MENGAPA DIKLAT YANG ANDA LAKUKAN TIDAK BERDAMPAK APAPUN TERHADAP ORGANISASI? Oleh: Haryanto (Ketua Umum PN-AP2I) Menghadapi arus perubahan lingkungan yang sangat cepat dan kemajuan teknologi informasi yang semakin pesat, banyak organisasi yang semakin menyadari bahwa kompetensi pegawai yang unggul merupakan faktor kunci bagi keberhasilan pencapain visi dan misi sebuah organisasi. Dalam kaitan ini, proses pelatihan merupakan salah satu komponen yang paling banyak dilakukan untuk meningkatkan kompetensi para pegawai menuju level yang diharapkan. Menurut Yodhia Antariksa, rata-rata perusahaan kelas dunia mengalokasikan dana kurang lebih sebesar Rp. 15.314.000,- per tahun untuk setiap pegawainya untuk mengikuti pelatihan, dengan rata-rata jumlah jam pelatihan sebanyak 62 jam pelajaran per tahun untuk setiap karyawan.1 Sementara itu, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas, selama dua tahun terakhir (20112012) telah mengalokasikan dana untuk pengembangan kapasitas perencana pusat dan daerah melalui kegiatan pelatihan hampir mencapai rata-rata Rp. 40 Milyar/tahun.2 Data-data di atas memperlihatkan bahwa sebuah organisasi memandang sangat penting untuk menginvestasikan dana dan waktu untuk melakukan kegiatan pelatihan dengan harapan proses pelatihan ini akan mampu secara berkelanjutan meningkatkan keunggulan kompetensi dan kapasitas para pegawainya. Namun, pelatihan yang telah didesain dan dilaksanakan dengan baik belum tentu berhasil dalam meningkatkan kualitas kinerja para peserta pelatihan, sehingga standar kinerja yang ditetapkan belum dapat terpenuhi. Hal ini dikarenakan program pelatihan yang diselenggarakan tidak berhasil dalam mendorong terjadinya intensi (niat) yang mengarah proses penerapan hasil pelatihan (transfer of training) oleh peserta setelah mereka kembali bekerja, padahal transfer of training inilah yang memiliki dampak langsung terhadap perbaikan kinerja. Tidak sedikit para pemangku kepentingan mengeluhkan, mengapa personil yang dikirim untuk mengikuti program-program pelatihan, hasilnya tidak cukup signifikan dengan peningkatan kinerjanya. Transfer pelatihan sangat terkait dengan niat (intensi) peserta pelatihan untuk menerapkan hasil pelatihan ke dalam pekerjaan. Hal ini dikarenakan, intensi mentransfer hasil pelatihan lebih terkait pada kecenderungan dari peserta pelatihan untuk memulai mentransfer hasil pelatihan dan bukan sekedar
1
2
Yodhia Antariksa, “Dampak Training: Gone With the Wind?”, http://strategimanajemen. net /2007/08/17/dampak-training-gone-with-the-wind/ (diakses 8 Desember 2011). Rencana Kegiatan dan Anggaran Pusbindiklatren 2011 dan 2012 (Jakarta: Bappenas, 2012)
keinginan (motivasi) untuk menerapkan hasil pelatihan.3 Garling dan Fuji mengatakan bahwa intensi untuk berperilaku merupakan faktor penentu terjadinya penerapan intensi yang diduga kuat akan mengarah pada kinerja aktual dari perilaku yang diinginkan. Hal ini berimplikasi bahwa intensi untuk mentransfer hasil pelatihan merupakan faktor penentu terjadinya penerapan hasil pelatihan, yang selanjutnya akan berdampak pada kinerja nyata dari peserta setelah mereka mengikuti pelatihan. 4 Lebih jauh, Ajzen mengemukakan bahwa intensi berperilaku mencerminkan keinginan utama seseorang untuk menampilkan suatu perilaku tertentu.5 Perkiraan pengukuran secara tepat terhadap masalah implementasi hasil pelatihan (transfer of training) cukup bervariasi. Georgeson, dalam Hutchin dan Burge memperkirakan hanya 10% dari hasil pelatihan dapat merubah perilaku peserta setelah kembali bekerja. Hasil penelitian Saks memperlihatkan bahwa 40% peserta pelatihan tidak segera meng-implementasikan hasil pelatihan segera setelah kembali bekerja, 70% gagal dalam mengimplementasikan pelatihan (transfer of training) 1 tahun setelah mengikuti program pelatihan, dan pada akhirnya, hanya 50% dari investasi untuk pelatihan berdampak dalam perbaikan kinerja individu, tim, dan organisasi.6 Broad dan Newstorm melakukan survey terhadap 85 orang peserta