THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
MENGURAI TINDAK KEKERASAN GURU TERHADAP SISWA DI SMP KOTA PEKALONGAN
Trianah Sofiani Fak Syariah, IAIN Pekalongan Email:
[email protected]
Abstract This paper to explore about violence by teachers to the junior high school students in the city of Pekalongan. Theoretical arguments that have been developed are, teacher as professional educators have the primary task of educating, teaching, guiding, directing, train, assess, and evaluate students. However, the facts show a different matter, because there are many teachers who deviate from its main task as an educator, that violence against students. This study used a qualitative approach. Data collected from interviews and studies litarer. The results showed that, perpetrators of violence 90% were male teachers and 10% were female teachers, with variant forms of violence, among others: violence by male teachers with victims of female students, namely: 1) sexual violence. For example: holding hands, holding the cheek or chin, and seduce. and; 2) verbal violence. For example: blame, snapped at and insult. Violence by male teachers toward male students, namely: 1) physical violence. For example: holding a shirt collar as he would punch, physically punish and grabbed the hair and; 2) verbal violence. For example: insult, evict, snapped at and blame. Violence by female teachers, toward female students are: 1) verbal violence. For example: blame and snapped at. Violence by female teachers toward the male students, namely: 1) physical violence. For example: punishing and physically; 2) verbal violence. For example: snapped at and blame. The cause of the violence, among others: the offense accompanied by a punishment; teachers have unstable emotions; household conditions are not harmonious; poor teacher understanding of the substance of education; poor teacher understanding of the forms and types of violence. The impact of violence, namely: 1) scared and lazy to go to school, especially if there are subjects from teachers who are violent; 2) more often violated the rules of teachers; 3) achievement downhill and 4) the physically sick. The solution is, socialization nir violence education ie: an approach and methods of education that promotes caring and loving, to build the professionalism of teachers as educators Kata Kunci: Kekerasan, Guru, Siswa, Sekolah dan Hukuman PENDAHULUAN Kekerasan guru terhadap siswa masih menjadi isu menarik untuk dikaji karena kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa tidak pernah lekang oleh waktu. Hal tersebut sebagaimana diberitakan oleh berbagai media massa dan elektronik. Yurisprudensi Mahkamah Agung yang secara substansial memberikan acuan bahwa guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan/atau melakukan tindakan pendisiplinan terhadap siswa. seakan menjadi justifikasi dibolehkannya seorang guru melakukan kekerasan terhadap siswa dengan dalih pendisiplinan. Fakta tersebut, tidak linier dengan fungsi guru
THE 5TH URECOL PROCEEDING
sebagai pendidik profesional yang memiliki tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik serta tujuan pendidikan yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi: “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Tugas
670
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
guru dan tujuan pendidikan tersebut akan terwujud, jika suasana pembelajaran di sekolah kondusif, aman, nyaman, tenteram, damai dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Fakta mengenai kekerasan guru terhadap siswa, semakin menarik untuk dikaji, dalam konteks SMP di kota Pekalongan, karena kekerasan guru terhadap siswa di Kota Pekalongan pernah menjadi isu di media pada tahun 2015, dimana seorang guru SMPN menampar siswa, hingga anak tersebut sakit demam ( www.tribunnews.com › Regional › Jawa & Bali 10/4/2015, diakses 2 Pebruari 2017). Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan terhadap siswa SMP se kota Pekalongan pada bulan Desember 2016, juga diketahui bahwa, banyak guru yang melakukan kekerasan terhadap siswa, baik fisik, seksual maupun verbal. Padahal pada awal tahun 2016 pemerintah kota Pekalongan telah mencanangkan gerakan sekolah ramah anak yang meliputi sekolah sehat, sekolah aman dan nyaman, sekolah peduli dan berbudaya lingkungan. Di sisi lain, telah diundangkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang secara jelas dan tegas mengatur mengenai sanksi bagi pelaku kekerasan di satuan pendidika. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan, sehingga perlu mengekplorasi dan menganalisis lebih dalam mengenai bentuk kerasan, penyebab kekerasan, dampak kekerasan dan dan solusi mengenai kekerasan guru terhadap siswa di SMP Kota Pekalongan.
18 February 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1. Hasil penelitian. 1.1.1. Kondisi umum siswa dan Guru di SMP Kota Pekalongan. Secara umum, jumlah SMP di kota Pekalongan sebanyak 29 SMP, dengan sebaran 17 SMP Negeri, SMP swasta yang sebagian besar dari jumlah SMP swasta tersebut berbasis Islam, yaitu sebanyak 9 SMP swasta Islam dan 2 SMP swasta NonIslam (SMP Masehi dan SMP Pius) Sedangkan 1 SMP LB Negeri dan Terbuka dan1 SMP LB. PRI serta 1 SMP terbuka ( Paket B ). Jumlah siswa per tahun 2016 sebanyak 14.763 dengan ruang kelas sebanyak 436 . Kondisi tersebut bisa dipahami bahwa, Rata –rata setiap ruang kelas berkapasitas 33 s.d 34 Siswa. (https://pekalongankota.go.id/.../dinaspendidikan-pem. diakses 3 Pebruari 2017).
No 1 2 3 4 5 6
METODE PENELITIAN 7 Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Informan kunci adalah siswa dan guru di SMP Kota Pekalongan, dengan menggunakan pusposive sampling dan dikembangkan melaui teknik snow ball. Croscek dilakukan kepada kepala sekolah, orang tua dan pegawai. Teknik pengumpulan data menggunakan FGD, wawancara dan dokumentasi. Teknis analisis menggunakan interaktif model Miles & Huberman ( 1992).
