Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. IPEMBANGUNAN No. 01, Tahun 2010 MENGKRITIK MAKNA HEGEMONIK
BERKELANJUTAN STUDI KASUS : PROYEK DAM DI LEMBAH SUNGAI NARMADA I Made Anom Wiranata Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali ABSTRACT : The purpose of this research is to review the mainstream meaning of sustainable development using the case of Narmada River DAM Project in India. The meaning of sustainable development has been defined by the hegemonic development agents as a growth of GDP (Gross Domestic Product) that brings welfare to the population. In fact, the DAM project has brought advantage to some groups but it has marginalized tens thousands of families who live along the river and brought environmental damages. This paper will analyze and reflect the risk and danger of copying the West model of development without public scrutiny. Key words : sustainable development, GDP, DAM, hegemonic
1.
PENDAHULUAN Sungai Narmada adalah sungai nomor lima terbesar di India. Sungai ini melewati Negara Bagian Madya Pradesh, Maharashtra, dan Gujarat, sebelum bermuara pada Teluk Cambay dan Laut Arab. DAM yang dibangun di lembah sungai ini adalah salah satu skema DAM terbesar di dunia dengan membangun 3.200 DAM yang terdiri dari 30 DAM besar dan 135 DAM sedang, serta 3135 DAM kecil. Terminal dari DAMDAM ini adalah DAM Sardar Sarovar yang terdiri dari beberapa komponen yaitu DAM, PLTA, kabel transmisi listrik, kanal, dan jaringan irigasi. DAM ini memiliki tinggi sekitar 138 meter dan menenggelamkan 37.000 hektar tanah dalam proses pembangunannya.
38
Sebagai akibat dari pembangunan DAM ini, setidaknya 100,000 orang diperkirakan kehidupannya terpengaruh oleh penenggelaman ini belum termasuk dampak ekologis yang ditimbulkan dari DAM-DAM tersebut. Semenjak tahun 1980-an, pembangunan DAM tersebut telah menuai kontroversi. Penyebab utama dari kontroversi tersebut adalah asumsi dan perkiraan dari para pendukung mega proyek tersebut yang tidak sesuai dengan kenyataan. Di samping itu, pembangunan DAM tersebut lebih banyak didasarkan pada asumsi tanpa memperhatikan kepentingan orang-orang yang hidupnya akan terpengaruh oleh pembangunan tersebut.
Mengkritik Makna Hegemonik Pembangunan .............. ( I Made Anom Wiranata) 2.
ASUMSI DI BALIK PEMBANGUNAN DAM Bank Dunia, Pemerintah India, dan para pendukung pembangunan DAM tersebut berasumsi bahwa DAM itu akan membawa manfaat yang besar bagi jutaan orang dengan hanya memindahkan sedikit orang. Mereka juga mengklaim bahwa DAM tersebut akan dapat memberikan air minum kepada lebih dari 40 juta orang dan memberikan irigasi pada 1,8 juta hektar lahan, belum termasuk manfaat pembangkit listrik tenaga air (Morse, B., & Berger T. R., 1992). Menurut mereka, di Negara Bagian Gujarat (tempat dibangunnya DAM tersebut), curah hujan tidak cukup untuk satu kali masa panen. Masa kemarau juga sangat sering terjadi dan masyarakat dan ternak mereka tergantung pada air yang didistribusikan melalui truk-truk pemerintah negara bagian. Tindakan-tindakan untuk mendistribusikan air ini telah membuat pemerintah Negara Bagian Gujarat mengeluarkan biaya jutaan dollar AS tiap tahunnya (Blinhorn and Smith, 1995, p. 88). Mereka juga mengklaim bahwa manfaat dari pembangunan DAM tersebut lebih banyak dibandingkan jumlah orang yang dirugikan. Mayoritas dari orang yang dipindahkan adalah suku-suku yang tanahnya berada pada lahan yang curam, berbatu, dan terletak di hutan-hutan yang sudah rusak. Tanah-tanah yang akan ditenggelamkan tersebut, menurut mereka, adalah lahan yang tidak produktif (Morse, B., & Berger T. R., 1992). Untuk menekankan bahwa lahan yang akan ditenggelamkan tersebut adalah lahan yang tidak produktif, Kepala Menteri Negara Bagian Gujarat, Chiman Patel, memperkirakan bahwa meskipun jika Proyek DAM Sarda Sarovar tidak jadi dibangun, dan jika