pelatihan terkait dengan implementasi hasil pelatihan.7 Jawaban mereka adalah 41% mengimplementasikan segera setelah mereka kembali bekerja, 24% mengimplementasikan 6 bulan setelah pelatihan, dan 15% mengimplementasikan 1 tahun setelah pelatihan. Broad dan Newstorm mencatat bahwa hambatan dalam penerapan hasil pelatihan antara lain rendahnya keterlibatan atasan langsung dan rendahnya semangat dalam bekerja. Penjelasan diatas, berimplikasi bahwa investasi dalam pelatihan terus memberikan hasil yang kurang memadai dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Rendahnya tingkat transfer of training ini diduga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang bersifat individual seperti intensi (niat) peserta dalam mentransfer hasil pelatihan, kurangnya kesiapan, kegigihan dan harapan dalam menghadapi tingkat kesulitan dalam menyikapi keikutsertaannya dalam program pelatihan. Tingkat kesiapan dan harapan positif terhadap pelatihan ini berdampak kepada tingkat kepercayaan (efikasi) diri peserta untuk dapat menguasai substansi program pelatihan secara baik. Peserta yang tidak siap mengikuti pelatihan
3
4 5
6
7
M. Anthony Machin dan Gerard L. Forgaty, “Perception of Training-Related Factors and Personal Variables as Predictors of Transfer Implementation Intentions,” Journal of Business and Psychology, Vol 18, 2003, hh. 51-71. Tommy Garling dan Satoshi Fujii, “Structural Equation Modeling of Determinant of Implementation Intentions,” Goteborg Psychological Reports, Goteborg University, Goteborg, Vol. 29 (4), 1999, h. 16. Icek Ajzen, Attitudes, Personality and Behavior(Milton Keynes, Bristol: Open University Press, 2005), hh. 117118. Lisa A. Burge dan Holly M. Hutchins, “Training Transfer: An Integrative Literature Review,” Human Resources Development Review, 2007, Vol. 6 (3), hh. 263-296. Marry L. Broad dan John W. Newstrom, Transfer of Training: Action-packed Strategies to Ensure High Payoff from Training Investments (Reading, MA: Addison-Wesley, 1992), h. 7.
cenderung kurang percaya diri, merasa terus menerus takut untuk mencoba, merasa ada yang salah, cemas ketika dihadapkan pada tantangan ataupun situasi baru yang akhirnya berdampak pada rendahnya penguasaan terhadap substansi pelatihan. Abdulkarim S. Al-Eisa, et al. mengatakan bahwa untuk berhasil dalam pelatihan, pegawai dengan kepercayaan diri yang tinggi pada kemampuannya, cenderung menjadi lebih siap dan memiliki harapan positif tentang pelatihan, sehingga akan termotivasi untuk mencari kesempatan pelatihan dan mempelajari isi program pelatihan yang mereka ikuti.8 Sementara itu, Bandura menyatakan bahwa efikasi diri merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktifitas pribadi terhadap pencapaian tugas. Demikian halnya, efikasi diri yang terjadi pada peserta pelatihan, dimana pengetahuan, keterampilan, dan perilaku mereka digerakkan dari lingkungan yang kemudian mengalami proses berpikir terhadap informasi yang diterima. Adanya efikasi diri yang tinggi pada peserta pelatihan akan memperkuat keyakinan dirinya bahwa peserta tersebut mampu menjalankan tugas pelatihan secara benar.9 Permasalahan rendahnya tingkat kepercayaan (efikasi) diri sebagian besar peserta pelatihan selama ini tercermin dari hasil pengumpulan data dalam penelitian ini, dimana skor sebagian besar responden, yaitu 50,8% berada dibawah kelompok rerata, dan hanya 21,6% berada diatas kelompok rerata. Rendahnya tingkat transfer of training juga dapat dipengaruhi oleh faktor individu lainnya yaitu tingkat motivasi peserta untuk mengikuti dan menguasai substansi pelatihan secara baik. Justiono menyatakan bahwa dorongan dari sebagian besar aparatur pemerintah dalam mengikuti kegiatan pelatihan disebabkan oleh keinginan untuk memperoleh sebuah “tiket” untuk menduduki jabatan tertentu, baik struktural maupun fungsional, dengan mengesampingkan arti pentingnya penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang seharusnya dicapai selama pelatihan.10 Bahkan, pelatihan yang diberikan oleh lembaga-lembaga penyelenggara diklat yang berkualitas dan terkenal sering hanya memberikan “refreshment” bagi para peserta diklat. Berdasarkan pengamatan langsung dari berbagai penyelengaraan pelatihan substantif bidang perencanaan pembangunan, tidak sedikit diantara peserta pelatihan kurang memiliki motivasi dalam mengikuti pelatihan. Keikutsertaan mereka dalam suatu pelatihan hanya sebatas menghilangkan kejenuhan dan kesibukan rutinitas yang menjerat mereka di kantor atau bahkan hanya sekedar
