OPTIMASI MEDIA PRODUKSI SEFALOSPORIN C DARI KAPANG Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6 MENGGUNAKAN METODE RESPON PERMUKAAN
ENI DWI ISLAMIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Optimasi Media Produksi Sefalosporin C dari Kapang Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6 Menggunakan Metode Respon Permukaan” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Eni Dwi Islamiati P051130291
RINGKASAN ENI DWI ISLAMIATI. Optimasi media produksi sefalosporin dari kapang Acremonium chrysogenum CB 2/11.1.10.6 menggunakan metode respon permukaan. Dibimbing oleh KHASWAR SYAMSU dan ERWAHYUNI ENDANG PRABANDARI Sefalosporin merupakan antibiotik golongan β-laktam yang mempunyai efektivitas dalam melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh kapang Acremonium chrysogenum. Media kultivasi yang optimal dapat meningkatkan produksi sefalosporin. Salah satu komposisi media kultivasi yang paling berpengaruh diantaranya adalah sumber karbon dan nitrogen. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan konsentrasi sumber karbon dan nitrogen terbaik dalam menghasilkan sefalosporin secara maksimal. Langkah pertama yaitu memilih sumber karbon dan sumber nitrogen yang disesuaikan dengan kebutuhan kapang. Molases, sukrosa, minyak kelapa sawit, malto dekstrin dan glukosa terpilih sebagai kandidat seleksi sumber karbon. Sedangkan urea, ammonium sulfat, yeast ekstrak dan corn step liquor (CSL) sebagai kandidat seleksi sumber nitrogen. Langkah selanjutnya sumber karbon dan sumber nitrogen secara masing-masing diuji dengan konsentrasi yang sama dalam media kultivasi untuk produksi sefalosporin. Hasi seleksi yang dilakukan memperlihatkan bahwa molases merupakan sumber karbon terbaik untuk produksi sefalosporin. Pengujian level konsentrasi menunjukkan molasses dengan konsentrasi 70 g L -1 merupakan konsentrasi terbaik dalam menghasilkan sefalosporin. Selain itu gabungan antara CSL, urea dan ammonium sulfat merupakan sumber nitrogen terbaik. Pengujian level konsentrasi hasil nitrogen terpilih yaitu gabungan antara CSL, urea dan ammonium sulfat dengan perbadingan 80: 1,53:6,82 g L-1 dengan kandungan nitrogen total sebesar 72% merupakan konsentrasi terbaik. Optimasi media dilakukan dengan menggunakan metode respon permukaan. Optimasi terhadap faktor yang signifikan diprediksi dengan model ordo dua melalui rancangan statistika central composite design (CCD). Untuk memperoleh komposisi media yang optimal, sebanyak 48 percobaan telah dilakukan. Molases sebagai sumber karbon, gabungan CSL, urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen serta DL-methionin sebagai induser adalah komponen media yang menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap produksi sefalosporin. Produksi tertinggi diprediksi oleh model kuadratik sebesar 3876 mg L-1 dengan komposisi media 68.28 g L-1 molases, 71.61 %N gabungan dari CSL, urea dan ammonium sulfat, serta 0.4 g L-1 DL-Methionin. Hasil Verifikasi komposisi media optimal yang dilakukan di laboratorium menghasilkan sefalosporin sebesar 3696 mg L-1. Konsentrasi ini mencapai 95.36% dari hasil yang diprediksi oleh model. Optimasi dengan menggunakan metode respon permukaan mampu meningkatkan produksi sefalosporin 1.48 kali dibandingkan sebelum dilakukan optimasi, hasil yang didapatkan sebelum optimasi yaitu sefalosporin dengan konsentrasi 2487 mg L-1. Kata kunci: Karbon, metode respon permukaan, nitrogen, sefalosporin
SUMMARY ENI DWI ISLAMIATI. Optimization of cephalosporin production medium from Acremonium chrysogenum CB 2/11.1.10.6 using Response Surface Methodology. Supervised by KHASWAR SYAMSU and ERWAHYUNI ENDANG PRABANDARI Cephalosporins are β-lactam antibiotics that have effectiveness against gram-positive and gram-negative bacteria. This antibiotic is produced by Acremonium chrysogenum. Optimum of cultivation medium can increase the production of cephalosporins. The most influential cultivation medium composition such is carbon and nitrogen source. The objectives of this study was to obtain the best concentration of carbon and nitrogen source in producing cephalosporins maximumly. The first step was conducted to select the carbon and nitrogen source were tailored to the needs of the fungi. Molasses, sucrose, palm oil, malto dextrin and glucose were selected as the candidates of carbon sources. Whereas urea, ammonium sulfate, yeast extract and corn step liquor (CSL) as the candidates of nitrogen sources. The next step, each carbon and nitrogen sources were tested at the same concentration in the medium cultivation for cephalosporins production. The results showed that molasse was the best carbon source for cephalosporins production. The tests of level concentration of carbon source showed that molasses with a concentration of 70 g L-1 was the best concentration to produce cephalosporins. In addition, the combination of CSL, urea and ammonium sulphate was the best nitrogen source. The tests of level concentration of selected nitrogen source was the combination of CSL, urea and ammonium sulphate with a ratio of 80:1.53: 6.82 g L-1 with a total nitrogen content of 72% as the best concentration. Medium optimization was conducted using response surface methodology. Optimization of the significant factors predicted using a second order polynomial model central composite design (CCD). To obtain the optimum mediaum composition, a total of 48 experiments have been carried out. Molasses as a carbon source, combination of CSL, urea and ammonium sulfate as nitrogen sources and DL-methionin as an inducer was a medium component showing the difference significantly to the cephalosporins production. The highest production predicted by the quadratic model with amount of 3876 mg L-1 with a medium composition 68.28 g L-1 of molasses, 71.61% N combination of CSL, urea and ammonium sulfate, and 0.4 g L-1 DL-Methionin. Verification of optimum medium composition showed that cephalosporin was produced of 3696 mg L-1. This concentration reached 95.36% than predicted by the model. Optimization using response surface methodology could increase cephalosporins production 1.48 fold compared to before optimization which was 2487 mg L-11. Keywords: Carbon, cephalosporins, nitrogen, response surface methodology
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
OPTIMASI MEDIA PRODUKSI SEFALOSPORIN C DARI KAPANG Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6 MENGGUNAKAN METODE RESPON PERMUKAAN
ENI DWI ISLAMIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, M.Si
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah Produksi antibiotik dengan judul Optimasi Media Produksi Sefalosporin C dari Kapang Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6 Menggunakan Metode Respon Permukaan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Khaswar Syamsu, MSc.St dan Ibu Dr Erwahyuni Endang Prabandari, MSi selaku pembimbing, Ibu Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si, Bapak Prof Dr Ir Suharsono, DEA sebagai ketua Program Studi Bioteknologi serta Bapak Rudiyono yang telah banyak memberi saran selama penelitian. Terima kasih penulis sampaikan kepada Balai Pengkajian Bioteknologi - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPB BPPT) Laboratorium Mikrobiologi Serpong. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2016 Eni Dwi Islamiati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 2 2 3 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Sefalosporin C Biosintesis Sefalosporin C Acremonium chrysogenum Rancangan Optimasi Media Fermentasi Sumber Karbon dan Nitrogen Metode Respon Permukaan
4 5 6 7 8 9
3 METODE Waktu dan Tempat Bahan Alat Metode
11 11 11 12
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Sumber Karbon pada Media Seleksi Pemilihan Sumber Karbon Terbaik Penentuan Level Konsentrasi Sumber Karbon Terbaik Analisis Kandungan Sumber Nitrogen pada Media Seleksi Pemilihan Sumber Nitrogen Terbaik Penentuan Level Konsentrasi Sumber Nitrogen Terbaik Penentuan Konsentrasi DL-methionin Sebagai Induser Optimasi Media dengan Metode Respon Permukaan Verifikasi Model
16 16 17 18 18 19 20 21 24
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
26 26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
31
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Rancangan percobaan central composite design (CCD) Kandungan total karbon pada masing-masing bahan Kandungan total nitrogen pada masing-masing bahan Level konsentrasi masing-masing faktor pada central composite design Analisis varian dan Lack of fit test terhadap permukaan respon model kuadratik 6 Komposisi media hasil prediksi optimasi model yang akan diverikasi
14 16 18 21 22 24
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Struktur gugus inti sefalosporin Jalur mekanisme pembentukan sefalosporin C Morfologi kapang Acremonium chrysogenum secara mikroskopis Pengaruh jenis sumber karbon terhadap produksi sefalosporin Pengaruh level konsentrasi molases terhadap produksi sefalosporin Pengaruh jenis sumber nitrogen terhadap produksi sefalosporin Pengaruh level konsentrasi sumber nitrogen terpilih terhadap produksi sefalosporin Pengaruh level konsentrasi DL-methionin terhadap produksi sefalosporin Hubungan antara molases dan gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dalam bentuk kontur plot dan permukaan respon Hubungan antara molases dan DL-methionin dalam bentuk kontur plot dan permukaan respon Hubungan antara gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dengan DLmethionin dalam bentuk kontur plot dan permukaan respon Perbandingan hasil produksi sefalosporin sebelum dan sesudah optimasi
4 5 6 17 18 19 20 20 23 23 24 25
DAFTAR LAMPIRAN 1 Analisa kandungan karbon dari masing-masing sumber karbon yang digunakan untuk optimasi medium kultivasi 2 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan dari hasil seleksi sumber karbon 3 Analisis ragam pengaruh perlakuan sumber karbon terhadap produksi sefalosporin 4 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level konsentrasi molases sebagai sumber karbon terpilih 5 Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi molases terhadap produksi sefalosporin 6 Analisa kandungan nitrogen dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimasi media kultivasi 7 Kandungan total nitrogen dalam masing-masing bahan seleksi sumber nitrogen 8 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan dari hasil seleksi sumber nitrogen 9 Analisis ragam pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap produksi sefalosporin 10 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level konsentrasi gabungan CSL:urea:ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen terpilih 11 Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi gabungan CSL:urea;ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen terpilih terhadap produksi sefalosporin 12 Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level konsentrasi DL-methionin 13 Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi DLmethionin terhadap produksi sefalosporin 14 Data hasil analisa respon pada optimasi media kultivasi menggunakan rancangan central composite design 15 Uraian jumlah kuadrat beberapa model (Sequential Model Sum of Square) untuk respon konsentrasi sefalosporin 16 Lack of fit test terhadap model respon permukaan 17 Ringkasan model statistik (Model summary statistics) untuk respon konsentrasi sefalosporin 18 Hasil verifikasi model untuk respon konsentrasi sefalosporin