air minum tidak tersedia di daerah Gujarat Utara, maka yang terjadi adalah orang-orang Gujarat tersebut degan sendirinya akan meninggalkan rumah mereka (Morse, B., & Berger T. R., 1992). Mereka berargumen bahwa kekeringan yang melanda India Barat terjadi di wilayah yang justru memiliki sumber air yang luas, yang belum tereksploitasi, yaitu Sungai Narmada. Sungai yang memiliki daerah aliran (basin) seluas 98.800 km persegi ini, mengalir di tiga negara bagian yiatu Madya Pradesh, Gujarat, dan Maharashtra. Sekitar 90 persen dari air yang mengalir di sungai ini berasal dari musim hujan yang biasa terjadi antara bulan Juni – September. Pendukung DAM berpendapat bahwa sebuah DAM yang besar diperlukan untuk menampung aliran sungai yang sangat berlimpah di musim hujan, agar air sungai tidak terbuang percuma ke laut. Penampungan air tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kekeringan dan meningkatkan sistem irigasi (Blinkhorn and Smith, 1995, p. 89). DAM tersebut juga dipercaya akan memenuhi kebutuhan listrik dan air minum yang semakin meningkat. Pandangan dari penggagas DAM ini yaitu Bank Dunia dan Pemerintah India, dipengaruhi oleh pandangan ekonomi Klasik dan NeoKlasik yang percaya bahwa kemakmuran ditentukan oleh kekayaan nasional (GDP). GDP akan meningkat jika ada peningkatan permintaan dan penawaran ekonomi. Kekeringan, kelaparan, dan kekurangan listrik dianggap sebagai ciri-ciri dari adanya permintaan ekonomi. Penawaran ekonomi diwujudkan dalam bentuk pembangunan DAM besar di Lembah Sungai Darmada. Asumsinya, DAM besar tersebut akan meningkatan produktivitas dalam wujud air irigasi, air minum, pertanian, dan listrik. Pada gilirannya
39
Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 itu akan mengarah pada peningkatan kesejateraan atau stantar hidup masyarakat India terutama di wilayah tempat projek tersebut dibangun. Bank Dunia sebagai penyandang dana proyek ini, memberikan pembenaran atas keterlibatannya dengan berbagai alasan: 1. Projek ini bermanfaat dalam jangka panjang untuk meningkatkan pendapatan. 2. Keterlibatan Bank Dunia dapat menarik investasi lainnya seperti investasi alat-alat pembangkit listrik tenaga air. 3. Meningkatkan standar modernisasi di India (Fisher, 1995). 3.
PEMBANGUNAN UNTUK SIAPA SEBENARNYA? Persoalan kunci dalam pembangunan berkelanjutan adalah siapa yang diuntungkan oleh suatu inisitif/proyek pembangunan. Jawaban atas pertanyaan ini dapat diketahui dari kepentingan siapa yang terpenuhi dan kepentingan siapa yang dirugikan. Jika melihat dari komposisi penduduk India, tanpak jelas bahwa proyek pembangunan DAM Lembah Sungai Narmada tidak berpihak pada mayoritas penduduk India yang bermukim di pedesaan. Tujuh puluh persen dari penduduk India yang mencapai sekitar 1 trilyun, hidup di pedesaan, dan 300 juta diantaranya adalah buta huruf. Tidak jelas, bagaimana orang-orang ini akan diuntungkan dalam pembangunan DAM tersebut, sementara manfaat pembangunan DAM tersebut cenderung menguntungkan kepentingan orang-orang kelas atas yaitu: irigasi bagi petanipetani kaya yang lahannya luas; listrik bagi industri, dan gaji yang besar serta pekerjaan yang bergengsi yang dinikmati para profesional (seperti pegawai negeri dan insinyur). Di sisi
40
