Mengapa Kita Perlu Membentuk Lembaga Pengawas dan Penyelesaian Sengketa Pelayanan Publik?1 Bernadinus Steni 2 Reformasi yang telah lama berjalan meninggalkan sejumlah rintisan awal untuk membangun kelembagaan transisional yang didukung oleh sejumlah produk hukum. Komisi pengawas, forum, dewan dan sebagainya dibentuk untuk menjadi semacam monitoring body terhadap pelaksanaan aturan dan kinerja birokrasi di lapangan. Namun, hingga saat ini tidak ada kemajuan berarti dalam perkembangan pelayanan terhadap masyarakat. Birokrasi masih lamban, gemuk, berbelit-belit dan korup. Hasil survey KPK terhadap integritas lembaga Negara dalam mewujudkan pelayanan bagi warga Negara menunjukan rata-rata skor integritas sektor publik dari 30 departemen atau instasi tingkat pusat adalah 5,33. Skor ini tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan integritas sektor publik di negara-negara lain. 3 Dari sisi pengawasan, kontrol yang efektif belum bisa dilakukan baik oleh pengawas internal maupun eksternal. Pengawas eksternal yang berhubungan dengan tindak pidana, seperti KPK memang menunjukan grafik efektivitias yang meningkat. Namun lembagalembaga pengawas internal masih diragukan, apalagi publik belum cukup paham dan tahu secara jelas keberadaan dan fungsi lembaga-lembaga internal birokrasi yang bisa menjadi sandaran ketika terjadi penyimpangan administrasi yang merugikan masyarakat di lapangan, terutama masyarakat miskin dan terabaikan, seperti masyarakat adat. Alhasil, hingga kini pelayanan publik masih menunggu perkembangan terobosan baru yang kita tidak tau kapan itu segera dimulai secara mendasar. I.
Lembaga Pengawas dan Penyelesaian Sengketa Pelayanan Publik yang existing
Dalam berbagai studi tentang pelayanan publik, peran pengawasan atas kerja birokrasi dalam menyelenggarakan dan memenuhi tugas pelayanan sangat lemah. Baik lembaga pengawas internal maupun eksternal mengalami kebuntuan. A. Lembaga Pengawas Internal Lembaga pengawas internal seringkali tidak efektif karena terlibat KKN, mutu sumber daya manusia yang rendah, alokasi budget operasional minim, rasa sungkan karena hubungan pertemanan atau alasan kultural, jarak geografis yang jauh membuat pejabat pengawas malas untuk melakukan pengawasan, interpretasi yang keliru atas peraturan perundang-undangan, warisan kolonial, hegemoni budaya tertentu, dan seterusnya. 4 Masalah-masalah ini membuat banyak pengawasan melekat yang ada di hampir semua lembaga Negara tidak berjalan dengan baik. 1
Tulisan ini merupakan bagian dari keterlibatan penulis mewakili HuMa secara kelembagaan dalam jaringan MP3 (Masyarakat Peduli Pelayanan Publik) 2
Bekerja pada Perkumpulan HuMa dan Tim substansi Masyarakat Peduli Pelayanan Publik (MP3)
3
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18867&cl=Berita, 10 Nov 2008. Pukul 10.30 WIB
4
Di bidang pertanahan, Bachriadi dkk mengkaji maladministrasi yang antara lain disebabkan karena minimnya monitoring atas kerja birokrat pertanahan di lapangan. Lihat Dianto Bachriadi, Yudi Bachrioktora, Hilma Safitri, 2005, Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang, Mal Administrasi di Bidang Pertanahan, Lappera dan FISIPOL UMY, Yogyakarta. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dan peran administrasi publik di Indonesia bisa dibaca lebih lanjut dalam Rainer Rohdewohld, 1995, Public Administration in Indonesia, Montech Pty Ltd, Melbourne Australia, hal 1-5
©
http://www.huma.or.id
B. Lembaga Pengawas Eksternal a. Ombudsman Lembaga pengawas eksternal yang sudah mulai dikenal adalah Ombudsman. Namun, sejak pembentukannya oleh Keppres No 44 Tahun 2000 hingga dituangkan dalam bentuk Undang-undang yang baru saja disahkan DPR, kewenangan Ombudsman masih sebatas rekomendasi. Fungsi Secara fungsional lembaga ini berfungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu (pasal 6). Tugas Untuk mendukung fungsi itu maka tugas-tugasnya adalah: (1) menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi 5 dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (2) melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan; (3) menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; (4) m e l a k u k a n i n v e s t i g a s i a t a s p r a k a r s a s e n d i r i t e r h a d a p d u g a a n Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; (5) melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; (6) membangun jaringan kerja; (7) melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan (8) melakukan tugas lain yang diberikan oleh Unda ng-Und ang. Kewenangan Dalam kaitannya dengan laporan adanya maladministrasi, Ombudsman memiliki tujuh kewenangan : (1) (2) (3) (4) (5) (6)
meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai Laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang a d a p a d a P e l a p o r a t a u p u n T e r l a p o r u n t u k m e n d a p a t k a n kebenaran suatu Laporan; meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotokopi dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari instansi Terlapor; melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan Laporan; menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan;
5
Maladministrasi adalah perilaku ata u perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian material dan/atau immaterial bagi masyarakat dan orang perseorangan (pasal 1 ayat 3)
©
http://www.huma.or.id
