Mengenai Pustaha: Buku Lipat dari Batak1 Oleh. Muhammad Nida’ Fadlan2
Mengenal Pustaha: Sebuah Pengantar Istilah pustaha disebut sebagai buku ramalan masyarakat Batak yang telah dikenal di dunia Barat sejak 200 tahun yaitu saat Van der Tuuk menjadikan isi pustaha sebagai objek penelitiannya. Akan tetapi artikel yang ditulis oleh Rene Teygeler ini tidak akan mengulas isi penelitian Van der Tuuk, melainkan untuk merekonstruksi proses produksi dari pustaha berdasarkan beberapa studi literatur serta mengkaji beberapa alat tulis dan bahan naskah yang digunakan olehnya. Heterogenitas masyarakat suku Batak (Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing) menimbulkan asumsi beragamnya tata cara pembuatan pustaha pada masing-masing kelompok masyarakat. Akan tetapi, Teygeler menegaskan bahwa terdapat keseragaman dalam pembuatan pustaha meskipun terdapat perbedaan latar belakang etnis pada tiap kelompok. Secara umum, istilah pustaha merupakan sebuah istilah untuk menyebutkan sebuah produk tradisi tulis dari suku Batak. Meskipun demikian, setiap kelompok masyarakat Batak memiliki definisi masing-masing terkait makna istilah ini. Kelompok Batak Toba misalnya menyebutkan bahwa Pustaha berasal dari bahasa kelompok Batak Toba yang merupakan istilah untuk menyebutkan buku ramalan suku Batak. Kelompok Batak Karo menyebut buku mereka dengan istilah pustaka atau pustaka laklak yang berarti ‘buku yang terbuat dari kulit kayu’, sedangkan kelompok Batak Pakpak menyebutnya dengan istilah lapihin atau lopijan untuk merujuk benda yang sama. Menurut Voorhoeve, teks yang tertulis di dalam pustaha biasanya adalah ilmu magis, ramalan, dan obat-obatan meskipun demikian terkadang ditemukan pula pustaha yang berisi tentang peristiwa sejarah, legenda, serta beberapa bentuk pengakuan atas Eropa pada teks-teks tersebut. Pustaha dibuat oleh seorang dukun yang disebut datu dengan tujuan membuat bahan rujukan yang berfungsi sebagai buku petunjuk yang melengkapi petunjuk lisan yang telah dipelihara sejak lama. Pustaha ditulis di atas kulit kayu yang dilipat menggunakan mode concertina (semacam akordion) dan terkadang dilengkapi dengan papan. Meskipun bahasa Batak memiliki banyak dialek, akan tetapi bahasa tulis yang digunakan dalam pustaha tetap seragam tanpa mengurangi ciri khas lokalnya. Ketidakjelasan aksara pada bahasanya ini membuat bahasa Batak memiliki tingkat kesulitan yang cukup tinggi pada saat dilakukan proses transkripsi dan transliterasi terhadap teks dalam pustaha.
Proses Pembuatan Pustaha Menurut Teygeler, apabila pembuatan pustaha pada masa lampau dilakukan oleh seorang datu dengan tujuan sebagaimana telah disampaikan, maka pada masa modern saat ini pembuatan pustaha telah mengalami pergeseran yakni untuk kepentingan pariwisata semata. Sehingga berdasarkan tujuan ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa pembuatan pustaha dapat dilakukan oleh setiap orang. Meski demikian, Teygeler menjelaskan bahwa bahan baku serta proses pembuatan pustaha tidak pernah mengalami perubahan. Berikut adalah langkah-langkah pembuatan pustaha yang diambil dari beberapa literatur: 1. Pembuatan pustaha menggunakan kulit pohon alim yang telah dikeringkan selama beberapa waktu. Datu atau muridnya akan memilih satu lembar yang cocok antara panjang dan lebarnya. Apabila tidak didapatkan bagian yang panjang, maka ia akan memotong kulit kayu tersebut kecil-kecil dan menyambungnya dengan menggunakan lem atau dijahit. Ukuran pustaha terkecil mencapai 5 x 6 cm, sedangkan ukuran terbesar mencapai 28,5 x 42,5 cm yang keduanya tersimpan pada koleksi pribadi H.J.A. Promes. 2. Ia akan memotong lurus kedua ujungnya dan diratakan dengan pisau. Kemudian permukaannya yang kasar dihaluskan dengan menggunakan daun yang kasar atau untuk saat ini dapat menggunakan ampelas. 3. Permukaan kulit yang terlipat atau robek harus diperbaiki dengan cara yang sangat sederhana. 