Mengaca Konsensus Nasional Dalam Makro Historis Indonesia Oleh; Hasyim Wahid
PMII tahun 2005 berkehendak merumuskan kembali konsensus nasional berbangsa dan bernegara. Saya coba melihatnya dalam perjalanan kesejarahan bangsa Indonesia. Saya melihat bahwa bangsa Indonesia itu selalu berjalan terseok-seok di belakang sejarah dunia. Pasca Perang Dunia ke-I tahun 1916, terdapat pergeseran konstelasi geo-politik. Sekelompok orang Indonesia yang tergabung dalam berbagai perhimpunan pemuda seperti Jong Celebes, Jong Java dan sebagainya melihat ada celah bagi mereka untuk merumuskan dan mendeklarasikan kepada dunia tentang bangsa Indonesia (The Nation of Indonesia) pada tahun 1928. Ada selisih waktu 12 tahun antara patahan sejarah yakni selesainya PD I dengan terciptanya konsensus pertama dalam penciptaan bangsa Indonesia.1 Generasi setelah penggagas Sumpah Pemuda, justru lebih canggih. Sebagian dari mereka pernah mengecap sekolah ke luar negeri, tetapi pikirannya itu sudah benar-benar raksasa dari semua ideologi. Kita bisa melihat yang namanya Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sahrir, dan tokoh Islam lainnnya, memiliki pikiran yang besar / levelnya raksasa. Karena itu, tidak heran ketika tahun 1936 sebelum pecahnya PD II, Soekarno cs. sudah bisa memperkirakan akan terjadinya konflik pada skala internasional. Konflkik itu dimulai pada tahun 1939 dengan aneksasi Cekoslowakia secara sepihak oleh Ada catatan kecil yang saya tambahkan. Tadi saya mulai dari terjadinya PD I sampai dengan Sumpah Pemuda. Mudji Sutrisno menariknya lebih ke belakang lagi --setelah saya ngobrol dengannya—menurut Mudji, kemenangan Partai Sosialis Demokrat di Eropa kontinental itu juga sebuah perubahan konstelasi politik yang kemudian membuahkan politik etis di Belanda beserta koloninya, termasuk Indonesia. Hasil politik etis Belanda di koloninya melahirkan tumbuhnya lapis pertama yang itu kemudian menjadi berbagai macam Jong. 1
Jerman yang mengakibatkan terjadinya eskalasi hingga meletusnya PD II. Perang ini telah membentuk poros AXIS antara Jerman, Itali, dan Jepang melawan sekutu Eropa yang kemudian di bantu Inggris. Ketika sekutu dan Inggri ini tidak sanggup juga melawan negara AXIS, AS serta merta turun tangan terlibat PD II. PD II seperti kita ketahui berakhir dengan kekalahan di pihak AXIS. Mussolini diberontakin oleh sebagian rakyatnya sendiri dan digantung dengan tragis di tiang listrik. Berlin diduduki oleh pasukannya Jenderal Zukov dari Rusia (yang menduduki Berlin lebih dahulu itu bukan tentara AS melainkan tentara Rusia), kemudian Jepang di bom atom, maka selesailah PD II. Pada tahun 1945 tersebut, kelihatan sekali intensitas dan frekuensi pertemuan dari bangsa Indonesia untuk mengantisipasi berakhirnya PD II. Hanya dalam hitungan mingguan, para pemimpin bangsa Indonesia pada waktu itu berhasil mengumumkan / mendeklarasikan kepada dunia internasional proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Dengan demikian terjadilah konsensus nasional kedua pembangunan negara bangsa Indonesia (nation-state of Indonesia). Kemudian sejarah Indonesia terus berjalan dengan segala turun naiknya sampai mencapai tahun 1958 ketika terjadi perang dingin antara blok Amerika dan blok Soviet. Perang dingin itu sendiri sebenarnya diawali oleh sebuah artikel di majalah foreign affairs yang ditulis oleh George Canon, nama artikelnya adalah ‚Artikel X‛. Praktis artikel itulah sebetulnya ‚manifesto