lainnya, banyak orang marginal yang hidup di area yang ditenggelamkan, justru harus terusir dari kampung halamannya dan dari lahan tempat mereka menggantungkan hidupnya, tanpa mendapat kompensasi yang sesuai. Pertanyaan kunci lainnya dalam pembangunan berkelanjutan adalah siapa yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk membangun DAM. Masyarakat-masyarakat yang dipindahpaksakan dari kampung mereka serta masyarakat pencinta lingkungan hidup, bukanlah pihak-pihak yang didengarkan dalam pengambilan keputusan mega proyek ini. Pengambilan keputusan ini dibuat oleh jaringan birokrasi yang tidak memperhatikan orang-orang yang hidupnya akan menjadi bertambah buruk. Tidak mengejutkan apabila sebagian kalangan melihat adanya konsensus politik di balik pembangunan DAM yang direncanakan pada tahun 1950-an dan 1960-an, yaitu pada masamasa awal kemerdekaan India. Proyek dengan bantuan asing ini dapat digunakan oleh penguasa politik sebagai sumber kontrol dan patron di India (Khagram, 2004). Atau dengan kata lain, kelompok kelas atas yang ingin mendapatkan manfaat dan keuntungan dari proyek ini harus menunjukkan kedekatan kepada penguasa politik yang berkuasa agar mendapat patron/ perlindungan. 4.
AKIBAT MEN-COPY PEMBANGUNAN BARAT
MODEL
Banyak elit politik di negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaannya seperti India, percaya bahwa satu-satu model masyarakat adalah model masyarakat modern yang seperti yang ada di negara-negara Barat. Oleh karena itu segala upaya dan pengorbanan harus
Mengkritik Makna Hegemonik Pembangunan .............. ( I Made Anom Wiranata) dilakukan untuk menjadi manusia yang bermatabat dengan cara mengejar ketertinggalannya dengan negara-negara Barat (Rahnema, 1994). Pemimpin politik di India saat itu tidak hanya melihat DAM Sungai Narmada sebagai cara untuk mengatasi masalah kekeringan, namun juga sebagai proyeksi dari “India modern”. Untuk mencapai tujuan ‘menjadi modern’ tersebut, cara-cara irigasi tradisional dianggap ‘abnormal’ dan harus diubah menjadi sistem irigasi yang besar. Di samping kemegahan DAM tersebut, energi listrik yang dihasilkan dari DAM tersebut juga menjadi prioritas dari Perdana Menteri Nehru saat itu, sebagai simbol industrialisasi dan modernisasi India. Seperti halnya negara-negara yang baru merdeka lainnya, India melihat visi pembangunannya sebagai proses yang bergerak menuju masyarakat modern dan meninggalkan ketradisionalannya. Dalam visi masyarakat modern, barang dan jasa dianggap sebagai komoditi yang harus dihargakan. Air yang dulu di India menjadi milik publik, kini harus dijadikan komoditas dan dihargakan. Persepsi pemerintah India yang melihat adanya hirarki antara modern dan tradisional membawa dampak buruk pada golongan masyarakat yang dianggap tradisional. Atas nama kemajuan pembangunan modern, masyarakat yang hidup secara tradisional di sekitar Sungai Narmada harus dipaksa untuk pindah dari tempat mereka hidup secara turun temurun. Tampaknya Pemerintah India saat itu kurang menyadari bahwa pikiran yang terkooptasi oleh model pembangunan Barat justru telah “menelan” korban anak-anak negeri sendiri yaitu puluhan ribuan keluarga yang harus dipaksa pindah dari kampung halamannya. Jika pada masa lalu kolonialisme diwarnai oleh
penjajahan fisik dan militer, kolonialisme pada masa sekarang diwarnai oleh penjajahan atas pikiran. Seperti yang dikatakan oleh Ashis Nandi, kolonialisme modern memenangkan pertempuran besarnya, bukan dengan mengerahkan kekuatan militer dan teknologi, namun melalui kemampuannya menciptakan hirarki sekular yang berlawanan dengan kehidupan tradisional (Ashis Nandhy, 2003). Banyak pemimpin negara berkembang yang terjebak dalam model hirarki buatan itu dan berupaya untuk bergerak ke level atas hirarki untuk menuju masyarakat yang modern dengan kurang memperhitungkan pengorbanan manusia dan biaya kerusakan lingkungan (human and environmental cost). 5.
