Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
MENGHARAPKAN KESAMAAN MENEMUKAN KETIDAKSAMAAN (Beberapa Catatan Terhadap Praktek Peradilan Pidana) Binoto Nadapdap* ABSTRACT The 1945 Constitution clearly explains that the Indonesia state is based on law (lawabiding state) not on mere power (power state). This means that the Republic of Indonesia is a law abiding state which is demoratic on the basis of Pancasila and the 1945 Constitution, upholds basic human rights and guarantee equal status in law and administration for all its citizens, and its obliged to uphold the law and administration without any exception. The principle of arranging protection for the nobility of the human dignity and prestige is laid down in the Law on the Basic Provision of Judiciary Power (Act No. 14 / 1970). Therefore the national code of criminal procedure (KUHAP) properly refelect in the material provision of its articles protection for the basic human rights and obligations of the citizens. One of the principles in KUHAP is "Equal treatment for every one before the law without any discrimination ". This article is a note to the conduct of law officer who doesn't give same treatment to every suspect when handling criminal cases. In fact, there is any discrimination between the high class and common people In the future, we expect the conduct of the law officer who doens't give same treatment to every suspect should be abolished or minimized upto the lowest level. Key words: equality before the law, principle, law officer, human rights.
Pendahuluan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu UU No'. 8 tahun 1981, pada saat diundangkan tanggal 31 Desember 1981 disambut oleh pelbagai
kalangan dengan sangat antusias. Undang-Undang yang menggantikan HIR untuk proses peradilan pidana ini, dinilai sebagai karya agung (master piece) bangsa Indonesia di bidang hukum. Undang-undang ini dianggap
Law Review, Fakullas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
25
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
sebagai karya agung oleh karena berpedoman kepada sejumlah asas yang mengakui dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, prinsip mana sebelumnya tidak dijumpai dalam HIR. Pencantuman sejumlah asas dalam undangundang ini yang menghargai harkat dan martabat manusia, dianggap sebagai suatu kemajuan di bidang hukum. Sebagai suatu kemajuan dalam tata hukum Indonesia, karena itu wajar bila kehadirannya disambut oleh pelbagai kalangan dengan penuh pengharapan. Dalam setiap undang-undang dikenal sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas ini merupakan pijakan bagi legislatif dalam pembuatan undang-undang. Menurut W.J.S. Purwadarminta, asas berarti dasar, alas, pondamen, sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir (berpendapat dan sebagainya). Cita-cita yang menjadi dasar (perkumpulan, negara dan sebagainya).1
peraturan-peraturan pelaksanaan. Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undangundang itu dan segenap peraturan pelaksanaannya. Menurut, Sudikno Mertokusumo : "... bahwa asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundangundangan dan peraturan hukum yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit.2
Dalam hukum, asas berarti fondasi suatu undang-undang atau
Asas hukum bukan merupakan peraturan hukum, namun tidak ada hukum yang bisa dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Asas hukum ini memberi makna etis kepada peraturan hukum serta tata hukum. Asas hukum itu dapat diibaratkan sebagai 'jantung' peraturan hukum, dengan dua alasan: pertama, asas hukum merupakan landasan yang
1
2
Purwadarminta, W.J.S.., Kamus Umum Bahasa Indonesia., (Jakarta: Balai Pustaka, 1966) hal. 61. 26
Mertokusumo, Soedikno, Penemuan Hukum Suatu Pengantar., (Jogjakarta: Liberty, 1996) hal. 5 - 6 .
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.], Juli 2003
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti penerapan peraturan-peraturan hukum bisa dikembalikan kepada asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai 'jembatan' antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya.3 Asas-Asas Hukum Acara Pidana Pembuat undang-undang (legislatif) pada saat pembentukan Undang-Undang Hukum tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyadari betul akan perlunya pembentukan undang-undang dibangun berdasarkan asas-asas hukum yang memberi perlindungan kepada setiap subyek hukum tanpa terkecuali. Karena itu pembuat Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana memutuskan bahwa asas-asas perlindungan manusia yang bersifat universil harus masuk di dalam undang-undang. Pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersifat universal ini dapat kita lihat di dalam penjelasan UU No. 8 tahun 1981. Adapun asas-asas yang -1 Rahardjo, Satjipto., llmu Hukum,, (Bandung: Alumni, 1986) hal. 87.
dianut dalam undang-undang No. 8 tahun 1981 adalah sebagai berikut: a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan. b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang. c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannyadan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa ada alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti
Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.I, Juli 2003
27
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
e.
f.
kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukuman adminsitrasi.