awal‛ dari perang dingin dari Blok AS kepada Blok Soiviet. Dalam konteks perang dingin ini terjadilah benturan antara berbagai pihak yang pro Blok Barat (AS) dan pihak yang pro Blok Timur (Soviet). Tidak lama setelah itu terjadilah pendirian Seskoad oleh beberapa perwira AD yang pro Amerika. Ujung dari pertarungan geopolitik itu adalah munculnya peristiwa G/30/S 1965. Terjadilah pembantaian antar anak bangsa dan bisa dibilang pertumpahan darah terbesar dalam sejarah Indonesia terjadi di tahun 1965 ini. Kemudian, antara tahun 1965 sampai 1967 dalam keadaan vakum dari sebuah konsensus terjadi tarik menarik pelbagai kekuatan
dari berbagai kubu. Tarik-menraik pertarungan dari berbagai kekuatan ini berakhir tahun 1967 dengan diselenggarakannya seminar Seskoad, dimana di situ dikokohkanlah ideologi negara Orde Baru yang bernama ‚developtamentalisme‛. Melalui develeoptamentalisme inilah trilogi pembangunan, stabilisasi keamanan dan politik, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasilnya dikokohkan. Ada selisih waktu lagi, mulai dicanangkannya perang dingin sampai terjadi kemapanan nasional ideologi yang berlaku di tahun 1967, yakni sekitar 9 tahun. Ini menunjukkan sekali lagi bahwa Indonesia, ketika tidak paham geopolitik, dia selalu terseok-seok lama dalam sejarah internasional. Sementara itu, geopolitik dunia menunjukkan bahwa perang berkepanjangan antara blok Barat dan blok Timur tersebut berakhir tidak pada military warfare melainkan economic warfare. Dalam economic warfare maupun cultural warfare ini kita tahu yang kalah adalah blok Soviet. Ini semuanya tidak secara cerdas dibaca oleh para elit nasional, sehingga tidak mampu mengatasi pertumpahan darah. Selanjutnya, tahun 1989 menandai keruntuhannya blok Timur, dimana rezim pemerintahan Jerman Timur ditundukkan oleh sebuah band rock yang namanya Scorpion, dengan lagu wind of change orang kemudian menjebol tembok Berlin. Setelah itu dalam konteks geopolitik, blok Barat sudah tidak punya keperluan kepada para ‚satpam‛ mereka di dunia ke-3, sehingga masalah kejatuhan Orde Baru hanya menunggu waktu saja. Namun, karena para elit nasional tidak awas melihat hal ini, Orba baru rontok ketika 1998. lagi-lagi terdapat selisih waktu 9 tahun. Itu menunjukkan kembali bagi saya terseok-seoknya bangsa Indonesia di tengah sejarah dunia. Sedangkan Chotibul Umam Wiranu yang juga tengah menggagas sebuah pikiran tentang konsensus nasional, menyatkaan bahwa konsensus nasional yang benar hanya terjadi dua kali, yakni Sumpah Pemuda dan Proklamasi. Selebihnya, konsensus 1967
(pencanangan trilogi pembangunan) dan reformasi 1998, keduanya bukanlah konsensus melainkan koersi, karena berdarah-darah2. Saya coba melihatnya lagi ke depan, jika kita selalu terbukti terseok-seok dibelakang perjalanan dunia setelah sebanyak 3 kali, dan 1 kali kita pernah begitu responsif melihat patahan sejarah dunia, yakni ditahun 1945, maka saya kira sudah kewajiban bagi generasi muda sekarang untuk mencoba lebih bisa antisipatif ke depan. Kita semua harus bisa mencoba melihat kemungkinankemungkinan kapan dan dimana dan dalam bentuk apa terjadi patahan sejarah, sehingga bangsa Indonesia itu bisa menggeliat keluar dari keadaan krisis. Saya katakan demikian, sebab saya kog agak was-was dan cemas bahwa bangsa Indonesia sepertinya tidak memiliki kapasitas internal untuk melakukan perubahan dalam dirinya sendiri. Kita harus menunggu ada celah sejarah, baru kita bisa