Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
MENGELOLA KURIKULUM Kholid Musyaddad Abstrak Pendidikan dilihat secara sistemik, kesuksesan atau kegagalannya tidak ditentukan oleh satu aspek saja. Karenanya kesuksesan atau kegagalan pendidikan tidak bisa digantungkan hanya kepada guru, akan tetapi pengelolaan (manajemen) pendidikan secara umum juga ikut terlibat dalam menentukan kesuksesan itu, termasuk di dalamnya pengelolaan kurikulum, sebagai salah satu aspek pendidikan. Untuk itu dalam rangka menjamin keberhasilan kurikulum diperlukan pengelolaan yang tepat dan sistematis. Kata Kunci; Pengelolaan kurikulum
A. Pendahuluan Bangsa bangsa di dunia, termasuk bangsa Indonesia kini memasuki milenium ketiga dengan sejumlah tantangan dan harapan. Tantangan kehidupan pada era ini muncul dari berbagai aspek. Salah satu aspeknya adalah pertumbuhan populasi manusia itu sendiri yang berimplikasi pada bertambahnya jumlah kebutuhan dasar seperti nutrisi (pangan), energi, sandang dan tempat tinggal. Bertambah besarnya kebutuhan dasar umat manusia akibat dari ledakan populasi manusia telah membawa problem tersendiri yang cukup krusial. Sementara ketersediaan sumber sumber daya alam yang semakin menipis juga menjadi masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya. Karena jika tidak, kesenjangan antara ledakan jumlah populasi dunia dengan ketersediaan sumber alam untuk pemenuhan kebutuhannya akan segera memunculkan masalah serius pada kehidupan umat manusia. Di sisi lain, pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi pada milenium ini membawa
harapan bagi umat manusia untuk dapat mengatasi problem problem kehidupan yang semakin kompleks. Dalam era global, manusia dihadapkan pada perubahan perubahan sistem, dan mekanisme kehidupan yang demikian kompleks dan tidak menentu. Bagi bangsa bangsa yang memiliki keunggulan pengetahuan dan sumber daya manusia, hal ini memberikan peluang yang semakin besar untuk dapat menguasai sumber sumber ekonomi dan penguasaan pasar. Namun bagi bangsa bangsa yang pengetahuan dan sumber
daya
manusianya
masih
rendah,
justru
membuka
jalan
bagi
kebangkrutannya. 1
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Pembangunan bidang pendidikan merupakan bagian terpenting dari proses pengembangan sumber daya manusia dimana peningkatan kecakapan dan kemampuan diyakini sebagai faktor pendukung upaya manusia dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan ketidakpastian, dan sekaligus ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pendidikan juga merupakan investasi dalam pembangunan nasional. Dalam kerangka inilah pendidikan diperlukan dan dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi manusia. Paradigma baru dalam pendidikan itu menghendaki lulusan program pendidikan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan memiliki kemampuan untuk bersaing di dunia internasional. Namun kondisi real pendidikan di Indonesia hingga saat ini nampaknya belum mampu merealisasikan cita cita tersebut. Pendidikan yang dilselenggarakan di setiap satuan pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi seharusnya dapat membentuk pribadi peserta didik secara utuh. Namun pada kenyataannya, mutu pendidikan khususnya mutu out put pendidikan di Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan mutu out put pendidikan di negara lain baik di ASEAN, Asia, apalagi di tinggkat dunia. Banyak kritik terhadap peran pendidikan yang dijalankan tersebut, bahwa pendidikan di Indonesia dianggap telah gagal dalam membentuk generasi penerus, utamanya karena diindikasikan oleh perilaku, profil, serta produk pendidikan yang jauh dari sasaran pendidikan nasional selama ini. Pendidikan yang seharusnya melahirkan generasi bangsa dengan sejumlah kompetensi yang diperlukan, justru gagal dalam melakukan perannya dalam kehidupan nasional.1 Banyak pakar telah mengemukakan gagalnya bangsa Indonesia dalam membangun peradabannya. Kegagalan itu ditandai dengan tidak adanya perubahan budaya korupsi yang telah menjadi ciri khas bangsa ini, bahkan gerakan reformasi rakyat yang telah terjadi tidak mampu menghilangkan budaya korup tersebut. Indikator lain yang dikemukakan para ahli adalah bahwa Indonesia telah gagal dalam memberikan perlindungan hukum, gagal dalam memberikan keamanan dan kenyamanan kepada rakyatnya baik yang di dalam negeri maupun yang berada di
1
Tilaar, H.A.R., Prof., DR., M.Sc.Ed., 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Rineka Cipta; Jakarta), Cet. Ke 2, ISBN 979-518-559-4, hal. 3.
2
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Luar Negeri. Negara gagal dalam usaha mengangkat harkat dan martabat negara. Kesemua itu adalah akibat dari produk gagal pengelolaan dan proses pendidikan. 2 Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO),
terhadap
kualitas
pendidikan
di
Negara-negara
berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang. Mengacu pada Human Development Index (HDI) yang dipublikasikan pada tanggal 14 Maret tahun 2013, yang merupakan acuan indikator pengukuran sumber daya manusia suatu bangsa, menunjukkan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih dalam level medium human development serta menempati urutan 121 dari 186 negara yang disurvey. Urutan ini jauh berada di bawah negara tetangga, Brunai Darussalam yang menempati urutan 30, dan di bawah Malaysia yang berada pada urutan 64. Ini mengindikasikan bahwa secara global sumber daya manusia Indonesia masih berada di bawah dan kalah bersaing dengan bangsa bangsa lain. 3 Kegagalan pendidikan di Indonesia tersebut tidak bisa semata mata ditimpakan kepada guru di lapangan, sebagai pelaksana pendidikan dan pembelajaran di kelas, akan tetapi perlu ditelusuri juga hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pendidikan tersebut, seperti iklim politik, aspek kebijakan, manajemen, maupun operasional atau aktualisasi kebijakan dan konsep pendidikan di lapangan.4 Selain ditentukan oleh proses pembelajaran yang dilakukan guru di kelas, kualitas pendidikan juga bergantung pada aspek manajemen. Artinya, pendidikan dilihat secara sistemik, kesuksesan atau kegagalannya tidak ditentukan oleh satu aspek saja. Karenanya kesuksesan atau kegagalan pendidikan tidak bisa digantungkan kepada guru saja, akan tetapi pengelolaan pendidikan secara umum juga ikut terlibat dalam menentukan kesuksesan itu, termasuk di dalamnya pengelolaan kurikulum, sebagai salah aspek pendidikan. Untuk itu dalam rangka menjamin keberhasilan kurikulum diperlukan pengelolaan yang tepat dan sistematis. Pengelolaan atau manajemen kurikulum yang 2
H.E. Mulyasa, Prof. Dr. M.Pd., 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya), hal. 3. 3 Human Development Reports (HDR) United Nation Development Programme (UNDP), 2013, diakses tanggal 24 Nopember 2013. http://hdr.undp.org/en/statistics/ 4 Tilaar, H.A.R., Prof., DR., M.Sc.Ed., Op. Cit., hal. 2-3, 11-14, 69.