THE 5TH URECOL PROCEEDING
UAD, Yogyakarta
8 9 10 11 12
671
Tabel 1 Data Jumlah Siswa SMP di Kota Pekalongan Nama Kecamatan Juml ah SMP Pekalongan 543 Negeri 1 Utara SMP Pekalongan 432 Negeri 2 Utara SMP Pekalongan 426 Negeri 3 Utara SMP Pekalongan 611 Negeri 4 Barat SMP Pekalongan 514 Negeri 5 Timur SMP Pekalongan 694 Negeri 6 Timur SMP Pekalongan 638 Negeri 7 Timur SMP Pekalongan 669 Negeri 8 Utara SMP Pekalongan 392 Negeri 9 Utara SMP Pekalongan 479 Negeri 10 Timur SMP Pekalongan 638 Negeri 11 Barat SMP Pekalongan 467 Negeri 12 Utara
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
13
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
SMP Pekalongan 663 Negeri 13 Barat 14 SMP Pekalongan 583 Negeri 14 Selatan 15 SMP Pekalongan 436 Negeri 15 Barat 16 SMP Pekalongan 540 Negeri 16 Selatan 17 SMP Pekalongan 423 Negeri 17 Timur 18 SMP LB Pekalongan 7 Negeri Barat 19 SMP Islam Pekalongan 148 YPI Buaran Selatan 20 SMP Islam Pekalongan 627 Pekalongan Timur 21 SMP Pekalongan 303 Muhamma Utara diyah 22 SMP Pius Pekalongan 379 Pekalongan Utara 23 SMP Satya Pekalongan 82 Wiguna Timur 24 SMP Pekalongan 368 Wahid Utara Hasyim 25 SMP Al Pekalongan 151 Irsyad Timur 26 SMP Pekalongan 40 Masehi Barat 27 SMP Pekalongan 487 Salafiyah Timur 28 SMPLB Pekalongan 35 PRI Selatan Pekalongan 29 SMP Pekalongan 28 terbuka Barat JUMLAH 14.763 Sumber: Dindikpora Kota Pekalongan Tahun 2016.
Propinsi, Juara Karate dan Futsal di Tingkat Provinsi dan lain-lain. Berbagai kegiatan organisasi dan kegiatan ekstrakrikuler juga tumbuh dan berkembang di setiap SMP kota Pekalongan. Misalnya, OSIS, Pramuka, ekstra kurikuler kaligrafi, musik, melukis, olahraga dan lain-lain. Sedangkan jumlah guru SMP di kota Pekalongan per tahun 2016 sebanyak 729 orang, guru laki-laki sebanyak 304 dan guru perempuan sebanyak 425 orang. Kualitas guru SMP kota Pekalongan, di lihat dari sisi pendidikan, sebagian besar lulusan Strata Satu ( S1), meski demikian ada juga guru yang masih lulusan D3 dan ada juga guru yang sudah lulus Strata dua (S2).Misalnya, guru SMP Negeri 5 Kota Pekalongan, yang lulus D3 ada 2 orang , yang lulus S2 ada 2 orang dan lulus S1 ada 24 orang. Sebagian besar guru SMP di Kota Pekalongan, juga telah tersertifikasi Kualitas guru juga terlihat dari sisi prestasi yang mereka dapatkan, misalnya: juara OSN tingkat nasional tahun 2016, juara Inovasi Pembelajaran, juara Lomba Guru Kreatif dan lain-lain. Beranjak dari kondisi umum sebagaimana di atas, bisa dikemukakan bahwa secara umum kualitas pendidikan di kota Pekalongan sudah menenuhi standar mutu pendidikan dilihat dari sebaran jumlah siswa, ruang kelas dan jumlah guru serta beberapa kegiatan yang ada di masingmasing sekolah. Hal ini tentunya bukan ukuran baku untuk melihat tingkat kualitas pendidikan, namun paling tidak secara minimal sudah bisa dijadikan gambaran awal untuk melihat kondisi umum siswa dan guru di SMP kota Pekalongan.
Data di atas menunjukan adanya sebaran lokasi SMP dan jumlah siswa SMP di Kota Pekalongan di tiap kecamatan. Setiap SMP rata-rata menampung jumlah siswa sebanyak 400 s.d 600 siswa, kecuali untuk SMP LB dan SMP terbuka. Di lihat dari prestasinya, para Pelajar SMP/MTS di Kota Pekalongan juga tidak mengecewakan. Bebera prestasi yang pernah diraih oleh Pelajar SMP antara lain: juara II Mata Pelajaran IPA di tingkat
Sebagaimana pemaparan sebelumnya, bahwa jumlah guru di SMP kota Pekalongan sebanyak 729 orang, guru lakilaki sebanyak 304 dan guru perempuan sebanyak 425 orang. Selisih antara guru lakilaki dan perempuan sebanyak 121 orang lebih banyak guru perempuan. Tingkat pendidikan guru SMP kota Pekalongan sebagian besar adalah strata satu (SI), mencapai 85%, S2 sebanyak 10% dan D3