31 31 32 32 32 32 32 33 33
33
33 34 34 34 36 36 36 36
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Antibiotik merupakan bahan obat yang memegang peranan penting dalam mengatasi penyakit infeksi (Dancer 2011). Departemen kesehatan RI tahun 2013 menyatakan bahwa dana yang diperlukan untuk pengadaan antibiotik kurang lebih 23.3% dari seluruh anggaran obat-obatan yang terpakai di Indonesia. Pemenuhan bahan baku antibiotika untuk kebutuhan dalam negeri masih didatangkan secara impor dari negara lain dengan nilai lebih dari Rp 15 milyar setiap tahunnya. Peraturan Kementrian Kesehatan nomer 87 tahun 2011 dalam rangka pengembangan produksi bahan baku obat, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku obat dalam negeri, membuat pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap negara lain. Kebijakan tersebut dilakukan secara bertahap, yaitu untuk bahan baku obat khususnya antibiotika akan diproduksi secara mandiri dalam negeri. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki. Melihat potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia, seharusnya pembuatan antibiotik dapat diupayakan dan diproduksi secara mandiri di dalam negeri. Data Kementrian Kesehatan tahun 2013 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik di Indonesia masih didominasi oleh golongan penisilin dan turunannya, akan tetapi penisilin memiliki keterbatasan dalam melawan bakteri gram negatif. Seiring penggunaannya, beberapa bakteri gram positif menjadi resisten terhadap penisilin dengan menghasilkan enzim penisilinase yang mampu menghidrolisis cincin β-laktam pada penisilin. Alternatif yang dapat digunakan untuk mensiasati kelemahan pada pinisilin tersebut adalah melalui penggunaan antibiotik yang tahan terhadap degradasi enzim penisilinase. Salah satu antibiotik dari golongan β-laktam yang tahan terhadap degradrasi enzim penisilinase adalah sefalosporin. Sefalosporin c merupakan sefalosporin yang paling awal ditemukan. Fungsi sefalosporin c sebagai antibiotik yang potensial dan merupakan produk antibiotik yang banyak dihasilkan setelah penisilin. Berbagai senyawa turunan sefalosporin diperoleh dengan cara mengubah-ubah gugus sampingnya yang disebut sebagai sefalosporin semisintetik (Elander 2003). Antibiotik tersebut mempunyai spektrum anti bakteri yang luas dan lebih resisten terhadap β-laktamase dibandingkan dengan penisilin. Salah satu keunggulan generasi terbaru sefalosporin yaitu memiliki efektivitas dengan penggunaan dosis yang minimal. Sebaliknya, penisilin yang digunakan saat ini tidak memiliki efektivitas seperti yang dimiliki oleh sefalosporin dan turunannya. Kelebihan lain seperti yang diungkapkan oleh Muniz et al. (2007) bahwa pasien yang alergi terhadap penisilin biasanya tahan terhadap antibiotik sefalosporin maupun turunannya. Kelebihan yang dimiliki oleh sefalosporin membuat kebutuhan akan antibiotik ini semakin banyak. Akan tetapi antibiotik sefalosporin belum diproduksi secara mandiri di Indonesia. Hal ini mendorong untuk dilakukannya penelitian bagaimana sefalosporin dapat dihasilkan. Srivastava et al. (2006) menyatakan bahwa salah satu yang berperan penting dalam produksi sefalosporin adalah bahan bahan yang terkandung dalam media kultivasi. Menurut Lotfy (2007) komposisi media kultivasi yang paling berpengaruh dalam produksi sefalosproin diantaranya adalah sumber karbon dan sumber nitrogen. Hal inilah
2
yang menjadi dasar penelitian ini. Langkah pertama penelitian ini adalah seleksi beberapa sumber karbon dan nitrogen. Seleksi tersebut dilakukan untuk mendapatkan sumber karbon dan sumber nitrogen terbaik sebagai media kultivasi. Bahan tersebut kemudian dikombinasikan dengan inducer DL-methionin. Tahap selanjutnya adalah optimasi bahan terpilih menggunakan salah satu metode optimasi yaitu metode respon permukaan (Respone Surface Methodology / RSM) (Satriaji 2010). Metode respon permukaan merupakan suatu teknik penyelesaian masalah untuk menemukan kondisi optimal suatu operasi dengan menggunakan matematika dan statistik dalam bentuk suatu model yang dapat menganalisis masalah tersebut. Penggunaan metode ini dapat meminimalisasi waktu pengerjaan, jika dibandingkan menggunakan teknik konvensional dengan melakukan percobaan yang berulang-ulang. Penggunaan RSM melalui software Design Expert dapat diperoleh tingkat keakuratan yang tinggi sekaligus meminimalisisasi terjadinya kesalahan seperti pada penggunaan metode konvensional. Pengkombinasian tersebut dilakukan dalam skala erlemeyer. Dalam skala tersebut diharapkan dapat menghasilkan sefalosporin dalam jumlah yang optimal (Vastrad 2014). Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1 Bagaimana mendapatkan sumber karbon dengan konsentrasi terbaik dalam media kultivasi? 2 Bagaimana mendapatkan sumber nitrogen dengan konsentrasi terbaik dalam media kultivasi? 3 Bagaimana pengaruh komposisi sumber karbon, sumber nitrogen dan DL-methionin melalui metode respon permukaan terhadap kultivasi produksi sefalosporin C? Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1 Mendapatkan sumber karbon dengan konsentrasi terbaik dalam media kultivasi. 2 Mendapatkan sumber nitrogen dengan konsentrasi terbaik dalam media kultvasi. 3 Mendapatkan komposisi sumber karbon, sumber nitrogen dan DLmethionin yang optimal melalui metode respon permukaan terhadap produksi sefalosporin C.
3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini bagi masyarakat antara lain memperkaya khasanah iptek dan memberikan informasi mengenai cara memproduksi sefalosporin dan kondisi optimum media kultivasi yang digunakan. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian optimasi media fermentasi untuk produksi sefalosporin C dari Acremonium crysogenum CB2/11/1.10.6 adalah sebagai berikut: 1 Penyiapan inokulum Acremonium crysogenum CB2/11/1.10.6 yang meliputi peremajaan sel pada media agar miring. 2 Pemilihan sumber karbon terbaik dalam media kultivasi. 3 Pemilihan sumber nitrogen terbaik dalam media kultivasi 4 Optimasi media melalui kombinasi sumber karbon dan sumber nitrogen terpilih dengan DL-methionin yang tepat dengan menggunakan metode Respon Permukaan. 5 Produksi sefalosporin C dengan kultur kocok dalam erlemeyer 250 ml dengan volume kerja 30 ml pada pH 6 suhu 25oC, pengocokan 220 rpm selama 120 jam. 6 Analisis konsentrasi sefalosporin menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
4
2 TINJAUAN PUSTAKA Sefalosporin C Senyawa sefalosporin memiliki gugus inti 7-amino sefalosporin acid (7ACA), yang mengandung gugus β-laktam (sebuah cincin dengan 2 atom C, 1gugus karbonil dan 1 atom N) dan cincin dihidrothiazin. Secara keseluruhan nama ilmiah sefalosporin adalah asam 3-asetoksimetil-7-asilamino-3-cephem-4karboksilat. Berbagai senyawa turunan sefalosporin dapat diperoleh dengan mengganti R1 dan R2. Sifat-sifat turunan sefalosporin tergantung gugus yang terikat pada gugus inti. Gugus R1 akan mempengaruhi sifat farmakologinya (proses yang dilalui obat dalam tubuh), sedangkan gugus R2 mempengaruhi karakteristik anti bakterialnya (Kim et al. 2001).
Gambar 1. Struktur gugus inti sefalosporin (Sumber: Curropin 2005) Sefalosporin umumnya memiliki titik leleh yang rendah. Sifat asam umumnya berasal dari gugus karboksilatnya yang terikat pada cincin dihidrothiazin. Nilai keasamannya tergantung kondisi lingkungannya. Salah satu sifat fisik yang menonjol dari sefalosporin adalah frekuensi dalam spektrum inframerah. Absorpsi terjadi pada ferkuensi tinggi yang berasal dari karbonil βlaktamnya. Dibandingkan dengan ferkuensi gugus karbonil pada senyawa lain, misal karbonil ester dan amida frekuensi gugus karbonil termasuk cukup tinggi ( Pollegioni et al. 2013). Adanya gugus β-laktam sangat mempengaruhi sifat kimia dari sefalosporin. Bentuk geometri cincin dengan ikatan rangkap didalamnya menjadikan sefalosporin sebagai molekul yang cukup stabil karena memungkinkan terjadinya resonansi. Pembuatan senyawa turunan sefalosporin biasanya dengan melakukan penyerangan menggunakan nukleofil seperti alkolsida atau hidroksilamin. Sefalosporin C merupakan contoh sefalosporin yang paling awal ditemukan. Fungsinya sebagai antibiotik yang cukup potensial menjadikannya produk antibiotik yang banyak dihasilkan setelah penisilin. Dengan mengubah-ubah gugus sampingnya, diperoleh berbagai senyawa turunan sefalosporin yang disebut sefalosporin semi sintetik dengan sifat sifat yang berbeda (Zhu et al. 2011). Sefalosporin dapat digunakan dalam melawan infeksi oleh bakteri seperti halnya dengan antibiotik β-laktam lainnya dengan mengikat dan menjadi inhibitor enzim pembentuk dinding peptidoglikan bakteri. Dibandingkan dengan penisilin yang juga merupakan antibiotik β-laktam, sefalosporin memiliki sifat resisten terhadap enzim β-laktamase yang dihasilkan oleh bakteri untuk memutus ikatan
5 pada cincin β-laktam. Sefalosporin digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi oleh bakteri seperti infeksi saluran pernafasan (pneumonia, bronkitis, tonsillitis), infeksi kulit, dan infeksi saluran urin (Schmiit et al. 2004). Biosintesis Sefalosporin C Biosintesis sefalosporin C dimulai dari kondensasi tiga asam amino, asam L-α-aminodipik, L-sistein, dan L-valin, untuk membentuk tripeptida δ-(L-αamoniadipyl)-L-sisteinil-D-valin (LLD-ACV) dengan menggunakan enzim ACV sintetase. Tripeptida LLD-ACV kemudian dibuat siklik untuk membentuk inti penam (penam nucleus), isopenisilin N, dengan enzim isopenisilin N sintetase atau siklase. Isopenisilin N kemudian diubah menjadi penisilin N dengan mengubah gugus samping L-α-aminoadipyl menjadi D-α-aminoadipyl menggunakan enzim isopenisilin N epimerase (IPNE). Penisilin N kemudian diubah menjadi deasetoksisefalosporin C yang memiliki cincin dihidrothiazin dengan menggunakan enzim deasetoksisefalosporin C sintetase. Enzim deasetilsefalosporin sintetase kemudian mengkatalis reaksi hidroksilasi deasetoksisefalosporin C pada gugus metil C-3 untuk menghasilkan deasetilsefalosporin C. Dalam A. chrysogenum, baik ekspansi cincin maupun aktivitas hidroksilasi bertempat pada protein yang sama, yang dikodekan oleh satu gen. Langkah terakhir dalam biosintesis sefalosporin C dikatalisasi oleh enzim sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang melibatkan transfer satu gugus asetil dari koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil atom C-3 pada deasetilsefalosporin C.
