Jurnal Penelitian Psikologi 2013, Vol. 04, No. 02, 120-141
MENGATASI ANCAMAN IDENTITAS KEMISKINAN: STUDI KASUS SEBUAH KELUARGA MISKIN DI SURABAYA Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq Program Studi Psikologi Universitas Negeri Surabaya
Abstract: In the Tajfel & Turner’s social identity theory perspective (in Ellemers et. al., 2002), poor people living in urban areas are more likely to experience social categorization based on socio-economic status. Rich people tend to be considered as having positive identity status; while, poor people have negative identity status. It can be assumed from Social Identity Theory (SIT) that people with negative identity status would face identity threats. Therefore, this research was aimed to explore how a poor family living in Surabaya, an urban area, experiences their poverty, deal with it, and what strategies they employed to treat identity threats to maintain positive identity. This research used a qualitative approach with case study method. Participants of this research were a poor family in Surabaya consists of a couple and a daughter who were recruited using purposive sampling. Data collected using semi-structured interviews and observation and analyzed using Thematic Analysis (TA). The analysis reveals three main themes, namely perceiving poverty condition, response to the poverty conditions, and strategies to resolve identity threats and maintain positive identity. In general this study found that the difficulty to find a job, severe life changing, and inability to fulfil their daily needs becomes the difficult situations the participants should face. Furthermore, all members of the family told that they experience some extents of social discrimination and inappropriate treatments from the surroundings. However, some degrees of social supports were also received from government, neighbourhood and relatives. The participants respond to the poverty situations in emotional states such as feeling sad, anxious, and angry but they still have the expectation for better future life primarily for their children. Finally, they adopted intrapersonal and interpersonal strategies to alleviate threats to their identity as poor people in order to maintain their positive identity. Overall, results show that all the participants are able to adapt with the poverty situation and show the tendency to deal with the psychological problems caused by the poverty in active and positive ways. Keywords: poor family, poverty, coping identity threats Abstrak: Berdasarkan Teori Identitas Sosial dari Tajfel & Turner (dalam Ellemers dkk, 2002), orang miskin perkotaan akan cenderung dikategorikan dalam hal status sosial-ekonomi. Dalam pengkategorian ini, orang miskin akan memiliki status identitas negatif karena berada dalam posisi lebih rendah. Teori identitas sosial mengasumsikan bahwa individu dengan status yang negatif akan menghadapi ancaman identitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sebuah keluarga miskin menjalani kehidupannya terkait dengan situasi kemiskinannya dan strategi untuk mengatasi ancaman identitas karena situasi tersebut. Penelitian ini
120
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
121
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Partisipan penelitian ini adalah sebuah keluarga miskin di Surabaya yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak remaja perempuan. Mereka direkrut dengan cara purposive sampling. Data dikumpulkan menggunakan wawancara semi-terstruktur dan dianalisis menggunakan Analisis Tematik. Hasil analisis data menghasilkan tiga tema utama, yaitu situasi kemiskinan, respon terhadap situasi kemiskinan, dan strategi mengatasi ancaman identitas. Secara umum, penelitian ini menemukan adanya kesulitan mencari pekerjaan, perubahan kondisi hidup, dan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga mereka menghadapi situasi yang sulit. Bahkan, semua partisipan melaporkan mengalami tingkat tertentu dari diskriminasi dan perlakuan tidak layak dari lingkungan sekitarnya. Walaupun demikian, masih ada dukungan sosial yang mereka terima dari keluarga, pemerintah, dan tetangga. Partisipan merespon situasi kemiskinan mereka dengan perasaan seperti sedih, cemas, dan marah, namun mereka masih memiliki harapan untuk anak-anaknya agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pada akhirnya, mereka beradaptasi dengan strategi intrapersonal dan strategi interpersonal untuk mengurangi ancaman identitas mereka sebagai orang miskin dengan tujuan mendapatkan identitas yang positif. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua partisipan dapat beradaptasi dengan situasi kemiskinan mereka dan menunjukkan kecenderungan untuk mengatasi masalah psikologis yang disebabkan oleh kemiskinan dengan cara yang positif. Kata Kunci : Keluarga miskin, kemiskinan, strategi menghadapi ancaman identitas
Pendahuluan Kemiskinan merupakan salah satu masalah sosial yang sulit untuk diatasi hingga saat ini. Data orang miskin di seluruh propinsi di Indonesia yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2012 berjumlah 28.594.700 jiwa dengan rincian 10.507.800 jiwa berada di kota dan 18.086.900 jiwa tinggal di desa (BPS online, 2013). Sejak tahun 2004, BPS (dalam Siahaan, 2011) mendefinisikan kemiskinan bukan hanya dari ketidakmampuan secara ekonomi saja, tetapi juga kegagalan dalam pemenuhan hak-hak dasar. BPS Indonesia menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan seseorang secara ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar. Konsep kemiskinan dirumuskan dengan berbasis hak, yaitu hak dalam memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dan perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (Siahaan, 2011). World Bank (dalam Harack, 2010) mendefinisikan kemiskinan menjadi tiga, yaitu kemiskinan yang ekstrim, kemiskinan yang moderat, dan kemiskinan yang relatif. Kemiskinan ekstrim dialami oleh mereka yang memiliki total pendapatan kurang dari $1 US Dollar per hari. Kemiskinan moderat dialami oleh mereka yang memiliki total pendapatan $2 US Dollar per hari. Kemiskinan moderat ini memungkinkan mereka untuk memenuhi
122
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
