MENGHENTIKAN BUDAYA KORUPSI1 Oleh: Nanang Martono2
A. Pendahuluan Korupsi, siapa yang tidak kenal istilah yang satu ini? Satu kata yang tidak asing di telinga kita. Hampir seluruh elemen masyarakat telah mengenal istilah ini. Tidak peduli apakah ia dari golongan atas, menengah maupun bawah, pasti sangat familiar dengan istilah korupsi. Korupsi bahkan sudah menjadi bahan obrolan sehari-hari di warung-warung makan di pinggir jalan, terminal, stasiun sampai di pasar-pasar tradisional sekalipun. Dengan kata lain, semua orang bisa berbicara mengenai korupsi dari sudut pandang masing-masing, dari pedagang, tukang becak, mahasiswa sampai elit politik. Korupsi dikumandangkan seiring dimulainya era reformasi, yang selalu dirangkai dengan dua kata lainnya, “kolusi” dan “nepotisme”, yang notabene adalah musuh bersama reformasi yang harus segara diberantas. Korupsi begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, terlebih lagi di Indonesia, korupsi seakan-akan telah menjadi budaya yang dianggap “taken for granted” dan “given” atau dianggap sudah ada dari “sananya”. Korupsi adalah penyakit kolektif yang bersumber dari individu. Pernyataan ini sangatlah mudah untuk kita pahami, mengingat tidaklah mungkin seseorang melakukan korupsi seorang diri dalam sebuah sistem sosial, sehingga pada akhirnya korupsi menjadi penyimpangan –dan kejahatan- kolektif. Menurut saya, membicarakan masalah korupsi adalah usaha yang sangat melelahkan dan mungkin sia-sia. Sudah begitu banyak berita, seminar, diskusi publik, kritik masyarakat melalui media, peraturan, sampai humor-humor mengenai korupsi, namun tetap saja pelaku korupsi masih bebas berkeliaran dan berlindung di balik payung hukum yang rusak. Hukum adalah tempat penampungan paling aman bagi pelaku korupsi. Hal ini tidaklah mengherankan, karena pelaku korupsi adalah orang-orang terdidik yang sangat cerdas. Kecerdasannya dimanfaatkan untuk mencari peluang dan strategi untuk melakukan korupsi, bahkan merekapun mencari celah dari pasal-pasal hukum yang sangat lemah. Pemerintah sudah banyak dan bahkan sering membuat peraturan yang substansinya menetapkan bahwa korupsi adalah sebuah perbuatan yang melanggar hukum. Akan tetapi, korupsi seolah-olah tidak kunjung berkurang, justru semakin bertambah dan merajalela, layaknya perilaku seks bebas yang juga semakin marak di masyarakat dengan “metode” yang selalu berkembang. Satu kendala yang sangat sulit untuk diatasi 1
Disampaikan dalam Seminar Nasional: “Permasalahan Korupsi dan Implikasinya terhadap Masa Depan Bangsa”, tanggal 18 Agustus 2007 di Gd. Soemardjito UNSOED Purwokerto. 2 Dosen Sosiologi Pendidikan, Jurusan Sosiologi FISIP UNSOED. Mahasiswa Program Pascasarjana S2 Sosiologi, Departemen Sosiologi FISIP UI.
