.0 dimana pengguna bertindak sebagai kontributor.4 Pemain utama dalam ranah pengendalian konten biasanya adalah pemerintah yang menentukan konten apa yang harus dikontrol dan bagaimana caranya. Elemen umum bagi penyaringan konten oleh pemerintah adalah pemerintah memiliki sebuah index internet terhadap website yang diblokir bagi warganegaranya. 5 Jika sebuah website termasuk dalam index internet ini, maka akses tidak akan diberikan. Secara teknis, penyaringan ini menggunakan protocol Internet berbasis router, proxy server dan pengalihan arah sistem nama domain (DNS). 6 Selain China, Arab Saudi dan Singapura, beberapa Negara lainnya semakin banyak mengadopsi praktik ini. Australia misalnya menerapkan system penyaringan terhadap halaman-halaman nasional tertentu meskipun bukan halaman-halaman Internasional. 7 1.2. Prinsip dan Standar Internasional dalam Kebijakan Pembatasan Konten Dalam kebijakan konten, Pasal 19 ayat (3) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik masih relevan sebagai acuan dalam menentukan jenis-jenis pembatasan terhadap hak atas kebebasan berkepresi. Pembatasan apapun terhadap hak atas kebebasan berkespresi, harus melewati tiga alat uji berikut yang bersifat kumulasi yakni; (a) pembatasan tersebut harus berdasarkan hukum yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang (prinsip prediktablitias dan keterbukaan); (b) pembatasan itu harus mengacu pada salah satu tujuan yang dijelaskan dalam pasal 19 ayat (3) konvenan yaitu (i) untuk menjaga hak-hak atau reputasi pihak lain, atau (ii) untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban masyarakat atau kesehatan atau moral public (prinsip legitimasi); dan (c) pembatasan seminimal mungkin (prinisp kepentingan dan keseimbangan).8 Resolusi PBB No 20/8 Tahun 2010 tentang Perlindungan dan Penikmatan HAM di Internet (The Promotion, Protection and Enjoyment of Human rights on the Internet) 9 menyatakan bahwa perlindungan atas kebebasan berekpsresi mempunyai perlindungan yang sama baik dalam aktivitas yang online maupun yang offline: “….menegaskan bahwa hak yang sama yang dimiliki seseorang saat offline juga harus di lindungi ketika ia sedang online khususnya kebebasan berkespresi yang berlaku tanpa melihat batasan dan melalui media apapun yang dipilihnya sesuai dengan pasal 19 Deklarasi Universal HAM dan Konvenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan Politik…”. Oleh karena itu resolusi tersebut kemudian memberikan seruan “…menghimbau semua Negara untuk memajukan dan memfasilitasi akses kepada internet dan kerjasama Internasional yang ditujukan pada pembangunan media dan informasi serta fasilitas-fasilitas komunikasi di semua negara.”
3
Lihat Internet censorship listed: how does each country http://www.theguardian.com/technology/datablog/2012/apr/16/internet-censorship-country-list 4 Op.Cit. Jovan Kurbalija 5 Ibid 6 Ibid 7 ibid 8 Lihat ELSAM, Buku Saku kebebasan berekpresi di Internet, mengutip laporan khusus PBB hal. 65 9 Ibid hal. 54
compare?,
2
Pelapor khusus PBB pada 2011, Frank La Rue, telah mengeluarkan beberapa rekomendasi tentang perlindungan kebebasan berkespresi di internet 10 yang dalam laporannya dinyatakan bahwa “….kehebatan internet untuk menyebarkan informasi secara cepat dan memobilisasi masa juga menciptakan ketakutan bagi pemerintah atau penguasa. Hal ini mendorong meningkatnya pembatasan penggunaan Internet melalui penggunaan teknologi canggih untuk memblokir konten, memonitor dan mengidentifikasi para aktifis dan kritikus , pemidanaan terhadap ekspresi yang sah serta pengadopsian peraturan tertentu yang membenarkan tindakan-tindakan pembatasan”. Penggunaan teknologi penyaringan dan pemblokiran oleh negara merupakan pelanggaran atas kewajiban Negara untuk menjamin kebebasan berekspresi jika tidak memnuhi prinsip-prinsip umum terkait dengan hak atas kebebasan berpendapat dan berkespresi. Pertama kondisi khusus yang membenarkan pemblokiran tidak terdapat dalam hukum atau diatur oleh hukum tapi menyebabkan pemblokiran konten secara luas dan semena-mena. Kedua pemblokiran tidak dilakukan untuk memenuhi tujuan seperti yang dijelaskan dalam pasal 19 ayat 3 Kovenan Sipol dan daftar pemblokiran secara umum dirahasiakan sehingga sulit untuk ditentukan apakah akses ke konten yang dibatasi tersebut dilakukan demi tujuan yang benar. Ketiga, bahkan ketika pembenaran terhadap pemblokiran dilakukan, tindakan pemblokiran telah menciptakan alat-alat yang tidak perlu dan tidak sesuai untuk mencapai tujuan karena tindakan tersebut sering tidak mempunyai tujuan yang cukup untuk dilakukan dan menyebabkan konten tidak bisa di akses karena sudah dianggap illegal. Terakhir konten sering di blok tanpa adanya intervensi atau kemungkinan pengujian kembali oleh sebuah pengadilan atau badan yang independen. 11 Oleh karena itu maka Pelapor Khusus sangat memperhatikan adanya mekanisme yang digunakan untuk mengatur dan menyaring informasi di internet yang sangat baik dengan kontrol yang berlapis-lapis yang sering tersembunyi dari perhatian masyarakat. 12 Tindakan pemblokiran atau penyaringan harus dilakukan secara trasnparan dan diperlukan untuk mencapai tujuan utama yang diprioritaskan oleh Negara. Dalam setiap tindakan pemblokiran atau penyaringan perlu adanya daftar laman yang diblokir dan informasi detail mengenai keperluan dan pembenaran dilakukannya pemblokiran pada setiap laman. Penjelasan harus diberikan pada laman yang terkena dampak pemblokiran mengenai kenapa mereka di blokir. Mengenai penentuan tentang konten yang harus diblokir maka hal itu harus dilakukan oleh otoritas pengadilan yang kompeten atau sebuah badan yang independen dari pengaruh politik, pengaruh bisnis, atau pengaruh dari pihak yang tidak berwenang lainnya. 1.3. Perkembangan dan Inisiatif Internasional Kekosongan di sisi hukum dalam soal kebijakan konten ini membuat pemerintah di berbagai Negara yang menerapkan pembatasan tingkat tinggi harus memutuskan konten yang perlu di blokir. Namun karena kebijakan ini merupakan isu sensitif bagi setiap masyarakat, maka penerapan instrumen hukum menjadi penting. Pembuatan regulasi nasional dalam hal kebijakan konten bisa menyediakan perlindungan yang lebih baik bagi hak asasi manusia dan menyelesaikan peran Penyedia Jasa Internet yang kadang ambigu dan badan pelaksana serta pemain lain. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai Negara telah memperkenalkan undang-undang kebijakan Internet di Negara masing-masing. Pada tataran Internasional, inisiatif utama muncul dari Negara-negara Uni Eropa dengan undang-undang yang tegas mengatur ekspresi kebencian termasuk anti rasisme dan anti semitisme. Lembaga-lembaga regional di eropa juga telah mencoba untuk menerapkan aturan10
Ibid hal. 55 Lihat Frank La Rue, Laporan Pelapor Khusus PBB untuk Promosi dan perlindungan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, Paragraf 31, http://daccess-ddsny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G11/132/01/PDF/G1113201.pdf?OpenElement 12 Ibid, Paragraf 29 11
3
aturan ini di dunia maya. Instrumen hukum primer yang membahas permasalah konten adalah Protokol Tambahan Dewan Eropa terhadap Konvensi Kriminal di Dunia Maya (The Convention on Cyber Crimes). 13 Uni Eropa juga telah memulai pengendalian konten, mengadopsi rekomendasi Komisi Eropa melawan rasisme melalui internet.14 Di tingkat yang lebih praktis Uni Eropa memperkenalkan rencana tindakantindakan untuk internet yang lebih aman di Uni Eropa di dalamnya termasuk poin-poin: 15 1. Mendorong jaringan hotline untuk pelaporan konten illegal di Eropa 2. Pengendalian konten Vs Kebasan berekpresi 3. Mendorong pengaturan mandiri 4. Mengembangkan peringkat konten, penyaringan, dan penyaringan berdasarkan acuan tertentu 5. Mengembangkan perangkat lunak dan jasa layanan 6. Membangkitkan kesadaran untuk penggunaan internet yang lebih aman Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa juga secara aktif telah mengatur beberapa konferensi dan pertemuan dengan perhatian utama terhadap kebebasan berekspresi dan potensi penyalahgunaan internet (misalnya rasisme, xenophobia dan propaganda antisemit) sejak 2003. Organisasi Article 19 juga telah memberikan sebuah rekomendasi penting mengenai pembatasan konten ini, 16 dengan menggunakan peran yang lebih besar oleh penegak hukum, yakni Pertama, setiap orang harus mampu memberi tahu penegak hukum mengenai suatu dugaan tindak kejahatan, termasuk tindak kejahatan online. Jika pihak penegak hukum meyakini bahwa konten yang dipermasalahkan harus dihapus dan masalah tersebut tidak mendesak, mereka harus meminta perintah pengadilan, jika diperlukan dengan dasar Ex Parte. Namun jika situasinya memang mendesak, misalnya terancamnya nyawa seseorang, maka penegak hukum harus diberikan kekuatan undang-undang untuk memerintahkan penghapusan atau pemblokiran akses terhadap konten yang dipermasalahkan sesegera mungkin. Namun demikian, perintah tersebut harus dikonfirmasi oleh pengadilan dalam periode waktu tertentu yang ditetapkan, misalnya 48 jam. Penggunaan mekanisme informal seperti telepon atau email untuk meminta host untuk menghapus konten tidak diperbolehkan. Kedua, setiap pengguna internet dapat memberikan pemberitahuan kepada host atau platform media sosial mengenai dugaan konten kejahatan. Dalam kasus semacam ini, host atau platform harus memberitahu lembaga penegak hukum jika komplain tersebut memang berdasar dan layak untuk diteruskan dengan penyidikan. Host atau platform juga dapat memutuskan untuk menghapus konten yang dipermasalahkan sebagai upaya interim sejalan dengan ketentuan layanan mereka. Ketiga, banyak negara memiliki lembaga swasta yang bekerjasama dengan lembaga penegak hukum dan mengoperasikan hotline yang dapat ditelepon oleh setiap pengguna internet jika mereka menduga adanya suatu konten kejahatan yang diposting secara online (lihat misalnya Internet Watch Foundation di Inggris atau SaferNet di Brazil). Dalam kasus-kasus tersebut, hotline biasanya melaporkan konten yang dipermasalahkan kepada host maupun lembaga penegak hukum. Mereka kemudian dapat menanganinya dengan mengikuti proses yang sama (sebagaimana dijelaskan di atas) dan mereka menggunakannya untuk menangani komplain dari publik terkait konten online yang berpotensi kejahatan.