THE 5TH URECOL PROCEEDING
1.1.2. Profil Guru di SMP Kota Pekalongan.
672
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
sebanyak 5% dan sebagian besar guru di Kota Pekalongan juga telah tersertifikasi. Guru di SMP Kota Pekalongan, 90 % adalah suku Jawa, yang berasal dari berbagai daerah, khususnya provinsi Jawa Tengah dan 50% berasal dari lokal Pekalongan. Sebagian besara beragama Islam yaitu sebanyak 85%, dengan religiusitas yang beragam, dan khusus yang berasal dari lokal Pekalongan, memiliki religiusitas yang tinggi, di lihat dari dimensi idiologi, keyakinan (religious belief), ritualistik, eksperiensial,inteklektual dan konsekuensial (Glock dan Stark, 2005). Di lihat dari sisi usia, para guru di SPM kota Pekalongan yang berusia kurang dari 30 tahun sebanyak, 102 orang atau kurang lebih 15%, berusia 30 s.d 40 tahun sebanyak 276 orang atau kurang lebih 39%, usia 41 s.d 50 tahun sebanyak 265 orang atau kurang lebih sebanyak 35 %. dan 51 tahun ke atas sebanyak 86 orang atau kurang lebih 11%. Artinya, guru SMP di Kota Pekalongan, sebagian besar masih muda dan produktif. Sedangkan dilihat dari tingkat sosial ekonomi, para guru SMP di Kota Pekalongan termasuk dalam kategori ekonomi menengah ke atas. Hal tersebut terlihat dari penghasilan perbulan, kendaraan yang digunakan dan cara berpakaian khususnya dari para guru perempuan. Berdasarkan profil tersebut di atas bisa dikemukakan bahwa, meskipun secara sosial ekonomi masuk kategori menengah ke atas, dengan usia yang sebagian besar masih produktif, namun tuntutan kualitas dan profesionalitas sebagai guru tersertifikasi dan tanggungjawab mereka terhadap pengembangan prestasi anak didik, menjadikan pekerjaan yang harus dilakukan oleh guru semakin banyak, sehingga membutuhkan kesabaran dan kerja keras. 1.1.3. Profil siswa di SMP Kota Pekalongan Siswa SMP di Kota Pekalongan, di lihat dari latar belakang sosial ekonomi orang tua sangat beragam. Hal tersebut tampak dari latar pendidikan orang tua yang juga sangat beragam, yaitu mulai dari tingkat SD bahkan ada yang tidak tamat SD hingga Sarjana bahkan ada yang Doktor-Sarjana Strata Tiga (S.3). Namun demikian rata-rata
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
hanya berpendidikan SD dan SMP, yaitu sebanyak 60%, kemudian yang berpendidikan SMA (30%) dan Sarjana (10%). Tingkat pendidikan berbanding lurus dengan jenis pekerjaan yang digeluti dan penghasilan yang didapat. Sebagian besar dari orang tua yang berpendidikan SD dan SMP ini bekerja sebagai buruh kasar yakni buruh batik, buruh tani, buruh nelayan, bekerja pada keluarga tertentu sebagai pengasuh bayi dan/atau sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Ada juga diantaranya yang bekerja sebagai pedagang kecil/bakul sayur dan jualan nasi keliling, tukang becak, tukang batu (laden), ada juga yang berwiraswasta dengan membuka warung kecil-kecilan. Penghasilan yang didapat kadang tidak bisa mencukupi kebutuhan keseharian keluarganya. Orang tua siswa yang berpendidikan SMA pun ada yang menjadi buruh sebagaimana mereka yang lulusan SD/SMP, pedagang, wiraswasta namun sebagian besar dari mereka ini bekerja sebagai karyawan, dan PNS. Orang tua yang berpedidikan sarjana umumnya bekerja sebagai PNS di pemerintahan, lembaga pendidikan dan bidang kesehatan. Pelajar SMP di kota Pekalongan pada umumnya pernah mengenyam pendidikan secara tertib mulai dari Tamak Kanak-Kanak (TK) baik yang berbasis agama ( Islam dan Kristen) maupun umum, kemudian dilanjutkan ke Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI), maupun SD Kristen. Mereka umumnya juga mengikuti pendidikan agama dan baca tulis al-qur’an di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) atau Madrasah Diniyah (Madin) yang banyak terdapat di kota Pekalongan. Dengan latar pendidikan yang demikirian maka tidaklah mengherankan jika kepribadian mereka umumnya juga baik. Hal ini terlihat dalam segi perilaku dan prestasi siswa. Namun, bukan berarti tidak ada siswa yang suka melanggar peraturan, meskipun jumlahnya tidak banyak ( sedikit). Di lihat dari sisi agama, 95 % siswa di Kota Pekalongan beragama Islam dengan religiusitas cukup tinggi, kecuali yang bersekolah di SMP non Islam. Hal tersebut terlihat dari berbagai dimensi, yaitu: dimensi idiologi, keyakinan (religious belief), ritualistik, eksperiensial, inteklektual dan
673
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
