Menengok Kembali Isu Efisiensi Dalam Praktik Desentralisasi Fiskal Oleh: Sampurna Budi Utama Widyaiswara Muda pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Salah satu tuntutan reformasi yang mengemuka setelah era orde baru adalah permasalahan yang berhubungan dengan kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Menurut Mardiasmo (2004), tuntutan tersebut dinilai wajar berdasarkan dua alasan. Alasan pertama, merujuk pada praktik pengalaman di masa lalu ketika sistem sentralisasi yang diterapkan di Indonesia menyebabkan intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang terlalu besar. Besarnya intervensi ini menyebabkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah. Arahan dan statutory requirement yang terlalu besar dari pemerintah pusat tersebut mengakibatkan inisiatif dan prakarsa daerah menjadi mati. Sebagai dampaknya, pemerintah daerah seringkali menjadikan pemenuhan peraturan sebagai tujuan dan bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Alasan kedua, tuntutan pemberian otonomi tersebut muncul sebagai jawaban untuk memasuki era new game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan di masa yang akan datang. Terlepas dari keseimbangan makro atau efisiensi mikro, Bird dan Vaillancourt (1998) mengisyaratkan ada dua prasyarat penting bagi kesuksesan desentralisasi, yaitu: pertama, proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis dan kedua, biaya-biaya dari pengambilan keputusan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh masyarakat. Sebagai respon dari tuntutan tersebut, pemerintah telah mengeluarkan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Kedua perundangan tersebut membawa perubahan yang cukup berarti terhadap hubungan keuangan Pusat-Daerah. Dalam kedua undang-undang tersebut, kebijakan desentralisasi fiskal dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan (money follows function). Hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu mendapatkan pengaturan sedemikian rupa agar kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada. Melalui desentralisasi fiskal, diharapkan terjadi peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah serta pembagian revenue dari sumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi. Salam (2007) dalam Haris (2007) menyatakan bahwa sebagai dampak dari kebijakan desentralisasi fiskal tersebut, berdasarkan perhitungan ekonomi, muncul perubahan besar dalam APBD daerah kabupaten dan kota, yaitu terjadi
peningkatan perolehan dana yang luar biasa, terutama bagi daerah yang memiliki sumber daya alam. Namun demikian, daerah perlu memperhatikan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal bukanlah semata-mata dimaksudkan untuk menggeser kemampuan keuangan yang sebelumnya tersentralisasi di pusat menjadi lebih terdesentralisasi ke daerah-daerah yang memungkinkan pemerintah daerah menguasai dan mengelola dana dalam jumlah yang jauh lebih banyak dari sebelumnya. Pemerintah daerah perlu lebih memahami alasan filosofis di balik penerapan kebijakan desentralisasi fiskal. Efisiensi dalam Penyediaan Barang dan Jasa Publik Lokal Menurut perspektif kepentingan ekonomi, salah satu alasan diterapkannya desentralisasi fiskal adalah sebagai upaya menciptakan efisiensi dalam penyediaan barang dan jasa publik. Litvack et al (1998), mengutip argumen yang dikemukakan oleh Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Weingast (1995) dan Breton (1996), menyatakan bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh wilayah yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum, dengan alasan: 1. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya. 2. Pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat. 3. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk melakukan inovasi. Tiebout mengemukakan bahwa ada faktor yang terlupakan dalam penyediaan barang dan jasa publik, yaitu pendanaan dan kompetensi. Pada pasar barang swasta, pendanaan merupakan pemicu yang paling mendasar mengenai efisiensi pasar barang swasta. Sedangkan kompetensi mendorong perusahaan-perusahaan untuk memproduksi barang swasta seefisien mungkin sehingga mereka dapat berkompetisi di pasar. Jika penyediaan barang dan jasa publik diselenggarakan secara sentralisasi, akibatnya adalah ketiadaan/rendahnya kompetisi nyata yang dihadapi oleh pemerintah pusat pada saat pembuatan keputusan berkaitan dengan penyediaan barang dan jasa publik. Keputusan yang dihasilkan dapat tidak efisien sama sekali. Oleh karena itu, Tiebout menyarankan agar penyediaan barang dan jasa publik sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah daerah (local government). Tiebout berpendapat bahwa pada saat barang dan jasa publik disediakan di tingkat lokal, kompetisi antar pemerintah daerah secara natural akan meningkat karena individu yang menjadi penduduk suatu daerah dapat memilih dan menilai sendiri kualitas
