Bab 1
Menengok Makna Kemiskinan Sepanjang 10 tahun Yayasan Damandiri ber kiprah, inti dari programprogram yang dijalankannya adalah ikutserta menanggulangi kemiskinan sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Hal itulah memang yang menjadi motivasi dasar didirikannya yasasan ini. Sebab, bagi Indonesia, kemiskinan adalah sebuah realitas dan merupakan masalah besar yang harus dipecahkan dengan tindakan-tindakan nyata. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa penduduk miskin Indonesia pada tahun 1976 berjumlah 54,2 juta jiwa, atau sekitar 40,1%
dari total penduduk. Enam tahun kemudian, pada tahun 1981, jumlah itu dapat diturunkan Mngga berada pada angka 40,6 juta jiwa, atau hampir 27% dari jumlah seluruh penduduk. Pada tahun 1990, jumlah penduduk miskin turun lagi menjadi sekitar 27 juta jiwa (15%). Penurunan secara perlahan terus terjadi, hingga pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin adalah 22,5 juta jiwa, atau 11,3% dari total populasi. Artinya, selama kurun waktu sekitar 20 tahun (1976-1996), pemerintah ketika itu, dengan berbagai kiat penanganannya, berhasil memperkecil jumlah warga miskin di negeri ini. Tapi, setelah itu, penurunan jumlah
penduduk miskin agaknya harus terhenti. Krisis moneter pada pertengahan 1997, yang kemudian meluas hingga menjadikrisisekonomi,telahmembawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat. Sementara itu, setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri, pada Mei 1998, dan masyarakat Indonesiamemasukieforiareformasi,terjadi perubahan drastis di jantung pusaran politik nasional. Berlangsungnya perubahan-perubahan di bidang politik, bersamaan dengan melemahnya kegiatan perekonomian, disadari atau tidak, menyebabkan mengendurnya kegiatan-kegiatan yang menyangkut
penanggulangan kemiskinan. Beban penduduk miskin pun menjadi makin berat. Suatu hal yang memprihatinkan, jumlah warga miskin pada tahun 1998 juga menurut data BPS me-lonjak secara drastis, yakni menjadi 49,5 juta jiwa, atau 24,2% darj total penduduk. Jumlah ini secara absolut melebihi jumlah penduduk miskin pada 1981, yakni 40,6 juta jiwa.
Multidimensi Kemiskinan Angka-angka statistik memang dapat menggambarkan hadirnya kemiskinan di tengah penduduk. Tapi, sosok kemiskinan secara nyata dapat dilihat lewat sejumlah dampak yang dihasilkan oleh kemiskinan itu sendiri. Merebaknya busung lapar, berjangkitnya penyakit polio, tingginya tingkat kematian bayi, meningkatnya jumlah anak putus sekolah, banyaknya tunawisma atau keluarga yang menghuni rumah tak layak merupakan sekadar contoh yang mengisyaratkan sesuatu yang sangat jelas tentang kemiskinan.
Banyaknya ketuarga yang menghttni rumah tak layak menipakan contoh yang mengisyaratkmi kemiskinan
Dalam pengertian umum dan seder-hana, miskin diartikan sebagai kondisi yang tidak berkecukupan secara ekonomi, khususnya berkenaan dengan kebutuhan konsumsi dasar seperti pangan, sandang, dan papan. Namun, dalam cakupan yang lebih luas, penger-tian kemiskinan juga meliputi ketidak-mampuan memenuhi kebutuhan dasar lainnya, seperti gizi, kesehatan, pendi-dikan, air bersih, dan transportasi. Definisi tentang kemiskinan bisa bervariasi dalam berbagai versi, tapi hal itu tentu saja tidak dimaksudkan sebagai sekadar rumusan pada tataran wacana. Sebab, definisi kemiskinan terkait dengan ukuran-ukuran tertentu y ang dipakai untuk menentukan miskin tidaknya seseorang atau sekelompok orang yang kemudian dijadikan tolok ukur bagi upaya-upaya mengentaskan masyarakat dari kemiskinan. Meng-ukur kemiskinan tidaklah sederhana. Sajogyo, misalnya, pada awal 1970-an merintis penggunaan tingkat kon-sumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan, dengan
Sekumpulan anak di sebuah gang di Jakarta. Ternyata untuk mengukur ksmiskinan itu tidakldh sederhana.