konsekuensial (Glock dan Stark, 2005). Misalnya: secara idiologis, mereka sangat percaya dan meyakini adanya Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam. Mengakui keterikatan diri dengan dokrin agama yang dianutnya. Agama menjadi penggerak dan pengontrol perilaku mereka. Ukuran baik dan buruk, apa yang harus, boleh dan tidak boleh dilakukan selalu dikaitkan dengan agama. Dimensi ritual mereka juga tinggi, yaitu sholat lima (5) waktu, berjamaah di Masijid dan Mushola, puasa Ramadhan, sholat Jumat bagi siswa laki-laki dan lainlain, sedangkan dimensi eksperiensial masih rendah karena belum memiliki pengalaman keagamaan yang mendalam. Di lihat dari dimensi inteklektual juga cukup tinggi, yaitu:mengerti tentang rukun iman, rukun Islam dan mengetahui tertib urutannya. Kemampuan baca al-qur’an mereka rata-rata bagus, bahkan sebagian besar sudah khatam Alquran. Mereka juga hafal surat-surat pendek dan ayat kursi yang dipraktikkan dalam bacaan surat tatkala shalat. Hal ini tidaklah mengherankan karena Pekalongan dikenal sebagai kota santri, yang ditandai dengan banyaknya jumlah Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Madrasah Diniyah dan kyai-ustadz/ah yang mengajarkan ilmu Agama kepada mereka. Pengetahuan mereka tentang ajaran Islam juga relatif baik, umumnya mereka mengetahui kewajiban ritual yang harus dilakukan oleh setiap muslim, seperti shalat lima waktu, puasa ramadhan, membayar zakat dan haji, sebagaimana mereka mengetahui hal-hal pokok yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh setiap muslim dalam kehidupan sehari-hari seperti; harus jujur, saling menghormati, tidak menyakiti sesama, tidak menyontek, tidak berbohong, tidak mengkonsumsi narkoba dan lain-lain. Sedangka dimensi konsekuensial siswa SMP di kota Pekalongan juga nampak Islami. Kata-kata insha Allah, masha Allah, bismillah, alkhamdulillah, astaghfirullah, subkhanallah, assalamualaikum dan sebagainya menjadi ungkapan yang biasa dalam interaksi sosial, baik dengan teman, orang tua, tetangga maupun guru di sekolah. Pakaian juga merupakan identitas yang menonjol, karena semua siswa yang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
beragama Islam di kota Pekalongan di wajibkan oleh pemerintah Kota pekalongan untuk mengenakan seragam muslimah yang menutup aurat. Memakai celana panjang bagi siswa laki-laki dan rok panjang dan berkerudung bagi siswa perempuan. Mencermati profil tersebut maka, dapat dikemukakan bahwa sebagaimana masyarakat kota Pekalongan pada umumnya, maka siswa di SMP Kota Pekalongan memiliki religiusitas yang relatif tinggi dan perilku serta moralitas yang baik, meskipun tentunya ada juga sebagian siswa yang kurang terjaga perilaku dan moralitasnya, namun hal tersebut tentunya bersifat kasuistik. 1.2. Pembaasan 1.2.1. Bentuk kekerasan guru terhadap siswa di SMP Kota Pekalongan. . Menurut (Bagong. S, 2000), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/ trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Berdasarkan pengertian tersebut, ada beberapa unsur kekerasan, antara lain: kekuatan fisik dan kekuasaan. Kekerasan sering terjadi karena pelaku kekerasan memiliki kekuatan fisik dan/atau kekuasaan. Ada pola relasi yang tidak seimbang antara pelaku dan korban; ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat. Kekerasan tidak hanya tertuju pada orang lain atau sekelompok orang, namun juga pada diri sendiri; dan; mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Oleh karena itu, disebut dengan kekerasan jika memenuhi unsur kekuatan fisik dan kekuasaan, yang menjadi motivasi pelaku untuk melakukan kekerasan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri maupun orang lain dan memilik dampak terhaddap korban, yakni memar/trauma, kematian, kerugian
674
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Menurut Pasal 1 ayat ( 1) Peraturan Menteri pendidikan republik Indonesia Nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan, yang dimaksud dengan tindak kekerasan adalah perilaku yang dilakukan secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar yang mencerminkan tindakan agresif dan penyerangan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan dan mengakibatkan ketakutan, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian. Bunyi pasal tersebut dapat dimaknai bahwa, disebut tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, jika memenuhi unsur, antara lain: perilaku secara fisik, psikis, seksual, dalam jaringan atau melalui bahan ajar; mencerminkan tindakan sgresif dan penyerangan, dilakukan di lingkungan satuan pendidikan, berakibat pada rasa takut, trauma, kerusakan barang, luka/cedera, cacat, dan atau kematian. Sedangkan yang dimaksud dengan satuan pendidikan menurut Pasal 1 Ayat (3) adalah pendidikan anak usia dini dan satuan pendidikan formal pada pendidikan dasar, dan pendidikan menengah yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Mengacu pada pasal-pasal tersebut di atas, maka dalam konteks pembahasan ini, bentuk- bentuk kekerasan di sekolah, antara lain: kekerasan fisik, psikis, seksual, dalam jaringan (daring), atau melalui buku ajar. Bentuk kekerasan di sini tidak hanya yang dilakukan secara nyata, namun juga bisa dilakukan melalui dunia maya ( media daring) dan melalui buku bahan ajar. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa, , pelaku kekerasan guru terhadap siswa di SMP Kota Pekalongan, 90 % dilakukan oleh guru laki-laki, dan 10% oleh guru perempuan, dengan varian bentuk kekerasana, sebagai berikut: 1) kekerasan yang dilakukan oleh guru laki-laki terhadap siswa perempuan. Bentuk kekerasan yang dilakukan oleh guru laki-laki dengan korbannya siswa perempuan, yaitu: kekerasan seksual, seperti memegang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
