MENIMBANG KEMBALI IJTIHAD ULAMA SALAF Oleh : Ujang Jamaludin1
A. Pendahuluan Sejak semula Islam tersebar hingga sekarang belum ada agamaagama yang lain yang dapat mengalahkannya. Kalaupun ada di antara umat Islam yang ditaklukkan, itu karena adanya berbagai macam kekerasan,
kekejaman
dan
despotisma,
yang
sebenarnya
malah
menambah kekuatan iman mereka kepada Allah, kepada hukum Islam, dengan memohonkan rahmat dan ampunan daripada-Nya.2 Ruslan Abdulgani mengatakan: Islam is a true weltanshuung wich covers all activity. Islam wich does not devide religion from society, is essentiality onormist. (Islam sebenarnya adalah suatu pandangan hidup yang mencakup seluruh aktivitas manusia. Islam itu suatu agama yang tidak memisahkan uraian ibadah keagamaan dari urusan
masyarakat,
karena
pada
dasarnya
Islam
berwatak
menyesuaikan).3 Realitas sekarang, umat Islam dalam kondisi sebaliknya. Umat Islam yang sebagian besar berada di negara-negara dunia ketiga, secara keseluruhan berada dalam keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan. 1
Drs. Ujang Jamaludin, SH. MH. adalah Hakim pada Pengadilan Agama Ciamis dan Kandidat Doktor pada Universitas Islam Bandung. 2 Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D., Sejarah Hidup Muhammad, a.b. Ali Audah, Pustaka Litera Antar Nusa, Cet. 13, Jakarta, 1999, hlm. Xlii. 3 Harian Merdeka, 11 Mei 1976.
1
Sering terdengar bahwa pintu ijtihad masih terbuka –memang tidak pernah ditutup-- tetapi pada saat ini upaya ke arah itu belum begitu nampak hasilnya. Hal ini bukan berarti para pakar tidak mampu memahami atau tidak tanggap untuk merespons permasalahan yang timbul, tetapi kelemahannya terletak pada metodologi berfikir (berijtihad) yang merupakan sesuatu yang mesti adanya (conditio sine quanon). Masalahnya sekarang, metode berfikir apa yang harus digunakan, sehingga dapat mewujudkan peradaban Islam yang tinggi itu (Al-Islam ya‟lu wala yu‟la „alaih) Namun secara sederhana, bahwa metode yang harus dipergunakan sebagaimana tercermin dalam hadits Rasululah SAW. yang artinya: “Ku tinggalkan bagimu dua pedoman, yang selama kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan sesat, yaitu Al-Qur‟an dan Hadis.” Dalam hubungan ini perlu diingat bahwa berpikir amat dianjurkan dalam Al-Qur’an. Banyak ayat yang mendorong umat Islam untuk berpikir. Disamping itu, Hadits memberikan kedudukan amat tinggi dan peranan penting bagi akal. Akal dapat menjalankan peranannya kalau ia diberi kebebasan berpikir. Dan akal harus berpikir dengan berpegang teguh pada ajaran yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain, kebebasan berpikir dalam Islam hanya diikat dan dikendalikan oleh ajaran-ajaran absolut (mutlak benarnya) yang terdapat dalam kedua sumber itu.
2
B. Permusan Masalah Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Siapakah yang berwenang melakukan ijtihad untuk membina pembaharuan hukum Islam? 2. Metodologi ijtihad yang bagaimana sehingga pembaharuan hukum Islam dapat berjalan?