keluar. Itupun terlambat sekali, bisa belasan ataupun puluhan tahun. Jika sekarang ini para pemimpin Orde reformasi tidak juga sadar tentang patahan sejarah mana di depan yang memungkinkan kita menggeliat keluar, saya khawatir kita akan berkepanjangan begini terus. Bangsa ini akan turun dalam suatu keadaan, dimana hanya ada dua kemungkinan, yaitu terjadinya Balkanisasi (pecahnya bangsa dan runtuhnya teritorial negara) atau Afrikanisasi (pecahnya bangsa tanpa runtuhnya batas negara). Balkanisasi itu contohnya kayak Yugoslavia, ketika pecah menjadi Kroasia, Bosnia, dan lain sebagainya. Sedangkan, Afrikasinsasi negaranya tidak pecah tetapi berkelahi terus, seperti Rwanda, Nigeria, Sudan dan sebagainya. Konstelasi Internasional Sebagai Determinant Factor Saya khawatir konstelasi internasional merupakan satu-satunya faktor determinant dalam perumusan konsensus nasional. Guna menjelaskan hal tersebut, sejumlah pertanyaan bisa diajukan disini; apakah benar Mojopahit bisa berdiri, jika Singosari tidak bertabrakan Ini adalah soal lain lagi yang dibahas terkait dengan tema Mukernas PMII. 2
dengan Kubilai Khan ? Apa benar Mataram bisa berdiri kalau Demak tidak mengalami pelemahan setelah kalah bentrok dengan Portugis ? Ini merupakan sekelumit contoh bahwa kekuatan-kekuatan internal Indonesia itu hanya baru bisa berdiri setelah kekuatan sebelumnya kalah dalam sebuah pertarungan melawan kekuatan internasional. Pertanyaan itu kalau dilihat itu terjadi berulang-ulang secara repetitif. Jika Belanda tidak mengalami pelemahan karena diduduki Jerman diawal Perang Dunia II, apa benar Jepang bisa masuk ke Indonesia ? Ketika Belanda jadi lemah dikampungnya, Jepang masuk ke Indonesia dan Jepang membikin suatu kegiatan yang mengkonsolidir berbagai komponen masyarakat yang kemudian hari menjadi tulang punggung pergerakan kemerdekaan Indonesia. Pertanyaan saya mungkin menyakitkan buat generasi muda, apa benar mahasiswa bisa menjatuhkan Soeharto kalau dia tidak ditekan duluan oleh Michael Camdesus (Direktur IMF)? Pertanyaan ini penting diajukan untuk sebuah proses demitologisasi dan demistifikasi atas gerakan mahasiswa di Indonesia. Apa benar yang menggulingkan Soekarno itu hanya KAMI ? KAMI itukan cuma buat tabir asap (smoke screen) dan itu terus dilegendakan kemudian dilakukan mistifikasi atas namanya gerakan mahasiswa. Padahal yang menjatuhkan Soekarno itukan jelas Angkatan Darat dengan CIA, Pentagon dan Foreign Departement. Kemudian apa benar gerakan mahasiswa yang reformis itu yang menggulingkan Soeharto ? Saya kog tidak yakin, sebab dalam kacamata saya jelas bahwa yang menggulingkan Soeharto adalah IMF. Setelah itu, sadar atau tidak sadar, gerakan mahasiswa diperalat menjadi alat ring 2 dari IMF. Pertanyaan terakhir, apa benar gerakan neo-liberal di Indonesia bisa menggulingkan Soeharto ? Enggak bisa, sebab yang menggulingkan Soeharto adalah IMF. IMF memakai tangan ring pertama, namanya para spekulan uang, George Soros, Paul Richardson, yang tugasnya membanting rupiah, baru setelah itu diluncurkan dijalanan para pemain politik senior Indonesia itu ring 2, mahasiswanya hanya menjadi ring 3,