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. i.
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undangundang.
Peradilan yang haws dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jajur dan tidak memihak hams diterapkan secara konsekuean dalam seluruh tingkat peradilan.
j.
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang sematamata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum. 28
Pencantuman asas perlakuan yang sama terhadap setiap subyek hukum sebagaimana tercantum dalam ketentuan huruf a dan huruf e di atas adalah merupakan penjabaran atau pelaksanaan lebih lanjut ketentuan dari UndangUndangNo. 14tahun 1970tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ini menentukan bahwa: " Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.4 Perlunya pengakuan terhadap persamaan harkat dan martabat setiap manusia sebelumnya juga telah mendapat pengaturan dalam 4
Lihat Penjelasan Undang-Undang No. 8tahun 1981 angka 3.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No. I, Juli 2003
Nadapdap : Menglmrapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
aturan yang lebih tinggi, yaitu UUD 1945. Pasal 28 UUD ini menentukan bahwa :"Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali". Dan di dalam tingkatan internasional, hal ini juga diatur dalam Pernyataan hak Asasi Manusia (Declaration Of Human Rights) tanggal 10 Desember 1948, yang mengakui persamaan harkat dan martabat setiap manusia tanpa terkecuali, termasuk di dalamnya perlakuan terhadap tersangka/terdakwa di dalam perkara pidana. Dengan kata lain pencantuman asas persamaan perlakuan terhadap setiap orang, mengandung arti bahwa setiap orang yang berurusan dengan proses peradilan pidana wajib diperlakukan sama. Perlakuan yang sama ini tidak hanya didasarkan pada kedudukan atau kekayaan tetapi juga pada perbedaan-perbedaan yang lain, seperti pria, wanita, perbedaan ras, kedudukan, pandangan atau kepercayaan, perbedaan kualitas moral, sehat atau sakit, lahir atau belum lahir, normal atau tidak normal. Semua perbedaan sebagaimana disebutkan di atas tidak dapat dijadikan dasar pembenaran untuk melakukan diskriminasi atau
pembedaan dalam memproses seorang tersangka atau terdakwa dalam proses pidana. KUHAP yang dianggap sebagai karya agung bangsa Indonesia karena mengacu pada prinsip yang menghargai perlindungan hak asasi manusia tidak cukup atau berhenti hanya pada untaian kata4xata yang indah. Supaya huruf-huruf indah ini dapat menjadi bukti, maka harus ada tindakan-tindakan konkrit untuk itu. Dengan kata lain apakah perlindungan yang dijanjikan dalam undang-undang akan menjadi buah yang bermanfaat atau tidak, masih harus dibuktikan di dalam atau melalui kasus-kasus konkrit. Seindah apapun sebuah undang-undang, ia tetap mengandung potensi untuk hal-hal yang diskriminatif. Seseru apapun semangat kita mengumandangkan prinsip "equal under the law", kita tidak dapat menutup mata terhadap kemungkinan penyimpangan dalam penerapannya. Kapan saja dan di negeri mana saja, terutama bila dilihat dari segi sosiologisnya, yang namanya keadilan yang ditata oleh hukum, pada saat pembentukannya, pada saat itu
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No. I, Juli 2003
29
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
sudah dimulailah potensi munculnya diskriminasi. Secara letterlijk memang hukum mengejar sesuatu keumuman (uniformitas), sedangkan di dalam masyarakat perbedaan dan kesenjangan antar perbedaan pendidikan pengetahuan dan ekonomi maupun afilisasi politik adalah merupakan kenyataan yang tidak terabaikan. Di dalam setiap fase kehidupan senantiasa ada perbedaan antara ketentuan dalam undang-undang dengan fakta atau kejadian dalam kehidupan.
menentukan terhadap bagaimana sikap tindak penegak hukum bersangkutan dalam menanangani perkara pidana.