Gambar 2. Jalur mekanisme pembentukan sefalosporin C (Shen et al. 2006). Asam amino dalam biosintesis sefalosporin merupakan unsur terpenting. Pada awal pembentukan sefalosporin kondensasi dari ketiga asam amino merupakan langkah utama. Ketiga asam amino yang digunakan adalah asam L-αaminodipik, L-sistein, dan L-valin. Asam L-α-aminodipik merupakan intermediet dalam jalur biosintesis lisin. Lisin merupakan produk akhir dari jalur biosintesis, pada saat level lisin lebih tinggi akan menutupi proses biosintesis dengan
6
menghambat enzim pertama dari jalur pembentuk asam L-α-aminoadipik (feedback inhibition). Hal tersebut akan menyebabkan berkurangnya senyawa intermediet, termasuk asam L-α-aminoadipik. Penambahan lisin dalam media dapat menghindari pengurangan produksi senyawa intermediet, karena pada saat kondisi lisin yang tercukupi tidak semua senyawa intermediet akan digunakan untuk pembentukan biosintesis lisin (Cheng et al. 2013). Selain asam L-α-aminoadipik, biosintesis dari sefalosporin memerlukan kehadiran sistein dan valin. Sistein lebih banyak digunakan karena kandungan sulfurnya, dalam metabolisme A. chrysogenum sumber sulfur terbaik diperoleh dari methionine melalui reaksi transsulfuration. Dalam hal ini methionine ditambahkan sebagai stimulant/ induser produksi sefalosporin dan sebagai suplay sistein. Sebagai sumber sulfur sistein dalam jumlah berlebih akan menghasilkan enzim sistationin γ-lyase yang akan menghambat produksi sefalosporin, sehingga untuk suplay sistein sebagai sumber sulfur digunakan methionine agar tidak terjadi proses penghambatan produksi sefalosporin (Margret et al. 2013). Selain kedua asam amino yang telah dijelaskan, terdapat valin yang juga termasuk asam amino esensial. Biosintesis valin diawali dari asam piruvat yang berturut-turut diubah menjadi aseto laktat, kemudian diubah menjadi α,β dihidroksi isovalerat dilanjutkan menjadi α ketoisovalerat dan kemudian menjadi valin (Masami et al. 2004). Acremonium crysogenum Klasifikasi kapang Acremonium chrysogenum berdasarkan Caltexmold (1986) adalah sebagai berikut: Kingdom : Fungi Phylum : Ascomycota Order : Hypocreales Family : Hypocreaceae Genus : Acremonium Spesies : Acremonium chrysogenum Morfologi
Gambar 3. Morfologi kapang Acremonium chrysogenum secara mikroskopis (Sumber: Caltexmold 1986)
7
Pada tahun 1945, Giuseppe Brotzu, seorang profesor Hygiene dari University of Cagliari, Italia, berhasil mengisolasi strain Cephalosporium acremonium, sejenis mold, dari air laut dekat saluran pembuangan limbah di Cagliari, Sardinia. Percobaan yang dilakukannya membuktikan bahwa fungi ini menghasilkan senyawa yang efektif dalam melawan Salmonella tylhi ( bakteri gram negatif). Pada tahun 1948, Brotzu mempublikasikan penemuannya, akan tetapi kurang menarik perhatian. Atas usul British Medical Research Council, Brotzu kemudian mengirimkan kultur C. acremonium kepada Howard Florey di Oxford dan kemudian diklasifikasi ulang sebagai Acremonium chrysogenium pada tahun 1971 (Muniz et al. 2007). Ciri morfologi fungi Acremonium chrysogenum (syn. Cephalosporium acremonium) adalah hifanya berbentuk filamen, segmen pada hifanya berbentuk cembung (swollen), memiliki arthrospora dan konidia. Kondisi lingkungan kaya akan C, N dan beberapa asam amino asensial, sangat sesuai dalam proses perkembangannya. Hifa Acremonium chrysogenum tumbuh apikal dan bercabang. Proses reproduksi secara seksual belum ditemukan, sehingga fungi ini dimasukkan dalam kelas deuteromycetes. Hasil penelitian dengan menggunakan perlakuan medium menunjukkan adanya pengaruh medium terhadap diferensiasi morfologi, misalnya pada medium yang mengandung metionin, swollen hypha dan arthospora tampak lebih jelas daripada ditumbuhkan pada medium yang mengandung sulfat (Tollnick 2004). Rancangan Optimasi Media Fermentasi Proses fermentasi memerlukan media cair, meskipun ada beberapa fermentasi yang menggunakan media padat. Media fermentasi harus memenuhi semua kebutuhan nutrisi yang diperlukan mikroorganisme. Formulasi media merupakan proses formulasi dimana konstituen yang ada harus memenuhi kebutuhan biomassa sel dan produksi metabolit serta mensuplai energi untuk biosintesis dan pemeliharaan sel. Nutrisi harus diformulasikan untuk menunjang sintesis produk yang diinginkan, baik berupa biomassa sel maupun metabolit tertentu. Menurut Jerums et al. (2005) pentingnya formulasi media dalam proses fermentasi adalah untuk meningkatkan dan memaksimalkan hasil produksi. Secara teknis perbanyakan inokulum dan tahapan fermentasi produksi metabolit sekunder memerlukan formulasi media yang berbeda. Untuk target produk berupa biomassa atau metabolit primer, media yang digunakan adalah media yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan fermentasi untuk target produk berupa metabolit sekunder, maka diperlukan media yang dapat merangsang pertumbuhan awal, diikuti dengan kondisi yang dapat mengoptimalkan produksi metabolit sekunder (Waites et al. 2001). Formulasi media yang telah didesain harus memenuhi nutrisi-nutrisi penting yang dibutuhkan oleh kapang seperti sumber karbon (C), sumber nitrogen (N), beberapa senyawa mikro seperti vitamin dan mineral. Penentuan jenis dan jumlah nutrisi bukan hal yang mudah karena melibatkan metabolisme yang sangat dipengaruhi oleh komponen penyusun media (Mandenius et al. 2008).
8
Sumber Karbon Sumber karbon adalah salah satu komponen media utama yang dibutuhkan dalam metabolisme mikroba selama fermentasi (Arjol et al. 2010). Beberapa sumber karbon yang digunakan dalam penelitian ini adalah glukosa, sukrosa, malto dekstrin, molases dan minyak kelapa sawit. Glukosa merupakan senyawa monosakarida yang umumnya bersifat paling mudah dimetabolisme oleh mikroba dibanding gula lainnya, sehingga disebut sebagai substrat primer (Wang et al. 2014). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar mengikuti lintasan EmbdenMeyerhof. Glukosa dikonversi menjadi glukosa-6-fosfat yang selanjutnya dalam beberapa tahapan dikonversi menjadi asam piruvat. Senyawa ini merupakan sumber karbon dan energi utama sebagian besar mikroba serta menjadi titik awal sebagian besar lintasan metabolisme mikroba. Sukrosa merupakan senyawa disakarida yang terdiri atas monosakarida berupa glukosa dan fruktosa. Sukrosa dipecah menjadi glukosa dan fruktosa menggunakan enzim invertase yang berlanjut menjadi fruktosa-6-fosfat oleh enzim fruktokinase sampai terbentuknya asam piruvat yang selanjutnya piruvat yang dihasilkan digunakan dalam siklus asam sitrat (Chakraborty 2013). Dalam medium sefalosporin, minyak kelapa sawit merupakan sumber karbon dan energi yang lebih utama dibandingkan glukosa. Hal ini dilakukan untuk membatasi kadar glukosa dan mendukung pembentukan arthrospora dalam memproduksi sefalosporin C. Minyak ini juga dapat bertindak sebagai surfaktan untuk mengurangi terbentuknya busa (Tornisielo et al. 2007). Malto dekstrin merupakan jenis disakarida yang merupakan hasil degradasi pati tanaman serealia. Penggunaan substrat maltosa membutuhkan siklus yang lebih panjang untuk memecahnya dibandingkan dengan glukosa. Maltosa membutuhkan enzim maltose-glukoamilase yang akan memecah maltose menjadi glukosa, dan enzim maltose-fosforilase yang akan maltosa menjadi glukosa-1fosfat. Selanjutnya glukosa-1-fosfat diisomerisasi menjadi glukosa-6-fosfat, sehingga lintasan menjadi sama dengan glukosa (Moat et al. 2002). Molases termasuk media komplek, didalamnya selain masih terdapat kandungan gula yang cukup tinggi juga terdapat kandungan mineral seperti Mg, Ca, Fe dan Zn yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan mineral mikroorganisme. Kandungan gula yang terdapat didalam molases juga beragam yaitu sukrosa dan beberapa gula reduksi dalam bentuk yang sederhana diantaranya adalah glukosa. Glukosa merupakan senyawa monosakarida yang paling mudah dimetabolisme (Wang et al. 2014). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar mengikuti lintasan Embeden-Meyerhof. Sumber Nitrogen Menurut Heo et al. (2009) disamping sumber karbon, nitrogen juga salah satu unsur yang merupakan komponen media utama yang perlu dilakukan optimasi selama proses kultivasi. Beberapa sumber nitrogen yang digunakan dalam penelitian ini adalah urea, ammonium sulfat, Yeast extract dan CSL (Corn Step Liquor). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan biomassa sel pada fase pertumbuhan. Nitrogen juga digunakan sebagai sumber sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA (Abbas et al. 2009).
9 Urea adalah senyawa organik yang tersusun dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea akan terhidrolisis dan melepaskan ion ammonium (Jared et al. 2013). Ammonium sulfat atau (NH4)2SO4 adalah garam anorganik yang memiliki banyak kegunaan. Ammonium sulfat mengandung 21% unsur nitrogen dan 24% unsur belerang. Ammonium sulfat akan mengalami penguraian bila dipanaskan hingga suhu 250 °C, dan pertama-tama membentuk ammonium bisulfat. Jika dipanaskan pada suhu yang lebih tinggi, amonium sulfat akan terurai menjadi amonia, nitrogen, sulfur dioksida, dan air ( Zhenxing et al. 2008). Yeast Extract merupakan salah satu jenis nitrogen kompleks. Yeast extract terbuat dari ragi pengembang roti atau pembuat alkohol (Stiebing, 2011). Konsumsi yeast extract menurut beberapa penelitian lebih berperan pada konversi menjadi biomassa dibandingkan dalam pembentukan metabolit sekunder (Zain et al. 2007). Corn Steep Liquor atau biasa dikenal dengan CSL adalah produk turunan dari proses perendaman fermentasi jagung. CSL merupakan konsentrat kental terlarut yang mengandung asam amino, vitamin dan mineral. Kandungan di dalam CSL merupakan bagian penting dari beberapa media pertumbuhan. CSL curah berguna sebagai alternatif murah pengganti pepton untuk berbagai macam metode produksi mikrobiologi, termasuk produksi protein rekombinan dalam E. coli ( Edwinoliver et al. 2009). Metode respon permukaan atau RSM (Response Surface Methodology) Optimasi adalah suatu pendekatan normatif untuk mengindetifikasi penyelesaian terbaik dalam mengambil keputusan suatu permasalahan. Unsur penting dalam permasalahan optimasi adalah fungsi tujuan yan dipengaruhi oleh sejumlah variabel. Dalam suatu proses, yang paling penting dioptimalkan adalah produktivitas suatu proses. Hal ini dapat dicapai dengan mengendalikan berbagai faktor yang menentukan aktivitas proses tersebut. Pada dasarnya proses optimasi merupakan langkah minimalisasi biaya atau penggunaan bahan baku dan memaksimalisasi hasil atau efisiensi proses produksi (Box dan Draper 1987). Metode analisis varian dapat membantu peneliti untuk melihat variable yang menimbulkan keragaman respon. Untuk memahami seberapa jauh suatu proses yang optimum dipengaruhi oleh sejumlah variabel, sering diperlukan data-data percobaan dalam jumlah besar dan membutuhkan waktu lama, yang secara otomatis juga akan memerlukan biaya dalam jumlah yang besar. Beberapa teknik statistika dan matematika sering dipakai untuk melakukan pendekatan guna memperoleh pemahaman terhadap kondisi optimum dari suatu proses, tanpa memerlukan data yang terlampau banyak. Diantara metode yang sering dipakai adalah metode respon permukaan (Satriaji 2010). Metode respon permukaan (response surface methodology/ RSM) merupakan sekumpulan teknik matematika dan statistika yang berguna untuk menganalisis permasalahan dimana beberapa variabel independen mempengaruhi variabel respon dan tujuan akhirnya adalah untuk memaksimalkan respon. Salah satu ciri khas dari metode RSM, yaitu mampu melihat interaksi antar parameter, sehingga RSM dapat memvariasikan semua parameter bersamaan. Kemampuan RSM dalam mengoptimasi berbagai macam variabel secara bersamaan dan meninjau interaksi antar variabel yang divariasikan, membuat optimasi menggunakan RSM menjadi lebih baik dan cepat (Box dan Draper 1987).
10
Dalam metode respon permukaan terdapat beberapa model rancangan, antara lain : rancangan faktorial 3 taraf (3-level factorial design), rancangan komposit pusat (central composite design), rancangan Box-Behnken ( BoxBehnken design ), rancangan D-optimal ( D-optimal design) dengan beberapa tipe yaitu independen, rotatable dan rotatable quardatic dapat digunakan untuk melakukan optimasi proses (Montgomery 2001). Central Composite Design (CCD) adalah salah satu rancangan dalam metode respon permukaan diperkenalkan oleh Box dan Wilson. CCD merupakan suatu rancangan yang terdiri dari rancangan faktorial tingkat dua level (tertinggi dan terendah) ditambah dengan beberapa titik yang memungkinkan untuk meramal adanya efek interaksi antar faktor yang dicoba. Kelompok titik tambahan yang pertama disebut starting point yang merupakan matriks bujur sangkar yang diagonal utamanya bernilai ± 2k/4, dimana k adalah jumlah faktor yang dioptimasi. Sedangkan kelompok titik tambahan kedua disebut center point yang merupakan kombinasi dari semua titik tengah faktor yang akan dioptimasi. Central Composite Design banyak digunakan peneliti untuk merancang percobaan optimasi setelah faktor-faktor yang mempunyai pengaruh terhadap hasil akhir yang diinginkan diketahui melalui percobaan berdasarkan rancangan faktorial yang lain (Palamakula et al. 2004).