membuat perbedaan antara perdesaan dan perkotaan. Di perdesaan, bila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 320 kg per tahun, maka ia tergolong miskin; yang mengkonsumsi hanya atau kurang dari 240 kg berarti sangat miskin, sedangkan yang mengkonsumsi di bawah 180 kg berarti melarat. Untuk perkotaan, yang mengkonsumsi sebesar ekuivalen beras 480 kg termasuk
ke dalam kategori miskin, yang mengkonsumsi 360 kg tergolong sangat miskin, dan yang mengkonsumsi di bawah 270 kg tergolong melarat. BPS membuat ukuran kemiskinan berdasarkan tingkat konsumsi penduduk terhadap kebutuhan dasar, dalam arti lebih dari sekadar beras. Dalam hal ini, kemiskinan diartikan sebagai ketidak mampuan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan
dasar yang meliputi kebutuhan ma-
Rp 4.522 per orang per buian untuk
hal inilah BKKBN harus mengemban
kanan dan nonmakanan. Dari sisi makanan, BPS inenggunakan indikator
perkotaan dan Rp 2.849 per orang per bulan untuk perdesaan. Tapi, 20 tahun
tugasbaru yanglebihluasdalam rangka meningkatkan kualitas keluarga.
kebutuhan minimum setara dengan satuan 2.100 kalori per orang per hari. Ini dikombinasikan dengan standar minimum kebutuhan nonmakanan yang mencakup sandang, papan, pendidikan dan kesehatan, dengan pemilihan sejumlah komoditas berDasarkan ukuran-ukuran tertentu.EPS menggunakan modul konsumsi Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional), yakni survai konsumsi dan belanja pada tingkat rumah tangga yang dimaksudkan mencakupseluruh provinsi untuk memaparkan gambaran tingkat nasional. Itu semua mempunyai kaitan dengan ukuran yang bernama Garis Kemiskinan (GK) yang dipatok oleh BPS dengan menggunakan data konsumsi dan pengeluaran untuk 52 macam komoditas pangan dan sejumlah komoditas nonpangan, yakni 26 jenisuntukkotadan27jenisuntukdesa. Untuktahun l976, misalnya, indikator ini menghasilkan patokan GK sebesar
kemudian, pada 1996, karena meBerbeda dengan BPS, yang meningkatnya harga berbagai komoditas, makai indikator konsumsi makanan angka GK telah berubah menjadi Rp dan nonmakanan serta menggunakan 38.246 untuk perkotaan dan Rp 27.413 rumah tangga sebagai unit survai, untuk perdesaan. maka BKKBN melakukan pengukuran Sejak tahun l994, Badan Koordinasi tingkat kesejahteraan dengan menKeluarga Berencana Nasional (BKKBN) jadikan keluarga sebagai unit survai. mengintroduksi apa yang disebut Pendataan keluarga ini, yang dilakudengan indikator kesejahteraan atau kan setiap tahun, menghasilkan data keluarga sejahtera. Penggunaan indi- jurnlah keluarga menurut tahapan atau kator baru ini erat terkait dengan tingkatkeluarga sejahtera yang terdiri diberlakukannya Undang-Undang atas 5 kategori Prasejahtera, Sejahtera Nomor 10 Tahun 1992 tentang Per- I, Sejahtera II, Sejahtera III dan Sejahtera kembangan Kependudukan dan Pem - III Plus. Data keluarga versi BKKBN bangunan Keluarga Sejahtera pada 16 inilah yang juga menjadi acuan YaApril 1992, yang disusul dengan pen- yasan Damandiri dalam ikut mengcanangan Hari Keluarga Nasional oleh upayakan pengentasan masyarakat Presiden Soeharto pada 29 Juni 1993. dari kemiskinan, dengan menggunakan Kebijakan strategis kemudian diran- konsep pemberdayaan keluarga, mecang dan dijalankan yakni melalui lalui kerjasama dengan berbagai mitra Gerakan Pembangunan Keluarga kerjanya. Sejahtera sebagai pengembangan dari Penggunaan istilah sejahtera atau keberhasilan yang telah dicapai oleb kesejahteraan sesuatu yang di seGerakan Keluarga Berencana. Dalam berang kemiskinan mengesankan
Dua remaja tengah meugamen di atas bis di Jakarta. Pembangitnan manusia pada dasarnya adalah memperiuas pilihan-pitihan bagi masyarakat, antara lain adaSah mendapatkan pendidikan dan memiiiki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak.