Pasal-pasal dalam KUHAP memang tidak mengenal perbedaan antara sesama warga negara (manusia). Namun dalam kenyataan, kesenjangan antara kelompok karena adanya perbedaan yang disebabkan oleh pendidikan, pengetahuan, ekonomi, jaringan sosial, factor keberuntungan 'sejarah' dan lain sebagainya sangat sulit dan tidak mungkin diabaikan begitu saja pada saat menerapkan asas persamaan di depan hukum dengan segala gradasinya. Artinya factorfaktor ini dengan berbagai alas an, baik itu karena memang tak terhindarkan maupun karena memang ada unsure "kesengajaan", adakalanya dan bahkan sering
Dalam praktek, penerapan asas persamaan di depan hukum, untuk mengobati rasa kecewa terhadap penerapan hukum yang berseberangan dengan ketentuan undang-undang itu sendiri, ada baiknya dan perlu kita mempunyai kemampuan membaca ketentuan tersbeut secara 'terbalik'. Oleh undang-undang dijanjikan mengenai kesamaan perlakuan, tetapi yang muncul dalam kehidupan nyata adalah ketidaksamaan perlakuan. Perbedaan perlakuan dalam menangani perkara pidana, tidak hanya terjadi pada tingkat penyidikan, penuntutan saja, tetapi hal tersbeut juga terjadi pada saat pemeriksaan di pengadilan maupun pada saat menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Orang yang mempunyai kekuasaan - baik itu di bidang sosial, ekonomi ataupun politik - seolah-olah kebal hukum atau paling tidak mendapat "kemudahan" dalam hukum. Sementara itu, orang yang lemah kedudukannya secara sosial, ekonomi dan politik, nampaknya harus rela menerima 'pengulangan
30
Has Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Law Review, Fakultas Hukum
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
sejarah buruk', diperlakukan sewenang-wenang oleh jaringjaring hukum yang ada. Dengan rumusan yang sederhana, salah pakar sosiologi hukum dari Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang mengatakan bahwa : Dirinya mengajarkan keteraturan, tetapi pada akhir pengabdiannya apa yang dituainya adalah ketidakteraturan.5 Belum lama ini, keluhan mengenai sikap tindak penegak hukum yang tidak memperhatikan asas kesamaan di depan hukum, menjadi titik perhatian Harkristuti Harkrisnowo pada upacara pelantikannya sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ahli hukum pidana lulusan Texas ini mengatakan bahwa proses penegakan hukum dinilai masih diskriminatif dan tidak konsisten (inkonsisten). Parameter yang digunakan pun tidak obyektif dan mengedepankan kelompok tertentu. Titik berat yang dikedepankan adalah disparitas pidana atau perbedaan dalam
pidana yang dijatuhkan untuk berbagai kejahatan.6 Di dalam artikel ini akan dikemukakan mengenai sikap tindak aparat penegak hukum di dalam berbagai kasus yang menunjukkan ketidaksamaan perlakukan dalam menangani antara tersangka/terdakwa yang satu dengan yang lainnya dalam perkara pidana. Di sini perlu dikemukakan bahwa apa yang termuat dalam tulisan ini adalah berdasarkan pada pengamatan dan pengalaman sehari-hari pada saat melaksanakan fungsi memberi bantuan hukum dalam menangani perkara pidana maupun berdasarkan pengamatan sepintas. Oleh karena itu bisa jadi apa yang saya dipaparkan dalam tulisan ini mungkin bersifat subyektif pula. Namun demi untuk mengurangi unsur subyektivitas, penilaiannya mari kita kembalikan kepada ketentuan dalam KUHAP, khususnya yang mengatur hal-hal perihal soal-soal asas persamaan di depan hukum. Tindakan Kekerasan
5
Rahardjo, Satjipto, "Mengajurkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan"., Pidato mengakhiri jabatan sebagai Guru Besar Tetap di FHUndip Semarang, 2000.