dari penyediaan barang dan jasa publik oleh suatu pemerintah daerah dibandingkan dengan kontribusi yang telah dibayarkannya dalam bentuk pajak daerah dan retribusi daerah. Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang dan jasa publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi, masyarakat lokal, dan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui legislatifnya (Hyman, 2003). Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal. Meskipun model Tiebout ini sangat menarik, terdapat sejumlah catatan berkenaan dengan permasalahan yang muncul dalam memprediksi model Tiebout mengenai penyediaan barang publik yang efisien, seperti masalah berkaitan dengan kompetensi antar pemda, masalah berkaitan dengan pendanaan, asumsi tidak adanya eksternalitas/spillover berkaitan dengan penyediaan barang/jasa publik lokal dan tidak adanya hambatan bagi mobilitas yang bersifat sempurna (Gruber, 2008). Setidaknya, model Tiebout ini mampu menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Tresch, 1981), (Aronson, 1985), dan (Stiglitz, 1988). Bagaimana dengan praktik di Indonesia? Jika dalam penyediaan barang swasta (private good) isu efisiensi dari penggunaan sumber daya ekonomi merupakan aspek penting yang mendapat perhatian luas, seharusnya dalam penyediaan barang dan jasa publik pun pemerintah daerah di Indonesia menaruh perhatian yang serupa sebagaimana yang terjadi pada sektor swasta. Sayangnya, harapan tersebut tampaknya masih jauh dari praktik pengelolaan keuangan daerah yang terjadi saat ini. Meski Nota Keuangan dan RAPBN 2009 menunjukkan peningkatan alokasi dana transfer dari tahun ke tahun sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 1.1, namun pemerintah daerah belum mampu mengelola peningkatan kemampuan keuangan daerah tersebut secara maksimal.
Tabel 1.1 Perkembangan Transfer ke Daerah Tahun 2001-2008 (dalam miliar rupiah) Realisasi APBN
Uraian 1. Dana Perimbangan a. DBH b. DAU c. DAK 2. Dana Otsus & Penyesuaian a. Dana Otsus b. Dana Penyesuaian
2001 2002 2003 2004 2005 2006 81.054,4 94.656,6 111.070,4 122.867,6 143.221,3 222.120,6 20.708,6 25.497,2 31.369,5 37.900,8 50.479,2 64.900,3 60.345,8 69.159,4 76.977,9 82.130,9 88.765,4 145.664,2 2.723,0 2.835,9 3.976,7 11.556,1 0,0 -
4.722,5 1.539,6 9.243,9 7.242,6 4.049,4 3.547,5 1.539,6 1.539,6 1.775,3 3.488,3 1.175,0 2.372,5 7.704,3 5.467,3 561,1
2007 2008* 243.967,2 279.567,8 62.942,0 78.858,6 164.787,4 179.507,1 16.237,8 21.202,1 9.296,0 13.986,7 4.045,7 7.510,3 5.250,3 6.476,4
Catatan: Sejak tahun 2001-2005, DBH termasuk DAK DR *data 2008 merupakan perkiraan realisasi Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2009. Indikasi tersebut setidaknya dapat kita baca dari kebijakan alokasi belanja pemerintah daerah, dalam kasus ini adalah pemerintah provinsi, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar 1. Proporsi alokasi belanja pemerintah daerah masih didominasi kepentingan operasional rutin pemerintahan, dalam bentuk belanja pegawai dan belanja barang, dibanding alokasi belanja untuk mendanai kebutuhan-kebutuhan yang langsung menyentuh kebutuhan publik. Belanja modal yang diyakini memberikan multiflier effect terbesar bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah selama periode 2005-2008 hanya mendapat alokasi rata-rata 25,86% per tahun. Jauh lebih rendah dari belanja operasional rutin yang menyerap APBD rata-rata 60,45% per tahun. Di sisi lain, sepanjang Maret 2007- Juni 2008 masih banyak dana pemerintah daerah yang tersimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagaimana terlihat dalam gambar 2. Banyaknya dana pemerintah daerah yang diparkir ini menimbulkan beban ganda bagi negara dalam bentuk munculnya beban tambahan berupa beban bunga SBI dan opportunity