4. Melipat kulit kayu merupakan tindakan yang tidak tepat karena dapat menyebabkan kertas tidak akan pernah rata. Pada salah satu naskah Koninklijke Bibliotheek terdapat sebuah kertas yang dilipat menjadi setengah ukuran buku pada umumnya, hal ini dimungkinkan bahwa pembuatnya membuat kesalahan pada saat pembuatan. Kulit kayu pertama kali dilipat menggunakan tangan, kemudian lipatan itu dipukul menggunakan palu sehingga menyebabkan permukaan kulit kayu itu menjadi rusak. 5. Biasanya sisi-sisi lipatan dipotong agar menjadi rata. Biasanya banyak ditemukan naskah-naskah yang sisi-sisinya tidak rata. 6. Bagian depan dan belakang kulit disiram menggunakan air saripati beras agar tinta dapat melekat dengan baik pada permukaan kulit. Saat ini pustaha yang digunakan untuk kepentingan wisata ditulis menggunakan tinta yang disebut Parmagam, sebuah bahan kimia yang berasal dari apotik setempat. 7. Untuk memudahkan penulisan di atas permukaan kulit seringkali dibuat garis samar (blind lines). Garis tersebut dibuat paralel dengan lipatan menggunakan penggaris dari bambu (balobas) dan digoreskan menggunakan pisau dari bambu (panggorit). 8. Proses penulisan teks pada pustaha sudah bisa dilakukan. Terkadang penyalin ingin mencoba alat tulisnya sehingga seringkali terdapat coretancoretan pada lembar pertama di bawah sampul. Pustaha juga sering digunakan sebagai buku catatan untuk memberikan informasi dan berbagi
bersama orang lain sehingga inilah yang menjadi alasan bahwa terkadang kita dapat menemukan buku yang ditulis oleh banyak tangan. 9. Setelah proses penulisan selesai, langkah terakhir adalah memberikan papan sampul. Akan tetapi tidak semua pustaha mengalami proses pemberian papan sampul seperti yang terdapat pada koleksi Van der Tuuk saat dimasukkan ke Universitas Leiden pada tahun 1896. Terdapat ragam dekorasi pada papan sampul, ada yang diukir, polos, berwarna hitam atau coklat, dan terkadang ada juga yang tidak berwarna. 10. Biasanya naskah diikat bersama dengan menggunakan satu atau dua tali pengikat dengan menggunakan bambu atau rotan yang dianyam atau diratakan.
Tradisi Buku Lipat di Asia Salah satu karakteristik pustaha adalah dilipat. Selain di China, Jepang, dan beberapa bagian negara di Asia Tenggara, produk buku lipat seperti ini tidak dikenal di Asia. Di India misalnya, tradisi ini tidak dikenal kecuali terdapat buku siap lipat terbuat dari kapas yang digunakan oleh pedagang dari Mysore dan itupun menurut Gaur berasal dari China. Hal tersebut cukup beralasan bahwa selama berabad-abad jenis buku kuno yang digunakan oleh masyarakat India adalah naskah yang terbuat dari daun palem yang dinamakan pothi. Di bagian Utara Burma dan Thailand, buku lipat merupakan artefak yang sangat populer seperti halnya di Kamboja dan Laos meskipun lebih rendah popularitasnya. Buku-buku tersebut biasanya digunakan oleh para raja dan masyarakat kelas atas pada abad ke 14-15. China memulai tradisi pembuatan buku lipat pada akhir dinasti Sui dan pada awal dinasti Tang. Sekitar 850 buku lipat dibuat untuk menggantikan kertas sistem gulungan dan batangan. Tiga jenis buku lipat di China adalah: sutra lipat (jingzhe zhuang), angin puyuh lipat (the whirldwind binding/xuanfeng zhuang), dan album lipat (ceye). Tradisi buku lipat ini mulai tergerus oleh kehadiran buku-buku cetak pada akhir abad kesepuluh. Jepang memulai tradisi pembuatan buku lipat pada masa Heian dengan mengimpor dari China. Jepang membedakan tiga jenis buku lipatnya yang dinamakan orihon. Seperti halnya sutra lipat pada tradisi China, buku lipat khas Jepang yang berbentuk akordion biasanya digunakan untuk menulis teks-teks Buddha. Model akordion lainnya termasuk album lipat yaitu nori-ire gajo yang sama dengan model China ceye serta nobiru gajo biasa digunakan untuk kaligrafi dan menggambar. Sempuyo, buku lipat berbentuk seperti kipas, memiliki model sampul teks yang memutar dari depan ke belakang.
