MENGENAL & MEMPERBAIKI KUALITAS TINGKAH LAKU INTERPERSONAL GURU Maryatin Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
Abstract Guru interpersonal communication can be accomplished through several ways namely through hard, soft, friend voices and joining far apart. Guru communication with students can be identified in two forms 1) dominant, and 2) cooperative. In fact, guru is more dominant than their students. There are several essential components to create effective teaching communication namely co-trustfulness, co-supportiveness, openness, sympathy, and empathy between teachers and students. Besides that, there are also essential interpersonal communication indicators namely 1) the availability of objectives that will be achieved, 2) messages as the contents of interaction, 3) students, 4) gurus, 5) methods, 6) conditions that support teaching conduct goes well and 7) evaluation.
Keywords: communication, interpersonal, effect, effective, cooperative, dominant Pendahuluan Ibarat makanan, satu jenis masakan yang dimasak oleh koki yang berbeda akan berakibat pada perbedaan rasa pada masakan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan, bahwa nasi goreng yang dihidangkan oleh restoran tertentu dirasakan oleh pembeli lebih enak dari pada nasi goreng yang berasal dari restoran lain. Oleh sebab itu ada satu atau dua restoran yang pelanggannya rela antri untuk bisa makan, sementara restoran lain yang menghidangkan menu yang sama tidak menarik banyak pengunjung. Namun demikian, akan ada titik kesamaan jawaban jika pertannyaan tersebut ditanyakan kepada mereka, yaitu rasa masakannya yang lain. Berbicara tentang rasa dari suatu masakan, tidak akan lepas dari koki yang telah meramu dan mengolah bahan mentah menjadi masakan yang siap saji. Berbicara tentang koki yang menyiapkan masakan, berarti berbicara tentang cara dia mengolah dan memberi bumbu sehingga dapat menghasilkan rasa yang lezat. Demikian juga dengan pembelajaran. Satu materi pembelajaran jika diajarkan oleh pengajar yang berbeda akan dirasakan oleh murid dengan rasa yang berbeda pula. Jika murid ditanya mengapa guru A banyak disenangi murid ?, Dapat ditebak bahwa jawabannya berkisar pada cara mengajarnya dan antara lain cara mengajar tidak terlepas dengan bagaimana cara berkomunikasi dengan siswa (Hisyam Zaini, 2002). Perkembangan pendidikan diawali dengan meningkatnya biaya sekolah. Usaha dalam peningkatan kemampuan dan peran aktif orang tua dan murid, kebijakan pemerintah yang menyangkut akuntabilitas dan akreditasi, pengembangan dan implementasi, standard pengajaran/pembelajaran dan publisitas nilai keberhasilan sekolah di surat kabar dan internet. Usaha sekolah untuk memberi informasi tentang kualitas pendidikannya dan usaha kearah tersebut, diharapkan bisa transparan baik pada bidang managemen sekolah terhadap institusi yang sama-sama berkualitas dengan cara meningkatkan kualitas proses pendidikan dengan
pengorganisasian sekolah. Sebagai konsekuensinya adalah bertambahnya kebutuhan instrumen demi terlaksananya prosedur guna kemajuan dan diagnosa kualitas pengajaran dan pembelajaran. Faktor utama dalam meningkatkan kualitas sekolah dan pembelajaran siswa diperankan oleh guru. Pendapat ini dilandasi oleh penelitian tentang beberapa faktor pendidikan, seperti; penelitian tentang efektifitas pendidikan (e.g, Creemer, 1994), penelitian tentang lingkungan pembelajaran (e.g Fraser, 1998) dan psikologi pendidikan (e.g. Shuell, 1996). Dalam makalah ini membahas alat (instrument) yang dapat digunakan untuk menentukan aspek-aspek kualitas pengajaran dan memahami interaksi alamiah antara guru dan siswa. Interaksi adalah salah satu faktor yang penting dalam pengajaran yang secara langsung berhubungan dengan pengorganisasian ruang kelas. Yang menjadi salah satu permasalahan guru adalah bagaimana ia dapat berinteraksi dengan siswa secara baik, baik dalam komunikasi interpersonal di dalam kelas maupun di luar kelas. Untuk mengetahui komunikasi interpersonal guru sudah banyak dilakukan penelitian antara lain oleh Veennian, 1984; instrumen ini dikenal sebagai QTI (Questionare on Teacher Interaction) dan sudah digunakan secara luas terhadap penilaian tingkah laku guru di Belanda, Australia dan USA (Wubble and Brekel Mans, 1998). Proses pembelajaran melibatkan banyak hal, yaitu : pertama, subjek yang dibimbing (peserta didik). Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri (mendidik diri) secara terus menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya. Kedua, orang yang membimbing (pendidik). Pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkungan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan adalah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, pelatihan, dan masyarakat/ organisasi. Ketiga, interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif). Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antar peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan memanipulasikan isi, metode serta alat-alat pendidikan. Keempat, ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan). Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak. Tujuan demikian bersifat umum, ideal, dan kandungannya sangat luas sehingga sulit untuk dilaksanakan di dalam praktek. Sedangkan pendidikan harus berupa tindakan yang ditujukan kepada peserta didik dalam kondisi tertentu, tempat tertentu, dan waktu tertentu dengan menggunakan alat tertentu.