13
Loc Cit. Jovan Kurbalija hal. 147 ibid 15 ibid 16 Lihat Article 19, Perantara Internet:Dilema dan Tanggung jawab, 2013 14
4
Opsi manapun yang dipilih, adalah penting untuk memberitahukan pihak berwenang mengenai setiap tuduhan adanya tindak kejahatan serius sehingga hal tersebut dapat segera ditangani sesuai dengan prosedur yang berlaku dalam sistem peradilan pidana. Penting pula untuk dipahami bahwa di banyak negara, hukum pidana mencakup banyak jenis pelanggaran minor maupun administratif dan tidak mungkin bagi polisi, demi kepentingan publik, untuk menyidik setiap tuduhan kegiatan online berpotensi kejahatan. Karena alasan yang sama, Jaksa harus mempertimbangkan apakah perlu untuk memproses suatu kasus jika suatu masalah dapat diselesaikan secara lebih efektif dengan menghapus konten (misalnya penghapusan pernyataan rasis di Twitter). Oleh karenanya, penting untuk dipahami bahwa sebagian besar kasus yang terkait dengan tuduhan pelanggaran hukum minor akan jauh lebih bijak untuk menghapus konten yang dipermasalahkan daripada langsung memprosesnya secara hukum. 1.4. Ruang lingkup hukum bloking dan filtering konten Internet di Indonesia Jenis jenis konten yang dilarang dalam berbagai kesepakatan Internasional meliputi: 1. pornografi anak (untuk perlindungan anak)17 2. penyebaran kebencian (untuk melindungi hak-hak komunitas yang terpengaruh oleh hal itu) 3. hasutan publik untuk melakukan genosida (untuk melindungi hak-hak orang lain) 4. advokasi nasional terkait rasa atau agama yang bisa memicu hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan (untuk menjaga hak-hak orang lain seperti hak untuk hidup)18 Sedangkan Konten yang dilarang dalam hukum Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang yakni: Dalam UU ITE mengenai pornografi dalam Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang, Pasal 27 ayat (1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik adan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan” Insert Pasal 27 ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian” Pasal 27 ayat (3) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan” Pasal 28 ayat (2) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”. Pasal 29 “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen yang berisik ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.” 17
Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 Protokol Opsional Konvensi Hak anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak. Menurut pelapor khusus PBB pemblokiran terhadap pornografi anak adalah pengecualian yang jelas dan dibenarkan. Negara juga perlu untuk fokus kepada usaha mereka dalam menghukum orang-orang yang bertanggungjawab dalam memproduksi dan menyebarkan pornografi anak daripada hanya sekedar melakukan tindakan pemblokiran. 18 Lihat Pasal 20 Konvenan Sipol
5
Pembatasan konten dalam hukum nasional memasukkan sejumlah syarat yang tidak diatur dalam hukum HAM Internasional, misalnya agama’ dan ‘kesusilaan’ dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE. Pembatasan tersebut, selain tidak diatur dalam hukum HAM internasional, juga tidak mempunyai indikator yang jelas yang berakibat punya potensi melanggar HAM jika tidak diatur secara jelas. Selain itu, penggunaannya seringkali didasarkan pada suatu nilai atau keyakinan yang tunggal atau dilakukan berdasarkan kehendak kelompok mayoritas, dan hal ini bertentangan dengan prinsip keberagaman atau perlindungan terhadap kelompok minoritas, sehingga justru menyebabkan atau berpotensi terjadinya pelanggaran HAM. UU ITE mempunyai masalah, yakni adanya pembatasan dengan dasar melanggar kesusilaan dan rumusan larangan perbuatan atas dasar penghinaan dan penerapannya selalu merujuk pada ketentuan KUHP. Sementara itu, dasar pengaturan atau ‘pembatasan’ sebagaimana diatur Pasal 28 (2) dan Pasal 29 dipandang dapat dimasukkan dalam klausul pembatas yang digunakan sebagai dasar pembatasan hak atas kebebasan berekspresi yaitu ketertiban umum dan menghormati hak atau nama baik orang lain, serta melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral masyarakat . Namun masalah utama yang mengemuka dalam praktik pemblokiran dan penyaringan adalah belum adanya ketentuan yang secara detail mengatur mekanisme dan tata cara pemblokiran/penyaringan konten. Indonesia juga belum memiliki suatu badan khusus yang independen, yang diberikan mandat untuk melakukan pemblokiran dan penyaringan konten internet. Sebagai contoh, ketentuan Pasal 18 huruf a UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hanya menyatakan bahwa untuk mencegah perluasan pornografi, pemerintah dapat melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet. Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai pihak yang berwenang melakukan pemblokiran internet, serta tata cara pemblokiran dilakukan, agar memenuhi kaidah due process of law.19 1.5. Praktek Pemblokiran dan Penyaringan (blocking/filtering) di Indonesia Sebelum UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disahkan, pemerintah telah berencana untuk melakukan pemblokiran situs internet pada Maret 2008. Muhammad Nuh, saat menjabat Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan akan segera melakukan pemblokiran terhadap situs yang berbau pornografi dan kekerasan. Menurut Nuh, pemblokiran ini didasarkan pada akal sehat secara umum. Menurut Menkominfo saat itu “Tidak ada yang punya alasan untuk membangun negara dengan menyebarluaskan pornografi dan kekerasan. Saya kira tidak ada yang sepakat. Ini common sense universal value (untuk memblokir situs porno dan kekerasan),” dalam jumpa pers mengenai disahkannya Rancangan pengesahan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE) menjadi UndangUndang oleh DPR di Jakarta. Nuh mengatakan pihaknya melakukan pemblokiran situs porno karena dorongan dari masyarakat luas agar pemerintah bisa meminimalkan akses situs porno dan situs kekerasan lewat internet. Bahkan Menkominfo mendorong internet Indonesia (Indonesia -Security Incident Response Team on InternetbInfrastructure /ID-SIRTII) untuk tidak hanya menjamin keamanan transaksi elektronik tapi juga melakukan pemblokiran dan filtering.20 Langkah pertama dari Menkominfo, M. Nuh, pada saat itu untuk memblokir internet adalah ketika munculnya film fitna sesaat sebelum UU ITE resmi menjadi UU. Melalui surat dengan No 84/M. KOMINFO/04/08 tertanggal 2 April 2008 yang ditujukan kepada Ketua Umum APJII meminta agar melakukan koordinasi dengan para anggotanya dan pengelola IIX untuk memblokir situs ataupun blog 19
Lihat ELSAM, Buku Saku kebebasan berekpresi di Internet. hal. 67 Lihat Indonesia Media Defense Litigation Network dan Intitute for Criminal justice Reform, 2000-2010 kebebasan Internet Indonesia, perjuangan Merertas Batas, ICJR-IMDLN, 2011. Hal. 20 20
6
yang memuat Film Fitna. 21 Film yang disutradari oleh Geert Wilders, anggota parlemen Belanda dari Freedom Party ini, dianggap melakukan penodaan terhadap agama Islam. Salah satu kelompok masyarakat yang getol meminta pemerintah untuk memblokir situs-situs yang menyediakan konten film Fitna, adalah Majelis Ulama Indonesia. Dalam pernyataannya Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta pemerintah memblokir situs YouTube, karena dianggap menyebarkan film Fitna. 22 Beberapa situs yang menjadi korban pemblokiran antara lain: YouTube, MySpace, Multiply, Rapidshare, Metacafe. Langkah Menkominfo saat itu merupakan tindakan melanggar konsitutusi karena pemblokiran tidak hanya dilakukan terhadap konten yang menampilkan film Fitna, tetapi terhadap seluruh konten situs. Situs-situs tersebut sama sekali tidak dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari pemblokiran tersebut menghambat masyarakat lain untuk mengakses konten situs-situs yang sangat bermanfaat bagi perkembangan masyarakat. Kebijakan Menkominfo tersebut berubah setelah mendapat desakan dan gugatan dari masyarakat. Departemen Komunikasi dan Informatika melakukan pencabutan pemblokiran terhadap sejumlah situs tersebut meski tanpa melalui suatu proses hukum yang jelas. Setelah Tifatul Sembiring menduduki pos Menteri Komunikasi dan Informatika, muncul adanya blog yang dianggap menghina Nabi Muhammad SAW. Kemunculan blog ini menjadi penanda kedua terhadap keinginan pemerintah untuk melakukan blokir dan sensor terhadap internet melalui surat dengan No 600/M.KOMINFO/11/2009 tertanggal 19 November 2009 yang ditujukan kepada seluruh ISP yang beroperasi untuk memblokir blog yang dimaksud 23 Setelah kehebohan tersebut, secara terbuka Menkominfo Tifatul Sembiring juga