MENGGAGAS KEMBALINYA TEORI PERS PANCASILA1
[email protected]
Pendahuluan Era reformasi telah membuka kran kebebasan di semua bidang kehidupan, tak terkecuali di bidang pers. Seiring dengan laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, pers di Indonesia mengalami perkembangan yang demikian pesat. Di awal reformasi, berbagai stasiun televisi baru bermunculan, demikian juga halnya dengan media cetak, berbagai majalah, koran serta tabloid hampir setiap hari bermunculan. Kebebasan pers yang demikian besar menjadikan pers di Indonesia seakan-akan bergerak maju, tanpa arah. Liberalisasi dan globalisasipun ikut memberi andil bagi pergerakan pers di Indonesia, karena berbagai media cetak
serta berbagai stasiun
televisi luar negeri bebas masuk dengan leluasa ke Indonesia. Belum lagi masalah distribusi yang dilakukan dengan bebas menjadikan tontonan dan majalah dewasapun bebas dikonsumsi oleh anak-anak. Apakah Indonesia telah menganut Pers Liberal? Pertanyaan tersebut, tidak mudah untuk dijawab. Berbagai fenomena kehidupan masyarakat, kiranya mengindikasikan bahwa negara kita (meskipun perlahan-lahan) memang sedang mengarah menjadi negara liberal. Jika fakta tersebut yang sedang terjadi, tentu sangat disayangkan. Mengingat, cita-cita sebagai negara Liberal, tidak pernah ada di benak founding fathers. Apakah Pers Liberal cocok diterapkan di Indonesia dan sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia? Pada masa Orde Baru, telah diperkenalkan apa yang disebut dengan Pers Pancasila. Seperti yang tercantum dalam buku yang dirujuk oleh Departemen Penerangan masa itu, Pers Pancasila dijadikan sebagai pedoman bagi perkembangan pers di Indonesia. Pengertian Pers Pancasila tersebut adalah adalah pers yang dalam melaksanakan peranan dan fungsi kemasyarakatannya dalam mendukung sistem 1
Hastanti Widy Nugroho, Dosen Fakultas Filsafat, UGM.
1
nasional memiliki rasa Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi rasa persatuan, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, serta keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia2. Seiring dengan bergulirnya waktu, keberadaan pers di Indonesia masa Orde Reformasi saat ini, mulai kehilangan arahan dan pedoman. Mengingat keberadaan Pancasila yang hingga saat ini masih berfungsi sebagai dasar filsafat kehidupan berbangsa dan bernegara, maka tidak ada salahnya jika kita menengok kembali kepada Pancasila untuk mendapatkan pedoman serta arahan bagi perkembangan Pers di Indonesia. Tulisan ini tidak membahas pers dari sudut pandang komunikasi yang akan memberikan gambaran mengenai peran dan tugas pers dalam sebuah negara. Tulisan secara khusus akan membahas pers Pancasila dengan sudut tinjauan kefilsafatan yang lebih menekankan pada hakikat hubungan pers dengan negara yang tentu saja tetap[ berdasar pada nilai-nilai Pancasila. Mengenal Teori Pers Sebelum membahas lebih jauh mengenai Pers Pancasila, terlebih dahulu perlu diuraikan beberapa teori pers yang ada di dunia dewasa ini. Hampir setengah abad yang lalu, Siebert Peterson, memperkenalkan sistem pers yang ada di dunia dan terkenal hingga sekarang yang ditulis dalam buku Four Theories of The Press. Kesemua teori tersebut merupakan teori normatif yang berasal dari pengamatan terhadap sistem pers yang berkembang di beberapa negara. Tesis yang dikembangkan oleh Siebert dan Peterson adalah bahwa setiap negara di dunia pasti memiliki kecenderungan untuk menganut salah satu atau perpaduan antara beberapa teori pers tersebut. Orientasi teori pers suatu negara tentu saja akan didasar oleh filsafat hidup yang dianut oleh negara tersebut. Teori-teori pers yang disebutkan antara lain: 2
Janner Sinaga, 1989, Sistem Pers Pancasila : Latar Belakang, Konsepsi Dasar, Tantangan Masa Kini, dan Masa Depan serta Peranannya dalam Pembangunan Nasional, Ultimo, Jakarta.