Kelima, pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan). Dalam sistem pendidikan persekolahan, materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa. Sedangkan muatan lokal nisinya mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Keenam, cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode). Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Ketujuh, tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan). Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Oleh sebab itu untuk mewujudkan tujuan pembelajaran agar efektif dan efisien, antara guru dengan murid, guru dengan guru terjadi komunikasi interpersonal lebih mendalam di bawah akan diungkap hal yang terkait dengan permasalahan tersebut. Teori yang Dikaji 1. Komunikasi Interpersonal Guru dapat berkomunikasi dengan banyak cara, secara alamiah mereka mengembangakan berbagai cara dalam pendekatannya dengan siswa. Beberapa guru ada yang berkomunikasi dengan keras dan lunak, ada yang menjaga jarak dan ada pula yang akrab dengan siswanya. Untuk memaparkan ciri-ciri ini lebih lengkap dan jelas, ada dalam model komunikasi Leary (Leary, 1957; see Wubbels and Levy, 1993), sebagai ahli linier yang diadopsinya. Leary menggabungkan komunikasi orang dengan dua dimensi; (1) dimensi dominan, (contoh; orang yang mengatur komunikasi), dan (2) dimensi kooperatif (bagaimana hubungan yang dibuat antara orang-orang yang berkomunikasi. Selanjutnya dimensi-dimensi tersebut sering diberi nama lain oleh para ahli pendidikan seperti,”warmth” and “power” atau “authority” and “affiliation” (Dunkin and Biddle, 1974; Lonner, 1980; Capella, 1985). Komunikasi dengan dua dimensi ini adalah komunikasi antara guru dan siswa dan bagian interaksinya dapat dipetakan menurut bagaimana kerjasamanya, siapa yang mengontrol interaksi tersebut dan apa efeknya bila setuju. Contoh, dalam komunikasi/ dialog antara seorang ibu dengan seorang anak, seperti apapun ibu akan lebih dominan (kuat) pengaruhnya dari pada anaknya. 2. Model Pengajaran/Pembelajaran Teori komunkasi Leary penulis adopsi ke dalam model pengajaran (Wubbel and Leary, 1993). Para ahli membuat paradigma yang dibagi Leary yang awalnya dua dimensi menjadi
delapan bagian yang berbeda. Hal tersebut menggambarkan bagaimana model Leary dapat digunakan dalam ruang kelas. Sebagai catatan penting atas teori ini bahwa tingkah laku guru biasanya bisa diterima di semua sektor secara langsung. Walaupun ada beberapa situasi dimana guru menerima hal-hal yang tidak memuaskan, atau tidak tepat atau bahkan salah (dalam beberapa kategori lain). Dan di sisi lain diragukan bahwa kebanyakan guru dalam gaya komunikasinya mampu di setiap kategori (Wubbels, et, al…1997). 3. Pembuatan instrumen dalam Pembelajaran Pemetaan perilaku interpersonal guru, QTI, didesain menurut teori komunikasi dua dimensi Leary dan delapan sektor (Wubbels, et, al; …1987). Teori ini aslinya dikembangkan di Belanda, dan 64 – item tipe USA yang dibuat tahun 1988 (Wubbels dan Leary, 1991). Penerapan teori ini dimulai dari pembuatan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut diformulasikan, berdasarkan jumlah yang diwawancarai dari guru dan murid dan proses pembuatan questionare dari serangkaian tes yang sekunder (Wubbels and Leary, 1993). Pendidikan guru menganut beberapa versi.Versi asli pendidikan guru dibuat sebagai dasar beberapa versi yang baru (den Brok, 2001) seperti versi untuk pendidikan guru primer, yang lebih tinggi (Questionare on Lecturer Interaction untuk dosen/ QLI), pengawas dan satu untuk manager sekolah (questionare on principle interaction/ QPI). Dalam versi manajemen sekolah, tingkatan guru berdasar pada perilaku interpersonal manajernya (Fisher and Cresswell, 1998). Instrumen ini juga dibuat sebagai primary adaptasi yang digunakan pendidikan tingkat atas/tinggi (Hockley and Harkin, 2000). QTI punya lima poin skala respon, dari tingkatan “tidak pernah/tidak sama sekali”, “selalu/sering”. Ini dinilai berdasarkan delapan sektor atau dirangkum dari dua dimensi (DS) dan kedekatan (Co). Penerimaan delapan sektor (DS) juga dikenal sebagai pengaruh secara primer. Perilaku dibuat dalam sektor tertutup ke DS-axis yaitu guru khayal sampai ke pusat objek kebebasan. Prosedur yang dipakai guru dalam QTI normalnya menunggu beberapa bulan sampai tahun ajaran, sampai setiap orang tahu satu sama lain. Untuk membuat questionare (Wubbels et, al, 1997) terlebih dahulu harus mendapatkan informasi dari siswa. Guru biasanya memilih dua kelas yang beragam dalam umur, kemampuan belajar dan ciri yang lain. Siswa supaya menjawab apakah mengenal gurunya, guru juga melengkapi instrumen persepsi diri dengan menggabungkan dua persepsi. Sehingga guru dapat membandingkan hasilnya dan menentukan kualitas suasana kelas dan bagaimana baiknya mereka berkomunikasi dengan siswa. 4. Implikasi Teori Perkembangan Kognitif dalam Pembelajaran
Vygotsky mengemukakan teori tntang perkembangan kognitif dalam pembelajaran. Implikasi teori Vygotsky banyak diterapkan di dalam pendidikan. Konsep ini lebih menekankan pada pembelajaran aktiv, artinya antara guru dan murid saling berkolaborasi untuk mencari solusi dalam tugas sekolahnya. Peran guru dalam kelas adalah memberi panduan sesuai dengan instruksi dalam aktivitas pembelajaran, dengan adanya petunjuk atau instruksi akan berguna untuk mengajar anak sesuai dengan kemampuannya. Setelah itu guru memonitor kemajuan belajar siswa, dan kemudian secara berangsur-angsur menyerahkan lebih banyak aktivitas kepada para siswanya. Peran guru pada saat itu hanya menyusun latihan-latihan cooperative/ collaborative learning, dimana siswa saling bekerja sama, dengan instruksi yang mereka terima dari teman sebaya yang lebih mahir dari mereka akhirnya akan ditemukan solusi selain itu juga dengan bermain peran sebagai guru. (Palinscar, Brown, & Campione, 1993). Pendekatan pembelajaran Sociocultural dalam hal ini menjadi suatu strategi pembelajaran yang efektif dilakukan. Dalam penelitianya, Lisa Freud (1990), Ia melakukan simulasi dimana anak 3 sampai 5 tahun membantu sebuah boneka untuk memutuskan perabot mana (seperti, dipan, tempat tidur, bantal, piring dan kompor) yang harus ditempatkan pada setiap ruang dari enam ruang dalam sebuah rumah boneka. Pertama-tama, anak-anak diuji untuk menentukan apa yang telah mereka ketahui tentang penempatan meubel yang sesuai. Kemudian masing-masing anak bekerja pada tugas serupa, sendiri maupun dengan ibunya. Untuk menilai apa yang telah mereka pelajari, anak-anak mengerjakan tugas akhir, yang agak kompleks, yaitu sorting mebel. Hasilnya jelas. Anak-anak yang telah mensortir meubel dengan bantuan dari ibu mereka menunjukkan peningkatan dramatis dalam kemampuan penyortiran, sedangkan mereka yang melakukannya sendiri menunjukkan sedikit peningkatan, walaupun mereka telah menerima beberapa koreksi dari experimenter (Diaz, Neal, & Vachio, 1991; Rogoff, 1998). Di sini anak dilatih untuk memiliki keterampilan problem solving. Kemajuan serupa dalam ketrampilan problem-solving adalah ketika anak-anak berkolaborasi dengan teman sebayanya daripada bekerja sendiri (Azmitia, 1992; Fleming & Alexander, 2001), dan anak yang memperoleh hasil paling banyak dari kolaborasi ini adalah mereka yang pada awalnya kurang berkompeten dibanding teman mereka (Manion & Alexander, 1997; Tudge, 1992). David Johnson dan Roger Johnson (1987) menyelenggarakan sebuah metaanalisis dari 378 penelitian yang membandingkan prestasi orang yang bekerja sendiri dengan orang yang bekerja secara kooperatif dan menemukan bahwa cooperative learning menghasilkan prestasi yang superior dalam lebih dari setengah penelitian tersebut; sebaliknya, bekerja sendiri yang menghasilkan peningkatan prestasi kurang dari 10% dalam penelitian tersebut. Beberapa pertimbangan mengapa cooperatif learning efektif : a. Motivasi akan meningkat ketika anak-anak bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan (Johnson & Johnson, 1989).