2
adalah menemukan bukti yang bisa menyeret pelaku korupsi ke meja hijau. Analogi yang dapat digunakan dalam hal ini adalah “tikus lebih pintar daripada kucing”. “Prestasi” ini telah menempatkan Indonesia dalam peringkat 10 besar sebagai negara terkorup di dunia. Pada masa pemerintahan SBY, masih tersisa serangkaian kasus korupsi di tingkat nasional. Kasus-kasus korupsi tersebut bernilai milyaran rupiah, seperti kasus Pertamina tahun 1993, yang merugikan negara senilai 31,4 juta US$; kasus korupsi di Bapindo tahun 1993, yang dilakukan oleh Eddy Tanzil, merugikan Negara senilai 1.3 Triliun; kasus korupsi yang dilakukan Abdulah Puteh (Gubernur NAD) senilai Rp 30 miliar (TempoInteraktif, Senin, 25 Oktober 2004) dan masih banyak kasus-kasus yang lain. Ketika korupsi telah menjadi sebuah kejahatan kolektif, maka untuk memberantasnya, juga harus melibatkan seluruh elemen masyarakat. Seseorang yang mencoba menjelaskan mengenai bahaya korupsi, justru menjadi ajang bulanbulanan di masyarakat, karena ia adalah minoritas. Pelaku korupsi jumlahnya hampir selalu lebih besar daripada mereka yang tergolong “bersih”. Seluruh elemen masyarakat, bisa dikatakan tidak bebas dari korupsi, mulai dari tingkat RT, RW, desa, kelurahan, kabupaten/kota sampai tingkat propinsi dan negara. Di tingkat desa, aparat desa banyak melakukan penggelapan dana BLT ataupun subsidi bagi rakyat miskin lainnya. Di tingkat kabupaten, beberapa bupati dituntut mundur oleh warganya karena diduga melakukan korupsi. Abdullah Puteh, gubernur NAD, juga tidak luput dari dugaan korupsi dalam kasus pembelian helikopter, beberapa waktu yang lalu. Lebih parah dari itu, lembaga sosial kemasyarakatan yang seharusnya berwenang memberantas korupsi, justru menjadi lembaga yang “ikut-ikutan” melakukan korupsi, misal: Departemen Agama dan lembaga pendidikan. Lembaga KUA yang berada di tingkat kecamatan di bawah Depag, saat ini yang terlihat hanyalah mengurusi urusan nikah, cerai dan rujuk. Lembaga ini seharusnya mempunyai tugas dan fungsi yang strategis dalam memperbaiki moralitas bangsa. Lembaga pendidikan, juga ikut serta dalam program korupsi massal. Proyek pengadaan buku ajar (yang sebenarnya tidak wajib) di beberapa sekolah merupakan indikasi adanya praktik korupsi “tersembuyi” yang dilakukan sekolah. Berjangkitnya korupsi di masyarakat, dari tingkat bawah sampai tingkat elit politik di pusat, semakin memperjelas bahwa korupsi adalah akibat kesalahan dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan yang tidak sehat. Hal ini diperparah dengan keberadaan aparat penegak hukum yang tidak bebas korupsi, sehingga analogi kedua yang mencerminkan kondisi ini adalah “dapatkah sapu yang kotor digunakan untuk membersihkan lantai kotor?” Ketika kita menggunakan analogi pertama (tikus lebih pintar daripada kucing), maka selanjutnya yang terjadi sekarang adalah “kucingnya justru sudah menjadi kucing garong”. Saya tertarik
3
untuk menyebutkan analogi ini, sebagaimana telah ditulis oleh Tjetjep Rohendi Rohidi3, di harian Suara Merdeka. Keberadaan “kucing garong” di pentas panggung pemerintahan, mencerminkan kondisi sistem sosial yang kita yang dipenuhi oknumoknum pemerintah yang mempunyai tabiat sama seperti “kucing garong”. “Garong” adalah sosok yang identik dengan perbuatan mencuri dan atau merampok. Manusia, memang pada dasarnya adalah hewan, namun apakah manusia harus mewarisi “semua” sifat hewan? B. Korupsi: Penyimpangan yang Di(budi)dayakan Korupsi adalah masalah dunia. Korupsi mempunyai definisi yang sangat beragam. Kartini, mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi; salah urus terhadap sumber-sumber kekuasaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal untuk memperkaya diri sendiri4. Menurut Klitgaard dkk., korupsi didefinisikan sebagai menggunakan jabatan untuk keuntungan pribadi. Korupsi berarti memungut uang bagi layanan yuang sudah seharusnya diberikan oleh yang bersangkutan, atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah. Korupsi juga didefinisikan sebagai tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja5. Tindakan korupsi menurut perspektif keadilan atau pendekatan hukum misalnya mengatakan bahwa korupsi adalah mengambil bagian yang bukan menjadi haknya. Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Perspektif atau pendekatan relatifisme kultural yang strukturalist, bisa saja mengatakan pemaksaan untuk menyeragamkan berbagai pemerintahan lokal, menyebabkan budaya asli setempat tidak berkembang, melemahkan keberadaannya untuk diganti dengan budaya yang dominan milik penguasa adalah tindakan korupsi struktural terhadap persoalan kultural. Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima
3 4 5
Baca: Tjetjep Rohendi Rohidi, “Kucing Garong”, Suara Merdeka, 24 Juni 2007 Kartono, 1992: 88; lihat juga Johnston, dalam Lubis dan Scott (ed), 1993: 148. Klitgaard, dkk. 2002: 2-3.