konstruksi yang positif. Esensi yang disampaikannya sama, yakni berkaitan dengan kemiskinan, tetapi impresi yang muncul menjadi berbeda, karena terutama konsep yang digunakan memang berlainan. Keluarga Prasejahtera diartikan sebagai keluarga
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar secara minimal, seperti ibadah agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Masuk dalam kategori Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan dasar
tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, yakni pendidikan, keluarga berencana, inter-aksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Sementara itu, Keluarga Sejah-tera n adalah yang tergolong telah dapat rnemenuhi kebutuhan sosial psikologis-nya, namun belum mampu memenuhi kebutuhan pengembangannya, seperti, antara lain, kebutuhan menabung dan memperoleh informasi. Mereka yang tergolong dalam Keluarga Sejahtera III adalah yang telah mampu memenuhi kebutuhan dasar, sosial psikologis dan pengembangan keluarga, tetapi belum dapat secara teratur dan aktif memberikan sumbangan materi dan melakukan kegiat-an kemasyarakatan. Adapun keluarga yang dapat memenuhi seluruh ke-butuhan, yakni dari kebutuhan dasar sampai kebutuhan untuk berpartispasi dalam aktivitas kemasyarakatan digo-longkan sebagai Keluarga Sejahtera III Plus. Ada sejumlah indikator, baik ber-
dasarkan alasan ekonomi maupun alasannonekonomi,yangdipakaiuntuk mengukurtahap-tahapkeluargasejahtera. Indikator untuk Keluarga Sejahtera I, misalnya, adalah melaksanakan ibadah agama; makan dua kali atau lebih sehari memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas di rumah, bekerja/sekolah, dan bepergian; bagian terluas lantai rumah bukan tanah; dan bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. Untuk Keluarga Sejahtera II, indikatornya selain indikator pada Keluarga Sejahteral antara lain, adalah paling kurang seminggu sekali keluarga makan daging atau ikan atau telur; setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru; luas lantai rumah paling kurang 8 meter persegi untuk tiap penghuni semua anggota keluarga sehat dalam 3 bulan terakhir. Lalu, sebagai syarat untuk digolongkan dalam Keluarga Sejahtera III, ada tambahan indikator yakni, antara lain, memiliki tabungan keluarga; makan bersama sambil berkomunikasi; mengikuti
kegiatan masyarakat; rekreasi bersama enam bulan sekali; meningkatkan pengetahuan agama; memperoleh berita dari suratkabar, majalah, radio dan televisi; menggunakan sarana transportasi. Menurut data BKKBN, pada tahun 1995/1996, Keluarga Pra Sejahtera berjumlah 10,85 juta Kepala Keluarga (KK) atau 27,5 % dari jumlah total keluarga (39,4 juta KK), sedangkan Keluarga Sejahtera I sebanyak 11,13 juta KK (28,25 %). Dari jumlah Keluarga Sejahtera I tersebut, 5,04 juta KK di antaranya adalah Keluarga Sejahtera I dengan indikator alasan ekonomi. Keluarga Pra Sejahtera dan Sejahtera I dengan alasan ekonomi itulah yang dalam versi keluarga sejahtera diberi istilah "keluarga tertinggal", atau yang dalam pengertian umum disebut se-bagai miskin, yang berjumlah 15,89 juta KK, atau 40,3% dari total keluarga Indonesia. Angka 40,3% itu relatif tinggi apabila dibandingkan dengan angka penduduk miskin versi BPS yang pada waktu yang sama adalah sekitar 11%. Sementara itu, menurut hasil pendataan
Kemiskinan telah mendesak tinak kedl ini bekerja untuk menyambung hidup. Bukankah feharusnya atiak seusia ini berada dibangku sekoiah?
keluarga tahun 1999, hampir tidak berbeda dengan tahun 1996, Keluarga Prasejahtera berjumlah 10,2 juta KK dan Keluarga Sejahtera I dengan alasan ekonomi sekitar 4,8 juta KK sehingga total sekitar 15 juta KK merupakan jumlah penduduk miskin versi keluarga sejahtcra. Sejak tahun 1990, pendekatan lain untuk mengukur kemiskinan dipromosikan oleh Program PBB untuk Pembangunan (United Nation Development Programme, UNDP) melalui apa yang disebut dengan Human Development Report (HDR). Pemerintah Indonesia, melalui BPS dan Bappenas, turut mengembangkan model ini yang untuk pertama kali dibuat pada 1996 untuk situasi 1990 dan 1993. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 telah menjadikan model ini sebagai model pembangunan nasional yang disebut dengan istilah "Pembangunan Manusia Seutuhnya". Konsep HDR menempatkan manusia tidak sebagai alat pembangunan dan melihat pembangunan secara lebih menyeluruh
Dua orang perajin tempe di tengah kekumuhan lingkungannya. Penanggiilangan ketniskinan tidak cukup ditangani hanya meialui kebijtikan-kebijakan dan program-program ekonomi.