mengungkapkan keinginannya secara tegas menyatakan bahwa Kementerian Kominfo akan terus melakukan filtering terhadap konten internet yang diduga bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, namun dengan cara yang elegan, cepat, koordinatif dan sistematis secara terus menerus24 yang kemudian ditindaklanjuti dengan upaya untuk segera mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia25 yang telah disiapkan oleh menteri sebelumnya. Dalam materi muatan rancangan peraturan menteri tersebut, penyelenggara jasa internet antara lain dilarang mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya beberapa konten: 26 Rencana pemerintah untuk menerbitkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia yang segera menuai reaksi keras dari masyarakat khususnya kalangan bloger dan penyelenggara jasa media di Indonesia. Secara umum, rencana pemerintah ini dikhawatirkan akan membatasi kerjakerja pemberitaan, dan mengurangi akses informasi masyarakat. Apalagi melihat kecenderungan rezim komunikasi dan informatika yang mengarah ke represif. Selain itu dalam Rancangan Peraturan tersebut Pemerintah juga berencana membentuk Tim Konten Multimedia yang akan dipimpin oleh Direktur Jenderal yang lebih mirip dengan skema “Badan Sensor Internet”.27 Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi Jurnalis yang cukup ternama di Indonesia, bahkan berpendapat keras dengan menyatakan RPM Konten Multimedia merupakan ancaman bagi kebebasan pers, karena akan menjadi “sensor 2.0”, dimana ISP dapat memfilter, memblokir, dan menghilangkan
21
Ibid hal 20 Ibid hal 20 23 Ibid hal 21 24 Ibid hal 21 25 Ibid hal 21 26 Ibid hal 21 27 Ibid hal 21 22
7
halaman yang dianggap illegal. Dijelaskan oleh AJI RPM tersebut bertentangan dengan Pasal 28 F UUD 1945, dan Pasal 4 ayat (2) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.28 Meski rencana ini ditentang banyak kalangan, namun Menteri Komunikasi dan Informatika sepertinya akan tetap mengesahkan Rancangan Peraturan Menteri tentang Konten Multimedia29 karena adanya kasus kontes sketsa Nabi Muhammad di Facebook.30 Namun, alih – alih mencabut rencana tersebut, Menteri Kominfo malah membuat RPM Konten Multimedia tersebut menjadi dipecah dua yaitu Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Tentang Tata Cara Penanganan Pelaporan Atau Pengaduan Konten Internet31 dan Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Pemanfaatan Akses Internet di tempat umum.32 Kedua Rancangan Peraturan Menteri itu dirancang setelah marak beredarnya video porno yang melibatkan 3 selebriti papan atas Indonesia pada 4 dan 8 Juni 2010. 33 Selepas beredarnya video porno yang melibatkan 3 selebriti papan atas Indonesia, Kementerian Kominfo pada 10 Agustus 2010 menegaskan, bahwa pemblokiran situs pornografi internet tetap dilakukan dan untuk itu pada sore hari itu Menteri Kominfo akan menerima laporan kemajuan keberhasilan sejumlah penyelenggara ISP dalam melakukan upaya pemblokirannya. 34 Dan untuk memuluskan rencana pemblokiran tersebut Kementerian Kominfo melalui Dirjend Postel mengeluarkan Surat Edaran Plt Dirjen Postel No. 1598/SE/DJPT.1/KOMINFO/7/2010 tentang Kepatuhan terhadap Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan Pornografi yang sekaligus juga didistribusikan kepada 6 penyelenggara ISP yaitu Bakrie Telecom, Indosat, Indosat Mega Media, Telkom, Telkomsel, dan XL Axiata.35 Isu pemblokiran situs internet kembali muncul ketika situs jejaring sosial facebook menampilkan lomba menggambar sketsa wajah Nabi Muhammad SAW. Beberapa kalangan umat Islam meminta kepada pemerintah untuk memblokir situs facebook. Namun pemerintah bersikap hati-hati atas desakan tersebut, karena menurut Pemerintah meski cuma berniat untuk memblokir satu konten tersebut tetapi dapat berakibat terblokir semua akses Facebook. 36 Setelah mendapatkan desakan dari kelompok Islam, perihal adanya event di facebook tentang “Everybody Draw Muhammad Day”, Kementerian Komunikasi dan Informatika melakukan beberapa langkah berikut diantaranya mengirimkan surat protes kepada pengelola Facebook untuk menutup akun tersebut, memblokir address cabang account (URL) dari ‘Everybody Draw Mohammed Day’ melalui massive trust di Indonesia, meminta ISP untuk ikut memblokir akun tersebut, dan mengajak Asosiasi Pengusaha Warnet Indonesia (AWARI) untuk memblokir situs tersebut.37 Dengan munculnya “Everybody Draw Muhammad Day” di facebook, Menteri Kominfo berencana untuk membahas kembali RPM Konten. 38 Rencana Kemenkominfo ini langsung mendapat penolakan dari masyarakat, khususnya Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam pernyatannya AJI menyatakan bahwa desakan untuk menutup event Everybody Draw Mohammed Day, di situs jejaring sosial facebook, tidak bisa dijadikan alasan untuk mensensor, memblokir, dan memfilter internet. Ditegaskan oleh AJI
28
Ibid hal 22 Ibid hal 22 30 Ibid hal 22 31 Ibid hal 22 32 Ibid hal 22 33 Ibid hal 22 34 Ibid hal 22 35 Ibid hal 22 36 Ibid hal 23 37 Ibid hal 23 38 Ibid hal 23 29
8
Kemenkominfo jangan memanfaatkan kasus halaman event di Facebook tersebut untuk mengesahkan regulasi yang anti demokrasi.39 Semenjak munculnya kasus dua video porno yang melibatkan selebritis papan atas Indonesia yaitu Nazriel Ilham, Luna Maya, dan Cut Tari yang diunggah melalui situs Youtube pada pada 4 dan 8 Juni 2010 maka dunia internet di Indonesia kembali heboh.40 Telah muncul beragam reaksi masyarakat, terkait dengan munculnya video tersebut, dari yang serta merta menolak keras dan meminta pemerintah bertindak tegas sampai dengan kelompok yang tak ingin video ini menjadi pemicu munculnya sensor gaya baru. Kemunculan dua video porno inipun membuat pemerintah tidak tinggal diam, sensor internet yang direncanakan oleh Pemerintah melalui RPM Konten seolah menemui momentumnya. Pada 10 Agustus 2010 pemerintah mengumumkan niatnya untuk melakukan pemblokiran situs – situs yang berbau pornografi. Secara hukum, pemerintah memang mempunyai landasan untuk melakukan pemblokiran yaitu pada Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 21 UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Pasal 40 ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta pada Pasal 17 jo Pasal 18 huruf a UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Pemerintah Indonesia saat ini melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan program Trust Positive (Trust+), dalam rangka menyaring muatan yang dianggap mengandung muatan pornografi. Menurut Kemenkominfoprogram ini bertujuan untuk memberikan perlindungan pada masyarakat terhadap nilai‐nilai etika, moral, dan kaidah‐kaidah yang tidak sesuai dengan citra bangsa Indonesia. Program ini menyusun sebuah pangkalan data yang berisikan Daftar Negatif laman tertentu yang dianggap mengandung konten pornografi atau tidak sesuai dengan etika dan moral bangsa (blacklist). Selain dengan melakukan pencarian dan analisis, daftar laman tersebut juga diperoleh berdasarkan pengaduan dari masyarakat. Daftar laman tersebut kemudian didistribusikan kepada para penyedia layanan (provider) untuk dilakukan pemblokiran. Program ini juga secara berkala melakukan pengecekan terhadap perkembangan situs‐situs yang ditutup, apakah ada perubahan konten atau tidak. Penyaringan dilakukan pula dengan mempergunakan jasa pihak ketiga, melalui sistem penyaringan berbasis DNS (domain name service). Praktik penyaringan ini dikenal dengan Nawala Project, yang diinisiasi oleh Asosiasi Warung Internet (AWARI). Proyek ini menawarkan DNS Nawala, yang dapat digunakan oleh pengguna akhir atau penyedia jasa internet. DNS Nawala melakukan penapisan situs‐situs yang dianggap mengandung konten negatif dan tidak sesuai dengan norma kesusilaan dan budaya Indonesia, khususnya pornografi atau perjudian. Kontroversi penerapan DNS Nawala ini bersumber pada titik mana penapisan semestinya dilakukan, sebagian mendukung model penapisan dengan persetujuan pengguna akhir (end‐user), sehingga praktik ini memaksakan penerapan penapisan di tingkat penyedia layanan. Dalam praktik penapisan, baik yang dilakukan melaui program Trust+ maupun DNS Nawala, seringkali dijumpai pula kontroversi, yang dipicu oleh terjadinya kesalahan penapisan/pemblokiran. Kesalahan ini terjadi karena proses penyaringan dilakukan berdasarkan kata kunci yang dipersepsikan sebagai bagian dari pornografi atau konten negatif lainnya. Dalam konteks Indonesia, hal ini diperburuk dengan buruknya kualitas rumusan pornografi yang tercantum dalam UU Pornografi yang bersifat karet dan lentur, memungkinkan praktik multitafsir berlangsung.