PENDERITAAN MANUSIA DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN Sejak mulai dibangun pada tahun 1987, proyek pembangunan DAM tersebut telah menuai banyak protes. Sampai akhirnya pada tahun 1991, Bank Dunia menugaskan Tim Review Independen untuk mengevaluasi Proyek DAM Sungai Narmada. Laporan dari tim ini menunjukkan dampak dari proyek, baik kepada manusia maupun lingkungan hidup. Ketika proyek tersebut dimulai, orang-orang yang hidupnya akan terpengaruh tidak dilibatkan dalam proses konsultasi. Dari orang-orang yang dipaksa untuk pindah tersebut, tidak ada orang yang tahu besarnya jumlah orang-orang yang akan digusur di proyek DAM tersebut. Mereka juga tidak mengetahui dampak dari kehidupan mereka setelah digusur (Morse, B., & Berger T. R., 1992). Fakta tersebut menunjukkan lemah perencanaan dari Pemerintah India yang kurang memperhatikan aspek-aspek Hak Asasi Manusia. Ketua Tim Independent tersebut kemudian
41
Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 menulis bahwa satu-satunya rencana perpindahan penduduk yang dapat diterapkan atau diterima adalah rencana dari Bank Dunia. Namun menurut Ketua Tim Independent tersebut, rencana dari Bank Dunia tersebut tidak dihormati. Proyek tidak direncanakan sesuai dengan syarat-syarat dari Bank Dunia. Tidak ada informasi-informasi dasar dan tidak ada rencana yang layak untuk proses perpindahan penduduk dan proses rehabilitasi (Morse, B., & Berger T. R., 1992). Singkat kata, menurut laporan tersebut, Pemerintah India gagal dalam mengumpulkan assessment mengengai aspek resiko dampak terhadap manusia. Tim Independent tersebut juga mengatakan bahwa analisis mengenai dampak terhadap manusia dan lingkungan hidup semestinya sudah dilakukan sebelum proyek ini mendapat persetujuan untuk dilaksanakan. Namun laporan dari Tim Independent ini terlalu terlambat oleh karena proyek sudah dilaksanakan dan puluhan ribu orang sudah digusur dari tempat tinggal mereka. Laporan tim independen ini juga tampaknya mengenyampingkan dampak yang secara riil dihadapi oleh orang-orang yang telah tergusur. Dengan mengatakan adanya “kurang perencanaan” tim ini seolah-olah menunjukkan bahwa persoalan kurang perencanaan dapat untuk dikoreksi. Sementara pada kenyataannya, semenjak proyek ini dimulai kehidupan orang-orang yang digusur sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka yang tidak mendapatkan kompensasi yang layak dan semestinya. Sampai akhirnya, Mahkamah Agung India memerintahkan Pemerintah India untuk melakukan tindakan-tindakan rehabilitasi bagi penduduk yang digusur. Namun persoalan orang-orang yang tergusur
42
tersebut tetap menggantung oleh karena banyak dari mereka yang terpaksa pindah ke kota-kota besar, dan terpaksa menjadi buruh kasar. 6.