Di dalam penegakan hukum, pihak yang mampu dari segi 6
Lihat Sinar Harapan, 11 Maret 2003.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
31
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
finansil atau kekuatan sosial ekonomi, memperoleh perlakuan yang lebih baik dan manusiawi bila dibandingkan dengan mereka yang kurang mampu, bukan lagi merupakan suatu rahasia lagi. Kita dapat melihat dan menyaksikan sendiri pelaku kejahatan kelas teri seringkali mendapat perlakuan yang kasar dan kejam dari oknum penyidik. Tindakan kekerasan yang mereka alami di tingkat penyidik bukan merupakan cerita fiksi atau rekayasa belaka. Soal tindakan kekerasan terhadap tersangka yang tidak cukup mampu untuk melakukan 'perlawanan', nampaknya masih akan tetap berlangsung terus atau terulang kembali pada masa yang akan datang dengan batas waktu yang belumjelas pula. Salah seorang pelaku pencopetan mengemukakan pengalamannya ketika diperiksa oleh penyidik. Tersangka yang sudah berulang kali melakukan perbuatan kriminal yang konvensional ini mengakui bahwa tekanan-tekanan fisik bukan merupakan pengalaman baru bagi dirinya. Setiap kali berurusan dengan polisi dirinya sudah 32
kenyang merasakan apa dan bagaimana namanya tindakan kekerasan itu di tingkat penyidikan. Sebelum pemeriksaan dimulai, yang acap kali ditanyakan oleh (penyidik) adalah bagaimana kirakira potensi dari orang yang akan dihubungi. Apakah ada yang mau mengulurkan bantuan secara konkrit atau tidak?. Pertanyaan ini harus jelas dulu jawabannya. Artinya, pada saat tersangka mengadu kepada orang lain, sebaiknya terdakwa sebaiknya memberikan semacam signal kepada penyidik, bahwa orang yang dihubunginya itu betul mampu dan mau memberikan "bantuan". Bila tidak mempunyai potensi memberikan bantuan, tindakan menghubungi orang lain, sama saja dengan perbuatan menyusahkan diri sendiri. Kalau orang yang dihubungi tidak berpotensi membereskan urusan, lebih baik tidak usah dihubungi. Selama belum ada pihak yang memberikan uluran tangan, tersangka jangan berharap akan mendapat perlakukan yang wajar sebagaimana yang dijanjikan oleh undang-udang. Intinya adalah, bila hendak mendapat perlakuan yang
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
lebih wajar dari penyidik, harus ada 'pengertian dan kerjasama' untuk itu. Di dalam banyak kejadian, seorang tersangka akan mendapat perlakuan yang lebih manusiawi selama dalam pemeriksaan, sedikit banyak akan ditentukan oleh 'pembagian rejeki' dari pihak yang diperiksa atau keluarganya kepada petugas yang memeriksa.
keberatan. Penasehat hukum dengan sigap akan mengatakan bahwa cara pemeriksaan kasar sudah bukan jamannya lagi. Caracara kekerasan dalam penyidikan sudah ketinggalan jaman. Justeru karena sudah ketinggalan zaman, menjadi barang yang sudah kedaluwarsa, maka oleh karena itulah HIR diganti dengan KUHAP.
Sebaliknya sangat sulit bagi kita untuk menemukan seorang penjahat kelas kakap atau yang kebetulan punya kedudukan sosial ekonomi mendapat perlakuan kasar pada tahap penyidikan. Agaknya kita belum pernah mendengar atau melihat seorang tersangka pelaku tindak pidana korupsi pada tahap penyidikan yang mendapat perlakuan yang kejam dan semena-mena dari aparat penegak hukum yang bernama penyidik. Sebelum tersangka bersangkutan menghadap penyidik, mereka sudah lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi penyidik dengan mempergunakan jasa penasihat hukum.
Mendengar keberatan atau protes dari penasehat hukum, tentu membuat pihak penyidik akan bertindak lebih hati-hati. Bila penyidik tetap melakukan kekerasan terhadap tersangka, ada kemungkinan hal tersebut akan berbuntut panjang.Terlebih bilamana tersangka sampai mengalami luka atau memar. Bagi tersangka tindakan tersebut tidak menutup kemungkinan untuk menempuh upaya hukum yang bernama tuntutan ganti rugi.