3
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
terkoordinasi dengan baik akan menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. B. Pengelolaan Kurikulum Dalam pembahasan mengenai pengelolaan kurikulum di sini, akan dikemukakan bahwa pengelolaan dan kurikulum merupakan dua hal yang berbeda. Berbicara tentang pengelolaan adalah pembicaraan dalam ranah keilmuan manajemen. Sementara kurikulum adalah salah satu unsur atau komponen dalam sistem pendidikan, yakni termasuk dalam kategori alat (soft ware) untuk mencapai tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pembahasan tentang pengelolaan kurikulum, selain mengacu pada konsep manajemen, juga mengacu pada pemahaman tentang konsep mengenai “apa” hakikat kurikulum dalam proses pendidikan. Sebelum masuk lebih jauh dalam diskusi tentang pengelolaan kurikulum, satu persatu akan dibahas terlebih dahulu pengertian “pengelolaan (manajemen)”, dan kemudian “kurikulum”. a. Pengelolaan/Manajemen Secara kebahasaan istilah manajemen berasal dari bahasa Inggris yaitu Management, yang secara derivatif berakar pada kata manage yang artinya mengatur atau mengelola. Secara istilah, dapat kita jumpai beberapa definisi: Mary Parker Follet, sebagaimana dikutip oleh Prof. Dr. Wibisono, mengatakan bahwa manajemen adalah “the art of getting things done through poeple” (suatu seni untuk mendapatkan segala sesuatu yang dilakukan melalui orang lain).5 Melalui definisi ini secara sederhana istilah manajemen dapat dipahami sebagai suatu seni memanfaatkan orang lain dalam rangka mencapai tujuan. Dubrin mengartikan manajemen sebagai proses menggunakan sumber daya organisasi untuk mencapai tujuan organisasi melalui fungsi planning, dan decision making, organizing, leading, dan controlling.6 Sadili Samsudin mengutip pendapat G.R. Terry dalam Principless of Manajemen memberikan pengertian sebagai berikut : “Management is a distinct process consisting of planning, organizing, actuating, and controlling performed to determine and accomplish stated objectives by the use of human being and 5 6
Wibisono, Prof. Dr., SE., M.Phil., 2006, Manajemen Perubahan, (RajaGrafindo; Jakarta), hal. 9. Ibid, hal. 9
4
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
other resources”. “Manajemen adalah suatu proses yang nyata, yang terdiri dari tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditentukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya”. 7 Menurut Stoner dan Freeman manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, memimpin dan mengawasi pekerjaan anggota organisasi dan menggunakan semua sumber daya organisasi yang tersedia untuk mencapai tujuan organisasi yang dinyatakan dengan jelas. 8 Sementara menurut Robbins dan coultar manajemen adalah suatu proses untuk membuat aktivitas organisasi terselesaikan secara efisien dan efektif dengan dana melalui orang lain. 9 Abdurrahman Fathoni mendefinisikan manajemen sebagai proses kegiatan menggerakkan sekelompok orang dan menggerakkan segala fasilitas yang tersedia untuk mencapai tujuan tertentu.10 Adapun dalam terma bahasa Arab, istilah manajemen dipadankan dengan kata al-idarah. Dr. Abdul Wahhab sebagaimana dikutip oleh Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari11 dalam bukunya yang berjudul Muqaddimah al-Idarah alIslamiyah mendefinisikan manajemen sebagai: " عملية إجتماعية مستمزة تعمل على استغالل المىارد المتاحة استغالال أمثل عن طزيق التخطيط والتنظيم "والقيادة والزقابة للىصىل إلى هذف محذد Manajemen adalah aktivitas kelompok yang berkesinambungan dengan menggunakan sumberdaya, berupa tindakan perencanaan, pengorganisasian (pengaturan), memimpin dan mengawasi, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara DR. Al-Hawari menyatakan, juga dikutip oleh Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari12 menyatakan bahwa manajemen adalah: "" تنفيذ األعمال بىاسطة اآلخزين عن طزيق تخطيط وتنظيم وتىجيه ورقابة مجهىداتهم 7
Sadili Samsudin, 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia, hal. 18 Wibisono, Loc. Cit. 9 Ibid 10 Abdurrahman Fathoni, H. Prof., DR., M.Si., 2006, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, (Reneka Cipta; jakarta), Cet. 1, hal. 3 11 Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari, 2000, مقذمة اإلدارة اإلسالمية, (Jeddah-Saudi Arabia), Cet. 1., hal. 37-38 12 Ibid 8
5
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Manajemen adalah pelaksanaan kegiatan melalui orang lain melalui proses perencanaan, pengorganisasian (pengaturan), pengarahan dan pengawasan (kontrol) terhadap pelaksananya. Selain itu ada dua istilah yang diberikan para ahli mengenai istilah manajemen yaitu sebagai seni yang merupakan kreativitas pribadi yang disertai suatu keterampilan dan ada pula yang memberikan definisi manajemen sebagai suatu ilmu yang merupakan kumpulan pengetahuan yang logis dan sistematis. Maka suatu organisasi untuk mencapai tujuannya tidak akan terlepas dari aktivitas manajemen. Manajemen menginginkan tujuan organisasi tercapai dengan efisien dan efektif. Manajemen dikatakan sebagai seni karena pencapaian tujuan yang ditetapkan adalah dengan menggunakan kegiatan orang lain. Manajemen dikatakan sebagai ilmu karena manajemen sebagai suatu bidang ilmu pengetahuan berusaha secara sestematis untuk memahami mengapa dan bagaimana manusia bekerja sama untuk mancapai tujuan, kemudian menerangkan gejala-gejala, kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan memberikan penjelasan-penjelasan tentang itu.13 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manajemen merupakan seni dalam usaha mengatur dan mengelola pekerjaan atau organisasi melalui orang lain dengan menggunakan semua sumber daya secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Ada beberapa point yang dapat disarikan dari berbagai defenisi manajemen di atas yakni: 1. Manajemen merupakan suatu kegiatan (seni mengelola) 2. Kegiatan manajemen memiliki tujuan 3. Manajemen merupakan seni “memanfaatkan orang” 4. Manajemen merupakan seni menggunakan semua sumberdaya secara efektif dan efisien 5. Dalam manajemen, manusia adalah sebagai subyek dan sekaligus sebagai obyek 6. Dilihat dari perspektif proses, manajemen berfungsi sebagai kegiatan Planing (perencanaan), organizing (pengorganisasian), Staffing (menentukan orang13
Mohammad Ali, Prof. Dr. Dkk (penyunting), 2007, Ilmu dan aplikasi Pendidikan, (Bandung: Pedagogiana Press), ISBN : 978-979-16173-0-7., hal. 569.
