Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN) e-ISSN: 2460-5905 Volume 1, Nomor 1, Agustus 2015, 109-120
MENGEMBANGKAN SEKOLAH SEBAGAI ORGANISASI PEMBELAJAR BERBASIS MANAJEMEN MUTU TERPADU PENDIDIKAN Siti Masfufah Kepala SD Negeri Lengkong 1, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract Either to be owned by the principals management competence of the school/madrasah is to manage and developing the school/ madrasah towards a effective learning organizations.To achieve the necessary technical or manner. One way that can be used to achieve it was to implement an total quality management in education.Therefore recommend that every head of school/ madrasah familiar with school as learning organization concept and total quality management in education. This article describes how total quality management using to achieve school as the learning organizations. Keywords: Learning organization, total quality management in education.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905 [Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015]
| 109
Mengembangkan Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar Berbasis Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan
PENDAHULUAN Lampiran Permendiknas No. 13 Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah menegaskan bahwa seorang kepala sekolah harus memiliki 4 kompetensi yang dipersyaratkan, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, dan kompetensi supervisi. Kompetensi manajerial antara lain mewajibkan kepala sekolah untuk mampu “mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif.” Bagi para kepala sekolah yang mengambil studi lanjutan (S2 atau S3) manajemen pendidikan, barangkali tidak begitu kesulitan memahami apa yang dimaksud dengan sekolah/madrasah sebagai “organisasi pembelajar.” Namun bagi sebagian besar kepala sekolah yang studi lanjutannya beraneka ragam, jelas tidak mudah memahami apa yang dimaksud dengan sekolah/ madrasah sebagai organisasi pembelajar, lebih-lebih bagaimana menjadikannya efektif. Istilah organisasi pembelajar digunakan oleh Garrat (1987), yang sebagian berasal dari gerakan “In Search of Excellence” di Eropa. 110
Namun menurut Dale (2003), kelihatannya Sir Geoffrey Hollanlah”ketika menjadi Sekretaris Tetap Departemen Tenaga Kerja Inggris” yang mencetuskan awal dengan mengatakan, “Jika kita mau bertahan hidup, secara individu atau sebagai perusahaan, ataupun sebagai bangsa, kita harus menciptakan tradisi perusahaan pembelajar.” Dia melemparkan tantangan untuk mencari contoh-contoh praktik terbaik (best practices) sehingga “organisasi pembelajar” bisa dijiplak dan diperbanyak. Berdasarkan konsep organisasi pembelajar, maka dipandang penting agar organisasi mempunyai kebijakan dan sistem yang memadai untuk memastikan bahwa seluruh staf dari eksekutif paling senior sampai staf operasi dan klerikal secara aktif mengikuti suatu bentuk pembelajaran yang tepat. Di Inggris, Indus-trial Society telah menerbitkan Managing Best Practice Guide yang menguraikan berbagai macam tindakan yang bisa diikuti dan macam suasana yang dibutuhkan agar organisasi bisa “terus- menerus mentransformasi diri.” Dari situlah kemudian didapat konsep organisasi pembelajar, yaitu sebuah organisasi yang memfasilitasi pembelajaran dari seluruh anggotanya JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Siti Masfufah
dan secara terus menerus mentransformasi diri (Dale, 2003). Pertanyaannya ialah, apakah sekolah itu suatu organisasi? Jika suatu organisasi, bagaimana menjadikannya sebagai organisasi pembelajar? Tidaklah mungkin untuk menjelaskan lebih lanjut tanpa mempertimbangkan lebih dahulu apakah sebuah organisasi mempunyai eksistensi sendiri yang terpisah dari eksistensi para anggotanya, atau hanya sekadar badan yang merupakan hasil dari kumpulan dan susunan para anggotanya. Organisasi dijumpai dalam seluruh bagian masyarakat. Jelas mustahil hidup dalam masyarakat tanpa berhubungan dengan suatu organisasi dalam satu bentuk atau format. Oleh karena pentingnya organisasi bagi kehidupan kita sehari-hari, kajian mengenai perilaku dalam organisasi telah menjadi sebuah disiplin sendiri. Jika diikuti pendapat Gibson, Donnely, & Ivancevich (1996), bagaimana pun organisasi jauh lebih dari sekadar sarana penyediaan barang dan jasa, organisasi menciptakan keadaan dimana sebagian besar dari kita menghabiskan hidup kita, dalam hal ini organisasi mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku kita.
Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
Dengan demikian, sekolah pada dasarnya adalah organisasi karena memenuhi unsur-unsur yang mesti terkandung dalam organisasi. Sebagai pimpinan sekolah yang harus mempunyai kemampuan menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar, maka diperlukan telaah lebih jauh dan mendiskusikannya secara luas terkait cara bagaimana mencapainya. Untuk itulah artikel ini bertujuan mengetengahkan gagasan dengan fokus bagaimana manajemen mutu terpadu pendidikan dapat dijadikan sarana untuk mencapai sekolah sebagai organisasi pembelajar. PEMBAHASAN Sekolah: Organisasi Pembelajar Menurut Dale (2003), jika tiap organisasi unik dan punya identitas organisasi, maka organisasi itu harus mampu belajar. Pembelajaran, sebagaimana sudah didefinisikan, adalah suatu kegiatan bertujuan yang diarahkan pada pemerolehan dan pengembangan keterampilan dan pengetahuan serta aplikasinya. Lebih lanjut, Lundberg (1995), sebagaimana dikutip Dale (2003), mengatakan bahwa organisasi pembelajar tidaklah semata-mata menyangkut jumlah pembelajar 111
Mengembangkan Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar Berbasis Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan
masing-masing anggota organisasi, namun pembvelajaran itu membanngun pemahaman yang luas terhadap keadaan internal maupun eksternal melalui kegiatan-kegiatan dan sistem-sistem yang tidak tergantung pada anggota-anggota tertentu. Organisasi pembelajar adalah suatu proses yang seolah-olah mengikat beberapa sub-proses, misalnya perhatian, penafsiran, pencarian, pengungkapan dan penemuan, pilihan, pengaruh dan penilaian. Organisasi pembelajaran mencakup baik unsur kognitif, misalnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki bersama oleh para anggota organisasi maupun kegiatan organisasi yang berulang-ulang, misalnya rutinitas dan perbaikan tindakan. Ada proses yang sah dan tanpa henti untuk memunculkan ke permukaan dan menguji praktik-praktik organisasi serta penjelasan yang menyertainya. Dengan demikian, organisasi pembelajar ditandai dengan pengertian kognitif dan perilaku (Lundberg dalam Dale, 2003). Keterampilan sebuah organisasi terdapat dalam pola-pola perilaku yang diterima dan pengetahuan kolektifnya yang dicatat dalam
112
asumsi-asumsi yang dimiliki bersama. Sikap organisasi ada dalam nilai-nilai inti. Jika keterampilan ini bisa dikembangkan dalam individu, tidak ada alasan mengapa ini tidak bisa terjadi pada sebuah organisasi. Mungkin lebih sulit dan perlu waktu lebih lama untuk meraihnya, tetapi keberadaan organisasi pembelajaran tak bisa disangkal (Dale, 2003). Mengutip Pedler, Dale (2003), mengemukakan bahwa sebuah organisasi pembelajar adalah organisasi di mana pembelajaran dan kerja merupakan sinonim. Pada waktu itu mereka menyimpulkan bahwa, karena “perusahaan pembelajar” sebenarnya merupakan keadaan yang diidealkan, tidaklah mungkin untuk menjelaskan kepada orang sebagai suatu perwujudan nyata. Ini karena menjadi Perusahaan Pembelajar adalah cara menjadi, lebih dari sekadar berbuat. Meskipun demikian, ada beberapa ciri yang dapat digunakan untuk membedakan antara sebuah perusahaan yang bukan pembelajar dan perusahaan yang pembelajar. Banyak dari ciri--ciri ini berkaitan dengan cara di mana para anggota organisasi mengalami organisasi dan suasana tempat mereka bekerja di dalamnya.