tangan, mencolek pipi dan dagu, merayu dan mengajak nonton, jalanjalan dan;; kekerasan verbal, seperti menyalahkan, membetak, menghina dengan kata-kata. Misalanya: bodoh, malas, dan lain-lain. Kekerasan seksual, hanya bersifat kasuistik. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan terhadap 52 anak di seluruh SMP Kota Pekalongan, hanya ada 4 anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan hal tersebut dilakukan oleh guru tertentu yang ada di satu SMP Kota Pekalongan. 2) kekerasan oleh guru laki-laki terhadap siswa laki-laki. Kekerasan yang dilakukan oleh guru laki-laki dengan korbannya siswa laki-laki, yaitu: kekerasan fisik, misalnya: memukul, memegang krah baju sambil mau menonjok, melempar dengan kapur, berdiri di depan kelas, di jemur di lapangan upacara, dan membersihkan kamar mandi; kekerasan verbal seperti, menghina, mengusir, membentak, menyalahkan dengan katakata. Misalnya, bodoh, malas, kurang ngajar, sok jagoan, keluar kamu (mengusir), beling ( nakal), dan lainlain. 3) kekerasan yang dilakukan oleh guru perempuan terhadap siswa perempuan. Kekerasan yang dilakukan oleh guru perempuan dengan korbannya siswa perempuan, yaitu: kekerasan verbal, seperti menyalahkan dan membentak berupa kata-kata (verbal). Misalnya: endel ( kemayu), ora sopan (tidak sopan) dan lain-lain. 4) Kekerasan yang dilakukan oleh guru perempuan terhadap siswa laki-laki. Kekerasan yang dilakukan oleh guru perempuan terhadap siswa lakilaki, yaitu: kekerasan fisik, berdiri di depan kelas, membersihkan kamar mandi; kekerasan verbal, seperti membentak dan menyalahkan. Misalnya: tidak punya sopan santun, bodoh, nakal (beling), kurangajar, dan lain-lain. Berdasarkan fakta tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa, ada perbedaan varian bentuk dan jenis kekerasan yang terjadi berdasarkan jenis kelamin baik dari
675
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
sisi pelaku maupun korban; fakta dimana pelaku kekerasan guru terhadap siswa di SMP Kota Pekalongan, 90 % dilakukan oleh guru laki-laki, dan 10% oleh guru perempuan. Penghukuman fisik (corporal punishment) masih menjadi alat yang paling efektif untuk mendisiplinkan murid di sekolah, baik oleh guru laki-laki maupun guru perempuan dan kekerasan model ini paling banyak terjadi dibandingkan dengan kekerasan lainnya. Kekerasan seksual, sifatnya hanya kasuistik. Dari semua varian yang ada, kekerasan verbal menjadi salah satu bentuk kekerasan yang dilakukan oleh semua jenis kelamin baik pelaku dan korban, meskipun dengan jenis yang berbeda. Sebagai penegasan, kekerasan verbal adalah suatu tindakan lisan atau perilaku yang dapat menimbulkan konsekuensi emosiaonal yang merugikan ((Wong, 2008; Huraerah 2007). Kekerasan ini tidak banyak diekspos di media massa karena oleh masyarakat tidak dianggab sebagai kekerasan, kecuali menimbulkan akibat yang serius bagi korban kekerasan. 1.2.2. Menelusuri penyebab kekerasan guru terhadap siswa di SMP Kota Pekalongan. Kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di SMP Kota Pekalongan, disebabkan oleh kondisi internal dari masing-masing guru yang dipicu oleh fakta eksternal baik dari sisi emosional ( diri sendiri), pemahaman guru, maupun sistem pendidikan yang ada saat ini. Penyebab kekerasan tersebut, antara lain: 1) Adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman, terutama fisik. Faktor ini yang paling sering dan banyak dilakukan di lembaga pendidikan Indonesia, termasuk oleh para guru di SMP Kota Pekalongan sebagaimana telah dipaparkan di atas. Tindakan kekerasan tersebut disebut dengan corporal punishment, yaitu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu untuk pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (is disciplinary action involving the infliction of psysical
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
pain upon one person by another, although physical contact is not necessary(W.W. Charters, 1979). Konsep hukuman dan ganjaran, sudah tidak sesuai lagi dalam praktek pendidikan, karena berdampak negatif terhadap psikologi anak, apalagi jika hukuman berupa kekerasan fisik atau psikologis (Setiawan, 2008.pp. 131). Menurut Clanzic, hukuman dan ganjaran dalam dunia pendidikan pada dasarnya mematikan inisiatif belajar, mempengaruhi jiwa anak, sehingga hukuman dan ganjaran adalah tindakan yang tidak berperikemanusiaan dan menimbulkan permusuhan (Assegaf, 2004, pp 83). Menurut teori umum manajemen yang juga diadopsi dalam manajemen pendidikan, berkenaan dengan reward dan punishment ini, dikenal dengan teori X dan teori Y yang dikemukakan oleh Mc. Gregor. Teori X dianggap sebagai teori “konvensional” yang mengasumsikan bahwa pada dasarnya manusia itu pemalas, sehingga harus selalu diawasi dan dimotivasi oleh rasa takut akan menerima hukuman dan mencoba sebanyak mungkin untuk menghindar dari rasa tanggung jawab (responsibility). Sebaliknya, teori Y yang dikenal sebagai pendekatan perilaku (attitude approach) mengatakan bahwa usaha fisik dan mental adalah sama alamiahnya dalam kerangka pekerjaan, bermain ataupun istirahat. Oleh sebab itu, ancaman hukuman menurut teori ini bukan merupakan sarana yang baik dan tepat untuk membujuk seseorang menjadi rajin. Komitmen terhadap tujuan sudah merupakan penghargaan tersendiri dan rata-rata manusia belajar untuk mencari tanggung jawab dan bukan untuk menghindarinya. 