(7) demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi (pasal 8). Dalam melaksanakan kewenangan di atas, Ombudsman dilarang mencampuri kebebasan hakim ketika memberikan putusan yang relevan dengan penyelenggaraan pelayanan publik (pasal 9). Tetapi, Ombudsman memiliki hak imunitas sehingga tidak dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di muka pengadilan ketika menjalankan kewenangan yang sudah diberikan oleh undang-undang (pasal 10). Prinsip dalam pemeriksaan Laporan Dalam memeriksa Laporan, Ombudsman wajib berpedoman pada prinsip independen, non-diskriminasi, tidak memihak, dan tidak memungut biaya, wajib mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat para pihak serta mempermudah Pelapor dalam menyampaikan penjelasannya (pasal 29). Kelemahan Ombudsman Ada tiga hal yang menjadi kelemahan dasar peran Ombudsman dalam pengawasan dan penyelesaian sengketa penyelenggaraan pelayanan publik: Pertama, masih terdapat istilah-istilah yang elastis dan potensial mengganggu kerja Ombudsman. Dalam pasal 34, misalnya disebutkan bahwa dalam melaksanakan pemeriksaan lapangan, Ombudsman dapat melakukan pemeriksaan ke objek pelayanan publik tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pejabat atau instansi yang dilaporkan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban, dan kesusilaan (pasal 34). Apa yang dimaksud dengan ketertiban dan kesusilaan? Jika acuannya berbasis pada nilai sosial yang jamak maka sulit untuk mencari acuan operasional kedua istilah tersebut. Sehingga kedua istilah itu bisa dipakai setiap saat untuk menolak pemeriksaan Ombudsman dengan alasan yang bisa dihubung-hubungkan dengan ketertiban dan kesusilaan. Kedua, proses rekrutmen Ombudsman Daerah (provinsi atau kabupaten/kota) memberi ruang bagi partisipasi bagi publik, baik mengusulkan calon maupun menilai calon. Ombudsman Daerah hanya dibentuk oleh Ombudsman Pusat (pasal 43). Ketiga, keputusan Ombudsman dalam penyelesaian sengketa atau laporan hanya sebatas rekomendasi dan mengumumkan hasil temuan kepada publik. Meskipun, Ombudsman bisa mempublikasikan atasan terlapor yang tidak menjalankankan hasil rekomendasi dan bisa melaporkan ke Presiden maupun DPR, kewenangan tersebut menjadi kecil artinya ketika melihat watak birokrasi pelayanan publik yang ada. Ada dua alasan. (1) koncoisme dan perilaku bermasalah yang akut dalam birokrasi pelayanan publik, sulit untuk diatasi hanya dengan pendekatan struktural seperti meminta atasan untuk menegur, karena dalam administrasi Negara klasik pun proses seperti itu sudah ada, tetapi terbukti jarang efektif. (2) mengharapkan DPR dan Presiden untuk langsung turun tangan pada masalah penyelenggaraan pelayanan publik yang berjibun, jelas menambah beban pekerjaan rutin kedua institusi tersebut. b. PTUN Selama ini, lembaga eksternal yang memeriksa kasus-kasus sengketa pelayanan publik yang putusannya bersifat final dan mengikat hanyalah Peradilan Tata Usaha Negara. Namun, PTUN memiliki kelemahan dasar: 1) Proses menuju PTUN memakan waktu yang lama dan berbelit-belit. Dalam pasal 48 UU No 5/1986 dikatakan bahwa PTUN baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika seluruh ©
http://www.huma.or.id
upaya administratif terkait telah digunakan. Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri. Bentuk upaya administrasi ada dua yakni (1) Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, dan (2) Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu. Dengan mengikuti upaya keberatan dan banding administrasi maka waktu yang ditempuh sangat panjang, sementara di lapangan putusan sudah berjalan efektif dan barangkali telah menimbulkan kerugian tertentu bagi warga. Proses ini berliku-liku sehingga bukan merupakan mekanisme yang memihak warga tapi menguntungkan birokrasi bermasalah yang dalam banyak kasus sarat dengan KKN dan mal-administrasi lainnya. 2) Obyek sengketa di PTUN terbatas dan dibatasi. Pertama-tama, PTUN hanya mengadili Putusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata; Kedua, Putusan Tata Usaha Negara yang diperiksa tidak mencakup beberapa Keputusan Tata Usaha Negara yang justru seringkali menimbulkan masalah di lapangan, yakni Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata; Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum; Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan. Ketiga jenis keputusan ini di lapangan justru sudah banyak menimbulkan keluhan dan masalah bagi warga atau kelompok masyarakat. Misalnya, banyak keputusan yang belum final atau masih memerlukan persetujuan banyak pihak, justru di lapangan sudah dijalankan. Pengaturan administrasi yang bersifat umum, seperti standar pelayanan, mekanisme pelayanan maupun panduan lain yang sifatnya umum, juga menimbulkan masalah karena interpretasi atas hukum yang lebih tinggi diserahkan sepenuhnya pada pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan, bukan pada proses dialog dengan warga Negara. 3) Berorientasi mendukung putusan bermasalah. Gugatan di Pengadilan Tata usaha Negara tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat, sehingga meski kerugian sudah terjadi di lapangan dan gugatan sedang berjalan, Putusan Tata Usaha Negara tetap bersikukuh dilaksanakan. Dasar hukum inilah yang menjadi pendukung pelayanan publik yang buruk di berbagai tempat di Indonesia. 6 II. Kekosongan Institusional Dari kelemahan di atas, nampak beberapa hal yang kosong dalam pengaturan tentang kelembagaan pengawasan dan penyelesaian sengketa pelayanan publik selama ini: 1.