kebutuhan dasar mereka, namun tidak untuk kebutuhan pendidikan anak-anak mereka, kesehatan, dan menabung untuk masa depan. Kemiskinan juga dapat bersifat absolut dan bersifat relatif. Orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup disebut dengan kemiskinan absolut, sedangkan orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya karena tuntutan standar yang tinggi dari masyarakat disebut dengan kemiskinan relatif (Nasution, dalam Dewanta, 1999). Orang yang hidup dalam kemiskinan relatif masih dapat menjalani kehidupan yang layak. Hal ini tergantung pada efektivitas infrastruktur dan ketersediaan berbagai layanan seperti pendidikan dan kesehatan yang bisa diakses oleh orang miskin di daerah mereka hidup. Markum (2009) menguraikan bahwa kemiskinan di kota cenderung tergolong dalam kemiskinan relatif karena keterbatasan hidup orang miskin banyak dipengaruhi oleh biaya hidup yang tinggi. Selain itu, orang miskin kota masih memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor informal (tukang parkir, buruh bangunan, pedagang, pemulung dll.). Kemiskinan absolut, di sisi lain, lebih mungkin terjadi di desa karena, meskipun biaya hidupnya rendah, orang miskin desa tidak cukup memiliki akses pekerjaan yang digunakan sebagai sumber pendapatan. Penelitian ini lebih berfokus pada kemiskinan di perkotaan. Kehidupan di perkotaan yang begitu padat membuat manusia perlu bersaing untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Namun, Gilbert (1996) mengatakan bahwa kota cenderung lebih melayani kelompok-kelompok kelas menengah atas (elite). Dengan kata lain, kalangan kelas sosial menengah atas dapat dengan mudah mengakses berbagai layanan di kota, tetapi tidak pada kalangan sosial kelas bawah atau miskin. Akhirnya kemiskinan yang terjadi di perkotaan dapat mengakibatkan adanya kesenjangan dalam mendapatkan berbagai akses layanan antara orang kaya dan orang miskin. Permasalahan yang muncul pada keluarga miskin yang tinggal di kota besar sangat kompleks. Kemiskinan di kota bukan hanya menyangkut masalah kondisi ekonomi yang sulit, namun juga berkaitan dengan keterbatasan hakhak sosial. Menurut Markum (2009), permasalahan orang miskin perkotaan meliputi beberapa hal, yaitu kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok (kekurangan gizi dari makanan sehat, pakaian yang terbatas, dan tempat tinggal yang tidak layak atau bahkan tidak memiliki tempat tinggal tetap), tidak memiliki biaya untuk berobat, sulit mengakses pendidikan yang bermutu, rentan terhadap kriminalitas (baik sebagai korban karena tidak memiliki akses perlindungan yang baik maupun sebagai pelaku karena terbatasnya pendapatan), adanya diskriminasi dalam proses hukum, terbatasnya kesempatan untuk mengemukakan pendapat. Markum (2009) juga menidentifikasi adanya stereotipe bahwa orang miskin dianggap kotor, tidak
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
123
disiplin, malas, sumber kejahatan, kekacauan, penyakit oleh masyarakat, dan sebagainya. Adanya stereotipe seperti itu secara tidak langsung juga berdampak pada kondisi mental orang miskin. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa orang miskin merasa kurang bahagia dan bahkan rentan terhadap gangguan mental yang serius, seperti depresi, skizofrenia, dan gangguan kepribadian (Warheit, Holzer & Schwab, 1973 dalam Markum, 2009). Di Indonesia, banyak terdapat kasus gila, bunuh diri, atau kriminalitas akibat dari stress yang mereka alami karena kemiskinan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) (dalam Kuruvilla & Jacob, 2007) menyimpulkan bahwa gangguan kesehatan mental memang dapat terjadi pada semua orang, namun resikonya jauh lebih rentan terjadi pada orang miskin tuna wisma, pengangguran, dan orang-orang berpendidikan rendah. Kehidupan di perkotaan sangat erat kaitannya dengan kategori miskin atau tidak miskin karena kecenderungan materialistik masyarakatnya. Hal tersebut membuat semakin menonjolnya pengkategorian sosial orang miskin. Tajfel & Turner (dalam Ellemers, dkk., 2002) menyatakan bahwa kategori sosial adalah pembagian individu berdasarkan ras, kelas, pekerjaan, jenis kelamin, agama, dan lain-lain. Pengkategorian sosial tersebut selanjutnya akan membentuk suatu identitas sosial dimana orang miskin akan ditempatkan pada identitas yang bersifat negatif. Status identitas negatif itu terjadi karena orang miskin berada dalam posisi sosial lebih rendah dibanding orang kaya. Pada akhirnya, identitas negatif ini akan membuat orang yang berada dalam situasi kemiskinan akan terancam. Hal ini disebabkan, berdasarkan Teori Identitas Sosial, setiap individu pada dasarnya menginginkan rasa identitas dan harga diri yang positif. Karena itu, jika ancaman identitas terkait dengan status negatif kemiskinan ini tidak diatasi, maka dapat diasumsikan orang-orang yang berada dalam situasi kemiskinan akan turun harga diri dan kesehatan mentalnya (well-being). Atas dasar penjelasan diatas, penelitian ini bertujuan untuk memahami situasi kemiskinan orang miskin dan memahami cara mereka dalam merespon situasi tersebut dalam rangka menjaga identitasnya tetap positif. Penelitian ini ingin mengungkap kemiskinan yang dialami oleh keluarga miskin yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang anak perempuan remaja. Permasalahan kemiskinan yang dialami oleh keluarga dianggap lebih kompleks daripada kemiskinan pada satu individu. Pada keluarga, pendapatan yang diperoleh harus dibagi menjadi beberapa kebutuhan pokok keluarga, seperti biaya makan sehari-hari, biaya kesehatan dan pedndidikan, biaya tempat tinggal, rekening listrik, rekening air, iuran warga, dan sebagainya. Selain itu, pendapatan yang diperoleh juga harus dibagi untuk biaya masing-masing anggota keluarga.
124
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Metode Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus. Studi kasus adalah suatu penelitian kualitatif yang berusaha menemukan makna, menyelidiki proses, dan memperoleh pengertian dan pemahaman yang mendalam dari individu, kelompok, atau situasi (Emzir, 2010:20). Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan tipe studi kasus instrinsik. Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara utuh suatu kasus yang akan di teliti dan tidak ada maksud untuk membangun suatu teori baru atau menghasilkan suatu rekomendasi kebijakan (Yin, 2000). Kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana sebuah keluarga miskin memahami situasi kemiskinannnya dan bagaimana cara mereka untuk menjaga identitas dirinya tetap positif. Partisipan Pengambilan partisipan pada penelitian ini menggunakan kriteria kemiskinan dari BPS, yaitu : (1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang lebih 3 x 7 m2 untuk sembilan orang, (2) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari tembok tanpa diplester, (3)Tidak memiliki fasilitas buang air besar atau fasilitasnya digunakan bersama-sama dengan rumah tangga lain, (4) Pendapatan tidak tentu atau maksimal Rp 600.000 per bulan, (5) Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Sebuah keluarga di Surabaya yang memiliki karakteristik tersebut di atas berhasil direkrut. Ayah berlatarbelakang pendidikan SMA dan tidak memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang tetap, yaitu sebagai tukang becak; ibu tidak bekerja dan memiliki latarbelakang pendidikan SD; dan 3 orang anak, yaitu dua orang putra (satu masih duduk di Sekolah Dasar (SD) dan satunya lagi sudah lulus Sekolah Menengah kejuruan (SMK) dan telah bekerja hampir setahun sebagai pelayan restoran; dan seorang lagi perempuan usia 17 tahun yang menginjak tahun kedua di SMK jurusan Pemasaran. Hanya ayah, ibu, dan anak perempuan yang berhasil direkrut dalam penelitian ini. Anak yang bungsu tidak dijadikan partisipan karena masih kecil, sedangkan anak pertama tidak bersedia diwawancarai. Dalam artikel ini, nama samaran untuk ayah adalah Jamal, Wati untuk ibu, dan Siska untuk putrinya. Teknik Pengumpulan Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara semi-terstruktur dengan menggunakan pedoman wawancara umum. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap lima hal pokok, yaitu data demografis, kegiatan sehari-hari, diri dalam interaksi sosial, dampak dari interaksi sosial, dan respon atas kondisi sosial terkait kemiskinan. Sebelum melakukan wawancara, proses pendekatan terhadap para
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
125
partisipan dalam rangka membangun rapport dilakukan selama satu bulan. Proses wawancara dilakukan pada masing-masing partisipan selama tiga kali pertemuan dengan setiap wawancara berkisar antara 45 menit hingga 120 menit. Wawancara direkam menggunakan alat rekam dari smartphone. Teknik Analisis Data Data dianalisis menggunakan Thematic Analysis yang dianjurkan oleh Braun dan Clarke (2006). Langkah pertama yakni dengan cara mentranskrip data hasil wawancara berupa verbatim. Kemudian peneliti melakukan pengkodean berupa kata-kata atau frase pada setiap transkrip. Kode-kode itu kemudian dikategorikan berdasarkan kemiripan maknanya dan diberi nama tema. Tema-tema ini terus direviu seiring dengan tambahan kode-kode dari seluruh transkrip.Tema-tema ini kemudian dikategorikan kembali berdasarkan kemiripan cakupan topiknya dan setiap kategori kemudian di beri label tema besar (superordinate theme). Beberapa tema besar yang berhasil ditemukan beserta seluruh subtema, koding dan semua ekstrak dari transkrip wawancara kemudian disusun menjadi sebuah tabel tema. Berdasarkan tabel tema yang disusun itu, peneliti selanjutnya menulis laporan hasil penelitian. Paparan hasil penelitian berisi kutipan ekstrak-ekstrak wawancara yang relevan untuk memperkuat argumen dan interpretasi peneliti. Menurut Elliot dkk. (1999), penggunaan kutipan ekstrak-ekstrak data asli dari para partisipan dalam sebuah laporan penelitian merupakan salah satu cara untuk memperkuat keabsahan hasil penelitian yang disebut dengan grounding in examples. Tujuannnya adalah untuk memberi kesempatan bagi pembaca untuk menguji interpretasi peneliti dengan melihat langsung ekstrak data aslinya. Artikel ini menggunakan lambang ‘*...+’ dalam kutipan ekstrak wawancara untuk menunjukkan bahwa ada materi tidak relevan yang dihapus dari data asli, sedangkan kalimat dalam tanda kurung ‘( ... )’ di ekstrak wawancara adalah berasal dari peneliti sebagai klarifikasi makna dari data asli. Nama di akhir setiap ekstrak adalah nama samaran partisipan, sedangkan kode huruf serta nomor merujuk pada baris halaman dari transkrip aslinya. Hasil Penelitian ini berhasil mengindentifikasi tiga superordinat tema yaitu situasi kemiskinan yang dihadapi, respon terhadap situasi kemiskinan, dan strategi mengatasi ancaman identitas. Tema 1: Situasi Kemiskinan Tema ini menggambarkan bagaimana para partisipan yang merupakan anggota dari sebuah keluarga memahami situasi kemiskinan mereka. Situasi kemiskinan itu terkait dengan aneka permasalahan yang dihadapi oleh para
126
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
partisipan dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan kota membuat subyek mengalami kesulitan dalam kesehariannya, mulai dari kesulitan mencari pekerjaan, tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, hingga mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan sosialnya. Penghasilan yang tidak mencukupi Sebagai kepala keluarga, Jamal melakukan segala upaya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia pernah bekerja sebagai buruh pabrik, kurir, dan karyawan fotokopi. Namun ia keluar karena gaji semua pekerjaan itu tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga. Usaha lain yang pernah terpikirkan adalah berjualan makanan ringan atau mainan di sekitar rumah yang dekat dengan sekolah. Namun, Jamal enggan melakukannnya. ‚*…+ jualan kayak orang-orang yang biasae jualan ndek depan itu lho, nah aku emoh, nanti dipikir ngerebut rejekinya orang kalau kembaran kan gak enak (berjualan seperti orang-orang di depan sana, tapi saya menolak karena nanti orang-orang pikir saya merebut rezeki mereka karena menjual barang yang sama).‛ (Jamal – B589) Alasan Jamal bahwa ia tidak ingin merebut rezeki orang-orang yang telah berjualan sebelumnya tampaknya mengindikasikan kecenderungannya untuk lebih memilih hidup harmonis dengan orang di sekitarnya daripada meraih peluang kerja secara kompetitif. Namun alasan tersebut juga bisa ditafsirkan sebagai rendahnya motivasi Jamal untuk bekerja dengan cara berjualan. Akhirnya Jamal memutuskan menjadi tukang becak. Awalnya, ia menyewa becak dan setiap harinya harus menyetor dua ribu rupiah kepada pemiliknya. Namun, akhirnya Jamal memiliki becak sendiri yang dibelikan oleh anak pertamanya. Sebagai tukang becak, penghasilan Jamal tidak menentu. ‚*…+ Jamannya Pak Harto kan masih enak gitu, sepeda motor kan masih jarang itu. Dulu dapet 40 (ribu) itu ya sudah untung itu. Sekarang jangankan 40 (ribu), 10 ribu aja bingung (sulit). ‛ (Jamal – B58) Jamal melihat bahwa penghasilan tukang becak pada zaman dulu masih lebih baik daripada saat ini. Ia merasa pada masa kekuasaan Presiden Soeharto lebih mudah untuk mencari uang. Kemudahan bagi banyak orang saat ini untuk membeli alat transportasi, terutama sepeda motor, membuat penghasilannnya cenderung menurun.
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
127