11
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Balai Pengkajian Bioteknologi – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPB - BPPT), Kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (PUSPIPTEK) Gedung 630, Serpong, Tangerang Selatan. Penelitian dilaksanakan mulai September 2014 hingga Agustus 2015. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolate kapang Acremonium chrysogenum CB2/11/1.10.6 yang merupakan kultur koleksi (BPB BPPT) Serpong, Tangerang Selatan. Molases, malto dekstrin, sukrosa dan minyak sawit dan glukosa sebagai sumber karbon, sedangkan urea, ammonium sulfat, yeast ekstrak dan corn step liquor sebagai sumber nitrogen. MgSO4.7H2O, CaCO3, Parafin, minyak kedelai dan DL-methionin. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan analitik (Mettler BB240), magnetic stirrer (Heidolph MR 2002), autoclave (Tomy autoclave SS-325), microwave oven, incubator (Sanyo Gallenkamp MIR 52/LD 0271), mikroskop cahaya (Olympus BX51), vortex (Heidolph Reax 2000, Fine PCR), refrigerator (LG 111 KR 00207), sentrifuge (Kubota 7780), jangka sorong (Mitutoyo Digimatic Caliper), rotary shaker (Infors AG Rittergasse 27 CH-4103 Bottmingen), Laminar Air Flow Cabinet (ICN Biomedicals 303124SO433), haemocytometer (Superior Marienfeld Germany), pH meter (Beckman 246641), kertas cakram diameter 6 mm (Whatman) dan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) water 2695. Metode Penyiapan inokulum Kapang Acremonium chrysogenum dalam agar miring berumur 10 hari disuspensi dengan 6 ml garam fisiologis, kemudian sebanyak 0.5 ml diinokulasi pada media seed culture. Media seed culture yang telah dinokulasi kemudian diinkubasi pada inkubator kocok dengan agitasi 220 rpm, suhu 28 oC selama 72 jam. Inokulum selanjutnya digunakan sebagai starter untuk media kultivasi. Proses kultivasi Inokulum hasil inkubasi pada media seed culture diinolukasikan sebanyak 10% ke dalam media kultivasi, setelah itu media kultivasi di inkubasi pada inkubator kocok dengan agitasi 220 rpm, suhu 25o C selama 120 jam. Komposisi media basal pada kultivasi sefalosporin (Farmitalia 2001) Media basal untuk produksi sefalosporin terdiri dari 50 g L-1 malto dekstrin, 110 g L-1 CSL, 9 g L-1 ammonium sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, 0.5 g L-1 DL-methionin kemudian disterilisasi selama 25 menit pada suhu 121oC.
12
Analisis total karbon dengan metode dikromat (Horwitz 2000) Molases, sukrosa, minyak kelapa sawit, malto dekstrin dan glukosa masingmasing ditimbang dan ditambahkan 20 ml larutan kalium dikromat 1 N secara perlahan lahan kemudian ditambahkan 20 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan selama 30 menit. Sebanyak 200 ml aquadest, 5 ml asam fosfat pekat 85% dan 1 ml larutan dipenilalamin ditambahkan pada larutan hasil pemanasan. Perlakuan yang sama juga dilakukan pada blanko tetapi tanpa penambahan sampel. Blanko dan sampel dititrasi dengan larutan ferosulfat 1 N hingga berwarna hijau, kemudian ditambah dengan 1 ml larutan K2Cr2O7 1 N dan dititrasi kembali dengan FeSO4 1N sampai berwarna hijau. Perhitungan jumlah karbon * ( )+
Media kultivasi seleksi sumber karbon (Modifikasi metode Farmitalia 2001) Hasil yang didapat dari analisis total karbon digunakan sebagai acuan dalam penentuan konsentrasi masing-masing bahan yang dijadikan kandidat sumber karbon. Komposisi sumber karbon yang digunakan dalam media kultivasi masingmasing sebanyak 50.00 g L-1 malto dekstrin, 40.00 g L-1 molases, 37.04 g L-1 sukrosa, 39.79 g/L glukosa dan 23.05 g L-1 minyak sawit dengan total karbon dalam masing-masing bahan adalah 31.60 %karbon. Jumlah karbon yang digunakan sebanyak 31.60 % tersebut disesuaikan dengan jumlah karbon yang terkandung dalam malto dekstrin sebagai sumber karbon dalam media basal. Komposisi media kultivasi yang lain yaitu 110 g L-1 CSL, 9 g L-1 ammonium sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, kemudian disterilisasi selama 25 menit pada suhu 121oC. Penentuan konsentrasi terbaik dari sumber karbon terpilih (Nigam et al. 2007) Level konsentrasi molases yang diuji dalam media kultivasi antara lain 10, 20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, dan 90 g L-1 dengan total karbon yang diuji pada masing-masing konsentrasi adalah 9.6; 19.2; 28.8; 38.8; 48; 57.6; 67.2; 76.8; 86.4 % karbon. Masing-masing konsentrasi karbon yang telah ditentukan ditambahkan dengan komposisi media kultivasi yang lain yaitu 110 g L-1 CSL, 9 g L-1 ammonium sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, kemudian disterilisasi selama 25 menit pada suhu 121oC. Analisis total nitrogen dengan metode Kjedahl (Maligan 2014) Urea, ammonium sulfat, yeast ekstrak dan corn step liquor masing-masing ditimbang sebanyak 0.5 gram kemudian ditambahkan 1 gram selenium dan 10 ml H2SO4 pekat. Semua bahan didekstruksi dalam labu kjedhal dengan kisaran suhu 200– 250o C sampai cairan yang terdapat dalam labu jernih. Sampel dipindahkan kedalam alat distilasi ditambah dengan NaOH dan H3BO3, lalu dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai berwarna abu-abu. Volume HCl yang ditambahkan dibandingkan dengan blanko untuk perhitungan kadar N.
13 Perhitungan jumlah nitrogen (Vol sampel – Vol blanko) x N HCL x 14.01 x Vol pengencer x 100 %Nitrogen = Berat sampel Media kultivasi seleksi nitrogen (Modifikasi metode Farmitalia 2001) Hasil yang diperoleh dari analisis total nitrogen digunakan sebagai acuan dalam penentuan konsentrasi masing-masing bahan yang dijadikan kandidat seleksi. Jumlah nitrogen yang digunakan disetarakan dengan jumlah nitrogen yang terkandung dalam media basal yang terdiri dari gabungan corn step liquor, urea dan ammonium sulfat dengan jumlah nitrogen pada media basal sebesar 99 % N. Komposisi media kultivasi seleksi nitrogen antara lain 7.89 g L-1 urea, 27.53 g L-1 ammonium sulfat, 56.809 g L-1 yeast ekstrak, 68.54 g L-1 corn step liquor hasil fermentasi jagung buatan (CSL biotek), 199.126 g L-1 corn step liquor hasil samping fermentasi jagung (CSL), 20.21 g L-1 ammonium sulfat yang digabung dengan 2.1 g L-1 urea, 110 g L-1 corn step liquor samping fermentasi yang digabung dengan 12.32 g L-1 ammonium sulfat, 110 g L-1 corn step liquor samping fermentasi yang digabung dengan 3.53 g L-1 urea dan gabungan antara 110 g L-1 corn step liquor, 5 g L-1 ammonium sulfat dan 2.1 g L-1 urea secara masing-masing digunakan sebagai sumber nitrogen dan komposisi media kultivasi yang lain yaitu 50 g L-1 malto dekstrin, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element. Penentuan konsentrasi terbaik dari sember nitrogen terpilih (Demian et al. 2006) Konsentrasi corn step liquor: urea: ammonium sulfat yang diuji dalam media kultivasi antara lain 60:1.15:2.73 g L-1, 70:1.34:3.18 g L-1, 80:1.53:3.64 g/L, 90:1.72:4.09 g L-1, 100:1.91:4.55 g L-1, 110:2.1:5 g L-1, 120:2.29:5.45 g L-1, 130:2.71:5.91 g L-1, 140:3.44:6.36 g L-1, 150:4.69:6.82 g L-1 dengan total nitrogen yang diuji pada masing-masing konsentrasi adalah 54, 63, 72, 81, 90, 99, 108, 117, 126, 135 % nitrogen. Masing-masing konsentrasi nitrogen yang telah ditentukan ditambahkan dengan komposisi media kultivasi yang lain yaitu 50 g L1 malto dekstrin, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element. Penentuan konsentrasi DL-methionin Konsentrasi DL-methionin yang diuji dalam media kultivasi antara lain 0.1; 0.2; 0.3; 0.4; 0.5; 0.6; 0.7; 0.8; 0.9 g L-1. Masing-masing konsentrasi DLmethionin yang telah ditentukan ditambahkan dengan komposisi media kultivasi yang lain yaitu 50 g L-1 malto dekstrin, 110 g L-1 corn step liquor, 2.1 g L -1 urea, ammonium sulfat 5 g L-1, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element. Optimasi komposisi media kultivasi untuk produksi sefalosporin C Rancangan optimasi media menggunakan rancangan central composite design (CCD). Rancangan yang digunakan mengandung tiga taraf faktor, yaitu rancangan faktorial 23 yang dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali, starting point
14
(titik awal) yang dilakukan pengulangan 3 kali, dan center point (titik tengah) yang diulang 6 kali dan dikodekan untuk tiap faktor (Tabel 1). Tabel 1. Rancangan percobaan central composite design (CCD) Level faktor yang dikodekan Konsentrasi CSL: urea: No. Rancangan DLsefalosporin Molases ammonium Percobaan Percobaan methionin (mg L-1) (g L-1) sulfat -1 (g L ) (%N) 1 Faktorial -1 -1 -1 Y1 2 -1 -1 1 Y2 3 -1 1 -1 Y3 4 -1 1 1 Y4 5 1 -1 -1 Y5 6 1 -1 1 Y6 7 1 1 -1 Y7 8 1 1 1 Y8 9 Starting 0 -α 0 Y9 10 point 0 α 0 Y10 11 0 0 -α Y11 12 0 0 α Y12 13 -α 0 0 Y13 14 α 0 0 Y14 15 Center point 0 0 0 Y15 Pengertian dari kode diatas yaitu -1 adalah batas bawah, 0 adalah titik tengah, 1 adalah batas atas, dan α adalah starting point. Kultivasi dilakukan dengan menggunakan kultur kocok pada erlenmeyer 250 mL volume kerja 30 mL pada suhu 25ºC, 220 rpm selama 120 jam. Panen ekstrak kasar dan analisa kadar sefalosporin (Farmitalia 2001) Panen dilakukan dengan cara sentrifugasi kaldu hasil kultivasi sefalosporin sebanyak 10 ml pada kecepatan 3000 rpm selama 20 menit pada suhu 4oC. Supernatan diambil sebagai ekstrak kasar dan disentrifugasi kembali pada kecepatan 15000 rpm 4oC selama 15 menit dengan tujuan mengurangi pengotor yang terdapat dalam ekstrak. Supernatan yang terbentuk dianalisis dengan menggunakan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi). Metode KCKT yang digunakan yaitu KH2PO4 dan methanol sebagai fase gerak dengan perbandingan sebesar 55:45 %. Detektor Photo Dioda Array (PDA) UV vis pada λ 254 nm dan kolom C-18 (4.6 x 150 mm). Analisis data Seleksi sumber karbon, nitrogen serta penentuan level konsentrasi dirancang menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) 1 faktor pada tiap-tiap proses penentuan nutrisi. Data yang diperoleh dari masing-masing perlakuan dianalisis sidik ragam (ANOVA). Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata, analisis akan dilanjutkan dengan uji t pada taraf 5% menggunakan software Minitab 14. Konsentrasi sefalosporin C dari media dengan sumber karbon, nitrogen dan DL-methionin terpilih dianalisa dengan analisis ragam untuk melihat perbedaan
15 respon peubah. Data optimasi media diolah menggunakan perangkat lunak Design Expert versi 7 untuk mendapatkan model matematika sebagai berikut:
Y = ao + a1x1i + a2x2i- a3x3i – a11 x12 + a22x22 + a33x32 + a12x1x2+ a13x1x3 + a23x2x3 Keterangan: Y
aoaiaij
:Respon yang muncul dari masing-masing perlakuan (konsentrasi) : Koefisien regresi
x1
: Konsentrasi sumber karbon (g L )
-1
X2 : Konsentrasi sumber nitrogen (%N) X3 : Konsentrasi DL-methionin (g L-1) Persamaan dapat digunakan untuk menghitung media kultivasi optimum antara komposisi sumber karbon dan sumber nitrogen terpilih dengan konsentrasi metionin terbaik. Pemerikasaan lanjutan terhadap model dilakukan dilakukan melalui analisis signifikansi model lack of fit dan R2. Kombinasi terpilih selanjutnya akan di verifikasi pada skala yang sama. Verifikasi hasil optimasi Hasil optimasi yang telah dilakukan didapatkan komposisi yang maksimal dalam produksi sefalosporin. Hal ini perlu dilakukan verifikasi untuk melihat ketepatan model ketika dilakukan pengulangan pada skala yang sama yaitu skala laboratorium. Komposisi media hasil optimasi yang di yang dilakukan verifikasi adalah sebagai berikut 68.28 g L-1 molases, 80 g L-1 CSL, 1.53 g L-1 urea, 3.64 g L-1 ammonium sulfat, 0.4 g L-1 DL-methionin, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, kemudian disterilisasi selama 25 menit pada suhu 121oC. Pengujian yang sama juga dilakukan pada media basal yang digunakan sebelum optimasi untuk produksi sefalosporin. Komposisi media basal yang digunakan adalah sebagai berikut 50 g L-1 malto dekstrin, 110 g L-1 CSL, 9 g L-1 ammonium sulfat, 2.1 g L-1 urea, 5.6 g L-1 MgSO4.7H2O, 10 g L-1 CaCO3, 4 g L-1 parafin dan 10 g L-1 trace element, 0.5 g L-1 DL-methionin. Hasil yang didapat digunakan untuk perbandingan antara media hasil optimasi dan media basal dalam produksi sefalosporin. Masing–masing perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 8 kali.