39 40
Ibid hal 23 Ibid hal 23
9
2. Rencana Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang Kebijakan Konten Tahun 2013 Sejak 2013, pemerintah melalui Kementerian kominfo memutuskan untuk kembali membuat Rancangan Permenkominfo mengenai Kebijakan Konten di Internet yang akan segera diselesaikan untuk uji publik. Rancangan yang terdiri dari 17 pasal secara ringkas memuat mengenai apa yang dikategorikan sebagai konten negatif, bagaimana peran-peran beberapa pihak mengenai konten negatif, bagaimana prosedur untuk melakukan blokir, dan prosedur normalisasinya. Draft Permen (selanjutnya disebut draft) menyatakan bahwa Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif yang selanjutnya disebut Pemblokiran adalah aksi yang diambil untuk menghentikan masyarakat untuk mengakses informasi dari sebuah situs bermuatan negatif. Menurut draft, apa yang menjadi tujuan Peraturan Menteri ini, adalah untuk memberikan acuan bagi Pemerintah dan masyarakat terhadap pemahaman situs internet bermuatan negatif dan peran bersama dalam penanganannya; melindungi kepentingan umum dari konten internet yang berpotensi memberikan dampak negatif dan atau merugikan. 41 Sedangkan apa yang menjadi ruang lingkup42 draft ini adalah penentuan situs internet bermuatan negatif yang perlu ditangani; peran Pemerintah dan masyarakat dalam penanganan situs internet bermuatan negatif; tanggung jawab Penyelenggara Jasa Akses Internet dalam penanganan situs bermuatan negatif; tata cara pemblokiran dan normalisasi pemblokiran dalam penanganan situs internet bermuatan negatif 2.1. Situs Internet Bermuatan Negatif Jenis situs internet bermuatan negatif menurut draft Permen yaitu: pornografi, perjudian dan kegiatan ilegal lainnya. Dimana Pornografi yang diartikan adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Pengertian ini diambil sesuai dengan pengertian dalam UU Pornografi. 43 Tabel 1 Larangan konten
Pengertian
Pornografi
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar Pasal 4 ayat (1) bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat
Perjudian
Tidak ada penjelasan
Kegiatan lainnya
Pasal
Pasal 4 ayat (1)
ilegal kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian Pasal 4 ayat (1) dan (2) atau Lembaga Pemerintah yang berwenang
41
Lihat Pasal 2 draft Lihat Pasal 3 draft 43 Lihat Pasal 1 angka 1 UU Pornografi 42
10
Sedangkan Kegiatan Ilegal lainnya diartikan sebagaimana merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. Direktur Jenderal44 menyediakan daftar alamat situs yang bermuatan negatif yang disebut TRUST+Positif. 45 Dengan daftar tersebut maka Dirjen dapat memerintahkan kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet untuk melaksanakan pemblokiran pada sisi layanan mereka mengacu kepada TRUST+Positif atau menggunakan layanan pemblokiran dari Penyelenggara Layanan Pemblokiran yang terdaftar. Masyarakat dapat ikut serta menyelenggarakan layanan pemblokiran dengan memuat paling sedikit situs-situs dalam TRUST+Positif46. Trust +Positif ini haruslah diawasi dengan ketat karena daftar ini jangan sampai menimbulkan pelanggaran atas Hak informasi dari para pengguna internet. 2.2. Peran Pemerintah, Penyelenggara, dan Masyarakat 47 dalam Kebijakan Konten Penyelenggaraan layanan pemblokiran Penyelenggaraan layanan pemblokiran dilakukan oleh Penyelenggara Layanan Pemblokiran. Penyelenggara Layanan Pemblokiran harus memiliki kriteria sekurang-kurangnya: terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik; berbadan hukum Indonesia; menempatkan pusat datanya di Indonesia; memiliki prosedur operasi yang transparan dan akuntabel. Penyelenggara Jasa Akses Internet Penyelenggara Jasa Akses Internet wajib melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang terdapat dalam TRUST+Positif. Pemblokiran dapat dilakukan sebagai berikut: pemblokiran mandiri; atau pemblokiran menggunakan layanan pemblokiran yang disediakan Penyelenggara Layanan Pemblokiran. Dalam hal Penyelenggara Jasa Akses Internet tidak melakukan pemblokiran. Penyelenggara Jasa Akses Internet dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara Jasa Akses Internet yang telah menjalankan pemblokiran sebagaimana maka Penyelenggara Jasa Akses Internet tersebut telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. Penyelenggara Jasa Akses Internet wajib melakukan pembaruan data atas daftar baru yang masuk kedalam TRUST+Positif. Pembaharuan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1): wajib terlaksana paling sedikit 1 x seminggu untuk pembaharuan rutin; dan wajib terlaksana paling sedikit 1 x 24 jam untuk pembaharuan bersifat darurat. Peran Pemerintah dalam Pelaporan, permintaan pemblokiran Ada tiga mekanisme peran terkait konten negatif yang coba diatur dalam draft permen tersebut pertama masyarakat dapat mengajukan pelaporan untuk meminta pemblokiran atas muatan negatif kedua kementerian atau Lembaga Pemerintah dapat meminta pemblokiran situs internet bermuatan negatif yang menjadi bidang kewenangannya ketiga Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan negatif. 2.3. Tata Cara Pemblokiran Prosedur bloking dan filtering konten negatif dalam draft tersebut secara umum dilakukan dengan pertama pelaporan, kedua pemberkasan, dan ketiga penempatkan ke dalam TRUST+Positif. 44
Yang di maksud dengan Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Lihat draft Pasal 6 46 Lihat draft Pasal 7 47 Lihat draft Pasal 5 45
11
2.3.1. Pelaporan dari masyarakat Dalam hal Penerimaan laporan berupa pelaporan atas: situs internet bermuatan negatif; Pelaporan disampaikan oleh masyarakat kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal melalui fasilitas penerimaan pelaporan berupa e-mail aduan dan atau pelaporan berbasis situs yang disediakan; Pelaporan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelaporan darurat apabila menyangkut hak pribadi, pornografi anak, dan dampak negatif yang cepat di masyarakat dan atau permintaan yang bersifat khusus. Laporan harus telah melalui penilaian di Kementerian/Lembaga terkait dengan memuat alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan; Laporan disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian; Terhadap pelaporan Direktur Jenderal kemudian melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; dan penampungan sampel gambar situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak pelaporan diterima; Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif: Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif dalam periode pemberkasan; apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 1 x 12 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet. 2.3.2. Pelaporan dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah Laporan dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah harus telah melalui penilaian di Kementerian/Lembaga terkait dengan memuat alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan; Laporan tersebut disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian; Terhadap pelaporan tersebut Direktur Jenderal melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Tata cara tindak lanjut dan pemberkasan laporan dari Kementerian/Lembaga meliputi: Direktur Jenderal memberikan peringatan melalui e-mail kepada penyedia situs untuk menyampaikan adanya muatan negatif. Dalam hal penyedia situs tidak mengindahkan peringatan dalam waktu 2 x 24 jam, maka dilakukan pemberkasan. Dalam hal tidak ada alamat komunikasi yang dapat dihubungi maka langsung dilakukan pemberkasan. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; penampungan sampel situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pelaporan diterima; Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif: Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif dalam periode pemberkasan; apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 24 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet. 2.3.3. Laporan dari Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan Laporan dilakukan dalam rangka penindakan dan penegakan hukum, dimana Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan negatif. Laporan tersebut harus telah melalui penilaian pada Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan yang bersangkutan. Laporan disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri 12
daftar alamat situs dan hasil penilaian. Terhadap pelaporan Direktur Jenderal melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Tata cara tindak lanjut dan pemberkasan laporan dari Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan meliputi: Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; penampungan sampel situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak pelaporan diterima; Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif dalam periode pemberkasan; Apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 24 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet. 2.4. Prosedur Normalisasi Pengelola situs atau masyarakat dapat mengajukan normalisasi atas pemblokiran situs. Tata cara pelaporan normalisasi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Draft. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; dan penampungan sampel gambar situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak pelaporan diterima. Apabila situs internet dimaksud bukan merupakan situs bermuatan negatif: menghilangkan dari TRUST+Positif; melakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet atas proses normalisasi tersebut; melakukan pemberitahuan (notifikasi) secara elektronik atas hasil penilaian kepada pelapor.