cost yang harus ditanggung karena proses pembangunan di daerah yang tidak berjalan optimal. Beberapa bukti diatas menyiratkan lemahnya perencanaan belanja pemerintah daerah. Lemahnya perencanaan belanja daerah tersebut memunculkan kemungkinan underfinancing maupun overfinancing di mana dampak dari keduanya mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit kerja pada pemerintah daerah. Unit kerja yang mengalami underfinancing akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan publik, sementara unit kerja yang mengalami overfinancing berhadapan dengan tingkat efisiensi yang rendah. Sebuah studi yang dilakukan oleh Maimunah (2008) untuk kasus penelitian pada kabupaten/kota di Pulau Sumatera mengkonfirmasi bahwa perilaku belanja
pemerintah daerah dalam kaitannya dengan sektor-sektor yang berhubungan langsung dengan kepentingan publik berupa kesehatan serta infrastruktur ternyata menunjukkan sebuah fenomena yang disebut flypaper effect. Dalam dunia akademis, flypaper effect dikenal sebagai sebuah istilah yang merujuk kepada pengaruh dari transfer dana dan pendapatan daerah terhadap kebijakan belanja daerah. Beberapa peneliti menjelaskan respon perilaku belanja pemerintah daerah yang berbeda untuk sumber dana dari transfer pemerintah pusat dan dari pendapatan pemerintah daerah sendiri. Dengan kata lain, ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka stimulasi belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulasi yang muncul dari pendapatan daerah, terutama pajak daerah. Ketika respon belanja daerah lebih besar terhadap transfer dibandingkan dengan respon belanja daerah terhadap pendapatan daerah, kondisi tersebut disebut sebagai flypaper effect (Oates, 1999). Pendekatan umum mengenai flypaper effect antara lain menyebutkan pengaruh transfer dana sebagai salah satu penyebab ilusi fiskal dalam tingkat pengeluaran barang publik. Transfer dana antar pemerintah pada umumnya akan mengurangi harga barang publik bagi masyarakat penerima, dan dengan sendirinya akan menurunkan tingkat penerimaan pajak daerah sebagai efek samping dari adanya dana bantuan. Temuan tersebut sejalan dengan studi Dollery dan Worthington (1995) pada kasus di Australia bahwa transfer dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan mengalami ilusi fiskal. Masyarakat, khususnya masyarakat pemilih di daerah penerima transfer, mempercayai bahwa beban pajak mereka ditanggung oleh yurisdiksi lain di luar daerah tersebut (dalam hal ini adalah pemerintah pusat). Sehingga, mereka cenderung beranggapan bahwa barang publik dibiayai oleh dana bantuan dari pemerintah pusat, dan pajak untuk pembiayaan barang publik tersebut ditarik dari yurisdiksi lain. Oleh karena itu, pengeluaran antara pendonor (pusat) dan penerima (daerah) akan timpang. Daerah cenderung akan menuntut dana bantuan/transfer untuk pembiayaan publik dari pemerintah pusat, sehingga meningkatkan pengeluaran pemerintah pusat menjadi berat sebelah. Sementara itu, penerimaan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat akan bertambah untuk pembiayaan dana bantuan/transfer, sedangkan pelayanan yang diberikan pemerintah pusat cenderung stagnan. Sebaliknya, penerimaan pajak daerah mungkin menurun tetapi pelayan publiknya tetap dan cenderung bertambah, karena dibiayai oleh dana bantuan tak bersyarat (unconditional grants). Dengan demikian, timbul anggapan bahwa “bila pemerintah pusat menambah jumlah dana bantuan/transfer, maka permintaan pelayanan publiknya cenderung jatuh.” Menurut pandangan pendonor/penerima, pertambahan dana bantuan/transfer akan menurunkan jumlah yang tampak pada pengeluaran daerah penerima, dan malah meningkatkan jumlah pengeluaran pendonor (pusat),