16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kandungan karbon pada media seleksi sumber karbon Pemilihan sumber karbon diawali dengan melakukan analisis total karbon pada masing-masing bahan yaitu molases, sukrosa, minyak kelapa sawit, malto dekstrin dan glukosa. Hasil analisa tersebut digunakan sebagai acuan untuk menentukan konsentrasi masing-masing sumber karbon yang digunakan dalam proses seleksi sumber karbon terbaik. (Lee et al. 2010). Hasil analisis total karbon yang terdapat dalam Tabel 2 menunjukkan jumlah karbon dalam masing-masing bahan. Jumlah karbon yang digunakan disesuaikan dengan jumlah karbon yang terkandung dalam malto dekstrin sebagai sumber karbon media basal. Hal ini dilakukan agar perbandingan karbon dalam masing-masing bahan di dalam media kultivasi dalam jumlah yang sama. xTabel 2. Kandungan total karbon pada masing-masing bahan Kandungan C dalam Bobot sumber karbon Bahan masing masing bahan yang dibutuhkan (g L-1) 38.54 41 Molases 40.75 39 Glukosa 42.22 37 Sukrosa 31.93 50 Malto dekstrin 67.72 23 Minyak kelapa sawit Pemilihan jenis sumber karbon terbaik Sumber karbon berfungsi dalam penyediaan kebutuhan energi untuk pertumbuhan mikroba dan juga dapat berfungsi sebagai substrat untuk enzim yang diperlukan oleh mikroba (Riadi 2007). Seleksi karbon yang dilakukan dari berbagai sumber karbon secara masing-masing yaitu malto dekstrin, molases, sukrosa, glukosa dan minyak sawit menghasilkan molases sebagai sumber karbon terbaik (Gambar 4). Mandenius (2011) menyatakan bahwa molases termasuk media komplek, didalamnya selain masih terdapat kandungan gula yang cukup tinggi juga terdapat kandungan mineral seperti Mg, Ca, Fe dan Zn yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan mineral mikroorganisme. Kandungan gula yang terdapat didalam molases juga beragam yaitu sukrosa dan beberapa gula reduksi dalam bentuk yang sederhana diantaranya adalah glukosa.. Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar mengikuti lintasan Embeden-Meyerhof (Ngili 2009). Glukosa dikonversi menjadi glukosa-6-fosfat yang selanjutnya dalam beberapa tahapan dikonversi menjadi asam piruvat. Jumlah glukosa yang berlebih akan medorong pertumbuhan yang cepat sehingga kurang tepat jika digunakan dalam menghasilkan sefalosporin yang merupakan produk metabolit sekunder, yang dihasilkan bukan pada fase pertumbuhan melainkan pada fase stasioner (Cai et al. 2013). Menurut Hoque et al. (2003) menyatakan bahwa untuk memproduksi metabolit sekunder akan didapatkan produk dalam jumlah yang tinggi jika menggunakan substrat dalam bentuk gula komplek. Hal ini sebanding dengan hasil yang didapatkan (Gambar 4) ketika menggunakan molases sebagai sumber karbon. Diketahui bahwa dalam molases selain kandungan sukrosanya yang tinggi juga terdapat glukosa yang dapat dimanfaatkan secara langsung untuk menjaga pertumbuhan sel, disisi lain
17
Sefalosporin (mg L-1)
kandungan glukosa yang terbatas dalam molases mengharuskan sel untuk menggunakan sukrosa sebagai sumber karbon selanjutnya. Hal ini akan mengakibatkan sel tidak terfokus pada pertumbuhannya karena harus memecah sukrosa menjadi gula yang lebih sederhana untuk dapat digunakan, sehingga ketika pertumbuhan sel terhambat sel akan memasuki fase stasioner dimana metabolit sekunder dihasilkan. Lintasan metabolisme sukrosa diawali dengan mengkonversi sukrosa terlebih dahulu menjadi glukosa dan fruktosa menggunakan enzim invertase yang berlanjut menjadi fruktosa-6-fosfat oleh enzim fruktokinase sampai terbentuknya asam piruvat yang selanjutnya piruvat yang dihasilkan digunakan dalam siklus asam sitrat (Chakraborty 2013) Sebagai antibiotik, sefalosporin dihasilkan oleh kapang pada akhir fase pertumbuhannya dengan mengkatalis enzim sefalosporin C sintetase (asetiltransferase), yang melibatkan transfer satu gugus asetil dari koenzim asetil A ke gugus hidroksimetil atom C-3 pada deasetilsefalosporin C (Schmitt et al. 2004). Enzim yang berperan dalam proses pembentukan sefalosporin dihasilkan dengan menggunakan sumber karbon sebagai substrat untuk menghasilkan piruvat. Pada tahap selanjutnya piruvat diubah menjadi asetil-koA untuk bisa digunakan dalam proses metabolisme. Menurut Ruiz (2010) enzim yang telah dibentuk, pada fase akhir pertumbuhan kapang akan digunakan untuk mengkatalis produk metabolit sekunder yaitu sefalosporin. 4000 a b 3500 3000 c 2500 d 2000 1500 e 1000 500 0 M.D M S M.K.S G Jenis sumber karbon Gambar 4. Pengaruh jenis sumber karbon (MD= Malto dekstrin, M= Molases, S= Sukrosa, G= Glukosa M.K.S= Minyak sawit) terhadap produksi sefalosporin. Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata perlakuan pada taraf uji 5% Penentuan level konsentrasi karbon terpilih untuk produksi sefalosporin pada Acremonium chrysogenum Hasil percobaan menunjukkan konsentrasi molases sebagai sumber karbon terpilih berpengaruh nyata terhadap produksi sefalosporin. Terlihat pada Gambar 5, sefalosporin maksimal pada molases konsentrasi 70 g L-1, dengan penambahan konsentrasi molases membuat produksi sefalosporin menurun secara signifikan. Ruiz (2010) menyatakan bahwa kapang A.chrysogenum cenderung mengalami mekanisme penghambatan produksi sefalosporin oleh sumber karbon yang berlebih. Hal ini disebabkan asetil-koA yang dihasilkan dalam siklus krebs ketika jumlah karbon mencapai jumlah tertentu menghasilkan korepresor untuk
18
Sefalosporin (mg L-1)
menginaktifkan gen CreA yang merupakan penghasil enzim asetiltransferase sehingga gen CreA tidak dapat di trasnkripsi (Ramos et al. 2004). 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
b c f
10
b
b
a d
e
20 30 40 50 60 konsentrasi molases (g L-1)
70
80
e
90
Gambar 5. Pengaruh level konsentrasi molases terhadap produksi sefalosporin. Huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata perlakuan pada taraf uji 5%.
Analisis kandungan nitrogen pada media seleksi sumber nitrogen Pemilihan sumber nitrogen diawali dengan melakukan analisis total nitrogen pada masing-masing bahan yaitu urea, ammonium sulfat, yeast ekstrak, corn step liquor hasil fermentasi jagung buatan (CSL Biotek), corn step liquor hasil limbah fermentasi jagung (CSL). Hasil analisa tersebut digunakan sebagai acuan untuk menentukan konsentrasi masing-masing sumber nitrogen yang digunakan dalam proses seleksi sumber nitrogen terbaik (Lee et al. 2010). Hasil analisa total nitrogen yang terdapat dalam Tabel 3 menunjukkan jumlah nitrogen dalam masing-masing bahan. Jumlah nitrogen yang digunakan disesuaikan dengan jumlah nitrogen yang terkandung dalam media basal. Hal ini dilakukan agar perbandingan nitrogen dalam masing-masing bahan di dalam media kultivasi dalam jumlah yang sama. Tabel 3. Kandungan total nitrogen dalam masing-masing bahan seleksi sumber nitrogen Kandungan N dalam Bobot sumber nitrogen Bahan masing masing bahan yang dibutuhkan (g L-1) 56.00 Yeast ekstrak 10.34 199.12 CSL Standart 2.95 7.89 Urea 74.39 27.53 Ammonium Sulfat 21.34 68.54 CSL Biotek 8.57 Pemilihan jenis sumber nitrogen untuk produksi sefalosporin pada Acremonium chrysogenum Riadi (2007) menyatakan bahwa sumber nitrogen berfungsi sebagai penyedia protein dan asam amino bagi kebutuhan nutrisi mikroba selama proses pertumbuhannya. Berdasarkan seleksi nitrogen yang dilakukan bahwa penggunaan sumber nitrogen secara bersama-sama antara corn step liquor (CSL), urea dan ammonium sulfat merupakan sumber nitrogen terbaik (Gambar 6).