6
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
orang yang akan melakukan pekerjaan), leading (memimpin), actuating (pelaksanaan), dan controlling (kontrol/pengawasan dan evaluasi). Penjelasan masing kegiatan fungsional manajemen tersebut adalah sebagai beriut: 1) Planing adalah proses membuat perencanaan suatu pekerjaan atau kegiatan yang diawali dengan menentukan tujuan yang ingin dicapai (baik tujuan jangka panjang, menengah maupun tujuan jangka pendek), menentukan strategi menyeluruh untuk mencapai tujuan, seperti menentukan prioritas prioritas tindakan, mengembangkan hierarki dan tahapan komprehensif dari rencana, untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kegiatan dalam mencapai tujuan yang diharapkan. 2) Organizing adalah merupakan tanggung jawab manajer atau pimpinan dalam mendesain struktur organisasi dan struktur atau mekanisme kerja, membagi dan menentukan jenis jenis pekerjaan, pengelompokan pekerjaan dan hirarki aktivitas kerja termasuk mekanisme pelaporan (siapa melaporkan pekerjaan kepada siapa) dan kapan serta di mana keputusn dibuat. Pengorganisasian ini merupakan tindakan persiapan sebelum pekerjaan sebenarnya dilakukan. 3) Staffing adalah pekerjaan manajer dalam hal merekrut, menempatkan dan menetapkan orang orang untuk melaksanakan pekerjaan dan menduduki jabatan tertentu dalam struktur organisasi dan struktur pekerjaan yang akan dilaksnakan. 4) Leading atau memimpin adalah fungsi manajer untuk mengarahkan, membimbing, memotivasi pekerja, mengkoordinasikan orang untuk dapat menjalankan pekerjaan bersama yang lain agar pekerjaan dari berbagai macam kelompok dapat berjalan dalam satu kesatuan yang utuh demi tercapainya tujuan. Selain itu juga dalam leading terdapat tindakan menciptakan saluran saluran komunikasi yang efektif, menyelesaikan konflik konflik yang muncul sehingga tercipta satu kesatuan sistem yang utuh demi tercapainya tujuan organisasi atau pekerjaan yang dilaksanakan. Para ahli manajemen, seperti Dubrin misalnya menggunakan istilah leading ini untuk actuating.
7
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
5) Actuating adalah kegiatan menjalankan suatu pekerjaan atau jalannya organisai. Dengan kata lain bahwa actuating adalah bentuk implementasi dari aapa yang sudah ditentukan dalam planning dan tindakan pengorganisasian sebelumnya. Menurut Wibisono perbedaan antara leading dan actuating sebenarnya lebih pada penekanan atau pada titik beratnya. Jika actuating menekankan pada bagaimana pekerjaan itu dilakukan, sedangkan
leading
menekankan
pada
bagaimana
memimpin
dan
mengarahkan pelaksanaannya. 14 6) Controlling merupakan aktivitas berupa pengawasan atau monitoring terhadap jalannya kegiatan atau organisasi untuk memastikan semua hal berjalan dengan semestinya. Kinerja aktual harus dibandingkan dengan tujuan yang ingin dicapai, semua jenis dan kelompok pekerjaan harus berjalan sesuai dengan yang sudah ditepkan dalan perencanaan dan pengorganisasian. Jika terdapat deviasi signifikan, dilakukan koreksi dan dikembalikan ke jalur yang tepat. Dalam tindakan kontrolling ini sekaligus terdapat tindakan pengukuran dan penilaian (evaluasi) terhadap jalannya pekerjaan, performa kerja pegawai dan terhadap hasil sementara yang telah dicapai, untuk kemudian diadakan perbaikan terhadap performa atau hasil yang belum maksimal (sesuai yang diinginkan). 15 Berdasaran beberapa defenisi manajemen seperti yang disebutkan di atas, bahwa tindakan manajerial adalah tindakan pengelolaan dan pengaturan sebuah pekerjaan atau organisasi melalui orang lain dengan memanfaatkan semua sumberdaya yang ada demi mencapai tujuan, maka sumberdaya organisasi di sini memegang peran penting. Menurut Zonlu Senyucel “Resources, in its organizational context, is defined as „anything that could be thought of as a strength or weakness of a given firm‟ including tangible and intangible assets”.16 Sumberdaya, dalam konteks organisasinya, didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dianggap sebagai sebuah kekuatan ataupun kelemahan yang dimiliki, baik berupa aset aset yang nyata maupun yang tidak nyata (konkrit atau tidak konkrit).