dengan kesejahteraan manusia sebagai tujuan akhir. Di sini, pertumbuhan ekonomi merupakan alat untuk mencapai tujuan itu. Pembangunan manusia pada dasarnya adalah memperluas pilihan-pilihan bagi masyarakat, antara lain: hidup yang berumur panjang dan sehat, mendapatkan pendidikan dan memiliki akses kepada sumber daya untuk mendapatkan standar hidup yang layak, kebebasan berpolitik,
jaminan hak asasi manusia (HAM) dan penghormatan secara pribadi. HDR berisi penjelasan tentang 4 indeks, yaitu: Indeks Pembangunan Manusia (Human Devdopment Index, HDI), Indeks Pembangunan Jender (Gender-related Development Index, GDI), Langkah Pemberdayaan Jender (Gender Empowerment Measure, GEM) dan Indeks Kemiskinan Manusia (Human Poverty lndex, HPI). Indikator-
Dalam rentang waktu yang panjang, bermacam-macam pemahaman tentang kemiskinan telah melahirkan berbagai pendekatan yang dipakai untuk menanggulangi kemiskinan.
indikator indeks HDR ini dikelompokkankedalamenamdimensi.HDI,GDI dan HPI menggunakan tiga dimensi yangsama, yaitu: umur yang panjang dan hidup yang sehat, pengetahuan, dan standar hidup yang layak; sedangkan indikator GEM memakai tiga dimensi: partisipasi politik, partisipasi dalamekonomidanpengambilankeputusan, dan memiliki kekuatan dalam sumber daya ekonomi. Indikator pada jenis indeks HDI mencakup: tingkat harapan hidup, tingkat melek huruf, rata-rata lama bersekolah, dan tingkat daya beli per kapita. Pada jenis indeks HPI, indi-
digunakan, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada fasilitas kesehatan, dan persentase balita yang kurang makan. Indikator pada jenis indeks GDI mencakup tingkat harapan hidup laki-laki dan perempuan, ttngkat perempuan, rata-rata lama sekolah untuklelakidanperempuan, perkiraan tingkat pendapatan lelaki dan perernpuan. Adapun indikator pada jenis indeks GEM terdiri atas: persentase jumlah anggota DPR dari lelaki dan perempuan, persentasejumlahpegawai tingkat senior, manajer, profesional dan posisi teknis dari lelaki dan perempuan,
katornya meliputi: kelahiran yang tidak
perkiraan tingkat pendapatan lelaki kemiskinan mencakup banyak dimensi
dapat bertahan hingga 40 tahun, Hngkat buta huruf orang dewasa, persentase penduduk yang tidak memiliki akses pada air yang aman untuk
dan perempuan. Dalam Human Development Report yang diterbitkan oleh UNDP pada tahun 2004 (untuk keadaan tahun 1999 dan 2002), HDI Indone-
melek huruf orang dewasa lelaki dan
sia berada pada urutan 111 dari 177 negara.IndonesiajauhtertinggaldibandingkandengansejumlahnegaraAsean lainnya,malahanuntukindekstertentu berada di bawah Vietnam, negara baru yang sedang bangkit menjadi kuat. Beragam pengertian dan pengukuran tentang kemiskinan, dengan bermacam kriteria, indeks atau indikator mulai dari tingkat konsumsi beras sampai HDI sebagaimana dikemukakan di atas, sebenarnya menyiratkan demikian kompleksnya persoalan kemiskinan itu. Munculnya berbagai istilah tentang kemiskinan mengukuhkan aksioma betapa sosok Kemiskinan ekonomi, kemiskinan sosial, kemiskinan politik, miskin absolut, miskin struktural, dan miskin kesehatan adalaH beberapa kosa kata
Seorang gadis remaja sedang memintal, demi merajut'masa
depan. Dewasa ini persoalanpersoalan kemiskinan semakin dipandang sebagai sesuatu yang multidimensi dan multifaset.