‚Ya ini, saya gak (tidak) bisa ngomong ini. Soalnya gak pasti, kadang 20 (ribu), pernah satu hari itu gak dapet sama sekali.‛ (Jamal – B76) ”Kalau sepi itu ya gak dapat uang blaass (sama sekali), tapi ya kalau ramai, mencapai 75, kadang 50 (ribu) (Wati – B35) Penghasilan yang kecil dan tidak menentu membuat Jamal dan istri menghemat. Mereka membuat prioritas kebutuhan. Istri Jamal, Wati, mengatakan: ‚Iya, dibagi. Tapi biasanya dibuat sangunya (uang saku) yang sekolah dulu. Trus bapaknya itu bilang ‚yowes gampang masak’e ngkok nek enthuk maneh. Gae sangu’e arek-arek disik ae‛ (‚ya sudah, uang makannya nanti dulu kalau dapat uang lagi. Uang yang ada untuk uang saku anak-anak dulu saja‛).‛ (Wati – B89) Penghasilan yang didapat hanya dapat digunakan untuk keperluan makan dan uang saku anak-anak. Jamal merasa tidak mampu lagi membelikan selain kebutuhan pokok untuk anak-anaknya. ‚Saya sudah gak mungkin mampu belikan anak, buat makan aja susah *…+‛ (Jamal – B759) Terbatasnya penghasilan sehari-hari membuat keluarga Jamal seringkali merasakan kekurangan sehingga tidak pernah ada sisa uang yang dapat ditabung. “Ya gak ada, mesti wes habis hari ini. Nek sisa itupun buat besoknya kalo mbecak sepi. Ya gak tabung-tabungan wes. (Tidak ada yang ditabung, uangnya sudah pasti habis untuk hari ini. Kalaupun ada, saya simpan untuk besok kalau tidak dapat uang. Jadi tidak ada yang ditabung).‛ (Jamal – B852) Bahkan, Jamal mengaku hingga sekarang ia tidak bisa menebus ijazah SMP putrinya yang sekarang duduk di SMK karena adanya biaya yang belum dilunasi. Anaknya bisa sekolah di SMK hanya berbekal fotokopi ijazah legalisir. ‚*…+ sampe (sampai) sekarang ini ijazahnya (anak saya) belum diambil soalnya belum ada uang. Pokoke lulus lah (yang penting dia lulus). (Jamal – B357) “Kan di SMP masih nunggak, rekreasi dulu kan belum bayar trus ijazahku ditahan‛ (Siska – B638)
128
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Siska juga merasakan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya karena uang sakunya yang sedikit. ‚*…+ tiap harinya sangunya (uang sakunya) cuman 5 ribu tok (saja). (Siska – B94) Siska mengaku uang saku tersebut sudah termasuk uang makan, uang transport, dan uang pengeluaran tak terduga seperti uang buku, uang kas kelas, uang fotokopi materi, dan lain-lain. Siska sering merasa kekurangan dan mengalami kesulitan dalam mengatur uang sakunya yang sedikit itu. ‚Itu ada butuh buku besar buat pembukuan. Sama guruku disuruh beli, tapi saya bilang, “bu, saya tidak bisa beli.” Kenapa? (Gurunya bertanya). Iya bu, saya gak ada uang” (Siska – B692) Pendapatan yang kecil membuat keluarga Jamal sering kebingungan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Solusi yang biasa mereka gunakan adalah dengan berhutang. ‚Ini ibunya ini tak suruh (saya suruh) utang beras ke tetangga, (kalau) ikannya gampang, pokoke beras dulu.‛ (Jamal – B145) Siska juga berhutang di sekolahnya. Ia berhutang untuk membeli buku sekolah. Siska meminjamnya dari uang kas kelas, kemudian esok harinya ia cicil dengan uang sakunya selama beberapa hari. “Itu dulu kan biasanya dadakan (mendadak) gitu ya, tiba-tiba langsung beli buku, “minjem (pinjam) uang kas gitu, minjem (pinjam) poo, besok tak kembaliin” (Biasanya beli bukunya itu secara tiba-tiba. Jadi saya harus pinjam uang kas dulu, besok saya bayar).‛ (Siska – B217) Remaja seusia Siska adalah masa-masa yang lebih dominan dipengaruhi oleh teman-teman sebaya. Ketika teman-temannya memiliki sesuatu yang berharga atau menghabiskan waktu dengan jalan-jalan, Siska sebenarnya juga ingin memiliki sesuatu itu. Namun, uang saku yang terbatas membuatnya tidak dapat membeli sesuatu itu. Namun, sekalipun ia ditawari pinjaman uang, Siska tetap akan menolak karena khawatir tidak dapat membayarnya. “Nggak usah rek, ngkok aku gak isok mbalekno, cilik-cilik kok utang, padane aku wes kerjo ae” (‚tidak usah, nanti saya tidak bisa mengembalikan uangnya,
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
129
masih kecil kok sudah hutang, iya kalau aku sudah kerja‛). *…+‛ (Siska – B612) Dukungan Sosial Di sekolahnya, siswa harus belanja di minimarket sekolah dengan total nota pembelian seharga 75.000 rupiah per bulan sebagai pengganti uang SPP (sumbangan pokok pendidikan). Siska mengaku sering kesulitan untuk mencapai jumlah yang ditetapkan. “Kalau aku waktu itu ribet nyari uang (sulit cari uang), soalnya yang uang belanja itu masih kurang 200 ribu kan, kalau masih kurang, (bisa) gak naik kelas.‛ (Siska – B960) Untungnya Siska mendapat bantuan dari guru-gurunya. Selama Siska bersekolah di SMK, sebagian besar uang belanja pengganti SPP-nya berasal dari nota belanja milik guru. ‚Trus akhirnya (kekurangan belanja Siska) ditutup sama guruku, waktu guruku belanja notanya dikasih namaku.‛ (Siska – B768) Siska juga sering mendapatkan bantuan lainnya dari guru-gurunya. Misalnya ketika tidak punya uang untuk beli buku besar untuk pembukuan, Siska diberi gratis oleh gurunya. ‚*…+ Trus dikasih buku sama mentorku itu.‛ (Siska – B705) Siska juga mendapatkan bantuan dari teman-teman baiknya di sekolah. “[…] Trus itu kan ada anak dapet (mendapat) bantuan (beasiswa) dari pemerintah gitu 700 ribu-an. Trus saya diajak ke guru saya, ‚bu ini, temen saya gak (tidak) mampu membeli buku, saya boleh bantu (membantu) dia pake (pakai) uang ini gak (tidak) bu? Lalu, katanya guru, ‚ya boleh, nak‛. Trus, rok saya yang batik itu juga dibeliin (dibelikan) sama teman-teman, sepatu dan juga dikasih. Waktu awal kelas 2 dulu, saya memakai tas biasa seperti tas pengajian. Lalu teman-teman saya menegur saya dan besoknya saya diberi tas. *…+‛ (Siska – B800) Dukungan utama datang dari anak pertama mereka. Tidak jarang anak pertama tersebut membantu biaya sekolah adiknya dan terkadang membelikan adiknya tas dan sepatu.
130
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
“Saya tidak pernah diberi uang langsung oleh anak saya yang pertama. Dia hanya membantu uang sekolah adik-adiknya, terkadang untuk bayar ini, bayar ini. Kalau anak-anak minta saya, saya tidak mungkin memberi karena tidak uang, makanya itu kakaknya kasihan dan akhirnya diberi uang‛ (Jamal – B167) Jamal juga mengaku menerima bantuan dari pemerintah. ‚Iya dapet (bantuan), dulu BLT (Bantuan Langsung Tunai) juga dapet . *…+‛ (Jamal – B707) ‚*…+ beras raskin kita gak beli. Mungkin pak RT-nya itu kasihan, (Pak RT-nya berkata) “wes gak usah tuku, dikek’i ae” (sudah, tidak usah beli, gratis).‛ (Jamal – B273) Perlakuan Orang Lain Bersamaan dengan dukungan sosial yang diterima keluarga Jamal dari lingkungan sekitar, mereka juga tidak jarang mendapatkan perlakuan negatif dari orang-orang disekitarnya. Perlakuan negatif itu datang dari keluarga kakak kandungnya. Rumah yang ia tempati sekarang adalah rumah warisan yang dikuasai oleh kakak Jamal. “Sebenarnya ini ya rumah keluarga, cuma sama budenya kan dikuasai gitu, kan saudara tua gitu ya. Kalau gak enak ati (sakit hati), mungkin bertengkar sama adiknya (Jamal), (bude bilang)“ayo wes nyingkiro kabeh” (ayo, segera menyingkir dari rumah ini), kan (saya) bingung gitu, wong gak ikut punya rumah kok ngusir-ngusir (padahal dia bukan yang punya rumah, tapi mengusir kita). (Wati – SB1028) ‚Rumah bersama, rumah warisan. Tapi kalau bertengkar, (kita) sering diusir sama bude.‛ (Siska – B833) Dari hasil observasi dapat diketahui bahwa rumah mereka memiliki luas sekitar 3 x 7 m2 yang ditempati oleh sembilan orang, berlantaikan plester, memiliki atap rumah yang sudah rapuh dan banyak bekas bocoran air. Terdapat tiga ruang yang sempit. Ruang paling depan dijadikan sebagai ruang tamu, namun banyak terletak barang-barang yang sudah tidak terpakai dan hanya memiliki satu kursi yang sudah usang. Ruang selanjutnya, dibelakang ruang tamu adalah tempat berkumpulnya keluarga, terdapat sebuah televisi ukuran 14 inchi, tempat tidur, dan lemari. Yang terakhir adalah dapur. Tidak ada kamar mandi/WC didalamnya. Mereka biasa menggunakan kamar
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
131
mandi/WC umum. Selama wawancara berlangsung, ada tikus didalam rumah Jamal yang naik-turun lemari. Mereka tampak sudah biasa dengan keadaan seperti itu. Jamal juga tidak jarang mendapatkan perlakuan negatif dari orang-orang disekitarnya. Perlakuan tersebut pernah didapatkan dari Lurah tempat ia tinggal. ‚Pas (waktu) di kelurahan iku, mayak wong’e (lurahnya bersikap tidak menyenangkan). Aku minta tandatangan itu mbulet ae, sing alasan ini lah, itu lah (dipersulit dengan berbagai alasan). Begitu ono wong sugeh (ada orang kaya), Lurah’e langsung nandatangani, wes.wes (dengan orang kaya, lurahnya langsung melayani). Minta dibayar, minta dibayar itu Lurahnya‛ (Jamal – B533) Wati sebagai ibu rumah tangga juga sering mendapatkan perlakuan negatif oleh tetangga. ‚Ya biasalah.. ada yang bolo-boloan (kubu-kubuan). Ya gitulah orang kalo ada yang gak punya. Yang punya yang di anu (diajak). Kalo ada yang nyelawat (mengunjungi hajatan tetangga), sebelah sini (keluarga ini) gak dibilangi, di sana dibilangin, (karena) kan (kita) gak mampu.‛ (Wati – B113) Hal serupa juga dialami oleh Siska di sekolahnya. Siska bersekolah dalam lingkungan orang-orang yang relatif mampu. Hal tersebut membuat Siska sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari teman-temannya. ‚*…+ Trus (saya) disuruh gabung kan sama guruku (untuk mengerjakan tugas), tapi anak-anak (yang) nggak mau, takut laptopnya rusak katanya. *…+‛ (Siska – B558) ‚*…+ Trus kan disuruh bentuk kelompok display waktu itu, tapi gak ada yang mau (saya gabung ke mereka). Kan kalau misal kelompok-an gitu kan urunan-urunan gitu kan (Mungkin karena saya tidak mempunyai uang untuk membayar iuran kelompok itu). Kan saya juga gak punya uang. Saya itu kadang-kadang juga pinjem uang temen saya. Ada yang minjemi, terkadang juga ada yang gak suka.‛ (Siska – B912) Tema 2 : Respon terhadap Situasi Kemiskinan Tema ini menjelaskan tentang respon yang berupa perasaan dan sikap partisipan atas situasi kemiskinan yang dihadapinya. Situasi kemiskinan
132
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
tersebut lebih banyak memunculkan perasaan-perasaan negatif seperti perasaan minder, sedih, marah dan sensitif. Semua perasaan ini sesungguhnya merupakan dampak dari identitas sosial mereka sebagai orang miskin. Keluarga Jamal sering merasa berbeda kedudukan sosial sehingga muncul perasaan minder. Jamal ditunjuk Ketua RT-nya sebagai penanggung jawab kebersihanyang salah satunya bertugas untuk menggalang warga kerja bakti. Pada warga yang lebih baik kondisi ekonominya, ia mengaku segan. ‚Aku gak pernah ngajak itu, masalahnya kita kalah posisi. Aku orang bawah, dia orang atas (saya tidak pernah mengajak beliau kerja bakti itu karena saya kalah posisi – dia kaya dan saya miskin).‛ (Jamal – B476) Tidak hanya di kampungnya saja Jamal merasa minder atas kondisinya. Saat bertemu teman-teman SMA-nya, Jamal juga merasa minder. “Diajak makan-makan gitu kan risih kan aku, katakanlah tingkatannya mereka sudah bos.‛ (Jamal – B614) Jamal merasa minder karena membandingkan dirinya dengan orang lain berdasarkan pekerjaannya sebagai tukang becak. Bukan hanya Jamal saja yang merasa minder, Siska sebagai pelajar usia remaja juga mengalami perasaan yang sama di lingkungan sekolahnya. ‚Dulu pertamanya minder. Dulu kan disuruh bawa laptop. Bawa semuanya, yang nggak bawa cuma saya sama Anita. ‛ (Siska – B555) ‚ *….+ mindernya itu, njajan-njajan (beli makanan) gitu. Kan makan di kantin ya, trus anak-anak makan, aku nggak makan.‛ (Siska – B570) Siska merasa rendah diri karena tidak memiliki laptop seperti temantemannya dan juga tidak punya cukup uang saku untuk makan di kantin. Keterbatasan hidup tidak hanya membuat keluarga Jamal merasa berbeda dengan orang lain, namun juga membuat mereka sedih. Perasaan sedih oleh Jamal dan Wati muncul akibat ketidakmampuan mereka memenuhi kebutuhan anak-anak. ‚Kita bukannya malu tapi seakan-akan kita ini nangis batin, kok sampe (sampai) begini, kasihan anak-anak. *…+. Jadi istilahnya kita ini nangis batin‛ (Jamal – B763)
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
133
‚Ya kasihan, tapi dalam keadaan begini kan gak (tidak) mungkin kita memenuhi permintaan anak-anak. *…+‛ (Wati – B364) Berbeda denga orang tuanya, Siska merasakan suatu kesedihan ketika ia dibeda-bedakan oleh teman-temannya. Siska merasa bahwa teman-temannya hanya menilai dirinya dari status ekonomi saja. ‚Ya sedih soalnya anak-anak suka mbeda-mbedain (pilih-pilih teman) gitu. Kan ada temenku, yang masnya juga temen’e (temannya) masku. Trus tanya, “lho kamu adek’e ta? masmu wes kerjo? (kakakmu sudah kerja?)”. Trus besoknya itu wes gak nyapa lagi (sudah tidak menyapa lagi), padahal satu bangku, diem ae (diam saja).‛ (Siska – B942) Perasaan marah atau sensitif juga kerap kali dirasakan oleh keluarga Jamal. Perlakuan negatif yang diterima dari Lurah membuat Jamal merasakan perasaan marah. ‚Yo mangkel, wong Lurah kok gitu, gak mengayomi warganya kan ya. Sama orang kecil berani, sama orang kaya malah kayak gitu (pastinya marah, tidak selayaknya Lurah bersikap seperti itu, tidak mengayomi warganya. Hanya berani dengan orang kecil saja).” (Jamal – B 562) Wati seringkali berhutang pada tetangga. Namun, tidak semua tetangga berlaku baik dan memberikan pinjaman. Wati merasa tersinggung karena merasa dia adalah orang miskin yang tidak dapat dipercaya. ‚*…+ Sampai kadang ada tetangga yang bilang, “temenan lho yo, balekno lho yo”. Ya kan karena kita orang gak punya, jadi takut kalau gak dibalekno gitu (mereka takut tidak dibayar karena saya kan orang tidak punya). *…+‛ (Wati – B311) Begitu pula dengan Siska yang merasa dirinya tidak cantik karena dia berasal dari keluarga yang miskin. Siska
: ‚Kan biasanya kalau anak-anak SMK kan yang cantik sama yang cantik, nanti yang kaya sama yang kaya, trus ngelompokngelompok (berkelompok) gitu kan.‛ ( B449) Peneliti : Menurutmu, cantik itu yang kayak gimana? Siska : Ya kan yang dipilih itu yang biasanya (siswa) terkenal-terkenal gitu kan, yang cantik. Peneliti : Mereka yang cantik itu dari keluarga orang kaya?
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
134
Siska
: Iya, kan mereka biasanya yang pake-pake tas, sepatu yang bermerk gitu kan.‛ (B308)
Siska merasa tidak cantik karena kondisi ekonominya yang kurang. Ia merasa bahwa orang cantik itu adalah orang yang memakai pakaian, sepatu, tas yang bagus dan bermerk. Tema 3 : Strategi mengatasi ancaman terhadap identitas positif Tema ini menceritakan cara-cara atau strategi yang digunakan para partisipan untuk menjaga diri mereka tetap berarti. Strategi yang mereka tempuh terjadi dalam dua level, yaitu intrapersonal dan interpersonal. Strategi Intrapersonal Hidup dalam keterbatasan ekonomi selama bertahun-tahun tidaklah mudah bagi Jamal dan keluarga. Namun, Jamal, Wati dan Siska tampaknya lebih berhasil menghadapi kemiskinan itu dengan cara menegaskan pandangan mereka bahwa kemiskinan mereka memang sudah menjadi takdir Sang Pencipta. ‚ *….+ mana ada orang mau hidup kere (miskin). Maunya kan yang mapan, syukur-syukur kalau berkecukupan, tujuan manusia memang gitu. Tapi kalau nasibnya kayak (seperti) ini, masak mau berontak (menolak). Yang penting kita syukuri, kita harus mensyukuri apa yang kita terima.‛ (Jamal – B724) ‚Ya sudah, biasa aja. Wong wes ditakdirkan, kan jalannya sudah diatur sama Yang Maha Kuasa (Biasa saja karena memang sudah ditakdirkan hidup seperti ini oleh Yang Maha Kuasa). *…+‛ (Wati - 232) ‚Gak sih, kalo ada target, takutnya sama Yang Kuasa malah gak dikabulkan, wes dijalani aja (tidak ada target untuk mencapai cita-cita karena khawatir tidak dikabulkan, dijalani saja).‛ (Siska – B876) Siska memiliki cita-cita yang tinggi, yaitu membangunkan rumah untuk keluarga, membiayai adik-adiknya sekolah, dan membuka usaha makanan. Namun, ia tidak memiliki target untuk itu semua, ia meyakini bahwa semua ada yang mengatur, tugasnya hanyalah menjalaninya saja. Selain itu, Siska terkadang membandingkan dirinya dengan orang lain, yang lebih tidak beruntung darinya. Hal ini ia lakukan agar tetap selalu bersyukur karena ia masih tergolong beruntung dapat merasakan bangku sekolah.
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
135
‚Yaaa.. seneng aja. soalnya masih banyak yang kurang mampu dari kita. Kayak (seperti) anak-anak lainnya, kan gak bisa sekolah. Kita kan masih untung bisa sekolah. Ya bersyukur aja.‛ (Siska – B881) Strategi Interpersonal Hal ini terkait dengan strategi Jamal dan keluarga untuk menjaga diri agar tetap berarti di lingkungan sosialnya. Kesulitan ekonomi tidak menjadikan Jamal berdiam diri di rumah. Ia aktif dilingkungannya RT-nya sebagai seksi kebersihan. ‚*…+ Ya saya di kampung kan sesi kebersihan. Kalau mau kerja bakti gitu alat-alat kebersihan kan ya saya yang menyediakan. Jadi di kampung ini kan satu bulan sekali kerjabaktinya. Saya minta persetujuan dari RT dulu, gimana kalo minggu besok kerja bakti. Kalau RT-nya bilang iya, ya saya bagikan kartunya itu.‛ (Jamal – B248) Dengan melakukan koordinasi kegiatan kebersihan di lingkungannya secara aktif, baik berhubungan dengan pimpinan warga, yaitu Ketua RT, maupun menggalang warga, Jamal telah memenuhi kebutuhannya untuk merasa berarti (need for significance) sebagai seorang individu. Cara berbeda dilakukan Siska. Latar belakang keluarganya yang miskin membuat Siska tidak memiliki keunggulan yang bisa dibanggakan dalam pergaulan di sekolahnya. Untuk mengatasi hal tersebut, Siska dengan sadar berupaya untuk menonjolkan kemampuan akademiknya. ‚Apa ya… aku sih sukanya pelajaran produktif, pemasaran. Soalnya (karena) pernah kelas 1 itu diincar (ditunjuk) sama satu guru *….+. Kalau diincar maju kan waktu itu temen-temen kan nggak bisa jawab trus aku bisa jawab. Itu kan gimana gitu, seneng gitu. Ada perasan bangga gitu.‛ (Siska – B359) Pembahasan Jamal yang bekerja sebagai tukang becak sebenarnya mampu untuk membangun usaha kecil, seperti berdagang jajanan atau mainan anak-anak di depan rumahnya, namun Jamal menolak dan ia mengaku tidak ingin merebut rezeki orang lain. Menurut Sarlito (1992), kehidupan kota memiliki fenomena yang bersifat kompetitif yang sangat besar dan sifat hubungan antar personal yang lebih dititikberatkan pada pertimbangan keuntungan secara ekonomis. Namun, kenyataannya Jamal masih mempertimbangkan kepentingan orang lain dalam lingkungan sekitarnya. Hal tersebut tampaknya terkait dengan konsep diri Jamal yang cenderung bersifat interdependen. Menurut Matsumoto
136
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
(2008), orang dengan konsep diri interdependen cenderung lebih menekankan pada penyesuaian dirinya dengan lingkungan, terutama terkait dengan hubungan yang relevan dan bertahan lama. Konsep diri ini memang dimiliki oleh budaya yang berciri masyarakat kolektif, termasuk masyarakat Indonesia. Sebagai tukang becak dengan penghasilan yang tidak menentu, Jamal merasakan adanya ketidakpastian tentang apa yang terjadi esok hari. Jamal dan keluarga terpaksa menggantungkan hidup keluarganya pada saat tertentu pada orang lain dengan berhutang. Hal tersebut sama dengan yang diungkap oleh Markum (2009) dalam penelitiannya yang melaporkan bahwa orang miskin cenderung tidak bisa menguasai atau mengendalikan kondisi lingkungannya karena posisi tawar mereka yang lemah hingga cenderung merasa tidak berdaya. Dalam hal ini, para tetangga Jamal sekeluarga yang bersedia memberi hutang, telah memberi salah satu bentuk dukungan sosial tertentu sekalipun bersyarat. Cohen dan Wills (dalam Bishop,1994) mendefinisikan dukungan sosial sebagai pertolongan dan dukungan yang diperoleh seseorang dari interaksinya dengan orang lain. Dukungan sosial lain yang diterima keluarga Jamal adalah bantuan pemerintah berupa BLT (sekarang BLSM) dan beras untuk orang miskin (raskin). Jamal juga mendapatkan dukungan dari Ketua RT baik secara materi berupa mendapatkan raskin gratis, maupun dukungan terlibat sebagai pengurus RT. Siska juga mendapat bantuan dari para guru dan temantemannya. Sedangkan dukungan yang diperoleh Wati adalah kesediaan tetangganya untuk menghutangi keluarganya. Menerima bantuan dari orangorang di sekitarnya tampaknya tidak membuat Jamal dan Siska merasa dikasihani, justru mereka merasa terdukung secara materiil maupun moril. Hanya Wati yang perasaannya ambigu ketiga mendapat pinjaman uang dari tetangganya. Wati sebagai ibu rumah tangga merasa terpaksa harus meminjam uang pada tetangganya. Wati sudah tidak malu lagi meminjam uang seperti itu karena ia terdesak segera memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam studinya tentang efek psikologis bagi penerima bantuan, Alvarez & van Leuween (2011) menyatakan bahwa umumnya berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa bantuan yang dapat membuat orang mandiri (autonomyoriented help) akan cenderung meningkatkan rasa kompeten dan perasaan positif bagi penerimanya. Sebaliknya, bantuan yang membuat orang tergantung (dependency-oriented help) cenderung akan memposisikan penerima sebagai inferior dan tak kompeten. Bantuan yang meningkatkan otonomi adalah bantuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sementara bantuan yang membuat tergantung adalah bantuan tunai. Keluarga Jamal mendapatkan bantuan tunai yang membuat mereka diposisikan sebagai inferior dan tergantung. Namun tampaknya Jamal dan Siska tidak menunjukkan rasa inferior dalam menerima bantuan. Sedangkan perasaan
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
137
tidak nyaman Wati ketika berhutang pada tetangga lebih cenderung terkait dengan respon atas sikap pemberi hutang yang menyangsikan kemampuan keluarga Wati dalam mengembalikan hutang. Atas dasar alasan ini, dapat dikatakan bahwa perasaan positif atau negatif penerima bantuan akan sangat tergantung dari persepsi penerima atas sikap pemberi bantuan terhadap mereka. Wawasan ini sesuai dengan kesimpulan penelitian Alvarez & van Leuween (2011) yang menyatakan bahwa baik orientasi bantuan maupun karakteristik pemberi bantuan sama-sama menentukan konsekuensi psikologis pada diri penerima. Seiiring datangnya dukungan sosial, tidak jarang keluarga Jamal mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Dalam hal ini, stereotip orang miskin bisa ditengarai menjadi penyebab orang bertindak negatif terhadap orang miskin. Markum (2009) menguraikan berbagai stereotip terhadap orang miskin, yaitu orang miskin diidentikkan dengan kotor, kumuh, malas, sulit diatur, tidak disiplin, sumber penyakit, kekacauan, dan bahkan kejahatan, sehingga mereka seringkali dijauhi. Jamal tidak diperlakukan layak oleh Lurah, Wati merasa ‚tidak dipercaya‛ oleh tetangganya ketika dia berhutang, dan Siska kadang tidak mendapatkan kelompok belajar karena dipersepsi tidak mampu bayar iuran dan tidak memiliki sarana pendukung belajar memadai. Pengalaman Siska meneguhkan hasil penelitian Crowley & Vulliamy (dalam Ridge, 2009) yang melaporkan bahwa anak-anak atau remaja lebih rentan merasakan implikasi negatif dari kemiskinan. Mereka memiliki peluang yang sangat kecil untuk dapat berpartisipasi dalam lingkungan sebayanya dan itu sebagian besar disebabkan oleh kesulitan keuangan yang dialami oleh keluarga mereka. Padahal, usia remaja adalah usia dalam pencarian identitas diri yang membutuhkan kehadiran orang lain, terutama teman sebaya, sebagai pendukung perkembangannya (Christofides, Muise & Desmarais, 2009). Perlakuan tidak menyenangkan tersebut membuat diri mereka merasa berada didalam kelompok yang rendah sehingga menimbulkan perasaan negatif pula, seperti perasaan minder, marah/sensitif, dan sedih. Festinger (1954, dalam Kartono, 2011), menggambarkan perbandingan sosial akan memposisikan mereka dalam kategori tertentu dalam kehidupan sosial mereka. Perlakuan negatif yang mereka terima akan cendeung membuat mereka merasa tidak layak dan tidak sejajar dengan orang lain sehingga mereka mengkategorikan diri mereka ke dalam suatu kelompok yang inferior. Jamal sebagai koordinator kebersihan di kampungnya juga merasa bahwa ia tidak pantas untuk mengingatkan orang kaya yang tidak pernah kerja bakti dan merasa minder ketika bertemu teman-teman sekolahnya. Wati merasa disepelekan oleh tetangganya karena tidak diajak mendatangi hajatan tetangganya dan dia mempersepsi hal itu disebabkan tetangganya memlihatnya sebagai orang miskin. Hal yang sama juga dialami oleh Siska.
138
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
Siska merasa minder sekaligus sedih karena melihat bahwa teman-temannya tidak menerimanya sebagai anggota kelompok belajar karena dia tidak mampu. Ridge (2009) mengemukakan beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa kemiskinan dapat menyebabkan anak-anak dan remaja mengalami kecemasan, rasa tertekan, ketakutan, frustasi atau marah. Mereka merasa berbeda dan merasa rendah diri dalam lingkungan sebayanya. Dalam Teori Identitas Sosial, Tajfel & Turner (dalam Ellemers, dkk., 2002) menyatakan bahwa setiap individu pada dasarnya menginginkan identitas yang positif karena akan mendatangkan rasa berharga atau berarti. Dalam situasi ketika identitas seseorang mendatangkan ancaman bagai harga diri, maka individu akan cenderung mencari cara untuk mengklaim kembali identitasnya yang positif untuk menjaga emosinya menjadi positif. Menduduki posisi sosial sebagai orang miskin telah memberikan ancaman bagi identitas positif Jamal dan keluarganya. Mereka mengalami berbagai perasaan negatif yang cenderung menurunkan harga diri sebagai akibat situasi kemiskinan yang mereka hadapi dan cara orang lain bersikap dan memperlakukan mereka sebagai orang miskin. Dalam rangka memulihkan kembali identitas mereka menjadi positif yang pada gilirannnya akan membuat harga diri menjadi positif, Jamal dan keluarganya menggunakan strategi intrapersonal dan interpersonal. Secara intrapersonal, baik Jamal, Wati, dan Siska berupaya mengevaluasi situasi kemiskinan mereka dalam cara yang bisa mengurangi beban tanggungjawab pribadi. Mereka memandang situasi kemiskinan yang mereka alami adalah sebagai takdir Tuhan yang hanya bisa diterima dan disyukuri. Cara ini mencerminkan mereka memiliki kecenderungan external locus of control dalam menyikapi kondisi kemiskinan mereka. Baron & Byrne (2005) menyatakan bahwa orang yang memiliki external locus of control akan memandang situasi atau kejadian yang mereka alami sebagai akibat dari pengaruh faktor luar, bukan karena faktor internal dirinya. Kemiskinan adalah nasib, bukan karena kegagalan seseorang untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Penggunaan strategi ini membantu Jamal dan keluarganya bisa menghadapi situasi kemiskinannya. Namun, jika tidak diiringi dengan upaya untuk berubah, strategi ini terancam bisa membuat mereka menjadi pasifistik. Pada level interpersonal, Jamal berusaha melibatkan diri sebagai pengurus RT yang bertanggungjawab menggerakakn orang untuk kerja bakti. Pilihan Jamal bisa dipandang sebagai cara dia mengklaim level tertentu self efficacy yang merupakan salah satu dari empat motif identitas positif, yaitu selfesteem (harga diri), continuity (rasa sama dan konsisten), distinctiveness (rasa berbeda/unik), dan self efficacy (Breakwell, 1986). Self efficacy adalah keyakinan seseorang terkait dengan kemmampuan atau kompetensi untuk melaksanakan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan (Baron & Byrne, 2003).
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
139
Dengan memiliki derajat tertentu self-efficacy yang tinggi, Jamal akan memperoleh perasaan berarti atau signifikan. Untuk mendapatkan kembali harga diri yang positif, Siska membandingkan dirinya dengan orang lain yang tidak lebih beruntung dari dia. Menurut Tajfel (dalam Hogg dan Abrams, 1988), jika individu melakukan perbandingan sosial dengan kelompok yang berada dibawahnya (downward social comparison), maka akan menghasilkan identitas sosial yang positif. Siska merasa bahwa ia patut bersyukur karena masih banyak anak-anak orang miskin yang tidak dapat bersekolah. Siska juga dengan sengaja lebih menonjolkan aspek tertentu dari identitasnya yang unggul ketika di sekolah, yaitu kemampuan akademiknya daripada status sosial-ekonominya yang rendah. Identits sosial yang majemuk memang memungkinkan setiap individu untuk lebih menonjolkan salah satu dari banyak identitas yang dimilikinya, atau yang disebut (identity salience). Identity salience adalah identitas diri yang paling menonjol yang digunakan individu dalam situasi yang tepat (McLeish & Oxoby, 2008). Fungsinya adalah untuk meningkatkan harga diri yang positif dalam suatu perbandingan sosial di masyarakat. Kesimpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keluarga Jamal sebagai keluarga miskin yang tinggal di kota Surabaya mengalami berbagai situasi yang sulit baik secara materiil maupun non-materiil. Mereka mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya sehingga harus berhutang dan kadang menerima perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain. Situasi-situasi tersebut menimbulkan respon psikologis berupa perasaan sedih, minder, dan marah atau sensitif. Mereka mengaku sering merasakan kesedihan atas tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan mereka. Selain itu, tinggal di lingkungan orang-orang mampu membuat mereka cenderung merasa minder. Mereka merasa rendah diri. Dua cara dilakukan oleh para partisipan, yaitu intrapersonal dan interpersonal. Secara intrapersonal mereka mengevaluasi kemiskinannya sebagai kehendak Tuhan atau takdir. Dengan cara ini, beban tanggungjawab pribadi mereka, terutama kepala keluarga, untuk menjelaskan mengapa keluarga mereka miskin menjadi lebih ringan. Mereka akhirnya juga bisa lebih menerima kondisi kemiskinan mereka meskipun ada resiko mereka menjadi pasifistik. Secara interpersonal, Jamal berupaya mendapatkan rasa berarti dengan mengklaim self-efficacy atau keyakinan bahwa dia kompeten mengatasi hambatan dalam melakukan tugas untuk mencapai tujuan dengan cara melibatkan diri sebagai pengurus RT. Sedangkan Siska, dalam rangka untuk menjaga identitas diri yang positif, ia melakukan perbandingan dengan orang-orang yang berada dibawah posisinya (downward social comparison) dan dengan sadar berusaha lebih menonjolkan identitas akademiknya (identity salience) sebagai siswa yang cerdas dari pada status sosial-ekonominya yang rendah.
Dinar Gusti Hanani, Muhammad Syafiq
140
Daftar Pustaka Alvarez, K. & van Leeuwen, E. (2011). To teach or to tell? Consequences of receiving help from experts and peers. European Journal of Social Psychology, 41, 397–402. Badan Pusat Statistik (2013). Sosial dan Kependudukan: Kemiskinan. Diakses dari http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=1&id_subyek=23, pada 12 Juni 2013. Baron, R. A., & Byrne, D. (2003). Psikologi Sosial. Jilid I. (edisi terjemahan). Jakarta: Erlangga Bishop, G.D. (1997). Health Psychology: Integrating Mind and Body. Boston : Allyn & Bacon Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research in Psychology, 3, 77-101. Breakwell, G. M. (1986). Coping with Threatened Identities. London and New York: Methuen. Christofides. E., Muise. A., & Desmarais. S. (2009). Information disclosure and control on facebook: are they two sides of the same coin or two different processes? Journal of Cyberpsychology & Behavior, 12 (3), 341-345. Dewanta, A. S., dkk. (1999). Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta : Aditya Media. Ellemers, N., Spears, R., Doosje, B. (2002). Self and Social Identity. Annual Review of Psychology. 53, 161–86. Diakses dari http://www1.psych.purdue. edu/~willia55/392F/EllemersSpears Doosje.pdf pada tanggal 11 Februari 2013 Elliot, R., Fiscer, C. Y., & Rennie, D. L. (1999). Envolving Guidelines For Publication Of Qualitative Reseaech Studies In Psychology And Related Fields. British Journal of Clinical Psychology 38, 215-229. Emzir. (2011). Metode Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers. Gilbert, A. & Josef, G. (1996). Urbanisasi dan Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.
Kemiskinan di Dunia Ketiga.
Harack, Ben. (2010). How Do We Define Poverty. diakses dari http://www.visionofearth.org/news/how-do-we-define-poverty/ pada tanggal 15 Januari 2013
Mengatasi Ancaman Identitas Kemiskinan: Studi Kasus Sebuah Keluarga Miskin di Surabaya
141
Hogg, M.A., and Abrams, D. (1988). Social identification: A social psychology of intergroup relations and group processes. London: Routledge. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
Pendekatan Sepanjang
Kartono, K. (2011). Patologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers Kuruvilla, A. & K.S. Jacob. (2007). Poverty, Social Stress, and Mental Health. Department of Psychiatry, Christian Medical College, Vellore, India McLeish, K.N. & Oxoby, R.J. (2008). Social Interactions and The Salience of Social Identity. IZA Discussion Paper No. 3554. Markum, M. E. (2009). Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial. Psikobuana, 1(1), 1-12. Matsumoto, D. (2008). Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Ridge, T. (2009). Living with Poverty : A Review of The Literature on Children’s and Families’ Experience of Poverty. The Centre for The Analysis of Social The Department for Work and Pensions: University of Bath Sarlito. WS. (1992). Psikologi Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Siahaan, Hotman. (2011). Profil Kemiskinan di Surabaya: Sebuah Analisis Fenomenologis. Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik. 24 (3), 219-117. Yin, K. Robert. (2000). Studi Kasus: Desain dan Metode. Jakarta: Rajawali Pers.