b. Anak dapat menjelaskan gagasan mereka satu sama lain, meyakinkan, dan memecahkan konflik. Semua itu dibutuhkan untuk menguji gagasan mereka sendiri dan bisa mengartikulasikannya sampai orang lain dapat memahaminya. c. Anak akan menggunakan pendekatan metakognitif selama cooperative learning berlangsung (Johnson & Johnson, 1989). Kolaborasi dengan teman sebaya bukanlah obat mujarab dalam menyelesaikan setiap permasalahan, karena prestasi tidak dapat ditingkatkan hanya dengan cooperative learning (Pine & Messer, 1998). Orang tua umumnya dapat menjadi kolaborator yang lebih efektif (Ellis & Rogoff, 1986; Gauvain, 2001). Contoh lain, misalnya saat teman sebaya bekerja sama pada masalah rumit yang melibatkan perencanaan dan penggunaan strategi, mereka cenderung tidak berbicara sebanyak yang dilakukan orang dewasa, pasif, tidak dinamis ,kaku dalam koordinasi tindakan mereka (misalnya, siapa giliran berikutnya, siapa yang akan memutuskan sesuatu), dan kadang-kadang interaksi dipengaruhi oleh hubungan dominasi yang dapat bertentangan dengan peluang belajar (Gauvain, 2001; Radziszewska& Rogoff, 1988). Jadi, walaupun cooperative learning dengan teman sebaya seringkali mempunyai keuntungan daripada pemberian tugas serupa sendirian, namun hal ini bukanlah menjadi solusi, karena anak tidak menghasilkan sebanyak ketika bekerjasama dengan orang dewasa dalam proses pembelajaran. Prestasi atas tugas cooperative learning juga bervariasi sebagaimana fungsi kompetensi “tenaga ahli” dalam pasangan tersebut. Ketika teman sebaya yang lebih kompeten kurang percaya atau tidak memodifikasi perilakunya secara wajar untuk dapat menyesuaikan dengan teman sebaya yang less-skilled (yaitu yang mengerjakan pekerjaan lemah saat scaffolding), prestasi biasanya tidak lebih baik daripada ketika aktif/ bekerja sendiri (Tudge, 1992). Seperti teori sociocultural yang lain, efektivitas cooperative learning akan berbeda sesuai kultur. Anak-anak Amerika, terbiasa dengan kelas yang kompetitif dan melakukan pekerjaannya sendiri, tampak akan mempunyai banyak kesulitan dengan shared-decision yang ditemukan dalam cooperative learning (Rogoff, 1998), walaupun mereka mendapatkan yang lebih baik dalam pengambilan keputusan yang cooperative melalui praktek (Socha & Socha, 1994). Seperti struktur sekolah yang berubah untuk mendukung kolaborasi teman sebaya, dengan peran guru yang menjadikan peserta aktif dalam pengalaman belajar anak-anak dari pada sederhananya para pemimpin, manfaat cooperative learning secara bersamaan meningkat (Rogoff, 1998). Yang menarik dalam cooperative learning adalah bahwa kadang-kadang anak-anak mengingat perilaku orang lain sebagai perilaku mereka, suatu kesalahan monitoring – kemampuan untuk menentukan pengetahuan, memori, atau kepercayaan seseorang yang sebenarnya. Contohnya, Mary Ann Foley dan Hillary Ratner yang meneliti anak-anak yang menyusun collage bersama orang dewasa, anak-anak dan orang dewasa tersebut bergiliran meletakkan bagian-bagian collage (Foley & Ratner, 1998a; Foley, Ratner, & Passalacqua, 1993).