2
a. Teori Pers Otoriter Teori ini merupakan teori yang muncul paling awal dalam perkembangan pers di dunia. Teori ini terutama berkembang pada masyarakat prademokrasi, masyarakat yang ada dalam pemerintahan kediktatoran, serta pendudukan militer. Dasar filosofis teori ini adalah hakikat hubungan antara manusia dan negara. Manusia tidak dapat hidup sendiri sebagai individu, oleh karena itu agar dapat bereksistensi maka manusia harus hidup sebagai anggota masyarakat, dan dalam kerangka negara. Dalam hal ini kepentingan kelompok lebih penting daripada kepentingan individu. Hakikat negara dalam teori ini adalah sebagai manifestasi tertinggi kelompok manusia dalam masyarakat tersebut. Tanpa negara, individu tidak dapat bereksistensi. Teori ini berkaitan dengan sistem otoriter yang diberlakukan terhadap media, berupa peraturan-peraturan untuk menekan pers. Teori ini membenarkan adanya sensor dan hukuman atas berbagai penyimpangan dari aturan yang ditetapkan negara. Tujuan Pers adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah yang berkuasa untuk mengabdi pada negara. Keberadaan media massa tidak lain adalah sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan pemerintah. b. Teori Pers Liberal Teori ini berangkat dari pemahaman terhadap hakikat manusia sebagai makhluk rasional. Tujuan akhir hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan individu. Masyarakat bertugas memajukan kepentingan individu anggotanya. Hakikat hubungan manusia dan negara adalah bahwa negara sebagai sarana bagi individu untuk mengekspresikan diri, mengaktualisasikan eksistensi diri. Dalam bentuk yang paling dasar teori ini menyatakan bahwa masyarakat seyogyanya bebas mengungkapkan hal-hal yang disukainya, karena merupakan perluasan hak untuk berpendapat, berserikat. Prinsip nilai yang mendasari teori ini sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai negara demokrasi liberal, yaitu keyakinan keunggulan individu, akal sehat, kebenaran, kemajuan
dan kedaulatan rakyat. Pers
bebas dipandang sebagai komponen yang penting dari masyarakat bebas dan rasional.
3
Tujuan pers dalam hal ini adalah menyampaikan informasi, menghibur, membantu menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintah. c. Teori Tanggung Jawab Sosial Teori tanggung jawab sosial merupakan teori yang muncul sebagai respon terhadap pelaksanaan teori liberal. Sesuai dengan teori liberal, pada prakteknya pers menjadi kekuatan raksasa untuk kepentingan individu tertentu, yaitu kepentingan pemilik modal. Pers menjadi alat bisnis raksasa karena membiarkan pemasang iklan mengontrol isi dan praktek pemasangan iklan. Kritik yang ditujukan untuk teori liberal adalah bahwa asumsi kebebasan pada teori liberal seharusnya mengimplikasikan adanya “tanggung jawab” di dalamnya. Arti kebebasan pada teori liberal lebih bermakna “kebebasan dari berbagai hal yang selama ini dianggap memasung dan membelenggu manusia (kebebasan bermakna negatif). Berbeda dengan teori liberal, pada teori tanggung jawab sosial kebebasan dimaknai sebagai “kebebasan untuk melakukan berbagai tindakan“ (kebebasan bermakna positif)3. Dasar utama teori ini ada pada pengertian bahwa kebebasan dan kewajiban hendaknya berlangsung secara beriringan. Pers selain memberikan tanggapan terhadap keberlangsungan pemerintah juga harus bertanggung jawab kepada masyarakat dalam melaksanakan fungsi-fungsinya terhadap pemerintah. Teori tanggung jawab sosial ini berusaha mengawinkan tiga prinsip yang agak berbeda yaitu kebebasan sebagai individu, kebebasan media dan kewajiban media untuk bertanggung jawab pada masyarakat. d. Teori Pers Komunis Teori ini berangkat dari pemahaman bahwa hakikat manusia sebagai individu tidak mempunyai kebebasan dan hak individual. Manusia bereksistensi hanya dalam hubungannya dengan manusia yang lain. Dengan demikian manusia adalah sekumpulan relasi, sehingga yang mutlak adalah komunitas. Gagasan mendasar berkaitan dengan teori pers antara lain, pertama bahwa kelas pekerja memegang kekuasaan dalam 3
Werner J.Severin, James Tankard, 2005, Teori Komunikasi Massa, Prenada Media, Jakarta, hal 373.
