MENGGAGAS IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KETELADANAN Oleh : Dra Nuraeni, T, M.H
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Untuk menjadi manusia yang berkarakter harus dibina dan dikembangkan sedini mungkin secara berkesinambungan. Implementasi pendidikan karakter memiliki misi yang sangat penting dan mulia. Melalui proses pendidikan karakter akan menghasilkan anak-anak didik yang bermoral. Namun demikian, mengimplementasikan pendidikan karakter di era kehidupan masa kini penuh tantangan. Kita hidup dalam system yang sering melanggar nilai-nilai moral. Praktik
“money politics” dalam berbagai aspek kehidupan sudah menjadi
kelaziman, korupsi setiap hari menjadi bahan pemberitaan, illegal logging sudah menjarah hutan dimana-mana, pelanggaran lalu lintas menjadi pemandangan biasa, café remang-remang banyak dikunjungi, VCD bajakan dijumpai dimana-mana, majalahmajalah sronok menghiasi di berbagai tempat, dan lain-lain pelanggaran moral yang semua itu dilihat dan disaksikan, bahkan dilakukan oleh anak-anak didik kita. Repotnya, persepsi masyarakat kadang-kadang memaklumi praktik pelanggaran moral tersebut. Selain itu pengaruh media komunikasi dan informasi dari budaya barat menyerbu anak-anak didik kita melalui “fun, food, film and fashion”. Fun adalah berbagai hiburan ala barat yang medatangkan kesenangan anak-anak didik kita, seperti diskotik dan sejenisnya. Food adalah makanan ala barat yang digandrungi anak-anak didik kita dan bahkan menjadi symbol gengsi dan kebanggaan. Film adalah film-film sronok yang CDnya dengan mudah didapatkan anak-anak didik kita. Fashion adalah mode pakaian dan penampilan fisik yang cenderung menimbulkan gairah negative. 1 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189
Dari fenomena di atas, saya menegaskan bahwa keteladanan para pendidik menjadi sangat penting dalam mengimplementasikan pendidikan karakter. Betapapun maju dan berkembangnya teknologi pembelajaran, seperti internet, e-mail, bahkan elearning, peran para pendidik tidak dapat digantikan. Keteladanan pendidik akan mendorong rasa hormat dan meneladani pendidiknya sehingga menjadi pribadi berkarakter. B. Permasalahan Masalah pokok yang menjadi tantangan bagi pendidik adalah “bagaimana mengimplementasikan permasalahan
pendidikan
karakter
melalui
keteladanan“.
Pokok
yang dibahas meliputi tahap-tahap perkembangan karakter anak dan
Keteladanan dalam pendidikan karakter. . C. Tujuan Untuk menambah wawasan dan pengetahuan guru mengenai implementasi pendidikan karakter melalui keteladanan.
D. Manfaat Bagi guru
: menambah wawasan dan pengetahuan tentang implementasi pendidikan karakter
Bagi sekolah
: meningkatkan kualitas output
Bagi Dinas Pendidikan: menambah wawasan dan pengetahuan dalam menggalakkan pendidikan karakter
BAB. II . PEMBAHASAN A. Tahap-Tahap Perkembangan Karakter Anak
2 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189
Menggagas implementasi pendidikan karakter dimulai dari tahap-tahap perkembangan karakter anak. Pendidikan karakter akan sesuai dan berhasil jika dilaksanakan seiring dengan perkembangan karakter/moral anak didik. Tahap-tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlberg (1995), yakni sebagai berikut: 1. Tingkat Prakonvensional Tingkat ini merupakan masa peka dan sensitive. Pada tingkat ini anak tanggap terhadap aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan mengenai baik dan buruk serta benar dan salah. Namun demikian, semua ini masih ditafsirkan dari segi akibat fisik dan kenikmatan perbuatan, seperti: hukuman, keuntungan, dan pertukaran kebaikan atau dari segi kekuatan fisik mereka
yang memaklumkan peraturan. Tingkat
prakonvensional memiliki dua tahap: Orientasi hukuman dan kepatuhan Orientasi relativis-instrumental 2. Tingkat Konvensional Pada tingkat ini anak membutuhkan standar moral yang jelas atau idola. Anak hanya menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakat. Semua itu dipandang sebagai hal yang bernilai dalam dirinya sendiri tanpa mengindahkan akibat yang akan muncul. Sikap anak bukan saja konformitas terhadap pribadi dan tata tertib social, melainkan juga loyalterhadapnya, dan secara aktif mempertahankan, mendukung dan membenarkan seluruh tata tertib itu serta mengidentifikasikan diri dengan orang atau kelompok yang terlibat. Tingkat konvensional memilik dua tahap, yaitu: Orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut orientasi “Anak manis” Orientasi hukum dan ketertiban 3. Tingkat Pascakonvensional Tingkat ini m,erupakan tahap dewasa. Terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip-prinsip itu dan