8
9
10
Abdulkarim S. Al-Eisa, Musaed A. Furayyan dan Abdulla M. Alhemoud, “An Empirical Examination of the Effects of Self-efficacy, Supervisor Support and Motivation to Learn on Transfer Intention,” Mangement Decision, Vol. 47 (8), December 2008, hh. 1225. Albert Bandura, Social Cognitive Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory (Ney Jersey: Prentice Hall, Apper Saddle River, 1986), h. 391. Eris Yustiono, ”Reformasi Birokrasi melalui Revitalisasi Pelatihan SDM Aparatur: Suatu Tinjauan terhadap Diklat Kepemimpinan,” Journal Ilmu Administrasi, Vol. VI (4), 2009, hh. 321-337.
memenuhi perintah atasan. Hal ini tercermin dari keseriusan mereka belajar, menyampaikan pendapat, menjawab pertanyaan atau memberikan saran masukan yang diminta pada saat pelatihan berlangsung. Isi penyampaian tersebut kadang-kadang tersirat keluhan, kritikan, jebakan bahkan sekedar main-main. Fakta ini juga didukung oleh data studi kasus dalam buku ini, dimana terdapat 108 (43,2%) responden mempunyai nilai motivasi di bawah kelompok rerata, dan hanya 58 orang (23,2) responden mempunyai skor motivasi di atas kelompok rerata. Hasil penelitian Osteraker C. Maria memperlihatkan bahwa motivasi dipandang sebagai sebuah elemen penting ketika melalui sebuah proses pembelajaran pada manusia. Organisasi harus dapat memotivasi pegawainya untuk meningkatkan kemampuan karyawan-nya, sehingga pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh selama pelatihan dapat dipraktekkan dan dipergunakan secara maksimal. Motivasi mengikuti dan menguasai substansi pelatihan menjadi tujuan dari semua kesuksesan organisasi yang sedang belajar.11 Fenomena lain yang juga sangat erat kaitannya dengan masalah transfer of training adalah munculnya anggapan di sebagian besar peserta pelatihan bahwa kegiatan pelatihan dianggapanya hanya sekedar proses sesaat untuk penyerapan anggaran dan tidak harus memberikan value bagi kinerja perusahaan. Hal ini, bahkan ketika dirasakan makin tidak adanya hubungan antara pelatihan dengan kinerja pegawai dan kinerja organisasi secara keseluruhan. Anggapan peserta pelatihan, bahwa keikutsertaannya didalam pelatihan tidak harus memberikan value kepada organisasi, dalam perspektif perilaku, mencerminkan rendahnya tingkat loyalitas mereka untuk memberikan konstribusi yang aktif dalam pencapaian tujuan organisasi. Rendahnya kesadaran pegawai bahwa organisasi telah melatih mereka, sehingga mereka seharusnya merasakan suatu kewajiban moral, merasa hutang budi dan selayaknya berkontribusi kepada organisasi, sangat erat kaitannya dengan masalah komitmen organisasi para peserta pelatihan. Fakta tentang rendahnya komitmen organisasi dari peserta pelatihan terlihat dari data dalam penelitian ini dimana 111 (44,4%) responden mempunyai skor komitmen organisasai di bawah kelompok rerata dan hanya 77 (30,8%) responden berada di atas kelompok rerata. Penelitian yang dilakukan oleh Louis, Posner, dan Powell, dalam J. Bruce Tracey, et al. menemukan adanya hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap nilai-nilai pelatihan dengan komitmen organisasi. Temuan ini memperlihatkan bahwa apabila seseorang komitmen kepada institusinya, karena persepsi mereka terhadap nilai-nilai pelatihan, maka diperkirakan komitmen tesebut akan berpengaruh positif terhadap kemampuannya untuk menguasai pengetahuan yang diajarkan
11
C. Maria Osteraker, “Measuring Motivation in Learning Organization,” Journal of Workplace Learning, 1999, Vol. 11 (2), h. 73.