Setelah melengkapi collage, tanpa diduga anak-anak ditanya siapa yang telah meletakkan masing-masing bagian collage tersebut, mereka atau orang dewasa. Foley dan Ratner tertarik dengan error attribution – apakah anak-anak akan mengakui bagian yang telah diletakkan orang dewasa sebagai miliknya (“I did it” errors), atau sebaliknya (“You did it” errors,) ketika anak mengakui bagian yang diletakkannya sebagai milik orang dewasa. Anak usia empat tahun melakukan “I did it errors”, yaitu mengakui bagian yang telah diletakkan orang dewasa sebagai miliknya. Anak-anak cenderung untuk melakukan re-code tindakan orang dewasa sebagai tindakan mereka. Menurut Foley dan Ratner, penyimpangan ini mungkin mendorong ke arah pembelajaran yang lebih baik tentang tindakan orang lain, sebagian disebabkan oleh mis-atribusi tindakan orang lain kepada dirinya yang bisa menyebabkan anak-anak untuk menghubungkan tindakan tersebut kepada sumber umum (diri mereka) dan menghasilkan suatu memori yang lebih terintegrasi dan mudah dipanggil kembali. Ratner, Foley, dan Gimpert (2002) melaporkan bahwa anak usia lima tahun yang melakukan tugas kolaboratif bersama orang dewasa (menempatkan meubel dalam rumah boneka) membuat banyak “I did errors”; bagaimanapun, nantinya anak-anak menunjukkan memori yang lebih besar saat menempatkan meubel pada setiap ruang dibanding anak-anak yang tidak berkolaborasi dalam suatu kelompok. Kolaborasi mendorong pada pembelajaran yang lebih besar; tetapi tidak dengan cara yang mungkin telah diharapkan. Melainkan, anak-anak yang belum dewasa sistem kognitifnya mengakibatkan jumlah kesalahan source-monitoring yang tinggi, yang benar-benar menghasilkan pembelajaran yang lebih baik (Bjorklund, 1997). 5. Piaget vs Vygotsky: tentang Teori Perkembangan Kognitif dalam pembelajaran Perkembangan kognitif digambarkan sebagai perkembangan kemampuan berpikir dan memberi alasan (University of Chicago Comer Children’s Hospital, 2006). Piaget dan Vygotsky merupakan kontributor penting dalam psikologi perkembangan kognitif. Mereka sangat memperhatikan bagaimana cara anak-anak belajar dan secara mental tumbuh dan memainkan peran dalam proses belajar serta kemampuan mereka. Piaget dan Vygotsky dikenal sebagai constructivist. Constructivism adalah suatu pendekatan dalam mengajar dan belajar berdasarkan pendapat bahwa pengamatan menjadi hasil dari “mental construction”. Dengan kata lain, para siswa belajar dengan saling mengkaitkan informasi baru dengan apa yang telah mereka ketahui. Constructivist percaya bahwa belajar dipengaruhi konteks dimana suatu gagasan dipikirkan sebaik kepercayaan dan sikap siswa (Hawai’i Department of Education E-School, 1996). Persamaan lain Piaget dan Vygotsky adalah mereka percaya bahwa batasan-batasan pertumbuhan kognitif dibentuk oleh pengaruh masyarakat. Sayangnya, inilah akhir persamaan Piaget dan Vygotsky.
Pokok-pokok teori Piaget dan Vygotsky sangat berbeda. Piaget percaya bahwa inteligensi berasal dari aksi. Menurutnya, belajar terjadi melalui interaksi dengan lingkungan mereka berlangsung setelah perkembangan. Sebagai alternatif, Vygotsky merasa bahwa belajar terjadi sebelum perkembangan dan anak-anak belajar karena sejarah dan simbolisme (Slavin, 2003, hal.30, 43). Vygotsky juga percaya bahwa nilai pada anak-anak masuk dari lingkungan mereka dan lainnya. Piaget tidak menempatkan pentingnya masukan dari yang lain tersebut. Teori Piaget dan Vygotsky dalam perkembangan kognitif juga mempunyai pendapat yang berbeda. Teori perkembangan kognitif Piaget terdiri dari empat tahap. Yang pertama dikenal dengan tahap sensorimotor (usia 0-2 tahun). Yang kedua adalah tahap pre-operasional (usia 2-7 tahun). Tahap yang ketiga adalah pengembangan teori (usia 7-11 tahun). Tahap yang keempat dalam teori Piaget adalah tahap operasional formal. Dan hanya sekitar 35% dari manusia yang pernah mencapai tahap pikiran operasional formal ( Huitt& Hummel, 2003). Menurut Vygotsky bahwa tidak ada tahap yang bisa diatur. Teori Vygotsky yang pertama dikenal dengan private speech, yaitu berbicara dengan dirinya sendiri. Yang membantu anakanak untuk berpikir melalui suatu isu dan adanya suatu solusi atau kesimpulan. Yang kedua adalah zone of proximal development (ZPD), yaitu tingkat perkembangan di atas tingkat kemampuan seseorang (Slavin, 2003, hal.44). Scaffolding adalah tahapan terakhir dari teori perkembangan kognitif Vygotsky. (Slavin, 2003, hal.44). Scaffolding melibatkan bantuan dan dorongan dalam wujud nasihat dan sugesti dari para guru, orang tua, dan teman sebaya untuk membantu seorang anak dalam menguasai suatu konsep baru. Biasanya para guru dan sistem sekolah tengah menerapkan teori perkembangan teori Piaget dan Vygotsky dalam suatu waktu. Contoh yang baik dari teori pembelajaran Piagentian bisa dilihat dalam kelas preschool. Selama usia preschool, Piaget berpendapat bahwa anak-anak berada dalam tahap pre-operasional dan mereka cenderung menjadi egosentris. Suatu aplikasi kelas yang memungkinkan dari teori kognitif Vygotsky bisa digunakan pada kelas satu. Para siswa kelas satu seringkali mempunyai tingkat pengetahuan yang bermacam-macam. Beberapa anak mungkin telah mengetahui bagaimana cara membaca sedangkan beberapa anak yang lain masih berusaha untuk menguasai konsep ini. Cara yang baik untuk membantu anak-anak yang belum mampu membaca sebaik yang lainnya mungkin dengan memberi mereka bantuan memeriksa kata ketika mereka mendapatkannya saat membaca suatu cerita. Kesimpulannya, cognitive development mempunyai peran kunci dalam metode belajar dan berpikir anak-anak. Piaget dan Vygotsky menawarkan beberapa pengertian mendalam yang tidak masuk akal dalam cara belajar anak-anak yang memungkinkan. Penggunaan teori ini untuk menciptakan suatu lingkungan belajar yang lebih kondusif untuk setiap anak ( http://wangmuba.com).