Bilamana ada tindakan penyidik yang bertentangan dengan KUHAP, pada saat itu penasehat hukum segera akan mengemukakan Law Review, Fakuhas Hukum Universitas Pelita
Mengenai bagaimana perbedaan perlakuan terhadap tersangka antara yang didampingi oleh penasihat hukum dengan yang tidak didampingi oleh penasihat hukum, mari kita simak cerita pengacara berikut ini. Salah seorang pengacara mengemukakan pengalamannya ketika kliennya rapan, Vol. Ill, No.I, Mi 2003
~~33
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukun Ketidaksamaan
baru selesai diperiksa oleh polisi. Singkat cerita, pada saat pemeriksaan, tersangka tidak memberikan jawaban seperti yang dihendaki oleh polisi. Polisi kesulitan untuk mendapatkan keterangan dari tersangka mengenai kebenaran informasi yang mereka peroleh dari Pelapor. Maunya penyidik, tersangka mengakui saja apa yang dilaporkan oleh Pelapor tanpa perlu mengajukan sanggahan. Karena yang diterangkan oleh tersangka adalah bertolak belakang dengan yang dikemukakan oleh pelapor, bagi penyidik (polisi) hal tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak kooperatif serta dapat dikategorikan sebagai tindakan mempersulit pemeriksaan. Karena penyidik menilai jawaban tersangka berbelit-belit, kemudian dia emosi. Penyidik bersangkutan menyatakan bahwa. "Seandainya anda (tersangka) tidak didampingi oleh pengacara pada saat pemeriksaan sekarang ini, saya sudah pukul kamu. Tetapi karena kamu didampingi oleh pengacara, saya masih tahan emosi jangan sampai saya memukul kamu". Cerita di atas menunjukkan bahwa tindakan kekerasan itu bagi orang yang tidak didampingi oleh 34
penasehat hukum bukan hanya isapan jempol belaka. Karena itu, bilamana atau ketika muncul pemberitaan di surat kabar tentang atau mengenai adanya seorang tahanan yang disiksa dan malah ditemukan mati di sel tahanannya, pada saat baru membaca judul beritanya saja (dan belum membaca seluruh isi berita surat kabar secara keseluruhan),_ kita sudah dapat menebak siapa kirakira tersangka bersangkutan. Tersangka yang menjadi korban penganiayaan di kantor polisi (penyidik) jelas bukan koruptor, melainkan "cuma" atau "tidak jauh" dari seorang yang disangka mencuri sepeda mini, sangkar burung, telor ayam, sandal jepit, radio butut atau penjambret di bis metro mini misalnya. Penahanan Dalam hal penahanan soal ketidaksamaan perlakuan terhadap tersangka juga sering tampil ke permukaan. Memang dalam pasal 21 Ayat 3 KUHAP ditentukan bahwa "Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan did merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana". Selanjutnya ketentuan pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan. Sekalipun syarat-syarat untuk dapat menahan seseorang didasarkan pada alasan-alasan yang limitatif, dalam praktek, persyaratan yang limitatif ini justeru menjadi sangatelastis. Yang sering kita dengar adalah bahwa untuk menentukan apakah seseorang akan ditahan atau tidak ditahan adalah didasarkan pada alasan yang obyektif dan subyektif. Sekalipun alasan obyektif tidak terpenuhi sama sekali (artinya tidak ada potensi dari tersangka untuk melanggar ketentuan pasal 21 ayat 3), akan tetapi apabila menurut alasan subyektif dari aparat penegak hukum seorang tersangka atau terdakwa adalah
layak untuk ditahan, maka penegak hukum yang bersangkutan akan mengeluarkan perintah penahanan.
Ketentuan UU mengenai penahanan ini akan terasa begitu menyentak dan sangat mahal pada saat tersangka atau terdakwa berhadapan dengan ancaman pasal-pasal UU yang dapat dikenakan penahanan. Tersangka yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, akan segera 'sadar' bahwa kebebasan yang selama ini direguknya, ternyata sangat mahal dan berharga pada saat dirinya berhadapan dengan aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan. Namun di sini perlu dicatat bahwa alasan obyektif dan subyektif yang sering dikemukakan oleh penegak hukum itu, hal tersebut baru merupakan permukaan dari sebuah proses hukum. Dalam beberapa kejadian, alasan untuk melakukan penahanan, bukan merupakan harga mati yang tidak dapat diganggu gugat. Soal ditahan atau tidak ditahan masih terbuka untuk dinegosiasikan. Seorang tersangka akan ditahan atau tidak ditahan, tidak hanya