Tradisi Buku Lipat di Indonesia Selain dluwang lipat model concertina, Tradisi buku lipat di Indonesia jarang ditemukan di luar Sumatera. Peninggalan Islam catechism(?) ini kemungkinan berasal dari Pesisir Timur Jawa dan ditulis pada abad ke-16 atau awal abad ke-17. Menurut Raffles, buku lipat serupa ditulis pada dluwang dengan menggunakan aksara Kawi yang dilaporkan berasal dari Cirebon, Jawa Barat. Di Sumatera Selatan, masyarakat Lampung dan Rejang memproduksi buku lipat yang dibuat dari kulit kayu meskipun sangat jarang ditemukan adanya ilustrasi. Persamaan antara kedua buku daerah ini dengan pustaha sangat mencolok. Meskipun kebudayaan Batak banyak dipengaruhi oleh kebudayaan India, produk buku lipat dari masyarakat Batak tidak dipengaruhi oleh kebudayaan India. Hal ini cukup masuk akal karena buku ini sampai ke Batak dari satu atau pulau-pulau lainnya di Indonesia. Menurut Uli Kozok, terdapat kontak budaya yang dilakukan oleh para pedagang dari China dengan masyarakat Batak. Sehingga menurut Teygeler, hal ini mengasumsikan bahwa tradisi pustaha berasal dari China.
Alas Naskah dan Alat Tulis Masyarakat Batak tidak hanya menulis di atas kulit kayu melainkan juga menggunakan alas naskah lainnya. Meskipun mereka menggunakan batu untuk mengekspresikan pikirannya, jarang sekali ditemukan inskripsi di atas batu yang dihasilkan oleh masyarakat Batak. Banyak sekali ditemukan bambu dan rotan yang bertuliskan ratapan(?) Batak Karo dan pressing letters(?) yang paling terkenal. Ditemukan pula inskripsi pada tulang yang bertuliskan jimat dan mantera. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masyarakat Batak biasa menuliskan buah pikirannya pada buku lipat yang disebut pustaha yang terbuat dari kulit kayu pohon alim. Pohon alim merupakan jenis tanaman lokal yang terdapat di wilayah Sumatera, yang juga biasa disebut dengan pohon damar. Masyarakat Batak mengenal beberapa jenis alat tulis seperti suligi dan tarugi. Kedua istilah ini merujuk kepada satu jenis alat tulis yang sama yakni batang daun pohon palem. Adapun yang membedakan keduanya adalah jenis variasinya. Suligi memiliki penambahan variasi cover yang terbuat dari serabut, seperti rambut pada kuda, yang dinamakan ijuk. Berbeda pada cover yang dimiliki tarugi berbentuk oval yang terbuat dari serabut merah pelepah daun. Adapun ukuran mata pena yang digunakan adalah tidak melebihi setengah centimeter dengan ukuran panjang pena mulai sepuluh sampai tiga puluh centimeter. Di luar Sumatera, jenis alat tulis ini dinamakan kalam yang pada masa Indonesia modern disebut kalam sagar.
Adapun jenis tinta yang digunakan oleh masyarakat Batak dinamakan mangsi. Penggunaan warna tinta pada penulisan pustaha selalu ditulis dengan warna hitam meskipun pada penulisan ilustrasi terkadang menggunakan warna merah dan kuning. Mangsi terbuat dari ramuan berbagai macam bahan baku yang terdiri dari baja, darah ayam, air, minyak, bunga sapa, arang, dan lainnya. Berdasarkan studi literatur, Teygeler mendapatkan hasil studi yang menyebutkan bahwa bahan baku pembuatan mangsi didominasi oleh baja. Baja adalah endapan asap pada pembakaran kayu pohon damar. Selain digunakan untuk menulis, baja juga digunakan sebagai bahan ritual untuk menghitamkan gigi pada anak kecil yang beranjak dewasa. 1
Tulisan merupakan review dari Rene Teygeler “Pustaha: A Study into the Production Process of Batak Book”, artikel pada Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 149, No. 3, 1993. Dipublikasikan juga pada blog pribadi http://nidafadlan.wordpress.com/2013/03/08/mengenalpustaha-buku-lipat-dari-batak/ 2
Peneliti Islamic Manuscripts Unit (ILMU) pada Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Peneliti Pusat Naskah Islam Nusantara (Pusnira) UIN syarif Hidayatullah Jakarta; dan Pengurus Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa). Saat ini sedang menempuh jenjang magister filologi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.