Interpretasi Tentang Hubungan Interpersonal Guru Dalam kajian komunikasi interpersonal guru, guru sebaiknya mengenal dan memperbaiki tingkah lakunya dalam berkomunikasi dengan para siswanya. Adapun perilaku interpersonal guru dengan murid tersebut berisi tentang ; 1. Secara alamiah guru dalam berkomunikasi dengan siswa menggunakan berbagai cara antara lain ada guru yang tipenya lunak, keras, ada yang menjaga jarak dengan siswa, dan ada pula yang sok akrab dengan siswa. 2. Wubbels dan Leary, 1993, menggambarkan komunikasi orang dalam dua dimensi yaitu; (1) dimensi dominan adalah tipe bagi orang yang suka mengatur, (2) dimensi kooperatif, yaitu bagaimana hubungan yang dibuat antara orang-orang yang berkomunikasi. 3. Komunikasi antara pribadi dengan dua dimensi tersebut dapat dipetakan yaitu, bagaimana kerjasamanya, siapa yang mengontrol komunikasi tersebut dan siapa yang lebih dominan (sebagai contoh komunikasi antara anak dengan orang tua, maka yang dominan adalah orang tua). 4. Komunikasi yang dibagi dalam dua dimensi, kemudian dikembangkan menjadi delapan sektor (bagian). Sebagai contoh; guru ada kalanya bisa diterima di semua sektor, tetapi ada beberapa situasi dimana guru menerima hal-hal yang tidak memuaskan/tidak tepat/salah. Dan diragukan bahwa kebanyakan guru mampu berkomunikasi pada setiap kategori. 5. Dalam pemetaan perilaku interpersonal guru tersebut dibuat instrumen (pertanyaan) yang diformulasikan berdasarkan jumlah yang diwawancarai dari guru dan siswa dengan versi yaitu untuk pendidikan guru primer, yang lebih tinggi (dosen), pengawas dan manager sekolah (QPI) dan tingkatan managemen sekolah, tingkat perilaku interpersonal dengan lima skala respon. Yaitu ; tidak pernah/ tidak sama sekali, selalu/ sering. 6. Dalam pelaksanaan penelitian, guru menunggu beberapa bulan sampai tahun ajaran baru, agar siswa saling mengenal demikian juga dengan gurunya sehingga bisa menggabungakan dua persepsi (bagaiman mengenal guru/siswa). Hasilnya bisa dibandingkan dengan menentukan kualitas suasana kelas dan bagaiman idealnya komunikasi dengan siswa/guru. 7. Kriteria penilaian yang diajukan antara lain adalah ; (1) kepemimpinan, (2) tolong menolong/keakraban, (3) pemahaman, (4) siswa, (5) tanggung jawab/kebebasan, (6) ketidakyakinan, (7) ketidakpuasan, (8) pengakuan akan kesalahan, dan (9) penolakan terhadap pelanggaran aturan. 8. Kualitas pembelajaran dalam kelas menentukan kualitas sekolah, sehingga proses pembelajaran yaitu; out come – process – in come ini akan sangat menentukan apakah sekolah tersebut diterima masyarakat/tidak. Tetapi untuk kesuskesan sebuah pembelajaran tidak lepas dari kompetensi guru yang bersangkutan, sehingga bila sekolah berkualitas bisa
masuk media, banyak yang minat sekolah di situ, demikian pula dengan pengguna jasanya otomatis kualitas dan kuantitasnya tidak perlu diragukan lagi. Teori-teori Tentang Komunikasi Interpersonal 1. Konsep Perilaku Komunikasi Antar Pribadi Secara umum, perilaku dijelaskan sebagai segala aspek dan kegiatan organisme, termasuk pikiran, perasaan, dan aktivitas fisik (Lefton dalam Alhadza, 2000). Dalam konteks pendidikan, Bloom mengemukakan taksonomi perilaku ; dalam wujud kognitif, afektif dan psikomotorik. Sedangkan Dewantoro menggunakan istilah cipta, rasa, dan karsa. Sementara di masyarakat saat ini perilaku dimaknai penalaran, penghayatan dan pengamalan. Dari beberapa pandangan di atas dapat ditegaskan bahwa perilaku adalah aktivitas manusia yang berupa penalaran, penghayatan dan pengamatan dalam merespon lingkungan. Komunikasi adalah suatu pemindahan makna (pemahaman) dari pengirim kepada penerima, dan termasuk di dalamnya unsur komunikasi efektif, yakni pengirim, penerima dan keberhasilan pengiriman makna (Gibson, 1988). Sedangkan menurut Handoko (2001) mendefinisikan komunikasi adalah proses pemindahan pengertian dalam bentuk gagasan atau informasi dari seseorang ke orang lain. Pengertian komunikasi antarpribadi adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka (Hafied, 2002). Menurut sifatnya komunikasi antarpribadi dibedakan atas dua macam, yaitu komunikasi diadik (diadic comunication) dan komunikasi kelompok kecil (peer communication). Komunikasi diadik adalah proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Menurut Pace, komunikasi diadik dapat dilakukan dalam bentuk percakapan, dialog dan wawancara. Sedang komunikasi kelompok kecil adalah proses komunikasi yang berlangsung antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, dimana anggota-anggotanya saling berinteraksi satu sama lain. Dari sini dapat dijelaskan bahwa meskipun terjadi komunikasi kelompok kecil tetap akan terjadi komunikasi diadik. Unsur terpenting untuk dapat terjadinya komunikasi antar pribadi yang efektif adalah adanya hubungan antar pribadi. Hubungan antar pribadi terdiri atas tiga faktor, yaitu saling percaya, saling suportif dan sikap terbuka. Selain itu adanya konsep diri meliputi persepsi pribadi self image dan self esteem. Termasuk rasa empati dan simpati merupakan faktor yang cukup dominan dalam komunikasi antar pribadi (Rakhmat, 2002). 2. Keterkaiatan Antara Komunikasi Interpersonal dengan Belajar Sebelum dibahas hubungan antara komunikasi interpersonal dan belajar terlebih dahulu dikemukakan pengertian belajar. Balajar adalah segala perubahan permanen pada perilaku
seorang individu yang terjadi sebagai akibat dari pengalaman proses belajar (John Suprihanto dkk,2003). Proses belajar didasarkan pada law of effect yang menyatakan bahwa perilaku adalah fungsi dari konsekuensi. Perilaku yang diikuti oleh konsekuensi positif cenderung akan diulangi. Sedangkan perilaku yang diikuti dengan kensekuensi negatif cenderung tidak diulangi Konsekuensi dalam hal ini adalah sesuatu yang dirasakan ada imbalannya (uang, pujian,promosi, senyuman dsb). Penjelasan pokok mengenai proses belajar adalah tentang bagaimana kita belajar, yang terdiri dari dua yaitu shaping dan modelling. Shaping adalah suatu proses atau cara belajar secara bertahap atau dapat dikatakan juga “belajar dari kesalahan” (trial and error). Sedangkan modelling adalah proses belajar dengan memperhatikan perilaku orang lain dan setelah itu menyesuaikan perilaku kita sendiri dengan perilaku yang kita pelajari. Misalnya seorang karyawan baru yang berusaha untuk menjadi lebih produktif dan tangkas dengan belajar dari para seniornya yang telah berpengalaman. Ada tiga teori tentang proses belajar (learning) yaitu ; (John Suprihno, dkk, 2003) .(1) Classical Conditioning, dimana perilaku individu dapat dikondisikan oleh pengalamanpengalaman yang lalu. Perilaku individu di sini karena keadaan, bukan karena kepribadian, (2) Operant Conditioning, dimana perilaku individu dapat dikondisikan oleh perilaku sukarela yang diinginkan untuk menghasilkan suatu imbalan (reward) atau mencegah terjadinya sutu hukuman (punishment), (3) Social Learning Theory, dimana perilaku individu dapat dikondisikan oleh observasi dan pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari. Shaping behavior merupakan pembentukan perilaku di mana proses seorang individu melaksanakan tindakan untuk mendorong terjadinya perilaku subtitusi yang digunakan untuk meengganti perilaku yang tidak diinginkannya. Metode untuk melakukan shaping behavior disebut juga reinforcement process, yaitu suatu proses yang menyatakan bahwa individu akan termotivasi untuk melaksanakan perilaku yang diharapkan bila ada insentif maupun imbalan yang positif. Jadi secara otomatis bahwa komunikasi interpersonal ada hubungannya dengan belajar. Sebab komunikasi interpersonal itu antara lain merupakan salah satu metode dalam pembelajaran, yaitu adanya hubungan (kontak langsung) dengan siswa atau guru secara langsung. 3. Indikator-indikator Komunikasi Dalam Pembelajaran Kegiatan komunikasi bagi diri manusia, akan merupakan bagian yang hakiki dalam kehidupannya. Dinamika masyarakat akan senantiasa bersumber dari kegiatan komunikasi dan interaksi dalam hubungannya dengan fihak lain dan kelompok. Bahkan dapat dikatakan melalui komunikasi akan terjamin kelanjutan hidup masyarakat dan terjamin pula kehidupan manusia.