4
suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi6. Termasuk di sini adalah melaporkan penggunaan dana yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Apapun definisinya, korupsi selalu berkaitan dengan penyalahgunaan tugas dan wewenang demi keuntungan pribadi. Dampak korupsi yang sudah sangat akut, bisa menyebabkan kehancuran sebuah negara. Korupsi itu Bermanfaat (?) Korupsi tidak selamanya buruk. Korupsi adalah fungsional7. Menurut Bayley8, dengan korupsi masyarakat bisa dengan mudah tanpa kekerasan mendapat informasi yang diperlukannya mengenai pemerintahan dan administrasi pemerintahan. Ini sangat bermanfaaf pada negara-negara yang memiliki saluransaluran politik yang tertutup. Korupsi juga bermanfaat sebagai alat untuk meredakan ketegangan yang melumpuhkan antara birokrasi dan politisi, karena dapat membawa kedua belah pihak ini ke dalam jaringan kepentingan pribadi masing-masing. Secara ekonomis, korupsi di tingkat yang lebih tinggi, dapat merupakan salah satu alat untuk mengakumulasi modal9. Manfaat korupsi, menurut Klitgaard bisa ditinjau dari tiga perspektif10: 1. Perspektif ekonom. Pembayaran-pembayaran yang tidak halal, memasukkan sejenis mekanisme pasar. Barang-barang dan jasa, dalam sistem itu, dialokasikan menurut urutan, politik, pemilihan acak ataupun “budi baik”, sedangkan korupsi dapat berperan untuk mengalokasikan barang-barang menurut kesediaan maupun kemampuan membayar. Korupsi, dengan demikian meletakkan barang dan jasa di tangan orang-orang yang berani menilai dengan harga tinggi, sehingga dapat menggunakannya secara efektif. 2. Perspektif politikus. Politisi dapat menggunakan korupsi untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan politik berbagai macam suku, wilayah, elite atau partaipartai, yang pada gilirannya dapat menciptakan suatu keselarasan politik dalam menghadapi otoritas politik yang terpecah. Korupsi, kadang kala juga dianggap sebagai sebuah mekanisme “partisipasi politik” dan pengaruh, terutama oleh minoritas-minoritas etnis dan perusahaan-perusahaan asing. Dengan kata lain, korupsi mempunyai manfaat politik yang penting. 3. Perspektif manajer organisasi. Jika peraturan-peraturan birokratis secara sistematis dalam organisasi menjadi penghalang, organisasi bisa mendapat untung dari korupsi para pegawainya yang bermain di celah peraturan. 6 Rozi, “Menjinakkan Korupsi di Indonesia”, http://www.transparansi.or.id/artikel/artikel_pk/artikel_05.html 7 Johnston, dalam Lubis dan Scott, 1993: 151. fungsional di sini, saya pergunakan untuk menunjuk adanya fungsi yang positif bagi sebuah sistem, sehingga keberadaan korupsi memang diperlukan pada sebuah sistem. 8 dalam Pope, 2003: 14 9 Smith dalam Lubis dan Scott (ed.), 1993: 64. 10 Klitgaard, 2001: 40-43
5
Sejumlah kecil pegawai menjadi pencuri, menggelapkan uang, membuat laporan fiktif, mendapat uang pelicin, yang secara diam-diam diijinkan oleh atasannya. Ini dikarenakan, untuk mengontrol praktik haram ini memerlukan biaya yang tinggi. Ketiga perspektif di atas, mempunyai beberapa ciri yang sama. Pertama, perspektif tersebut menunjuk pada manfaat korupsi tertentu, bukan dari korupsi yang dilakukan secara sistematis. Kedua, manfaat yang diduga tersebut bergantung pada pengandaian bahwa korupsi melanggar suatu kebijakan ekonomi yang keliru atau tidak efisien; mendobrak batas suatu sistem politik yang tidak sempurna; atau menghindari cacat-cacat dalam peraturan organisasi yang ada. Bila sistem yang berjalan adalah buruk, maka korupsi mempunyai manfaat yang baik. Dengan kata lain, menurut Saya, korupsi mempunyai manfaat untuk mengidentifikasi baik/buruknya sebuah sistem, terutama sistem hukum pada suatu negara atau institusi. Keberadaan korupsi adalah berbanding terbalik dengan kinerja atau kualitas sebuah