4
masyarakat sosialis, oleh karena itu agar tetap berkuasa semua media harus tunduk pada pengendalian kelas pekerja. Kedua, masyarakat sosialis diharapkan menjadi masyarakat tanpa kelas, sehingga tidak terdapat konflik antar kelas, oleh karena itu pers hendaknya tidak distruktur sejalan dengan konflik politik. Pers memainkan peran positif dalam pembentukan masyarakat komunis (informasi, motivasi, dan mobilisasi). Keempat media harus menyerahkan pengendalian pada alat negara dipadukan dengan instrumen lain dari kehidupan politik. Teori Pers Pancasila Teori Pers Pancasila telah diperkenalkan pada tahun 80-an, ketika berlangsung Sidang Pleno Dewan Pers di Surakarta tagl 7 -8 Desember 1984. Seperti apakah Pers Pancasila yang dimaksud? Pers Pancasila yang dimaksud adalah pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di dalam rumusan Pers Pancasila tersebut juga menyebut adanya pers pembangunan, yang tidak lain adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Berdasarkan uraian tersebut hakikat pers Pancasila adalah pers yang sehat yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakikat dan fungsi pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab. Dalam mengamalkan pers Pancasila mekanisme yang dipakai adalah interaksi positif antara Masyarakat, Pers dan Pemerintah. Dalam hal ini Dewan Pers berperan sebagai pengembang mekanisme interaksi positif tersebut4.
4
Janner Sinaga, 1989, Sistem Pers Pancasila : Latar Belakang, Konsepsi Dasar, Tantangan Masa Kini dan Masa Depan serta Peranannya Dalam Pembvanguna Nasional, Ultimo, Jakarta, hal 27.
5
Konsep yang demikian mulia tersebut ternyata diimplemetasikan secara beda pada masa Orde Baru. Dengan mengatasnamakan Pancasila, pemerintah Orde Baru justru menjalankan sistem pers yang otoriter. Pers Pancasila hingga saat runtuhnya Orde Baru tidak pernah diimplemetasikan sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila. Berdasar hal tersebut, perlu kiranya dikaji kembali apakah hakikat Pers Pancasila yang sesuai dengan nilai-nilai dalam Pancasila? Semua pertanyaan tersebut akan dijawab dengan berangkat dari hakikat manusia. Mengapa manusia, karena pelaku pers adalah manusia dan keberadaan pers tidak lain ditujukan untuk manusia. Sistem pers apapun yang berkembang di sebuah negara, sesungguhnya yang berkuasa dan mengambil banyak peran adalah manusianya. Notonagoro memaparkan hakikat manusia sebagai berikut :
Susunan Kodrat : -
Raga (an organik, vegetatif, animal)
-
Jiwa (akal, rasa, kehendak)
Sifat Kodrat -
Individual
-
Sosial
Kedudukan Kodrat -
Pribadi Mandiri
-
Makhluk Tuhan5
Hubungan antara seluruh aspek-aspek manusia tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh, tidak dapat dipisah-pisahkan, dan dikenal dengan nama monopluralis. Sementara itu, untuk susunan, sifat dan kedudukan kodrat yang terdiri atas dua unsur disebut monodualis. Tarik menarik antara dua unsur seperti raga-jiwa, individual-sosial, pribadi mandiri-makhluk Tuhan, harus selalu diletakkan dalam kerangka keseimbangan, keadilan dan harmoni. Kecenderungan untuk mementingkan salah satu 5
Notonagoro, 1995, Pancasila Secara Ilmiah Populer,Bumi Aksara, Jakarta, hal 96.