dalam pelatihan, yang selanjutnya akan berpengaruh kepada tingginya intensi untuk mentransfer keterampilan yang diperoleh selama pelatihan ke dalam pekerjaan.12 Rendahnya efikasi diri dan komitmen organisasi, disamping berpengaruh terhadap transfer of training, juga dapat berpengaruh terhadap motivasi peserta pelatihan yang selanjutnya dapat berdampak langsung pada rendahnya intensi peserta untuk mentransfer hasil pelatihan. Robert Wood dan Albert Bandura menjelaskan bahwa efikasi diri terkait dengan kepercayaan seseorang tentang kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber-sumber pengetahuan dan arah yang diperlukan untuk mengontrol segala kegiatan.13 Noe dalam Kevin Ford, et al. menjelaskan bahwa efikasi diri akan berdampak pada motivasi peserta dalam mengikuti pelatihan.14 Sementara, J. Bruce Tracey, et al. Me-ngatakan motivasi sebelum pelatihan, disamping dipengaruhi secara langsung oleh keterlibatan kerja (job involvement), juga dipengaruhi secara langsung oleh kondisi lingkungan kerja (work environment) dan efikasi diri sebelum pelatihan (pretraining self-efficacy).15 Sementara itu, Meyer, et al., menyatakan bahwa komitmen merupakan kekuatan yang mengikat individu untuk sebuah tindakan dalam jangka panjang. Sedangkan, motivasi mempunyai implikasi terhadap perilaku dalam jangka pendek. Hal ini mengandung implikasi bahwa keinginan seorang individu untuk bertindak dalam jengka pendek (motivasi) cenderung dipengaruhi oleh komitmen yang bersangkutan untuk melakukan tindakan dalam jangka panjang.16 Hal lain yang diangap cukup penting dan berhubungan dengan transfer of training adalah adanya kecenderungan bahwa tidak semua organisasi dapat menganalisis tingkat keberhasilan dan kegagalan pelatihan dengan efektif. Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren)Bappenas, yang dahulu dikenal sebagai Overseas Training Office (OTO)-Bappenas, sejak tahun 1983 telah mengelola program pendidikan dan pelatihan (diklat) gelar dan non gelar di dalam dan di luar negeri bagi Pegawai Negeri Sipil pusat dan daerah. Namun, hingga saat ini evaluasi terhadap dampak program pendidikan dan pelatihan yang sudah dikelolanya sejak tahun 1983 tersebut, belum pernah dilakukan secara sistematis yang didasarkan pada kerangka teoretis dan konsep-konsep pengukuran indikator dampak pelatihan yang semestinya. Evaluasi pelatihan yang sudah dilakukan selama ini hanyalah formalitas saja, dengan membagikan kuesioner setelah selesai pelatihan dan hasilnya sering tidak ditindaklanjuti, sehingga 12 13
14
15
16
J. Bruce Tracey, et. al, op. cit., h. 12. Robert Wood dan Albert Bandura, “Social Cognitive Theory of Organizational Management,” The Academy of Management Review, Vol. 14 (3) July 1989, h. 364. J. Kevin Ford, Miguel A Quinones, Douglas J. Sego, dan Joann Speer Sorra,”Factors Affecting the Opportunity to Perform Trained Tasks on the Job,” Personnel Psychology, Vol. 45 (3), Autumn 1992, h. 515. J. Bruce Tracey, Thimoty R. Hinkin, Scott Tannembaum, dan John E. Mathieu, “The Influence of Individual Characteristics and the Works Environement on Varying Levels of Training Outcomes,” Human Resources Quartely,Vol. 12 (1), Spring 2001, h.12. John P. Meyer, Thomas E. Becker dan Christian Vandenberghe, ”Employee Commitment and Motivation: a Conceptual Analysis and Integrative Model,” Journal of Applied Psychology, Vol. 89 (6), 2004, hh. 991-1007.