3
BAB II PEMBAHASAN
A. Kebebasan Berpikir atau Berijtihad Syari’ah adalah sesuatu yang abadi dan berjangka sangat panjang serta berwatak universal. Ini membuat tidak mungkin untuk melakukan akomodasi sepenuhnya atau menampung setiap kebutuhan, karena bnyak diantara kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat hanya bersifat sementara dan berwatak ekslusif. Kematangan pandangan diperlukan untuk menelisik mana yang benarbenar bersifat abadi dan berwatak universal dari kebutuhan normatif Islam itu, sehingga dapat dibakukan tanpa ragu-ragu lagi sebagai bagian dari syari’ah. Selebihnya dipulangkan kepada kebutuhan masyarakat, sehingga memungkinkan variasi dan divergensi dari satu kelain masyarakat dari satu ke lain masa. Kebebasan berpikir sangat mendorong berkembangnya pemahaman terhadap nash, sehingga menghasilkan karya yang gemilang serta munculnya para mujtahid. Namun disadari, bahwa para mujtahid itu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Misalnya, heterogenitas masyarakat Kaufah (modernis) dimana orang Arab dan non Arab bergaul, serta stratifikasi sosial kerajaan Persi Sasaniah memberikan corak tersendiri yang berbeda dengan kondisi Madinah (tradisionalis) yang homogen
4
komunitas (masyarakat) Arab dan kepanatikan mereka dalam memegangi tradisi daerahnya. Perbedaan kondisi obyektif itu melahirkan persepsi yang berbeda dalam memandang suatu permasalahan, misalnya: Dzawil Arham menurut ulama Kaufah berhak mewarisi, ulama Madinah yang bermasyarakat patrilineal berpandangan sebaliknya. Hal lain, dalam kewarisan masyarakat Kaufah ada penggantian ahli waris, sedangkan dalam masyarakat Madinah tidak menganutnya.4 Di Indonesia, dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173 (yaitu mereka yang terhalang menjadi ahli waris karena dipersalahkan telah membunuh atau memfitnah sipewaris), dengan syarat bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Juga pernah terjadi kasus kewarisan Islam (kasus tokoh Islam, H. Subchan ZE) dihukumi dengan hukum waris adat walaupun diktumnya sama dengan ketentuan hukum waris Islam. Namun pertimbangan hukumnya cukup mencengangkan: “Menimbang, bahwa para pemohon berasal dari Jawa dan mereka bertempat tinggal dan menetap di Jawa walaupun pewaris almarhum H. Mas Subchan adalah seorang tokoh Islam di Indonesia, tidak berarti dapat diperlakukan hukum waris Islam, oleh 4
Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif Sejarah, ed. W. Montgomery Watt, P3M, Jakarta, 1987, hlm. 22.
5
karena almarhum/pewaris berasal dan bertempat tinggal di Jawa.” (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 96/1973 P. tanggal 16 Maret 1973).5 Di sisi lain, kendati Al-Qur’an secara tegas tidak mengakui tuntutan keluarga laki-laki atas harta warisan, namun ia menentukan bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Dengan demikian titik tekan alQur’an bukanlah menghapus sama sekali sistem lama (adat Arab) melainkan hanya mengadakan perubahan terhadapnya. Jelasnya, ketentuan al-Qur’an hanya menambahkan, bukan menggantikan hukum adat yang ada.6 B. Perspektif Ijtihad Kehancuran peradaban Islam pada abad pertengahan, telah melahirkan sarjana-sarjana besar seperti al-Ghzali, Ibn Khaldun, Ibn Sina, al-Farabi dan lainnya yang sulit tertandingi di dunia Barat ketika itu. Mulai abad ke14 tidak mampu lagi memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia ilmu pengetahuan. Adagium taghayyarul ahkam bi taghayyuril azman wal amkinah (grillen van het orgenblik). Tidak diingkari terjadi perubahan hukum lantaran perubahan masa, situasi dan kondisi,7 merupakan etos kerja umat Islam setelah wafatnya Rasulullah dalam menghadapi permasalahan yang timbul yang belum atau tidak diatur dalam al-Qur’an. Atas dasar itulah, 5
Sajuti Thalib, SH., Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Bina Aksara, Jakarta, 1982, hlm. 50-52. 6 Noel J. Coulson, Op.cit., hlm. 20-21 7 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hlm. 428.
6
muncullah putusan-putusan baru, misalnya: Umar ibn Khattab memuat badan administrasi kepegawaian guna memudahkan pembagian gaji, meletakkan dasar-dasar perpajakan dan tidak memberlakukan hukuman potong tangan bagi pencuri. Pernah seorang laki-laki datang kepada Umar ra dan berkata: Sesungghnya pemilik tanah di suatu tempat mampu membayar pajak lebih banyak dari apa yang ditetapkan. Jawab Umar: Tidak ada jalan lain karena ada perjanjian damai. Untuk itulah Abu Ubaid berkata: Sesungguhnya Umar ra. mengambil pajak sesuai dengan yang sudah disepakati dari seorang penduduk yang mengadakan perjanjian damai dengannya. Beliau tidak menambah atau mengurangi kadar pajak tersebut.8 Dalam keadaan seperti itu diperlukan suatu kerangka hukum (legal frame work) yang memperhatikan situasi, konisi dan tempat. Jelasnya hukum itu dipengaruhi oleh kebutuhan, keadaan perubahan waktu dan pikiran sewaktu-waktu. Kebebasan berpikir sangat mendorong berkembangnya pemahaman terhadap nash, sehingga menghasilkan karya-karya yang gemilang serta munculnya para mujtahid. Al-Qur’an sendiri mengajarkan bahwa masyarakat yang ideal adalah masyarakat yang terus menerus berkembang ke arah positif (QS. 48: 29). Namun disadari, bahwa sebagaimana yang dikatakan oleeh Ibnu Khaldun dalam kitabnya Al-Muqadimah bahwa manusia itu cenderung dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya dan perubahan sosial yang ada, misalnya al8
Dr. Muhammad Rawwas Qal’ahji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khathab ra., Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 9.