sistem (hukum). Bila korupsi mempunyai intensitas yang tinggi pada sebuah negara, maka dapat dipastikan sistem hukum yang berlaku di negara tersebut sangat buruk. Namun, apapun manfaatnya, korupsi jelas merugikan negara di segala bidang. Sebagaimana dikatakan Dininio dan Kpundeh (1999: 5) bahwa korupsi mengandung biaya sosial yang cukup tinggi. Mengapa Korupsi Membudaya? Abdel Rahman Ibnu Khaldun (1332-1406) menyatakan “sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah”11. Korupsi berkaitan erat dengan materi. Kemiskinan, menurut sebagian orang, dianggap sebagai akar masalah korupsi12. Namun, apakah seseorang melakukan korupsi karena kemiskinan atau karena belum mencapai kesejahteraan? Masalah gaji yang minim, sering menjadi alasan seseorang melakukan korupsi. Banyak penelitian yang menguji hubungan besarnya upah dengan dengan tingkat kesejahteraan maupun tingkat produktivitas, dan hasilnya sebagian besar dari ketiga variabel tersebut berkorelasi positif. Adanya tingkat produktivitas yang tinggi, diharapkan dapat mengurangi perilaku korupsi. Namun, menurut Saya, ketiga variabel tersebut tidak selamanya mempunyai korelasi yang positif. Pertanyaanya sekarang, apakah dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi, misalnya melalui program kenaikan gaji pegawai, kemudian menjadi langkah efektif untuk memberantas korupsi? Jawabannya bisa “ya” dan bisa “tidak”. Banyak pihak telah mengetahui, pelaku korupsi di Indonesia justru dilakukan oleh orang-orang yang cerdas dan pintar, dan tentu saja, secara ekonomi adalah golongan orang cukup bahkan lebih. Sebagai contoh adalah pejabat pemerintah. Apakah kita sanksi dengan kekayaan mereka? Semua orang akan 11 12
Rozi, op.cit. Pope, 2003: 17
6
“meng-iya-kan”, mereka adalah golongan elit. Mengapa mereka tetap melakukan korupsi? Bila yang melakukan korupsi adalah guru atau pegawai bergaji rendah, mungkin orang akan “memakluminya”, meskipun perbuatan tersebut tetap melanggar hukum. Salah satu cara untuk membenarkan keberadaan korupsi adalah menggunakan argumentasi “relativisme budaya”. Di negara-negara maju, sering dikatakan bahwa di banyak negara sedang berkembang korupsi adalah bagian dari kebudayaan13. Penjelasan tersebut, berhubungan erat dengan mentalitas. Mentalitas merupakan “ruh” kebudayaan yang dianut. Koentjoroningrat14, menyebutkan beberapa mentalitas yang sangat merugikan bangsa kita, salah satunya adalah mentalitas yang suka menerabas. Mentalitas ini selalu melihat tujuan sebagai jalan pintas tanpa memperhatikan proses menuju tercapainya tujuan tersebut. Ketika ini sudah menjadi sebuah mentalitas, itu artinya, yang perlu dibenahi adalah sistem yang bekerja sebagai alat kontrol “berjalannya” kebudayaan. Untuk membenahi sistem ini, harus dilakukan melalui pembenahan sistem pemerintahan yang memayungi sistem-sistem yang lain. Sebagai negara bekas negara jajahan, bangsa Indonesia sedikit banyak mewarisi budaya-budaya yang “diciptakan” oleh negara kolonial. Faktor sejarah, dengan demikian mempunyai pengaruh secara tidak langsung terhadap munculnya budaya korupsi ini15. Salah satu budaya yang diciptakan tersebut adalah “mengendapnya” sifat pekerja yang hanya bekerja lebih giat bila diawasi. Ketika tidak diawasi, maka pekerja itupan mulai bermalas-malasan. Hal inipun berimbas pada potensi munculnya perbuatan korup, sehingga untuk mencegah perilaku yang korup, harus dilakukan kontrol yang sangat ketat. Mentalitas budaya memunculkan niat yang secara kebetulan didukung oleh kesempatan yang ada untuk dilakukannya perbuatan korupsi. Kesempatan ini “disediakan” oleh orang maupun sistem yang berada di sekitar kita, termasuk sistem hukum dan perangkatnya yang sangat lemah. Kesempatan juga muncul dari beberapa hal: 1. Tidak adanya kontrol yang kuat dari masyarakat. 2. Tidak ada sanksi hukum yang tegas dari aparat penegak hukum. Dengan kata lain, sanksi yang diterapkan “terlalu ringan” bila dibandingkan dengan dampak perbuatannya, sehingga tidak mampu memunculkan efek jera bagi pelakunya. Secara hukum, pelaku korupsi juga memperoleh “perlakuan khusus”. Mereka setelah dijatuhi hukumanpun, tetap menjadi “tamu istimewa” di rumah tahanan. Para tahanan, di Indonesia, mempunyai status dan derajat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan orang miskin yang mencuri ayam. Bagaimana tidak, 13