KEKUASAAN ATAS PENGETAHUAN DAN MONOPOLI ATAS PENGETAHUAN DAN KEBENARAN Dalam upaya untuk memacu kecepatannya menuju industrialisasi dan modernisasi, Pemerintah India bekerja sama dengan Bank Dunia, menggunakan hegemoninya untuk mendominasi ‘produksi pengetahuan dan kebenaran’ dalam rangka memberikan legitimasi pada pembangunan DAM Sungai Narmada. Maksudnya adalah apa yang terbaik untuk publik bukan ditentukan oleh pertimbangan oleh publik itu sendiri, namun oleh kelompok-kelompok yang dianggapi memiliki kekuasaan atas ‘produksi pengetahuan dan kebenaran’. Kelompokkelompok yang masuk dalam cakupan tersebut adalah para ahli, universitas-universitas, lembaga-lembaga penelitian, dan lembagalembaga pemerintah. Seperti yang diutarakan oleh Peet dan Hartwick (1999), dalam hegemoni pembangunan berkelanjutan, aparatur yang memproduksi pengetahuan menciptakan ‘ekonomi politik keberanan’. Maksudnya adalah untuk melancarkan suatu proyek tertentu yang membawa manfaat ekonomi bagi kalangan tertentu, lembagalembaga riset dan universitas dirancang untuk melakukan cara tertentu agar rencana proyek tersebut dapat dibenarkan. Teori dari Peet dan Hartwick memiliki relevansi dengan kasus DAM Lembah Sungai Narmada. DAM itu dibangun atas “penelitian” bahwa DAM tersebut akan membawa manfaat yang
Mengkritik Makna Hegemonik Pembangunan .............. ( I Made Anom Wiranata) sangat besar kepada masyarakat di India Barat. Dampak penderitaan manusia dan kerusakan lingkungan dianggap masih dapat ditoleransi dan masih dapat dikendalikan. Keputusan Bank Dunia untuk membiaya proyek itu didukung oleh hasil penelitian tentang analisis dampak lingkungan yang dilakukan oleh M.S. Baroda University pada tahun 1980-an. Klaim-klaim ‘pengetahuan dan kebenaran’ tersebut yang tidak dikonsultasikan dengan orangorang yang terkenan dampaknya itu, menjadi landasan dan alasan bagi pemerintah India memanfaatkan otoritas untuk menentukan apa yang terbaik bagi masyarakat India, yaitu dengan cara mengeksekusi pembangunan DAM. Keputusan untuk membangunan DAM Sungai Narmada oleh Pemerintah India dan Bank Dunia didasarkan pada pandangan sepihak tentang makna ‘kemajuan’. Untuk memaksakan makna ‘kemajuan’ versinya, mereka menggunakan kekuasaan untuk memberikan pembenaran bahwa pembangunan adalah kebijakan yang terbaik untuk mengatasi persoalan kelaparan, kekeringan, irigasi, dan energi listrik. Mereka langsung menafsirkan masalah-masalah tersebut sebagai kebutuhan akan DAM, tanpa mempertimbangkan alternatif kebijakannya lainnya dan tanpa berkonsultasi dengan orang-orang yang hidup akan menderita akibat digusur. Kesimpulan yang terburu-buru untuk membangun DAM besar dapat dilihat dari substansi penelitian awal. Meskipun belum ada kepastian mengenai kesiapan sumber daya manusia dan dukungan finansial, Kementerian Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Listrik, menetapkan skala prioritas untuk penelitian lanjutan yang perlu dilakukan di Lembah Sungai Narmada. Kementerian tersebut kemudian membentuk komite yang memberikan rekomendasi bahwa penelitian yang lebih detail
harus dilakukan di tujuh titik lokasi di Sungai Narmada (Khagram, 2004). Lemahnya penelitian tersebut juga terlihat dari kepentingan terpendam (vested interest) untuk menyukseskan keputusan untuk membangun DAM. Komite Pembangunan Sumber Daya Air yang dibentuk pada awal September 1965, mengajukan master rencana pembangunan DAM untuk memberikan pembenaran bagi rencana tersebut. Slogan yang mereka gunakan untuk mendukung temuan mereka adalah, “untuk tidak membiarkan air sungai mengalir ke laut tanpa dimanfaatkan terlebih dulu” (Khagram, 2004). Khagram mendeskripsikan adanya motivasi ekonomi dari Bank Dunia untuk memberikan pinjaman kepada pemerintah India. Bank Dunia tetap memberikan persetujuan untuk membiayai pembangunan DAM tersebut sebesar USD 300,4 juta. Sebelum pemberian pinjaman tersebut, Bank Dunia tidak melakukan investigasi terhadap dampak lingkungan dan dampak pada orangorang yang akan digusur (Khagram, 