sehingga pengeluaran pendonor tampak lebih mahal. Pada umumnya penurunan pada pengeluaran “asli” pendonor, sebagai akibat perubahan pandangan akan jumlah pengeluaran yang tampak, merupakan alternatif bukti adanya ilusi fiskal. Studi Kuncoro (2007) untuk pemerintah kota dan kabupaten di Indonesia menemukan bahwa perubahan besaran transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah kota dan kabupaten menimbulkan perilaku asimetris pemerintah kota dan kabupaten dalam penggunaan dana transfer yang diterimanya tersebut. Kuncoro menyebutkan bahwa peningkatan alokasi transfer dari pemerintah pusat akan direspon oleh pemerintah daerah dalam bentuk peningkatan belanja daerah yang lebih tinggi. Artinya, terdapat indikasi terjadi inefisiensi dalam belanja pemerintah daerah, terutama belanja operasional, yang menyebabkan terjadinya peningkatan belanja pemerintah daerah yang lebih tinggi dari periode sebelumnya. Disisi lain, apabila terjadi penurunan alokasi transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah kota dan kabupaten maka pemerintah daerah merespon kebijakan tersebut dalam bentuk penurunan belanja daerah yang melebihi penurunan Pendapatan Asli Daerah. Flypaper effect maupun ilusi fiskal menunjukkan adanya indikasi pemborosan oleh pemerintah daerah berkaitan dengan penggunaan dana transfer dari pemerintah pusat. Jika terdapat perilaku yang bersifat asimetris seperti ini maka tujuan efisiensi dalam penggunaan dana tidak berhasil dicapai. Apa yang perlu dipertimbangkan? Mendasarkan pada model Tiebout, perlu dilakukan pengkajian atas praktik desentralisasi fiskal di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk menciptakan efisiensi dalam penyediaan barang/jasa publik. Model Tiebout mengisyaratkan penentuan penyediaan barang/jasa publik apa yang seharusnya disediakan oleh pemerintah daerah ditentukan oleh 3 hal (Gruber, 2008). Pertama, keterkaitan antara barang/jasa publik lokal dengan kontribusi perpajakan. Barang/jasa publik yang memiliki manfaat pajak yang kuat, seperti jalan-jalan lokal, harus disediakan oleh pemerintah daerah. Sebaliknya, barang/jasa publik yang memiliki keterkaitan manfaat pajak yang lemah, seperti subsidi kepada rumah tangga miskin, sebaiknya disediakan oleh pemerintah pusat atau tingkatan pemerintah provinsi sebagai wakil dari pemerintah pusat di daerah. Kedua, memperhatikan tingkat eksternalitas/spillover positif yang terjadi. Jika barang/jasa publik mempunyai efek eksternalitas positif yang besar pada masyarakat lain, barang/jasa tersebut akan disediakan oleh pemerintah daerah dalam kualitas dan jumlah yang rendah. Oleh karena itu, pada barang/jasa yang memiliki eksternalitas positif yang besar, seperti pendidikan, sebaiknya tanggung jawab penyediaan barang/jasa publiknya dilakukan oleh pemerintah pusat bukan diserahkan/diotonomikan kepada pemerintah daerah.
Ketiga, memperhatikan skala ekonomi dalam penyediaan barang/jasa publik.Barang/jasa publik yang memiliki skala ekonomi besar, seperti pertahanan dan keamanan, akan lebih efisien jika diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Sedangkan barang/jasa publik tanpa skala ekonomi yang besar akan lebih efisien jika disediakan oleh pemerintah daerah. Agar desentralisasi fiskal dapat optimal, selain upaya meningkatkan pengelolaan keuangan daerahnya, sebaiknya pemerintah daerah perlu meletakkan fokus belanja daerah pada penyediaan barang/jasa dengan skala ekonomi yang rendah/relatif dan program-program pembangunan berbasis luas dengan sedikit eksternalitas seperti perbaikan jalan lokal, manajemen persampahan dan kebersihan jalan dan lainnya. Di sisi lain, pemerintah daerah perlu membatasi perannya dalam menyediakan barang/jasa publik yang bersifat distributif seperti subsidi. Demikian pula, pemerintah pusat perlu melihat kembali apakah barang/jasa yang memiliki eksternalitas/spillover besar, seperti pendidikan dan kesehatan, masih relevan untuk diserahkan kewenangannya kepada daerah. Praktik penganggaran di sebagian daerah menunjukkan rendahnya alokasi APBD untuk kedua urusan publik tersebut. Sedangkan barang/jasa publik yang memiliki skala ekonomi yang besar tetap dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Selain itu, untuk mencapai kondisi Pareto efisiensi, antara produksi dan konsumsi barang/jasa publik di suatu daerah mutlak tidak dapat dipisahkan. Pembiayaan untuk produksi barang/jasa publik lokal semestinya ditanggung oleh konsumen dari layanan lokal tersebut, baik penyewa maupun pemilik. Pembiayaan tersebut dapat berupa tambahan penarikan pajak kepada tambahan penduduk yang tinggal terhadap konsumsi atas layanan lokal. Pemerintah daerah juga harus memberikan peningkatan layanan dan inovasi setara dengan harga pajak yang dibayar oleh masyarakat daerah. Setiap pejabat harus menghindari kegiatan “mencari keuntungan sendiri” untuk dapat bersaing dalam memberikan layanan barang/jasa publik lokal yang disediakan oleh daerah lainnya.