14
Wibisono, Op. Cit., hal 12 Wibisono, Op. Cit.. hal. 12-14 16 Zorlu Senyucel, 2009, Manajing The Human Resources in the 21th Century, (Zorlu Senyucel & Ventus Publishing ApS), ISBN 978-87-7681-468-7., hal. 15 15
8
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
b. Kurikulum Tidak mudah untuk mendefinisikan kurikulum secara tepat dan dapat berlaku umum, karena dalam membuat definisi kurikulum tidak bisa terlepas dari pemahaman tentang hakikat pendidikan. Sementara pemahaman para ahli pendidikan tentang hakikat pendidikan berbeda beda bergantung pada filosofi yang dianut. Kaitan defenisi kurikulum dengan pendidikan ini disebabkan karena kurikulum adalah bagian dari masalah pendidikan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa kurikulum adalah sub-sistem dari sistem pendidikan yang terdiri dari: 1. Tujuan Tujuan merupakan batasan dari hal-hal yang hendak di capai. Baiknya tujuan yang ingin dicapai dalam satu usaha perlu dikonkritkan terlebih dahulu sebelum usaha tersebut dimulai, sebab tujuan mempunyai fungsi yang tertentu terhadap satu usaha. 2. Pendidik Pendidik adalah orang yang melaksanakan pendidikan, orang ini biasa di sebut guru atau dosen. Orang tersebut sebagai pihak yang mendidik dengan normanorma, pihak yang turut membentuk anak, pihak yang memberikan anjuran, pihak yang terlibat dalam menghumanisasikan anak, memiliki berbagai macam pengetahuan dan kecakapan. 3. Peserta didik Sasaran dari pendidikan adalah peserta didik, peserta didik dapat dikatakan sebagai pihak yang dididik, dipimpin, diarahkan, dan diberi berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan oleh pendidik. Peserta didik juga bisa dikatakan sebagai pihak yang dihumanisasikan yang biasa di sebut pelajar atau mahasiswa. 4. Alat (hard ware dan soft ware) Alat pendidikan adalah sesuatu apa pun yang membantu terlaksananya proses belajar mengajar dalam rangka mencapai tujuannya, baik berupa benda atau pun bukan berupa benda, seperti sarana dan prasarana, finansial, media pembelajaran, kurikulum dan sebagainya. 5. Manajemen 9
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Manajemen pendidikan adalah berkaitan dengan seni atau ilmu dalam mengelola proses pendidikan 6. Metode Metode adalah cara yang ditempuh pendidik dalam melaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran. 7. Lingkungan Lingkungan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi individu,sesuatu itu mungkin berasal dari dalam(internal) atau dari luar(external) diri individu. Berdasarkan pemikiran sistemik, maka kurikulum adalah bagian dari atau salah satu unsur dalam sistem pendidikan yang perannya sangat besar dalam menentukan tercapainya tujuan pendidikan. Mengenai ini, Prof. Dr. Oemar Hamalik menyatakan bahwa “...kurikulum mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan.”17 Selanjutnya lebih jauh Oemar Hamalik menyatakan bahwa ada tiga peran penting kurikulum dalam pendidikan yakni: 1. Peran Konservative Salah satu tanggung jawab kurikulum adalah entrasmisikan dan menafsirkan warisan sosial pada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial yang bertugas untuk mempengaruhi dan membina tingkah laku generasi muda sesuai dengan budaya yang ada dalam masyarakatnya. Dengan peran kurikulum seperti ini, maka lembaga pendidikan atau sekolah menjadi salah semacam jembatan penghubung antara satu generasi dengan generasi berikutnya. 2. Peran Kritis atau evaluatif Manusia berada dalam dunia yang selalu berubah, oleh karenanya kebudayaan umat manusia juga tidak bersifat statis, akan tetapi mengalami perubahan perubahan, dengan segala muatan positif dan negatifnya. Berhadapan dengan muatan budaya yang bersifat positif dan negatif ini, maka proses pendidikan melakukan tindakan kritis, dengan memilah dan memilih konten budaya mana yang sebaiknya dan seharusnya termuat dalam kurikulum. 17
Oemar Hamalik, Prof., Dr., H., 2008, dasar Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung; Rosdakarya), Cet. Ke dua, hal. 11
10
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Dengan demikian, kurikulum turut berpartisipasi dalam kontrol sosial memberikan penekanan pada unsur kritis. Bentuk bentuk nilai budaya yang tidak sesuai dengan cita cita kemanusiaan yang mulia, serta tidak sesuai dengan sifat proggresiv kehidupan alam dihilangkan. Dengan demikian kurikulum harus merupakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria kebaikan universal dan proggresivitas. 3. Peran Kreatif Sifat perubahan alam yang tidak bisa dihindari berpengaruh besar pada kehidupan umat manusia. Problem problem kehidupan selalu muncul dengan bentuknya yang berubah dan semakin kompleks, seiring dengan perubahan zaman. Sadar atau tidak manusia dituntut untuk dapat mengatasi kompleksitas problem kehidupan yang terus berubah itu. Kurikulum dituntut untuk dapat menciptakan manusia manusia yang aktif dan kreatif untuk tetap bisa survive dalam kehidupannya. Berkaitan dengan ini, maka kurikulum berperan dalam menciptakan situasi dan kondisi konstruktif di mana siswa dapat menjadi aktif, kreatif, mandiri dan bertanggung jawab. Kurikulum harus dirancang dan dikelola agar dapat menciptakan situasi belajar yang kondusif untuk menciptakan manusia manusia yang dapat menjawab kebutuhan masa depan. 18 Ketiga peran kurikulum ini harus dipahami oleh pimpinan lembaga pendidikan agar dapat mengelolanya dengan benar demi tercapainya tujuan pendidikan. c. Manajemen Kurikulum Dalam Undang Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional Kurikulum dikatakan sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.19
18
Ibid. hal. 12-13 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas). Bandung: Fokusmedia,hlm. 4 19
11
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Menurut Prof. Dr. S. Nasution, MA., “Lazimnya kurikulum dipandang sebagai suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan tanggungjawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya”. 20 Menilik kurikulum sebagai sebuah rencana dalam kegiatan pendidikan, maka kurikulum memegang peran penting dalam sistem manajemen pendidikan, yang karenanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa kurikulum pengelolaan kurikulum ikut menentukan keberhasilan atau kegagalan proses pendidikan. Dilihat dari kacamata ilmu manajemen, kurikulum menempati fungsi perencanaan dari dari kegiatan manajerial pendidikan. Kurikulum sendiri, sebagai salah satu alat dalam sistem pendidikan sebagaimana disebutkan di atas, perlu dikelola atau dimanaje dengan baik agar proses pendidikan dapat berjalan ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Manajemen kurikulum adalah sebuah proses atau sistem pengelolaan kurikulum yang kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik untukmengacu ketercapaian tujuan kurikulum yang sudah dirumuskan.Proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orangatau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya.Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisiendari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudahditentukan sebelumnya. Manajemen kurikulum adalah bagian dari studi kurikulum. Para ahli pendidikan pada umumnya telah mengenal bahwa kurikulum adalah suatu cabang dari disiplin ilmu pendidikan yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Studi ini tidak hanya membahas tentang dasar-dasarnya, tetapi juga mempelajari kurikulum secara keseluruhan yang dilaksanakan dalam pendidikan. Ruang lingkup manajemen kurikulum adalah sebagai berikut: (1) manajemen perencanaan, (2) manajemen pelaksanaan kurikulum, (3) supervisi pelaksanaan kurikulum, (4) pemantauan dan penilaian kurikulum, (5) perbaikan kurikulum, 20
S. Nasution, Prof. Dr. MA., Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta, Bumi Aksara), cet. Keempat, hal. 5
12
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
(6) desentralisasi dan sentralisasi pengembangan kurikulum. Sebuah kurikulum terdiri dari beberapa unsur komponen yang terangkai pada
suatu sistem.