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
35
Nadapdap : Meiigharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
tergantung pada ketentuan dalam pasal 21 ayat 3 KUHAP saja. Di luar itu masih ada dan banyak hal lain yang tidak tertulis dalam undang-undang yang justeru seringkali sangat menentukan terhadap jadi tidaknya seorang tersangka/terdakwa ditahan. Bila tetap ingin merasakan arti sebuah kebebasan, tersangka/terdakwa tidak 'pada habitatnya' bila hanya terpaku pada alasan-alasan normatif semata. Pada saat tersangka menghadapi persoalan hendak ditahan atau tidak ditahan, penyelesaiannya tidak cukup bila hanya mengacu kepada rumusan undang-undang semata. Hurufhuruf mati dalam undang-undang untuk menjadi "hidup" (dalam arti tetap memberikan kebebasan kepada tersangka/ terdakwa), untuk itu tersangka/terdakwa harus memikirkan jalan bagaimana menghidupkan huruf mati tersebut supaya dirinya tidak jadi ditahan oleh aparat penegak hukum. Dengan kata lain ini bermakna bahwa seorang tersangka/ terdakwa tidak hanya dituntut untuk mengerti ketentuan dari undangundang secara benar, namun di balik itu yang tidak kalah menentukan adalah mereka harus 36
dapat membaca 'keinginan' petugas yang berwenang melakukanpenahanan. Bila tidak mampu membaca keinginan penegak hukum bersangkutan tentu sangat sulit bagi tersangka/ terdakwa untuk dapat menikmati barang 'mewah' yang bernama kebebasan alias tidak jadi ditahan. Berikut ini mari kita simak pengalaman seorang tersangka yang tertangkap tangan melakukan. pencurian. Begitu polisi melakukan penangkapan, polisi memberitahukan soal kemungkinan mengenai ditahan atau tidak ditahan. Bila tidak mau ditahan harap segera "urusan" diselesaikan. Semakin cepat diselesaikan semakin baik. Kalau boleh jangan sampai terjadi pergantian petugas. Sebab apabila sempat terjadi pergantian petugas, urusan akan lebih menjadi rumit. Penyebabnya adalah oleh karena semakin banyak pihak yang minta bagian. Karena itu polisi yang 'menggugah' tersangka pelaku tindak pidana yang tertangkap basah untuk segera menghubungi pihak yang dapat menyelesaikan urusannya dengan polisi. Bila tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan urusan penahanan pada saat itu juga, memang tidak
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No. I, Juli 2003
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
masalah. Sebab mengenai penangguhan penahanan oleh undang-undang tidak ditentukan limitasinya. Setiap saat permintaan penangguhan penahanan bisa saja diajukan. Namun perlu disadari bahwa semakin lama penangguhan penahanan diajukan, ada konsekwensi yang ditanggung oleh tersangka/terdakwa. Yaitu urusan akan bertambah rumit karena pihak yang minta 'diperhatikan' akan semakin lebih banyak pula. Ujungujungna 'dana' yang diperlukan tentu akan semakin besar pula Soal negosiasi mengenai penahanan, tidak hanya terjadi pada taraf penyidikan semata, tetapi juga terjadi di kejaksaan serta juga di pengadilan. Karena itu, bilamana terdakwa termasuk golongan yang lazim disebut 'basah', sepertinya hakim yang memeriksa perkaranya begitu bermurah hati untuk memberikan status tahanan luar. Namun sebaliknya, bila seorang terdakwa itu tergolong yang lazim disebut 'kering', macam-macam saja alasan untuk menolak memberikan status tahanan luar bagi terdakwa yang kere. 7 7
Wasingatu Zakiyah, et. al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan., (Jakarta: ICW, 2002), hal. 8 1 - 8 5 .