penggembira yang diturunin di jalan buat ditembakin. Inilah yang saya maksudkan sebagai demitologisasi dan demistifikasi atas gerakan mahasiswa di Indonesia. Setelah demitologisasi dan demistifikasi ini bisa dihapus dari gerakan mahasiswa Indonesia --khususnya di PMII-- saya berharap kelak mereka bisa mengawali pembangunan konsensus nasional ke depan dalam konteks menunggu rupture (patahan) sejarah dunia. Karena itu, apa yang harus kita kerjakan ke depan ? Ini mungkin agak menyakitkan buat teman-teman mahasiswa. Seperti halnya memang agak menyakitkan buat teman-teman KAMI ketika saya ngomong ini di tahun-tahun 1978 sampai dengan 1982. Menurut saya demitologisasi dan demistifikasi harus dilakukan supaya bangsa ini segera mampu kembali kepada suatu keadaan pikiran yang jernih, sehingga benar-benar bisa membuat konsensus nasional yang sekaliber Sumpah Pemuda dan Proklamasi. Kalau tidak, generasi muda Indonesia cuma mengulangi konsensus-konsensus nasional semu seperti tahun 1967 dan 1998. Sekarang saja kelihatan dengan situasi ekonomi seperti ini, tidak ada gerakan apapun, Sebabnya sederhana, ini terjadi karena tidak ada penggalangan dana. Kalau dulu kan caranya jelas, ada kekuatan oposisi dari luar negeri yang mengucurkan dana. Begitu kucuran-kucuran itu distop, maka separah apapun kondisi ekonomi dan politik dalam negeri, gerakan mahasiswa tidak akan bisa berbuat apa-apa. Karena itu, saya melihat bahwa konstelasi internasional menjadi satu-satunya faktor determinant. Rumusan Konsensus Nasional seperti apakah yang akan terjadi ? Persoalannya kemudian adalah konsensus nasional seperti apakah yang sesuai dengan situasi geopolitik internasional dn kondisi kebangsaan Indonesia seperti sekarang ini? Tidak mudah menjawab pertanyaannya ini, sebab saya sendiri belum sampai ke jawabannya. Justru saya berharap --karena saya sadar sekali ada pergeseran— semua komponen bangsa harus mikir bareng, tidak bisa oleh orang per orang. Yang jelas, konsensus yang harus dicapai nanti adalah
konsensus yang belum pernah ada preseden-nya dalam sejarah Indonesia, yakni unpresedented consensus. Seperti halnya Sumpah Pemuda dan Proklamasi, keduanya merupakan unpresedented consensus. Memang ada sebagian pihak yang membaca bahwa konsensus ini tampaknya mensyaratkan adanya harmoni.Terkait ini, harmoni di Indonesia itukan hanya melihat puncak gunung yang tampak indah di balik kabut. Yang di bawah kabut, yakni harga yang harus dibayar oleh rakyat, itu tidak pernah dibahas. Saya tidak suka kita pakai analogi gunung es, karena analogi gunung es yang terapung di laut itu tidak masuk kedalam logika publik kita, dan gunung es itu sendiri tidak pernah ada di negara kita. Saya lebih suka memakai analogi puncak gunung yang tersaput kabut tampak indah, tetapi di bawah kabut itu yang ada hanyalah penderitaan. Kalau kita mengambil pilihan konsensus yang harmoni itu, saya khawatir pengulangan-pengulangan saja, baik pengulangan Orde Lama maupun Orde Baru. Sementara, dalam pusaran arus dunia ini ada tekanan sentripental yang bisa membuat Indonesia sempal, dalam konteks yang alternatifnya itu bisa Balkanisasi dan Afrikanisasi. Sedangkan untuk pilihan konsensus dalam konteks NKRI dan Pancasila, saya bilang oke. Tetapi Pancasila yang seperti apa ? Menurut saya, Pancasila itu tidak bisa lagi cuma slogan-slogan kosong. Pancasila harus dijabarin dulu secara radikal, seperti apakah Ketuhanan Yang Maha Esa itu ? tentunya tidak seperti penafsiran MUI, dimana orang lain dimentahkan dan dibilang murtad. Ketika kita ngomong perikemanusiaan yang adil dan beradab, kita harus mampu mencari titik temu antara Piagam HAM internasional dengan masalah pandangan HAM-nya orang Indonesia. Ketika kita cerita tentang permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, kita harus mampu merumuskannya lagi dalam tarikmenarik antara sila itu dengan multikulturalisme. Dalam hal keadilan sosial, mungkin kita sudah tidak bisa ngomong lagi tentang walfare state ataupun komunis. Mungkin kita melihatnya dalam konteks distributve justice, seperti John Rawls itu. Jadi, Pancasila-nya itu