yang mudah dijumpai di berbagai me-dia massa atau dalam kajian para pakar. Dalam generalisasi, berbagai sudut pandang tentang pengertian kemiskinan kemudian muncul dalam tiga bentuk, yakni "kemiskinan struk-tural", "kemiskinan relatif", dan "kemiskinanabsolut". Akantetapi, adalah kemiskinan struktural yang seringkali
dilihat sebagai penyebab terawetkannya kemiskinan. Hal ini erat kaitan-nya dengan pola organisasi sosial dan pengaturan institusi (institutional arrangements). Seseorang atau kelompok orang miskin lahir dalam berbagai kondisi struktur sosial yang tidak mampu dikuasai atau diubah oleb kekuatan mereka sendiri; ada berbagai
f aktor eksternal yang saling berinteraksi dan menekan komunitas miskin. Dalam hal ini, penanggulangan kemiskinan tidak cukup ditangani hanya melalui kebijakankebijakan dan program-program ekonomi. Dalam rentang waktu yang panjang, bermacam-macam pemahaman tentang kemiskinan juga melahirkan,
atau sekaligus mencerminkan, berbagai pendekatan yang dipakai untuk menanggulangi kemiskinan, seperti pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach}, pendekatan pemberdayaan masyarakat (community-based development approach) dan pendekatan hak-hak dasar (right-based approach). Dalam penerapannya, pendekatanpendekatan ini bisa jadi saling mengisi satu sama lain, namun sekaligus juga menunjukkan adanya penekanan yang berbeda dalam proses "evolusi" memerangi kemiskinan. Sejak akhir dekadc 1990-an dan mulai awal 2000an, persoalan-persoalan kemiskinan semakin dipandang sebagai sesuatu yang bersifat multidimensi dan multifaset. Kemiskinan diartikan sebagai kondisi yang seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan rnengembangkan kehidupan yang berrnartabat. Dengan pendekatan yang berbasis hak, diakui bahwa masyarakat miskin mempunyai hak-hak
dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Dengan kata lain, kemiskinan tidak hanya dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hakhak dasar dan perbedaan perlakuan terhadap seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupannya secara bermartabat. Kemiskinansebagaimasalahmultidimensi, dengan pendekatan hak-hak dasar untuk upaya penanggulangannya, tercantum dalam dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskirian (SNPK) yang dikeluarkan oleh Bappenas - Komite Penanggulangan Kemiskinan pada awal 2005, Disebutkanbahwahak-hak dasar yang diakui secara umum dan harus dipenuhi adalah meliputi, antara lain, penyediaan akses pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam danlingkunganhidup, rasa aman dari perlakuan tindak kekerasan, dan hak untukberpartisipasidalamkehidupan
sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Masalah kemiskinan yang bersifat multidimensi tak ayal berkaitan pula danterpancardaripersoalan-persoalan padatataranglobal.Disatusisi,hubunganantarnegarapadatataranglobaldan berlangsungnyaapayangdisebutsebagai globalisasi ditandai oleh berbagai "tuntutan", seperti penerapan pasar bebas, privatisasi, deregulasi dan berkurangnya peran negara. Halini, bagi negara-negara berkembang yang te~ ngahberjuangmengatasikemiskinan, membawa tantangan-tantangan baru, tak terkecuali berkenaan dengan pendekatan hak-hak dasar. Di sisi lain, muncul gerakan dan komitmen global yangmakinmenguatuntukmemerangi kemiskinan, setidaknya sejak World Summit on Social Devdopment (KTT Pembangunan Sosial), Copenhagen, Maret l995, yang diselenggarakan oleh PBB. Ini disusul dengan penetapan tahun
Anak-anak periang dtm ramaii di Pulau Gam, Kepulauan Raja Ampat, Sorong, Papua, menjadi objekjvto seornng wisatawan. Fenomena kemiskinan teiah mencuaikan kerisauan, perhatian, isu, bahkan menginspirasi iahirnya gerakan global kemanusiaan, antara lain penetapan tahun 1996 oleh PBB sebagai Tahnn Peitghapusan Kemiskinan Internasional.
"Komunitas internasional tidak akan menikmati pembangunan tanpa keamanan, tidak akan menikmati keamanan tanpa pembangunan, dan tidak menikmati apa pun tanpa penghargaan terhadap hak-hak manusia,"
1996 sebagai Tahun Penghapusan Kemiskinan Internasional, ketika negaranegara anggota PBB diharapkan dlm jangka panjang mengembangkan rencana penghapusan kemiskinan nasional. Tampaklah bahwa fenomena kemiskinantelahmencuatkankerisauan, perhatian, isu, bahkan menginspirasi lahirnyagerakanglobalkemanusiaan. Dewasa ini, kemiskinan absolut
memakan korban 5 sampai 20 juta orang. Dalam beberapa dekade terakhir, jutaan orang mengalami bencana kelaparan lantaran kekurangan pangan, sebagaimana terjadi di Bangladesh, Ethiopia, Korea Utara, Somalia, dan Sudan. Evaluasi atas program pemberantasan keiniskinan dunia dalam sembilan tahun terakhir mencatat: hanya 25 juta jiwa yang dapat Diderita oleh sekitar 840 juta penduduk diselamatkan dari bahaya kelaparan. dunia. Populasiini yangpadaumumAngka itu terlalu kecil dibandingkan nya menghuni wilayah Afrika, Asia, dengan populasi umat manusia yang Amerika Latin, dan Eropa Timur kini berjumlah enam miliaran jiwa. Berjuang untuk memperoleh makanan, Sebagai kelanjutan dari KTT PBB tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya. pada tahun 1990 yang menghasilkan Mereka menderita kekurangan gizi, target-target Tujuan Pembangunan terkena wabah penyakit epidemik, Internasional (International Developkelaparan, dan menjadi korban perang. mentGoals), maka dalam KTT Milenium Di Nigeria, misalnya, kemiskinan PBB, pada September 2000, sebanyak menimbulkaii bencana kelaparan yang 189 negara telah menandatangani
deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) Tujuan Pembangunan Milenium. Deklarasi ini merupakan komitmen komunitas internasional yang secara kuat mempromosikan pembangunan manusia sebagai kunci untuk mencapai pengembangan sosial
dan ekonomi yang berkelanjutan dengan menciptakan dan mengembangkan kerjasama dan kemitraan global. MDGs berisi agenda khusus yang pada intinya bertujuan untuk mengurangi kemiskinan global pada tahun 2015. Agenda ini mendorong pemerintah, lembaga donor dan organisasi masyarakat sipil di manapun untuk mengorientasikan kembali kerja-kerja mereka guna mencapai target-target pembangunan yang spesifik, dengan tenggat waktu dan terukur ke dalam 8 tujuan pembangunan milenium.