secara bertahap, bergilir, manajemen kurikulum
Sistem kurikulum bergerak
dan juga
berkesinambungan. harus
memakai
dalam siklus yang
Oleh
sebab
itu,
pendekatan sistem. Sistem
kurikulum adalah suatu kesatuan yang didalamnya memuat beberapa unsur yang saling berhubungan dan bergantung dalam mengemban tugas untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Margaret Preedy, kegiatan pengelolaan kurikulum ini berkaitan dengan empat pertanyaan kunci, yakni, “siapa” (Guru dan siswa), “apa” (kurikulum), “mengapa” (tujuan yang ingin dicapai dan nilai nilai yang dianut), dan terakhir “di mana” (sekolah dan lingkungan belajar).21 Kajian mengenai pegelolaan kurikulum di masa lalu banyak cenderung hanya fokus pada pertanyaan tentang “apa”, sehingga fokus perhatian pengelolaan kurikulum berada pada batasan tentang sejumlah mata pelajaran yang disusun dalam jadual pembelajaran di sekolah, padahal seharusnya keempat pertanyaan kunci itu saling berkaitan dan merupakan sebuah kesatuan. kepemimpinan
pendidikan,
yakni
peran
Di sinilah peran penting
integrativ
dalam
pengelolaan
kurikulum. 22 1. Manajemen Perencanaan Kurikulum Menurut Margaret Preedy, perencanaa kurikulum berada pada bingkai pencapaian nilai nilai dan tujuan pendidikan, atau secara spesifik mengacu pada tujuan yang ingin dicapai oleh tingkat/gradasi satuan pendidikan, dan prioritas prioritas tujuan yang disusun dalam konteks ekspektasi lokal dan nasional. 23 Tugas utama kepemimpinan di bidang kurikulum memastikan bahwa kurikulum
dikelola
mengarah
pada
pencapaian
tujuan
pendidikan,
memastikan apa yang akan dilakukan guru di kelas dan apa yang akan dialami siswa dengan kurikulum yang telah disusun.
21
Tony Bush & Les Bell (ed), 2002, The Principles and Practice of Educational Management, (London, SAGE Publication Inc.), Hal. 153 22 Ibid. 23 Ibid, hal. 154-155
13
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Perencanaan kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan untuk membina siswa ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai sampai mana perubahan-perubahan yang telah terjadi pada siswa. Lima hal yang mempengaruhi perencanaan dan pembuat keputusan : Filosofis Konten/materi Manajemen pembelajaran Pelatihan guru Sistem pembelajaran. Perencanaan adalah suatu proses sosial yang kompleks dan menuntut berbagai jenis tingkat pembuatan keputusan. Sebagaimana pada umumnya rumusan model perencanaan harus berdasarkan asumsi-asumsi rasionalitas dengan pemrosesan secara cermat. Proses ini dilaksanakan dengan pertimbangan sistematik tentang relevansi pengetahuan filosofis (isu-isu pengetahuan yang bermakna), sosiologis (argumen-argumen kecenderungan sosial), dan psikologi (dalam menentukan urutan materi pelajaran). Mengenai konten kurikulum ini, menurut Margaret Preedy ada sejumlah issue yang patut menjadi perhatian diantaranya: Keluasan, yakni bahwa kurikulum harus mencakup seluruh area pembelajaran. Keseimbangan, yakni bahwa kurikulum seluruh area pembelajaran harus mendapatkan perhatian yang seimbang. Proggressiv dan berkelanjutan, yakni bahwa kurikulum harus menciptakan situasi belajar yang koheren dan berkelanjutan dari tahun ketahun dan dalam setiap tingkatan pendidikan. Koheren, yakni bahwa antar materi atau antar mata pelajar yang beraneka ragam harus bersifat koheren (berhubungan dan terpadu sebagai satu kesatuan). Relevan, yakni bahwa kurikulum harus mampu memberikan kebutuhan kekinian, dan kebutuhan masa depan siswa.
14
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Pembedaan, yakni bahwa kurikulum disusun juga memperhatikan kebutuhan individual siswa yang berbeda beda didasarkan pada kecenderungan, dan kapabilitas siswa. 24 Perencanaan kurikulum dijadikan sebagai pedoman yang berisi petunjuk tentang jenis dan sumber peserta yang diperlukan, media penyampaian, tindakan yang perlu dilakukan, sumber biaya, tenaga, sarana yang diperlukan, sistem kontrol, dan evaluasi untuk mencapai tujuan organisasi.
Dengan
perencanaan
akan
memberikan
motivasi
pada
pelaksanaan sistem pendidikan sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. Kegiatan inti pada perencanaan adalah merumuskan isi kurikulum yang memuat seluruh materi dan kegiatan yang dalam bidang pengajaran, mata pelajaran, masalah-masalah, proyek-proyek yang perlu dikerjakan. 2. Manajemen Pengorganisasian dan Pelaksanaan Kurikulum Manajemen pengorganisasian dan pelaksanaan kurikulum adalah berkenaan dengan semua tindakan yang berhubungan dengan perincian dan pembagian semua tugas yang memungkinkan terlaksana. Organisasi kurikulum merupakan pola atau desain bahan kurikulum yang tujuannya untuk mempermudah siswa dalam mempelajari bahan pelajaran serta mempermudah siswa dalam melakukan kegiatan belajar sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif. Pengorganisasi kurikulum sangat terkait dengan pengaturan bahan pelajaran yang ada dalam kurikulum, sehingga dalam hal ini, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengorganisasian kurikulum, di antaranya: Ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran à dalam hal ini yang menjadi pertimbangan dalam penentuan materi pelajaran adalah adanya integrasi antara aspek masyarakat (yang mencakup nilai budaya dan sosial) dengan aspek siswa (yang mencakup minat, bakat dan kebutuhan). Dan dalam hal ini, bukan hanya materi pelajaran yang harus diperhatikan, tetapi bagaimana urutan bahan tersebut dapat disajikan secara sistematis dalam kurikulum. Kontinuitas kurikulum dalam hal ini yang perlu diperhatikan dalam pengorganisasian kurikulum adalah yang berkaitan dengan substansi bahan yang dipelajari siswa, agar jangan samapi terjadi pengulangan ataupun loncat-loncat yang tidak jelas tingkat kesukarannya.