banyak pelatihan yang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. Padahal kegagalan pelatihan dapat dianalisa lebih lanjut, apabila penyelenggara diklat melakukan evaluasi untuk mengetahui faktor apa saja yang menjadi penyebab kegagalan diklat. Sehingga pelatihan tidak lagi menjadi program yang sekedar dilaksanakan, atau menjadi program penghamburan dana belaka. Dalam kaitan ini maka, hasil evaluasi efektifitas pelatihan akan menjadi masukan (feedback) yang sangat penting dalam memperbaiki kualitas pelatihan dan menjaga keber-lanjutan organisasi penyelenggara pelatihan.17 Program pelatihan merupakan investasi organisasi yang sangat mahal yang diperuntukkan bagi sumberdaya manusia organisasi. Oleh sebab itu, penting bagi organisasi melakukan evaluasi efektifitas terhadap program pelatihan.18 Tanpa adanya informasi mengenai dampak program pelatihan, organisasi tidak mempunyai cara yang tepat untuk mengetahui apakah anggaran yang telah dikeluarkan untuk pelatihan telah digunakan secara benar. Dengan program pelatihan yang dilaksanakan dan didesain secara baik akan mem-berikan reaksi yang positif bagi peserta pelatihan, peserta mampu mempelajari materi yang penting, berdampak pada perubahan perilaku dalam bekerja, dan memberikan perbaikan pada kinerja. Grove and Ostroff mengatakan bahwa evaluasi untuk mengukur efektivitas pelatihan merupakan komponen penting untuk membuktikan bahwa anggaran training yang dialokasikan untuk peningkatan kompetensi pegawai berdampak pada peningkatan kinerja organisasi.19 Brinkerhoff, et al. mengatakan evaluasi pelatihan berguna bagi: (1) pengembangan dan perbaikan terhadap kegiatan yang sedang berjalan, (2) pertanggungjawaban, sertifikasi, dan seleksi atau keberlanjutan, dan (3) peningkatan kesadaran terhadap kegiatan khusus, mendorong perilaku yang diinginkan terhadap peserta diklat, dan peningkatan kualitas kebijakan publik.20 Evaluasi pelatihan memiliki dua kepentingan, pertama untuk mengetahui apakah tujuan pelatihan sudah tercapai secara baik, dan kedua untuk memperbaiki dan mengarahkan pelaksanaan proses pelatihan.21 Salah satu ciri kegiatan pelatihan yang dilakukan secara profesional adalah kegiatan pelatihan dilaksanakan secara berkelanjutan dan didasarkan pada evaluasi hasil. Pengelola pelatihan
17
18
19
20
21
Donald L. Kirkpatrick dan James D. Kirkpatrick, Evaluating Training Program (San Francisco: Berret-Koehler Publisher, Inc., 2005), h. 17.
John E.Mathieu, Scott I. Tannembaun, dan Eduardo Salas, “Influences of Individual and Situational Characteristics on Measures of Training Effectiveness,” Academy of Management Journal, October 1992, Vol. 35 (4), h. 828. Cheri Ostroff, “Training Effectiveness Measures and Scoring Schemes: A Comparison,“ Personnel Psychology, Summer 1991, Vol. 44 (2), h. 353. Robert O. Brinkerhoff, Dale M. Brethower, Terry Hluchyj, dan Jeri R. Nowakowski, Program Evaluation a Practitioner’s Guide for Trainers and Educatiors (Massachusetts: Western Michigan University, 1984), hh. 1617. M. Chabib Thoha, Teknik Evaluasi Pendidikan (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2003). h. 6.
harus mendiagnosis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan proses pelatihan bagi penyempurnaan kegiatan berikutnya.22 Bagi institusi pelatihan, evaluasi transfer of training dapat menyediakan informasi yang berguna untuk memperbaiki program-program pelatihan. Disamping itu, hasil evaluasi dapat digunakan oleh lembaga pelatihan sebagai bahan promosi dalam memenuhi kebutuhan pelanggan terhadap programprogram pelatihan. Hasil evaluasi juga sangat berguna bagi pegawai untuk melihat apakah keikutsertaannya dalam pelatihan mempunyai dampak perubahan kinerja yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan.23 Berbagai pandangan mengenai pentingnya peran evaluasi transfer of training dalam meningkatkan kompetensi pegawai dan memberikan perbaikan pada kinerja organisasi sebagaimana diuraikan tersebut di atas, mendorong Penulis untuk melakukan analisis transfer of training. Hasil hasil analisis secara lengkap telah diterbitkan dalam sebuah buku ini dengan judul: Transfer of Training: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Implementasi Kompetensi Peserta Pasca Diklat (Teori dan Studi Kasus).
22 23
Ibid., h. 6. Alan Roberts, “Evaluating Training Programmes,” International Trade Forum, October-December 1990, Vol 26 (4), h. 18.