2) emosi guru yang tidak stabil. Emosi guru yang tidak stabil, dimaknai sebagai guru yang mudah tersingung, mudah marah dan kurang bisa mengendalikan emosi. Emosi yang tidak sstabil ini, faktanya terjadi karena, faktor usia, latar belakang pola pendidikan orang tua yang otoriter dari guru yang bersangkutan, dan juga
676
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
disebabkan oleh banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan oleh guru karena tuntutan kualitas dan profesionalitas sebagai guru tersertifikasi dan tanggungjawab mereka terhadap pengembangan prestasi anak didik. 3) kondisi rumah tangga tidak harmonis. Hasil penelitian menunjukan bahwa, beban guru untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas sebagai guru tersertifikasi sekaligus tanggungjawab dalam pengembangan prestasi anak didik, ditambah dengan kondisi rumah tangga yang kurang harmonis, mengakibatkan guru yang kurang bisa mengendalikan emosinya, menumpahkan rasa kesalnya pada para siswa. 4) rendahnya pemahaman guru terhadap substansi pendidikan . Pemahaman guru di SMP Kota Pekalongan, tentang substansi pendidikan masih tergolong rendah. Hal tersebut di buktikan dengan fakta bahwa para guru mengidentikan pendidikan dengan pengajaran. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1), yang berbunyi: “ Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Guru dituntut mampu menanamkan nilai-nilai moral, kedisiplinan, sopan santun, dan ketertiban sesuai dengan peraturan atau tata tertib yang berlaku di sekolah masing-masing, sehingga diharapkan siswa tumbuh menjadi peribadi memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Oleh karena itu, tujuan pendidikan akan terwujud, jika suasana pembelajaran di sekolah kondusif, aman, nyaman, tenteram, damai dan bebas dari segala
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
bentuk kekerasan. Substansi pendidikan ini, sering diabaikan oleh para guru sehingga guru tidak menempatkan diri sebagai pendidik, namun hanya sebagai pengajar yang memberikan materi pelajaran kepada siswa di kelas untuk memenuhi rutinitas dan formalitas. 5) rendahnya pemahaman guru tentang berbagai bentuk dan jenis kekerasan. Rendahnya pemahaman guru terhadap bentuk dan jenis kekerasan ternyata juga menjadi faktor munculnya tindak kekerasan guru terhadap siswa di SMP kota Pekalongan.Para guru tidak memahami, jika mereka menghukum siswa secara fisik dengan dalih mendisiplinkan termasuk bentuk kekerasan. Secara serempak mereka mengatakan bahwa, “ tujuannya bukan untuk menyakiti, namun mendidik anak menjadilebih baik” Para guru juga tidak memahami, jika membentak, melecehkan, menghina, mengusir, selalu menyalahkan dengan kata-kata (verbal) adalah bentuk kekerasan. Bahkan mereka juga tidak memahami, bahwa memagang, meraba, merayu dan mengajak kencan adalah bentuk kekerasan seksual, karena yang mereka pahami hal tersebut hanya merupakan perbuatan tidak senonoh dan tidak pantas, terkait dengan moralitas guru. Kerasan seksual yang dipahami oleh para guru, adalah jika guru melakukan perbuatan seksual ( hubungan badan) terhadap siswa. Berbagai faktor penyebab terjadinya kekerasan sebagaimana di atas, sebenarnya tidak berdiri sendiri, namun antara faktor satu dengan faktor lainnya saling terkait dan saling mendukung satu sama lain, yang akhirnya memunculkan berbagai bentuk dan jenis kekerasan. Di sisi lain, selama ini model pendidikan yang diterapkan di sekolah masih bersifat konvensional, dimana rutinitas dan formalitas masih menjadi rujukan bagi para guru dengan berbagai persoalan yang melingkupinya. Di sisi lain, falsafah pendidikan dengan model humanisme yang seharusnya menjadi landasan bagi para guru belum menjadi hal yang umum untuk diaplikasikan dalam relaitas pedidikan di sekolah, sehingga
677
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