19
Sefalosporin (mg L-1)
Manfaati (2010) menyatakan bahwa penggunaan ammonium sulfat dalam media kultivasi menghasilkan kondisi asam karena ion ammonium yang dikonsumsi akan melepaskan asam bebas. Ion ammonium dalam kultur jamur akan menghambat penyerapan asam amino, sehingga asam amino yang tersedia dalam media tidak digunakan secara keseluruhan untuk pertumbuhan, sedangkan penggunaan urea dalam media kultivasi menurut Cao (2009) berfungsi untuk mempertahankan pH di dalam media kultivasi yang cenderung meningkat akibat perombakan asam amino, Sedangkan CSL merupakan sumber nitrogen yang yang kaya akan asam amino yang dibutuhkan dalam biosistesis sefalosporin (Brakhage 2012). Kandungan asam amino yang terdapat dalam CSL diantaranya adalah valin dan sistein yang merupakan salah satu asam amino unsur penyusun jalur biosintesis sefalosporin (Schmitt et al. 2004). Sesuai dengan asumsi awal bahwa dengan penggunaan ketiga sumber nitogen yaitu CSL, urea dan ammonuim sulfat secara bersama-sama dengan fungsi yang sinergi pada jalur metabolisme kapang akan meningkatkan produksi sefalosporin. 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
a c d d
d
Urea
A.S
d d
Y.E
b
CSL Biotek
d
CSL U+A.S CSL + CSL + CSL+ A.S U U+ A.S
Jenis sumber nitrogen Gambar 6. Pengaruh jenis nitrogen (A.S= Ammonium sulfat, U= Urea, YE= Yeast ekstrak, CSL= Corn step liquor terhadap produksi sefalosporin. Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata perlakuan pada taraf uji 5% Penentuan level konsetrasi sumber nitrogen untuk produksi sefalosporin pada Acremonium chrysogenum Hasil percobaan menunjukkan konsentrasi CSL, urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen terpilih berpengaruh nyata terhadap produksi sefalosporin. Terlihat pada Gambar 7 sefalosporin maksimal pada total nitrogen dengan konsentrasi 72 %N. Penambahan konsentrasi nitrogen membuat produksi sefalosporin menurun secara signifikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tudzynski (2014) yang menyatakan bahwa nitrogen merupakan unsur yang penting untuk pertumbuhan kapang karena digunakan untuk menyusun asam amino yang digunakan untuk pertumbuhan, selain itu nitrogen juga digunakan untuk biosintesis sefalosporin. Jumlah nitrogen yang tinggi justru akan menekan produksi sefalosporin. Li et al. (2013) menyatakan bahwa konsentrasi nitrogen yang tinggi menyebabkan efek represi. Fenomena katabolik represi nitrogen amonium sulfat telah dilaporkan mempengaruhi banyak enzim katabolik,
20
Sefalosporin (mg L-1)
termasuk yang memainkan peran penting dalam biosintesis sefalosporin seperti pada transkripsi gen AreA yang merupakan gen penyandi ko-repressor . 4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
a
b
c
c
c
c
c
c
c d
54
63
72
81
90
99
108
117
126
135
Konsentrasi total nitrogen dalam gabungan CSL, urea dan A. sulfat (%N) Gambar 7. Pengaruh level konsentrasi nitrogen terhadap produksi sefalosporin. Keterangan: huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata perlakuan pada taraf uji 5%
Sefalosporin (mg L-1)
Penentuan level konsetrasi DL-methionin untuk produksi sefalosporin pada Acremonium chrysogenum Penentuan level konsentrasi DL-methionin dilakukan untuk mengetahui batas toleransi penggunaan methionin dalam media kultivasi untuk produksi sefalosporin. Methionin pada media kultivasi kapang A. chrysogenum berfungsi sebagai sumber sulfur, selain itu juga berfungsi sebagai penginduksi Isopenisilin N sintetase. Pada pengujian level konsentrasi (Gambar 8) penggunaan methionin dengan konsentrasi 0.4 g L-1 menghasilkan sefalosporin tertinggi. Menurut Martian (2012) methionin dalam media produksi sefalosporin mempunyai fungsi sebagai penginduksi enzim yang berperan dalam jalur biosisntesis sefalosporin, selain itu methionin juga berfungsi menstimulasi kapang A. chrysogenum dalam pembentukan arthrospora yaitu fase dimana sefalosporin optimal dihasilkan, tetapi dengan penggunaan methionin yang berlebihan akan bersifat racun pada kapang karena methionin dalam biosintesis sefalosporin oleh A. chrysogenum berfungsi juga sebagai sumber sulfur, sulfur akan direduksi menjadi sulfida dan sebagian dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida yang keberadaannya bersifat racun (Lee et al. 2010). 5000 4000
a b
3000
b
b
b
b
c
b c
2000 1000 0 0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Konsentrasi DL-Methionin (g L -1) Gambar 8. Pengaruh level konsentrasi DL-methionin terhadap produksi sefalosporin. Huruf yang berbeda menunjukkan beda nyata perlakuan pada taraf uji 5%
21 Optimasi komposisi media produksi sefalosporin oleh kapang A. chrysogenum Optimasi medium fermentasi A. chrysogenum menggunakan rancangan percobaan Central Composite Design (CCD) (Box & Draper 2007) dengan kombinasi tiga faktor perlakuan yaitu molases sebagai sumber karbon (X1, g L-1), gabungan CSL, urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitogen (X2, %N) dan DL-methionin sebagai induser (X3, g L-1) yang merupakan variabel bebas dan konsentrasi sefalosporin (Y2, mg L-1) yang merupakan variabel terkontrol. Rancangan optimasi ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4. Level konsentrasi masing-masing faktor pada central composite design Level Faktor Kode -1.682 -1 0 1 1.682 Molases (g L-1) X1 53.18 60 70 80 86.82 CSL, urea, ammonium sulfat X2 55.18 62 72 82 88.82 (% N) DL-methionin (g L-1) X3 0.23 0.30 0.40 0.50 0.57 Rancangan percobaan CCD terdiri dari faktorial, starting point, dan center point. Faktorial berjumlah delapan unit percobaan dengan tiga kali ulangan. Starting point berjumlah enam unit percobaan dengan tiga kali ulangan, sedangkan center point berjumlah satu unit percobaan dengan enam kali ulangan. Sehingga total unit percobaan menjadi 48. Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada 48 unit percobaan (Lampiran 14). Hasil optimasi dengan pengujian statistika pada konsentrasi sefalosporin sebagai respon ditampilkan pada Lampiran 15. Hasil analisis varian beberapa model menunjukkan bahwa model kuadratik vs 2FI secara nyata (nilai p = 0.0001) dapat menjelaskan data yang diperoleh. Selanjutnya, uji ketidakcocokan model (lack of fit) menunjukkan bahwa model kuadratik secara nyata menunjukkan nilai lack of fit yang tidak signifikan (nilai p=0.0622) dan merupakan model yang disarankan (Lampiran 14). Model kuadratik memiliki nilai R-squared paling besar diantara yang lain yaitu 0.9139. Nilai R-squared ini menunjukkan bahwa ketiga variabel berpengaruh terhadap keragaman respon sebesar 91.39 % sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti (Dasari et al. 2009). Nilai PRESS (prediction error sum of squares) untuk model kuadratik paling rendah, hal ini menunjukkan bahwa model kuadratik adalah model yang paling baik dibandingkan yang lain. Hasil analisis varian untuk model kuadratik (Tabel 5) menunjukkan bahwa model kuadratik secara signifikan (nilai p <0.0001) dapat mempengaruhi respon yang dihasilkan. Pengaruh molasses sebagai sumber karbon, gabungan CSL, urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitogen dan DL-methionin secara linier menunjukkan hasil yang signifikan menunjukkan pengaruh terhadap respon yaitu konsentrasi sefalosporin hal ini dikarenakan nilai (p <0.05), sedangkan secara interaksi hanya interaksi antara molses dan gabungan CSL, urea dan ammonium sulfat yang tidak signifikan (p>1.024). Pengaruh model kuadratik menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05). Hasil lack of fit yang tidak signifikan (nilai p > 0.622) menunjukkan bahwa model kuadratik merupakan model yang tepat. Perbandingan nilai mean square lack of fit dengan pure error menghasilkan uji F yang apabila hasilnya tidak signifikan mengindikasikan bahwa model tersebut
22
adalah model yang tepat (Cui et al. 2005). Dengan demikian model kuadratik adalah model yang mewakili respon dan digunakan untuk optimasi komposisi media produksi sefalosporin dari kapang A.chrysogenum. Tabel 5. Analisis varian dan Lack of Fit Test terhadap permukaan respon model kuadratik Sum of Mean F p-value Source df Squares Square Value Prob > F Model 9776960.0 9 1086329 44.7964 < 0.0001 Signifikan X1 Molases 678696.9 1 678696 27.9871 < 0.0001 X2 CSL, urea dan a. sulfat 122165.7 1 122165 5.0377 0.0307 X3 DLmethionin 103192.0 1 103192 4.2553 0.0460 X1X2 67947.7 1 67947 2.8019 0.1024 X1X3 237461.6 1 237461 9.7921 0.0034 X2X3 1135185.0 1 1135185 46.8111 < 0.0001 2 X1 3560193.0 1 3560193 146.8100 < 0.0001 2 X2 6391890.0 1 6391890 263.5794 < 0.0001 X32 2933433.0 1 2933433 120.9646 < 0.0001 Residual 921512.9 38 24250 Tidak 2.3539 0.6220 Lack of Fit 242257.9 5 48451 signifikan Pure Error Total
679255.0 10698473.0
33 47
20583
Model kuadratik yang dapat menjelaskan data pengaruh komposisi media terhadap kadar sefalosporin yang diperoleh adalah: Y = 3863 - 128.71X1 - 54.61X2 - 50.19X3 - 53.21X1X2 - 99.47X1X3 - 217,48X2X3 - 357.91 X12 - 479.57X22 - 324.88X32 Persamaan matematika diatas menjelaskan bahwa, Y merupakan konsentrasi sefalosporin, X1 adalah konsentrasi molases sebagai sumber karbon (g L-1), X2 adalah konsentrasi CSL, urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen (%N), dan X3 adalah konsentrasi DL-methionin (g L-1). Persamaan di atas menunjukkan bahwa molasses, gabungan CSL, urea, ammonium sulfat serta DLmethionin mempunyai pengaruh terhadap sefalosporin yang dihasilkan A. chrysogenum dalam media kultivasi. molases, gabungan CSL, urea, ammonium sulfat serta DL-methionin berpengaruh secara kuadratik. Hal ini menunjukkan bahwa Molasses, gabungan CSL, urea, ammonium sulfat serta DL-methionin mempunyai hubungan langsung dengan konsentrasi sefalosporin yang disintesis A. chrysogenum. Tanda negatif (-) pada koefisien kuadratik (X12, X22, dan X32) menunjukkan bahwa grafik respon yang diperoleh adalah maksimum atau grafik parabola terbuka ke bawah (Jayati et al. 2004). Plot permukaan respon sebagai fungsi antara dua variabel dari tiga variabel yang diujikan akan lebih memudahkan untuk melihat pengaruh dari variabelvariabel tersebut. Hubungan antara Molases, gabungan CSL, urea, ammonium
23 sulfat dalam bentuk permukaan respon dan kontur plot disajikan pada Gambar 9. Kenaikan konsentrasi molases, gabungan CSL, urea, ammonium sulfat berpengaruh terhadap produksi sefalosporin dari A. chrysogenum dengan pengaruh yang relatif sama. Konsentrasi molases di atas 70 g L-1 level (0) dan konsentrasi gabungan CSL, urea, ammonium sulfat di atas 72 g L-1 level (0) mengakibatkan penurunan produksi sefalosporin. Tidak ada interaksi antara molases dengan gabungan CSL, urea, ammonium sulfat (p = 0.1024).
a b Gambar 9. Hubungan antara molases dan gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dalam bentuk kontur plot (a) dan permukaan respon (b) Hubungan antara molases dan DL-methionin dalam bentuk permukaan respon dan kontur plot disajikan pada Gambar 10. Kenaikan konsentrasi molases dan DL-methionin berpengaruh terhadap produksi sefalosporin. Konsentrasi molases di atas 70 g L-1 level (0) menyebabkan penurunan produksi senyawa aktif, hal yang sama juga terjadi pada konsentrasi DL-methionin di atas 0.4 g L-1 level (0) menurunkan produksi sefalosporin. Terdapat interaksi antara molases dengan DL-methionin (p=0.0034).
a b Gambar 10. Hubungan antara molases dan DL-methionin dalam bentuk kontur plot (a) dan permukaan respon (b) Hubungan antara gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dan DL-methionin dalam bentuk permukaan respon dan kontur plot disajikan pada Gambar 11. Kenaikan konsentrasi gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dan DL-methionin berpengaruh terhadap produksi sefalosporin. Konsentrasi gabungan CSL, urea,
24
ammonium sulfat di atas 72 %N level (0) mengakibatkan penurunan produksi sefalosporin, hal yang sama juga terjadi pada konsentrasi DL-methionin di atas 0.4 g L-1 level (0) menurunkan produksi sefalosporin. Terdapat interaksi antara gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dan DL-methionin (p=0.0001).