Referensi: Bird, Richard M dan Francois Vaillancourt. 1998. Fiscal Decentralization in Developing Countries. United Kingdom: Cambridge University Press. Dollery, Brian dan Andrew Worthington.1995. Federal Expenditure and Fiscal Illusion: A Test of the Flypaper Hyphotesis in Australia. Publius, Vol. 25, No.1, pp. 23-34.
Gruber, Jonathan. 2007. Public Finance and Public Policy. Second Edition. Worth Publiser, New york. Haris, Syamsuddin. Editor. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi, dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. Jakarta. LIPI Press. Hyman, David N. 2002. Public Finance: A Contemporary Application of Theory to Policy. Seven Edition. United States: South-Western, Thompson Learning. Kuncoro, Haryo. 2007. Perilaku Asimetris Pemerintah Daerah Kota dan Kabupaten Atas Perubahan Besaran Transfer dari Pemerintah Pusat. The 1st Accounting Conference Faculty of Economic Universitas Indonesia. Litvack et al (1998) dalam BPPK Depkeu. 2006. Pengantar Keuangan Publik. LPKPAP Press. Jakarta. Maemunah, Mutiara dan Rusdi Akbar. 2008. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.11. No.1. Januari 2008. Hal 37-51. Mardiasmo. 2004. Otononomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Andi. Yogyakarta. Oates, E. Wallace. 1979. “On the Nature and Measurement of Fiscal Illusion: A Survey”. Taxation and Fiscal Federalism, pp. 65-85..
Gambar 1 Perbandingan Belanja APBD Per Jenis Belanja Terhadap Total Belanja APBD Se-Propinsi di Indonesia Tahun 2006-2008 PERBANDINGAN BELANJA APBD PER JENIS BELANJA TERHADAP TOTAL BELANJA APBD SE-PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2005-2008 Belanja Lainnya **)
**) Belanja Lainnya a.l : Bantuan Sosial, Bantuan Keuangan, Hibah, dan Tak Terduga
Belanja Modal Belanja Barang
13,31%
Belanja Pegawai 12,6%
400.000,00
42.904,42
100%
350.000,00
51.825,29
28,73% 30,9% 111.852,75
14,9%
300.000,00
Miliar Rp
14,0%
37.855,34
104.747,23
250.000,00
18,0% 28.690,43
200.000,00
150.000,00
18,57%
21,6%
22,2%
72.303,53
54.798,85 31,2%
45.483,46
61.204,19
22,1%
39,40% 79.050,75
45.222,90
38,5%
41,8%
32,3%
100.000,00
130.487,67 85.626,20
153.396,26
81.860,95
50.000,00
0,00
205.022,99 REALISASI 2005
253.565,90 REALISASI 2006
sumber: Direktorat Jenderal Anggaran
339.343,51 ANGGARAN 2007
389.377,83 ANGGARAN 2008
Gambar 2 Peta Dana Pemda di SBI Maret 2007-Juni 2008
PETA DANA PEMDA YANG TERSIMPAN DI SERTIFIKAT BANK INDONESIA (SBI) 60.000
50.000
38.869,42
39.191,11
FE B 08
MA R '08
A P R 08
33.530,76
37.831,94
JA N 08
41.194,00
37.154,07
N OV 07
10.000
33.353,00
46.831,77
S E P 07
OK T 07
51.151,00
A GU S T 07
46.512,05
52.882,00
JU L 07
JU N 07
52.293,00
48.670,00
20.000
MA R E T
30.000
52.340
Miliar Rupiah
40.000
0
JU N 08
ME I 08
D E S 07
sumber: Direktorat Jenderal Anggaran
“Agar desentralisasi fiskal dapat optimal, selain upaya meningkatkan pengelolaan keuangan daerahnya, sebaiknya pemerintah daerah perlu meletakkan fokus belanja daerah pada penyediaan barang/jasa dengan skala ekonomi yang rendah/relatif dan program-program pembangunan berbasis luas dengan sedikit eksternalitas.”