masih banyak terjadi berbagai bentuk kekerasan. 1.2.3. Dampak kekerasan guru terhadap siswa di SMP Kota Pekalongan Berdasarkan berbagai bentuk kekerasana yang terjadi di SMP Kota Pekalongan, yang telah dipaparkan di atas, faktanya menimbulkan dampak negatif, khususnya bagi anak sebagai korban kekerasan. Fakta dampak kekerasan bagi siswa sebagai korban, antara lain: 1) takut dan malas masuk sekolah, khususnya jika ada mata pelajaran dari guru yang melakukan kekerasan. Hal ini dialami oleh siswa perempuan yang mengalami kekerasan seksual. Hasil FGD dan wawancara dengan beberapa siswa diketahui bahwa, mereka takut, malas dan benci pada guru X dan Y yang suka merayu, mengajak jalan-jalan dan menonton, mencolek siswa perempuan. Bahkan ada seorang siswa perempuan, yang pernah ijin tidak masuk dengan alasan pura-pura sakit karena takut dan benci terhadap guru yang pernah merayu dia, bahkan mengemukakan mengajak dia pacaran. 2) semakin sering melanggar aturan guru. Kekerasan fisik yang terjadi dengan dalih mendisiplikan siswa (corporal punishment), faktanya justru tidak membuat siswa semakin disiplin atau patuh terhadap peraturan sekolah maupun guru, namun justeru sebaliknya si siswa semakin melanggar peraturan. Hal ini terbukti, dari sebagian besar anak yang menjadi korban kekerasan fisik, karena melanggar peraturan, seperti: terlambat, berkelahi, membolos, tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dari guru dan lain-lain, ternyata mereka justeru semakin nakal, semakin tidak patuh dan semakin melangagar peraturan. Kekerasan fisik dengan dalih mendisiplinkan siswa ini ternyata tidak efektif untuk menjadikan peserta didik semakin baik dan disiplin. 3) prestasi menurun. Fakta mengenai kekerasan fisik, seksual dan verbal di SMP Kota Pekalongan, ternyata juga berdampak
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
pada prestasi siswa. Rasa malu, takut, benci dan malas karena merasa dilecehkan, dihina, disalahkan, dibentak, bahkan diperlakukan tidak senonoh oleh guru ( dipegang tangan, dagu dan pipi, dan lain-lain), oleh guru, mengakibatkan prestasi siswa semakin menurun. Hasil wawancara dengan siswi Z, menunjukan bahwa pada saat kelas 1 SMP dia selalu mendapatkan nilai bagus, namun ketika kelas 2 SMP, prestasinya menurun karena dia merasa malas dan takut untuk pergi ke sekolah dan dia juga sering membolos ketika ada mata pelajaran dari guru yang melakukan kekerasan terhadapnya. 4). Sakit secara fisik Dampak kekerasan ini, pernah dialami oleh siswa di SMP kota Pekalongan, karena dipukul oleh gurunya dan dia mengalami demam (sakit) ( www.tribunnews.com › Regional › Jawa & Bali 10/4/2015, diakses 2 Pebruari 2017). Berbagai dampak kekerasan tersebut di atas, meskipun hanya satu yang terdeteksi mengakibatkan sakit secara fisik, namun tetap saja membawa dampak buruk khusunya dari sisi psikis anak yang mengalami korban. Rasa malu, sakit hati, takut, benci adalah bentuk trauma anak dan secara psikis mengganggu perkembangan anak. Begitu juga anak yang mendapatkan hukuman fisik dengan dalih pendisiplinan, sehingga mereka menjadi anak yang bandel, suka membantah dan tidak taat aturan, juga merupakan bentuk luka psikis yang diderita oleh anak sebagai protes dari tindakan yang dilakukan oleh guru. 1.2.4. Solusi mengatasi kekerasan guru terhadap siswa. Fakta mengenai tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa sebagai mana di paparkan di atas, adalah sedikit gambaran situasi kritis pendidikan di Indonesia saat ini, yang memerlukan perhatian dan penanganan. Secara yuridis, pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan upaya untuk mengatasi
678
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
kekerasan di lembaga pendidikan, yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 Tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Selain itu, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, juga telah mengatur mengenai kekerasan di lembaga pendidikan, yaitu dalam Pasal 54, bahwa: “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”. Namun, tindak kekerasan di lembaga pendidikan masih belum menunjukan hasil yang diharapkan. Kompleksitas kekerasan di lembaga pendidikan, khususnya yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, memang membutuhkan penyelesaian yang komprehensif tidak hanya dari sisi hukum, namun harus di lihat dan diurai dari akar masalahnya. Solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan masalah krisis kekerasan ini adalah, dengan menggunakan pendekatan pendidikan anti kekerasan dari Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara merasa yakin bahwa dasar-dasar pendidikan yang cocok untuk Indonesia bukanlah regering, tucht, en orde (perintah, hukuman, dan ketertiban) melainkan orde en vrede (tertib, damai dan tenteram) Dewantara, Ki Hadjar. 1962.pp13). Dasar pemikiran ini, akhirnya melahirkan konsep pendidikan among (momong, among, dan ngemong). Metode among adalah metode pendidikan yang memperhatikan dan mendukung kodrat alam anak didik, bukan dengan “perintah paksa”, tetapi dengan tuntunan, sehingga dapat menggugah perkembangan kehidupan peserta didik baik lahir maupun batin menurut kodratnya sendiri, sebagai manusia yang merdeka. Manusia merdeka adalah individu yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan orang lain (Martono, Nanang. 2014.pp.16; Saksono, Gatut Ign, 2010).