3. Kritik atas Rancangan Permenkominfo tentang Kebijakan Konten 3.1. Pembatasan atau Sensor terhadap Internet Harus Dilakukan Dengan Undang-Undang Sejalan dengan ketentuan Pasal 19 ayat 3 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan juga Pasal 28 J UUD 1945, penempatan pembatasan haruslah dibuat dan diatur dengan Undang Undang. Masalah utama regulasi pembatasan konten ini adalah ketiadaan pengaturan lebih lanjut di dalam UU. Begitu luasnya pembatasan yang ada di dalam draft ini berpotensi akan melanggar berbagai hak hak yang masuk dalam kategori kebebasan atas akses informasi. Penempatan pembatasan terhadap konten dalam Rancangan Permen tersebut sudah tidak sesuai dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia.48 Pada dasarnya, pengaturan sensor internet dalam Permen tidak akan cukup mampu menampung artikulasi mengenai pengaturan mengenai sensor internet. Permen memiliki batasan-batasan pengaturan, berdasarkan UU terkait, dimana materi muatan seharusnya hanya berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan yang diatur tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. 49 Karena kebijakan sensor merupakan sebuah tindakan yang melanggar hak untuk mengakses dan oleh karenanya melanggar hak asasi manusia (HAM), akan tetapi untuk kepentingan nasional yang lebih luas, seperti halnya penegakan hukum, hak tersebut dapat disimpangi dengan pembatasan. Dikarenakan sensor internet merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya
48 49
Lihat Pasal 19 ayat (3) Kovenan Hak Sipol dan Pasal 28 J UUD 1945 Lihat UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
13
harus dilakukan dengan undang-undang. Pengaturan dengan menggunakan undang-undang akan memastikan adanya pengawasan dan legalitas dari kebijakan sensor itu sendiri. Kebijakan sensor hanya dibolehkan bilamana memenuhi bebepara pra-syarat berikut yakni adanya otoritas resmi yang ditunjuk oleh Undang-Undang untuk melakukan kebijakan sensor (apakah lewat Kejaksaan atau Putusan Pengadilan), dan kedua menekankan tentang perlunya sebuah Undang - Undang yang secara khusus mengatur kebijakan sensor di internet pada umumnya, hingga tata cara sensor internat untuk masing-masing lembaga yang berwenang sesuai undang-undang yang sah. 3.2. Pembatasan Konten Harus terkait dengan Penegakan Hukum Pidana Pengaturan mengenai pembatasan konten, harus selalu dikaitkan dengan konteks penegakan hukum, khususnya yang terkait dengan hukum pidana. Tanpa keterkaitan dengan penegakkan hukum, maka praktik pemblokiran dan penyaringan konten Internet sangat rawan disalah gunakan. Sebagai contoh, pengertian konten negatif dalam Rancangan Permen ini norma pengaturannya yang tidak pasti, persisten secara akurat. Cakupan konten dalam Rancangan Permen ini walaupun di kategorisasikan dalam 3 varian, sebetulnya sangat luas. Konten pornografi, perjudian dan kegiatan ilegal lainnya yang di maksud dalam Rancangan Permen tersebut multi intrepretasi. Pengertian pornografi yang dimaksud membutuhkan kepastian hukum yang ketat mengenai apa yang di maksud dalam draft ini sebagai “…yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat..” pengertian ini sangat luas bahkan lebih luas dari maksud UU Pornografi sekalipun. Pengertian pornografi dalam Rancangan Permen ini tidak sesuai dengan UU Ponografi yang memuat tambahan elemen penting yakni “yang secara eksplisit memuat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak” . Tabel 2
Larangan konten Pornografi
Pengertian
Catatan
gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, 1. suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan 2. atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam 3. masyarakat
4.
Pengertian pornografi ini tidak sesuai dengan UU Pornografi yang memuat tambahan elemen penting yakni “yang secara eksplisit memuat persenggamaan, kekerasan seksual, masturbasi, ketelanjangan, atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin dan pornografi anak.” Pengertian ini harus di susun secara presisi agar tidak menimbulkan penafsiran tunggal. Memposisikan sebuah konten adalah negatif atau tidak sebaiknya dengan putusan pengadilan atau badan sensor muatan yang dibentuk berdasarkan UU. Pasal 18 huruf a UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hanya menyatakan bahwa untuk mencegah perluasan pornografi, pemerintah dapat melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet, Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut mengenai pihak yang berwenang melakukan pemblokiran internet, serta tata cara pemblokiran dilakukan, agar memenuhi kaidah due process of law.
14
Perjudian
Kegiatan lainnya
ilegal
Tidak ada penjelasan
Tidak ada penjelasan mengenai perjudian dunia maya, apakah sama dengan KUHP ? Pengertian ini harus di defenisikan ulang
kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang
Apa yang di maksud dengan konten negatif sungguh sangat luas dan tergantung kepada penafsiran tunggal dari Kementrian Kominfo. Keluasan ini dapat terlihat dari frase “merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang.”
Demikian pula apa yang di maksud dengan ”kegiatan ilegal lainnya” apa yang di maksud dengan “..merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang.” Apakah kegiatan illegal ini juga sudah diklarifikasi dengan baik mana yang illegal dan mana yang tidak, kemudian dasar penentuan illegal tersebut dari siapa? Apakah berdasarkan atas UU yang relevan ataukah hanya sebatas keputusan internal dari lembaga yang bersangkutan, putusan pengadilan dan lain sebagainya, hal-hal ini yang tidak akan mampu di atur dalam Rancangan Permen ini. Pada bagian awal preambule dari Rancangan Permen, pemerintah sebenarnya menginginkan adanya sensor yang meliputi : (1) Hak Kekayaan Intelektual, (2) muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, dan (3) muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu atas suku, agama, ras, dan antar golongan dan (4) nilai-nilai etika, moral, dan kaidah-kaidah yang tidak sesuai dengan citra bangsa Indonesia. Seperti yang dikatakan: 50 “……bahwa Hak Kekayaan Intelektual yang ada dalam situs internet dilindungi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; bahwa Pemerintah dan masyarakat perlu melindungi informasi elektronik dan/atau situs internet dari muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, dan muatan yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan kelompok masyarakat tertentu atas suku, agama, ras, dan antar golongan; bahwa untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat terhadap nilai-nilai etika, moral, dan kaidah-kaidah yang tidak sesuai dengan citra bangsa Indonesia; aman bagi masyarakat dengan memberikan perlindungan berdasarkan daftar informasi sehat dan terpecaya…” Dalam Rancangan Permen diberikan pengertian bahwa kegiatan yang di maksud kegiatan illegal adalah: 51 “……..termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. pelanggaran hak cipta; b. peredaran obat, obat tradisional, kosmetik, suplemen makanan, makanan dan minuman tanpa izin edar untuk beredar di Indonesia; c. narkotika dan prekusor narkotika; d. praktek perdagangan dan investasi ilegal.” Jadi sebenarnya, Rancangan Permen ini sudah direncanakan sebagai “Permen Sapujagat” yang ingin melakukan sensor untuk semua hal, baik yang telah ada di dalam UU ITE maupun di luar UU ITE. Oleh karena itu, Rancangan Permen ini pada dasarnya akan mengesahkan tindakan blokir dan penyaringan 50 51
Bagian menimbang permen dalam draft Santika Serpong Ibid
15
yang tidak terkait sama sekali dengan tindakan penegakkan hukum, khususnya penegakkan hukum pidana. Yang menjadi masalah karena amanat berdasarkan UU yang telah ada adalah larangan hanya terbatas kepada: Dalam UU ITE, Bab VII tentang Perbuatan Yang Dilarang yakni:
Pasal 27 ayat (1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik adan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”
Pasal 27 ayat (2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”
Pasal 27 ayat (3) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan”
Pasal 28 ayat (2) “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
Pasal 29 “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen yang berisik ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.”