Pope, 2003: 18 Lihat Kontjoroningrat, 1998, Kebudayaan, Mentalitas Pembangunan, Gramedia Jakarta. 15 Lihat Smith, dalam Lubis dan Scott,1993 halaman 51 dan seterusnya. 14
7
seorang narapidana, kebutuhan pangan “dijamin” oleh negara, sehari tiga kali, meskipun harus mengantri. Namun hal ini tidak berlaku bagi narapidana kasus korupsi, tentu “perhatian” dan “kasih sayang” negara lebih tinggi, meskipun mereka berada di penjara. Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk “memelihara” narapidana? Dan berapa anggaran yang dikeluarkan untuk memelihara orang miskin? Coba kita bandingkan! C. Upaya Meminimalisasi Budaya Korupsi Untuk menghentikan budaya korupsi, perlu peran serta masyarakat. Akan tetapi, masyarakat secara umum, seolah tidak mempunyai kekuatan untuk mengontrol kinerja pemerintah dan aparatnya. Untuk itu, langkah yang perlu dilakukan adalah pertama, meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat, kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Menumbuhkan kesadaran merupakan sebuah proses panjang, tentu saja hasilnya juga tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Masyarakat yang sadar hukum, bisa berfungsi sebagai sarana kontrol terhadap kebijakan publik dan implementasinya di lapangan. Sebenarnya, kontrol publik inilah yang sangat penting untuk meminimalisasi budaya korupsi. Untuk menguatkan kontrol publik, perlu diimbangi dengan pengadaan saluran terbuka bagi masyarakat, sehingga, masyarakat yang menemukan indikasi korupsi, dapat melaporkan secara langsung pada pihak yang berwenang. Kedua, aspek korupsi yang menjadi imbas mentalitas budaya, maka yang harus dilakukan adalah pembenahan moral generasi muda. Generasi muda adalah aset paling mahal bagi sebuah negara. Pembentukan moral bangsa, juga menjadi pekerjaan rumah semua komponen bangsa tanpa kecuali, bukan hanya lembaga agama maupun lembaga pendidikan. Ketiga, sistem reward and punishment harus dilakukan, terutama pemberian reward bagi pegawai atau warga negara yang “bersih” atau ikut berperan serta dalam penegakkan hukum. Di Indonesia, sangat banyak program pemberian reward atau penghargaan, mulai dari film terbaik, penyanyi terbaik, model terbaik, televisi terbaik dan sebagainya. Namun jarang ada program yang memberikan penghargaan bagi warga masyarakat yang dikenal “bersih” atau bebas korupsi oleh warga yang lain, sehingga ia layak menjadi panutan. Sebagaimana kita ketahui, di era sekarang bangsa kita sangat mengharapkan seorang public figure yang bersih. Masyarakat lebih mengenal artis atau selebritis daripada mengenal Baharudin Lopa atau Munir. Sistem punishment yang diterapkan, menurut saya, terlalu ringan untuk “kelas” koruptor. Bila kita mengikuti ajaran Islam, seorang koruptor harus menjalani hukuman yaitu dipotong tangannya16. 16
Lihat Kartono, 1992: 90
8