6
unsur seperti keragawian atau individualitas saja akan membawa manusia pada ketimpangan. Liberalisme yang terlalu mengagungkan sifat invidual manusia membawa dampak pada hilangnya semangat kekeluargaan, dan kebersamaan. Hal inilah yang terjadi di Barat, ketika manusia mempunyai kewenangan mutlak terhadap kebebasannya, maka yang terjadi adalah sikap acuh, tidak peduli kepada orang lain, tidak membutuhkan manusia yang lain. Kodrat manusia adalah ada bersama yang manusia yang lain. Kerinduan dan keinginan manusia untuk bersama dengan manusia sementara budaya dan masyarakat tidak memfasilitasi hal tersebut, akan membawa manusia pada keterasingan (alienasi). Pers Liberal yang dikembangkan di Barat, terlalu menekankan pada kepentingan individu, sehingga kepentingan masyarakat banyak diabaikan. Sebagai contoh adalah kasus majalah Playboy. Bangsa Indonesia, yang menjunjung tinggi nilainilai ketimuran, nilai-nilai kebersamaan tentu menolak penerbitan majalah pria dewasa yang menjadi simbol kebebasan ini. Isi majalah Playboy dapat dikatakan sarat dengan gambar-gambar yang terlalu mengumbar kebebasan individu tersebut. Hal inilah yang menjadi kekhawatiran, ketika budaya tersebut dianggap baik dan ditiru oleh sebagian besar remaja di Indonesia, tentu akan berakibat buruk. Sebagai kebalikan dari Pers Liberal, Pers Komunis berangkat dari kecenderungan manusia yang justru larut dalam sosialitas, sehingga kehilangan sifat kodratnya sebagai individu.
Hak-hak
individu
untuk
mengemukakan
pikiran
dikesampingkan
demi
kepentingan kelompok. Dengan demikian pers bukanlah sarana bagi individu untuk mengaktualisasikan diri, tetapi justru sebagai alat regulasi bagi individu agar tidak keluar dari rambu-rambu yang sudah ditentukan oleh kelompok. Suara kelompok (komune) lebih penting dan harus diutamakan daripada suara individu. Pers Pancasila yang mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila, tentu saja harus meletakkan hakikat manusia monopluralis sebagai dasar bagi kehidupan pers. Pers Pancasila harus meletakkkan kepentingan individu maupun masyarakat sebagai sosialitas
7
yang lebih luas, secara seimbang dan adil. Dengan demikian pemberitaan mengenai sesuatu hal, hendaknya dilakukan secara seimbang. Misalnya terdapat sebuah kasus mengenai seorang pejabat yang mempunyai penerbitan surat kabar tertentu, dan menjadi anggota sebuah parpol tertentu. Ketika parpol tersebut terlibat kasus money politics, maka
hendaknya kasus tersebut diberitakan secara terbuka dalam surat kabar yang
dimiliki pejabat tersebut. Nilai keadilan umum, tetap harus diutamakan dalam sebuah pemberitaan media massa. Sementara itu untuk melihat secara lebih komprehensif mengenai hubungan manusia dengan dunianya, Djoko Pitoyo memaparkan dengan menggunakan skema sebagai berikut6:
POLA / TATA HUBUNGAN MANUSIA DENGAN SEGANAP REALITAS TUHAN/DUNIA ILAHIAH
MANUSIA/ DUNIA HUMAN
MANUSIA
MANUSIA/ DUNIA HUMAN
DUNIA INFRAHUMAN Hewan/Binatang Tumbuh-tumbuhan Benda-benda tak-hidup
6
Joko Pitoyo, 1997, Pancila Sebagai Orientasi Kegiatan Keilmuan, dalam Jurnal Filsafat, edisi khusus, Fakultas Filsafat UGM, hal 167
8
Berdasarkan tinjauan ontologis mengenai tata hubungan tersebut, tampak bahwa terdapat hierarki hubungan antara Tuhan dengan manusia serta antara manusia dengan dunia infrahuman. Hal ini jelas mengingat keberadaan Tuhan sebagai penyebab adanya segala hal di alam semesta ini. KepadaNya segala sesuatu berasal dan bergantung atau dalam budaya Jawa terdapat istilah “sangkan paraning dumadi” atau asal mula serta arah atau tujuan segala sesuatu hal yang terjadi7. Manusia dan dunia infrahuman menempati posisi di bawah dunia Ilahiah ini. Sementara itu hubungan antara manusia dengan manusia lain menempati posisi sejajar, tidak ada hierarki. Berdasarkan paparan ontologis tersebut, selanjutnya dapat diterjemahkan dalam pola hubungan yang lebih praktis yaitu menyangkut sikap dan tindakan yang harus dilakukan manusia terhadap realitas.