Tujuan pertama MDGs adalah menghapuskan kemiskinan ekstrem dan kelaparan, dengan target (pada 2015) mengurangi setengah dari proporsi penduduk dunia yang berpenghasilan kurang dari 1 US$ sehari dan
AIDS dan gejala malaria dan penyakit bebasinasukhasil-hasilekspor mereka; berat lainnya. secara komprehensif mengusahakan Tujuan ketujuh MDGs adalah men- persetujuan mengenai masalah utang jaminlingkunganyangberkelanjutan, negara-negaraberkembang. termasuk merehabilitasi sumber daya Di luar delapan tujuan tersebut, lingkungan yang hilang, dengan tar- deklarasi milenium juga mengemuka-
yang mengalami kelaparan.Tujuan
get,antaralain,pada tahun2015jumlah kan isu-isu penting lainnya seperti
kedua, mencapai pendidikan dasar secara universal, dengan target (pada 2015) memastikan bahwa setiap anak lakidanperempuanmendapatkandan menyelesaikan tahap pendidikan dasar. Yang ketiga adalah mendorong kesetaraan jender dan memberdayakan perempuan, yaknj mengurangi perbedaan dan diskriminasi jender dalam pendidikandasardan menengahpada 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. Tujuan keempat, mengurangi tingkat kematian anak-anak balita hingga dua-pertiga pada 2015. Tentang kesehatan ibu, tujuan kelima MDGs menargetkanpada2015terjadi pengurangan kematian ibu melahirkan hingga 75%. Tujuan keenam, target pada 2015 adalah menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/
orang yang tidak memiliki akses air minum yang layak dikonsumsi berkurang setengahnya; dan pada tahun 2020 tercapai perbaikan kehidupan yangsignifikanbagisedikitnyalOOjuta orang yang menghuni daerah kumuh. AdapuntujuankedelapanMDGslebih bersifat umum tapi mendasar, yakni mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan, dengan target, antaralain:Mengembangkanlebihjauh perdagangan terbuka dan sistem keuanganberdasarkan peraturan, kepastian dan nondiskriminasi, termasuk komitmen terhadap good governance, pembangunan dan pengurangan kemiskinan secara nasional dan internasional; membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara terkebelakang, termasuk dalam tarif dan kuota
perdarnaian, keamanan danpelucutan senjata, HAM, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik, kebutuhan khusus bagi Afrika, dan penguatan kelembagaan PBB. Nilai-nilai yang mendasari deklarasi milenium adalah: kebebasan, kesetaraan, solidaritas, toleransi, penghargaan terhadap alam dan pertanggungjawaban bersama. Dalam mengantar pencanangan MDGs, Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, menyebut, "Komunitas internasional tidak akan menikmati pembangiman tanpa keamanan, tidak akan menikmati keamanan tanpa pembangunan, dan tidak menikmati apa pun tanpa penghargaan terhadap hak-hak manusia." Kritik acapkali dilontarkan bahwa bantuan negara donor kerap mengan-
Upaya penanggulangan kemiskinan dan kelaparan serta mencapai pendidikan dasar bagi semua, senafas dengan semangat Pembukaan Undang-Undang Dasar 45 yang menycbutkan "mewujudkan kesejahteraan umum dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa".
dung agenda yang tidak terkait dengan upaya pengentasan kemiskinan dan perbaikankualitaskehidupanmanusia dinegara penerima bantuan. Bantuan takiaranglebihditekankanpadafaktor-
kemudian harus mendapatkan kesempatanmelaluipembangunanyang rnemibak yang sekaligus diarahkan sebagai upaya peningkatan mutu penduduk yang secara internasional
bahwa Indonesia sadar akan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat internasional.