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Sistem among yang berjiwa kekeluargaan bersendikan 2 dasar, yaitu: pertama, kodrat alam sebagai syarat kemajuan; kedua, kemerdekaan sebagai syarat menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak agar memiliki pribadi yang kuat dan dapat berpikir serta bertindak merdeka. Oleh karena itu, sistem among melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdekanya, mematikan kreativitasnya (Dwiarso, 2010: 6). Metode among,mengandung tiga (3) konsep yang merupakan satu kesatuan yaitu momong, among dan ngemong atau asih, asah dan asuh. Momong berarti membimbing, memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya. Guru atau pamong mengikuti dari belakang dan memberi pengaruh, bertugas mengamat amati dengan segala perhatian, pertolongan diberikan apabila dipandang perlu. Anak didik dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain. (Soeratman, 1985: 79) Among berarti membimbing anak dengan penuh kecintaan dan mendahulukan kepentingan sang anak, sehingga anak dapat berkembang menurut kodratnya. Hubungan murid dan pamong (guru) dalam hal ini seperti keluarga., sehingga memilki hubungan yang sangat erat seperti antara anak dan orang tua. Ngemong berarti melayani, mengarahkan dan membimbing anak didik dengan penuh kesabaran, perhatian, kasih sayang dan ikhlas, tanpa pamrih, sehingga menjadi manusia yang berbudi luhur atau beradab dan bersusila. (Soeratman, 1985: pp. 79 dan 119; Martono, Nanang. 2014.pp.16). Untuk mengaplikasikan metode among, menggunakan semboyan “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Ing ngarsa sung tulada, berarti guru sebagai pendidik harus mampu memberi teladan kepada anak didiknya dan menjaga tingkah lakunya supaya bisa menjadi teladan Ing madya mangun karsa artinya, seorang pendidik ketika berada di tengah harus mampu membangkitkan semangat, berswakarsa dan berkreasi pada anak didik. Tut wuri handayani artinya, pendidik berada di
679
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
belakang, mengikuti dan mengarahkan anak didik agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab ((Soeratman 1985: 127). Sistem among, akan terealisasi dengan sempurna jika didukung dengan konsep belajar tri pusat pendidikan, yang meliputi, alam keluarga, alam perguruan dan alam pergerakan pemuda ( masyarakat). Artinya, anak didik tidak semata-mata hanya belajar di sekolah tetapi juga dalam keluarga dan masyarakat Oleh karena itu, kesatuan paham dari ketiga pusat belajar tersebut menjadi penting untuk mewujudkan anak didik yang cerdas, beradab dan bersusila (Dwiarso, Priyo, 2010). Berdasarkan uraian di atas, bisa dikemukakan bahwa konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara tidak hanya menekankan pada intelektualitas, namun yang terpenting adalah penekanan pada karakter anak didik yang berbudi luhur (beradab) dan berkesusilaan. Berbudi luhur, adalah sifat batin manusia yang meliputi, antara lain: keinsyafan tentang kesucian, kemerdekaan, keadilan, ke Tuhan-an, cinta kasih, kesetiaan, , ketertiban, kedamaian, kesosialan dan lain-lain, sedangkan kesusilaan menunjukkan sifat hidup lahir manusia yang serba halus dan indah. Gambaran manusia seperti itu, hanya bisa terwujud jika guru menempatkan diri sebagai pamong, yaitu seorang pendidik yang menjadi tauladan, teman dan motivator bagi anak didik, dan suasana pendidikan berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya atau disebut dengan metode momong, among dan ngemong atau asih, asah dan asuh, yaitu sebuah pendekatan dan metode pendidikan yang mengutamakan kepadulian, dan cinta kasih (care and dedication based on love). KESIMPULAN Pelaku kekerasan guru terhadap siswa SMP di Kota Pekalongan, 90 % adalah guru laki-laki, dan 10% adalah guru perempuan, dengan varian bentuk kekerasan, sebagai berikut: kekerasan yang dilakukan oleh guru laki-laki dengan korban siswa perempuan, yaitu: 1) kekerasan seksual (memegang tangan, pipi dan dagu,
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
serta merayu) dan; 2) kekerasan verbal(menyalahkan, membetak, menghina). Kekerasan oleh guru laki-laki terhadap siswa laki-laki, yaitu:1) kekerasan fisik ( memegang krah baju sambil mau menonjok, menghukum secara fisik, menjambak rambut) dan; 2) kekerasan verbal (menghina, mengusir, membentak, menyalahkan). Kekerasan yang dilakukan oleh guru perempuan terhadap siswa perempuan, yaitu: 1) kekerasan verbal (menyalahkan dan membentak), sedangkan guru perempuan terhadap siswa laki-laki, yaitu: 1) kekerasan fisik (menghukum secara fisik); 2) kekerasan verbal (membentak dan menyalahkan). Penyebab kekerasan, antara lain: adanya pelanggaran disertai dengan hukuman; emosi guru yang tidak stabil; kondisi rumah tangga tidak harmonis; rendahnya pemahaman guru terhadap substansi pendidikan dan; rendahnya pemahaman guru tentang berbagai bentuk dan jenis kekerasan. Dampak kekerasan, yaitu: 1) takut dan malas masuk sekolah, khususnya jika ada mata pelajaran dari guru yang melakukan kekerasan; 2) semakin sering melanggar aturan guru; 3) prestasi menurun dan;4) sakit fisik. Solusinya adalah, sosialisasi pendidikan nir kekerasan yaitu sebuah pendekatan dan metode pendidikan yang mengutamakan kepedulian dan cinta kasih, untuk membangun profesionalitas guru sebagai pendidik. REFERENSI Bagong .S, dkk. (2000). Tindak Kekerasan Mengintai Anak-anak Jatim. Surabaya :Lutfansah Mediatama Dwiarso, Priyo, (2010), Napak Tilas Ajaran Ki Hadjar Dewantara, Yogyakarta: Majelis Luhur Pesatuan.. Dewantara, Ki Hadjar. (1962). Karja I (Pendidikan) Jogjakrta: Pertjetakan Taman Siswa Martono, Nanang. (2014). Sosiologi Pendidikan Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan seksualitas. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Miles, Matthew & Huberman,Micheal.(1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
680
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia, (tt.cet.2) .pp 152, Jakarta: Bumi Aksara Nizar, Samsul ( 2001), pp.vii, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam ,Jakarta: Gaya Media Pratama. Saksono, Gatut Ign, (2010), Pendidikan Yang Memerdekakan Siswa, Yogyakarta, Diandra Primamitra Media Setiawan, Beni ( 2008) pp. 131, Agenda Pendidikan Nasional, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Soeratman, Parsiti, (1985). Ki Hajar Dewantara, Jakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Proyek Pembinaan Pendidikan Dasar. Peraturan perundangan:
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 tahun 2015 Tentang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Selain itu, Internet: www.tribunnews.com › Regional › Jawa & Bali 10/4/2015, diakses 2 Pebruari 2017 https://pekalongankota.go.id/.../dinaspendidikan-pem).
681
ISBN 978-979-3812-42-7