a b Gambar 11. Hubungan antara gabungan CSL, urea, ammonium sulfat dan DLmethionin dalam bentuk kontur plot (a) dan permukaan respon (b) Verifikasi Model Maksimum konsentrasi sefalosporin berdasarkan model diprediksi sebesar 3876 mg L-1 dengan komposisi media 68.28 g L-1 molases, 71.61 %N yang merupakan gabungan corn step liquor, urea dan ammonium sulfat dan 0.4 g L-1 DL-methionin. Hasil optimasi tersebut mempunyai desirability (R2) sebesar 0.9871 (Tabel 6). Komposisi media hasil optimasi diverifikasi ulang sebanyak delapan kali ulangan. Verifikasi komposisi media optimal menghasilkan sefalosporin sebesar 3696 mg L-1 (Lampiran 18). Konsentrasi ini mencapai 95.36% dari hasil yang diprediksi oleh model (Tabel 6). Menurut Xu et al. 2008 hasil verifikasi prediksi model dengan ketepatan pengulangan sebesar lebih dari 90% menyatakan bahwa pengunaan model untuk optimasi sudah sesuai, sedangkan selebihnya dipengaruhi oleh variabel lain dalam media kultivasi yang tidak diteliti (Spolaore et al. 2006). Tabel 6. Komposisi media hasil prediksi optimasi model yang akan diverikasi Batas Upper Nama Tujuan Batas atas Lower Weight bawah Weight Dalam Molasses 60 80 1 1 kisaran CSL, urea, Dalam 62 82 1 1 A.sulfat kisaran DLDalam 0.3 0.5 1 1 methionin kisaran F Maksimal 2018.53 3897 1 1 4 CSL, DLKomposisi molases urea, [Sefalosporin] Desirability methionin media yang a.sulfat diverifikasi 68.28 71.61 0.4 3876 0.989106
25
Sefalosporin (mg L-1)
Konsentrasi optimal sumber karbon, nitrogen dan DL-methionin terbukti meningkatkan produksi sefalosporin. Meskipun hasil verifikasi masih dibawah prediksi akan tetapi optimasi dengan metode respon permukaan mampu meningkatkan produksi sefalosporin 1.48 kali dibandingkan sebelum dilakukan optimasi, hasil yang didapatkan sebelum optimasi dengan menggunakan media basal yaitu menghasilkan konsentrasi sefalosporin sebesar 2487 mg L-1 (Gambar 12). Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan variabel serta level variabel pada optimasi media kultivasi sudah tepat. 5000 4000 3000 2000 1000 0 Hasil verifikasi model Media basal Perlakuan sebelum dan sesudah optimasi Gambar 12. Perbandingan hasil produksi sefalosporin sebelum dan sesudah optimasi
26
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1 Seleksi karbon menghasilkan molases sebagai sumber karbon terbaik dan pada pengujian level konsentrasi, molases pada level 70 g L-1 merupakan konsentrasi terbaik dalam menghasilkan sefalosporin. 2 Hal yang sama juga dilakukan pada seleksi sumber nitrogen menghasilkan gabungan antara corn step liquor, urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen terbaik dan pada pengujian level konsentrasi, gabungan corn step liquor, urea dan ammonium sulfat dengan total nitrogen 72%N merupakan konsentrasi terbaik dalam menghasilkan sefalosporin. 3 Prediksi model hasil optimasi menggunakan metode respon permukaan menghasilkan sefalosporin sebesar 3876 mg L-1 dengan komposisi yaitu 68.28 g L-1 molases sebagai sumber karbon, 71.61 %N yang merupakan gabungan corn step liquor, urea dan ammonium sulfat sebagai sumber nitrogen dan 0.4 g L-1 DL-methionin, setelah dilakukan verifikasi komposisi media optimal dihasilkan sefalosporin sebesar 3696 mg L-1. Hasil optimasi ini meningkatkan produksi sefalosporin sebesar 1.48 kali dibandingkan media basal (sebelum dioptimasi). Saran Optimasi produksi sefalosporin dalam penelitian ini masih merupakan model dasar yang datanya diperoleh dari kultivasi kultur kocok. Faktor lain yang sekiranya mempengaruhi seperti suhu, pH juga perlu dilakukan optimasi. Disamping itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk memvalidasi hasil optimasi dalam skala bioreaktor (fermentor). Kultivasi dalam skala bioreaktor terkendali diharapkan dapat memudahkan untuk optimasi kondisi proses dibandingkan dengan menggunakan kultur kocok.
27
DAFTAR PUSTAKA Abbas A, Valez H, Dobson AD. 2009. Analysis of the effect of nutritional factors on OTA and OTB biosynthesis and polyketide synthase gene expression in Aspergillus ochraceus. Int. J. Food Microbiol. 135: 22–27. Box GEP, Draper NR. 1987. Response Surfaces, Mixtures, and Ridge Analyses. Hoboken. John Wiley & Sons, Inc. Hlm 81-83. Brakhage AA. 2012. Regulation of fungal secondary metabolism. Nature Microbiol. 89:15-21. Caltexmold. 1986. Manufacturer of Ecologically Safe Products. http://www. caltexmoldservices. com/Caltex/section/ mold_library/ acremonium_sp/. Diakses tanggal 6 September 2015. Cai W, Gu X, Tang J. 2013. Extraction and preliminary structure discussion of soluble opuntia milpa alta polysaccharide. Food.Chemist. 23: 68-71. Chakraborty T. 2013. Influence of media constitutions on the biosynthesis of cephalosporin C. Recent. Research. Science. Technol. 5(2): 49-51. Cao K, Altaba H, Kalama K. 2009. Nitrogen source governs the pattern of growth and prostinamycein production in Streptomyces pristinaespiralis. Microbiol. 147: 2447-2459. Cheng S, Rhee EP, Sinha S, Florez JC, Magnusson M, Pierce KA, Souza AL, Clish CB, Gerszten RE. 2013. α-Aminoadipic acid is a biomarker for diabetes risk. J. Clin. Invest. 123 (10): 4309–4317. Cui FJ, Li F, Xu ZH, Xu HY, Sun K, Tao WY. 2006. Optimization of the medium composition for the production of mycelial biomass and exo-polymer by Grifola frondosa GF 9801 using response surface methodology. Bioresour.Technol 97:1209-1216. Curropin K. Allergy Clinical Immunology. 2005. UK. Lippincott Williams & Wilkoins. Hlm 57-59. Dasari VR, Donthireddy SR, Murali Y, Hanumantha R. 2009. Optimization of medium constituents for Cephalosporin C production using response surface methodology and artificial neural networks. J.Biochem.Tech. 1(3):69-74. Dancer SJ. 2011. The Problem with cephalosporin. J.Antimicrob.Chemoterapy. 48:462-478. Demian AL, Vaishnav P, Mathius IW. 2006. Involvement of nitrogen-containing compounds in beta-lactam biosynthesis and its control. Biotechnol. 26(2): 67-82. [Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pelayanan Informasi Obat Nasional. Jakarta. Dirjen YanFar dan Alkes. Hlm 62. Edwinoliver NG, Thirunavukarasu K, Purushothaman S, Rose C, Gowthaman MK, Kamini NR. 2009. Corn Steep Liquor as a Nutrition Adjunct for the Production of Aspergillus niger Lipase and Hydrolysis of Oils Thereof. J. Agric. Food Chem. 57 (22): 34-45. Elander RP. 2003. Industrial production of β-lactam antibiotics. Appl.Microbiol. Biotechnol. 61: 385–392. Farmitalia CE. 2001. Beta lactam derivates. US Paten No 5077286.
28
Horwitz W. 2000. Official methods of analysis of AOAC International. 17th edition, volume 1I agricultural chemical, contaminants, drugs. Maryland USA. AOAC International. Hlm 79-80. Heo SH, Hou CT, Kim BS. 2009. Production of Oxygenated Fatty Acids from Vegetable Oils by Flavobacterium sp strain DS5. J. Biotechnol. 26: 105108. Hoque MM, Noor R, Nurun N, Khan MR, Khan ZUM. 2003. Maltase activity of Streptomyces roseolus isolated from Bangladesh soil. Bangladesh. J. Botanical. 20:31-35. Jayati RD, Pranab KD, Rintu B. 2004. Optimization of culture parameters for extra cellular protease production from a newly isolated Pseudomonas Sp. under response surface and artificial neural network models. Process. Biochem. 39: 2193-2198. Jared MR, Gurinderbir S, Chahal K, William GJ. 2013. The Effect of Cations and urea on the Efficacy of Dicamba and 2,4-D. Weed. Technol. 27(1):72-77. Jerums M, Jeremi H, Yang X. 2005. Optimization of Cell Culture Media. Bioprocess. International. 69(18): 90-102. [Kemenkes] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta. Hlm 53-55. Kim YS, Wim GJ. 2001. Structure of Cephalosporin Acylase in Complex with Glutaryl-7-aminocephalosporanic acid and Glutarate: Insight into the Basis of Its Substrate Specificity. Chemist. Biol. 12(8):1253-1264. Lee MS, Lim JS, Kim CH, Kyung K, Suk IH. 2010. Effect of nutrient and culture conditions on morphology in the seed culture of Acremonnium chrysogenum ATCC 20339. Biotechnol. Bioprocess. Eng. 6: 156-160. Li Y, Yuanyuan P, Gang L. 2013. Disruption of the nitrogen regulatory gene AcareA in Acremonium chrysogenum leads to reduction of cephalosporin production and repression of nitrogen metabolism. Genetics. Biol. 61: 69– 79. Lotfy AW. 2007. Production of cephalosporin C by Acremonium chrysogenum grown on beet molasses optimization of process parameters through statistical experimental designs. J. Research. Microbiol. 2(1) : 1-12. Maligan JM. 2014. Food chemistry protein analysis. Malang. Brawijaya press. Hlm 83-84. Manfaati R. 2010. Kinetika dan variabel optimum fermentasi asam laktat dengan media campuran tepung tapioka dan limbah cair tahu oleh Rhizopus oryzae [TESIS]. Semarang (ID). Universitas Diponegoro. Hlm 29-30. Mandenius CF, Brundin A, Lepholin G. 2008. Bioprocess Optimization Using Design of Experiment Methodology. J. Biotechnol. 24: 1191-1203. Margret S, Barbara M, Maye CS, Rüdiger H, Markus W. 2013. Methionine salvage and S-adenosylmethionine: essential links between sulfur, ethylene and polyamine biosynthesis. J. Biochem. 451 (2) 145-154. Martian JF. 2012. Unraveling the methionin cephalosporin puzzle in Acremonium chrysogenum. Trends. Biotechnol. 20: 502-507. Masami K, Takahiro S, Xinyu H, Kiyoshi T. 2004. N-Boc-l-Valine-Connected Amidomonophosphane Rhodium (I) Catalyst for Asymmetric Arylation of N-Tosylarylimines with Arylboroxines. J. Am. Chem. Soc. 126 (26): 8128– 8129.
29 Moat, A.G., Foster, J.W., Spector, M.P. 2002. Microbial physiology 4th edition. New York: John Wiley & Sons inc Publication. Hlm 265-267. Montgomery DC. 2001. Design and Analysis of Experiment 5th Edition. NewYork. John Willey and Sons, Inc. Hlm 99-101. Muniz C, Tania EC, Gabriela R, Francisco E. 2007. Penicllin and cephalosporin production: A Historical Perspective. J.Appl.Microbiol. 49(3): 88-98. Ngili Y. 2009. Biokimia, Metabolisme dan Bioenergitika. Yogyakarta. Graha ilmu. Hlm 86-89. Nigam VK, Verma R, Kumar A, Kundu S, Ghosh P. 2007. Influence of medium constituents on the biosynthesis of cephalospoin. Elec. J. Biotechnol. 10(2): 230-239 DOI: 10.2225. Palamakula K, Nutan S, Khan MA. 2004. Response surface methodology for optimation and characterization of limonene-based coenzyme Q1O selfnanoemulsified cap suledosage form. Apps. Pharm. Sci. Tech. 5(4): 1-8. [Permenkes] Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/ Menkes/ Per/ XII/ 2011. Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta. Menkes. Hlm 15-17. Pollegioni L, Elena R, Gianluca M. 2013. Cephalosporin c acylase: dream and (/or) reality. Appl. Microbiol. Biotechnol. 97: 2341–2355. Ramos I, Guzman S, Escalante L, Imriskova I, Rodríguez S R, Sanchez S, Langley E. 2004. Glucose kinase alone cannot be responsible for carbon source regulation in Streptomyces peucetius var caesius. Research. Microbiol. 155: 267–274. Riadi MM. 2007. Production of Glucoamylase by Marine Endophytic Aspergillus sp.JAN-25 under Optimized Solid-state Fermentation Conditions on Agro Residues. Australian .J. Basic. Applied. Sci. 6: 41-54. Ruiz B, Adan C, Angela F. 2010. Production of microbial secondary metabolites: Regulation by the carbon source. Microbiol. 36(2): 146–167. Satriaji M, Mandenius, CF, Brundin A. 2008. Bioprocess Optimization Using Design of Experiment Methodology. J. Biotechnol. 24: 1191-1203. Schmitt EK, Hoff B, Kuck U. 2004. Regulation of sefalosporin biosynthesis. Adv. Biochem. Eng. Biotechnol. 88(5): 1–43. Shen YQ, Wolfe S, Demain AL. 2006. Levels of Isopenicillin N Synthetase and Deacetoxycephalosporin C Synthetase in Acremonium chrysogenum Producing High and Low Levels of Cephalosporin C. J. Biotech. 5(4): 6163. Spolaore P, Claire JC, Elie D, Arsene I. 2006. Optimization of Nannochloropsis oculata growth using the response surface methodology. J. Chem. Technol. Biotechnol 81:1049–1056. Srivastava P, Mishra P, Kundu S. 2006. Process strategies for cephalosporin c fermentation. J. Sci. Industrial. Research. 65: 599-602. Steibing A. 2011. Yeast Extract–a Natural Ingredient with a Tradition. http://www.yeastextract.info/yeast-extract. diakses pada tanggal 12 Desember 2013 Tollnick C, Seidel G, Beyer M, Schugerl K.2004. Investigations of the production of Cephalosporin C by Acremonium chrysogenum. Adv. Biochem. Eng. Biotech. 86(2):1-45.