Memotong Rantai Kemiskinan raktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang dalam batas tertentu bisa tidak berarti apa-apa bagi orang miskin. Maka, di sini konsep pembangunan yang benar-benar berpihak menjadi amat penting. Haryono Suyono, Wakil Ketua I Yayasan Damandiri, mengatakan bahwa strategi pernbangunan harus menempatkan penduduk sebagai titik sentral dan pelaku pembangunan, dengan terlcbih dulu mempersiapkan penduduk yang potensial melalui upaya pemberdayaan yang sungguh-sungguh dan berkelanjutan. Penduduk yang baru dibangkitkan
diukur keberhasilajinya, seperti melalui indikator HDI. Hal yang tak kalah penting, menurut Haryono Suyono pula, adalah kemarnpuan untuk menerjemahkan programprogram yang telah diputuskan oleh berbagai konferensi internasional yang juga telah disepakati oleh pemerintah Indonesia, dengan mengacu pada target-target HDI, MDGs, Women Development, Population Action Program (PoP) dan sebagainya. Kesempatan untuk membawa progain-program pembangunan secara global bisa menarikbantuandanperhatiandunia
Tujuan-tujuan dan nilai-nilai dalam MDGs itu, paling tidak untuk sebagian, sejalan dengan amanat dalam Pembukaan UUD 1945. Upaya menanggulangi kemiskinan dan kelaparan serta mencapaipendidikandasarbagisemua, misalnya, tampak senafas dengan "mewujudkan kesejahteraan umum dan upaya mencerdaskan kehidupan bangsa" dalam Pembukaan UUD 45. Atau, mendorong kesetaraan jender, menurunkan angka keinatian ibu dan anak serta-memerangi berbagai pe-
Tidak berlebihan pula apabila para pendiri Yayasan Damandiri berpandangan bahwa programprogram penanggulangan kemiskinan pada tahun 1990-an, yang melatarbelakangi
berdirinya yayasan ini, sesungguhnya sudah mendahului beberapa bentuk dari gemkan yang kini dikenal sebagai sasaran-sasaran MDGs itu.
nyakit menular dapat ditempatkan dalam Pembukaan UUD 45 sebagai bagian dari upaya "melindungi sege-nap bangsa Indonesia." Tidak ber-lebihan pula apabila para pendiri Yayasan Damandiri berpandangan bahwa program-program penang-gulangan kemiskinan pada tahun 1990-an, yang melatarbelakangi berdirinya yayasan ini, sesungguhnya sudah men-dahului beberapa bentuk dari gerakan yang kini dikenal sebagai sasaran-sasaran MDGs itu. Pada tataran nasional, upaya untuk mengatasai masalah kemiskinan sebenarnya telah melewati perjalanan yang cukup panjang, sarna panjangnya dengan usia Indonesia merdeka sendiri, bahkan sudah berlangsung sejak masa pergerakan menghadapi penjajah. Di dalam cita-cita "mewujudkan ma-syarakat yang adil dan makmur", yang sejak dahulu senantiasa didengungkan, pasti tersirat adanya sesuatu yang terkait dengan kemiskinan. Tapi, di tengah kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang berlangsung dari waktu
ke waktu, ketika jumlah penduduk terus merangkak naik, jumlah mereka yang masuk dalam barisan warga miskin secara absolut juga bertambah. Mereka yang menjadi "penduduk tertinggal" adalah warga miskin yang tetap miskin dan mereka yang me-nyusul jatuh miskin. Lalu, penyebab langsung dan tak langsung terjadinya kemiskinan bisa dibuat dalam daftar panjang: kelebihan jumlah penduduk; ketidakadilan dalam distribusi pen-dapatan; ketiadaan kesempatan pendidikan dan lapangan pekerjaan yang memadai; penurunan kualitas Hngkungan hidup serta ketiadaan sistem insentif bagi kesejahteraan masyarakat; kurangnya pengembangan sumber daya alam; keterasingan dari sumber-sumber kemajuan berkenaan dengan pengetahuan sumber informasi pasar, surnber modal, sumber teknologi dan ketidakmarnpuan untuk mengadopsi inovasi; dan lain sebagainya. Dalam banyak kasus, penyebab dan efek dari kemiskinan tampak saling berinteraksi sehingga ujiing dan pang-
kalnya sering menjadi tak jelas. Tapi, mengapa orang atau sekelompok tertentu dapat terjerat dalam lingkar kemiskinan, sementara orang atau sekelompok orang yang lain tidak? Pertanyaan ini agaknya menyangkut aspek yang dipandang paling penting dalam proses terjadinya kemiskinan, yakni ketidakberdayaan. Situasi ketidakberdayaan pada dasarnya merupakan ketidakmampuan seseorang, keluarga atau kelompok dalam menentukan peristiwa-peristiwa yang menyangkut nasib dan peruntungan mereka sendiri dan hubungan-hubung-an sosialnya. Karena itulah, upaya penanggulangan kemiskinan kemu-dian tiba pada strategsi atau pendekatan pemberdayaan masyarakat, yang salah satu aspek pentingnya adalah mening-katkan kapabilitas sumber daya manu-sia dari kelompok miskin, distribusi aset ekonomi, dan penguatankelembagaan. Program IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang dijalankan pada pertengahan 1990-an dan JPS (Jaring Pengaman Sosial) yang dilaksanakan selama krisis
ekonomi (1998-2000) adalah contoh dari program pemberdayaan masyarakat. Berkaitan dengan strategi pemberdayaan itulah Yayasan Damandiri melihat pentingnya peningkatan mutu sumber daya manusia, terutama mela-lui dan dalam rangka membangun keluarga yang sejahtera dan mandiri. Sebagai contoh, upaya pengentasan kemiskinan selayaknya tidak hanya terpaku pada kepala keluarga yang kebetulan miskin, tetapi harus dengan seksama diarahkan pada keluarga muda yang kurang mampu, termasuk anak-anak mereka yang masih ber-sekolah di berbagai jenjang pendidikan. Anak-anak yang bersekolah itu harus dijadikan sasaran bersama untuk dibantu pemberdayaannya dengan gigih. Sebab, memberdayakan anak-anak melalui pendidikan yang cukup kemungkinan besar bisa mencegah bertambahnyakeluargamiskinbarudi kemudian hari. Upaya semacam ini merupakan suatu ikhtiar memotong rantai kemiskinan, yakni tidak membiarkan kemiskinan — di dalam ke-
Situasi ketidakberdayaan pada dasarnya merupakan ketidakmampuan seseorang, keluarga atau kelompok dalam menentukan peristiiva-peristiwa yang menyangkut nasib dan peruntungan mereka sendiri dan hubunganhubungan sosialnya.
luarga-keluargamiskin berkelanjutan secara alamiah. Dalam hal ini, anak keluarga miskin yang bisa bersekolah sampaitingkatyangmemadaihampir pasti akan mendapatkan kesempatan dan peluang pengetahuan, keterampilan,pekerjaan,dansebagainya yang menghasilkan nilai tambah atas apa yang dimiliki oleh orang tua mereka. Upaya pcmberdayaan seperti prograinpelatihandanpembinaankeluarga muda mandiri, pembinaan partisipasisosialmasyarakat,ataupembinaan anak dan remaja disebut juga sebagai strategi "penanganan bagian yang hilang" atau the missing piece strategy, (CarolineMoser, 1994).Inimeliputiprogram-program yang dianggap dapat memutus rantai kemiskinan melalui penanganan salah satu aspek kunci kemiskinan yang kalau disentuh akan nieinbawa dampak pada aspek-aspek
lainnya. Hal yang kemudian menjadi pentingadalah:Strategipemberdayaan tidakberpangkaldariperencanaanyang bersifat generafistis, sentralistis, dan birokratis. Misalnya, antarasuatudesa dengandesalainterdapatkarakteristik yang berbeda dilihat dari segi mutu sumber daya manusia, sumber daya alam, jumlahpendud uk, keadaan sosial danekonomi, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Masalah dan kebutuhan pokok masyarakat pada setiap desa juga berlainan, sehingga setiap program pembangunan masyarakatharusdisesuaikandengancirikhas setiapdesa. Kegagalanmemberdayakankelompok masyarakat miskin dan mengentaskan mereka dari lembah kemiskinanberartikandasnyaupayamemuliakan harkat, derajat, dan martabat umat manusia dalam upaya dan tin-
dakankolektif(gunalebih)memanusiakan sesama manusia. Generasi orang tuadalamkelompokmasyarakatmiskin mungkin menjadi kelompok yang tcrpinggirkan,f/ieuof'ce/^ss.Akantetapi, anak-anak mereka sungguh tak sepatutnya terabaikan menjadi generasi yanghilang,f/ie/osfgtwratfon.Disitulah makna strategis upaya memotong rantai kemiskinan yang menjadi benang merahpemikiranHaryonoSuyonodan upaya yang dijalankan oleh Yayasan Damandiri. Sebuah istilah lain yang kerap dipakai banyak orang adalah memutuslingkaransetankemiskinan. Dikalangankomunitaspemberdayaan masyarakat, deskripsi visual Ragnar Nursketentanglingkaransetankemiskinan (the vicious Circle of poverty dalam
buku Problem of Capital Formation in Underdevelopment Countries (Oxford, 1953) merupakan rujukan yang klasik.