Proses administrasi yang buruk dalam pelayanan publik tidak bisa digugat sepanjang belum berbentuk keputusan. Sehingga tindakan pejabat administrasi yang sewenangwenang, lalai, tidak mengacu pada peraturan dan prosedur, dan pelanggaran administrasi lainnya ditumpuk menunggu keputusan yang final. Padahal fakta di
6 Uraian yang sangat cemerlang mengenai kinerja PTUN di Indonesia bisa dilihat dalam studi post-doctoral Adriaan Bedner yang sudah terbit jadi buku berjudul Administrative Courts in Indonesia, A Socio-Legal Study, Kluwer Law International, 2001
©
http://www.huma.or.id
lapangan menunjukan bahwa proses administrasi pelayanan bekerja sangat buruk, sehingga keputusan yang dihasilkan pun hampir pasti buruk. Tanpa harus menunggu keputusan yang final, prosedur administrasi yang buruk seharusnya sudah bisa diadukan ke lembaga pengawas. Belum ada lembaga yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili keputusan administrasi yang bersifat umum, seperti pedoman, standar pelayanan dan berbagai panduan lainnya yang tidak bersifat final tapi dipakai berkali-kali sebagai panduan yang menjadi acuan dalam pelayanan. Seringkali, kerugian bagi warga pertama-tama berawal dari panduan atau pedoman yang merugikan, seperti rumusan yang elastis sehingga mudah diselewengkan. Belum ada lembaga yang memangkas proses panjang menuju PTUN menjadi lebih pendek dan berpihak pada keluhan dan gugatan warga.
2.
3. III.
Lembaga Pengawas dan Penyelesaian Sengketa Pelayanan Publik yang Ideal
Berdasarkan uraian di atas maka kita perlu membentuk lembaga pengawas dan penyelesaian sengketa pelayanan publik. Kewenangannya, antara lain sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Melakukan pengawasan aktif terhadap penyelenggaraan pelayanan publik Mengumumkan hasil pengawasan atas kinerja birokrasi kepada publik secara rutin, melaporkan hasil temuan kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan, DPR/D dan Presiden Melaporkan kepada instansi penegak hukum terkait, jika temuan pengawasan berhubungan dengan tindak pidana Menyelesaikan sengketa pada tingkat pertama dan/atau terakhir atas pengaduan ketidakpuasan prosedural dalam proses yang berhubungan dengan penyelenggaraan pelayanan publik Menyelesaikan sengketa pada tingkat pertama dan/atau terakhir atas pengaduan mengenai standar pelayanan yang merugikan warga Menyelesaikan sengketa pada tingkat terakhir putusan lembaga pengawas internal yang masih dirasa belum puas oleh pihak yang mengadu
Bagan lembaga Penyelesaian Sengketa Ideal putusan final
Individu atau kelompok yang menyampaikan pengaduan
pengaduan I dan/atau terakhir
putusan belum final
Lembaga Pengawas Eksternal Menyelesaikan sengketa tingkat pertama dan/atau terakhir Lembaga Pengawas Internal Menyelesaikan sengketa tingkat pertama
pengaduan I
Masalah Prosedur Administrasi Pelayanan Publik: Standar pelayanan atau berbagai guidelines Proses dalam maklumat pelayanan Waktu dll
putusan belum final
Penyelenggara layanan
©
http://www.huma.or.id
putusan final dan mengikat
Daftar Pustaka Bachriadi, Dianto, Bachrioktora,Yudi, Safitri, Hilma, 2005, Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang, Mal Administrasi di Bidang Pertanahan, Lappera dan FISIPOL UMY, Yogyakarta Bedner, Adriaan, 2001, Administrative Courts in Indonesia, A Socio-Legal Study, Kluwer Law International http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18867&cl=Berita, 10 Nov 2008. Pukul 10.30 WIB Rohdewohld,Rainer, 1995, Public Administration in Indonesia, Montech Pty Ltd, Melbourne Australia
©
http://www.huma.or.id