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Siti Masfufah
Menurut Pedler sebagaimana dikutip Dale (2003), suatu organisasi opembelajaran adalagh suatu irganisasi yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: • mempunyai suasana di mana anggota-anggota secara individu terdorong untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka; • memperluas budaya belajar ini sampai pada pelanggan, pemasok dan stakeholder lain yang signifikan; • menjadikan strategi pengembangan sumber daya manusia sebagai pusat kebijakan bisnis; • berada dalam proses transformasi organisasi secara terus-menerus. Tujuan proses transformasi ini, sebagai aktivitas sentral, adalah agar perusahaan mampu mencari ke sana ke mari ide-ide baru, masalah-masalah baru dan peluangpeluang baru untuk pembelajaran, mampu memanfaatkan keunggulan kompetitif dalam dunia yang semakin kompetitif. Pengarang utama lain dalam bidang ini adalah Peter Senge (1990), yang mengatakan sebuah organisasi pembelajar adalah organisasi “yang terus-menerus memperbesar kemamVolume 1, Nomor 2, Agustus 2015
puannya untuk menciptakan masa depannya” dan berpendapat mereka dibedakan oleh lima disiplin” penguasaan pribadi, model mental, visi bersama, pembelajaran Tim, dan pemikiran sistem. Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut maka tugas kepala sekolah agar dapat menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar adalah sebagai berikut: 1. Mendorong semua ang gota sekolah untuk belajar dan mengembangkan potensi penuh mereka. Hal ini berlaku bukan hanya untuk kepala sekolah, guru, dan siswa saja, melainkan sampai pada tukang kebun dan cleaning service sekolah. 2. Menyosialisasikan budaya belajar kepada para orangtua siswa, para pemangku kepentingan seperti Komite Sekolah, bahkan ke sekolah-sekolah di atasnya. 3. Menjadikan sumberdaya manusia sebagai subjek pengembangan strategi untuk mencapai kualuitas sekolah yang diinginkan. 4. Terus menerus mengembangkan sekolah sebagai organisasi modern, misalnya ramah terhadap kehadiran teknologi dan 113
Mengembangkan Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar Berbasis Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan
sesegera mungkin memenuhi kebutuhan teknologi yang diperlukan terutama untuk kepentingan pembelajaran. 5. Menyusun perencanaan dan sistem kerja yang relevan, membangun visi dan misi bersama, mengutamakan pekerjaan Tim, dan tentu saja merumuskan target dengan disiplin tinggi. Mencapai sekolah sebagai organisasi pembelajar jelas bukan pekerjaan mudah. Akan tetapi jika tidak pernah dimulai, hal itu tidak akan pernah dapat dicapai. Permulaan yang memadai bisa berhasil bisa pula gagal, namun kegagalan justeru akan memberikan umpan balik yang lebih baik daripada tidak dilakukan sama sekali. Pada konteks ini diperlukan cara agar sekolah sebagai organisasi pembelajar bisa tercapai, salah satu yang diketengahkan dalam tulisan ini ialah melaksanakan penjaminan mutu, yaitu penerapan manajemen mutu terpadu pendidikan. Manajemen Mutu terpadu Pendidikan Penerapan manajemen kualitas terpadu yang dalam ekonomika dan bisnis dikenal dengan nama total 114
quality management (TQM) dibidang pendidikan di Indonesia belum berjalan lama. Di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, manajemen mutu terpadu dibidang pendidikan (MMTP) terus menerus dikembangkan secara berkelanjutan karena dampak dan impaknya baru bisa dirasakan belasan tahun kemudian (Arcaro, 2007). Salah satu kebijakan pendidikan yang mengadopsi inovasi MMTP dan dirintis sejak 2001 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS) (Depdikbud, 2001). Kebijakan MPMBS diluncurkan guna menjawab problem kualitas pendidikan yang dikeluhkan oleh berbagai pemangku kepentingan (stakeholders), baik masyarakat luas, lebih-lebih kalangan bisnis dan dunia usaha. Arcaro (2007), berpendapat bahwa penerapan prinsip-prinsip MMTP membutuhkan konsep yang mampu menjembataninya ke dalam praktik manajemen pendidikan. Konsep ini di antaranya dituangkan dalam bentuk apa yang disebutnya sebagai Roda Implementasi MMTP. Roda implementasi MMTP mencakup 8 (delapan) unsur: (1)
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Siti Masfufah
Strategic planning, (2) Communication, (3) Program measurements, (4) Conflict management, (5) Program selection, (6) Program implementation, (7) Program validation, dan (8) Standards. Berdasarkan delapan unsur tersebut ada dua manfaat. Pertama, akan selalu dapat menyesuaikan dengan tuntutan pengguna, sehingga pada waktu membutuhkan
dukungan untuk perbaikan mutu tidak akan menemui kesulitan yang berarti. Kedua, akan ada ukuran keberhasilan dan sangat memudahkan pengukuran dan evaluasi tingkat keberhasilan dalam upaya peningkatan mutu. Roda implementasi MMTP menurut Arcaro dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.