3 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189
terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok. Tingakat ini memiliki dua tahap, yaitu: Orientasi control social legalitas Orientasi prinsip etika universal Berdasarkan tingkatan dan tahap-tahap perkembangan moral itu, kemudian Kohlberg (1995) menerjemahkan ke dalam motif-motif individu dalam melakukan perbuatan (perilaku). Sesuai dengan tahap-tahap perkembangan karakter, maka motifmotif perilaku manusioa adalah sebagai berikut: Tahap 1: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh penghindaran terhadap hukuman dan suara hati . Pada dasarnya merupakan ketakutan irasional terhadap hukuman. Tahap 2: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keinginan untuk mendapat ganjaran dan keuntungan. Sangat boleh jadi reaksi rasa bersalah diabaikan dan hukuman dipandang secara pragmatis sehingga membedakan rasa takut, nikmat, sakit akibat hukuman tersebut. Tahap 3: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan orang lain, baik yang nyata atau yang dibayangkan secara hipotetis. Tahap 4: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh antisipasi terhadap celaan yang mendalam karena kegagalan dalam melaksanakan kewajiban dan rasa diri bersalah atas kerugian yang dilakukan terhadap orang lain. Tahap 5: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap upaya mempertahankan rasa hormat terhadap orang lain dan masyarakat yang didasarkan atas akal budi dan bukan berdasarkan emosi, keprihatinan terhadap rasa hormat bagi diri sendiri. Misalnya, untuk menghindari sikap menghakimi diri sendiri sebagai makhluk yang tidak rasional, tidak konsisten dan tanpa tujuan. Tahap 6: Perbuatan moral individu dimotivasi oleh keprihatinan terhadap sikap mempersalahkan diri karena melanggar prinsipo-prinsipnya sendiri. Individu cenderung membedakan rasa hormat dari masyarakat dengan rasa hormat dari diri sendiri, antara rasa hormat diri karena mencapai rasionalitas dengan 4 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189
rasa hormat terhadap diri sendiri karena mampu mempertahankan prinsipprinsip moral.
B. Keteladanan dalam Pendidikan Karakter Sampailah kini pada bagian yang amat penting dan amat sulit untuk merumuskan dan melaksanakannnya. Namun, betapapun sulit, sebagai pendidik yang memiliki kompetensi kepribadian, social, pedagogi, dan professional harus mampu mengimplementasikannya. Berdasarkan pada perkembangan karakter anak, maka gagasan implementasi pendidikan karakter melalui keteladanan adalah: 1. Harus memiliki standar nilai yang jelas Standar nilai ini merupakan “core value” yang harus dirumuskan dengan jelas, operasional, dan dipahami oleh pendidik maupun anak didik. Proses pendidikan, baik di keluarga maupun sekolah, tidak boleh berlangsung secara datar saja, pendidik dan anak didik hanya melakukan aktivitas rutin saja, berperilaku sesuai kehendak masingmasing, tanpa standar moral yang jelas yang dapat mengatur dan dijadikan dasar dalam bersikap dan berperilaku. Misalnya pendidikan dalam keluarga, bagi yang beraga islam setiap mendengar adzan maghrib, TV dimatikan dan setiap anggota keluarga harus sholat berjamaah. Contoh lain kalau hendak pergi, harus jelas kemana perginya, apa tujuannya, dengan siapa, jam berapa harus pulang. Dan masih banyak lagi standar yang dapat dikembangkan di rumah. Di
sekolah
juga
sudah
dikembangkan
13
nilai
karakter
yang
harus
diimplementasikan. Implementasi pendidikan karakter melalui integrasi ke dalam mata pelajaran, kegiatan pengembangan diri (ekstrakurikuler dan bimbingan konseling), serta pembiasaan yang terjadwal maupun spontan. 2. Konsisten mentaati standar nilai yang telah dirumuskan dan disepakati Ketidakkonsistenan perilaku anggota keluarga atau warga sekolah, apalagi yang tidak konsisten adalah guru atau orang tuanya atau yang lebih dewasa, maka akan 5 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189
menimbulkan kekecewaan dan pemberontaan pada diri anak. Pada gilirannya, anak justru melakukan sikap dan perilaku yang jauh melenceng dari standar yang telah ditetapkan dan disepakati. Ini bias terjadi karena pada dasarnya anak sangat tidak senang guru, orang tua atau orang dewasa lain berperilaku tidak konsisten terhadap apa yang telah disepakati bersama.