Penuntutan dan Penghukuman Perlakuan yang tidak samaini tidak hanya terjadi pada dua contoh di atas. Hal ini juga berlanjut pada tahapan selanjutnya, yaitu pada tahap penuntutan dan penghukuman. Dalam praktek, ketika Jaksa Penuntut Umum menuntut seorang terdakwa dengan ancaman hukuman maksimum, penyebab dari tingginya tuntutan dapat diduga. Yaitu terdakwa tidak melakukan pendekatan apa-apa terhadap penuntut umum. Kalau tidak ada pendekatan sama sekali, maka berlakulah tuntutan maksimum. Ganjaran bagi Terdakwa yang tidak mau atau tidak mampu melakukan pendekatan terhadap penuntut umum akan berhadapan dengan tuntutan hukuman yang maksimum. Untuk mendapat tuntutan yang lebih ringan, terdakwa atau keluarganya harus menghadap kepada JPU dan sekaligus bila perlu harus "sowan".8 Mengenai tinggi rendahnya tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum, ada berbagai jalan yang mungkin ditempuh ke arah itu. Semakin tersangka tidak bersedia 8
Ibid.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
37
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
melakukan pendekatan, maka tuntutan hukum yang ringan pun semakin jauh dari jangkauan. Tuntutan akan diselesaikan dengan ketentuan normatif, yaitu Jaksa Penuntut Penuntut akan menuntut secara maksimum. Sebaliknya, dengan berbagai upaya dan pendekatan, kemungkinan ancaman hukuman yang menurut ketentuan undang-undang adalah setinggitingginya sekian tahun, masih bisa dikurangi dengan berbagai alasan atau pertimbangan yang bernama perikemanusiaan. Salah seorang narapidana mengemukakan pengalamannya ketika dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum secara maksimum dalam tindak pidana pencurian dengan kekerasan. Narapidana bersangkutan terpaksa melakukan tindak pidana tersebut oleh karena dirinya sedang mengalami kesulitan untuk keperluan seharihari. Satu-satunya 'cara' yang ada dalam benak narapidana bersangkutan pada waktu itu adalah memperoleh hasil dalam "tempo" yang singkat. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Pada satu si si narapidana ini tidak mampu untuk mengadakan "pendekatan" kepada Jaksa Penuntut Umum dan di sisi lain, 38
korban perbuatan si terpidana adalah kenalan dari Jaksa Penuntut Umum bersangkutan. Jadi kloplah sudah alasan bagi Jaksa Penuntut Umum untuk menuntut secara maksimum. Demikian pula dengan hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Agar suatu putusan sama-sama enak, baik bagi terdakwa maupun bagi penuntut umum, hal tersebut terbuka untuk dirundingkan atau dinegosiasikan. Tentu dengan adanya pendekatan dan pengertian di antara pihakpihak yang terlibat dan berkepentingan. Yaitu terdakwa tidak merasa diberatkan, Jaksa Penuntut Umum tidak terusik karirnya dan hakim sendiri tidak merasa ditinggalkan baik oleh tersangka maupun Jaksa Penuntut umum. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana di Indonesia mengandung titik-titik rawan "jual beli perkara". Saat saksi mulai diperiksa di kepolisian atau kejaksaan sudah mulai terjadi pembicaraan-pembicaraan mengenai arah penyelesaian perkara. Sebuah pembunuhan berencana bisa menjadi pembunuhan biasa atau
Law Review, Fakulias Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
penganiayaan. Itu tergantung kesepakatan. Negosiasi tarif selalu mewarnai hampirsemuatingkatan peradilan di Indonesia. Nothing is freelah.9 Penutup Dari uraian singkat di atas dapat ditarik benang merah bahwa bagaimanapun bagus dan indahnya hukum dirumuskan, dalam pelaksanaannya masih tetap mengandung kemungkinan untuk diskriminatif. Setiap kasus mempunyai karakteristiknya sendiri. Oleh Donald Black dikatakan bahwa setiap kasus mempunyai struktur sosialnya sendiri. Dia mengatakan bahwa : How the doctrine of law apply to the facts, every case has social characteristics. The social structur of the people antisipate the social structure of the case. In recent years wa have accumulated a great deal of evidence showing that this structure is crucial to undersatanding legal variation from one technically identical case to another. We have discovered that the social 9
Lihat harian Kompas tanggal 16 Juni 2003 hal. 42.