24
Ibid, hal. 155
15
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Keseimbangan bahan pelajaran à dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian bahan pelajaran dengan perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan yang terus terjadi. Oleh sebab itu dalam pengorganisasian kurikulum keseimbangan substansi isi kurikulum harus dilihat secara komprehensif untuk kepentingan siswa sebagai individu, tuntutan masyarakat, maupun kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka dalam penentuan bahan pelajaran, aspek estetika, intelektual, moral, sosialemosional, personal, religius, seni-aspirasi dan kinestetik, semuanya harus terakomodasi dalam isi kurikulum. Alokasi waktu dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah alokasi waktu yang dibutukan dalam kurikulum harus sesuai dengan jumlah materi yang disediakan. Maka untuk itu, penyusunan kalender pendidikan untuk mengetahui secara pasti jumlah jam tatap muka masing-masing pelajaran merupakan hal yang terpenting sebelum menetapkan bahan pelajaran. 25 Dalam manajemen, pelaksanaan kurikulum bertujuan supaya kurikulum dapat terlaksana dengan baik. Dalam hal ini manajemen bertugas menyediakan fasilitas material, personal dan kondisi-kondisi supaya kurikulm dapat terlaksana. Pelaksanaan kurikulum dibagi menjadi dua: 1. Pelaksanaan kurikulum tingkat sekolah, yang dalam hal ini langsung ditangani oleh kepala sekolah. Selain dia bertanggung jawab supaya kurikulum dapat terlaksana di sekolah, dia juga berkewajiban melakukan kegiatan-kegiatan
yakni
menyusun
kalender
akademik
yang
akan
berlangsung disekolah dalam satu tahun, menyusun jadwal pelajaran dalam satu minggu, pengaturan tugas dan kewajiban guru, dan lain-lain yang berkaitan tentang usaha untuk pencapaian tujuan kurikulum. 2. Pelaksanaan kurikulum tingkat kelas, yang dalam hal ini dibagi dan ditugaskan langsung kepada para guru. Pembagian tugas ini meliputi: a. Kegiatan dalam bidang proses belajar mengajar. b. Pembinaan kegiatan ekstrakulikuler yang berada diluar ketentuan kurikulum sebagai penunjang tujuan sekolah. c. Kegiatan bimbingan belajar yang bertujuan untuk mengembangkan potensi yang berada dalam diri siswa dan membantu siswa dalam memecahkan masalah.26
25 26
Rusman, 2009, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers), hal. 3 Dadang Suhardan dkk, 2009, Manajemen Pendidikan, (Bandung; Alfabeta), hal. 195
16
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Dalam manajemen kurikulum ditentukan oleh manusianya sebagai subyek. Orang orang yang memegang peran penting pada manajemen pelaksanaan kurikulum adalah: 1. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran Kepala sekolah menempati posisi terdepan dalam mengelola kurikulum di sekolah. Kepala sekolah didorong untuk mencari cara agar mengembangkan apa yang sudah dilakukan guru di kelas dengan ide dari pengembang kurikulum pusat. Kepala sekolah membentuk gambaran mental apa yang harus dicapai siswa dan bagaimana pencapaiannya pada disiplin yang berbeda, termasuk bagaimana cara menilai penampilan siswa. Pejabat daerah meninjau ulang ekspektasi kinerja dan memberi saran untuk modifikasi sampai mereka puas bahwa kepala sekolah sudah jelas dalam memahami operasional tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya dalam pelatihan di tingkat yang lebih tinggi para guru dan karyawan dilatih berdasarkan jenjangnya, dan mereka mengembangkan rencana sepanjang tahun pada mata pelajaran yang berbeda-beda. Rencana-rencana tersebut dikritisi dan tiap guru mebuat rencana kelasnya masing-masing. Kepala sekolah dan guru memutuskan langkah-langkah yang akan diambil dalam menerjemahkan kurikulum pada tataran praktis. Setelah rencana diterapkan, kepala sekolah mendukung guru dalam melakukan eksperimen untuk menemukan cara baru dalam modifikasi kelas dan mengelompokkan guru agar bertemu secara teratur untuk membahas dan berbagi tentang strategi pembelajaran baru. Kepemimpinan yang fokus adalah ketika kepala-kepala sekolah bersama guru menganalisa kemajuan siswa berdasarkan tes dan patokan dan kemudian menentukan implikasi untuk pembelajaran. 2. Kepala Sekolah dalam Kepemimpinan Bersama Kepala sekolah dan guru memiliki kebebasan untuk menyusun visi kurikulum mereka sendiri daripada hanya mencari cara mencapai tujuan yang disusun pihak lain. Para karyawan berfokus pada masalah di sekolah mereka. Salah satu pendekatannya adalah dengan berfokus pada budaya sekolah, termasuk keyakinan, nilai-nilai, tradisi, praktek, harapan, dan asumsi-asumsi. Cara yang baik untuk memulai mengembangkan visi kurikulum adalah dengan 17
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