3. Suri teladan berkarakter harus ditunjukkan oleh pendidik Pendidik harus dapat menjadi model bagi anak didiknya. Menurut “social learning theory” yang dikembangkan oleh albert bandura (1980),. Perilaku seseorang sangat mudah dikembangkan melalui perilaku yang dilakukan oleh orang lain, yang dalam teori ini dikenal dengan “modeling process”. Akan sangat efektif proses modeling ini berlangsung jika yang ditiru adalah figure yang diidealkan atau diiodolakan oleh anak, yang dalam hal ini adalah para pendidik. Pepatah lama “Guru kencing berdiri, anak kencing berlari” berlaku di sini. Meskipun sesungguhnya banyak yang tidak kencing berdiri karena jumlah guru perempuan lebih banyak daripada laki-laki. 4. Menerapkan model “induksi konflik-kognitif” Prosedur penerapan model ini adalah siswa dalam satu kelas di bagi dalam kelompok. Setiap kelompok diberi tema dilemma moral. Mereka diminta untuk mendiskusikan di bawah bimbingan guru. Dari argumentasi yang mereka kemukakan, guru member penguatan dan kemudian member pemikiran-pemikiran tentang alternative perilaku bermoral berkenaan dengan topic yang mereka diskusikan. 5. Ketulusan pendidik Mengimplementasikan pendidikan karakter untuk menghasilkan anak didik berkarakter membutuhkan waktu lama dan tidak mudah, karena itu dibutuhkan ketulusan dan kesabaran pendidik. Apalagi kalau anak didik berada pada vase remaja dengan berbagai karakteristik yang unik dan kadang-kadang konfrontatif. 6. Empatik, Persuasif, dan Represif Jika pendidik secara konsisten telah mampu menjadi teladan bagi anak didik, maka dalam menegakkan disiplin agar anak didik mentaati standar nilai yang telah 6 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189
ditetapkan dan disepakati harus dilakukan dengan empatik. Artinya, pendidik berusaha memahami pikiran, perasaan dan perilaku anak didik dalam menjalankan standar nilai yang ada. Selain empatik juga persuasive, artinya dengan sikap keterbukaan dan kehangatan melakukan pendekatan kepada anak didik agar secara konsisten mentaati standar nilai yang telah disepakati bersama. Jika pendekatan empatik dan persuasive telah dilakukan secara berkelanjutan, tetapi masih ada anak didik yang tidak mentaati standar nilai yang telah disepakati, maka tindakan tegas/represif perlu dilakukan.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan Untuk mengimplementasikan pendidikan karakter melalui keteladanan perlu terlebih dahulu memahami tahap-tahap perkembangan karakter anak. Ada tiga tahap perkembangan karakter anak, yaitu tahap prakonvensional, konvensional dan pascakonvensional. Dengan memahami tahap perkembangan karakter ini, langkahlangkah keteladanan dalam implementasi pendidikan karakter dapat dijabarkan dalam keenam langkah, sebagai berikut; 1) harus memiliki standar nilai yang jelas, 2) konsisten mentaati standar nilai yang telah dirumuskan dan disepakati, 3) Suri teladan berkarakter harus ditunjukkan oleh pendidik, 4) menerapkan model “induksi konflik-kognitif”, 5) ketulusan pendidik, 6) empatik, persuasive, dan represif
B. Saran Guru
diharapkan
mengimplementasikan
pendidikan
karakter
dengan
mengintegrasikan nilai karakter ke dalam mata pelajaran yang diampunya, terutama melalui keteladan. Sekolah diharapkan menyusun program pendidikan karakter di sekolahnya dan selalu memotivasi warga sekolah agar dapat menjadi teladan bagi yang
7 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189
lain. Dinas pendidikan diharapkan mengkoordinasikan dan menggalakkan implementasi pendidikan karakter di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Asrori, M. 2005. Perkembanagn Peserta Didik. Edisi Revisi, malang: Wineka Media. Bandura, A. 1996. Social foundation of Thought and Action. Englewood Cliff, New Jersey: Prentice-hall, Inc. Chaplin. 1980. Dictionary of Psikology. New York: McGraw-Hill. Kohlberg, L. E. 1995. Tahap-Tahap Perkembangan Moral. (Alih bahasa: John de Santo dan Agus Cremers). Yogyakarta: Kanisius. Sunaryo kartadinata. 2001. Orientasi Timbangan Moral serta Kaitannya dengan Perilaku Empatik dan Orientasi Nilai Rujukan. Bandung: Artikel ilmiah.
8 http://www.lpmpsulsel.net/v2/index.php?option=com_content&view=article&id=213:menggagas&catid =42:ebuletin&Itemid=215
Artikel E-Buletin Edisi Juli 2014 ISSN. 2355-3189