30
Tornisielo SM, Viera JM, Cecilia M, Carneiro VS, Govone JS. 2007. Fatty acid production by four strains of mucor hiemalis grown in plant oil and solube carbohidrates. Afric. J. Biotechnol. 6:1840-1848. Tudzynski B. 2014. Nitrogen regulation of fungal secondary metabolism in fungi. Microbiol. 5:1-15. Vastrad BM, Shivayageeswar EN. 2014. Optimizing the medium conditions for production of tetracycline by solid state fermentation of Streptomyces aureofaciens NCIM 2417 using statistical experimental methods. Bioscience. Eng. 8(1): 34-42. Wagner D, Wiemann P, Hu K, Brandt U, Fleiner A, Tudzynski B. 2013. A sensing role of the glutamine synthetase in the nitrogen regulation network in Fusarium fujikuroi. Adv. Appl. Microbiol.17:311-319. Waites MJ, Morgan NL, Rockey JS, Higton G. 2001. Industrial Microbiology: An Introduction. UK. Blackwell Science Ltd. Hlm 198-200. Xu YX , Yan LI, Shao CX, Yong L, Xin W, Jiangwu T. 2008. Improvement of xylanase production by Aspergillus niger XY-1 using response surface methodology for optimizing the medium composition. J. Zhejiang. Univ.Sc. 9(7): 558-566. Zain WS, Illias WM, Salleh RM, Hassan MM, Rahman, RA, Hamid AA. 2007. Production of Cyclodextrin Glucanotransferase from Alkalophilic Bacillus sp.TS1-1: Optimization of Carbon and Nitrogen Concentration in the Feed Medium using Central Composite Design. J. Biochem. Eng. 33: 26–33. Zhenxing Z, Zhengang Z, Ping Y. 2008. Influence of Solubility of Ammonium Sulfate Caused by Decreasing pH or Adding Fe3+from (288.15 to 359.15). J. Chem. Eng. Data. 53 (2): 564–565. Zhu X, Hui L, Yanhong C, Houbo S, Qiang L, Huimin Y, Zhongyao S. 2011. Characteristic of immobilized cephalosporin C acylase and its application in one-step enzymatic conversion of cephalosporin C to 7aminocephalosporanic acid. J. Microbiol. Biotechnol. 27: 823–829.
31 Lampiran 1. Analisa kandungan karbon dari masing-masing sumber karbon yang digunakan untuk optimasi medium kultivasi Perhitungan jumlah karbon *
(
*
Sumber karbon
Berat sampel (g)
Blanko Molases Glukosa Sukrosa Malto dekstrin Minyak
0.40 0.40 0.40 0.40 0.31
)+ (
Vol titran (FeSO4)
)+
% Karbon
10.72 19.00 16.00 14.00 28.00 0.02
38.54 40.75 42.22 31.93 67.72
Bobot sumber karbon yang dibutuhkan (g L-1) 41 39 37 50 23
Perhitungan jumlah glukosa yang akan digunakan: -1
V1 x N1 = V2 x N2
50 g L x 31.93 % C = V2 x 40.75 %C -1
V2 = (50 g L x 31. 93 %C) / 40.75 %C -1
V2 = 39 g L
Lampiran 2. Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan dari hasil seleksi sumber karbon Konsentrasi sefalosporin (mg L-1) Sumber karbon Rataan 2072.6 ± 218.4627 Malto dekstrin 3605.4 ± 75.8372 Molases 3377.8 ± 410.0598 Sukrosa 878.4 ± 230.1625 Minyak sawit 1650.8 ± 41.1726 Glukosa
32
Lampiran 3. Analisis ragam pengaruh perlakuan sumber karbon terhadap produksi sefalosporin Sumber variasi Db JK KT Fhit Ftabel(0.05) Perlakuan 3 17836514 5945505 3.81 46.59 Galat 12 1531336 127611 Total 15 19367849 Lampiran 4. Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level konsentrasi molases sebagai sumber karbon terpilih Konsentrasi sefalosporin (mg L-1) Konsentrasi molases -1 (g L ) Rataan 1964.75 ± 10 69.6681 2349.00 ± 20 68.6726 ± 3221.50 30 92.9301 ± 3663.00 40 19.4827 ± 3388.25 50 30.4627 ± 3482.25 60 157.7622 ± 3681.25 70 72.9827 2889.50 ± 80 45.8272 2729.85 ± 90 34.1252 Lampiran 5. Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi molases terhadap produksi sefalosporin Sumber db SS MS Fhitung Ftabel(18;8;0.05) P Perlakuan 8 11022596 1377825 23.06 2.51 0,000 Kesalahan 18 105509 5862 Total 26 11128106 Lampiran 6. Analisa kandungan nitrogen dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimasi medium kultivasi Perhitungan jumlah nitrogen (
)
(
)
% Nitrogen dalam urea = 74.39 Lampiran 7.
Kandungan total nitrogen dalam masing-masing bahan seleksi sumber nitrogen Kandungan N dalam Bobot sumber nitrogen Bahan masing masing bahan yang dibutuhkan (g L-1) 56.00 Yeast ekstrak 10.34 199.13 CSL Standart 2.95 7.89 Urea 74.39 27.53 Ammonium Sulfat 21.34 68.54 CSL Biotek 8.57
33 Lampiran 8. Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan dari hasil seleksi sumber nitrogen Konsentrasi sefalosporin (mg L-1) Bahan Rataan ± 331.6625 111.25 Urea ± 14.2829 339.75 Ammonium sulfat ± 43.0524 828.25 Yeast ekstrak ± 252.8827 543.25 CSL Biotek ± 48.0425 386.50 CSL ± 27.0225 275.25 Urea + Ammonium Sulfat ± 13.0930 1656.25 CSL + Ammonium Sulfat ± 17.4001 1814.25 CSL + Urea ± 71.7102 2808.75 CSL+ Urea+ Ammonium Sulfat Lampiran 9. Analisis ragam pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap produksi sefalosporin Sumber db SS MS Fhitung Ftabel(27;8;0.05) P Perlakuan 8 26886458 3360807 16.78 2.31 0.000 Kesalahan 27 554053 20520 Total 35 27440512 Lampiran 10. Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level konsentrasi sumber nitrogen terpilih Konsentrasi sefalosporin Konsentrasi (mg L-1) nitrogen (%N) Rataan ± 54 2878.25 45.8393 ± 63 3135.00 38.2526 ± 72 3367.25 51.2309 ± 81 2921.75 53.1029 ± 90 2974.00 56.2837 ± 99 2963.25 42.8373 ± 108 2868.75 201.9283 ± 117 2786.75 172.2826 ± 126 2199.00 23.9483 ± 135 2579.50 19.1829 Lampiran 11. Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi nitrogen terhadap produksi sefalosporin Sumber db SS MS Fhitung Ftabel(20;9;0.05) P Perlakuan 9 2769053 307673 35.25 2.94 0.000 Kesalahan 20 174562 8728 Total 29 2943615
34
Lampiran 12. Konsentrasi sefalosporin yang dihasilkan pada perlakuan penentuan level konsentrasi DL-methionin Konsentrasi Konsentrasi sefalosporin (mg L-1) DL-methionin Rataan (g L-1) 0.1 3125.25 ± 101.1703 ± 0.2 2549.25 167.0967 ± 0.3 3122.25 375.0523 ± 0.4 3864.25 220.0736 ± 0.5 3463.25 73.5939 ± 0.6 2947.00 366.4564 ± 0.7 3239.75 73.8936 ± 0.8 2922.75 318.6024 ± 0.9 2531.50 101.3317 Lampiran 13. Analisis ragam pengaruh perlakuan penentuan level konsentrasi DL-methionin terhadap produksi sefalosporin Sumber db SS MS Fhitung Ftabel(27;8;0.05) Perlakuan 8 5661023 707628 15.72 2.31 Kesalahan 27 1215104 45004 Total 35 6876127 Lampiran 14. Data hasil analisa respon pada optimasi media kultivasi menggunakan central composite design Nomor
Molases (g L-1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
60 60 60 80 80 80 60 60 60 80 80 80 60 60 60
CSL, urea, A. sulfat DL-methionin (%N) (g L-1) 62 62 62 62 62 62 82 82 82 82 82 82 62 62 62
0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.3 0.5 0.5 0.5
Konsentrasi Sefalosporin (mg L-1) 2622 2615 2607 2613 2525 2521 2972 2867 2968 2921 3016 3011 2934 3014 2928
35 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
80 80 80 60 60 60 80 80 80 53.18207 53.18207 53.18207 86.81793 86.81793 86.81793 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70 70
62 62 62 82 82 82 82 82 82 72 72 72 72 72 72 55.18207 55.18207 55.18207 88.81793 88.81793 88.81793 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72 72
0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.5 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.231821 0.231821 0.231821 0.568179 0.568179 0.568179 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4 0.4
2859 2755 2846 2826 2537 2829 2019 2123 2034 3092 3082 3188 3180 2302 2215 2646 2656 2647 2324 2411 2310 2982 2989 2987 2897 2879 2885 3878 3869 3853 3815 3878 3897
36
Lampiran 15. Uraian jumlah kuadrat beberapa model (Sequential Model Sum of Square) untuk respon konsentrasi sefalosporin Sum of Mean F p-value Source Squares Df Square Value Prob > F Mean vs Total 3.96E+08 1 3.96E+08 Linear vs Mean 904054 3 301351.5 1.3538 0.2693 2FI vs Linear 1440594 3 480198.1 2.3568 0.0858 Quadratic vs 2FI 7432311 3 2477437.0 102.1609 < 0.0001 Suggested Cubic vs Quadratic 240331 4 60082.9 2.9989 0.0319 Aliased Residual 681181 34 20034.7 Total 4.06E+08 48 8467482.0 Lampiran 16. Lack of fit Tests terhadap model permukaan respon Sum of Mean F p-value Df Squares Square Value Prob > F Source Linear 9115163 11 828651.2 40.25806 < 0.0001 2FI 7674569 8 959321.1 46.60635 < 0.0001 Quadratic 242257.9 5 48451.6 2.35390 0.0622 Suggested Cubic 1925.992 1 1925.9 0.09357 0.7616 Aliased Pure 679255 33 20583.5 Error Lampiran 17. Ringkasan model statistik (Model summary statistics) untuk respon konsentrasi sefalosporin Adjusted Predicted RSource StdDev. Squared R-Squared R-Squared PRESS Linear 471.8055 0.084503 0.022083 0.01673 10877422 2FI 451.3887 0.219157 0.104888 0.11064 9514815 Quadratic 155.7252 0.913865 0.893465 0.86235 1472673 Suggested Cubic 141.5441 0.936329 0.911984 0.86935 1397768 Aliased Lampiran 18. Hasil verifikasi model untuk respon konsentrasi sefalosporin Konsentrasi sefalosporin (mg L -1) Perlakuan Rataan ± 197.8908 Hasil verifikasi model 3696 ± 245.0186 Sebelum dioptimasi (media basal) 2487
37
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 02 September 1990 dari Ayah Hadi Winarno dan Ibu Siti. Penulis merupakan putri bungsu dari dua bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta pada tahun 2008 dan lulus pada tahun 2012. Penulis telah menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah diantaranya adalah Fisologi Hewan, Fisiologi Tumbuhan dan Genetika Dasar sejak tahun 2010. Pada tahun 2012 setelah menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana penulis mendapat kesempatan untuk bergabung dengan Homeschooling Kak Seto sebagai pengajar. Penulis melanjutkan Program Master di Program Studi Bioteknologi IPB pada tahun 2013 dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) DIKTI. Selama menempuh pendidikan pascasarjana penulis juga aktif bergabung dengan organisasi Forum Mahasiswa Pascasarjana (Forum Wacana IPB). Tesis ini akan dipublikasi pada jurnal Makara Science Series Universitas Indonesia yang terakreditasi DIKTI.