Dalam UU Pornografi, BAB II tentang Larangan dan Pembatasan yakni :
Pasal 4 “Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. b. c. d. e. f.
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak.
Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. b. c. d.
menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; menyajikan secara eksplisit alat kelamin; mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”
Pasal 5 “Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).”
Pasal 6 “Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.” 16
Konten yang pengendaliannya memiliki konsensus global yakni:
Termasuk dalam hal ini adalah pornografi anak-anak, pembenaran akan aksi genosida, dan aksi atau organisasi terorisme, seluruhnya dilarang berdasarkan hukum Internasional
Muatan yang di atur dalam larangan tersebut adalah perbuatan yang diklasifikasikan sebagai tindak pidana. Diluar hal tersebut Kementerian Kominfo harusnya tidak perlu menambah-nambah lagi muatanmuatan yang ditafsirkannya secara subyektif. Karena untuk merumuskan secara baik elemen-elemen yang ada di dalam UU ITE saja, Permen sudah tidak mampu lagi merumuskan secara benar yang baik. Disamping itu. tidak ada cukup penjelasan dan pengaturan yang memadai mengenai bagaimana cara Kementerian kominfo memastikan bahwa konten tersebut bermuatan negatif sehingga harus di sensor. Dalam Rancangan Permen, sangat mudah bagi pemerintah untuk melakukan penetapan bahwa sebuah konten itu termasuk kedalam konten negatif dan harus di sensor, dimana proses pembuktiannya jauh lebih mudah dan tanpa syarat apapun daripada proses pembuktian pemeriksaan pengadilan yang justru lebih ketat. 3.3. Kewenangan Pemerintah (Menkominfo) yang terlalu luas. Hal mendasar lainnya adalah, Peran Menkominfo terlalu besar kewenengannya dalam hal sensor. Draft ini memposisikan menkominfo sebagai pelapor, pengadu, penyidik, penuntut, pembuat standar penilaian sekaligus penilai atau hakim dan sekaligus pula eksekutor dalam kebijakan boking dan filtering, hal Ini yang seharusnya di tolak. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 (1) dan Pasal 9 (1) Rancangan Permen, meyatakan bahwa seluruh akses Internet di Indonesia harus lolos dari pemblokiran sesuai daftar alamat situs (database) bermuatan negatif yang dikelola oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika. Hal ini sama saja dengan bentuk pengontrolan informasi yang ketat oleh negara dan pada prakteknya rentan mencederai hak berekspresi dan berinformasi Sebenarnya kelembagaan, pemblokiran konten internet tidak pernah ditetapkan berada di bawah pengawasan suatu institusi tertentu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebetulnya tidak memiliki kewenangan secara struktural yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk melakukan pembatasan atas akses informasi /konten internet di Indonesia. Kebijakan yang hanya secara eksplisit mengenai sensor internet ini tertuang dalam pasal 40 UU ITE yang menyatakan “..Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu kepentingan umum sesuai dengan ketentuan”. Jadi memberikan peran yang terlalu besar pada suatu kementerian yang secara regulasinya tidak cukup kuat memiliki kewenangan yang menyatakan sebuah konten adalah negatif dan kemudian berhak untuk melakukan sensor adalah hal yang berlebihan. Oleh itu maka harus dipastikan terlebih dulu apakah kebijakan sensor internet pemerintah memang menjadi ranahnya Kementerian Kominfo. Karena UU tidak jelas mengatur kewenangan sensor ini maka Permen Kominfo haruslah di tolak, sebelum memastikan kewenangan Menkominfo jelas dalam kebijakan sensor internet. Pengawasan terhadap Komiinfo sebagai lembaga satu-satunya yang superbody terkait “muatan konten” juga tidak tercantum dalam UU maupun dalam Rancangan Permen ini. Tentunya hal ini harus dicurigai karena Kementerian Kominfo terlihat bekerja tanpa pengawasan yang cukup baik. Rancangan Permen hanya mengatur megenai normalisasi (proses penghapusan alamat situs dari TRUST+Positif) dengan cara membebankan kepada pemohon untuk “mengajukan normalisasi atas pemblokiran situs” jika ada kesalahan pencantuman alamat situs di dalam database Trust Positif, namun 17
hal tersebut sangatlah tidak memadai. Pada pasal 16 ayat (3) dan ayat (4) memang dikatakan bahwa Dirjen dapat menerima dan memproses laporan dari masyarakat atas normalisasi database dalam 1 x 24 jam, namun hal tersebut tidak berarti masyarakat akan bisa langsung mengakses situs yang dinormalisasi (dicabut dari database blokir) tersebut. Selain itu pula tatacaranya yang diatur dalam Rancangan Permen ini berbelit-belit dan birokratis, dimana pihak yang mengajukan normalisasi lah yang harus membuktikan bawa pemblokiran tersebut tidak sesuai dengan muatan yang telah ditetapkan. Pada pasal 9 ayat (2), tertulis bahwa penyelenggara jasa akses Internet, atau ISP, hanya akan melakukan pembaharuan rutin paling sedikit 1 x seminggu. Jika ada sebuah situs yang sempat secara “tidak sengaja” masuk dalam database Trust Positif dan lantas diblokir oleh ISP, maka untuk pemulihannya bisa jadi akan memakan waktu 1 minggu atau secepatnya mengikuti periode pembaharuan berikutnya. Memang ada mekanisme pembaharuan 1 x 24 jam, khusus untuk hal yang bersifat mendesak, tanpa ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan “mendesak” tersebut52. Demikian pula tidak dijelaskan mengenai kompensasi atas kesalahan yang dilakukan, Rancangan Permen tidak mengatur mengenai ganti rugi terhadap blokir yang telah dilakukannya. 3.4. Sensor yang Kebablasan akan Merugikan Publik Pengaturan yang terlalu luas dan multi intrepretasi dalam permen tentunya akan merugikan para pengguna internet yang harusnya dapat mengakses dan pemiliki situs, yang kontennya diblokir oleh pemerintah. Disamping itu lamanya rentang waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan konten yang diblokir akibat salah blokir, antara jangka pelaporan disampaikan ke Dirjen, diproses dan hingga dipulihkan oleh ISP, akan banyak merugikan masyarakat yang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia .53 3.5. Pengujian terhadap Trust+Positif Disamping itu Trust +Positif haruslah diawasi dengan ketat karena daftar ini jangan sampai menimbulkan pelanggaran atas Hak informasi dari para pengguna internet. Permen ini sama sekali tidak menjelaskan tentang bagaimana mandat atas pengelolaan database yang bernama “Trust Positif” bisa kemudian dilakukan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) saja, sebagaimana mengacu pada pasal 6. Tidak jelas pula asal muasal dari keberadaan Trust Positif ini. Bahkan, bahwa pengelolaan database tersebut nantinya akan dialihdayakan (outsource) ke pihak lain. Mekanisme dalam memberikan, pemberi ataupun penerima mandat untuk mengelola database ini tidak transparan dan akuntabel. Padahal database ini akan menjadi hal yang akan diwajibkan untuk dipasang oleh seluruh Internet Service Provider (ISP) se-Indonesia. Pengelola dan tata kelola database yang tidak transparan dan akuntabel ini rentan disalahgunakan oleh mereka yang memiliki akses langsung ataupun tidak langsung ke database tersebut untuk meredam informasi dan kebebasan berekspresi di Internet.54
52
Lihat http://ictwatch.com/internetsehat/2014/03/04/tanggapan-ict-watch-atas-rpm-konten-negatif/ Ibid 54 Ibid 53
18
4. Penutup 4.1. Simpulan Kebebasan berekspresi dan hak atas akses terhadap informasi adalah prinsip penting dalam menjamin tersedianya serta bekerjanya demokrasi dalam masyarakat. Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi yang terbuka dan akses terhadap informasi di dalam UUD 1945 serta telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dalam sistem hukum nasional. UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga telah menegaskan jaminan terhadap kebebasan – kebebasan tersebut. Dalam konteks kebijakan konten, maka Pasal 19 ayat (3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik harus menjadi acuan utama apabila Negara, dalam batas – batas tertentu, hendak melakukan pembatasan terhadap Kebebasan Berekspresi dan Hak atas Akses Informasi. Hal terpenting dalam pembatasan terhadap Kebebasan Berekspresi dan Hak atas Akses Informasi adalah setiap pembatasan yang diterapkan tidak boleh merugikan kebebasan berekspresi itu sendiri. Dalam konteks pembuatan regulasi yang mengatur tentang kebijakan konten dan pembatasannya wajib diperhatikan uji tiga rangkai (three part test) yang diaplikasikan secara kumulatif untuk menentukan apakah kebijakan pembatasan tersebut memiliki dasar yang kuat yakni; (a) pembatasan tersebut harus berdasarkan hukum yang jelas dan dapat diakses oleh semua orang (prinsip prediktablitias dan keterbukaan); (b) pembatasan itu harus mengacu pada salah satu tujuan yang dijelaskan dalam pasal 19 ayat (3) konvenan yaitu (i) untuk menjaga hak-hak atau reputasi pihak lain, atau (ii) untuk menjaga keamanan nasional atau ketertiban masyarakat atau kesehatan atau moral publik (prinsip legitimasi); dan (c) pembatasan seminimal mungkin (prinisp kepentingan dan keseimbangan). Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Penanganan Konten Negatif bertentangan dengan prinsip dasar dari pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan juga hak atas akses terhadap informasi. Pengaturan sensor internet dalam Permen tidak akan cukup mampu menampung artikulasi mengenai pengaturan mengenai sensor internet. Permen memiliki batasan-batasan pengaturan berdasarkan UU terkait dimana materi muatan harusnya berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Materi muatan yang diatur tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam UndangUndang yang bersangkutan. Dikarenakan sensor internet merupakan salah satu bentuk pembatasan hak asasi seseorang, maka pengaturannya harus dilakukan denganundang-undang. Pengaturan dengan menggunakan undang-undang akan memastikan adanya pengawasan dan legalitas dari kebijakan sensor itu sendiri. Rancangan Peraturan Menteri Kominfo tentang Penanganan Konten Negatif dinormakan secara meluas dan bahkan tanpa keterkaitan dengan proses penegakkan hukum, khususnya hukum penegakkan hukum pidana. Tanpa keterkaitan dengan proses penegakkan hukum, maka kebijakan konten yang terkait dengan sensor akan meluas dan tanpa memiliki batasan yang cukup jelas. Dalam Rancangan Permen, sangat mudah bagi pemerintah untuk melakukan penetapan bahwa sebuah konten itu termasuk kedalam konten negatif dan harus di sensor, dimana proses pembuktiannya jauh lebih mudah dan tanpa syarat apapun daripada proses pembuktian pemeriksaan pengadilan yang justru lebih ketat. Pemblokiran konten internet tidak pernah ditetapkan berada di bawah pengawasan suatu institusi tertentu, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebetulnya tidak memiliki kewenangan secara struktural yang diamanatkan oleh Undang-Undang untuk melakukan pembatasan atas akses informasi /konten internet di Indonesia. Karena itu harus dipastikan terlebih dulu apakah kebijakan sensor internet pemerintah memang menjadi ranahnya Kementerian Kominfo. Karena UU tidak jelas mengatur kewenangan sensor ini maka Permen Kominfo haruslah di tolak, sebelum 19
memastikan kewenangan Menkominfo jelas dalam kebijakan sensor internet. Jadi memberikan peran yang terlalu besar pada suatu kementerian yang secara regulasinya tidak cukup kuat memiliki kewenangan yang menyatakan sebuah konten adalah negatif dan kemudian berhak untuk melakukan sensor adalah hal yang berlebihan. 4.2 Rekomendasi Kepada Pemerintah 1.
Agar segera menghentikan rencana Pengesahan Rancangan Peraturan Menteri tentang Penanganan Konten Negatif dan memulai proses pembahasan untuk merancang suatu kebijakan konten dan penanganan konten negatif secara komprehensif dengan suatu RUU yang secara khusus mengatur tentang Pembatasan Konten Internet yang sejalan dengan prinsip – prinsip dan standar Hak Asasi Manusia Internasional.
2.
Dalam proses perancangan dan pembahasan RUU, agar melibatkan sebanyak mungkin keterlibatan masyarakat luas, agar proses perancangan di awal dapat menyerap secara maksimal aspirasi dari masyarakat sipil.
Kepada DPR 1.
Agar segera menggunakan hak bertanya kepada pemerintah tentang kebijakan konten yang akan dirancang oleh Pemerintah, khususnya untuk penanganan konten di Internet yang dianggap melawan hukum.
2.
Memastikan agar setiap penanganan konten yang dianggap melawan hukum harus diletakkan dalam kerangka penegakkan hukum dan dalam kerangka penanganan dalam sistem peradilan pidana.
20
LAMPIRAN DRAFT PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ... TAHUN 2013 TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Mengingat
:
:
a.
bahwa internet merupakan salah satu media perwujudan hak asasi manusia melalui kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi yang dilaksanakan secara bertanggung jawab, selaras dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
bahwa Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangundangan;
c.
bahwa untuk memberikan akses internet yang sehat dan aman bagi masyarkat dengan memberikan perlindungan berdasarkan daftar informasi sehat dan terpercaya;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, maka dipandang perlu menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
1.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
2.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 181, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4928);
3.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61);
4.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara;
5.
Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 17/P/M.KOMINFO/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika;
21
MEMUTUSKAN: Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA TENTANG PENANGANAN SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemblokiran Situs Internet Bermuatan Negatif yang selanjutnya disebut Pemblokiran adalah aksi yang diambil untuk menghentikan masyarakat untuk mengakses informasi dari sebuah situs bermuatan negatif. 2. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 3. Penyelenggara Telekomunikasi adalah adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara. 4. Sampel adalah sampel laman situs yang diambil dengan bentuk image. 5. Normalisasi adalah proses penghapusan alamat situs dari TRUST+Positif. 6. Menteri adalah Menteri Komunikasi dan Informatika. 7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang membidangi aplikasi informatika. 8. Direktur adalah Direktur yang membidangi e-Business.
BAB II TUJUAN Pasal 2 Tujuan Peraturan Menteri ini, yaitu: 1. memberikan acuan bagi Pemerintah dan masyarakat terhadap pemahaman situs internet bermuatan negatif dan peran bersama dalam penanganannya; 2. melindungi kepentingan umum dari konten internet yang berpotensi memberikan dampak negatif dan atau merugikan. Pasal 3 Ruang lingkup Peraturan Menteri ini, yaitu: 1. penentuan situs internet bermuatan negatif yang perlu ditangani; 2. peran Pemerintah dan masyarakat dalam penanganan situs internet bermuatan negatif; 3. tanggung jawab Penyelenggara Jasa Akses Internet dalam penanganan situs bermuatan negatif; 4. tata cara pemblokiran dan normalisasi pemblokiran dalam penanganan situs internet bermuatan negatif.
BAB III SITUS INTERNET BERMUATAN NEGATIF Pasal 4
(1) Jenis situs internet bermuatan negatif yang ditangani sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 butir 1, yaitu: 1. pornografi; 2. perjudian; 3. kegiatan ilegal lainnya. 22
(2) Kegiatan ilegal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir 3 merupakan kegiatan ilegal yang pelaporannya berasal dari Kementerian atau Lembaga Pemerintah yang berwenang. BAB IV PERAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAH Pasal 5 (1) Masyarakat dapat mengajukan pelaporan untuk meminta pemblokiran atas muatan negatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) butir 1 dan butir 2. (2) Kementerian atau Lembaga Pemerintah dapat meminta pemblokiran situs internet bermuatan negatif yang menjadi bidang kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) butir 3. (3) Lembaga Penegak Hukum dan atau Lembaga Peradilan dapat meminta pemblokiran situs bermuatan negatif. Pasal 6
(1) Direktur Jenderal menyediakan daftar alamat situs yang bermuatan negatif yang disebut TRUST+Positif. (2) Direktur Jenderal memerintahkan kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet untuk melaksanakan pemblokiran pada sisi layanan mereka mengacu kepada TRUST+Positif atau menggunakan layanan pemblokiran dari Penyelenggara Layanan Pemblokiran yang terdaftar. Pasal 7 Masyarakat dapat ikut serta menyelenggarakan layanan pemblokiran dengan memuat paling sedikit situssitus dalam TRUST+Positif. Pasal 8 (1) Penyelenggaraan layanan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan oleh Penyelenggara Layanan Pemblokiran. (2) Penyelenggara Layanan Pemblokiran harus memiliki kriteria sekurang-kurangnya: a. terdaftar sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik; b. berbadan hukum Indonesia; c. menempatkan pusat datanya di Indonesia; d. memiliki prosedur operasi yang transparan dan akuntabel;
BAB V TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARA JASA AKSES INTERNET
(1) (2)
(3) (4)
Pasal 9 Penyelenggara Jasa Akses Internet wajib melakukan pemblokiran terhadap situs-situs yang terdapat dalam TRUST+Positif. Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebagai berikut: a. pemblokiran mandiri; atau b. pemblokiran menggunakan layanan pemblokiran yang disediakan Penyelenggara Layanan Pemblokiran. Dalam hal Penyelenggara Jasa Akses Internet tidak melakukan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Jasa Akses Internet dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara Jasa Akses Internet yang telah menjalankan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Penyelenggara Jasa Akses Internet tersebut telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan Pasal 4. Pasal 10
23
(1) Penyelenggara Jasa Akses Internet wajib melakukan pembaruan data atas daftar baru yang masuk kedalam TRUST+Positif. (2) Pembaharuan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. wajib terlaksana paling sedikit 1 x seminggu untuk pembaharuan rutin; b. wajib terlaksana paling sedikit 1 x 24 jam untuk pembaharuan bersifat darurat.