Gambar 1: Roda Implementasi MMTP menurut Arcaro (Sumber: Arcaro, 2007: 97) Roda Impelementasi MMTP yang digambarkan di atas merupakan proses yang dirancang untuk membantu mengimplementasikan mutu di sekolah atau daerah. Dengan mengikuti langkah-langkah Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
yang digambarkan dalam lingkaran, kepala sekolah/madrasah dapat melakukan upaya perbaikan mutu untuk men-dorong perubahan dan pengembangan. Roda Implementasi menunjukkan prosedur tahap115
Mengembangkan Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar Berbasis Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan
demi-tahap dalam mengimplementasikan mutu di setiap organisasi pendidikan. Empat langkah pertama, terfokus pada pemenuhan permintaan pelanggan dan meraih dukungan untuk melakukan perubahan di dalam sistem sekolah. Empat langkah berikutnya membawa kepakla sekolah/madrasah pada fase seleksi, implementasi, dan penilaian mutu. Langkah-langkah tersebut memungkinkan kepala sekolah/ madrasah menilai kerja diri sendiri dan mengembangkan standar mutu untuk sekolahnya. Sekolah-sekolah dapat mencapai empat langkah pertama namun gagal menyempurnakan siklus mutu. Masalah terbesar para pendidik saat mengimplementasikan mutu tam-paknya adalah mendapatkan dukungan pelanggan internal dan eksternal untuk menjalankan proses yang mesti dijalani. Kegagalan pada sisi mata-rantai pelanggan/pemasok ini melahir-kan ketidakmampuan sekolah untuk secara tepat menentukan apa yang diharapkan mereka. Selain Roda Implementasi MMTP, gagasan Arcaro yang relevan diimplementasikan dalam MMTP antara lain berikut ini.
116
1. Terfokus pada Pelanggan Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah pelanggan. Dalam survei terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemahaman mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvei menunjukkan bahwa mereka tidak yakin apabila sekolah itu memiliki pelanggan yang loyal. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya pelanggan untuk tiap keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan toh tak kunjung diperbaiki. Para pelanggan yang dimaksudkan disini adalah para orangtua siswa. Jangan salahkan mereka jika mereka lebih memilih sekolah lain. Pelanggan lainnya adalah dunia kerja. Harus diyakinkan bahwa sekolah benar-benar mendidik siswanya sesuai pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan. 2. Keterlibatan Total Tiap orang mesti terlibat dalam transformasi mutu. Mana-jemen mesti memiliki komitmen untuk memfokuskan pada mutu. Manajemen administratif sekolah harus mendorong staf dan peserta didik JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Siti Masfufah
untuk mengubah cara kerja yang selama ini dilakukannya. Tanpa adanya komitmen, program mutu tidak akan berhasil. Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi para-digma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja lama harus disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap upaya penciptaan mutu dalam sistem pendidikan. Pertama, banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan bergantung pada besarnya dana yang dialokasikan untuk pen-didikan. Lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam pen-didikan maka lebih tinggi juga mutu pendidikan. Bahkan di Indonesia sekolah-sekolah yang dikenal sebagai rintisan berstandar internasional dikenal biayanya sangat mahal. Padahal studi kasus mutakhir meruntuhkan keyakinan ini. Sebagaimana dikatakan Arcaro (2007), sebuah tulisan di New Hampshire Union Leader mengidentifikasi beberapa kasus kenaikan persentase anggaran pen-didikan yang jauh di atas tingkat inflasi. Lebih lanjut, tulisan itu menyatakan
Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
bahwa mutu pendidikan meningkat karena naiknya anggaran. Lebih dari satu dekade lalu, negara bagian Connecticut menginvestasikan jutaan dollar AS dalam sistem pendidikannya. Biaya pendidikan per peserta didik di Connecticut tertinggi secara nasional. Para guru dan administrator pun mendapat gaji yang tinggi, dan rasio peserta didik guru merupakan yang terendah secara nasional. Namun Connecticut tidak me-nyadari bahwa yang terpenting untuk diperbaiki adalah mutu pendidikan. Negara bagian itu dipermasalahkan soal banyak-nya uang yang diinvestasikan dalam sistem pendidikan. Kedua, banyak profesional pendidikan yang tetap memandang pendidikan sebagai sebuah “jaringan anak manis.” Mereka bersikukuh untuk bertahan dari tarikan profesional nonpendidikan yang memengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen terhadap transformasi mutu. 3. Pengukuran Inilah justru yang sering gagal dilakukan di sekolah. Secara tradisional ukuran mutu atas keluaran sekolah adalah prestasi peserta 117
Mengembangkan Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar Berbasis Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan
didik. Ukuran dasarnya adalah hasil ujian. Apabila hasil ujian bertambah baik, maka mutu pendidikan pun membaik. Para profesional pendidikan mesti belajar untuk mengukur mutu. Mereka perlu memahami pengumpulan dan analisis data yang diperlukan dalam proses pendidikan. Begitu mereka belajar mengumpulkan dan menganalisis data, para profesional pendidikan itu pun dapat mengukur dan menunjukkan nilai tambah pendidikan. 4. Memandang Pendidikan sebagai Sistem Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami para profesional pendidikan. Umumnya, orang yang bekerja dalam bidang pen-didikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisis rinci atas perguruan tinggi di Inggris, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem 118
maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan. 5. Perbaikan Berkelanjutan Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, “Kalau belum rusak, janganlah diperbaiki.” Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, “Bila belum rusak, perbaikilah, karena bila kepala sekolah/ madrasah tidak melakukannya, orang lain pasti melakukannya.” Inilah konsep perbaikan berkelanjutan. Selain gagasan-gagasan di atas, Arcaro (2007), juga mendefinisikan model sekolah bermutu terpadu yang signifikan diimplementasikan. Kriteria untuk sekolah bermutu terpadu ditandai dengan “pilar mutu” untuk pendidikan. Pilar-pilar tersebut merupakan ramuan penting bagi setiap prakarsa mutu yang berhasil. Pilar mutu itu bersifat universal. Dapat diterapkan untuk setiap organisasi pendidik-an mulai dari kegiatan di ruang kelas sampai JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905
Siti Masfufah
perawatan bangunan. Semua itu sama pentingnya. Siapa pun tidak mungkin berhasil meraih status sekolah bermutu terpadu sekalipun semua pilar tersebut ada dalam sistem pendidikan. Namun, komponen terpenting dari mutu adalah fondasi yang mendasari bangunan program mutu. Keyakinan dan nilai-nilai sekolah akan menentukan kekuatan dan keberhasilan transformasi mutu. Sekolah mesti me-ngembangkan sebuah dasar fondasi yang kokoh atas dasar keyakinan dan nilai-nilai pribadi orangorang yang bekerja dalam sistem. Mutu harus berasal dari anggota komite sekolah, adminis-trator, peserta didik dan staf. Komite sekolah mesti menciptakan paradigma baru pendidikan untuk komunitasnya. Pendidikan mesti dinilai atas kontribusinya untuk mengembangkan peserta didik menjadi warga negara yang bernilai yang dipersiapkan agar lebih baik menghadapi tantangan akademik dan bisnis di masa depan. Sekolah ber mutu terpadu membangun lingkungan yang memungkinkan setiap orang membawa ukuran perbaikan mutu terhadap proses kerjanya sendiri.
Volume 1, Nomor 2, Agustus 2015
Pilar mutu memberikan fokus dan arahan yang diperlu-kan para staf untuk setiap prakarsa mutu. Hal tersebut me-mungkinkan staf untuk mengukur dan mendokumentasikan nilai tambah prakarsa mutu untuk peserta didik dan masyarakat. Fokus tidak dapat dibatasi hanya pada salah satu pilar. Untuk mengembangkan budaya mutu di sekolah, kepala sekolah/ madrasah dan administrator harus memfokuskan pada semua pilar sekaligus. Manajemen mutu terpadu pendidikan sebagaimana dikemukakan Arcaro tersebut sangat relevan diterapkan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajar karena menyentuh hampir semua elemen pembentuk sekolah sebagai organisasi. Namun demikian hasilnya tidak mungkin dapat dinikmati dengan segera. Kehadiran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya secara masif, dan kepercayaan dunia usaha terhadap sekolah barangkali menjadi ukuran bahwa sekolah tersebut telah mencapai apa yang disebut sebagai organisasi pembelajar.
119
Mengembangkan Sekolah sebagai Organisasi Pembelajar Berbasis Manajemen Mutu Terpadu Pendidikan
SIMPULAN DAN SARAN Salah satu kompetensi manajemen yang harus dimiliki seorang kepala sekolah/madrasah adalah mengelola perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajar yang efektif. Untuk mencapai itu diperlukan teknik atau cara. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk mencapainya ialah dengan menerapkan manajemen mutu terpadu pendidikan. Oleh karena itu disarankan agar setiap kepala sekolah/madrasah lebih familier dengan konsep sekolah sebagai organisasi pembelajar dan konsep manajemen mutu terpadu pendidikan. DAFTAR RUJUKAN
Dale, M. 2003. Meningkatkan Keterampilan Manajemen: Teknikteknik Meningkatkan Pembelajaran dan Kinerja. Terjemahan Ramelan. Jakarta: PT. Gramedia. Depdikbud, 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Garrat, B. 1987. The Learning Organization. Collins, London: Roudledge. Gibson, J.L., Donnely, J.H., & Ivancevich, J.M. 1999. Manajemen. Edisi Kesembilan, Jilid 1. Terjemahan Zuhad Ichyaudin. Jakarta: Penerbit Erlangga. Senge, P. M. 1990. The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organizations. Doubleday, New York: McGraw Hill Book Company.
Arcaro, J.S. 2007. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Terjemahan Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
120
JA-DIKDASMEN, e-ISSN: 2460-5905