menetapkan pernyataan misi dan analisis kritis pada kurikulum yang sedang berjalan. Sangat baik untuk merumuskan etos dari sekolah, ciri khas, dan aspekaspek unggulan dari sekolah. Guru dan kepala sekolah mengeksplor peraturan sekolah (kebijakan penilaian, penjadwalan, buku teks, pembelajaran keluar, dan yang lainnya). Biasanya tim ini yang menentukan kebijakan, menginterpretasikannya, dan menentukan konsekuensinya. Di bawah kepemimpinan bersama, peran kepala sekolah adalah untuk melepaskan kapasitas kreativitas dari tim tadi, bukan mengontrolnya. Salah satu tujuan dalam sesi perencanaan adalah semua harus berbagi pengetahuan, pengamatan, interpretasi, dan harus ada bukti dan kesepakatan tentang validitas dari pandangan yang bertentangan. Keputusan didasarkan pada konsensus rasional, bukan dari kepala sekolah atau guru-guru yang populer. Selama berdiskusi peserta tetap menjaga norma dan nilai dari sekolah. Peran guru dalam pengambilan keputusan kurikulum bukan hal yang baru. Gary Peltier menulis tentang program penyusunan kurikulum tahun 1922 menggunakan partisipasi guru. Hasilnya, para guru menjadi lebih tahu tentang tujuan pendidikan, lebih dapat menginterpretasikan program, dan lebih menerima metode-metode baru. Guru menjadi lebih menerima pandangan baru tentang mata pelajaran, dan lebih respon terhadap kebutuhan sosial dan siswa. 3. Kepala Departemen atau Wakil Kepala Sekolah dalam Manajemen Kurikulum Pada beberapa sekolah, kepala sekolah menetapkan kepala departemen atau wakil kepala sekolah untuk kepemimpinan kurikulum. Kepala departemen menyediakan struktur kurikulum, diskusi, dan pengambilan keputusan. Departemen kurikulum menangani isu-isu tentang hasil yang diharapkan, isi materi dan sekuensnya, kriteria untuk materi dan aktivitas baru, pendekatan pengajaran, pengawasan dalam implementasi, dan evaluasi. 3. Supervisi Pelaksanaan Kurikulum Supervisi atau pemantauan kurikulum adalah pengumpulan informasi berdasarkan data yang tepat, akurat, dan lengkap tentang pelaksanaan kurikulum dalam jangka waktu tertentu oleh pemantau ahli untuk mengatasi permasalahan dalam kurikulum. Pelaksanaan kurikulum di dalam pendidikan harus dipantau untuk meningkatkan efektifitasnya. Pemantauan ini dilakukan supaya kurikulum tidak 18
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
keluar dari jalur.27 Oleh sebab itu seorang yang ahli menyusun kurikulum harus memantau pelaksanaan kurikulum mulai dari perencanaan sampai mengevaluasinya. Secara garis besar pemantauan kurikulum bertujuan untuk mengumpulkan seluruh
informasi
yang
diperlukan
untuk
pengambilan
keputusan
dalam
memecahkan masalah. Dalam tataran praktis, pemantauan kurikulum memuat beberapa aspek, yaitu sebagai berikut: 1. Peserta didik, dengan mengidentifikasi pada cara belajar, prestasi belajar, motivasi belajar, keaktifan, kreativitas, hambatan dan kesulitan yang diahadapi. 2. Tenaga pengajar, dengan memantau pada pelaksanaan tanggung jawab, kemampuan kepribadian, kemampuan kemasyarakatan, kemampuan profesional, dan loyalitas terhadap atasan. 3. Media pengajaran, dengan melihat pada jenis media yang digunakan, cara penggunaan media, pengadaan media, pemeliharaan dan perawatan media. 4. Prosedur penilaian: instrument yang dihadapi siswa, pelaksanaan penilaian, pelaporan hasil penilaian. 5. Jumlah lulusan: kategori, jenjang, jenis kelamin, kelompok usia, dan kualitas kemampuan lulusan. 28 4. Penilaian Kurikulum Penilaian kurikulum atau evaluasi kurikulum merupakan bagian dari sistem manajemen. Evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau diganti. Model evaluasi kurikulum secara garis besar digolongkan ke dalam empat rumpun model, yaitu :
Measurement,
evaluasi pada
dasarnya
adalah pengukur
siswa untuk
mengungkapkan perbedaan individual maupun kelompok.
Congruence, evaluasi pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian (congruence) antara tujuan pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana perubahan hasil pendidikan telah terjadi.
27
Oemar Hamalik, 2009, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya), hal. 19. 28 Rahmat Raharjo, 2010, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka), hal. 161
19
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Illumination, evaluasi pada dasarnya merupakan studi mengenai pelaksanaan program, kebaikan-kebaikan dan kelemahan program, serta pengaruh program terhadap terhadap perkembangan hasil belajar.
Educational System Evaluation, evaluasi pada dasarnya adalah perbandingan antara performance setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi dan judgement. Model evaluasi kurikulum lain misalnya model pluralistik, model ini
cenderung digunakan hanya ketika penelitian kurang menarik untuk alasan politis, biaya, dan kepraktisan. Model yang lebih baru ini terutama digunakan untuk kurikulum yang di luar kebiasaan, dan yang berhubungan dengan pendidikan estetis, proyek multikultural, dan sekolah alternatif. a. Model Stake Menurut Robert E. Stake, harus ada evaluasi awal untuk menentukan apa yang sebenarnya diinginkan oleh klien dan partisipan dari evaluasi program tersebut. Hal ini perlu diketahui untuk mendesain projek evaluasi. Penekanan utama dalam model Stake adalah deskripsi dan penilaian. Baginya, penilai harus melaporkan perbedaan orang melihat kurikulum. Karena itu, aktivitas prinsip dari penilai antara lain, mencari apa yang ingin diketahui orang, melakukan pengamatan, dan mengumpulkan penilaian beragam. Orang-orang yang bervariasi, mulai dari para ahli, jurnalis, psikologis, demikian juga guru dan murid diharapkan berpartisipasi dalam penilaian ini. b. Model Connoisseurship Elliot W. Eisner mengembangkan sebuah proses evaluasi yang dapat menangkap lebih dari yang didapat dari tes. Salah satu prosedurnya adalah mengkritisi pendidikan, dimana penilai mengajukan beberapa pertanyaan seperti: Apa yang sudah terjadi selama tahun ajaran di sekolah tersebut? Apa saja
kegiatan-kegiatan
dilaksanakan?
Bagaimana
kuncinya? siswa
Bagaimana dan
guru
kegiatan-kegiatan
berpartisipasi?