Keempat, harus ada pengalokasian anggaran yang lebih efisien dan rasional untuk meminimalisasi pemborosan anggaran belanja negara. Selama ini, alokasi anggaran terlalu berlebihan. Beberapa waktu yang lalu, kita bisa melihat ulah anggota DPR yang sempat menganggarkan biaya pengadaan laptop sebesar 20 jutaan (?). Padahal, di pasaran, harga laptop yang sederhana, harganya berkisar 5 jutaan sampai 10 jutaan. Lalu, akan digunakan untuk apa dana sisa sebesar 10 juta per kepala? Atau akan digunakan untuk apa laptop dengan harga 20 jutaan, padahal mereka hanya bekerja selama 5 tahun? Selain itu, tunjangan yang diterima anggota DPR juga sangat tidak rasional Kelima, berkaitan upaya di atas, harus didukung dengan akuntabilitas pemegang kekuasaan yang tinggi. Mereka harus dapat mempertanggung-jawabkan apa yang telah mereka lakukan disertai dengan bukti yang kongkrit. Keenam, harus ditegakkan prinsip “the right man on the right place” dalam setiap organisasi publik/pemerintah. Individu yang memegang suatu jabatan harus benar-benar menguasai apa yang harus mereka lakukan, sehingga, seorang atasan tidak bisa ditipu oleh bawahannya, sehingga “kucing harus lebih pandai daripada tikusnya” bukan sebaliknya. Untuk mewujudkan upaya ini, sebaiknya dilakukan uji kelayakan bagi calon pemegang jabatan di semua tingkat. Hal ini juga dimaksudkan agar pemegang pimpinan sebuah organisasi tidak mudah ditipu bawahannya. D.
Penutup Upaya-upaya di atas merupakan sebuah solusi alternatif. Belum ada pihak yang berani menjamin kemanjuran upaya tersebut, karena menurut saya, yang jauh lebih efektif dan “manjur” untuk memberantas korupsi adalah harus ada keinginan baik (good will) dan political will dari para pemegang tampuk kekuasaan pada sebuah negara atau institusi. Seorang pimpinan, boleh saja “lebih pandai” dibandingkan bawahannya, namun bila ternyata ia tidak mempunyai kemauan politik untuk memberantas korupsi, semuanya upaya akan sis-sia. Akan tetapi, di balik pemikiran yang pesimis dalam upaya memberantas korupsi, kita masih harus selalu optimis. Kita harus optimis bahwa di antara lima orang, dua orang adalah koruptor, tiga orang adalah orang yang bersih dari korupsi dan mempunyai komitmen tinggi untuk memberantas korupsi. Ketika kita menjadi minoritas di tengah-tengah sistem yang rusak, mulailah dari diri kita sendiri untuk memperbaiki sistem tersebut.
***100807***
9
DAFTAR PUSTAKA
Dininio, Phyllis and Sahr John Kpundeh. 1999, A Handbook On Fighting Corruption, Center For Democracy And Governance, Washington, DC Johnston, Michael. 1993, “Konsekuensi Politik dari Korupsi”, dalam Korupsi Politik, Mochtar Lubis dan James C. Scott (ed.), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Kartono, Kartini. 1992, Patologi Sosial Jilid 1, Rajawali Press, Jakarta Klitgaard, Robert, et.al. 2002, Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah, diterjemahkan oleh Masri Maris dari Corrupts Cities, A Practical Guide to Cure and Prevention, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Klitgaard, Robert. 2001, Membasmi Korupsi, diterjemahkan oleh Hermoyo dari Controlling Corruption, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Koentjoroningrat. 1998, Kebudayaan Mentalitas Pembangunan, Gramedia, Jakarta Pope, Jeremy. 2003, Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional, diterjemahkan oleh Masri Maris dari Confronting Corruption: The Elements of National Integrity System, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Pusat Data dan Analisa Tempo. 2004, Kasus-kasus Korupsi di Indonesia, TempoInteraktif Senin, 25 Oktober 2004, website: http://www.tempointeraktif.com/hg/narasi/2004/10/25/nrs,2004102504,id.html, diakses tanggal 5 Agustus 2007 Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2007, “’Kucing Garong’ Realitas Sosial Budaya Kita”, Suara Merdeka, 24 Juni, Semarang Rozi, Syafuan. Tanpa tahun, Menjinakkan Korupsi Di Indonesia, website: http://www.transparansi.or.id/artikel/artikel_pk/artikel_05.html, diakses tanggal 5 Agustus 2007 Smith, Theodore M. 1993, “Korupsi, Tradisi dan Perubahan di Indonesia”, dalam Korupsi Politik, Mochtar Lubis dan James C. Scott (ed.), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta