BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kematangan Sosial 2.1.1 Pengertian Kematangan Sosial Menurut Doll (1965:10) Kematangan sosial seseorang tampak dalam perilakunya. Perilaku tersebut menunjukan kemampuan individu dalam mengurus dirinya sendiri dan partisipasinya dalam kegiatan yang mengarah pada kemandirian. Menurut (Sparrow, 1985) kematangan sosial merupakan suatu perkembangan perilaku sehingga seorang anak dapat belajar secara utuh dan mandiri serta dapat mengekspresikan untuk meningkatkan
kemampuan
Kematangan sosial
juga
agar
lebih
mandiri
ketika
dewasa.
dapat
dilihat
sebagai
suatu indikator
keberhasilan seorang anak dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitar, baik terhadap orang lain maupun benda di sekitarnya. Perilaku yang berkaitan dengan kematangan sosial seseorang adalah komunikasi, keterampilan sehari-hari, sosialisasi dengan orang lain, dan kemampuan motorik Kematangan (maturity) adalah kesiapan jiwa seseorang dalam proses perkembangan ke arah dewasa. Perkembangan kematangan sosial berarti kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Perkembangan sosial terdapat tiga proses berbeda dan saling berkaitan sehingga kegagalan dalam satu proses akan menurunkan sosialisasi individu. Proses tersebut adalah:
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1) Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, setiap kelompok sosial mempunyai standar bagi para anggotanya tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima. 2) Memainkan peran sosial yang dapat diterima, setiap kelompok sosial mempunyai pola kebiasaan yang telah ditentukan dengan seksama oleh para anggotanya dan dituntun untuk dipatuhi. Sebagai contoh, ada peran yang telah disetujui bersama bagi orang tua dan anak serta bagi guru dan murid. 3) Perkembangan sikap sosial, untuk bermasyarakat/bergaul dengan baik anak anak harus menyukai orang dan aktivitas sosial. Jika mereka dapat melakukannya, mereka akan berhasil dalam penyesuaian sosial yang baik dan diterima sebagai anggota kelompok sosial tempat mereka menggabungkan diri. Perkembangan
sosial
ini
dipengaruhi
oleh
keadaan
fisik,
kecerdasan, lingkungan, bimbingan orang tua, dan guru (Hurlock, 1994). Kematangan sosial menurut peneliti adalah perilaku yang dapat dilihat sebagai suatu indikator keberhasilan individu dalam kemampuan mengurus dirinya sendiri dalam proses ke arah dewasa dengan mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan, serta dapat melakukan kegiatan yang mampu meningkatkan sikap sosial yang mengarah pada kemandirian.
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kematangan Sosial Menurut
Gunarsa
(1991:90)
ada
beberapa
faktor
yang
menyebabkan timbulnya perbedaan antara keterampilan dan kematangan sosial seseorang anak dengan lainnya, yaitu : a. Perkembangan dan kematangan khususnya kematangan intelektual, sosial,dan emosi. Dalam hal ini anak dapat mengontrol emosi dan tidak bergantung kebutuhan emosi dari orang tua, pada kemampuan intelektual ditunjukkan bagai mana anak dapat mengatasi berbagai masalah yang dihadapi, serta kemampuan sosial bagaimana anak bisa bersosialisasi baik dengan keluarga atau teman sebaya. b. Faktor biologis, pengalaman belajar, kondisioning frustasi dan konflik. Keterampilan motorik yang paling cenderung memperlihatkan perbaikan yang terbesar adalah keterampilan yang dipelajari disekolah, dalam kelompok bermain yang dibimbing, atau di dalam perkemahan waktu liburan. Alasannya karena guru atau pembimbing harus mengarahkan kesaluran yang benar, sehingga anak dapat memperlihatkan kecakapan yang lebih besar dalam keterampilannya yang diterima melalui bimbingan ketimbang dari teman sebaya atau dalam keterampilan yang dipelajari
dirumah
karena
orang
tua
memiliki
waktu
untuk
membimbingnya. Seringkali karena tidak berpengalaman (Hurlock, 1978: 158-159). c. Keadaan lingkungan, terutama dalam hal ini adalah lingkungan rumah dan keluarga. Keluarga merupakan bagian penting dari “jaringan sosial” anak, sebab anggota keuarga merupakan lingkungan pertama anak dan
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
orang yang paling penting selama tahun formatif awal. Hubungan dengan anggota keluarga, menjadi sikap terhadap orang, benda, dan kehidupan secara umum. Mereka juga menjadi landasan bagi pola penyesuaian dan belajar berpikir tentang diri mereka sebagaimana dilakukan anggota keluarga mereka. Meluasnya lingkup sosial dan adanya kontak dengan teman sebaya dan orang dewasa di luar rumah, landasan awal ini, yang diletakkan di rumah, mungkin berubah dan dimodifikasi, namun tidak pernah akan hilang sama sekali. Sebaliknya, landasan ini mempengaruhi pola sikap dan perilaku di kemudian hari (Hurlock, 1978:200). d. Faktor kebudayaan, adat istiadat dan agama. Manusia selalu hidup dalam kelompok, baik kecil maupun besar, dan selalu memerlukan satu sama lain untuk bertahan hidup. Budaya di Indonesia cenderung kolektif, yakni mementingkan nilai kelompok dengan mengabaikan tujuan pribadi untuk mempertahankan integritas kelompok, saling ketergantungan antar anggota, dan hubungan yang harmonis (Santrock, 2007: 279). e. Keadaan fisik dan faktor keturunan, konstitusi fisik meliputi sistem syaraf, kelenjar otot-otot serta kesehatan dan penyakit. Dalam penelitian ini keadaan cacat jasmani. Cacat jasmani yang diderita anak mempunyai sebab yang cukup banyak (Hurlock, 1978: 133). Antara lain keturunan, lingkungan pralahir yang tidak menguntungkan, atau kerusakan tertentu karena proses kelahirannya, antara lain gigi berlubang, kurang jelas pendengaran dan penglihatan, gangguan saraf, tulang, jantung, bicara, sumbing, lidah pendek, tanda yang dibawa sejak lahir, bentuk tubuh yang abnormal (misalnya jari kurang, juling, bongkok, telinga salah bentuk),
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/
bekas luka bakar. Beberapa dari gangguan tersebut di atas dapat diatasi, tetapi juga ada yang semakin parah. Akibat cacat tubuh berpengaruh pada perkembangan kemampuan penyesuaian pribadi dan sosial. Sebagian anak menghadapi cacat tubuh dengan berusaha meraih prestasi. Sebaliknya sebagian anak yang cacat tubuh kurang mampu mengadakan penyesuaian yang positif lalu mengembang sikap menyerah, tidak mampu, dan merasa rendah diri, bahkan ada yang merasa sangat sial (Hurlock, 1978: 135). 2.1.3 Pengukuran Kematangan Sosial Menurut manualnya skala ini memberikan garis besar terperinci yang menunjukkan kemajuan kapasitas anak dalam pemeliharaan diri dan dalam partisipasi yang menuju perkembangan orang dewasa yang berdikari
(Doll, 1965:1).
Poin-poinnya
disajikan
menurut
taraf
kesukarannya dan menggambarkan kemajuan maturitas menolong diri sendiri, mengarahkan diri sendiri, bepergian, pekerjaan atau kesibukan, komunikasi dan hubungan sosial. Maturitas dalam berdikari kehidupan sosial adalah ukuran perkembangan menuju kemampuan sosial yang tinggi (Doll, 1965:1) Sparrow (1985) telah menemukan suatu skala pengukuran kematangan sosial yang disebut skala maturitas sosial Vineland (Vineland social maturity scale). Skala ukur kematangan sosial ini dapat digunakan untuk mengukur anak dengan fungsi adaptif yang baik dengan fungsi kognitif yang rendah atau sebaliknya pada kondisi anak dengan kondisi kognitif yang tinggi tetapi mempunyai gangguan fungsi adaptif.
18
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tes ini dilakukan dengan wawancara kepada orang tua atau orang yang dapat dipercaya dan tahu mengenai anak tersebut setiap hari atau dari anak itu sendiri apabila anak sudah berusia di atas lima tahun. Kualitas mengenai valid atau tidak dari jawaban tergantung dari penguji dan orang tua atau narasumber yang memberi jawaban (Sparrow, 1985). Skala maturitas sosial dari Vineland dibagi menjadi delapan kategori. Pembagian kategori skala Vineland adalah sebagai berikut: 1) Self-Help General (SHG): eating and dressing oneself : mampu menolong diri sendiri, makan dan berpakaian sendiri. 2) Self-Help Eating (SHE): the child can feed himself : mampu makan sendiri. 3) Self-Help Dressing (SHD): the child can dress himself : mampu berpakaian sendiri. 4) Self-Direction (SD): the child can spend money and assume responsibilities : mampu memimpin dirinya sendiri, misalnya mengatur keuangannya dan memikul tanggung jawab sendiri. 5) Occupation (O): the child does things for himself, cuts things, uses a pencil, and transfer objects : mampu melakukan pekerjaan untuk dirinya sendiri, menggunting, menggunakan pensil, dan memindahkan bendabenda. 6) Communication (C): the child talks, laughs, and reads : mampu berkomunikasi seperti berbicara, tertawa, dan membaca. 7) Locomotion (L): the child can move about where he wants to go : gerakan motorik, anak mampu bergerak kemanapun dia inginkan.
19
http://digilib.mercubuana.ac.id/
8) Socialization (S): the child seeks the company of the others, engages in play, and competes : mampu bersosialisasi, berteman, terlibat dalam permainan dan berkompetisi. Berdasarkan 8 kategori tersebut, kemampuan bersosialisasi dan berkomunikasi sangat penting bila anak diharapkan mempunyai kemampuan perkembangan sosial yang normal (Soetjiningsih, 2007). 2.2 Retardasi Mental 2.2.1 Definisi Retardasi Mental Keterbelakangan mental merujuk pada keterbatasan mendasar dalam fungsi saat ini. Keterbelakangan itu dicirikan oleh fungsi intelektual yang sangat di bawah rata-rata, yang ada sekarang dengan keterbatasan terkait dalam dua atau lebih bidang kemampuan penyesuaian
diri
yang
dapat
diterapkan
berikut:
komunikasi,
pemeliharaan diri, kehidupan keluarga, kemampuan sosial, kegunaan komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan, kecakapan fungsional, waktu senggang dan kerja. Keterbelakangan mental terlihat sebelum usia 18 tahun (Luckasson et al., 1992). Definisi ini berarti bahwa orang yang mengalami keterbelakangan mental mempunyai nilai rendah dalam ujian kecerdasan dan juga memperlihatkan kesulitan mempertahankan standar kebebasan pribadi dan tanggung jawab sosial yang diharapkan dari usia dan kelompok budaya mereka (Luckasson et al., 1992; MacLean, 1996). Sistem penggolongan, yang didasarkan pada intensitas dukungan yang
20
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dibutuhkan oleh orang tersebut, mempunyai empat tingkat: sekali-sekali, terbatas, luas, mendalam. Menurut Sujihati dalam bukunya mengungkapkan bahwa untuk memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak ini yang dikembangkan oleh AAMD (American association of mental deficiency) sebagai berikut: “keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan dan terjadi pada masa pekembangan (2006). Selain kecerdasan yang rendah, defisit dalam perilaku adaptif juga termasuk dalam definisi keterbelakangan mental (copeland & Luckasson, 2008). Keterampilan adaptif termasuk yang diperlukan untuk tanggung jawab perawatan diri dan sosial, seperti berpakaian, ke kamar mandi, makan, pengendalian diri, dan interaksi dengan teman sebaya. 2.2.2 Kriteria Retardasi Mental Beberapa orang yang termasuk dalam kelompok retardasi mental berdasarkan IQ mungkin tidak mengalami kelemahan perilaku adaptif sehingga tidak akan dianggap sebagai orang-orang yang mengalami retardasi mental. Pada kenyataannya, kriteria IQ biasanya diterapkan hanya setelah kelemahan dalam perilaku adaptif diidentifikasi. Retardasi mental, suatu gangguan Aksis II, didefinisikan dalam DSM-IV-TR sebagai: (1) fungsi intelektual yang sangat dibawah rata-rata bersama dengan, (2) kurangnya perilaku adaptif; dan (3) terjadi sebelum usia 18 tahun.
21
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kriteria Retardasi Mental dalam DSM-IV-TR; (1). Fungsi intelektual yang secara signifikan berada dibawah rata-rata, IQ kurang dari 70. (2). Kurangnya fungsi sosial adaptif dalam minimal pada dua bidang berikut: komunikasi, mengurus diri sendiri, kehidupan keluarga, keterampilan interpersonal, penggunaan sumber daya komunitas, kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri, keterampilan akademik fungsional, rekreasi, pekerjaan, kesehatan, keamanan. (3). Onset sebelum usia 18 tahun. Fungsi adaptif merujuk pada penguasaan keterampilan dimasa kanak-kanak seperti berpakaian dan menggunakan toilet; memahami konsep waktu dan uang; mampu berbelanja, melakukan perjalanan dengan menggunakan transportasi umum dan menggunakan peralatan; dan mengembangkan responsivitas sosial. 2.2.3 Klasifikasi Retardasi Mental Ringan Siswa yang menyandang keterbelakangan ringan, biasanya dengan IQ antara 55 dan 70, dianggap “dapat dididik” (EMR- educable mental retardation); maksudnya mampu mempelajari kemampuan akademis dasar hingga tingkat kelas lima (MacMillan&Forness,1992). Kira-kira 90% penyandang retardasi mental termasuk kategori mental termasuk kategori retardasi mental ringan (IQ 50 sampai 70) (Popper dan West, 1999). Berikut ini merupakan ringkasan karakteristik orang orang yang masuk dalam level retardasi mental ringan (IQ 50-55 hingga 70). Sekitar 85 persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70 diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental ringan. Mereka tidak selalu dapat
22
http://digilib.mercubuana.ac.id/
dibedakan dari anak-anak normal sebelum mulai sekolah. Diusia remaja akhir biasanya mereka dapat mempelajari keterampilan akademik yang kurang lebih sama dengan level kelas 6. Ketika dewasa mereka mampu melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan atau balai karya di rumah penampungan, meskipun mereka mungkin membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan. Mereka bisa menikah dan mempunyai anak. (DSM-IV-TR-, 2000; Robinson & Robinson, 1976). Klasifikasi anak tunagrahita ringan ataupun mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal (Efendi, 2006). kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara lain: 1. Membaca, menulis, mengeja, dan berhitung. 2. Menyesuaikan diri dan tidak bergantung pada orang lain. 3. Keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari. Kesimpulannya, anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan pekerjaan (Efendi, 2006).
23
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.3. Down Syndrome 2.3.1 Pengertian Down Syndrome Orang-orang yang mengalami sindroma down mengalami retardasi mental sedang hingga parah serta beberapa tanda fisik yang khas, seperti postur tubuh yang pendek dan gemuk; mata yang berbentuk oval dan condong ke atas; lipatan kelopak mata bagian atas yang memanjang melewati sudut bagian dalam mata; rambut lurus tipis yang halus; hidung yang lebar dan datar; telinga berbentuk persegi; lidah yang besar dan berkerut; yang menjulur ke luar karena mulut yang kecil dengan langitlangit yang rendah; dan tangan yang pendek serta lebar dengan jari-jari yang pendek. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami Sindroma Down hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, dua kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil, gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma, akan terdapat 3 kromosom 21, yang istilah teknisnya adalah trisomi 21 (Dykens dkk., 1988). Anak Down syndrome biasanya kurang bisa mengkoordinasikan antara motorik kasar dan halus. Misalnya kesulitan menyisir rambut atau mengancing baju sendiri. Selain itu anak Down syndrome juga kesulitan untuk mengkoordinasikan antara kemampuan kognitif dan bahasa, seperti memahami manfaat suatu benda (Selikowitz, 2001).
24
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.4 Pendidikan Sekolah Luar Biasa Selama masa-masa sekolah, tujuan utama mengajar anak-anak dengan keterbelakangan mental adalah untuk menunjang mereka dengan keterampilan dasar pendidikan, seperti membaca dan matematika, serta kejuruan (Boyles & Contadino, 1997) dan keterampilan hidup mandiri. Tujuan pengajaran untuk membantu siswa yang mempunyai keterbelakangan mental mempelajari kemampuan perilaku penyesuaian diri tidak sangat berbeda dari tujuan yang berharga bagi semua siswa. Setiap siswa perlu mengatasi tuntutan sekolah, mengembangkan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan bahasa, tumbuh dibidang emosi, dan memperhatikan kebutuhan pribadi. Guru dapat membantu siswa dengan langsung mengajari atau mendukung siswa dalam bidang-bidang berikut menurut (Hardman, Drew, Egan & Wolf, 1996; Wehmeyer, 2001): 1. Mengatasi tuntutan sekolah: memberikan perhatian pada tugas-tugas pembelajaran, mengorganisasikan pekerjaan, mengikuti petunjuk, mengelola waktu, dan mengajukan pertanyaan. 2. Mengembangkan hubungan antara-pribadi: belajar bekerja sama dengan orang-orang lain, menanggapi isyarat-isyarat sosial dalam lingkungan, menggunakan bahasa yang diterima secara sosial, menanggapi
dengan
tepat
petunjuk
dan
isyarat
guru,
dan
meningkatkan kesadaran sosial. 3.
Mengembangkan
kemampuan
bahasa:
memahami
petunjuk,
menyampaikan kebutuhan dan keinginan, mengungkapkan gagasan,
25
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mendengarkan dengan penuh perhatian, dan menggunakan modulasi dan nada suara yang tepat. 4. Perkembangan sosioemosi: mencari partisipasi dan interaksi sosial (mengurangi penarikan diri dari lingkungan sosial) dan termotivasi untuk bekerja (mengurangi pengelakan, kelambatan, dan kemalasan kerja). 5. Pemeliharaan pribadi: mempraktikan kesehatan pribadi yang tepat, berpakaian secara mandiri, merawat milik pribadi, dan berpindah dengan sukses dari satu tempat ke tempat lain. 2.4.1 Program Layanan/Intervensi bagi Peserta didik ABK Berdasarkan Buku Modul yang disusun oleh Tim Pengembang Kurikulum
PK-PLK
gambaran
bagaimana
pelaksanaan
Layanan/Intervensi Interaksi, Komunikasi dan Prilaku
untuk
program peserta
didik abk, yakni: 1. Pengertian Program layanan/intervensi interaksi, komunikasi, dan perilaku bagi peserta didik berkebutuhan khusus merupakan usaha, pemberian bantuan bantuan yang berupa bimbingan dan latihan, secara terencana dan terprogram terhadap peserta didik abk, dalam rangka membangun diri baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sehingga terwujudnya kemampuan untuk hidup mandiri di tengah masyarakat. Program layanan/intervensi ini terkait dengan hambatan dasar pada aspek perkembangan peserta didik abk.
26
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Program layanan/intervensi perilaku, komunikasi dan interaksi sosial peserta didik abk diberikan sejak dini/sejak usia pra sekolah. Namun demikian seringkali penanganan peserta didik abk tidak mudah untuk mencapai perkembangan dalam waktu yang singkat. Banyak ditemui peserta didik abk yang sudah besar sekalipun masih membutuhkan
program
layanan/intervensi
terkait
dengan
perkembangannya. Jadi, program layanan peserta didik abk sangat dibutuhkan sekalipun sudah menginjak usia sekolah. Fokus program layanan/intervensi peserta didik abk meliputi tiga aspek perkembangan, sensori, motorik dan kemandirian. Sekolah
sangat terbuka untuk
melakukan modifikasi layanan/intervensi bagi peserta didik abk sesuai dengan kebutuhannya. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) karena hambatan kecerdasan yang selanjutnya disebut “peserta didik tunagrahita” adalah individuindividu yang secara signifikan memiliki hambatan intelektual disertai dengan hambatan dalam penguasaan keterampilan perilaku adaptif yang terjadi selama masa perkembangannya. Hambatan keterampilan perilaku adaptif pada peserta didik tunagrahita dapat dilihat pada dua area yaitu keterampilan menolong diri sendiri (personal living skill), dan keterampilan dalam hubungan interpersonal dan keterampilan dalam menggunakan fasilitas yang diperlukan setiap hari (social living skill). Hambatan tersebut menyebabkan peserta didik tunagrahita dipandang sebagai anak yang tidak mampu menolong diri sendiri, mengalami kesulitan dalam interaksi dan sosialisasi, berperilaku ke
27
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kanak-kanakan tidak sesuai dengan tingkat usia, dan pandangan lainnya. Bertitik tolak dari hal tersebut, diperlukan adanya bimbingan, arahan dan pendidikan yang terprogram yang berlangsung terus menerus dalam pembiasaan di kehidupan sehari-hari dalam aspek keterampilan pribadi maupun keterampilan sosial sehingga peserta didik tunagrahita dapat hidup mandiri dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku dalam lingkungan dimana peserta didik tunagrahita berada. 2. Tujuan Tujuan program layanan/intervensi interaksi, komunikasi, dan perilaku bagi peserta didik abk: a. Mengurangi kecenderungan munculnya perilaku antisosial (perilaku tidak efektif) dan mengarahkan pada perilaku yang fungsional/efektif. b. Meningkatkan ketrampilan berkomunikasi secara visual, lisan maupun tertulis melalui pembiasaan dan latihan yang terus-menerus dalam kehidupan sehari-hari. c. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi peserta didik abk dengan lingkungan sekitarnya. d. Mewujudkan manusia yang berakhlak mulia, mandiri, jujur, disiplin, bertanggung jawab dan toleransi. e. Mencapai tugas-tugas perkembangan peserta didik abk yang sesuai dengan teman sebayanya secara maksimal. 3. Ruang Lingkup Sebagaimana definisi tentang peserta didik abk di atas, bahwa hambatan utama aspek perkembangan pada peserta didik abk meliputi
28
http://digilib.mercubuana.ac.id/
interaksi, komunikasi, dan perilaku. Namun demikian ada hambatan tambahan pada peserta didik abk seperti problem sensori, motorik, dan emosi. Dampak dari hambatan tersebut menjadikan peserta didik abk kesulitan mengembangkan kemandirian dan akademiknya. Oleh karena itu, ruang lingkup program layanan/intervensi bagi peserta didik abk meliputi aspek interaksi, komunikasi, dan perilaku,
sensori, motorik
serta kemandirian. 2.4.2 Vokasional Khusus untuk program vokasional diperlukan elemen-elemen esensial yang dikemukakan Smith, et all. (2002: 419-421) sebagai berikut: 1. Pengembangan tujuan khusus program (Developing Program Objectives) pengembangan tujuan khusus ini merupakan: That should load off any preparation program is the development of a continuing career profile of the student’s skills and interest. A second program objective should be to engange each student in actual on direct paid job experiences and activities. this oversight can be corrected by allowing the students on-the-job training opportunities, a third related objective for all career development/vocational preparation program is the development of entry-level vocational skills for every student. The fourth important objective of all programs is to provide job placement and follow-up services for students who have completed or will completed the prparation program.
29
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Pernyataan tersebut menyarankan berbagai pertimbangan untuk menyusun tujuan khusus program pengembangan vokasional bagi tunagrahita sebagai profil karir yang sesuai dengan minat dan keterampilannya; secara aktual dapat dilakukan dengan pengalaman langsung; dapat untuk kesempatan magang; berhubungan dengan tingkatan keterampilan setiap siswa yang telah dimiliki sebelumnya (potensi atau keterampilan yang dicapai saat level kelas dasar); 2. Tersedianya Layanan Konseling (Providing Counseling Service) Layanan konseling harus diberikan oleh orang yang mampu mengetahui dan mampu memberikan layanan tentang perkembangan karir bagi tunagrahita, persiapan untuk bekerja bagi tunagrahita, serta metode yang tepat untuk mencapai kemandirian dan integrasi ke masyarakat bagi tunagrahita. 3. Pengembangan Keterampilan Vokasional (Developing Vocational Skills) Fase ini merupakan puncak untuk merancang keterampilanketerampilan yang spesifik untuk menentukan dasar-dasar sikap dan kemampuan yang dibutuhkan sebagai proyeksi tersedianya pekerjaan. 4. Mengidentifikasi Kesempatan Kerja (Identifying Job Opportunities) Keberhasilan dari program persiapan pekerjaan bergantung identifikasi dan pendekatan analisis berbagai pekerjaan (jobs) yang tersedia di masyarakat. Pada proses ini diperlukan survey dimasyarakat untuk mendapatkan informasi tentang proyeksi pekerjaan di masyarakat. Informasi juga berfungsi untuk analisis pekerjaan (job analysis). Menurut
30
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Sitlington, Clark, & Kolstoe (Smith, 2002:421) A job analysis is “the process of analyzing the demands of working environments ... in essence, it is a task analysis of the job and what it demands.” Analisis pekerjaan untuk menentukan bentuk tugas tugas yang perlu dilakukan sesuai tuntutan pekerjaan itu sendiri dan tuntutan yang ada dimasyarakat. 2.5 Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Mayasari Nur Afifah, dkk. (2003:47) tentang “tracer study” alumni SLM C Negeri di kotamadya Yogyakarta dengam sampel SLB Negeri 1 Yogyakarta dan SLB Negeri 2 Yogyakarta, hasilnya menunjukkan tidak ada relevansi antara keterampilan okupasi yang diberikan disekolah dengan bidang kerja terakhir yang ditekuni, karena umumnya mereka membantu orang tuanya dirumah, bekerja dijasa cleaning service, tukang, pelayan rumah makan, dan pesuruh. Keempat hasil penelitan tersebut, mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan untuk penyandang cacat perlu mempertimbangkan bentukbentuk keterampilan yang relevan dibutuhkan pasaran kerja. Hal itu akan lebih mendukung jika organisasi usaha yang melembaga, produktif, dan inovatif seperti ditandaskan oleh (Yulianti, 2003:66). Hasil penelitian lainnya tentang minat keterampilan penyandang cacat yang ditulis Yulianti (2003:66) dilaporkan bahwa 50 orang penyandang cacat dijadikan subjek penelitian menyatakan 15 macam keterampilan rumah tangga yang diminati oleh penyandang cacat, meliputi pembuatan dan menghias tempat tissue kecil, tutup telepon, tempat koran, serbet wastafel, alas piring meja makan, taplak meja hias,
31
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tutup galon, tutup tempat tissue, tutup kulkas, tutup komputer, alas gelas es, tempat pensil, tas sekolah, dan tas santai. Bidang keterampilan yang dapat diberikan kepada tunagrahita menurut Paito (2004) terdiri baca tulis hitung yang berguna untuk kehidupan sehari-hari, dan latihan praktis seperti toiletery, mandi dan berhias, mengenakan dan melepas pakaian, makan dan minum, menyapu, mencuci piring & gelas, mengunci & membuka pintu dan jendela, memasak sederhana, berbelanja dipasar dan supermarket, menggunakan alat-alat listrik, bepergian dengan kendaraan umum, serta latihan moral dalam menyikapi sesuatu tentang baik-buruk, benar-salah. Penelitian Samadi (2005:59) tentang vocational training bagi trainable mentally retarded (IQ 20-50) dengan pembuatan amplop menunjukan bahwa dengan pelatihan koordinasi motor dan visual penyandang tunagrahita mampu dilatih mampu membuat amplop. Selanjutnya, dalam penelitian Atsushi Nishio (2005:109) di Jepang bahwa orang-orang dengan intellectual disability mampu untuk kualifikasi pekerjaan sebagai home helper. Mereka dilatih secara khusus dengan tahapan: 1) interest and wish, 2) potential and competence, 3) self-esteem.
Berdasarkan
penelitian
tersebut
bahwa
penyandang
tunagrahita mampu bekerja, jika sebelumnya mendapatkan pelatihan secara khusus. Neldita Sonya dalam penelitiannya berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, yang dilaksanakan di SLB Fan Redha Padang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan makan melalui Task Analysis pada
32
http://digilib.mercubuana.ac.id/
anak Down Syndrome. Pada kegiatan baseline (A) anak diminta untuk melakukan kegiatan makan tanpa adanya bantuan dari orang lain. Kegiatan baseline ini dilakukan selama enam kali pertemuan. Pada kondisi intervensi dilakukan selama sepuluh kali pertemuan.Berdasarkan uraian hasil pengamatan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan makan bagi anak Down Syndrome di kelas I C1 SLB Fan Redha Padang dapat ditingkatkan melalui Task Analysis. Peneliti Afriyana Qaharana (2010) dalam skripsinya “Melatih Motorik Anak Down syndrome dengan Metode Persiapan Menulis di TK Pemata Bunda Surakarta” memaparkan bahwa mengajarkan anak down syndrome dengan strategi persiapan menulis dapat meningkatkan motorik halusnya. 2.6 Kerangka Berpikir Lemahnya fungsi intelektual yang dimiliki anak retardasi mental menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari dan mengalami kesulitan dalam pencapaian sikap kematangan sosial yang sesuai dengan kelompok usia anak saat ini. Menurut Luckasson (1992) Retardasi mental adalah gangguan yang telah tampak sejak masa anak-anak dalam bentuk fungsi intelektual dan adaptif yang secara signifikan berada dibawah rata-rata. Kelainan kromosom penyebab retardasi mental yang terbanyak adalah sindrom down (Titi, 2000:173). Down syndrome adalah suatu kumpulan gejala akibat dari abnormalitas kromosom 21 yang tidak dapat memisahkan diri selama meiosis sehingga terjadi individu dengan 47
33
http://digilib.mercubuana.ac.id/
kromosom (Gunarhadi, 2005 : 13). Anak dengan down syndrome mengalami keterlambatan dalam proses perkembangan, kesulitan berbicara, perkembangan mental dan sosial terganggu, mudah emosi frustasi dan marah, perilaku impulsif dan proses belajar berjalan sangat lambat serta sulit untuk fokus. Pada kenyataannya anak Down syndrome tetap bisa merasakan hidup bermasyarakat seperti memiliki teman. Seorang
anak Down syndrome mampu didik memungkinkan
mereka untuk mampu memenuhi semua kebutuhan diri sendiri tanpa bantuan orang lain, dan dapat di katakan berhasil dalam pencapaian sikap kematangan sosial. Kematangan sosial adalah istilah yang umum dengan mengacu pada perilaku yang sesuai dengan standar dan harapan dari orang dewasa dengan mengacu pada perilaku yang sesuai dengan umur individu (Doll, 1965). Kematangan sosial adalah hal yang berkaitan dengan kesiapan anak untuk terjun dalam kehidupan sosial dengan orang lain yang bisa diamati dalam bentuk keterampilan yang dikuasai dan dikembangkan sehingga akan membantu kematangan sosial kelak (Doll dalam Habibi, 2003). Anak Down syndrome memungkinkan memiliki kematangan sosial yang berfungsi sebagai orang dewasa yang sehat, jika mampu menyadari bahwa dirinya memiliki tanggung jawab yang tepat, paham akan norma-norma dalam sebuah budaya tertentu, memahami aturan-aturan
sosial
dimasyarakat,
memiliki
kemampuan
untuk
menggunakan pengetahuan secara tepat, mampu dengan baik melakukan keterampilan merawat diri, menghargai dan bersikap empati, memiliki interaksi sosial yang sehat.
34
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Tingkat keberhasilan anak dalam pencapaian sikap kematangan sosial, tergantung bagaimana pelaksanaan atau proses kegiatan yang mampu melatih kemandirian anak dalam beberapa hal yang menjadi indikator kematangan sosial sesuai dengan usia anak. Pendidikan Sekolah Luar Biasa, yang memiliki program dan tenaga pengajar yang dapat membantu anak menumbuhkan sikap sosial serta kemampuan merawat diri dengan baik. Menurut Pradopo (1977) pendidikan luar biasa ialah pendidikan kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan maupun kelebihan pada pertumbuhan dan perkembangan segi fisik, intelegensi, sosial dan emosinya. Menurut Ismed Syarif (1992) penyelenggaraan pendidikan luar biasa ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan luar biasa, yang berbunyi: “membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan/atau mental agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan lanjutan.”
35
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Down Syndrome
Kematangan Sosial
SLB
Non SLB
2.7 Hipotesis Berdasarkan uraian teori diatas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : H0 : Score Kematangan Sosial Anak Down Syndrome Mild Mental Retardation Yang Mengikuti Pendidikan Sama Dengan dari Anak Down Syndrome Yang Tidak Mengikuti Pendidikan H1
: Score Kematangan Sosial Anak Down Syndrome Mild Mental
Retardation Yang Mengikuti Pendidikan Lebih Tinggi dari Anak Down Syndrome Yang Tidak Mengikuti Pendidikan
36
http://digilib.mercubuana.ac.id/