Apa
itu saja
konsekuensinya? Bagaimana kegiatan itu dapat dikuatkan? Bagaimana kegiatan tersebut dapat membuat siswa belajar? Alat lain untuk menunjang program adalah film, rekaman video, foto, dan rekaman suara wawancara siswa dan guru. Connoisseurship berhubungan dengan: mencatat apa yang dikatakan dan yang tidak dikatakan, bagaimana hal 20
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
tersebut dikatakan, nadanya, dan faktor lain yang mengindikasikan arti. Prosedur lain dari Eisner adalah menganalisis hasil produk siswa, termasuk mengkritisi untuk membantu penilai memahami apa yang sudah dicapai dan untuk mengungkapkan realitas dari kelas. Hal ini juga dikenal dengan penilaian autentik. Pendekatan ini, meskipun informatif dan mudah diadaptasi pada kondisi lokal yang unik, namun bersifat subyektif dan berpotensi kontroversial. Bagaimanapun interaksi sosialdi antara pesertadalam menciptakanmaknadariapa yang dikumpulkanberkontribusi terhadapvaliditaspenafsiran. 5. Perbaikan Kurikulum Kurikulum tidak bisa bersifat selalu statis, akan tetapi akan senantiasa berubah dan bersifat dinamis. Hal ini dikarenakan kurikulum itu sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan yang menuntutnya untuk melakukan penyesuaian supaya dapat memenuhi permintaan. Permintaan itu baik dikarenakan adanya kebutuhan dari siswa dan kebutuhan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan pertumbuhan terus menerus. Perbaikan kurikulum intinya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang dapat disoroti dari dua aspek, proses, dan produk. Kriteria proses menitikberatkan pada efisiensi pelaksanaan kurikulum dan sistem intruksional, sedangkan kualitas produk melihat pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai dan output (kelulusan siswa). Berkaitan dengan prosedur perbaikan, seluruh komponen sumber daya manusiawi, seperti: administrator, pemilik sekolah, kepala sekolah, guru-guru, siswa, serta masyarakat sangat berperan besar. Tanggung jawab masing-masing harus dirumuskan secara jelas. Selain itu aspek evaluasi juga harus dikaji sejak awal perencanaan program perbaikan kurikulum. Dengan evaluasi yang tepat dan data informasi yang akurat akan sangat diperlukan dalam membuat keputusan kurikulum dan intruksional. Chamberlain telah merumuskan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam perbaikan, yaitu: (1) mengidentifikasi masalah sebenarnya sebagai tuntutan untuk mengetahui tujuan, (2) mengumpulkan fakta atau informasi tambahan, 21
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
(3) mengajukan kemungkinan pemecahan dengan keputusan yang optimal dan diharapkan, (4) memilih pemecahan sebagai percobaan, (5) merencanakan tindakan yang dikehendaki untuk melaksanakan penyelesaian, (6) melakukan solusi percobaan, (7) evaluasi. 6. Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum Menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama. Dalam era reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah. Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi. Indonesia sebagai negara berkembang dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang. Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat tingkat relevansinya baik kehidupan anak dan lingkungannya. Dengan adanya sentralisasi pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memprihatinkan seperti : 1. Totaliterisme penyelenggaraan pendidikan 2. Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek perencanaan, pengelolaan,evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan pembelajaran. 3. Keseragaman pola pembudayaan masyarakat 4. Melemahnya kebudayaan daerah 22
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
5. Kualitas manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas. Dengan demikian, sebagai dampak sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh inisiatif dan impati, memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai bekal masyarakat, menjadi sangat sulit untuk di wujudkan. Beberapa alasan yang mendasari perlunya desentralisasi : 1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara lebih luas. 2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi. 3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang sehingga dapat meningkatkan efisiensi. 4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal. 5. Mengakomodasi kepentingan poloitik. 6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih kompetitif. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level bawah (daerah). Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Sistem pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu, desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa. Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
23
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa. 2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan daerah. 3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas. 4. Sumber daya manusia yang belum memadai. 5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai. 6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum matang. 7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap untuk kehiulangan otoritasnya. Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya : 1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat. 2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan. 3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya baru didistribusikan ke sekolah. 4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan pendidikan, secara kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan. 5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya akan menurunkan mutu pendidikan. 6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda.
Mengakibatkan kesenjangan mutu
pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial. 7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan pendidikan dari pusat ke daerah. Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
24
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan. 2. Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan untuk masyarakat. C. Penutup Berdasarkan penjelasan yang telah penulis sampaikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa manejemen kurikulum merupakan sebuah proses atau sistem pengelolaan kurikulum secara kooperatif, komprehensif dan sistematik untuk mengacu ketercapaian tujuan kurikulum yang sudah dirumuskan. Dalam proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orang atau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya. Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisien dari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudah ditentukan sebelumnya. Adapun
fungsi
dari
manajemen
kurikulum
adalah
untuk
meningkatkanefisiensi pemanfaatan sumber daya kurikulum, meningkatkan keadilan dankesempatan bagi peserta didik untuk mencapai hasil yang maksimal melaluirangkaian kegiatan pendidikan yang dikelola secara integritas dalam mencapaitujuan, meningkatkan motivasi pada kinerja guru dan aktifitas siswa karenaadanya dukungan positif yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan kurikulum,serta
meningkatkan
pastisipasi
masyarakat
untuk
membantu
pengembangankurikulum, kurikulum yang dikelola secara profesional akan melibatkanmasyarakat dalam memberi masukan supaya dalam sumber belajar disesuaikandengan kebutuhan setempat.Ruang lingkup manajemen kurikulum adalah sebagai
berikut:(1)
manajemen
perencanaan,(2)
manajemen
pelaksanaan
kurikulum,(3) supervisi pelaksanaan kurikulum,(4) pemantauan dan penilaian kurikulum,(5) perbaikan kurikulum,(6) desentralisasi dan sentralisasi pengembangan kurikulum.
25
Al-`Ulum; Vol. 3, Tahun 2014
Daftar Pustaka
Abdurrahman Fathoni, H. Prof., DR., M.Si., 2006, Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia, (Reneka Cipta; jakarta), Cet. 1 Ahmad ibnu Daud al-Muzjaji al-Asy’ari, 2000, مقذمة اإلدارة اإلسالمية, (Jeddah-Saudi Arabia), Cet. 1 Dadang Suhardan dkk, 2009, Manajemen Pendidikan, (Bandung; Alfabeta) H.E. Mulyasa, Prof. Dr. M.Pd., 2013, Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013, (Bandung; PT. Remaja Rosdakarya) Human Development Reports (HDR) United Nation Development Programme (UNDP), 2013, diakses tanggal 24 Nopember 2013. http://hdr.undp.org/en/statistics/ Mohammad Ali, Prof. Dr. Dkk (penyunting), 2007, Ilmu dan aplikasi Pendidikan, (Bandung: Pedagogiana Press), ISBN : 978-979-16173-0-7. Oemar Hamalik, Prof., Dr., H., 2008, dasar Dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung; Rosdakarya), Cet. Ke 2, Oemar Hamalik, 2009, Manajemen Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya) Rahmat Raharjo, 2010, Inovasi Kurikulum Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Magnum Pustaka) Rusman, 2009, Manajemen Kurikulum, (Jakarta: Rajawali Pers) S. Nasution, Prof. Dr. MA., Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta, Bumi Aksara), cet. 4 Tilaar, H.A.R., Prof., DR., M.Sc.Ed., 2004, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (Rineka Cipta; Jakarta), Cet. Ke 2, ISBN 979-518-559-4. Tony Bush & Les Bell (ed), 2002, The Principles and Practice of Educational Management, (London, SAGE Publication Inc.) Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sikdiknas) Wibisono, Prof. Dr., SE., M.Phil., 2006, Manajemen Perubahan, (RajaGrafindo; Jakarta) Zorlu Senyucel, 2009, Manajing The Human Resources in the 21th Century, (Zorlu Senyucel & Ventus Publishing ApS), ISBN 978-87-7681-468-7.
26