7
Syafi’i (wafat 204 H) yang mempunyai kaul kadim dan kaul jadid. Ia adalah pembaharu yang cemerlang, namun kecemerlangannya bukan pada pengenalan konsep baru melainkan pada pemberian konotasi (arti) yang baru bagi ide-ide yang sudah ada, serta keberhasilannya menyatukan ideide itu dalam suatu skema sistemik. Otoritas Muhammad SAW sebagai pembentuk hukum merupakan tema utama yang mendominasi doktrinnya. Muhammad SAW adalah seorang yang paling berhak dan memenuhi syarat untuk menafsirkan al-Qur’an sebagai primus inter pares. Namun tidak lebih sebagai penafsir belaka. Oleh karena itu para ulama mempunyai kebebasan untuk menelaah suatu aturan Muhammad SAW jika ternyata pertimbangan yang mendasari aturan itu dikalahkan oleh pertimbangan lain. Namun sejauhmana perubahan dan perkembangan sosial itu bernilai positif bagi kehidupan umat mansia. Karena itu, ketelitian dalam membaca perubahan dan perkembangan sosial sangat berarti dalam usaha menyisihkan perkembangan atau perubahan mana yang bernilai positif dan mana pula yang bernilai tidak menguntungkan menurut nilai qur’ani. Setiap pemikir utama tentu mempunyai pola penalaran tersendiri yang senantiasa berbeda dalam spektrum sangat lebar dari dua titik ujung. Sikap sangat ketat untuk mempertahankan keabadian ketentuan normatif Islam di satu ujung dan sikap longgar mencari titik temu sebanyak-banyaknya antara norma abadi dengan kebutuhan masyarakat di jung yang lain.
8
Pendalaman perbedaan kedewasaan pandangan kita dalam melihat kemungkinan sehingga ke titik mana dapat dilakukan akomodasi. C. Metodologi Berijtihad Ijtihad adalah mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syara’ yang bersifat amali melalui cara istinbat.9 Banyak metode berijtihad, diantaranya, mashalihul mursalah, istihsan, istishab, ijma, qiyas dan kaidah-kaidah fiqhiyah (legal maxim), dan sebagainya. Selama ini semua dikenal sebagai sumber Hukum Islam, baik yang telah disepakati eksistensinya sebagai sumber hukum maupun yang masih diperselisihkan. Salah satu hasil ijtihad ialah dalam menentukan kriteria zina, yang dikaitkan dengan syarat-syarat kesaksian, yaitu: jumlah saksi 4 orang, semua saksi harus laki-laki, para saksi harus orang adil, paa saksi harus muslim, sehat dan berakal, para saksi harus memandangi peratan zina itu seperti melihat masuknya timba ke dalam sumur. Apabila salah satu syarat ini tidak terpenuhi maka gugurlah tuduhan perbuatan tersebut.10 Contoh lain, Khalifah Umar Ibn Khathab mengatakan: Halal bagiku dua pakaia, pakaian musim dingin dan msim panas; kendaran yant aku pergunakan haji dan umrah, dan kebutuhan pokokku dan keluargaku seperti seseorang dari Quraisy yang bukan terkaya dan bukan termiskin.11
9
Prof. Dr. H.Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Logos Waca Ilmu Jakarta, 1999, hlm 224. Muhammad Ali As-Shabuny, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, jilid2, Al-Ma’arif, Bandung, 1994, hlm. 95-96. 11 Dr. Jaribah bin Ahmad al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Alkhattab, Khalifa, Jakarta, 2006, hlm,239. 10
9
BAB III P E N U T U P
A. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Rasulullah SAW yang paling berhak dan berkompeten untuk menjadi mujtahid pada zamannya. 2. Setelah Rasulullah wafat, kewenangan berijtihad ada pada para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya yang mempunyai kualifikasi sebagai mujtahid. B. Saran-Saran Dari penulisan makalah ini disarankan sebagai berikut: 1. Semangat berijtihad harus senantiasa dikobarkan; 2. Para mujtahid dan calon mujtahid harus senantiasa meningkatkan kualitas diri sebagai mujtahid.
10