2004). Namun Bank Dunia kemudian baru membentuk tim investigasi untuk melakukan review independent pada tahun 1991, setelah bertahuntahun proyek tersebut dieksekusi, dan setelah puluhan ribu keluarga digusur. State-led development yang disertai obsesi untuk menempatkan diri dalam hirarki modernisme dengan cara meniru model pembangunan Negara Barat telah membuat Pemerintah India menomerduakan kehidupan masyarakat yang berada di luar jalur “kemajuan” yaitu orang-orang yang dengan kehidupan tradisional yang hidup di sekitar pinggiran sungai selama turun-temurun. Pemerintah India belum menunjukkan tanggung jawabnya dalam merehabilitasi dan menangani pemukiman baru yang layak. Seperti yang diutarakan oleh Tim
43
Jurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. I No. 01, Tahun 2010 Review DAM Sungai Narmada, Pemerintah India tidak melakukan merencanakan upayaupaya antisipatif dan tindakan-tindakan mitigasi terhadap dampak negatif yang mungkin timbul. Laporan tersebut mengatakan, “Skenario yang layak semestinya dilakukan untuk membantu mencegah dan mengantisipasi dampak-dampak buruk yang timbul. Namun upaya-upaya seperti ini tidak dilakukan” (Morse, B., & Berger T. R., 1992). Sulit untuk membayangkan bagaimana dampak negatif dari pembangunan DAM Sungai Narmada dapat dihindari sedangkan pemerintah tidak memiliki rencana antisipasi dan mitigasi. 7. KESIMPULAN Strategi pembangunan dari Pemerintah India dan intervensi dari lembaga-lembaga keuangan dunia untuk membiayai DAM besar di India tampaknya tidak memiliki korelasi dengan kebutuhan masyarakat lokal. Proyek tersebut cenderung lebih menguntungkan sekelompok kecil orang yang terlibat dalam industri dan pertanian massal namun merugikan lebih banyak orang yang tergusur dari kampung halamannya, belum lagi dampak kerusakan lingkungan. Perpindahan paksa tersebut menimbulkan masalah baru yaitu pengangguran yang sekaligus menunjukkan adanya kebijakan ekonomi yang gagal. Agenagen pembangunan di India dan Bank Dunia tidak dapat membuktikan klaim mereka bahwa pembangunan DAM-DAM besar tersebut akan membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat. Pemerintah India melihatt pembangunan DAM besar adalah cara yang “termodern” untuk mengatasi masalah kekeringan dan kelaparan. Mereka bahkan tidak berusaha melihat pilihan kebijakan lainnya yang tanpa harus menggusur puluhan ribu orang dan merusak lingkungan.
44
Untuk mencari makna pembangunan, pemerintah India perlu mendengarkan kebutuhan riil dari masyrakat dan tidak semata-mata mendengarkan kepentingan dari kelompok pemodal. Pemenuhan kebutuhan masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui partisipasi dan mengerapkan teknologi yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dapat menjadi kelestarian lingkungan. DAFTAR PUSTAKA Blinkhorn, T.A., & Smith, W.T, (1995). Benefit of the Sardar Sarovar Project: are the claims reliable? In Fisher, F. W., (Ed). Toward sustainable development? : struggling over India’s Narmada River. Armonk, New York: M.E. Sharpe. Fisher, F. W., (Ed.). (1995). Toward sustainable development?: Struggling over India’s Narmada River. Armonk, New York: M.E. Sharpe. Khagram, S., (2005). DAMs and development: Transnational struggles for water and power. Ithaca, New York: Cornell University. Morse, B., & Berger T. R., (1992). Sardar Sarovar: The report of the independent review. Ottawa: M.O.M. Nandhi, A. (2003). State. In Sachs, W. The development dictionary: A guide to knowledge as power. New York: Zed Books Ltd. Nandhi, A. (2003). Colonization of the mind. In Rahnema, M., & Bawtree, V., (Ed). The post development reader. New York: Zed Books, Ltd.
Mengkritik Makna Hegemonik Pembangunan .............. ( I Made Anom Wiranata) Peet, R., & Hartwick, E. (1999). Theories of development. New York: The Guilford Press.
Rahnema, M., (2003). Towards postdevelopment: searching for signpost, a new language and new paradigdms. In Rahnema, M., & Bawtree, V., (Ed). The post development reader. New York: Zed Books, Ltd.
45