dari saat ke saat selalu di-reinterpretasi dalam kerangka teori-teori sosial kritis yang mutakhir untuk selalu bisa di-reaktualisasi pada kehidupan bangsa, kalau enggak, kosong lagi. Oleh karena itu, kalau mau harmoni ya monggo harmoni, tetapi harmoni yang benar. Bukan harmoni sifatnya pengorbanan mayoritas bangsa untuk kenikmatan segelintir elit bangsa. Itukan jadinya bukan demokrasi, tetapi plutokrasi. Kalau mau kembali ke NKRI dan Pancasila, maka tafsirkan dulu yang benar hal kedua hal tersebut sampai bisa diaktualisasikan, sesuai dengan perkembangan perjalanan sejarah dunia. Kalau tidak, saya khawatir kita akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama seperti masa lalu, dan kemudian sejarah akan menghukum kita karena mengulangi kesalahan itu. Sampai pada suatu titik kita mencapai suatu keadaan bivorkasi namanya. Dimana kita me-reorganisasi diri pada sebuah sistem atau kita punah sebagai suatu sistem, itu saja pilihannya. Konsensus Nasional Sebagai Perjuangan Long Term Selain saya, diforum ini tidak ada yang berusia lebih dari 40 tahun. Sejarah berpihak pada anda! Sementara orang-orang lain yang berbicara konsensus nasional dan sebagainya ini, mereka itukan berpikir dalam konteks short term. Karena sejarah berpihak pada anda semua, mestinya anda berpikirnya yang long term caranya dengan menunggangi yang short term ini. Jangan dilabrak, sebab tidak akan kuat, sedangkan bagaimana cara menungganginya ya yang pinter-pinterlah caranya.. Sebab, konsensus nasional di kepalanya tentara itu beda dengan yang ada di kepala saya. Kalau tentara berpikirnya cuma besok, bagaimana mereka bisa kembali melanggengkan kekuasaan mereka. Saya enggak, saya berpikir konsensus nasional dalam konteks geopolitik. Kapan sih ada sejarah dunia ini di depan ada patahan, supaya bangsa Indonesia kelak bisa bangkit kembali. Titiknya di situ, namanya titik bivorkasi, artinya bisa mencapai itu atau punah. Kalau punah, maka jalannya hanya lewat Balkanisasi atau Afrikanisasi. Itu saja, tidak lebih tidak kurang. Sesederhana itu saya melihatnya dalam konteks macro histories
(sejarah makro). Kalau tentara atau pemain-pemain politik yang tua itu berpikirnya tidak begitu, sementara itu, kalau yang sipil hanya berpikir supaya tentara jangan balik lagi ke politik. Bagaimana tentara jangan balik ? lha wong presidennya sendiri sudah pensiunan tentara gitu, kan ini namanya sudah balik separuh. Tentara ya tentara, mereka akan berupaya bagaimana konsensus ini dibikin supaya mereka masuk lagi full 100%. Ini jelas beda dengan yang ada di kepala saya. Oleh karena itu, ini semua juga tergantung time frame yang kita lihat, jika time frame yang kita lihat pendek, itu sama halnya kita akan memfasilitasi orang-orang tua menjadi penguasa nasional dan buat saya itu tragis. Kita mikirnya harus dalam jangka yang panjang, dimana kita mikir dalam suatu ruang yang belum pernah dijejaki orang untuk membuat diri kita sendiri menjadi elit pada saatnya kelak. Saran saya, ambillah jalan yang kedua ini. Buatlah diri anda menjadi elit nasional kelak. Hanya saja persiapannya itu yang setengah mati. Persiapan dalam arti bukan hanya pengembangan jaringan, tetapi juga akumulasi pengetahuan. Itu yang paling berat. Pikiran-Pikiran Taktis Membangun Konsensus Nasional Secara segmentatif, kalau kita bicara segmennya kita kecilkan dari Indonesia ke Islam. Saya kira hari ini dalam tingkat riil meski tidak jelas garis pembaginya. Tanpa menyebut organisasinya, saya melihat Islam teriris pada 5 watak. Pertama, ada kaum tradisional konservatif, katakanlah sayap konservatifnya NU Kedua, ada kaum tradisional sempalannya tradisional konservatif yang progresif, seperti PMII dan JIL Ketiga, modernis konservatif yang personifikasinya kayak Dien Syamsuddin Keempat, modernis yang lebih progresif dan Kelima, fundamentalis tetapi tidak radikal dan tidak pula progresif yang dilambangkan oleh PKS itu. Dalam konteks perjalanan waktu, saya kira tradisional konservatif dan modernis konservatif itu akan habis. Saya kira mereka bisa akan dilindas saja, karena mereka akan menjadi bagian konsumen dunia. Kalau dulu Herbert Marcuse
mengingatkan terjadinya one dimensional man, nanti itu ujungnya akan terjadai one dimensional society / one dimensional global society. Lha PKS yang tidak berpikir mungkin masuknya akan kesitu, mereka merasa dirinya radikal padahal tidak. Nah, kalau modernis urban muda yang progresif dengan tradisionalis rural progresif menyatu, itu nanti di masa depan cuma ada 2 kubu, yakni progresif inklusif dan progresif eksklusif yang dicerminkan PKS itu, ujungnya harus dibikin ke sana, sehingga lapangannya lebih luas dan pemainnya lebih sedikit. Selanjutnya, jika ditilik dari segmen usia penduduk, umpamanya kita bagi dalam kelompok umur, maka : 1. Usia 0 – 15, saya cirikan dengan ketiadaan gizi, ketiadaan pendidikan dasar yang memadai dan ketiadaan pelayanan kesehatan dasar yang memadai. 2. Usi a 15 – 25 saya tandai dengan wagium of authority, kosongnya otoritas, tawuran saja di jalan. 3. Usia 25 – 35, isinya cuma mimpi. 4. Usia 35- 45, saya tandai dengan hedonisme 5. Usia 45 – 55, saya tandai dengan kebingungan 6. Usia 55 – 65, saya tandai dengan arogansi dan egoisme Ini semua tidak ada yang enak, namun dengan keadaan seperti ini ada peluang yang besar untuk PMII. Sekali PMII bisa menancapkan otoritas pada kelompok umur 15-25, PMII akan memiliki pengikut yang membabi buta, dan itu bisa dijadikan ujung tombak, secara negatif maupun positif, secara konstruktif maupun destruktif. Sedangkan yang 25-35, yang ngimpi tadi, tinggal lihat mimpinya saja, jualan mimpinya kayak apa gitu ? Kalau Aa’ Gym dan Arifin Ilham itukan jelas jualannya, yakni masuk ‚melbu swarga‛ jadi manajer kalbu, memberi mimpi, soalnya hidup ini sudah ‘rekoso’. Itukan cuma masalah pengenalan segmen pasar saja. Kemudian kelompok lain perlu menggarap generasi yang bingung, 45 – 55 tahun. Sedangkan, usia 35-45 yang hedonis, tidak usah dipikirkan, mereka inilah yang menjadi lost generation. Satu-satunya yang bisa PMII lakukan dari mereka adalah bantuan dananya. Ini