7
Notonagoro, 1995, Pancasila Secara Ilmiah Populer,Bumi Aksara, Jakarta, hal 79
9
SIKAP DAN TINDAKAN MANUSIA TERHADAP REALITAS
SESAMA MANUSIA (DUNIA HUMAN)
BIDANG-BIDANG KEHIDUPAN Kefilsafatan Kebudayaan Politik Sosial Ekonomi
KISI-KISI NILAI-NILAI PANCASILA
Nilai-nilai Ketuhanan Nilai-nilai Kamanusiaan Nilai-nilai Kebangsaan Nilai-nilai Kerakyatan Nilai-nilai Keadilan
Pemanfaatan Utilization
ALAM-DUNIA (DUNIA INFRAHUMAN)
Ketaatan Obidience
TUHAN (DUNIA ILAHIAH)
Kerjasama Cooperation
SESAMA MANUSIA (DUNIA HUMAN)
MANUSIA
Tindakan Acting
Raga Manusia Binatang Tumbuh-tumbuhan Benda tak-hidup
Kepercayaan-keagamaan
BIDANG-BIDANG KEHIDUPAN Kefilsafatan Kebudayaan Politik Sosial Ekonomi
Pengelolaan Obidience
ALAM-DUNIA (DUNIA INFRAHUMAN)
Raga Manusia Binatang Tumbuh-tumbuhan Benda tak-hidup
Tindakan makin praktis-pragmatis
Kebersamaan Compassion/ Togetherness
Orientasi sikap makin lahiriah
Sikap Attitude
Kepercayaan-keagamaan
Tindakan makin simpatik-empatik
Worship
TUHAN (DUNIA ILAHIAH)
Orientasi sikap makin batiniah
Penghambaan
10
Berdasar skema tersebut tampak bagaimanakah sesungguhnya hubungan antar manusia harus dilakukan. Semakin tinggi, mengarah pada tataran dunia Ilahiah, maka sikap yang harus diambil manusia adalah penghambaan sedangkan tindakan yang diambil berdasar pada prinsip ketaatan. Dengan demikian semakin tinggi, mengarah pada dunia Ilahiah maka orientasi sikap yang dilakukan lebih batiniah, sedangkan tindakan yang dilakukan lebih simpatik, empatik. Sementara itu semakin rendah mendekati tataran dunia infrahuman seperti hewan dan tumbuhan, orientasi sikap yang dikembangkan lebih lahiriah, sedangkan tindakan yang diambil semakin praktis pragmatis. Berkaitan dengan pemaparan tersebut, dapat dijelaskan bahwa sikap manusia dengan realitas yang ada di bawahnya yaitu dunia infrahuman berupa pemanfaatan dan tindakan yang diambil berupa pemanfaatan. Dalam hal inilah terlihat jelas bahwa orientasi tindakan yang dikembangkan adalah hubungan praktis, pragmatis, seperti pemanfaatan hewan untuk memenuhi kebutuhan manusia atau pengelolaan hutan secara bijaksana. Dengan demikian ketika bersama dengan sesama manusia, sikap yang harus diambil adalah selalu dalam kebersamaan, sedangkan tindakan yang harus diambil adalah kerjasama. Berdasar pada skema sikap dan tindakan manusia tersebut, dapat dikemukakan hubungannya dengan pers Pancasila. Bahwa manusia sebagai pelaku subjek pers, seringkali melakukan kesalahan orientasi sikap dan tindakan, ketika berhubungan dengan manusia lain. Fenomena yang berkembang adalah sikap menuhankan manusia lain, dengan ketaatan yang demikian besar. Misalnya ketaatan yang demikian besar yang dimiliki seorang wartawan kepada pemilik saham ia tempat bekerja, sehingga menghilangkan nillai-nilai kebenaran yang seharusnya disampaikan kepada khalayak. Kemungkinan lain yaitu terdapatnya manusia yang justru memanfaatkan manusia lain demi hal-hal yang sifatnya material. Hal tersebut juga jelas bertentangan dengan hakikat kodrat manusia serta hakikat hubungan manusia dengan realitas. 11