BAB VI TATA CARA PEMBLOKIRAN DAN NORMALISASI PEMBLOKIRAN Bagian Kesatu Penerimaan Laporan Pasal 11 Tata cara penerimaan laporan meliputi: 1. Penerimaan laporan berupa pelaporan atas: a. situs internet bermuatan negatif; atau b. permintaan normalisasi pemblokiran situs. 2. Pelaporan disampaikan oleh masyarakat kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal melalui fasilitas penerimaan pelaporan berupa e-mail aduan dan atau pelaporan berbasis situs yang disediakan; 3. Pelaporan dari masyarakat dapat dikategorikan sebagai pelaporan darurat apabila menyangkut hak pribadi, pornografi anak, dan dampak negatif yang cepat di masyarakat dan atau permintaan yang bersifat khusus. Pasal 12 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus telah melalui penilaian di Kementerian/Lembaga terkait dengan memuat alamat situs, jenis muatan negatif, jenis pelanggaran dan keterangan; (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian; (3) Terhadap pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Pasal 13
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilakukan dalam rangka penindakan dan penegakan hukum.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah melakui penilaian pada Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan yang bersangkutan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pejabat berwenang kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal, dengan dilampiri daftar alamat situs dan hasil penilaian.
(4) Terhadap pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal melakukan pemantauan terhadap situs yang dilaporkan. Bagian Kedua Tindak Lanjut dan Pemberkasan Laporan Pasal 14 Tata cara tindak lanjut dan pemberkasan laporan meliputi: 1. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: a. pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; b. peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; c. penampungan sampel gambar situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. 2. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak pelaporan diterima; 24
3.
Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif: a. Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif dalam periode pemberkasan; b. apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 1 x 12 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet.
Pasal 15 Tata cara tindak lanjut dan pemberkasan laporan dari Kementerian/Lembaga meliputi: 1. Direktur Jenderal memberikan peringatan melalui e-mail kepada penyedia situs untuk menyampaikan adanya muatan negatif. 2. Dalam hal penyedia situs tidak mengindahkan peringatan sebagaimana butir 1 dalam waktu 2 x 24 jam, maka dilakukan pemberkasan. 3. Dalam hal tidak ada alamat komunikasi yang dapat dihubungi maka langsung dilakukan pemberkasan. 4. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: a. pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; b. peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; c. penampungan sampel situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. 5. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak pelaporan diterima; 6. Apabila situs internet dimaksud merupakan situs bermuatan negatif: a. Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif dalam periode pemberkasan; b. apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 24 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet. Pasal 16 Tata cara tindak lanjut dan pemberkasan laporan dari Lembaga Penegak Hukum atau Lembaga Peradilan meliputi: 1. Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: a. pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; b. peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; c. penampungan sampel situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. 2. Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak pelaporan diterima; 3. Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut ke dalam TRUST+Positif dalam periode pemberkasan; 4. Apabila merupakan kondisi darurat, Direktur Jenderal menempatkan alamat situs tersebut dalam TRUST+Positif dalam periode 24 jam sejak laporan diterima dan dilakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet. Bagian Ketiga Tata Cara Normalisasi Pasal 17 (1) Pengelola situs atau masyarakat dapat mengajukan normalisasi atas pemblokiran situs. (2) Tata cara pelaporan normalisasi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (3) Melakukan kegiatan pemberkasan pelaporan yang meliputi: a. pemberkasan pelaporan asli kedalam berkas dan database elektronik berikut penguraian pelaporan; b. peninjauan ke situs internet yang dituju dan mengambil beberapa sampel situs; 25
c. penampungan sampel gambar situs internet ke dalam berkas dan database elektronik. (4) Direktur Jenderal menyelesaikan pemberkasan dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam sejak pelaporan diterima. (5) Apabila situs internet dimaksud bukan merupakan situs bermuatan negatif: a. menghilangkan dari TRUST+Positif; b. melakukan komunikasi kepada Penyelenggara Jasa Akses Internet atas proses normalisasi tersebut; c. melakukan pemberitahuan (notifikasi) secara elektronik atas hasil penilaian kepada pelapor.
BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya.
Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 2013 MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA,
TIFATUL SEMBIRING
Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR
26
Tentang Institute for Criminal Justice Reform Institute for Criminal Justice Reform, disingkat ICJR, merupakan lembaga kajian independen yang memfokuskan diri pada reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pada umumnya di Indonesia yang didirikan di Jakarta pada 20 Agustus 2007 Salah satu masalah krusial yang dihadapi Indonesia pada masa transisi saat ini adalah mereformasi hukum dan sistem peradilan pidananya ke arah yang demokratis. Di masa lalu hukum pidana dan peradilan pidana lebih digunakan sebagai alat penompang kekuasaan yang otoriter, selain digunakan juga untuk kepentingan rekayasa sosial. Kini saatnya orientasi dan instrumentasi hukum pidana sebagai alat kekuasaan itu dirubah ke arah penopang bagi bekerjanya sistem politik yang demokratis dan menghormati hak asasi manusia. Inilah tantangan yang dihadapi dalam rangka penataan kembali hukum pidana dan peradilan pidana di masa transisi saat ini. Dalam rangka menjawab tantangan tersebut, maka diperlukan usaha yang terencana dan sistematis guna menjawab tantangan baru itu. Suatu grand design bagi reformasi sistem peradilan pidana dan hukum pada umumnya harus mulai diprakarsai. Sistem peradilan pidana seperti diketahui menduduki tempat yang sangat strategis dalam kerangka membangun the Rule of Law, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebab demokrasi hanya dapat berfungsi dengan benar apabila ada pelembagaan terhadap konsep the Rule of Law. Reformasi sistem peradilan pidana yang berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia dengan demikian merupakan “conditio sine quo non” dengan proses pelembagaan demokratisasi di masa transisi saat ini. Langkah-langkah dalam melakukan transformasi hukum dan sistem peradilan pidana agar menjadi lebih efektif memang sedang berjalan saat ini. Tetapi usaha itu perlu mendapat dukungan yang lebih luas. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berusaha mengambil prakarsa mendukung langkah-langkah tersebut. Memberi dukungan dalam konteks membangun penghormatan terhadap the Rule of Law dan secara bersamaan membangun budaya hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana
Tentang Indonesia Media Defense Litigation Network Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN) adalah sebuah jaringan yang dibentuk pada 18 Agustus 2009 oleh sekelompok advokat yang selama ini telah bekerja untuk kepentingan pembelaan hak asasi manusia di Indonesia. IMDLN lahir sebagai respon atas kelahiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai bagian dari kelompok advokasi yang bertujuan untuk menyediakan dan mempertahankan kemerdekaan berekspresi secara umum dan kemerdekaan berpendapat secara khusus di Indonesia dan menyediakan pembelaan bagi kepentingan para pengguna ”new media” di Indonesia. Beberapa advokasi yang telah dilakukan oleh IMDLN diantaranya adalah melakukan judicial review atas pasal 27 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD 1945 ke MK RI, memberikan dukungan litigasi berupa penulisan Amicus Curiae terhadap kasus pidana yang dialami Prita Mulyasari, penulisan Amicus Curiae terhadap kasus Pidana yang dialami Erwin Arnada (pemimpin Redaksi Majalah Playboy Indonesia). Judicial review atas pasal penyadapan dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE terhadap UUD 1945 ke MK RI tahun 2011.
Tentang Penulis Supriyadi Widodo Eddyono. Saat ini adalah salah satu Senior Researcher Associate dan Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), sekaligus Koordinator Indonesia Media Defense Litigation Network (IMDLN). Sebelumnya adalah Koordinator Pelayanan Hukum pada ELSAM, hingga tahun 2010. Ia bergabung dengan ELSAM setelah lulus dari Fakultas Hukum pada 2001. Supriyadi adalah salah seorang alumni Kursus HAM untuk Pengacara yang diselenggarakan oleh ELSAM, bahkan menjadi koordinator kursus tersebut sejak angkatan ke-5 hingga ke-10. Supriyadi juga terlibat aktif dalam Aliansi Reformasi KUHP dan Koalisi Perlindungan Saksi. Sejak tahun 2009 penulisan aktif sebagai tenaga ahli LPSK RI. Tulisannya dapat dijumpai dalam sejumlah jurnal ilmiah hukum, dengan topik kekhususan hukum pidana. Menekuni isu Hukum Pidana dan perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Anggara Saat ini adalah salah satu Senior Researcher Associate dan Ketua Badan Pengurus pada Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Anggara juga seorang advokat yang aktif menekuni isu reformasi hukum pidana dan reformasi sistem peradilan pidana
27