structure of a case predicts and explains how it is handeled. I0 Donald Black mengemukakan bahwa status soal dari tersangka atau terdakwa juga turut menentukan bagaimana suatu kasus ditangani oleh hakim. Status sosial tersebeut menurut Donald Black adalah: Wealth, Education, Respectability, Integration into society (by employment, marriage, parenthood, community service, siciability, etc.,), Conventionality (in religion, politics, lifestyle, etc.). " Oleh karena itu tidak berlebihan bila Mabel Eliot mengatakan bahwa pada umumnya pihak atau orang yang menjadi penghuni penjara atau lembaga pemasyarakatan adalah orang yang bodoh, miskin dan tidak punya koneksi. '2 Pendapat yang paralel dengan ke dua pendapat di atas adalah apa yang dikemukakan oleh Chambliss dan Seidman. Menurut kedua penulis ini, di Amerika Serikat pengaruh tekanan ekonomi terhadap perkara-perkara yang
1(1
Majalah Jurnal Keadilan., Vol. 2 No. 2 tahun 2002, hal. 3 1 - 3 2 . " Ibid. n Catatan Kuliah Pengantar Kriminologi FHU1 tahun ajaran 19871988
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. Ill, No.l, Juli 2003
39
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
diajukan ke pengadilan paling menonjol terdapatdi bidang hukum pidana. Mereka menunjuk kepada tindakan polisi dalam melakukan penahanan dan interogasi terhadap masyarakat. Secara proporsional lebih banyak orang-orang yang berasal dari lapisan miskin yang ditahan dan diinterogasi oleh polisi dibanding dengan orangorang dari lapisan menengah. Selanjutnya Chambliss dan Seidman menunjukkan bahwapada umumnya polisi merasa mereka sedikit saja mengalami hambatan dalam menindak orang-orang miskin, oleh karena mereka ini secara politik dipandang tidak berdaya dan oleh karena itu bisanya kurang mampu untuk melakukan langkah-langkah pembalasan berupa tekanantekanan yang kurang menyenangkan terhadap polisi. Berhadapan dengan golongan miskin ini polisi bisa lebih bebas, juga apabila ia menindak mereka itu dengan cara-cara yang tidak didukung oleh norma-norma yang seharusnyamempedomani tindakan seorang polisi, atau apabila ia melakukan tindakan diskresi yang bertentangan dengan kepentingan mereka yang miskin itu. 40
Dengan kata lain ingin dikatakan bahwa orang yang miskin, bodoh dan tidak punya koneksi akan lebih mudah diproses secara hukum pidana. Hal ini tidak lain disebabkan oleh karena mereka ini secara faktanya tidak mempunyai tempat untuk bersembunyi atau berlindung di balik topeng-topeng yang bernama otoritas, kekuatan ekonomi dan politik ataupun karena kesulitan untuk memperoleh keterangan sakit dari dokter atau institusi kesehatan. Dan jelas orang yang disebut oleh Mabel Eliot tersebut di atas, tidak punya alasan untuk menghindar dari proses hukum dengan cara memanfaatkan "celah" hukum, baik itu dengan alasan sedang melakukan tugas kenegaraan, belum mendapat ijin dari atasan, harus mendampingi pejabat penting di pemerintahan dalam kunjungan kerja ke daerah, buron, kabur atau melakukan pengobatan ke rumah sakit di luar negeri dalam waktu dan jadwal pengobatan yang cukup lama serta tidak jelas pula kapan akan selesai. ***
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. HI, No. I, Juli 2003
Nadapdap : Mengharapkan Kesamaan Menemukan Ketidaksamaan
DAFTARPUSTAKA Buku, Majalah dan Surat Kabar 1. Ali. Achmad., Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya., (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002). 2. Aubert Vilhem (ed)., Sociologi Of Law., (London: C. Nicholls & Company Ltd, 1977). 3. Bruggiknk, J.J.H., Refleksi Tentang Hukum alih bahasa Arief Sidharta., (Bandung: CitraAdityaBhakti, 1996). 4. Catatan Kuliah Pengantar Kriminologi FHUI tahun ajaran 1987-1988. 5. Hamzah, Andi., Hukum Acara Pidana., (Jakarta: CV. Sapta ArthaJaya, 1996). 6. Henry R. Glick, Law, Politics and Justice., (New York: Mc.Graw Hill, 1983) 7. Kompasl6Juni2003. 8. Majalah Jumal Keadilan., Vol. 2 No. 2 tahun 2002. 9. Mertokusumo, Soedikno, Penemuan Hukum Suatu Pengantar., (Jogjakarta: Liberty, 1996). 10. Purwadarminta, W.J.S.., Ramus Umum Bahasa Indonesia., (Jakarta: Balai Pustaka, 1966).
11. Rahardjo, Satjipto., Hukum dan Masyarakat., (Bandung: Angkasa, 1979) 12. , Ilmu Hukum., (Bandung: Alumni, 1986). 13. , "Mengajurkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan"., Pidato mengakhiri jabatan sebagai Guru Besar Tetap di FHUndip Semarang, 2000. 14. Sinar Harapan, 11 Maret 2003. 15. Theodore M. Benditt, Law as Rule and Principle: Problem of Legal Philosophy., (California: Stanford University Press, 1978) 16. Wasingatu Zakiyah, et. al., Menyingkap Tabir Mafia Peradilan., (Jakarta: ICW, 2002) Peraturan Perundang-Undangan UUD 1945 beserta dengan perubahannya. UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP UU No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum. UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Law Review, Fakultas Hukum Universilas Pelita Harapan, Vol. Ill, No. I, Mi 2003
41