Bagaimanakah dengan prinsip-prinsip dalam Pers Pancasila? Berikut ini adalah petikan beberapa prinsip interaksi positif antara pemerintah, pers dan masyarakat yang termuat dalam Pers Pancasila yang sesungguhnya telah ada sejak masa Orde Baru, namun tidak pernah dilaksanakan secara nyata dalam kehidupan pers di Indonesia. Prinsio-prinsip tersebut antara lain :
Diterapkan mekanisme kerja yang menjalin hubungan timbal balik antara pers, pemerintah dan masyarakat.
Dinamika dikembangkan bukan dari pertentangan menurut paham, melainkan atas paham hidup menghidupi, saling membantu dan bukan saling mematikan.
Perlu dikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan berfungsinya sistem kontrol sosial dan kritik yang konstruktif secara efektif. Namun demikian kontrol sosial itupun substansinya serta caranya tetap tidak terlepas dari asas keselarasan dan keseimbangan serta ketertiban untuk saling hidup menghidupi bukan saling mematikan dalam kontrol yang dilakukan tetap berpijak pada nilai-nilai dalam sistem Pers Pancasila, termasuk bebas dan bertanggung jawab8. Mengamati dengan cermat prinsip-prinsip interaksi positif antara pemerintah,
pers dan masyarakat seperti tertuang dalam rumusan Pers Pancasila tersebut, dapat dikatakan bahwa Pers Pancasila tersebut masih sangat relevan untuk dikembangkan dan dijadikan tolok ukur bagi keberadaan pers di Indonesia. Hal ini terutama jika ditilik dari landasan filosofis yang melatarbelakangi keberadaan prinsip-prinsip tersebut. Kedudukan manusia sebagai unsur terpenting dalam sebuah negara, manusia sebagai anggota masyarakat serta manusia sebagai pelaku pers memiliki hubungan yang sejajar. Sikap dan tindakan yang harus dikembangkan senantiasa 8
Janner Sinaga, 1989, Sistem Pers Pancasila : Latar Belakang, Konsepsi Dasar, Tantangan Masa Kini, dan Masa Depan serta Peranannya dalam Pembangunan Nasional, Ultimo, Jakarta. Hal 34-35.
12
harus berdasar pada prinsip kebersamaan dengan orientasi tindakan yang simpatik dan empatik. Tidak akan pernah ada pembenaran, manusia diberlakukan sebagai sebuah alat atau sarana yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan praktis dan pragmatis. Manusia harus diberlakukan sebagai manusia, yang mempunyai tujuan dalam dan bagi dirinya sendiri.
13
DAFTAR PUSTAKA
Notonagoro, 1995, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Bumi Aksara, Jakarta. Djoko Pitoyo, 1997, Pancila Sebagai Orientasi Kegiatan Keilmuan, dalam Jurnal Filsafat, edisi khusus, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta. Janner Sinaga, 1989, Sistem Pers Pancasila : Latar Belakang, Konsepsi Dasar, Tantangan Masa Kini,
dan Masa Depan serta Peranannya dalam
Pembangunan Nasional, Ultimo, Jakarta. Hal 34-35. Werner J.Severin, 2005, Teori Komunikasi Massa, Prenada Media, Jakarta, Hal 373.
14
15
16
17
18