Istilah interaksi edukatif sebenarnya komunikasi timbal balik antara fihak yang satu dengan yang lain, sudah mengandung makna dan maksud tertentu, yaitu untuk mencapai tujuan (dalam belajar berarti untuk mencapai tujuan belajar). Dikatakan komunikasi edukatif apabila secara sadar mempunyai tujuan untuk mendidik, untuk mengantarkan anak didik ke arah kedewasaannya. (Sardiman, A.M, 1994). Jadi dalam hal ini yang penting bukan interaksinya, tetapi yang pokok adalah maksud atau tujuan berlangsungnya interaksi itu sendiri. Karena tujuan menjadi yang pokok, maka kegiatan interaksi itu memang direncana dengan sengaja. Perlu ditegaskan bahwa prinsip mengajar adalah mempermudah dan memberikan motivasi kegiatan belajar. Sehingga guru sebagai pengajar memiliki tugas memberikan fasilitas atau kemudahan bagi suatu kegiatan belajar subyek belajar/siswa. Untuk itu perlu dipahami secara benar mengenai pengertian proses belajar dan interaksi belajar mengajar. Belajar dan mengajar adalah dua kegiatan yang tunggal tetapi memiliki makna yang berbeda, Belajar diartikan sebagai suatu perubahan tingkah laku karena hasil dan pengalaman yang diperolah. Sedangkan mengajar adalah kegiatan penyediaan kondisi yang merangsang serta mengarahkan kegiatan belajar siswa/subjek belajar untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang membawa perubahan tingkah laku maupun perubahan serta kesadaran diri sebagai pribadi (Sardiman,A.M, 1994). Dengan melihat beberapa maksud belajar seperti tersebut di atas, maka indikator keaktifan siswa sebagai subyek belajar sangat menentukan (Sardiman, A.M. 1994). Guru sebagai pengajar tidak mendominasi kegiatan, tetapi membantu menciptakan kondisi yang kondusif serta memberikan motivasi dan bimbingan agar siswa dapat mengembangakan potensi dan kreatifitasnya, melalui kegiatan belajar diharapkan potensi siswa dapat sedikit demi sedikit berkembang menjadi komponen penalaran yang bermoral, manusia-manusia aktif dan kreatif yang beriman. Kemudian secara rinci dalam proses pembelajaran itu paling tidak mengandung ciriciri/indikator-indikator sebagai berikut ; (1) ada tujuan yang ingin dicapai, (2) ada bahan/pesan yang menjadi isi interaksi, (3) ada pelajar yang aktif mengalami, (4) ada guru yang melaksanakan, (5) ada metode untuk mencapai tujuan, (6) ada situasi yang memungkinkan proses belajar- mengajar berjalan dengan baik, (7) ada penilaian terhadap hasil interaksi (Sardiman, A.M, 1994). 4. Ciri-Ciri Khusus yang Mempengaruhi Keberhasilan Pembelajaran Pendidikan dapat dirumuskan dari sudut tujuan karena pendidikan pada hakekatnya memang sebagai suatu peristiwa yang memiiliki norma. Artinya bahwa dalam peristiwa pendidikan, pendidik dan anak didik berpegang pada ukuran, norma hidup, pandangan terhadap individu dan masyarakat, nilai-nilai moral kesusilaan yang kesemuanya merupakan sumber
norma dalam pendidikan. Faktor yang sangat menentukan dalam merumuskan tujuan secara umum. Di samping perumusan secara normatif, pendidikan juga dapat dirumuskan dari sudut proses teknis, yaitu terutama dilihat dari segi peristiwanya. Peristiwa dalam hal ini merupakan suatu kegiatan praktis yang berlangsung dalam satu masa dan terikat dalam satu situasi serta terarah pada satu tujuan. Peristiwa tersebut adalah satu rangkaian kegiatan komunikasi antar manusia, rangkaian perubahan dan pertumbuhan fungsi jasmaniah, pertumbuhan watak, pertumbuhan intelek dan pertumbuhan sosial. Semua ini tercakup dalam peristiwa pendidikan. Dengan demikian pendidikan itu merupakan himpunan kultural yang sangat kompleks yang dapat digunakan sebagai perencanaan kehidupan manusia. Sehubungan dengan uraian di atas, maka interaksi edukatif yang secara spesifik merupakan proses atau interaksi belajar mengajar itu, memiliki ciri-ciri khusus yang membedakan dengan bentuk interaksi yang lain. Edi Suardi dalam bukunya Pedagogik (1980) merinci ciri-ciri interaksi belajar-mengajar sebagai berikut : (1) interaksi belajar mengajar mempunyai tujuan, yakni untuk membantu anak dalam perkembangan tertentu, (2) ada suatu prosedur (jalannya interaksi) yang direncanakan, didesain untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, (3) interaksi belajar-mengajar ditandai dengan satu penggarapan materi yang khusus, (4) ditandai dengan adanya aktifitas siswa, bahwa siswa merupakan syarat mutlak bagi berlangsungnya interaksi belajar-mengajar, (5) dalam interaksi belajar-mengajar, guru berperan sebagai pembimbing, (6) di dalam interaksi belajar-mengajar membutuhkan disiplin, (7) ada batas waktu, untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu dalam sistem kelas, batas waktu menjadi ciri yang tidak bisa ditinggalkan. Di samping beberapa ciri tersebut di atas unsur penilaian adalah unsur yang sangat penting. Dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan untuk mengetahui apakah tujuan itu sudah tercapai lewat interaksi belajar-mengajar atau belum. Dengan demikian ciri-ciri interaksi belajar-mengajar sebenarnya senada dengan ciri interaksi edukatif, maka apa yang dikatakan interaksi edukatif itu berlangsung pula dengan kegiatan interaksi belajar-mengajar. 5. Problem Kependidikan (pembelajaran) dan Pemecahannya Masih ada kesenjangan antara hasil pembelajaran dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi yang ada, selama itu pula problema pembelajaran senantiasa dibicarakan dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic. Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya, dan sebagainya. Oleh
karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain. Pendekatan microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri. interaksi yang terjadi tersebut berupa proses belajar mengajar yang terdapat di kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam pendidikan. Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan kualitas pendidikan hanya akan berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan. 6. Bagaimana Paradigma Pembelajaran Selama ini ? Proses belajar mengajar di mana interaksi murid-guru dilaksanakan secara sadar untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditargetkan disebut sebagai ilmu keguruan. Ilmu ini bisa diklasifikasi sebagai bagian dari ilmu kependidikan. Ilmu keguruan memiliki paradigma yang berkaitan dengan pertanyaan apa dan siapa murid, apa dan siapa guru, apa fungsi guru, apa materi pengajaran itu, ke mana anak akan dibawa, apa indikator keberhasilan anak didik, bagaimana mengevaluasi keberhasilan tersebut. Ilmu keguruan yang berkembang dan dipraktekkan di tanah air kita, memandang anak didik sebagai seorang individu yang belum dewasa, memiliki pengetahuan dan keterampilan. Jadi, dalam proses interaksi guru-murid, anak didik merupakan objek. Sedangkan guru merupakan sumber ilmu dan keterampilan, dimana kehadirannya di muka kelas merupakan suatu kondisi mutlak yang harus ada agar proses belajar mengajar berlangsung. Karena guru memegang peran yang penting dalam proses interaksi tersebut, maka guru harus dihormati dan dipatuhi. Apa yang diajarkan guru sudah tercantum dalam kurikulum atau sudah dideskripsikan dalam buku yang sudah tersedia. Pengembangan pembahasan materi sesuai dengan perkembangan lingkungan dan pembahasan teori dalam kaitan dengan realitas yang ada tidak begitu mendapatkan tekanan. Sebab pembahasan materi pelajaran terletak pada materi itu sendiri. Sebagai hasil proses belajar mengajar yang penting tidak saja anak didik memiliki kemampuan, pengetahuan, keterampilan, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana anak didik mendapatkan pengetahuan atau keterampilan tersebut. Program-program pembaharuan pendidikan, misalnya pembaharuan kurikulum atau sekolah pembangunan, yang merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan, merupakan program-program yang didesain dengan acuan paradigma di atas. Sejauh ini, belum ada program-program pembaharuan pendidikan yang berhasil dalam memecahkan problem pendidikan. Mengapa? Jawaban atas pertanyaan mangapa ini bisa panjang. Misalnya, dari aspek perencanaan, hampir semua pembaharuan pendidikan tidak direncanakan secara mantap karena kurang
didasarkan pada hasil penelitian yang solid. Aspek monitoring juga lemah, hal ini ditunjukkkan dengan adanya program pembaharuan pendidikan yang berlangsung cukup lama tidak pernah dievaluasi tahu-tahu program tersebut dihentikan. Di samping itu, dan ini yang lebih penting, adalah bahwa kegagalan program-program pembaharuan pendidikan di tanah air terletak pada paradigmanya sendiri. Artinya paradigma ilmu keguruan yang diterapkan di tanah air kita ini sudah tidak bisa digunakan untuk memecahkan problem kependidikan yang kita hadapi. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution, Thomas Kuhn mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan selalu mengalami perkembangan. Perkembangan ini dimulai dengan adanya “krisis”, di mana kemapanan ilmu dipertanyakan. Yang kemudian diikuti dengan usaha untuk merubah secara mendasar ilmu pengetahuan tersebut dengan mempertanyakan dan mengembangkan paradigma baru. Dalam kaitan dengan pembahasan interaksi murid-guru, nampaknya krisis ilmu keguruan untuk memecahkan problema pendidikan dewasa ini patut dipertanyakan. Oleh karenanya, sudah saatnya diperlukan adanya keberanian dari para ahli, terutama mereka yang berkecimpung dalam keguruan atau kependidikan, untuk mempertanyakan paradigma lama dan mengembangkan paradigma baru. 6. Penerapan Teori Humanistik dalam Komunikasi Interpersonal. Menurut Rogers yang penting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip Pendidikan & Pembelajaran, yaitu : a. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal- hal yang tidak ada artinya. b. Siswa akan mempelajari hal - hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan & ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. c. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan & ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses. Dalam buku Freedom To Learn, dikemukakan prinsip-prinsip humanistik; a. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami. b. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri. c. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam & cenderung untuk ditolaknya. d. Tugas tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman- ancaman dari luar semakin kecil.
e. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah,pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar. f. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya. g. Belajar diperlancar bilamana siswa melibatkan dalam proses belajar dan ikut tanggung jawab terhadap proses belajar itu. h. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya baik perasaan maupun intelek,merupakan cara yang memberikan hasil yang mendalam dan lestari. i. Kepercayaan terhadap diri sendiri,kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara ke dua yang penting. j. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern adalah belajar mengenai proses belajar,suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuaanya terhadap diri sendiri mengenai proses perubahan itu. Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh / spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilisator bagi para siswa. Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya dari pada hasil belajar. Adapun proses pembelajaran yang umumnya diterapkan melalui langkahlangkah sebagai berikut: a. Merumuskan tujuan belajar yang benar. b. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontak belajar yang bersifat jelas, jujur dan positif. c. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk belajar atas inisiatif sendiri. d. Mendorong siswa untuk peka, berfikir kritis, memaknai proses pembelajaran secara mandiri. e. Siswa didorong untuk bebas mengemukakan pendapat, menentukan pilihannya sendiri, melakukan apa yang diinginkan dan menanggung resiko dari prilaku yang ditunjukkan. f. Guru menerima siswa apa adanya,berusaha memahami jalan pikiran siswa,tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa untuk bertanggung jawab atas segala resiko perbuatan / proses belajarnya. g. Memberikan kesempatan siswa untuk maju sesuai dengan kecepatannya. h. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi siswa. Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok diterapkan untuk materi pembelajaran yang bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola fikir, perilaku dan sikap atas
kemauan sendiri. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin / etika yang berlaku ( http://teoripembelajaran.teknodik.net , 26 Mei 2009) 7. Contoh Keberhasilan Komunikasi Interpersonal Pembelajaran Angin segar di bidang keguruan telah bertiup dari Cianjur. Di mana di kabupaten ini di sekolah-sekolah dasar sudah diterapkan metode mengajar cara belajar siswa aktif yang dikenal dengan CBSA, sebagai kebalikan dari cara mengajar DDCH (duduk, diam, catat, hafal) atau (CMGA cara mengajar guru aktif). Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam metode CBSA bukan dianggap objek pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan. Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang dikemukakan oleh guru masih bersifat “hypothetical”. Oleh karena itu murid perlu menguji kebenaran apa yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan guru akan aktif untuk mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma baru tersebut di Cianjur telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Dalam bidang prestasi akademik nilai rata-rata NEM untuk daerah Cianjur mencapai 33,88 sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara keseluruhan rata-rata NEM hanya mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD Cianjur yang sudah duduk di bangku SMP mempunyai ciri-ciri antara lain; (a) di kelas mereka aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b). mereka ini bisa bekerjasama dengan membuat kelompokkelompok belajar, (c). mereka ini bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, dan (d) di samping mampu bekerjasama, mereka memiliki kepercayaan diri yang besar. Melihat kehidupan sekolah dasar di Cianjur kita betul-betul melihat dunia anak : dinamis, aktif dan gembira. Sekolah bagi anak bukan merupakan tempat menakutkan ataupun menjemukan. Dari sekolah dasar semacam inilah akan dapat diharapkan munculnya pribadi yang mandiri dan demokratis. Tetapi masalahnya, bagaimana pembaharuan di bidang pengajaran dengan CBSA ini dapat disebarluaskan di seluruh Indonesia? Masalahnya tidaklah gampang, mengingat pelaksanaan CBSA memerlukan perubahan-perubahan total pada diri siswa maupun guru. Khusus, di fihak guru dituntut untuk memiliki “Duit” (Dedikasi yang lebih tinggi, Usaha yang lebih keras, lkhlas, dan Tekun). Karena melaksanakan proses belajar-mengajar dengan
CBSA guru harus lebih aktif, khususnya dalam mempersiapkan bahan pelajaran, merencanakan proses yang akan dilaksanakan, mempersiapkan evaluasi dan tindak lanjut. Dan itu semua harus dilaksanakan dalam kondisi di mana secara ekonomis tidak akan menghasilkan apa-apa. Keberhasilan disiminasi proses belajar mengajar dengan pendekatan CBSA di seluruh tanah air merupakan jembatan menuju revolusi ilmu keguruan. (http://pakguruonline.pendidikan.net, Selasa 26 mei 2009) Kesimpulan 1. Bahwa komunikasi antar pribadi khususnya yang terjadi pada interaksi guru dan siswa seharusnya terbina secara luwes, dengan kata lain ada tataran normatif dan praktis, sehingga guru tahu posisinya demikian pula murid juga harus menempatkan diri sebagai siswa. 2. Hubungan antara komunikasi dan belajar sebenarnya suatu yang wajar dan saling terkait tidak dapat terpisahkan, komunikasi dalam pengertian pembelajaran akan sangat menentukan keberhasilan guru dalam berinteraksi dengan siswa. 3. Bahwa komunikasi dan interaksi interpersonal guru dan siswa tetap akan lebih dominan pada guru dari pada murid untuk saat ini, terkecuali pada proses pembelajaran di pendidikan tinggi. 4. Melalui interaksi edukatif dan interaksi belajar-mengajar diharapkan guru bisa berkualitas dalam pembelajaran. Sehingga akan menentukan pula kualitas dan kuantitas sekolah. Rekomendasi 1. Komunikasi interpersonal dalam pembelajaran adalah sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pembelajaran dalam suatu sekolah. 2. Keberhasilan pembelajaran dalam suatu sekolah bisa sebagai landasan keberhasilan baik dari segi kualitas (mutu) dan kuantitas sekolah tersebut. 3. Apabila sekolah secara kualitas dan kuantitas diakui masyarakat dan bisa diinformasikan melalui media, maka sekolah tersebut mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu. 4. Dengan kualitas dan kuantitas, secara otomatis ketakutan akan sekolahan tersebut terlikuidasi sudah terjawab. Daftar Pustaka Abdullah, Alhadza. 2000. Pengaruh Motivasi Berprestasi dan Perilaku Komunikasi Antar Pribadi. Jurnal Pendidikan. Dauglas M. Windham. 1990. Improving The Efficiency of Educational Systems. The Florida State University: Tallahassee. Edi Suardi. 1980. Paedagogik. Bandung: Angkasa.
Gibson, Jane W dan Richard M. Hodgetts. 1988. Organizational Communication : A Managerial Perspective. Orlando, Florida: Academic Press Inc. Hafied, Congara. 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. Handoko, Martin. 2002. Motivasi dan Penggerak Tingkah Laku. Yogyakarta: Kanisius. Hisyam Zaini, Bermawy Munthe, Sekar Ayu Aryani. 2002. Strategi Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi. Yogyakart: CTSD. Jalaluddin, Rakhmat. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya. John Suprihanto, Th Agung M Harsiwi, Prakoso Hadi. 2003. Perilaku Organisasi Jilid I, Yogyakarta: Aditya Media. Sardiman A.M. 1994. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada. ( http://teoripembelajaran.teknodik.net , 26 Mei 2009) (http://pakguruonline.pendidikan.net, Selasa 26 mei 2009)