masalah marketing sebenarnya, anda tahu apa yang akan anda kerjakan di segmen mana pada kelompok umur berapa dan rumusnya pakai apa ? Kalau PMII pintar menggarap, maka 0 – 25 itu ya bisa, apalagi yang 0 – 15 tahun itu dengan ketiadaan gizi, ketiadaan pendidikan dasar dan pelayanan kesehatan yang memadai, menjadikan mereka kurang pengetahuan. Kita bisa belajar dari PKI, praktek politik yang dilakukan PKI itu jelas menunjukkan bahwa mereka hanya mau mencari pengikut di kalangan tani untuk meraih kekuasaan dan dalam konteks itu mereka lebih cerdas daripada LSM-LSM yang mau bergerak meminta reformasi agraria. LSM ini melakukan reformasi agraria tetapi membuat acaranya di hotel bintang empat bukan di desa, sedangkan PKI berada di tengahtengah petani. Seharusnya mereka menyebar orang langsung ke segmentasi pasarnya, yakni menyebar orang turun ke desa. Inilah masalahnya, pemetaan / penandaaan pasarnya lebih cerdas PKI. Lihatlah berita Kompas hari Sabtu, 31 Juli 2005, Kongres AS meminta membaca ulang referendum tahun 1969 tentang Papua. Ini sama saja dengan menggulung ulang Indonesia. Sebenarnya Indonesia itu lahir dari wilayah Hindia Belanda minus Irian. Kemudian Irian di ‛aneksasi‛ oleh Soekarno sedangkan Soeharto meluaskannya ke Timtim. Nah, dengan lepasnya Tim-Tim akan berakses pada lepasnya Papua hingga kita kembali seperti tahun 1949 menjadi RIS, jadi negara kecil-kecil seperti negara Pasundan, negara Sumataera dan sebagainya. Ini mengarah Balkanisasi dan Afrikanisasi setiap pulau. Mengapa mereka menghendaki internasionalisasi Papua? Sederhana, kalau nanti Papua Barat dan Papua Timur bisa dikelola jadi satu, maka itu sama artinya dengan menyatukan sebuah ‚benua perawan‛ yang bisa dieksploitasi secara ekonomis. Karena tinggal ini satu-satunya benua yang tersisa untuk melakukan eksperimentasi semua di situ, yakni bagaimana membangun suatu paradigma ekonomi yang lain. Sebab Amerika sudah tidak tertolong karena
telah mengalami diservikasi, Amerika Latin dan sebagainya juga mengalami diservikasi. Inilah motif dibalik petisinya 28 senator AS. Ketidaktahuan kita pada apa yang terjadi dunia juga terjadi dalam masalah kenaikan BBM seperti sekarang ini. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah persaingan (perkelahian dagang) ras Anglosaxon dengan ras Mongol, dimana akibatnya terjadi perdagangan kertas untuk penyerahan minyak dalam konteks future trading sehingga harganya naik. Padahal, barangnya itu hari ini ada ekses 2 juta barel sehari. Ada dua sebab pada level internasional, yakni sebab geopolitik dan keserakahan AS. Sedangkan sebab domestik Indonesia, ada 2 sebab juga, yakni kesalahan politik minyak sepanjang Orde Baru uyang membiarkan kita mengekspor minyak mentah tetapi tidak membangun kilang-kilang minyak. Kemudian juga dikarenakan permainan kelompok keluarga Cendana, yang selalu menguji semua presiden setelah Soeharto dengan masalah kelangkaan minyak, baik mulai Habibie, Gus Dur, Mega maupun SBY. Dalam hal menghadapi kapitalisme global misalnya, kita membutuhkan dalam bahasa Gus Dur dinamakan modified kapitalime, yakni akumulasi pengetahuan yang kemudian di modifikasi menjadi akumulasi kapital. Untuk itu kita perlu menunggangi kapitalisme global, hal ini hanya Mao Ze Dong yang mengerti, dimana China membeli divisi laptop-nya IBM Amerika, sama sakitnya dengan Sony Jepang yang mencoba menawar Disneyland. Celakanya, Indonesia seperti Sampoerna dijual ke Philips Morris. Mereka tidak tahu bahwa dengan penjualan ini, maka buruh rokok lintingan (handmade) akan habis, sebab dipastikan akan digantikan dengan mesin oleh Philips Morris. Ini terjadi karena kita tidak memiliki politik industri, dan diatasnya lagi kita tidak punya politik ekonomi, semuanya diserahkan ke pasar tanpa ada pengaturan negara. Padahal, AS yang embahnya neo-liberal itu merancang dengan baik masalah ini. Sebagai contoh, perkembangan AS ini diawali dengan penyatuan lembagalembaga keuangan pada tahun 1920 an, dimana antara bank
investasi dan bank komersial tidak boleh menyatu, setelah mapan dalam 60 tahun berselang, mereka melakukan penggabungan kembali antara bank investasi dengan bank komersial di tahun 1980 an. Kemudian ditahun 1990 an mereka menciptakan teknologi informasi, sekarang ini sedang dibangun lagi teknologi rekayasa biologi. Yang melaukan ini ya pemerintah, bukan pasar. Orang kita seperti para ekonom neoliberal justru melarang pemerintah untuk mencampuri pasar. Inilah karena kita tidak bisa mikir panjang, tetapi pendek terus. Sejumlah hal di atas saya ajukan untuk membuktikan bahwa ketiadaan pengetahuan membuat kita tidak memiliki alat baca melihat situasi. Perjalanan historis Indonesia lagi-lagi menunjukkan, bahwa meski memiliki akumulasi kapital tanpa ada akumulasi pengetahuan dalam hitungan hari sudah jatuh. Lihat saja tahun 1972 ketika bangsa Arab dan Opec lainnya melakukan embargo minyak ke AS dan negara-negara maju. Booming oil ini hanya hanya mampu kita nikmati 7 tahun, sebab ditahun 1979 Pertamina dinyatakan bangkrut. Terakhir, kita bisa membangun Indonesia ke depan yang baru itu melalui akumulasi pengetahuan. Bukankah dulu kita pernah memiliki sekelompok elit nasional yang mampu membaca konstelasi internasional dan memiliki kemampuan membaca psikologis bangsanya sehingga mampu memerdekakan Indonesia ? Warisan inilah yang perlu dihidupkan lagi untuk membangun Indonesia ke depan. Karena itu, harus dibangun mimpi panjang (telelologis) tentang Indonesia yang lebih baik melalui akumulasi pengetahuan sebagai alat mendisiplinkan gerakan. Kita bayangkan Singapore yang tidak memiliki apa-apa bisa kaya dikarenakan memiliki akumulasi pengetahuan. Untuk itu kita harus menginfiltrasikan ninghtmare (mimpi negatif) kepada semua kelompok agar mnereka bisa mimpi baik. Dalam nightmare ini hanya ada dua kemungkinan, mau jadi Balkanisasi apa Afrikanisasi? Dengan begitu dalam level alam bawah sadar mereka akan terpaksa menjatuhkan pilihannya hanya satu, yakni mimpi baik.
Kita ini tidak memiliki kecerdasan geopolitik, kalau punya kecerdasan, maka kita sepeti para elit Timur Tengah yang dengan leluasa menjalin hubungan strategis dengan Amerika Latin. Menurut saya, lihatlah konsensus nasional dalam konteks historis perjalanan kebangsaaan Indonesia. Hanya dengan begitu kita memiliki perspektif yang lebih panjang. Tanpa itu saya khawatir jadinya kayak ramerame euphoria reformasi yang tidak karuan-karuan. Mungkin kecenderungan saya sebagai peminat makro histori membuat saya tidak bisa fasih berbicara panjang-panjang, saya hanya bisa membuat pointers-pointers. Sedangkan elaborasinya mungkin bisa menjadi satu sessi sendiri, agar kemudian PMII mampu membuat sebuah sekenario planning. Kira-kira apa yang akan terjadi di Indonesia 10 tahun, 20, 25 tahun ke depan. Kalau terjadi begini, PMII itu melatih kadernya kayak apa, kalau sekenario 2 yang terjadi, PMII itu melatih kadernya kayak apa. Nah, kalau sudah sampai pada titik itu, saya menyarankan kepada PB PMII untuk mencoba juga bicara pada MM. Billah, karena beliau dengan segala pendekatannya yang terlalu normatif, tetapi tetap buat saya beliau adalah salah satu penulis sekenario planning terbaik di Indonesia dewasa ini. Mungkin beliau agak ahistoris, namun jika itu dipadukan dengan perjalanan historis yang saya lihat, mungkin juga akan membawa perspektif dan hasil lain.
Selamat ber-Mukernas...